UPAYA PENGUATAN KELEMBAGAAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM Denico Doly P3DI Bidang Hukum, Gedung Nusantara I Lantai 2, Setjen DPR RI Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta Pusat 10270 email:
[email protected] Naskah diterima: 5 Mei 2015 Naskah direvisi: 19 Oktober 2015 Naskah diterbitkan: 23 November 2015
Abstract KPI as an independent state agencies set out in the Broadcasting Act is considered to has not been able to carry out the functions, duties, and authority to the fullest. This is because the main problems some various problems that exist within the KPI. Institutional and implementating regulations are the main problem for the KPI in carrying out its functions, duties, and authority. KPI institutional strengthening efforts is needed to restore the problem within the KPI. Restoring effort is done by stengthening KPI, changing institutional structure of KPI, and stipulating legal instruments that can support the performance of KPI Keywords: KPI, strengthening, Broadcasting Act.
Abstrak KPI sebagai lembaga negara independen yang diatur dalam UU Penyiaran dinilai belum dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan yang ada dalam tubuh KPI. Kelembagaan dan peraturan pelaksana undang-undang merupakan permasalahan utama bagi KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Upaya penguatan kelembagaan KPI perlu dilakukan dengan melakukan pembenahan dalam tubuh KPI. Adapun pembenahan ini dilakukan dengan mempertegas kelembagaan KPI, merubah struktur kelembagaan KPI, dan memberi perangkat hukum yang dapat menunjang kinerja KPI. Kata kunci: KPI, penguatan kelembagaan, UU Penyiaran
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk dengan semangat bahwa pengelolaan sistem siaran yang dimiliki oleh publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Sistem siaran yang dimaksudkan yaitu penggunaan frekuensi harus dimanfaatkan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat. Berdasarkan semangat tersebut, maka Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sepakat untuk membentuk lembaga independen dibidang penyiaran yaitu KPI yang diatur,
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Pengaturan tentang penyiaran di Indonesia sudah mengalami berbagai perubahan. Pertama, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dan kedua, UU Penyiaran. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran memiliki perbedaan prinsip dengan UU Penyiaran. UU Penyiaran lebih kental dengan nuansa demokratisnya dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.1 Hal ini dapat dilihat pada Pasal 7 Undang-Undang 1
Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin, Dasar-dasar penyiaran: Sejarah, Organisasi, Operasional, dan Regulasi, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 271.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
149
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang berbunyi penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Sedangkan dalam Pasal 6 UU Penyiaran menyebutkan bahwa penyiaran dilakukan dengan satu sistem penyiaran nasional dan disebutkan bahwa frekuensi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kegiatan penyiaran merupakan kegiatan yang menggunakan spektrum frekuensi radio, dimana hal ini merupakan sumber daya alam yang terbatas. Oleh karena itu, penguasaan atas frekuensi diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) untuk dikuasai oleh negara. Spektrum frekuensi radio ini dapat digunakan oleh para pemilik modal dan pemilik stasiun televisi, akan tetapi bersifat sementara.2 UU Penyiaran diundangkan pada tanggal 28 Desember 2002 dengan tidak ditandatanganinya oleh Presiden Megawati.3 Presiden Megawati saat itu tidak menandatangani UU Penyiaran dikarenakan adanya beberapa substansi yang belum disetujui oleh Pemerintah. Akan tetapi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 yang mengatakan bahwa Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Oleh karena itu, UU Penyiaran tetap diundangkan walaupun tanpa disahkan oleh Presiden. 2
3
150
Amir Effendi Siregar, Menegakkan Demokratisasi Penyiaran: Mengecah Konsentrasi, Membangun Keanekaragaman, Jakarta: Komunitas Pejaten, 2012, hal. 11. M Hadi Shubhan, “Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden”, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?a id=2282&coid=3&caid=21&gid=3, diakses tanggal 7 Oktober 2015.
Dengan diundangkannya UU Penyiaran ini, maka ada perubahan paradigma dimana Pemerintah tidak lagi mengendalikan penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran. UU Penyiaran membatasi peran negara yang selama ini dinilai terlalu besar terhadap media penyiaran. Perubahan paradigma ini dipengaruhi adanya suatu tatanan demokrasi dimana adanya kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD Tahun 1945. Atas nama demokrasi, masyarakat diberi peran lebih besar untuk mengatur dan menggerakkan ranah penyiaran. Untuk itu UU Penyiaran mengamanatkan adanya sebuah lembaga mandiri yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun bernama KPI dan berfungsi sebagai lembaga pengawas penyiaran. KPI dibentuk melalui undangundang dan bertanggung jawab pada DPR RI sebagai representasi rakyat. Dengan kata lain, KPI berfungsi melakukan fungsi, tugas dan wewenangnya tanpa campur tangan atau tekanan dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran menunjukkan bahwa fungsi regulator penyiaran yang diserahkan kepada pemerintah tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang tidak dikeluarkan oleh Pemerintah. Selain itu juga ada anggapan bahwa pada saat itu pemerintah mempunyai otoritas terhadap isi siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran. Ada anggapan4 bahwa pada saat itu Departemen Penerangan menjadikan lembaga penyiaran sebagai alat propaganda. Oleh karena itu melalui UU Penyiaran ada perubahan paradigma dan juga perubahan model penyelenggara penyiaran dimana sebagai regulator bidang penyiaran diamanatkan kepada KPI. Keberadaan KPI sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyiaran diharapkan oleh masyarakat dapat memberikan kepastian hukum 4
Rhiza S. Sadjad, “Likuidasi Departemen Penerangan”, www. unhas.ac.id/rhiza/arsip/makalah/likuid.rtf, diakses tanggal 22 Oktober 2015
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
di bidang penyiaran. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memperoleh isi siaran yang bermanfaat. Sebagai representasi masyarakat, KPI diharapkan dapat menjamin hak-hak rakyat untuk mendapatkan informasi secara bebas dan adil serta menjamin kemandirian lembaga penyiaran dan dapat melibatkan masyarakat dalam mengelola lembaga-lembaga penyiaran. Sebagai representasi masyarakat, KPI diharapkan dapat mewujudkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan isi siaran yang dapat menumbuhkembangkan pendidikan dan pengetahuan masyarakat. Isi siaran yang sehat dan bermanfaat merupakan ukuran bagi KPI dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. UU Penyiaran memberikan KPI kewenangan yang dituangkan dalam Pasal 8 ayat (2), yaitu: a. menetapkan standar program siaran; b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
berbagai organisasi televisi seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasra Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulis Suara Indonesia (PERSUSI) dan Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konsititusi Republik Indonesia (MK) terhadap UU Penyiaran. Berbagai organisasi ini mempermasalahkan substansi yang berkaitan dengan keberadaan KPI sebagai lembaga regulator penyiaran. Keberadaan KPI pada saat itu dianggap sebagai pengganti dari Departemen Penerangan pada saat orde baru. Selain hal tersebut, masih ada berbagai substansi dalam UU Penyiaran yang diajukan untuk dilakukan judicial review. MK mengeluarkan putusannya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 terkait dengan kewenangan KPI bersamasama Pemerintah untuk membentuk peraturan pemerintah. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa KPI tidak dapat bersama dengan pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan penyiaran. MK memutuskan bahwa kewenangan KPI membentuk Peraturan Pemerintah bersama dengan Pemerintah bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan bahwa Presiden Kewenangan-kewenangan tersebut merupakan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk kewenangan dasar yang dimiliki oleh KPI dalam menjalankan undang-undang sebagaimana melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya mestinya. MK berpendapat bahwa peraturan sebagai lembaga negara yang dibentuk oleh pemerintah merupakan produk hukum yang UU Penyiaran. Kewenangan tersebut kemudian ditetapkan oleh Presiden. Presiden dalam harusnya diikuti dengan peraturan lebih lanjut membuat peraturan pemerintah dapat saja atau penjabaran kembali melalui peraturan memperoleh masukan dari berbagai sumber perundang-undangan lainnya yang dibentuk yang terkait dengan pokok masalah yang akan oleh KPI atau peraturan yang dibentuk oleh diatur, tetapi sumber dimaksud tidak perlu pemerintah, akan tetapi sampai dengan dicantumkan secara eksplisit dalam UU yang pemerintah untuk saat ini, peraturan pelaksana terkait dengan memerlukan peraturan 5 pelaksanaannya. Berdasarkan hal tersebut, pembentukan KPI belum ada. Permasalahan dalam kelembagaan KPI 5 Denico Doly, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi muncul pertama kali ketika UU Penyiaran Tentang Pengajuan Judicial Review Terhadap UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, dalam diundangkan pada tanggal 28 Desember buku Politik Hukum, Jakarta : Setjen DPR RI, 2011, hal. 2002. Permasalahan ini muncul ketika 23.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
