Vol. 14 No. 1 (Januari-Juni) 2014
ISSN 1412-999x
DAFTAR ISI 1. Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer oleh Remaja Perkotaan Arum Budiastuti, Nur Wulan..................................................................................
1–14
2. Tafsir Kepemimpinan Ideal Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada Masa Kerajaan Sriwijaya Dedi Irwanto Muhammad Santun.......................................................................... 15–26 3. Pembentukan Masyarakat Kolonial di Kepulauan Filipina Sebelum Abad ke-20 Dias Pradadimara...................................................................................................... 27–42 4. Sexuality Issues and the Struggle for Freedom of Expression in Post-New Order’s Indonesian Film Industry Maimunah.................................................................................................................. 43–58 5. Signifying Surabaya “Green and Clean” by Students of Urban Islamic Boarding Schools Rahmat Hidayat......................................................................................................... 59–68 6. “Foreignization” dalam Penulisan Rambu Petunjuk di Pusat Perbelanjaan di Surabaya Retno Wulandari Setyaningsih................................................................................ 69–80 7. Penanganan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia Pascatragedi World Trade Center Sofian Munawar Asgart............................................................................................ 81–91 8. Aesthetic Taste in Everyday Clothing: A Reflection of Chinese Women Experiences Suna Xie...................................................................................................................... 92–100 9. Representasi Peran Jender dalam Cerita-Cerita Karya Penulis Anak Indonesia Seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) Titien Diah Soelistyarini........................................................................................... 101–118 10. Modal Sosial dalam Penanganan Konflik Pascatragedi Ambon 1999 Zuly Qodir.................................................................................................................. 119–136
Printed by: Airlangga University Press. (OC 079/02.16/AUP). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia. Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail:
[email protected]
Mozaik Vol 14 (1): 1-14 © Penulis (2014)
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer oleh Remaja Perkotaan (The Construction of Ideal Masculinity Through the Consumption of Popular Culture by Urban Teenagers) Arum Budiastuti Nur Wulan
Departemen Sastra Inggris, Universitas Airlangga Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya Tel.: +62 (031) 5033080 Surel:
[email protected] Abstrak
Dalam literatur kajian budaya, konsumsi budaya populer merupakan suatu konsumsi aktif, bukan praktik pasif yang menafikan agensi konsumennya sebagaimana dikemukakan oleh Aliran Frankfurt. Di sini budaya populer menjadi ajang negosiasi identitas, termasuk femininitas dan maskulinitas, di ruang sosial dan memberikan ruang bagi ideologi tertentu, patriarki misalnya, untuk berakar dan berkembang. Artikel ini membahas bagaimana remaja perkotaan membangun makna maskulinitas ideal melalui konsumsi budaya populer. Data dikumpulkan melalui diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam pada 49 siswa laki-laki di sekolah menengah di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai jender yang terkait dengan konsep laki-laki yang lebih tua (bapak) adalah penanda penting konstruksi maskulinitas ideal di kalangan remaja yang diwawancarai. Bentuk-bentuk maskulin tersebut lebih dekat dengan maskulinitas aristokrat Jawa ideal yang terkait dengan tanggung jawab, kehandalan, kesabaran, dan menjadi pelindung. Namun, subjek yang diteliti menunjukkan upaya untuk menegosiasikan maskulinitas tradisional ini dengan norma maskulin yang mereka dapatkan dari budaya populer. Hal ini menjelaskan mengapa anak muda juga mengaitkan otot dan nilai-nilai seperti bertanggung jawab, peduli, melindungi, sopan, berotot, dan memiliki warna kulit lebih terang sebagai norma maskulinitas ideal. Dapat disimpulkan bahwa maskulinitas hegemonik tidak tunggal, tetapi jamak dan sangat dipengaruhi oleh dinamika budaya dan sosial dalam masyarakat tempat konsep maskulinitas tersebut berkembang. Kata kunci: budaya popular, maskulinitas hegemonik, jender, remaja perkotaan
Abstract
In cultural studies literature, the consumption of popular culture is an active practice, not a passive one denying the consumer agency as proposed by the Frankfurt school. Here popular culture become a means of negotiating identity, including femininity and masculinity, in the social space and provide space for a particular ideology, for example patriarchy, to take root and flourish. This article examines the way urban youths construct the meaning of ideal manliness through the consumption of popular culture. The data were collected by conducting Focus Group Discussions and in-depth interviews to 49 male students in secondary schools in Surabaya. It has been found that gender values associated with the notion of older males (Bapak) were significant markers of the construction of ideal masculinities among the interviewed young adults. These masculine forms are closer to ideal Javanese aristocratic masculinities associated with responsibility, reliability, patience, and being protective. However, the subjects under this study showed attempts to negotiate these traditional masculinities with masculine norms furthered in popular cultures to which urban youths have been exposed. This explains why the young people idealized masculine norms associated with men who were responsible, caring, protective, polite, as well as being muscular and having lighter skin color. It is concluded that hegemonic masculinity is not singular, but plural and heavily influenced by the cultural and social dynamics in the society, in which the masculinity concept develops. Keywords: hegemonic masculinities, gender, popular culture, urban youths
Mozaik Vol 14 (1)
PENDAHULUAN
