51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Karakteristik, persepsi dan preferensi pengunjung didapat dari hasil survei
lapang melalui kuisioner kepada 30 responden yang telah melakukan kunjungan ke TNGGP, maka informasi dari responden ini dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik, persepsi dan preferensi yang diinginkan pengunjung. Sebaran data tersebut dapat dilihat secara rinci pada Tabel 6 yang menunjukkan frekuensi relatif (%), yang diperoleh dari masing-masing variabel, seperti: daerah asal, jenis kelamin, usia, pekerjaan, frekuensi kunjungan, aktivitas, persepsi dan preferensi pengunjung. Tabel 6. Hasil Kuisioner Identitas, Persepsi dan Preferensi Pengunjung Kawasan TNGGP No.
Variabel •
•
•
•
Daerah asal : a. Bogor b. Luar Bogor Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan Usia : a. < 16 tahun b. 16-30 tahun c. > 30 tahun Pekerjaan : a. Pelajar b. PNS c. Pegawai swasta d. Wirausaha e. Lainnya
Frekuensi Relatif (%) 46,67 53,33 76,67 23,33 0 96,67 3,33 96,67 0 3,33 0 0
•
Pendidikan : a. SD b. SMP c. SMA d. S1 e. S2 f. S3 1. Frekuensi berkunjung ke kawasan a. Satu kali b. Dua kali c. Tiga kali
0 0 3,33 96,67 0 0 20 10 10
52 d. Lebih dari tiga kali 2. Sumber informasi TNGGP a. Teman b. Media publikasi (poster, Koran, dll) c. Media elektronik (TV, internet, dll) d. Lainnya 3. Jalur yang sering dikunjungi di TNGGP a. Cibodas b. Gunung Putri c. Bodogol (PPKAB) d. Salabintana 4. Objek wisata apa yang paling menarik di TNGGP a. Air terjun b. Telaga Biru c. Air panas d. Kawah Gede (Puncak Gunung Gede) e. Alun-alun Suryakencana f. Lainnya 5. Jenis vandalism seperti apa yang sering ditemui a. Coret-coret b. Penebangan pohon c. Memetik bunga/tanaman d. Membuang sampah sembarangan e. Membuat bakaran/api unggun f. Lainnya 6. Aktivitas yang dilakukan di dalam kawasan a. Trekking b. Camping c. Foto hunting d. Interpretasi satwa e. Interpretasi vegetasi f. Interpretasi ekosistem g. Climbing h. Mandi i. Outbond j. Lainnya
60 62,79 16,28 18,60 2,33 61,54 17,95 15,38 5,13 18,87 3,77 7,55 39,62 26,42 3,77 31,46 4,49 20,22 28,09 14,61 1,12 96,67 93,33 83,33 66,67 56,67 53,33 10 33,33 36,67 26,67
Sumber : Hasil Kuisioner, November 2010.
Karakteristik pengunjung Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango didominasi oleh pengunjung yang berasal dari luar Bogor
yaitu sebanyak
53,33%, sedangkan dari Bogor sebanyak 46,73%. Untuk jenis kelamin yang mendominasi laki-laki dengan persentase 76,67% dan wanita sebanyak 23,33%, dengan umur 16-30 tahun (96,67%) dan diatas 30 tahun (3,33%). Sebagian besar pengunjung bekerja sebagai pelajar/mahasiswa sebanyak 96,67%, dengan
53
pendidikan S1 sebanyak 96,67% (sebagian masih menjalankan pendidikan S1) dan pendidikan SMA sebanyak 3,33%. Rata-rata pengunjung kawasan ini sudah lebih dari tiga kali mengunjungi kawasan ini (60%), sebanyak satu kali sebanyak 20% dan sisanya sebanyak dua kali dan tiga kali masing-masing sebanyak 10%. Aktivitas yang dilakukan pengunjung (>70%) diantaranya ialah trekking, camping, istirahat dan foto hunting. Aktivitas lainnya tidak terlalu sering dilakukan oleh pengunjung (<70%) yaitu interpretasi satwa, interpretasi tumbuhan, interpretasi ekosistem, mandi, outbond dan lainnya. Aktivitas lainnya yang dilakukan responden diantaranya rekreasi dan memasak (26,67%). Sumber informasi tentang TNGGP didapat responden melalui teman (62,79%), melalui media elektronik (TV, internet, dll) sebanyak 18,60%, media pubikasi (poster, koran dll) sebanyak 16,28% dan lainnya sebanyak 2,33%. Jalur trekking yang sering dikunjungi responden ialah Cibodas (61,54 %), Gunung Putri (17,5 %), Bodogol/PPKAB (15,38 %) dan melalui jalur Selabintana (5,13 %). Obyek wisata yang paling menarik menurut responden adalah Kawah gede (39,62%), kemudian Alun-alun Suryakencana (26,42%), Air terjun (18,8%), air panas (7,55%), Telaga Biru (3,77%), serta beberapa obyek lain diantaranya Taman Kupu-kupu (1,89%) dan Mandalawangi (1,89%). Jalur pendakian Cibodas banyak dipilih pengunjung karena banyak terdapat obyek wisata, jalur trekking cukup mudah ditempuh dan jarak yang tidak terlalu jauh. Kegiatan vandalisme di kawasan TNGGP banyak dijumpai disetiap lanskap dan fasilitas-fasilitas (Gambar 13). Seluruh responden mengatakan bahwa kegiatan vandalisme terjadi di kawasan TNGGP. Kegiatan vandalisme yang terjadi diantaranya coret-coret (31,46%), membuang sampah sembarangan (28,09%), memetik bunga/tanaman (20,22%), membuat bakaran/api unggun (14,61%), penebangan pohon (4,49%) dan kegiatan vandalisme menurut responden selain pada pilihan jawaban sebanyak 1,12% yaitu pencemaran air.
