UPAYA PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA ( Review Terhadap Buku Hukum Nasional: Ekletisisme Hukum Islam dan Hukum Umum Karya Prof. A. Qodri Azizy, Ph.D)
Tholhatul Choir1 Pendahuluan Sejak Indonesia merdeka, sudah muncul pertanyaan dari bangsa kita sendiri: “Hukum apa yang harus kita pakai sebagai bangsa Indonesia yang merdeka?” Pertanyaan seperti ini wajar karena memang pada hakekatnya terjadi benturan antara tiga sistem hukum (baca: Barat, Adat dan Islam). Menurut Prof. Qodri, pertanyaan di atas memang tidak bisa dijawab dengan memformalisasikan hukum Islam secara ideologis begitu saja. Jawaban yang disepakati adalah perlunya Hukum Nasional –meskipun sosoknya belum mudah ditunjuk hingga sekarang- yang berasal dari tiga sumber: hukum modern atau internasional, hukum adat atau kebiasaan dan hukum agama dalam hal ini Islam. Buku yang ditulisnya itu, diakuinya sendiri, dihadirkan dalam upaya mencapai kesatuan paham dan pandangan mengenai satu sistem hukum Nasional sehingga hanya dikenal satu system hukum yaitu Hukum Indonesia. Juga satu ilmu hukum yaitu ilmu hukum Indonesia. Dilihat dari pendidikannya, tampaknya tokoh yang mempunyai istri Ir. Hj. Siti Hajar dan empat putra-putri: Hilda Kamalia, Hilma Rosyida, Gilman Azizy dan Hikman Aizy ini cukup menguasai dua bidang hukum: hukum syari`ah dan hukum umum. Betapa tidak, setelah selesai dari Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang 1980, ia segera memperoleh gelar MA di University of Chicago AS tahun 1988 dan memperoleh gelar Ph.D di universitas yang sama tahun 1996. Reputasinya bisa dibilang sangat baik. Beliau menjadi dosen di almamaternya pada tahun 1981. Sepulang dari studi magister dan doktoral, segera mempersiapkan pendirian Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang pada 1997. Menjadi Pembantu Rektor I akhir tahun1997. Menjadi rektor IAIN Walisongo Semarang tahun1999-2003. Menjadi Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama 5 Februari 2002. Dan menjadi visiting professor di McGill University Montreal Kanada tahun1998, mengajar mata kuliah Islamic Law in Indonesia dan Social History of Islamic Law. Terakhir, ia menjabat sebagai Sekertaris Menko Kesra Kabinet Indonesia Bersatu sebelum akhirnya meninggal 19 Maret 2008 2 1
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang, sedang menyelesaikan Program Doktor Hukum Islam di IAIN Sunan Ampel Surabaya 2 Prof. Qodri juga menulis karya-karya lain seperti: Membangun IAIN Walisongo ke Dapan (Semarang, 2001), Ekletisisme Hukum Nasional (Yogyakarta, 2002), Pendidikan (Agama) untuk
Pintu-Pintu Potivisasi Hukum Islam di Indonesia Buku yang direview dalam tulisan ini sebenarnya nyaris sama dengan edisi sebelumnya. Hanya sedikit tambahan, perbedaan judul dan penerbit. Judul sebelumnya adalah Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Mungkin yang ingin digapai akademisi yang lahir di Kendal Jateng, 24 Oktober 1955 ini bukan lagi eklektisismenya melainkan hukum nasionalnya. Eklektisisme dalam buku ini hanya pendekatan akademik semata, bukan paham. Menurut alumnus MTs dan MA Futuhiyyah Mranggen Demak 1974 ini, Eclectic -mengutip kamus Webter`s- adalah choosing, selecting from various systems, doctrines, or sources. Sedang Eclecticism adalah the method or system of an eclectic. Dengan pendekatan ini, cita-cita hukum nasional dan ilmu hukum nasional akan terwujud. Prof.