Di tengah gemerlap budaya audio visual dan digital, budaya populer dan remaja seakan-akan telah menjadi dua sisi mata uang yang hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam film dokumenter The Merchants of Cool (Goodman dan Dretzin 2007), David Rushkoff melakukan riset untuk mengetahui bagaimana citra cool diciptakan, dibaurkan dalam budaya populer seperti musik dan fashion, dan dijual oleh korporasi besar (misalnya produsen Nike dan Pepsi) untuk menggaet jutaan konsumen remaja. Meskipun film tersebut lebih banyak berisi kritik terhadap praktik kapitalisme dan tidak banyak menggali makna konsumsi budaya populer oleh remaja, fenomena yang disajikan dalam The Merchants of Cool merupakan epitom intimnya hubungan antara remaja dan budaya populer. Dalam literatur kajian budaya, konsumsi budaya populer merupakan suatu konsumsi aktif, bukan praktik pasif yang menafikan agensi konsumennya sebagaimana dikemukakan oleh Aliran Frankfurt (Frankfurt School). Musik hip-hop, misalnya, tidak hanya dikonsumsi remaja untuk hiburan semata. Hip-hop memberikan ruang bagi penikmatnya untuk mengekspresikan diri dan memberikan identitas bagi komunitasnya (Feracho 2012; Henry et al. 2010; Marsh 2010). Selain itu, budaya populer juga memberikan ruang untuk melakukan perlawanan. Di Amerika pada tahun enam puluhan, misalnya, saat anak muda sudah jenuh dengan persoalan politik luar negeri (perang dingin dengan Rusia), aliran musik rock ‘n roll tercipta untuk mengekspresikan aspirasi tersebut. Tidak hanya itu, rock ‘n roll juga memberikan warna baru dalam hal fashion dan perilaku sehingga dianggap sebagai ancaman bagi keteraturan dan ketenangan di masyarakat. Dengan melihat contoh-contoh tersebut, bisa dikatakan bahwa budaya populer sangatlah politis (Storey 2007). Pertama, budaya populer adalah budaya massa, sehingga tidak mengherankan apabila partai politik sering memanfaatkan artisartis musik pop maupun sinetron pada saat kampanye. Kedua, budaya populer bersifat “politis” karena di dalamnya ada negosiasi identitas dan ideologi. Ketika satu bentuk budaya pop meninggalkan ranah produksi dan dikonsumsi massa, resepsi publik terhadap budaya tersebut tidaklah sama. Inilah yang disebut Stuart Hall sebagai proses encoding-decoding (During 2008; Storey 2007). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, para pencipta rock ‘n roll, misalnya, menghubungkan aliran musik mereka dengan perlawanan terhadap ideologi dominan. Mereka “encode” atau memberikan makna kepada rock ‘n roll dan segala atribut yang melekat pada aliran tersebut. Akan tetapi, saat musik tersebut dikonsumsi publik, makna tersebut bisa jadi berubah. Ketika sampai di Indonesia, rock ‘n roll tidak hanya menjadi alat perlawanan terhadap ideologi dominan, tetapi juga menjadi sesuatu yang keren dan pembeda jender: khas anak muda, khas laki-laki. Pada saat proses decode atau mengonsumsi makna, penikmat aliran musik tersebut bahkan mungkin meninggalkan makna “perlawanan,” hanya mengambil sisi keren dan kekhasan laki-laki-nya saja. Proses yang sama juga bisa menjelaskan mengapa jenis musik tertentu dianggap sebagai musik perempuan dan musik laki-laki, film perempuan dan film laki-laki. Di sini budaya populer menjadi ajang negosiasi identitas femininitas dan maskulinitas, terutama di ruang sosial, dan memberikan ruang bagi ideologi tertentu, patriarki misalnya, untuk berakar dan berkembang. 2
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer
Tidak seperti atribut jender yang berhubungan dengan keperempuanan, konsep maskulinitas masih sering dianggap sebagai suatu fenomena yang tidak perlu mendapatkan perhatian. Ide tentang kelelakian masih sering dianggap sebagai sebuah konsep yang secara sosial tidak banyak dibatasi (Nodelman 2002:1-2). Hal ini berarti bahwa hal-hal yang sudah dipersepsi sebagai hal-hal yang tidak bisa dipisahkan dari laki-laki, misalnya keberanian, kekuatan, dan penggunaan rasio, tidak dipandang sebagai sifat yang membatasi. Sebaliknya, sifat-sifat tersebut dalam masyarakat dianggap sebagai sifat positif yang harus banyak diadopsi dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep femininitas. Atribut-atribut yang berhubungan dengan perempuan seperti penggunaan riasan wajah dan pakaian yang menonjolkan femininitas masih sering dipandang sebagai hal-hal yang membatasi ruang gerak perempuan. Persepsi bahwa maskulinitas itu relatif bebas dari nilai-nilai ideal yang menghegemoni menyebabkan timbulnya anggapan bahwa konsep maskulinitas itu terbebas dari norma-norma sosial yang bersifat membatasi. Persepsi seperti ini tentu saja harus dipertanyakan. Konsep maskulinitas sebagai suatu konstruksi jender tentu saja tidak pernah bebas dari norma-norma sosial yang bisa menghambat terciptanya relasi jender yang setara. Anggapan bahwa konsep maskulinitas itu lebih membebaskan dibandingkan konsep femininitas adalah salah satu alasan utama mengapa diskursus akademik dalam bidang jender masih sangat tidak berimbang. Diskursus jender masih sangat berpusat pada perempuan dan isu-isu yang mengelilinginya. Seiring dengan kurangnya perhatian terhadap isu-isu yang berhubungan dengan konsep kelelakian, remaja laki-laki sebagai suatu fase penting dalam proses konstruksi maskulinitas juga merupakan subjek penelitian yang masih terpinggirkan. Dalam diskursus akademik, studi yang pernah dilakukan tentang konstruksi maskulinitas Indonesia masih sangat terbatas jumlah dan cakupan studinya. Studi yang dilakukan oleh Boellstorff (2005) dan Oetomo (2000), misalnya, menunjukkan bahwa konsep maskulinitas juga berhubungan dengan orientasi seksual dan upaya-upaya untuk menegosiasi orientasi seksual normatif yang banyak dianut masyarakat Indonesia. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa pembentukan identitas homoseksual di Indonesia sangat berhubungan erat dengan kelas sosial, umur, dan distribusi kekuasaan yang tidak merata. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh tim yang beranggotakan Nilan, Donaldson, dan Howson (2007) menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Indonesia yang tinggal di Australia tentang konsep maskulinitas ideal mereka mengindikasikan adanya kemiripan dengan konsep maskulinitas Jawa. Maskulinitas lokal ini mungkin mirip dengan konsep maskulinitas wen di Cina yang tidak mengedepankan kekuatan fisik (Louie 2002). Temuan tim Nilan ini ternyata berbeda dengan temuan dalam studi yang dilakukan oleh Clark (2008). Clark mengamati konstruksi maskulinitas dalam beberapa film kontemporer Indonesia dan menunjukkan bahwa konsep kelelakian yang dikedepankan adalah yang diasosiasikan dengan kekerasan dan kekuatan fisik. Dalam merujuk kepada konsep maskulinitas yang mengedepankan kekuatan fisik yang ditemukan dalam beberapa sampel film Indonesia, Clark menyebutnya sebagai “maskulinitas yang hegemonik”. Namun demikian, apa yang disebut dengan konsep 3
