UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN BAMBANG HARTONO
Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, Jl. ZA Pagar Alam No. 26 Bandar Lampug
Abstract Relation Bilateral and also multilateral between Indonesia with the other;dissimilar state cause the current go out entry of foreigner become to mount the. Consequence from that human being movement is to the number of happened by the that good immigration collision is administrative collision and also Doing An Injustice of Immigration like existence of abuse of immigration permit, passport forgery, visa forgery and others by international syndicate organized and also oknum-oknum foreigner alone, others they conduct the doing an injustice narcotic, prostitution and terrorism,. Strive the straightening of law passing immigration action, not yet full executed. Where straightening of law of doing an injustice of immigration only limited to action imposition which is in the form of administrative do not reaching process criminal justice. Kata Kunci: Law Enforcement, Doing an Injustice, Immigration. I. PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dilihat dari letak geografis dan demografisnya Indonesia merupakan salah satu negara tempat perlintasan antar negara yang strategis. Adapun konsekuensi dari kemajuan era globalisasi meliputi adanya perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi adalah kecenderungan meningkatnya hubungan antar bangsa secara global yang mendorong arus lalu lintas manusia antar negara, maka keterkaitan tersebut menimbulkan kompleksitas permasalah an mobilitas
manusia antar negara. Menurut Pasal 26 butir (1) UUD 1945, yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Sedangkan menurut Pasal 1 butir (6) UU no. 9 tahun 1992, orang asing adalah orang bukan Warga Negara Republik Indonesia. Potensi kekayaan alam yang melimpah menjadikan negara Indonesia sebagai pusat perhatian negara-negara di dunia. Hubungan bilateral maupun multilateral antara Indonesia dengan negara lain menyebabkan arus keluar masuknya orang asing menjadi meningkat pula. Hal ini perlu diamati dan diantisipasi secara strategis untuk tetap menjaga,
memelihara dan meningkatkan kualitas pembangunan nasional. Oleh karena itu, kerjasama yang dilakukan baik secara regional maupun internasional harus dapat memberikan manfaat yang positif bagi kepentingan bangsa Indonesia. Penjelasan Undang-Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian telah disebutkan bahwa pelayanan dan pengawasan keimigrasian berdasarkan prinsip selective policy (M. Iman Santoso, 2004: 4), dimana dinyatakan bahwa orang-orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban juga tidak bermusuhan baik terhadap rakyat maupun negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diberikan izin masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia. Dikatakan bahwa prinsip selective policy ini menyatakan bahwa orang yang memberikan manfaat dapat diberikan izin masuk dan yang membahayakan dan ketertiban terhadap bangsa dan negara tidak dapat diberikan izin untuk masuk dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. Pemberian izin masuk ini terdapat banyak kebijakan untuk menarik wisatawan seperti adanya bebas visa bagi orang atau negara-negara tertentu atau kebijakan tertentu lain yang mempromosikan Indonesia sebagai negara yang kondusif untuk penanaman modal asing dan ditambah dengan semakin meningkatnya lalu-lintas orang asing yang masuk dan keluar dari satu negara ke negara lain yang menyebabkan arus informasi dan mobilitas orang juga semakin cepat dan global, demikian pula yang terjadi di Indonesia dimana orang-orang tersebut 62