151
maka dapat dikatakan bahwa substansi yang terdapat dalam UU Penyiaran terkait dengan pembentukan peraturan pelaksana yang dibuat bersama-sama antara KPI dengan Pemerintah dianggap inkonsitusional.6 Permasalahan lainnya yang dialami oleh KPI yaitu KPI dan KPID tidak dapat menjalankan fungsi, tugas, dan kewajiban dengan optimal karena berbagai hambatan baik yang bersifat pengaturan (subtansi), kelembagaan (struktur) maupun dari segi pelaksanaannya (budaya). Pengaturan yang dimaksud yaitu pengaturan mengenai pembentukan KPI. KPI yang dibentuk di dalam UU Penyiaran belum memiliki aturan lebih lanjut yang mengatur mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan KPI. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai KPI belum pernah terbentuk. Adapun sampai dengan saat ini KPI bekerja berdasarkan UU Penyiaran dan juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Permasalahan kelembagaan merupakan masalah utama KPI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Permasalahan kelembagaan ini timbul diakibatkan dari tidak adanya peraturan pelaksana dari keberadaan KPI, seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa KPI saat ini bekerja hanya berdasarkan UU Penyiaran dan P3SPS. Adapun peraturan mengenai kelembagaan KPI baru berdasarkan UU Penyiaran saja. Oleh karena itu dalam tataran praktis, KPI belum mempunyai struktur organisasi yang ideal. Tulisan ini akan berbicara menguraikan upaya hukum untuk menguatkan kelembagaan KPI dalam perspektif hukum sebagai lembaga negara yang diatur dalam UU Penyiaran. Adapun penulis akan melihat dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia dimana pembenahan akan suatu lembaga dapat dilihat dari sisi pengaturan, kelembahaan dan juga pelaksanaannya. Tulisan ini akan fokus terhadap ketiga elemen tersebut.
6
152
Muhamad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: Kencana dan UIN Press, 2010, hal. 169.
B. Permasalahan KPI sebagai lembaga negara perlu mendapatkan perhatian lebih dalam rangka meningkatkan fungsi, tugas, dan kewenangan KPI. Berbagai permasalahan yang dialami KPI saat ini menjadikan lembaga tersebut dianggap tidak efektif atau tidak maksimal dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Pemberdayaan KPI sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyiaran perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin. Tulisan ini akan memaparkan terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh KPI, kemudian akan dipaparkan upayaupaya yang dapat dilakukan untuk memberikan penguatan kepada KPI. Berdasarkan hal itu, permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1. Apa saja permasalahan KPI sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyiaran? 2. Apa saja upaya yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan KPI dilihat dari perpektif hukum? C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui tentang apa saja yang menjadi permasalahan KPI dan mengkaji upaya yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan KPI dilihat dari perspektif hukum. Tulisan ini dapat digunakan sebagai masukan kepada Anggota DPR RI dalam merubah suatu peraturan perundang-undangan khususnya UU Penyiaran yang mengatur mengenai kelembagaan KPI di Indonesia. II. KERANGKA PEMIKIRAN A. Sistem Hukum Lawrence M. Friedman memperkenalkan sistem hukum (legal system) yang terdiri dari 3 (tiga) komponen penting, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur (culture). Friedman menjelaskan bahwa struktur sebagai berikut: “First many features of a working legal system can be called structural the moving parts, so to speak of-the machine Courts are simple and obvious NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
example; their structures can be described; a panel of such and such a size sitting at such and such a time, which this or that limitation on jurisdiction. The shape size, and power of legislature is another element of structure. A written constitution is still another important feature in structural landschape of law. It is, or attempts to be, the expression or blueprint of basic Features of the country’s legal process, the organization and framework of government”.7 (fitur pertama dari sistem hukum yaitu struktur dari suatu bagian yang bergerak, jadi kalau berbicara tentang suatu mesin, maka Pengadilan merupakan contoh yang sederhana dan jelas; struktur mereka dapat digambarkan; panel ini dan itu bertempat sesuai dengan tempatnya dimana adanya suatu pembatasan yurisdiksi. Ukuran, bentuk, dan kekuatan legislatif adalah elemen lain dari struktur. Sebuah konstitusi tertulis masih merupakan faktor penting dalam struktur hukum. Hal ini, atau mencoba menjadi, sebuah ekspresi dari cetak biru dari proses hukum di negara itu, sebagai sebuah organisasi atau kerangka pemerintahan).
tersebut merupakan kebiasaan yang dapat menjadi peraturan umum. Setiap keputusan pun adalah sebuah substansi dari sistem hukum, seperti sebuah doktrin dalam pengadilan, atau diberlakukan oleh legislatif, atau diadopsi oleh lembaga pemerintahan).
Sementara yang dimaksud oleh Friedman dengan legal culture (budaya hukum) adalah: “Legal culture can be defined as those attitudes and values that related to law and the legal system, together with those attitudes and value affecting behaviour related to law and its institution either positively or negatively. Love of litigation, or a hatred of it, is part of the legal culture, as would be attitudes toward child rearing in so far as these attitudes affect behaviours which is at least nominally governed by Law. The legal culture, then, is a general expression for the way the legal system fits into the culture of the general society.”9 (budaya hukum dapat didefinisikan sebagai sikap dan nilai yang berkaitan dengan hukum dan sistem hukum, bersama-sama dengan orang-orang yang mempunyai sikap dan nilai yang mempengaruhi perilaku positif atau negatif. Mencintai sebuah peraturan perundang-undangan atau membencinya, adalah merupakan bagian dari budaya hukum, seperti sebuah kebiasaan dalam membesarkan seorang anak, akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan berperilaku terhadap sebuah peraturan perundang-undangan. Maka, budaya hukum, adalah ekspresi umum dalam sistem hukum yang dapat menjadi budaya masyarakat umum).
Sedangkan komponen kedua disebutnya dengan substance (substansi) sistem hukum, Lawrence M. Friedman memberi penjelasan sebagai berikut: “The second type of component can be called substantives. These are the actual products of the legal system-what the judges for example, actually say and do. Substance includes naturally, enough, those proportional referred to as legal rules; realistically, it also includes rules which are not written do, i,e. Those regulaties of behaviours that could be reduced to general statement. Every decision too, is a substantive product of the legal system, as is every doctrine announced in court, or enacted by legislature, or adopted by agency of government.”8
7
8
Untuk menggambarkan kinerja ketiga komponen tersebut dapat dibayangkan apabila komponen struktur hukum diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka substansi hukumnya adalah (tipe kedua adalah sebuah komponen yang “apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh disebut sebagai substansi. Hal ini adalah produk mesin itu”, sedangkan budaya hukum adalah dari sebuah sistem hukum-hakim apa misalnya, apa atau siapa saja yang memutuskan untuk yang dikatakan dan dilakukan. Substansi menghidupkan atau mematikan, menetapkan termasuk alami, memadai, proporsional sebagai bagaimana mesin itu digunakan. Bagi Friedman aturan hukum; realistis, juga termasuk ke dalam yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sebuah peraturna yang tidak tertulis. Peraturan sendiri yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, penyelesaian sengketa (dispute settlement) skema New York: W.W. Norton & Company, 1984, hal. 7. Lawrence M. Friedman, “On Legal Development,” Rutgers Law Review, Vol. 24 (1969), hal. 27.
