K E K U A S A A N KEHAKIMAN JANG BHBflS
I
U N D A N G -U N D A N G TENTANG POKOK
KETENTUAN - KETENTUAN
KEKUASAAN
D IS U S U N
O L E H
d i r e k t o r a t d je n d e r a l D E P A R T E M E N D ]l ; T A M A N
KEHAKIMAN
:
P E M B IN A A N
H U K U M
K E H A K IM A N
P E D J A M B O N
N o . 2,
D JA K A R T A
K
E
K
U
A
S
A
A
N
K
E
H
A
K
I M
A
N
J
A
N
G
B
E
B
A
S
I
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
DlSUSUN OLEH: D lR fiK T O R A T
D J E N D E R A L
D E P A R T E M E N T A M A N
P E D JA M B O N
P E M B IN A A N
H U K U M
K E H A K IM A N N o .
2,
D J A K A R T A
FAK. HUKUMjlan ^ I Tangga' m
Ho. Silsilah:
..
oL(p / /
wM
i s i
n u k u
Halamaii 1
P r a k a t a ...................................
2
Sa nihulan Menteri
3.
Surat Keputusan Prcsidcn Repubhk Indonesia No. 271 tahun 1967 Panitya Negara Pcnim!jauau Kembali Undang-undang No. 19
Kehakiman
<>
...................................................
lalum 1964 clan Undang-undang No. 13 .alum 1965 .....................
4.
Riwajat dan pckcrdjaan Panitya Negara -
15
17
Panitya Pcrsiapan
— Pani'ya Intcrdcpartcmcnlnl — Panilva Negara — T a ng gr p a n Anggota Panitya Dari Dcpariemen Kehakiman — dari D P R - G R 5.
Amanal
20
Presiden Repiihlik Indonesia — Rantjangan Undang-
undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
34
6. Keferangan Pemenutah mcngcnai Rantjangan Undang-amdang tentang Ketcntuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Rantjangan Undang-undang tentang Susiman. Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkamah A gung ................................................................................... 7.
54
Pemandangan tlm um Rahak I para A nggoia D P R - G R atas Ranfjangan
Undang-undang
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan Rantjangan Undang-undang tentang Susiman. Kekuasaan dan Hukum Atjara M ahkam ah A g un g .—P N I — Parkindo — M urha — N U — Karya Pembangunan B. Karya Pembangunan C — P S II — Katolik — Parmusi — Karya Pembangunan A — IP K I ........................................................................
8.
Djawaban
Pemerintah
61
atas Pemandangan Unuim para Anggota
D P R - G R Bapak I mengenai Rantjangan Undang-undang te n tan g K etentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman d a n R antjang an
U ndang-undang
tentang
Susunan,
Kekuasaan d a n
H u k um
A tjara M ahkam ah A g u n g ........................................................................
129
5
H a la m a n
9.
Pemandangan
U m u m Babak
II para
A ng g o ta D P R - G R
atas
Rantjangan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Rantjangan U ndang-undang
tentang
Susunan, Kekuasaan dan H u k um A tjara M ahk a m a h A guiig scrta Pemandangan U m um Babak I atas Rantjangan Undang- tentang Pengadilan
dalam
lingkungan
Peradilan
Umum
Parkindo — M u rb a — Karya Pembangunan A ~
10.
NU
—
Katholik
—
—
PNI
~
Karya Pemba-
ngunan B
—
A B R I — I P K I — P S II —
Parm U Si
................................................................................................................
1
Djawaban Pemerintah atas Pemandangan U m u m para A nggota D P R - G R Babak II mengenai Rantjangan Undang-undang tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehalo'man dan Rantjangan Undangundang tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tja ra
M ah
kamah A gung ............................................................................................... 11.
203
Beberapa pandangan mensjenai Rantjangan U ndang-undang ten tang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman — Seminar H u k u m Nasional II — Ketua M a hk am ah A gung kepada D P A — Menteri Kehakiman
—
Ketua
M ah k am ah
A g u n g kepada D P R - G R
Ting Swan Tiong S .H . — Prof. M u ljatno S .H , —- I K A H I
— —■
Kongres Peradin II .................................................................................... 12.
215
Pendjelasan lebih landjut untuk Pimpinan Bagian B. D P R - G R mengenai masalah pokok tiga R antjangan U ndang-undang tentang Ketentuan3 Pokok Kekuasaan Kehakiman, Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara M ahk am ah A g un g, dan Pengadilan dalam ling kungan
Peradilan
U m um — M a h k a m a h
Agung
puntjak
atau
tidak — lingkungan Peradilan .— hubungannja dengan pembagian kekuasaan —1 toetsingsreiht —■administrasi,
organisasi
nansiil — Madjelis Pertimbangan Penelitian H a k im 13. 6
dan
f!-
.....................
359
Pembentukan dan Laporan Team Kerdja ............................................