masuk ke Indonesia seperti tidak terdapat jarak antar negara dan negara tidak dapat lagi melakukan sekat-sekat antar negara atau dalam istilah disebut juga Borderless World (Dunia Tanpa Batas). Dan menurut Pasal 2 UU No. 9 tahun 1992 bahwa setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan ke luar atau masuk wilayah Indonesia. Meskipun masuk atau keluar wilayah Indonesia merupakan hak warga negara Indonesia, tetapi bukan berarti hak tersebut tanpa batas, melainkan dibatasi oleh hukum yang mengatur batasan-batasan hak tersebut. Sebagaimana pendapat dari Theodore Rosevelt bahwa aturan tanpa kebebasan dan kebebasan tanpa aturan sama dengan destruktif. Artinya pemenuhan hak harus berjalan sesuai dengan peraturan.(Hamid Awaluddin, 2007: 25). Dengan demikian hak warga negara Indonesia untuk mengadakan perjalanan ke luar dan masuk wilayah Indonesia juga dibatasi antara lain dengan keharusan untuk memiliki surat perjalanan resmi atau paspor melalui tempat yang telah ditentukan. Konsekuensi daripada pergerakan manusia itu adalah banyaknya terjadi pelanggaran keimigrasian baik itu pelanggaran administratif maupun Tindak Pidana Keimigrasian yang dilakukan seperti adanya penyalahgunaan izin keimigrasian, pemalsuan paspor, pemalsu an visa dan lain sebagainya oleh sindikat internasional yang terorganisir maupun oknum-oknum orang asing secara perorangan. Pada umumnya mereka melakukan tindak pidana narkotika dan prostitusi selain itu juga terorisme, seperti yang banyak diberitakan media masa dan elektronik dewasa ini. Seperti pada awal tahun lalu telah ditangkap sebanyak 38 wanita
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012
berasal dari Eropa Timur dan China daratan, di sebuah hotel kawasan Pluit Jakarta. Setelah diperiksa, selain telah melakukan pelanggaran dengan melakukan penyalahgunaan dokumen, ternyata mereka juga sebagian besar bekerja pada sektor yang diistilahkan dengan Pekerja Seks Komersial dan sebagai anggota jaringan pengedar narkoba internasional. Hal ini sudah tentu mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban nasional, di mana negara mengharapkan kedatangan orang asing akan memberikan dampak positif bagi pembangunan, namun yang terjadi mereka malah melakukan hal-hal yang dapat merusak moral, mental dan citra bangsa Indonesia. Fenomena ini harus dicermati sebagai suatu ancaman terhadap stabilitas pertahanan dan keamanan negara khususnya di bidang sosial dan budaya. Oleh karena itu, dengan pertimbangan telah menyangkut nasib bangsa ini, maka semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah perlu untuk meningkatkan kerjasama untuk mananggulanginya. Orang asing yang menyalahgunakan perizinan pada umumnya bertempat tinggal dengan cara kos di rumah-rumah warga sangat sulit untuk diawasi oleh jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk mengantisipasinya itu perlu diadakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah melalui pemerintahan di bawahnya. Berdasarkan kenyataan tersebut maka proses hukum pro justisia maupun non justisia merupakan suatu bagian daripada akibat pelanggaran keimigrasian, maka tidak dapat dihindari bahwa tantangan bagi jajaran imigrasi untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum dengan mempersiapkan para peja-
bat imigrasi untuk menjadi penyidik, yaitu penyidik yang handal dan profesional seperti mengikuti pelatihan penyidikan pada Pusdik Reserse Kriminal dalam rangka pengembangan sumber daya manusia dari penyidik Imigrasi di masa datang, yang juga harus didukung oleh kesiapan jajaran dari segi Organisasi dan Tata Kerja, sarana dan prasarana maupun perangkat peraturan perundang-undangannya. Pelaksanaannya terdapat suatu fakta dilematis yang terjadi bahwa sangat jarang pelaku tindak pidana keimigrasian yang dibawa ke pengadilan (Pro Justisia) yang terlebih dahulu melalui proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), namun kebanyakan dari pelaku tindak pidana keimigrasian tersebut lebih banyak dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa pen deportasian/pengusiran serta penangkalan. Landasan yuridis mengenai pengaturan lalu lintas keluar masuknya orang asing di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yang menetapkan kewajiban-kewajiban serta batasanbatasan tertentu. Pengaturan mengenai keimigrasian ini merupakan hak dan wewenang Negara Republik Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelanggaran keimigrasian masih sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya instansi terkait yang terlibat tetapi tidak diiringi dengan koordinasi yang baik.
Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian (Bambang Hartono)
63
II.PEMBAHASAN Pengertian Tindak Pidana Keimigrasian Tindak pidana keimigrasian merupakan setiap perbuatan yang melanggar peraturan keimigrasian berupa kejahatan dan pelanggaran yang diancam hukuman pidana. Penegakan hukum keimigrasian di wilayah Republik Indonesia baik secara preventif maupun represif ditempuh antara lain dengan melalui tindakan keimigrasian. Tindak pidana keimigrasian pada dasarnya selain sifatnya sebagai kejahatan internasional dan transnasional serta dilaksanakan secara terorganisir, juga bersifat sangat merugikan dan membahayakan masyarakat sehingga perlu ancaman pidana yang berat agar memberikan efek jera bagi orang asing yang melakukan pelanggaran. Tindak pidana keimigrasian telah diatur dalam UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian berikut dengan sanksi pidana yang dikenakan kepada pelanggarnya baik WNI maupun WNA. Jenis-Jenis Tindak Pidana Keimigrasian Pasal 62 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian tertuang klasifikasi tindak pidana yang dimungkinkan dilakukan berkenaan dengan keimigrasian, yaitu terdiri atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diartikan sebagai perbuatan perilaku menyimpang, bertentangan dengan hukum dan perbuatan tercela menurut pandangan masyarakat. Tindakan yang termasuk kejahatan dalam klasifikasi tindak pidana keimigrasian yang diatur dalam undang-undang ini adalah antara lain kegiatan keluar atau masuk wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan di tempat-tempat Pemerik64
saan Imigrasi. Pemeriksaan berkenaan dengan data diri yang bersangkutan, sangat penting dalam rangka pengawasan terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan negara. Pemeriksaan juga berkenaan dengan kebenaran data ataupun keaslian visa atau izin keimigrasian, yang dalam hal ini telah diatur pada Pasal 49 UU. No. 9 Tahun 1992 dengan ancaman pidana enam tahun dan denda paling banyak Rp. 30.000.000,(tiga puluh juta rupiah). Dalam hal melakukan pemalsuan atau menggunakan secara sadar Surat Perjalanan Republik Indonesia palsu serta memberikannya kepada orang lain yang tidak berhak dapat dikenakan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 55 UU. No. 9 Tahun 1992. Pasal 56 di dalam diatur pula mengenai ancaman pidana terhadap pelaku membuat dan mencetak Surat Perjalanan Republik Indonesia tanpa hak dan melawan hukum. Dan menurut Pasal 59 UU. No. 9 Tahun 1992 bagi pejabat imigrasi yang memberikan Surat Perjalanan Republik Indonesia kepada seseorang yang diketahui tidak berhak menerimanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Bagi warga asing yang datang atau tinggal di wilayah Indonesia, juga tidak luput dari ancaman pidana apabila yang bersangkutan melakukan tindak pidana seperti yang telah diatur dalam Bab Ketentuan Pidana UU. No. 9 Tahun 1992. Adapun tindakan tersebut adalah : 1. Menyalahgunakan izin keimigrasi an atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin keimigrasian yang diberikan kepadanya diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) atau denda paling banyak Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012
2.
3.
rupiah) yaitu pada Pasal 50. Ketentuan pidana dalam pasal ini bersifat alternatif yaitu dapat berupa hukuman penjara atau dapat diganti dengan hukuman denda. Izin keimigrasiannya telah habis dan tetap berada dalam wilayah Indonesia melampaui 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin yang diberikan diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) atau denda paling banyak Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) terdapat dalam Pasal 52 dimana ketentuan pidana dalam pasal ini berkaitan dengan Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 51. Jika keberadaannya tanpa izin keimigrasian yang berlaku tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari, dikenakan biaya beban. Jika tidak mau membayar biaya beban dikenakan Pasal 51. Jika keberadaannya tanpa izin keimigrasian melebihi waktu 60 (enam puluh) hati, tidak dikenakan biaya beban tapi langsung dikenakan pasal ini (Moh Arif, 1997: 87). Pasal 53, orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau yang pernah diusir atau dideportasi dan berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) atau denda paling banyak Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Orang asing yang dimaksud dalam pasal ini adalah yang dikenal sebagai Imigran Gelap yaitu yang terdiri dari : a. Masuk dan keberadaannya di wilayah Indonesia secara tidak sah, masuknya tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi dan keberadaannya tanpa izin
