Available online at website : http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/dialektika DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016, 120-152
WAHDATUL WUJUD DALAM PUISI INDONESIA MODERN: MENDISKUSIKAN PUISI-PUISI EMHA AINUN NADJIB Jamal D. Rahman Jurnal Sajak, Indonesia Email:
[email protected]
Absract: By the early of the 17th century, the Malay-Indonesian poetry began with a controversial issue of tasawuf, that of the wahdatul wujud concept. In the Malay-Indonesian literature, the issue has been reproduced ever since with all the controversy, to the Indonesian literature in modern times, one of which is articulated by Emha Ainun Nadjib. This writing discusses the articulation of that concept in the poetry of Emha Ainun Nadjib, by researching the forms of articulation and answering the question of original and novelty about this concept in his poems. Furthermore, it will also be discussed whether the concept contains speculative ideas or mystical experience. Finally, it is concluded that in Nadjib’s poems, speculative ideas mingled with the expression of mystical experience. With this conclusion, the sustainability of the concept in the modern Indonesian poetry is also an effort to further expand and enrich the depth of its meaning. Keywords: wahdatul wujud; sufi; poetry, Malay-Indonesian; Indonesian modern poetry Abstrak: Puisi Melayu-Indonesia dimulai dengan isu tasawuf yang kontroversial di awal abad ke17, yaitu faham wahdatul wujud. Dalam sastra Melayu-Indonesia, isu ini direproduksi dari abad ke abad dengan segala kontroversinya, sampai sastra Indonesia di zaman modern yang salah satunya diartikulasikan Emha Ainun Nadjib. Tulisan ini mendiskusikan artikulasi faham wahdatul wujud dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, dengan melihat bentuk-bentuk artikulasinya berikut apa yang orisinal dan apa pula yang baru dalam puisi-puisinya menyangkut isu ini. Selain itu, didiskusikan apakah wahdatul wujud dalam puisi Emha Ainun Nadjib mengandung gagasan spekulatif ataukah pengalaman mistis? Tulisan ini menunjukkan bahwa dalam artikulasi wahdatul wujud Emha Ainun Nadjib, gagasan spekulatif berbaur dengan ekspresi pengalaman mistis. Dengan itu semua, kesinambungan isu tersebut dalam puisi Indonesia modern adalah juga usaha untuk lebih memperluas dan memperkaya kedalaman maknanya. Kata Kunci: wahdatul wujud; sufistik; syair, Melayu-Indonesia; puisi Indonesia modern Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15408/dialektika.v3i2.5303
Naskah diterima: 13 Oktober 2016, direvisi: 2 November 2016, disetujui: 2 Desember 2016 Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Pendahuluan Tak diragukan lagi bahwa tasawuf merupakan segi penting dalam kebudayaan Melayu-Indonesia. Khususnya sejak awal abad ke-17, di sini tasawuf ―baik praktis (‘amalî) maupun spekulatif (falsafî)― menemukan ranah baru yang subur bagi perluasan pengaruh tasawuf sebagai tradisi spiritual dan intelektual Islam, dengan segala kontroversinya yang menegangkan. Sejak itu pula wilayah Melayu-Indonesia merupakan geografi spiritual dan intelektual Islam di mana praktik dan doktrin tasawuf tertanam dalam-dalam. Tidaklah mengherankan kalau hingga sekarang tasawuf tetap merupakan praktik dan wacana intelektual yang penting di kawasan MelayuIndonesia, tentu saja dengan segala perubahan dalam kesinambungannya. Di zaman Melayu-Indonesia modern, tasawuf tetap memiliki pesona dalam berbagai coraknya, baik tasawuf praktis maupun tasawuf spekulatif ―betapapun keduanya tak selalu bisa dipisahkan. Sementara tasawuf praktis berkembang terutama lewat kelompokkelompok tarekat sebagai persaudaraan sufi, tasawuf spekulatif berkesinambungan baik lewat artikulasi diskursif maupun ekspresi-ekspresi emotif. Salah satu doktrin tasawuf (terutama tasawuf falsafi) adalah faham wahdatul wujud. Faham ini merupakan metafisika sufi yang sampai batas tertentu mendasari tasawuf praktis khususnya dalam upaya mencapai pengalaman ekstase mistis. Secara konseptual, ia terbentuk di abad ke-13, tapi batu-batu pembentukannya dapat dikatakan mulai disusun jauh sebelumnya dalam diaspora tasawuf, dan di masa-masa sesudahnya terus diperkaya atau diperdalam dalam sistem tasawuf. Ide pokoknya adalah pandangan dasar bahwa Tuhan dan alam semesta khususnya manusia merupakan satu kesatuan ontologis. Hal itu demikian karena Tuhan memanifestasikan atau memproyeksikan diri-Nya dalam alam semesta, sehingga alam semesta merupakan manifestasi (tajallî) Tuhan itu sendiri. Quran (Q.S. al-Baqarah, 2: 115) mengatakan, “Timur dan Barat adalah milik Allah, maka ke manapun kalian menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.” Demikianlah Tuhan memproyeksikan diri-Nya ke alam semesta, sehingga seluruh alam semesta merupakan wajah Tuhan itu sendiri. Sejalan dengan itu, Quran (Q.S. al-Hadîd, 57: 3) mengatakan juga, “Dialah yang Awal dan yang Akhir; yang lahir dan yang batin. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dengan demikian, dalam kaitan manifestasi-Nya ini, Tuhan mengandung dua dimensi, yaitu dimensi lahir dan dimensi batin. Tuhan sendiri pada hakikatnya bersifat batiniah, namun dengan memanifestasikan diri-Nya ke dalam alam semesta maka alam semesta merupakan dimensi lahir-Nya. Sebaliknya, karena alam merupakan manifestasi atau proyeksi (tajallî) Tuhan, maka Tuhan adalah aspek batin alam semesta itu sendiri. Dalam konteks itulah, Tuhan dan alam semesta merupakan satu kesatuan ontologi, wahdatul wujud. Dalam konteks itu pula di satu sisi Tuhan bersifat transenden (tanzîh), dan di sisi lain bersifat imanen (tasybîh). Tuhan bersifat transenden dalam wujud batin (bâthiniyyah)-Nya, dan bersifat imanen dalam manifestasi (tajallî)-Nya.
121
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
Transendesi Tuhan ini harus difahami dalam imanensi-Nya, dan sebaliknya imanensi Tuhan harus difahami dalam transendensi-Nya. Penting dikemukakan bahwa, seperti dikatakan Quran di atas, alam semesta merupakan wajah Tuhan, sementara Tuhan merupakan wujud metafisis yang tak terumuskan. Demikian juga bahwa Tuhan adalah Wujud Lahir sekaligus Wujud Batin. Dalam argumen teologis ini, Tuhan dikonsepsikan sebagai suatu kontradiksi atau antagonisme: Tuhan jelas bukan alam semesta namun alam semesta dipandang sebagai wajah-Nya; Tuhan yang merupakan esensi-tak-terumuskan dipandang sebagai Wujud Lahir. Ini tentu saja menimbulkan kesulitas teologis untuk memahami hubungan Tuhan dengan alam semesta. Nah, doktrin wahdatul wujud mencoba mengatasi kontradiksi atau antagonisme konsepsi Tuhan dalam hubungan-Nya dengan alam semesta. Ia mencoba memecahkan kesulitan teologis dalam memahami konsepsi Tuhan yang tampak kontradiktif itu. Sudah jamak diketahui bahwa wahdatul wujud ―kadang disebut juga dengan wujudiyah― merupakan ide yang kontroversial dalam tradisi spiritual dan intelektual Islam. Ia merupakan wacana polemik elit intelektual yang menegangkan di dunia Islam, termasuk di Melayu-Indonesia atau Nusantara. Para penentangnya memandang doktrin tersebut sebagai bidah dan sesat sehingga penganutnya dihukum bahkan karya-karyanya dibakar. Tentu saja polemik keras itu bercampur dengan tendensitendensi sosial-politik yang kompleks. Di Melayu-Indonesia, tokoh pertama yang mengajarkan wahdatul wujud adalah Hamzah Fansuri (diperkirakan w. 1630 M) di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Polemik sekitar isu tersebut berlangsung setelah Nuruddin ar-Raniri (w. 1658 M) menyerang gagasan Hamzah Fansuri.1 Polemik terus berlangsung pada masa-masa berikutnya. Selain Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri, tokoh-tokoh utamanya adalah Syamsuddin Sumatrani (w. 1630 M), Abdurrauf Singkel (w. 1693), Yusuf Al-Makasari (w. 1699 M), Abdul Muhyi Pamijahan (w. 1715), Muhammad Nafis Al-Banjari (l. 1735 M), Abdusshamad AlFalimbani (diperkirakan w. tak lama setelah 1788 M), Muhammad Arsyad Al-Banjari (w. 1812), Ronggowarsito (w. 1873), dan Haji Hasan Mustafa (w. 1930).2 Tampak 1 Polemik Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri, lihat Abdul Hadi WM, Syekh Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, 1995), Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, (Jakarta: Paramadina, 2001) dan Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, (Jakarta: Rajawali, 1983). 2 Kajian tentang tokoh-tokoh ini, baik dalam lingkup khusus maupun lebih luas, termasuk pandangan mereka tentang wahdatul wujud, sudah banyak dilakukan. Untuk menyebut sebagian di antaranya: M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus Samad Al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jadi, (Jakarta: UI-Press, 1988), Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, (Bandung: Pustaka, 1989), Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (KesatuanWujud):Tuhan-Alam-Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), Nabilah Lubis, Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makasari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, (Bandung: Mizan, 1999, cetakan ke-3), Oman Fathurahman, MenyoalWahdatulWujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), H. Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: Srigunting, 2001), Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), dan M. Wildan Yahya, Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi, (Bandung: Refika Aditama, 2007).
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
122
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
bahwa polemik dan artikulasi doktrin wahdatul wujud melibatkan banyak ulama dari berbagai wilayah (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa) dan dalam masa yang berbeda-beda (dari abad ke-17 sampai abad ke-20). Munculnya tokoh-tokoh ini jelas pula menunjukkan luasnya lingkup geografi wahdatul wujud sebagai wacana intelektual dan spiritual Islam Nusantara, sekaligus menunjukkan kesinambungannya dalam rentang waktu yang panjang. Seiring dengan polemik itu, doktrin wahdatul wujud terus diartikulasikan, bahkan dalam cara yang sedemikian rupa dibela dan dinegosiasikan. Maka, khususnya di Indonesia, ia tetap hidup hingga zaman modern ini, bahkan (nyaris) tanpa kontroversi lagi. Jika pun tidak diterima atau disetujui sepenuhnya, setidaknya doktrin tersebut kian dapat difahami. Meskipun di Indonesia tampaknya tak ada orang yang secara terbuka mengaku menganut faham tersebut, faham wahdatul wujud bagaimanapun diekspresikan dan diartikulasikan dalam perkembangan intelektual dan spiritual Islam Indonesia dewasa ini. Dalam konteks itu, sastra Indonesia modern merupakan tempat doktrin wahdatul wujud diekspresikan dan diartikulasikan sehingga doktrin tersebut tetap hidup di Melayu-Indonesia hingga sekarang. Bahkan sastra Indonesia modern, baik prosa maupun puisi, merupakan salah satu tempat ekspresi dan artikulasinya yang penting. Di bidang prosa fiksi, doktrin wahdatul wujud tampak sangat jelas dalam cerpencerpen sastrawan Danarto (l. 1940).3 Sementara dalam puisi, faham wahdatul wujud mengemuka dengan jelas antara lain dalam karya-karya Abdul Hadi WM (l. 1946),4 dan lebih jelas lagi dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib (l. 1953), penyair yang lebih muda dibanding Danarto dan Abdul Hadi WM. Fakta bahwa doktrin wahdatul wujud diekspresikan dan diartikulasikan di Indonesia modern tidak saja menunjukkan kesinambungan doktrin tersebut, melainkan juga― bahkan terutama―membuktikan relevansinya bagi dunia modern. Sudah tentu hanya doktrin yang relevan bagi kehidupan yang akan bertahan dan berkesinambungan. Tanpa relevansi, doktrin akan ditinggalkan dan digantikan dengan doktrin baru yang relevan. Sebagaimana ditunjukkan misalnya oleh Karen Amstrong (2001), sejarah Tuhan selama 4000 tahun dalam tiga agama semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam) adalah sejarah panjang pencarian konsepsi dan citra imajinatif tentang Tuhan yang relevan dan bermakna bagi manusia. Dalam arti itu, lebih dari sekadar relevan, kesinambungan artikulasi doktrin wahdatul wujud di Indonesia modern membuktikan 3 Untuk diskusi tentang wahdatul wujud dalam karya-karya Danarto, lihat Jamal D. Rahman, “Wahdatul Wujud di Indonesia Modern: Pantulan dari Cerpen-cerpen Danarto” dalam Jurnal Kritik, No. 1, 2011. Dapat juga diakses di https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/24/wahdatul-wujud-di-indonesia-modern-pantulan-dari-cerpencerpen-danarto/ 4 Abdul Hadi WM menulis sejumlah puisi yang jelas mengartikulasikan visi sufi, termasuk faham wahdatul wujud. Puisinya yang terkenal dalam hal ini adalah “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (dalam Abdul Hadi WM, Tuhan, Kita Begitu Dekat, [Depok: Komodo Books, 2012]). Dia juga menulis puisi persembahan untuk tokoh-tokoh sufi yang kontroversial karena ajaran wahdatul wujud-nya, yaitu Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, dan Hamzah Fansuri. Untuk diskusi ringkas tentang artikulasi wahdatul wujud dalam puisi Abdul Hadi WM, lihat Jamal D. Rahman, “Islam dalam Puisi Indonesia Modern: Perspektif Sejarah”, dalam Abdul Hadi WM et al. (editor), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
