LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING
Pengembangan Model Komunitas Pembelajar Profesional Sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah Tahun ke I dari Rencana 2 Tahun
Oleh Dwi Esti Andriani, M.Pd, M.EdSt (0010057701) Dr. Wiwik Wijayanti (0023017103) Pujaningsih, M.Pd (0006128112)
Dibiayai oleh DIPA Universitas Negeri Yogyakarta denga Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Program Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2013 Nomor: 034/APHB-BOPTN/UN34.21/2013 tanggal 27 Mei 2013
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOVEMBER 2013
1
2
RINGKASAN Penelitian ini merupakan penelitian pertama dari rencana 2 tahun penelitian. Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan prototype model komunitas pembelajar profesional (KPP) SD untuk peningkatan mutu guru SD berbasis sekolah. Pengembangan prototype model berdasarkan hasil kajian literatur, data hasil survey tentang KPP dan Focused Group Discussion (FGD). Survey KPP dilakukan dengan penyebaran angket pada 90 guru SD di 9 SD Kota. Kajian literatur dilakukan dengan mengkaji konsep KPP dari 30 literatur ilmiah. FGD dilaksanakan dengan peserta terdiri dari unsur Kepala SD, pengawas sekolah, dan Guru SD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru membutuhkan sekolah sebagai komunitas pembelajar profesional (KPP). Ketika sekolah menjadi KPP, sekolah merupakan lingkungan belajar yang kondusif untuk pembelajaran kolaboratif guru. Ketika pembelajaran ini diarahkan pada peningkatan mutu pembelajaran di kelas, maka prestasi siswa dan sekolah akan meningkat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa KPP ini pada tingkatan tertentu telah terjadi di sekolah. Kondisi ini ditunjukkan dari perolehan skor pada enam dimensi komunitas pembelajar profesional yang secara ratarata berada pada kategori baik. Namun demikian, untuk menjadi komunitas pembelajar profesional yang kuat, enam dimensi komunitas pembelajar profesional masih perlu dikembangkan. Untuk itu, sekolah perlu membangun struktur dan kultur yang mendukung ini serta mengintegrasikan dan mensinergikan sumber daya internal dan eksternal sekolah untuk penguatan enam dimensi ini.
3
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya, laporan penelitian berjudul “Pengembangan Model Komunitas Pembelajar Profesional sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah” dapat terselesaikan. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu atas dukungannya dalam pelaksanaan dan penyelesaian penelitian ini. Penelitian ini bertujuan utama untuk menghasilkan prototype model KPP di SD yang ideal berbasis kondisi SD di Indonesia. Prototype ini diharapkan bisa menjadi salah satu referensi bagi SD dalam upaya pengembangan sekolah menjadi komunitas pembelajar profesional. Akhir kata kami berharap agar laporan ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Hormat kami,
Peneliti
4
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.......................................................................................................1 HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................2 RINGKASAN .....................................................................................................................3 PRAKATA ..........................................................................................................................4 DAFTAR ISI.......................................................................................................................5 DAFTAR TABEL ..............................................................................................................6 DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................7 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................8 BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................................9 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...................................................14 BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................................15 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................21 BAB VI RANCANAN TAHAP BERIKUTNYA...........................................................49 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................50 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................51 LAMPIRAN......................................................................................................................53
5
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Penelitian Tahun Pertama ................................................................................ 18 Tabel 4.1 Data sekolah penyebaran kuesioner ................................................................22 Tabel 4.2 Karakteristik KPP di 9 SD .............................................................................23
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Alir Tahapan Penelitian untuk Pengembangan Model KPP di SD Kota .......17 Gambar 2 Penyelenggaraan KPP di SD ......................................................................... 25 Gambar 3 Bentuk kegiatan Kelompok Guru ..................................................................26 Gambar 4 Peran guru dalam kegiatan kelompok guru....................................................27 Gambar 5 Partisipasi guru dalam kegiatan kelompok guru ...........................................28 Gambar 6 Pengaturan waktu kegiatan kelompok guru ..................................................28 Gambar 7 Pengetahuan & atau kompetensi yang paling banyak guru peroleh dalam KKG ...............................................................................................................29 Gambar 8 Manfaat yang guru peroleh dalam berpartisipasi dalam KKG .................... 31 Gambar 9 Dukungan Sekolah terhadap KKG ..................................................................32 Gambar 10 Frekuensi Guru bertukar pendapat, pengalaman, ketrampilan dalam obrolan santai ..................................................................................................34 Gambar 11 Faktor pendukung bertukar pendapat melalui obrolan santai ........................34 Gambar 12 Kebutuhan guru akan bentuk KKG di sekolah .............................................35 Gambar 13 Kebijakan sekolah Pendukung KKG ...........................................................36 Gambar 14 Tujuan KKG ................................................................................................. 37 Gambar 15 Waktu kegiatan KKG di sekolah ..................................................................38 Gambar 16 Durasi KKG di sekolah .................................................................................38 Gambar 17 Dasar Pengelompokan Guru dalam KKG .....................................................39 Gambar 18 Fasilitas Pendukung yang diperlukan KKG .................................................. 40 Gambar 19 Dukungan Kepsek dalam KKG .....................................................................40 Gambar 20 Keterkaitan antara KPP dengan perubahan pada guru dan siswa ...................43 Gambar 21 Prototype Model Pengembangan Komunitas Pembelajar Profesional Sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah ..........................47 Gambar 21 Siklus Pembelajaran Kolaboratif Guru ...........................................................48
7
BAB I PENDAHULUAN
Mutu guru merupakan salah satu komponen vital pendidikan yang berpengaruh signifikan terhadap mutu pendidikan. Andaikan fasilitas sekolah sangat terbatas, proses pembelajaran masih tetap bisa berjalan efektif jika guru kreatif dalam mendayagunakan sumber daya yang ada untuk kepentingan pembelajaran. Bahkan, kelemahan desain kurikulum pun, masih bisa diminimalisir pengaruh buruknya terhadap mutu pembelajaran jika guru kompeten mengajar. Hal sebaliknya terjadi, sebagus apapun desain kurikulum, misal kurikulum tahun 2013 yang akan segera diberlakukan, jika implementasinya tidak didukung oleh guru yang kompeten, kurikulum ini tidak akan dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia (Harry Susilo, dalam Kompas, 6 Desember 2012). Namun, data menunjukkan bahwa mutu guru secara nasional, masih jauh dari yang diharapkan. Pemerintah melaporkan bahwa penguasaan kompetensi guru masih rendah yang ditunjukkan dari perolehan rata-rata skor capaian kompetensi guru yaitu 44,5 dari 100 (Ester Lince Napitupulu, dalam Kompas, 7 Desember 2012). Kondisi ini diperburuk dengan minimnya penyelenggaraan program pelatihan pengembangan kompetensi guru. Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tahun 2012 menemukan bahwa sekitar 62 persen dari 1.700 guru di 20 kabupaten/kota tidak pernah mendapatkan pelatihan. Bahkan, di kota besar, rata-rata guru mengikuti pelatihan sekali dalam 5 tahun (Kompas, Luki Aulia dalam Kompas, 6 Desember 2012). Selain itu, berbagai pelatihan guru yang menerapkan pendekatan top down diketahui sangat lemah untuk meningkatkan penguasaan
kompetensi
guru
dan
tidak
cukup
menyiapkan
guru
mampu
mengimplementasikan suatu kebijakan baru, misal perubahan kurikulum 2013 yang akan segera diimplementasikan tahun ini. Penelitian ini berupaya menjadi solusi permasalahan-permasalahan guru tersebut dengan penyediaan informasi model komunitas pembelajar profesional (KPP) yang aplikatif dikembangkan di sekolah sebagai strategi peningkatan mutu guru yang kontinyu, kontekstual, dan berkesinambungan berbasis sekolah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KPP merupakan unsur inti sekolah efektif yang meningkatkan mutu pembelajaran dan prestasi siswa melalui peningkatan profesionalitas guru (Bolam, dkk; 2005; Department of Training & Education; 2000; Hargreaves, 2009; Futton & Britton, 2011; Sergiovanni, 2006). 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. MUTU GURU ABAD 21 Saat ini guru menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari era sebelumnya. Guru menghadapi siswa dengan karakteristik yang jauh lebih beragam dilihat dari sisi latar belakang budaya, ekonomi keluarga, agama, dan sebagainya. Harapan masyarakat dan orang tua murid terhadap mutu pendidikan semakin tinggi. Dari waktu ke waktu, pemerintah mengembangkan standar mutu proses dan capaian pendidikan yang semakin tinggi. Di saat yang bersamaan, kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat, misal internet, telah menyebabkan informasi, pengetahuan, dan keterampilan guru cepat usang (Darling, 2006; Mulford, 2008). Berbagai tantangan yang dihadapi guru telah berdampak pada standar mutu guru. Di masa lalu, guru yang bermutu adalah guru yang mampu mengajar dengan baik. Di era sekarang, kriteria tersebut tidaklah cukup. Guru bermutu adalah guru yang mampu menjadi pembelajar sepanjang karir. Ia memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran sesuai dengan perkembangan lingkungan. Ia juga mampu bekerja dengan, belajar dari, dan mengajar guru lain dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran di kelas, mampu mengajar sesuai dengan standar mutu proses pembelajaran; dan mampu memanfaatkan teknologi (Hargreavas (1997, 2000; Darling, 2006), Di Indonesia, perubahan standar mutu guru tersebut telah tercermin dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Permen Nomor 17 Tahun 2007 tentang kualifikasi dan standar kompetensi guru. Mengacu pada perundangundangan tersebut, standar kompetensi guru tidak lagi terbatas pada penguasaan kompetensi
mengajar
atau
pedagodik,
namun
juga
pada
kemampuan
untuk
mengembangkan profesionalitas secara terus menerus, kemampuan menjadi agen pembelajar, membuat karya ilmiah bidang pendidikan, dan sebagainya sebagaimana tertuang dalam kompetensi profesional. Guru juga dituntut mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat sebagaimana disyaratkan dalam kompetensi sosial disamping juga memiliki kepribadian yang baik sebagaimana dideskripsikan pada kompetensi pribadi.
9
B. PENINGKATAN MUTU GURU BERBASIS SEKOLAH Peningkatan mutu guru adalah setiap upaya pemenuhan atau pelampauan standar mutu guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi. Peningkatan mutu guru penting dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan guru untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, untuk dapat fleksibel dan adaptif dengan strategi dan teknologi baru; untuk memberika kemampuan pada guru menjalankan tugas baru yang belum pernah dilakukan; meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan guru yang telah usang akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sondang (2002). Peningkatan mutu guru berbasis sekolah merupakan segala upaya untuk pencapaian atau pelampauan standar mutu guru yang dilaksanakan di sekolah. Berbasis sekolah disini dimaksudkan bahwa peningkatan mutu guru menjadi bagian integral dari kebijakan dan program sekolah, mengotimalkan sumber daya yang dimiliki sekolah, dan diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sekolah, khususnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran. Dengan demikian, dalam kegiatannya, komunitas ini tidak menutup diri dari keterlibatan pihak luar, misal ahli pendidikan dari PT, pengawas, dan sebagainya. Peningkatan mutu guru berbasis sekolah ini selaras dengan desain program peningkatan mutu guru era sekarang. Castetter (1996) mengatakan bahwa pendekatan „bottom up‟, menekankan kolaborasi yang berorientasi pada memampukan staf mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi, merupakan program-program yang interaktif dan saling terkait, yang dilaksanakan secara kontinyu dan direncakanan secara sistematis dan komprehensif
C. MODEL KOMUNITAS PEMBELAJAR PROFESIONAL 1.
Pengertian komunitas pembelajar profesional Komunitas pembelajar profesional di sekolah dapat dimaknai sebagai kumpulan
profesional seperti guru, staf, dan kepala sekolah yang berkomitmen untuk berkolaborasi dalam suatu proses pembelajaran untuk meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. Pengikat komunitas ini adalah nilai, pandangan, keyakinan, harapan, dan tujuan bersama, seperti visi dan tujuan sekolah yang disepakati bersama. Pengertian ini dapat ditelusuri dari arti pada kata pembentuknya. Menurut Sergiovanni (2006), komunitas merupakan sekumpulan orang yang disatukan oleh nilai, pemikiran/ide, dan keyakinan yang menumbuhkan perasaan „kita‟ 10
yang lebih kuat daripada „saya‟. Komunitas adalah “collections of individuals who are bonded together because they find this relationship to be intrinsically meaningful and significant and who are together bound to a set of shared ideas and ideals (hal 103). Di sekolah, suatu komunitas dapat terdiri dari siswa, guru, staf, kepala sekolah atau gabungan diantaranya. Adapun definisi komunitas pembelajar yaitu sekelompok orang yang berbagi tujuan yang sama dan berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan meningkatkan kesempatan belajar bagi semua anggotanya agar dapat mengembangkan potensi mereka (Kilpatric, tanpa tahun). Sedangkan profesional sendiri berarti seseorang dengan spesialisasi bidang keahlian. Keahliannya diperoleh tidak hanya dari hasil pelatihan namun juga dari proses mengikuti perkembangan keilmuannya (DuFour & Eaker dalam Thomson, Greg, & Niska, 2004). Termasuk dalam kelompok profesional di sekolah yaitu kepala sekolah, guru, dan staf pendukung.
2.
Karakteristik Sekolah sebagai Komunitas Pembelajar Profesional Inti komunitas pembelajar profesional di sekolah adalah pembelajaran kolaboratif,
yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran siswa. (Thomson, Greg, Nisca: 2004). Dalam pembelajaran ini, terjadi saling tukar informasi, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman mengajar antar para profesional, misalnya guru dengan guru, guru dengan staf pendukung, atau guru dengan kepala sekolah. Pembelajaran difokuskan pada segala hal yang terjadi dan terkait dengan mutu pembelajaran yang ditujukan untuk pencapaian standar mutu proses dan hasil pembelajaran. Oleh karena itu, termasuk dalam aktivitas ini yaitu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi para guru di kelas dan upaya pengembangan model atau strategi-strategi pembelajaran yang efektif Pembelajaran kolaboratif ini berlandaskan pada nilai kerja sama dan kolegialitas. Kerjasama berarti anggota komunitas berkemauan untuk saling membantu dan mendukung antara satu dengan lainnya untuk keberhasilan pencapaian tujuan bersama (Lunenberg, 2010) sedangkan kolegialitas berarti kolaborasi yang kuat antar guru dan antara guru dan kepala sekolah untuk peningkatan mutu pengajaran dan pembelajaran (Morrisey, 2000). Nilai kerjasama dan kolegialitas yang kuat membuat setiap individu dalam komunitas ini merasa nyaman tidak hanya dalam hal belajar dari individu yang lain, namun juga membagi pengalaman keberhasilan dan kegagalan pada kolega. Department of Education and Training (2000) mengatakan bahwa di dalam sekolah yang komunitas 11
pembelajar
profesionalnya
telah
terbentuk,
guru-gurunya
terbiasa
untuk
mengkomunikasikan dan mendiskusikan secara terbuka berbagai permasalahan atau kesulitan mengajarnya kepada guru lain tanpa rasa takut, sungkan, atau malu. Guru juga terbiasa berbagi pengalaman, pengetahuan dan kemampuannya dengan guru lain, tanpa kekhawatiran akan terjadi kesalahpahaman atas maksud guru, misalnya dianggap menyombongkan diri. Selain itu, Guru-guru juga menghargai perbedaan pendapat. Tidak hanya diskusi, namun juga debat merupakan hal yang dipandang lazim terjadi. Hal ini karena mempertanyakan kebiasaan atau tradisi yang telah lama berjalan kemudian mengkaji dan mendiskusikannya untuk memperoleh pemahaman, pengetahuan dan halhal baru yang lebih baik telah menjadi hal yang sering dan biasa untuk dilakukan (Oxley, 2001)
3.
Bentuk-bentuk KPP di sekolah KPP ditampilkan dalam beragam bentuk kegiatan pembelajaran kolaboratif baik
formal maupun informal. Bahkan, jika telah pembelajaran kolaboratif telah membudaya di sekolah, banyak kolaborasi profesional terjadi secara informal. “The very nature of a learning community, where collaboration and sharing is the norm, means that much professional learning occurs informally, and may not always be team based or delivered in the school” (Department of Education and Training, 2005: 11). Pembelajaran kolaboratif profesional secara informal mencakup berbagai macam interaksi antar guru yang tidak diorganisir yang ditujukan untuk pengembangan profesionalitas guru. Interaksi ini mungkin terjadi di manapun, di dalam atau luar sekolah. Salah satu contohnya yaitu guru junior mendatangi guru senior di ruang kelas untuk menyampaikan permasalahan mengajar yang baru saja dialami untuk mendapatkan solusi. Fokus percakapan atau obrolan profesional sangat lah beragam. Beberapa diantaranya adalah strategi pengajaran yang efektif, mata pelajaran yang sulit, gaya belajar siswa yang beragam, cara baru penilaian atau strategi baru manajemen perilaku kelas. Sedangkan pembelajaran kolaboratif profesional yang berbentuk formal antara lain tim penelitian, tim lesson study, tim pengembang rencana pelajaran, dan berbagai bentuk forum-forum diskusi guru.