54
Gambar 13. Kegiatan vandalisme Aksi vandalisme mencoret-coret fasilitas ataupun tanaman yang dilakukan oleh pengunjung dikarenakan kurang adanya pengawasan yang ketat dari pihak pengelola taman nasional. Selain itu beberapa fasilitas yang tersedia terletak di tempat-tempat yang cukup sepi sehingga sangat memudahkan bagi pengunjung untuk melakukan aksi vandalisme. Aksi vandalisme membuang sampah tidak pada tempatnya terjadi akibat selain kurangnya kesadaran pengunjung akan menjaga lingkungan juga karena kurang tersedianya tempat sampah. Hampir disetiap obyek wisata tidak terdapat tempat sampah. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Permatasari (2011) yang mengatakan bahwa faktor yang mendorong pelaku vandalisme menulis atau menggambar pada fasilitas pada taman sakura adalah karena terdorong oleh adanya fasilitas yang terletak pada lokasi yang sepi dan karena sebelumnya sudah didapati adanya tulisan ataupun gambar pada fasilitas tersebut. Sedangkan faktor yang mendorong pelaku vandalisme menulis atau menggambar pada fasilitas pada lawn adalah karena sebelumnya sudah didapati adanya tulisan ataupun gambar pada fasilitas tersebut. Aksi vandalisme membuang sampah tidak pada tempatnya pada setting
55
taman sakura, dilakukan karena dorongan dari minimnya ketersediaan tempat sampah pada setting ini. Aksi vandalisme membuang sampah tidak pada tempatnya pada setting taman sakura, dilakukan karena dorongan dari minimnya ketersediaan tempat sampah pada setting ini dan karena sudah terdapat sampah yang dibuang pada lokasi tersebut. Kegiatan vandalisme dapat merusak estetika kawasan. Selain merusak estetika
kawasan,
vandalisme
juga
dapat
merusak
ekologi
dan
juga
habitat/ekosistem. Adanya kegiatan ini menjadikan karakter, tujuan dan fungsi TNGGP hilang dan tidak berfungsi sebagaimana tujuan dibentuknya taman nasional. Untuk mengatasi permasalahan vandalisme ini hendaknya dilakukan suatu sistem pengelolaan kawasan yang memperhatikan function (fungsi), form (bentukan), dan organization (kelembagaan) (Permatasari, 2011). Untuk itu pengelola TNGGP harus serius menangani masalah ini dengan cara memberikan hukuman yang tegas kepada pelaku vandalisme atau meningkatkan kesadaran kepada pengunjung dengan memberikan materi-materi/pembekalan tentang menjaga kelestarian suatu kawasan.
56
5.2.
Evaluasi Kualitas Estetika
5.2.1. Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Evaluasi kualitas estetika pada lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 14). Perbedaan penilaian responden terhadap kedua lanskap ini terlihat cukup signifikan, tetapi ada beberapa karakter dari lanskap yang memiliki perbedaan tidak signifikan. Persamaan karakter terdapat pada kriteria monoton-bervariasi, luas-sempit dan view terbuka-tertutup.
Gambar 14. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru
Untuk kriteria monoton-bervariasi cenderung ke arah netral karena pada lanskap telaga biru masih terdapat objek wisata berupa danau kecil yang indah, sedangkan pada lanskap pintu masuk Cibodas hanya terdapat pepohonan dan lebih banyak terdapat fasilitas-fasilitas pendukung. Penilaian responden pada kriteria luas-sempit dan view terbuka cenderung ke arah netral. Hal ini disebabkan pada kedua lanskap tidak memiliki area yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu terbuka. Pada lanskap telaga biru area dibatasi oleh tegakan pepohonan hutan
57
sehingga luas dan view terbatas, sedangkan pada lanskap pintu masuk Cibodas didominasi oleh fasilitas-fasilitas sehigga terkesan kaku dan terbatas. Perbedaan penilaian terdapat pada kriteria obyek interpretasi, estetika, focal poin, dan view. Untuk kriteria obyek interpretasi dan estetika pada lanskap Telaga Biru memiliki obyek interpretasi menarik dan estetika indah sedangkan lanskap pintu masuk Cibodas obyek interpretasi tidak ada/tidak menarik dan estetika kurang (Gambar 15). Hal ini dapat dilihat pada lanskap Telaga Biru terdapat obyek berupa danau alami yang terlihat berwarna kebiru-biruan apabila terkena sinar matahari sehingga estetikanya indah. Berbeda dengan lanskap pintu masuk Cibodas, hanya terdapat fasilitas-fasilitas dan tegakan pohon, tidak terdapat obyek yang menarik. Berkaitan dengan kriteria focal poin dan view, lanskap Telaga Biru focal poin nyata dan view terbingkai, sedangkan lanskap Pintu Masuk Cibodas focal poin tidak nyata dan view tidak terbingkai.
Gambar 15. View Pintu Masuk Cibodas (kiri) dan Telaga Biru (kanan)
58
5.2.2. Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Evaluasi kualitas estetika pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 16). Dari grafik semantic differential tidak menunjukaan perbedaan karakter yang tidak terlalu mencolok antara lanskap Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas atau relatif sama untuk kedua lanskap tersebut. Kedua lanskap ini memiliki persamaan karakter obyek interpretasi menarik-obyek interpretasi tidak menarik, focal poin nyata-focal poin tidak nyata, monoton-bervariasi, view terbingkai-view tidak terbingkai, estetika indah-estetika kurang dan view terbuka-view tertutup. Akan tetapi memiliki perbedaan pada karakter luas-sempit.
Gambar 16. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas
Untuk kriteria obyek interpretasi, lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas memiliki obyek interpretasi menarik karena pada kedua lanskap ini menampilkan atraksi permainan elemen air. Pada lanskap Air Terjun Cibeureum terdapat atraksi air terjun yang sangat menarik, sedangkan pada lanskap air panas menampilkan fenomena alam yang cukup menarik berupa sumber air panas yang jarang dijumpai ditempat lain (Gambar 17). Penilaian responden untuk kriteria
59
focal poin nyata cukup tinggi, karena pada kedua lanskap ini memiliki satu obyek wisata yang menarik, sehingga pengunjung yang berkunjung ke tempat ini hanya fokus kepada satu obyek wisata saja yaitu air terjun dan air panas. Untuk kriteria monoton-bervariasi dan view terbingkai-tertutup, responden menilai lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas cenderung ke arah netral. Karakter kedua lanskap diarahkan oleh pepohonan hutan sehingga sedikit pemandangan yang dapat terbingkai. Perbedaan penilaian yang cukup signifikan terlihat pada karakter luassempit. Lanskap Air Panas cenderung ke arah sempit sebab lokasi Air Panas terletak di jalur pendakian/jalur trekking dengan lebar jalur 2-3 meter. Hal ini bebanding terbalik dengan lanskap Air Terjun Cibereum yang cukup luas dapat menampung banyak pengunjung dengan berbagai macam aktivitas.
Gambar 17. View Air Panas (kiri) dan Air Terjun Cibeureum (kanan) 5.2.3. Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede Evaluasi kualitas estetika pada lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 18). Lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak memiliki perbedaan penilaian yang cukup signifikan tetapi pada beberapa kriteria hampir memiliki penilaian yang sama. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada kriteria obyek interpretasi menarik-obyek interpretasi kurang menarik, monoton-bervariasi, estetika indah-estetika kurang dan view terbuka-tertutup. Persamaan penilaian terlihat pada kriteria focal poin nyata-tidak nyata, view terbingkai-tidak terbingkai, dan luas-sempit.