123
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
bahwa faham tersebut bermakna dalam usaha membangun dimensi-dimensi kognitif, intelektual, dan emotif dalam struktur spiritual Islam. Tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana doktrin wahdatul wujud diekspresikan dan diartikulasikan dalam puisi Indonesia modern, dengan mengambil kasus puisipuisi Emha Ainun Nadjib. Telah dikatakan bahwa Emha Ainun Nadjib (l. 1953) adalah generasi yang lebih muda dibanding Danarto (l. 1940) dan Abdul Hadi WM (l. 1946), dua sastrawan Indonesia yang paling artikulatif dan ekspresif dalam mengemukakan doktrin wahdatul wujud. Dengan demikian, Emha Ainun Nadjib adalah perkembangan mutakhir dalam artikulasi dan ekspresi doktrin wahdatul wujud di Indonesia modern, dan merupakan satu corak kesinambungan dari artikulasi doktrin tasawuf tersebut khususnya di Nusantara. Meskipun tulisan ini tidak secara khusus mendiskusikan faham wahdatul wujud dan corak umum pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri, di bagian akhir akan diajukan sedikit perbandingan antara pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan pemikiran tasawuf Emha Ainun Nadjib khususnya berkaitan dengan wahdatul wujud, untuk melihat kesinambungan dan perubahan ekspresi wahdatul wujud dari generasi paling awal artikulatornya di Melayu-Indonesia dengan ekspresi wahdatul wujud dari generasi mutakhir artikulatornya di Melayu-Indonesia itu sendiri. Layanan Sosial dan Visi Sufistik Emha Ainun Nadjib memberikan layanan sosial dan keagamaan lewat dialog dan kesenian, menemui, dan menemani kelompok-kelompok sosial di berbagai wilayah Indonesia, terutama kelompok-kelompok sosial yang tidak atau kurang beruntung baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Layanan sosial ini merupakan panggilan moral hidupnya yang menyala-nyala, terpancar dari hampir seluruh sepak terjang, pandangan, sikap, tulisan (dalam semua genrenya), aktivititas kesenian, ceramah, dan tindakannya, dari hotel bintang lima sampai kampung-kampung kumuh. Layanan itu dilakukan terutama melalui pertemuan-pertemuan rutin di beberapa daerah, yang dihadiri hingga ribuan orang multilintas (lintas-strata, lintas-profesi, lintas-agama, lintas-etnis, lintas-budaya, lintas-usia, dll.). Namun banyak juga layanan sosialnya tak diketahui publik, terutama pendampingan dan pembelaan terhadap kelompok-kelompok sosial yang dirugikan secara sosial-ekonomi-politik, seperti korban pembangunan waduk Kedungombo (Jawa Tengah) dan korban lumpur Lapindo (Jawa Timur). Demikianlah, Emha adalah—dalam kata-kata Ian L. Betts5— “air mengalir ke segala arah”. Dalam konteks itu, Emha Ainun Nadjib adalah pribadi yang memiliki solidaritas, komitmen, dan tanggung jawab kemanusiaan yang sangat tinggi. Memulai “karier” sosial-budayanya di zaman Orde Baru, Emha Ainun Nadjib6 secara sadar memposisikan diri sebagai usaha untuk terus mencoba budaya tanding, baik secara budaya maupun dan lebih-lebih secara politik. Sebab baginya, proses 5 Ian L. Betts, Jalan Sunyi Emha, (Jakarta: Kompas, 2009). 6 Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
124
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
sejarah hanya mungkin berlangsung dengan adanya budaya tanding di berbagai level dan segi, tidak saja dalam menghadapi kekuatan-kekuatan dominan dan mapan, melainkan juga dalam menyikapi nilai, cara berpikir, sikap, kontrak sosial-budaya, dan sebagainya. Demikianlah maka terus mencoba budaya tanding merupakan sikap politiknya dalam kerangka kebudayaan. Dan di hadapan kekuatan dominan, budaya tanding berarti kritik, gugatan, dan perlawanan budaya bahkan politik. Tak pelak lagi, di zaman otoritarianisme Orde Baru, dia adalah sosok yang berbahaya bagi politik zaman itu sehingga penampilannya di depan publik kerapkali dilarang. Tetapi yang penting secara kultural dalam hal ini adalah, dengan cara terus mencoba budaya tanding, Emha membangun suatu sikap kritis agar orang memiliki otonomi individunya secara merdeka, yakni sebuah usaha transformasi sosial-budaya. Komitmen sosial ini dibarengi dengan, atau ditopang oleh suatu visi tentang Islam, suatu visi religius. Bahkan, lebih dari sekadar dibangun di atas visi religius, seluruh orientasi dan aktivitas sosial-budayanya merupakan ekspresi religius itu sendiri. Visi keislaman Emha melampaui batas-batas formalisme agama. Ia berusaha menarik kesadaran agama, cara beragama, penghayatan agama, dan sejenisnya jauh ke dalam jantung agama, yaitu ke dimensi-dimensi kerohaniannya. Maka berbagai ekspresi religius Emha adalah ekspresi dimensi-dimensi kerohanian, dari tataran yang paling eksoteris sampai tataran yang paling esoteris. Dalam kerangka itu, sebagai penyair, Emha mengekspresikan gagasan, kegelisahan, perasaan, dan gugatannya dalam puisi. Sebagaimana dia berbicara masalah sosial dalam puisi, dia mengartikulasikan renungan-renungan religius dalam puisi, dari renungan sederhana hingga renungan yang sangat musykil dan filosofis seperti gagasan wahdatul wujud. Dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, artikulasi wahdatul wujud merupakan suatu perkembangan rohani yang tampak kian matang dan kian dalam dari waktu ke waktu. Artikulasi itu berkembang perlahan dari tahun ke tahun, yang bukan saja menunjukkan kian matangnya artikulasi dan ekspresinya dalam puisi sebagai seni bahasa, melainkan juga menunjukkan kian dalamnya renungan dan penghayatan penyair tentang keberadaan Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta dalam suatu penglihatan rohani. Jelas hal itu merupakan satu titik kulminasi dari ma’rifat pengembaraan spiritual, yang hanya mungkin dicapai lewat berbagai jalan kerohanian yang intens, dengan segala pedih dan perihnya. Dalam puisi-puisi awalnya, yaitu dalam puisi yang ditulisnya pada tahun 1970-an, artikulasi yang diasosiasikan dengan faham wahdatul wujud jarang sekali muncul, dan hanya tampak samar-samar. Sejak awal puisi Emha sudah mengekspresikan semangat religius, namun di situ Tuhan masih dilihat atau diposisikan dalam suatu jarak, baik jauh maupun dekat. Dalam pusi-puisi awalnya, pertemuan dengan Tuhan adalah pertemuan antara aku dan Dia, atau antara aku dan Engkau. Dialog dengan Tuhan adalah dialog antara aku dan Dia, atau antara aku dan Engkau. Penyair berbicara kepada Tuhan, atau berdialog dengan Tuhan dengan cara menghadirkan Tuhan dalam imajinasi puisi-puisinya, atau Tuhan seakan berbicara langsung dalam dialog-
125
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
dialog yang intim. Kepada Tuhan, penyair mengadukan berbagai hal, baik masalah sosial maupun renungan-renungan pribadinya, atau mengekspresikan hubungan yang sedemikian akrabnya dalam suatu momen kerohanian yang sakral. Dalam arti itu, aku dan Tuhan adalah dua entitas terpisah. Atau, aku dan Tuhan secara esensial adalah dualitas. Tetapi bagaimanapun, artikulasi wahdatul wujud dalam puisi Emha merupakan perkembangan logis dari suatu corak religius yang sudah tampak sejak awal kepenyairannya. Corak religius puisi-puisi awal Emha memang sudah mengarah ke dimensi-dimensi tasawuf. Tuhan bukan saja pusat orientasi kehidupan, melainkan pusat orientasi cinta dan kerinduan termasuk terhadap Nabi Muhammad. Spekulasi filosofis sekitar Tuhan dan Nabi Muhammad merupakan obsesi spiritual dan intelektual dalam tradisi sufi. Nabi Muhammad bukan saja figur historis sebagai sumber nilai-nilai agama, melainkan juga figur rohani yang bersifat azali dan abadi, yang tetap hidup dan dapat dijumpai kapan pun dan di mana pun jua Demikianlah sejak awal kepenyairannya di tahun 1970-an, puisi Emha mengekspesikan cinta ilahi (“Sajak”):
… Ah, Tuhan! Demi rembulan yang Engkau ciptakan Buat menggoda! Di semak-semak ini Di hutan gelap yang tercipta dalam gaung jiwa dalam gelegak samudera dalam gelegak darahku yang letih dan maya : kutikamkan pisau ini ke dadaku! (Terimalahsemangatku.Reguklah cintaku!).7
Demikian juga dalam 99 untuk Tuhanku (1983)8, di mana jarak antara aku dan Tuhan masih demikian nyata, cinta dan rindu ilahi terasa menggebu. Memang, di situ ada beberapa pernyataan, pertanyaan, atau renungan bernada protes kepada Tuhan. Misalnya: Tuhanku/ apakah sesungguhnya arti kehendak-Mu/ dengan tak menurunkan lagi/ seorang Nabi pun/ untuk zaman yang membutuhkan/ lebih banyak Nabi-Nabi?9 Tapi bagaimanapun, Tuhan diposisikan sebagai pusat orientasi seluruh hidup dan kesadaran penyair. Dalam kaitannya dengan Tuhan, dalam buku ini puisi-puisi Emha bahkan mengekspresikan gairah dan dahaga rohani yang dalam. Tentu saja, gairah 7 Emha Ainun Nadjib, Sesobek Buku Harian Indonesia, (Yogyakata: Bentang Budaya, 1993), h. 30. 8 Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku, (Bandung: Pustaka, 1983). 9 Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku, …, h. 69.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
126
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
dan dahaga rohani tak lain merupakan ekspresi cinta dan rindu ilahi: Tuhanku Inilah kata-kataku Bahasa paling wadag Dari gairah cintaku Untuk ketemu. Tuhanku betapa masih jauh jarak antara kita ketika masih kubutuhkan ungkapan ungkapan. Tuhanku namun betapa pun inilah sebagian dari ilmu yang Kau ajarkan. Tuhanku dari hari ke hari terus kunanti saat merdeka dari tubuh rung waktu ini di mana asma-Mu tak perlu kupanggil lagi di mana senyum-Mu langsung mengaliri rohku ini.10 Corak religius yang berorientasi pada tasawuf ini melempangkan jalan bagi artikulasi-artikulasi sufistik yang lebih jauh dalam puisi Emha Ainun Nadjib selanjutnya, yaitu dalam buku puisi Lautan Jilbab (1989)11 dan Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990)12. Dalam dua kumpulan puisi ini, artikulasi wahdatul wujud mulai jelas, dan lebih jelas lagi dalam buku puisinya Cahaya Maha Cahaya (1991)13. Dalam Cahaya Maha Cahaya, wahdatul wujud dan gagasan spekulatif tasawuf dengan berbagai nuansa mistisnya diartikulasikan dalam cara yang sedemikian ekspresif dan sangat intens. Tetapi jangan buru-buru menyebut puisinya sebagai puisi sufi atau sastra sufi. Dalam sebuah esainya, Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa tak ada sastra sufi di Indonesia.14 Di situ ia membuat kategori konseptual tentang apa yang disebutnya sastra 10 Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku…, h. 114. 11 Emha Ainun Nadjib, Lautan Jilbab, (Yogyakarta:Yayasan Al-Muhammady, 1989). 12 Emha Ainun Nadjib, Seribu Masjid Satu Jumlahnya:Tahajud Cinta Seorang Hamba. Bandung: Mizan, 2016. Cetakan pertama, 1990). 13 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991). 14 Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 56-62.
