UPAYA-UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAERAH Tulus Tambunan Kadin Indonesia-Jetro 2006
Pendahuluan Dengan diterapkannya otonomi daerah di satu sisi, dan semakin pentingnya yang disebut sebagai wilayah pertumbuhan lintas negara-negara perbatasan, seperti Palembang, Malaysia (Johor) dan Singapura, di sisi lain, pembahasan mengenai daya saing wilayah, misalnya propinsi atau wilayah administrasi lebih rendah, di Indonesia saat ini menjadi sangat relevan. Persaingan tidak hanya dalam perdaganga eksternal tetapi juga dalam menarik investasi dari luar, dan persaingan juga tidak hanya antara suatu wilayah dengan wilayah di negara (tetangga) tetapi juga antar wilayah di Indonesia. Misalnya pertanyaan sekarang adalah apakah Palembang mampu menarik lebih banyak investor asing dibandingkan wilayah-wilayah lain di Sumatera atau di Indonesia. Juga, apakah Palembang mampu untuk lebih banyak mengekspor ke daripada mengimpor dari wilayah lain di dalam negeri atau luar negeri. Tulisan ini akan membahas faktor-faktor utama penentu daya saing suatu wilayah, terutama fokus pada paradigma daya saing wilayah. dari Porter. Dengan diketahui faktor-faktor utama penentu daya saing suatu wilayah maka dapat diketahui upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing daerah, dan dalam kasus ini, misalnya, Palembang. Faktor-Faktor Penentu Daya Daing Wilayah Daya saing suatu wilayah ditentukan terutama oleh daya saing dari sektor-sektor atau unit-unit kegiatan usaha, misalnya sektor industry dan sektor pertanian di daerah tersebut. Menurut Michael Porter (1985, 1986, 1990), dan beberapa pakar lainnya, 1 hal-hal yang harus dimiliki atau dikuasai oleh setiap perusahaan atau sektor, misalnya industri, untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya adalah terutama teknologi, kewirausahaan, dan efisiensi atau produktivitas yang tinggi, kualitas produk yang baik, promosi yang luas dan agresif, pelayanan purna jual (service after sale) yang baik, tenaga kerja dengan tingkat keterampilan/pendidikan, etos kerja, disiplin, komitmen, kreativitas dan motivasi yang tinggi, proses produksi dengan skala ekonomis, diferensiasi produk, modal dan prasarana serta sarana lainnya yang cukup, jaringan distribusi di dalam dan terutama di luar negeri yang luas serta diorganisasikan dan dikelola secara profesional, proses produksi dilakukan dengan sistem just-in-time (JIT). Semua faktor keunggulan kompetitif yang disebut ini dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dunia saat ini menjadi sangat penting. Pada tingkat nasional, menurut Porter, daya saing sebuah negara (atau dalam hal ini suatu wilayah misalnya 1
Lihat juga, antara lain, Daniels dan Radebaugh (1989), Grossman dan Helpman (1993), dan Krugman (1988).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
1
www.kadin-
propinsi atau kota/kabupaten) sangat tergantung pada kapasitas masyarakatnya (terutama pengusaha) untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan terus menerus, dan untuk ini diperlukan teknologi dan SDM. Oleh karena itu, berbeda dengan keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif sifatnya sangat dinamis: teknologi berubah terus, demikian juga kualitas SDM berkembang terus. Perubahan-perubahan ini yang membuat keunggulan suatu negara di dalam persaingan global juga tidak selalu tetap, melainkan bisa di atas atau di bawah negara lain. Hal ini bisa dilihat dari menurunnya tingkat daya saing atau dominasi AS terhadap Jepang dalam spesialisasi internasional untuk produk-produk manufaktur tertentu di pasar global, seperti perabotan elektronik rumah tangga, dan kemajuan yang dicapai negara-negara industri baru di Asia dari kelompok NICs seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura selama 4 dekade terakhir ini. 2 Inti dari paradigma Porter ini adalah bahwa keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh keunggulan kompetitif dari perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut, dan, seperti telah dibahas sebelumnya, keunggulan kompetitif suatu perusahaan tergantung pada kemampuannya dalam melakukan inovasi. Dalam kata lain, suatu perusahaan mencapai keunggulan kompetitif melalui tindakan inovasi, termasuk penciptaan teknologi baru maupun cara produksi, cara pemasaran, atau cara bersaing yang baru. Inovasi dapat juga diwujudkan dalam suatu rancangan produk baru, dan suatu cara yang baru dalam melaksanakan pelatihan atau pendidikan dalam usaha meningkatkan SDM di dalam perusahaan. Banyak inovasi menciptakan keunggulan kompetitif dengan kesempatan pasar baru atau dengan melayani suatu segmen pasar yang masih belum dimasuki oleh pesaing. Pada saat para pesaing lambat dalam memberikan respons terhadap perubahan pasar, inovasi seperti ini menghasilkan keunggulan kompetitif. Sebagai contoh, dalam industri otomotif dan perabotan elektronik rumah tangga, perusahaan-perusahaan Jepang mendapatkan keunggulan di pasar dunia dengan pembuatan model-model yang lebih kecil, lebih ringkas dan lebih murah daripada para pesaing dari negara-negara lain, termasuk AS. Keunggulan kompetitif dari perusahaan-perusahaan Jepang juga disebabkan oleh kemampuan yang tinggi dari perusahaanperusahaan tersebut dalam mengantisipasi dan merespon kebutuhan pasar domestik maupun internasional. Sekali sebuah perusahaan mencapai keunggulan kompetitif lewat suatu inovasi, misalnya memperkenalkan suatu produk baru, perusahaan tersebut dapat bertahan lama di pasar hanya jika dilakukan perbaikan terus menerus terhadap produk tersebut, sesuai perubahan permintaan pasar dan perubahan teknologi. Dengan inovasi, sebuah perusahaan bisa mengejar kekalahannya, bahkan akhirnya menyamakan atau melebihi keunggulan kompetitif pesaingnya. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan Korea Selatan dalam industri otomotif, televisi berwarna, VCR, dan handphone (HP) telah berhasil menyamai kemampuan perusahaan-perusahaan Jepang. Perusahaanperusahaan Brazilia telah mempu merakit teknologi dan rancangan produksi yang setara denga para pesaingnya 2
Pembahasan mengenai perubahan pola persaingan global dan semakin pentingnya spesialisasi internasional serta perubahan posisi AS dibandingkan
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
2
www.kadin-
dari Italia dalam membuat alas kaki kasual dari kulit. Suatu perusahaan di suatu negara juga bisa mengalahkan pesaingnya di negara lain dengan melakukan inovasi produk ke tipe-tipe yang lebih canggih. Hal ini yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan mobil di Jepang. Pada awalnya di tahun 60-an mereka melakukan penetrasi pasar asing seperti AS dan Eropa dengan tipe-tipe mobil yang ringkas dan murah dengan kualitas yang memadai dan bersaing atas dasar biaya TK yang lebih murah. Walaupun pada saat itu memiliki keunggulan kompetitif dalam harga, perusahaan-perusahaan otomotif Jepang secara terus menerus melakukan inovasi dengan investasi yang sangat besar dan membangun pabrik-pabrik moderen dengan kapasitas produksi yang lebih luas untuk mendapatkan skala ekonomis. Inovasi ini akhirnya membuat mereka menjadi inovator dalam teknologi proses pembuatan mobil, merintis produksi JIT, dan praktik-praktik untuk mempertahankan/menyempurnakan kualitas dan produktivitas. Inovasi ini juga membuat perusahaan-perusahaan mobil Jepang saat ini dapat membuat berbagai maca model mobil dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu. Di dalam modelnya Porter, ada empat variabel domestik penting yang secara individual dan sebagai suatu sistem menentukan daya saing suatu negara (Gambar 1), yakni sebagai berikut: 1. Kondisi faktor (tenaga kerja, modal, tanah, iklim, teknologi, kewirausahaan, faktor-faktor produksi lainnya, SDA dan infrastruktur). 2. Kondisi permintaan. 3. Kondisi industri terkait dan industri pendukung. 4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan.
