Jurnal Pendidikan:
Tersedia secara online EISSN: 2502-471X
Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 1 Nomor: 8 Bulan Agustus Tahun 2016 Halaman: 1487—1499
WUJUD PENGAKUAN ADANYA NORMA-NORMA MUTLAK DARI TUHAN DALAM KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI Esa Kharisma M. Nakti, A. Syukur Ghazali, Maryaeni Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana-Universitas Negeri Malang Jalan Semarang 5 Makang. E-mail:
[email protected] Abstract: Characters in the short story is the bearer of the mandate want delivered author. From the collection of short stories "Lukisan Kaligrafi", transcendental attitude as the implications of believing in God is reflected from the recognition of the existence of absolute norms of the God by the characters in the stories. These norms are divided into (a) taubatan nasuha (repentance undertaken on the awareness deepest heart with a determination not to repeat the sin), (b) wara' (away or leave everything unclear about the haram and halal), and (c) ridha or rida (accept what has been decreed by God, either painful or pleasant). Keywords: norm, character, short story Abstrak: Tokoh dalam cerpen merupakan pengemban amanat yang ingin disampaikan pengarang. Dari kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, sikap transenden sebagai implikasi beriman kepada Tuhan tergambar dari pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan oleh tokoh dalam cerita. Norma-norma tersebut terbagi menjadi (a) taubatan nasuha (tobat yang dilakukan atas kesadaran hati terdalam disertai tekad tidak mengulangi perbuatan dosa), (b) wara’ (menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya), dan (c) ridha atau rida (menerima apa saja yang telah ditetapkan Tuhan, baik yang menyusahkan maupun menyenangkan). Kata kunci: norma, tokoh, cerpen
Saat sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan sastra Islam dengan berbagai polemik yang menyertainya. Setelah era 1930-an dengan nama-nama seperti Hamka, Sanusi Pane, dan terutama Amir Hamzah, gagasan sastra Islam dalam khazanah sastra Indonesia modern secara tidak langsung telah muncul ke permukaan antara tahun 1960 hingga 1970-an. Gagasan itu lahir bukan saja hanya dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan tersebut tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan, seperti Danarto, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, hingga Kuntowijoyo. Sementara dalam bentuk wacana, gagasan tersebut mewujud dalam ragam-ragam istilah yang berbeda, namun memiliki tujuan yang hampir sama. Salah satu istilah yang dikembangkan secara mendalam sebagai wacana uatama dalam sastra Islam Indonesia modern adalah sastra profetik. Istilah ”sastra profetik” pertama kali dicetuskan oleh Kuntowijoyo. Hal itu bertolak belakang dari ketidakpuasannya atas pandangan orang yang terlalu sempit dalam menilai sastra Islam (dan seni Islam pada umumnya). Pada umumnya, orang mendefinisikan seni Islam sebagai seni yang menggugah kesadaran ketuhanan. Namun menurutnya, kesadaran ketuhanan baru sepertiga dari kebenaran sastra profetik. Ia menambahkan, sastra profetik sesungguhnya merupakan sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Ia tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu jarak, yang akhirnya melahirkan ungkapan ”sastra lebih luas dari realitas”, ”sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas”, dan ”sastra membangun realitasnya sendiri” (Kuntowijoyo, 2013:9—10). Meski begitu, sastra profetik tidak bisa sendirian memberikan arah serta melakukan kritik terhadap realitas, tetapi sebagai bagian dari collective intelligence. Sastra profetik diharapkan menjadi arus intelektual dan sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas sehari-hari dan biasa-biasa saja (Kuntowijoyo, 2013:10). Secara lebih rinci, Hadi (2004:24—25) menyatakan sastra profetik sebagai sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia atau pembacanya kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra profetik berfungsi memberi pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis. Selain itu, sastra profetik bertujuan merealisasi sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian.
1487
1488 Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 8, Bln Agustus, Thn 2016, Hal 1487—1499
Untuk keperluan itu, sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas dan memilih epistemologi strukturalisme transendental. Disebut demikian karena (a) kitab-kitab suci itu transendental sebab merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden dan juga melampaui zamannya dan (b) kitab-kitab suci itu adalah struktur dan selalu koheren (utuh) ke dalam atau merupakan suatu kesatuan serta konsisten ke luar atau tidak bertentangan dengan struktur lain (Kuntowijoyo, 2013:11). Meski demikian, Kuntowijoyo (2013:16) tetap menekankan bahwa sastra profetik adalah sastra yang demokratis. Ia tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika (yang disebut etika profetik), itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. Etika itu disebut profetik karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang Prophet. Hal ini berdasarkan pendapat Iqbal (2008:123) yang mengungkapkan bahwa meskipun Nabi telah mencapai tempat tertinggi dalam peristiwa Isra-Miraj yang menjadi dambaan ahli mistik, namun ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Etika profetik itu pun terangkum dalam Al Quran, 3:110, yang berbunyi ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah”. Atas dasar itulah, etika profetik kemudian dirumuskan menjadi tiga hal, yaitu humanisasi (menyuruh kebaikan), liberasi (mencegah kemungkaran), dan transendensi (beriman kepada Tuhan) (Kuntowijoyo, 2013:17). Salah satu etika profetik yang banyak digunakan sebagai tema dalam berbagai karya sastra adalah transendensi. Transendensi selain merupakan kesadaran ketuhanan secara agama, juga merupakan kesadaran terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan. Mengutip Roger Gaurdy, Kuntowijoyo (2013:31) mengatakan ada tiga unsur utama dalam transendensi yaitu (a) pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, (b) pengakuan adanya perbedaan yang mutlak antara manusia dan Tuhan, dan (c) pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia. Transendensi itu kemudian terindikasi dalam sikap manusia di kehidupan sehari-harinya seperti khauf (penuh rasa takut), raja’ (sangat berharap), tawakkal (pasrah), qana’ah (menerima pemberian Tuhan), syukur, dan ikhlas. Bertolak dari uraian tersebut, kajian ini akan mengkaji etika profetik Kuntowijoyo, khususnya transendensi (beriman kepada Tuhan), dalam hal ini wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yaitu (a) taubatan nasuha (tobat yang dilakukan atas kesadaran hati terdalam disertai tekad tidak mengulangi perbuatan dosa), (b) wara’ (menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya), dan (c) ridha atau rida (menerima apa saja yang telah ditetapkan Tuhan, baik yang menyusahkan maupun menyenangkan) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dipilih menjadi objek kajian karena ditengarai mengandung gagasan atau pemikiran A. Mustofa Bisri yang selaras dengan wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan sebagai etika transendensi yang telah disampaikan oleh Kuntowijoyo. Pasalnya, selain masalah sosial dan politik, tema-tema dalam cerpen pria yang akrab disapa Gus Mus itu juga mengambil nilai-nilai yang ada dalam tradisi pesantren, termasuk sufisme (Anshari, 2005:337). Gagasan etika transendensi dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat ditelusuri melalui tingkah laku tokoh-tokohnya. Dalam rangka mencapai langkah penyusunan kerangka teoretis, pengkaji juga melakukan pengkajian terhadap kajian lain yang relevan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya duplikasi yang sia-sia dan memberikan perspektif yang jelas mengenai hakikat dan kegunaan kajian ini. Di samping itu, beberapa kajian terdahulu yang pernah dipublikasikan juga dapat dijadikan titik tolak kajian ini dalam mencoba melakukan pengulangan, revisi, lanjutan, modifikasi, dan lainnya. Kajian yang mengkaji kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri pernah dilakukan oleh Sholeh (2009) dengan judul Konsep Manusia dalam Buku Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri (Telaah dari Perspektif Islam). Kajian tersebut berkesimpulan bahwa konsep (hakikat) manusia dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi terdiri dari dua substansi, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Konsep manusia tersebut menghendaki adanya proses pengarahan dan pengembangan yang dapat dilakukan melalui pendidikan. Kajian lain mengenai kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi juga pernah dilakukan oleh Esa Kharisma Muhammad Nakti (2010) dengan judul Karakteristik Tokoh Utama Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri (Pendekatan Objektif terhadap Jenis, Teknik Pelukisan, dan Prinsip Identifikasi Tokoh). Kajian itu menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan dalam kumpulan cerpen ini dibagi menjadi tokoh protagonis dan antagonis dengan satu tokoh utama pada masing-masing cerpen yang digambarkan oleh A. Mustofa Bisri dengan teknik ekspositori dan teknik dramatik. Pelukisan tokoh utama tersebut teridentifikasi dari tiga prinsip kedirian tokoh yang terdiri atas (1) prinsip pengulangan; (2) prinsip pengumpulan; dan (3) prinsip kemiripan dan pertentangan. Kedua kajian tersebut menjadi panduan dalam kajian ini karena memiliki kesamaan objek kajian yaitu kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi. Sementara, perbedaan kajian ini dengan kedua kajian sebelumnya terletak pada teori yang digunakan untuk membedah kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi. Secara ringkas, kajian ini bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari dua kajian sebelumnya dengan fokus yang berbeda.
