Edisi 28/ Juli – Agustus 2003
WACANA
daftar isi
think globally act locally
s
etelah krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia masuk perangkap hutang baru kepada IMF. Indo-nesia tidak saja me-masuki babak baru dengan tumbangnya rejim Soehar-to, tetapi juga babak baru bagi era liberalisasi pasar sebagai konsekuensi pinjaman yang diberikan oleh IMF. Tahun 1999 Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang ‘memaksa’ Indonesia mengadakan berbagai penyesuaian structural kelembagaan perekonomian. Di dalamnya memuat peru-bahan kebijakan untuk meliberalisasi sector perta-nian. Praktis, sejak saat itu sector pertanian secara dramatis masuk dalam agenda liberalisasi perdagangan global. Berbagai kebijakan dibuat oleh pemerintah untuk ‘mengefisienkan’ perekonomian antara lain dengan menghapuskan subsidi pupuk untuk petani, meliberalisasi pasar dan distribusi pupuk, bea masuk impor dipangkas mendekati nol persen dan sebagianya. Selain itu berbagai kelembagaan pangan juga direstrukturisasi, seperti perubahan status BULOG menjadi perum dan otonomisasi KUD. Lima tahun setelahnya, semakin nampak bahwa petani kita belum siap masuk ke pasar bebas. Lebih banyak beban yang mereka tanggung di era liberalisasi.
Kebijakan harga dasar beras masih tidak pernah efektif dirasakan petani, penghapusan subsidi pupuk meningkatkan biaya usahatani karena harga pupuk yang mahal, adanya serbuan pangan impor semakin menekan harga produk petani. Ditambah praktek KKN aparat dan Dolog/Sub Dolog, menjadikan era (yang katanya) kompetisi ini masih saja mahal secara ekonomis. Petani semakin menurun pendapatan, kesejahteraan dan mengalami proses pemiskinan. Selalu saja petani lah yang menjadi korban. Nampaknya, perlu upaya-upaya advokasi dan pencarian alternatif bagi pengembangan pertanian yang berpihak, bermanfaat dan menguntungkan petani. Sebuah upaya di tingkat kebijakan dan peningkatan kapasitas petani di tingkat basis. Jika tidak, petani akan senantiasa menjadi korban liberalisasi perdagangan. Mengharapkan pemerintah saja, jelas tidak memadai. Terlebih kita juga memahami bahwa pemerintah sudah menjadi ‘tawanan’ sistem perdagangan global yang dirancang oleh negara-negara kaya ini.
Redaksi
3
Tren Kebijakan dan Realitas (Ketahanan) Pangan di Era Reformasi
9
Mengapa Liberalisasi Perdagangan Tidak Akan Menyelesaikan Masalah Pangan?
12 Jahe Instant plus 14 Ironi Pangan di Akhir Abad 20
salam dari kami Wacana utama kali ini mencoba mengupas fenomena liberalisasi pertanian, khususnya di sector pangan. Tulisan pertama, mengulas tren kebijakan pertanian pangan pasca runtuhnya rejim Soeharto berikut implikasi-implikasi riil yang dirasakan petani. Di dalamnya memuat juga beberapa rekomendasi yang mungkin dilakukan bagi upaya perbaikan. Tulisan kedua, mencoba mengkaji secara ringkas tentang bagaimana liberalisasi pangan tidak pernahh akan bisa menyelesaikan persoalan pangan dan kelaparan. Kemudian, ada tulisan ringan dari petani di basis kami, mengenai pengalaman mengembangkan usaha pembuatan jahe instant. Di penghujung edisi ini, kami sajikan satu artikel mengenai pertanian organic yang tengah menjadi trend sekarang. Semoga edisi kali ini, sebagaimana edisi sebelumnya mampu menambah wawasan bagi segenap pembaca. Akhir kata, para pembaca budiman, selamat menyimak sajian kami! (ISJ)
WACANA diterbitkan dua bulan sekali oleh ELSPPAT sejak Maret 1996 untuk mempertukarkan gagasan atau refleksi pengalaman sambil tetap berpikir global tanpa meninggalkan kenyataan di lapangan. Redaksi mengundang Anda untuk mengirimkan tulisan yang berkaitan dengan hasil refleksi kegiatan lapangan, kajian tentang kebijakan pembangunan, alternatif pemecahan masalah dan gagasan lain yang segar dan orisinal tentang pertanian berkelanjutan, pemberdayaan petani dan perempuan Redaksi Indro Surono, Any Sulityowati Tata letak Anton Waspo Distribusi Yuningsih Alamat Redaksi Jl. Kalasan No 15 Perum Cimangu Permai I Bogor 16310 Telp/fax 0251 – 323 089 Alamat Surat PO BOX 2026 Bogor Timur 16020 Email :
[email protected] Wacana dapat juga diakses di www.elsppat.or.id
3 Utama
Tren Kebijakan dan Realitas (Ketahanan) Pangan di Era Reformasi1 Indro Surono2 Kekeringan di tahun 1997 tidak saja menghancurkan produksi pangan, khususnya beras, tetapi juga kemudian menghancurkan perekonomian Indonesia. Bencana El Nino kala itu menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras terbesar sepanjang sejarah pasca swasembada 1984, yakni 7.1 juta ton yang setara dengan 28% pangsa beras yang diperdagangkan dunia kala itu. Dan setelahnya, Indonesia hampir tidak pernah lolos dari keharusan mengimpor beras. Krisis pangan itu diikuti oleh krisis ekonomi, yang menyebabkan jutaan rakyat kembali miskin dan memaksa rejim Soeharto tumbang. Krisis ekonomi pada gilirannya membuat perekonomian Indonesia bangkrut dan pemerintah harus berhutang kepada IMF guna memulihkan keadaan. Substansi dari rekomendasi IMF adalah Indonesia harus meliberalisasi sektor ekonomi dengan menyerahkan sepenuhnya perkembangan ekonomi pada mekanisme pasar.
