URGENSI KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN METODE IJTIHAD DALAM MENGHADAPI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Rachmat Syafe’i Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat
[email protected]
Abstract The tradition of Islamic law in Indonesia's Muslim population can not be separated from values, legal norms, and legal products. Therefore, the position of ijtihad is one of the important instruments in Islam. In this context, a mujtahid in general perform several steps in formulating Islamic rules from the sources, that are the Quran and Hadith. The position of Islamic law in the legal system in Indonesia is increasingly gaining recognition juridically. One of that is enactment of the Marriage Law Number 1 Year 1974 and Presidential Decree Number 1 Year 1991 on the Compilation of Islamic Law. Thus the actualization of Islamic law must be carried out systematically by concrete actions. Actualization of Islamic law is not enough, it will even harm if done only for political action which campaign demanding the implementation of Shari'a. One of the problems encountered in attempts to actualize Islamic law is the absence of a clear conception of the legal matter that must be actualized in national law, both of which apply specifically to Muslims and generally applicable. Abstraksi Tradisi hukum Islam yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia tidak terlepas dari nilai, kaidah hukum, norma hukum, dan produk hukum. Oleh karena itu, kedudukan ijtihad merupakan salah satu instrumen penting. Dalam konteks ini, seorang mujtahid pada umumnya melakukan beberapa tahapan dalam merumuskan hukum syara‘ dari sumbernya yakni Al-Quran dan Hadits. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Salah satunya adalah adanya Undang-Undang Hukum Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian bahwa aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dengan tindakan-tindakan nyata. Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan Syari‘at Islam. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum. Kata Kunci: Hukum Islam, Ijtihad, Masyarakat A.
Pendahuluan Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya keberlakuan hukum Islam berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Sehingga, proses trans-
formasi hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan, baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial dan budaya itu. Cara pandang dan interpretasi yang berbeda di kalangan umat Islam dalam memahami hakikat hukum Islam telah berimplikasi
Rachmat Syafe’i, Urgensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi ...| 195
kepada pengaplikasiannya.1 M. Atho Mudzhar menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam misalnya proses legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI) menurutnya transformasi KHI dipengaruhi empat faktor, antara lain: kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan Agama, peraturan perundang-undangan yang ada di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.2 Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses pembentukan KHI di Indonesia. Hal yang tak kalah pentingnya adalah faktor paling determinan perkembangan hukum Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh tradisi ijtihad yang dilakukan para ahli hukum secara akademik dan praktisi hukum di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, bersandar kepada keanekaragaman budaya, adat-istiadat dan corak fikih yang berbedabeda, maka KHI dibentuk sebagai “Fikih Nasional Versi Indonesia”. Sehingga, KHI menjadi peraturan hukum Islam yang mewakili semua golongan di kalangan umat Islam. B.
Tradisi Hukum Islam di Indonesia Untuk menjelaskan tradisi hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari perbedaan corak pemahaman terhadap hukum Islam itu sendiri, baik yang bersifat filosofis, historis, sosiologis dan yuridis. Secara filosofis, kalangan ahli hukum Islam (fuqaha) telah mengidentikkan hukum Islam dengan konotasi syari‘ah. Makna integral syari‘ah diasumsikan telah memuat segala macam ketentuan Allah SWT yang berkenaan dengan perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia itu sendiri. Sedangkan fikih dipahami lebih spesifik dan bahkan individual karena ia menyangkut urusan-urusan hukum
1
Keanekaragaman yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam dalam memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam. 2 M. Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam. 1991), hlm. 21-30.