Nakti, Ghazali, Maryaeni, Wujud Pengakuan Adanya…1489
METODE Pendekatan dan Jenis Kajian Pengkajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000:3) mendefinisikan kajian kualitatif sebagai prosedur kajian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Kajian kualitatif ini menggunakan data tertulis yang termasuk nilai-nilai pendidikan karakter dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Sementara jenis kajian yang digunakan adalah jenis kajian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan hal-hal pokok dalam kajian. Jadi, sebagai kajian deskriptif kualitatif, kajian ini memiliki karateristik, yaitu (1) hasil kajian berupa kata-kata, (2) pengkaji memiliki tujuan mengembangkan atau meningkatkan pemahaman terhadap teks, (3) kajian ini dilakukan untuk menghasilkan deskripsi, (4) interprestasi dan kesimpulan disampaikan dalam bentuk kata-kata, dan (5) hasil kajian bersifat terbuka bagi pengkaji lanjutan. Kajian ini juga dikategorikan sebagai kajian deskriptif intertekstual jika dilihat dari fokus kajian dan cara mendapatkan data. Data-data yang telah terkumpul tidak hanya dideskripsikan, tetapi juga diinterpretasikan. Untuk menginterpretasikan datadata tersebut, pengkaji harus memiliki pengetahuan serta wawasan teoretis yang ditemukan pengkaji. Tujuan kajian ini untuk mendapatkan deskriptif yang jelas mengenai wujud pengakuan norma-norma mutlak dari Tuhan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000:3) mendefinisikan kajian kualitatif sebagai prosedur kajian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Kajian kualitatif ini menggunakan data tertulis yang termasuk wujud pengakuan norma-norma mutlak dari Tuhan sebagai wujud transendensi dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Sementara jenis kajian yang digunakan adalah jenis kajian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan hal-hal pokok dalam kajian. Jadi, sebagai kajian deskriptif kualitatif, kajian ini memiliki karateristik, yaitu (1) hasil kajian berupa kata-kata, (2) pengkaji memiliki tujuan mengembangkan atau meningkatkan pemahaman terhadap teks, (3) kajian ini dilakukan untuk menghasilkan deskripsi, (4) interprestasi dan kesimpulan disampaikan dalam bentuk kata-kata, dan (5) hasil kajian bersifat terbuka bagi pengkaji lanjutan. Data dan Sumber Data Menurut Arikunto (2002:107), yang dimaksud dengan sumber data dalam kajian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2000:112) juga menyatakan sumber utama dalam kajian kualitatif ialah katakata, dan tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Adapun data dalam kajian ini adalah transendensi yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Sumber data dalam kajian ini adalah lima belas cerpen dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri yang diterbitkan tahun 2008. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan pengkaji untuk mengumpulkan data. Sesuai dengan sifat kajian kualitatif, pengumpulan data kajian bukan merupakan tahapan tersendiri, melainkan merupakan suatu proses yang berlangsung secara serempak antara pengidentifikasian dan penyelesaian. Artinya, pengumpulan data dilakukan tidak hanya pada tahap awal pengkaji yakni sebelum analisis data dimulai, tetapi juga dilakukan selama proses analisis data berlangsung sebagai pengumpulan data lanjutan (Moleong, 2000:104). Pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini menggunakan analisis tekstual. Dalam kajian ini, pengkaji bertindak sebagai instrumen utama. Menurut Moleong (2000:103) pengkaji sebagai instrumen utama berarti pengkaji bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil kajian. Pengkaji sebagai instrumen utama dapat memutuskan sesuatu secara luwes, dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan. Dalam proses analisis, pengkaji melakukan penafsiran makna dari data yang diperoleh. Sementara untuk menjaga keabsahan data kajian, digunakan instrumen tambahan sebagai panduan pengumpulan data. Instrumen ini dikembangkan berdasarkan aspek, sub aspek, dan indikator untuk menentukan data, dan kode data untuk mempermudah klasifikasi data. Adapun tahapan atau prosedur pengumpulan data dalam kajian ini adalah sebagai berikut. 1) Pengkaji membaca kumpulan cerpen LK secara intensif dan berulang-ulang untuk memahami struktur cerita dan konteks dalam kumpulan cerpen tersebutyang berupa dialog, monolog, dan narasi. 2) Pengkaji memberi kode berbagai hal tentang karakteristik tokoh yang mengindikasikan nilai-nilai wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang terdapat dalam sumber data sesuai dengan permasalahan. Setiap satu satuan data akan diberi kode dengan huruf dan angka sebagai penjelas data yang terkumpul. Kode data berdasarkan indikator, nomor data, judul cerpen, dan halaman kutipan, misalnya: (01)... (A/01/LK/3). Jadi kutipan nomor 01
1490 Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 8, Bln Agustus, Thn 2016, Hal 1487—1499
3) 4)
merupakan nilai yang terkait dengan taubatan nasuha, merupakan data nomor satu dalam cerpen Lukisan Kaligrafi dan terdapat pada halaman tiga. Pengkaji mendaftar data yang diperoleh dari kumpulan cerpen LKberdasarkan kriteria yang sesuai dengan permasalahan. Pengkaji mengklasifikasikan data berdasarkan permasalahan, yaitu wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak Tuhan yang meliputi (1) taubatan nasuha, (2) wara’, dan (3) ridha atau rida. Untuk lebih jelasnya, panduan pengumpulan data dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Format Panduan Pengumpulan Data Wujud pengakuan adanya Korpus Data Kode norma-norma mutlak dari Tuhan Taubatan Nasuha Paparan tekstual berupa tingkah laku A/01/LK/25 tokoh, jalan pikiran tokoh, dan dialog tokoh yang mengindikasikan lelaku tobat yang dilakukan atas kesadaran hati terdalam disertai tekad tidak mengulangi perbuatan dosa Wara’