4.
Model Komunitas Pembelajar Profesional Terdapat beragam model KPP yang telah dikembangkan oleh ahli, misal Adottir
(2005), Fulton dan Briston (2011), (Chrowther, 2009).
Tanpa mengabaikan adanya 12
perbedaan, mereka menyebutkan beberapa unsur yang sama yang dipandang penting untuk terciptanya komunitas pembelajar profesional. Unsur tesebut meliputi: a) visi dan nilai bersama yang berfokus pada pembelajaran siswa dan juga harapan yang tinggi pada prestasi siswa; Kepemimpinan yang didistribusikan, yang menghargai partisipasi guru dalam pengambilan keputusan; c) persepsi saling dukung antar staf; d) pembelajaran kolaboratif antar staf profesional yang mengarah pada kebutuhan siswa; e) pengorganisasian yang mendukung pembelajaran kolaboratif; f) adanya rasa tanggung jawab kolektif. Selaras dengan pendapat di atas adalah model KPP komprehensif dan sistemik yang dikemukakan oleh Bolam, et al. (2005) sebagai berikut. A. Faktor –faktor eksternal yang mendukung dan menghambat pembentukan dan kelanggengan KPP B. Faktor –faktor internal yang mendukung dan menghambat pembentukan dan kelanggengan KPP C. Proses, terdiri dari: 1. Optimalisasi Sumber Daya dan Struktur yang mendorong KPP 2. Mendorong pembelajaran profesional 3. Mengevaluasi dan melestarikan KPP 4. Kepemimpinan dan manajemen yang memfasilitasi KPP D. Karakteristik 1. Visi dan nilai yang disepakati bersama 2. Tanggung jawab bersama pada pembelajaran siswa 3. Kolaborasi yang difokuskan pada pembelajaran kelompok dan juga individu. 4. Inkuiri profesional dan reflektif 5. Keterbukaan, jaringan kerjasama, dan partnership 6. Keanggotaan yang inklusif 7. Saling percaya, menghargai dan mendukung E. Hasil/Outcomes 1. Peningkatan mutu pembelajaran siswa dan perkembangan sosial 2. Semangat kerja dan berkembangnya kapasitas kepemimpinan 3. Karakteristik terlihat, dan proses berjalan lancar.
13
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tahun pertama dari rencana 2 tahun. Tujuan utamanya adalah pengembangan prototype model KPP yang didasarkan dari berbagai data sebagai berikut. a.
Keterlaksanaan KPP dan pandangan sekolah tentang model KPP SD efektif. Data ini mencakup pandangan sekolah tentang KPP, bentuk kegiatan KPP yang telah dijalankan dan karakteristiknya, faktor pendukung dan penghambatnya serta persepsi sekolah tentang KPP yang efektif dan unsur-unsur pembentuknya.
b.
Kebutuhan KKP sebagai strategi peningkatan mutu guru dari sudut pandang guru dan kepala sekolah.
c.
Data kajian hipotetik berdasarkan hasil kajian literatur secara sistematik tentang KPP yang efektif. Kajian literatur mencakup: konsep dasar KPP, proses KPP dan kontribusinya pada pengembangan KPP, faktor-faktor pendukung KPP yang efektif, dan faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan KPP dan sustanibilitas KPP.
B. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk pengayaan teori dan konsep komunitas pembelajar profesional dengan konteks Asia, Indonesia. 2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai panduan pengembangan Sekolah Dasar menjadi Komunitas Pembelajar Profesional.
14
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini secara keseluruhan menggunakan pendekatan research and development. B. Variabel-variabel Penelitian Variabel penelitian adalah komunitas pembelajaran profesional
C. Konsep yang dikembangkan dalam model Komunitas pembelajaran memiliki 5 unsur atau area yang saling pengaruh, mencakup 1. Proses KPP 2. Karakteristik KPP 3. Hasil/Output KPP 4. Faktor-faktor eksternal pendukung dan penghambat 5. Faktor-faktor internal pendukung dan penghambat
D. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini terdiri dari kepala SD, pengawas SD dan guru kelas SD di kelas 1 sampai dengan 6 1.
No. Su 1. Survei 2. FGD
Kegiatan
Subyek Penelitan Unsur Guru SD KS, Guru SD, dan Pengawas
Jumlah 90 10
E. Model Pengembangan Model pengembangan dalam penelitian ini mengacu pada rancangan model dari Borg dan Gall (2003). Model ini dianggap sangat tepat dalam penelitian pengembangan yang menghasilkan suatu produk tertentu, dalam penelitian ini produk yang akan dihasilkan adalah model komunitas pembelajar profesional untuk peningkatan mutu guru.
15
F. Prosedur Pengembangan Penelitian ini merupakan pengembangan model komunitas pembelajar profesional yang terdiri dari dua tahap yaitu 1) pengembangan prototype model KPP yang memadukan hasil kajian literatur, survey lapangan tentang KPP dan FGD, dan 2) uji coba model KPP. Prosedur yang akan dipakai dalam penelitian ini mengikuti sepuluh tahap R & D yang dikembangkan oleh Borg & Gall (2007). Dalam penelitian ini kesepuluh tahap tersebut dimodifikasi menjadi enam tahap untuk penyesuain dengan konteks penelitian. Keenam tahapan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Penelitian dan pengumpulan informasi (research and information collecting); 2) Mengembangkan pra-rencana produk (develop preliminary form of product); 3) Melakukan uji pendahuluan di lapangan (preliminary field testing); 4) Melakukan revisi produk (main product revision); 5) Melakukan uji produk di lapangan (main field testing); 6) Revisi produk akhir (final product revision); Pada gambar alir di bawah ini, diilustrasikan tujuh tahap kegiatan tersebut yang telah dikontekskan dengan pengembangan model KPP di SD.
16
Penelitian Tahun I
Studi literatur dan survey tentang KPP Di 9 SD berkategori Sangat Bagus, Bagus, dan Cukup Bagus
Mengembangkan prototype model KPP berdasarkan data kajian literatur, survey, dan FGD
Melakukan uji coba terbatas prototype model KPP di 4 SD
Penelitian Tahun II Melakukan revisi model KPP
Melakukan uji model KPP di 4 SD
Revisi akhir uji model KPP di 4 SD
Gambar 1: Alir Tahapan Penelitian untuk Pengembangan Model KPP di SD Kota
17
Penelitian pada tahap I, tahun pertama, yang terdiri atas 2 kegiatan utama dengan tujuan akhir terwujudnya prototype model KPP sebagai strategi peningkatan mutu guru SD disajikan dalam tabel 3.1 berikut. Tabel 3.1 : Penelitian Tahun Pertama No
Kegiatan
Indikator
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Instrumen Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data
Hasil Penelitian
A. Penggalian data tentang pandangan sekolah tentang KPP, keterlaksanaan KPP, kebutuhan dan harapan guru tentang KPP dan model KPP yang ideal 1.
Survey
a. KPP di sekolah: 1) Pandangan sekolah tentang KPP, 2) Bentuk kegiatan KPP yang telah berjalan di sekolah dan karakteristiknya 3) Pengorganisasian dan pengembangan KPP 4) Faktor pendukung dan penghambatnya serta 5) Persepsi sekolah tentang KPP yang efektif dan unsurunsur pembentuknya.
Guru kelas Penyebaran SD di 9 SD Angket sebanyak 90 guru.
Angket
Statistik deskriptif
Data tentang keterlaksanaan KPP, kebutuhan, pandangan/harapan sekolah tentang KPP
b. Kebutuhan KPP 18
di SD untuk peningkatan mutu guru 2.
Studi literatur KPP
Diperoleh model konseptual KPP yang mencakup: a. konsep dasar KPP b. unsur-unsur pembentuk KPP efektif, c. proses kerja KPP dan kontribusinya pada pengembangan KPP, d. faktor-faktor pendukung dan penghambat penciptaan dan pengembangan KPP e. sustanibilitas KPP B. Pengembangan Prototype Model KPP di SD 1 Focused Group Prototype Model Discussion KPP di SD yang menginformasikan: 1) Tujuan dan fungsi KPP
30 publikasi Studi literatur ilmiah internasional tentang KPP
Panduan studi literatur
Kualitatif
Model Konseptual KPP
Kepala SD, FGD Guru SD, dan Pengawas Sekolah
Panduan FGD
Kualitatif
Prototype Model KPP di SD
19
2) Unsur-unsur KPP 3) Proses KPP 4) Karakteristik KPP yang diharapkan 5) Hasil KPP yang diharapkan 6) Sumber daya penyelenggaraan KPP
20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini mempunyai tujuan utama untuk memperoleh prototype model komunitas pembelajar profesional yang sesuai untuk Sekolah Dasar yang ideal dan diharapkan guru yang dapat meningkatkan mutu guru SD. Untuk itu dilakukan dua kegiatan utama yaitu: 1. Penggalian data tentang deskripsi keterlaksanaan, analisis kebutuhan KPP dan pandangan sekolah tentang model KPP yang ideal 2. Pengembangan prototype model KPP di SD Adapun teknik pengumpulan data yang dilakuan untuk kedua kegiatan tersebut adalah studi literatur, survey/penyebaran angket, dan focused group discussion. 1. Studi literatur Studi ini mengkaji KPP yang bersumber dari 30 publikasi ilmiah internasional. 2. Survey Survey dilakukan dengan penyebaran angket yang secara substansial dibagi dalam 2 bagian. Bagian pertama ditujukan untuk menggali data tentang: a)
pandangan guru tentang KPP
b)
pelaksanaan KPP,
c)
bentuk kegiatan KPP yang telah dijalankan dan karakteristiknya,
d)
pengorganisasian dan pengembangan KPP,
e)
faktor pendukung dan penghambatnya serta persepsi sekolah tentang KPP yang efektif dan unsur-unsur pembentuknya.
Bagian kedua ditujukan untuk menilai sejauh mana sekolah telah menjadi KPP. Angket disebarkan ke 9 SD (4 SD swasta dan 5 SD Negeri) dengan responden guru
kelas.
Penentuan
SD
dilakukan
dengan
teknik
purposive
sampling
mempertimbangkan kategori sekolah: Sangat Bagus, Bagus, dan Cukup Bagus yang dilihat dari capaian rata-rata UAN selama tiga tahun terakhir yaitu tahun 2010, 2011, dan 2012. Data kategori sekolah ini diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasilnya disajikan dalam tabel 4.1 berikut.
21
Tabel 4. 1. Data sekolah penyebaran kuesioner KATEGORI* Sangat Baik
Baik
Cukup Baik
NAMA SEKOLAH 1. SD Muhammadiyah Suronatan 2. SDN Ungaran 1 3. SD Pangudi Luhur 1. SD Kanisius Wirobrajan 1 2. SDN Gedongkuning 3. SDN Bener 1. SDN Randusari 2. SD Islamiyah Pakualaman 3. SD Negeri Sosrowijayan
RESPONDEN Guru kelas 12 6 24 12 13 5 6 6 6 90
3. Focused Group Discussion (FGD) FGD ditujukan untuk mengklarifikasi data hasil survey dan juga mengembangkan prototype model KPP yang embrio awalnya merupakan hasil penggabungan kajian literatur dan data dari angket. Kegiatan FGD ini melibatkan 10 orang yang terdiri dari: 1 Kepala Sekolah, 1 Wakil Kepala Sekolah, 1 Pengawas Sekolah Dasar, dan 7 orang guru kelas. Agar diskusi benar-benar terfokus, FGD dilengkapi dengan instrumen diskusi. Berikut adalah hasil penelitian berdasarkan data dari ketiga kegiatan tersebut. 1. Deskripsi keterlaksanaan, analisis kebutuhan KPP dan pandangan sekolah tentang model KPP yang ideal a. Pandangan sekolah tentang KPP Saat FGD, sebagian besar guru menyatakan bahwa KPP identik dengan KKG yang dilaksanakan di level gugus di bawah ranting dinas pendidikan kecamatan. Mendukung pendapat ini yaitu hasil survey dengan kuesioner yang menunjukkan bahwa 82% guru mengatakan bahwa kegiatan saling bertukar pengetahuan dan keterampilan merupakan kegitatan yang dilakukan dalam KKG yang diselenggarakan per gugus. a.
Karakteristik KPP di SD Berdasarkan angket ditemukan 6 karakteristik KPP di 9 sekolah yang secara
umum berada pada kategori baik dengan perolehan rata-rata skor (3,40). Karakteristik yang paling rendah ditemukan pada hal penyebarluasan strategi mengajar guru (3,19) sementara karakteristik yang tertinggi ditemukan pada kepemimpinan bersama (3,61). Hal ini secara lebih jelas ditampilkan dalam grafik 1. 22
Grafik 1: Visualisasi karakteristik KPP di 9 SD 1. Kepemimpinan Bersama 2. Visi & Nilai Bersama 3. Pembelajaran Kolektif & Aplikasi 4. Penyebarluasa n Strategi Mengajar Guru 5. Hubungan Personal yg Mendukung 6. Struktur Organisasi yg Mendukung
Visualisasi karakteristik sekolah sebagai KPP secara lengkap dalam bentuk tabel 4.2 disajikan di bawah ini. Tabel 4. 2 Karakteristik KPP di 9 SD No
Variabel
1.
Kepemimpinan Bersama
2.
Visi & Nilai Bersama
3.
Pembelajaran Kolektif & Aplikasi Penyebarluasan Strategi Mengajar Guru Hubungan Personal yg Mendukung Struktur Organisasi yg Mendukung Mean
4. 5. 6.