Respon Pemerintah atas Desakan Liberalisasi IMF di Sektor Pertanian Di sektor pertanian paket reformasi IMF mengharuskan Indonesia untuk: 1) meliberalisasi pasar beras dengan menyerahkan penentuan harga beras sesuai mekanisme pasar dan membolehkan swasta mengimpor beras, 2) operasi pasar khusus beras dengan harga subsidi hanya diberikan kepada kelompok rawan pangan, 3) tingkat subsidi beras harus diturunkan hingga maksimum 20% dari harga dasar BULOG, 4) segala bentuk subsidi pangan selain beras tidak diperkenankan, dan 5) subsidi pupuk harus dihapuskan (Oxfam, 2001). Segera setelahnya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang sejalan dengan arahan IMF di atas. Di antara kebijakan tersebut adalah: a. Membuka pasar beras dengan menghapuskan tarif bea masuk impor dan membolehkan swasta mengimpor beras. Seiring dengan kebijakan ini, monopoli impor pangan BULOG juga mulai dihapuskan. Meski tarif impor masih dibolehkan sebesar 20% dari harga dasar, tetapi ketika Habibie berkuasa tarif impor diturunkan hingga nol persen. Banjir beras tidak terhindari, tercatat sepanjang tahun 1998 impor beras kita mencapai 7 juta ton, dengan 5,7 ton diantaranya diimpor oleh BULOG dan sisanya oleh swasta. b. Menghapus subsidi pupuk dan meliberalisasi tataniaga pupuk. Pupuk bagi petani biasa disubsidi sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap petani, namun sejak LOI dengan IMF subsidi praktis dihentikan. Selain itu pemerintah meliberalisasi pasar pupuk dengan membebaskan persaingan antar produsen. Subsidi hanya diberikan di daerah terisolir dalam bentuk subsidi transport.
4 masyarakat rawan pangan akibat krisis ekonomi, pemerintah menerapkan program operasi pasar khusus beras dengan jalan menjual beras murah disubsidi bagi keluarga miskin. Situasi krisis juga menjadi pembenar bagi masuknya bantuan pangan dari Program Pangan PBB (World Food Programme) dan Departemen Pertanian AS (USDA). d. Penetapan harga dasar gabah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi petani agar harga jual gabahh mereka tidak turun akibat panen raya. Ini merupakan kebijakan klasik yang dalam prakteknya juga tidak cukup efektif melindungii petani. Sepanjang tahun-tahun pertama reformasi berbagai kebijakan diatas terbukti tidak efektif membantu petani tetapi justru sebaliknya kian membebani petani. Impor beras yang tidak terkendali semakin memerosotkan harga gabah petani. Liberalisasi pasar beras juga menyebabkan arus beras yang masuk tidak terkontrol. Pada saat itu impor ilegal menjadi hal yang tidak dapat dicegah. Dalam situasi harga pupuk mahal petani juga sulit mengakses karena lebih banyak pupuk diekspor dan dijual ke perkebunan. Dalam situasi ini justru para pedagang yang diuntungkan. Program beras murah (raskin) juga banyak mengalami penyimpangan. Demikian halnya bantuan pangan berkontribusi pada penurunan harga beras. Tren Kebijakan Dampaknya
Pertanian
Kini
Secara umum tren kebijakan pertanian yang mendukung upaya liberalisasi dan --kemudian--- privatisasi sejak krisis berawal hingga kini terus berjalan dan bahkan semakin menguat. Keniscayaan petani berhadapan dengan pasar bebas menjadi hal yang tidak terhindari lagi. Liberalisasi juga berarti semakin mengecilkan dukungan atau proteksi pemerintah bagi petani, khususya petani kecil.
1. Kebijakan harga dasar gabah Penetapan harga beli gabah sekarang berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2002 tanggal 31 Desember 2002, yang dijabarkan lebih lanjut dalam SKB Mentan dan Kabulog No. 01/SKB/BPPHP/8.30/2003 tertanggal 16 Meski pemerintah telah Januari 20033. menetapkan kebijakan di atas, dalam musim panen rendengan kali ini harga gabah petani turun dibawah harga penetapan tersebut. Di berbagai daerah harga GKP rata-rata dibeli dengan harga Rp 900,- – 1100,- /kg bahkan di Cianjur mencapai Rp 800,- (Kompas, 3/5). Sementara harga gabah kering giling berkisar antara Rp 1300 – 1500,- /kg. Banyak alasan mengapa harga yang diterima petani menjadi rendah seperti kadar air yang tinggi, panen melimpah, atau petani terpaksa menjual karena didesak kebutuhan yang segera. Dalam situasi ini petani tidak memiliki banyak pilihan kecuali harus menerima harga yang ditetapkan penebas. Menyimpan gabah untuk dijual saat harga membaik juga sulit dilakukan mengingat kebanyakan petani tidak memiliki gudang simpan. Petani mengeluhkan pendapatan usahatani mereka kian menurun, produksi juga menurun dan harga input yang mahal. 2. Kebijakan Pengadaan Gabah Pemerintah melalui Bulog tahun 2003 menargetkan pembelian gabah petani sebesar 7% dari total produksi yakni sekitar 2,3 juta ton. Dengan pembelian ini diharapkan harga dasar gabah mampu dipertahankan sesuai peraturan yang ada. Selain itu pembelian gabah dimaksudkan untuk cadangan nasional, jatah raskin, PNS, dan TNI, serta bencana alam. Namun kebijakan ini juga belum mampu membantu petani dan mitra Dolog untuk
c. Kebijakan Operasi Pasar Khusus Beras. Dengan melonjaknya kemiskinan dan WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
dan
Berikut ini beberapa tren kebijakan tersebut sekarang, implementasi dan dampaknya yang dirasakan oleh petani.
WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
5 menerima harga sesuai aturan. Banyak kontraktor Dolog dan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) sebagai mitra pembelian gabah yang mengeluhkan besarnya pungutan Dolog hingga Rp 80,-/kg. Disamping itu Dolog tidak siap dengan gudang yang memadai sehingga truk pengangkut harus menunggu berhari-hari agar bisa masuk ke gudang. Selain itu Dolog sering terlambat dalam mencairkan dana pengadaan gabah atau menandatangani kontrak kerjasama dengan LUEP. Penunjukkan kontraktor baik KUD dan non KUD serta LUEP yang dapat menjadi mitra Dolog juga dirasa memberatkan karena mereka harus menyediakan dana jaminan hingga Rp 100 juta sebelum disetujui. Program pengadaan beras ini juga hanya menguntungkan (kelompok) petani tertentu yang dekat dengan pemerintah. Biasanya memang kelompok tani yang menjadi mitra LUEP dalam pengadaan beras adalah kelompok tani yang sudah terdaftar di Dinas Pertanian setempat. Dan dalam beberapa kasus kelompok tani yang diuntungkan adalah bukan petani kecil. Hal ini bukan semata faktor kolusi, tetapi juga syarat kadar air dan pecah beras yang ditetapkan Dolog cukup ketat sehingga hanya petani yang bermodal yang bisa memenuhinya. Belakangan ini muncul program gadai gabah yang akan dijalankan Perum Pegadaian. Program ini dimaksudkan untuk membantu petani menggadaikan gabahnya saat panen dan menebusnya kembali saat harga jual sudah bagus. Perum pegadaian dalam hal ini berkerjasama dengan penggilingan untuk memproses dan menyimpan gabah serta Pemda untuk dana pembelian berupa pinjaman. Di Jawa Tengah program ini akan diujicoba di Demak pertengahan tahun ini (Kompas 27/3). Tetapi program ini dikuatirkan juga tidak efektif mengingat keterbatasan gudang penggilingan, kecenderungan petani menjual
6
gabah sejak di lahan karena desakan kebutuhan segera, dan keterbatasan petani menebus kembali dari pegadaian. Ada kemungkinan program ini hanya akan dinikmati oleh penebas atau penggilingan yang memiliki kinerja permodalan yang baik.