Keempat faktor tersebut menciptakan lingkungan nasional yang mempengaruhi kinerja dan daya saing global dari suatu perusahaan di suatu negara. Perbedaan dalam faktor-faktor ini membuat mengapa suatu perusahaan/industri di suatu negara bisa berinovasi, mampu mengatasi hambatan substansial terhadap perubahan pasar dan teknologi atau lingkungan secara umum dibandingkan di negara lain. Selain keempat variabel tersebut, ada dua variabel tambahan tetapi di luar model tersebut (disebut variabel luar), yakni peluang dan pemerintah. Dalam hal kondisi faktor, penekanan Porter adalah pada penciptaan faktor produksi berkualitas tinggi, seperti SDM yang berketerampilan atau suatu dasar ilmiah. Pemahaman Porter mengenai faktor produksi yang diperlukan sebuah perusahaan atau negara untuk mencapai keunggulan kompetitifnya dapat juga dikutip dari penjelasan di Cho dan Moon (2003) sebagai berikut: Faktor produksi yang paling penting adalah yang melibatkan investasi yang bertahan lama…..dan terspesialisasi. Faktor-faktor dasar seperti kumpulan tenaga kerja atau sumber bahan mentah lokal, tidak menyatakan keunggulan dalam industri padat pengetahuan. Perusahaan dapat mengaksesnya Jepang, Eropa dan lainnya di pasar dunia, sebagai akibat dari kemajuan teknologi, dapat dilihat antara lain di Dollar dan Wolf (1993).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
3
www.kadin-
secara mudah melalui strategi global atau memotongnya melalui teknologi. ….Untuk mendukung keunggulan kompetitif, suatu faktor harus sangat terspesialisasi pada kebutuhan tertentu dari sebuah industri – suatu lembaga ilmiah melakukan spesialisasi dalam hal optik, sekumpulan modal ventura mendanai perusahaan perangkat lunak. Faktor-faktor ini lebih langkah, lebih sulit bagi para pesaing asing untuk mengawalinya – dan mereka perlu menciptakan investasi yang bertahan lama. Negara berhasil dalam industri di mana mereka secara khusus baik dalam penciptaan faktornya. Keunggulan kompetitif berasal dari keberadaan institusi kelas dunia yang pertama kali menciptakan faktor yang terspesialisasi dan selanjutnya secara terus-menerus bekerja untuk memperbaharuinya. Denmark memiliki dua rumah sakit yang berkonsentrasi dalam mempelajari dan merawat diabetes – dan suatu posisi ekspor yang memimpin di dunia dalam bidang insulin. Belanda memiliki lembaga penelitian perdananya di dalam pengolahan, pengemasan, dan pengiriman bunga, di mana negara ini adalah pemimpin ekspor dunia (hal.83).
Gambar 1 Lingkungan Kompetitif Ekonomi Wilayah
Dalam hal kondisi permintaan dalam negeri, besarnya permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk produk dari industri tertentu sangat penting bagi pengembangan kemampuan bersaing dari industri tersebut. Cho dan Moon (2003) menjelaskan peran dari kondisi permintaan di dalam negeri terhadap peningkatan daya saing Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
4
www.kadin-
nasional sebagai berikut: Negara memperoleh keunggulan kompetitif dalam industri di mana permintaan dalam negeri memberi perusahaan suatu gambaran yang lebih jelas atau lebih awal tentang kebutuhan pembeli yang mengemuka, dan di mana para pembeli yang mengajukan permintaan menekan perusahaan yang berinovasi lebih cepat dan mencapai keunggulan kompetitif yang lebih berpengalaman dibandingkan dengan para pesaing asingnya Ukuran permintaan dalam negeri terbukti jauh kurang signifikan dibandingkan dengan karakter permintaan dalam negeri.Kondisi permintaan dalam negeri membantu membangun keunggulan kompetitif pada saat suatu segmen industri tertentu lebih besar atau lebih dapat dilihat dalam pasar domestik daripada dalam pasar asing. Segmen pasar yang lebih besar di dalam sebuah negara menerima sebagian besar perhatian dari perusahaan negara tersebut; perusahaan menganggap segmen yang lebih kecil atau kurang diinginkan sebagai suatu prioritas yang lebih rendah (hal.85). Lebih lanjut Cho dan Moon mengatakan bahwa sifat dari pembeli domestik sangat penting. Suatu perusahaan di suatu negara akan mendapatkan keunggulan kompetitif jika para pembeli domestik bukan konsumen biasa melainkan masyarakat yang sering membeli barang-barang impor atau sering bepergian ke luar negeri (disebut pembeli dunia) yang paling berpengalaman soal kualitas dan paling membutuhkan barang atau jasa yang dibuat oleh perusahaan tersebut. Dalam hal industri terkait dan pendukung, kemajuan dalam industri nasional dan perdagangan internasional dari negara-negara industri maju maupun negara-negara industri baru (NICs) menunjukkan bahwa mereka maju karena juga didukung oleh industri terkait dan industri pendukung mereka yang maju dan kompetitif. Pengalaman dari negara-negara ini memberi suatu kesan bahwa suatu industri hilir di suatu negara akan semakin kompetitif di pasar dunia jika industri-industri terkait dan pendukungnya di dalam negeri juga mempunyai keunggulan kompetitif di tingkat internasional. Manfaat ini bagi industri hilir dijelaskan oleh Cho dan Moon (2003) dengan contoh pengalaman dari beberapa negara maju sebagai berikut Perusahaan di negara tersebut mendapatkan manfaat paling besar pada saat para pemasok,……adalah pesaing global. Daya saing …..pada industri terkait akan memberikan manfaat yang serupa: aliran informasi dan saling tukar dalam hal teknis akan mempercepat tingkat inovasi…… Suatu industri terkait di dalam negeri .juga akan meningkatkan kecenderungan bahwa perusahaan akan mencakup keterampilan baru, dan juga memberikan sumber pihak baru yang akan membawa suatu pendekatan yang baru untuk bersaing. Keberhasilan Swiss dalam bidang farmasi muncul dari keberhasilan internasional sebelumnya dalam bidang industri celup……dominasi Jepang dalam bidang keyboard musik elektronik tumbuh dari keberhasilan dalam instrumen akustik yang digabungkan dengan posisi yang kuat dalam produk elektronik konsumen (hal.89). Menurut Cho dan Moon (2003), industri terkait dan industri pendukung sebagai pemasok industri hilir yang secara internasional kompetitif menciptakan keunggulan bagi industri hilir tersebut dalam beberapa cara.. Salah Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
5
www.kadin-
satunya adalah bahwa para pemasok tersebut mensuplai input, mesin, atau komponen dengan biaya efektif yang lebih tinggi dalam cara yang lebih efisien, lebih cepat, dan lebih baik kualitasnya dibandingkan impor. Sebagai contoh, perusahaan perhiasan emas dan perak Italia memimpin dunia dalam industri tersebut sebagian karena 2/3 dari mesin pembuatan perhiasan dan mesin daur ulang logam mulia di dunia dipasok oleh perusahaan-perusahaan Italia. Industri terkait atau pendukung sering juga sebagai sumber inovasi dan pembaharuan dalam produk maupun proses produksi di industri hilir. Kerjasama dalam inovasi dan pembaharuan antara industri pemasok dan industri hilir akan semakin optimal jika hubungan kedua industri tersebut semakin erat, dan lebih lagi jika mereka berlokasi di tempat yang sama (kluster) sehingga jalur komunikasi pendek dan bisa memanfaatkan fasilitas R&D bersama. Dalam hal strategi perusahaan, struktur, dan persaingan, kondisi nasional menciptakan kecenderungan kuat dalam hal bagaimana lahirnya perusahaan-perusahaan dan bagaimana pola dan struktur organisasi serta pengolaannya. Juga kondisi nasional sangat menentukan sifat persaingan domestik antara perusahaan-perusahaan yang ada. Di banyak negara, jumlah perusahaan didominasi oleh usaha skala kecil dan menengah yang lebih fleksibel dalam proses produksinya, menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang lebih informal karen dan kebanyakan merupakan usaha keluarga; misalnya di Italia, dan Indonesia. Sedangkan, di Jerman dan Inggris, lebih dominan perusahaan-perusahaan besar dengan hirarki organisasi dan praktik manajeen yang lebih kaku. Persaingan bebas antar sesama perusahaan lokal juga membuat perusahaan-perusahaan tersebut semakin kompetitif. Salah satu contoh, persaingan antar sesama perusahaan farmasi di Swiss memberikan kontribusi yang besar pada posisi Swiss sebagai pemimpin dunia dalam perdagangan dan industri farmasi. Dalam hal peran pemerintah, menurut Porter, peran yang tepat bagi pemerintah adalah sebagai suatu katalis dan penantang, dengan maksud untuk merangsang atau mendorong para pelaku usaha meningkatkan kinerjanya, melakukan inovasi, dan hal-hal lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing mereka. Menurut Porter, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terfokus pada penciptaan faktor terspesialisasi; menghindari campur tangan dalam proses pasar, termasuk kebijakan penentuan harga faktor dan kurs nilai tukar (seperti kebijakan devaluasi); memperkuat standar produk, keamanan, dan lingkungan yang ketat; secara tajam membatasi kerja sama langsung di antara para pesaing industri; mempromosikan tujuan yang mengarah pada investasi yang bertahan lama; melakukan deregulasi persaingan; dan menjalankan kebijakan antitrust domestik yang kuat. Sementara, agenda perusahaan antara lain adalah melakukan inovasi dan pembaharuan secara agresif dan terus menerus; mencari pesaing yang paling kapabel sebagai motivator; menciptakan persaingan domestik; melakukan globalisasi untuk membuka jalan keunggulan selektif di negara lain; membangun aliansi dengan perusahaan lain secara selektif, hanya yang betul-betul strategis (disebut aliansi strategis); dan menempatkan home base untuk mendukung keunggulan kompetitif. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
6
www.kadin-
Dari keempat kondisi utama penentu daya saing menurut model Porter, dapat dikatakan bahwa hanya kondisi permintaan/pasar domestik yang dapat dikatakan sebagai sumber utama pertumbuhan industri di dalam negeri selama ini. Sedangkan ketiga kondisi lainnya, khususnya kondisi faktor dan industri pendukung masih sangat lemah. Saat ini faktor-faktor utama penyebab masih rendahnya daya saing industri Indonesia diilustrasikan di Gambar 1. Khususnya kondisi infrastruktur dan SDM merupakan dua penghambat besar peningkatan daya saing industri nasional.