Keterangan: Sangat Buruk Buruk Cukup Baik Baik Sangat Baik
1,5 2,1 2,8 3,4 4
Pilihan (%) Sgt Buruk Ckp Baik Buruk Baik 33,0 0,0 0,0 0,0 6,6 25,3 0,0 0,0 12,1 29,7 0,0 0,0 2,2 25,3 31,9 0,0 1,1 17,6 51,6 0,0 18,7 51,6 0,0 0,0 0,0 0,6 13,4 37,2
Mean
Ktgr
Sgt Baik 67,0
3,61
68,1
3,55
58,2
3,50
40,7
3,19
Sgt Baik Sgt Baik Sgt Baik Baik
29,7
3,28
Baik
29,7
3,26
Baik
48,9
3,40
Baik
1 1,6 2,2 2,9 3,5
23
Perolehan rata-rata skor di atas 3 dari rata-rata skor ideal tertinggi 4 pada semua dimensi KPP menunjukkan bahwa SD berpotensi untuk dikembangkan menjadi KPP. Terlebih, dimensi kepemimpinan bersama yang merupakan salah satu faktor utama pendukung keefektifan KPP memperoleh skor tertinggi (3,6) melampaui skor rata-rata total (3,4). Perolehan skor terendah pada kategori penyebarluasan strategi mengajar ini sesuai dengan perolehan data hasil FGD. Menurut peserta, mereka menyebarluaskan strategi mengajarnya atau pengetahuan dan keterampilan mengajar baru yang diperoleh dari suatu pelatihan kepada guru lain hanya saat bincang-bincang informal di jam istirahat guru. Dengan cara tersebut, penyebarluasan biasanya tidak bisa menjangkau seluruh guru dan mencakup seluruh pengetahuan yang perlu disampaikan karena situasi yang kurang mendukung, seperti waktu yang terbatas, jumlah guru yang kadang-kadang hanya sedikit, materi obrolan yang tidak terfokus dan budaya ewuh pekewuh, seperti dianggap menggurui atau menyombongkan diri. Oleh karenanya, peserta berpandangan perlu diselenggarakan kegiatan diskusi kelompok guru di level sekolah yang dilaksanakan secara rutin dan menjadi bagian integral dari program sekolah. Kegiatan ini dibutuhkan untuk menciptakan forum dimana guru bisa lebih nyaman dan lebih terkondisikan untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan. Terlebih banyak guru yang motivasi pengembangan dirinya masih rendah. Perolehan skor yang belum maksimal pada indikator hubungan personal yang mendukung salah satunya disebabkan oleh adanya budaya yang mempengaruhi hubungan antar kelompok guru, misal guru senior dengan guru junior. Terlepas dari tingkat keterbukaan guru senior yaitu guru yang berusia tua dan berpengalaman mengajar terhadap hal baru, guru junior secara umum memiliki rasa kurang nyaman jika menyampaikan hal-hal baru kepada guru senior. Mereka memiliki rasa kurang nyaman dan khawatir akan dipandang menggurui terhadap guru senior. Jika ada guru junior melakukan ini, biasanya mereka melakukannya dengan sangat hati-hati. Salah satu peserta FGD mengatakan: “ iya .... ada unsur ewuh pekewuh dalam menyampaikan hal-hal baru kepada senior saat mengobrol santai, disamping memang motivasi pengembangan diri sebagian besar guru memang rendah” Selain itu, hasil FGD juga mendukung perolehan capaian skor struktur organisasi yang belum maksimal. Peserta FGD mengatakan bahwa 9 SD dan SD pada 24
umumnya, tidak menyelenggarakan kegiatan kelompok kerja guru di sekolah sebagai program sekolah rutin dan terjadwal. Oleh karenanya, sekolah belum mengalokasikan secara khusus sumber daya, misal waktu, dana, dan nara sumber untuk kegiatan kelompok kerja guru di sekolah. Terkait dengan sumber daya sekolah, khususnya uang, peserta FGD mengatakan bahwa kondisinya sangat terbatas. Mereka mengatakan bahwa kondisi ini dialami oleh semua sekolah negeri yang sumber utama keuangannya dari pemerintah dan besarannya dihitung untuk pencapaian standar minimal mutu pendidikan. Selain itu, sekolah juga terkena kebijakan implementasi BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kebijakan ini di satu sisi menjamin kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, di sisi lain melarang sekolah untuk menggali dana dari wali murid dengan alasan apapun. Akibatnya, kondisi keuangan sekolah sangat terbatas untuk mendanai berbagai program non pendidikan dan pengajaran, termasuk KKG. Namun demikian, menurut peserta FGD, dana sekolah yang terbatas masih mungkin diatur sedemikian rupa oleh kepala sekolah agar sebagian darinya teralokasikan untuk kegiatan KKG di level sekolah. Hal tersebut sangat ditentukan dari komitmen Kepala Sekolah. b. Bentuk Kegiatan KPP Berdasarkan
hasil
kuesioner,
95%
responden
menyatakan
telah
menyelenggarakan kegiatan kelompok guru di sekolah. Namun demikian hasil klarifikasi dengan peserta FGD menunjukkan bahwa kegiatan kelompok guru yang dimaksud adalah kegiatan KKG yang diselenggarakan di level gugus (1 gugus terdiri dari 8 sampai dengan 12 SD) dengan tempat kegiatan di SD inti dari tiap gugus. Gambar 2: Penyelenggaraan KPP di SD
Data juga menunjukkan bahwa kegiatan kelompok guru yang paling banyak ditemui, dinyatakan oleh 82% responden, adalah KKG (kelompok kerja guru yang 25
diselenggarakan di level ranting dinas pendidikan). Bentuk lain kegiatan kelompok guru yang juga ditemukan, namun sangat jarang, adalah tim penelitian tindakan kelas, dan kelompok studi kasus masing-masing dikemukakan oleh 1% responden. Kegiatan kelompok guru dalam bentuk tim mengajar dikemukakan oleh 16% responden. Dari 9 SD, tim mengajar ini ditemukan hanya di 2 SD yang memiliki kelas paralel. Tim mengajar umumnya terdiri dari dua atau lebih guru kelas yang mengajar di kelas yang tingkatnya sama, misal guru kelas 3A dan 3B. Sebagai tim, mereka mengembangkan desain pembelajaran bersama, berbagi pengalaman tentang keefektifan strategi pembelajaran yang diterapkan, kesulitan mengajar dan sebagainya. Melalui diskusi dan juga kerja tim, tim ini dirasakan guru sangat mendukung upaya peningkatan mutu pembelajaran di kelas Gambar 3: Bentuk kegiatan Kelompok Guru
Beberapa peserta juga mengemukakan bahwa dalam rangka mengkondisikan dan juga memudahkan terjadinya diskusi antar guru, penataan tempat duduk guru berdasarkan mata pelajaran atau kelas yang diajar telah dilakukan di sekolah mereka. Penataan ini dirasa sangat mendukung terjadinya perbincangan informal dan tentang berbagai hal, misal pelaksanaan pembelajaran di kelas dan kesulitan belajar murid. Penataan ini juga mendukung kedekatan antar guru dan terciptanya keterbukaan berkomunikasi. c. Pengorganisasian dan Pengembangan KPP KPP dimaknai guru sebagai kegiatan KKG di tingkat gugus yang pengorganisasian dan pengembangannya dari, oleh dan untuk para guru. Dalam kegiatan KKG, sebagian besar guru berperan sebagai partisipan 78%. Hanya 16% 26
guru berperan sebagai koordinator atau pengurus. Data FGD mengungkap bahwa sebagian besar guru belum memiliki cukup rasa percaya diri untuk berperan sebagai koordinator/pengurus ataupun nara sumber/pemateri dalam kegiatan KKG. Namun demikian, menurut mereka, guru mungkin untuk berperan sebagai pemateri dan koordinator dalam kegiatan KKG jika guru diberi pelatihan yang membekali mereka menjadi seorang nara sumber atau pelatih yang baik, misal Training of Trainee (ToT). Selain itu, pemberian tugas perlu mempertimbangkan tingkat kesulitan tugas dengan kemampuan guru. Penilaian kemampuan guru dapat dilakukan dari pencermatan rekam jejak kinerja guru.
Dilihat dari keaktifan, data pada gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah guru yang selalu datang dalam kegiatan KKG relatif masih rendah yaitu 56%. Sisanya yaitu 41% responden hanya kadang-kadang, dan 3% lainnya menyatakan jarang. Mengacu pada data FGD, diketahui penyebabnya yaitu kadang kala, guru memiliki kegiatan lain, misal rapat di Dinas Pendidikan ataupun mengerjakan tugas-tugas pengajaran dan administrasi kelas atau administrasi sekolah di hari dan jam yang sama dengan waktu pelaksanaan KKG. Selain itu, masih cukup banyak guru, khususnya yang berusia tua dan akan pensiun, kurang memiliki motivasi untuk mengembangkan kemampuan mengajarnya. Bagi mereka, mengajar merupakan pekerjaan rutin yang bisa dilaksanakan dengan teknik mengajar yang sama dari waktu ke waktu.
27
Kesulitan guru untuk aktif mengikuti KKG dari sisi waktu bisa dijelaskan dari data yang menginformasikan bahwa hanya sedikit kegiatan KKG yang diselenggarakan secara rutin dan terjadwal. 45% responden mengatakan kegiatan KKG dilaksanakan secara insidental dan 21% lainnya mengatakan kegiatan tidak terjadwal. Kegiatan KKG yang insidental dan tidak terjadwal ini menyulitkan guru untuk dapat merencanakan dengan baik keikutsertaannya dalam kegiatan KKG. Data secara rinci tentang pengaturan waktu KKG divisualisasikan pada gambar 5 di bawah ini.
Hasil FGD menyarankan agar kegiatan KKG baik pada level sekolah maupun gugus hendaknya dilakukan secara rutin dan terjadwal. Agar guru dapat 28
berpartisipasi aktif, penjadwalan hendaknya memperhatikan jam kerja guru dan jadwal KKG di tingkat gugus untuk menghindari benturan jam pelaksanaan kegiatan KKG. Selain itu, untuk meningkatkan keaktifan guru mengikuti KKG di level sekolah, kegiatannya hendaknya menjadi program rutin sekolah dan dikaitkan dengan kebijakan dinas pendidikan. Contoh, kehadiran guru di kegiatan KKG dikaitkan dengan besaran insentif kinerja dari Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten. Contoh yang lain yaitu materi KKG dikaitkan dengan kebijakan peningkatan mutu pembelajaran yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten. Teguran persuasif kepala sekolah bagi guru yang tidak mengikuti kegiatan KKG juga merupakan tindakan yang perlu dilakukan. Ketika mengikuti KKG di level gugus, sebagian besar guru memperoleh peningkatan keterampilan mengajar (67%) dan sisanya (33%) mengatakan memperoleh pemahaman tentang kebijakan baru (33%). Visualisasi dari jabaran tersebut dapat dilihat dalam gambar 6.
Hasil FGD menguatkan temuan ini. Salah satu guru peserta FGD mengatakan: “KKG selama ini merupakan forum guru untuk bertukar pengetahuan, keterampilan dan pengalaman mengajar untuk meningkatkan mutu pengajaran guru. Lebih lanjut dikatakan, KKG bisa menjadi forum saling memotivasi antar guru untuk mengembangkan pembelajaran yang kreatif dan inovatif, mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama, terlebih jika ada kebijakan baru yang harus diimplementasikan. .... 29
KKG pada level sekolah juga dipandang sangat penting untuk menjadi ruang bagi guru menyampaikan hasil dari suatu pelatihan yang diikuti. Tanpa KKG di level sekolah, penyampaian hasil pelatihan yang diperoleh misal strategi mengajar baru tidak maksimal bahkan sulit dilakukan. “Saya mengikuti pelatihan yang membuat saya, sebagai guru yang sudah relatif tua, bisa mengajar dengan cara-cara inovatif. Di dalam pelatihan, saya mendapatkan motivasi untuk mengajar dengan cara yang berbeda yang menyenangkan bagi anak-anak. Saya tularkan hasil pelatihan kepada guru pada jam istirahat. Karena jamnya terbatas, guru yang ada saat perbincangan dan juga berminat mendengarkan juga terbatas, ya tidak semua materi bisa tersampaikan. .... KKG di level sekolah akan mengatasi keterbatasanketerbatasan penyampaian hasil pelatihan secara informal”. Salah satu peserta FGD yaitu seorang pengawas SD dengan tegas mengatakan: “Sudah lama saya sampaikan ke guru-guru bahwa KKG itu mestinya tidak hanya dilaksanakan di tingkat gugus, tapi juga di sekolah. KKG ini sangat penting tidak hanya untuk memecahkan permasalahan di kelas, namun juga permasalahan sekolah. Pengalaman saya menjadi kepala sekolah, KKG mungkin dilaksanakan di sekolah dan telah saya lakukan di sekolah yang pernah saya pimpin” Lebih lanjut, data FGD menunjukkan bahwa KKG level guru dapat berupa kegiatan kelompok diskusi guru yang terjadwal atau sesi berbagi pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman yang diintegrasikan dalam rapat sekolah. Jika diintegrasikan dalam rapat sekolah, waktu yang disediakan untuk sesi ini antara 30 sampai dengan 60 menit. Namun, ketika KKG level sekolah diintegrasikan dalam rapat rutin sekolah, suasana mungkin tidak terlalu mendukung karena konsentrasi guru sudah terserap pada materi rapat. Kondisi lain yang mungkin terjadi adalah topik diskusi dirasa tidak sepenting materi rapat. Dengan kata lain, forum rapat tidak cukup kondusif untuk terciptanya pembelajaran kolaboratif antar guru dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran. Semua guru atau 100% responden mengatakan bahwa mereka mendapatkan manfaat setelah mengikuti KKG. Hasil survey menunjukkan bahwa 33% responden merasakan peningkatan pada kompetensi mengajar, 32% merasakan manfaat pada pemahaman informasi tentang kebijakan terbaru, dan 29% merasakan peningkatan pada mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Namun demikian, manfaat pada peningkatan keterampilan kepemimpinan guru tidak banyak dirasakan oleh responden (16%).
30
Hasil FGD menjelaskan bahwa mayoritas guru kurang percaya diri untuk mengambil berbagai peran kepemimpinan dalam kegiatan KKG seperti menjadi nara sumber bagi teman sejawatnya dan menjadi koordinator/pengurus kegiatan. Menurut salah seorang guru: “ kebanyakan guru kurang percaya diri ketika diminta menjadi pemateri dalam KKG. Walaupun, menurut saya, guru-guru sebenarnya berpotensi dan bisa menjalankan peran tersebut. Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah dalam diri guru tersebut adalah memberikan TOT. Kegiatan KKG yang telah berjalan di level gugus mendapatkan dukungan dari sekolah segugus. Dukungan yang diperoleh cukup beragam seperti fasilitas kegiatan, dana, waktu, dan penyediaan nara sumber. Namun demikian, dukungan tersebut masih sangat terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan persentase di tiap-tiap dukungan yang tidak lebih dari 30%. Dukungan terendah ditemukan pada penyediaan narasumber kegiatan 17%. Besaran dukungan sekolah segugus terhadap kegiatan KKG level gugus secara lebih jelas divisualisasikan dalam gambar 9 berikut ini.
31
FGD memberikan data yang menguatkan temuan ini. Dari FGD diketahui bahwa secara umum, kondisi keuangan SD negeri dan SD swasta, kecuali SD swasta yang unggul atau sangat baik, sangat lah terbatas. Di SD negeri, anggaran sekolah per tahun sudah jelas besarannya dan peruntukannya, yang sebagian besar untuk pembiayaan program pengajaran. Hanya sedikit dana yang dialokasikan untuk mendukung
kegiatan
non
pengajaran,
misalnya
program
pengembangan
profesionalitas guru, manajemen sekolah, pengembangan sarana pendidikan dan sebagainya. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan implementasi dana BOS Implementasi dana BOS ini menjamin pemenuhan berbagai biaya pendidikan di sekolah yang oleh karenanya sekolah tidak diizinkan lagi meminta bantuan dana pendidikan dari tua murid dan komunitas sekolah. Di SD swasta, kondisi keuangan yang minim biasanya disebabkan oleh rendahnya kemampuan orang tua murid untuk memberikan dukungan dalam bentuk uang dan juga dana yayasan yang terbatas. Namun di SD Swasta yang bagus dan „kaya‟, KKG pada level sekolah dapat dibiayai oleh sekolah jika KKG dijadikan program rutin sekolah yang pembiayaannya dianggarkan sejak awal tahun oleh sekolah. Walaupun kondisi keuangan terbatas, bukan berarti SD Negeri dan Swasta tidak mampu memberikan dukungan uang untuk penyelenggaraan KKG di level sekolah. Kepala Sekolah mungkin untuk mengambil keputusan taktis di bidang keuangan agar dari dana yang ada, sebagian dialokasikan untuk kegiatan KKG. Seorang pengawas SD berkata:
32
Pengalaman saya dulu menjadi kepala sekolah, sekolah (negeri) tetap bisa menyediakan dana untuk mendukung kegiatan KKG di sekolah. Kepala sekolah itu bisa „kiyak kiyuk‟ dana yang ada. Misal, dana snack setiap rapat itu sebesar 7.000,00. Kita kan bisa tidak membelanjakan sebesar itu. Contoh lain lagi, ketika ada guru yang mengikuti pelatihan dan mendapatkan uang dari pelatihan, guru diminta memberikan sebagian kecil uamg uang diperoleh untuk kas sekolah. Masih banyak lagi dana yang mungkin diperoleh dari beragam sumber tanpa harus meminta orang tua murid. Itu hanya masalah gimana kepala sekolahnya mengatur keuangan kok ...”. Data FGD juga menjelaskan penyebab rendahnya dukungan nara sumber, khususnya dari luar sekolah dalam kegiatan KKG. Sebagian besar SD belum menjalin kerjasama dengan berbagai pihak/institusi untuk mendukung program sekolah, misalnya nara sumber untuk pengembangan guru. Hanya 2 dari 9 sekolah yang telah mengembangkan jaringan kerjasama formal dengan berbagai instansi, misal UNY dan UMY. Akibatnya, mayoritas sekolah tidak memiliki cukup informasi dan jaringan hubungan untuk dapat menghadirkan nara sumber dari Perguruan Tinggi ketika dirasa, misal kondisi keuangan terbatas. Oleh karena itu, SD perlu menjalin kerjasama yang bersifat kontinyu dengan berbagai instansi, misalnya universitas pendidikan dalam rangka KKG di level sekolah. Hasil survey yang menunjukkan dukungan fasilitas yang tidak begitu besar disebabkan oleh dukungan fasilitas KKG di level gugus sebagian besar dari sekolah inti tempat kegiatan KKG. Namun demikian, secara umum, sekolah memiliki fasilitas, misal ruangan dan perlengkapannya, untuk menyelenggarakan KKG di level sekolah. Salah seorang Kepala Sekolah berkata “kegiatan KKG di level sekolah mungkin dilaksanakan di ruang guru atau ruang rapat” KKG di level gugus hingga saat ini merupakan wadah formal untuk guru berbagi pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman mengajarnya, disamping juga hal-hal lain yang berhubungan dengan tugas guru dan sekolah. KKG atau sejenisnya ini secara umum belum terbentuk di level sekolah walaupun keberadaanya sangat dibutuhkan guru dan merupakan elemen dasar terwujudnya sekolah sebagai komunitas pembelajar profesional. Diketahui bahwa kegiatan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman guru lebih banyak dilakukan melalui aktivitas informal dalam bentuk obrolan santai sehari-hari di sekolah. Hal ini dinyatakan oleh 77%. Hanya sedikit sekali guru yaitu 6% yang jarang melakukan bincang-bincang santai terkait pembelajaran yang dilakukan di kelas. 17 % lainnya mengatakan kadangkadang. 33
d. Faktor pendukung dan penghambatnya serta persepsi sekolah tentang KPP yang efektif dan unsur-unsur pembentuknya. Berdasarkan hasil kuesioner, terdapat beberapa faktor pendukung penerapan KPP di sekolah, yaitu: 1) budaya keterbukaan, saling menghargai dan peduli, 2) waktu luang, 3) tempat duduk yang berdekatan, dan 4) motivasi guru yang tinggi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Namun demikian, dilihat dari perolehan skor yang kurang dari 50%, faktor-faktor tersebut masih perlu dikembangkan.