perpanjangan tangan Dolog pun dihapuskan. KUD sekarang dituntut mandiri dan menguntungkan dan tidak ada lagi bantuan dari pemerintah. Sehingga hanya KUD yang benar-benar dikelola secara profesional saja yang akan bertahan.
3. Kebijakan Liberalisasi Pasar Pupuk
Di satu sisi otonomisasi ini membuat KUD semakin mandiri dan mampu mendiversifikasi usaha sesuai mandat anggota. Namun dalam kenyataannya sedikit sekali KUD yang bisa bertahan. Sebagai contoh, Dolog dalam penunjukan mitra pegadaan beras tidak lagi harus dengan KUD, tetapi dengan lembaga yang memiliki kinerja keuangan dan manajemen yang sehat.
Selain kebijakan kompetisi pasar pupuk, pemerintah juga tidak lagi menunjuk jaringan distribusi Pusri untuk memonopoli distibusi pupuk. Sehingga banyak distibutor pupuk yang ada sekarang adalah swasta besar yang memiliki armada hingga ke daerah-daerah. Dari sisi pabrik pupuk, kebijakan ini menguntungkan karena sekarang mereka bisa langsung menerima pembayaran setelah pupuk diambil distributor dan mereka tak harus pusing mengelola tataniaganya. Dan bagi distributor pupuk –biasanya juga distributor pestisida--- hal ini bukan persoalan karena mereka tinggal membebankan biaya transpor ke harga pupuk yang akan dijual ke petani. Kebijakan di atas jelas semakin memberatkan petani. Petani mengeluh harga pupuk semakin mahal. Kebebasan persaingan usaha dalam pengadaan pupuk bukannya membuat harga jual semakin rendah tetapi justru semakin mahal. Kemungkinan ini disebabkan oleh masih sedikitnya produsen (oligopoli) dan dikuasainya jalur distribusi oleh swasta besar (oligopsoni), sehingga mekanisme harga masih sangat mudah diatur. Di sisi lain, semestinya mahalnya harga pupuk dapat menjadi pintu masuk bagi petani untuk menerapkan pertanian organic sehingga dapat menekan biaya produksi. Tapi hal ini tidak serta merta terjadi karena petani sudah sedemikian tergantung dan tidak percaya diri tanpa pupuk dan pestisida kimia. 4. Otonomisasi KUD Seiring dengan liberalisasi dalam distribusi pertanian, subsidi dan peran KUD sebagai WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
Bahkan, karena tekanan ‘harus untung’ sedemikian kuat KUD semakin kehilangan sisi sosialnya dalam melayani petani. Sebagai contoh di Boyolali4 , KUD tidak mau lagi melakukan pembelian gabah karena dinilai tidak menguntungkan. Kegiatan penjualan pupuk dan penggilingan padi juga sebatas menjaga hubungan baik dengan petani. Malah kegiatan KUD berkembang tidak hanya menangani susu, tapi juga kredit motor dan kredit simpan pinjam. 5. Perumisasi BULOG Seiring dengan dihapuskannya monopoli Bulog dalam penyedia cadangan, tataniaga dan pengontrol harga pangan, Bulog dituntut untuk semakin efisien dan mandiri. Sejak dulu Bulog dikenal sebagai badan pemerintah yang sarat KKN dan tidak efisien karena senantiasa didanai oleh pemerintah. Sejak 10 Mei 2003 Bulog resmi berubah menjadi Perum Bulog. Dengan perubahan ini Perum Bulog akan memasuki babak baru menjadi pemain di tujuh jenis bisnis yang kesemuanya terkait dengan komoditas pangan beras, gula, kedelai Dengan perubahan status dan jagung5. hukum ini Bulog dituntut lebih profesional sehingga dalam jangka panjang mampu mengurangi beban pembiayaan dari pemerintah. Fungsi Bulog sebagai badan WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
penyangga pangan dan penyedia cadangan pangan juga masih dipertahankan. Dari satu sisi perubahan ini cukup positif dimana Bulog akan diarahkan menjadi mandiri dan fungsi sebagai panyangga pangan masih dipertahankan. Namun, di sisi lain muncul kekuatiran karena jika petani tidak didampingi secara optimal untuk meningkatkan kemampuan dalam budidaya dan pengolahan hasil panen, dipastikan hanya petani-petani ‘profesional’ (baca: skala besar) yang mampu menjadi mitra Bulog di daerah. Sisi komersial yang berlebihan pada gilirannya juga akan mengurangi keberpihakan kepada petani kecil. Di samping itu, kecenderungan Bulog kedepan untuk masuk ke bisnis non pangan seperti bisnis perhotelan, properti dan pompa bensin (Kompas, 6/6/03) dikuatirkan akan membiaskan peran dan kekhasan Bulog sebagai Perum pangan. 6. Liberalisasi Pasar dan Kebijakan Impor Pangan Dengan berlakunya kesepakataan WTO tentang perjanjian pertanian (Agreemet on Agricukture) yang mengharuskan pembukaan pasar pangan domestik, penghapusan tarif dan subsidi pangan, serta paket reformasi ala IMF yang memaksa Indonesia untuk cepat meliberalisasi pasar pangannya, maka praktis pemerintah tidak mampu lagi melindungi kepentingan petani secara efektif. Hingga kini kebijakan WTO semakin berlaku efektif. Sebagai contoh subsidi pupuk sudah sama sekali dihapus, tarif bea masuk beras juga relatif masih kecil (beras 25% setara Rp 430,/ kg), dan kebijakan impor pangan masih diberlakukan meski ada surplus pangan di dalam negeri. Contoh kasus adalah gula dan beras sekarang. Beberapa waktu lalu petani tebu memprotes mambanjirnya gula impor karena petani tengah panen tebu, sehingga harga tebu merosot dan gula domestik tidak laku. Dan
7 sekarang Deperindag belum melaksanakan permintaan BULOG agar menghentikan impor beras sampai September depan karena musim panen telah mulai (Solopos, 17/5). Di satu sisi memang pemerintah mencoba melindungi konsumen dari harga yang mahal, tetapi seringkali justru mengalahkan kepentingan petani.
banyak dan harganya relatif murah. Banyak usulan agar beras raskin dibeli dari petani lokal di daerah surplus kemudian disalurkan untuk keluarga miskin di daerah itu juga. Sekarang ini keluhan juga muncul karena beras ‘raskin’ juga dijual di pasaran pada saat panen raya, sehingga harga gabah petani semakin tertekan.