60
Gambar 18. Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak
Penilaian responden pada kriteria obyek interpretasi dan estetika terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Pada lanskap Puncak Gunung Gede obyek interpretasi menarik dan estetika indah karena memiliki karakteristik berupa pemandangan dari puncak berupa kawah, hamparan pegunungan, dataran luas yang disebut Alun-Alun Surya Kencana. Pemandangan ke arah kawah berupa dinding jurang yang terjal dengan warna batuan putih kecoklatan dan warna merah kecoklatan pada bibir kawah. View ke arah Alun-Alun Surya Kencana terlihat dataran luas dengan warna putih kecoklatan dan terang, dan disekitarnya terdapat hamparan pemandangan tumbuhan Cantigi Gunung (Vaccinium varingiaefolium), Edelweis Jawa (Anaphalis javanica), dan jenis rumput pegunungan. Hamparan tumbuhan Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) itu berubah warnanya dari hijau ke putih pada bulan Agustus-September, dimana perubahan warna ini disebabkan oleh warna bunga putih yang muncul pada bulanbulan tersebut (Yulianto, 2006). Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak obyek interpretasi cenderung tidak ada/kurang menarik dan estetika kurang karena pada
61
lanskap ini merupakan tempat berkemah bagi pengunjung yang ingin beristirahat dan bermalam sehingga hanya terdapat tegakan pohon yang jarang-jarang dan beberapa shelter yang kondisinya sudah rusak namun masih digunakan oleh beberapa pengunjung untuk beristirahat/bermalam. Selain itu di lanskap ini banyak sampah berserakan hasil dari aktivitas pengunjung yang tidak bertanggung jawab sehingga estetika dari lanskap ini kurang/tidak nyaman untuk dipandang. Hal ini berbanding terbalik dengan penyataan Yulianto (2006). Menurut Yulianto (2006), Kandang Badak mempunyai karakteristik elemen visual berupa dominasi bentuk pohon yang ramping, tinggi, dan seragam. Pohon tersebut tumbuh dengan jarak yang teratur dan tidak terlalu rapat, sehingga memberikan kesan ruang yang lega dan terbuka. Selain itu, variasi pemandangan berupa tumbuhan paku-pakuan dan beberapa jenis semak dengan bentuk, warna, serta tekstur yang berbeda semakin menambah nilai keindahan tapak. Perbedaan penilaian ini terjadi karena pada penelitian yulianto hanya menggunakan elemen visual saja, sedangkan aspek kebersihan dan perilaku pengunjung tidak diteliti. Untuk kriteria monoton-bervariasi dan view terbuka-tertutup penilaian terhadap lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah bervariasi dan view terbuka sebab karakter dari lanskap Puncak Gunung Gede tidak terdapat tegakan pohon besar hanya semak sehingga pemandangan ke arah manapun dapat terlihat. Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak terdapat tegakan pohon yang cukup rapat sehingga pemandangan sangat terbatas dan terkesan monoton hanya terdapat tegakan pohon, semak dan perdu (Gambar 19).
Gambar 19. View Perkemahan Kandang Badak Persamaan penilaian terlihat pada kriteria focal poin nyata-tidak nyata, view terbingkai-tidak terbingkai, dan luas-sempit. Untuk kriteria focal poin dan
62
view terbbingkai-tertuutup keduaa lanskap cenderung ke arah netral. Haal ini disebabkaan karena paada kedua laanskap tidak k memiliki fokus obyeek pemandaangan. Lanskap Puncak P Gunnung Gede memiliki m baanyak view yang menarrik (Gambaar 20), sedangkann Perkemahhan Kandanng Badak hanya h mem miliki view tegakan-teg gakan pohon. Peenilaian terhhadap kriteeria luas-sem mpit, keduaa lanskap m memiliki krriteria luas sebaab lanskap Perkemahaan Kandang Badak berupa b dataaran luas untuk u berkemah sedangkann Puncak Gunung Gede G meruppakan temppat tinggi, tidak terdapat teegakan pohoon besar sehhingga terkeesan luas.
Gambar 200. View Punccak Gunung Gede
Sebelum menncapai lanskkap Perkem mahan Kandaang Badak, terdapat seebuah air terjun//curug yangg sangat inddah dengan n ketinggiann ± 6 meteer. Air terju un ini tidak kalaah menarik dengan airr terjun Ciibeurem (G Gambar 21).. Aktivitas yang dilakukan pengunjungg di tempat ini ialah fo oto-foto dan beristirahat.
Gambbar 21. Air terjun kecill
63
5.3.
Evaluasi Karakter Kualitas Ekologi
5.3.1. Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 22). Dari grafik Semantic Differential diatas tidak menunjukkan perbedaan karakter yang terlalu signifikan antara lanskap Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru. Kedua lanskap memiliki persamaan karakter pada kriteria satwa liar, vegetasi indigeneusintroduksi, kerapatan tumbuhan dan biodiversitas tumbuhan. Akan tetapi memiliki perbedaan pada karakter alami-buatan, datar-curam, dan landai-berlereng.
Gambar 22. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru
Untuk kriteria banyak satwa liar-sedikit satwa liar responden menilai kedua lanskap ini memiliki satwa liar netral. Hal ini karena satwa liar pada kedua lanskap ini sedikit ditemukan. Hanya beberapa satwa liar saja yang dapat ditemui diantaranya kadal, burung, serangga, dan lainnya. Penilaian responden terhadap kriteria vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi, lanskap pintu masuk Cibodas dan
64
Telaga Biru memiliki vegetasi introduksi, namun tidak terlalu tinggi diantaranya Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Hal ini dikarenakan pada kedua lanskap masih terdapat vegetasi indigeneus seperti pohon Rasamala (Gambar 23). Untuk kriteria biodiversitas dan kerapatan tumbuhan, lanskap pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru memiliki biodiversitas dan kerapatan tumbuhan cenderung ke arah netral, tetapi untuk lanskap Telaga Biru biodiversitas dan kerapatan tumbuhan tinggi. Hal ini dikarenakan pada lanskap pintu masuk Cibodas banyak terdapat area terbangun berupa fasilitas-fasilitas dan tidak terlalu sedikit vegetasi, sedangkan pada lanskap Telaga Biru sedikit fasilitas dan terdapat vegetasi yang tidak sedikit.
Gambar 23. Vegetasi Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru Kondisi lanskap Pintu Masuk Cibodas relatif datar/tidak curam dan landai sehingga tidak mudah terjadi erosi. Lanskap Telaga Biru relatif datar, namun penilaian terhadap kriteria landai lebih cenderung ke arah netral. Hal ini mengakibatkan di lanskap tersebut tidak mudah terjadi erosi. Perbedaan penilaian yang cukup signifikan antara lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru terdapat pada kriteria alami-buatan. Responden menilai lanskap Pintu Masuk Cibodas memiliki kriteria buatan karena pada lanskap ini banyak terdapat fasilitas-fasilitas pendukung seperti pos jaga, kantin, mushalla, toilet dan lainnya sehingga kesan alami tidak muncul, sedangkan pada lanskap Telaga Biru sangat terkesan alami dengan adanya danau alami dan tegakan pepohonan khas hutan hujan tropis. Sebelum memasuki kawasan telaga biru, terdapat habitat owa jawa dan juga lutung. Apabila beruntung pengunjung dapat melihat satwa yang populasinya saat ini tergolong langka dan sangat sulit untuk ditemui. Selain itu di sepanjang
65
jalan menuju telaga biru terdapat pohon rasamala (Altingia excelsa) raksasa yang tingginya bisa mencapai 60 meter (Gambar 24).