34
e. Kebutuhan KPP KKG dibutuhkan oleh guru. Data menunjukkan bahwa mayoritas responden (74%) menyatakan sangat membutuhkan kegiatan formal, diantaranya dalam bentuk KKG sekolah untuk bertukar pendapat, pengalaman dan ketrampilan dan tak satupun guru (0 %) yang mengatakan tidak membutuhkan.
Hasil FGD menunjukkan bahwa kegiatan diskusi kelompok guru secara formal yang mengkaji tentang pembelajaran dan hal-hal baru yang inovatif untuk meningkatkan mutu pembelajaran siswa sangatlah penting. Bahkan, pengawas sekolah mengatakan: “forum diskusi kelompok guru sangat dibutuhkan guru tidak hanya untuk berdiskusi dan berkolaborasi dalam upaya memecahkan masalah-masalah di kelas namun juga masalah-masalah yang terjadi di sekolah. Oleh karenya KKG di level sekolah hendaknya dibentuk dan dijadwalkan secara rutin. KKG ini memfasilitasi sekolah (Kepala sekolah dan guru-guru) untuk dapat lebih cepat dan tanggap mengatasi setiap permasalahan yang terjadi di sekolah, kelas, dan siswa.”. Selain itu, menurut guru, KKG pada level sekolah dapat membantu mengurangi hambatan budaya dalam proses berbagi pengetahuan. Forum ini memungkinkan guru berbagi kesuksesan, pengetahuan dan keterampilan baru yang diperoleh dari pelatihan di luar sekolah tanpa takut dinilai sombong. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang guru: Dalam forum diskusi guru yang formal, ada pembagian peran dan tugas yang jelas, misal sebagai peserta atau pemateri. Ketika menjadi pemateri, guru diharapkan untuk menyampaikan topik tertentu kepada guru lain, yang 35
beberapa diataranya mungkin lebih tua secara usia. Peran sebagai pemateri ini mengurangi rasa ewuh pekewuh atau menggurui karena memang sudah tugas pemateri untuk menyampaikan materi kepada peserta. Untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut diperlukan dukungan sekolah dalam 3 hal yaitu: integrasi KKG sebagai bagian kegiatan sekolah, peraturan sekolah untuk mewajibkan keikutsertaan guru dalam KKG dan insentif kegiatan guru dalam KKG.
2. Model komunitas pembelajar profesional SD yang dapat meningkatkan mutu guru SD Perumusan model KPP berdasarkan pendapat guru-guru ditempuh dengan pengumpulan informasi mengenai tujuan KPP, penjadwalan yang memungkinkan, pengelompokkan guru dan dukungan yang diperlukan. a. Tujuan KPP Terdapat 3 tujuan yang dinyatakan oleh responden untuk dicapai dalam aktivitas KPP, yaitu: 1) Pemecahan masalah pembelajaran di kelas 2) Peningkatan kompetensi mengajar 3) Peningkatan kompetensi untuk melakukan PTK
36
Berdasarkan hasil FGD, diketahui bahwa tujuan KPP di sekolah bisa lebih luas dari ketiga hal tersebut. KPP hendaknya tidak hanya mengatasi permasalahan pembelajaran di kelas namun juga berbagai permasalahan yang terjadi di sekolah, misal menanggapi keluhan dari orang tua murid dan masyarakat, membuat laporan administrasi, dan mengembangkan strategi kerjasama dengan wali murid.
b. Penjadwalan pelaksanaan KPP Penjadwalan pelaksanaan kegiatan harus dilakukan untuk mengupayakan tingginya tingkat partisipasi guru. Hasil FGD menunjukkan bahwa penjadwalan ini dirasakan penting terutama bagi guru yang waktunya terbatas karena memiliki banyak tugas tambahan selain mengajar. Selain itu, penjadwalan KPP juga perlu memperhatikan jadwal kegiatan KKG di level gugus dan juga jadwal kegiatan guru di Dinas Pendidikan Kota untuk menghindari terjadinya benturan waktu. Berdasarkan hasil survey, mayoritas responden mengusulkan penerapan KPP dilakukan setelah jam 12 siang dan sebagian kecil lainnya menyatakan setelah jam 9 pagi.
37
Untuk frekwensi kegiatan, hampir 50% responden tidak menetapkan secara spesifik. Namun demikian, diketahui ada sebagian kecil responden (30%) menyebutkan sekali seminggu dan sebagian lainnya (23%) menyebutkan setiap 2 minggu sekali.
Hasil FGD menyarankan bahwa KKG di level sekolah mungkin dilaksanakan 1 minggu atau 2 minggu sekali. Hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan frekwensi kegiatan KKG adalah kebutuhan sekolah sendiri, misal banyak sedikitnya permasalahan sekolah atau pembelajaran yang perlu dipecahkan bersama-sama. Adapun durasi waktu per pertemuan yang disarankan adalah 1 jam untuk materi biasa, misal diskusi tentang strategi mengajar yang 38
baru, dan 2 jam untuk materi yang tidak biasa, misal persiapan implementasi kurikulum baru atau pembahasan implementasi program baru. c. Pengelompokan guru Untuk mempermudah penerapan KPP, mayoritas responden menyatakan pengelompokan perlu dilakukan berdasarkan jenjang kelas dimana guru mengajar (79%) sementara sebagian kecil lainnya menyatakan berdasarkan mata pelajaran, lintas mata pelajaran, dan lintas kelas.
Data FGD menunjukkan bahwa pengelompokan guru berdasarkan mata pelajaran dalam pelaksanaan kegiatan KKG di level sekolah hanya mungkin dilakukan di SD yang kelasnya pararel, misal kelas 3 ada 3 kelas. Untuk SD yang hanya memiliki 1 kelas di setiap tingkat, pengelompokkan guru yang mungkin adalah guru lintas kelas. Pengelompokkan guru lintas mata pelajaran sangat mungkin terjadi di SD yang gurunya merupakan guru mata pelajaran, bukan guru kelas. Untuk SD yang gurunya guru kelas, pengelompokannya lintas mata pelajaran bisa terjadi ketika kelompok guru terdiri dari guru kelas, guru agama dan guru olah raga.
d. Fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan KPP Terdapat 4 fasilitas pendukung yang dinyatakan oleh responden, yaitu: 1) Dana operasional kegiatan 2) Sarana pembelajaran 39
3) Narasumber dari luar dan dalam sekolah 4) Materi berbasis kebutuhan guru
Disamping kebutuhan fasilitas pendukung, kepala sekolah memegang peranan penting untuk mendukung penerapan KPP dalam hal-hal sebagai berikut: 1) Memberdayakan guru dalam pelaksanaan kegiatan 2) Memonitor dan memberikan umpan balik 3) Memberdayakan guru dalam pengorganisasian kegiatan 4) Menjadikan KPP sebagai kegiatan rutin sekolah 5) Memberikan penghargaan
40
Untuk keberlanjutan program, data FGD menyarankan agar dibentuk pengurus kegiatan, misal wakasek bidang kurikulum dan guru yang kompeten. Pengurus ini hendaknya diberi penghargaan misal diberi SK. Selain itu, mereka juga perlu diberi pelatihan tentang cara mengelola kegiatan yang efektif. Dengan demikian, KKG di level sekolah merupakan kegiatan oleh, dari dan untuk guru. Selain itu, KKG ini perlu dimonitor dan dievaluasi keefektifannya secara rutin oleh kepala sekolah. Pada awal pembentukan kegiatan, kepala sekoalah perlu memberikan pemotivasian kepada guru untuk berpartisipasi aktif dan pengarahan kepada guru akan pentingnya pembelajaran kolaboratif antar guru dan pengembangan diri yang terus menerus.
B. PEMBAHASAN Sebagian besar guru dalam penelitian ini menyatakan bahwa KPP identik dengan KKG yang dilaksanakan di level gugus di bawah ranting dinas pendidikan kecamatan. Hal ini sedikit berbeda dengan anggapan guru-guru di Inggris dalam penelitian Ladson-Billings dalam Klein, Emily J. (2008) yang menyatakan bahwa bentuk dari KPP di berbagai sekolah terbatas pada workshop yang bersifat episodik yang memberikan ide baru dan tambahan materi. Bila workshop ini jarang terkait dengan belajar mengajar karena jarang melihat kebutuhan dan minat guru-guru maka KKG di tingkat gugus dalam penelitian ini banyak memberi manfaat tentang peningkatan keterampilan mengajar (67%) dan sisanya (33%) mengatakan memperoleh pemahaman tentang kebijakan baru (33%). Dalam kata lain, saat ini pelaksanaan KKG cukup mengakomodir kebutuhan guru. Namun keikutsertaan guru dalam kegiatan KKG juga masih sangat minim meskipun dari sisi manfaat banyak dibutuhkan guru. Di sisi lain KKG juga belum cukup memadai dikatakan sebagai wahana untuk pembelajaran profesional karena tidak ada unsur umpan balik serta refleksi setelah penerapan di kelas. Hal ini senada dengan pernyataan Department of Education & Training (2005) yang menyatakan bahwa pembelajaran profesional dikatakan efektif hanya jika memberikan kesempatan bagi guru untuk menguji pembelajaran yang mereka peroleh di kelas, ditindaklanjuti dan diberi umpan balik. Oleh karena itu pembelajaran profesional yang efektif tidak dicapai dari programprogram pengembangan profesional tradisional dalam bentuk seminar, konferensi, lokakarya sekali selesai. 41
Namun demikian, bentuk penyelenggaraan KPP memungkinkan untuk dilakukan secara formal maupun informal oleh sekolah berdasarkan situasi dan kondisi sekolah. Secara formal, KPP dapat berupa tim pembelajar profesional. Dalam tim ini, guru bekerja dengan spirit keterbukaan dan refleksi kritis, berbagi pengalaman, ide, dan keahlian mereka satu dengan yang lain, terlibat dalam proses pengkajian yang terus menerus yang menumbuhkan pembelajaran tim yang mendalam. Kerja tim diarahkan oleh model pemecahan masalah dan pembelajaran yang sistematis dan jelas yang meliputi siklus pembelaran, aplikasi, perbaikan,d an aplikasi budaya kolaboratif dan tanggung jawab kolektif untuk pengembangan praktek pembelajaran yang efektif dan perestasi siswa yang lebih baik (The Department of Education & Training; 2005). Belajar dengan atau pada guru lain lintas mata pelajaran secara kolaboratif merupakan salah satu pendekatan komunitas pembelajar di Blue Mountain, Kanada (Giles & Hargreaves, 2006). Komunitas pembelajar profesional dapat terjadi secara informal. Artinya, proses berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan terjadi tidak dalam konteks implementasi program yang direncanakan dan terstruktur. Contoh bentuk komunitas pembelajaran profesional secara informal antara lain percakapan guru tentang pembelajaran, pembimbingan tidak terstruktur, pemberian pelatihan keterampilan dari guru berpengalaman ke guru yang kurang berpengalaman, dan sebagainya. Desain dari penyelenggaraan KPP di sekolah dinyatakan oleh sebagian besar responden tidak cukup hanya dalam bentuk informal namun diharapkan integratif dengan kegiatan sekolah dan dilaksanakan setelah jam pelajaran usai. Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah tentang jam kerja guru SD yang diperpanjang sehingga memungkinkan sekolah untuk lebih fleksibel dalam mengalokasikan waktu penyelenggaraan KPP. Meskipun demikian, dalam pembentukan KPP pada tahap awal bilasekolah ingin mewujudkan KPP makaperlu usaha keras untuk penerapan berbagi pengetahuan dalam interaksi sehari-hari (Rismark, M., & Solvberg, A. M, 2011) Manfaat KPP dapat dilihat dari peningkatan prestasi akademik siswa sebagai dampak peningkatan mutu kualitas pembelajaran kelas. Hal ini secara eksplisit dinyatakan oleh responden dalam penelitian ini dan didukung hasil-hasil penelitian. Manfaat tersebut dapat dicapai karena dalam aktivitas KPP, guru sebagai penentu 42
kualitas pembelajaran secara langsung mendapat manfaat dari KPP dalam beberapa hal sebagai berikut: a. Bertukar pendapat, pengalaman dan ketrampilan mengajar. Hal ini senada dengan Giles & Hargreaves (2006) yang menyatakan bahwa KPP akan menghasilkan peningkatan pengetahuan, ketrampilan, dan kepercayaan diri guru. Guru-guru merasakan pertumbuhan profesional yang cepat ketika bergabung dengan komunitas pembelajar dimana cara kerja dan cara berpikir yang baru diinternalisasikan dengan cepat menjadi filosofi dalam praktek pembelajar guru. b. Memungkinkan guru berbagi kesuksesan, pengetahuan dan keterampilan baru yang diperoleh dari pelatihan di luar sekolah tanpa takut dinilai sombong. Hal ini identik dengan budaya kerja positif yang terbangun dalam KPP. Elemen inti KPP adalah budaya kolaboratif dan tanggung jawab kolektif untuk pengembangan praktek pembelajaran yang efektif dan perestasi siswa yang lebih baik (The Department of Education & Training; 2005). c. Mengkaji tentang pembelajaran dan hal-hal baru yang inovatif untuk meningkatkan mutu pembelajaran siswa. Peningkatan mutu sekolah yang terus menerus pada sistem (struktur dan kultur) budaya kolaboratif dan tanggung jawab kolektif untuk pengembangan praktek pembelajaran yang efektif dan perestasi siswa yang lebih baik (The Department of Education & Training; 2005). Kaitan antara KPP dengan guru dan murid dinyatakan oleh Desimone, Laura M (2009) dalam visualisasi sebagai berikut d. Elemen KPP: e. Fokus pada f. materi g. Pembelajaran h. aktif i. Koheren j. Durasi k. Partisipasi l. bersama
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan guru, perubahan sikap dan beliefs
Perubahan dalam pembelaja ran
Peningkatan pembelajaran siswa
Gambar 20. Kaitan antara Penerapan KPP dengan perubahan pada guru dan murid
43
Pada gambar 20 dapat dilihat bahwa pengembangan profesional merupakan kunci reformasi pengajaran dan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan pembelajaran siswa. Penerapan KPP atau dalam hal ini dipahami oleh mayoritas guru sebagai KKG level sekolah sangat mungkin dilakukan. Hal tersebut dinyatakan oleh pengawas, kepala sekolah maupun guru. Berdasarkan penuturan salah satu pengawas bahwa sangat dimungkinkan untuk menyelenggarakan KKG di level sekolah. Secara luas, KKG juga sangat diterapkan di sekolah atau dalam hal ini KPP karena hal ini didukung 6 karakteristik pendukung KPP (Bollam, R., et al., 2005) yang dijumpai di 9 SD dengan kategori baik, yaitu: kepemimpinan bersama, visi & nilai bersama, pembelajaran kolektif & aplikasi, penyebarluasan strategi mengajar guru, hubungan personal yg mendukung, struktur organisasi yg mendukung. Sebagian besar responden yang mayoritas adalah guru juga menyatakan membutuhkan penerapan KKG di level sekolah dalam bentuk formal. Hal ini juga ditemukan oleh
Wells, C., & Feun, L.
