1 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
URGENSI HUKUM ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : DESI APRIANI Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Abstrak Jauh sebelum berbagai bentuk hukum masuk ke kepulauan nusantara, masyarakat yang hidup sejak bermulanya peradaban di nusantara ini (Indonesia) telah memiliki hukum sebagai pengatur kehidupan.Hal ini sejalan dengan ungkapan Cicero, Ubi Societas ibi ius.Hukum asli sebagai pengatur kehidupan tersebut lahir dari ide (pemikiran), hati dan jiwa masyarakat yang kemudian diistilahkan oleh para ahli dengan hukum adat.Dalam Kehidupan bernegara hukum adat tidak bisa dilepaskan dari pembentukan dan pembangunan hukum nasional termasuk hukum pidana.Hukum Pidana warisan Belanda yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan kepribadian masyarakat harus diperbaharui dengan mengambil bahan dari hukum adat agar hukum pidana yang berlaku dapat efektif dan ideal, karena hukum nasional yang ideal adalah hukum nasional yang responsive.
Abstract Long before the various forms of legal entry into the archipelago, people who lived since the beginning of civilization in this archipelago (Indonesia) have had as a regulator kehidupan.Hal law is in line with the expression of Cicero, Ubi Societas ibi original ius.Hukum as a regulator of the life that is born from an idea (thought), the heart and soul of the people who later termed by experts with state law Life adat.Dalam customary law can not be separated from the establishment and development of national law, including criminal law pidana.Hukum Dutch heritage which is not in accordance with the cultural values and personality society must be renewed by taking the material of customary law that criminal law can be effective and ideal, because the ideal of national law is a national law that responsive.
2 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
A. Pendahuluan Setiap saat hidup kita dikuasai oleh hukum.Hukum mencampuri urusan manusia sebelum lahir dan bahkan masih mencampurinya sesudah manusia
meninggal.Sejak
lahir
manusia
merupakan
pendukung
hak.Segala benda yang mengelilingi manusia merupakan objek hak. Ikatan hukum yang jumlahnya tak terhingga menghubungkan manusia satu sama lain dan dunia jasmani yang mengelilinginya. Setiap pergaulan manusia terjadi daripada hubungan yang tak terhingga diatur oleh hukum.Jika kita pikirkan terasalah bahwa hukum tak terbatas tetapi terdapat di manamana.1 Hukum yang mengatur kehidupan manusia pun tidaklah satu macam saja.Dalam perkembangan kehidupan manusia dan masyarakat terdapat berbagai macam hokum, baik dilihat dari sumbernya maupun ruang lingkup berlakunya. Terdapat hukum adat sebagai hukum yang lahir dari kehidupan masyarakat, hukum raja sebagai ketentuan raja, hukum agama (tsamawi/langit) sebagai ketentuan Tuhan, hukum Negara sebagai hukum atau ketentuan badan penguasa Negara dan hukum-hukum (aturan) yang lainnya. Bangsa Indonesia Sendiri menurut keterangan ahli-ahli sejarah, nenek moyangnya telah berada di wilayah nusantara semenjek _+ 2500 SM2, tentunya nenek moyangbangsa Indonesia sejak awal telah memiliki peraturan kehidupan, karena hukum merupakan suatu keniscayaan ketika manusia hidup bermasyarakat. Pada awalnya hukum adatlah sebagai hukum asli bangsa Indonesia, Yang bermula dari Adat Malaio Polinesia dan telah ada semenjak zaman kuno jauh sebelum datangnya agama Hindu dan agama lainnya.3Hal ini juga mengukuhkan bahwa hukum adat jauh lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai pranata
hlm. 6
1L.J.
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990,
2 Ali Akbar DT.Pangeran, Islam dan Adat Andiko 44 Melayu Riau, LAMR,Pekanbaru, 2006, hlm. 56 3 Tolib Setyadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 45
3 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
kehidupan dibandingkan hukum penjajah yang tentunya baru dikenal semenjak Indonesia dijajah oleh Belanda.Orang – orang Belanda sendiri baru menginjakkan kaki di tanah air Indonesia pada tahun 1596 (akhir abad ke 16 M) dan kemudian memberlakukan kodifikasi hukumnya pada tahun 1848 berdasarkan asas Konkordansi di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Pada saat itu tentunya hukum adat telah ada dan eksis (hidup) dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat tentunya juga jauh lebih dahulu dikenal sebagai pengatur kehidupan masyarakat dibanding hukum nasional Negara Indonesia
yang
kelahirannya
setelah
Indonesia
merdeka
sebagai
negara.Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dari penjajah ditandai dengan proklamasi sebagai pernyataan kemerdekaan dari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.Sebagai Negara yang merdeka tentu saja Indonesia harus memiliki hukum nasional sebagai pengatur kehidupan bernegara.