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Dalam perdagangan eksternal (atau internasional), kemampuan suatu wilayah/daerah untuk menembus pasar eksternal (global) atau meningkatkan ekspornya ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan di dalam negeri atas pesaing-pesaingnya dari wilayah/negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages). Keunggulan alami yang dimiliki Indonesia adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan di negara-negara lain yang penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamih ini sangat mendukung perkembangan ekspor komoditaskomoditas primer Indonesia seperti minyak dan pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur khususnya yang padat karya dan berbasis SDA (seperti produk-prduk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya seidkit memiliki pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu membuat bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien dibandingkan negara lain yang kaya SDA. Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan suatu negara atau industri di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Faktor-faktor keungggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/pengusaha nasional dan Brebes pada khususnya untuk dapat unggul dalam persaingan di pasar dunia adalah diantaranya yang paling penting: 1) Penguasaan teknologi dan know-how; 2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi yang tinggi, dan inovatif; Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
7
www.kadin-
3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi; 4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan; 5) Promosi yang luas dan agresif; 6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik; 7) Pelayanan teknikel maupun non-teknikel yang baik (service after sale); 8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi; 9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup; 10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik; 11) proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time; 12) tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.), dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam menghadapi persaingan yang ketat di pasar global. 13) Pemerintahan yang solid dan bersih, serta sistem pemerintahan transparan dan efisien.
Industri Sebagai Sektor Kunci
Sektor yang sebaiknya dijadikan sektor kunci bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah adalah industri dengan tiga alasan utama. Pertama, industri adalah satu-satunya sektor ekonomi yang bisa menghasilkan nilai tambah (NT) paling besar.dan berarti penyumbang terbesar terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB). Kedua, industri bisa sebagai penarik (lewat keterkaitan produksi ke belakang) dan pendorong (lewat keterkaitan produksi ke depan) terhadap perkembangan dan pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam kasus Palembang, industri-industri berbasis pertanian (termasuk perkebunan, peternakan dan perikanan) bisa sebagai sumber utama pertumbuhan dan perkembangan sektor pertanian di daerah tersebut. Ketiga, industri merupakan sektor terpenting bagi pengembangan teknologi yang selanjutnya bisa disebarkan lewat spillover effects ke sektor-sektor lainnya. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang sekarang disebut negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis dan banyak lagi, dulunya memulai pembangunan dengan mengembangkan sektor industri; negara-negara tersebut adalah negara-negara yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam revolusi industri pada abad ke 19. Tetapi agar industri bisa berfungsi optimal sesuai tiga peranan tersebut di atas, industri itu sendiri harus berkembang dengan baik, dan untuk itu, industri itu sendiri harus memiliki daya saing yang tinggi. Sayangnya, daya saing industri Indonesia yang mencerminka daya saing industri-industri di daerah-daerah semakin merosot. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
8
www.kadin-
Pengamatan selama ini sejak krisis ekonomi 1997/98 menunjukkan ada sejumlah faktor penting yang membuat kemerosotan daya saing industri di Indonesia (Gambar 2). Diantaranya yang terpenting adalah buruknya infrastruktur, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk entrepreneurship, lemahnya penguasaan teknologi yang selanjutnya membuat posisi Indonesia lemah dalam inovasi baik produk maupun proses produksi, dan ekonomi biaya tinggi, yang semakin parah disebabkan oleh banyaknya perda-perda yang mengharuskan pembayaran berbagai macam retribusi. Sekarang pertanyaan: jenis-jenis industri apa yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) di suatu daerah? Ini adalah masalah membangun portofolio industri suatu daerah. Untuk menjawab pertanyaan ini, mengikuti metodologi (kerangka pemikiran) dari Kotler dkk.(1997), ada sejumlah faktor penentu pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri dari faktor-faktor daya tarik industri dan faktor-faktor daya saing daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain terdiri dari: (1) NT tinggi per pekerja (produktivitas). Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting tidak hanya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tetapi juga terhadap pembentukan PDRB. (2) Industri-industri kaitan. Ini berarti (seperti yang telah dibahas sebelumnya) perkembangan industri-industri tersebut akan meningkatkan total NT daerah, atau mengurangi 'kebocoran ekonomi' dan ketergantungan impor. (3) Daya saing di masa depan. Hal ini sangat menentukan prospek daripada pengembangan industri yang bersangkutan. (4) Spesialisi industri. Sesuai dasar pemikiran dari teori-teori klasik mengenai perdagangan internasional, suatu daerah sebaiknya berspesialisasi pada industri-industri di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, dan berarti daerah tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan. (5) Potensi ekspor. Dasar pemikirannya sama dengan butir (4) atau (3). (6) Prospek bagi permintaan domestik. Dasar pemikirannya pada prinsipnya sama seperti butir (1): memberikan suatu kontribusi yang berarti bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 indonesia.or.id
9
melalu konsumsi lokal.
www.kadin-
Gambar 2. Beberapa faktor penghambat daya saing industri Indonesia Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung
UMR naik terus Harga BBM naik
Birokrasi
Infrastruktur terbatas
Daya saing menurun
Produktivitas rendah
Biaya produksi meningkat
Pungutan bertambah terus
Banyaknya perda
Otonomi daerah
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
Tingkat kewirausahaan/ inovasi yang rendah
Kapasitas produksi terbatas
Kualitas SDM rendah
Kredit bank terbatas
Bank nasional belum sepenuhnya pulih
10
Penguasaan Teknologi rendah
Investasi rendah
Rasa ketidakpastian untuk melakukan bisnis di Indonesia masih besar
www.kadin-indonesia.or.id
Kurang dukungan dari pemerintah
Kurang dukungan dari swasta/ universitas
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
11
www.kadin-indonesia.or.id
SEMINAR – PPS UNSRI Sedangkan faktor-faktor penyumbang pada daya tarik industri dapat dikelompokkan kedalam 4 kelompok (Kotler dkk., 1997), yakni: (1) faktor-faktor pasar. Faktor-faktor ini antara lain ukuran pasar, ukuran segmen kunci, laju pertumbuhan pasar, keragaman pasar, kepekaan terhadap harga dan faktor eksternal, siklus dan musim, dan kemampuan tawar-menawar. (2) Faktor-faktor persaingan. Faktor-faktor ini antara lain tingkat pemusatan, substitusi disebabkan oleh progres teknologi, tingkat dan jenis integrasi, dan banyaknya perusahaan-perusahaan baru yang masuk ke pasar dan perusahaan-perusahaan yang keluar dari pasar. (3) Faktor-faktor keuangan dan ekonomi. Faktor-faktor ini antara lain NT, kesempatan kerja, keamanan, stabilitas ekonomi, pemanfaatan kapasitas produksi, skala
ekonomis, dan
ketersediaan infrastruktur keuangan. (4) Faktor-faktor teknologi. Faktor-faktor ini antara lain kompleksitas, diferensiasi, paten dan hak cipta, dan proses teknologi manufaktur yang diperlukan.