378
Halaman Consensus2 mengenai m asalah pokok ketiga Rantjangan UndaiKjundang — Masalah Mahkamah Agung sebagai puntjak semua lingkungan peradilan dan fungsi M a h k a m a h A gung — Madjelis Pertimbangan PenelitJan Hakim nistrasi dan finan<=iil badan
—
Masalah
organisasi.
admi-
peradilan — Hak mengudji
(toet-
singsrecht) Mahkamah Agung — Masalah Forum Prcviligiatum — Masalnh Hukum Atjara — Masalah status dan cljaminan hakim — masalah koucksilas — Masalah Lembaga pcn'ndjauan kembali putusan hakim (Herzicning) 15.
........................................................
381
Alasan Pemberian Persetudjuan oleh D P R - G R tcrhadap Undangundang tentang Ketentuan* Pokok Kekuasaan Kehakiman serta sambutan Pemerintah. Laporan W a k il Bagian VB" — A B R I — Parkindo — P N I — Perti — PS 11 — Karya Pembangunan B — Karya Pembangunan C — Katolik — N U — M urba — IP K I — Karya Pembangunan A — Parmusi
16.
sambutan Pemerintah ...
389
Undang-undang tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman jang sudah disahkan Presiden Republik Indonesia .........................
427
7
P
R
A
K
A
T
A.
Bahan-bahan mengenai pembcntukan .suatu tlndnxig-undan,i. bail* bahan-bahan pembitjaraannja cli D P R - G R , maupun jang bcrasal dari kalangankalangan diluar badan lersebut, pada dewasa ini masih Lc'mn tersusun setjara lengkap dan sisienintis dalam suatu penerbaan, hingga mcnjulit_ kan usaha penelitian bahan-bahan lersebut. Tudjuan p.-ncrbitau ini ialah untuk mempermudah penelitian bahan-bahan itu dengan mengiimpulkan .senuia bahan jang penting selama pembenaikan Undang-undang jang bersangkutan dalam suatu penerbican. Dalam buku ini diusahakan penjusunan bahan-bahan itu mcnurut tanggal pengeluarannja, sedangkan dunuat puia nas.kah Rantjangan U ndang-un dang serta Undang-undang jang tdnh disahkan. Materi jang dimuat dalam penerbitan ini meliputi pembcntukan pcrundang-undangan mengenai Kekuasaan Kehak.man, chususnja U n dang- un dang tentang Kelenbuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. ’’Kekuasaan Kehakiman i;uan Kekuasaan jang Mcrdeka. artiiija lerlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan ilu ham s diadakan djaminan dalam Undang-undang tentang kedudukannja para hakim". Demikian bunji pendjelasan pasai 24 dan 25 Undang-um.kinq D asar 1945. Berdasarkan pasal 24 dan 25 lersebut, jang menctapkan balnvn : ’’Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah M ahk am ah A g u n g dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang", "Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kchalojnan itu diatur dengan Undang-undang". ’’Sjaral-sjarat untmk mendjadi dan untuk diberhentikan sebagai H ak im ditetapkan denganUndang-undang", maka dengan Aniaaat Prcsiden tanggal 13 Aguntu.'s 1968 dan tanggal 8 Oktober 1968 telah diadjukan kepada D P R - G R tiga buali R a n t j a n g a n Undangundang, jaitu : 1.
Rantjangan Undang-undang tentang Kelentuan-keken(uaa Pokok Kekua saan Kehakiman ;
2.
Rantjangan Undang-undang tentang .Susunan , Atjara Mahkamah A gung ;
Kekuasaan dan
3.
Rantjangan Undang-undang tentang Pengadilan dalam adilan Um um ;
Hukum
lingkungan
Per
untlik dapat persetudjuan Dewan lersebut. Pada tanggal 14 Nopember 1970 R antja ng a n U ndang-undang tentang Ketentuan-keteruuan Pokok Kekuasaan Kehakiman te'ah diseludjui oleh D P R - G R , sedangkan kedua R antjang an U ndang-undang lain lersebut diatas kini sedang dalam pembitjaraan antara D P R - G R bersama-sama Pemerintah. D a l a i pada itu Rantjangan Undang-undang jang telah dise.udjui D P R G R itu pada tanggal 17 Desember 1970 telah disahkan oleh Presiden men djadi Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan P o kok Kekuasaan Kehakiman.