Gambar 24. Habitat Lutung (Kiri) dan pohon Rasamala (kanan)
66
5.3.2. Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 25). Perbedaaan penilaian responden terhadap kedua lanskap ini tidak terlalu jauh, tetapi ada beberapa karakter dari lanskap tersebut yang memiliki perbedaan cukup signifikan. Kedua lanskap ini memiliki persamaan karakter satwa liar, vegetasi, kerapatan tumbuhan, biodiversitas tumbuhan, dan karakter alami-buatan. Perbedaan karakter yang cukup signifikan terdapat pada kriteria tingkat erosi, datar-curam dan landai-berlereng.
Gambar 25. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas
Untuk kriteria banyak satwa liar-sedikit satwa liar, responden menilai lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air panas cenderung ke netral. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap ini masih terdapat beberapa satwa liar, tetapi tidak terlalu banyak terlihat. Penilaian ktiteria vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi, responden menilai kedua lanskap tersebut ke arah netral. Penilaian responden ke arah netral karena pada kedua lanskap ini memiliki perbandingan
67
vegetasi yang relatif sama antara vegetasi idigeneus dan introduksi tetapi lebih cenderung lebih banyak vegetasi introduksi. Vegetasi introduksi diantaranya Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Untuk karakter biodiversitas dan kerapatan tumbuhan, responden menilai lanskap Air terjun Cibeureum dan Air Panas memiliki biodiversitas tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap ini terdapat bermacam-macam tumbuhan diantaranya, saninten (Castanopsis argentea), Rasamala (Altingia excelsa), Antidesma tentandru, pakis ekor monyet dan sebagainya, sedangkan kerapatan tumbuhan di kedua lanskap cenderung ke arah netral. Penilaian karakter alami-buatan pada kedua lanskap ke arah alami sebab tidak ada modifikasi dan fasilitas-fasilitas pada lanskap yang cukup signifikan (Gambar 26). Fasilitas hanya seadanya sebagai penunjang aktivitas pengunjung.
Gambar 26. Lanskap Air Terjun Cibereum (kiri) dan Air Panas (kanan) Perbedaan penilaian karakter untuk kriteria datar-curam dan landaiberlereng, responden menilai pada lanskap Air Terjun Cibeureum relatif ke arah datar dan landai hal ini dapat dilihat pada kondisi lanskapnya yang berbatu tetapi disusun rapi dan teratur sehingga Air Terjun Cibeurem lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan umum seperti untuk rekreasi keluarga dan kegiatan keagamaan (Gambar 27), sedangkan pada lanskap Air Panas lebih cenderung ke arah curam dan berlereng. Dilihat dari kondisi lanskapnya yang berbatu, hanya terdapat jalan setapak dan juga tepat berada di pinggir jurang sehingga lanskap Air Panas lebih mudah terjadi erosi. Untuk itu pengelola memberikan fasilitas berupa tali besi/Wire namun kondisinya sudah rusak dan berbahaya bagi pengguna (Gambar 27). Tidak semua pengunjung dapat menuju lokasi ini, hanya pengunjung tertentu saja yang dapat mencapai ke lokasi ini.
68
Gambar 27. Air Terjun Cibeureum (kiri) dan Air Panas (kanan) Sebelum menuju kawasan air terjun Cibeureum terdapat rawa yang terbentuk dari bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah telah menyebabkan sedimentasi lumpur untuk tumbuhnya berbagai rumput-rumputan, terutama rumput Gayonggong yang mendominasi rawa ini sehingga rawa ini dinamakan Rawa Gayonggong. Kawasan Rawa Gayonggong merupakan daerah jelajah Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). Namun dikarenakan pada kawasan ini dibangun trail yang cukup panjang yang terbuat dari bahan kayu dan sebagian terbuat dari semen yang dibuat menyerupai kayu sehingga sering dilalui oleh pengunjung yang mengkibatkan Macan Tutul Jawa tersebut sudah tidak dapat diamati lagi karena habitat atau teritori dari Macan Tutul Jawa tersebut terganggu (Gambar 28).
Gambar 28. Rawa Gayonggong 5.3.3. Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 29). Pada kedua lanskap ini terjadi perbedaan nilai yang cukup
69
signifikan, tetapi pada beberapa kriteria hampir memiliki penilaian yang sama. Perbedaan yang signifikan terlihat pada karakter vegetasi indigeneus-introduksi, biodiversitas tumbuhan, tingkat erosi, datar-curam dan landai-berlereng. Persamaan penilaian terlihat pada karakter satwa liar, kerapatan tumbuhan dan kriteria alami-buatan.
Gambar 29. Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak
Untuk kriteria biodiversitas tumbuhan dan vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah biodiversitas tumbuhan netral dan vegetasi indigeneus, sedangkan untuk lanskap Perkemahan Kandang Badak biodiversitas tumbuhan tinggi dan vegetasi cenderung ke arah netral. Perbedaan yang cukup signifikan ini disebabkan karena pada lanskap Puncak Gunung Gede tidak terdapat banyak vegetasi. Vegetasi yang mendominasi pada Puncak Gunung Gede antara lain bunga Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica) dan Cantigi Gunung (Vaccinium varingiafolium), sedangkan pada lanskap Perkemahan Kandang Badak lebih banyak terdapat tegakan pohon besar
70
diantaranya Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima walichii), Pinus (Pinus merkusii) dan lain-lain (Gambar 30). Penilaian responden untuk kriteria tingkat erosi, landai-berlereng dan kriteria datar-curam penilaian terhadap lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah curam, berlereng dan mudah erosi. Pada lanskap Puncak Gunung Gede terlihat sangat curam dan berlereng hanya terdapat jalan setapak dikelilingi jurang dan didominasi oleh pohon pendek dan semak sehingga sehingga mudah terjadi erosi. Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak cenderung ke arah datar, landai dan tidak mudah erosi karena lanskap Perkemahan Kandang Badak merupakan tempat berkemah yang relatif datar dan terdiri dari tegakan-tegakan pohon besar sehingga bahaya erosi dapat diminimalisir.
Gambar 30. Vegetasi Puncak Gunung Gede (kiri) dan Kandang Badak (kanan) Sebelum mencapai Perkemahan Kandang Badak, terdapat satu lagi tempat berkemah yang disebut Kandang Batu, namun tempat perkemahan ini jarang digunakan oleh para pendaki dikarenakan sangat sepi dan jarang digunakan. Dataran yang sangat sedikit membuat pendaki sulit untuk mendirikan tenda. Luas dari perkemahan ini lebih kecil dari Perkemahan Kandang Badak. Hasil kuisioner mengenai keberadaan fasilitas di dalam kawasan menurut responden tidak mengganggu ekosistem, namun 27,59% dari responden menilai bahwa fasilitas yang ada mengganggu keadaan ekosistem TNGGP karena tidak sesuai penempatannya, dan merusak kondisi alaminya dengan membuka ekosistem, serta tidak sesuai dengan konsep TNGGP itu sendiri. Dengan adanya bangunan yang tidak terawat juga akan merusak alam, serta adanya fasilitas ini mengakibatkan banyak sampah di dalam kawasan.
