1
V.
Mengatrol Pelayanan Publik
Persoalan serius dihadapi Indonesia: Pegawai Negeri Sipil Indonesia memperoleh predikat »berengsek«, »tidak becus«, »profesionalisme rendah«, »tidak bermotivasi«, hobi »KKN« dan sebagainya. Korbannya: pelayanan publik. Untuk mengatasinya, kata Sitorus, Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara diperlukan peraturan perundang-undangan. Saat ini, kata Sitorus, pemerintah sudah menyerahkan draf Rancangan UndangUndang Pelayanan Publik kepada DPR.
V.1.
Keadaan Pelayanan Publik Indonesia
Pelayanan Publik Tahun 2005 Sangat Buruk 1 JAKARTA - Kondisi pelayanan publik selama tahun 2005 sangat buruk, masih diwarnai praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) serta sarat dengan paradigma korporatisme untuk mencari keuntungan pribadi. Buruknya pelayanan publik diperparah pula oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengingatkan para pejabat publik termasuk pegawai negeri sipil (PNS) agar bekerja lebih profesional. Demikian benang merah seminar »Refleksi Akhir Tahun Pelayanan Publik di Indonesia« di Jakarta, Kamis (29/12). Hadir sebagai pembicara anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Ferry Mursyidan Baldan, Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, M Sitorus dan Direktur Institute for Policy and Community Development Studies IPCOS Joe Fernandes. M Sitorus mengatakan, kondisi pelayanan publik saat ini belum efisien dan efektif. Praktek KKN masih marak, profesionalisme PNS rendah, dan partisipasi masyarakat dalam mengawal kinerja aparat pemerintah belum optimal. Selain itu, pelayanan publik selama ini juga cenderung menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi karena belum adanya kepastian hukum, waktu dan biaya. Untuk mengatasinya, kata Sitorus, diperlukan peraturan perundang-undangan. Saat ini, kata Sitorus, pemerintah sudah menyerahkan draf Rancangan UndangUndang Pelayanan Publik kepada DPR. RUU itu akan mulai dibahas awal tahun 1
Suara Pembaruan Daily, 30.12.2005
2
2006. Salah satu poin penting dalam RUU yang diajukan pemerintah itu adalah bagi semua anggota PNS dan pejabat negara akan diberikan punish and reward. Ferry Baldan mengatakan, pelayanan publik di Indonesia berpeluang memicu sentimen etnis. Pasalnya, siapa yang memiliki uang banyak, bisa dengan mudah menikmati pelayanan publik dari para pegawai pemerintah. Selalu Diutamakan Dalam kasus pengurusan paspor atau Surat Izin Mengemudi (SIM) misalnya, kaum berduit selalu diutamakan. Hal itu memicu sentimen dan kebencian terhadap kelompok berduit yang malangnya justru diwakilkan oleh satu kelompok etnis tertentu. »Pemerintah tidak menyadari hal ini, karena yang brengsek adalah aparatur negara, tapi yang dibenci dan dicaci-maki adalah kelompok-kelompok tertentu yang kebetulan secara ekonomi lebih baik«, katanya. Ferry mengatakan, tidak ada cara lain memperbaiki pelayanan publik di Indonesia kecuali melalui pemaksaan yang bersifat sistemik dan menyeluruh, sehingga para pejabat negara dan PNS menyadari tugas dan fungsi mereka untuk melayani masyarakat dan bukan sebaliknya. Joe Fernandes mengatakan, rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia karena tidak ada motivasi yang kuat dari PNS untuk melayani masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan IPCOS, sebagian besar orang ingin menjadi PNS karena bisa kerja santai dan aman (dalam arti tidak akan dipecat). Selain itu, dengan menjadi PNS, seseorang berpeluang mengkomersialkan tugas dan kewajiban yang diembankan negara kepadanya untuk keuntungan pribadi. Untuk mengubah perilaku PNS yang tidak becus tersebut, harus dilakukan perubahan kebijakan secara mendasar dengan memberikan sanksi tegas kepada PNS yang melanggar, tidak hanya dengan cara mutasi. (L-8)
Birokrasi Tak Tersentuh - Perlu Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi Birokrasi 2 Jakarta, Kompas - Ketika hiruk-pikuk dunia politik menyita perhatian publik, reformasi sistem dan kelembagaan pemerintah tetap menjadi bagian belakang yang tidak terjamah pada masa awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan sebenarnya, perubahan politik sejak tahun 1998 belum diikuti 2
Kompas, 5 Januari 2006
3