8
Sebelum dibenhik Undang-undang No. 14 tahun 1970 m a te ri te n ta n g Kekuasaan Kehakiman telah dialur dalam Undang-undang No. 19 t a h u n 1 9 4 8 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kekuasaan Kehakiman, ja n g diiefapkan pada tanggal S D juni 194S. Kemudian dalam tahun 1964 m a t e r i tentang Kekuasaan Kehakiman itu d.atur kembrJi dengan U ndang-undang No. 19 tahun 1 % 4 tentang Keiciuuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman dan sebagai sa!ah suacu peltiksanaan Undang-undang tersebut dalam tahun 19 65 selandjutnja dibcntuk Undang-undang No. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Unuim dan M ahkam ah A gung. Sebagai suatu Undang-undang j.ntuk melaksanakan pasal 24 dan 25 Undang-undang Dasar 1945. maka Undang-undang No. 19 tahun 1964 tersebut diatas seharusnja tidak mcnuiai ketentuan-ketentuan jang bertentangan dengan isi dan pendjelasan pasal-pasal 24 dan 25 tersebut. Sebagaimana ditegaskan dalam pendjelasan pasal-pasal 24 dan 25 Undang-undang Dasar 1945, Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan jang merdeka, artinja (erlepas dari pcngaruh kekuasaan Pemerintah. W a la p a n demi*kian Undang-undang No. 19 tahun 1964 menciapkan dalam pasal 19 bah\va : ,,Demi kepentingan Revolusi. kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan M asjarakat jang sangat mendesak Presiden dapat turun atau tjampur tangan dalam soal-soal pengadilan” , sedangkan dalam pendje lasan pasal itu antara lain ditegaskan bahwa "Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang’'. Ketentuan-ketemuan tersebut dalam pasal 19 U ndang-undang N o. 19 tahun 1964 bescrta pendjelasannja njata-njata bei.tentangnn dengan djiw a pasal 24 dan 25 Undang-undang Dasar 1945, jang djusLru menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan jang merdeka, dengan pengertian terlepas dari pengaruh kekuasaan PcmerinLah. D alam pada itu. dalam rangka pemiurnian pelaksanaan Undang-undang D asar 1945, Ketetapan M P R S . No. X IX / M P R S / 1 9 6 6 tentang Penindjauan kembali produk-produk LegislaLip Negara diluar produk M P R S . jang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, menetapkan dalam pasal 3 bah w a "U ndang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti U ndang-undang jang memuat materi jang bertentangan dengan Undang-undang D asar 1945 ditindjau kembali". sedangkan pasal 2 Ketetapan M P R S . tersebut menugaskan penindjauan kembali produk-produk legislatip .itu kepada Pemerintah bersama-sama D P R - G R . Berhubung dengan hal-hal tersebiit diatas !maka M enteri Kehakim an dengan suratnja tertanggal 28 D januari 1967 No. J . S . l / l . / l l mengusulkan kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera dan M enutam a B idang Politik untuk menindjau kembali Undang-undang No. 19 tahun 1964 dan Undangundang No. 13 tahun 1965. Selain dari itu untuk memenuhi permintaan Dew an Pertimbangan A gung. Menteri Kehakiman dan Ketua M ahk am ah A g un g, masing-masing dengan suratnja tertanggal 4 D januari 1969 N o. 9 4 5 / B C / A / ’69 dan 23 Desember 1968 telah menjampaikan sumbangan pikiran mengenai masalah Kekuasaan Kehakiman jang bebas, sedangkan kepada P im pinan D P R - G R , Ketua M ahkam ah A gung dengan suratnja tanggal 10 M ei 1969, menjampaikan pendapatnja mengenai beberapa persoalan dalam R an tjan g an U ndang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an.
9
Disamping pendapat-pendapat Menteri Kehakiman dan Ketua M a h k a mah A gung mengenai masalah Kekuasaan Kehakiman terdapot pula pendapat-pendapat dan saran-saran jang diadjukan oleh berbagai pihak dikalangan masjarakat, diantaranja dapat disebut : 1.
Keputusan Rapat Kerdja para Ketua Pengadilan T m ggi dan Pengadilan Negeri dibawah pimpinan Mahkamah Agung, langgal 27 Nopember 66, di Djakarta.
2.
Resolusi I dari Komisi II Kongres Peradin ke-II jang diselenggarakan pada tanggal 5 dan 6 Desember 1966 di Djakarta*
3.
Pernjataan keluar Musjawarah Nasional I K A H I ke-V jang disclcngga^ rakan pada tanggal 18 s/d 20 Oktober 1968 di Jogjakarta.
4.
Kesimpulan-kesimpulan Seminar Hukum Nasional II tentang Menegakkan Kekuasaan Kehakiman jang bebas jang diselenggarakan dari tang gal 27 sampai dengan 30 Desember 1968 d-i Semarang.