Qodri
ini
memulai
bukunya
dengan
kajian
sejarah
hukum
Islam
dan
membandingkannya dengan dua sistem hukum dunia lainnya (baca: Roman Law System dan Common Law System). Beliau sampai pada kesimpulan bahwa: pertama, meski esensi hukum Islam banyak dipengaruhi pemikiran ahli hukum (mujtahid) dan dapat berubah mengikuti perubahan sosial, perbedaan utama hukum Islam dengan hukum yang lain adalah sumbernya yaitu Wahyu Tuhan;3 kedua, antara satu sistem hukum dengan lainnya saling mempengaruhi. Karena itu, wajar dan harus disadari bahwa perkembangan hukum di dunia telah dan akan selalu terjadi eklektisisme antara sistem-sistem hukum itu;4 dan ketiga bahwa hukum Islam sesungguhnya lebih dekat dengan Comman Law System. Dalam kasus Indonesia, meski hukumnya adalah warisan Belanda yang menganut Roman Law System, tetap saja mengikuti Common Law Sistem sebagaimana berkembang di Amerika Serikat, tentunya dengan sedikit modifikasi. 5 Di negeri ini, sampai sekarang memang terjadi benturan tiga sistem hukum (baca: Barat dalam hal ini warisan Belanda; Adat dan Islam). Ironisnya, hukum Islam biasanya disederhanakan sebagai kewenangan Peradilan Agama semata, sebagaimana dipahami selama ini.
Etika Sosial (Semrang 2002), Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Jakarta, 2003), Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Agama Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta, 2003), Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern (Jakarta, 2003), Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam (Yogyakarta, 2004). 3 Lihat Qodri Azizi, Ph.D., Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 46-57. 4 Ibid., hlm. 122. 5 Hal ini berbeda dengan Satjipto Raharjo yang berpendapat bahwa system hukum di Indonesia digolongkan pada Ramon Law System. Ibid., hlm. 106. 121.
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
17
Dari sinilah kemudian, Prof. Qodri menemukan dan menawarkan kepada pembaca beberapa celah yang bisa dilalui dimana hukum Islam dan ilmu hukum Islam (baca: fiqh) bisa mengisi penuh Hukum Nasional dan Ilmu Hukum Nasional. Pertama, Arah kebijakan GBHN tahun 1999 yang tidak lain adalah: “menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undang warisan kolonial
dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan reformasi melalui program legislasi.”6 Arah kebijakan GBHN produk reformasi ini semakin mempertegas keberadaan hukum Islam -yang merupakan hukum Agama- sebagai salah satu bahan baku Hukum Nasional. Kedua, kenyataan bahwa aliran hukum di Indonesia sebenarnya tidak sama dengan legal positivism Belanda. Sebaliknya, justru lebih dekat dengan model Amerika Serikat yang legal realism. Hanya saja ada perbedaan fundamental yaitu adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Karena itu hukum di Indonesia, dinyatakan Prof. Qodri sebenarnya beraliran legal realism plus atau Rechtsvibding plus.7 Ini berarti mengandaikan adanya peran hakim yang tidak semata memindahkan pasal undang-undang ke amar putusannya, tetapi –demikian Prof. Qodri mengutip Paul Scholten-, juga menjalankan rechtsvinding (turut serta menemukan hukum) dalam pengertian yang lebih luas, meskipun tidak sampai pada kebebasan mutlak apakah mau menggunakan undang-undang atau tidak (freie rechtsvinding).8 Konsekuensi dari aliran ini, mengutip R Soeroso, mengharuskan hakim untuk berpegang pula pada hukum lain atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.9 Ini artinya hukum Islam juga dapat menjadi bahan baku dalam praktek dan kerja hukum di pengadilan. Ketiga, adanya sumber hukum selain undang-undang di atas, yang dimaksud adalah kebiasaan, doktrin dan jurisprudensi.10 Dalam hal ini hukum Islam pasti tercakup dalam adat kebiasaan (customary law/ living law) karena memang telah dipegangi oleh mayoritas pengikutnya. Positivisasi hukum Islam biasanya memang mengarah kepada sasaran utamanya yaitu pembentukan undang-undang. Namun tetap saja sistem hukum Indonesia menganut rechtsvinding plus yang sangat membuka lebih kemungkinan diberlakukannya aturan lain. Dalam tradisi hukum Islam sendiri
6
Ibid., hlm. 211. Ibid., hlm. 265. 8 Pendapat penting ini dikutip Prof. Qodri dari Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2000), I, hlm. 36, 158 dan 160. 9 Prof. Qodri mengutip dari R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 92-93. 10 Lagi-lagi Prof. Qodri mengutip Kansil dan Soeroso dari dua buku di atas. 7