(bidang-bidang hukum Islam) yang praktis dan teknis. Yusuf Musa mengambil pengertian umum tentang hukum Islam yaitu segala peraturan agama Islam yang meliputi semua aspek kehidupan manusia berupa akhlak, hukum-hukum ibadah, kepercayaan dan keyakinan sebagai wujud aktualisasi sikap bathin seseorang yang beragama Islam.3 Dengan kata lain, makna integral syari‘at (hukum Islam) merupakan keseluruhan peraturan, baik dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan-Nya, manusia dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan fikih, karena pengertiannya lebih bersifat khusus dan menyentuh masalah-masalah pokok di luar keyakinan, maka fikih menjadi suatu bentuk manifestasi ketundukan umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam. Karakteristik pemahaman hukum Islam dan penerimaan berlakunya hukum Islam, lebih banyak disebabkan oleh corak fikih yang kebenarannya bersifat relatif, karena hasil interpretasi manusia. Interpretasi hukum Islam dalam laingkup ijtihad, seolah telah menjadi salah satu faktor yang determinan terjadinya dinamika politik hukum Islam.4 Berkenaan dengan penjelasan di atas, maka hukum Islam lebih dari sekedar disiplin ilmu hukum, tetapi dianggap lebih sosiologis dan empiris. Hukum Islam dalam pengertian fikih merepresentasikan bentuk pemahaman, penelaahan dan kesadaran hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim. Sehingga hukum Islam itu lahir menjadi sebuah “tradisi” yang tidak hanya lahir dari kehendak Tuhan, tetapi juga dibuat dan diaplikasikan oleh orang Islam, baik pada tingkatan sosiologis, politis maupun yuridis. Kemudian secara historis, fatwa-fatwa hukum yang bersumber kepada dalil n’aqli (Al-Quran dan Sunnah) dan dalil ‘aqli berupa ijtihad yang dilakukan oleh para ahli hukum (fuqaha) merupakan akumulasi perubahan 3
Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Cairo Mesir: t.pn. t.th.), hlm. 10. dan Manna al-Qattan, al-Tasyri wa al-Fiqh fi al-Islam (t.t.: Muassasah al-Risalah. t.th.), hlm. 14. 4 Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Falsafah Hukum Islam (Jakarta : Bumi Aksana-Depag RI. 1992), cet. II, hlm. 15.
196 | Asy-Syari‘ah Vol. 16, No. 3, Desember 2014
pemikiran yang terus-menerus berubah dari waktu ke waktu. Empat hal yang mempengaruhi penerapan hukum Islam di Indonesia adalah kitab-kitah fikih, fatwa ulama, putusan pengadilan, dan UU di negara muslim. Oleh sebab itu, hukum Islam mengandung dimensi transendental yang terkait dengan masalah etika dan keyakinan agama, serta dimensi horizontal yang terkait dengan aspekaspek yang mempengaruhi berubahnya hukum Islam, seperti: dimensi kultural, situasi, kondisi, waktu dan tempat.5 Adapun secara politik, sejak fase penjajahan hingga fase kemerdekaan, khususnya pada periode Orde Baru, tradisi hukum Islam berlaku terkait dengan pola hubungan Islam dan negara, yakni: Pertama, hubungan antagonistik (1966-1981 M) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru; Kedua, resiprokal kritis (1982-1985 M) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam peraturan politik Indonesia; Ketiga, hubungan akomodatif (1985-1998 M) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis dimana umat Islam telah masuk sebagai bagian dari sistem politik elit dan birokrasi. Sedangkan secara sosiologis, sikap prokontra di kalangan mayoritas umat Islam menganggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolaka kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dari ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan kalangan modernis dipandang lebih repre5
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), jilid II, hlm. 9.
sentatif untuk membagun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konserpatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang berakibat melahirkan ketegangan dengan rezim Orde Baru. Dari situlah, dapat dikatakan di sini bahwa tradisi hukum Islam yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia terbagi ke dalam beberapa tingkatan: Pertama, sebagai nilai berarti ia menjadi suatu pedoman hukum yang diikuti dan ditaati berdasarkan autoritas keagamaan seorang muslim untuk tunduk, taat dan patuh kepada ajaran Islam. Kedua, sebagai kaidah hukum berarti ia berisikan muatan-muatan norma hukum Islam yang universal dan spesifik, bersifat vertikal dan horizontal, ditaati dan dipatuhi serta berlaku dalam masyarakat muslim secara terusmenerus. Ketiga, sebagai norma hukum berarti ia berisikan sejumlah peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis, serta tetap eksis dan berlaku dalam kehiduan masyarakat muslim itu sendiri. Keempat, sebagai produk hukum berarti ia merupakan produk politik berupa Undang-Undang dan peraturan lainnya, yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di tingkat legislatif, eksekutif dan yudikatif. Terakhir, secara yuridis, tradisi penerapan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui kebijakan politik hukum yakni unifikasi dan kodifikasi hukum Islam. Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (takhrîj al-ahkâm fî al-nash al-qânûn) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikodifikasikan. Kemudian disusul dengan pelegislasian KHI dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991.