Dalam pada itu sebagai pelaksanaan Ketetapan M .P .R .S . No. X I X / M P R S /1 9 6 6 juncio No. X X X I X / M P R S / 1968 maka Pemerintah bersamasama D P R - G R telah mengadakan penindjauan kembali Undang-undang No. 19 tahun 1964 dan Undang-undang No. 13 tahun 1965, dengan U n dang-undang No. 6 tahun 1969, jang dalam pasal 2 lampiran III ncmor urut 3 dan 5 menghendaki adanja Undang-undang untuk mengganti kedua Undang-* undang termaksud. Sebagai persiapan pembentukan U n d a n g 2 jang akan menggantikan Undang-undang No. 19 tahun 1964, dan Undang-undang No. 13 tahun 1965, maka dengan Keputusan Presiden No. 38/1967 telah dibentuk sebuah Panitya Inter-Depnrtemental jang kemudian dengan Keputusan Presi den No. 271/1967 dirobah mendjadi Panitya Negara Penindjauan Kembali Undang-undang No. 19 tahun 1964 dan Undang-undang No. 13 tahun 1965. Panitya tersebut telah berhasil menjusun 3 buah Rantjangan Undangundang, jaitu : Rantjangan Undang-undang tentang Ketenluan- Pokok Ke kuasaan Kehakiman, Rantjangan Undang- tentang Susunan. Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah A gung dan Rantjangan Undang-undang tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradiian Umum, jang kemudian berturut-turut dengan Amanat Presiden tanggal 13 Agustus 1968 dan tanggal 8 Oktober ’68 disampaikan kepada D P R - G R untuk mendapat persetudjuannja. Dalam pembitjaraan ketiga Rantjangan Undang-undang tersebut di D P R - G R telah disetudjui untuk membahas masalah-masalah pokok ketiga Rantjangan Undang-undang .itu bersama-sama sebagai suatu ,,paket . Selandj.utnja setelah diusahakan konsensus-konsensus mengenai masalahmasalah pokok itu, baru akan diadakan pembitjaraan masing-masing R a n tja ngan Undang-undang tersebut atas dasar konsensus jang telah ditjapai. G un a lebih melantjarkan pembitjaraan dalem T ingkat I V D P R - G R , kemudian dibentuk suatu Panitya Kerdja jang bertugas menjusun daftar inventarisasi permasalahan ketiga R antjangan Undang-undang tersebut Panitya tersebut jang terdiri dari beberapa anggota Bagian B D P R - G R dan petugas-petugas Departemen Kehakiman kemudian telah menjimpulkan 10 masalah pokok dari masalah-masalah jang dikemukakan dalam Keterangan
Pemerintah, Pemandangan U m u m para anggota D P R - G R dan D jn w a b a n Pemerintah atas Pemandangan Um um ketiga Rantjangan Undang-undang tersebnt. Sepuluh masalah pokok tersebut melipnti masalah-masalah sebagai berikut : 1.
M ahkam ah Agung sebagai puntjak seiu.ua fingkungan fungsi M ahkamah Agung.
Peradilan dan
2- Madjclis Pertimbangan Penelitian Hakim, 3.
Lingkungan Peradilan,
4. Organisasi, Administrasi dan Finansiil badnn-badan peradjlan, 5.
H ak mengudji Mahkamali A gung
6.
Forum Previligiatum,
(Toetsingsrecht),
7- Hukum Atjara, 8.
Status dan djaminan hakim,
9.
Koncksitas,
10, Lcmbaga penindjauan kembali putusnn hakim (herziening). Dalam pembitjaraan-pembitiaraan mengenai masalah-masalah pokok itu achirnja dapat d'tjapai konsensus-konsensus tentang 10 masalah tersebut antara anggota fraksi D P R - G R , dan Pemerintah. Berdasarkan konsensus-konsensus jang telah ditjapai itu maka selandjut nja dalam pembahasan pasal demi pasal telah disetudjui rumusan pasal-pasal sebnqaimana tertjantum dalam naskah Rantjangan Undang-undang tentanq Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jang disetudjui oleh D P R - G R pada tanggal 14 Nopcmber 1970 dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 17 Desember 1970 mendjadi Undang-undang No. 14 tahun 1970. Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K eha kiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum jang meletakkan dasar serta azas- peradilan serla pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradi lan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara jang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Suatu ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini jang kiranja patut mendapat perhatian kita ialah pengakuan adanja lingkungan-lingkungan tersendiri bagi peradilan Tata Usaha Negara dan peradilan Agama, disamping lingkungan- peradilan umum dan peradilan militer. D i lain-lain Negara umumnja hanja terdapat peradilan umum dan peradi lan militer, sedangkan peradilan tata-usaha Negara tidak selalu diserahkan kepada suatu pengadilan chusus, tetapi umumnja dilakukan oleh Pengadilan U m u m atau diserahkan kepada suatu instansi diluar badan pengadilan. D e m i kian pula peradilan A gam a tidak terdapat disebagian besar Negara-negara
lain.