Selanjutnya, berdasarkan dasar pemikiran dari Doz dan Prohalad (1987), keunggulan kompetitif yang ada atau yang potensial dari suatu daerah, yang menentukan kemampuan industri di daerah tersebut, tergantung pada: (1) daya saing faktor-faktornya, yakni kekuatan relatif faktor-faktor produksinya, yang mencakup sumber daya fisik, SDM dan teknologinya; dan (2) daya saing atau kekuatan relatif perusahaan-perusahaan di daerah tersebut. Menurut Doz dan Prohalad, ketika daya saing tinggi dari faktor-faktor dari suatu daerah dan perusahaan-perusahaan lokalnya sangat kompetitif, maka industri di daerah tersebut akan berkembang pesat. Apabila daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di daerah tinggi, namun daya saing faktor-faktornya rendah, maka akan timbul tekanan bagi investasi ke luar daerah, yakni investasi ke daerah-daerah lain yang memiliki daya saing faktor yang tinggi. Hal ini yang terjadi selama ini antara Jawa dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Apabila daya saing perusahaan-perusahaan di suatu daerah rendah sementara faktor-faktor yang dimiliki daerah tersebut tinggi, maka akan timbul investasi ke dalam untuk industri-industri di mana perusahaanperusahaan tersebut berada. Beberapa Prioritas Kebijakan Dari penjelasan di atas (Gambar 2), jelas banyak sekali yang harus dilakukan dalam upaya 12
SEMINAR – PPS UNSRI meningkatkan daya saing daerah. Dalam bagian tulisan ini, dua prioritas kebijakan yang akan dibahas, yakni menyangkut pengembangan SDM dan infrastruktur. Sumber Daya Manusia
Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kualitas masyarakat atau SDM di suatu wilayah/negara adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), atau dikenal dengan sebutan Human Development Index (HDI) dari UNDP. IPM adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator, yakni (a) kesehatan; (b) pendidikan yang dicapai, dan (c) standar kehidupan. Tiga unsur ini sangat penting dalam menentukan tingkat kemampuan suatu propinsi untuk meningkatkan IPM-nya. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan kesempatan kerja, yang pada gilirannya ditentukan oleh banyak faktor, terutama pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah. Jadi, IPM di suatu propinsi akan meningkat apabila ketiga unsur tersebut dapat ditingkatkan, dan nilai IPM yang tinggi menandakan keberhasilan pembangunan ekonomi di propinsi tersebut Dalam perkataan lain, terdapat suatu korelasi positif antara nilai IPM dengan derajat keberhasilan pembangunan ekonomi. Tetapi hubungan antara kedua variabel ini tidak satu arah melainkan saling mempengaruhi. IPM yang tinggi membuat proses pembangunan lebih pesat, dan yang terakhir ini pada gilirannya membuat IPM meningkat. Hasil perhitungan dari BPS, dkk. (2001, 2004) yang disajikan di Tabel 1, menunjukkan bahwa DKI Jakarta berada pada tingkat teratas dalam pembangunan manusia dengan IPM tertinggi; walaupun selama periode yang diteliti terjadi penurunan, seperti yang juga dialami oleh banyak propinsi lainnya. Selain DKI Jakarta, banyak juga propinsi lain yang IPM-nya di atas tingkat nasional, yang dapat dikatakan sebagai propinsi-propinsi di Indonesia dengan pembangunan manusia yang relatif baik. Tabel 1. IPM menurut Propinsi: 1996, 1999, 2002 Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung
IPM* 1996 69 71 69 71 69 68 68 68
1999 65 67 66 67 65 64 65 63
2002 66 69 68 69 67 66 66 66
Peringkat 1996 9 7 11 6 10 15 12 16
1999 12 8 9 4 11 16 13 18
2002 15 7 8 5 10 16 14 18
13
SEMINAR – PPS UNSRI Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya (Papua)
76 68 67 72 66
73 65 65 69 62
70 57 61 64 71 66 71 72 66 66 66
66 54 60 61 67 62 68 67 63 64 63
68
67
60
59
65 76 66 66 71 64 67 68 58 60 63 69 64 70 71 64 65 64 64 67 66 60
64
66
Indonesia 68 Keterangan: *= dibulatkan Sumber: BPS dkk. (2001, 2004).
1 14 17 2 22
1 15 14 2 22
8 26 24 23 5 19 4 3 18 21 20
10 26 24 23 7 21 3 6 20 17 19
13
5
25
25
20 1 17 13 3 25 11 9 30 28 27 6 23 4 2 22 21 26 24 12 19 29
Dalam BPS dkk. (2001, 2004), kesehatan diukur dengan harapan hidup pada saat lahir (lihat apendiks). Sebagai alternatif, kesehatan dapat juga diukur dengan angka kematian bayi per 1000 bayi yang lahir. Hipotesanya adalah sebagai berikut: semakin baik pembangunan ekonomi di suatu wilayah yang dicerminkan oleh semakin tingginya pendapatan riil per kapita-nya, semakin besar angka harapan hidup yang diukur dengan semakin lama umur orang rata-rata, dan semakin rendah angka kematian bayi di wilayah tersebut. Pendidikan diukur dengan angka melek huruf dewasa sebagai suatu persentase dari total populasi dewasa dan rata-rata lama sekolah. Hipotesanya adalah sebagai berikut: semakin baik pembangunan ekonomi di suatu propinsi semakin tinggi tingkat pendidikan rata-rata masyarakat atau semakin tinggi angka melek huruf (semakin rendah angka buta huruf) dan semakin lama rata-rata lama sekolah. Tetapi, sama halnya dengan hubungan timbal balik antara tingkat IPM dan pembangunan ekonomi seperti yang telah dibahas sebelumnya, hubungan natara pembangunan ekonomi dan pendidikan di suatu wilayah juga dua arah, dalam arti saling berpengaruh satu dengan lainnya. Pendapatan, diukur dengan tingkat pendapatan riil per kapita berdasarkan kemampuan belanja dari suatu nilai mata uang, atau tingkat pengeluaran konsumsi rata-rata per kapita. Hipotesanya adalah bahwa semakin baik pembangunan ekonomi di suatu daerah semakin tinggi tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita yang berarti semakin baik standar hidup 14