71
Vegetasi dan satwa endemik/khas masih terdapat dibeberapa lokasi di TNGGP. Menurut responden masih ada satwa/tumbuhan yang khas dari TNGGP (72,41%) ini yaitu Edelweiss Jawa, katak merah, elang jawa, owa jawa, lutung, elang bondol, macan tutul, pohon Rasamala, macan dahan, anggrek, katak hijau, Papilio paris (kupu-kupu). Namun keberadaan dan eksistensi dari vegetasi/satwa endemik ini mengalami gangguan. Banyaknya pengunjung dan aktivitas yang dilakukan sangat mengganggu keberadaan vegetsi/satwa endemik tersebut. Tindakan vandalisme pengunjung dan pembangunan fasilitas yang tidak pada tempatnya
juga
menjadi
faktor
terganggunya
habitat/ekosistem
dari
vegetasi/satwa endemik. Hal inilah yang menjadi penyebab satwa/vegetasi endemik TNGGP jarang terlihat di alam bebas.
72
5.4.
Evaluasi Pengelolaan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdapat dalam
dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) yang merupakan rencana unit
pengelolaan yang bersifat indikatif perspektif dan kualitatif-
kuantitatif yang meliputi suatu unit pengelolaan kawasan taman nasional untuk jangka waktu 25 tahun. Rencana lain yang termasuk ke dalam RPTN diantaranya Rencana Karya Lima Tahun (RKL), Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA), dan rencana-rencana operasional lainnya. Salah satu bentuk pengelolaan taman nasional ialah pembagian taman nasional menjadi beberapa zonasi. Berdasarkan revisi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2010, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terbagi atas 7 zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona konservasi owa jawa, dan zona khusus. Zona pemanfaatan kawasan taman nasional merupakan daerah yang mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik dan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Jalur pendakian Cibodas termasuk ke dalam zona pemanfaatan taman nasional karena pada jalur ini terdapat berbagai macam obyek wisata yang menarik, memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, formasi ekosistem tertentu dan atraksi geologi. Obyek wisata tersebut diantaranya telaga biru, air terjun Cibeureum, air panas, kawah Gunung Gede dan formasi ekosistem alun-alun Surya Kencana berupa dataran luas yang ditumbuhi tanaman Edelweiss Jawa. Menurut Soewardi dalam Samsudin (2006), kawasan taman nasional dibagi atas dasar zona-zona sesuai dengan fungsi zona itu sendiri, tersusun atas: daerah yang mutlak harus dilindungi (Strict nature reserves = Preservation zone), daerah “berimba” yang luas (Wilderness areas = Conservation zone), daerah yang dapat dipergunakan secara intensif (Intensive use area = Natural environment zone) dan daerah yang terbuka untuk umum (Mass tourism areas = Outdoor recreation zone). Jalur pendakian Cibodas merupakan daerah yang dapat
73
dipergunakan secara intensif ((Intensive use area = Natural environment zone) karena kawasan ini merupakan jalur rekreasi alam. Penggunaan kawasan ini cukup intensif misalnya untuk camping ground, rekreasi keluarga, dan penempatan fasilitas-fasilitas pendukung. Beberapa fasilitas pendukung terdapat dibeberapa obyek wisata dan pintu masuk kawasan taman nasional. Beberapa fasilitas yang terdapat di jalur pendakian Cibodas diantaranya pusat informasi, pos jaga, kantin, WC/toilet, mushalla, shelter, bangku taman, papan/sarana interpretasi (sign), tali besi/wire, gazebo dan trail. Evaluasi pengelolaan pada lanskap TNGGP khususnya jalur pendakian Cibodas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 31). Penilaian terhadap lanskap TNGGP khususnya jalur pendakian Cibodas dilakukan di enam titik lanskap yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun (alami). Lanskap terbangun terdiri dari lanskap Pintu masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak, sedangkan lanskap tidak terbangun (alami) terdiri dari lanskap Telaga Biru, Air Terjun Cibeureum, Air Panas dan Lanskap Puncak Gunung Gede. Penilaian terhadap lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun (alami) relatif sama untuk setiap kriteria, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok.
Gambar 31. Grafik Semantic Differential lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun
74
Responden menilai untuk kriteria peletakan tanaman dan kondisi vegetasi untuk lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun peletakan tanaman cenderung ke arah netral dan kondisi vegetasi baik. Peletakan tanaman ke arah netral karena di setiap lanskap tanaman dibiarkan tumbuh secara alami dan beberapa tanaman diintroduksi dari luar kawasan taman nasional. Kondisi vegetasi di tiap lanskap baik karena tidak membutuhkan pengelolaan yang lebih sebab vegetasi tumbuh secara alami. Namun pada beberapa lanskap misalnya lanskap Telaga Biru, Puncak Gunung Gede (lanskap tidak terbangun) dan Perkemahan kandang Badak masih terdapat tindakan vandalisme mencoret-coret, merusak tanaman, menebang dan memetik bunga (Gambar 32).
Gambar 32. Contoh Vandalisme Untuk kriteria aksesibilitas, terjangkau dan kenyamanan kedua kelompok lanskap memiliki akses yang mudah, terjangkau dan nyaman. Lanskap Pintu Masuk Cibodas (lanskap terbangun) merupakan pos pertama yang terletak tepat di sebelah Kebun Raya Cibodas, sedangkan aksesibilitas menuju Perkemahan Kandang Badak dengan kemiringan jalan mencapai sudut 60˚, jalan yang berbatu diselingi akar-akaran dari tumbuhan (Gambar 33). Kenyaman di kedua lanskap ini cukup nyaman dikarenakan suhu rata-rata di tempat ini ± 20-24º C, bahkan pada musim-musim tertentu suhu bisa dibawah 20º C. Selain itu pada kedua lanskap banyak pepohan yang menaungi sehingga menjadi nyaman.
75
Gambar 33. Aksesibilitas Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak
Lanskap Telaga Biru (lanskap tidak terbangun) terletak pada ketinggian 1.575 meter dpl. Akses menuju telaga biru cukup mudah dan terjangkau terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas atau dapat ditempuh selama ± 0,75 jam dengan kondisi jalan yang relatif datar dan terbuat dari susunan bebatuan yang cukup rapi sehingga memudahkan pengunjung untuk melakukan trekking atau jalan kaki (Gambar 34). Lokasi Air Terjun Cibeureum tidak terlalu jauh sekitar ± 2,8 km atau 1 ¼ jam dari Cibodas dan akses jalan yang tidak terlalu sulit atau relatif datar, sedangkan Air Panas terletak sekitar 5,9 km atau 4 jam perjalanan dari Cibodas. Jalur trekking menuju Air Terjun Cibeureum berupa trail panjang yang terbuat dari kayu dan sebagian terbuat dari semen yang dibentuk menyerupai kayu (Gambar 35). Sebagian kondisi trail ini sudah rusak, bolong-bolong dan pagar pembatasnya sudah rusak sehingga membahayakan pengunjung yang akan melintasi trail ini.