(2007) dalam survey mengindikasikan bahwa guru menginginkan kolaborasi, berbagi infomasi, merencanakan dan bekerja bersama. Namun guru juga menyatakan bahwa selama ini mereka bekerja mengacu panduan kurikulum sehingga mereka cenderung tidak bekerjasama untuk menentukan elemen penting dari setiap matapelajaran yang diajar Namun, mengembangkan KPP bukanlah hal yang mudah (Kingsley, 2012). Para guru membutuhkan waktu dan usaha untuk bekerja dalam suatu tim yang mungkin meningkatkan beban kerja guru, khususnya di awal. Pengembangan kepercayaan dan percaya diri untuk mengambil resiko, berkesperimen, dan bekerja secara kolaboratif membutuhkan ketekunan karena berbenturan dengan norma otonomi yang secara historis menjadi ciri pekerjaan guru. Senada dengan Wells, C., & Feun, L. (2007) yang mengidentifikasi tantangan di 6 sekolah dalam penerapan KPP, yaitu: a. Lingkungan kerja dengan budaya yang negatif b. Diam atau pasif terhadap penerapan inovasi maupun gangguan c. Ketakutan dalam penerapan Tantangan tersebut di atas dari sisi kultur ditemukan dalam data FGD yang menunjukkan perolehan skor terendah pada kategori penyebarluasan strategi mengajar. Alasan yang mendasari kondisi tersebut salah satunya karena adanya budaya ewuh pekewuh, seperti dianggap menggurui atau menyombongkan diri. 44
Situasi tersebut bertolak belakang dengan kultur yang menjadi pendukung. Perolehan skor yang belum maksimal pada indikator hubungan personal yang mendukung salah satunya disebabkan oleh budaya daerah yang masih mempengaruhi hubungan antar guru seperti senior-junior. Terlepas dari tingkat keterbukaan guru senior yaitu guru berusia tua dan berpengalaman mengajar terhadap hal baru, guru junior secara umum memiliki rasa kurang nyaman jika menyampaikan hal-hal baru kepada guru senior. Mereka memilik rasa kurang nyaman dan khawatir akan dipandang menggurui terhadap guru senior. Sementara itu elemen penting dalam KPP yaitu: menghargai perbedaan dan selalu memfokuskan pada peningkatan pengajaran yang terus menerus untuk semua anggota komunitas yang tidak tergantung dari usia dan lama pengalaman kerja. Konsekwensinya, komunitas pembelajar memungkinkan terjadinya perselisihan dan debat antar anggotanya. Oleh karena itu peran kepala sekolah menjadi utama saat proses penerapan KPP (Bolam, et al., 2005; Lunenbergh, 2010; Thomson, Gregg, & Niska, 2004). Fullan, dalam Wells, C., & Feun, L. (2008) mempertegas bahwa kepala sekolah perlu menguasai ketrampilan untuk memahami proses perubahan, pengetahuan tentang kepemimpinan, dan pembagian untuk membangun rasa saling percaya antar guru. Hal tersebut dinyatakan sebagai hal penting untuk mengawali KPP yang harus dikuasai oleh kepala sekolah. Morrissey and Cowan (dalam Wells, C., & Feun, L, 2008) menyatakan dukungan lain dari kepala sekolah terjadi dalam beberapa bentuk: a. b. c. d.
Membantu guru untuk menetapkan tujuan yang jelas Mengembangkan hubungan Melengkapi sarana komunikasi Menghargai kapasitas SDM untuk berubah
Penerapan KPP memerlukan evaluasi, monitoring dan keberlanjutan. Evaluasi penerapan KPP menurut Bollam, R., et al. (2005) dapat dilakukan dengan meninjau 3 hal berikut: 1.
Dampak pada pembelajaran siswa dan perkembangan sosial
2.
Dampak pada moral dan perilaku staff
3.
Karakteristik dan proses pengembangan serta keberlanjutan KPP
Strategi untuk keberlanjutan dari penerapan KPP dinyatakan oleh Bollam, R., et al. (2005) salah satunya dapat dilakukan dengan mentoring guru secara individual.
45
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dihasilkan prototype model komunitas pembelajar profesional sebagai strategi peningkatan mutu guru berbasis sekolah di SD sebagai berikut.
46
Visi Misi Sekolah Prestasi Siswa
Mutu Pembelajaran (Kurikulum, Proses Belajar Mengajar, Penilaian)
Guru Bermutu/Profesional
Komunitas Pembelajar Profesional 1. Pembentukan Kelompok Diskusi Guru (KDG)
Pengembangan: 1. Visi, tujuan, dan nilai bersama
2. Penyelenggaraan Kegiatan KDG secara terencana, rutin dan terprogram
2. Tanggung jawab bersama terhadap mutu pembelajaran
3. Pengalokasian Sumber Daya Pembelajaran 4. Mentoring, Evalusi, dan Keberlanjutan
3. Kolaborasi untuk mutu pembelajaran 4. Pembelajaran individual dan kelompok 5.Refleksi profesional 6. Kepemimpinan bersama 7. Keterbukaan dan kerjasama
5. Sistem Penghargaan Prestasi
8. Inklusifitas anggota 9.Saling percaya, saling dukung, dan saling menghormati
Struktur
Kultur
Kepemimpinan Kepala Sekolah
Dukungan Eksternal Sekolah Kebijakan Pendidikan, Sumber Daya Stakeholders, Kemajuan IPTEK
Gambar 21 Prototype Model Pengembangan Komunitas Pembelajar Profesional Sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah
47
1. Berbagi (Dialog/Diskusi)
Target Perbaikan
4. Evaluasi dan Refleksi
Ide/Gasaran Baru/ Inovasi
3. Aplikasi
Gambar 22 Siklus Pembelajaran Kolaboratif Guru Siklus pembelajaran kolaboratif terdiri dari empat elemen yang saling berkait dan berorientasi pada pencapaian target perbaikan. 1. Berbagi (dialog/diskusi) Berbagi (dialog/diskusi) merupakan kegiatan paling awal dari siklus pembelajaran kolaboratif guru. Pada tahap ini terjadi proses berbagi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman antar guru yang ditujukan untuk memperoleh solusi suatu permasalahan ataupun mencari alternatif tindakan yang lebih baik untuk perbaikan mutu pengajaran dan layanan terhadap siswa 2. Gagasan Baru/Inovasi Pada tahap ini, guru secara bersama-sama menyepakati gagasan baru/inovasi sebagai solusi atau tindakan perbaikan yang paling baik untuk dilakukan. 3. Aplikasi Pada tahap ini, gagasan baru/inovasi diterapkan untuk mengatasi permasalahan. Pada kegiatan aplikasi ini, guru bisa menerapkannya secara individual atau tim. 4. Evaluasi dan Refleksi Pada tahap ini guru melakukan evaluasi dan refleksi atas aplikasi atau penerapan ide/gagasan baru/inovasi. Hasilnya dikomunikasikan kepada guru-guru lain.
48
BAB VI RANCANGAN TAHAP SELANJUTNYA
Berdasarkan hasil yang telah dicapai pada tahun I penelitian ini, dapat dirumuskan rancangan penelitian pada tahun ke II sebagai berikut. 1.
Pelaksanaan uji coba dalam lingkup terbatas a. Mengidentifikasi 2 SD (negeri dan swasta) yang bersedia menjadi tempat uji coba model b. Pengembangan instrumen untuk memonitor dan mengevaluasi proses dan output model c. Penerapan prototype model KPP disesuaikan dengan kondisi 2 SD tempat uji coba dengan target peningkatan dari sisi pendukung KPP (struktur organisasi sekolah dan budaya akademis) serta hasil KPP dilihat dari mutu pembelajaran dan prestasi belajar siswa. d. Revisi Model berdasarkan hasil uji coba berbasis action research guna memperoleh penyempurnaan prototype model KPP sesuai setting sekolah.
2.
Uji coba model yang telah direvisi dalam lingkup sekolah yang diperluas dengan menggunakan penelitian eksperimen a. Mengidentifikasi 8 SD (negeri dan swasta dengan kategori sangat baik dan baik) yang bersedia menjadi tempat uji coba model b. Uji coba efektivitas model KPP yang sudah direvisi disesuaikan dengan kondisi 8 SD tempat uji coba untuk melihat efektivitas dari sisi pendukung KPP (struktur organisasi sekolah dan budaya akademis) serta hasil KPP dilihat dari mutu pembelajaran dan prestasi belajar siswa. c. Revisi akhir model KPP berdasarkan hasil uji coba berbasis penelitian eksperimen guna memperoleh penyempurnaan prototype model KPP sesuai setting sekolah.
3.
Penulisan model yang telah teruji dan tervalidasi dalam bentuk buku pandungan pengembangan model KPP
4.
Publikasi hasil model berupa artikel/paper maupun desiminasi produk terhadap dinas pendidikan terkait.
49
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Komunitas pembelajar profesional pada tingkatan tertentu telah terjadi di sekolah yang
ditunjukkan dari indikator enam dimensi komunitas pembelajar profesional yang secara rata-rata berada pada kategori baik. 2. Sekolah perlu menguatkan enam dimensi komunitas pembelajar profesional untuk dapat
menjadi komunitas pembelajar profesional . 3. Sekolah perlu menjadi komunitas pembelajar profesional untuk meningkatkan mutu guru
dan pembelajaran di kelas. 4. Model komunitas pembelajar profesional yang ideal adalah model yang mengintegrasikan
dan mensinergikan sumber daya internal dan eksternal sekolah untuk menciptkan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran kolaboratif profesional guru yang diarahkan pada peningkatan mutu pembelajaran dan keefektifan sekolah.
B. Saran 1. Kepala sekolah hendaknya memberikan pemahaman kepada guru tentang pentingnya
pengembangan sekolah sebagai komunitas pembelajar profesional 2. Kepala sekolah hendaknya mengembangkan kondisi struktur dan kultur sekolah yang
mendukung sekolah menjadi komunitas pembelajar profesional 3. Kepala sekolah hendaknya menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti Dinas
Pendidikan dan Perguruan Tinggi untuk mengembangkan sekolah menjadi komunitas pembelajar profesional.
50
DAFTAR PUSTAKA
Ardottir, Anna K. S. 2005. Studying and Enhancing Professional Learning Community for School Effectiveness in Iceland. Revista Electronica Lberoamericana sobre Calidad, Eficacia y Cambio en Educacion, 3 (1), hal. 178-193. Andrews, D. and Lewis, M. (2004). Building sustainable futures: emerging understanding of the significant contribution of the professional learning community. Improving Schools, 7 (129), hal. 128-149. DOI: 10.1177/1365480204047345 Bolam, R. (2008). Professional Learning Communities and Teacher‟s Professional Development. Dalam D. Johnson, R. Maclean. Teaching, Professionalization, Development, and Leadership. Springer Science+Business Media.
Bollam, R., et al. (2005). Creating and Sustaining Effective Professional Learning. Research Report. University of Bristol, Bath, and London, Institute of Education: UK. Borg, W.R., & Gall, M.D. 2007. Educational Research: An Introduction. New York: Longman. Castetter, W.B. (1996). The Personnel Function in Education Administration Sixth Edition. New York: Mac Millan Publishing Co. Crowther, F., Ferguson, M. & Hann, L. (2007). Developing Teacher Leader Second Edition. A USA: Joint Publication Corwin Press & National Association of Secondary School Principals Dufour, R. (2004). What is Professional Learning Community?. Educational Leadership. Association for Supervision and Curriculum Development. Desimone, Laura M (2009) Improving Impact Studies of Teachers‟ Profesional Development: Toward Better Conceptualizations and Measures. Educational Researcher; apr, 38.3 Proquest Education Journals pf. 181 Fahrawaty. (2012). Upaya Optimalisasi Kelompok Kerja Guru di Daerah Terpencil di Provinsi Sulawesi Selatan. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan: Sulawesi Selatan. Fulton, K. & Britton, T. (2011). STEM‟s Teachers in Professinal Learning Communities: From Good Teachers to Great Teachers. USA: National Commision on Teaching and America‟s Future.. Hargreaves, Andy. (1997). The four ages of professionalism and professional learning. UNICORN, 23 (2). 86-114 Hargreaves, A. & Fullan, M. (2000). Mentoring in the new millennium. ProQuest Education Journals, 39 (1), 50-56.
51
Klein, Emily J. (2008) Learning, Unlearning and Relearning: Lessons from One School‟s Approach to Creating and Sustaining Learning Communities. Teacher Education Quaterly, Winter Lunenberg, F. C. 2010. Creating A Professional Learning Community. National Forum of Educational Administration and Supervision Journal, 27, (4), hal. 1-8. Mulford, B. (2008). The Leadership Challenge: Improving Learning in Schools. Australian Education Review. Victoria: ACER Press. National Education Association. 2007. The Keys to Effective Schools. USA: A Joint Publication: Corwin Press & NEA Permen Diknas Nomor 17 Tahun 2007 tentang Kualifikasi dan Standar Kompetensi Guru. Rismark, M., & Solvberg, A. M. (2011). Knowledge sharing in schools: A key to developing professional learning communities. World Journal of Education, 1(2), 150-n/a. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1030087823?accountid=31324 Sergiovanni, Thomas G. (2006). The Principlaship. A Reflective Practice Perspective. Fifth Edition. Boston: Pearson. Sondang, P. Siagian. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Smith, C. S. & Piele, P. K. (2006). School Leadership. Handbook for Excellence in Student Learning. California: Corwin Press. Thomson, S. C., Gregg, L. , Nisca, J. M. (2004). Professional Learning Communities, Leadership, and Student Learning. Research in Middle Education Level (RMEL), 28, (1), hal 1-15. Undang Undang Nomor. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Wells, C., & Feun, L. (2007). Implementation of learning community principles: A study of six high schools. National Association of Secondary School Principals.NASSP Bulletin, 91(2), 141-160. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/216020985?accountid=31324 Wells, C., & Feun, L. (2008). What has Changed? A Study of Three Years of Prefissional Learning Community Work. Planning and Changing, 39(1), 42-66. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/916414067?accountid=31324
52
Kepada Yth. Bapak/Ibu Guru SD Se- Kota Yogyakarta Penguasaan kompetensi mengajar guru SD masih menjadi permasalahan mendasar upaya peningkatan mutu pendidikan dasar. Kondisi ini semakin membutuhkan perhatian ketika guru SD dihadapkan pada perubahan kebijakan pendidikan khususnya pada dimensi kurikulum dan pengajaran yang saat ini intens dilakukan. Memperhatikan hal tersebut, kami berupaya mengembangkan model Komunitas Pembelajar Profesional (KPP) berbasis sekolah sebagai wadah pengembangan guru SD. Dari total 127 SD di Kota Yogyakarta, sekolah Bapak/Ibu merupakan salah satu yang mewakili untuk turut berkontribusi dalam pengembangan model KPP ini. Oleh karena itu, kami berterima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu sebagai responden kami. Data yang Bapak/Ibu berikan berikan bersifat rahasia dan akan diolah dengan cara pemberian kode sehingga identitas dari Bapak/Ibu terjaga. Hasil penelitian ini mendukung kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan dasar dan diharapkan dapat diterapkan di setiap sekolah sebagai salah satu alternatif wadah pengembangan profesionalitas guru berbasis sekolah.
ANGKET KOMUNITAS PEMBELAJAR PROFESIONAL DI SEKOLAH DASAR PETUNJUK UMUM Angket ini terdiri dari 4 Bagian. Masing-masing bagian membutuhkan data dan informasi yang berbeda. Untuk itu, kami mohon Bapak/Ibu untuk mengisi data dan juga menjawab pertanyaan pada masing-masing bagian sesuai petunjuk pengisian. BAGIAN I IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama guru 2. Usia 3. Tugas pokok
: ______________________ : _______tahun : Guru Kelas/Guru Mapel __________
4. Pengalaman mengajar SD : _____ tahun _____ bulan 5. Nama SD
: _______________________
6. Jenis Kelamin
: Laki-laki/perempuan
7. Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh : Jenjang pendidikan (SPG/D-II/S1/S2/S3 dll)
tahun
1 2 3
8. Jumlah siswa di kelas :_____________ orang
53
9. Jumlah jam mengajar dalam seminggu ______jam BAGIAN II Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara membubuhkan tanda centang pada pilihan jawaban yang paling sesuai dengan realita Bapak/Ibu! A. Keterlaksanaan Komunitas Pembelajar Profesional 1. Apakah di sekolah Bapak/Ibu telah diselenggarakan kegiatan kelompok guru? Ya Tidak, lanjutkan ke nomor 9 2. Apa bentuk kegiatan kelompok guru yang telah diselenggarakan? Jawaban boleh lebih dari 1. Kelompok Kerja Guru Tim Mengajar Tim Penelitian Tindakan Kelas Tim Lesson Study Kelompok Studi Kasus Lainnya, sebutkan ___________________________ 3. Bagaimana pengaturan waktu kegiatan kelompok guru di sekolah Bapak/Ibu? Rutin terjadwal Rutin tidak terjadwal Insidental 4. Apakah Bapak/Ibu berpartisipasi dalam kegiatan kelompok guru di sekolah Bapak/Ibu? Selalu Kadang-kadang Jarang Tidak pernah, lanjut ke nomor 9.