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
18
dikenal istilah ‘urf atau `adah yang berarti kebiasaan yang dapat menjadi salah sumber hukum. 11 Ini berarti positivisasi hukum Islam menemukan titik temunya dari dua arah berbeda.12 Keempat, doktrin atau pendapat ahli hukum dapat menjadi dasar keputusan hakim dalam kerja hukum di pengadilan. Hanya saja, Prof. Qodri tidak sepakat dengan R. Soeroso yang berpendapat bahwa untuk menjadi dasar keputusan, doktrin harus terlebih dahulu menjadi putusan hakim (jurisprudensi). Bagi Prof, Qodri, kalau doktrin harus menjadi keputusan hakim, maka ia menjadi jurisprudensi. Sementara jusriprudensi sudah menjadi sumber tersendiri. Karena itu, sudah sewajarnya ketika berbicara pendapat ahli hukum, maka termasuk pula pendapat ahli hukum Islam, juga pendapat agama lainnya.13 Selain itu, dalam ilmu hukum, dikenal istilah Rechtboek yang diartikan kitab hukum yang berbeda dengan Wetboek (undang-undang). Rechtboek berfungsi sebagai “pedoman” hakim termasuk dijadikan sumber hukum sebagai wujud pendapat ahli hukum. Prof. Qodri berkeinginan bahwa kitabkitab fiqih yang berlaku di Indonesia seharusnya juga mempunyai posisi yang sama sebagai Rechtboek, sama dengan buku-buku ilmu hukum dalam kacamata ilmu hukum Indonesia (Indonesian Jurisprudence). Era Reformasi sekarang ini dipandang Prof. Qodri sebagai kesempatan emas dan sekaligus tantangan bagi kajian hukum Islam. Upaya positivisasi hukum Islam merupakan keharusan baik dalam kontek kajian akademik melalui proses eklektisisme maupun mayoritas penduduk melalui proses demokratisasi.14 Karena itu, masih menurut Prof. Qodri, kajian hukum Islam di Indonesia harus ada reorientasi. Sebaliknya, kajian hukum umum –yang masih banyak berupa warisan penjajah- harus segera disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sebenarnya. Kajian hukum Islam harus berorientasi pada hukum Nasional, tidak ekslusif, tidak melulu membahas persoalan halal haram dan ibadah mahdhah, meskipun tanpa meninggalkan maqasid syari`ah untuk rahmah lil alamin. Sebaliknya hukum umum di Indonesia juga harus berarti hukum Nasional, bukan hukum Barat. Sedangkan hukum Barat atau internasional itu sendiri hanya bahan perbandingan semata. Teori hukum Belanda juga bahan untuk perbandingan semata, bukan identik dengan hukum umum yang biasanya dipahami secara keliru sebagai Hukum Nasional. 15
11
Dalam hal ini, Prof. Qodri merujuk pada tulisan Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 89-91. 12 Qodri, Hukum Nasional …, hlm. 279. 13 Ibid., hlm. 281. 14 Prof. Qodri memberi contoh kasus ini dengan UU dalam bidang layanan ekonomi syariah yang bukan lagi sebagai ideologi yang menjadi ancaman bagi system konvensional yang sudah ada, namun menjadi alternative yang siapa saja dapat memanfaatkannya, baik Muslim maupun Nonmuslim. Ibid., hlm. 290. 15 Ibid., hlm. 309
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
19
Hukum Islam: Pemasok Utama Hukum Nasional Secara jujur harus dikatakan, buku ini berhasil membuka banyak pintu bagi hukum Islam untuk berkompetisi menjadi Hukum Nasional. Karenanya, dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah pemasok utama Hukum Nasional. Beberapa data segar yang ditampilkan juga menyuguhkan optimisme bangsa ini, lebih khusus umat Islamnya. Ada data tentang hukum Barat yang sebenarnya berasal dari hukum yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak awal sejarahnya sampai mencapai puncak keemasannya di abad ke-8M, ketika ilmu pengetahuan berpusat di Andalusia. Ada juga data tentang kegerahan ahli hukum Indonesia dalam hasil sebuah Seminar Hukum Nasional terhadap keberadaan hukum warisan kolonial yang masih tersisa. Begitu juga data-data sejarah tentang perkembangan hukum Islam yang tentu segar dan akurat. Lepas dari itu, buku ini memang menggunakan sekitar 68 (enam puluh delapan) sumber yang kredibel. Beberapa tokoh-tokoh yang karyanya dikutip di sini antara lain: Pemikiran Islam= Fazlurrahman, Bassam Tibi, HR. Gibb, Montmogary Watt (orientalis); Hukum Islam= mulai dari Ibnu Rusyd, Wael Hallaq, Norman Anderson, hingga Sahal Mahfud; Sejarah Hukum Islam= mulai dari Ahmad Hasan, Noel J. Coulson, Joseph Schacht hingga Goerge Makdisi; Ushul Fiqh= mulai dari Abu Yusuf, Ibnu al-Qayyim hingga