Mozaik Vol 14 (1)
maskulinitas ideal Indonesia yang hegemonik ini nampaknya perlu digali lebih dalam lagi melalui penelitian lebih lanjut. Nampaknya, apa yang bisa disebut sebagai “maskulinitas Indonesia hegemonik” lebih mendekati pada konsep kelelakian yang diasosiasikan dengan kematangan emosional, yang biasanya dimiliki oleh laki-laki yang sudah berumur. Konsep maskulinitas yang berdasarkan pada prototip bapak ini adalah cerminan ideologi jender patriarkal yang mengedepankan superioritas laki-laki sebagai figur sentral dalam kehidupan sosial budaya suatu masyarakat. Norma kelelakian yang kebapakan ini pada umumnya diasosiasikan dengan perilaku yang tidak konfrontasional, tidak terlalu berani dalam mengambil resiko karena lebih mengedepankan stabilitas. Tidak berlebihan kiranya jika prototipe laki-laki seperti ini bisa dianggap sebagai konsep maskulinitas Indonesia hegemonik. Hal ini berdasarkan pemikiran Donaldson (1993:647) yang menyatakan bahwa maskulinitas hegemonik adalah suatu pola norma maskulinitas yang diunggulkan secara budaya. Oleh karena itu, suatu maskulinitas hegemonik biasanya bisa ditemukan pada figurfigur sentral yang dianggap panutan oleh masyarakat tersebut. Keempat studi yang telah dijelaskan sebelumnya masih membahas konstruksi maskulinitas di kalangan laki-laki dewasa. Penelitian yang membahas maskulinitas remaja di Indonesia belum begitu banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang membahas anak muda termasuk yang dilakukan Nilan (2010) dan Nilan, Demartoto, dan Wibowo (2011), yang membahas maskulinitas anak muda dalam konteks kekerasan atau tawuran antaranak muda. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan dalam memahami konsep maskulinitas remaja dalam konteks sekolah dan kaitannya dengan konsumsi budaya populer. Remaja yang tinggal di perkotaan adalah salah satu aktor sosial yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi sosial suatu masyarakat. Hal ini disebabkan mereka berpotensi untuk menyerap norma-norma jender yang dianut oleh orang dewasa di sekelilingnya. Selain itu, karakteristik masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka menjadikan mereka lebih mudah menyerap unsur-unsur budaya baru. Dalam konteks ini, penelitian berupaya memahami bagaimana proses konstruksi maskulinitas yang berlangsung pada remaja perkotaan. Dalam artikel ini, penulis membahas citra maskulin dalam budaya populer untuk memberikan gambaran mengenai dunia remaja dan bagaimana mereka menemukan identitas laki-laki ideal dalam budaya populer. Selanjutnya, dibahas bagaimana mereka mengonsumsi budaya populer dan mengidentifikasi diri mereka sebagai remaja laki-laki yang maskulin ideal, agak “feminin,” atau lebih “feminin” di dalam konteks sosial mereka. Hal yang umum diketahui tentang dunia remaja adalah bahwa dunia mereka penuh tanda tanya mengenai dunia di sekitar mereka dalam proses pencarian identitas. Di periode ini, peran role model dianggap sangat berpengaruh dalam pembentukan identitas, mulai dari lingkungan keluarga sampai lingkungan sosial mereka, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Di luar sekolah, khususnya, role model ini tidak hanya di temukan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya (virtual), serta media cetak dan layar (televisi dan sejenisnya). Di Indonesia era 80-90an, 4
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer
majalah remaja seperti HAI dan GADIS sangat populer di kalangan remaja sekolah menengah. Oleh karena pembaca utama majalah-majalah tersebut adalah remaja, isi majalah tersebut pun tidak lepas dari problematika remaja, tips-tips penampilan dan kiat untuk menarik perhatian si dia serta mendapatkan pacar. Oleh karena norma seksualitas umum yang berlaku di masyarakat Indonesia adalah heteronormativitas, kata si dia atau doi dalam majalah-majalah tersebut pasti merujuk pada lawan jenis. Sampai sekarang pun, hampir tidak ada wacana homo (norma sesama jenis) di majalah remaja. Wacana tersebut mungkin dapat ditemukan saat ini di majalah dewasa, terutama majalah impor, namun itu pun hanya satu-dua kasus. Salah satu penelitian yang membahas konstruksi maskulinitas di majalah remaja adalah yang dilakukan oleh Juliastuti (2000). Juliastuti menyelidiki bagaimana dunia remaja laki-laki dan ideologi maskulinitas direpresentasikan dan dikonstruksikan oleh majalah HAI, majalah remaja laki-laki di Indonesia yang eksis sejak tahun 1977. Tujuan utama penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana operasi konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media. Berfokus pada dua wacana maskulinitas umum, yaitu wacana pemujaan tubuh dan wacana machoisme atau wacana kejantanan, Juliastuti menemukan bahwa konstruksi laki-laki ideal (maskulin) adalah yang memiliki bentuk tubuh kuat, berotot, dan sehat, seperti yang dimiliki oleh aktor Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger. Laki-laki yang bertubuh lemah gemulai, kurus, dan lembek dianggap tidak sepenuhnya laki-laki, karena diragukan kemampuannya bisa menjaga perempuan. Selain itu, cowok yang ideal adalah mereka yang pemberani, tidak cengeng, dan tidak suka bergunjing, apalagi latah. Oleh karena sifat-sifat tersebut diatributkan pada laki-laki, jenis olah raga yang paling ideal bagi laki-laki adalah panjat tebing, tinju, arung jeram, dan sepak bola (Juliastuti 2000:7). Tidak hanya di majalah, pengamatan yang sama juga bisa dilakukan terhadap film atau sinetron, serta lirik atau genre musik di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa budaya populer sangatlah politis karena mengusung ideologiideologi tertentu. Namun, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pembaca atau konsumen budaya populer bersifat aktif, dalam artian mereka dapat memaknai apa pun yang mereka konsumsi dan bisa jadi berbeda dengan makna atau ideologi yang ditawarkan produsen (Fiske 2001:62). Di bagian selanjutnya, artikel ini akan menganalisis persepsi remaja laki-laki terhadap maskulinitas ideal melalui praktik konsumsi budaya populer mereka, di antaranya adalah majalah/buku, musik, film, social networking serta aktor favorit. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian wacana dari sisi produksi seperti yang dilakukan oleh Juliastuti dan memberikan sudut pandang yang berbeda dalam memahami kompleksitas praktik jender di dunia remaja.