5. Apa peran yang pernah Bapak/Ibu lakukan dalam kegiatan kelompok guru? Jawaban boleh lebih dari 1. Partisipan Nara sumber Koordinator/pengurus kegiatan Lainnya ___________________________________ 6. Pengetahuan dan atau kompetensi apa yang paling banyak Bapak/Ibu peroleh dalam kegiatan kelompok guru? Keterampilan mengajar Sosialisasi kebijakan baru, misal implementasi kurikulum baru Keterampilan melakukan penelitian tindakan kelas Lainnya, sebutkan ___________________________ 7. Apa manfaat yang Bapak/Ibu peroleh ketika berpartisipasi dalam kegiatan kelompok guru? Jawaban boleh lebih dari 1. Informasi kebijakan pendidikan terbaru, misal perubahan kurikulum Peningkatan kompetensi mengajar Peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa Peningkatan keterampilam kepemimpinan Lainnya, sebutkan ____________________________ 8. Apa saja dukungan sekolah terhadap kegiatan kelompok guru? Jawaban boleh lebih dari 1. Dana: memadai/cukup memadai/kurang (coret yang tidak sesuai) Nara sumber/pakar Fasilitas, misal ruang dan perlengkapannya Waktu Lainnya, sebutkan ____________________________
54
9. Apakah Bapak/Ibu bertukar pendapat, pengalaman, dan keterampilan tentang belajar mengajar dengan guru lain melalui obrolan atau bincang-bincang santai? Ya: hampir setiap hari setiap ada kesempatan Kadang-kadang: seminggu 2 hingga 3 kali Jarang: sekali atau tidak sama sekali dalam 1 minggu. Tidak pernah, lanjut ke nomor 12 10. Faktor-faktor apa saja yang mendukung Bapak/Ibu bertukar pendapat, pengalaman, dan keterampilan mengajar dengan guru lain melalui obrolan santai? Pilihan jawaban boleh lebih dari 1. Budaya keterbukaan, saling menghargai, dan keperdulian antar guru Ada waktu luang Tata ruang kerja dan tempat duduk guru yang berdekatan Motivasi guru yang tinggi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman Lainnya, sebutkan ____________________________ 11. Apa manfaat yang Bapak/Ibu peroleh ketika bertukar pendapat, pengalaman, dan keterampilan mengajar dengan guru lain melalui obrolan santai? Pilihan jawaban boleh lebih dari 1. Pemahaman kebijakan pendidikan terbaru, misal perubahan kurikulum Peningkatan kompetensi mengajar Peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa Peningkatan kompetensi kepemimpinan Lainnya, sebutkan ____________________________
12. Apakah Bapak/Ibu membutuhkan bentuk kegiatan kelompok guru untuk bertukar pendapat, pengalaman, dan keterampilan mengajar dengan guru lain?
Sangat membutuhkan Cukup membutuhkan Kurang membutuhkan Tidak membutuhkan
13. Apa kebijakan sekolah yang Bapak/Ibu butuhkan untuk mendukung terlaksananya kegiatan kelompok guru? Pilihan jawaban boleh lebih dari 1. Peraturan sekolah yang mewajibkan guru mengikuti kegiatan kelompok guru Insentif kehadiran guru dalam kegiatan Integrasi kegiatan kelompok guru sebagai bagian integral dari program sekolah Lain-lain, sebutkan __________________________ B. Model Komunitas Pembelajar Profesional di Sekolah 14. Apa tujuan yang hendaknya menjadi fokus kegiatan kelompok guru di SD? Pilihan jawaban boleh lebih dari 1. Peningkatan kompetensi mengajar Pemecahanan masalah-masalah pembelajaran di kelas Peningkatan kompetensi melakukan Penelitian Tindakan Kelas Lainnya, yaitu _____________________________ 15. Kapan waktu kegiatan kelompok guru di sekolah sebaiknya dilakukan? Setelah jam 09.00 Setelah jam 12.00 Lainnya, sebutkan _________________________ 16. Seberapa sering dan lama kegiatan kelompok guru di sekolah sebaiknya diselenggarakan? Satu kali seminggu @ 60 menit. Satu kali dalam dua minggu @ 60 menit
55
Lainnya, sebutkan _________________________
17. Apa dasar pengelompokan guru dalam kegiatan kelompok guru di sekolah? Guru mata pelajaran Guru lintas mata pelajaran Guru kelas Guru lintas kelas Lainnya, sebutkan __________________________
18. Apa fasilitas/sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan kelompok guru? Pilihan jawaban boleh lebih dari 1. Dana operasional kegiatan Nara sumber/pakar dari dalam sekolah Nara sumber/pakar dari luar sekolah Sarana pembelajaran Materi kegiatan berbasis kebutuhan guru Lainnya, sebutkan __________________________
19. Apa peran Kepala Sekolah yang diharapkan untuk mendukung kelancaran kegiatan kelompok guru di sekolah? Pilihan jawaban boleh lebih dari 1. Menjadikan kegiatan kelompok guru sebagai salah satu program rutin sekolah Memberdayakan guru dalam pelaksanaan kegiatan Memberdayakan guru dalam pengorganisasian kegiatan Memonitor dan memberikan umpan balik Memberikan penghargaan, misal: insentif, ucapan selamat, pemberian kepercayaan dan tanggung jawab) terhadap keaktifan dan prestasi guru ketika mengikuti kegiatan kelompok Lainnya, sebutkan ____________________________
56
BAGIAN III : Sekolah Sebagai Komunitas Pembelajar Profesional Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara membubuhkan tanda centang pada pilihan jawaban yang paling sesuai dengan realita Bapak/Ibu. Pilihan Jawaban =
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
11. 12.
13. 14. 15. 16. 17.
18.
TSK (Tidak Sesuai Kondisi) KSK (Kurang Sesuai Kondisi) CSK (Cukup Sesuai Kondisi) SK (Sesuai Kondisi)
PERNYATAAN Penyelesaian masalah di sekolah melibatkan semua guru Untuk mengambil keputusan, Kepala Sekolah mempertimbangkan saran guru Data penting di sekolah dapat diakses/diperoleh oleh guru Kepala Sekolah secara aktif berperan dalam memajukan sekolah Guru bebas atau leluasa melakukan inovasi/pengembangan pembelajaran di kelas Kepala Sekolah mendukung upaya pengembangan pembelajaran guru Kepala sekolah mendelegasikan tugas kepada guru Kepemimpinan ditumbuhkan pada semua guru Pengambilan keputusan sekolah melibatkan komite sekolah Kemajuan atau kemunduran hasil belajar siswa disadari sebagai tanggung jawab bersama oleh sekolah dan semua pihak/masyarakat yang terlibat, misal orang tua murid, komite sekolah, dan dinas pendidikan. Guru menggunakan beragam data untuk mengevaluasi pembelajaran Ada kesamaan ‘nilai’ yang diyakini guru dan dibangun melalui proses kolaborasi/kerjasama, misal kejujuran, tanggung jawab, keterbukaan ‘Nilai’ yang diyakini bersama melandasi perilaku dan pengambilan keputusan guru dalam pembelajaran Guru memiliki kesamaan pandangan dalam meningkatkan mutu pembelajaran Setiap keputusan sekolah selaras dengan visi sekolah Pembuatan visi sekolah melibatkan guru-guru Tujuan sekolah difokuskan pada proses pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada prestasi akademik siswa Kebijakan dan program sekolah tidak bertentangan
TSK
KSK
CSK
SK
57
19.
20. 21.
22.
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
30.
31. 32. 33. 34. 35. 36.
37.
dengan visi sekolah Masyarakat sekolah, misal orang tua murid, dinas pendidikan, terlibat dalam penetapan tinggi rendahnya harapan/standar mutu sekolah Prioritas tindakan/kegiatan didasarkan data siswa Guru bekerjasama untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan strategi baru dan menerapkannya dalam pekerjaan Terjadi hubungan kolegial/kedekatan antar guru yang merefleksikan komitmen bersama dalam upaya memperbaiki meningkatkan mutu sekolah Guru bekerjasama dalam merencanakan dan mencari solusi pemenuhan kebutuhan siswa yang beragam Struktur organisasi sekolah memberi kesempatan diskusi terbuka antar guru tentang pembelajaran Guru sering berdiskusi yang menghargai perbedaan pendapat Kelompok kerja guru (KKG) di sekolah berfokus pada peningkatan mutu pengajaran dan pembelajaran Guru belajar bersama dan mengaplikasikan pengetahuan baru Guru berkomitmen pada usaha peningkatan mutu pembelajaran Guru bersama-sama menganalisis keefektifan pelaksanaan proses belajar mengajar sebagai dasar meningkatkan mutu pengajaran Guru bersama-sama menganalisis pekerjaan siswa untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran sebagai dasar meningkatkan mutu pengajaran Ada kesempatan bagi guru mengamati guru lain saat mengajar untuk memberikan support/dukungan Guru memberikan umpan balik/masukan/saran pada guru lain tentang pelaksanaan proses belajar mengajar Guru terbuka untuk berbagi ide dan saran secara informal untuk meningkatkan pembelajaran siswa Guru sering berkolaborasi dan berbagi pengalaman mengajar dalam rangka meningkatkan mutu pengajaran Ada kesempatan pendampingan guru senior kepada guru yunior Guru sebagai individu dan atau tim memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan hasil belajar bersama guru lain dan menyebarluaskan hasilnya Guru melaporkan hasil pekerjaan siswa dalam rapat sebagai dasar melakukan perbaikan sekolah secara
58
38. 39. 40. 41.
42.
43. 44. 45. 46. 47. 48.
49. 50. 51. 52.
53
menyeluruh Terjalin hubungan saling perduli diantara guru dan siswa berlandaskan kepercayaan dan rasa hormat Terdapat budaya saling percaya dan menghargai dalam melakukan inovasi pembelajaran Prestasi luar biasa diakui dan dirayakan secara teratur sekolah Guru dan orang tua wali menunjukkan kesatuan upaya yang terus menerus untuk mendukung budaya perbaikan di sekolah Hubungan antar guru mendukung pengkajian data hasil belajar secara terbuka dan jujur untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran Tersedia waktu untuk melaksanakan KKG berbasis sekolah Tersedia Jadwal khusus untuk guru melaksanakan KKG berbasis sekolah Tersedia dana yang memadai untuk pelaksanaan KKG berbasis sekolah Tersedia teknologi dan sumber belajar yang memadai untuk guru Tersedia guru yang memiliki keahlian dan mampu mendorong KKG berbasis sekolah secara terus menerus Tersedia pakar dari luar sekolah yang memiliki keahlian dan mampu mendorong KKG berbasis sekolah secara terus menerus Fasilitas sekolah bersih, menarik, dan nyaman Kedekatan antar guru memudahkan terjadinya kolaborasi Sistem komunikasi mendukung kelancaran informasi antar guru Sistem komunikasi mendukung kelancaran informasi seluruh komunitas sekolah: orang tua, komite sekolah, staf dinas pendidikan, dsb. Data ditata dan dibuat menjadi mudah diakses oleh semua guru
59
Item 1
Pilihan Ya*
FOCUSED GROUP DISCUSSION MODEL KOMUNITAS PEMBELAJAR DI SEKOLAH DASAR N % Saran Guru 74 94,9 Apa tujuan guru dari mengikuti KKG berbasis sekolah/pertemuan guru?
Tdk
4
5,1
KKG* Tim mengajar Tim PTK Tim lesson study Klpk studi kasus Lain2 Rutin terjadwal*
70 14 1 0 1 0 25
81,4 16,3 1,2 0,0 1,2 0,0 34,2
Rutin tdk terjadwal
15
20,5
Insidental*
33
45,2
4
Selalu* Kadang2* Jarang Tdk pernah
41 30 2 0
56,2 41,1 2,7 0,0
Apakah guru mempunyai waktu untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan rutin pertemuan guru di sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
5
Partisipan* Narasumber/pemateri Koordinator Lain-lain
69 0 14 5
78,4 0,0 15,9 5,7
Apakah guru dapat berperan sebagai pemateri/nara sumber dalam pertemuan guru di sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
6
Ketrampilan mengajar* Sosialisasi kebijakan baru Ketrampilan melakukan PTK Lain2, misal keterampilan administrasi kelas, keterampilan pengelolaan kelas Dana* Narasumber Fasilitas*
48 24 0 0
66,7 33,3 0,0 0,0
Apa fokus materi pertemuan guru yang dibutuhkan guru? Jika dilaksanakan, apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
52 32 58
27,1 16,7 30,2
Apakah sekolah mampu menyediakan dana dan fasilitas yang memadai untuk pertemuan rutin guru? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
2
3
8
Apakah pertemuan guru dapat berjalan di level sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
Apakah pertemuan guru dapat dilaksanakan rutin terjadwal di sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
60
Item
10
11
13
Pilihan Waktu Lain2
N 50 0
% 26,0 0,0
Saran Guru
Budaya keterbukaan, saling menghargai, & kepedulian antar guru* Ada waktu luang Tata ruang kerja & tempat duduk guru yang berdekatan Motivasi guru yang tinggi untuk berbagi pengetahuan & pengalaman Lain2 Pemahaman kebijakan pendidikan terbaru* Peningkatan kompetensi mengajar* Peningkatan mutu proses & hasil pembelajaran siswa Peningkatan kompetensi kepemimpinan Peraturan sekolah yg mewajibkan guru mengikuti kegiatan kelompok guru Insentif kehadiran guru dlm kegiatan Integrasi kegiatan kelompok guru sbg bagian integral dr program sekolah* Lain2 Setelah jam 09
71
33,5
50 49
23,6 23,1
Apakah guru dapat berbagi kesuksesan, pengetahuan dan keterampilan baru yang diperoleh dari pelatihan di luar sekolah tanpa takut dinilai sombong? Apakah guru dapat terbuka menyampaikan permasalahan mengajar atau kegagalannya tanpa takut direndahkan? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
42
19,8
0 60
0,0 29,7
67 58
33,2 28,7
17 36
8,4 30,0
22 62
18,3 51,7
0 9
0,0 11,5
Setelah jam 12*
51
65,4
Lain2
18
23,1
1x 1minggu @60mnt
23
29,5
1x 2minggu @60mnt
18
23,1
Lain2*
37
47,4
Guru matapelajaran
13
16,7
15
16
17
Apakah guru dapat diberi tanggung jawab menjadi pengurus pertemuan rutin guru dan atau pemateri? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
Apakah pertemuan guru dapat dijadian program rutin sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa solusinya?
Kapan sebaiknya pertemuan guru rutin diselenggarakan Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
Berapa lama sebaiknya pertemuan guru dilaksanakan? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
Siapa saja yang perlu dilibatkan dalam pertemuan guru? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa
61
Item
18
19
20
Pilihan Guru lintas matapelajaran Guru kelas* Guru lintas kelas Lain2 Dana operasional kegiatan Narasumber dr dlm sekolah* Narasumber dr luar sekolah* Sarana pembelajaran Materi kegiatan berbasis kebutuhan guru Lain2 Menjadikan kegiatan kelompok guru sbg slh satu program rutin sekolah Memberdayakan guru dlm pelaksanaan kegiatan Memberdayakan guru dlm pengorganisasian kegiatan Memonitor & memberikan umpan balik Memberikan penghargaan Lain2
N 2 62 1 0 71 50 58 57 53 0 50
% 2,6 79,5 1,3 0,0 30,1 21,2 24,6 24,2 22,5 0,0 26,7
52
27,8
32
17,1
53 41 0
28,3 21,9 0,0
Saran Guru alternatif solusinya?
Apakah pertemuan guru dapat mendatangkan pemateri dari luar sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
Apakah pertemuan guru dapat diselenggarakan/dikelola dari, oleh, untuk guru di sekolah? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
Apakah pertemuan guru perlu dimonitor dan dievaluasi keefektifannya oleh KS dan guru? Apa faktor penghambatnya (jka ada)? Apa alternatif solusinya?
Apakah guru berkesempatan membagi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan kepada guru lain? Apa faktor penghambatnya (jika ada)? Apa alternatif solusinya?
62
FOCUS GROUP DISCUSSION PENGEMBANGAN MODEL KPP SD Pilihan Jawaban: BT = Bisa Terlaksana TBT = Tidak Bisa Terlaksana No.
Kelompok Diskusi Hari/Tanggal Tempat PERNYATAAN
Jawaban BT TBT
1.