76
Gambar 34. Akses menuju Telaga Biru dan Air Terjun Cibeureum Air panas merupakan jalur pendakian menuju puncak Gunung Gede. Setiap pendaki yang akan mendaki ataupun turun pasti melewati kawasan ini. Akses menuju lokasi yang cukup jauh dan juga medannya yang cukup berat untuk ditempuh (Gambar 35). Namun karena responden merupakan pecinta alam sehingga akses menuju Air Panas tidak terlalu sulit dan terjangkau. Aksesibilitas menuju Puncak Gunung Gede jalan yang ditempuh cukup terjal dan berbatu. Sebelum menuju puncak kawah Gunung Gede, pengunjung harus melewati tebing dengan kemiringan mendekati sudut 80˚ (Gambar 35). Pendaki gunung sering menyebut tebing ini dengan sebutan “tanjakan setan” karena tebing ini cukup sulit untuk dilewati. Namun bagi pendaki tebing ini sangat menarik, bukan sebagai suatu hambatan, melainkan sebagai suatu tantangan. Harus menggunakan alat khusus apabila ingin melewati tebing ini. Selain itu tepat sebelum mencapai puncak, akan ditemui jalan setapak yang tidak terlalu lebar dengan batas sebelah kanan jurang dan sebelah kiri dengan kawah Gunung Gede. Pada kedua lanskap ini pengelola menyediakan fasilitas berupa tali besi (Wyre) dan tali tambang untuk membantu pengunjung melewati tebing ini, namun keadaannya sudah tidak layak pakai karena tali putus dan serat dari besi tersebut keluar sehingga membahayakan pendaki saat memegang tali. Kenyamanan di lanskap Air Panas dikarenakan suhu rata-rata di tempat ini ± 22º C, namun pada saat melewati Air Panas suhu berubah bisa mencapai 30-35 ºC karena uap panas yang ditimbulkan oleh air panas yang mengalir. Kenyamanan
77
di lanskap Puncak Gunung Gede dikarenakan suhu rata-rata ± 18-20º C. Namun pada waktu-waktu tertentu di puncak gunung suhu bisa mencapai dibawah 10º C yang mengakibatkan tidak nyaman lagi.
Gambar 35. Akses menuju Air Panas dan Puncak Gunung Gede (Tanjakan Setan) Fasilitas berupa papan/sarana interpretasi di kedua kelompok lanskap (lanskap terbangun dan tidak tebangun) tersedia cukup lengkap. Mulai dari peta kawasan, informasi satwa, informasi obyek wisata dan papan penunjuk arah (Gambar 36).
Gambar 36. Papan/sarana interpretasi Keadaan papan/sarana interpretasi yang tersedia sebagian sudah rusak/tidak terawat lagi akibat penempatan fasilitas yang tidak pada tempatnya, desain fasilitas yang tidak sesuai dengan karakter dan keadaan taman nasional,
78
penggunaan bahan yang tidak tepat dan kegiatan vandalisme pengunjung (Gambar 37). Faktor-faktor tersebut mengakibatkan fasilitas yang ada dapat mengganggu habitat dari flora dan fauna, fasilitas menjadi rusak sehingga informasi kepada pengunjung tidak tersampaikan dengan baik. Kegiatan vandalisme pengunjung kawasan yang banyak ditemui ialah coretan fasilitas.
Gambar 37. Papan/sarana interpretasi rusak Fasilitas pendukung lainnya yang ada di TNGGP cukup lengkap dan memadai. Fasilitas yang terdapat di lanskap Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak (lanskap terbangun) diantaranya, pos jaga, mushalla, toilet umum, kantin, pusat informasi, rumah kaca, bangku taman, shelter besar untuk menampung 5-8 tenda, jembatan penghubung jalan yang tidak terlalu panjang dan terdapat sumber air yang tidak pernah kering. Selain itu terdapat koleksi tanaman hias berbagai jenis anggrek dan tanaman hutan lainnya. Pengunjung yang ingin bermalam atau beristirahat dapat menggunakan sekretariat sukarelawan Montana yang terdapat di belakang pos jaga (Gambar 38).
79
Pos jaga
Sekretariat Sukarelawan Montana
Rumah Kaca
Shelter Kandang Badak
Gambar 38. Fasilitas di Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak Fasilitas lain yang ada di lanskap Telaga Biru dan Puncak Gunung Gede (lanskap tidak terbangun) diantaranya bangku taman untuk melakukan aktivitas viewing ke arah telaga dan gazebo atau pendopo tempat beristirahat (Gambar 39). Pada lanskap Puncak Gunung Gede terdapat tali besi/wyre sebagai alat bantu pengunjung untuk trekking menuju puncak gunung.
Gambar 39. Fasilitas di Telaga Biru Fasilitas yang terdapat pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan dapat ditemui di sepanjang jalan menuju air panas (lanskap tidak terbangun) antara lain MCK/toilet umum, gazebo, shelter dan beberapa bangku taman. Selain itu
80
terdapat tali besi (wire) disepanjang jalan pada saat pengunjung melewati air panas (Gambar 40).
WC/Toilet umum
Shelter
Gazebo
Tali besi/Wyre
Gambar 40. Fasilitas di Air Terjun Cibeureum dan Air Panas Sebagian besar lanskap di TNGGP memiliki permasalahan yang hampir sama. Permasalahan yang terdapat pada lanskap Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak (lanskap terbangun) ialah terdapat sampah berserakan dibuang tidak pada tempatnya. Hal ini disebabkan karena kawasan Pintu Masuk Cibodas ini dijadikan tempat pembuangan sementara
bagi
pengunjung yang telah melaksanakan pendakian. Di pintu masuk ini pengunjung yang akan meninggalkan kawasan TNGGP wajib melapor ke pos jaga dan wajib membawa sampah yang merupakan sisa dari aktivitas pengunjung tersebut, sedangkan
lanskap
Perkemahan
Kandang
Badak
kondisinya
sangat
mengkhawatirkan. Banyak sampah sisa dari aktivitas pengunjung karena tidak terdapat tempat pembuangan sampah. Selain permasalahan sampah, kendala lain yang terdapat pada area ini ialah banyaknya fasilitas yang tidak terawat sehingga menjadi rusak dan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya serta penggunaan fasilitas yang tidak pada tempatnya (Gambar 43). Misalnya, toilet umum tidak
81
terawat sehingga jarang pengunjung yang menggunakan fasilitas tersebut, rumah kaca yang harusnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan tanaman digunakan untuk menjemur pakaian, kondisi fasilitas berupa shelter yang sudah rusak dan sangat bau karena tidak ada fasilitas berupa toilet/WC sehingga pengunjung biasa melakukan buang air kecil/besar di sembarang tempat sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap dan pagar pembatas yang sudah rusak (Gambar 41).