11
Pengakuan lingkungan-I'ngkungan peradilan Tata-Llsaha Negara dan peradilan Agam a disamping peradilan Umum dan peradilan Militer oleh U n dang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini dilandasi oleh Pantja-sila, jang merupakan faktor utama dan menentukan un tuk mengisi pengertian dan menegakkan Kekusaan Kehakiman jang hebas. Demikianlah setjara ringkas beberapa data sck'tar pembentukan U n dang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jang dalam bab-bab berikutnja dalam buku mi diuraikan lebih land jut. Buka ini jang merupakan banian perfania dari serangkaian penerbitan tentang per-undang-an mengenai Kekuasaan Kehakiman kemudiau masih akan disusul dengan penerbitan buku bagian kedua dan ketiga. masing-masing mengenai Undang-undang tentang Susunan. Kekuasaan dan H u k um Atjara Mahkamah Agung dan Undang-undang tentang Pengadilan dalam Lingku ngan Peradilan LImum, jang rantjannannja pada saat ini sedang dalam pembitjaraan di D P R - G R . Achirnja kepada semua fihak jang telah memungkinkan penerbitan buku ini disampaikan terima kasih jang tak terhingga. Semoga penerbitan buku-buka ini dapat memberi manfaat bagi usaha penelitian sedjarah pembentukan perundang-undangan chususnja perundangundang dalam bidang Kekuasaan Kehakiman.
Djakarta, 31 Desember 1970.
s'
/•i
Soegondo Socmodirccljo S.H . Direktur D jendcral Pcmbinaan Ilukttm Departemen Kehakiman, Mohammad Ishak Sumoatn’djojo S.H . Koordinator Badan Penasehat Ahli Departemen Kehakiman.
12
PROF. OEMAR SENO ADJI S.H. Menteri Kehakiman Republik Indonesia
r
I
SAMBL1TAN M E N T E R I K E H A K IM A N
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kiman
Kekuasaan
Keha-
(Undang-undang Nonior 14 tahun 1970) merupakan pelunasan djan-
dji chidmat untuk kembali pada kehidupan constitution'll jang mendjamin adanja suatu peradilan bebas. djudjur dan tidak memiliak. Ia menenipatkan kita kembali ditengah-tengali
Negara H u k um
dan de-
mokrasi. jang kedua-duanja bersumber pada satu. dilandasi dan diilhami oleh Pantjasila sebagai latar helakang. Dengan demikian. in sekaligus memberikan pemetjalian dan mcmperhitungkan faktor sosial
ataupun
psychologis
menghadapi dogmatik hukum ketatanegaraan, jang terdapat
dalam
dalam
undang-
undang ini.
Ia tidak sadja mentjakup segala permasalahan sekitar kiman, sekitar faktor judicial power,
judicial administration,
Kekuasaan Keha judicial organi
sation dan judicial personnel, melainkan ia memberikan suatu ’ outline” suatu ’’framework" bagi lingkungan-lingkungan peradilan jang diakui,
pun
dalam
hubungannja dengan M ahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara TertingqiBahkan, ia memberikan pengarahan untuk hukum atjara pidana
chusus-
nja kelak, dengan meletakkan azas-azas pokok dan hak-hak demokratis, salnja azas
’’presumption of innocence” ,
mi-
sjarat-sjarat tindakan hukum, sifat
terbuka dari pcrsidangan, hak banding pemeriksaan setjara collegial,
bantu-
an hukum dan lain1. Karena itu, sebagai landasan Undang-undang ini perlu diikuti oleh R a n tjangan
Undang-undang tentang Susunan,
Kekuasaan dan H ukum
A tjara
M ahk am ah A gung dan Rantjangan Undang-undang tentang Pengadilan da lam lingkungan Peradilan Um um jang sekarang masih dalam pembitjaraan di
DPR-GR
unluk mendapat penjelesaian setjara partieel dari seluruh masalah
iang bersangkutan dengan lingkungan2 peradilan. 15
U n dang - undang ini sudah dapat m enggambarkan setjara illustratit sifatsifat demokratis dalam suatu proces peradilan dan karenanja dapat
menghu-
b u n g k a n H u k u m A tja ra Pidana dengan Rule of Law. r>ula merupakan suatu correctief terhadap LIndang-undang lama (Un"^ ? n g N om or 19 tahun 1964, LIndang-undang Nom or 13 tahun 1965) jang dipandang inconstitutionil berhubung dengan sikapnja jang
contradictif
dengan peradilan bebas. Kesemuanja in i hanja m enundjukkan pentingnja LIndang-undang ini dan karena itu,
pengum pulan bahan-bahan baik parlementer m aupun jang
tidak
berasal dari D P R - G R semoga dapat memberikan kemanfaafran, untuk kehidupan hukum , ilm u hukum , jurisprudensi dan perundangan. Djakarta, 31 Desember 1970.
Menteri Kehakiman ttd.