127
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
islami,15 sastra nubuwwah (profetik),16 dan sastra tashawwufi (sufistik). Yang relevan dengan makalah ini adalah sastra tashawwufi, yang menurutnyadapat disebut juga dengan sastra ‘isyqî (rindu ilahi, rindu kepada Tuhan), yaitu sastra yang “titik pandangnya hanya satu: Allah.” Dalam esainya itu, Emha juga berbicara tentang prinsip-prinsip metafisika kerohanian sebagai sebuah ancangan untuk menemukan sufi, sekaligus sebagai ancangan bagi apa yang mungkin disebut sastra sufi. Maka dia berbicara dalam skema dan istilah-istilah teknis tradisi tasawuf: syariat, tarekat, hakekat, makrifat, ahad, tauhid, wahid, Allah, ruh, nubuwwah, materi, dll. Apa yang penting di sini adalah bahwa dengan skema konseptual metafisika sufi pun, kata Emha Ainun Nadjib, “Lebih arif untuk berhati-hati dan mengucapkan: tak ada sastra sufi di Indonesia.”17 Pernyataan ini pertama-tama harus dibaca sebagai pernyataan seseorang yang melihat banyak hal dari perspektif sufi. Dilihat dari sudut itu, juga dilihat dari nada pernyataan itu sendiri, pernyataannya bahwa tak ada sastra sufi di Indonesia merupakan sikap merendah dan hati-hati (sebagaimana dikemukakannya sendiri) di satu sisi, dan menempatkan sufi dalam kedudukan yang sedemikian tinggi dan kompleks di lain sisi. Sejurus dengan logika itu, maka mendiskusikan artikulasi faham wahdatul wujud dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib bukanlah klaim bahwa dia secara formal menganut faham tersebut. Apalagi, Emha sendiri cenderung menghindar dari klaimklaim atau atribut-atribut formal. Sebagaimana seluruh sepak terjangnya, puisipuisinya merupakan jalinan kompleks dan sublim dari kategori-ketegori sastra islami, sastra nubuwwah, dan sastra tashawwufî. Jika sastra tashawwufî (sufistik) adalah sastra yang, seperti dikatakan Emha sendiri, titik pandangnya hanya Allah, maka tidak bisa tidak banyak puisinya bercorak sufistik. Bagaimanapun, seperti akan ditunjukkan nanti, puisi-puisinya dengan sangat jelas mengartikulasikan ajaran wahdatul wujud, dan dengan sistem itu pula segi-segi sublim dari corak sufistik puisi-puisi Emha dapat dijelaskan. Antara lain di situlah terletak arti penting puisi-puisi religius Emha Ainun Nadjib di antara puisi-puisi religius penyair-penyair Indonesia yang lain. Banyak puisi Indonesia bercorak tashawwufi (sufistik), namun tak banyak puisi Indonesia yang mengartikulasikan wahdatul wujud sebagai suatu sistem metafisika sufi. Cinta Ilahi yang Pedih Telah dikatakan bahwa sejak awal kepenyairannya, corak religius puisi Emha 15 Dalam definisi Emha, sastra islami adalah suatu kerja kesastraan dalam suatu kerangka kesadaran nilai keislaman baik formal maupun informal, eksplisit maupun implisit: kerangka anatomi nilainya lebih “tertentu” dibanding sastra diniyah. “Tetapi,” kata Emha kemudian, “Islam yang saya maksud di sini bukanlah sebuah Agama yang kita bedakan dengan Budha atau Kristen, lantas kita simplifikasikan dengan memakai idiom universalitas.” Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, …, h. 58. 16 Dalam definisi Emha, sastra nubuwwah adalah suatu jenis karya sastra yang selama ini disebut sastra profetik, yakni yang meletakkan komitmen sosial sebagai substansi tematiknya. Menurut Emha, target-targetnya berada dalam lingkup sosio-kultural. Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, …, h. 58. 17 Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding…, h. 61.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
128
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Ainun Nadjib berorientasi pada tasawuf, khususnya cinta ilahi yang merupakan doktrin penting dalam tasawuf. Cinta ilahi bahkan merupakan doktrin yang mendasari hampir seluruh ajaran tasawuf, sebab Tuhan adalah sang Pecinta sejati (al-wadûd). Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal, cinta mendasari hasrat Tuhan untuk dikenal, dan untuk dikenal ini diperlukan adanya entitas-entitas lain yang akan mengenal-Nya. Maka atas dasar cinta-Nya, Tuhan memanifestasikan diri (tajallâ) menjadi entitas-entitas metafisis, dan selanjutnya menjadi entitasentitas konkret, yakni seluruh alam semesta. Lewat alam semesta yang merupakan manifestasi Tuhan inilah manusia mengenal Tuhan. Dengan demikian, seluruh alam semesta bermula dari cinta-Nya. Dan dengan memanifestasikan diri-Nya dalam alam semesta, maka alam semesta tak lain merupakan wujud konkret cinta Tuhan itu sendiri. Dalam arti itu, alam semesta adalah pancaran cinta ilahi, bahkan merupakan pancaran-Nya sendiri, yang dengan cara itu Tuhan memancarkan cinta-Nya dalam seluruh alam semesta, dan kepada seluruh alam semesta. Dalam mata rantai manifestasi Tuhan tersebut, dari entitas-entitas metafisis sampai entitas-entitas konkret, “manusia sempurna” (insân kâmil) adalah manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Insân kâmil adalah konsep abstrak tentang manusia sempurna, yang secara metafisis bersifat azali, dan mewujud secara konkret pada diri Nabi Muhammad saw. sebagai tokoh historis. Setiap manusia pada dasarnya mengandung potensialitas insân kâmil, terutama karena kepada manusia Tuhan meniupkan ruh-Nya di alam penciptaan (Q.S. Al-Hijr, 15: 29; Q.S .Shâd, 38: 72). Maka adalah panggilan spiritual manusia untuk mengenali Tuhan dengan cara mengenali dirinya sendiri. Dan, sebagaimana Tuhan ingin dikenali atas dasar cinta-Nya, maka atas dasar cinta pula manusia secara spiritual sejatinya terpanggil untuk mengenali Tuhan. Pada titik inilah cinta ilahi merupakan panggilan spiritual: karena manusia adalah manifestasi Tuhan dan cinta-Nya, maka mengarahkan cinta yang paling dalam kepada Tuhan itu sendiri merupakan panggilan spiritual manusia. Cinta ilahi ―baik dalam arti cinta Tuhan kepada manusia dan alam semesta maupun dalam arti cinta dan rindu manusia kepada Tuhan berikut konsekuensikonsekuensi moralnya― mendasari kosmologi dan dunia spiritual bahkan juga orientasi sosial Emha Ainun Nadjib. Baginya, cinta merupakan satu-satunya hal yang diajarkan Tuhan, sebagaimana dikatakan penyair: ... tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta/ kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya (“Tahajjud Cintaku”).18 Di samping itu, sudah sejak awal kepenyairannya, Emha menyapa Tuhan dengan Kekasih dan Sayang, suatu sapaan dalam kemesraan cinta. Bahkan buku puisinya Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990) beranak judul Tahajjud Cinta Seorang Hamba, dan tentu banyak puisi di dalamnya yang secara eksplisit mengemukakan cinta ilahi.19 Demikian juga dalam Cahaya Maha Cahaya (1991), cinta ilahi muncul berkali-kali, dalam berbagai 18 Emha Ainun Nadjib, Seribu Masjid Satu Jumlahnya:Tahajud Cinta Seorang Hamba, (Bandung: Mizan, 2016, cetakan pertama, 1990), h. 27. 19 Di antara puisi-puisi Emha Ainun Nadjib dalam buku puisinya Seribu Masjid Satu Jumlahnya yang secara eksplisit mengekspresikan cinta ilahi adalah “Menjelma Cinta” (h. 11), “Tahajjud Cintaku” (h. 27), “Tuhan Sayang Ya Tuhan Sayang” (h. 28).
129
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
ekspresi dan citraan yang, menurut Sapardi Djoko Damono,20 sebagiannya orisinal.21 Demikianlah cinta ilahi merupakan hal yang sangat mendasar dalam pandangandunia Emha. Tetapi jangan bayangkan bahwa cinta ilahi selalu merupakan suatu kemesraan yang indah. Cinta ilahi memang indah, namun kadangkala justru merupakan sesuatu yang pedih-perih, bahkan juga cinta Tuhan sendiri (“Bait-Bait Cinta-Nya”): Allah mengumandangkan bait-bait cintaNya yang pedih kepada hamba-hambaNya yang berilmu yang menempati singgasana dan memimpin dunia “Kenapakah engkau tidak bergabung bersama bintang-gemintang di langitKu, bersama pepohonan, laut dan sungai di bumi, yang bersamaKu mendendangkan lagu-lagu cinta” “Kenapakah engkau tidak mengucapkan kata-kata yang menarik rasa cintaKu, kenapakah engkau tidak bergerak melakukan sesuatu yang merangsang rangkulan kemesraanKu” .... “Engkau tumpahkan darah saudaramu sendiri, engkau pikir kepada siapakah nyawa, tubuh dan darah itu kembali. Engkau hadang nasib saudaramu sendiri, engkau rebut hak anak cucumu sendiri, engkau sembunyikan milik para tetanggamu sendiri. Di gudang manakah segala hasil pencurian itu engkau simpan, selain gudang yang terselip di antara jarijemariKu” “Tak bisakah ilmu dan peradabanmu yang tinggi dan megah itu mengukur betapa senantiasa Kuluapkan bersamudera-samudera kesabaran bagimu. Berhentilah mendustai jiwamu sendiri. Belajarlah mengenali cinta sejati. Dan ketika Kubangunkan engkau besok pagi, sapalah Aku dengan sebaris puisi”.22 Dalam perspektif sufi, meskipun merupakan manifestasi cinta-Nya, manifestasi Tuhan bagaimanapun merupakan sesuatu yang menyakitkan bagi manusia, oleh karena manifestasi Tuhan itu sendiri memisahkan manusia dari Tuhan. Manifestasi Tuhan melahirkan keterpisahan eksistensial dan spiritual, yang membangkitkan hasrat rohani manusia untuk menyatu kembali dengan Tuhan. Sementara, hasrat yang sangat dalam untuk menyatu kembali dengan Tuhan sendiri merupakan sesuatu yang menyakitkan, suatu siksa rohani. Maka panggilan spiritual cinta ilahi, yakni panggilan rohani manusia untuk mencintai dan senantiasa merindukan Tuhan agar manusia menyatu kembali dengan-Nya, seakan membangkitkan rasa sesal kenapa mengapa Tuhan memanifestasikan diri dengan cara ―dalam kata-kata Emha Ainun Nadjib― 20 Sapardi Djoko Damono,“Pengantar Ringkas”, dalam Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. xi. 21 Di antara puisi-puisi Emha Ainun Nadjib dalam buku puisinya Cahaya Maha Cahaya yang secara eksplisit mengekspresikan cinta ilahi adalah “Bait-Bait Cinta-Nya” (h. 8), “Kecuali Cinta Itu Sendiri” (h. 11), “Tiga Kendaraan Cinta” (h. 27), “Sudah Kubuang-Buang” (h. 56), dan “Ia Bermain Cinta” (h. 62). 22 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 8-10.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
130
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
“membelah diri” (“Membelah Diri”: sayang, kenapa harus membelah diri/ kalau sampai begini sakit/ untuk menyatu kembali// merekah engkau jadi kita/ jadi tuan dan hamba/ panjang jarak tak terkira//... sebab bergulat harus sedemikian nyeri/ jatuh bangun mencari/ tertunda-tunda ketemu diri sendiri.23 Lebih dari itu, cinta manusia kepada Tuhan merupakan cinta antara dua entitas yang secara aksidental berbeda satu sama lain. Tuhan adalah esensi tunggal yang bersifat rohani, sementara manusia bersifat rohani dan jasmani sekaligus. Konsekuensi dari perbedaan entitas ini adalah adanya jarak eksistensial yang begitu jauh antara manusia dan Tuhan. Manusia berada di satu titik sementara Tuhan berada di titik lainnya yang teramat jauh secara eksistensial. Cinta ilahi terasa pedih selama jarak eksistensial tersebut tak terpecahkan. Dalam konteks itu, cinta ilahi, yakni hasrat rohani manusia untuk menyatu kembali dengan Tuhan, merupakan siksa yang abadi, suatu derita yang kekal: ...Selalu, kekasih, selalu saja akhirnya tersisa sepi di wilayah asing jiwaku, di tak terbatas semesta, sunyi hampa menusuk-nusuk dari kedalaman sukma// semacam derita yang kekal, derita yang kekal, kau pasang di urat-urat, sampai menggeletar, kau pendam di jantung, mengetuk, menghantam, menghunjam (“Kekasih, Dengar, Dengar”)24. Dalam puisi yang lain (“Sakitku Ringkik Kuda”), derita rohani dikemukakan sebagai ringkik kuda yang meronta-ronta dan berguling-guling, suatu gambaran derita rohani yang sangat ekspresif: Sakitku ringkik kuda, kudaku merajuk meronta, kudaku mengangkat kaki sematahari, kudaku sakit meringkik, meringkik-ringkik ... Sakitku ringkik kuda, berguling-guling di depan kaki tuhan, kudaku meringkik menggila, kakinya menggedor-gedor keasingan .... 25 Bagaimanapun, cinta ilahi yang begitu kesumat adalah kekuatan yang mengatasi rasa sakit, yang dengan tulus menerima rasa sakit itu sebagai konsekuensi yang mesti diterima dengan lapang. Dalam arti itu maka cinta ilahi merupakan suatu paradoks. Ia menyakitkan sekaligus memberikan suatu kenikmatan. Ia adalah sakit sekaligus obat. Cinta ilahi adalah sakit yang nikmat (“Terbaring”): kepadamu asal muasalku apa kau tunggui saja hingga matiku dalam sakit sepedih ini sudah jelas luka takkan usai karena tempat tinggalnya di rohani 23 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 13. 24 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 29. 25 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 34.
131
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
engkau yang membelah diri kepadaku lihatlah penat aku terbaring menangisimu sudah lama tak bisa kutahan cinta kesumatku sembahyang diiris-iris sembilu.26 Juga puisi “Dalam” berikut ini: lempari aku dengan batu api agar meleleh tubuh deritaku ini lempari aku dengan gumpalan cahaya supaya tahu aku tiada dengan sembahyang mungkin kau menerimaku tapi dengan sakit tak bisa kau elakkan hadirku.27 Cinta ilahi mengandaikan dualitas, yaitu sang pecinta di satu pihak dan yangdicintai di lain pihak; yang-merindukan di satu sisi dan yang-dirindukan di lain sisi. Tetapi dalam perspektif sufi, cinta ilahi justru merupakan prinsip metafisis yang mendasari kesatuan ontologi dan esensial antara Tuhan dan manusia. Telah dikatakan bahwa cinta ilahi adalah alasan bagi adanya alam semesta, termasuk manusia. Tuhan memanifestasikan diri dalam alam semesta atas dasar cinta-Nya, dan berharap manusia ―yang merupakan manifestasi diri-Nya― mengenali-Nya, melalui manifestasi-manifestasi diri-Nya dalam alam semesta. Tuhan bahkan berharap manusia mendekat-menyatu kembali dengan-Nya. Dalam arti itu maka Tuhan dan manusia memang merupakan dualitas, dua wujud yang terpisah satu sama lain. Tetapi bagaimanapun, dualitas ini bersifat eksistensial dan aksidental belaka, tidak esensial, tidak hakiki. Dualitas Tuhan dan manusia sesungguhnya semu belaka. Oleh karena itu, hubungan Tuhan dan alam semesta tak cukup dilihat dari aras eksistensial atau aksidentalnya, melainkan justru harus dilihat pada aras esensialnya.