Shelter yang rusak
Tempat pembuangan sampah sementara
Sampah sisa aktivitas pengunjung
Rumah kaca tempat menjemur pakaian
Gambar 41. Permasalahan di Lanskap Kandang Badak dan Pintu masuk Cibodas Permasalahan yang terdapat pada lanskap Telaga biru, Air terjun Cibeureum, Air Panas dan Puncak Gede (lanskap tidak terbangun) ialah banyaknya fasilitas yang kurang pengelolaan sehingga banyak fasilitas yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Misalkan, shelter dan gazebo yang sudah tidak memiliki atap, bangku taman yang berlumut, trail kayu yang sudah bolong, WC/toilet yang tidak terpakai sehingga terbengkalai, tali besi/wyre berkarat dan putus (Gambar 42).
82
WC/Toilet umum tidak terpakai
Shelter
Tali besi/Wyre
Bangku taman dan toilet
Gambar 42. Permasalahan di kelompok lanskap tidak terbangun Berdasarkan hasil kuisioner yang dibagikan kepada 30 orang responden dapat dikatakan pengelolaan TNGGP sudah cukup baik. Namun sebagian besar responden (40%) mengatakan bahwa pengelolaan TNGGP masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kegiatan vandalisme yang ada didalam kawasan seperti mencoret-coret, membuang sampah sembarangan, memetik bunga/tanaman, membuat bakaran/api unggun, penebangan pohon dan lain sebagainya. Fasilitas yang diketahui responden di dalam kawasan antara lain toilet (38,33%), tempat ibadah/mushalla (28,33%), cottage/penginapan (20%) dain lainnya shelter, bangku taman, tempat sampah, tempat parkir, warung, dan pusat informasi (13,33%). Selain itu responden juga menilai bahwa fasilitas di TNGGP belum memadai (46,67%) karena kondisi fasilitasnya tidak terawat dan banyak yang rusak (kurang pengelolaan yang intensif). Hal ini dapat dilihat dari keadaan fasilitas yang rusak dan tidak layak pakai padahal keberadaan dari fasilitas tersebut sebenarnya sangat vital didalam kawasan. Namun dari pihak pengelola belum ada upaya untuk memperbaiki ataupun mengganti fasilitas-faslitas tersebut.
83
Tingginya minat pengunjung untuk aktifitas pendakian, ternyata memberikan dampak negatif yang nyata terhadap ekosistem kawasan TNGGP. Dampak negatif tersebut terjadi di sepanjang jalur pendakian, alun-alun Mandalawangi dan Kandang Badak. Contoh dari dampak tersebut adalah sampah pengunjung dan vandalisme terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi dan wisata alam. Data menunjukkan sampah per minggu yang dihasilkan dari aktifitas pengunjung di pintu masuk Cibodas adalah 63.175 gram dan di Perkemahan Kandang Badak mencapai 97.225 gram (Priatna, 2004). Dampak negatif lainnya adalah erosi dan pengerasan tanah terutama di jalur pendakian, serta pencemaran sumber air tanah (gedepangrango.org). Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Partomo (2004), permasalahan yang diakibatkan oleh rendahnya kepedulian pengunjung adalah timbulnya sampah di dalam kawasan, vandalisme, gangguan terhadap satwa dan tumbuhan, pencemaran air dan erosi. Permasalahan dari internal adalah lemahnya pemeliharaan sarana dan prasarana serta belum optimalnya program interpretasi kepada pengunjung yang diakibatkan oleh terbatasnya jumlah dan kualitas sumberdaya manusia. Faktor ancaman yang paling berpengaruh adalah adanya gangguan potensi sumberdaya alam oleh aktivitas masyarakat, penegakan hukum belum maksimal, pada musim kemarau rawan kebakaran hutan, serta rendahnya kepedulian pengunjung terhadap lingkungan. Permasalahan utama yang ada di TNGGP ialah banyaknya sampah akibat dari banyaknya pengunjung dan kegiatan vandalisme pengunjung. Untuk itu perlu penanganan khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini. Selain permasalahan sampah, permasalahan yang ada antara lain, kurangnya pengelolaan terhadap fasilitas sehingga fasilitas yang ada menjadi rusak dan tidak layak pakai. Peran serta pengelola dan pengunjung kawasan TNGGP sangat dibutuhkan agar tercipta kawasan yang lestari dan berkelanjutan. Pihak pengelola TNGGP sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan yang ada di dalam kawasan TNGGP yaitu dengan membuat kebijakan pengelolaan kawasan. Pengelolaan yang responden ketahui yang ada di dalam kawasan TNGGP antara lain penutupan sementara kawasan pada bulan-bulan tertentu (45,61%), membuat papan pengumuman berupa larangan (28,07%), kerja
84
bakti membersihkan kawasan oleh para relawan (22,81%), dan lainnya yaitu pemanfaatan hasil hutan secara lestari dan kerjasama dengan pihak lain (3,51%). Namun sebagian dari peraturan yang sudah dibuat belum sepenuhnya diterapkan baik oleh pengunjung maupun oleh pengelola itu sendiri. Hal ini menjadi kendala dari pihak pengelola itu sendiri, sehingga perlu adanya peningkatan kesadaran baik bagi pengunjung maupun bagi pengelola TNGGP. 5.5.
Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis persepsi dan preferensi pengunjung, evaluasi
kualitas estetika dan ekologi serta evaluasi pengelolaan yang telah dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango disusun dan dikembangkan beberapa rekomendasi pengelolaan lanskap. Rekomendasi-rekomendasi yang disusun bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan karakter asli dari lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar memiliki keberlanjutan baik dari segi estetika, ekologi maupun pengelolaan. Bentuk rekomendasi yang telah disusun diantaranya: 1.
Penanganan khusus terhadap kegiatan vandalisme. Kegiatan vandalisme yang banyak terjadi ialah membuang sampah di
sembarang tempat, mencoret-coret (fasilitas dan tanaman) dan perusakan tanaman dan fasilitas. Penangan khusus untuk masalah sampah ialah dengan menerapkan sistem pemberian penghargaan terhadap pengunjung yang benar-benar menjaga kawasan taman nasional. Misalnya apabila pengunjung dapat membawa sampah lebih banyak dari bawaannya akan mendapatkan penghargaan (dapat berupa sertifikat atau piagam penghargaan), sebaliknya apabila pengunjung membawa sampah lebih sedikit dari bawaannya akan mendapatkan sanksi berupa teguran moral, tertulis atau hukuman lainnya. 2.