Oemar Seno A dji
16
K E P U T U S A N P R E S ID E N R E P H 3 L IK IN D O N E S IA N O M O R : 271 T A H U N 1967 K A M I. P E D J A B A T P R E S I D E N R E P U B L IK I N D O N E S I A , M enim bang
:
M engingat
:
a.
baliwa dalam rangka pen'ndjauan kcm bali produk lccjis— latif Negara d:Iunr produk M P R S jang tidak scsuai dengun LIndang-undang D asar 1945 seperti ditentukan dalam Kctetapan M P R S N o. X I X / M P R S / 1 9 6 6 . m aka LIndang-undang N o. 19 tahun 1964 tentang KetentuanPokok Kekuasaan K ehakim an dan U ndang-undang No. 13 tahun 1965 tentang P engadilan D a la m lin g k u n g a n Peradilan U inum dan M ah k a m a h A g u n g , perltt d 'tin d ja u kembali ;
b.
baliwa untuk lebih m engefektifkan pe nind jau an kem bali kedua LIndang-undang tersebut sub a. perlu memperbahanii Keputusan Presiden N o . 38 tahu n 1967 tentang pcmbentukan Panitya N egara P e n 'n d ja u a n kem bali LIndang-undang N o. 19 tahun 1964 dan L Indang- undang No. 13 tahun 1965 ;
1.
Pasal 4 ajat (1) LIndang-undang D asar 1945;
2.
Ketetapan M P R S
No. X I X / M P R S / 1 9 6 6 ;
3.
Ketetapan M P R S No. X X X I I I M P R S ./1 9 6 7
4.
U ndang-undang No. 19 tahun 1964 ;
5.
LIndang-undang No. 13 tahun 1965;
6.
Keputusan Presiden R .I. N o . 171 tahun 1967 tahun 1966 ;
7.
;
jo N o . 163
Keputusan Presidium Kabinet N o. 15 7 /U /K e p /7 /1 9 6 7 ; M E M U T U S K A N :
M enetapkan : PERTAM A :
KEDUA;
M em bentuk Panitya N egara Penindjauan K em bali U ndangundang No. 19 tahun 1964 dan U ndang- undang N o . 13 ta hun 1965 ;
Panitya bertugas menjusun R a n tja n g a n U n dan g - u n d an g tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an, R antjang an U ndang-undang tentang M a h k a m a h A g u n g dan R antjang an U ndang-undang tentang P e ng adilan dalam lin g kungan Peradilan U m um ;
K E T I G A : M engangkat/m engangkat kembali Saudara-saudara tersebut dibaw ah ini scbagai Ketua, A n g g o ta d an Sekretaris P a n ity a . 1. Sdr. Prof. S U B E K T I S .H . (M a h k a m a h sebagai Ketua m erangkap A ng g o ta ;
A gung)
17
2 . Sdr. M U H . IS H A K S IT M O A M U M O J O s n
(M ahkaniali A g u n g ) ■ — sebagai Sekretaris merangkap A nggota :
3. 4.
5.
Sdr. A B D U R R A C H M A N S .H . (M ahkam ah A flung) — sebagai Anggota ; Sdr. A I A V I S U T A N O S M A N S.H. (Departemen Kehakiman) — sebagai Anggota ; Sdr. L A K S M I N I S O E M A R D J O Kehakiman) — sebagai A n g g o ta ;
S .H .
(Depa.iemen
6.
Sdr. D } E N M U I I A M A D S U R ] O P R A N O T ( ) - se~ bagai Anggota ; 7. Sdr. I.S. I I A N D O K O W I D J O J O — sebagai Anggnta H.
Sdr. F.C . P A L A U N S U K A
— sebagai Anggota ;
9. Sdr. Brig. D jen. M U A M I L L I ’ E’ E N D I S II
— sebagai
A nggota ;
10.
Sdr. Brig. Djen. Poi. D O M O P R A N O T O
— sebagai
Anggota ; 11.
Sdr.
DAHLAN
1? A N I I M I H A R D j A
S.H. —- sebagai
12.
A nggota ; Sdr. Prof. Dr. I S M A I L S U N N Y S.H. M C I , (Universitas Indonesia) ■ — sebagai A n g g o ta :
13.
Sdr. W I R A T M O D I A N G G O R O S.H. (Departemen Kehakiman) — sebagai Sekretaris bukau A nggota ;
H.
Sdr. S U L T A N
(Mahkan'.ah A g u n g )
— Sebagai Sekie-
laris bukan A ng g o ta ; k e e m p a t
k e lim a
k e e n a m
sa l in a n
:
Panitya tersebut bertanggung djawab kepada Presiden Republik Indonesia dengan djangka waktu pemigasan sclama d 11a bulan dan berkev. ad jiban menjerahkan hasil pekerdjaan tersebut kepadn Presiden Republik Indonesia sdambat-lanibafnja pada achir bulan Pebruari 19fiH , Segala pembiajaan jang berhnbungan dengan kegiatan Panitya ini dibebankan kepada Sekretariat Kabinet R.I. ; Keputusan Presiden ini berlaku pada tanggal d.itetapkannja. dengan ketentuan bahwn segala sesuatu akan d im b a h dan ditainbah apflbiln dikemudian hari ternjata terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini. Keputusan Presiden ini disanipaikan untuk diketahui kepada : I.