METODE
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Hal ini berarti bahwa penelitian ini berusaha mencari jawaban dari pertanyaan utama yang diajukan dengan menemukan regularitas dan pola tertentu dari gejala sosial yang sedang diteliti. Data dan informasi yang didapatkan diinterprestasi secara mendalam dan menyeluruh, sehingga hubungan logis dari data yang mungkin beragam bisa 5
Mozaik Vol 14 (1)
didapatkan. Secara konkret, penelitian ini berusaha melakukan sintesis dari data yang diperoleh lewat observasi dan wawancara. Objek penelitian adalah siswa sekolah menengah di wilayah Kota Surabaya remaja berusia 12 sampai dengan 18 tahun. Remaja dengan latar belakang siswa dipilih karena mereka diasumsikan telah terpajan oleh banyak diskursus terkait kelelakian, baik secara formal (melalui sekolah) maupun informal (keluarga dan lingkungan) sehingga mereka memiliki banyak referensi ketika mendiskusikan praktek konsumsi budaya mereka. Rekrutmen dilakukan melalui kunjungan ke beberapa sekolah yang dipilih secara acak, yaitu SMPN 6, SMPN 3, SMPN 23, SMUN 2, SMUN 4, dan SMUN 22. Jumlah remaja yang bersedia diwawancarai di tiap seolah kira-kira ada enam hingga delapan siswa dengan total 49 remaja. Teknik pengambilan data yang dilakukan adalah wawancara mendalam dan Focus Grup Discussion (FGD) yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2012. FGD merupakan cara yang cukup efektif untuk mendapatkan jawaban dari sekelompok orang, karena melalui FGD peneliti dapat menggali makna dan norma-norma yang melandasi jawaban-jawaban tersebut (Bloor 2000; Liamputtong 2011). Selain itu, FGD dapat menstimulasi para responden dan mereka dapat saling melengkapi jawaban satu sama lain sehingga dapat memperkaya data (Marvasti 2004:22). Jenis pertanyaan yang diajukan misalnya mengenai konsep maskulinitas yang seperti apa yang ideal menurut mereka dan apa produk-produk budaya yang mempengaruhi identitas laki-laki mereka. Untuk melindungi identitas informan, nama-nama yang ditulis dalam artikel ini adalah nama samaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di SMA dan SMP di Surabaya, ada sebanyak 49 siswa yang menjadi informan penelitian terkait konsumsi budaya populer mereka. Pertanyaan yang diajukan secara berurutan sehubungan dengan konsumsi budaya populer adalah kepemilikan dan keaktifan di situs jejaring sosial serta konsumsi film dan musik. Partisipasi informan dalam diskusi cukup aktif. Meskipun setiap informan bergilir dalam memberikan jawaban, tidak jarang informan satu menimpali jawaban informan lainnya sehingga sesi diskusi menjadi lebih interaktif. Jejaring Sosial dan Popularitas Mengenai kepemilikan situs jejaring sosial, mayoritas informan memiliki akun. Hal ini mengindikasikan bahwa akun jering sosial merupakan hal “wajib” bagi remaja zaman sekarang. Semua informan memiliki akun Facebook dan hanya beberapa yang memiliki akun Twitter. Facebook memang menjadi fenomena tersendiri di dunia anak muda. Facebook atau Twitter seakan-akan menjadi syarat ketika ingin menambah teman baru. Sebagaimana diakui oleh salah seorang informan, “Pernah, sih, kenalan ma cewek pas di acara temen. Dia-nya langsung nembak, punya Facebook, gak?Aku sih bilang punya, padahal enggak. Waktu dia-nya lagi ngapain gitu, aku langsung bikin akun lewat hape” (Ilham 2012).
6
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer
Hal yang dialami Ilham mungkin juga dialami remaja lainnya. Kepemilikan akun jejaring sosial sepertinya menjadi salah satu syarat menjadi remaja gaul yang up-todate. Di sini yang ditekankan adalah citra gaul, dan dalam situasi perkenalan Ilham, bisa dilihat bahwa citranya sebagai laki-laki terancam apabila tidak memiliki akun FB. Sebagaimana diakuinya saat ditanya lebih lanjut mengenai alasannya berbohong, Ilham mengatakan bahwa laki-laki harusnya gaul dan tidak boleh kalah dengan perempuan. Apabila kepemilikan akun jejaring sosial seakan-akan menjadi kewajiban, lain halnya dengan keaktifan di situs tersebut. Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak aktif dalam artian tidak menggunakan FB setiap hari untuk update status atau bersosialisasi dengan teman. Mereka jarang menggunakan FB dan bahkan ada yang tidak pernah menggunakan sama sekali sejak terdaftar menjadi anggota. Hal lain yang dapat dicermati adalah “koleksi” teman di Facebook. Ada beberapa pendapat berbeda mengenai hal ini. Ada salah satu informan, Bram, mengatakan bahwa semakin banyak teman yang dimiliki seseorang di FB, semakin populer dia di kalangan teman-temannya. Friends di FB menjadi semacam koleksi, walaupun pada realitasnya dia tidak pernah berhubungan dengan mereka, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kepopuleran di sini juga bisa berarti hanya bagi lingkaran temannya saja (social milieau), bukan populer dalam cakupan yang lebih luas karena memiliki banyak “teman.” Mengenai teman di FB, Jaka, informan yang lain, memiliki pendapat yang sama sekali berbeda. Dia mengatakan bahwa temannya di FB adalah temannya di dunia nyata (Jaka 2012). Dengan kata lain, dia hanya meng-add friend orang-orang yang benar-benar dikenalnya. Baginya, teman adalah seseorang yang dapat diajak berbicara dalam suka dan duka, terutama mereka yang dapat menjaga rahasia. Apalagi ada banyak kasus di FB di mana ada seorang “teman” yang menjelek-jelekkan atau bahkan mengungkap aib seseorang. Jenis kelamin “teman” di FB rupanya juga bisa menunjukkan identifikasi kelelakian seseorang. Dimas, misalnya, dengan bangga mengatakan bahwa mayoritas temannya di FB adalah laki-laki: “Kalau banyak cewek, tar dikira gimana... suka pacaran atau apa...” (Dimas 2012). Salah seorang informan lainnya, Gigih, mengakui dengan malumalu kalau teman FB-nya banyak yang cewek (Gigih 2012). Dari dua jawaban tersebut bisa dikatakan bahwa wacana heteronormativitas masih sangat kuat di kalangan remaja Surabaya. Akan tetapi, sikap malu memiliki banyak teman perempuan bisa diartikan bahwa ada wacana lain yang juga memengaruhi sikap para remaja ini. Walaupun banyak juga informan yang memiliki banyak teman perempuan di FB dan merasa biasa saja, beberapa informan kita menunjukkan kecenderungan rasa malu. Salah satu alasan yang mungkin adalah kuatnya pengaruh sekolah dalam meregulasi fenomena pacaran di kalangan remaja, atau dalam menekankan aspek akademis di atas hal-hal lain sehingga remaja sekolah cenderung bersikap dalam kerangka wacana tersebut. Hasil wawancara dengan para informan menunjukkan bagaimana Facebook telah memberikan berbagai makna pada remaja-remaja tersebut. Slogan Facebook, “Facebook helps you connect and share with the people in your life” (Facebook membantu anda terhubung dan berbagi dengan orang-orang dalam hidup anda), 7