keimigrasian (illegal entry and illegal stay); b. Masuknya ke wilayah Indonesia secara sah, kemudian menghilang dan keberadaannya selanjutnya tidak lagi memiliki izin keimigrasiannya telah habis berlakunya, over stay atau illegal stay Tindak pidana yang termasuk klasifikasi pelanggaran adalah meliputi : 1. Memberi keterangan yang tidak benar mengenai identitas diri dan keluarganya, perubahan status sipil dan kewarganegaraan serta perubahan alamatnya; tidak mampu memperlihat kan Surat Perjalanan atau dokumen keimigrasian pada saat diperlukan dalam rangka pengawasan; serta tidak mendaftarkan diri jika berada di wilayah Indonesia lebih dari 90 (sembilan puluh hari). Melakukan pelanggaran terhadap ketentuan administrasi seperti: a. Tidak membayar biaya beban kelebihan waktu sepanjang tidak melebihi waktu 60 (enam puluh) hari dari izin keimigrasian yang diberikan; b. Tidak membayar biaya beban terhadap alat angkut yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) sesuai dengan pasal 51 UU No.9 tahun 1992; 2. Pasal 60 memberikan kesempatan menginap kepada orang asing dan tidak melaporkan kepada yang berwenang dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan orang asing tersebut diancam dengan
Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian (Bambang Hartono)
65
pidana penjara paling lama 1 (satu) atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). 3. Pasal 61 menyebutkan orang asing yang telah mempunyai izin tinggal tetapi tidak melapor kepada Kantor Polri di tempat dimana ia tinggal dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak yang bersangkutan memperoleh izin tinggal diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal pada Bab Ketentuan Pidana dalam UU. No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, terlihat bahwa pengawasan terhadap orang asing ini dinilai cukup ketat. Hal ini diberlakukan tidak lain adalah dengan maksud upaya penegakan hukum terhadap keimigrasian. Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian 1. Pengawasan Keimigrasian Pengawasan keimigrasian tidak hanya pada saat mereka masuk dan keluar dari wilayah Indonesia, tetapi juga selama mereka berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan-kegiatannya. Pengawasan adalah suatu kegiatan yang menentukan apa yang sedang diselenggarakan yakni mengevaluasi penyelenggaraan dan bilamana perlu mengambil tindakan korektif sehingga penyelenggaraan itu berlangsung sesuai dengan rencana. (Maskan, 1997: 44). Pengawasan keimigrasian harus dilaksanakan secara terpadu dan di koordinasikan dengan baik sehingga dapat menghindarkan terjadinya tindakan yang kurang semestinya terhadap orang asing. 66
Tindakan berlebihan dan mengabaikan kebiasaan internasional yang berlaku dalam praktik antar negara dapat menimbulkan protes dan mungkin dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat (unfriendly act) terhadap negara asal kewarganegaraan orang asing. (Havid Sudrajat, 1990: 28). Dalam rangka membantu kementeri Hukum dan HAM menjalankan tugas pengawasan orang asing, maka di Kementrian Hukum dan HAM dibentuklah Biro Pengawasan Orang Asing. Tugas ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pengawasan orang asing, kementrian Hukum dan HAM diberi wewenang khusus yang tidak dimiliki oleh instansi lain untuk mengambil tindakan tertentu sebagai suatu tindakan administartif imigrasi terhadap orang asing. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam melakukan pengawasan diperlukan kepekaan indera atau sensitivity dari petugas imigrasi terhadap semua peristiwa yang dapat diduga dan atau mengandung unsur-unsur terjadinya pelanggaran keimigrasian. Adapun bentuk pengawasan terhadap orang asing adalah sebagai berikut : 1. Pengawasan administratif, yaitu pengawasan yang dilakukan dengan melalui penelitian surat-surat atau dokumen berupa catatan pengumpulan data dan penyajian maupun penyebaran informasi secara manual dan elektronik tentang lalu lintas dan keberadaan orang asing dengan cara : a. Penyusunan Daftar Nama Orang Asing, pembuatan Daftar Orang Asing sejak masuk, perpanjangan izin kunjungannya kecuali Orang Asing pemegang Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS)
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012