Ridha atau rida
Paparan tekstual berupa tingkah laku tokoh, jalan pikiran tokoh, dan dialog tokoh yang mengindikasikan tindakan lelaku menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya Paparan tekstual berupa tingkah laku tokoh, jalan pikiran tokoh, dan dialog tokoh yang mengindikasikan lelaku menerima apa saja yang telah ditetapkan Tuhan, baik yang menyusahkan maupun menyenangkan
B/02/LK/25
C/03/LK/25
Teknik Analisis Data Analisis data menurut Patton (dalam Moleong, 2000:103), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Teknik analisis data yang dilakukan dalamkajian ini adalah kajian intertekstual yang meliputi beberapa tahapan sebagai berikut. 1) Pengkaji mengklasifikasikan data dengan cara mengatur dan mengurutkan data ke dalam suatu satuan urutan yang menggambarkan masalah yang akan dikaji, yaitu taubatan nasuha, wara’, ridha atau rida. 2) Pengkaji memaparkan terlebih dahulu teori yang berkaitan dengan wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan selanjutnya mendeskripsikan hasil klasifikasi berdasarkan masalah yang dikaji yang sebelumnya. 3) Pengkaji menginterprestasikan terhadap korpus data kajian dengan dasar teori wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan, selanjutnya data dibuktikan kebenarannya sesuai dengan teori yang telah disusun sehingga memberikan penafsiran makna sebagai suatu hasil analisis. Keabsahan Data Keabsahan data merupakan konsep penting dalam kajian karena untuk menghindari subjektifitas pengkaji dan merupakan upaya memeriksa apakah data sudah sesuai dengan masalah dan tujuan kajian. Untuk menjaga keabsahan data dilakukan kegiatan trianggulasi data. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2000:178). Trianggulasi data dalam kajian ini dilakukan dengan jalan mendiskusikan data dengan ahli, yaitu Prof. Dr. A. Syukur Ghazali, M.Pd. dan Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd., selaku pembimbing dan dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Selain itu, pengkaji juga mendiskusikan data kajian dengan teman sejawat, dengan tujuan agar pengkaji tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran pengkaji. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa hasil analisis dan interpretasi data dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan validitasnya.
Nakti, Ghazali, Maryaeni, Wujud Pengakuan Adanya…1491
PEMBAHASAN Taubatan Nasuha sebagai Wujud Pengakuan Adanya Norma-Norma Mutlak dari Tuhan Bertolak dari pengertian taubat, yakni sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan, para ulama membagi lelaku taubat menjadi dua macam. Pertama, taubat yang bersifat vertikal (berkait dengan Tuhan) dan kedua, taubat yang bersifat horizontal (berkait dengan manusia). Masing-masing dari taubat tersebut berhubungan satu sama lain dan hukumnya wajib. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang dalam bertaubat di antaranya (1) harus meninggalkan perbuatan salah atau jahat yang telah dilakukan; (2) menyesali perbuatannya; (3) bertekad tidak melakukan kembali perbuatan tersebut selama-lamanya; (4) apabila perbuatan salah atau jahat yang telah dilakukan berhubungan dengan sesama manusia, diharuskan memenuhi kewajiban atau hak yang telah dilanggar juga meminta kerelaan atau maaf. Apabila keempat hal tersebut terpenuhi, barulah dapat dikatakan lelaku taubat yang dilakukan manusia tersebut sebagai taubatan nasuha. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Quran sebagai berikut. “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya.” (At Tahrim: 8) Taubatan nasuha merupakan salah satu sarana pendidikan Ilahi untuk menanamkan tanggung jawab pribadi. Pendidikan tersebut pada kehidupan nyatajuga mengisyaratkan adanya tanggung jawab sosial sebagai sisi lain dari mata uang logam yang sama. Hal ini berarti bahwa dalam kenyataannya kedua jenis tanggung jawab itu tidak dapat dipisahkan. Tidak adanya salah satu dari keduanya mengakibatkan peniadaan bagi yang lain. Dalamkumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri ini terdapat representasi lelaku taubatan nasuha yang dapat dilihat pada kutipan dari cerpen Gus Jakfar berikut ini. ‘Ayo, kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.” (A/01/GJ/12) Kutipan di atas merupakan penggambaran sikap berterima dan taubatan nasuhadari tokoh Gus Jakfar dalam mengolah ujian dari Allah SWT yang berupa anugerah. Dalam hal ini, diceritakan tokoh Gus Jakfar mendapatkan pencerahan atas sikap yang berupa membaca tanda/masa depan dari orang-orang di sekitarnya. Bahwa, sebagai wujud tanggung jawab pribadi dalam membaca masa depan harus didasari dari pandangan kalbu yang jernih dan sikap berpasrah atau tidak mendahului kehendak Yang Kuasa atas apa yang akan terjadi. Sedangkan wujud tanggung jawab sosial, diperlukan kearifan dalam membaca tanda karena kekhawatiran dari orang yang dibaca tandanya menjadikan berkurang bahkan hilangnya keikhlasan dalam menjalani hidup. Penekanan dari cerpen Gus Jakfarmelalui perilaku tokoh, perilaku tokoh, perlakuan tokoh terhadap tokoh lain, maupun dialog antartokohadalah sikap berhati-hati dalam mengolah anugerah dari Allah SWT juga berpasrah atas apa yang terjadi di masa depan. Lelaku taubatan nasuha yang kedua dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi terdapat pada cerpen Bidadari Itu Dibawa Jibril. Lelaku tersebut tertuang pada kutipan di bawah ini. Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya dan tidak pernah berhasil. Baru hari ini, tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, isinya singkat: “Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).” (A/02/BIDJ/34) Dari kutipan tersebut, bertolak belakang dengan cerpen Gus Jakfar, cerpen Bidadari Itu Dibawa Jibril menjelaskan bahwa tokoh Hindun keluar dari agama Islam. Hal ini disebabkan semangat dalam beragama tidak diimbangi dengan berhatihatinya tokoh Hindundalam membangun kesadaran diri. Sedangkan pondasi dalam beragama Islam adalah kesadaran Iman, Islam, dan Ihsan yang masing-masing harus dihayati dengan bertakwa dan bertawakal. Ketidaksadaran tokoh Hindun dalam beragama, dalam hal ini menegakkan amar ma’ruf nahi munkarmenyebabkannya berdakwah tidak dengan cara yang lembut. Justru yang muncul dalam proses penegakan syariat olehnya adalah dengan cara membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama. Berdakwah merupakan perintah dari Tuhan yang harus dilaksanakan dengan ilmu yang memadai dan dengan cara yang lembut dalam bersikap maupun bertutur. Contoh kelembutan dalam berdakwah dapat dilihat dari Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Apa yang dilakukan oleh Nabi tersebut sesuai dengan firmanNya dalam Al Quran sebagai berikut. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (An Nahl: 125)
1492 Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 8, Bln Agustus, Thn 2016, Hal 1487—1499
Ayat di atas menyiratkan betapa pentingnya kebijaksanaan dan kearifan dalam berdakwah. Kedua hal tersebut akan tercapai apabila dilandasi dengan ilmu yang memadai dan penghayatan mendalam akan kehidupan. Dalam Islam, pengertian tersebut tertuang dalam rukun Islam sebagai pengurai ibadah yang bersifat syariat, rukun Iman yang bersifat batiniah sebagai langkah progresif dalam pengalaman keagamaan, dan Ihsan sebagai tahapan selanjutnya sebagai wujud komitmen utuh dari badan, jiwa, dan roh. Khusus mengenai Ihsan, diisyaratkan sifat kelembutan adalah anak dari kebaikan. Berkebalikan dengan kelembutan, kebencian hanya akan melahirkan sikap yang kasar dalam bertindak dan bertutur. Dan kebencian inilah yang tidak disadaridan tidak ditunjang dengan pemahaman mendalam akan Islam oleh tokoh Hindun dalam cerpen Bidadari Itu Dibawa Jibrilsehingga menyebabkannya mudah tertipu oleh fenomena yang menyesatkan akidah dan keluar dari agama Islam. Lelaku ketiga taubatan nasuhadalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat dalam cerpen Kang Kasanun. Tokoh Kang Kasanun dalam cerpen tersebut mengalami penyadaran diri tentang ilmu sebenarnya yang harus dipelajari dan ditekuni pada kehidupan di dunia. Kesadaran tokoh Kang Kasanun dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang. Katanya kemudian, “Kini Bapak sudah mantap. Jalan yang Bapak tempuh kemarin salah. Mestinya sejak awal Bapak mengikuti jejak ayahanda Gus dan jangan mengikuti jejak Bapak ini. Carilah ilmu yang bermanfaat bagi diri Gus dan bagi sesama!” (A/03/KK/86) Dalam Islam ada kaidah untuk mencapai keinginan di dunia, akhirat, atau keduanya sekaligus, kesemua tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengan sarana ilmu. Kutipan di atas menggambarkan kebermanfaatan ilmu sebagai sarana yang sesungguhnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Apapun tujuannya, mempelajari ilmu harus diiringi dengan niat baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain sebagai implementasi konsep mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam cerpen Kang Kasanun diceritakan tokoh Kang Kasanun menekuni ilmu untuk kepentingan diri sendiri yang sifatnya tidak menambah penghayatan dalam hidup karena mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Hal inilah yang menegaskan bahwa ilmu yang dipelajari dan dikuasai tokoh Kang Kasanun sia-sia. Lelaku taubatan nasuha yang keempat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi terdaat dalam cerpen Mbah Sidiq. Wujud taubatan nasuha dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Maaf, Kang!” Nasrul mencoba mengangkat kepalanya kembali. “Aku kurang sabar bagaimana? Semua yang diminta --bahkan banyak yang tidak diminta—sudah aku berikan. Sawah dan sapiku sudah kuserahkan kepadanya. Sepeda motor kujual untuk menyenangkannya. Lho kok tega-teganya membawa kabur isteriku! Masyaallah! Manusia laknat macam apa itu?!” Dipukulkannya tangannya ke meja hingga menggulingkan beberapa cangkir dan gelas. (A/04/MS/101) Kutipan di atas tidak mencerminkan sikap taubatan nasuha secara langsung. Namun demikian kutipan tersebut mengandung proses menuju ke taubatan nasuha. Proses tersebut dimulai ketika tokoh Nasrul menaruh kepercayaan kepada Mbah Sidiq yang dinilai santun dan alim. Namun, Mbah Sidiq ini ternyata seorang penipu. Ia menguras harta Nasrul dan bahkan membawa lari istrinya. Pada akhirnya Nasrul menyadari kesalahannya dan berhenti memercayai Mbah Sidiq. Proses inilah yang nantinya akan menuju kepada taubatan nasuha. Proses menuju taubatan nasuha ini pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, yakni yang dialami oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan adalah seorang saudagar sukses dan memiliki banyak harta. Hal ini menjadikan ia sebagai orang terpandang di kalangan suku Quraisy. Abu Sufyan pada mulanya adalah penentang utama dakwah yang dilakukan oleh Nabi. Ia menggunakan segala cara, terutama dengan harta yang dia miliki, untuk menggagalkan dakwah Nabi di Makkah. Ia bahkan pernah melancarkan pembunuhan terhadap Nabi, meskipun mengalami kegagalan. Hal ini membuat para sahabat geram dan meminta izin kepada Nabi untuk membunuh Abu Sufyan, namun dilarang oleh Nabi. Puncaknya pada peristiwa Fathul Makkah, Abu Sufyan melihat keagungan dan keluhuran sifat yang ditunjukkan oleh Nabi sehingga ia menyatakan diri masuk islam. Sejak saat itu ia selalu ikut berjuang dan berperang bersama Rasulullah ketika perang Hunain dan penaklukan kota Tha’if. Ia bahkan tetap bersama Rasulullah dan tidak melarikan diri ketika pasukan muslim terddesak mundur. Rasulullah sendiri senang dengan adanya Abu Sufyan di pasukan beliau dan menjulukinya Singa Allah serta menganggap Abu Sufyan adalah pengganti Hamzah (Arifin, 2011:206—210 dan As-Sayyid, 2006:69—70).