Mozaik Vol 14 (1)
mungkin tidak berarti apa-apa bagi para penggunanya sebagaimana terlihat dalam wawancara. Slogan yang lebih tepat mungkin “Facebook membantu anda untuk lebih populer dan diterima oleh teman-teman anda,” sebagaimana ditunjukkan oleh banyak informan penelitian ini. Film Action: Antara Eskapisme dan Identifikasi Kelelakian Sama halnya dengan konsumsi situs jejaring sosial, praktik konsumsi film populer juga menunjukkan adanya identifikasi maskulinitas ideal. Dalam beberapa literatur, Dalam beberapa sesi wawancara, mayoritas informan menyebutkan film action sebagai film favoritnya, hampir sama jumlahnya dengan yang menyebutkan film fantasi (seperti Harry Potter, Pirates of the Carribean, dan Eragon) dan film horor (Final Destination, film horor Jepang). Dari semua informan laki-laki, hanya satu orang yang menyebutkan film drama sebagai film favorit, itu pun dilihat dari kemampuan film drama menjadi inspirator (Doni 2012). Oleh karena film fantasi dan horor adalah subtipe genre film action (Sarick 2009), bisa dikatakan bahwa mayoritas remaja laki-laki yang menjadi informan lebih memilih fim action. Aktor favorit yang banyak disebutkan pun masih di seputar laki-laki berotot, berkharisma, dan macho seperti Nicholas Cage, Van Diesel, Sylvester Stallone, Vino G. Bastian, dan Donny Alamsyah. Bahkan ada satu informan yang mengakui bahwa alasan dia menonton film tertentu hanya karena aktor favoritnya, Bruce Willis, bermain dalam film-film tersebut (Akmal 2012). Untuk menjelaskan fenomena konsumsi film populer sebagaimana ditunjukkan oleh para informan dan memahami konstruksi maskulinitas siswa laki-laki dalam praktik tersebut, peneliti menggunakan istilah yang digunakan oleh Jackie Stacey: “eskapisme” dan “identifikasi” (2009). Eskapisme sebenarnya adalah istilah yang umum digunakan oleh peneliti yang melakukan riset penonton/pembaca (audience research) dalam menjelaskan mengapa orang menyukai film tertentu dalam berbagai kerangka studi (lihat misalnya, Ang 1985 dan Ida 2008 untuk contoh studi tentang audiens perempuan; atau Coutas 2006 dan Yulianto 2008 untuk studi tentang penonton Indonesia secara umum). Sama halnya dengan para penonton dalam penelitian-penelitian tersebut, para informan dalam penelitian ini menggunakan film untuk “melarikan diri” dari dunia nyata ke dunia utopia yang diciptakan oleh film. Sebagaimana dikatakan oleh Dyer (dalam Stacey 2009), utopia dunia hiburan dapat dimengerti dalam kerangka oposisi biner antara masalah yang dihadapi oleh penonton dan solusi yang ditawarkan oleh produsen film. Namun di dunia siswa sekolah, oposisi biner tersebut tidak harus berupa “masalah” dan “solusi,” tetapi dapat berupa “kondisi” saja. Film action menawarkan hal-hal yang diinginkan atau diimpikan oleh para siswa laki-laki yang mungkin tidak mereka dapatkan di dunia nyata (lihat Tabel 1). Dengan kata lain, ada alasan mengapa para remaja ini lebih menyukai film action daripada film bergenre lain. Film action menawarkan dunia yang memang sulit untuk diwujudkan di dunia nyata sehingga menjadi kesenangan (pleasure) tersendiri bagi mereka untuk menonton. Jadi, apabila ada film yang hanya menceritakan dunia sekolah dan segala perniknya, misalnya tugas sekolah dan aturan-aturan sekolah
8
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer
Tabel 1. Perbedaan Realitas di Film dan Dunia Nyata Kondisi di dunia nyata Dunia sekolah yang penuh dengan tugas Tidak ada aksi fisik yang menantang Tidak dapat melakukan hal-hal luar biasa Tubuh lelah setelah beraktivitas fisik Memiliki postur tubuh biasa saja Tidak punya pacar/dilarang berpacaran Tidak populer Sumber: data hasil wawancara yang diolah
Kondisi dalam Teks Film Tidak ada tugas sekolah dan tuntutan pencapaian akademik, walaupun ada setting sekolah (seperti dalam film Final Destination) Penuh dengan aksi menantang, misalnya kebutkebutan, adu jotos dan senjata, dll. Dapat terbang dan memiliki benda ajaib (misal Harry Potter) Tidak ada rasa lelah atau bosan Memiliki tubuh atletis atau bahkan berotot dan kuat Ada gadis/wanita cantik yang menjadi pacar sang tokoh Disukai dan dibutuhkan banyak orang
yang mengikat, mungkin hampir bisa dipastikan bahwa film tersebut tidak akan diminati oleh para remaja sekolah. Selain itu, ada proses identifikasi oleh para remaja ini ketika mereka menonton film. Mereka sadar bahwa mereka bukanlah bintang film, akan tetapi ada semacam proses fluiditas temporal (Stacey 2009:126) antara identitas mereka dengan identitas bintang film tersebut selama mereka menonton. Fluiditas tersebut, lanjut Stacey (2009:128), seringkali dipicu oleh hal yang dirasa sama (misalnya penonton dan tokoh utama film berjenis kelamin sama, laki-laki). Mereka menemukan (atau membayangkan?) “identitas” mereka dalam film yang mereka tonton: seorang laki-laki yang kuat, bertubuh atletis, penuh aksi, dan digilai banyak wanita. Gambar-gambar yang melekat di pikiran mereka dapat berubah menjadi nilai-nilai yang mendefinisikan laki-laki ideal dan menjadi justifikasi ketika mereka mulai meniru gaya berpakaian atau penampilan mereka. Teori identifikasi ini dapat menjelaskan mengapa tidak ada informan penelitian ini yang (kebetulan) tidak ada yang menyebutkan para aktor berkarakter fisik berbeda seperti Aming atau Sule (aktor komedi Indonesia yang dianggap tidak berwajah tampan) sebagai aktor laki-laki ideal, padahal mereka sangat populer. Proses identifikasi ini juga bisa menjelaskan mengapa banyak remaja laki-laki tidak menyukai film Twilight (yang diadaptasi dari novel populer dengan judul sama karya Stephenie Meyer), padahal film tersebut penuh dengan aksi dan fantasi. Salah satu penyebabnya bisa jadi adalah tokoh utama laki-laki film tersebut yang lebih banyak memiliki karakteristik fisik perempuan, seperti berbibir merah, berkulit putih mulus, bersuara lirih, dan tidak berotot. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak ada faktor tunggal pada setiap fenomena sosial budaya. Salah seorang informan, Dino, mengatakan bahwa Twilight tidak begitu disukai remaja laki-laki karena film tersebut dicap sebagai film romantis, film khas perempuan (Dino 2012). Bisa jadi pada dasarnya, seorang remaja laki-laki menyukai film tersebut tetapi tidak mengakuinya karena “tekanan” lingkungan teman sepantar. Jawaban-jawaban yang diberikan informan penelitian ini menunjukkan bahwa praktik konsumsi budaya populer merupakan suatu hal yang kompleks yang tidak 9
Mozaik Vol 14 (1)