USDA memperkirakan tahun 2003, di Indonesia impor ilegal beras dan gula masingmasing mencapai 0,5 juta ton. Impor beras tahun ini diperkirakan mencapai 3,5 juta ton, 1 juta ton diimpor Bulog, 2 juta ton oleh swasta dan sisanya adalah impor ilegal. Sementara untuk gula diperkirakan impornya mencapai 1,6 juta ton dengan hanya 1 ton yang melalui jalur resmi (Kompas, 12/5/03). Masih tingginya impor pangan dan tidak terkontrolnya impor pangan pada gilirannya akan membuat situasi petani yang tidak menentu, disamping semakin melemahnya daya saing pangan kita di tingkat global.
Tahun ini juga Indonesia kembali mendapat alokasi bantuan pangan dari AS berupa beras dan kacang-kacangan melalui PL 480 senilai 21 juta USD6. Namun perlu dicermati bahwa bantuan dengan fasilitas PL 480 pada dasarnya merupakan promosi produk ekspor pertanian AS melalui penjualan dengan sistem konsesi 30 tahun dengan kemudahan dalam pembiayaan ekspor, bunga rendah dan bebas pembayaran utang pokok selama 5 tahun. Dan bantuan pangan ini bisa diperoleh juga oleh organisasi perdagangan non pemerintah. Artinya bantuan pangan ini bukan hibah pangan tetapi pinjaman lunak dengan masa pelunasan 30 tahun.
7. Beras Raskin dan Bantuan pangan Semenjak krisis ekonomi program operasi pasar khusus beras untuk keluarga miskin dan program bantuan pangan dari luar negeri terus berjalan sampai sekarang. Memang jumlahnya terus menurun seiring dengan membaiknya perekonomian nasional. Untuk tahun ini rata-rata jumlahnya berkurang 25% dari tahun 2002. Beras untuk rakyat miskin (raskin) pada dasarnya merupakan program krisis dan ditargetkan khusus bagi keluarga miskin. Diawal pelaksanaan banyak sekali dijumpai penyimpangan mulai dari jumlah, harga dan tidak tepat sasaran. Tapi dari tahun ke tahun mekanisme ini semakin membaik. Hanya, keluhan dan kekuatiran muncul dari kualitas beras raskin yang kurang bagus dan terutama berasal dari beras impor. Impor beras untuk operasi pasar khusus (OPK) inilah yang kemudian banyak dikritik mengingat beras produksi dalam negeri cukup
Program ini bisa jadi merupakan bentuk baru dumping. Selain itu banyak bantuan pangan AS, terutama kacang-kacangan terindikasi adannya kontaminasi gen rekayasa genetika (GM contaminated) atau lebih populer sebagai pagan transgenik yang kontroversial. Akhirnya program ini juga akan menciptakan ketergantungan dan hutang baru bagi pemerintah. Departemen Pertanian telah meminta Bulog untuk menolak bantuan pangan lewat fasilitas PL ini karena justru merugikan Indonesia di jangka panjang. 8. Reformasi dan liberalisasi pengelolaan irigasi Di sektor hulu, ketersediaan air juga menjadi persoalan bagi petani. Dewasa ini kecukupan air untuk pertanian dirasakan mulai menurun sebagai akibat perubahan ekosistem, kerusakan sarana irigasi, mismanajemen pengelolaan irigasi dan konflik antar petani. WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
8 Tren kebijakan pengelolaan irigasi telah mengikutsertakan petani, dimana dibentuk paguyuban petani pengguna air (P3A) di sekitar daerah aliran sungai (DAS) atau irigasi. Partisipasi petani tidak saja dalam pengelolaan irigasi, tapi juga dalam pembiayaan perbaikannya. Iuran air mulaii diterapkan sebagai dana perbaikan prasarana dan pengelolaan. Di tingkat kecamatan ada semacam Dewan air (juga di tingkat pemerintaha atasnya) yang terdiri dari petani, wakil pemerintah dan pelaku lain. Dewan air ini diharapkan menjadi pembuat kebijakan pengairan dan pemutus bagi perselisihan yang mungkin muncul. Dalam beberapa ujicoba terakhir program pengelolaan irigasi ini juga melibatkan LSM dalam sosialisasi dan pelatihan.
kebijakan ini akan dikuatirkan semakin membebani petani di mana biaya produksi akan semakin menigkat.
Dalam prakteknya P3A tidak berjalan optimal karena kebanyakan hanya dibentuk secara formalitas dari atas. Dalam dewan air juga wakil petani lebih sedikit dibanding pemerintah, sehingga dalam pengembilan keputusan petani tetap dalam posisi yang lemah. Hal lain, meski dana perbaikan dan iuran air telah terkumpul namun realisasi perbaikan saluran irigasi tidak ada sama sekali.
Realitasnya, petani dan sektor pertanian Indonesia belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pasar. Sangat mungkin banyak petani kecil yang belum siap atau akan tergilas dengan diberlakukannya sistem pasar ini. Fakta-fakta diatas menunjukkan bagaimana petani lebih banyak menjadi obyek dan dirugikan dari berbagai kebijkan dan proses implementasi kebijakan yang ada. Mulai dari hulu tentang persoalan air dan pupuk, hingga ke persoalan hilir seperti harga dan distribusi. Pembiaran proses ini tanpa ada advokasi dan penguatan petani pada gilirannya akan menepikan petani dari sektor pertanian dan kehidupannya.