SEMINAR – PPS UNSRI masyarakat di daerah tersebut. Hubungan antara kedua variabel ini juga dua arah: pembangunan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan berdampak positif terhadap pendapatan lewat efek pasar input, khususnya pasar tenaga kerja (pembangunan yang pesat menciptakan banyak kesempatan kerja baru dan peningkatan produktivitas atau pendapatan dari tenaga kerja yang bekerja), dan pendapatan yang meningkat, pada gilirannya, mendorong pembangunan lebih pesat lagi atau pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi lewat efek pasar output: pendapatan meningkat menciptakan peningkatan permintaan atas barang dan jasa yang selanjutnya mendorong peningkatan pertumbuhan produksi. Berdasarkan hasil penemuan BPS dkk (2001, 2004), perkembangan dari indikator-indikator dari dua unsur pertama tersebut disajikan di Tabel 2. Dapat dilihat bahwa ada suatu korelasi yang kuat antara keempat indikator tersebut dengan derajat pembangunan. Misalnya, DKI Jakarta yang memiliki tingkat pendapatan per kapita tertinggi, angka harapan hidup masyarakat di Ibu Kota juga sudah mencapai rata-rata 70-72 tahun, angka kematian bayi antara 20-26 bayi per 1000 bayi yang lahir, angka melek huruf antara 96%-98%, dan rata-rata lama sekolah antara 7,9-10 tahun. Sedangkan, Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu propinsi di Kawasan Indonesia Timur (KIT) yang terbelakang dengan tingkat pendapatan per kaipta yang sangat rendah, rata-rata umur hidup seseorang tidak sampai 65 tahun, angka kematian bayi tinggi namun cenderung menurun dari 64 bayi pada awal tahun 90-an ke 51 bayi, angka buta huruf relatif tinggi tetapi juga cenderung menurun dari 25% tahun 1990 ke 16% dari jumlah penduduk (dari kategori umur yang relevan) pada tahun 2002, dan rata-rata lama sekolah relatif pendek namun cenderung meningkat selama periode yang diteliti dari 4,4 tahun ke 6 tahun. Dari indikator terakhir ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tidak menapati sekolah dasar (SD) di NTT jauh lebih banyak daripada di DKI Jakarta. Tabel 2. Perkembangan Unsur-Unsur Penting dalam Pembangunan Manusia menurut Propinsi: Propinsi
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung
Angka harapan hidup (tahun)* 1990 1996 1999 66 66 68 66 66 67 61 64 66 66 67 68 64 66 67 65 64 66 64 64 65 66 65 66
2002 68 67 66 68 67 66 65 66
Angka kematian bayi (anak)* 1990 1996 1999 46 37 39 46 37 41 64 51 48 43 33 38 51 39 43 48 34 48 52 36 49 46 34 46
2002 36 40 47 37 43 46 48 43
Angka melek huruf (%)* 1990 1996 1999 85 90 93 91 95 96 90 92 95 89 93 96 88 92 94 89 90 93 87 92 93 88 90 92
2002 96 96 95 97 95 94 93 93
Rata-rata lama sekolah (tahun) 1990 1996 1999 5,7 7,0 7,2 6,2 7,5 8,0 6,0 6,9 7,4 5,6 6,9 7,3 5,4 6,5 6,8 5,4 6,1 6,6 5,6 6,6 7,0 5,0 5,9 6,4
15
200 7,8 8,4 8,0 8,3 7,4 7,1 7,6 6,9
SEMINAR – PPS UNSRI Bangka B. Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku U. Irian Jaya/ Papua Indonesia
71 62 67 72 62
70 63 65 70 64
71 64 68 71 66
67 54 61 62 67 60 65 67 60 65 65
68 55 62 63 68 60 68 67 61 65 64
70 58 64 64 69 61 69 68 63 68 65
63
63
67
63
63
65
66 72 65 69 72 66 62 70 59 64 64 69 61 69 71 63 69 65 64 66 63 65
63
66
66
66
26 64 40 22 61
20 47 29 17 52
24 53 36 25 48
40 101 64 61 39 72 47 40 72 49 48
30 75 51 50 30 55 38 31 57 35 34
31 81 56 54 32 67 33 37 60 36 50
58
47
40
58
51
52
42 22 47 34 23 47 55 29 78 51 52 31 57 32 25 58 33 45 45 47 57 51
56
44
45
44
96 85 78 77 74
97 90 81 80 78
98 92 85 85 81
73 64 75 74 90 88 88 95 88 75 79
79 68 79 80 94 90 90 97 90 80 86
83 73 81 83 95 93 94 97 93 83 87
91
93
96
65
67
71
92 98 93 86 86 83 94 84 78 84 87 96 93 95 99 93 84 88 95 96 96 74
82
86
88
90
7,9 5,3 4,8 6,0 4,7
9,5 6,4 5,5 6,9 5,5
9,7 6,8 6,0 7,9 5,9
5,3 4,1 4,4 4,2 5,6 5,4 6,1 6,2 5,6 5,0 5,2
6,3 4,6 5,2 5,2 6,6 6,1 7,2 7,3 6,6 6,1 6,6
6,8 5,2 5,7 5,6 7,1 6,6 7,8 7,6 7,0 6,5 6,8
5,9
7,1
7,6
4,4
5,0
5,6
6,6 10,4 7,2 6,5 8,1 6,5 7,9 7,6 5,8 6,0 6,3 7,6 7,0 8,5 8,6 7,3 6,8 7,3 6,5 8,0 8,4 6,0
5,3
6,3
6,7
7,1
Keterangan: *=dibulatkan Sumber: BPS dkk. (2001, 2004)
Tentu ada alasan kuat kenapa untuk perkembangan dari 4 unsur tersebut, DKI Jakarta menunjukkan prestasi paling baik diantara propinsi-propinsi di Indonesia. Pembangunan fasilitasfasilitas publik untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan, ditambah lagi dengan peran swasta dalam penyediaan fasilitas-fasilitas yang sama seperti rumah sakit-rumah sakit swasta dan sekolahsekolah (dari taman kanak-kanak hingga SMA) dan perguruan tinggi-perguruan tinggi swasta (PTS), serta pembangunan infrastruktur memang lebih baik di Jakarta dibandingkan di kawasan lainnya di dalam negeri, terutama di KIT. Perbedaan dalam pembangunan fasilitas-fasilitas penunjang IPM ini mencerminkan bahwa pembangunan selama ini tidak merata antar wilayah di Indonesia. Hal ini juga yang merupakan penyebab utama terpusatnya kegiatan ekonomi, khususnya sektor-sektor dengan NT tinggi seperti industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor-sektor tersier, di Jawa pada umumnya dan di Jakarta dan daerah sekitarnya (Jabotabek) pada khususnya. Juga akibat ini, investasi termasuk dari luar (PMA), yang masuk ke Indonesia lebih banyak ke Jawa, terkecuali investasi di kegiatan-kegiatan produksi yang sangat tergantung pada SDA seperti pertambangan. Infrastruktur 16
SEMINAR – PPS UNSRI Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama tahun 1993 hingga tahun 2002 mengalami tren yang menurun. Pada tahun 1993/1994, rasio pengeluaran untuk infrastruktur terhadap PDB sekitar 5,34%, sementara tahun 2002 hanya 2,33% (Gambar 3). Besarnya rasio belanja infrastruktur terhadap PDB kurang dari 4% menempatkan Indonesia dalam jajaran negara dengan rasio investasi infrastruktur terhadap PDB terendah diantara negara-negara berkembang lainnya (Tabel 3). Gambar 3. Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur (% PDB) 6
5,34
5
4,39
4
4,1
3,63
3
3,13
3,12
2,78
2,33
2 1 0 1993/1994
1994/1995
1995/1996
1996/1997
1997/1998
1998/1999
2000
2002
Sumber: Bank Dunia (2004)
Tabel 3. Rasio Investasi Infrastruktur Terhadap PDB Dalam 5 Tahun Terakhir 0-4 persen 4-7 persen D atas 7 persen Kamboja Laos Cina Indonesia Mongolia Thailand Filipina Vietnam Sumber. Raden Pardede dalam Infrastructure Financing: the Indonesian Challenges, 2005, dikutip dari Winoto (2005).