Tidak
dipungkiri
hukum
warisan
penjajah
(Belanda)
berpengaruh terhadap hukum nasional Indonesia, khususnya hukum pidana yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan kepada Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946 yang merupakan penegasan pemerintah Indonesia untuk memberlakukan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang berlaku pada tanggal 18 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia. 4 Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946 sendiri ditetapkan pada tanggal 26 Pebruari 1946. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang saat ini berlaku di Indonesia berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht) di negeri Belanda.Hingga hampir 70 tahun Indonesia Merdeka KUHP tersebut masih tetap sebagaimana aslinya menjadi peraturan hukum pidana di Indonesia.Seperti yang diketahui bersama
4Eman
sulaeman, Delik Perzinaan, Walisongo Pers, 2008, hlm. 132
4 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
bahwa Hukum pidana Belanda sebagaian besar mencontoh hukum pidana Jerman5. Namun sebenarnya upaya untuk mereformasi hukum pidana nasional telah dilakukan semenjak tahun 1964, dimana tim penyusun konsep pertama buku I KUHP yang baru di tahun 1964 menyatakan dalam penjelasan umum nya bahwa : walaupun UU No. 1 Tahun 1946 telah berusaha untuk disesuaikan dengan suasana kemerdekaan, namun pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum pidana dan praktek hukum pidana kolonial. Pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia.6 Oleh karena itulah mayoritas kalangan memandang perlu dilakukannya pembaharuan terhadap hukum pidana di Indonesia. Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, latar belakang rekonstruksi hukum pidana nasional adalah :7 1. KUHP dipandang tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru, 2. Kurang sesuai dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politik dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat, 3. Kurang sesuai dengan perkembangan pemikiran/ide dan aspirasi
tuntutan/kebutuhan
masyarakat
(nasional/internasional), 4. Tidak merupakan system hokum pidana yang utuh, karena ada pasal/ delik-delik yang dicabut.
santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, 2000, hlm. 23 Nawawi Arief, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2009, hlm. 6-7 7Ibid, hlm. 17 5Topo
6Barda
5 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
Hukum Pidana harus senantiasa direorientasi dan direformasi dengan berbagai pendekatan agar sesuai dengan nilai-nilai sosial dan politik bangsa Indonesia, sehingga perannya dalam rangka menjaga dan melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat (social defence dan social welfare), khususnya sebagai pengendali kejahatan dapat diwujudkan.8 Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa perombakan atau reformasi hukum pidana di Indonesia merupakan agenda yang sangat penting dilakukan dan harus disikapi secara serius. Merupakan kondisi yang sangat ironis ketika Negara yang merdeka dan berdaulat hampir 70 tahun, namun memiliki dan menggunakan asas-asas dan landasan hukum pidana kolonial dengan
berselimut wajah bangsa Indonesia.