Abdul Wahhab Khallaf; Filsafat Hukum & Filsafat Hukum Islam= Roscoe Pound, Friedmann, Subhi Mahmassani, Muslihuddin; Ilmu Hukum= Kansil, Satjipto Raharjo, Apeldoorn dan R. Soeroso; Hukum Islam di Indonesia= Bernard Weis, Daniel S. Lev, Mark Cammack, Sayuti Tholib, Bustanul Arifin, Idris Ramulyo dan lain-lain. Hanya secara kuantitas, dari beberapa sumber di atas ada yang dikutip relatif banyak. Di antaranya, Prof. Qodri sengaja mengutip berkali-kali pemikiran Abdul Hamid Abu Sulaiman dari bukunya, The Islamic Theory of International Relations: New Directions for Islamic Methodology and Thought tentang perlunya redefinisi kedudukan non Muslim.16 Hal ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan betapa hukum Islam dapat mengalami perubahan akibat pengaruh sosial budaya dan politik. Pada gilirannya, perubahan ini sangat memungkinkan terjadinya eklektisisme dengan hukum yang lain. Dari hasil Seminar Hukum Nasional 1963 yang ditulis K. Wantjik Saleh, beliau menemukan inspirasi menarik bahwa ternyata hukum kolonial merupakan penghambat bagi pembentukan hukum nasional berdasarkan Pancasila karena itu perlu dihapuskan. 17 Untuk menjelaskan sejarah hukum Islam di Indonesia, beliau banyak mengutip tulisan Muhammad Daud Ali bertajuk Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Dari tulisan inilah, Prof. Qodri 16
Kata Abdul Hamid, sebagaimana dikutip Prof. Qodri, “Freedom of Ideology and religion assisted by peaceful and orderly means of practice and expression is necessary for healty, stable, expanding and progressive societies”. Ibid., hlm. 52. 17 Ibid., hlm. 147.
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
20
mendapat cerita tentang nasib hukum Islam di masa lalu dengan munculnya teori-teori seperti receptio in complexu, teori receptie, dan terakhir teori reception acontrario. Menurut tulisan Daud Ali, teori receptie telah sampai ajalnya sejak berlakunya UU Perkawinan No.1/1974. Prof. Qodri banyak mengambil konsep-konsep ushul fiqh dari Abdul Wahhab Khallaf, misalnya tentang pengertian fiqh, ushul fiqh, ijtihad, sumber-sumber hukum islam, konsep tentang al-ahkam al-khamsah, urf shahih dan urf bathil. Prof. Qodri juga banyak mengutip pendapat R. Soeroso dari bukunya Pengantar Ilmu Hukum, untuk memperkuat jalan positivisasi hukum Islam yang ia temukan bahwa pendapat ahli hukum dapat menjadi dasar keputusan hakim di pengadilan. Meskipun pada akhirnya harus menentang Soeroso tentang keharusan menjadi jurisprudensi.18
Cita-cita Hukum Nasional: Sebuah Perjuangan Panjang Relatif banyaknya sumber kredibel tentang hukum Islam di atas ternyata tidak menutup kemungkinan adanya ketimpangan jika dibanding dengan sedikitnya kajian hukum Islam yang disuguhkan. Mungkin Prof. Qodri sudah lelah ketika harus menjelaskan definisi konsep-konsep hukum Islam secara bertele-tele tanpa masuk ke kajian yang lebih dalam. Saya tidak tahu apakah kajian hukum umum-nya juga dirasa kurang dalam bagi mahasiswa fakultas hukum. Saya hanya mengira bahwa mahasiswa fakultas syari`ah masih menunggu-nunggu kalau yang mereka cari adalah kajian mendalam tentang hukum Islam. Atau memang buku ini sebenarnya dimaksudkan untuk memperkenalkan hukum Islam kepada mahasiswa hukum semata. Yang juga harus disadari, buku itu lebih merupakan kajian metodik, meski belum sampai menawarkan metodologi aplikatif bagi proses eklektisisme. Selain menunggu metodologi yang lebih aplikatif, misalnya seperti pemikiran an-Na`im dan Syahrur, selanjutnya buku ini layak diikuti dengan kajian tematik untuk menentukan bidang-bidang mana yang dapat diprioritaskan secara eklektis demi pembinaan Hukum Nasional. Prof. Qodri memang sengaja menunjuk beberapa mata kuliah yang dapat menggunakan buku itu sebagai bahan rujukan, seperti: Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Ilmu Hukum Islam atau Pengantar Fiqh, Perbandingan Hukum dan terakhir tentunya mata kuliah Hukum Islam di Indonesia. Hanya saja, masyarakat umum yang dikatakan beliau juga menjadi sasaran dan dapat memanfaatkan buku ini, menurut saya, masih harus dipikirkan ulang. Buku ini juga kurang pas disebut sebagai buku pengantar, selain karena harus membahas tiga disiplin hukum yang luas (dengan contoh-contoh yang minim, sebagaimana diakui sendiri), juga karena lebih merupakan gagasan seorang ahli hukum semata terhadap cita-cita bangsa yang besar.