Rachmat Syafe’i, Urgensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi ...| 197
C.
Ijtihad dan Pengembangan Hukum Islam Term ijtihad berasal dari bahasa Arab. Akar kata ijtihad adalah “ja-ha-da”. Kata ini beserta seluruh derivasinya menunjukan “pekerjaan yang dilakukan lebih dari yang biasanya, atau sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.2 Dalam pengertian inilah Nabi Muhammad SAW, menggunakan kata ijtihad; pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo‘a (Fajtahidu fi al-Du‘a). Term ijtihad pada umumnya dibicarakan dalam buku-buku Ushûl Fiqh. Salah satu definisi Ushûl Fiqh tentang ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan seorang ahli fiqh untuk memeperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara‘. Dalam pengertian inilah seorang mujtahid disyaratkan seorang ahli. Dengan kata lain, ijtihad tidak dapat dilakukan sembarang orang, melainkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:3 Pertama, menguasai pengetahuan bahasa Arab dan seluk-beluk sejarah bahasa karena seseorang yang tidak mengetahui bahasa Arab tidak mungkin melakukan Istinbath al-Ahkam; Kedua, memahami fiqh yaitu ilmu tentang hukum syara‘ dan sebab-sebab pembentukannya; Ketiga, memahami Ushûl fiqh yaitu suatu ilmu yang membahas secara luas dan mendalam tentang sumber-sumber dalil, AlQuran, al-Sunnah serta Turûq al-Istinbath seperti Qiyas; Keempat, memahami ilmu tauhid dan keadilan Allah; Kelima, mengetahui perbuatan yang baik dan jahat; Keenam, mampu menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat sehingga tampak menjadi ayat-ayat yang muhkamat, dan mampu menguraikan perbedaan antara ayat Muhkamat dan Mutasyabihat. Perlu dicatat bahwa istilah ijtihad juga merupakan bagian penting dalam pengkajian hukum Islam. Sehingga para ulama selalu menggunakan ijtihad untuk menjelaskan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci dalam Al-Quran dan Hadits. Lapangan ijtihad ialah seputar hukum syara‘ yang bu2 Muhammad Musa Towana, Al-Ijtihad: Madza Hajatina Ilaihi Fi Hadza al-‘Ashr (Kairo: Ans Al-Kutub alHaditsah. 1972), hlm. 97. 3 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia. 2001), hlm. 52.
kan merupakan dalil qath‘i. Dalam hal ini, ijtihad dibedakan ke dalam dua bagian. Pertama, syari‘at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu bukan hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok yang berdasarkan pada nash-nash yang qath‘i, seperti kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, zakat, puasa, ibadah haji, atau karena melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Kedua, syari‘at yang dapat dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum-hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanny dan hukumhukum yang tidak ada pastinya atau tidak ada ijma‘ ulama. Ijtihad adalah penafsiran bebas atau orisinal atas masalah-masalah yang tidak dibahas di dalam Al-Quran, Hadits dan Ijma‘. Pada awal berdirinya masyarakat Muslim, setiap ulama yang memenuhi syarat memiliki hak untuk menerapkan penafsiran orisinal tersebut. Namun karena ketakutan perubahan besar akan melemahkan posisi politik mereka, pintu gerbang ijtihad ditutup bagi kaum Muslim Sunni oleh para ulama pada sekitar 500 tahun lalu. Sejak saat itu, para akademisi dan ulama hanya berpegang pada makna asli dan tafsiran awal atas Al-Quran dan Hadits. Namun, saat ini terdapat gerakan yang terus berkembang di kalangan para ulama dan intelektual untuk membangkitkan kembali praktek ijtihad.6 Penting untuk ditelaah di sini bahwa ijtihad merupakan salah satu instrumen dalam menggali sumber dan metode hukum syara‘ (Ijtihad fi al-Istinbath al-Hukm). Dalam konteks ini, seorang mujtahid umumnya melakukan beberapa tahapan dalam merumuskan hukum syara‘ dari sumbernya yakni AlQuran dan Hadits. Tahapan yang dimaksud antara lain: Pertama, Tanqih al-Manât yaitu mengungkapkan atau menseleksi sifat-sifat yang berpengaruh pada hukum (al-Ta‘yin wa alHadfu fi Sifat al-Hukm). Fungsi mujtahid di sini adalah menentukan dan membuang sifatsifat yang berpengaruh pada hukum, dimana 6
Dikutip dari Claude Salhani, Membuka Pintu Gerbang Ijtihad. Lihat dalam www.direktoriperdamaian. org/ina/berita2.php?id=37, diakses tanggal 23 Juni 2014.