dengan reformasi signifikan di bidang penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menjawab kelambanan tersebut diusulkan pembentukan lembaga independen kepegawaian (independent civil service commission) yang ditugaskan untuk mewadahi proses perumusan kebijakan reformasi birokrasi. Gagasan pembentukan komisi kepegawaian itu disampaikan Direktur Program dan Riset The Habibie Center Dr Dewi Fortuna Anwar di Jakarta, Rabu (4/1). Ide tersebut merupakan salah satu hasil penelitian The Habibie Center yang disampaikan dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2005 dan Perspektif Awal Tahun 2006. »Indonesia heboh secara politik, tapi tidak ada perubahan signifikan,« ujar Dewi. Komisi kepegawaian itu diusulkan terdiri atas 5-7 anggota yang mandiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Para anggotanya mesti benar-benar memiliki visi perubahan penyelenggaraan pemerintahan. Komisi ini bertugas melakukan tinjauan menyeluruh terhadap masalah makro dan mikro dalam kepegawaian Indonesia untuk kemudian membantu merumuskan kebijakan yang harus diambil dalam mereformasi birokrasi. Merujuk kondisi Indonesia saat ini, harus ada audit menyeluruh terhadap kepegawaian di Indonesia, juga harus ada jawaban obyektif seberapa banyak pegawai negeri sipil yang dibutuhkan dan berapa dari sekitar 4 juta PNS itu yang sebenarnya memenuhi kualifikasi dan layak dipertahankan. Menurut Dewi, pembentukan komisi independen ini pernah berhasil dilakukan di Malaysia untuk membenahi lembaga kepolisian. Ia menyebutkan, konsekuensi pendirian komisi itu adalah perlunya redefinisi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk lebih diarahkan sebagai koordinator perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Sementara itu, Andrinof A Chaniago dari Universitas Indonesia secara terpisah mengapresiasi ide pembentukan komisi kepegawaian sebagai perangkat utama perumusan reformasi birokrasi. Hanya saja, belajar dari pembentukan sejumlah lembaga independen lainnya, komisi kepegawaian itu harus disertai target dan masa tugas yang jelas sebagai lembaga perumus cetak biru reformasi birokrasi yang kemudian diserahkan pelaksanaannya kepada pemerintah. Selain itu, pemerintah sebagai pelaksana pun mesti beritikad sungguh-sungguh untuk menjalankan rumusan hasil kerja komisi kepegawaian itu. Andrinof lebih sepakat jika komisi itu hanya bersifat sementara (ad hoc) »Kalau jadi lembaga tetap, berapa anggaran yang dibutuhkan,« ungkap Andrinof. (dik)
4
V.2
Penting dan Rumit demi Kepuasan Rakyat
3
Apakah pelayanan publik sudah memenuhi harapan? Jawabannya mungkin nyaris seragam: tidak atau belum! Berpijak dari kondisi itu, apakah mendesak kebutuhan payung hukum soal pelayanan publik? Jawabannya tentu tidak akan bergeser: ya! Pertanyaan berikutnya, kapan dan dari mana pembenahan itu harus dimulai? Keinginan memperbaiki pelayanan publik mendasari kesepakatan antara Komisi II DPR dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi untuk meneruskan proses pengusulan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik. Semua fraksi di Komisi II sependapat RUU tersebut diperlukan sebagai pijakan awal untuk menata birokrasi di Indonesia. Seperti dinyatakan Taufiq Effendi, penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Keluhan muncul, mulai dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat yang tidak menyenangkan. Kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Keterangan pemerintah soal RUU Pelayanan Publik menyebutkan kegiatan pelayanan publik lebih lanjut diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan. Secara garis besar, peraturan tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu undang-undang yang menjamin pelayanan dilakukan oleh aparat dan kelompok undang-undang sektoral yang menjadi dasar dan wewenang bagi setiap departemen, instansi, atau pemerintah daerah untuk melayani. Undang-undang mengatur tegas kewajiban pemerintah memberikan pelayanan meski sebagian di antaranya tidak mengatur secara eksplisit. Peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik masih terfragmentasi, belum cukup mengatur aspek pelayanan publik yang diperlukan. Akibatnya, potensi penyimpangan terhadap kewajiban pelayanan publik relatif besar. Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan yang memiliki sanksi sehingga memiliki daya paksa terhadap pemenuhan standar tertentu dalam pelayanan publik. Kenyataan saat ini?