9
Ibid.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
153
distribusi barang dan jasa (goods distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (social maintenance).10 Mengenai komponen struktur menurut Lawrence M. Friedman adalah bagianbagian dari sistem hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme. B. Lembaga Negara Bantu Indonesia saat ini menganut konsep trias politica sebagai dasar pembentukan struktur kenegaraan. Konsep ini merupakan konsep klasik yang dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dan sudah diterapkan oleh banyak negara. Konsep ini membagi tiga fungsi kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap fungsi kekuasaan itu menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak.11 Setelah adanya perubahan pada Konstitusi negara yaitu UUD Tahun 1945, dimana perubahan tersebut sudah empat kali, maka dapat dilihat bahwa adanya perkembangan konsep trias politica yang dianut oleh bangsa Indonesia. Konsep trias politica yang mempengaruhi struktur kelembagaan di Indonesia mengalami perkembangan, hal ini dikarenakan konsep dari trias politica ini dianggap tidak lagi mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Perkembangan susunan ketatanegaraan di Indonesia juga mengikuti perkembangan dinamika yang terjadi di masyarakat, di mana masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya dan juga diikuti dengan perkembangan perekonomian dan juga hukum di Indonesia. Untuk menjawab berbagai tuntutan tersebut, maka menimbulkan berbagai jenis lembaga negara yang berada di luar struktur kelembagaan negara yang terdapat di dalam trias politica. Lembaga negara tersebut dapat berdiri dalam berbagai bentuk seperti dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita yang mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. 10 11
154
Lawrence M. Friedman, American Law, op.cit. hal. 5-14. Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 5.
Kehadiran lembaga negara di Indonesia cukup menjamur setelah adanya perubahan UUD Tahun 1945. Pembentukan lembagalembaga baru ini dimaksudkan untuk menunjang keberadaan lembaga negara yang sudah ada. Beberapa pakar menyebutkan lembaga-lembaga baru ini merupakan lembaga negara bantu atau biasa disebut dengan auxiliary state’s organ. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa sejak UUD Tahun 1945 mengalami perubahan, maka dapat dikatakan UUD Tahun 1945 tersebut menganut pemisahan kekuasaan dengan mengembangkan mekanisme checks and balances yang lebih fungsional.12 UUD Tahun 1945 mengamanatkan berbagai lembaga negara yang dapat dibentuk untuk melakukan kegiatan pemerintahan maupun kegiatan lainnya. Adapun lembaga-lembaga tersebut antara lain: MPR, DPR RI, DPD, MK dan Mahkamah Agung, Presiden, Wakil Presiden, BPK, Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian, dan Bank Sentral. Selain lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD Tahun 1945, maka negara dapat membentuk lembaga lain yang digolongkan dalam badan-badan eksekutif yang bersifat independen. Komisi atau lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat independen dan seringkali memiliki fungsi yang dicampur, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi-judikatif. Dalam kaitannya dengan hal ini terdapat istilah independent self regulatory bodies yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat, lembaga seperti ini tercatat lebih dari tiga puluh jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan Kongres Amerika Serikat.13 Menurut HAS Natabaya, ada perkembangan mengenai pengklasifikasian lembaga-lembaga negara, yaitu antara lain; Pertama, berdasarkan kewenangannya. Ada kewenangan lembaga negara yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 dan ada kewenangan lembaga negara yang tidak Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Pres, 2004, hal. 12. 13 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006, hal. 79. 12
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
diberikan oleh UUD Tahun 1945 melainkan oleh undang-undang. Pengklasifikasian ini dilakukan mengingat adanya kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945. Kedua, pengklasifikasian lembaga negara berdasarkan pembagian lembaga negara utama (main state’s organ) dan lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ). Pembagian tersebut mengacu pada pengelompokan berdasarkan ajaran trias politica (Montesquieu dan John Locke) dan ajaran catur praja Van Vollenhoven.14 Dari apa yang diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie dan HAS Natabaya maka dapat dikatakan bahwa pembentukan lembaga negara bantu dibentuk melalui peraturan perundangundangan, di mana lembaga tersebut dimaksudkan untuk membantu tugas dan fungsi dari suatu lembaga atau negara tersebut. Pembentukan lembaga-lembaga ini ada yang diamanatkan oleh undang-undang ataupun keputusan presiden.15 Salah satu contoh lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undangundang, contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian pembentukan tentang KPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan dibentuknya KPK yaitu untuk membantu Kepolisian dan Kejaksaan dalam memerangi tindak pidana korupsi. Pembentukan lembaga negara bantu dimaksudkan untuk memberikan jalan HAS Natabaya dalam tulisan Jeane Neltje Saly, Hubungan Antar Lembaga Negara dalam Perspektif Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 4 Nomor 3 September 2007, hal. 33. 15 Komnas HAM pertama kali di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Akan tetapi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM dibentuk dan diatur dalam undang-undang tersebut. “Dasar Landasan Hukum”, http://www.komnasham.go.id/dasar-landasanhukum, diakses tanggal 5 September 2015. 14
keluar dan menyelesaikan persoalan terkait dengan tidak terbendungnya permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh negara saat ini. Permasalahan seperti korupsi, pengawasanpengawasan di bidang keuangan, penyiaran, perekonomian, pemilihan umum dan lain sebagainya. Selain itu, kelahiran lembagalembaga negara mandiri itu dapat dikatakan sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya. Selain itu ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri ini merupakan bentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.16 Pembentukan lembaga negara bantu ini memerlukan suatu argumentasi tersendiri. Adapun argumentasi yang di bangun dalam pembentukan lembaga negara bantu ini harusnya tertuang dalam dasar filosofis, sosiologis atau yuridis peraturan perundangundangan tersebut. Argumentasi ini juga harus tertuang dalam Naskah Akademis pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting, yaitu:17 1. Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. 2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. 3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugastugas yang harus dilakukan dalam masa T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004, hal. 2. 17 Gunawan A Tauda, Komisi Negara Independen: Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Yogyakarta: Rajawali Gedongan Baru Pringgolayan, 2012, hal. 89. 16
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
155
transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. 4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. 5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembagalembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
bermaksud untuk memberikan amanat kepada negara agar segala sesuatu yang berhubungan dengan kekayaan alam, maka negara wajib untuk menguasainya dengan cara mengelola, mengatur, dan mengawasi terhadap keberadaan kekayaan alam tersebut.19 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa negara yang terdiri dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif, wajib untuk menguasai dengan mengatur, mengelola, dan mengawasi kekayaan alam yang ada di Indonesia. Konsep penguasaan oleh negara ini juga mengamanatkan kepada lembaga negara yang berada di luar konsep trias politica untuk menjaga dan menguasai kekayaan alam tersebut. Penyiaran saat ini masih menggunakan konsep analog, dimana konsep analog ini masih III. ANALISIS menggunakan spektrum frekuensi radio dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 kegiatan penyiaran. Ketentuan menimbang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan UU Penyiaran mengatakan bahwa spektrum alam yang terkandung di dalamnya dikuasai frekuensi radio merupakan sumber daya alam oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- terbatas dan merupakan kekayaan nasional besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan Pasal 33 yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara ayat (3) UUD Tahun 1945 ini, maka frekuensi dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya yang merupakan kekayaan alam18 harus kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya maka dapat dikatakan bahwa negara yang dalam kemakmuran rakyat. Sebesar-besarnya bagi hal ini adalah eksekutif wajib untuk mengatur, rakyat artinya adalah media penyiaran harus mengelola, dan mengawasi penggunaan menjalankan fungsi pelayanan informasi untuk spektrum frekuensi radio tersebut. kepentingan masyarakat. Informasi yang sehat Perkembangan informasi saat ini dan benar merupakan hak yang harus diperoleh berkembang sangat cepat dan pesat. Bahkan masyarakat. Media elektronik seperti televisi dengan adanya kemajuan teknologi yang sangat dan radio saat ini merupakan kebutuhan canggih, informasi dapat diperoleh hanya dengan sekunder bagi masyarakat di Indonesia. hitungan detik. Berkembangnya teknologi Konsep penguasaan yang terdapat dan juga keingintahuan masyarakat akan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 informasi dimanfaatkan oleh berbagai industri khususnya yang bergerak di bidang media untuk 18 Spektrum Frekuensi Radio adalah susunan pita frekuensi keuntungan. Perkembangan radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 mendapatkan Ghz sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik teknologi dan industri media seakan tidak merambat dan terdapat dalam dirgantara (ruang udara lagi dapat dibendung, hal ini dapat dilihat dari dan antariksa). Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia ditetapkan dengan mengacu kepada alokasi Spektrum Frekuensi Radio Internasional untuk wilayah 3 (region 3) sesuai Peraturan Radio yang ditetapkan oleh International Telecomunication Union (ITU). Tabel alokasi frekuensi nasional Indonesia disusun berdasarkan hasil Final Act World Radio Communication Conference-1997 yang berlangsung di Jenewa, pada bulan November 1997. “Regulasi Frekuensi dan Standarisasi”, http://www.postel. go.id/artikel_c_3_p_93.htm, diakses tanggal 21 April 2014.