Padahal
bangsa Indonesia sejak dahulu kala juga telah memiliki system hukum sendiri yang bersumber dari akar budaya bangsa turun temurun yaitu hukum adat. Tulisan ini selanjutnya akan membahas bagaimana peran penting hukum adat sebagai hukum asli bansga Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional yang responsive, atau sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa. B. Hukum Adat Merupakan Jati Diri Bangsa Indonesia Istilah hukum adat adalah terjemahan dari bahasa Belanda yang dicatat oleh Snouck Hurgronye ketika ia melakukan penelitian di Aceh (1891-1892) yaitu “Adatrecht”, dimaksudkan untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang mempunyai sanksi hukum. Sejak saat itu maka istilah adatrecht yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat menjadi terkenal, terutama semenjak ia dimasak oleh Van
Vollenhoven
8Eman
sehingga
Sulaeman, op.cit, hlm.22
menjadi
ilmu
pengetahuan
hukum
6 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
adat.9Namun tidaklah berarti adat maupun hukum adat (yang oleh para ahli berbeda pengertian) baru ada semenjak tahun penelitian Snouck Hurgronye tersebut.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum adat adalah hukum masyarakat, sehingga keberadaannya tentu saja seiring dengan berawalnya kehidupan masyarakat tersebut.Hal ini sejalan dengan pernyataan Hilman Hadikusuma yang mengatakan bahwa hukum
adat
adalah
aturan
kebiasaan
manusia
dalam
hidup
bermasyarakat.Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, dalam perkembangan hidupnya terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal, pikiran dan perilaku sebagai sumber dari kebiasaan dan aturan dalam kehidupan mereka.10 Soepomo mengatakan bahwa system hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran Bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai system hukum Barat.11Seperti diketahui bahwa dari zaman dahulu kehidupan bangsa Indonesia sudah terkenal di seluruh dunia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan (komunalistis), menjunjung tinggi nilai keagamaan, kemanusiaan, keadilan, kesusilaan dan permusyawaratan. Hukum adat di Indonesia pada umumnya menunjukkan corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak terkodifikasi, musyawarah dan mufakat.12Corak hukum adat yang tradisional berarti bahwa hukum adat itu lahir dan hidup secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Selanjutnya corak hukum adat yang juga sangat dominan adalah keagamaan.Keagamaan di sini selain berarti religio magis (pengaruh animisme sebagai bentuk kepercayaan pertama bangsa Indonesia), juga berarti kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang tetuang dalam Hadikusuma, op.cit, hlm. 9 Ibid, hlm.1 11R.Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, 9Hilman 10
hlm.25
12Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 33
7 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
berbagai agama yang dianut oleh masyarakat.Sebagaimana diketahui bahwa semenjal masuknya agama ke Nusantara (diawali oleh Hindu abad ke 7 M dan disusul oleh agama-agama berikutnya seperti Islam), maka hukum adat sangat dipengaruhi oleh hukum agama tersebut.Pada umumnya hal-hal yang dilarang oleh hukum agama, kemudian dilarang pula oleh hukum adat. Walaupun pengaruh agama tentunya akan berbeda pada tiap masyarakat (tergantung kekentalan penganutan agama tersebut oleh masyarakatnya). Corak kebersamaan juga ciri kehidupan masyarakat Indonesia dan tertuang dalam berbagai aturan adat.Corak kebersamaan ini pula yang sangat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa Barat yang lebih berfalsafah individualistis.Dalam hukum adat kepentingan bersama sangat diutamakan diatas kepentingan pribadi. Selain itu walaupun hukum adat dikenal sebagai unsatutair law atau hukum yang tidak tertulis, namun hukum adat bercorak kongkrit atau
nyata. Hal ini dapat dilihat dari
hidupnya hukum adat itu di tengah – tengah masyarakat walaupun tidak ada kitab undang-undang tertulis yang mengaturnya. Hukum adat bersifat sederhana karna ketentuannya lahir dari pemikiran, tingkah laku dan kehidupan masyarakat yang juga sederhana. Namun di sisi lain hukum adat juga bersifat terbuka sehingga hukum adat juga bercorak dapat berubah dan menyesuaikan (dinamis). Dikarenakan hukum adat lahir dan berlaku di tengah kehidupan masyarakat, maka hukum adat juga ikut berkembang siring dengan perkembangan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Hukum adat bercorak musyawarah dan mufakat artinya hukum adat lahir dari falsafah hidup masyarakat yang menjunjung tinggi kebersamaan dan perdamaian.Segala keputusan yang ideal menurut hukum adat adalah keputusan yang lahir dari musyawarah, bukan hanya berdasarkan kehendak pribadi seorang pemimpin.Begitu juga dalam penyelesaian
suatu
pelanggaran
adat
diselesaikan
kebersamaan dalam musyawarah dan mufakat.