Guru terlibat dalam diskusi dan pengambilan keputusan tentang permasalahan yang terjadi di sekolah
2.
Kepala sekolah mempertimbangkan pengambilan keputusan
3.
Guru dapat mengakses semua informasi/data penting sekolah
4.
Kepala Sekolah bersikap proaktif dalam memajukan sekolah
5.
Guru diberi kebebasan melakukan inovasi pembelajaran
6.
Kepala Sekolah mendukung upaya inovasi guru
7.
Kepala sekolah berbagi tugas dan tanggung jawab dengan guru
8.
Kepemimpinan ditumbuhkan dan dikembangkan pada semua guru Pengambilan keputusan melibatkan komite sekolah
9.
saran
guru
Penyebab TBT
:____ _____________________ : _________________________ : _________________________ Solusi
dalam
10.
Wali murid dan dinas pendidikan turut bertanggungjawab terhadap hasil belajar siswa
11.
Guru menggunakan beragam data siswa untuk mengambil keputusan dalam pembelajaran
12.
Ada nilai yang dibangun dan disepakati bersama oleh guru misal kejujuran, tanggung jawab, keterbukaan
63
No.
PERNYATAAN
13.
Nilai yang diyakini bersama melandasi perilaku dan keputusan guru dalam pembelajaran
14. 15.
Guru memiliki kesamaan visi dengan sekolah dalam meningkatkan mutu pembelajaran Setiap keputusan sekolah selaras dengan nilai dan visi sekolah
16.
Pengembangan visi sekolah melibatkan guru
17.
Tujuan sekolah difokuskan pada proses pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada hasil ujian tetapi juga pengembangan karakter siswa. Kebijakan dan program sekolah selaras dengan visi sekolah
18. 19. 20. 21.
22.
23.
24. 25. 26.
Jawaban BT TBT
Penyebab TBT
Solusi
Wali murid siswa dan Dinas Pendidikan terlibat dalam menetapkan harapan/standar mutu sekolah yang tinggi Prioritas program/kegiatan sekolah didasarkan data siswa Guru belajar bersama untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan strategi baru dan menerapkannya dalam pekerjaan Terbangun kedekatan antar guru yang merefleksikan komitmen bersama guru untuk meningkatkan mutu sekolah Guru saling bantu/diskusi dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang dapat mengakomodir kebutuhan siswa yang berbeda-beda Struktur organisasi sekolah mendukung diskusi terbuka antar guru tentang pembelajaran Guru sering terlibat dalam diskusi yang menghargai perbedaan pendapat Pertemuan guru (selain rapat) di sekolah berfokus pada pengajaran dan pembelajaran
64
No.
PERNYATAAN
27.
Guru belajar bersama dan mengaplikasikan pengetahuan baru
28.
Guru memiliki komitmen terhadap peningkatan mutu pembelajaran Guru bersama-sama menganalisis keefektifan pelaksanaan proses belajar mengajar Hasil belajar siswa dibahas guru bersama-sama sebagai dasar meningkatkan mutu pengajaran
29. 30.
31. 32. 33. 34. 35. 36.
Penyebab TBT
Solusi
Ada kesempatan bagi guru mengamati guru lain saat mengajar sebagai sarana evaluasi dan refleksi diri Guru memberikan masukan pada guru lain tentang pengajaran Guru terbuka dalam berbagi ide dan saran pengajaran dalam bincang-bincang santai/informal. Guru berkolaborasi untuk meningkatkan pembelajaran serta saling berbagi keberhasilan dan atau kegagalan mengajar Ada kesempatan pendampingan guru senior kepada guru yunior Guru berkesempatan mengaplikasikan hasil belajarnya dengan guru lain di kelas dan menyebarluaskan hasilnya
37.
Guru melaporkan hasil pekerjaan siswa dalam rapat sebagai dasar melakukan perbaikan sekolah secara menyeluruh
38.
Terjalin hubungan saling perduli diantara guru dan siswa berlandaskan kepercayaan dan rasa hormat
39.
Tercipta budaya mempercayai dan menghargai dalam melakukan inovasi yang beresiko, misal menerapkan strategi mengajar yang baru yang belum teruji keberhasilannya. Prestasi luar biasa diakui dan diberi penghargaan secara rutin di sekolah
40.
Jawaban BT TBT
65
No.
PERNYATAAN
41.
Guru dan wali murid berkomitmen dan bekerja sama untuk mengembangkan budaya mutu di sekolah Kedekatan guru mendukung pengkajian data hasil belajar secara terbuka dan jujur untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran Tersedia waktu untuk melaksanakan KKG berbasis sekolah
42.
43. 44. 45. 46. 47. 48.
49. 50. 51.
Jawaban BT TBT
Penyebab TBT
Solusi
Tersedia Jadwal khusus untuk guru melaksanakan KKG berbasis sekolah Tersedia dana yang memadai untuk pelaksanaan KKG berbasis sekolah Tersedia teknologi dan sumber belajar yang memadai untuk guru Tersedia guru yang memiliki keahlian dan mampu mendorong KKG berbasis sekolah secara terus menerus Tersedia pemateri luar sekolah yang memiliki keahlian dan mampu mendorong KKG berbasis sekolah secara terus menerus Tersedia fasilitas sekolah bersih, menarik, dan nyaman Kedekatan antar guru memudahkan terjadinya kolaborasi/belajar bersama Sistem komunikasi mendukung kelancaran informasi antar guru
52.
Sistem komunikasi mendukung kelancaran informasi seluruh komunitas sekolah: wali murid, komite sekolah, staf dinas pendidikan, dsb.
54
Data sekolah/siswa ditata dan dibuat menjadi mudah diakses oleh semua guru
66
67
68
69
Principal’s Role in Developing Professional Learning Community at Public Elementary Schools in Indonesia Dwi Esti Andriani, Wiwik Wijayanti, Pujaningsih e- mail :
[email protected] Abstract Developing professional learning community (PCL) has been regarded as one of effective strategies for schools to improve teacher quality and ultimately, the quality of student learning. It is because when becoming PCL, a school is a conducive place for teachers to learn from each others continuously aimed at improving student learning in classroom. Teachers feel free to discuss their teaching problems, to share their success and new experiences, to tell different ideas and so knowledge, skills, and valuable teachers’ experiences are widely spread among teachers. To develop PLC at elementary schools in Indonesia, principal plays an important role. It is because at elementary schools, sharing knowledge and skills to some extent still faces organizational barriers such as insufficient or little money to support PLC, low motivation to learn among teachers, and unsupportive cultures. In such situation, it is a demand that principal creates supporting conditions to facilitate teacher collaborative learnings. Key words: Principal, Professional Learning Community Introduction Teaching is not easy. It is not merely about planning and delivering lessons to students. Rather, it is a high artistic skill of applying the most appropriate teaching strategies to a certain classroom context. It requires teachers to be able to link their comprehension about students characteristics, pedagogy, and curriculum in their teaching design and practice. Accordingly, teachers need to continously evaluate and do reflection of their practices, update their knowledge about a wide range of teaching methods, and understand students characteristics, in a continoual learning. To facilitate continuous teacher learnings, either individually and collaborately, schools need to be professional learning communities. When a school is learning communities, there is close relationship among school members (the principal, teachers, students, supporting staff) based on shared values, and shared responsibility of the quality of student learnings. They frequently share knowledge, skills, and experiences aimed at improving student learning. PLC is one of key factors of effective schools (Bolam, et all, 2005, Fulton & Britton, 2011). Therefore, this community can enchance teachers’ professional practices and efficacy and finally better students’ learning and achievement (Alberta, 2006, NCTE, 2010) 70
However, despite the considerable benefits of professional learning communities, developing professional learning communities at public elementary schools in Indonesia, might deal with some organizational constraints. It is found that homeroom teachers particulary the elders are low in motivation to learn either in team or individually. Besides, the schools usually lack of resources, especially money, to support community activities (Andriani, Wijayanti, & Pujaningsih, 2013). In such situation, the role of principals to create, develop, and sustain professional learning communities is crucial. This essay supports the previous findings that principals play vital roles in developing professional learning communities at schools (Bolam, et al., 2005; Lunenbergh, 2010; Thomson, Gregg, & Niska, 2004). It is also consistent with a view that regardless common characteristics and processes, the development of professional learning communities is much influenced by school conditions, for instance size and location (Bolam, et al., 2005) Features of Public Elementary Schools in Indonesia Public elementary schools are schools that are established and mainly funded by government. Consequently, the school operation and its programs are much influenced by government policies. One of the policies has been implementing is allocating educational financial aids (Bantuan Operasional Sekolah) for all public elementary and junior high schools to provide free education. The aids is distributed to schools annually based on unit cost of each student in a year. It means that the more students school have, the more money schools get. In addition, since government already give money to schools to operate, schools are not allowed to collect money from student parents. At public elementary schools, particularly the high performing ones, this policy significanly influence their school improvement efforts. Compared to the low performing ones, these schools usually have extra educational programs to meet students needs and provide better learning quality, for example is school based professional development or remedial programs. To run the programs, schools usually get financial supports from student parents and stakeholders. At present, due to the goverment policy that bans schools to get money from student parents, such programs stop running. In terms of school size, most public elementary schools are small schools. It means that the number of students in every grade in every classroom is less than 19 with the number of total students is less than 150 students. Accordingly, usually there are only about 10 professional staff at schools. They are 6 homeroom teachers, one of them is the principal, who teach students grade 1 to 6, 1 sport education teacher, 1 religion teacher, and 1 71
supporting staff. In regards with school facilities, in general schools meet the minimum facility standard set up by goverment. However, in rural or isolated regions, the conditions of public small elementary schools could be much worse. Another common feature is close relationship and frequent personal interaction among school members. The small school building and its arrangement considerably influence this situation. The schools usually only have one teacher room where teachers seats are arranged in a certain pattern so that teachers easily talk or to do some works together. This is in line with Stoll, et al, (2006) who argue that small schools have been found to be more engaging work environments for both adults and students. In addition, findings show that physical proximity facilitated by near seats support collective learnings among teachers (Andriani, Wiwik & Pujaningsih, 2013) Defining Professional Learning Communities A professional learning community at a school can be defined as a group of professionals (the principal, teachers, and supporting staff) who are committed to improve the quality of student learning through a collaborative learning.
This community is
bounded by shared and common values, views, belief, expectations, and goals. This definition can be understood from the meaning of the constituent words. Sergiovanni (2006) defines communities as "collections of people who come together because they share common commitments, ideas, and values... Therefore, sense of 'we' is stronger than 'I'” (p. 103). At a school, a community might be a group of students, teachers, supporting staff, principals or a combination of them. Meanwhile, a learning community is a group of people who share common goals and create a conducive learning environment to enhance their learning opportunities to develop their potentials (Kilpatric, without year). Professionals itself means a person with an expertise. His expertise is merely gained from trainings but also from his working experiences within his expertise area (Dufour & Eaker in Thomson, Greg, & Niska, 2004). School as Professional Learning Communities The essence of professional learning communities is collaborative learnings aimed at improving the quality of student learning (Thomson, Greg, Nisca: 2004). When the community is a group of teachers, they “continually inquire into their practice and, as a result, discover, create, and negotiate new meanings that improve their teaching practice.” (NCTE, 2010).
72
If a school has become a professional learning community, a school is a conducive place to learn for its professional staff, both individually and collaboratively. Teachers talk and discuss their teaching failures to their colleagues without feeling embarrassed. Besides, they are also used to sharing their achievement, new experiences, knowledge, and skills without feeling afraid that by doing so, they will be judged to be arrogant by their colleagues (Department of Education and Training, 2000). In addition, dissent is acceptable. Not only discussion, but also debate is commonly found in daily conversation. This is because habits or tradition are subject to be questioned, evaluated or critized in order to have better practices (Oxley, 2001). Supporting this condition is their collegiality which is based on mutual trust, respect, support (Bolam, 2008). Collaborative learning among teachers might occur formally and informally. In formal forms, collaborative learnings is organized as one of routine school programs with financial supports from school budget. Take one example is Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) – Subject Teacher Discussion Group in Junior and Senior High School in Indonesia. This group consists of subject teachers in a certain area, for instance Science or Math. They conduct discussion activity on a regular basis to share their understanding of their practices in classroom to improve their student learning. In informal forms, collaborative learnings occur when two or more teachers have professional conversations aimed at improving their teaching practices. For instance is a young teacher who is asking about effective classroom management to an experienced teacher during his spare time. Another example is when a teacher is telling his colleagues about new teaching strategies learned from a training program in which he participated. When such conversation frequently take place, a school is
a professional learning
community. “The very nature of a learning community is where collaboration and sharing is the norm. It means that much professional learning occurs informally, and may not always be team-based or delivered at the school" (Department of Education and Training, 2005, p. 11) Dimensions of Professional Learning Communities There have been a wide range of views on what dimensions or characteristics of professional learning community proposed by scholars, for instance Adottir (2005), Bolam, et al (2005), DuFour and Eaker in Benson (2011), Chrowther (2009), Fulton and Briston (2011). Regardless the differences, the five dimensions proposed by Morrisey (2000) below are generally agreed. 1. Shared leadership 73
In a professional learning community, shared leadership means that principals provide opportunities for teachers to take a wide range of leadership roles and develop supportive organizational conditions -structure and culture – for professional staff to develop their capacities. Applying this leadership, principals work together with their staff to achieve agreed goals without dominating. 2. Shared vision and values Shared vision is a common ideal image in the future that together, school members want to achieve. In professional learning activities, shared vision guides the focus, goals, and performance standards of professional learning community activities that is intended to improve professional practices and lead to student learning improvement. Shared values are the basis of attitudes and behaviours. In professional learning communities, values include collegiality, collaboration, mutual support, trust, and respect. 3. Collaborative learning among professionals Collaborative learning among professionals means that the principal, teachers, and supporting staff or the combination of them collectively seek solution to problems in classroom or schools or find better educational practices to improve student learnings. They are enganged in commitment to improvement efforts. They work as a team and share responsibility to ensure high student achivement. 4. Supportive conditions Supportive conditions are essential to create, develop as well as to sustain collaborative learnings activities. Hord in Morrisey (2002) argue that there are at least two necessary conditions required for establishing and sustaining professional learning communities. They are structural conditions and collegiality. Structural conditions include time allocation, communication procedures, school size, teachers proximity, and staff professional development while collegiality include positive attitudes, common goals or vision, norms of continuous inquiry and improvement, respect, trust, and positive, and caring relationship. 5. Shared personnel practice Shared personnel practice means that teachers allow others know their teaching practices in classroom and take lessons of it. This activity takes a wide range of interactions such as collegial coaching, classroom observation, and lesson study in which teachers collectively study teaching practices done by their colleagues. Principal ‘s Role in Developing PLC at Elementary School Research shows that most of elementary schools, particularly the low performing ones, in Yogyakarta, Indonesia have not become professional learning communities yet. 74
Teachers are not used to sharing about their practices and knowledge. Furthermore, they do not have a routine homeroom teacher group discussion activities with sufficient supporting resources including money and experts to provide a learning environment for them to collectively learn from each other (Andriani, Wijayanti, & Pujaningsih, 2013). In such situation, the principals’ role is pivotal. According to Benson (2011), they should build at least two conditions for professional learning communities to succesfully begin. The first one is a structure that allows time for teachers to meet and talk on regular basis. Accordingly, teaching roles and responsibilities should be organized in a certain pattern that builds interdependencies among teachers. Furthermore, close physical proximity should be intentionally created so that teachers frequently meet and talk each others and so they may naturally collaborate with one another. The second one is building a school culture based on trust and respect, with strong, supportive leaders that focus on openness and improvement (Benson, 2011) Finding shows that creating professional learning communities at public elementary schools in Indonesia requires principals to establish a routine program of a homeroom teacher discussion group. This program provides a conducive learning environment for homeroom teachers to have professional discussion or talk on a reguler basis. (Andriani, Wiwik, & Pujaningsih, 2013). This finding is consistent with Morrisey (2002) and Oxley (2001) who argue that professional learning community development requires principals to provide conditions that facilitate continuous learning of their staff. The need of a routine program of teacher collective learning is more evident if most teachers are low in motivation to learn. Furthermore, the program should be linked to school mission and vision so that the program can significantly contributes to school effectiveness. Take one example of school vision is achieving students’ excellence. When this vision is shared and agreed, teachers know what are important and what should do in their collaborative learnings. As Department of Education and Training (2000) and Andrews & Lewis (2004) argue, principals should have a clear direction on what is expected of each collaborative learning activities. In addition, Lunenburg (2010) argue that setting and communicating school’s mission and vision should be the first actions to be done by the principal in an effort to develop professional learning communities. To gain high commitment of communities toward school mission and vision, principals should engage the communities in the process of school mission and vision development. The principals can do this by discussing about what school will be like in the future with school communities and then make a general agreement about it (Lunenbergh, 75
2010). As a result, the school mission and vision are communities idealism, hopes and expectations that direct and inspire community members in their collaborative learning activities. Directed toward school vision and mission, the program may have a wide range of topic which is not merely about teaching and learning but also about finding solution of school problems and challenges imposed by government and society. Take one example is discussing how to improve student parents’ participation on student learning improvement or tackling new educational policies imposed at the school such as implementing self evaluation for school improvement. So, professional learning communities should be focused on pupil achievement and professional learnings issues (Bolam, et al., 2005) might be widened. After creating the program with clear directions, principals needs to provide sufficient support to the program to operate. Research shows that time allocation is essential (Andriani, Wiwik, and Pujaningsih, 2013). This finding is in line with previous findings that professional learning communities requires time for professionals to have discussion on a regular basis (Bolam et al., 2005; Fulton & Britton; 2011). In addition, the most appropriate time for homeroomteachers at public elementary schools in Indonesia to meet for collaborative learning activities is after teaching hours which is 12 am; and the meeting is expected to be held once a week in an hour for each meeting (Andriani, Wiwik, and Pujaningsih, 2013). Besides, providing a room set in a particular arrangement that is conducive to stimulate collective learnings among homeroom teachers is also found to be important. For example, circle design is likely more conducive to encourage teachers to have more interactive discussion. Furthermore, seat arrangement in teacher rooms should also be a concern. When teachers’ seats are arranged in a certain design in which teachers with same responsibilities- teaching same subjects or same grade level- sit near one to another, they are in a stimulating situation to have frequent and deep professional discussion (Andriani, Wiwik, & Pujaningsih, 2013). In line with this findings, Bolam, et al. (2005) found that opportunities for professional exchange appear to be further facilitated by physical proximity. In addition, interdependent teaching roles, for instance team teaching, joint lesson planning are also other conditions that build proximity among teachers and so to learn and work together is much easier to happen. Furthermore, it is necessary that the program invites external educational experts, for example academicians from universities, experienced teachers from other schools, educational supervisors, or staff from District Office. The external experts will be helpful 76
for communities to enhance their skills and knowledge that are not well comprehended by teachers at schools (Andriani, Wiwik, and Pujaningsih, 2013). As Bolam, et al., (2005) said that communities should be open to learning sources and ideas from outside. Accordingly, developing networking and partnerships with a wide range institutions and communities that have concern on education is beneficial. In order to effectively develop teachers’ capabilities, it is a demand that principals apply shared leadership. Findings show that this kind of leadership significantly influence the nature of school cultures (Bolam, et al., 2005) and
trust climate that support
collaborative learnings (Fulton & Briton, 2011). Employing such leadership, principals involve teachers in decision making (Ardottir, 2005) and provide opportunities for teachers to take a wide range of leadership roles (Bolam, et al., 2013).