156
19
Hal ini dikemukakan dalam pendapat Hakim MK dalam Putusannya Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. ML mengatakan bahwa penguasaan negara yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 dibagi menjadi dua peringkat yaitu peringkat pertama melakukan pengelolaan secara langsung dan peringkat kedua yaitu negara membuat kebijakan dan pengurusan.
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
semakin bertambahnya lembaga penyiaran yang mengajukan ijin penyelenggaraan penyiaran kepada Pemerintah maupun KPI. Perkembangan ini bahkan menjamur ketika perkembangan teknologi internet menjadi salah satu kebutuhan masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatannya. Semakin banyaknya konten siaran yang disiarkan melalui berbagai teknologi, menjadikan adanya kesan bahwa pemerintah dan penegak hukum tidak dapat melakukan kontrol terhadap hal tersebut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siaran-siaran televisi yang tidak dapat memberikan edukasi kepada masyarakat. Konten siaran saat ini lebih kepada memberikan hiburan semata kepada masyarakat tanpa memikirkan dampak dari hiburan tersebut.20 Oleh karena itu, perkembangan masyarakat yang haus akan informasi, berita, sampai dengan hiburan memberikan dampak yang cukup besar dalam perkembangan teknologi. Kebutuhan masyarakat akan informasi, berita, sampai dengan hiburan yang disiarkan melalui media elektronik dapat dilakukan oleh lembaga penyiaran radio maupun lembaga penyiaran televisi. Jumlah lembaga penyiaran saat ini cukup banyak yaitu sebanyak 2.590 lembaga penyiaran.21 Banyaknya jumlah lembaga penyiaran ini mengakibatkan adanya persaingan yang cukup ketat antara lembaga penyiaran yang satu dengan lembaga penyiaran lainnya. Oleh karena itu untuk meningkatkan daya saing antara lembaga penyiaran, maka tidak jarang lembaga penyiaran menggunakan berbagai materi siaran yang tidak lagi sesuai
20
21
Konten siaran ini dapat dilihat dari banyaknya siaran televisi yang mendapatkan teguran dari KPI akan tetapi sering kali teguran KPI tersebut dilanggar berulang kali. Siaran televisi yang menghibur seperti Opera Van Java (OVJ) yang disiarkan oleh TransTv sering kali mendapatkan teguran dari KPI dikarenakan konten siarannya mengandung kekerasan. KPI sudah sering memberikan teguran kepada OVJ maupun kepada TransTV, akan tetapi kesalahan ini berulang kali di lakukan oleh OVJ. http://celebrity.okezone.com/ read/2013/07/16/533/838005/banyak-pelecehan-acara-sahurpesbukers-ovj-ditegur-kpi. Diakses tanggal 6 September 2015. “Format limas di Aceh kontribusi masyarakat untuk eliminasi kesalahan lembaga penyiaran”, http://www.kpi.go.id/index. php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/31701-format-limas-diaceh-kontribusi-masyarakat-untuk-eliminasi-kesalahanlembaga-penyiaran, diakses tanggal 21 April 2014.
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan data aduan masyarakat yang dihimpun oleh KPI, masih banyak lembaga penyiaran yang menyiarkan isi siaran yang terdapat kontent kekerasan atau berbau pornografi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh KPI, tahun 2012, KPI menerima aduan sebanyak 43.704.22 Jumlah ini merupakan rekor terbanyak sejak tahun 2007. Informasi, hiburan dan juga pendidikan yang sehat dan benar merupakan salah satu tujuan adanya lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran dapat melakukan kegiatan penyiarannya dengan menayangkan programprogram yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun programprogram ini antara lain program berita, program hiburan, program pendidikan dan lain sebagainya. Program acara ataupun isi siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran tentu saja harus diawasi melalui suatu lembaga yang bersifat mandiri dan mempunyai kewenangan untuk menjaga agar terselenggaranya suatu siaran yang mendidik dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Adapun lembaga ini sudah dibentuk berdasarkan UU Penyiaran melalui Pasal 6 ayat (4) yang mengatakan bahwa untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk komisi penyiaran. KPI dibentuk dengan sifat mandiri dan bertugas untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyiaran. KPI adalah sebuah lembaga independen yang salah satu tujuan di bentuknya yaitu untuk mengawal dan menjaga tujuan dari dibentuknya undang-undang tersebut. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Pasal 2 UU Penyiaran menegaskan penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu kegiatan penyiaran harus melihat cita-cita bangsa Indonesia yang terkandung didalam 22
“KPI terima 43.704 aduan sepanjang 2012”, http://www. kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/31022-kpi-terima-43704-aduan-sepanjang-2012, diakses tanggal 21 April 2014.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
157
UUD Tahun 1945 dan sesuai dengan Pancasila. Pasal 3 UU Penyiaran menyebutkan bahwa Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Pembentukan KPI sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyiaran tentu saja tidak luput dari berbagai permasalahan-permasalahan yang ada. Berbagai permasalahan yang ada dalam tubuh KPI beraneka ragam, adapun untuk lebih fokus terhadap tulisan ini, maka penulis akan melihat permasalahan yang ada dalam KPI berdasarkan pengaturan (substansi), kelembagaan (struktur), dan maupun segi pelaksanaannya (budaya). Penulis akan mengulas lebih lanjut terkait dengan upayaupaya yang dapat dilakukan untuk membentuk KPI sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyiaran yang dapat melakukan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal.