Nakti, Ghazali, Maryaeni, Wujud Pengakuan Adanya…1493
Lelaku taubatan nasuha yang kelima dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi terdaat dalam cerpen Mbok Yem. Wujud taubatan nasuha dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. (A/05/MY/130) Kutipan di atas menunjukkan kesungguhan yang ditunjukkan oleh Mbok Yem dan Mbah Joyo dalam bertaubat. Tokoh Mbok Yem dalam cerpen tersebut diceritakan sebagai mantan pelacur sementara Mbah Joyo adalah pelanggannya. Keduanya kemudian menikah dan berusaha untuk bertaubat kepada Tuhan. Taubat yang mereka lakukan adalah dengan cara meninggalkan dunia pelacuran. Kemudian mereka berusaha kembali ke jalan yang benar dengan selalu menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Selain itu, mereka juga selalu beristighfar kepada Tuhan meminta agar dosa-dosa mereka diampuni. Mbah Joyo dan Mbok Yem yang selalu beristighfar agar Tuhan mengampuni dosa mereka ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut ini. Abu Hurairah RA, ia berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: ‘Demi Allah, sesungguhnya saya membaca istighfar dan bertobat kepadaNya lebih dari tujuh puluh kali setiap hari.” (H.R. Bukhari) (Nawawi, 1999a:16) “Dari
Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW selalu beristighfar kepada Tuhan minimal 70 kali dalam sehari. Padahal, Rasulullah SAW sudah diampuni oleh Tuhan dan sudah dijamin masuk surga. Hal inilah yang dilakukan oleh Mbah Joyo dan Mbok Yem, yakni selalu beristighfar kepada Tuhan agar dosa-dosa mereka diampuni. Mereka bahkan berusaha menabung untuk pergi haji agar mereka dapat bertaubat dan beristighfar di tanah suci. Mereka berkeyakinan bahwa dosa mereka dapat benar-benar diampuni ketika beristighfar di tanah suci. Hal yang dilakukan oleh Mbah Joyo dan Mbok Yem ini dapat digolongkan sebagai taubatan nasuha. Hal ini karena mereka berdua telah mengakui kesalahan mereka, tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut, dan selalu beristighfar kepada Tuhan untuk memohon ampun. Wara’ sebagai Wujud Pengakuan Adanya Norma-Norma Mutlak dari Tuhan Salah satu bentuk ibadah yang paling mula-mula serta yang paling luas di antara umat manusia adalah puasa. Puasa dari segi bahasa berarti menahan dan hal ini tersirat pada lelaku wara’. Lelaku wara’ dapat diartikan menahan diri dengan cara menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas halal atau haramnya. Hal ini karena dikhawatirkan hal yang belum jelas halal atau haramnya tersebut dapat mengarah kepada hal yang haram. Kekhawatiran ini timbul karena adanya keyakinan bahwa Tuhan mengawasi apa yang dilakukan oleh hambanya sehingga muncul sikap kehati-hatian agar tidak sampai melanggar perintahNya. Hal ini sesuai dengan Al Quran surat Al Fajr ayat 14 berikut ini. “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Q.S. Al Fajr, 14) Ayat di atas menegaskan bahwa Tuhan mengawasi apapun yang dilakukan hambaNya. Dengan adanya ayat tersebut, muncul kehati-hatian dengan cara menahan diri dan menjauh dari segala hal yang belum jelas halal atau haramnya. Sikap seperti ini pernah dicontohkan oleh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. As-Sayyid (2006:144) menceritakan bahwa suatu hari putri ‘Ali bin Abi Thalib didandani oleh penjaga gudang baitul maal dengan sebuah permata dari gudang tersebut. ketika ‘Ali mengetahui hal tersebut, beliau berkata, “Dari mana ia dapatkan permata ini? Demi Allah, wajib bagi saya untuk memotong tangannya.”. Kisah ini menggambarkan sikap wara’ yang dimiliki oleh ‘Ali, hingga beliau hendak memotong tangan putrinya karena khawatir permata tersebut adalah hasil dari mencuri. Lelaku wara’ dapat dijumpai dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Cerminan lelaku wara’ yang pertama dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Gus Muslih. Lelaku wara’ dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Gus Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapijuga tegas dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan menyalahkannya. (B/06/GM/13) Kutipan di atas mengandung lelaku wara’ yang terdapat dalam sikap Gus Muslih. Lelaku wara’ tersebut dapat dilihat dalam ketegasan Gus Muslih dalam menyalahkan sesuatu yang ia anggap tidak benar. Dengan kata lain, Gus Muslih tidak akan berani membenarkan atau menyalahkan sesuatu yang belum jelas benar ataupun salahnya. Sikap hati-hati serta pemahaman
1494 Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 8, Bln Agustus, Thn 2016, Hal 1487—1499
terhadap masalah sangat diperlukan sebelum membenarkan atau menyalahkan sesuatu. Hal ini menyangkut konsekuensi yang akan mengikuti terhadap sikap membenarkan atau menyalahkan tersebut. sikap yang tepat ketika menghadapi sesuatu yang belum jelas benar ataupun salahnya adalah dengan meninggalkannya. Hal ini sesuai dengan yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadis di bawah ini. Dari Al Hasan bin Ali RA., ia berkata: “Saya selalu ingat pada sabda Rasulullah SAW, yaitu: ‘Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan kerjakan sesuatu yang tidak meragukanmu.’” (HR. Tirmidzi) Hadis di atas berisi tentang anjuran Rasulullah mengenai sesuatu yang meragukan (belum jelas halal ataupun haramnya), yakni dengan meninggalkannya. Namun apabila sesuatu tersebut tidak meragukan (jelas hukumnya), maka dianjurkan untuk dikerjakan. Hal inilah yang dilakukan oleh tokoh Gus Muslih dalam kutipan cerpen di atas. Ia menyalahkan sesuatu yang ia anggap tidak benar, bahkan secara terang-terangan. Cerminan lelaku wara’ yang kedua dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Bidadari itu Dibawa Jibril. Lelaku wara’ dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Ya, tapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, Mas!” aku menyela. “Kan ada cerita dulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda Iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tapi karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.” (B/07/BIDJ/33) Cerminan lelaku wara’ dalam kutipan di atas terdapat dalam sikap yang ditunjukkan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani ketika mengusir Iblis yang mencoba untuk menggodanya. Diceritakan dalam kutipan tersebut bahwa Iblis menyamar sebagai Tuhan yang berbentuk cahaya yang amat terang dan mencoba untuk menggoda Syeikh Abdul Qadir. Dengan cara demikian ini, Iblis telah berhasil menggoda dan menjerumuskan 40 sufi. Namun demikian Iblis gagal untuk menggoda dan menjerumuskan Syeikh Abdul Qadir karena keimanannya yang sangat kuat sehingga dapat mengenali dan mengusir Iblis tersebut. sikap yang ditunjukkan oleh Syeikh Abdul Qadir ini termasuk perilaku wara’, yakni tidak mau langsung percaya terhadap samaran Iblis yang mengaku sebagai Tuhan tersebut. Hal ini karena Syeikh Abdul Qadir pada awalnya belum dapat memastikan cahaya yang terang tersebut apakah perwujudan sebenarnya dari Tuhan atau tidak. Sikap kehati-hatian ini yang pada akhirnya menghindarkan Syeikh Abdul Qadir dari rayuan dan bujukan Iblis tersebut. Cerminan lelaku wara’ yang ketiga dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Ning Ummi. Lelaku wara’ dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Ning Ummi memang pantas mengidamkan suami yang demikian,” Mbak Tiah, santri senior, yang dari tadi diam saja, tiba-tiba berkomentar. “Jarang ada santri perempuan seperti dia. Pikirannya maju. Maaf, Ning Saudah ya! Melihat orang itu tidak boleh dengan kacamata negatif dan hanya pada yang tampak sekilas. Saya tidak setuju jika Ning Ummi dibilang sombong. Saya kenal betul dengan dia. Dia itu selalu berpikir bagaimana agar perempuan tidak dicitrakan sebagai makhluk lemah. Menurut dia, kaum perempuan tidak seharusnya kalah dengan kaum lelaki. Lihatlah program-program pengurus pondok putri ini sendiri ketika dia menjadi ketua; seperti kursus-kursus, pelatihan-pelatihan, seminar, dan sebagainya. Bukankah semua itu merupakan ide-idenya? Itu semua menunjukkan obsesinya begitu besar untuk memajukan kita, para santri puteri ini, dan lebih jauh lagi: meningkatkan martabat kaum perempuan. Jadi, kalau kadang-kadang dia terkesan sombong, menurut hemat saya, lantaran harga dirinya sebagai perempuan memang begitu besar.” (B/08/NU/40) Kutipan di atas menggambarkan lelaku wara’ melalui dialog tokoh Mbak Tiah.