Conclusion Professional learning community can enchance teachers’ professional practices and efficacy and finally better students’ learning and achievement. When a school is learning communities, there is close relationship among school members (the principal, teachers, students, supporting staff) based on shared values, and shared responsibility of the quality of student learnings. To successully begin, principals should develop at least two conditions. The first one is a structure that allows time for teachers to meet and talk on regular basis. Accordingly, teaching roles and responsibilities should be organized in a certain pattern that builds interdependencies among teachers. Furthermore, close physical proximity should be intentionally created so that teachers frequently meet and talk each others and so they may naturally collaborate with one another. The second one is building a school culture based on trust and respect, with strong, supportive leaders that focus on openness and improvement. References Alberta Education. (2006). Professional Learning Communities : An Exploration. Canada : InPraxis Group Inc. Andrews, D. and Lewis, M. (2004). Building sustainable futures: emerging understanding of the significant contribution of the professional learning community. Improving Schools, 7 (129), hal. 128-149. DOI: 10.1177/1365480204047345 Ardottir, Anna K. S. 2005. Studying and Enhancing Professional Learning Community for School Effectiveness in Iceland. Revista Electronica Lberoamericana sobre Calidad, Eficacia y Cambio en Educacion, 3 (1), hal. 178-193. 77
Bolam, R. (2008). Professional Learning Communities and Teacher’s Professional Development. Dalam D. Johnson, R. Maclean. Teaching, Professionalization, Development, and Leadership. Springer Science+Business Media. Bollam, R., et al. (2005). Creating and Sustaining Effective Professional Learning. Research Report. University of Bristol, Bath, and London, Institute of Education: UK. Benson, (2011). Dessertation. Teacher Collaboration in Context: Professional Learning Communities in an Era of Standardization and Accountability. USA: Arizona State University. Fulton, K. & Britton, T. (2011). STEM’s Teachers in Professinal Learning Communities: From Good Teachers to Great Teachers. USA: National Commision on Teaching and America’s Future.. Kilpatric, et al, without year. Defining Learning Communities. University of Tasmania, Australia. Lunenberg, F. C. 2010. Creating A Professional Learning Community. National Forum of Educational Administration and Supervision Journal, 27, (4), hal. 1-8. Morrisey, (2000). Professional Learning Communities: An Ongoing Exploration. Texas. NCTE, (2010). Teacher Learning Communities. A Policy Research Brief. The National Council of Teachers of English. Oxley, D. 2001. Organizing Schools into Small Learning Communities. NASSP Bulletin 85 625 , May DOI: 10.1177/019263650108562502 Sergiovanni, Thomas G. (2006). The Principlaship. A Reflective Practice Perspective. Fifth Edition. Boston: Pearson. Stoll, L., Bolam, R., McMahon, A., Thomas, Sally., Wallace, M., Greenwood, Angela., Hawkey, Kate (2006) Professional Learning Communities: source materials for school leaders and other leaders of professional learning . Exploring the idea of professional learning communities. UK:National College for School Leadership The Department of Education and Training, (2005). Professional Learning in Effective Schools The Seven Principals of Highly Effective Professional Learning.Victoria: McLaren Press. Thomson, S. C., Gregg, L. , Nisca, J. M. (2004). Professional Learning Communities, Leadership, and Student Learning. Research in Middle Education Level (RMEL), 28, (1), hal 1-15. 78
PROTOTYPE Pengembangan Model Komunitas Pembelajar Profesional Sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah
Oleh Dwi Esti Andriani, M.Pd, M.EdSt (0010057712) Dr. Wiwik Wijayanti (0023017103) Pujaningsih, M.Pd (0006128112)
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Tahun 2013 79
Visi Misi Sekolah Prestasi Siswa
Mutu Pembelajaran (Kurikulum, Proses Belajar Mengajar, Penilaian)
Guru Bermutu/Profesional
Komunitas Pembelajar Profesional 1. Pembentukan Kelompok Diskusi Guru (KDG)
Pengembangan: 1. Visi, tujuan, dan nilai bersama
2. Penyelenggaraan Kegiatan KDG secara terencana, rutin dan terprogram
2. Tanggung jawab bersama terhadap mutu pembelajaran
3. Pengalokasian Sumber Daya Pembelajaran 4. Mentoring, Evalusi, dan Keberlanjutan
5. Sistem Penghargaan Prestasi
3. Kolaborasi untuk mutu pembelajaran 4. Pembelajaran individual dan kelompok 5.Refleksi profesional 6. Kepemimpinan bersama 7. Keterbukaan dan kerjasama 8. Inklusifitas anggota 9.Saling percaya, saling dukung, dan saling menghormati
Struktur
Kultur
Kepemimpinan Kepala Sekolah
Dukungan Eksternal Sekolah Kebijakan Pendidikan, Sumber Daya Stakeholders, Kemajuan IPTEK
Gambar 4.1 Prototype Model Pengembangan Komunitas Pembelajar Profesional Sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah
80
Prototype Model Pengembangan Komunitas Pembelajar Profesional sebagai Strategi Peningkatan Mutu Guru Berbasis Sekolah A. Bagian I Pendahuluan 1. Definisi Komunitas Pembelajar Profesional di Sekolah Komunitas pembelajar profesional di sekolah adalah sekelompok profesional misal guru, kepala sekolah, dan staf pendukung
(TU, teknisi, laboran), atau gabungan diantaranya, yang
berkomitmen meningkatkan mutu pembelajaran dan layanan kepada siswa secara bersama-sama melalui proses pembelajaran kolaboratif. 2. Tujuan Komunitas Pembelajar Profesional a. Tujuan Umum Tujuan umum komunitas pembelajar profesional adalah pencapaian prestasi siswa yang tinggi. b. Tujuan Khusus Tujuan khusus komunitas pembelajar profesional merupakan tujuan yang ingin dicapai pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh komunitas. Tujuan khusus ini meliputi: 1) Peningkatan kompetensi mengajar guru 2) Pemecahan permasalahan-permasalahan di kelas dan di sekolah 3) Peningkatan kompetensi melakukan penelitian tindakan kelas 4) Peningkatan kemampuan melaksanakan administrasi kelas 5) Pemahaman kebijakan baru pendidikan 6) Peningkatan kapasitas kepemimpinan guru 7) Peningkatan semangat kerja staf dan guru 3. Manfaat Komunitas Pembelajar Profesional Manfaat komunitas pembelajar profesional di sekolah yaitu: b. Bagi siswa 1) Pembelajaran yang kondusif 2) Prestasi belajar yang meningkat b Bagi guru 1) Peningkatan profesionalitas guru 2) Peningkatan rasa percaya diri guru 3) Peningkatan kepemimpinan guru c. Bagi sekolah 1) Peningkatan keefektifan sekolah
81
2) Peningkatan kapabilitas sekolah menghadapi perubahan 3) Peningakatan kapabilitas sekolah melakukan perbaikan sekolah (school improvement) 4. Bentuk formal Komunitas Pembelajar Profesional Bentuk formal komunitas pembelajar profesional di sekolah dasar antara lain: a. Tim Mengajar Guru Kelas yang mengajar di Kelas yang sama b. Tim Lesson Study c. Kelompok Diskusi Guru Lintas Kelas d. Kelompok Diskusi Guru Mata Pelajaran e. Kelompok Diskusi Guru Kelas pada jenjang Kelas yang sama f. Tim Penelitian Tindakan Kelas g. Tim Pengembang Kurikulum h. Tim Pengembang Rencana Pengajaran dan Pembelajaran B. Bagian II Pengembangan Model Komunitas Pembelajar Profesional Pembentukan komunitas pembelajar profesional di Sekolah Dasar sangat ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Pada tahap penciptaan, langkah pertama yang harus dilakukan kepala sekolah adalah penciptaan struktur yang mendukung terciptanya kolaborasi antar guru. Untuk pengembangan, pemeliharaan dan sustainabilitas komunitas, kepala sekolah perlu mengembangkan kultur yang mendukung pembelajaran kolaboratif perlu dikembangkan.. 1. Pengkondisian Dimensi Struktur Komunitas Pembelajar Profesional (KPP) Pengkondisian dimensi struktur KPP adalah sebagai penciptaan elemen-elemen KPP agar komunitas ini dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. Unsur-unsur yang dikembangkan adalah sebagai berikut. a. Pembentukan Kelompok Kerja Guru di Level Sekolah Kelompok Kerja Guru di level Sekolah dibentuk oleh kepala sekolah dengan anggota para guru kelas dan atau guru mata pelajaran. Fungsi utama KKG ini adalah menyelenggarakan pembelajaran kolaboratif untuk meningkatkan mutu pembelajaran siswa. Oleh karena itu, dalam KKG ini perlu dibentuk pengurus dan pembagian tugas yang jelas. 1) Pengurus Tugas : merencanakan kegiatan KKG pada level gugus dan mengatur pelaksanaan kegiatan KKG agar dapat berjalan rutin dan sesuai rencana.. 2) Anggota Tugas : berpartisipasi aktif dalam kegiatan KDG b. Pengintegrasikan Kegiatan KKG di level sekolah dalam program rutin sekolah Pada tahap ini kegiatan KKG ditetapkan dalam program rutin sekolah dan kebutuhan biayanya dianggarkan.
82
c. Perencanaan dan Pengorganisasian KKG Pada tahap ini dirancang dan ditentukan aspek 5 W (What, Why, Where, Why, Who, Whom) + 1 How kegiatan KKG, ditetapkan peran dan tugas semua anggota KKG, dan sumber daya yang dialokasikan. Sumber daya kegiatan bisa bisa bersumber dari internal dan eksternal sekolah. d. Pelaksanaan Kegiatan KKG terjadwal Pada tahap ini dijalankan kegiatan KKG yang telah dijadwalkan d. Monitoring, Evaluasi, dan Umpan Balik KKG Pada tahap ini, dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap keefektifan KKG di level sekolah. Aspek yang dimonitoring dan dievaluasi. Monitoring mencakup aspek proses dan penyelenggaraan pembelajaran kolaboratif guru. Evaluasi mencakup penyelenggaraan dan output kegiatan KKG di level sekolah. Termasuk output KKG yaitu pemahaman guru dan kepala sekolah tentang komunitas pembelajar profesional; peningkatan mutu guru dan mutu pembelajaran siswa, perkembangan sosial, moral dan perilaku staf. e. Sistem Penghargaan Prestasi Pada tahap ini dikembangkan penghargaan terhadap prestasi KKG. 2. Pengkondisian Dimensi Kultur Komunitas Pembelajar Profesional Pengembangan kultur komunitas pembelajar profesional dimaksudkan sebagai penciptaan norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, yang disepakati bersama untuk menjadi landasan dan pemikiran, perilaku dan sikap seluruh anggota komunitas dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran dan layanan kepada siswa. Hal ini dilakukan kepala sekolah dengan pengembangan unsur-unsur berikut ini. a. Pengembangan visi, tujuan, dan nilai bersama Kepala sekolah, bersama-sama anggota komunitas atau guru, merumuskan dan membangun kesepakatan tentang visi dan tujuan yang ingin dicapai dalam KKG di level sekolah serta nilai-nilai yang menjadi landasan kerja atau kegiatan komunitas. b. Tanggung jawab bersama terhadap mutu pembelajaran Kepala sekolah memberikan pemahaman terhadap para guru bahwa mutu pembelajaran siswa merupakan tanggung jawab bersama. c. Kolaborasi yang difokuskan pada mutu pembelajaran Kepala sekolah membangun kebiasaan guru untuk berkolaborasi dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran siswa, mutu layanan siswa, dan prestasi siswa. d. Pembelajaran pada level individu dan kelompok Kepala sekolah mendorong dan memfasilitasi terjadinya proses pembelajaran pada level individu maupun kelompok (kolaborasi). e. Refleksi profesional
83
Kepala sekolah mendorong dan memfasilitasi guru untuk melakukan refleksi profesional atas pembelajaran yang dilakukan. f. Kepemimpinan bersama Kepala sekolah memberdayakan guru dalam kegiatan komunitas pembelajaran profesional dan memberikan berbagai peran dan tanggung jawab kepemimpinan yang disesuaikan dengan kemampuan guru. g. Keterbukaan dan kerjasama Kepala sekolah mengembangkan sikap terbuka dan kerjasam antar guru. h. Keanggotaan yang inklusif Kepala sekolah mampu membangun rasa yang kuat sebagai komunitas pada semua anggota g. Rasa saling percaya, saling dukung dan saling menghormati Kepala sekolah mengembangkan sikap saling percaya, saling dukung, dan saling menghormati antar anggota komunitas.
84
Personalia Tenaga Peneliti beserta Kualifikasinya
No.
1.
2
3
Nama NIP Dwi Esti Andriani, M. Pd. MEdSt. NIP. 1977051020011 22005 Dr. Wiwik Wijayanti NIP. 19710123
Kualifikasi Pendidikan S1 Administrasi Pendidikan S2 Administrasi Pendidikan S2 Kepemimpinan Pendidikan
1. Pengajar dan pelatih di
S1 Administrasi Pendidikan S2 Administrasi Pendidikan S3 Administrasi Pendidikan
1. Pengajar dan pelatih di
1999 03 2 001
Pujaningsih NIP. 19811206 200312 2 001
Kualifikasi Kompetensi
S1 Pendidikan Luar Biasa S2 Pendidikan Luar Biasa
bidang manajemen dan kepemimpinan pendidikan 2. Peneliti di bidang manajemen/administrasi dan kepemimpinan pendidikan bidang manajemen dan kepemimpinan pendidikan 2. Peneliti di bidang administrasi/manajemen pendidikan 1. Pengajar dan pelatih di bidang pendidikan luar biasa 2. Peneliti di bidang pendidikan; dan pendidikan luar biasa
85