Valery M. Gibran
Memento Mori (Kumpulan Prosa)
1
Memento Mori Oleh: Valery M. Gibran Copyright © 2016 by Valery M. Gibran
Penerbit Nulis Buku
Desain Sampul: Valery M. Gibran
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Prolog Lagi-lagi, diri ini tak pernah lelah berkontemplasi dengan diri yang lain – yang masih masuk ke dalam bagian diri yang ini. mencoba menemukan kebenaran, yang memang sudah sangat jelas kebenarannya terlalu transenden untuk di pantau. Yang sudah jelas-jelas tak ada jalan keluar disana; tak ada jalan setapak, gang kelinci, dan sebagainya. Buntu. Ya, jelas-jelas ini adalah jalan buntu. Aku mencoba menuangkan kegelisahanku dengan ber-ekstase; menulis, menyanyi, mendengarkan nada-nada dari kaum hippies, bahkan melepas ruh ini kesana-kemari. Tapi nyatanya, dalam tulisanku, aku hanya menuangkan setetes gelisah. Dalam nyanyianku, aku hanya memuntahkan secarik kegelisahan. Dalam pendengaranku akan nada-nada, aku hanya menampung kembali gelisah-gelisah yang aku tuangkan tadi. Bahkan dua kali lipatnya. Yang lebih paranya, dalam pelepasan ruh ini, aku tersesat dalam gelisah. Oratio-oratio yang aku lontarkan, sama sekali tidak mempertemukan aku. Apa aku salah dalam pengucapannya? Ah, tidak mungkin. Aku diplomat terbaik. Lantas, apa yang salah? Birokrasi seperti apa yang sebenarnya diperlukan?
3
Aku seolah-olah berlari mencari kepastian melalui tangga spiralnya Michael Angelo. Hanya berputar tanpa kerucut, hanya keringat dan lelah yang menolong, serta kekecawaan tiada akhir dan tak bertepi yang meyakinkan dan membuktikan. Aku seolah-olah terjebak dalam kejamnya lukisan surealis milik Bosch; seperti di bakar hidup-hidup, ditusuknya anus ini dengan besi panas, lidahku dipotongtumbuh-lalu dipotong lagi, meminum darah-darah dan nanah segar milik pendosa lainnya. Bahkan, jika aku mengeluh kegerahan, aku disuruh dengan paksa untuk berendam dalam tunggu perapian oleh makhluk berjubah hitam tak berwajah yang selalu membawa sabit panjang. Sedangkan Dia, hanya mengintip dari Nirwana sana; melalui langit terbuka sedikit seolah mengisyaratkan jendela yang terbuka; dan terlihat sepasang mata picik disana. Oh, ayolah, permainan yang paling aku benci adalah petak umpet. Salam.
Selamat
menikmati
setiap
kepingan-
kepinganku. [Kumpulan Prosa ini diambil dari Blog pribadi milik Penulis]
4
Dedikasiku pada Pantai Barat Aceh Semburat sinar terpantul dari matahari yang berproses pada kejernihan laut Iboah, berhasil meruncing dan melesat menuju retinaku. Diri yang sudah menjadi keling karena tak selesai-selesai bermandikan cahaya mentari tengah hari ini, hanya berjongkok termangu meratap laut di kejauhan sana. Kadang, ketika diri ini tiba-tiba kembali sadar dalam lamunan, sesekali berusaha mencoba merotasikan pandangan ini ke segala penjuru pantai Iboah. Pasir seputih garam,
laut
jernih
yang
memendarkan
hijau
toska
bergemilang, wisatawan-wisatawan yang lalu lalang, dan tak kalah banyak juga rakyat Aceh yang bermain disini, seolah dihadirkan Tuhan untuk semakin mengindahkan lautan di hadapanku dan pasir pantai pada pijakanku. Namun, ada yang ganjil. Terbesit sedikit pertanyaan dalam benak melihat anomalitas ini: bapak, ibu, kakak, adik, kalian dimana? Tak ku sadari, pekerjaan yang daritadi hanya melamun dan memandang yang disertai tabuh menabuh keroncong pada perut, berhasil membuat matahari tengah hari beralih ke ufuk barat yang telah bosan meratapku dan memandikanku sedari tadi. Air laut pun terlihat takut ketika matahari mulai beralih ke ufuk barat. Semuanya terlihat 5