198 | Asy-Syari‘ah Vol. 16, No. 3, Desember 2014
setiap mukallaf wajib berijtihad pada tingkat tanqih disebabkan keberadaan nash masih bersifat universal dan abstrak. Sehingga perlu dicarikan makna operasionalnya agar lebih concrete dan applicable. Kedua, Takhrij alManât yaitu menggali hukum-hukum syara‘ dari sumbernya langsung (Al-Quran dan Hadits), baik yang bersifat pasti (qath‘i) maupun dugaan (dzanni), atau lafadz hukum yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tahapan kedua ini disebut pula Ijtihad Qiyasi yakni memindahkan hukum atau menghubungkan furu‘ yang tidak ada nash-nya dengan furu‘ yang ada nash-nya karena kesamaan illat hukum. Pada tahapan kedua ini, metode qiyas menjadi sangat dominan dalam proses penetapan hukum syara‘. Ketiga, Tahqiq al-Manaat yaitu merumuskan pernyataan-pernyataan yang berupa keputusan-keputusan hukum yang bersifat pasti (qath‘i) maupun dugaan (dzanni) atas kasuskasus hukum yang sedang dikaji, berikut implementasinya dalam berbagai lapangan hukum. Pada tahapan ini, setiap produk hukum hasil ijtihad hendaknya dapat diimplementasikan sesuai kemauan nash dan tuntutan realitas. Para ulama cenderung berbeda pendapat merumuskan sumber dan metode hukum syara‘. Upaya-upaya terdahulu dalam membuat metodologi pengambilan hukum sungguh amat penting bagi generasi selanjutnya dan perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tetapi apa yang telah di rumuskan oleh pendahulu tadi bukanlah hal baku yang tidak mengalami perkembangan dan bahkan perubahan, tetapi sebaliknya. Pada era dimana ilmu tersebut lahir, ushûl fiqh telah mengalami perkembangan, bahkan berbeda satu teori dengan yang lainnya. Ketika Imam Syafi‘i yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu di atas membatasi sumber hukum pada empat macam; Al-Quran, al-Hadits, Ijma‘ dan Qiyas, maka pengikut Hanafîyah menambahkan istihsan sebagai standar dalam istinbath al-hukm. Hal yang sama dilakukan oleh Mâlikiyah dengan teori maslahah mursalah-nya. Perbedaan pendapat tersebut tidak terbatas pada sources of law, sumber dan metode hukum semata-mata, tetapi lebih jauh
dari itu, piranti yang digunakan pun berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini karena ada kesadaran bahwa teori yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid tidak bisa menjawab semua problematika yang ada. Maka munculah teori baru dengan harapan bisa mewakili dalam memberikan solusi umat, dan begitu seterusnya, hingga secara positif muncul teori baru untuk menjawab tuntutan umat dan kondisi yang terus bergerak dinamis. Sebagai contoh, Ibn Hazm (lengkapnya Abu Mohamad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm, lahir 7 November 994 M dan wafat 15 Agustus 1064 M) selama ini dianggap penerus dari Daud al-Asbihani (202-270 H), yaitu mazhab tekstualis, mazhab Zahiriyah, telah memainkan peran yang sangat besar dalam mengembangkan dan mematangkan ilmu ushûl: ushûl al-fiqh dan ushûl al-dien.7 Hal ini dapat kita lacak bahwa ada tiga dari empat dasar ilmu dalam buku tersebut; al-‘Umdah karya Qodli Abd al-Jabbar, al-Burhan karya alJuwayni, dan al-Mu‘tamad kepunyaan Abi Hassan al-Basri, ada pada masa Ibn Hazm. Sementara kitab al-Mustasfa karya alGhazalî dianggap penting karena ia merupakan ringkasan dari ketiga buku tersebut di atas. Maka tentu saja kita bisa menggolongkan bahwa al-Ihkam fi ushûl al-ahkam nya Ibn Hazm termasuk periode di atas. Yang menarik dari buku terakhir ini, kalau empat buku pokok diatas mengikuti pola yang gariskan Syafi‘i, Hanafî atau Mâliki, maka Ibn Hazm justru menolak pendapat para sahabat sekalipun, ia bahkan telah membuat langkah maju dengan membuat metodologi baru yang berbeda sama sekali dengan pendahulunya. Jika Imam Syafi‘i menjadikan empat pokok; Al-Quran, al-Sunah, Ijma‘ dan Qiyas, sebagai sumber hukum, maka dalam teorinya Ibn Hazm sumber-sumber yang bisa dijadikan dasar hukum terbatas pada empat hal; Al-Quran, al-Sunah, Ijma‘ dan al-Dalil. Teori Dalil yang ditawarkan Ibn Hazm sebagai ganti dari Qiyas menggunakan Qiyas Mantiqi yang mengandung dua premis; mayor dan minor. Salah satu dari dua premis ta7