Nakti, Ghazali, Maryaeni, Wujud Pengakuan Adanya…1495
Dari Athiyah bin ‘Urwah As Sa’dy RA., ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Seseorang tidak bisa mencapai tingkatan muttaqin (orang-orang yang bertakwa), sebelum ia meninggalkan semua yang tidak berdosa karena khawatir terjerumus pada sesuatu yang berdosa.’” (HR. Tirmidzi) Dari An Nawwas bin Sam’an RA., dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Kebajikan adalah budi pekerti yang baik. Dan dosa (kejahatan) adalah sesuatu yang menimbulkan keresahan pada dirimu di mana kamu merasa tidak senang apabila perbuatan itu diketahui oleh orang lain.” (HR. Muslim) Cerminan lelaku wara’ yang keempat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Iseng. Lelaku wara’ dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Lagi santai begini, terlintas juga lamunan. Begini ini, tiba-tiba ada cewek ketukketuk pintu, lalu kubukakan pintu. Ternyata ceweknya cakep, senyum-senyum. Lalu menawarkan diri menemaniku. Kira-kira aku bagaimana ya? Kupersilahkan masuk dengan mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya. Lalu, ah! Atau kuusir saja atau aku panggilkan satpam? Wah terlalu kasar. Lamunan gila! (B/09/I/48) Kutipan di atas mengandung sikap wara’ yang dilakukan oleh tokoh aku. Sikap wara’ tersebut ditunjukkan dengan bersegera menghapus lamunan yang melenakan. Cerminan lelaku wara’ yang kelima dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Ndara Mat Amit. Lelaku wara’ dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Tapi seperti kau ketahui, takdir mempertemukan kedua tokoh bertopeng itu dan tanpa sadar topeng-topeng mereka terlepas. Keistimewaan mereka pun terlihat oleh kita. Kamu lihat waktu barzanjen itu: dari sekian banyak kiai, tak ada seorang pun yang melihat kehadiran Rasulullah, juga Ayah. Hanya mereka berdua. Itu, wallahu a’lam, merupakan tanda bahwa hati mereka memang bersih. Hanya mereka yang mempunyai hati bersih, yang dapat melihat alam malakut dan roh suci Nabi. Ayah yakin mereka berdua tak akan pernah kembali kemari, selamanya. Wali mastur, yang menyembunyikan kesalehannya, selalu menghilang bila ketahuan umum.” (B/10/NMA/93) Kutipan di atas mengandung sikap wara’ dalam perilaku dua tokoh, yakni Ndara Mat Amit dan Pak Min yang samasama menyembunyikan kesalehannya. Ndara Mat Amit menyembunyikan kesalehannya dengan berlagak sebagai orang yang suka mengumpat, kasar, dan tak tahu sopan santun. Sementara Pak Min menyembunyikan kesalehannya dengan profesinya sebagai kusir. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga agar hati mereka tidak tercemar oleh hal-hal yang bersifat haram— termasuk juga hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya. Dengan demikian, hati dan jiwa mereka akan selalu bersih. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut ini. Dari An Nu’man bin Basyir RA., ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Di antara halal dan haram, ada hal-hal syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Siapa saja berhati-hati dari hal-hal yang syubhat itu, maka terjagalah harta dan kehormatannya. Dan siapa saja terjerumus ke dalam halhal yang syubhat, maka ia terjerumus ke dalam hal yang haram. Sebagaimana penggembala yang menghalau ternak di sekitar tempat terlarang. Kemungkinan besar ternak gembalaannya akan memasuki tempat terlarang itu. Ingatlah, setiap penguasa pasti mempunyai larangan, dan hal yang dilarang Allah adalah apa yang diharamkan. Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan bila gumpalang daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Gumpalan daging itu adalah hati.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
1496 Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 8, Bln Agustus, Thn 2016, Hal 1487—1499
Ada dua poin utama yang dijelaskan dalam hadis di atas. Poin pertama yang dijelaskan dalam hadis di atas adalah bahayanya hal-hal yang belum jelas halal atau haramnya (subhat). Seseorang yang terjerumus ke dalam hal-hal yang bersifat subhat, sangat dimungkinkan bahwa ia akan terjerumus ke dalam hal-hal yang bersifat haram. Dalam hal ini Nabi SAW menganalogikan dengan penggembala yang menggembalakan ternak di dekat area terlarang. Besar kemungkinan ternaknya akan masuk dan mencari rumput di tempat terlarang tersebut. Hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah hal ini adalah dengan bersikap hati-hati terhadap segala sesuatu yang ada pada diri agar tidak tercemar dengan hal-hal yang bersifat subhat. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib pernah mencontohkan perilaku berhati-hati terhadap hal-hal yang masih belum jelas halal atau haramnya ini. As-Sayyid (2006:138—139) menerangkan bahwa saat itu ‘Ali berada di Irak. Kemudian ada seorang pemuda dari Tsaqif yang memanggil beliau untuk salat zuhur. Ia kemudian melihat ‘Ali mengeluarkan kantong yang diberi segel yang sangat rapat pada bagian penutup. Kantong tersebut ternyata berisi tepung gandum yang sangat lembut. Beliau kemudian memakan tepung gandum tersebut. si pemuda kemudian bertanya kepada ‘Ali kenapa beliau menutup rapat kantong tersebut. ‘Ali kemudian menjawab bahwa beliau menjaga agar tepung gandum yang ada dalam kantong tersebut tetap dalam keadaan baik dan tidak tercemar oleh bahan-bahan lain yang belum jelas halal atau haramnya. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib sangat menjaga agar makaanan yang beliau makan selalu dalam keadaan baik dan halal. Inilah salah satu faktor yang membuat hati ‘Ali selalu dalam keadaan bersih. Poin kedua yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW di atas adalah tentang keutamaan hati bagi seseorang. Dijelaskan dalam hadis tersebut bahwa apabila hati dalam keadaan baik, maka baik pula seluruh tubuh. Sebaliknya, jika hati dalam keadaan rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Berkaitan dengan hal ini, sikap wara’ dapat diterapkan untuk tetap menjaga hati agar tetap dalam keadaan bersih. Hal ini karena hal-hal yang belum jelas halal atau haramnya dapat menjadi penyebab hati itu menjadi rusak. Oleh karena itu, sikap wara’, yakni berhati-hati terhadap hal-hal yang belum jelas halal haramnya dapat menjaga hati dalam keadaan tetap bersih. Ridha atau Rida sebagai Wujud Pengakuan Adanya Norma-Norma Mutlak dari Tuhan Ridha atau rida adalah hasil penerimaan seseorang atas segala sesuatu yang dialami baik lahir maupun batin.Proses menuju penerimaan inilah yang harus dihidupi dengan takwa dan tawakal. Setiapkemauan untuk bertakwa kepada Tuhan, yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya tanpa ada unsur paksaan adalah proses menuju kepada sikap rida. Begitu pula dengan sikap tawakal, ketika dilakukan dengan tanpa paksaan, akan menuju kepada keridaan. Sebagaimana dijelaskan dalam bab II, tawakal adalah memercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Tuhan dan menyandarkan penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Seseorang yang memiliki sikap tawakal