b. Kartu Pengawasan ; Setiap pemberian izin keimigrasian dibuat kartu pengawas an dan tersimpan tersusun sesuai dengan tanggal habis masa berlakunya dan tanggal keberangkatannya. Dalam proses ini pengawasan dilakukan oleh masing-masing Kantor Imigrasi yang memberikan pelayanan perizinan terhadap Orang Asing tersebut dan dalam proses pemberian perizinan tersebut para petugas diharuskan meneliti manfaat dan keuntungan dari Orang Asing tersebut untuk tetap diberi izin tinggal di Indonesia. Namun demikian suatu kenyataan bahwa Sistem Pengawasan Administratif ini tidak mampu menyiapkan semua Orang Asing yang masuk dan berada di Indonesia. Terlebih berdasarkan kebijakan Pemerintah ada beberapa Negara (+11 negara) yang warganya diberikan fasilitas bebas visa untuk datang dan masuk serta berada di Indonesia. Dengan demikian warga dari Negara yang diberi fasilitas Bebas Visa Kunjungan Singkat tidak lagi diseleksi melalui permohonan aplikasi visa (cukup menunjukkan paspor di TPI ) dapat diberikan izin tinggal selama 30 hari, dan selama tinggal di Indonesia tidak ada kewajiban bagi Orang Asing itu untuk mendaftarkan diri/melaporkan diri ke Kantor Imigrasi sehingga kartu pengawasan atas nama mereka (Orang Asing) tidak pernah tercantum di sana. Maka pengawasannya sangat bergantung pada kejelian petugas imigrasi yang ada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, sementara itu pengawasan selanjutnya
bergantung pada pengawasan lapangan. 2. Pengawasan lapangan, yaitu pengawasan yang dilakukan berupa pemantauan, razia, dengan mengumpulkan bahan keterangan pencarian orang dan alat bukti yang berhubungan dengan tindak pidana keimigrasian. Pemantauan dilakukan secara rutin dan dalam bentuk operasi. Dalam pelaksanaan Pengawasan Orang Asing, pihak imigrasi melakukan kerjasama dengan instansi terkait yang dikenal dengan Tim Koordinasi Pengawasan Orang Asing (Tim SIPORA). Manfaat yang diharapkan, tim ini bukan hanya melaksanakan tugas Pengawasan Orang Asing melainkan juga membentuk jalinan kerjasama, har monisasi peraturan dan pelaksanaannya, melancarkan mekanisme pertukaran informasi dan pengambilan keputusan dalam rangka pengawasan orang asing dapat berjalan efektif. Adapun tata cara pengawasan terhadap orang asing telah diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yaitu sebagai berikut : a. Pengumpulan data, keterangan dan informasi mengenai keberadaan dan kegiatan orang asing yang masuk dan keluar wilayah negara Republik Indonesia; b. Pendaftaran orang asing yang berada di wilayah Indonesia; 1) Pemantauan keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Republik Indonesia; 2) Pengolahan data dan informasi kegiatan orang asing; dan
Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian (Bambang Hartono)
67
3) Koordinasi dengan badan atau instansi pemerintah yang bidangnya menyangkut orang asing; Dalam penjelasan Pasal 21 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian, tercantum yang dimaksud dengan badan atau instansi pemerintah yang bidang tugasnya menyangkut pengawasan terhadap orang asing adalah sebagai berikut : 1. Tingkat Pusat, yang terdiri dari Kementrian Luar Negeri, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Pertahanan dan Keamanan, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Agama, Badan Koordinasi Intelijen Negara, Markas Besar Angkatan Bersenjata RI, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kepolisian RI. 2. Tingkat Propinsi, antara lain : Pemda Propinsi, Kanwil Departemen Tenaga Kerja, Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kanwil Agama, Kejaksaan Tinggi, Komando Daerah Militer dan Kepolisian Daerah. 3. Daerah lain yang terdapat Kantor Imigrasi antara lain Pemda kabupaten/kota, Kantor Tenaga Kerja, Kantor Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Agama, Kejaksaan Negeri, Komando Distrik Militer dan Kepolisian Resort 2. Tindakan Keimigrasian Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 disebutkan bahwa tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan yang berbahaya yang patut diduga akan 68
berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum. Tindakan keimigrasian ini dilaku kan sebagai pelaksanaan kebijaksanaan pengawasan di bidang keimigrasian terhadap orang asing yang berada di wilayah Republik Indonesia yang melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Tindakan keimigrasian dikenakan kepada setiap orang asing di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berupa : 1. Diduga melakukan kegiatan berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan yang meliputi : a. Melakukan propaganda atau bersimpati terhadap ideologi dan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; b. Menghalang-halangi orang untuk melakukan ibadah menurut agama yang diakui di Indonesia; c. Merusak dan membahayakan dan tidak sesuai dengan norma kesopanan umum; d. Ejekan-ejekan yang menimbulkan tanggapan keliru terhadap adat istiadat masyarakat; e. Memberikan gambaran yang keliru tentang pembangunan sosial dan budaya Indonesia; f. Menyuburkan perbuatan cabul melalui tulisan, gambaran dan lainnya serta mabuk-mabukan di tempat-tempat umum; g. Tidak mempunyai biaya hidup, melakukan tindakan pengemisan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama; h. Merusak atau menganggu tertib sosial dan masyarakat termasuk lingkungan pekerjaannya;