Krisis ekonomi 1997/98 membuat kondisi infrastruktur di Indonesia menjadi sangat buruk. Bukan saja pada saat krisis, banyak proyek-proyek infrastruktur baik yang didanai oleh swasta maupun dari APBN ditangguhkan, tetapi setelah krisis, pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur berkurang drastis. Secara total, porsi dari APBN untuk sektor ini telah turun sekitar 80% dari tingkat pra-krisis. Menurut laporan Bank Dunia (2004), pada tahun 1994, pemerintah pusat membelanjakan hampir 14 milyar dolar AS untuk pembangunan, 57% diantaranya untuk infrastruktur. Pada tahun 2002 pengeluaran pembangunan menjadi jauh lebih sedikit yakni kurang dari 5 milyar dolar AS, dan hanya 30%-nya untuk infrastruktur (Gambar 4 & 5). Gambar 4: Total Pengeluaran Infrastruktur (nominal, milyar dolar AS)
17
SEMINAR – PPS UNSRI 14 12 10 8
Pemerintah
6
Swasta
4 2 0 1996
2001
Sumber: Bank Dunia (2004)
Gambar 5: Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pusat (% dari jumlah pengeluaran) 70 60 50
30
Lainnya
70%
40
Infrastruktur
57% 43%
20
30%
10 0 1994
2002
Keterangan: infrastruktur terdiri dari postel, perumahan/pemukiman, irigasi, transportatsi, meteorologi & geofisika dan pembangunan daerah. Sumber: Departemen Keuangan
Khususnya menjelang pertengahan 90-an hingga tahun 1996 investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri cukup besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun, setelah krisis, akibat banyak perusahaan-perusahaan swasta, khususnya skala besar dan di sektor konstruksi yang mengalami krisis keuangan/hutang, investasi non-pemerintah di sektor ini juga mengalami pengurangan yang drastis lebih dari 90% dari tingkat tertingginya pada tahun 1996, sampai titik terendahnya pada tahun 2000 (Gambar 6). Selama ini peran swasta dalam investasi di infrastruktur lebih terfokus pada sektor telekomunikasi dan enerji (Gambar 7). Gambar 6: Participasi Swasta di sektor infrastruktur (juta dolar AS)
18
SEMINAR – PPS UNSRI 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Sumber: Bank Dunia PPI database
Gambar 7: Partisipasi Swasta dalam infrastruktur menurut sektor, 1990-2002 (juta dollar AS) Telekom Energi Transport Air/sanitasi 0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Sumber: WB PPI database
Pemerintah mentargetkan pertumbuhan PDB tahun 2006 mencapai 6% atau lebih. Menurut laporan Bank Dunia (2004), berdasarkan perbandingan internasional maupun dengan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebelum krisis ekonomi, maka untuk mencapai target pertumbuhan tersebut diperlukan tambahan investasi di infrastruktur sebesar 5 milyar dolar AS, atau harus mencapai 5% dari PDB (Gambar 8). Gambar 8: Gap dalam pengeluaran untuk infrastruktur (% dari PDB)
19
SEMINAR – PPS UNSRI 8 7 6
5% target
5
Sw asta
4 3 2 1
Publik Nasional
0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Sumber: World Bank (2004)
Menurut pemerintah, untuk merehabilitasi infrastruktur yang rusak dan membangun yang baru perlu Rp 1.000 triliun dalam 5 tahun. Jadi, rata-rata setahun Rp 200 triliun. Hanya 20% yang dibiayai oleh pemerintah lewat APBN. Oleh karena itu, pemerintah akan membentuk lembaga pembiayaan yang akan menampung seluruh aliran dana untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Rencana ini termasuk salah satu dari 153 kebijakan yang masuk dalam Paket Kebijakan Infrastruktur yang harus diselesaikan pada tahun 2006 (Kompas, 2006). Belanja infrastruktur di daerah juga dapat dikatakan sangat kecil, walaupun sejak dilakukannya desentralisasi/otonomi daerah, pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat, sementara pengeluaran pemerintah pusat untuk infrastruktur mengalami penurunan yang drastis (Gambar 9). Berdasarkan kelompok kapasitas fiskal seperti yang dijabarkan di Tabel 4, diperoleh gambaran bahwa pada tahun 2003 propinsi hanya membelanjakan maksimal sekitar 14,7% untuk belanja infrastruktur dari total belanja daerah. Sedangkan kabupaten dan kota masing-masing membelanjakan maksimal 16% dan 20% belanja infrastruktur dari total belanja daerahnya. Gambaran kasar porsi belanja infrastruktur di daerah dapat dilihat pada Tabel 5.
Gambar 9: Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pusat untuk Infrastruktur (% dari PDB)
20
SEMINAR – PPS UNSRI 4.5 4 3.5 3 Pusat
2.5
Daerah
2 1.5 1 0.5 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Keterangan: tanda titik diantara angka di sumbu vertikal artinya koma dalam pengertian Indonesia Sumber: Bank Dunia (2004)
Tabel 4. Peta Kapasitas Fiskal Daerah Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Bentuk Hibah Jumlah Daerah Menurut Kapasitas Fiskal Tinggi (%) Sedang (%) Rendah (%) Propinsi 20,00 30,00 50,00 Kabupaten 12,69 27,61 59,70 Kota 45,00 37,50 17,50 Sumber KMK Mo.538/KMK.07/2003 dalam Alien Pakpahan, 2005. Daerah
Tabel 5. Gambaran Kasar Belanja Infrastruktur Tahun 2003 Propinsi Kota Kabupaten % dari % dari % dari % dari % dari % dari Belanja Balanja Belanja Belanja Belanja Belanja Publik Daerah Publik Daerah Publik Daerah Tinggi 39,52 10,48 20,24 15,59 26,45 19,86 Sedang 20,77 14,70 13,01 7,24 33,02 12,12 Rendah 18,24 9,06 11,14 9,06 9,18 6,66 Rata-rata 26,18 11,41 14,08 10,63 22,88 12,88 Keterangan: Belanja publik merupakan bagian dari belanja daerah dalam APBD. Sumber. Bapekki, Departemen Keuangan, dikutip dari Pakpahan (2005). Kapasitas Fiskal
Ini merupakan suatu persoalan serius, karena walaupun pemerintah pusat meningkatkan porsi pengeluarannya untuk pembangunan infrastruktur, sementara pemerintah-pemerintah daerah tidak menambah pengeluaran mereka untuk pembangunan infrastruktur di daerah masing-masing, maka akan terjadi kepincangan pembangunan infrastruktur antara tingkat nasional dan daerah, yang pada akhirnya akan menghambat kelancaran investasi dan pembangunan ekonomi antar wilayah di dalam negeri. Jalan, khususnya jalan raya merupakan infrastruktur yang penting untuk memperlancar distribusi barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Dalam konteks pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan secara umum, jaringan jalan 21
SEMINAR – PPS UNSRI sangat dibutuhkan untuk kelancaran arus faktor produksi maupun pemasaran hasil. Secara umum kondisi infrastruktur jalan di Indonesia adalah sebagai berikut (ISEI, 2005; Winoto, 2005). Pertama, pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat lambat dibandingkan dengan di negara-negara tetangga lainnya. Pembangunan jalan tol di Indonesia telah dimulai sejak 26 tahun lalu, namun total panjang jalan tol yang telah dibangun hingga saat ini hanya 570 kilometer (km). Padahal di Malaysia - yang baru memulai pembangunan jalan tol 20 tahun lalu – total panjang jalan tol yang berhasil dibangun sudah mencapai 1.230 km. Di China, panjang jalan tol mencapai lebih dari 100.000 km dan jalan arteri sekitar 1,7 juta km dengan tingkat kepadatan jalan 1.384 km/1 juta penduduk. Sedangkan di Indonesia tingkat kepadatan jalan hanya 126 km/1 juta penduduk. Rendahnya tingkat pembangunan jalan tol di Indonesia terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 disebabkan antara lain oleh: (1) belum adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat mendorong terjadinya kompetisi antar operator; (2).belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta; dan (3) selama ini belum ada prosedur pemilihan investor yang kompetitif, pengadaan lahan, cost sharing, masa konsesi, dan dasar pembagian pendapatan (Bappenas, 2005). Sementara itu, panjang jaringan jalan nontol di Indonesia telah mencapai 310.029 km (Tabel 6). Sejak pra Pelita hingga tahun 2002, panjang jalan kabupaten mencapai lebih dari 50% dan total panjang jalan. Sedangkan panjang jalan propinsi rata-rata 18,96% dari total panjang jalan non-tol, sisanya merupakan jalan nasional dan jalan kota. Tabel 6: Panjang Jaringan Jalan (non-Tol) di Indonesia Status Jalan Nasional Propinsi Kabupaten (Km) (Km) (Km) PRA PELITA Sampai dengan 1968 9.780 21.116 48.717 PELITA I Tahun 1 969 s/d Tahun 1974 10.167 22.682 49.134 PELITA II Tahun 1974 s/d Tahun 1979 10.945 25.878 58.159 PELITA III Tahun 1979 s/d Tahun 1984 11.500 27.500 81.696 PELITA IV Tahun 1984 s/d Tahun 1989 12.594 33.398 113.631 PELITA V Tahun 1989 s/d Tahun 1994 17.800 32.250 168.600 PELITA VI Tahun 1994 s/d Tahun 1999 26.853 39.746 172.030 PROPENAS 2002 26.271 38.914 223.318 Sumber: Ditjen Praswil, 2002 (dikutip dari Siregar, 2005). PERIODE
Kota (Km) 2.314 2.314 6.276 10.080 11.080 25.514 26.102 21.526
Total (Km) 81.927 84.297 101.258 130.776 170.703 244.164 264.730 310.029
Kedua, penyebaran pembangunan jaringan jalan tidak merata, cenderung lebih terpusat di 22
SEMINAR – PPS UNSRI Sumatera dan Jawa. Meskipun pembangunan jaringan jalan non-tol terus dilakukan,. namun selama ini pembangunan tersebut lebih terfokus di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya di Sumatera dan Jawa. Hal ini terlihat dari total panjang jalan yang dibangun di Sumatera dan Jawa mencapai lebih dari 60% dari total panjang secara keseluruhan (Tabel 7). Selain rendahnya tingkat pembangunan jaringan jalan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), sistem jaringan jalan yang merupakan lintas utama di masing-masing pulau di KTI -terutama Kalimantan dan Sulawesi belum terhubungkan. Jika hal ini terus berlanjut maka hal ini dapat mengganggu kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang memerlukan dukungan jasa prasarana, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Tabel 7: Panjang Jaringan Jalan Menurut Wilayah di Indonesia, 2000 (km) Status Jalan Nasional Propinsi Kabupaten Sumatera 7.622 14.654 75.470 Jawa 4.373 8.498 60.445 Kalimantan 4.804 3.557 20.560 Ball & Nusa Tenggara 2.069 4.724 20.507 Sulawesi 5.235 4.631 32.028 Maluku & Papua 2.167 2.848 14.308 Total 26.270 38.912 223.318 Sumber: Siregar (2005) (data dari Ditjen Praswil, 2000) Wilayah
Kota 7.106 9.714 1.307 1.020 2.019 360 21.526
Total Km % 104.852 33,8 83.030 26,8 30.228 9,8 28.320 9,1 43.913 14,2 19.683 6,3 310.026 100
Ketiga, pemeliharaan infrastruktur jalan yang ada kurang baik. Selain masalah pembangunan jaringan jalan, pemeliharan jaringan jalan yang sudah ada juga merupakan hal yang penting. Kurangnya pemeliharaan mengakibatkan kondisi jalan mudah mengalami kerusakan. Pada tahun 2004, kondisi jalan yang masih layak digunakan hanya 54% dari total jalan. Sisanya 28,1% dalam kondisi rusak berat dan 18,2% mengalami rusak ringan. Jika dibandingkan dengan kondisi jalan kabupaten dan propinsi, persentase kondisi jalan nasional yang layak digunakan relatif lebih baik. Di kabupaten 35% jalan dalam kondisi rusak berat (Tabel 8). Gambar 10, 11 dan 12 menunjukkan kondisi jalan di Indonesia di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk periode 1997-2003.