akan menerima apapun bentuk penyelesaian masalah yang diberikan oleh Tuhan. Sikap penerimaan terhadap segala keputusan Tuhan inilah yang kemudian akan menumbuhkan sikap rida. Hal ini menunjukkan kebersinambungan antara takwa dan tawakal dengan rida. Sikap rida ini dapat ditemukan dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Sikap rida yang pertama dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Gus Jakfar. Cerminan sikap rida dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. ‘Ayo, kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir; nyatanya saya memang sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.” (C/11/GJ/12) Sikap rida dalam kutipan di atas ditunjukkan oleh tokoh Gus Jakfar ketika ia diperbolehkan pulang oleh Kiai Tawakkal. Gus Jakfar tidak merasa tersinggung dengan ucapan kiai yang menyuruhnya pulang. Ia pun tidak membantah perintah tersebut, meskipun ia masih ingin berguru kepada kiai. Sikap inilah yang disebut dengan rida. Ia dengan senang hati mematuhi perintah kiai tersebut tanpa ada rasa keterpaksaan. Gus Jakfar malah merasa bersyukur karena ia telah mendapatkan banyak ilmu dari kiai tersebut. Sikap rida yang kedua dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Iseng. Cerminan sikap rida dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Aku pun berhenti mengharap. Sampai suatu saat –persis ketika aku hendak melangsungkan pernikahan dengan isteriku yang sekarang— suratnya datang dari Cairo. Dia mendengar aku akan menikah dan dia menyampaikan selamat. Dia mengkabarkan bahwa dia baru akan pulang ke Jakarta tahun depan. Yang membuatku tersentak, dalam suratnya itu dia juga menulis, dalam bahasa Arab, bahwa sebenarnya dia sudah lama mencintaiku. Namun, meskipun aku sendiri mengaku menyukainya ketika mengantarnya ke Zaqaziq, dia tidak berani berterus terang karena dia pun melihat aku baik dengan siapa saja. Pengakuannya itu ditutup
Nakti, Ghazali, Maryaeni, Wujud Pengakuan Adanya…1497
dengan ungkapan yang tidak biasa. Sangat romantis. “Izikanlah aku mengucapkan sekali saja dan untuk yang terakhir kali kata-kata yang sejak lama ingin aku katakan kepadamu dan selama ini hanya aku pendam dalam dadaku: ‘Kekasihku, aku mencintaimu!’” Syahrazad, Syahrazad, ternyata perasaan dan sikap kita sama! (C/12/I/54) Sikap rida dalam kutipan di atas terdapat pada sikap tokoh aku dalam menghadapi kepergian wanita yang ia cintai, Syahrazad. Ia lebih memilih untuk bersikap rida dan tidak mengharap cinta wanita tersebut daripada mengejar-ngejarnya. Ia pun tidak lantas menaruh sakit hati terhadap Syahrazad karena meninggalkannya. Sikap ini menunjukkan keridaan tokoh aku terhadap Syahrazad. Hasil dari sikap ini, ketika kembali bertemu dengan Syahrazad, ia dapat bersikap sewajarnya. Ia tidak menunjukkan rasa yang terlalu antusias, juga tidak menunjukkan rasa marah ataupun benci. Hal ini ditunjukkan dengan ucapan “Syahrazad, Syahrazad, ternyata perasaan dan sikap kita sama!”. Sikap memaafkan adalah salah satu kunci untuk memperoleh sikap rida. Hal ini karena dalam memaafkan terdapat unsur kerelaan, yang merupakan poin penting dalam sikap rida. Selain itu, sikap memaafkan ini sesuai dengan isi Al Quran dalam surat Asy Syuura ayat 43 berikut ini. Allah SWT berfirman: “Dan siapa yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Q.S. Asy Syuura, 43) Ayat tersebut menjelaskan bahwa sikap sabar dan memaafkan adalah perbuatan yang diutamakan. Sikap ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika menghadapi perlakuan buruk dari kaum Quraisy yang setiap hari menumpahkan air najis ke Rasulullah dari loteng rumahnya. Ketika suatu hari orang tersebut tidak menumpahkan air najis ke Rasulullah, beliau bertanya ke sahabat ke mana orang tersebut. Nabi SAW kemudian mendapat kabar bahwa orang itu sakit keras. Mendengar hal itu, beliau segera menjenguk orang tersebut, bahkan sambil membawakan makanan dan juga mendoakan agar segera sembuh. Beliau lebih memilih memaafkan dan segera melupakan perlakuan buruk dibandingkan dengan menyimpan dendam terhadap orang tersebut (Arifin, 2011:133—135). Sikap Nabi ini menunjukkankeutamaan sikap yang disebutkan dalam kutipan ayat di atas. Sikap rida yang ketiga dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi. Cerminan sikap rida dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Setelah melepaskan suaminya, Siti tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya bertanya ada apa, Siti tidak menjawab. Hanya terus tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya keluar akan ke kamar mandi, Siti masih senyum-senyum sendiri; kali ini sambil mendesiskan syukur: Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil Hamdu! (C/13/LTSHL/ 61) Sikap rida pada kutipan di atas ditunjukkan oleh tokoh Siti terhadap kepulangan suaminya. Hal ini terkait kekhawatiran Siti terhadap sang suami yang belum pulang, padahal lebaran tinggal sehari. Sebelumnya, suami Siti diduga adalah aktor di balik ledakan bom Bali. Rumah Siti pun digeledah polisi untuk mencari suaminya. Meskipun demikian, Siti sangat senang dengan kepualngan suaminya, sampai-sampai ia terus tersenyum sendiri. Ia tidak menanyakan dari mana suaminya, tidak juga meminta klarifikasi suaminya perihal berita yang menyebut suaminya otak di balik bom Bali. Ia juga tidak peduli dengan kemungkinan ia ditangkap polisi karena menyembunyikan buronan. Ia hanya berbahagia dan bersyukur suaminya pulang dan dapat berkumpul dengan dirinya. Sikap ini adalah cerminan keridaan seorang istri terhadap suaminya. Sikap keridaan ini juga pernah dicontohkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib saat tidur di ranjang Rasulullah SAW ketika Rasulullah SAW hijrah. Saat itu kaum kafir telah mengepung rumah Nabi dan bersiap untuk menyerang beliau. Dengan keberanian dan keridaan, ‘Ali menggantikan Nabi tidur di ranjang beliau dan berhasil mengelabui para pengepung tersebut. perbuatan ‘Ali ini sangat berisiko karena beliau bisa saja dibunuh oleh kaum kafir tersebut. namun rasa cinta beliau kepada Nabi SAW membuat ‘Ali merasa rida untuk mengantikan tempat Nabi tersebut (As-Sayyid, 2006:22—24). Sikap rida yang keempat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Mubaligh Kondang. Cerminan sikap rida dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Kalau ini nanti kuceritakan kepada orang-orang kampung –kalau kukatakan bahwa Almukarram K.H. Drs. Samsuddin, mubalig kondang yang baru saja berceramah di alun-alun itu adalah Sudin, kawan nakalku di pesantren— pasti tak ada yang
1498 Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 8, Bln Agustus, Thn 2016, Hal 1487—1499