dengan
jiwa
8 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
Lebih lanjut Bushar Muhammad mengatakan bahwa seperti halnya semua system hukum di bagian lain di dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.13Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah cerminan dari kehidupan, karakter, sifat dan kepribadian masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. C. Hukum Adat Merupaka Sumber Yang Sangat Urgen Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia Hukum Negara tidak akan dapat bekerja efektif kalau tidak sesuai dengan konteks sosialnya, sementara konsep hukum sebagai rekayasa sosial biasanya tidak akan berfungsi sebagaimana yang diharapkan kalau Negara mengabaikan agensi-agensi lain di luar dari institusi Negara.14 Pernyataan Ratno Lukito tersebut didasari atas hubungan antara efektifitas hukum dengan pola pikir (sudut pandang), cara hidup dan kepribadian (kebudayaan) suatu masyarakat. Bagaimana mungkin hukum bisa diikuti masyarakat secara
baik (ideal) jika materi hukum yang
berlaku tidak seiring sejalan dengan sifat dan kepribadian masyarakatnya. Senada dengan uraian tersebut Ade Saptomo mengatakan “hukum akan berjalan efektif jika mengakomodir kebudayaan atau kondisi sosial masyarakat, karena hukum yang baik adalah hukum yang responsive”.15 Hukum yang responsive itu sendiri adalah16hukum yang pembentukan dan pembuatannya dilakukan secara partisipatif dalam arti melibatkan masyarakat secara terbuka, muatannya bersifat aspiratif dalam arti menggambarkan kehendak umum masyarakat dan cakupannya bersifat
13 Bushar Muhammad, Asas Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita Jakarta, 1975,hlm.42 14 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Pustaka Alpabet, Jakarta, 2008, hlm8 15 Ade Saptomo, Disampaikan dalam Kuliah Umum Pasca Sarjana Universitas Islam Riau, Tanggal 17 Juli 2010 16Mahfud MD, Kata pengantar dalam buku Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013
9 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
limitative dalam arti tidak bisa ditafsirkan sembarangan secara sepihak melalui peraturan turunan oleh pemerintah. Lebih lanjut Bushar Muhammad mengatakan bahwa, tidak mungkin suatu hukum tertentu yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.17 Artinya tidak mungkin hukum penjajah (Belanda) dapat berlaku secara efektif di Indonesia, karena dibentuk berdasarkan falsafah hidup orang Barat yang asing bagi bangsa Indonesia. Perlu juga digaris bawahi bahwa sekalipun suatu aturan hukum sudah memenuhi tuntutan keberlakuan secara yuridis, aturan hukum itu tidak akan berlaku efektif dalam masyarakat apabila tidak memenuhi tuntutan keberlakuan secara sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan karena setiap hukum yang baik karenanya dapat berlaku efektif selalu menuntut persyaratan keberlakuan secara yuridis, sosiologis, filosofis dan historis.Artinya secara yuridis hukum itu sah, harus juga keberlakuannya didukung masyarakat, dan sesuai dengan nilai-nilai serta cita-cita hidup masyarakat yang bersangkutan, juga memiliki relevansi dengan tradisi hukum masyarakat itu sendiri.18 Dari awal kehidupan bangsa Indonesia dengan kebudayaannya yang begitu tinggi, maka segala falsafah hidup bangsa telah tertuang sedemikian
rupa
dalam
aturan
hidup
masyarakat
yang
dalam
perkembangannya diistilahkan hukum adat.Hukum adatlah sebagai refleksi atau cerminan kehidupan bangsa dari dahulu kala termasuk dalam hal ini hukum pidana adatnya. Menilik keberadaan hukum adat dalam hukum pidana yang berlaku sekarang ini tentu saja akan didapatkan jawaban bahwa roh daripada hukum adat sebagai cerminan falsafah hidup bangsa Indonesia 17Bushar 18Eman
Muhammad, Op.cit,hlm. 43 Sulaeman, op.cit, hlm. 24-25
10 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
sama sekali tidak terkandung dalam KUHP tersebut. Hal ini karena semenjak diberlakukan sebagai hukum pidana nasional berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946, Indonesia belum berhasil melahirkan KUHP yang dibangun berdasarkan nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa hingga hari ini, meskipun usaha kearah pembaharuan KUHP tersebut telah dimulai semenjak tahun 1964. Alhasil penegakan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dirasa jauh dari rasa keadilan yang hidup di tengah kehidupan masyarakat.Apa yang menurut masyarakat merupakan sesuatu yang salah karena mengganggu keseimbangan dan mencoreng rasa keadilan, bukanlah perbuatan yang salah