Wahdatul Wujud: Permainan dan Canda Ilahi Corak religius puisi-puisi Emha Ainun Nadjib berorientasi pada tasawuf bahkan jauh lebih dalam lagi, tidak saja pada cinta ilahi yang merupakan doktrin penting tasawuf, malainkan juga pada tokoh-tokoh sufi paling kontroversial dalam sejarah, yakni tokoh-tokoh yang langsung atau tidak menjadi landasan bagi terbentuknya doktrin wahdatul wujud. Puisi “Tentang Aku Ini Tiada”28 mengutip pernyataan sufi 26 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 9. 27 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 25. 28 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 14-17.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
132
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
yang sangat dikenal di dunia tasawuf, yaitu “aku ini tiada, yang ada Allah belaka.” Pernyataan itu “telah membuat seluruh pencatat sejarah di segala abad tak bisa melupakannya.” Dikatakan bahwa pernyataan tersebut “pernah diucapkan oleh tiga orang dari zaman yang berbeda, tiga orang yang aku kejar hingga ribuan kali melintasi cakrawala.” Lalu dikisahkan bahwa sang aku berhasil menemui “tiga orang dari jaman berbeda” itu, tanpa menyebutkan secara eksplisit siapa mereka. Bagaimanapun, pandangan “aku ini tiada, yang ada adalah Allah belaka” dengan kuat mengandung asosiasi dengan Manshur al-Hallaj dalam khazanah tasawuf, dan dengan Syekh Siti Jenar dalam mistisisme Jawa.29 Manshur Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar mewakili pandangan “ekstrem” tentang kesatuan Tuhan dan manusia. Asosiasi dengan dua tokoh ini tak syak lagi menunjukkan dalamnya orientasi Emha pada tokoh-tokoh sufi, bahkan pada para sufi yang sangat kontroversial karena padangan mereka yang “ekstrem” tentang kesatuan wujud. Bagaimanapun, Tuhan dan manusia merupakan dualitas yang berjauhan secara eksistensial, namun karena manusia merupakan manifestasi Tuhan sendiri, maka Tuhan dan manusia begitu dekat secara metafisis dan spiritual, bahkan merupakan satu kesatuan secara ontologis dan esensial. Dalam puisi “Membelah Diri” dan “Terbaring” (dua puisi Emha yang telah dikutip di atas), manifestasi Tuhan dikemukakan dengan diksi membelah diri. Dalam puisi “Terbaring”, hal tersebut dikemukakan dengan lebih khusus: engkau yang membelah diri kepadaku. Dalam puisinya yang lain, “Ia Bermain Cinta”,30 manifestasi Tuhan dikemukakan dengan: ia [Tuhan] membagi-bagi diri. Secara semantik, diksi membagi-bagi diri sangat dekat dengan diksi membelah diri (yang digunakan dalam puisi “Membelah Diri” dan “Terbaring”). Diksi membelah diri, membelah diri kepadaku, dan membagi-bagi diri mengandung konotasi bahwa manusia dan alam semesta berasal dari Tuhan, bukan melalui suatu penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), sebagaimana umum difahami dan merupakan topik diskusi para filsuf Muslim. Demikianlah maka alam semesta khususnya manusia secara esensial merupakan bagian dan belahan diri Tuhan. Dengan demikian, kesatuan ontologi dan esensial antara Tuhan dan manusia 29 Dalam sejarah tasawuf, ada tiga tokoh sufi yang dihukum mati berkaitan dengan pengalaman mistis atau pandangan tasawuf-filosofis mereka yang kontroversial, terutama berkaitan dengan prinsip “aku ini tiada, yang ada adalah Allah” —yang tentu saja berkelindan dengan faktor-faktor sosial-politik. Ketiga sufi itu adalah Manshur al-Hallaj (w. 923), Ainul Qudhat al-Hamadzani (w. 1131), dan Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191). Untuk diskusi tentang Manshur al-Hallaj, lihat misalnya Sami Makarim, al-Hallâj fî Mâ Wara’a ‘l-Ma`nâ wa ‘l-Khathth wa ‘l-Lawn, (T.tp.: Riâdhu ‘r-Rayyis li ‘l-Kutub wa ‘n-Nasyr, t.th.), dan Qazim Muhammad Abbas, Al-Hallâj: al-A`mâlu ‘l-Kâmilah, (Beirut: Riyâdhu ‘r-Rayyis li ‘l-Kutub wa ‘n-Nasyr, 2002); tentang Ainul Qudhat al-Hamadzani, lihat misalnya Afif Usairan, “Muqaddimatu ‘l-Mushahhih” (“Pengantar Editor”) dalam Ainul Qurdhat al-Hamadzani, Syakwâ ‘l-Gharîb ‘ani ‘l-Awthân ilâ ‘Ulamâi ‘l-Buldân, (Paris: Dâru Babylon, t.th.), yang membandingkan pandangan Ainun Qudhat dengan pandangan al-Hallaj; tentang Suhrawardi, lihat misalnya Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafatu ‘s-Shufiyah fî ‘l-Islâm, (T.tp.: Dâru ‘l-Fikri ‘l-`Arobî, 1969). Sementara itu, dalam mistisisme (Islam) Jawa dikenal tokoh Syekh Siti Jenar yang juga dihukum mati karena ajaran tasawufnya. Lepas dari masalah faktualitas dan historisitasnya, Syekh Siti Jenar sangat mirip dengan al-Hallaj, baik ajaran tasawufnya maupun berbagai versi kisah kematiannya. Itu sebabnya, seringkali dikatakan bahwa adanya kisah Syekh Siti Jenar menunjukkan adanya pengaruh al-Hallaj dalam mistisisme Jawa. Untuk diskusi tentang Syekh Siti Jenar, lihat misalnya Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 2001, cetakan ke-7). 30 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 63.
133
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
diartikulasikan dalam cara yang sedemikian jelasnya, yaitu bahwa Tuhan membelah diri kepadaku, sehingga “aku” (manusia) merupakan belahan diri Tuhan sendiri. Manusia bukan saja manifestasi konkret (tajallî) Tuhan dalam emanasi-Nya yang jauh, melainkan merupakan bagian dan belahan diri Tuhan itu sendiri. Dengan cara itu maka Tuhan dan manusia merupakan entitas tunggal secara ontologis dan esensial. Inilah artikulasi doktrin wahdatul wujud dalam puisi Emha Ainun Nadjib. Dualitas manusia dan Tuhan lebih merupakan konsekuensi eksistensial yang tak terhindarkan dari entitas tunggal yang telah memanifestasikan diri dengan cara membagi diri-Nya. Pada hakikatnya, keduanya bagaimanapun merupakan satu kesatuan wujud. Dengan demikian, dengan diksi membelah diri, puisi Emha tersebut mengemukakan bahwa cinta ilahi bukannya menegaskan dualitas antara Tuhan dan manusia (alam semesta), melainkan justru mendasari gagasan wahdatul wujud sebagai suatu prinsip dalam metafisika sufi.31 Sudah tentu diksi puisi merupakan hal penting dalam artikulasi wahdatul wujud, sebab diksi mengemukakan suatu gagasan tentang bentuk-bentuk artikulasi doktrin wahdatul wujud itu sendiri. Di antara aspek penting artikulasi, wahdatul wujud adalah bentuk-bentuk manifestasi Tuhan, yakni bagaimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya 31 Dalam puisinya yang lain, “Ia Bermain Cinta” (1991: 63), manifestasi (tajallî) Tuhan dikemukakan dengan: ia [Tuhan] membagi-bagi diri. Secara semantik, diksi membagi-bagi diri sangat dekat dengan membelah diri (yang digunakan dalam puisi “Membelah Diri” dan “Terbaring”). Demikianlah maka alam semesta khususnya manusia secara esensial merupakan bagian dan belahan Tuhan. Puisi “Ia Bermain Cinta” mengemukakan manifestasi Tuhan dalam cara yang sedemikian kompleks dan ekspresif, yang akan didiskusikan nanti. Penting dikemukakan bahwa diksi membelah diri dan membagi-bagi diri dalam puisi Emha akan problematis jika ia diletakkan dalam kerangka teologi dan filsafat Islam. Tentang apakah Tuhan terbagi-bagi dalam partikularitas (juz’iyyât), atau pada titik mana partikularitas Tuhan dimungkinkan dari sudut pandang teologi Islam, merupakan topik diskusi para filsuf Muslim. Menurut mereka, keesaan Tuhan yang demikian mutlak mengandaikan bahwa Dia bersifat utuh dan menyeluruh secara bulat. Dia tidak mungkin terdiri dari beberapa unsur, tidak mungkin terbagi-bagi (lâ yatajazza’). Dia esa, utuh, bulat, dan menyeluruh dalam wujud-Nya. Maka, kata Abul Hudzail al-`Allaf (w. 849), salah seorang tokoh Mu’tazilah:
واذا قلت.... اذا قلت ان الله عامل ثبت له علام هو الله.... وهو حي بحياة هي هو، وهوقادر بقدرة هي هو،هو عامل بعلم هوهو ، لله وجه هو هو.... واذا قلت لله حياة أثبت له حياة وهي الله....قادر نفيت عن الله عجزا و أثبت له قدرة هي الله سبحانه .... و نفسه هي هو,فوجهه هو هو
Dia [Tuhan] mengetahui dengan pengatahuan dan pengetahuan itu adalah Dia sendiri; Dia berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Dia sendiri; Dia hidup dengan kehidupan dan kehidupan itu adalah Dia sendiri.... Kalau aku berkata bahwa Allah mengetahui, berarti aku yakin bahwa Dia memiliki pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Allah sendiri.... Kalau aku berkata bahwa Allah Penguasa, berarti aku menolak bahwa Allah lemah sekaligus yakin bahwa Dia memiliki kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Allah sendiri.... Kalau aku berkata bahwa Allah memiliki kehidupan, berarti aku yakin bahwa Dia memiliki kehidupan dan kehidupan itu adalah Allah sendiri.... Allah punya wajah yang wajah itu adalah Dia, maka wajah-Nya adalah Dia sendiri, dan jiwaNya adalah Dia sendiri.... (Dikutip dari Abul Hasan Ali ibn Ismail Al-Asy`ari, Maqâlâtu ‘l-Islâmiyyîn wa ‘khtilâfi ‘l-Mushallîn, [Beirut: al-Maktabah al-`Ashriyyah, 1990], h. 245).
Oleh karena itu, diksi membelah diri dan membagi-bagi diri dalam puisi Emha harus difahami sebagai imajinasi, atau difahami dalam pengertian metaforisnya, atau dalam pengertian esoterisnya. Dan, dalam konteks makalah ini, semua itu hendaknya diletakkan dalam kerangka wahdatul wujud. Sebagai imajinasi, ia digunakan sebagai alat untuk mengemukakan realitas metafisis, yaitu manifestasi Tuhan dalam diri manusia. Namun gambaran yang dikemukakan imajinasi tersebut bukanlah realitas metafisis itu sendiri. Dibaca dalam pengertian metaforis, ia merupakan suatu perbandingan bagi realitas metafisis yang ingin dikemukakan. Sama halnya dengan imajinasi, metafor tidaklah mengemukakan suatu pengertian denotatif, melainkan pengertian konotatif. Dibaca dalam pengertian estoteris, ia mengemukakan makna terdalam dari dimensi-dimensi batini dan rohani yang melampaui aspek lahirnya.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
134
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
dari alam ketuhanan yang bersifat metafisis sampai alam semesta yang bersifat fisis. Dalam puisi Emha Ainun Nadjib, manifestasi Tuhan dikemukakan dalam beberapa diksi atau idiom yang sangat dikenal dalam literatur tasawuf. Misalnya idiom cahaya, roh, jiwa, mabuk, khamr, minuman keras dan bentuk-bentuk turunannya: tuak, candu. Sebagaimana dalam ekspresi para sufi, dalam puisi Emha idiom-idiom tersebut tentu saja digunakan dalam makna metaforisnya, bahkan dalam makna esoterisnya. Yang paling jelas dan paling sering digunakan dalam puisi Emha adalah idiom cahaya, idiom yang sangat disukai oleh para sufi dan jelas sangat disukai juga oleh Emha.32 Dalam perspektif puisi modern, berbagai gambaran tentang manifestasi Tuhan dalam puisi dipandang lebih sebagai citraan imajinatif ketimbang sebagai spekulasi filosofis. Tapi baik sebagai citraan imajinatif maupun spekulasi filosofis, dengan beberapa argumen yang sebagiannya telah dikemukakan, berbagai gambaran tentang manifestasi Tuhan dalam puisi Emha Ainun Nadjib tak lain merupakan artikulasi faham wahdatul wujud. “Cahaya Maha Cahaya”33 adalah puisi Emha yang paling jelas menggunakan idiom cahaya dalam mengartikulasikan manifestasi atau emanasi Tuhan. Puisi ini mengacu pada Quran, atau menimba inspirasi darinya. Frase Cahaya Maha Cahaya sendiri dapat dipandang sebagai terjemahan bebas atas frase nûrun ‘alâ nûr (cahaya di atas cahaya) dalam Quran surah an-Nûr, 24: 35 itu,34 tetapi dapat pula diasosiasikan dengan konsep nûru ‘l-anwâr (cahayanya cahaya-cahaya, cahaya segala cahaya) dalam filsafat iluminasi Suhrawardi al-Maqtûl. Dalam pada itu, puisi tersebut melukiskan manifestasi Tuhan sebagai suatu siklus imajinatif atau metafisis dalam enam hari yang menakjubkan, sebagaimana dikatakan dalam puisi itu sendiri. Sekali lagi ini mengacu pada Quran. Banyak ayat Quran yang menyebutkan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (Q.S. al-A`râf, 7: 54; Q.S. Yûnus, 10: 3; Q.S. Hûd, 11: 7; Q.S. al-Furqân, 25: 59; Q.S. as-Sajdah, 32: 4; Q.S. Qâf, 50: 38; dan Q.S. al-Hadîd, 57: 4). Maka, puisi “Cahaya Maha Cahaya” merupakan tafsir terhadap enam hari yang dikemukakan Quran dalam banyak ayatnya, yang dapat disebut sebagai tafsir imajinasi, atau tafsir metafisika, atau tafsir kerohanian. Puisi “Cahaya Maha Cahaya” mengemukakan suatu imajinasi ―bahkan suatu metafisika sufi atau metafisika sufistik― tentang bagaimana Tuhan memanifestasikan 32 Diskusi tentang cahaya dalam literatur tasawuf mengacu pada banyak ayat Quran tentang cahaya, dalam hal ini terutama surah an-Nûr, 24: 35. Al-Ghazali, misalnya, menulis buku Misykâtu ‘l-Anwâr wa Mishfâtu ‘l-Asrôr, yang merupakan tafsir filosofis terhadap surah an-Nûr, 24: 35 tersebut. Menurutnya, cahaya bertingkat-tingkat dari bawah ke atas, dari yang empiris sampai yang metafisis, dari yang bersifat jasmani sampai yang bersifat rohani, di mana Tuhan merupakan Cahaya Tertinggi. Sebagai Cahaya Tertinggi, maka Tuhan adalah Cahaya Sebenarnya (an-Nûru ‘l-Haq). Dalam arti itulah maka Allah adalah Cahaya langit dan bumi, sebagai secara eksplisit dikatakan Quran dalam surah an-Nûr, 24: 35. Allah adalah Cahaya yang Sebenarnya, Cahaya yang hakiki. Dengan demikian, cahaya bukan sekadar metafor atau majaz untuk Tuhan. Cahaya justru hanya merupakan majaz untuk apa pun selain Tuhan. Lihat al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, Misykâtu ‘l-Anwâr wa Mishfâtu ‘l-Asrôr, (Beirut: ‘Âlam-u ‘l-Kutub, 1986). 33 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 32-33. 34 Emha Ainun Nadjib membacakan Quran surah an-Nûr, 24: 35 ini dalam berbagai kesempatan, seraya membacakan terjemahan bebasnya sebagai puisi. Pembacaan ayat Quran tersebut berikut terjemahannya yang puitis selalu membangkitkan suasana magis. Kadang-kadang ia diucapkan sebagai doa. Dengan demikian, sebagaimana bagi para sufi, surah an-Nûr, 24: 35 tampak merupakan ayat favorit Emha. Maka tidaklah mengherankan kalau dia menggali inspirasi darinya, mengelaborasi imajinasi atau spekulasi filosofis darinya.