percaya. Isteriku sendiri pun pasti akan menertawakan. Lebih baik tak usah kuceritakan kepada siapa-siapa. (C/14/MK/109) Kutipan di atas mengandung sikap rida yang ditunjukkan oleh tokoh aku. Sikap rida tersebut ditunjukkan ketika ia mengetahui bahwa mubaligh kondang yang baru saja berceramah adalah temannya yang nakal ketika di pesantren dulu. Ia memilih untuk tidak memberitahukan masa lalu sang mubaligh tersebut karena bisa saja akan merusak nama baik serta menyakiti hati sang mubaligh tersebut. Hal ini juga wujud kerendahhatian tokoh aku, karena dalam hal keilmuan ia merasa tidak kalah dengan sang mubaligh tersebut. Namun ia bersikap rida, tidak memiliki sikap iri hati terhadap sang mubaligh tersebut. Ini sesuai dengan isi Al Quran surat Al Furqaan ayat 63 berikut ini. Allah SWT berfirman: “Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang yang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan katakata (yang mengandung) keselamatan.” (Al Furqaan: 63) Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang keutamaan orang yang bersikap rendah hati, yang digambarkan sebagai “hamba-hamba yang baik”. Sikap rendah hati ini sangat penting dimiliki karena sikap ini yang nantinya akan menuntun kepada sikap rida. Hal ini karena orang yang memiliki sikap rendah hati tidak memiliki sikap sombong sehingga mudah memiliki sikap rida. Ayat di atas juga menjelaskan sikap yang harus diambil terhadap orang yang bodoh, yakni mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan terhadap mereka. hal ini menegaskan sikap tokoh aku pada kutipan cerpen di atas yang memilih untuk tidak menceritakan perihal masa lalu sang mubaligh tersebut. Sikap rida yang kelima dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dapat dilihat dalam cerpen Mbok Yem. Cerminan sikap rida dalam cerpen ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,” kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya, “sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.” (C/15/MY/130) Kutipan di atas mengandung sikap rida, yang ditunjukkan oleh tokoh Mbah Joyo dan Mbok Yem. Sikap rida itu ditunjukkan ketika mereka mengikhlaskan diri jika sewaktu-waktu dipanggil oleh Tuhan setelah mereka merampungkan ibadah haji. Sikap rida yang ditunjukkan oleh Mbah Joyo dan Mbok Yem ini didasari atas sikap tawakal yang mereka miliki. Mereka menyerahkan hidup dan mati mereka kepada Tuhan, karena mereka percaya bahwa segala apa yang mereka miliki—termasuk tubuh dan ruh mereka—adalah milikNya. Hal ini sesuai dengan Al Quran surat As Syu’ara ayat 78—82 berikut ini. (yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat. (Q.S. As Syu’ara, 78—82) Ayat di atas menjelaskan bentuk ketawakalan seorang hamba kepada Tuhannya. Ia menyadari bahwa Tuhan yang menciptakannya, yang memberinya makan dan minum, serta menyembuhkannya ketika sakit. Dari kesadaran tersebut timbul sikap rida atas semua yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Keridaan tersebut termasuk keridaan ketika Tuhan mengambil nyawanya sewaktu-waktu. Sikap inilah yang dimiliki oleh Mbah Joyo dan Mbok Yem pada kutipan cerpen di atas. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari kajian terhadap wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan ini ditemukan sikap-sikap taubatan nasuha, wara’, dan ridha atau rida. Setiap individu yang hidup di dunia harus takluk pada ketentuan Tuhannya. Bahkan dalam hal kesalahan yang telah dibuatnya, Tuhan menetapkan peraturan untuk bersegera menyadari dan menyesali kesalahan tersebut dengan taubatan nasuha. Hal ini menunjukkan betapa Tuhan menyayangi manusia dengan tidak membiarkan kesalahan tanpa cara untuk menyelesaikan. Seperti yang dialami oleh tokoh Gus Jakfar, Mbah Joyo, dan Mbok Yem.Selanjutnya ada sikap wara’ yang bisa diartikan sebagai sikap meninggalkan keragu-raguan. Sikap tegas dipersyarati keyakinan akan keputusan yang diambil. Tentu saja dalam hal ini harus dilandasi dengan ilmu dan pengetahuan yang memadai. Dengan hadirnya sikap wara’,
Nakti, Ghazali, Maryaeni, Wujud Pengakuan Adanya…1499
diharapkan seseorang tersebut berlatih untuk lebih berhati-hati dan lebih memperdalam ilmu dan pengetahuan yang sudah dimiliki. Dari sikap taubatan nasuha dan wara’ pada fokus kajian ketiga ini, dipungkasi dengan sikap ridha atau rida. Rida diartikan benar-benar rela dan ikhlas dengan apapun hasil yang diterimanya. Kesusahan atau kebahagiaan bukanlah masalah apabila seseorang menyadari konsep penghambaan kepada Tuhan. Karena memang pada hakikatnya semua bermula dan berakhir sesuai dengan kehendak Tuhan. Saran Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, diajukan dua saran. Pertama, saran untuk kajian bidang sastra. Kajian selanjutnya atas muatan wujud adanya pengakuan norma-norma mutlak dari Tuhan perlu terus dilakukan demi mengetahui perkembangan sastra profetik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran agar sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial kita dapat memperdalam hubungan kita dengan Tuhan. Melalui hal ini, keilmuan sastra menjadi bidang yang mampu memberikan sumbangsih positif terhadap kehidupan aktual masyarakat beragama. Kedua, saran untuk bidang pendidikan. Dengan dilakukannya kajian ini, diharapkan mampu memberikan informasi yang dapat dijadikan nilai tambah oleh para pendidik dalam hal pembelajaran sastra. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa salah satu muara pendidikan adalah moralitas. Kajian transendental dalam hal ini wujud pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tidak hanya berbicara dalam dunia yang abstrak dan jauh, melainkan juga dalam hal pendidikan sebagai sarana pengembangan moralitas keagamaan. Pembelajaran apapun dan atau sastra mestinya diikuti dengan penanaman sikap kesadaran sebagai makhluk ciptaan Tuhan, khususnya jika dihadapkan dengan kehidupan beragama. Pertimbangan ini diharapkan mampu membangun karakter kehati-hatian, ketulusan dan tenggang rasa dalam berhubungan dengan sesama manusia dan kepada Tuhannya. DAFTAR RUJUKAN Arifin, Y. 2011. Meniru Sikap Rasulullah ketika Disakiti. Yogyakarta: Diva Press. As-Sayyid, M. F. 2006. Mengenal Lebih Dekat Keluarga Nabi. Terjemahan oleh Abu Myhammad Dhiya’ul Haq. Jakarta: Rihlah Press. Bisri, A. M. 2008. Lukisan Kaligrafi. Jakarta: Kompas. Hadi, W. M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Penerbit Matahari. Iqbal, M. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Terjemahan oleh Ali Audah, dkk. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur. Yogyakarta: Multi Presindo. Mutaqin, D. Z. 2008. Mengakrabi Al Quran. Yogyakarta: Pustaka Fahima. Nakti, E. K. M. 2010. Karakteristik Tokoh Utama Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri (Pendekatan Objektif terhadap Jenis, Teknik Pelukisan, dan Prinsip Identifikasi Tokoh). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Nasr, S. H. 2003. Esiklopedi Tematis Spiritual Islam (Buku Pertama). Bandung: Mizan. Nawawi, I. 1999a. Terjemah Riyadhus Shalihin jilid 1. Jakarta: Pustaka Amani. Nawawi, I. 1999b. Terjemah Riyadhus Shalihin jilid 2. Jakarta: Pustaka Amani. Sholeh. 2009. Konsep Manusia dalam Buku Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri: Telaah dari Perspektif Islam. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat). Jakarta: Balai Pustaka.