menurut hukum pidana yang berlaku.19 Sementara itu apa yang menurut rasa keadilan dalam masyarakat (menurut hukum adat) perbuatan yang dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, kekeluargaan atau diselesaikan secara damai (untuk pidana ringan),20 namun berdasarkan system hukum pidana yang berlaku sebagai hukum nasional dipandang perbuatan yang sangat formal dan dengan penyelesaian yang formal pula (di pengadilan), sehingga terkesan keadilan hanya bisa di dapatkan di suatu lembaga formal yang bernama Pengadilan. Kondisi yang tidak ideal ini terjadi berpuluh-puluh tahun di Negara Indonesia hingga sekarang.Hukum yang berlaku berikut system penegakan hukumnya yang mengadopsi hukum asing (Barat) membawa
Seperti masalah zina .Konsep zina yang hidup di tengah kehidupan masyarakat (menurut hukum adat) adalah suatu perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh lakilaki dan perempuan yang masing – masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah (tidak menjadi soal apakan laki-laki dan perempuan tersebut sudah memiliki isteri/suami atau berstatus lajang.Berbeda dengan konsep zina dalam KUHP yang berlaku sebagai warisan Belanda, zina adalah suatu hubungan yang sifatnya tetap dan berlangsung dalam tenggang waktu yang relative lama antara seorang pria yang telah menikah dengan seorang wanita yang bukan isterinya atau antara wanita yang telah menikah dengan seorang pria yang bukan suaminya. 20 Seperti perkelahian antar mahasiswi karna latar belakang asmara, mencuri buah yang jatuh di bawah pohonnya, menebang tanaman milik orang lain karena mengganggu jalan dan tindak pidana ringan lainnya 19
11 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
dekadensi moral di tengah masyarakat21, bahkan menghilangkan rasa komunalistis serta kekeluargaan di tengah masyarakat.Dengan system yang berlaku sekarang memungkinkan anak memperkarakan orangtua yang melahirkan dan membesarkan, begitu pula sebaliknya.Hal ini sebagai pengaruh nilai individualistis dan liberalistis yang terkandung dalam hukum Barat tersebut.Sesuatu yang sebenarnya jauh dari cara-cara yang diwariskan leluhur bangsa yang lebih mengedepankan jalan kekeluargaan dan perdamaian.22 Prof. Soepomo dalam dies natalis UNGAMA Yogyakarta pada tanggal 17 Maret 1947 menegaskan sebagai berikut :23 1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan hukum adat masih akan menguasai bangsa Indonesia, 2. Bahwa hukum pidana dari suatu Negara wajib sesuai dengan corak dan sifat – sifat bangsanya atau masyarakatnya. Oleh karena itu maka hukum adat pidana akan memberi bahan yang sangat berharga dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru untuk Negara kita, 3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum atau tidak ditetapkan undang-undang.
21Saat sekarang hubungn seks pra nikah dianggap hal yang biasa dengan alasan pembenaran “suka sama suka”, akibat tidak merupakan suatu delik yang diancam sanksi pidana menurut hukum pidana yang berlaku 22Dalam hukum adat apabila terjadi suatu kejahatan, maka hal itu dianggap perbuatan yang dapat mengganggu keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Penyelesaian yang dikedepankan dalam hukum adat adalah dengan jalan damai yang penuh kekeluargaan dalam arti mengusahakan keseimbangan dapat kembali pada bentuk semula melalui cara“baik-baik”. “kalau patah disambung, kalau panjang di kerat dan kalau bengkok diluruskan”. Dalam hukum adat penyelesain yang baik itu adalah suatu penyelesaian yang membuat pelaku tidak keberatan menjalani hukuman, namun membuat korban merasa diuntungkan dengan penyelesaian tersebut.Bahkan habis undang karena berkerelaan, dalam artian jika korban tidak merasa dirugikan (menerima dengan rela /ikhlas) maka pelaku tidak perlu lagi menjalani hukuman.Keseimbangan dianggap telah kembali dengan berkerelaan tersebut. 23Dalam Tolib Setyadi, op.cit.hlm.72
12 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