Perkembangan terbaru di sektor pengairan atau irigasi adalah akan lahirnya UU Sumberdaya Air. RUU ini tengah digodok di DPR dan masih membuka peluang bagi masukan penyempurnaan. Dalam catatan kritis kalangan LSM RUU ini sangat kuat akan menjadikan air sebagai komoditas ekonomi bukan sebagai barang bebas. Artinya air akan dikelola oleh swasta (privat/publik) atau pemerintah dan keada penggunanya akan dikenai biaya. RUU ini juga terindikasi kuat bagi privatisasi institusi publik pengelola air seperti PDAM. Dalam konteks irigasi kedepan, RUU ini akan memungkinkan swasta memperoleh lisensi pengelolaan DAS dimana petani akan dikenakan biaya jika menggunakan air dari sungai/irigasi tersebut. Dalam tingkat tertentu WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
Kesimpulan dan Catatan Ke depan Realitas dan tren kebijakan pertanian, khususnya terkait pangan, semakin mengarah pada upaya liberalisasi yang sangat niscaya membawa petani kepada mekanisme pasar bebas. Di tengah situasi dunia yang didominasi oleh isu perdagangan liberalisasi memang menjadi hal yang tidak terelakkan. Satu ancaman liberalisasi adalah adanya proses komodifikasi massal dari sumberdaya alam dan kehidupan. Sehingga segala sesuatu akan selalu diukur dari parameter bisnis dan laba. Dimensi kehidupan lain menjadi terancam keberadaannya.
Untuk itu berbagai agenda perlu dibuat guna mendukung petani sehingga mampu meningkatkan posisi tawar, kedaulatan dan kesejahteraannya. Beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan antara lain: 1. Mengembangkan konsep dan aplikasi sistem pertanian alternatif, baik yang bersifat antitesa terhadap sistem pasar maupun yang bersifat mereformasi pasar yang ada. Konsep kedaulatan pangan yang sekarang ini ada dan diadopsi juga oleh Koalisi rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) merupakan salah
9 satu bentuk solusi bagi pemberdayaan petani. Pada dasarnya konsep ini menekankan kepada hak setiap petani, komunitas dan negara untuk menentukan sendiri kebijakan dan pola pertaniannya sesuai dengan kondisi alam alam, sosial dan budayanya. 7 2. Melakukan kajian dan analisis mendalam mengenai berbagai dampak negatif leberalisasi pertanian dan menemukan solusi alternatif yang realistis di tingkat etani. 3. Melakukan berbagai program pendidikan dan pelatihan bagi petani mengenai dampak liberalisasi, capacity building, pelatihan advokasi dan sebagainya guna meningkatkan kesadaran dan bargaining petani terhadap pihak lain. 4. Melakukan advokasi meluas bagi masyarakat sipil mengenai ancaman liberalisasi pertanian bagi ketahanan dan kedaulatan pangan dan pola-pola pertanian dan konsumsi pangan yang berkelanjutan. Catatan kaki ini merupakan perbaikan dari makalah yang pernah dibagikan dalam lokakarya Jarnopp Jabar di Kampung Pending, Bogor 10-12 Juni 2003 2 Koordinator Program Riset dan Advokasi ELSPPAT, Bogor 3 Dalam peratutan itu disebutkan harga beli gabah kering panen (GKP) dengan kadar air maksimal 25% dan butir pecah maks 10% adalah Rp 1.230,-/kg. Harga beli gabah kering simpan (GKS) dengan KA maks 18% dan BP 6% adalah Rp 1500,-/kg dan harga beli gabah kering giling (GKG) dengan KA maks 14% dan butir hampa maks 3% adalah Rp 1.700,-/kg. 4 Wawancara dengan Manajer KUD Kota Boyolali 5 Bisnis itu menyangkut industri beras, usaha pergudangan, survey dan pemberantasan hama, industri karung plastik, pengangkutan, perdagangan gula pasir, usaha eceran dan pusat perkulakan pangan. Dalam jangka pendek dikatakan 80% aktivitas dan pendapatan tetap berasal dari kegiatan publik dan sisanya dari kegiatan komersial (Kompas, 10/5/03). 6 Untuk beras volumenya mencapai 96.200 ton (naik dari tahun lalu 92.000 ton) dan kacang-kacangan 3.900 ton. Indonesia merupakan negara yang memperoleh bantuan terbesar karena dinilai kemampuan devisanya terbatas untuk memenuhi kecukupan pangan melalui jalur komersial (Kompas, 4/4/03). 1Artikel
Mengenai kedaulatan pangan lebih jauh lihat di kertas posisi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Silakan kontak Sdr. Witoro di
[email protected]
7
TRICKs Of the Trade Sistem perdagangan dunia dikuasai oleh perusahaan dunia yang kaya, ini menyebabkan negara miskin tetap miskin. Aturan mainnya dibuat oleh sebuah lembaga yang bernama WTO. Aturan mainnya antara lain : memaksa negara miskin untuk mengurangi dukungannya bagi para petani dan membuka lebar-lebar pintu perdagangan produk pertanian dari negara maju, yang memiliki kekuatan cukup besar untuk melindungi pasar mereka sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Raplh Nader : “ Di dunia ini tidak ada yang dikatakan pasar bebas yang ada adalah perdagangan yang dikontrol perusahaan. “ Aturan main WTO untuk perusahaan pangan dan pertanian telah melampuai batas-batas keprihatinan terhadap konsumen dan lingkungan. PATENT : Siapa pemilik pangan sebenarnya ? Padi. Aturan WTO memperbolehkan perusahaan untuk mempatenkan atau menguasai varietas tanaman dan kode genetik dari hewan. Padi Basmati India pada tahun 1988/89 nilai ekspornya skitar 425 juta $. Akan tetapi pada september 1997, RiceTech Inc. sebuah perusahaan dari Texas memenangkan gugatan paten atas padi Basmati di AS. Ini adalah contoh bagaimana paten bisa membahayakan kehidupan petani di India. (NI 353) WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
10
Mengapa Liberalisasi Perdagangan Tidak Akan Menyelesaikan Masalah Pangan? Any Sulistyowati
Beberapa tahun terakhir ini pasar semakin menunjukkan peran dan pengaruhnya. Ia dipercaya sebagai satu mekanisme yang paling efektif untuk mengalokasikan sumber daya, termasuk juga pangan. Karena itulah sektor pangan tidak luput dari agenda liberalisasi perdagangan. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa janji tersebut tidak selalu dapat dipenuhi dan bahkan alokasi sumberdaya di sector pangan justru menjadi tidak efektif karena mekanisme pasar.
WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
Masalah Pangan Pangan masih menjadi masalah besar hingga kini. Data PBB menunjukkan jumlah orang kelaparan di seluruh dunia saat ini mencapai 800 juta orang. Padahal ketersediaan pangan dunia saat ini cukup untuk memberikan setiap orang dengan lebih dari 2 kg pangan perhari yang terdiri atas lebih dari satu kilogram bijibijian, setengah kilogram protein dan sisanya sayuran dan buah-buahan. Data Bank dunia menunjukkan bahwa konsumsi kalori perkapita terus meningkat dari 1925 kal/kapita per hari (1961) menjadi 2540 kal/kapita per hari(1992); melebihi yang disarankan oleh FAO sebesar 2200-2300 kal/kapita per hari. Fakta ini menunjukkan bahwa permasalahan pangan bukanlah masalah ketersediaan, melainkan masalah distribusi. Salah satu mekanisme distribusi pangan yang paling umum adalah mekanisme pasar. Melalui hukum penawaran dan permintaan, dipercaya bahwa pasar akan mencapai keseimbangannya dan distribusi barang dan jasa akan berjalan secara efektif kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Masalah Pasar Pada kenyataannya dalam sistem pasar, produksi dan distribusi pangan tidak merespon kepada yang membutuhkan melainkan kepada uang, sebagai media antara pihak yang melakukan penawaran dan permintaan. Transaksi baru berjalan, jika terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dalam bentuk harga. Meski peminat barang sangat membutuhkan, jika tidak tercapai kesepakatan harga, maka si pemberi penawaran tidak dapat melepaskan barangnya. Akibatnya sumberdaya yang harusnya dapat digunakan menjadi sia-sia. Ini menjelaskan antara lain mengapa ada begitu banyak orang kelaparan di tengah dunia yang berkelimpahan pangan. Pasar tidak dapat
11 menjamin bahwa sumberdaya akan digunakan oleh pihak-pihak yang paling membutuhkan. Masalah kedua pada pasar adalah pasar yang sekarang tidak bekerja secara bebas seperti yang digambarkan oleh Adam Smith. Meskipun berlabel "liberalisasi perdagangan" (perdagangan yang bebas), pasar yang sekarang penuh dengan aturan main yang penuh dengan bebagai kepentingan. Berikut ini adalah beberapa contohnya. Tarif Tarif adalah cukai yang diterapkan untuk barang-barang impor. Dalam liberalisasi perdagangan, negara-negara sepakat untuk mengurangi tarif impor mereka secara bertahap secara persentase tarif awal. Secara teoritis, jika tarif pangan impor dihapuskan, maka yang paling diuntungkan seharusnya adalah negara-negara agraris yang memiliki sektor pertanian dan pangan sebagai keunggulan komparatif. Kenyataannya, meskipun dua pertiga anggota WTO adalah negara berkembang yang menggantungkan sebgaian besar ekonominya di sektor pertanian dan pangan, mereka tidak diuntungkan melalui aturan ini. Negara-negara maju telah menetapkan tarif awal yang sedemikian tinggi sehingga meskipun secara prosentase pengurangan tarifnya sama, produk-produk dari negaranegara berkembang tetap tidak dapat memasuki negara maju. Sementara itu di negara-negara berkembang, tarif impor pangan sudah begitu rendahnya sehingga barang impor apapun (apalagi yang memperoleh subsidi ekspor di negara asalnya) dengan bebas memasuki negara itu dan merusak kehidupan para petani dan industri pangan lokal. Contoh kasus yang paling sering terjadi adalah gula dan beras, dua jenis bahan kebutuhan pokok masyarakat dan sumber hidup sebagian besar petani di Indonesia. Dumping Dumping adalah penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga domestik.
Sebagai contoh Amerika mengekspor gandum dan kapas dengan harga yang lebih rendah daripada biaya produksinya, yakni sebesar 9.5% (1995) dan 34.7% (1998) untuk gandum; serta 9.7% (1995) dan 16.2% (1998) untuk kapas. Praktek dumping ini dilakukan melalui program bantuan pangan, kredit dan subsidi ekspor (lihat penjelasan di bawah). Meskipun dalam jangka pendek praktek ini menguntungkan negara pengimpor, dalam jangka panjang mekanisme ini terbukti telah mematikan pengusaha-pengusaha kecil yang tidak dapat bersaing karena bisnis mereka tidak disubsidi. Subsidi Meskipun pada prinsipnya subsidi harus dihapuskan dalam era liberalisasi perdagangan, kenyataannya subsidi besarbesaran yang telah diberikan kepada para eksportir pangan di negara maju telah sukses merusak harga pasar menjadi lebih rendah dari seharusnya, dan menjadi disinsentif bagi negara berkembang untuk mengembangkan potensi pangan lokalnya. Seperti dumping, praktek ini telah menyebabkan banyak petani di negara miskin dan berkembang tidak mampu bersaing dan akhirnya mati. Sementara petani di negara-negara maju tetap disubsidi habis-habisan, penghapusan subsidi secara paksa harus diberlakukan di negaranegara miskin dan berkembang, terutama di negara-negara yang terlibat hutang melalui program penyesuaian struktural. Sebagai contoh, petani beras di Indonesia dan kaum miskin kota adalah yang yang paling terkena dampak penghapusan subsidi pupuk beberapa waktu yang lalu. Rantai perdagangan yang tidak perlu Berikut ini adalah contohnya. Tahun 1998, Inggris mengimpor 61.000 ton daging unggas dari Belanda, sementara pada saat yang sama Belanda mengimpor 33.000 ton daging unggas dari Inggris. Para pedagang (para pelaku pasar) bertindak untuk mencari keuntungan. Mereka selalu membeli di WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