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) dielaborasi dalam kewenangan KPI yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) yang mengatakan bahwa dalam menjalankan fungsinya, KPI berwenang untuk: a. menetapkan standar program siaran; b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Adapun tugas dan kewajiban KPI diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU Penyiaran yang mengatakan bahwa KPI mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut: a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri A. Permasalahan-Permasalahan KPI terkait; Seperti sudah disebutkan sebelumnya d. memelihara tatanan informasi nasional bahwa KPI merupakan lembaga negara yang yang adil, merata, dan seimbang; dibentuk dalam UU Penyiaran. Adapun fungsi e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti dari KPI disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) yang aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi mengatakan bahwa KPI sebagai wujud peran masyarakat terhadap penyelenggaraan serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi penyiaran; dan serta mewakili kepentingan masyarakat akan f. menyusun perencanaan pengembangan penyiaran. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) tersebut, sumber daya manusia yang menjamin maka fungsi dari KPI hanya sebagai wadah profesionalitas di bidang penyiaran. aspirasi masyarakat saja. Wadah aspirasi yang Kewenangan yang dituangkan dalam Pasal 8 dimaksudkan yaitu dimana masyarakat dapat memberikan aduan kepada KPI terhadap segala ayat (2) UU Penyiaran menggambarkan bahwa kegiatan penyiaran, khususnya terkait dengan KPI mempunyai berbagai kewenangan, yang isi siaran. Penulis berpendapat bahwa hal ini salah satunya yaitu menyusun dan menetapkan dikarenakan nomenklatur dari pemberian fungsi P3SPS. Apabila dikaitkan kembali dengan KPI tidak diberikan secara umum, sehingga fungsi KPI yang bertugas sebagai wadah aspirasi tidak dapat mencakup semua fungsi, tugas, dan masyarakat, maka dapat dilihat bahwa antara kewenangan KPI secara menyeluruh. Fungsi fungsi dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPI tidak sejalan. Selain itu juga dapat dilihat 158
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
dari kewenangan lain yang dimiliki oleh KPI yaitu memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan P3SPS. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi dari KPI yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU Penyiaran. Adapun tugas KPI yang sesuai dengan fungsi dari KPI yaitu tugas untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan masyarakat. Tugas ini sesuai dengan fungsi dari KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU Penyiaran. Ketidaksesuaian antara fungsi dengan kewenangan yang dimiliki KPI ini memberikan dampak terhadap ketidakjelasan argumentasi dari pembentukan KPI itu sendiri. Apabila melihat kembali ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan KPU, maka dapat dilihat bahwa KPI berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan mengontrol program-program dari semua lembaga penyiaran. Disamping itu, undang-undang memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan pemantauan terhadap program-program penyiaran yang ada. Akan tetapi dalam pelaksanaannya saat ini, fungsi, kewenangan, tugas, dan kewajiban KPI belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu, maka fungsi, tugas, dan kewenangan dari KPI memerlukan penyempurnaan dalam pengaturannya. Pengaturan yang dimaksud yaitu dengan mengubah UU Penyiaran khususnya terkait dengan fungsi dari KPI. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang bagi KPI dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Berdasarkan apa yang dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan-permasalahan dalam KPI akan diulas dalam tiga kategori, yaitu pengaturan, kelembagaan, dan pelaksanaan. Kategori Pertama yaitu pengaturan, dimana yang menjadi permasalahan yaitu pengaturan tentang kelembagaan KPI tidak memadai bagi KPI untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Pengaturan tentang keberadaan KPI tidak diatur secara menyeluruh atau tidak secara komprehensif diatur dalam peraturan perundang-undangan, ditambah
lagi tidak ada peraturan pelaksana dalam pembentukan kelembagaan KPI. UU Penyiaran hanya mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut tentang KPI yaitu terkait dengan tata cara penggantian anggota KPI saja.23 Pengaturan tentang tata cara pemberian sanksi, lembaga suporting system KPI, dan proses pemilihan anggota KPI belum diatur dalam UU Penyiaran. Selain itu juga terkait dengan fungsi, tugas, dan kewenangan KPI belum secara komprehensif mengantisipasi perkembangan teknologi di bidang penyiaran. Fungsi, tugas, dan kewenangan KPI yang belum mengantisipasi perkembangan teknologi saat ini, memberikan dampak kepada pemberian sanksi yang dapat dilakukan oleh KPI. KPI saat ini belum dapat memberikan sanksi kepada lembaga atau perusahaan yang melakukan kegiatan penyiaran melalui perangkat digital atau internet. KPI belum mempunyai perangkat aturan yang jelas tentang keberadaan lembaga penyiaran digital dan internet. Belum adanya perangkat ini kemudian yang menjadikan KPI belum dapat memberikan sanksi atau membuat aturan yang jelas mengenai isi siaran yang dilakukan melalui kegiatan digitalisasi atau internet. KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya diberikan perangkat hukum yaitu peraturan yang dibentuk oleh KPI, adapun perangkat hukum ini yaitu P3SPS. Kewenangan pembentukan P3SPS ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b yang mengatakan bahwa KPI berwenang untuk menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. Adapun kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran P3SPS diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d. P3SPS merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh KPI untuk memberikan jaminan kepada masyarakat, bahwa lembaga penyiaran yang melakukan kegiatan penyiaran tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di 23
Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2002 mengatakan bahwa Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI diatur lebih lanjut oleh KPI.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
159
masyarakat. Akan tetapi pengaturan tentang amanat pembentukan P3SPS saat ini belum dapat mengantisipasi perkembangan teknologi dan perkembangan isi siaran yang ada saat ini. Kategori kedua yaitu kelembagaan, kelembagaan KPI saat ini masih berada dalam wilayah “abu”. Hal ini dapat dilihat dari status kelembagaan KPI yang tidak berada di wilayah kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Nomenklatur lembaga negara bantu yang saat ini banyak dipergunakan oleh lembaga negara yang ada di Indonesia belum dikenal secara pasti. Keberadaan lembaga negara bantu ini juga masih banyak diperbincangkan oleh berbagai ahli hukum tata negara di Indonesia. Wilayah abu-abu ini yang kemudian banyak dipertanyakan oleh berbagai stakeholders penyiaran, apakah KPI mengurus masalah isi siaran saja atau berwenang untuk mengeluarkan ijin penyelenggaraan penyiaran. Selain itu, struktur kelembagaan KPI ini juga mempunyai permasalahan tersendiri. Hal ini dilihat dari struktur atau hubungan antara KPI dengan KPID. Berdasarkan UU Penyiaran, KPI dibentuk di tingkat pusat dan di tingkat daerah (KPID).24 untuk menjamin terciptanya suatu lembaga yang mandiri dan menempuh tugas dan tanggung jawabnya, maka KPI Pusat diawasi oleh DPR RI dan KPID diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).25 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa susunan kelembagaan KPI Pusat dan KPID bersifat koordinatif, dimana KPI Pusat dan KPID dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya dilakukan dengan sendiri-sendiri. Hal ini dapat dilihat dari adanya kewenangan KPI dan KPID untuk memberikan sanksi administrasi kepada lembaga penyiaran. Sanksi administrasi yang diberikan oleh KPI atau KPID kepada satu lembaga penyiaran dapat dilakukan secara bersamaan, misalnya ada satu lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran, maka sanksi dapat diberikan oleh KPI dan KPID 24
25
160
Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