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012
i. Menimbulkan ketegangan kerukunan rumah tangga atau masyarakat dan merangsang timbulnya kejahatan; j. Mengobarkan semangat atau hasutan yang dapat mendorong sentimen kesukuan, keagamaan, keturunan dan golongan; k. Memberikan kesempatan melakukan perjudian, pengadudombaan, di antara semua rekan atau suku dan golongan. 2. Pelanggaran ketentuan perundangundangan sebagai hukum positif di wilayah Republik Indonesia, seperti : a. Diduga atau patut diduga akan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 48 sampai Pasal 61 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; b. Diduga atau patut diduga akan melanggar peraturan perundangundangan lainnya setelah dikoordinasikan dengan instansi yang berwenang. Berdasarkan rumusan ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan tindakan keimigrasian adalah segala perbuatan yang menyangkut keamanan negara dan melanggar hukum termasuk hukum keimigrasian. Adapun bentuk tindakan keimigrasian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Penolakan masuk ke wilayah Indonesia, yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 22 dan Pasal 48 ayat (2) huruf d UU. No. 9 Tahun 1992; 2. Penolakan keluar dari wilayah Indonesia diatur dalam Pasal 14 UU. No. 9 Tahun 1992; 3. Pencegahan, diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13, sedangkan
penangkalan diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 21 UU. No. 9 Tahun 1992; 4. Dikenakan biaya beban, yang diatur dalam Pasal 45 UU. No. 9 Tahun 1992; 5. Pembatasan, perubahan dan pembatalan izin keberadaan atau izin keimigrasian diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a UU. No. 9 Tahun 1992; 6. Larangan untuk berada di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b UU. No. 9 Tahun 1992; 7. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia, diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c UU. No. 9 Tahun 1992; 8. Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia, diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf d UU. No. 9 Tahun 1992; Tindakan keimigrasian berupa penolakan masuk ke wilayah Indonesia, keputusan tindakan keimigrasian oleh pejabat imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dilakukan dengan menerakan tanda penolakan di paspornya. Sedangkan bagi orang asing yang telah melakukan atau terlibat dalam perkara tindak pidana yang telah cukup bukti melakukan tindak pidana keimigrasian diajukan kepengadilan. Untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian, berdasarkan Pasal 47 ayat (1) UU. No. 9 Tahun 1992 disebutkan bahwa selain Penyidik Pejabat Polri juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkup departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian diberi wewenang
Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian (Bambang Hartono)
69
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah mereka yang diangkat dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan masih aktif di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tidak mengurangi wewenang Penyidik Pejabat Polri untuk menyidik tindak pidana keimigrasian, hal mana berlakunya Criminal Integrated Justice System. Artinya apabila kedapatan warga asing melakukan tindak pidana imigrasi, maka pejabat imigrasi selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil akan menyidik orang asing tersebut, setelah selesai proses penyidikan tersebut maka berkas perkara diserahkan kepada Penyidik Polri untuk diperiksa kembali. Setelah diperiksa kelengkapannya maka berkas perkara diteruskan kepada Penuntut Umum, jika berkas tersebut dinyatakan selesai oleh Penuntut Umum akan dilanjutkan ke Pengadilan untuk diperiksa dan diputus sesuai dengan hukum yang berlaku. Setelah menjalani pidananya dikembalikan kepada pihak imigrasi dan untuk menunggu proses deportasi dimasukkan ke dalam karantina imigrasi. Dengan ketentuan yang baru, sekarang karantina imigrasi fungsinya diganti dengan Rumah Detensi Imigrasi yang lokasinya dimasing-masing Kantor Imigrasi. Detensi (orang asing penghuni Detensi Imigrasi) hanya diperbolehkan tinggal selama 7 (tujuh) hari, selebihnya Detensi harus dikirim ke Ruang Detensi Imigrasi (Rudenim) yang wilayah kerjanya meliputi Kantor Imigrasi tersebut. 70