Memang pada hakikatnya di dalam Negara hukum Indonesia ini keadilan dan kebenaran yang hendak dituju oleh hukum itu wajib merupakan kebenaran dan keadilan yang dicerminkan oleh perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Tolib Setyadi bahwa sesungguhnya hukum adat itu adalah salah satu petunjuk identitas bangsa. Oleh karenanya maka bahan-bahan yang akan memberi dasar dan jiwa keindonesiaan asli kepada Negara Republik Indonesia tidak mungkin didapat selain dari bahan-bahan yang telah dimiliki oleh bangsa itu sendiri.24Teranglah bahwa begitu penting kededukan hukum adat pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia yaitu hukum adat sebagai sumber, acuan ataupun pedoman dalam pembaharuan hukum pidana tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. M. Nasrun seperti yang dikutip Tolib Setyadi bahwa, justeru adat itulah yang menentukan sifat dan corak ke-Indonesiaan dari kepribadian bangsa Indonesia.Justeru adat itulah yang merupakan salah satu penjelman jiwa Indonesia dari abad kea bad.25Jadi sesuanggunya hukum adat merupakan salah satu bentuk identitas bangsa, sehingga pembentukan hukum suatu Negara tidak bisa telepas dari identitas bangsanya. Terkait dengan hal tersebut diatas, pada dasarnya usaha untuk mewujudkan hukum (khususnya hukum pidana) yang responsive telah lama dilakukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Berbagai ketentuan dalam rancangan hukum pidana baru telah disesuaikan sedemikian rupa dengan kepribadian bangsa yang dilakukan dengan cara mengambil bahan-bahan dari hukum adat sebagai sumber dan asas-asas pembentukannya. Namun kesemua itu baru dalam bentuk draft atau rancangan yang belum sempurna dan sudah lama menunggu pengesahan 24
Tolib Setyadi, op.cit, hlm. 73
25Lo.cit
13 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
D. Hukum adat Dalam Beberapa ketentuan RUU (Rancangan Undang-Undang) KUHP Dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana versi Indonesia, pengakuan terhadap hukum adat sebagai norma yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat serta aktualisasi hukum adat sebagai bahan atau unsur dalam pembaharuan hukum pidana tersebut dapat kita lihat mulai dari pasal 1 RUU(rancangan undang-undang) KUHP tersebut. Pasal 1 dalam RUU KUHP selengkapnya berbunyi :26 (1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yangdilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundanganyang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. (2)
Dalam
menetapkan
adanya
tindak
pidana
dilarang
menggunakan analogi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunyahukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patutdipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturanperundangundangan. (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat(3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Dari rumusan rancangan KUHP tersebut di atas dapat dilihat bahwa hukum adat ditempatkan dan mendapatkan pengakuan sedemikian rupa pada pasal 1 ayat 3 dan 4 RUU tersebut.Pada dasarnya RUU KUHP tetap menganut asas legalitas, namun tidak bersifat tertutup atau kaku 26
Lihat RUU KUHP
14 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
dalam menyikapi
JURNAL ILMU HUKUM
hukum yang tidak
tertulis dan hidup
dalam
masyarakat.Artinya kendati seseorang melakukan perbuatan yang tidak diatur oleh Undang-undang Negara yang tetulis, namun perbuatan tersebut melanggar hukum adat yang hidup dalam kehidupan masyarakat, maka seseorang tersebut tetap dapat dipidana. Hanya saja berlakunya hukum tidak tertulis (hukum adat) dalam konteks hukum pidana tetap dibatasi oleh ayat 4 rancangan KUHP tersebut, yaitu sepanjang hukum yang hidup di dalam masyarakat itu sesuai dengan Pancasila dan atau prinsip prinsiphukum umum. Hal ini tentunya sesuatu yang sangat wajar dan ideal dalam kerangka kehidupan Negara dengan ideology Pancasila. Seperti yang diketahui selama ini penegakan hukum pidana di Indonesia yang dipengaruhi oleh positivisme Barat menganut asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP warisan Belanda.Inilah yang pada dasarnya tidak sesuai dengan identitas bangsa karena dengan asas legalitas tersebut segala hukum yang tidak tertulis (hukum adat) tidak mendapat pengakuan dari hukum pidana yang berlaku sebagai hukum nasional.Padahal jika kita menyimak pendapat Prof. Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum pidana sebagai bagian dari proses peradilan pidana seyogyanya tidak semata-mata didasarkan pada asas legalitas formal menurut pasal 1 KUHP, yang hanya mengakui undangundang sebagai sumber hukum (sumber pemidanaan).27Artinya hukum adat yang hidup dalam masyarakatpun seharusnya harus tetap dipandang sebagai hukum dan sumber hukum.Kita pun semua tahu bersama bahwa tujuan penegakan hukum bukanlah semata-mata kepastian hukum, namun lebih dari itu adalah agar terwujudnya keadilan. Dalam upaya pembaharuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, konsep perzinaan juga telah mengalami perubahan dan perkembangan.Penyusun RUU KUHP berusaha menyesuaikan materi hukum