bisa dilihat secara hitam putih. Menonton film, membaca koran, dan menikmati musik bukanlah aktivitas yang sesederhana kelihatannya. Ada banyak wacana dan ideologi yang terlibat di dalamnya. Ketika seorang remaja laki-laki lebih memilih dan menyukai film action daripada film drama, misalnya, dia dikatakan telah memasuki operasi ideologi dominan, yaitu bentuk kelelakian ideal sebagaimana ditunjukkan oleh para tokoh bintang film action Hollywood. Ini adalah posisi membaca film yang disebut Hall sebagai the dominant-hegemonic position (2001:515), yaitu “mengonsumsi” ideologi yang ditawarkan oleh produsen film tersebut. Musik Pop: Situs Negosiasi Maskulinitas Remaja? Untuk konsumsi musik populer, mayoritas informan menyebutkan musik pop (melayu) atau musik slow rock sebagai musik favorit, dengan band atau penyanyi favorit seperti ST12, Andra and the Backbone, Bondan Prakoso, dan J-Rock. Berbeda dengan selera mereka akan film yang cenderung menunjukkan identitas “lelaki,” hampir semua informan tidak menyukai lagu (heavy) metal, yang sering dianggap “sangat lelaki.” Hal ini mungkin disebabkan lagu genre tersebut tidak begitu populer di Indonesia. Acara-acara musik di televisi, seperti DERINGS (TransTV) atau INBOX (SCTV), hanya memutar jenis lagu tertentu seperti pop atau slow rock, sehingga pilihan musik populer didominasi oleh genre tersebut. Selain itu, musik pop disukai remaja laki-laki untuk alasan-alasan lain, seperti yang diungkapkan oleh Joni, siswa SMA 20 Surabaya, “Aku suka lagu pop soalnya musiknya enak di telinga. Liriknya juga bagus-bagus. Pokoknya enak didengerin dan dinyanyiin bareng temen-temen, gitu” (Joni 2012). Dari jawaban tersebut, bisa dikatakan bahwa ada negosiasi maskulinitas di sini. Di satu sisi, para remaja ini mengetahui bahwa lagu pop identik dengan lagu percintaan (tema yang sering diatributkan kepada remaja putri). Namun di sisi lain, mereka membutuhkan referensi untuk menjadi seorang laki-laki, khususnya dalam hal berhubungan dengan lawan jenis. Sudah umum diketahui bahwa remaja, khususnya, mengadopsi nilai-nilai tidak hanya dari keluarga tapi dari apa yang mereka baca dan tonton melalui media. Musik pop, dalam hal ini, berfungsi sebagai salah satu alternatif penyedia nilai-nilai tersebut. Dari lirik-lirik musik pop, remaja laki-laki dapat belajar untuk memahami perasaan perempuan atau mempelajari bagaimana mencintai orang yang disayangi dan melindunginya. Hal-hal inilah yang mungkin juga membuat remaja laki-laki menyukai musik pop. Dengan kata lain, dia berada dalam apa yang disebut Hall negotiated reading position (2001:517). Di satu sisi dia tunduk pada ideologi maskulinitas yang menonjolkan fisik dan kekuatan, namun di sisi lain dia juga menerima nilai “femininitas” untuk menjadi seorang laki-laki maskulin yang bertanggung jawab, mengayomi, dan melindungi orang yang disayanginya. Analisis temuan mengenai konsumsi musik pop bisa dikatakan sejalan dengan temuan Wulan (2013) yaitu persepsi mereka tentang laki-laki ideal yang tidak harus berotot asalkan memiliki karakteristik atau sifat-sifat tertentu, seperti bertanggung jawab, penuh kasih sayang, dan berjiwa pemimpin. Hal ini cukup menarik untuk diteorikan lebih lanjut karena konsepsi maskulinitas ideal bisa jadi berbeda dalam
10
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer
konteks yang berbeda. Identitas maskulinitas bersifat cair dan tidak bisa ditentukan hanya dengan bagaimana dia menonton film atau menikmati musik. Perlu pemikiran dan analisis mendalam untuk memahami berbagai wacana yang memengaruhi cara remaja mengonstruksi maskulinitas dan mempertimbangkan berbagai konteks dimana sebuah (beberapa) identitas “dimainkan.” Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sekolah sangat berperan dalam memperkenalkan budaya populer kepada remaja. Melalui teman-teman di sekolah, hal-hal yang sedang menjadi trend di kalangan anak muda bisa diperkenalkan dan bahkan menjadi lebih populer. Deteksi Basket League (DBL) yang dipromotori oleh harian terbesar di Jawa Timur, Jawa Pos, misalnya, membidik remaja sekolah menengah sebagai targetnya. Dalam mempopulerkan program-programnya, DBL sering melakukan road show dan lomba-lomba di sekolah (PT. DBL Indonesia 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya populer cenderung berperan sebagai sarana untuk keluar sejenak dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh lingkungan political society di masyarakat, misalnya sekolah. Dalam hal konsep maskulinitas ideal, budaya populer cenderung menawarkan sarana bagi para remaja untuk sejenak keluar dari kungkungan norma maskulinitas hegemonik a la laki-laki senior. Oleh karena itu, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1, maskulinitas yang dikedepankan dalam banyak budaya populer lebih cenderung diasosiasikan dengan pengagungan bentuk fisik laki-laki (berotot, tinggi, besar) serta aktivitas laki-laki yang sering dianggap macho (misalnya berkelahi, kebut-kebutan mengendarai kendaraan bermotor). Hal ini bisa menjelaskan mengapa atribut kelelakian yang diasosiasikan dengan hal-hal tersebut juga disuarakan oleh banyak responden ketika mereka ditanya mengenai konsep maskulinitas ideal menurut mereka. Dalam wawancara diketahui bahwa juga memiliki aspirasi untuk menjadi laki-laki dengan bentuk badan yang agak berotot, meskipun norma kelelakian yang berhubungan dengan kebaikan hati, kesopanan, dan tanggung jawab lebih mendominasi. Penelitian ini juga membuktikan bahwa norma maskulinitas ideal dominan yang dikonstruksi oleh sekolah dan juga secara sukarela oleh siswa remaja adalah norma maskulinitas yang berhubungan dengan upaya untuk menciptakan suatu tatanan (order) dan keinginan untuk menahan diri (restraint), sejalan dengan temuan Nilan, Demartoto, dan Wibowo (2011) dan Wulan (2013). Sopan, baik hati, dan bertanggungjawab jelas-jelas merupakan sifat yang dibutuhkan bagi terciptanya suatu harmoni dan tatanan yang damai, serta minim konflik. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tipe laki-laki seperti ini terwakili dengan baik oleh figur laki-laki nomor satu di Indonesia, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti yang tercermin dalam kebijakan dalam dan luar negerinya, SBY dikenal sebagai sosok yang sangat mempertahankan citra positifnya di mata masyarakat regional dan internasional. Oleh karena itu, SBY jarang menunjukkan sifat konfrontatif di depan publik ketika menanggapi isu-isu yang beredar di masyarakat. Tampaknya, hal ini memiliki kemiripan dengan sosok Soeharto, mantan Presiden Indonesia pada masa Orde Baru yang sudah memimpin selama lebih dari tiga dekade.