Pendeportasian bagi orang asing yang telah menjalani hukuman pidana selalu diberikan sanksi pencekalan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. 3. Karantina Imigrasi Karantina imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenakan proses pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian lainnya. Namun karantina imigrasi diganti dengan Rumah Detensi Imigrasi berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.05IL.02.01 Tahun 2006 tentang Rumah Detensi Imigrasi. Lebih lanjut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut menjelaskan : Pasal 1 ayat (1) Rumah Detensi Imigrasi yang selanjutnya disingkat RUDENIM adalah tempat penampungan sementara orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulanan ke negaranya. Pasal 1 ayat (2) Ruang Detensi Imigrasi adalah ruang di Direktorat Jenderal Imigrasi, Kantor Imigrasi, atau di Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang berfungsi sebagai ruang pendetensian Sementara, untuk menunggu proses penempatan ke RUDENIM atau Pengusiran/Deportasi. Pasal 2 menyatakan bahwa penempatan orang asing di RUDENIM atau Ruang Detensi Imigrasi, dalam hal yang bersangkutan: a. Berada di wilayah Negara Republik Indonesia tanpa izin keimigrasian yang sah; b. Menunggu proses pengusiran atau deportasi; c. Menunggu proses Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012
mengenai permohonan keberatan yang diajukan; d. Terkena Tindakan Keimigrasian; dan e. Telah selesai menjalani hukuman dan belum dapat dipulangkan atau pengusiran/deportasi. Jangka waktu penampungan dalam RUDENIM tidak terbatas, berbeda dengan lama waktu penahanan di Rumah Tahanan yang ditentukan batasnya oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 4. Pencegahan dan Penangkalan Menurut ketentuan Pasal 1 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yang dimaksud dengan pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar negeri dari wilayah Indonesia dengan alasan tertentu. Sedangkan penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orangorang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Pelaksanaan pencegahan dan penangkalan adalah wewenang Kementroian hokum dan HAM yang dikeluarkan melalui Direktorat Jenderal Imigrasi. Selain itu permintaan pencegahan dan penangkalan menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Pasal 2 dapat dilakukan oleh : 1. Ketua Mahkamah Agung; 2. Menteri Pertahanan dan Keamanan; 3. Jaksa Agung; 4. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara atau pejabat yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Jaksa Agung dan diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM. Berdasarkan Pasal 17 UU. No. 9 tahun 1992 penangkalan terhadap orang
asing dilakukan karena hal-hal sebagai berikut : 1. Diketahui atau diduga terlibat dengan sindikat kejahatan internasional; 2. Pada saat berada di negaranya sendiri atau di negara lain bersikap bermusuhan terhadap Pemerintah Indonesia atau melakukan perbuatan yang mencemarkan nama baik bangsa dan negara Indonesia; 3. Diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keamanan dan ketertiban umum, kesusilaan, agama dan adat kebiasaan masyarakat Indonesia; 4. Atas permintaan suatu negara, orang asing yang berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara tersebut karena melakukan kejahatan yang juga diancam pidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia; 5. Pernah diusir atau dideportasi dari wilayah Indonesia; 6. Alasan lain yang berkaitan dengan keimigrasian yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah; Pengaturan pencegahan dan penangkalan dalam Undang-Undang Keimigrasian terutama terhadap orang asing adalah sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang keimigrasian yang menganut prinsip selective policy yaitu suatu kebijaksanaan yang didasarkan pada prinsip yang bersifat selektif. berdasarkan prinsip ini, hanya orang-orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan baik terhadap rakyat maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian (Bambang Hartono)
71