secara bersamaan, jadi sanksi yang diterima oleh lembaga penyiaran tersebut ada 2 yaitu yang berasal dari KPI dan berasal dari KPID. Hal ini tentu saja dapat memberatkan lembaga penyiaran yang mendapatkan sanksi tersebut. Hubungan koordinatif juga dapat dilihat dari pembiayaan yang diperoleh dari anggaran negara. Pembiayaan yang diperoleh KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan KPID berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).26 Pembiayaan atau anggaran yang didapatkan oleh KPI Pusat dan KPID juga menjadi permasalahan, dikarenakan adanya kecenderungan tidak proporsionalnya pembiayaan atau anggaran yang diperoleh KPID. Anggaran yang dimiliki atau diperoleh KPID di berbagai provinsi tidak sama, hal ini dikarenakan APBD di setiap provinsi berbeda. Hal ini menyebabkan KPID di daerah belum dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal. Perbedaan pembiayaan ini berimplikasi kepada sarana dan prasarana yang dimiliki oleh masing-masing KPID. KPID yang memiliki anggaran yang besar dari APBD memiliki sarana dan prasarana yang memadai, sehingga dapat melakukan fungsi, tugas, dan kewenangannya dengan baik. Akan tetapi menjadi permasalahan bagi KPID yang memiliki anggaran yang kecil dari APBD, dimana mereka tidak dapat memiliki sarana dan prasarana yang memadai sehingga belum dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal. Permasalahan ini kemudian menimbulkan kecemburuan antara satu KPID dengan KPID yang lainnya, sehingga ada kecenderungan adanya ketidakharmonisan hubungan antara satu KPID dengan KPID lainnya. Ketidakharmonisan ini diakibatkan dari tidak proporsionalnya anggaran yang diperoleh KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Kategori ketiga yaitu terkait dengan pelaksanaan dari peraturan perundangundangan. Seperti telah disebutkan, bahwa KPI 26
Pasal 9 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
memiliki perangkat hukum dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya yaitu P3SPS. P3SPS yang dikeluarkan oleh KPI sudah mengalami berbagai perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan P3SPS yaitu masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran terkait dengan isi siaran yang dilakukan oleh berbagai lembaga penyiaran. Adapun KPI saat ini sudah mengeluarkan berbagai surat teguran baik secara lisan maupun secara tertulis kepada lembaga penyiaran tersebut. Akan tetapi, teguran secara lisan maupun tertulis tersebut, seringkali tidak patuhi oleh lembaga penyiaran. Seperti telah disebutkan sebelumnya, hal ini terjadi pada saat salah satu lembaga penyiaran mendapatkan surat pemberhentian mata acara dari KPI, lembaga penyiaran tersebut kemudian berganti nama saja dengan kemasan mata acara yang sama. KPI memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif terkait dengan pelanggaran atas dilanggarnya P3SPS, adapun hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d UU Penyiaran. Pelaksanaan akan pemberian sanksi administratif ini tidak berjalan cukup maksimal, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh KPI dalam mengawasi isi siaran. Sarana dan prasarana dalam mengawasai isi siaran yang dimiliki KPI dapat dikatakan sudah tidak sesuai dengan kemajuan teknologi saat ini. Permasalahan-permasalahan ini membuat KPI sebagai lembaga yang berfungsi untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara maksimal. Isi siaran yang tidak sesuai dengan P3SPS memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Pengaruh yang cukup cepat dari isi siaran kepada masyarakat memberikan pemikiran bahwa penyiaran memerlukan suatu aturan yang cukup komperhensif, dimana aturan tersebut wajib di implementasikan oleh semua pemangku kepentingan. Pengaturan tentang isi siaran yang diatur oleh KPI harus memberikan ruang bagi lembaga penyiaran untuk melaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik
dari lembaga penyiaran yaitu adanya kesadaran bagi lembaga penyiaran untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan penyiaran. B. Upaya Penguatan Kelembagaan KPI Upaya penguatan KPI merupakan hal yang harus dilakukan oleh negara dalam hal ini pembentuk kebijakan. Adapun hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat khususnya terkait dengan kegiatan penyiaran di Indonesia. KPI sebagai lembaga negara yang dibentuk oleh undangundang memerlukan berbagai pembenahan di berbagai sektor, adapun pembenahan ini dilakukan untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang ada di dalam KPI. Upaya penguatan KPI akan diulas dalam tiga kategori seperti yang dikatakan oleh Friedman dalam sistem hukum, yaitu melihat dari peraturan, kelembagaan, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Adapun upaya penguatan kelembagaan ini dilakukan melalui perubahan Penyiaran. Adapun perubahan UU Penyiaran ini merupakan salah satu undangundang yang masuk dalam Program Legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015 – 2019 dan menjadi prioritas pembahasan tahun 2015. Kategori pertama yaitu berkaitan dengan pengaturan. Seperti telah diulas sebelumnya bahwa permasalahan yang ada dalam KPI yaitu belum memadainya peraturan perundangundangan yang mengatur tentang KPI. Belum memadainya peraturan KPI ini menimbulkan permasalahan bagi KPI, dimana KPI belum dapat secara maksimal melaksanakan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Pengaturan tentang KPI secara komprehensif tentu saja diperlukan, adapun tujuan dari adanya aturan secara komprehensif ini untuk memberikan perangkat hukum bagi KPI dalam membentuk lembaga, melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, dan produk hukum yang dapat dibentuk dan digunakan bagi KPI. Perubahan UU Penyiaran perlu menyempurnakan pengaturan terkait dengan KPI. Adapun penyempurnaan ini yaitu dengan
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
161
melakukan memperjelas bentuk kelembagaan KPI, mempertegas fungsi, tugas, dan kewenangan KPI, dan merinci kembali produk hukum yang dapat dibentuk oleh KPI. Sebagai lembaga negara yang Independent, tentu saja KPI perlu mengkhususkan bidang pekerjaan dari KPI sehingga KPI dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangan KPI dengan maksimal. Pengkhususan ini dimaksudkan agar KPI tidak lagi terganggu dengan pekerjaan yang bukan menjadi bagian dari pekerjaan KPI. Fungsi, tugas, dan kewenangan KPI perlu dilihat kembali, adapun tujuannya yaitu untuk memaksimalkan fungsi, tugas, dan kewenangan KPI agar dapat diimplementasikan oleh KPI. Adapun fungsi KPI yaitu sebagai perwujudan hak masyarakat dalam mengatur isi Siaran di Indonesia. Oleh karena itu dalam menjalankan fungsi dari KPI, maka tugas KPI harus ditambahkan dengan tugas untuk melakukan penelitian dan juga sebagai mediator dalam sengketa penyiaran. Adapun untuk melakukan fungsi dan tugas KPI, maka KPI diberikan kewenangan tambahan yaitu untuk memberikan rekomendasi perpanjangan ijin Penyelenggaraan Penyiaran, melakukan audit terhadap pelaksanaan pemeringkatan tingkat kepemirsaan yang diselenggarakan oleh lembaga pemeringkatan, membentuk panel ahli yang bersifat sementara yang terkait dengan permasalahan dan/atau dampak isi siaran, dan melakukan literasi media. Kategori kedua yaitu tentang kelembagaan. Pasal 1 angka 13 UU Penyiaran mengatakan bahwa KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UU Penyiaran sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 tersebut, maka dapat dilihat bahwa dengan tegas UU Penyiaran mengatakan bahwa KPI merupakan lembaga negara. Oleh karena itu, maka KPI sebagai lembaga negara, harus memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. KPI sebagai lembaga negara, tentu saja harus memiliki struktur yang jelas dalam susunan 162
lembaga negara yang ada di Indonesia. Apabila melihat keberadaan lembaga negara yang ada di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa terdapat 35 (tiga puluh lima) lembaga negara yang harus dibentuk berdasarkan UUD Tahun 1945. Pembentukan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD Tahun 1945 merupakan keharusan atau kewajiban negara untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut. Adapun selain lembaga negara yang di sebutkan dalam UUD Tahun 1945, Negara dapat membentuk lembaga atau badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.27 Pembentukan lembaga atau badan lain ini harus dilakukan melalui mekanisme pembentukan undang-undang. Yang dapat dikategorikan sebagai badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman adalah lembaga-lembaga atau badan-badan yang tugasnya berkaitan dengan peradilan dan penegakan hukum, yaitu berhubungan dengan fungsi-fungsi: 28 a) penyelidikan, b) penyidikan, c) penuntutan, d) pembelaan atau advokasi, e) penyelesaian sengketa dan mediasi atau pedamaian, f) peradilan, penghakiman dan penghukuman, g) pemasyarakatan, h) pelaksanaan putusan pengadilan selain pemasyarakatan, i) pemulihan nama baik atau rehabilisasi, j) pemberian grasi, k) pemberian amnesti, l) pemberian abolisi, m) persaksian, dan n) pemberian keterangan berdasarkan keahlian. Menurut Jimly Asshiddiqie29, UUD Tahun 1945 pasca perubahan menganut pemisahan kekuasaan dengan mengembangkan mekanisme checks and balances yang lebih fungsional. Pemisahaan kekuasaan yang ada dalam UUD Pasal 24 ayat (3) UUD Tahun 1945 Jimly Asshiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD 1945, hal. 2, http://www. jimly.com, diakses tanggal 21 April 2014 29 Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara Loc.cit. 27 28