3
Oleh: Sidik Pramono, Kompas, Jumat, 16 Desember 2005
5
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti soal fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Dalam draf RUU Pelayanan Publik itu termuat ketentuan dasar bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. Yang dimaksud sebagai penyelenggara adalah penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan publik, dan lembaga independen yang dibentuk pemerintah. Aparat penyelenggara pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara. Belum lagi tahapan pembahasan RUU Pelayanan Publik berlanjut, sejumlah ketentuan di dalamnya sudah mendapat sorotan. Anggota Komisi II Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II) menyoal adanya ketentuan aparat dilarang merangkap sebagai pengurus organisasi, baik organisasi usaha maupun organisasi politik yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Jika memang sepakat bahwa aparat pelayanan publik tidak boleh diskriminatif, tidak boleh ada perkecualian soal netralitas itu. Sementara Wakil Ketua Komisi II Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III) menyoroti pedoman perilaku aparat yang diurai tetapi tanpa ukuran yang jelas. Selain itu, anggota Komisi II RB Suryama Majana (F-PKS, Jawa Barat VI) menyoal ketentuan mengenai gugatan atau tuntutan masyarakat yang antara lain hanya bisa dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikan organisasi adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik. Ketentuan dengan pembatasan seperti itu dirasa tidak perlu. Perdebatan atas RUU ini memang diprediksi relatif dinamis. Jika merujuk pada keinginan menjadikan ketentuan menjadi payung, dinamika pembahasan memang harus senantiasa dicermati. Setiap pasal harus dicermati untuk
6
menghindarkannya menjadi ketentuan yang beku di atas meja, tidak operasional di lapangan. Karena menyangkut kepentingan publik, sudah semestinya publik harus mengerti undang-undang, terutama untuk menjamin transparansi, menghindari tumpang tindih aturan. Rumit Rumitnya ketentuan mengenai pelayanan publik ini dinilai Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia sebagai pemborosan waktu dan tenaga. Pipit menunjuk pada ketentuan dalam RUU Pelayanan Publik yang sebenarnya diatur lewat ketentuan perundang-undangan yang lain. Larangan dan kewajiban aparat, misalnya, bisa diatur dalam undang-undang mengenai pegawai negeri sipil. Ketentuan soal pengawasan dan penyelesaian sengketa pun sudah dapat merujuk pada ketentuan khusus mengenai Ombudsman dan juga Pengadilan Tata Usaha Negara. Pipit menunjuk inefisiensi yang terjadi karena pada saat yang nyaris bersamaan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan RUU Administrasi Pemerintahan yang lebih bersifat teknis. Sebenarnya RUU ini lebih layak diprioritaskan karena sudah mencakup ketentuan yang ada dalam RUU Pelayanan Publik. Bahkan, dalam soal pelaksanaan asas penyelenggaraan pelayanan publik, lebih jelas apa ketentuan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Dalam RUU Pelayanan Publik tidak jelas bagaimana teknis pelaksanaan asas penyelenggaraan publik, kecuali ketentuan penyelenggara wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Yang dikhawatirkan, ketentuan bisa diterjemahkan berbeda oleh penyelenggara pelayanan publik. Sebagai perbandingan, dalam RUU Pelayanan Publik tercantum ketentuan mengenai perilaku aparat dalam penyampaian layanan. Antara lain aparat tidak membocorkan informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundangundangan wajib dirahasiakan. Ketentuan ini dinilai riskan karena membuka ruang bagi aparat penyelenggara pelayanan publik untuk mendefinisikan sendiri batasan rahasia itu demi kepentingan sendiri, sementara di sisi lain tidak termuat ketentuan kewajiban mereka membuka akses bagi publik untuk memperoleh informasi. Sementara dalam draf awal RUU Administrasi Pemerintahan justru tercantum ketentuan instansi pemerintah wajib memberikan akses dan kesempatan kepada pihak yang terlibat untuk melihat dokumen administrasi pemerintahan yang dapat mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan. Apa pun akhirnya nanti, RUU Pelayanan Publik masih sebatas adanya keinginan baik untuk meningkatkan pelayanan publik. Simak saja ketentuan peralihan RUU itu, Penyusunan dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan,
7
sistem informasi, dan tata cara pengelolaan pengaduan harus dipenuhi selambatlambatnya dua tahun sejak undang-undang ini berlaku. Memang lebih bagus kalau ketentuan itu segera direalisasikan. Namun, bagaimana kalau ketentuan itu pun lagi-lagi tertunda-tunda pemenuhannya?