yang diizinkan masuk dan ke luar wilayah Indonesia. Orang asing dengan alasan tertentu seperti sikap permusuhan terhadap rakyat dan Negara Republik Indonesia untuk sementara waktu dapat ditangkal masuk ke wilayah Indonesia. Hal ini berlaku pula bagi WNI yang dengan alasan tertentu pula dapat dicegah untuk ke luar wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1), Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) UU No.9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap : 1. Pencegahan adalah : a. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; b. Menteri Keuangan Republik Indonesia; c. Jaksa Agung Republik Indonesia; d. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 2. Penangkalan untuk orang asing adalah : a. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; b. Jaksa Agung Republik Indonesia; c. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 3. Penangkalan untuk WNI adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Presden yang diketuai oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang anggotanya terdiri atas unsur-unsur : a. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; b. Kejaksaan Agung Republik Indonesia; c. Departemen Luar Negeri; d. Departemen Dalam Negeri; 72
e. Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional; dan f. Badan Koordinasi Intelijen Negara; Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana keimigrasian merupakan tindak pidana yang diatur oleh undang-undang tersendiri yaitu UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang tersebut telah diatur jenis-jenis yang termasuk tindak pidana keimigrasian termasuk sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelanggaran keimigrasian tersebut. Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian yang dilakukan oleh orang asing telah diatur dalam undang-undang keimigrasian secara jelas dan tegas. Termasuk proses penga-wasan terhadap orang asing yang keluar dan masuk serta melakukan kegiatan di wilayah Indonesia. Pengawas an tersebut tidak hanya dilakukan oleh instansi Imigrasi saja tetapi juga berkoordinasi dengan instansi Pemerintah lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Agama, Dinas Tenaga Kerja dan instansi terkait lainnya. Selain melalui pengawasan orang asing, upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana keimigrasian lainnya melalui tindakan keimigrasian dan proses pencegahan dan penangkalan (CEKAL). Pengawasan dan penindakan keimigrasian adalah suatu tindakan yang berkelanjutan, artinya tidak mungkin dilakukan penindakan keimigrasian sebelum melalui proses pengawasan keimigrasian. Pelaksanaan pengawasan dan penindakan keimigrasian dilakukan dengan berbagai pendekatan yaitu pendekatan keamanan dan pendekatan keselamatan. Dalam hal ini juga dijelaskan tentang pendetensian terhadap orang asing yang sedang dalam proses pendeportasian
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012
(pengusiran/pemulangan orang asing kenegara asalnya setelah dikenakan tindakan keimigrasian).
III. PENUTUP Pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana keimigrasian terhadap orang asing yang melakukan pelanggaran hukum belum dilakukan secara maksimal karena pada kenyataannya walaupun telah merujuk pada undang-undang keimgrasian tentang tata cara pelaksanaan penegakan hukum melalui tindakan keimigrasian, namun belum sepenuhnya dilaksanakan. Dimana penegakan hukum tindak pidana keimigrasian hanya sebatas pengenaan tindakan yang berupa administratif tidak sampai proses peradilan pidana (projustisia). Pertimbangannya adalah untuk menyingkat waktu proses pemberian sanksi terhadap orang asing yang melakukan pelanggaran keimigrasian tersebut karena proses peradilan pidana terkesan lebih rumit dan merepotkan. Mulai dari proses pemberkasan hingga disidangkan di pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Havid Sudradjat, Pengantar Ringkas Keimigrasian, Kantor Imigrasi Malang, Malang, 1990. Maskan. dkk, Pengantar Management, Politeknik Unibraw, Malang, 1997. M. Iman Santoso. Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, UI Press Jakarta, 2004.
________________. Perspektif Imigrasi dalam United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2007. Moh Arif, Komentar Undang-Undang Keimigrasian beserta Peraturan Pemerintah, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, Jakarta, 1997. Perundang-Undangan dan Peraturan Lainnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 03-PR.07.04 Tahun 1991 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Imigrasi. Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-314.IL.02.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Tindakan Keimigrasian.
Upaya Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Keimigrasian (Bambang Hartono)
73
Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-336.IL.02.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan atas Tindakan Keimigrasian. Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-338.IL.01.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pengawasan Orang Asing.
74
Sumber Lainnya Hamid Awaluddin, Seminar tertulis HUT Imigrasi tahun 2007, Perspektif Insan Imigrasi yang sesuai Dengan Tugas Pokok dan Fungsi, Jakarta, 2007
KEADILAN PROGRESIF Volume 3 Nomor 1 Maret 2012