Tabel 8. Kondisi Jaringan Jalan di Indonesia, 2002-2004 Jenis Jalan Jalan Nasional Jalan Propinsi Jalan Kabupaten
Panjang (km) 34.629 46.499 250.946
Baik 37,4 27,5 17,0
Kondisi Jalan (%) Rusak Sedang Ringan 44,0 7,7 35,3 14,4 26,4 21,9
Rusak Berat 10,9 22,7 34,7 23
SEMINAR – PPS UNSRI Jalan Kota Jalan Tol Total
25.518 606 348.148
9,0 100,0 20,0
87,0 0,0 33,7
4,0 0,0 18,2
0,0 0,0 28,1
Keterangan: data Jalan Nasional & Propinsi berdasarkan hasil survei IRMS 2003, diramalkan ke 2004. Data Jalan Kab/Kota bsrdasarkan hasil survei IRMS 2003. Sumber: Bappenas (2005) (data dari hasil survei IRMS dari Ditjen Praswil, 2004).
Menurunnya kondisi jalan yang terjadi sekarang ini sebabkan antara lain oleh belum optimalnya kualitas konstruksi jalan, pembebanan berlebih, bencana alam seperti longsor, banjir, dan gempa bumi, serta menurunnya kemampuan pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan jalan oleh pemerintah setelah masa krisis (Winoto, 2005). Cara paling sederhana untuk mengukur tingkat kemajuan dalam pembangunan jalan dapat dilihat dari proporsi dari jumlah panjang jalan yang ada yang sudah diaspal, terutama di perdesaan. Di desa-desa yang pembangunan infrastrukturnya sudah maju, jalan yang sudah diaspal lebih panjang dari desa-desa yang masih terbelakang. Di Gambar 13 dapat dilihat bahwa walaupun ada peningkatan sejak dekade 70-an, besarnya jalan yang diaspal di Indonesia masih belum mencapai 60% dari jumlah panjang jalan yang ada. Salah satu langkah yang harus diambil segera dalam perbaikan kondisi jalan di dalam negeri tentu adalah mengaspal semua jalan yang belum diaspal, tidak hanya jalan nasional tetapi juga hingga jalan-jalan kecil di antara perumahan penduduk di perdesaan. Karena jalan-jalan kecil tersebut sangat krusial bagi kelancaran kegiatan ekonomi rakyat di perdesaan.
Gambar 10: Kondisi jalan nasional 1997-2003 100% 9.3
6.8 IV
16.2
16.4
III
80%
4.8 15.7
5.1 8.8
5.2 5.3
4.68 5.85
17
21.6
25.4
70.5
67.9
64.07
2001
2002
2003
10.1 2.4
28.7
II 29 60% 42.8 40%
52.5
I 50.5
20%
31.7
57.4
24.3
0% 1997
1998
1999
2000
24
SEMINAR – PPS UNSRI Keterangan: I =.baik; II = sedang; III = rusak ringan; IV = rusak berat Sumber: Bappenas (2005).
Gambar 11: Kondisi jalan provinsi 1997-2003 100% 90%
20.2
15.5
16.9
23.7
22.7
15.2
80% 70%
19.3
21
17.5
14.5
15.8
16.9
18.7
17.3
60% 32.4
30.3
32.4
33.8
30.3
34.9
34.3
33.1
32
1999
2000
2001
2002
2003
50% 40%
30.1
36.6
45.6
30% 20% 10%
23.9
15.3
0% 1997
1998
Keterangan dan sumber: lihat Gambar 10
Gambar 12: Kondisi jalan kabupaten 1998-2003 100% 90%
15
15
16
17
19
16
26
30
28
29
28
31
35
34
34
34
32
23
20
22
21
19
20
1998
1999
2000
2001
2002
2003
80% 70% 60% 50% 40%
36
30% 20% 10% 0%
Keterangan dan sumber: lihat Gambar 10
Gambar 13: Persentase dari Jumlah Panjang Jalan yang diaspal di Indonesia
25
SEMINAR – PPS UNSRI 70 % 60 50 40 30 20 10 0 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 Sumber: BPS
Daftar Pustaka
Bank Dunia (2004), Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, Second ed., East Asia and Pacific Region Infrastructure Development, Washington, D.C. and Jakarta.
Bank Dunia (2005), “Averting an Infrastructure Crisis”, Infrastructure Policy Brief, January, Jakarta. Bappenas (2005), ”Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009”, Jakarta
BPS, BAPPENAS dan UNDP (2001), Menuju Consensus Baru. Demokrasi dan Pembangunan manusia di Indonesia, Laporan Pembangunan Manusia 2001, Oktober, Jakarta: Biro Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nations Development Programme. BPS, Bappenas dan UNDP (2004), The Economics of Democracy, Indonesia Human Development Report 2004, Jakarta
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon (2003), From Adam Smith to Michael Porter. Evolusi Teori Daya Saing, Jakarta: Salemba Empat. Daniels, John D. dan Radebaugh, Lee H. (1989), International Business, Environments and Operation, Edisi ke 5, Addison-Wesley Publishing Company. Dollar, David dan E.N. Wolf (1993), Competitiveness, Convergence, and International Specialization, Cambridge, Mass.: the MIT Press Doz, Yves L. dan C.K. Prahalad (1987), Multinational Mission, New York: The Free Press. Grossman, G.M. dan E. Helpman (1993), Innovation and Growth in the Global Economy, Cambridge, Mass.: the MIT Press ISEI (2005), ”Rekomendasi ISEI. Langkah-Langkah Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia”, Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. 26
SEMINAR – PPS UNSRI Kompas (2006), “Paket Kebijakan Infrastruktur”, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 18 Februari, hal. 17.
Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak, dan Suvit Maesincee (1997), Pemasaran Keunggulan Bangsa, Jakarta: PT Prenhallindo. Krugman, P.R. (1988), “Introduction: New Thinking about Trade Policy”, dalam Krugman, P.R. dkk. (ed.), Strategic Trade Policy and New International Economics, Cambridge, Mass.: the MIT Press Pakpahan, Arten T. (2005), “Gambaran Belanja Modal Daerah, Dana Alokasi Khusus dan Hibah Pinjaman Luar Negeri Pemerintah untuk Pembansunan Infrastruktur”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. Pardede, Raden (2005), “Infrastructure Financing: Indonesia Challenges”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.
Porter, Michael E. (1980), Competitiveness Strategy: Techniques for analyzing industries and companies, New York: Free Press. Porter, M.E. (1985), Competitive Advantage, New York: Free Press. Porter, M.E. (ed.)(1986), Competition in Global Industries, Boston: Harvard Business School Press. Porter, M.E. (1990), The Competitive Advantage of Nations, New York: Free Press. Porter, M.E. (1998a), The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction, New York: The Free Press. Porter, M.E. (1998b), On Competition, Boston: Harvard Business School Press. Siregar, Hermanto (2005), “Penyediaan dan Pembiayaan Infrastruktur Dasar, “ makalah FGD, Jakarta: ISEI Pusat.