V.3
RUU Pelayanan Publik Bagian Dari Prosedur Administrasi Negara dan RUU Administrasi Pemerintahan
Menarik untuk disandingkan antara RUU Pelayanan Publik dengan UU Prosedur Administrasi Negara Jerman dan RUU Administrasi Pemerintahan Indonesia RUU Republik Indonesia Tentang Pelayanan Publik Draft VIII Tgl .17-02-2005
RUU Republik Indonesia Tentang Administrasi Pemerintahan Draft XIb Januari 2006
Asas penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. partisipatif; d. akuntabilitas; e. kepentingan umum; f. profesionalisme; g. kesamaan hak; h. keseimbangan hak dan kewajiban. (Pasal 2.2)
a. asas kepastian hukum, b. asas keseimbangan, c. asas kesamaan, d. asas kecermatan, e. asas motivasi, f. asas tidak melampaui dan atau mencampuradukan kewenangan, g. asas bertindak yang wajar, h. asas keadilan, i. asas kewajaran dan kepatutan, j. asas menanggapi pengharapan yang wajar, k. asas meniadakan akibatakibat suatu keputusan yang batal, l. asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, m. asas tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, n. asas keterbukaan, (Pasal 2.2)
UU Prosedur Administrasi Negara Jerman 25.05.1976 dengan perubahan terakhir 05.05.2004 Asas-asas aktivitas Administrasi Negara
a. Rechtsstaatliche Bindung alias keterikatan pada negara hukum b. Gesetzmaessigkeit alias berlandaskan UndangUndang c.Pflichtgemaesses Ermessen d. Verhaeltnismaessigkeit alias berdasar Kelayakan Perbandingan (Keseimbangan) e. Bindung an die Grundrechte, insbesondere der Gleichheiitssatz (Keterikatan pada HAM, terutama persamaan)
8
Regulasi: (1) Penyelenggara wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dengan memperhatikan lingkungan, kepentingan dan masukan dari masyarakat dan pihak terkait. (2) Penyelenggara wajib menerapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud ayat (1). (Pasal 16)
Regulasi:
Regulasi:
a.l. lewat dengar pendapat, hak melihat dokumentasi administrasi pemerintahan, diskresi
a.l. lewat dengar pendapat, hak melihat akta, Ermessen, Konsultasi/Informasi.
Dapat disaksikan, bahwa asas-asas yang terdapat dalam RUU Pelayanan Publik itu tumpang tindih dengan asas-asas yang tersiratkan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. UU Prosedur Administrasi Jerman tampak berasaskan jauh lebih sedikit, namun asas-asas yang terkandung dalam RUU Pelayanan Publik dan RUU Administrasi Pemerintahan sudah terkandung kedalamnya. Asas-asas boleh berbunga-bunga, namun regulasinya bagaimana? Baik RUU Administrasi Pemerintahan maupun UU Prosedur Administrasi Negara menyiratkan jelas. Lewat jurus-jurus antara lain: lewat dengar pendapat, hak melihat akta (dalam RUU Administrasi Pemerintahan: dokumen administrasi pemerintahan), Ermessen (dalam RUU Administrasi Pemerintahan: Diskresi), Konsultasi/Informasi. Yang repot, dan memang tidak tercantumkan dalam UU Prosedur Administrasi Negara dan RUU Administrasi Pemerintahan ada lah sebagian perilaku aparat dalam penyampaian layanan seperti peduli, hormat, ramah, tidak melecehkan. Dalam Pasal 32 RUU Pelayanan Publik Draft VIII 17.02.2005 tentang Perilaku Aparat dalam Penyampaian Layanan diamanatkan bahwa: »Aparat dalam menyelenggarakan pelayanan publik berperilaku sebagai berikut : a.