Pimpinan Kabinet Ampera ;
2. 3.
Para M eateri ; Pim pinan D cw an Perwakilan R ak ja t G oton g R o jo ng di D jak arta ;
4.
Ketua M a h k a m a h A g u n g ;
P E T IK A N
5.
Badan Pcmcriksa K cuangan di B ogor ;
6.
Dircktorat D jenderal U rusan A n g g a ra n ;
7.
Kantor Pcrbcndaharaan D cpartem en K ehakim an ;
8.
Scmua D irektur D jenderal D cpartem en K e h a k im a n ;
Keputusan Presiden ini disam paikan kepada jang hersangkutan untuk diketaliui dan dipergunakan seperlunja. D itetapkan di :
D jak a rta.
pada tanggal
29 Desem ber 1967
:
P E D JA B A T P R E S ID IIN R E P U B L IK IN D O N E S IA , ttd. S O E H A R T O D JE N D E R A L -
TNI
19
R IW A J A T D A N P E K E R D JA A N P A N IT Y A N E G A R A P E N IN D J A U A N KEM BALI U N D A N G -U N D A N G N o . 19 T A H U N 1964 D A N U N D A N G - U N D A N G N o. 13 T A H U N 1965 Setelah diadakan konsultasi antara Ketua M ahkam ah A gung, Ketua D .P .R .G R . dan M enteri Kehakiman, maka dipatuskanlah bnhwa untuk pe n in d ja u a n kembali atas U ndang-undang No. 19 tahun 1964 dan Undangundang N o . 13 tahun 1965 untuk menjesuaikannja dengan pelaksanaan U n dang-undang D asar 1945 pasal 24 setjara murni dan konsekwen, pcrlit segera dibentuk suatu Panitya. A g a r supaja sudah dapat segera dinnilai dengan mendjalankan tugas pen in d ja u a n n ja kembali atas dua U ndang-undang tersebut d ’atas, maka dibentuklah satu Panitya Persiapan jang susunannja terdiri dari' wakil-wakil dari D .P .R .G .R ., wak'l-wakil dari M ahkam ah A gung. wakil-wakil dari Kementerian Kehakim an dan wakil-wakil dari P.P. IK A H I. Panitia Persiapan ini diketuai oleh Prof. Subekti S . 1 1, dengan :
1. 2.
D jen. M uham m ad Surjopranoto I. S. H andokow idjojo \ 3. M . Caley / tmisan dari D .P .R .G .R . 4. Kol. M uam il E ffendi S .H . \9ebagai A nggota. 5. Kom. Bes. D om o Pranoto I 6. D ahlan R anum ihardjo S .H . 7.
8. 9. 10. 11. 12 .
n
13. 14. 15. 16.
A lw i Sutan O sm an S H . Laksm'ni Sum ardjo S .H . Abdurachm an S.H . Hapsoro S .H . Purwoto S H . Bustanul A rifin S .H . TeU i c J <*rr Ma,h. Ishak Sum oam .djojo S .H .
) utusan dan Departemen K ehakim an ) sebagai A nggola, > / utusan dari M ahk am ah A g un g \sebagai A nggota, / ) utusan dari M ahk am ah A g un g , scbagaj S ckrclnris.
Z. Asikin Kusum ahatm adja S H . ) utusan dari P P- IK A H I Sri W id o ja ti S .H . ) sebagai A n g g o t a , A li A . A d i S H
^ utusan dari M ah k am a h
)
s e b a g a i
A n g g o t a .
Panitya Persiapan ini sudah mulai bekerdja sedjak tanggal 14 O ktober 1966. Setelah bekerdja ham pir 4 (em pat) bulan belum djuga ada pengangkatan dari Pemerintah jang menetapkan status panitya tersebut, maka diputuskan untuk m enangguhkan sidang-sidangnja sambil m em inggu pengangkatan dari pemerintah jang menetapkan status panitya mi. Selama panitya ini bekerdja tanpa status telah berhasil menjelesaikan konsep-konsep rantjangan U ndang-undang tentang Ketentuan-ketentuan P o kok Kekuasaan Kehakim an dan rantjangan U ndang- undang tentang M ahkamah A g ung. Kemudian setelah ditmnggu-tunggu achirnja keluar djuga Keputusan Presiden Republik Indonesia N o. 38 tahun 1967 tertanggal 28 M are t 1967
20
tentang pcmbcntukan Panitya Interdepartem ental Panitva P e n in d jau an K e m bali Undang-undang No. 19 ta h jn 1964 dan U ndang- undang N o. 13 tahun 1965. Panitya ini bcrtugas untuk menjusun R .U U . tentang Ketentuan-kctentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. R .U .U . tentang M a h k a m a h A g u n g dan R .U .U . tentang Pengad.lan dalam lingkungan Peradilan U nuim . sedangkan waktu jang diberikan untuk menjelesaikan tugasnja adalah 3 bulan. Susunan dari Pamtya Interdcparmental Penindjauan Kembali U n dang - u ndan g ta hun 1964 dan Undang-undang No. 13 tahun 1965 adalah sebagai berikut :
1.