135
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
diri-Nya melalui mata rantai emanasi, berikut konsekuensi moralnya bagi manusia, dan keharusan manusia menyatu dengan Tuhan kembali sebagai panggilan moral dan spiritualnya. Dikatakan bahwa dalam enam hari yang menakjubkan itu, Tuhan bermain ruang dan waktu di tangan-Nya. Manifestasi Tuhan mulai aspek metafisisnya sampai aspek empirisnya, mulai segi batin sampai segi lahirnya, adalah permainan Tuhan ―suatu gagasan yang muncul juga dalam puisi “Menderas”35 dan “Ia Bermain Cinta”36. Proses manifestasi Tuhan itu berlangsung dalam enam hari. Tentu saja enam hari di sini tak mungkin difahami secara harfiah, sebab ia merupakan imajinasi tentang ruang dan waktu di luar ruang dan waktu ojektif, atau ia adalah waktu dalam pengertian filosofis. Di sini hari merupakan waktu imajinatif, atau waktu metafisis. Ia lebih merupakan tahapan dalam proses manifestasi atau emanasi Tuhan dan remanasi manusia yang bercorak neo-platonis. Sebagai emanasi atau pancaran cahaya, maka seluruh tahapan manifestasi merupakan mata rantai sebagai satu kesatuan pancaran cahaya. Puisi “Cahaya Maha Cahaya” mengemukakan gagasan bahwa sumber segala sesuatu adalah cahaya maha cahaya. Maka hari pertama adalah cahaya maha cahaya, yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun. Cahaya maha cahaya di sini dapat ditafsirkan sebagai wujud hakiki, wujud mutlak, wujud dzâtî, yang bersifat azali dan abadi sekaligus. Yakni cahaya yang merupakan manifestasi Tuhan dalam diri-Nya sendiri, dari diri-Nya sendiri, bagi diri-Nya sendiri, dengan kesempurnaan diri-Nya sendiri. Dalam arti itu maka cahaya maha cahaya bersifat esa secara hakiki. Ia adalah Aku-yang-Mutlak. Pada titik ini, Tuhan bersifat transenden. Hari kedua adalah kegelapan tiada tara. Manifestasi atau pancaran cahaya maha cahaya pada tahap ini merupakan kontras dari manifestasi pertamanya. Kegelapan mengandaikan rahasia tersembunyi yang ingin diketahui, yang merupakan alasan bagi lahirnya alam semesta, termasuk kegelapan itu sendiri. Di sini kata mulai bisa mengucap, “karena rahasia mulai berlaku di depanmu sebagai rahasia”. Dikatakan dengan cara lain, manifestasi cahaya mahacahaya pada tahap ini merupakan kegelapan tiada tara sebagai rahasia yang sangat tersembunyi. Hari ketiga adalah hari ketika mulai muncul dualitas kau dan aku, dimana kau adalah kau dan aku adalah aku. Di sini, Aku-yang-Mutlak ―dalam kata-kata Emha sendiri― “membagi diri” dan “membelah diri” menjadi dua entitas yang terpisah satu sama lain. Munculnya dualitas ini memulai konsekuensi-konsekuensi lebih jauh dari manifestasi atau emanasi yang kian jauh dari sumber pertama, cahaya maha cahaya. Konsekuensi pertama dari “pembagian diri” dan “keterbelahan diri” ini adalah perbedaan eksistensial antara keduanya, sehingga kau adalah kau, bukan lagi aku. Sebaliknya, aku adalah aku, bukan kau. Di hari keempat, engkau adalah dunia ini, yakni dunia empiris sebagai pancaran terjauh dari cahaya maha cahaya. Pada titik ini, “Kalau kau gembira bukanlah kau yang 35 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 5. 36 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 62-69.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
136
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
bergembira sebab sesungguhnya tak kau perlukan kegembiraan.” Begitu juga, “Kalau kau bersedih kehidupanlah yang bersedih sebab kesedihan tak sanggup menyentuh jiwamu.” Lebih jauh dikatakan, “Kau tak membutuhkan suka-duka, harta atau kepapaan, kau tak terikat oleh penjara atau kemerdekaan, kau lebih perkasa dari ketakutan atau keberanian, kau lebih tinggi dari derajat atau kehinaan, kau lebih besar dari kehidupan atau maut.” Dengan demikian, hari keempat adalah hari kejatuhan manusia di dunia, di mana dia kehilangan dimensidimensi ilahiah dalam dirinya sebagai konsekuensi dari suatu manifestasi dalam dunia empiris. Dunia empiris menjadi tabir bagi asal, sumber, dan esensi dirinya sendiri. Engkau memang ada, tapi: di manakah engkau bersemayam kiranya? Di sini engkau tenggelam di lautan dunia yang hampa lagi maya. Engkau tenggelam dalam bayangbayang. Hari kelima adalah gelap-gulita: engkau sirna; engkau tak engkau. Ini adalah satu gerak remanasi manusia, suatu gerak kembali ke asal, ke sumber, ke esensi dirinya sendiri. Kini engkau sirna. Engkau bukan lagi engkau yang kemaren dulu membutuhkan suka-duka, harta dan kepapaan; Engkau bukan lagi engkau yang terikat oleh penjara dan kemerdekaan. Engkau membebaskan diri dari segala yang tampak secara kasat-mata, dan tenggelam di lautan gelap-gulita secara kasat-mata. Inilah hari yang menjelmakan engkau menjadi cahaya kembali. Di hari keenam, sebagai cahaya engkau menyatu kembali dengan cahaya maha cahaya. Sebagaimana telah dikatakan, puisi “Cahaya Maha Cahaya” ini dapat diasosiasikan dengan filsafat ilmuninasi (al-isyrâq, al-isyrâqiyyah, ‘pancaran cahaya’) Syihabuddin Yahya Suhrawardi al-Maqtûl (w. 1191), filsuf yang mendapat banyak pengaruh dari para sufi seperti al-Basthami dan al-Hallaj. Inti filsafatnya merupakan penjelasan diskursif tentang hubungan Tuhan dengan alam semesta, yang dijelaskan sebagai pancaran cahaya yang bertingkat-tingkat. Menurut Suhrawardi,37 cahaya tertinggi adalah cahaya segala cahaya (nûru ‘l-anwâr), yang merupakan cahaya murni (an-nûru ‘l-mahdl), bersifat esa secara mutlak, tak bisa dan tak perlu didefinisikan. Cahaya segala cahaya ini merupakan sumber dari cahaya-cahaya yang bertingkat-tingkat dan berjenis-jenis di bawahnya, dengan cahaya mandiri (an-nûru ‘l-mujarrad) sebagai pancaran pertama. Yang membedakan cahaya segala cahaya dengan cahaya-cahaya yang dipancarkannya adalah bahwa cahaya maha cahaya bersifat sempurna, sementara cahaya-cahaya yang dipancarkannya tidak sempurna. Ketika cahaya mandiri menyadari ketidaksempurnaannya dibandingkan cahaya segala cahaya, ia memancarkan cahaya pula namun juga melahirkan kegelapan, yaitu alam benda. Demikianlah maka dilihat dari esensi sumber cahaya, alam semesta tak lain merupakan kegelapan. Dalam hubungan cahaya mandiri dengan cahaya-cahaya di bawahnya, cahaya mandiri memiliki sifat memaksa (al-qâhir). Sementara, hubungan cahaya-cahaya yang lebih rendah dengan cahaya mandiri di atasnya merupakan hubungan rindu 37 Syihabuddin Yahya Suhrawardi, Majmû`âtu Mushannafât Syaykh Isyrâq, (Teheran: Ulum Insani, 1373 H [1964], diedit dan diberi pengantar oleh Henry Corbin), h. 106-130.
137
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
dan cinta (`isyq). Dengan kata lain, cahaya mandiri dapat memaksa cahaya-cahaya di bawahnya, sementara cahaya-cahaya di bawahnya ―yang merupakan pancaran cahaya mandiri― senantiasa mencintai dan merindukan cahaya mandiri itu sendiri. Penting dikemukakan bahwa kerja atau gerak memancar dari cahaya segala cahaya ini bersifat terus-menerus alias abadi, sebagaimana cahaya segala cahaya itu sendiri abadi. Tetapi, dengan adanya sifat memaksa cahaya mandiri di satu sisi, dan adanya rasa cinta cahayacahaya di bawahnya di lain sisi, sulit membayangkan bahwa pancaran itu tanpa ujung. Maka, kata Suhrawardi, harus dibayangkan bahwa pancaran itu merupakan suatu gerak siklus atau sirkular (harakah dawriyyah).38 Dari uraian ringkas tentang iluminasi Suhrawardi di atas, dapat dilihat bahwa puisi “Cahaya Maha Cahaya” dapat diasosiasikan dengan filsafat ilmuninasi Suhrawardi setidaknya karena tiga hal. Pertama, frase cahaya maha cahaya sangat dekat dengan frase nûru ‘l-anwâr (cahaya segala cahaya) dalam filsafat iluminasi Suhrawardi, bahkan lebih dekat dibanding dengan frase nûrun `alâ nûr (cahaya di atas cahaya) dalam al-Qur’an (surah An-Nûr/24: 35). Lebih dekat, sebab cahaya maha cahaya mengandaikan bahwa cahaya-cahaya di bawahnya bersumber dari cahaya maha cahaya itu sendiri. Cahaya maha cahaya bukan saja merupakan puncak teratas dari susunan cahayacahaya (sebagaimana asosiasi dalam frase cahaya di atas cahaya [nûrun `alâ nûr]), melainkan merupakan sumbernya. Kedua, gambaran hari kedua dalam puisi itu, yakni kegelapan tiada tara, sangat dekat dengan ide kegelapan dalam emanasi atau iluminasi Suhrawardi. Ketiga, sebagaimana iluminasi Suhrawardi bersifat siklis atau sirkular, demikian juga emanasi cahaya maha cahaya dalam puisi Emha Ainun Nadjib bersifat sirkular. Hubungan cahaya maha cahaya dengan manusia dan alam semesta bukanlah hubungan emanasi (turun) dan remanasi (naik), melainkan hubungan sirkular, yaktni gerak melingkar dari Tuhan ke manusia, lalu ke alam semesta, selanjutnya kembali ke haribaan Tuhan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa wahdatul wujud Emha Ainun Nadjib diartikulasikdan dan/atau dibangun juga dengan iluminasi Suhrawardi. Meskipun tasawuf Suhrawardi merupakan sistem filsafat tersendiri, bagaimanapun ia dapat dijadikan argumen bagi gagasan wahdatul wujud. Seluruh imajinasi atau spekulasi tentang manifestasi dan emanasi cahaya maha cahaya (dalam puisi “Cahaya Maha Cahaya”) mengekspresikan suatu gagasan tentang keterpisahan manusia dari sumber asalnya, yaitu cahaya maha cahaya, mengemukakan keasingan atau bahkan keterpurukan manusia dari esensi dirinya sendiri, sekaligus mengemukakan keharusan moral atau panggilan spiritual untuk kembali kepada sumber asalnya. Sekali lagi, dibaca sebagai pancaran cahaya maha cahaya, maka seluruh tahapan pancaran (mulai cahaya maha cahaya, kegelapan, dualitas kau dan aku, dunia nyata, gelap gulita yang menjelmakan engkau menjadi cahaya kembali, hingga engkau menyatu kembali dengan cahaya maha cahaya) merupakan satu kesatuan pancaran cahaya. Sebagai pancaran cahaya, tahapan-tahapan manifestasi itu secara metafisis tidak terputus-putus. Demikianlah maka seluruh manifestasi tersebut merupakan satu kesatuan wujud, satu kesatuan ontologis. Di sini gagasan 38 Syihabuddin Yahya Suhrawardi, Majmû`âtu Mushannafât Syaykh Isyrâq, …, h. 174.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
138
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
wahdatul wujud diartikulasikan lewat konstruksi imajinasi atau spekulasi metafisika sufi, berupa manifestasi-manifestasi Tuhan dalam emanasi Tuhan itu sendiri dan remanasi manusia. Mengartikulasikan siklus manifestasi Tuhan dari hari pertama sampai hari ketujuh, puisi “Cahaya Maha Cahaya” menekankan segi transendensi Tuhan, yakni Dia sebagai Wujud yang tak terumuskan, Esensi yang tak terjangkau, pesona yang menakjubkan. Dari enam hari manifestasi atau emanasi Tuhan, hanya sehari, yaitu di hari keempat, engkau adalah dunia ini sebagai dunia empiris, dunia yang dikenali. Selebihnya adalah gelap yang penuh rahasia dan cahaya maha cahaya yang penuh pesona namun mustahil difahami sepenuhnya. Dalam perspektif wahdatul wujud, Tuhan bersifat transenden (tanzîh) dari apa pun. Tuhan selalu mengelak dari pengertian dan definisi tentang diri-Nya. Segala rumusan bahasa tentang Tuhan bukan saja mendistorsi wujud Tuhan itu sendiri, melainkan bahkan ―sebagaimana dikatakan penyair― merupakan dusta: ... dulu memang aku siapa/ Kini tak lagi/ Sesudah terang bahasa sedemikian dusta (“Tak Lagi”)39. Tetapi di sisi lain, engkau ―yang merupakan “belahan” Tuhan― memanifestasikan diri dalam dunia konkret, yaitu ketika engkau adalah dunia ini. Pada titik itu, Dia imanen (tasybîh) dalam dunia materi. Dia meliputi (muhîth) alam materi, bersemayam di dalamnya, yang dengan demikian Dia tak terpisahkan dari segala wujud materi sebagai manifestasi Tuhan itu sendiri. Demikianlah maka di satu sisi Tuhan bersifat transenden, namun di sisi lain Dia bersifat imanen. Imanensi Tuhan diartikulasikan dengan sangat ekspresif dalam puisi “Ia Bermain Cinta”.40 Sekali lagi menegaskan cinta ilahi, yakni manifestasi Tuhan sebagai manifestasi cinta-Nya, puisi tersebut mengemukakan imanensi Tuhan dalam kau dan benda-benda konkret seperti darah dan batu. Di sini, manifestasi Tuhan di alam raya digambarkan sebagai suatu orkestra yang dengan imanensi Tuhan itu sendiri alam raya tenggelam di lautan ilahi sebagai permainan cinta-Nya: ia bermain cinta bermain cinta, lewat kau ke ia ia mengalir, berjalan-jalan di kau ia bertualang, bernyanyi, menangis di kau ke ia siapa kau? dulu satu kelak satu namamu dulu ia kelak ia ... 39 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 53. 40 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 62-69.