bagaimana para air laut ini lebih memilih beranjak ke tempat yang lebih tinggi agar tak terkena teriknya Surya yang mulai kejinggaan ini. Pasang laut yang mulai menenggelamkan sebagian betisku yang tak ku ubah posisinya dari siang tadi, seketika itu juga membuatku teringat akan sesuatu; aceh, laut, pantai, tenggelam, orang-orang, dan keluarga. Amukan alam dalam benak yang timbul dalam kesadaran personal ku, kembali membuat ku terasa ngeri pada hidup. Air laut yang bergulung-gulung setinggi sembilan meter lebih waktu itu, berhasil menimbulkan sisi traumatik ku akan Sang Bayu. Aku memahami satu hal dalam bencana terhebat abad ini, bencana yang terealisasikan oleh Tuhan tepat pada satu dekade lalu; bahwa bumi bukan hanya lahan bermain. Tetapi juga lahan pengampunan dosa melalui jalur ‘pembersihan’. Aku lupa bagaimana pastinya, yang jelas, saat itu segalanya terasa singkat. Gelombang biru yang menghujam kemudian
menyapu
aceh,
puing-puing
bangunan di
Meulaboh dan Banda Aceh yang serasa mengiris hati, serta diikuti kesendirian ku yang terjadi secara dadakan. Ditambah lagi nyanyian para saksi akan murkanya laut dalam bentuk isakan dan teriakan histeria, mampu secara kompleks membuat kengerian ini segera termanifestasi dalam bentuk 6
bulu kuduk yang menegang. Aku pun tak tahu bagaimana saat itu aku bisa diselamatkan oleh pohon pinang yang menjulang tingginya, dan aku pun tak tahu bagaimana pohon itu menyelamatkanku. Mungkin ia menyelamatkan ku karena kami sama-sama menjadi sebatang kara dalam waktu singkat. Tiba-tiba, suara melengking burung camar sontak membuyarkan lamunan ku. Seketika itu juga seluruh pandanganku menjadi berpusat ke arah barat, ke arah matahari yang menyemayamkan dirinya. Semuanya tampak jelas. Bapak, ibu, kakak, dan adik terlihat jelas dalam horisonku. Siluet tangan adik perempuanku yang melambai diantara
lapisan
senja
ini,
secara
konkrit
berhasil
memaksakan pandanganku untuk mengalahkan rasionalitas berpikirku akan sebuah ilusi rindu. Seolah mengajak ku untuk bergabung bersama mereka, lambaian siluet tangan mungil yang ku taksir itu memang betul-betul tangan adik ku semakin menguat liuk-liuk lambaiannya. Tanpa pikir panjang, kerinduan yang sudah terbendung ini langsung segera ku utarakan dalam bentuk aksi nyata. Ku susuri tepian laut ini menuju tengah laut pantai Iboah. Menyusul keluarga yang sudah lama tak ku sua.
7
Dengan hati yang keras menuju tengah laut, Ku benamkan diri ini kepada ia yang pernah menenggelamkan pada 10 tahun silam. Ku integrasikan jasad ini kepada engkau yang pernah menelan para jasad yang dulunya bernyawa. Ku dedikasikan raga ini ke dalam bentuk aksi nyataku sebagai pengahayatan hidup untuk orang-orang tanah ini, negeri ini dan negeri sebelah. Air mata yang semakin merambat deras melewati gelombang wajahku, seolah memberikanku tenaga untuk mengalahkan ombak kecil yang menghadangku. Seperti utopia, semakin aku mendekati lambaian mesra itu, semakin jauh pula siluet lambaian itu menggiringku menuju tengah laut.
Tanpa
kusadari, sedikit demi sedikit badanku serasa berat karena badanku yang semakin tenggelam. Kemudian diikuti kebutaan hati ini yang perlahan jernih. Saat yang tersisa tinggal mata sampai ubun-ubun, saat kaki terasa keram untuk mengapung di tengah laut, saat itu pula kuamati lekat-lekat bahwa bayangan keluargaku akan menghampiriku. Dekat dan semakin mendekat. Mereka tersenyum kepadaku, aku tersenyum kepada mereka. Lalu mereka hilang, sontak kemudian aku tenggelam. Ah, ya… begitulah aku, mati secara perlahan.
8