pidana
Indonesia
dengan
nilai–nilai
yang
hidup
dalam
27Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hlm. 55
15 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
masyarakat. Delik perzinaan diatur pada bagian ke empat pada pasal 484 yang berbunyi :28 (1). Dipidana karena zina dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun : a. Laki-laki yang berada dalam iktan perkawinan melakukan persetubuhan dengan wanita yang bukan isterinya; b. Perempuan
yang
berada
dalam
ikatan
perkawinan
melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; c. Laki-laki
yang
tidak
dalam
perkawinan
melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan;atau e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pada perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Rumusan di atas merupakan rumusan yang sangat progresif, dan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.Dalam hukum adat, larangan berzina tidak memiliki batasan seperti dalam KUHP warisan Belanda.Hukum adat yang sangat menjunjung tinggi nilai moral, etika dan kesusilaan serta sangat dipengaruhi oleh hukum agama, menganngaap bahwa persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan adalah melanggar hukum. Tidak ada batasan pengertian apakah pelaku sudah terikat atau bebas dari ikatan perkawinan dengan perempuan atau laki-laki lain. Seperti diketahui bahwa delik zina dalam KUHP warisan Belanda dirumuskan hanya perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan pihak lain. 28
Eman Sulaeman. OP.cit. Hlm. 199
16 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
Selain itu Dalam pembaharuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia juga memidana delik-delik lain yang berkaitan dengan perzinaan diantaranya persetubuhan dengan anak-anak, kumpul kebo, pelacuran,
dan
incest
(persetubuhan
antara
pasangan
yang
sedarah).29Inilah kepribadian bangsa Indonesia sebenarnya.Bangsa yang terkenal dengan kebesarannya, memiliki budaya yang tinggi, menjunjung tinggi nilai agama, moral, etika dan kesusilaan. Demikian beberapa contoh pembaharuan hukum pidana yang telah
mengambil
bahan-bahan
dari
hukum
adat
dalam
rangka
penyesuaian hukum pidana dengan karakter, sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi asas kebersamaan, kemanusiaan, kesusilaan dan agama.Prof. Muladi mengomentari RUU KUHP dimana menurut beliau implemantasi ide keseimbangan sangat diperhatikan yaitu keseimbangan antara moralitas institusional, moralitas social dan moralitas individual; keseimbangan antara individual right dan collective right;
keseimbangan
antara
kepentingan
pelaku
dan
korban;
keseimbangan antara aspek obyektif (perbuatan) dengan aspek subyektif (sikap bathin); keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan dan keadilan; keseimbangan antara legalitas formal dan lagalitas materil yang memberi ruang kepada Theliving law.30 E. Penutup Pembaharuan hukum pidana di Indonesia merupakan harga mati.Hukum pidana yang berlaku di Indonesia harus menjadi identitas bangsa Indonesia di mata dunia. Hukum pidana akan berjalan efektif apabila sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa sendiri. Hukum adat merupakan cerminan jiwa, kepribadian dan sifat bangsa Indonesia yang tidak bisa dilepaskan atau diabaikan dalam usaha pembaharuan hukum pidana nasional dalam rangka menuju hukum pidana yang responsive.
Lihat Rancangan KUHP Beberapa Catatan Terhadap Buku II RUU KUHP, blogdetik.com, diakses tanggal 22 Januari 2014 29
30Muladi,
17 VOLUME 5 NO. 1 Agustus 2014-Januari 2015
JURNAL ILMU HUKUM
Semoga rancangan Kitab Undang-Unsang Hukum Pidana segera disahkan dan diberlakukan demi kemerdekaan dan kedaulatan hukum bangsa Indonesia. F. Daftar Pustaka Ali Akbar DT.Pangeran, Islam dan Adat Andiko 44 Melayu Riau, LAMR,Pekanbaru, 2006 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009 -------------------------, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2009 Bushar Muhammad, Asas - Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita Jakarta, 1975 Eman sulaeman, Delik Perzinaan, Walisongo Pers, 2008 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Pustaka Alpabet, Jakarta, 2008 ----------------, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur, 2013 R.Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977 Tolib
Setyadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Kepustakaan, Alfabeta, Bandung, 2008
Dalam
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, 2000 Undang – Undang Dasar 1945
Kajian