139
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
hai! ―tarian melonjak― aku ini kau! kaulah aku kau tarian ini! kau sendiri! ... lihat! ia membagi-bagi diri ia bikin diri dua tiga, sejuta, selaksa ... begitu rupanya ia bermain cinta mengada di batu di ujud, di darah-darah matahari minum arak alam bersolek bintang berputar-putar warna dan cahaya berkisar-kisar suara dan sunyi menyusun orkestrasi hai jin dan bidadari! mari tenggelam! lihat ia melesat di panggung temaram ia melompat dari bayangan ke bayangan ia duduk di mana-mana berdiri sambil berbaring bersandar di debu bertolak pinggang di cakrawala bayangannya duduk di singgasana berlagak ia berlagak jadi arca! ia bermain cinta dibikinnya aku ada aku bertanya: hai diri, kau menolak ikut bermain? sinting! teriakku, ini tuak cinta betapa mungkin aku tak turut menenggaknya! ... sayang begini singkat waktunya mabuk belum sepenuhnya sembahyang baru sujud pertama politik dan ideologi hanya setegukan bir puisi cuma segores luka peradaban asap-asap tuak sejarak belum kental benar DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
140
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
air, susu, madu, cairan api baru setangisan bayi hai sang birahi! campakkan aku lagi! ....41 Puisi “Ia Bermain Cinta” di atas mengartikulasikan manifestasi Tuhan lewat kau, dan kembali lagi kepada Dia. Ia memanifestasikan Diri dengan mengalir, berjalanjalan, bertualang, bernyanyi, menangis dan sebagainya di kau, menuju Ia sendiri. Dia pun mengada di batu, di darah-darah. Ia bergerak, geraknya menjadi ruang. Ia bernafas, nafasnya jadi waktu. Maka ruang dan waktu adalah satu. Semua gambaran antropomorfistis ini mengartikulasikan gagasan bahwa Tuhan memanifestasikan Diri dalam alam semesta, dalam kesatuan wujudnya. Siapakah kau, yang kepadanya Tuhan memanifestasikan diri? Dulu, kau adalah satu. Kelak kau adalah satu. Dulu kau adalah ia. Kelak pun kau adalah ia. Dengan demikian, kau dan ia merupakan bagian dari permainan cinta ilahi, dimana keterpisahan kau dan ia merupakan keharusan-sementara bagi kesatuan wujud yang hakiki, azali, dan abadi. Jadi, kau adalah “belahan” Tuhan, “bagian” Tuhan, setelah Tuhan membagi-bagi diri-Nya menjadi selaksa kau yang tak terhingga. Dalam konteks wahdatul wujud, yang penting digarisbawahi adalah bahwa manifestasi Tuhan dalam alam semesta ini (yang dalam puisi di atas digambarkan dengan mengalir, berjalan-jalan, bertualang, bernyanyi, menangis, mengada, bergerak, bernafas, dan seterusnya melalui alam) mengartikulasikan imanensi Tuhan dalam alam semesta. Imanensi Tuhan merupakan satu segi-tak-terpisahkan dari transendensi Tuhan itu sendiri. Dengan gambaran yang begitu konkret sebagaimana dikemukakan dalam puisi “Ia Bermain Cinta”, Tuhan ambil bagian dalam seluruh hidup manusia dan alam semesta yang demikian empiris. Dia imanen dalam alam semesta, sebab alam semesta merupakan manifestasi-Nya, proyeksi-Nya, eksternalisasi diri-Nya, pancaran cahaya-Nya, dan dengan cara itu maka alam semesta merupakan wajah Tuhan, sehingga ke mana pun manusia menghadapkan wajahnya, yang tampak baginya tak lain adalah wajah Tuhan jua. Sebagaimana dinyatakan dalam puisi “Ia Bermain Cinta”, manifestasi Tuhan dalam berbagai cara dan bentuk ini merupakan cara Tuhan bermain cinta. Telah dikatakan bahwa cinta merupakan alasan Tuhan mengeksternalisasi dan memanifestasikan diri-Nya dalam alam nyata. Maka Dia bermain cinta dengan dan di dalam alam nyata yang merupakan bayangan-Nya sendiri. Hidup di dunia sebagai permainan dan senda gurau dikemukakan dalam beberapa ayat al-Qur’an (Q.S. alAn`âm, 6: 32; Q.S. al-`Ankabût, 29: 64; Q.S. Muhammad, 47: 36; dan Q.S. al-Hadîd, 57: 20). Atas dasar ayat-ayat itu, maka manifestasi Tuhan di dunia merupakan cara Tuhan bermain dan bersenda gurau. “Kehadiran” dan “keterlibatan” Tuhan secara imanen dalam kehidupan, yang dalam puisi tersebut digambarkan dengan berbagai imajinasi yang begitu konkret, merupakan permainan dan canda ilahi. Permainan
141
41 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 62-69.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
cinta dan canda ilahi itu dijalankan dengan keriangan meluap-luap dan kadang dengan kejutan. Karena manifestasi Tuhan di dunia merupakan manifestasi cinta-Nya, maka manifestasi Tuhan dalam kehidupan konkret di dunia merupakan permainan cinta ilahi dan canda ilahi. Puisi “Ia Bermain Cinta” menggambarkan manifestasi Tuhan dalam kehidupan di dunia, dan gambaran tentang manifestasi Tuhan dalam kehidupan di dunia itu mengartikulasikan imanensi Tuhan. Demikianlah maka dengan imanensi-Nya Tuhan bermain-main dan bercanda dalam kehidupan dunia. Tuhan bermain cinta dan bersenda gurau melalui manifestasi dan imanensi Tuhan itu sendiri di alam nyata, terutama dalam diri manusia. Ini merupakan tafsir orisinal Emha atas pernyataan ayatayat Quran bahwa hidup di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Bandingkan dengan penafsiran para ulama tentang ayat-ayat tersebut yang menyatakan bahwa hidup di dunia hanyalah permainan dan senda gurau (Q.S. al-An`âm, 6: 32; QS al-`Ankabût, 29: 64; Q.S. Muhammad, 47: 36; dan Q.S. al-Hadîd, 57: 20). Pada umumnya ulama menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagai suatu pernyataan bahwa kehidupan di dunia lebih rendah dibanding kehidupan di akhirat. Thabari42 (dalam Tafsîru ‘t-Thabarî) mengatakan bahwa hidup di dunia hanyalah permainan dan senda gurau kecuali hidup di jalan Tuhan dan mengharapkan rida-Nya. Ibnu Arobi43 (dalam Tafsîr Ibni ‘Arobî) mengatakan bahwa la`ib (permainan) adalah sesuatu yang tak punya dasar, tak punya hakikat, dan fana belaka. Qurthubi44 (dalam Tafsîru ‘l-Qurthubî) mengatakan bahwa hidup di dunia dikatakan sebagai permainan dan senda gurau karena hidup di dunia sangat sementara, bagai mimpi orang tidur. Hal senada dikatakan oleh Ibnu Katsir45 (dalam Tafsîru Ibni Katsîr). Dengan demikian, permainan (la`ib) dan canda (lahw) dalam Quran ditafsirkan sebagai ungkapan peyorasi tentang kehidupan di dunia untuk menekankan supremasi kehidupan akhirat. Juga untuk menggarisbawahi orientasi moral dan religius dalam kehidupan di dunia sebagai landasan bagi kehidupan akhirat. Imanensi Tuhan dalam diri manusia dikemukakan secara khusus dalam puisi “Menderas”. Puisi ini bertutur tentang dua aku dalam diri aku sendiri, yaitu aku dan aku yang allah. Aku yang allah ini menderas, mengalir, dan menggelombang di dalam diri aku. Antara aku dan aku yang allah ganti-mengganti, menghilang dan menjelma kembali, menyatu, berpisah, dan seterusnya. Aku yang allah dalam diri aku merupakan imanensi Tuhan. Sekali lagi, dengan imanensi-Nya dalam diri manusia, Tuhan bercanda, dan bermain-main: Menderas di darah Aku yang lain, aku yang allah Menderas, mengalir kepadaku Seperti aliran sungaiku ke lautnya Menderas, menggelombang 42 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Tafsîru ‘t-Thabarî, (T.tp.: Al-Maktabatu ‘s-Syâmilah, t.th.). 43 Abu Bakar Muhyiddin Ibnu Arobi, Tafsîr Ibni ‘Arobî, (T.tp.: t.p., t.th.). 44 Abu Abdillah Al-Qurthubi, Tafsîru ‘l-Qurthubî, (T.tp.: Al-Maktabatu ‘s-Syâmilah, t.th.). 45 Ismail bin Umar Al-Quraisyi Ibnu Katsir, Tafsîru Ibni Katsîr, (T.tp.: Al-Maktabatu ‘s-Syâmilah, t.th.).
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
142
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Seperti ombaknya pada airku Kami ganti mengganti Saling mengaku, mengia, mengaku Kami berdenyut bagai satu Kami bergiliran bagai dua Kami menghilang, menjelma aku Sesukanya, sesuka kami, sesukaku Kami bercanda, siang malam bercanda Bermain-main hidup di dunia.46 Wahdatul Wujud dan Mabuk Ilahi Wahdatul wujud pada dasarnya merupakan konsep diskursif. Ia merupakan spekulasi filosofis dan argumen rasional sebagai metafisika sufi. Sementara, terutama dalam pengertian modern, puisi lebih merupakan ekspresi emotif. Ia meluapkan dimensi-dimensi terdalam dari perasaan, situasi batin, dan dunia rohani.47 Oleh karena itu, meskipun puisi Emha Ainun Nadjib mengartikulasikan wahdatul wujud, bagaimanapun ia mengekspresikan juga dimensi-dimensi emotif dan religius dari pengalaman kerohanian. Dalam beberapa puisinya, dimensi-dimensi emotif dan religius itu sedemikian intens, sehingga terasa sebagai ungkapan ekstase mistis, mabuk rohani atau mabuk ilahi. Demikianlah puisi “Ia Bermain Cinta”, misalnya, dengan sangat ekspresif menghadirkan situasi batin yang sedang mabuk ilahi, menggambarkan suasana batin yang sedang mabuk rohani. Ia merupakan luapan emosi dan gairah kerohanian dalam momen spiritual yang begitu mistis. Dalam mabuk ilahi itu, momen kehadiran Tuhan dan perasaan bersatu dengan-Nya terasa begitu singkat. Mabuk ilahi dikemukan secara eksplisit dalam puisi “Aku Mabuk Allah”. Di sini, seluruh ungkapan terasa sebagai ekstase mistis ―semacam ungkapan tak terkontrol (syathahât) dalam tradisi sufi. Suasana yang terbangun pun terasa begitu mistis dan magis: aku mabuk allah semata-mata allah 46 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 5. 47 Hamzah Fansuri mengemukakan gagasan wahdatul wujud-nya dalam syair (puisi), namun juga mengemukakannya dalam wacana diskursif, antara lain dalam karyanya Zînatu ‘l-Wâhidîn (lihat dalam Hadi WM [1995: 79-102]). Demikian juga Ibnu Arobi (w. 1240), filsuf dan sufi asal Andalusia kepada siapa doktrin wahdatul wujud mula-mula dirujukkan karena dialah yang paling artikulatif dalam mensistematisasi doktrin tersebut dalam berbagai karyanya. Ibnu Arobi mengemukakan gagasan-gagasan wahdatul wujud-nya dalam puisi, namun juga mengemukakannya secara lebih komprehensif melalui wacana diskursif dalam karyanya, baik dalam at-Tajalliyâtu ‘l-Ilâhiyyah (1988), al-Hubbu wa ‘l-Mahabbatu ‘l-Ilâhiyyah (1992), arRosâilu ‘l-Ilâhiyyah (2007), Fushûshu ‘l-Hikam (2016), maupun dalam maqnum opus-nya yang terdiri dari 14 jilid tebal-tebal, al-Futûhâtu ‘l-Makkiyyah (1985). Puisi-puisi Ibnu Arobi bertebaran dalam karya-karyanya ini, yang kemudian dikumpulkan dalam Dîwânu Ibni `Arobî (1996). Dengan demikian, dalam mengemukakan gagasan wahdatul wujud, puisi digunakan lebih untuk memperkuat spekulasi atau argumen-argumen diskursif. Atau sebaliknya, gagasan wahdatul wujud yang dikemukakan dalam puisi sufi harus dicari penjelasan rasionalnya dalam karya-karya diskursif sufi itu sendiri.