Pengadaan pelatihan atau penyuluhan singkat tentang pendidikan konservasi. Pelatihan atau penyuluhan singkat ini dilakukan sebelum pengunjung akan
memasuki kawasan TNGGP. Pelatihan atau penyuluhan ini dapat berupa pendidikan konservasi, sosialisasi mengenai peraturan-peraturan yang ada di TNGGP, dan bagaimana pentingnya menjaga kelestarian taman nasional.
85
3.
Pengadaan tempat sampah di setiap obyek wisata/tempat pemberhentian pengunjung. Masalah utama yang ada di TNGGP ialah banyaknya sampah hasil dari
kegiatan pengunjung TNGGP. Faktor yang menyebabkan pengunjung membuang sampah sembarangan salah satunya ialah karena tidak adanya tempat sampah. Walaupun peraturan yang ada di TNGGP mengharuskan pengunjung membawa sampah ke luar taman nasional, namun pengadaan tempat sampah sangat penting agar pengunjung tidak membuang sampah di sembarang tempat khususnya di dalam kawasan TNGGP. 4.
Pemeliharan terhadap habitat satwa dan vegetasi. Kegiatan pemeliharaan habitat satwa dan vegetasi dilakukan agar menjaga
dan dapat melestarikan satwa dan vegetasi tersebut sebab tujuan semula taman nasional
adalah
menjamin
keberlangsungan
fungsi
perlindungan
sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan ini sangat penting dilakukan, sebab pada saat pengambilan data dilapang jarang ditemui satwa liar. Salah satu cara menjaga habitat atau ekosistem satwa dan tumbuhan ialah dengan tidak mengganggu jalur atau sirkulasi dari satwa tersebut, tidak membuat atau membangun fasilitas yang dapat mengganggu ekosistem dari satwa/vegetasi yang sudah ada dan juga pembatasan pengunjung. 5.
Peningkatan pengelolaan fasilitas-fasilitas. Berdasarkan hasil analisis dan penilaian terhadap karakter ekologi dan
estetika lanskap, pengelolaan terhadap fasilitas-fasilitas yang ada di dalam kawasan taman nasional kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fasilitasfasilitas yang sudah rusak dan tidak layak pakai. Untuk itu perlu peningkatan pengelolaan secara intensif, rutin dan berkala, penggantian fasilitas yang sudah tidak layak pakai dengan bahan-bahan yang tidak memerlukan pengelolaan yang intensif dan memperbaiki fasilitas yang masih layak pakai, penempatan fasilitas yang tidak mengganggu ekosistem/habitat satwa ataupun vegetasi, penggunaan desain yang sesuai dengan karakter dan kondisi dari TNGGP. Berikut beberapa contoh fasilitas yang ada di taman nasional/nature park yang ada di dunia (Gambar 43).
86
Pintu masuk (Tervete Nature Park, Latvia)
Trail (Pacific Rim National Park, British Columbia, Canada.
Sign (Tervete Nature Park, Latvia) Sign, Slovakia
Gambar 43. Contoh fasilitas taman nasional di dunia (Bell, 2008). 6.
Pembatasan pengunjung dan larangan berkemah. Aturan pembatasan pengunjung sudah ada dalam peraturan yang dibuat oleh
pihak TNGGP tetapi pemantauan terhadap jumlah pengunjung masih sangat sulit untuk dikendalikan. Larangan berkemah di tempat-tempat tertentu belum diterapkan oleh pihak pengelola TNGGP. Larangan berkemah harus diterapkan di beberapa tempat yang rentan terhadap tindak vandalisme misalnya di Puncak Gunung Gede. Selain berbahaya bagi pengunjung pada saat cuaca ekstrim, larangan berkemah ini juga dapat menjaga kelestarian kawasan ini karena aktivitas berkemah pengunjung dapat merusak ekosistem dan juga estetika kawasan. Dengan larangan berkemah di kawasan ini permasalahan sampah dan masalah lainnya yang ada di Puncak Gunung Gede dapat teratasi. Hal ini dimaksudkan agar kualitas estetika dan ekologi kawasan ini dapat terjaga
87
mengingat tempat ini merupakan salah satu tempat yang paling indah yang ada di kawasan TNGGP. 7.
Pengalihan jumlah kuota pengunjung. Pengelola TNGGP sudah menetapakan jumlah maksimal pengunjung di tiap-
tiap pintu masuk. Pintu masuk Cibodas maksimal sebanyak 300 pengunjung per malam, Gunung putri 200 pengunjung per malam dan Selabintana 100 pengunjung per malam. Untuk itu perlu adanya pengalihan jumlah pengunjung agar dapat meminimalisir kerusakan akibat kelebihan pengunjung. Misalkan tiap 3 bulan sekali kuota Pintu Masuk Cibodas menjadi 100 pengunjung per malam, Selabintana 200 pengunjung per malam, Gunung Putri 300 pengunjung per malam dan beberapa opsi pengalihan lainnya. 8.
Pengkajian ulang terhadap zonasi taman nasional. Pengkajian ini berupa peraturan penetapan zonasi dan kegiatan apa saja yang
bisa dilakukan di dalam zonasi tersebut. Misalkan pada zona inti pengunjung dilarang masuk atau melakukan kegiatan di zona inti, sosialisasi tentang batasan zonasi di TNGGP dan larangan atau aturan apa saja yang ada di dalam zona tersebut. 9.
Pengkajian ulang terhadap aturan-aturan yang sudah dibuat. Pihak pengelola TNGGP sudah membuat beberapa aturan yang mengatur
tentang petunjuk teknis pendakian (Juknis). Aturan yang dibuat pengelola TNGGP sudah baik dan cukup lengkap, namun peraturan yang baik dan lengkap tanpa adanya kesadaran dari pihak pengelola dan pengunjung, peraturan tersebut tidak akan berjalan dengan lancar. Dari pihak pengelola terkadang menghiraukan aturan yang sudah ada misalnya dalam juknis tertulis pemeriksaan barang bawaan saat pergi dan pemeriksaan sampah bawaan saat pulang, dalam kenyataannya pihak pengelola jarang yang melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan pengunjung. Alasannya ialah barang bawaan yang sudah dipacking tidak perlu diperiksa karena akan sulit untuk mengembaikan ke posisi semula. Untuk itu perlu adanya sanksi bagi pengelola yang tidak menjalankan aturan tersebut selain sanksi bagi pengunjung yang melanggar aturan. Apabila sanksi tersebut tidak membuat pengelola dan pengunjung sadar, bisa menggunakan sanksi moral berupa pengumuman secara tertulis siapa saja yang telah melanggar aturan-aturan
88
tersebut. Selain itu perlu adanya peningkatan kesadaran bagi pengelola dan pengunjung, bisa dengan pembinaan ataupun pemberian materi singkat tentang pentingnya menjaga lingkungan/keberlangsungan keadaan taman nasional.