11
Mozaik Vol 14 (1)
SIMPULAN
Dalam konteks wacana akademik tentang jender di Indonesia, penelitian ini berusaha untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara studi tentang perempuan Indonesia, yang jumlahnya sudah banyak dan meliputi banyak aspek kehidupan perempuan Indonesia, dan karya akademik tentang laki-laki Indonesia, yang jumlah dan batasan studinya masih sangat terbatas. Penelitian ini menunjukkan bahwa maskulinitas hegemonik itu sebetulnya dinamis dan berkaitan dengan aspek sosial budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu, konsep maskulinitas bukanlah konsep yang “natural,” seperti yang selama ini sering dipersepsi dalam masyarakat. Penelitian ini mengafirmasi pendapat yang mengatakan bahwa konsep maskulinitas dan femininitas itu adalah konsep yang cair yang sangat terbuka terhadap interpretasi dan formulasi ulang. Dalam konteks akademik yang lebih luas, penelitian ini berusaha untuk mempertanyakan konsep yang mengatakan bahwa maskulinitas hegemonik lebih banyak diasosiasikan dengan nilai yang berhubungan dengan konsep kelelakian yang diwarnai ketegasan dan keaktifan. Konsep maskulinitas seperti ini sering digunakan untuk menjelaskan fenomena yang banyak terjadi dalam masyarakat Barat. Maskulinitas hegemonik itu tidak tunggal. Maskulinitas hegemonik bersifat plural dan sangat ditentukan oleh dinamika sosial budaya masyarakat di mana konsep maskulinitas tersebut berkembang. Apa yang sudah dikemukakan dalam penelitian ini hanyalah sebagian kecil dari gambaran besar dan kompleks mengenai fenomena maskulinitas Indonesia, dan maskulinitas secara umum. Masih banyak aspek lain yang tidak tercakup dalam penelitian ini, misalnya maskulinitas yang berkembang dalam masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial, dan budaya, serta aspek-aspek lain dari institusi sekolah selain yang dibahas dalam penelitian ini. Sekolah adalah sebuah mikrokosmos kehidupan remaja yang juga sangat kompeks dan multidimensional. Oleh karena itu, penelitian ini harus dibaca dan dipertimbangkan bersama-sama dengan studi lain tentang maskulinitas, baik studi etnografis maupun studi budaya yang mempelajari representasi maskulinitas dalam media yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Film dan Aktor Favorit (4 Juni). Ang, I. 1985. Watching Dallas. London: Methuen. Bloor, M, J Frankland, M Thomas, dan K Robson. 2001. Focus Groups in Social Research. London: Sage Publications. Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton: Princeton University Press. Clark, Marshall. 2008. “Indonesian Cinema: Exploring Cultures of Masculinity, Censorship and Violence.” Dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, disunting oleh A Heryanto. New York: Routledge. Coutas, P. 2006. “Fame, Fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the New Celebrity.” Asian Journal of Communication 16 (4): 371-392. 12
Konstruksi Maskulinitas Ideal Melalui Konsumsi Budaya Populer
PT. DBL Indonesia. 2010. “The History of DBL: 2004, Musim Perdana yang Tak Terlupakan.” DBL Indonesia. http://www.dblindonesia.com/r1/index. php?act=history Dimas, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Penggunaan Sosial Media (24 Mei). Dino, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Film dan Aktor Favorit (4 Juni). Doni, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Film dan Aktor Favorit (4 Juni). Gigih, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Penggunaan Sosial Media (24 Mei). Feracho, Lesley. 2012. “Dialogically Redefining the Nation: Hip Hop and the Collective Identity.” In Critical Perspectives in Afro-Latin American Literature, disunting oleh Antonio Tillis. London: Routledge. Goodman, M, dan R Dretzin. 2007. The Merchants of Cool. Boston: Frontline WGBH. Hall, Stuart. 2008. ‘Encoding, Decoding’. Dalam The Cultural Studies Reader, disunting oleh Simon During. London and New York: Routledge. Henry, W, N West, dan A Jacson. 2010. “Hip-Hop’s Influence on the Identity Development of Black Female College Students: A Literature Review.” Journal of College Student Development 51(3): 237-251. Ida, R. 2008. “Consuming Taiwanese Boys Culture: Watching Meteor Garden with Urban Kampung Women in Indonesia.” Dalam Popular Culture in Indonesia, disunting oleh Ariel Heryanto. London: Routledge. Ilham, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Penggunaan Sosial Media (24 Mei). Jaka, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Penggunaan Sosial Media (24 Mei). Joni, wawancara oleh Arum Budiastuti. 2012. Lagu dan Penyanyi Favorit (7 Juli). Juliastuti, Nuraini. 2000. “Majalah Hai dan Boyish Culture.” Kunci 8: 6-9. Liamputtong, P. 2011. Focus Group Methodology: Principle and Practice. London: Sage Publications. Louie, Kam. 2002. Theorising Chinese Masculinities. Cambridge: Cambridge University Press. Marsh, PK. 2010. “Our Generation is Opening Its Eyes: Hip-hop and Youth Identity in Contemporary Mongolia.” Central Asian Survey 29 (3): 345-358. Marvasti, A. 2004. Qualitative Research in Sociology. London: Sage Publications. Nilan, Pam, Mike Donaldson, dan Richard Howson. 2007. Indonesian Muslim Masculinities in Australia. NewYork: Routledge. Nilan, Pamela. 2010. “The Gang, Violence and the Life Course for Indonesian Male Youth.” XVII World Congress of Sociology (ISA-RC 34). Gothenburg. Nilan, P, A Demartoto, dan A Wibowo. 2011. “Young Men and Peer Fighting in Solo, Indonesia.” Men and Masculinities 14 (4): 470-490. 13
Mozaik Vol 14 (1)
Nodelman, Perry. 2002. “Making Boys Appear: the Masculinity of Children’s Fiction.” Dalam Ways of Being Male, disunting oleh J Stephens. New York: Routledge. Oetomo, Dede. 2000. “Masculinity in Indonesia: Genders, Sexualities, and Identities in a Changing Society.” Dalam Framing the Sexual Subject, disunting oleh R Parker, RM Barbosa, dan P Aggleton. Berkeley: University of California Press. Stacey, J. 2009. Star Gazing: Hollywood and Female Spectatorship. New York: Routledge. Storey, John. 2007. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. UK: Pearson. Wulan, Nur. 2013. “Does Phallic Masculinity Still Matter?: Masculinities in Indonesian Teenlit during the Post-Reformasi Period (1998–2007).” The Journal of Men’s Studies 21 (2): 149-161. Yulianto, VI. 2008. “Consuming Gossip: A Re-domestication of Indonesian Women.” Dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, disunting oleh Ariel Heryanto. London: Routledge.