Abdul Halim 'Uweis, Ibn Hazm al-Andalusia (t.t.: Al-Zahra lil I'lam al-Arabi. 1988), cet. II, hlm. 98.
Rachmat Syafe’i, Urgensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi ...| 199
di harus berupa nash dan lainnya bisa Ijma‘ atau hal-hal yang bersifat aksiomatik (Badihiyyah). Demikian pula pengertian Ijma‘ versi Ibn Hazm berbeda dengan para pendahulunya. Kalau Ijma‘ versi kebanyakan para Ushûliyyun adalah konsensus ulama atas hukum yang tidak ada nash-nya dengan ra’yu mereka atau dengan mengkiyaskan pada hukum yang telah ada nash-nya, maka ini berbeda dengan Ijma‘ versi Ibn Hazm. Karena menurutnya tak ada ijma‘ kecuali dari teks/nash. Selanjutnya ia menambahkan: tidak ada jalan untuk mengetahui hukum-hukum agama tanpa menggunakan salah satu dari keempat pokok yang kesemuanya kembali pada teks, teks itu diketahui kewajibannya, dan dipahami artinya dengan akal.8 Ibn Hazm menggunakan teorinya yang baru ini dalam rangka menjawab problematika umat pada saat itu, dimana krisis moral dan krisis sosial melanda begitu hebatnya, para fuqaha justru menjadi “supporter” dan “legitimitator” penguasa terhadap kondisi di atas. Teori qiyas dan istihsan seringkali “dieksploitasi” untuk kepentingan sekelompok golongan.3 Terlepas apakah metode Ibn Hazm masih relevan atau tidak untuk konteks kekinian, tetapi ia telah memberikan solusi alternatif dalam menjawab setiap problematika umat dengan metode barunya yang dibutuhkan pada zamannya. D.
Transformasi Hukum Islam di Indonesia Transformasi hukum Islam dapat dilihat dari segi ilmu tata negara. Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara/kekuasaan (maschtaat) dan negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.6
8
Moh. Abid Jabiri, Binyât al'aql al-Araby, (Dâr Baidlo': Dâr Nasyr Al-Maghribiyah. 2000), cet. VII, hlm. 19. 6 Maria FaridaIndrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius. 1998), hlm. 64-65.
Rousseau misalnya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dari para warga negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (valonte generale), dimana rakyatnya secara langsung mengambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu.7 Dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia kehendak rakyat secara umum dimplementasikan menjadi sebuah lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perakilan Rakyat (DPR). Jadi, munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR. Ketika Indonesia dinyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga paham yang ia ajukan, antara lain yaitu: (1) Paham Individualisme; (2) Paham Kolektifisme; dan (3) Paham Integralistik.8 Dalam sejarah politik Indonesia, para politisi menghendaki paham integralistik sebagai ideologi negara, dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hu7 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty. 1980), hlm. 156-160. Bandingkan dengan Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius. 1982). 8 Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg. t.th.), jilid I, hlm. 26-28. Lihat pula dalam tulisan sejenis tentang Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Prapanca. 1971), jilid I, cet. ke-2 hlm. 113 dan A. Hamid S. Attamimi, hlm. 82-83.