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
Tahun 1945 tersebut dengan jelas bahwa terdapat pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Adapun kekuasaan atas parlemen ada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemegang kekuasaan kehakiman atau yufikatif ada pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Adapun pemegang kekuasaan eksekutif ada pada Presiden dan Wakil Presiden yang juga berperan sebagai kepala pemerintahan. UUD Tahun 1945 juga mengamanatkan dibentuknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Yudisial (KY). Adapun lembaga tersebut ditujukan untuk melakukan pengawasan terkait dengan bidang anggaran dan juga pelaksanaan tugas dan kewenangan pemegang kekuasaan yudikatif. Keberadaan BPK dan KY ini tidak dapat dikatakan berdiri sendiri. Keberadaan BPK dan KY ini harus dikaitkan antara tugas dan kewenangan lembaga tersebut dengan tugas dan kewenangan lembaga yang menjadi mitra kerjanya, misalnya saja BPK berkaitan dengan DPR dan DPD, sedangkan KY berkaitan dengan MA. Bentuk organisasi lembaga negara saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan ini dikarenakan adanya kewenangan ataupun tugas yang harus dilakukan, akan tetapi lembaga yang sudah ada atau lembaga yang sudah dibentuk berdasarkan UUD Tahun 1945 tersebut tidak dapat melaksanakannya. Oleh karena itu, pembentukan badan atau lembaga tersebut dimaksudkan untuk melakukan tugas dan kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan tersebut diatas. Selain lembaga-lembaga negara tersebut, bentuk keorganisasian negara modern dewasa ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Ada dua tingkatan, pertama Tentara, organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral. Sedangkan pada tingkatan kedua ada Komnas HAM, KPU, Komisi Ombudsman, KPPU, KPK, KKR, dan KPI. Komisi atau lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat independen dan seringkali memiliki fungsi
yang sering dicampur, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi administratif, dan bahkan semijudikatif. Dalam kaitannya dengan hal ini terdapat istilah independent self regulatory bodies yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat, lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan Kongres Amerika Serikat.30 Kedudukan KPI sebagai lembaga negara bantu tentu saja menjadi perdebatan tersendiri. Konsep lembaga negara bantu di Indonesia belum dapat diterima sepenuhnya oleh berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan masih banyak pendapat para ahli yang mengatakan bahwa konsep lembaga negara bantu tentu saja harus melekat kepada fungsi yang dimiliki oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, apabila melihat fungsi, tugas, dan kewenangan dari KPI, dapat dilihat bahwa KPI merupakan lembaga yang membantu fungsi, tugas, dan kewenangan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Apabila melihat dari anggaran yang diperoleh KPI, maka dapat dilihat bahwa KPI mendapatkan anggaran dari APBN yang melekat kepada anggaran Kementerian Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan jelas bahwa saat ini KPI berada di bawah koordinasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. Melihat fungsi, tugas, dan kewenangan KPI, maka perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa KPI mempunyai kedudukan tersendiri di luar dari ketiga pemisahan kekuasaan yang ada dalam konsep trias politica. KPI sebagai lembaga negara independen seharusnya berada di luar dari ketiga kekuasaan tersebut. Akan tetapi apabila melihat fungsi, tugas, dan kewenangan KPI saat ini yang lebih ditekankan kepada pengawasan isi siaran, maka KPI sebagai lembaga negara sudah tepat sebagai mitra dari Kementrian Komunikasi dan Informatika. Hal ini juga bertujuan untuk menciptakan sinergi yang sama antara KPI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menyelenggarakan kegiatan penyiaran. 30
Ibid, hal. 79.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
163
Seperti disebutkan sebelumnya oleh Gunawan A Tauda yang mengatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting,31 maka apabila melihat ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Penyiaran, maka dapat dilihat bahwa KPI merupakan lembaga independen yang tugas dan kewenangannya diatur dalam UU Penyiaran, serta sebagai wujud peran masyarakat dalam bidang penyiaran.32 Apabila melihat definisi yang dikemukakan dalam UU Penyiaran, maka perlu melihat kembali landasan pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia. Pertama, apabila dikatakan bahwa tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa sebelum dibentuknya KPI sebagai independent self regulatory bodies permasalahan di bidang penyiaran sangat banyak. Pelanggaranpelanggaran isi siaran sering terjadi, dimana banyak lembaga penyiaran yang menyiarkan isi siaran yang tidak sesuai dengan nilai agama, moral, kemanusiaan, keadilan, budaya, dan kepribadian bangsa. Pemerintah yang dalam hal ini yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika dianggap lalai dan tidak mengidahkan hal-hal yang telah terjadi di dunia penyiaran. Kedua, berbicara terkait dengan tidak independennya lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan penyiaran sebelum diundangkannya UU Penyiaran, maka dapat dilihat bahwa sebelum diundangkannya UU Penyiaran, pengawasan penyelenggaraan penyiaran berada di Departemen Penerangan, dimana Departemen Penerangan merupakan salah satu lembaga atau institusi yang berada di bawah kepemimpinan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Apabila melihat struktur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengawasan dalam bidang penyiaran belum dapat memberikan jaminan bahwa isi siaran atau program siaran netral. Adanya pengawasan 31 32
164
Gunawan A Tauda, Komisi Negara Independen. Loc.Cit. Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
oleh Departemen Penerangan menimbulkan berbagai tafsir dikalangan penggiat penyiaran, dimana masih banyak yang berargumentasi bahwa pemerintah dapat melakukan intervensi terhadap isi siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran. Oleh karena itu, pengawasan terhadap jalannya kegiatan penyiaran di Indonesia perlu membentuk lembaga khusus yang bertugas untuk mengawasi isi dan program siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan kementerian yang bertugas melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyiaran yaitu dengan dibentuknya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dimana kementerian ini bertugas untuk melakukan kegiatan khususnya terkait dengan penyiaran yang diamanatkan dalam UU Penyiaran. Pembentukan Kemenkominfo ini belum dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat terkait dengan isi siaran secara maksimal. Banyaknya tugas dan kewajiban yang diemban oleh Kemenkominfo, membuat banyak isi siaran yang luput dari penglihatan Kemenkominfo. Oleh karena itu perlu adanya membentuk satu lembaga tersendiri yang khusus mengawasi terkait dengan isi siaran yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang khusus mengawasi kegiatan penyiaran. Hal ini dapat dilihat beberapa negara yang sukses dalam mengawasi isi siaran di negaranya asing-masing. Australia memiliki lembaga negara yang khusus untuk mengawasi kegiatan penyiaran di negara tersebut yang bernama Australian Communication and Media Authority (ACMA). Tugas dari ACMA yaitu sebagai regulator dari kegiatan broadcasting, internet, komunikasi radio, dan telekomunikasi.33 Amerika memiliki Federal 33
“The Acma story”, http://www.acma.gov.au/theACMA/ About/The-ACMA-story/Communicating/the-acmastory, diakses tanggal 5 Mei 2015
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