143
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
segala-galanya allah tak bisa lain lagi ... nyamuk tak nyamuk kalau tak mengabarkan allah langit tak langit kalau tak menandakan allah debu tak debu badai tak badai kalau tak membuktikan allah kembang tak mekar kalau tak allah mabuklah aku mabuk allah tak bisa lihat tak bisa dengar cuma allah cuma allah kalau matahari memancar siapa sebenarnya yang menyinar kalau malam legam siapa hadir di kegelapan kalau punggung ditikam siapa merasa kesakitan mabuklah aku mabuk allah kalau jantung berdegup siapa yang hidup kalau menetes puisi siapa yang abadi allah semata allah semata ....48 Dilihat dari perspektif tasawuf, puisi “Aku Mabuk Allah” di atas mengartikulasikan wahdatu ‘s-syuhûd, yang secara konseptual berbeda dengan wahdatul wujud. Wahdatu ‘s-syuhûd adalah kesatuan ilahi yang dicapai dengan penglihatan batin. Yakni momen mistis di mana seseorang mencapai Tuhan, bersatu dengan Tuhan, dan melihat Tuhan dengan mata rohaninya dalam suatu pengalaman spiritual. Dalam situasi mabuk Allah, yang tampak adalah Allah semata, segalanya tenggelam di lautan Allah, dan segalanya adalah Allah. Dalam kondisi mistis itulah seseorang mengalami mabuk ilahi, mencapai fanâ’ (perasaan lenyap di lautan ketuhanan), hulûl (perasaan bahwa Tuhan merasuk ke dalam dirinya), ittihâd (perasaan menyatu dengan Tuhan), dan ittishâl (perasaan mencapai esensi Tuhan). Semua situasi ini merupakan momen mistis yang penuh emosi rohani dalam psikologi sufi. 48 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 54-55.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
144
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Persoalannya adalah apakah momen mistis yang penuh emosi rohani itu mengartikulasikan wahdatul wujud? Apakah puisi-puisi Emha Ainun Nadjib yang mengartikulasikan momen mistis yang bersifat personal itu dapat difahami sebagai mengartikulasikan wahdatul wujud? Beberapa sarjana seperti Mahmud49, at-Taftazani50, dan al-Qasyani51 membedakan antara wahdatul wujud dan wahdatu ‘s-syuhûd. Mereka mengatakan bahwa fanâ’ (perasaan lenyap di lautan ketuhanan), hulûl (perasaan bahwa Tuhan merasuk ke dalam diri), ittihâd (perasaan menyatu dengan Tuhan), dan ittishâl (perasaan mencapai esensi Tuhan) bukanlah wahdatul wujud, melainkan wahdatu ‘s-syuhûd. Oleh karena itu, menurut mereka, para sufi wahdatu ‘s-syuhûd ―seperti Abu Yazid Al-Basthami yang mengajarkan fanâ` dan Al-Hallaj yang mengajarkan hulûl― bukanlah penganut wahdatul wujud. Secara konseptual, wahdatul wujud memang berbeda dengan wahdatu ‘s-syuhûd, yakni berbagai pengalaman rohani dalam penyatuan ilahi. Wahdatul wujud merupakan konsep metafisis, diskursif, dan rasional tentang kesatuan wujud (ontologis) antara Tuhan dan alam semesta. Sedangkan wahdatu ‘s-syuhûd merupakan konsep kerohanian di mana Tuhan dan alam semesta merupakan satu kesatuan dalam pandangan mata batin sebagai momen mistikal, atau kesatuan dalam pandangan mata rohani sebagai pengalaman spiritual. Dikatakan dengan cara lain, wahdatul wujud lebih bersifat kognitif dan filosofis, sementara wahdatu ‘s-syuhûd lebih merupakan momen mistis dalam pengalaman rohani. Wahdatul wujud bersifat teoretis; wahdatu ‘s-syuhûd bersifat praktis. Wahdatul wujud bersifat rasional; wahdatu ‘s-syuhûd bersifat experiential. Tetapi bagaimanapun, secara historis doktrin wahdatul wujud terbentuk melalui perjalanan panjang pengalaman-pengalaman mistis para sufi seperti al-Basthami dan al-Hallaj. Pengalaman-pengalaman mistis mereka adalah wahdatu ‘s-syuhûd, yang menjadi fondasi bagi doktrin wahdatul wujud kemudian. Dalam arti itu, wahdatul wujud sebagai teori filsafat sufi menemukan pengalaman konkretnya dalam wahdatu ‘s-syuhûd. Dikemukakan dengan cara lain, wahdatul wujud merupakan landasan teoritis bagi wahdatu ‘s-syuhûd, sementara wahdatu ‘s-syuhûd merupakan satu bentuk praksis wahdatul wujud dalam pengalaman kerohanian. Demikianlah maka meskipun keduanya berbeda secara teoritis dan konseptual, wahdatu ‘s-syuhûd atau berbagai pengalaman penyatuan ilahi bagaimanapun mengartikulasikan wahdatul wujud, paling tidak sampai batas tertentu. Lebih dari itu, jika tajalliyât (bentuk-bentuk eksternalisasi, manifestasi, dan proyeksi Tuhan dalam alam semesta) merupakan kata kunci dalam doktrin wahdatul wujud, maka pengalaman mistis membangkitkan kesadaran tentang manifestasi Tuhan itu sendiri dalam bentuknya yang begitu intens sebagai pengalaman rohani. Pada titik itu manifestasi Tuhan tak hanya difahami secara kognitif dan rasional, melainkan 49 Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafatu ‘s-Shufiyah fî ‘l-Islâm, (T.tp.: Dâru ‘l-Fikri ‘l-`Arobî, 1969), h. 381. 50 Abul Wafa al-Ghanimi At-Taftazani, Madkhal ilâ ‘t-Tashawwufi ‘l-Islâmî, (Cairo: Dâru ‘ts-Tsaqâfah li ‘n-Nasyr wa ‘t-Tauwzî`, 1979), h. 130. 51 Abdurraziq Al-Qasyani, “Tashdîr” dalam Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushûsh-u ‘l-Hikam, (Cairo: Dâr-u Âfâq li ‘n-Nasyr wa ‘t-Tawz`, 2015), h. 25.
145
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
juga dialami dan dihayati secara spiritual bahkan secara mistis. Pengalaman spiritual dan mistis sebagai mabuk ilahi ini memberikan intensitas tersendiri pada kesadaran rasional tentang manifestasi dan imanensi Tuhan terutama secara rohani. Demikianlah maka ekspresi-ekspresi sufistik dalam puisi Emha Ainun Nadjib yang menggambarkan penyatuan mistis (seperti “Ia Bermain Cinta” dan “Aku Mabuk Allah”) merupakan artikulasi wahdatul wujud juga. Apalagi, seperti dikatakan tadi, puisi lebih merupakan ekspresi emotif dan dimensi-dimensi rohani. Mabuk ilahi dalam berbagai bentuknya adalah ekspresi rohani, yang dengannya penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya terasa begitu intens. Maka, mabuk ilahi yang diartikulasikan dalam puisi ―dengan berbagai imajinasi dan asosiasi yang dibangkitkan oleh ungkapan-ungkapan metaforis dalam puisi itu sendiri― mengintensifkan gambaran tentang penyatuan mistis sekaligus mengintensifkan ekspresi gagasan kesatuan ontologis. Seluruh imajinasi dalam puisi Emha yang melukiskan mabuk ilahi mengemukakan pengalaman mistis di satu sisi dan mengartikulasikan gagasan wahdatul wujud di lain sisi. Pada dasarnya, doktrin wahdatul wujud dalam puisi Emha Ainun Nadjib diartikulasikan dalam corak yang lebih bersifat emotif ketimbang kognitif, lebih bersifat praksis rohani ketimbang teoritis-rasional, terutama karena bahasa puisi pada dasarnya memang bersifat emotif. Itu sebabnya, berbagai artikulasi wahdatul wujud dalam puisi Emha Ainun Nadjib kadang penuh gelora, penuh luapan perasaan sebagai gejolak batin yang menggebu-gebu, namun kadang dikemukakan sebagai suasana batin yang demikian tenang, misalnya seperti terasa dari puisi (“Dalam”) berikut ini: Segala tak enak dikerjakan Kecuali hening sembayang Diri sedang tak dunia Diri sedang tak bercanda Diam ya semesta, diam Diam ya indera, diam Rembulan yang membisu di angkasa Sedang menaburkan suara.52 Simpulan Tulisan di atas disimpulkan bahwa puisi-puisi Emha Ainun Nadjib mengartikulasikan wahdatul wujud, doktrin tasawuf yang di Melayu-Indonesia muncul pada awal abad ke-17 dengan Hamzah Fansuri sebagai tokoh pertamanya, dan pada abad-abad berikutnya menjadi polemik relatif luas di kalangan para ulama Nusantara. Dapatlah dikatakan bahwa Emha Ainun Nadjib adalah penyair Indonesia yang paling ekspresif dalam mengartikulasikan doktrin wahdatul wujud dalam puisi-puisinya. 52 Emha Ainun Nadjib, Cahaya Maha Cahaya, …, h. 26.
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
146
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Dalam puisi Emha, doktrin tersebut diartikulasikan dengan beberapa cara. Antara lain dikatakan bahwa Tuhan membagi-bagi diri-Nya kepada manusia. Dikatakan pula bahwa Tuhan membelah diri menjadi manusia. Dengan demikian, manusia secara esensial dan spiritual merupakan bagian dan belahan diri Tuhan. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia di sini tentu saja marupakan pars pro toto. Bukan hanya manusia yang merupakan bagian dan belahan diri Tuhan, melainkan seluruh alam semesta. Demikianlah maka manusia dan alam semesta adalah manifestasi, realisasi, dan eksternalisasi Tuhan, yang dengannya Tuhan dan alam semesta merupakan satu kesatuan ontologis. Lebih jauh, wahdatul wujud diartikulasikan dengan iluminasi atau pancaran cahaya maha cahaya, yang secara siklis memancar menjadi manusia, alam semesta, dan selanjutnya manusia menyatu kembali dengan cahaya maha cahaya. Karena manusia dan alam semesta merupakan pancaran ilahi, maka Tuhan di satu pihak dan manusia dan alam semesta di lain pihak secara esensial merupakan satu kesatuan. Sebagaimana doktrin wahdatul wujud pada umumnya, wahdatul wujud dalam puisi Emha Ainun Nadjib mengekspresikan dialektika antara transendensi Tuhan dan imanensi-Nya. Tuhan demikian transenden di satu sisi, namun juga demikian imanen di lain sisi. Dalam puisi Emha, transendensi Tuhan diartikulasikan terutama dengan idiom cahaya maha cahaya, suatu wujud metafisis yang bersifat mutlak dan tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun. Sementara, imanensi Tuhan diartikulasikan dengan beberapa cara, terutama bahwa dalam diri aku ada aku yang lain, yaitu aku yang allah. Dikatakan dengan cara lain, di dalam diri manusia ada dua aku, yaitu akumanusia dan aku-yang-allah. Dengan cara itu maka Tuhan selalu imanen dalam diri manusia. Sekali lagi, sebagai bagian dari alam semesta, manusia di sini adalah pars pro toto. Demikianlah maka imanensi Tuhan dilukiskan juga dengan “kehadiran” dan bahkan “keterlibatan” Tuhan dalam kehidupan konkret, misalnya lewat gambaran Tuhan mengalir, berjalan-jalan, bertualang, bernyanyi, menangis, mengada, bergerak, bernafas, melesat di panggung temaram, melompat dari bayangan ke bayangan, berlagak jadi arca, dan sebagainya. Dalam puisi Emha Ainun Nadjib, imanensi Tuhan adalah cara Tuhan itu sendiri bermain-main dan bersenda-gurau dalam hidup di dunia. Tuhan imanen dalam alam semesta, dan dengan imanen dalam alam semesta itu Dia bermain-main dan bersendagurau dalam kehidupan konkret. Ini merupakan tafsir orisinal atas ayat-ayat al-Quran (a.l. QS al-An`âm/6: 32) yang menyatakan bahwa hidup di dunia merupakan sendagurau dan permainan. Karena hidup di dunia adalah senda-gurau dan permainan sebagaimana dikatakan al-Quran, maka dengan imanensi-Nya Tuhan bersenda-gurau dan bermain-main dalam hidup di dunia. Dengan demikian, kehidupan dunia adalah tempat Tuhan bermai-main dan bersenda-gurau melalui imanensi-Nya, apalagi alam semesta merupakan manifestasi-Nya sendiri. Karena Tuhan memanifestasikan diri dalam alam semesta atas dasar cinta-Nya, maka alam semesta adalah tempat Tuhan bermain cinta.