adil dan tidak diskriminatif;
b c.
peduli, telaten, teliti, dan cermat; hormat, ramah, dan tidak melecehkan;
d.
bersikap tegas dan handal serta tidak memberikan keputusan yang berlarut-larut;
9
e.
bersikap independen;
f.
tidak memberikan proses yang berbelit-belit;
g.
patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h.
menjunjung tinggi nilai-nilai dan integritas serta reputasi Penyelenggara demi menjaga kehormatan institusi Penyelenggara di setiap waktu dan tempat;
i.
tidak membocorkan informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan;
j.
terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k.
tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana pelayanan;
l.
tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi;
m.
tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan atau kewenangan yang dimiliki;
n.
sesuai dengan kepantasan umum dan
o.
profesional dan tidak menyimpang dari prosedur«.
Ada dua jenis sikap terhadap publik yang bisa dibedakan: ●
Sikap-sikap yang obyektif: seperti misalnya adil dan tidak diskriminatif, telaten, teliti, cermat, bersikap independen; terbuka, profesional
●
Sikap-sikap yang non-obyektif: seperti misalnya hormat, ramah, tidak melecehkan
Sikap-sikap yang obyektif sudah ditanggulangi oleh UU Prosedur Administrasi Negara dan RUU Administrasi Pemerintahan. Seorang pegawai negeri anggota laskar administrasi negara boleh-boleh saja cemberut duduk di depan meja markasnya. Tapi, dengan kemasaman muka, dia tokh harus melakukan prosedur seperti dengar pendapat, konsultasi/informasi (sayangnya tak tercantumkan dalam RUU Administrasi Pemerintahan). Bisa tertulis – di mana publik tak perlu memergoki kekecutan wajahnya. Artinya, si kecut ini dipaksa buat mengajak publik berpartisipasi atau punya kepedulian. Atau melakukan »Ermessen«, agar diperoleh kecermatan, kepedulian, ketelitian, ketelatenan, keprofesionalismean atau keadilan dalam pengambilan keputusan.
10
Sedangkan sikap-sikap yang tidak obyektif (ramah, hormat, tidak melecehkan) itu tergantung pada penilaian individual dari seabrek publik. Bagaimana peneyelenggara hendak menyusun dan menetapkan soal ramah, hormat dan sejenisnya? Sampai saat ini, saya cuma tahu tiga kiat: ●
Di Jerman, misalnya di lokasi saya mengais matapencaharian, sang datuk besar instansi negara itu, membikin angket yang disebar-luaskan kepada publik. Publik diminta menilai pelayanan kita-kita orang. Kalau itu masuk dan terkumpul, yang bersangkutan dipanggil, ditanya problem yang dihadapi dalam melayani publik. Konsekuensinya tentu ke profesi kita-kita orang. Nah, lantaran UU Prosedur Administrasi Negara itu sudah mengatur secara rinci, UU Pelayanan Publik tidak dikenal di Jerman. Jadi, ciamiknya, perhatian dipusatkan saja di RUU Administrasi Pemerintahan dan perangkat pendukungnya, UU Peradilan Tata Usaha Negara.
●
Di tingkat daerah, lewat Partisipasi Budget macam di Brazil. Di kota Porto Alegre, hak pubik bukan melulu terbatas pada partisipasi Anggaran Belanja dan Pendapatan, namun publik bisa memainkan jurus I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah). Publik boleh memantau dan mengganti sumsum, lantas tukar darah birokrasi kota, bila birokrasi bertingkah (Lihat Lampiran III).
●
Di tingkat daerah, lewat Komisi Partisipasi Budget macam di Bolivia. Menurut catatan Transparency International 2002, di benua Amerika Latin, Bolivia ada lah negara kedua terkorup setelah Paraguay. Seorang wiraswasta Bolivia perlu menyediakan dana di atas 2.600 US$ dan harus melewati lebih dari 20 jalan tol birokrasi. Setelah menanti 82 hari, barulah ia bisa memulai bisnisnya. Di tingkat daerah, hadir Komite Pengawas yang anggota-anggota direkrut dari wakil-wakil LSM, yang hobinya merecoki aparat daerah yang lihai memainkan Bi-ciong-kun (Ilmu Silat Menyesatkan) anggaran (Lihat Lampiran IV).