12 mana/saat harga terendah dan menjual di mana/saat harga tertinggi. Dengan logika ini, pada saat tertentu komoditi akan bergerak dari tempat yang harganya rendah ke tempat yang harganya lebih tinggi. Dan bisa jadi sebuah komoditi bergerak bolak balik sebelum akhirnya benar-benar digunakan oleh konsumen. Misalnya bunga potong, dari Kenya bunga potong akan dilelang di bursa bunga di Amsterdam sebelum akhirnya dijual ke seluruh dunia, termasuk negara-negara Afrika. Bayangkan berapa banyak sumberdaya (biaya, waktu dan energi) yang terbuang untuk melakukannya! Standar dan label Standar dan label semula ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen dan/atau lingkungan. Kenyataannya mekanisme ini seringkali digunakan oleh negara-negara maju untuk memproteksi pasar dalam negeri mereka terhadap serbuan produk impor. Sementara negara-negara berkembang harus memenuhi standar yang tinggi atau proses labeling yang cukup berbelit dan mahal untuk kepentingan ekspor, negara mereka dibanjiri dengan produk-produk junk-food, yang seringkali sudah ditolak di negaranya. TRIPs Melalui mekanisme ini, varietas-varietas tanaman dan rantai genetika hewan dapat dipatenkan oleh perusahaan, yang memungkinan perusahaan tersebut mengontrol sumberdaya yang semula merupakan milik publik (common resources). Ini akan menambah ketergantungan masyarakat pada pangan buatan mereka dan makin memarginalkan akses petani terhadap benih, alat produksi sumber kehidupannya. Siapa yang paling diuntungkan? Dari contoh-contoh di atas jelas bahwa liberalisasi perdagangan tidak akan membantu menyelesaikan masalah distribusi pangan. Yang paling diuntungkan dengan mekanisme pasar yang berjalan sekarang adalah negaranegara maju, khususnya bisnis-bisnis besar WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
mereka. Pasar bebas seperti yang dicitacitakan tidak mungkin tercapai dengan aturan main yang berlaku sekarang ini. Liberalisasi perdagangan seperti sekarang tidak memungkinkan alokasi sumberdaya secara efektif dan efisien (ke tempat yang paling membutuhkan). Sumberdaya akan mengalir kepada mereka yang memiliki uang/kekuasaan. Karena kekurangan pangan biasanya dialami oleh mereka yang miskin dan tidak punya uang, pangan tetap tidak dapat pergi kepada mereka karena mereka tidak mampu membayar. Penyelesaian yang kebanyakan terjadi adalah melalui mekanisme hutang dan bantuan pangan lainnya. Tetapi seperti aturan lainnya yang penuh kepentingan, mekanisme inipun dalam jangka panjang akan menjerat negara-negara pengutang ke dalam jurang kemelaratan dan ketergantungan yang semakin parah kepada negara-negara kaya. Akibatnya meskipun negara tersebut secara politis merdeka, mereka tidak lagi bebas menentukan kebijakannya sendiri, termasuk juga kebijakan pangannya, hajat hidup rakyatnya. Bagaimana mensikapi ini? Meskipun tampaknya sulit mengubah aturan main yang tidak adil ini, kita masih memiliki ruang untuk mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan. Sebagai individu, antara lain dengan mengkonsumsi sebanyak mungkin produk pangan yang diproduksi secara lokal. Semakin dekat tempat produksi pangan dengan tempat konsumsi akan semakin baik. Selain baik untuk lingkungan dan menghemat biaya transportasi, kita akan mendukung produsen-produsen di sekitar kita. Kedua, dengan mengkonsumsi seberagam mungkin produk makanan. Selain baik untuk kesehatan, upaya ini akan membuat petani menanam tanaman yang bervariasi. Dengan demikian hidupnya tidak akan tergantung pada satu komoditi saja. Selain itu ini juga akan mengkonservasi keanekaragaman hayati.
13 Di tingkat komunitas, kita dapat membangun kelompok konsumen-produsen lokal (community supported agriculture) yang
bertransaksi dengan mekanisme perdagangan yang adil. Mekanisme ini diharapkan menguntungkan kedua belah pihak. Dengan memotong rantai pemasaran yang panjang, produsen akan mendapat harga yang lebih tinggi sementara konsumen memperoleh harga yang lebih rendah. Mereka juga dapat membuat kesepakatan mengenai kualitas produk dan cara-cara produksinya, misalnya dengan cara organis. Di tingkat nasional, mungkin agak sulit jika kita ada dalam posisi sebagai rakyat biasa. Selain bisa ikut demontrasi menolak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dalam jangka panjang, minimal kita bisa menolak membeli produk yang terbukti merugikan masyarakat banyak dan menyebarkan informasi tersebut kepada sebanyak mungkin orang.
Referensi Pertanian dan WTO. Panduan untuk Aktifis. 2001. Diterbitkan oleh INFID, IGJ dan FSPI. The Peasant Revolt. New Internationalist 353, Januari-Februari 2003.
Teknologi
Jahe Instan plus Oleh Imang petani dan pengrajin jahe di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cijeruk.
“
Saya anggota kelompok tani Waluya yang mengembangkan budidaya sayur organik di desa Tugu Jaya. Belakangan ini, selain bertani, saya juga mengembangkan usaha pembuatan serbuk jahe yang siap minum. Awal mula saya mengenal teknologi ini ketika Mbak Kumkum bersama Mas Agung Fajar, pendamping dari ELSPPAT yang datang ke tempat saya. Mbak Kumkum memperkenalkan cara membuat serbuk minuman siap saji seperti kunyit, jahe dan sebagainya. Ketika itu mereka bersama-sama mempraktekkan pembuatan serbuk siap saji dari bahan kunyit dan gula aren. Gula aren cukup mudah diperoleh di desa saya karena masih banyak petani yang membuat gula dari aren. Pada saat itu, ujicoba yang dilakukan belum memberikan hasil yang memuaskan. Dari ujicoba tersebut, saya tertantang untuk mencobanya lagi. Berkali-kali saya mengalami kegagalan untuk bisa menemukan campuran yang tepat bagi produk ini. Ketika itu tidak kurang dari WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
14 Rp 200 ribu habis untuk membeli bahan baku seperti jahe, kunyit, dan gula aren. Tapi saya tidak menyerah, hingga pada akhirnya berhasil menemukan cara dan komposisi yang tepat. Bahan-bahan yang digunakan adalah jahe, gula pasir, gula aren, kapulaga, kayu manis, lada, dan secang. Peralatan yang digunakan juga sederhana saja, yakni peralatan dapur yang biasa di rumah tangga, seperti parutan, katel, wajan dan pengaduk kayu. Dulu saya mencoba menggunakan gula aren saja, tetapi dari pengalaman selalu gagal, karena gula arennya sudah tidak murni, yakni sudah dicampur terigu atau bahan lain. Jahe yang baik adalah jahe merah. Cara pembuatannya sederhana, yakni jahe diparut, kemudian diberi air secukupnya dan diperas untuk diambil airnya. Setelah jahe diperas dan disaring, perasan air itu perlu didiamkan dahulu selama satu jam agar zat pati/tepung (aci) yang terbentuk bisa mengendap. Zat seperti tepung (aci) itu sebaiknya dibuang. Yang diambil hanya sari jahenya saja. Setelah itu, perasan air/larutan jahe dicampur dengan gula dan bahan-bahan lainnya lalu dimasak dengan menggunakan api yang kecil sambil terus diaduk. Pemasakan dilakukan sampai larutan berubah menjadi serbuk kristal. Perbandingan bahan bakunya adalah 1 bagian jahe dengan 1 bagian gula pasir. Dengan cara seperti ini dan dikemas ddalam wadah palstik kedap udara maka bisa tahan 5 bulan dengan rasa yang tidak berubah. Selain itu, produk ini juga berkhasiat untuk menghangatkan dan menyegarkan badan, mencegah masuk angin, WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