147
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
Penting pula digarisbawahi tendensi-tendensi mistis (wahdatu ‘s-syuhûd ) di satu sisi dan tendensi-tendensi spekulatif (filosofis) di sisi lain. Pada dasarnya, wahdatul wujud lebih merupakan konsep spekulatif atau filosofis ketimbang konsep mistis dalam pengalaman spiritual. Dalam puisi Emha Ainun Nadjib, tendensi-tendensi mistis berbaur sedemikian rupa dengan tendensi-tendensi spekulatif. Beberapa puisinya terasa begitu mistis, yakni mengartikulasikan (gagasan tentang) pengalaman spiritual, seperti rindu ilahi, cinta ilahi, dan mabuk ilahi. Tapi bagaimanapun dengan cara itu ia mengekspresikan segi-segi spekulatif dari metafisika sufi, khususnya wahdatul wujud. Secara teoritis, wahdatul wujud merupakan landasan bagi kesatuan mistis yang mungkin dicapai dengan penglihatan rohani (wahdatu ‘s-syuhûd). Dalam arti itu, baik tendensi mistis maupun tendensi spekulatif dalam puisi Emha Ainun Nadjib secara bersamasama mengartikulasikan gagasan wahdatul wujud. Untuk mengakhiri kertas kerja ini, kiranya penting membandingkan Emha Ainun Nadjib misalnya dengan Hamzah Fansuri, artikulator dan bahkan penganut pertama faham wahdatul wujud di Melayu Nusantara pada awal abad ke-17. Hal itu berguna untuk melihat kesinambungan doktrin tersebut dan perubahannya di zaman modern. Sudah tentu perbandingan ringkas ini tidak akan memadai (dan memang bukan tujuan kertas kerja ini), sehingga ia lebih merupakan proposal bagi pengkajian lanjutan yang mesti dilakukan. Kesinambungan yang sangat jelas antara Hamzah Fansuri dan Emha Ainun Nadjib terletak pada doktrin yang mendasari orientasi tasawuf mereka khususnya wahdatul wujud. Doktrin itu adalah cinta ilahi dan rindu ilahi serta mabuk ilahi. Cinta ilahi, rindu ilahi, dan mabuk ilahi dikemukakan dengan sangat intens dalam syairsyair Hamzah Fansuri dan diartikulasikan dengan sangat ekspresif dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib. Idiom-idiom minuman rohani yang memabukkan muncul berulang kali dalam syair-syair Hamzah Fansuri, termasuk idiom arak (yang muncul pula dalam puisi Emha Ainun Nadjib). Sudah tentu ada perbedaan nuansa pada keduanya. Pada Hamzah Fansuri, cinta ilahi dan rindu ilahi serta mabuk ilahi terasa begitu normatif, sementara pada Emha Ainun Nadjib terasa begitu emotif. Berkaitan dengan isu ini, berikut contoh syair Hamzah Fansuri: Ada kekasih di padang ghaib Daim berlindung di rumah talib Amarnya datang terlalu ghalib Mencari dia akan kita wajib Kekasih itu bukannya satir Ke tengah pekan datangnya zahir Berjual arak di dalam takir DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
148
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Itulah asyik mabuknya sakir ….53 Adalah penting menggarisbawahi kesinambungan satu segi yang agak problematis secara konseptual, yaitu kesinambungan baurnya artikulasi pengalaman-pengalaman mistis dan gagasan-gagasan spekulatif. Sebagaimana telah dikatakan, beberapa sarjana membedakan antara wahdatul wujud sebagai gagasan spekulatif/filosofis dan wahdatu ‘s-syuhûd sebagai pengalaman mistis/spiritual. Namun dalam syair-syair Hamzah Fansuri, tendensi spekulatif/filosofis dan tendensi mistis/spiritual sama belaka, dan keduanya saling menjelaskan satu sama lain. Tendensi spekulatif dan tendensi mistis secara bersama-sama mengartikulasikan doktrin wahdatul wujud. Hal itu tampak misalnya dalam syair “Laut Mahatinggi” Hamzah Fansuri berikut: … Di laut ‘ulya yogya berhanyut Dengan hidup suwari jangan berkabut Katakan ana ‘l-haq jangan kau takut Itulah ombak menjadi laut Zahir anggamu zahir rupanya Batinmu da’im ada mulanya Jika hendak berlihat dengan mukanya Menjadi Mansur ke atas sulanya. ….54 Syair di atas mengacu pada Manshur al-Hallaj, sufi yang terkenal dengan ucapan kontroversialnya “ana ‘l-haq” (“Akulah Kebenaran”). Di samping mengemukakan pengalaman mistis sang sufi, syair tersebut mengemukakan gagasan wahdatul wujud, yaitu bahwa Tuhan dan manusia ibarat laut dan ombak, dimana keduanya merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, ombak lahir dari laut dan tetap merupakan bagian dari laut. Dalam momen mistis tertentu, ombak menjadi laut; ombak tiada dalam laut. Bersama artikulasi sejenis dalam syair-syairnya yang lain, dalam syair Hamzah Fansuri di atas pengalaman mistis dan spekulasi filosofis secara bersamasama mengartikulasikan doktrin wahdatul wujud, suatu hal yang kelak di zaman modern muncul lagi dalam puisi-puisi Emha Ainun Nadjib. Antara Hamzah Fansuri dan Emha Ainun Nadjib, wahdatul wujud telah menempuh jarak yang cukup jauh di alam intelektual dan spiritual Melayu-Indonesia. Maka, di samping ada segi-segi yang berkesinambungan, tentulah ada pula perubahan atau perkembangan, yang membedakan Emha Ainun Nadjib dengan Hamzah Fansuri. 53 Dikutip dari V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, (Jakarta: INIS, 1998), h. 459. 54 Dikutip dari Abdul Hadi W.M., Syekh Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, 1995), h. 140.
149
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
Dalam syair-syairnya, Hamzah Fansuri menyebut beberapa sufi, antara lain Abu Yazid al-Basthami (w. 874 M) dan Manshur al-Hallaj (w. 922 M). Hamzah Fansuri juga mengutip pernyataan al-Basthami yang terkenal, subhâni (“mahasuci aku”). Di samping itu, dia beberapa kali mengutip pernyataan al-Hallaj yang kontroversial, “ana ‘l-haq” (“akulah Kebenaran”). Artikulasi wahdatul wujud memang akan mengacu pada tokoh-tokoh sufi ini (dan sufi-sufi lain yang se-“aliran” dengan mereka), sebab pandangan dan ajaran mereka merupakan fondasi bagi terbentuknya ajaran wahdatul wujud kemudian, terutama yang disistematisasi oleh Ibnu Arobi (w. 1240 M) meskipun Ibnu Arobi sendiri tidak menyebut sistem pemikirannya sebagai wahdatul wujud. Belakangan, diskusi sekitar ajaran wahdatul wujud tidak bisa tidak akan diatribusikan kepada Ibnu Arobi, termasuk wahdatul wujud dalam sistem Hamzah Fansuri.55 Dalam kaitan ini pentinglah menimbang asosiasi wahdatul wujud Emha Ainun Nadjib dengan Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191 M.), yang telah didiskusikan di atas. Sebagaimana dalam syair-syair Hamzah Fansuri, dalam puisi Emha Ainun Nadjib artikulasi doktrin wahdatul wujud secara umum sudahlah pasti dapat diasosiasikan dengan sufi-sufi yang seringkali dikaitkan dengan doktrin tersebut, terutama alBasthami, al-Hallaj, dan Ibnu Arobi. Namun dalam sistem Hamzah Fansuri tak ada asosiasi dengan Suhrawardi, tokoh yang tak kalah kontroversial dibanding al-Hallaj. Oleh karena itu, kalau dalam puisi Emha doktrin wahdatul wujud diasosiasikan dengan Suhrawardi, maka kini ia dikaitkan dengan filsafat iluminasi yang diajarkan sufi yang dihukum mati dalam usia 35 tahun itu. Dengan demikian, meskipun merupakan sistem filsafat tersendiri, filsafat iluminasi —yang “dimodifikasi” sedemikian rupa dalam puisi Emha— kini digunakan sebagai argumen lain bagi doktrin wahdatul wujud, atau bentuk artikulasi lain wahdatul wujud itu sendiri. Dalam asosiasi dengan Suhrawardi inilah terletak perbedaan antara Hamzah Fansuri dan Emha Ainun Nadjib. Demikianlah maka kalau pada awal abad ke-17 wahdatul wujud di Melayu-Indonesia tidak memiliki asosiasi dengan filsafat iluminasi Suhrawardi, dalam perkembangan selanjutnya pada zaman modern ia memiliki asosiasi dengannya. Tentu saja ini merupakan suatu perkembangan dalam interkoneksi tasawuf dan ajaran-ajarannya di Melayu-Indonesia modern. Daftar Pustaka Abbas, Qazim Muhammad. Al-Hallâj: al-A`mâlu ‘l-Kâmilah. Beirut: Riyâdhu ‘r-Rayyis li ‘l-Kutub wa ‘n-Nasyr, 2002. Al-Asy`ari, Abul Hasan Ali ibn Ismail. Maqâlâtu ‘l-Islâmiyyîn wa ‘khtilâfi ‘l-Mushallîn. Beirut: al-Maktabah al-`Ashriyyah, 1990. Al-Ghazali, Al-Imam [Abu Hamid]. Misykât-u ‘l-Anwâr wa Mishfât-u ‘l-Asrôr. Beirut: ‘Âlam-u ‘l-Kutub, 1986. 55 Lihat misalnya Abdul Hadi W.M., Syekh Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, … dan Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, (Jakarta: Paramadina, 2001).
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
150
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Jamal D. Rahman
Al-Qasyani, Abdurraziq. 2015.“Tashdîr” dalam Ibnu Arabi, Muhyiddin. Fushûsh-u ‘l-Hikam. Cairo: Dâr-u Âfâq li ‘n-Nasyr wa ‘t-Tawzȋ`, Al-Qurthubi, Abu Abdillah. T.th. Tafsîru ‘l-Qurthubî. Al-Maktabatu ‘s-Syâmilah. Amstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan. Terjemahan Zaimul Am. At-Taftazani, Abul Wafa al-Ghanimi. 1979. Madkhal ilâ ‘t-Tashawwufi ‘l-Islâmî. Cakro: Dâru ‘ts-Tsaqâfah li ‘n-Nasyr wa ‘t-Tauwzî`. At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. T.th. Tafsîru ‘t-Thabarî. Al-Maktabatu ‘s-Syâmilah. Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, Betts, Ian L. 2009. Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. Braginsky, V.I.. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS, Damono, Sapardi Djoko. 1991. “Pengantar Ringkas”, dalam Emha Ainun Nadjib. Cahaya Maha Cahaya. Jakarta: Pustaka Firdaus, Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, Jakarta: Rajawali, Fathurahman, Oman. 1999. Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Mizan, Hadi WM, Abdul. 1995. Syekh Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Mizan. ------. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina. ------. 2012. Tuhan, Kita Begitu Dekat. Depok: Komodo Books. Hamid, Abu. 2005. Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ibnu Arobi, Abu Bakar Muhyiddin. 1985. al-Futûhâtu ‘l-Makkiyyah. Cairo: al-Hay-atu ‘l-Mishriyyatu ‘l-`Âmmah lil-Kuttâb. Ibnu Arobi, Abu Bakar Muhyiddin. 1988. at-Tajalliyâtu ‘l-Ilâhiyyah. Teheran: Markazu Nasyr Dansyikahi. ------. 1992. al-Hubbu wa ‘l-Mahabbatu ‘l-Ilâhiyyah. Damaskus: Mathba`atu ‘l-Kâtibi ‘l-`Arobî. ------. 1996. Dîwânu Ibni `Arobî. Beirut: Dâru ‘l-Kutubi ‘l-`Ilmiyyah. ------. 2007. Abu Bakar Muhyiddin. ar-Rosâilu ‘l-Ilâhiyyah. Damaskus: al-Madâ. ------. 2016. Fushûshu ‘l-Hikam. Cairo: Dâru Âfâq lin-Nasyr wa ‘t-Tawzî. ------. T.th. Tafsîr Ibni ‘Arobî. T.t.: t.p. Ibnu Katsir, Ismail bin Umar Al-Quraisyi. T. Th. Tafsîru Ibni Katsîr. Al-Maktabatu
151
DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201
Wahdatul Wujuda dalam Pisi Indonesia Modern...
‘s-Syâmilah. Isa, H. Ahmadi. 2001. Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan. Jakarta: Srigunting. Lubis, Nabilah. 1999. Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makasari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung: Mizan, cetakan ke-3. Mahmud, Abdul Qadir. 1969. Al-Falsafatu ‘s-Shufiyah fî ‘l-Islâm. T.t.: Dâru ‘l-Fikri ‘l-`Arobî, Makarim, Sami. T.Th. al-Hallâj fî Mâ Wara’a ‘l-Ma`nâ wa ‘l-Khathth wa ‘l-Lawn. T.tp.: Riâdhu ‘r-Rayyis li ‘l-Kutub wa ‘n-Nasyr. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa. Yogyakarta: Bentang. Cetakan ke-7. Nadjib, Emha Ainun. 1983. 99 untuk Tuhanku. Bandung: Penerbit Pustaka. ------. 1984. Sastra yang Membebaskan. Yogyakarta: PLP2M. ------. 1989. Lautan Jilbab. Yogyakarta: Yayasan Al-Muhammady. ------. 1991. Cahaya Maha Cahaya. Jakarta: Pustaka Firdaus. ------. 1993. Sesobek Buku Harian Indonesia. Yogyakata: Bentang Budaya. ------. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ------. 1990. Satu Masjid Seribu Jumlahnya: Tahajud Cinta Seorang Hamba. Bandung: Mizan. Cetakan pertama. Quzwain, M. Chatib. 1985. Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus Samad Al-Palimbani, Jakarta: Bulan Bintang. Rahman, Jamal D. “Wahdatul Wujud di Indonesia Modern: Pantulan dari Cerpencerpen Danarto” dalam Jurnal Kritik, No. 1, 2011. ------. “Islam dalam Puisi Indonesia Modern: Perspektif Sejarah”, dalam Abdul Hadi WM et al. (editor), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015. Rosidi, Ajip. 1989. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, Bandung: Pustaka. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jadi, Jakarta: UI-Press. Suhrawardi, Syihabuddin Yahya. Majmû`ât Mushannafât Syaykh Isyrâq. Teheran: Ulum Insani. Diedit dan diberi pengantar oleh Henry Corbin, 1373 H [1964]. Tudjimah. 2005. Syekh Yusuf Makasar: Riwayat dan Ajarannya. Jakarta. UI-Press. Usairan, Afif. T.Th. “Muqaddimatu ‘l-Mushahhih” (“Pengantar Editor”), dalam Ainul Qurdhat al-Hamadzani, Syakwâ ‘l-Gharîb ‘ani ‘l-Awthân ilâ ‘Ulamâi ‘l-Buldân. Paris: Dâru Babylon. Yahya, M. Wildan. 2007. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi, Bandung: Refika Aditama. DIALEKTIKA: jurnal bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, 3(2), 2016
152
Copyright © 2016|DIALEKTIKA|P-ISSN:2407-506X|E-ISSN:2502-5201