200 | Asy-Syari‘ah Vol. 16, No. 3, Desember 2014
kum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara. Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat umum. Istilah undangundang dalam arti formil dan materil merupakan terjemahan dari wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam arti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten General bersama-sama (gejamenlijk) terlepas dari apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking). Ini dilihat dari segi pembentukannya atau siapa yang membentuknya. Sedangkan undang-undang dalam arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbidende voorschriften), baik yang dibuat oleh lembaga tinggi Regering dan Staten General bersama-sama, maupun oleh lembagalembaga lain yang lebih rendah seperti Regering Kroon, Minister, Provincie dan Gameente yang masing-masing juga membentuk Algemene Maatregel van Bestuur, Ministeriele Verordening, Provinciale Wetten, Gemeete-lijkewetten, serta peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Algemeen verbindende voorschriften).9 Jika diterjemahkan dalam kamus bahasa Indonesia, maka pengertian wet di Belanda searti dengan Presiden dan DPR baik dalam arti formil maupun arti materil adalah kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal istilah undang-undang saja yang disetarakan dengan wet. Dengan kata lain, undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas persetujuan DPR disebut setara
9
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius. 1998), hlm. 93-95. A. Hamid S. Attamimi, hlm. 211.
muatan hukumnya baik secara formil maupun materil dan berlaku umum. Hubungannya dengan undang-undang pokok tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Pasal 5 ayat (1) telah menggariskan bahwa semua undang-undang di Indonesia adalah undangundang pokok yang kedudukannya setara, dan berada di bawah hierarki norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, bisa dipahami bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undangundang. Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan MPR Nomor XX/MPRS/1966 sebagai berikut : UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.10 Di samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan yang hierarki ini mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dari undang-undang adalah: Pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 secara tegas ; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945 ; Ketiga, pengaturan lebih lanjut mengenai Tap MPR; Keempat, pengaturan di bidang materi konstitusi.11 Sedangkan materi muatan undangundang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het eigenaarding orderwerp der wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet yang diterje-mahkan sebagai berikut : Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dari orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet10
Ibid. hlm. 92-103. Ibid. hlm. 113-115.
11
Rachmat Syafe’i, Urgensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi ...| 201
grondwet lainnya, Grondwet ini pun berdiam diri untuk merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het eigenaarding orderwerp der wet).12 Apabila pendapat Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini ada benarnya, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa pembentuk undang-undang dalam pasal 5 ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang sama sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan rakyat). Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan dapat menjadi undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau menetapkannya.13 Bila diteliti lebih seksama kekhasan undang-undang dari peraturan lainnya adalah undang-undang dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi, muatan materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan lain di bawahnya. Adapun pedoman untuk mengetahui materi muatan undang-undang dapat ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: Pertama, dari ketentuan dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat sekitar 18 masalah (18 pasal) tentang hak-hak asasi manusia, pembagian kekuasaan negara, dan penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan negara berdasar atas hukum (rechtstaat) yang dimulai dari kekuasaan absolut negara (polizeistaat, terus 12
A. Hamid S. Attamimi, hlm. 205 dan tulisannya tentang Materi Muatan Peraturan Pemerintah Perundang-undangan dalam Majalah Hukum dan Pembangunan (Jakarta: t.pn. 1979). 13 Ibid. hlm. 1-2. Perihal perbedaan cara pandang tentang teori kekuasaa, Yusril Ihza Mahendra telah menjelaskan dalam bukunya Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press. 1996), hlm. 15-18. Bandingkan dengan Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat. 1989), hlm. 5-7.
pembentukan negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstaat sempit/liberal), berdasar atas hukum formal (rechtstaat formal), dan negara berdasar atas hukum material/sosial yang modern (rechtstaat material/sosial).; dan Ketiga, berdasar wawasan pemerintahan sistem konsitusional, dimana penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang lainnya harus mengacu pada norma dasar (ground norm) dan UndangUndang Dasar. Denga kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945.14 Dari rumusan-rumusan tersebut, dapat diambil gambaran konseptual bahwa kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah undangundang (takhrîj al-ahkâm fî al-nash al-taqnîn) diharuskan mengikuti prosedur konstitusional dan sejalan dengan norma hukum serta cita hukum di Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang baru diarahkan untuk terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat. E.