Communications Commisions (FCC) sebagai lembaga independen yang berada di bawah kongres Amerika yang bertugas untuk mengatur terkait tentang peraturan perundang-undangan tentang komunikasi dan sebagai pengatur tentang inovasi teknologi yang berkaitan dengan penyiaran.34 Kelima, tekanan dari lembaga-lembaga internasional dalam pembentukan KPI memang dapat dikatakan tidak ada, akan tetapi tekanan dari dalam khususnya masyarakat yang peduli akan penyiaran di Indonesia menginginkan adanya suatu lembaga yang dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat terkait dengan isi siaran. Adapun perlindungan ini yaitu dengan membentuk suatu aturan yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kelembagaan KPI mutlak diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sebagai lembaga negara yang independen, maka KPI perlu melakukan berbagai perubahan struktur kelembagaan yang dapat memperkuat lembaga KPI. Perubahan dilakukan pertama kali yaitu dengan merubah struktur kelembagaan KPI. Hubungan kelembagaan antara KPI dengan KPID perlu diubah dari koordinatif menjadi hierarkis. Adapun hal ini bertujan agar tidak ada lagi terjadinya ketidakseragaman anggaran yang dimiliki oleh KPID dan juga agar terjalinnya kerja sama yang baik antara KPI dengan KPID. Hal ini juga berguna bagi lembaga penyiaran agar tidak lagi terjadinya tumpang tindih sanksi yang diberikan oleh KPI. Selain hubungan antara KPI dengan KPID, perlu juga penguatan kelembagaan KPI dengan memberikan dukungan sistem yang menunjang pekerjaan KPI dengan membentuk sekretariat jenderal dan menambahkan tenaga ahli bagi KPI. Adapun hal ini dapat digunakan KPI untuk meningkatkan pekerjaan KPI dalam mengawasi isi siaran. Bentuk lembaga negara yang jelas dan juga struktur lembaga yang hierarkis diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dalam tubuh KPI. Selain 34
“What we do”, https://www.fcc.gov/what-we-do, diakses tanggal 5 Mei 2015
itu diharapkan dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya dengan maksimal. Kategori ketiga yaitu pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang fungsi, tugas, dan kewenangan KPI telah disebutkan, oleh karena itu, dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangan tersebut KPI memerlukan produk hukum yang dapat dibentuk oleh KPI dan dapat digunakan sebagai perangkat hukum yang dapat digunakan KPI. Akan tetapi terlebih dahulu, KPI perlu secara tegas diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam perubahan UU Penyiaran, perlu secara tegas kembali mengamanatkan kepada KPI untuk memberikan sanksi administratif yang tegas kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. Adapun sanksi administratif ini berupa: a. teguran tertulis; b. pemindahan jam tayang; c. pengurangan durasi isi siaran yang bermasalah; d. penghentian sementara isi siaran yang bermasalah; e. denda administratif yang besarannya ditetapkan melalui Peraturan KPI; dan/atau f. penghentian isi siaran yang bermasalah. Sanksi administratif diberikan oleh KPI ketika sebuah lembaga penyiaran melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. KPI selain diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi administratif, juga diberikan kewenangan untuk membentuk perangkat hukum bagi KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. KPI diberikan kewenangan untuk membentuk P3SPS sebagai pedoman bagi lembaga penyiaran dalam melakukan kegiatan penyiaran di Indonesia. Adapun isi dari P3SPS ini yaitu mengatur tentang isi siaran yang harus sesuai dengan ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Selain itu, P3SPS dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, menjamin pengakuan serta
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
165
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Berdasarkan ketiga kategori tersebut, maka diharapkan KPI dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal. Pemberian kewenangan KPI yang secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi KPI untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenanganya. Selain itu, diharapkan KPI dapat menjamin bahwa isi siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran adalah isi siaran yang benar, layak sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.35 KPI diharapkan dapat memberikan efek jera kepada lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga KPI tidak dipandang sebelah mata oleh lembaga penyiaran. IV. PENUTUP KPI merupakan lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Pengaturan tentang KPI yang ada dalam UU Penyiaran belum memadai bagi KPI dalam melaksanan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Hal ini disebabkan oleh belum diaturnya secara komprehensif fungsi, tugas, dan kewenangan KPI dalam UU Penyiaran. Permasalahan lainnya yaitu kelembagaan KPI yang belum ideal, dimana KPI masih bersifat koordinatif yang menyebabkan banyak permasalahan dalam pemberian sanksi dan pembiayaan KPI. Hal ini kemudian yang menyebabkan adanya ketidakharmonisan antara KPI dengan KPID. Permasalahan lainnya yaitu KPI belum dapat mengimplementasikan peraturan perundang-undangan dengan maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak lembaga penyiaran yang tidak mematuhi sanksi dari KPI. Perubahan UU Penyiaran merupakan momentum yang tepat bagi KPI dalam berbenah diri. Adapun pembenahan ini dilakukan di 35
166
berbagai sektor. Adapun pembenahan pertama yaitu dengan mengatur secara komprehensif pembentukan lembaga KPI. Pengaturan secara komprehensif ini yaitu dengan menambahkan fungsi, tugas, dan kewenangan KPI dari yang sudah ada saat ini. Selain itu juga perlu diatur mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota KPI secara terstruktur. Pembenahan kedua yaitu dengan kejelasan status kelembagaan KPI sebagai lembaga negara independen. Pembenahan ketiga yaitu dengan merubah struktur kelembagaan KPI dengan KPID yang semula koordinatif menjadi hierarkis. Selain itu juga perlu mengatur secara jelas perangkat hukum yang dapat digunakan KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Amir Effendi Siregar, Menegakkan Demokratisasi Penyiaran: Mengecah Konsentrasi, Membangun Keanekaragaman, Jakarta: Komunitas Pejaten, 2012. Anwar Arifin, Sistem Penyiaran Indonesia, Jakarta: Pustaka Indonesia, 2012. Doly, Denico, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengajuan Judicial Review Terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, dalam buku Politik Hukum, Jakarta : Setjen DPR RI, 2011, Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen: Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Yogyakarta: Rajawali Gedongan Baru Pringgolayan, 2012. Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin, Dasardasar penyiaran: Sejarah, Organisasi, Operasional, dan Regulasi, Jakarta: Kencana, 2011.
Anwar Arifin, Sistem Penyiaran Indonesia, Jakarta: Pustaka Indonesia, 2012, hal. 99.
NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015
Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Pres, 2004.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik _____________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Indonesia Tahun 2002 Nomor 4252. Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006. Lawrence M. Friedman, American Law: An Internet Introduction, New York: W.W. Norton & Jimly Asshiddiqie, “Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD 1945”, Company, 1984. http://www.jimly.com, diakses tanggal 21 Muhamad Mufid, Komunikasi dan Regulasi April 2014. Penyiaran, Jakarta: Kencana dan UIN Press, Rhiza S. Sadjad, “Likuidasi Departemen 2010. Penerangan”, www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/ makalah/likuid.rtf, diakses tanggal 22 Jurnal Oktober 2015 HAS Natabaya dalam tulisan Jeane Neltje Saly, Hubungan Antar Lembaga Negara dalam “The Acma story”, http://www.acma.gov.au/ theACMA/About/The -ACMA- story/ Perspektif Pasca Amandemen UUD 1945, Communicating/the-acma-story, diakses Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 4 Nomor tanggal 5 Mei 2015. 3 September 2007. Lawrence M. Friedman, “On Legal “What we do”, https://www.fcc.gov/what-wedo, diakses tanggal 5 Mei 2015. Development,” Rutgers Law Review, Vol. 24 1969.
“Regulasi Frekuensi dan Standarisasi”, http:// www.postel.go.id/artikel_c_3_p_93.htm, diakses tanggal 21 April 2014.
Makalah T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-komisi Nasional “format limas di Aceh kontribusi masyarakat dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, untuk eliminasi kesaralahan lembaga makalah disampaikan dalam Diskusi penyiaran”, http://www.kpi.go.id/index. Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/31701Kelembagaan Negara Pascaamandemen format-limas - di-aceh-kontribusiUUD 1945, diselenggarakan oleh masyarakat-untuk-eliminasi-kesalahanKonsorsium Reformasi Hukum Nasional, lembaga-penyiaran, diakses tanggal 21 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September April 2014. 2004. “KPI terima 433.704 aduan sepanjang 2012”, http://www.kpi.go.id/index.php/lihatPeraturan Perundang-Undangan terkini/31022-kpi-terima-43-704-aduanIndonesia, Undang-Undang Dasar Negara sepanjang-2012, diakses tanggal 21 April Republik Indonesia Tahun 1945. 2014.
DENICO DOLY: Upaya Penguatan Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia...
167