18
Ibid., hlm. 280-281.
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
21
Senada dengan itu, melihat waktu terbitnya, dapat dikatakan bahwa buku itu ditulis tentu masih dengan sisa semangat reformasi. Namun sampai sekarang era itu telah berjalan sepuluh tahun dan banyak pihak kecewa atau setidaknya menyangsikan masa depan pembaharuan hukum di negeri ini. Karena itu, saya harus jujur bahwa semakin lama semakin sulit menemukan cita-citanya, jika memang kondisi politik tidak berubah19 atau setidaknya tidak ada gerakan konkrit dan hanya wacana semata.
Catatan Akhir Prof. Qodri meninggalkan amanat kepada para pembaca bahwa sudah seharusnya ahli hukum di Indonesia melakukan kajian kritis terhadap pelbagai teori dan jenis hukum di dunia, tanpa harus meninggalkan kajian hukum di Indonesia, termasuk hukum Islam yang menjadi bagian dari sumbernya. Selanjutnya mewujudkan kesatuan ilmu hukum Indonesia (Indonesian Jusrisprudence). Sebagai orang yang beberapa kali bertemu, saya terkesan kepribadian Prof. Qodri sebagai tokoh yang lebih suka menghindari konfik. Inilah yang mungkin memaksanya memilih jalan eklektisis dalam mengkomunikasikan pandangan hukumnya dari pada jalan konfrontatif dan konflik. Yang mungkin belum sempat disampaikan pakar hukum Islam alumnus Amerika Serikat ini adalah bahwa pemikirannya tentang Legal Realisme Plus sesungguhnya beresiko kepada tidak diindahkannya persoalan teoritis, sebagaimana pengalaman Amerika Serikat dan Skandinavia, negara penganut aliran itu. Jika dibanding dengan negara-negara Eropa lain, hukum di Skandinavia memang paling sedikit terkodifikasi. Kenyataan ini tentu kontraproduktif dengan semangat negeri ini yang melakukan pembinaan hukum menuju kodifikasi dan unifikasi. Selain itu, Legal Realisme Plus yang digagasnya sesungguhnya mengandaikan bahwa hukum yang pasti adalah apa yang secara aktual terjadi di lembaga peradilan. Satu lagi pekerjaan bagi negeri ini untuk menyiapkan hakim yang benar-benar qualified.
19
Sulit rasanya membayangkan sebuah peraturan hukum bebas dari nuansa politik. Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta, LKiS, 2001).
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
22
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International Relations: New Directions for Islamic Methodology and Thought. Herndon (AS: International Institut of Islamic Thought, 1987). Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) http://www.lucidcafe.com/lucidcafe/library/96mar/holmes.html. diakses pada 15 Mei 2008 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, 1953) Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2000) Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta, LKiS, 2001) Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1993) Nadirsyah Hosen, Shari`a and Constitutional Reform in Indonesia, (Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2007) Saleh K. Wantjik, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980) Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) Soeroso R., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001) Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Islam, terjemahan Ahmad Ahmad Sudjono dari buku Falsafah at-Tasyri`fial-Islamy,(Bandung:al-Ma`arif,19
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
23