Tambunan, Tulus (2006), “Kondisi Infrastruktur di Indonesia”, April, Jakarta: Kadin Indonesia Winoto, Joyo (2005), ”Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam Menggerakan Sektor Riil”, makalah dalam Sidang Pleno ISEI XI, 22-23 Maret, Jakarta.
PROPOSAL
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAERAH 27
SEMINAR – PPS UNSRI
Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan serangkaian aktivitas yang terkait satu sama lain untuk mengadakan perubahan dan pengembangan di berbagai sektor. Pembangunan ekonomi yang dimaksudkan untuk menghasilkan materi kesejahteraan merupakan bagian dari pembangunan tersebut. Meskipun demikian, pembangunan ekonomi ini penting sifatnya karena rekayasa apapun untuk pengembangan sektor perekonomian dalam kerangka pembangunan nasional tidak akan terlepas dari daya dukung perekonomian negara yang bersangkutan, baik menyangkut teknologi, tenaga kerja, modal, letak geografis, jumlah dan kualitas sumberdaya alam (SDA) dan manusia (SDM), kondisi sosial dan budaya, politik dan peran pemerintah dalam perekonomian maupun keamanan. Untuk itu pembangunan ekonomi seyogyanya dapat memanfaatkan sumber-sumber yang ada, terutama sumber daya alam, khususnya sumberdaya alam-hayati dan non-hayati. Idealnya pemanfaatan sumberdaya alam itu berlangsung secara ekonomis, optimal dan efisien. Era desentralisasi di Indonesia saat ini mendorong daerah-daerah di Indonesia untuk memanfaatkan potensi daerahnya secara optimal. Dengan memanfaatkan potensi tersebut, setiap daerah diharapkan dapat mengejar target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan selanjutnya memiliki daya saing daerah yang tinggi baik di tingkat regional, nasional maupun internasional . Namun demikian, seringkali dalam melakukan aktivitas pembangunannya khususnya pembangunan ekonomi, suatu daerah kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan masalah keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan, yang menjadi dasar untuk suatu pembangunan yang berkelanjutan, sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dasar seperti kerusakan lingkungan, kemiskinan struktural dan inefisiensi. Dampak selanjutnya adalah sulitnya daerah tersebut untuk meningkatkan daya saingnya. Oleh karenanya, pembangunan haruslah diupayakan dengan semakin mendalami dan meyakini program pembangunan berkelanjutan yang menjamin keberlanjutan ekonomis dan sosial-budaya secara menyeluruh dan terpadu. Harus ada wawasan program yang menyeluruh (holistic program oriented), yang mampu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan secara maksimal.
Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan utama dari diselenggarakannya kegiatan ini adalah:
“Menemukan suatu pola yang ideal untuk meningkatkan daya saing daerah dalam wahana pembangunan berkelanjutan” a.
Sedangkan manfaat kegiatan ini: Akademis: Menemukan suatu kerangka fikir teoritis yang mendukung tersusunnya strategi dan pola pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang ekonomis, optimal dan efisien dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan serta upaya meningkatkan daya saing daerah
b.
Operasional:
1.
Menawarkan sumbang saran kepada DPR, DPRD dan Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam mengambil berbagai jenis kebijakan untuk berbagai sektor; 2. Memberikan format yang jelas dan tegas kepada seluruh pelaku ekonomi, sehingga memiliki keselarasan dalam melakukan aktivitas bisnis berkaitan dengan tujuan pembangunan yang menjamin keberkelanjutan ekologis, ekonomis, sosial-budaya, politik dan pertahan keamanan.
III. Topik dan Pembicara Secara umum, topik (tema) yang akan dibahas dalam kegiatan ini adalah: “PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN UPAYA MENINGKATKAN DAYA SAING DAERAH”. Keynote Speech: Ir. Syahrial Oesman (Gubernur Provinsi Sumatera Selatan)* 28
SEMINAR – PPS UNSRI Ket: *) Sedang dalam Konfirmasi Pembicara/Pemakalah: 1. Prof. Dr. H. Emil Salim 2. Dr. Aslim Tadjuddin (Deputi Gubernur Bank Indonesia) 3. Ir. Ansari Bukhari, M.B.A. (Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Republik Indonesia) 4. Dr. Tulus T. H. Tambunan (Dosen Pascasarjana Trisakti dan Sekretaris Eksekutif KADIN)
IV. Metode A.
Tempat dan Waktu Kegiatan akan diadakan di Gedung Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Jl. Padang Selasa No.524 Bukit Besar Palembang pada tanggal 27 April 2006 B. Metode Pelaksanaan Seminar akan diselenggarakan selama satu hari dalam dua sesi C. Peserta Peserta seminar diharapkan dari Aparat Pemerintahan, Pelaku Ekonomi dan Bisnis, Organisasi Sosial-Politik, Dosen dan mahasiswa dari berbagai disiplin Ilmu serta dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Indonesia
V. Organisasi Kepanitiaan 1. Penanggung Jawab Sriwijaya 2. Koordinator 3. Ketua Pelaksana 4. Sekretaris 5. Bendahara 6. Kesekretariatan Koordinator Anggota
:
Direktur
Program
Pascasarjana
: Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya : Eddy Roflin : Indri Ariyanti : Aslamia Rosa, S.E., M.Si Yuni Purnamasari : Mukhlis, S.E., M.Si : Sukanto M. Fitri Adhiansyah Muhammad Joni
Hendri Wijaya Selly S. Tobing
7. Seksi Acara Koordinator
: Drs. Zulkarnain Ishak, M.A
Anggota M.Si
: Ana Yulianita, S.E., M.Si Neneng Miskiyah Bobby M. P. Endey
8. Seksi Dana dan Usaha Koordinator Anggota
Universitas
Yunisvita,
S.E.,
Nurul Komalasari Edward Kenn
: M. Djakfar Abdullah : Agoes Pramusinto Paula Henny. S Ferdinan Riza Yudha Syarifudin Daud, S.Ip., M.Si Nursyawalina, S.E., M.Si Marta Edison Fadhli 29
SEMINAR – PPS UNSRI 9. Seksi Transportasi Koordinator Anggota 10.Seksi Humas/Publikasi Koordinator Anggota
11. Seksi Konsumsi Koordinator Anggota
: Sholahudin : Deni Veriadi Gagan Kuswara Rudi Sutomo : Eflianti Analisa, S.P., M.Si : Lizferina, S.E., M.Si Lesi Hertati Etanon Yuniar Mastullah Yulius : Nurhasanah Akmal : Rima Kurnia Nourma Cleopatra
Triana Agustina Aprilina
Ristikasari
Alamat Panitia: PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Jln. Padang Selasa No. 524, Bukit Besar Palembang 30139 Telp: (0711) 354222, 352132 Fax: (0711)317202, 320310, 357790 Email:
[email protected] ; Homepage: www.pps.unsri.ac.id
30
SEMINAR – PPS UNSRI ORGANISASI KEPANITIAAN Penanggung Jawab Direktur PPS Unsri
Koordinator KPS IE-PPS Unsri
Ketua Eddy Roflin
Sekretaris
Bendahara
Indri Ariyanti
Kesekretariatan
Publikasi/Hum as
Mukhlis Sukanto Yuni Purnamasari M. Fitri.A Hendri Wijaya S ll S T bi
Keterangan:
Eflianti Analisa Lisferina LessyHertati Yulius Mastullah Etanon Yuniar
Aslamia Rosa Yuni Purnamasari Ariyanti
Acara Seminar
Pendanaan
Zulkarnain Ishak, M.A Bobby M.P Endey Neneng Miskiyah Nurul Komalasari Yunisvita Ana Yluianita Edward Kenn
M. Djakfar. A Agoes Pramusinto Paula Henny S Ferdinan Riza Yudha Syarifudin Daud Nursyawalina Marta Edison Fadli
Transportasi Akomodasi
/
Deni Veriadi Rudi Santoso Gagan Kuswara Sholahudin
Konsumsi Rima Kurni Triana Agustina Nourma Cleopatra Nurhasanah Akmal Aprilina
Garis Instruksi Garis Koordinasi
31