Produk Hukum Islam di Indonesia Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosialbudaya, politik dan hukum dalam masyara14 Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu PerundangUndangan. hlm. 124-130. Konsepsi negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri beriku: (1) Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia; (2) Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan; (3) Pemerintah berdasar undang-undang; (4) Prinsip Keadilan; dan (5) Prinsip kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
202 | Asy-Syari‘ah Vol. 16, No. 3, Desember 2014
kat. Kemudian diubah arahnya yakni secara kualitatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnîn) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan. Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnîn diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan prinsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source. Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Hukum Perkawinan Nomor 1/1974 dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar kepada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis. Ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara (Pancasila); Kedua, alasan sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum yang bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan; dan Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Implementasi dari tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetap-kannya UUPA
Nomor 7 Tahun 1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundangundangan lainnya, seperti UU Nomor 2 Tahun 1946 Jo, UU Nomor 32 Tahun 1954, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 14 Tahun 1985, Perpu Nomor 1 Tahun 1946 dan Nomor 5 Tahun 1946, PP Nomor 10 Tahun 1947 Jo. PP Nomor 19 Tahun 1947, PP Nomor 9 Tahun 1975, PP Nomor 28 Tahun 1977, PP Nomor 10 Tahun 1983 Jo, PP Nomor 45 Tahun 1990 dan PP Nomor 33 Tahun 1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (kini UUPA Nomor 3 Tahun 2006).15 Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan dan perundang-undangan secara formil maupun materil tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain: a. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan; b. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU Nomor 3 Tahun 2006); c. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari‘ah (Kini UU Nomor 10 Tahun 1998); d. UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; e. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS); f. UU Nomor 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Nangroe Aceh Darussalam; g. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam (kini sedang di amandemen di DPR); dan h. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; Di samping tingkatannya yang berupa Undang-Undang, di dalamnya terdapat per15
Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia dalam Mimbar Hukum Nomor 17 tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI. 1994), hlm. 94-106.
Rachmat Syafe’i, Urgensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi ...| 203
aturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-Undang, antara lain: a. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan; b. PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; c. PP Nomor 72 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil; d. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; dan e. Inpres Nomor 4 Tahun 2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD. Dari sekian banyak produk perundangundangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA Nomor 7 Tahun 1989 dapat disahkan sebagai undang-undang. Padahal UU Nomor 14 Tahun 1970 dalam pasal 10-12 tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya. Kini Peradilan Agama sejajar dengan lembaga peradilan lainnya di bawah kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Keberadaan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalahmasalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde Lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UUPA Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember 1989 dan dilegislasikannya KHI. F.
Aktualisasi dan Pengembangan Hukum Islam di Indonesia Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengembangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan memajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera. Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990an sesungguhnya merupakan realitas sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Dimana peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, atau sekadar membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama. Oleh karena itu, aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan-tindakan nyata. Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan Syari‘at Islam. Syari‘at Islam, sebagaimana telah diuraikan, adalah jalan hidup yang menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum. Mengutip pendapat Jimly Asshiddiqiy, agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik beberapa masalah yang harus diselesaikan adalah: Pertama, harus terdapat kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak dapat dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syari‘at Islam berlaku bagi umat Islam di Indonesia, sebab pernyataan ini adalah pengulangan tanpa makna. Walaupun tidak ada pengakuan ne-