14
PANDUAN UNTUK PENULIS MOZAIK A. Panduan menyiapkan naskah publikasi
Redaksi menerima kiriman artikel dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media lain.. 2. Artikel orisinal tentang kajian ilmu humaniora, baik sastra, linguistik, sejarah, filsafat, filologi maupun kajian-kajian kebudayaan dan kemasyarakatan. 3. Artikel diketik dengan huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1 pada kertas ukuran A4 dengan pias kiri 3,5 cm, pias kanan 3 cm, pias atas dan bawah 3 cm. Panjang artikel tidak lebih dari 7000 kata, termasuk gambar, grafik, tabel, dan daftar pustaka. 4. Judul, abstrak, dan kata-kata kunci ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. 5. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 6. Sistematik penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: (a) judul: komprehensif, jelas, dan singkat. Judul dibatasi tidak lebih dari 15 kata. Judul artikel, judul bagian, dan judul subbagian dicetak tebal. Huruf kapital digunakan untuk mengawali setiap kata dalam judul kecuali kata depan; (b) nama dan institusi penulis: nama ditulis lengkap tanpa gelar. Nama institusi ditulis di bawah nama penulis, disertai alamat lengkap institusi, nomor telepon institusi, dan alamat surel penulis; (c) abstrak: merupakan intisari artikel, terdiri atas 150—250 kata, dan dituangkan dalam satu paragraf; (e) kata kunci: di bawah abstrak dicantumkan kata-kata kunci (keywords) paling banyak lima kata dan ditulis urut secara alfabetis. Kata-kata kunci harus mencerminkan konsep penting yang ada di dalam artikel; (f) pendahuluan (tanpa subbagian): berisi latar belakang masalah, tujuan, tinjauan pustaka, dan signifikansi artikel (jika ada); (g) metode; (h) hasil dan pembahasan: disajikan dalam subbagian-subbagian; (i) perujukan atau pengutipan: ditulis menggunakan sistem pengarang-tahun (author-date) dan disarankan mencantumkan nomor halaman; (j) gambar, grafik, dan tabel: diberi nomor, judul, dan keterangan serta dikutip di dalam teks. Perujukan atau pengutipan gambar, grafik, dan tabel menggunakan penomoran, bukan dengan kata-kata seperti di bawah ini, sebagai berikut, atau berikut ini. Contoh: Struktur penulisan judul berita pada rubrik ekonomi harian Kompas disajikan dalam Tabel 4. Untuk gambar dan grafik, nomor dan judulnya diletakkan di bawahnya, sedangkan untuk tabel, nomor dan judulnya diletakkan di atasnya. Gambar, grafik, dan tabel merupakan data yang sudah diolah. Pencantuman tabel atau gambar yang terlalu panjang (lebih dari 1 halaman) sebaiknya dihindari. Tabel harus disajikan tanpa garis vertikal. (k) simpulan (bukan ringkasan atau pengulangan hasil); (l) daftar pustaka (bukan bibliografi): berisi pustaka-pustaka yang diacu dalam artikel, ditulis secara alfabetis dan kronologis menurut nama penulis tanpa mencantumkan gelar. Jika seorang penulis menulis lebih dari satu artikel/buku dalam tahun yang sama, di belakang tahun baik di dalam teks maupun di dalam daftar pustaka dibubuhi huruf kecil (a, b, dan c). Dalam daftar pustaka, penulisan nama depan pengarang boleh ditulis lengkap atau disingkat, misalnya Storey, John atau Storey, J. 7. Artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris dapat menggunakan ejaan British English atau American English dan harus konsisten di keseluruhan artikel. 8. Artikel dapat dikirim melalui surel ke
[email protected]
9. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahukan secara tertulis kepada penulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. 10. Penulis bersedia melakukan revisi artikel jika diperlukan. 11. Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima sepuluh cetak lepas tanda bukti pemuatan. 12. Bahasa yang digunakan dalam penulisan Daftar Pustaka mengikuti bahasa artikel. 13. Penulis disarankan menggunakan software Mendeley dalam penulisan sitasi dan daftar pustaka (bisa diunduh secara gratis di www.mendeley.com) dan memilih gaya selingkung Turabian style (author-date). Jika menyusun sitasi dan daftar pustaka secara manual, perujukan ditulis dengan tata cara seperti contoh berikut.
Buku
Pengutipan dalam teks: (Arivia 2003:25) Penulisan dalam Daftar Pustaka: Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Kota tempat terbit: Penerbit. Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Bunga rampai/antologi dan prosiding konferensi yang ber-ISBN Pengutipan dalam teks: (Roth 2008)
Penulisan dalam Daftar Pustaka: Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. “Judul.” Dalam Judul Buku Antologi, disunting oleh Nama Lengkap (atau dengan Inisial) Penulis. Kota terbit: Penerbit. Roth, Paul. 2008. “The Epistemology of Science after Quine.” Dalam The Routledge Companion to Philosophy of Science, disunting oleh Stathis Psillos dan Martin Curd. London and New York: Routledge. Jika yang dirujuk adalah bunga rampai secara keseluruhan, maka dituliskan sebagai berikut: Psillos, S, dan Martin Curd (eds). 2008. The Routledge Companion to Philosophy of Science. London and New York: Routledge.
Jurnal cetak
Pengutipan dalam teks: (Istanti 2001) Penulisan dalam Daftar Pustaka: Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. “Judul.” Nama Jurnal volume (nomor jika ada): rentang halaman. Istanti, Kun Zachrun. 2001. “Hikayat Amir Hamzah: Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan Nusantara.” Humaniora 13 (1): 23–37.
Artikel surat kabar cetak Pengutipan dalam teks: (Santoso 2004)
Penulisan dalam Daftar Pustaka: Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. “Judul.” Nama Surat Kabar, tanggal dan bulan diterbitkan. Santoso, Iwan. 2004. “Meruntuhkan Prasangka Menjalin Kebersamaan.” Kompas, 22 Mei.
Makalah dalam pertemuan ilmiah Pengutipan dalam teks: (Sartini 2011)
Penulisan dalam Daftar Pustaka: Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. “Judul.” Nama Pertemuan Ilmiah. Nama Kota. Sartini, Ni Wayan. 2011. “Strategi Linguistik dalam Wacana Politik.” Seminar Nasional Politik Bahasa dan Bahasa Politik. Surabaya.
Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi Pengutipan dalam teks: (Saputra 2003)
Penulisan dalam Daftar Pustaka: Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. “Judul.” Kota: Nama Institusi. Saputra, Heru. 2003. “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di Banyuwangi.” Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Panduan lengkap gaya selingkung Mozaik bisa dilihat di http://journal.unair. ac.id/gayaselingkung-informasi-314-19.html
B. Etika Penulisan
Ketika menyerahkan artikel, penulis harus mengirimkan juga formulir penyerahan naskah berisi: 1. Formulir Pernyataan, bahwa a) artikel tersebut adalah asli/bebas plagiarisme, belum pernah dipublikasikan, dan tidak sedang dipertimbangkan untuk publikasi di jurnal/ media lain, b) tidak memiliki permasalahan hak cipta untuk gambar atau tabel yang disajikan, dan c) semua penulis telah menyetujui urutan kepengarangan, isi naskah, dan publikasi naskah. 2. Formulir Perjanjian Hak Cipta, bahwa penulis memberikan lisensi bebas royalti kepada penerbit yang ditunjuk manajemen Mozaik untuk menerbitkan, mereproduksi, menyimpan, dan mendistribusikan naskah dalam bentuk cetak dan digital kepada khalayak, dan bahwa penulis tetap memegang hak cipta atas naskah.
Informasi lebih lanjut bisa dilihat di http://journal.unair.ac.id/pernyataan-penulisinformasi-315-19.html