membantu menghilangkan lelah, menguatkan lambung, dan melancarkan peredaran darah. Produk ini saya beri nama jahe instan PLUS. Saya mengemas dalam plastik yang kedap udara sesuai takaran satu gelas. Sehingga cukup dituang ke dalam gelas dan dicampur air panas sudah siap diminum. Selain itu saya juga membuat label nama produk, khasiat dan harganya. Sayangnya saya belum bisa mencantumkan tanggal kadaluarsa dan belum mendapatkan ijin dari dinas kesehatan. Biaya pendaftaran merek adalah Rp 300 ribu, tapi dianjurkan oleh Depkes agar jangan hanya 1 produk saja yang didaftarkan karena biaya pendaftaran untuk produk yang jumlahnya lebih dari satu juga tetap sama. Saya masih menunggu rejeki untuk mendaftarkan produk saya ini. Usaha ini masih bersifat pribadi, bukan usaha kelompok. Tetapi ke depannya saya ingin melibatkan anggota kelompok tani, khususnya dalam penanaman bahan baku jahe. Sekarang ini produk saya jual ke kios-kios lokal dan warung kopi. Selain itu jika ada pameran ELSPPAT selalu mengajak saya untuk memasarkan produk jahe instan ini. Lumayan hasilnya dan selalu terjual habis. Masalahnya saya sekarang kesulitan memperoleh jahe merah dan pemasarannya masih belum luas. Tapi saya sudah melihat sendiri bahwa usaha ini cukup menguntungkan.[]
15 Cakrawala
Ironi Pangan di Akhir Abad 20 Saduran bebas dari Food & Frming the Fact (NI 353/Jan-Peb’03)
Masih banyak orang yang tidak mendapatkan cukup makanan, saat yang lain makan dengan berlebih. Pada tahun 1997 – 1999 menunjukan data KELAPARAN sbb : ! Ada 815 Juta orang di dunia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makan sehari-hari sesuai nilai kebutuhan energi ! 777 juta dari mereka tinggal di negara yang sedang berkembang, 27 juta di negara yang sedang mengalami transisi, 11 juta di negara industri ! Jumlah orang yang kurang pangan tersebut diharapkan secara perlahan akan berkurang sampai tinggal 440 juta orang pada tahun 2030, Sayangnya sampai tahun 2015 saja setengah dari target yang ditetapkan dalam WFS tahun 1996 ini tidak akan tercapai. ! Jumlah penduduk dunia saat ini 6 Milyar dan diperkirakan akan menjadi 8,3 Milyar pada tahun 2030. Ini berati membutuhkan peningkatan produksi pangan sampai 40-45%. Akan tetapi secara keseluruhan angka pertumbuhan penduduk dan permintaan pangan diperkirakan terlalu lambat. Padahal PERTANIAN dan tanah pertanian telah menjadi sandaran hidup sebagai besar penduduk dunia : ! Pertanian menjadi sumber pendapatan utama bagi 2,5 milyar orang
!
Di negara berkembang, hampir 900 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari 1 $ per hari. Sektor pertanian adalah sumber penghidupan utama mereka.
Saat bersamaan konsolidasi perusahan benih, pestisida dan bioteknologi – yang kemudian dikenal dengan perusahaan LIFE SCIENCE, telah menggiring kontrol atas rantai pangan manusia ke dalam kontrol yang kuat dari segelintir perusahaan besar. ! Hanya ada 4 perusahaan – semuanya di AS dan saling terkait CARGILL/MONSANTO dan Novartis/ADM – yang mengontrol lebih dari 80% pasar benih dunia dan 75% pasar produk bahan kimia pertanian ! 6 Perusahaan mengontrol 85% perdagangan biji2an, 15 perusahaan mengontrol 85% - 90% penjualan kopi di dunia Akibatnya, SUMBER DAYA GENETIK yang merupakan pondasi dasar dari kedaulatan pangan makin dikuasai sekelompok orang. Sebelumnya paling tidak ada 30 jenis tanaman yang menyediakan 85% dari kebutuhan pangan. ! Sejak tahun 1900an paling tidak ada 75% sumber daya genetik tanaman pertanian telah hilang ! Kira2 ada 30 % dari varietas yang tidak dapat dipertukarkan dan WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
16 sedikitnya ada 1 jenis tanaman yang hilang setiap minggunya ! Mexico kehilangan sedikitnya 80% dari varietas tanamannya sejak kehilangan tanaman jagung pada th 1930an ! China kehilangan 90% dari varietas padi dan gandum di antara tahun 1950 – 1970an ! INDONESIA ? Dan perkembangan Teknologi REKAYASA GENETIKA memperparah keadaan ini ! Perkembangan pasar produk Rekayasa genetika sangat cepat, dari 1, 7 ha di tahun 1996 kini mencapai 52,6 ha di tahun 2001. Teknologi benih yang dikembangkan oleh satu perusahaan (Monsanto) telah mengusai 91% perdagangan tanaman rekayasa genetika ! Dari perkiraan luas tanaman 52,6 ha pada tahun 2001, diperkirakan 77% diantaranya adalah tanaman yang memerlukan pestisida, dengan demikian meningkatkan penggunaan pestisida yang diproduksi oleh mereka sendiri ! 15% dari area tersebut ditanaman Tanaman Bt, yang dibuat untuk menanggulangi hama tertentu saja
WACANA ELSPPAT Edisi 28/VI Juli 2003
Belum lagi soal PERDAGANGAN BEBAS. Surplus Perdagangan hasil pertanian dari negara berkembang akan menyusut sampai defisit pada tahun 2030 ! Pada tahun 1961, 40% perdagangan produk pertanian dikuasai oleh petani dari negara2 berkembang. Sejak adanya penurunan harga, kebebasan impor pangan ke negara berkembang dan hambatan perdagangan dari negara kaya, maka kini telah berkurang sampai 35% ! Subsidi yang diberikan untuk setiap sapi di Eropa adalah sebesar 2,5$, setara dengan pendapatan harian orang Africa. Dan Subsidi itu 80%nya diterima oleh petanipetani kaya di Eropa. Jumlah total dukungan negara kaya untuk pertanian di negaranya sekitar 300 Milyar $ per tahun ! Bangladesh mengurangi tarif impor dari 102% menjadi 27 % dalam waktu 1988 –1996. Ghana, kenya dan Tanzania mengurangi tarif impor sampai setengahnya bahkan lebih pada tahun 1990an ! Perdagangan bebas tidak dibutuhkan untuk mengontrol harga pangan bagi konsumen di negara miskin. Lebih dari 20 % penduduk di negara yng menerapkan perdagangan bebas, Bolivia, Nepal, Mali , justru kekurangan pangan[wsp]