204 | Asy-Syari‘ah Vol. 16, No. 3, Desember 2014
gara, Syari‘at Islam sebagai jalan hidup memang berlaku bagi umat Islam. Kedua, pembahasan pada tataran filsafat hukum Islam diperlukan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan dalam pengembangan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Ketiga, harus dilakukan suatu pembahasan berdasarkan prinsip hirarki makna dan elaborasi Syari‘at Islam dan kaidah fiqh untuk menentukan masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa dan yang merupakan urusan pribadi umat Islam. Keempat, terhadap masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa, harus dipilahpilah mana yang berlaku khusus bagi umat Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai hukum nasional yang tentu saja harus sesuai atau minimal tidak boleh bertentangan dengan norma dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk norma agama.16 Jika langkah-langkah tersebut telah dilakukan dan menghasilkan substansi aturan hukum yang bersumberkan pada Syari‘at Islam dan kaidah fiqh, proses selanjutnya adalah memperjuangkannya dalam proses legislasi nasional dan daerah dan penegakkannya. Berdasarkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia dan merupakan rahmat bagi keseluruhan alam, maka sudah seharusnya substansi aturan dalam konsepsi hukum Islam juga memberikan solusi dan rahmat bagi keseluruhan alam. Argumentasi inilah yang harus di kedepankan secara rasional dalam proses pembangunan sistem hukum nasional, bukan argumentasi ideologis dan jargon-jargon eklusif yang menimbulkan ketakutan pada kelompok-kelompok lain. Substansi nilai yang berasal dari sistem hukum Islam hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan, terutama dalam upaya mewujudkan cita-cita
negara hukum Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. Hanya perlu dicatat, sekali nilai dan substansi yang disumbangkan telah menjadi norma hukum yang diberlakukan secara konkrit dalam sistem hukum negara, maka norma-norma dimaksud berlaku umum bagi semua orang. Karena itu, penamaan simbolisnya sebagai hukum Islam tidak perlu disebut lagi. Dengan demikian cukuplah semua warga negara yang beragama Islam menyebutnya sebagai hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. G.
Penutup Menyimak sejarah proses transformasi hukum Islam, sarat dengan berbagai dimensi historis, filosofis, politik, sosiologis dan yuridis. Dalam kenyataan hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Di balik itu semua, berakar pada kekuatan sosial budaya mayoritas umat Islam di Indonesia telah berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik, sehingga melahirkan berbagai kebijakan politik bagi kepentingan masyarakat Islam tersebut. Sebagai kesimpulan, pada bagian akhir tulisan ini dapat dikatakan bahwa pengembangan hukum Islam di Indonesia hendaknya dilakukan secara dinamis dan berkesinambungan, baik itu melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Demikian pula dengan tradisi ijtihad sebagai alat untuk menumbuhkembangkan pemikiran hukum Islam. Bukti sejarah produk hukum Islam (UUPA dan KHI) sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah digugat kebenarannya. Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
16
Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan eformasi Hukum Nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Jakarta, 27 September 2000.
Daftar Pustaka 1971. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Prapanca.
Rachmat Syafe’i, Urgensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Metode Ijtihad dalam Menghadapi ...| 205
Abdullah, Abdul Ghani. 1994. Peradilan Agama Pasca UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia dalam Mimbar Hukum Nomor 17 Tahun V. Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI. Al-Jabiri, Moh. Abid. 2000. Binyât al'aql alAraby. Dâr Baidlo': Dâr Nasyr AlMaghribiyah. Al-Qattan, Manna. t.th. al-Tasyri wa al-Fiqh fi al-Islam. t.t.: Muassasah al-Risalah Asshiddiqie, Jimly. Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Jakarta, 27 September 2000. Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. F.Z. Amak. 1976. Proses Undang-Undang Perkawinan. Bandung: al-Ma’arif. Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius. Mahendra, Yusril Ihza. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press.
Prodjodikoro, Wiryono. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Redaksi. 1979. Majalah Hukum dan Pembangunan. Jakarta: DEPHUKHAM. Salhani, Claude. Membuka Pintu Gerbang Ijtihad. Lihat dalam www.direktoriperdamaian. org/ina/berita2.php?id=37, diakses tanggal 23 Juni 2014. Soehino. 1980. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Syafe’i, Rachmat. 2001. Pengantar Ushûl Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. Syarifudin, Amir. 1992. Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksana– Depag RI. Towana, Muhammad Musa. 1972. Al-Ijtihad: Madza Hajatina Ilaihi Fi Hadza al-‘Ashr. Kairo: Ans Al-Kutub al-Haditsah. Uweis, Abdul Halim. 1988. Ibn Hazm alAndalusia. t.t.: Al-Zahra lil I‘ilam al-Arabi. Yamin, Moh. t.th. Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945. Jakarta: Reproduksi Setneg.