Prof. Subckti S .II. (M ahkam ah A gung) sebagai Ketua m erangkap A n g gauta, 2 . M uli. Ishak Sum oam idjojo S .II. (M ah k am ah A g u n g ) sebagai Sekretaris merangkap A nggauta, 3. Abdurachm an S H. (M ahkam ah A g u n g ) sebagai A n g g a u ta . 4. A lw i Sutan Osm an S .II. (Departemen K chak'm an) sebagai A n g g a u ta , 5. Laksmini Soemardjo S .H . (Departemen K ehakim an) sebagai A n g g a u ta , 6. Djen. M uhammad Sul’jopranoto ( D P R G R .) sebagai A nggauta. 7. I. S. Ila n d o k o w d jo jo (D .P .R .G R ) sebacjai A n g g auta. 8. F. C. Palaunsuka (D .P .R .G .R .) .sebagai A ng g auta. 9. Brig. D jcn. M uam il Effendi S .H . ( D .P .R G .R .) sebagai A n g g a u ta , 10. Kom. Bcs. D onio Pranoto ( D .P .R .G .R .) sebagai A n g g auta, 1 1 . D ahlan R am im ihardjo S.H . ( D .P .R .G R ) sebagai A n g g a u ta . 12 . W ira fm o D ianggoro S.H . (Departemen K ehakim an) sebagai Sekretaris lmkan A nggauta. 13. Sultan (M ahkam ah A g un g ) sebagai Sekretaris bukan A n g g a u ta . Panitya tersebut berlanggung djaw ab kepada Presidium K abinct A m pcra R epublik Indonesia. D idalam states sebagai Panitva Interdepartemental P anitya P e n in d ja u an Kembali Undang-undang N o. 19 tahun 1964 dan U ndang- undang N o . 13 tahun 1965. Panitya ini m clandjutkan sidang-sidangnja jang diadakan sel'.rnggu sekali dan membahas kedua konsep R .U .U . jang telah dihasilkan oleh Pan tya Persiapan. D alam pembahason t e r s e b u t telah diputuskan bahw a jang dibahas pertam a kali adalah konsep R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; kemudian konsep R .U .U . tentang M ahk am ah A g u n g dan jang terachir akan dibahas konsep R U .U . tentang Pengadilan dalam In g k u n g a n Peradilan U m um . Selama berstatus sebagai Panitya Interdepartemental ini maka P anitya tersebut belum menghasilkan suatu R .U .U . Panitya Interdepartemental ini kemudian dengan K eputusan Pres'den Republik Indonesia N o. 271 tahun 1967 tertanggal 29 Desember 1967 diganti dengan Panitya N egara P e n i n d j a u a n Kembali U ndang-undang N o . 19 tahun 1964 dan U ndang-undang N o. 13 tahun 1965. T ugas Panitya N egara ini sama dengan tugasnja jang diberikan kepada Panitya Interdepartemental. sedang susunannja djuga sama hanja anggautanja ditam bah seorang lagi dengan Prof. D r. Ismail S uny S H . M C L ( U n > versitas Indonesia). P an tya N egara ini bertanggung djaw ab kepada Presiden R epublik Indonesia dan diberi djangka w aktu penugasan selama dua bulan dan berlcewadjiban menjerahkan hasil pekerdjaannja tersebut kepada Presiden R epubl ic In d o n e sia selambat-lambatnja acliir bulan Pebruari 1968.
21
Setelah mendapat status sebagai Panitya Negara Penindjauan kembali Undang-undang No. 19 tahun 1964 dan Undang-undang No. 13 tahun 1965, maka Panitya Negara ini terus melandjutkan pembahasan menurut rentjana tersebut diatas dan sementara itu telah diselesaikan konsep Rentjana U n dang-undang tentang Pengadilan dalam hngkuntjan Peradilan Unuim. dmiana telah ditimdjuk wakil-wakil dari Departemen Kehakiman sebagai konseptcrrnja. D alam rapat Panitya Negara tanggal 29 D januari 1968 diputuskan antara lain bahwa jang akan dipakai sebagai bahan pembitjaraan ialah hasilhasil kerdja Panitya jang lampau. Nam un demi tertjapainja konsensus dalam berbagai-bagai masalah jang prinsipiil. rapat memutuskan agar masing-masing anggota mengemukakan pendapatnja mengenai hal-hal jang penting se tjara tertulis. Pendapat-pendapat jang disampaikan kepada Panitya adalah sebagai berikut : A N G G O T A P A N IT Y A D A R I D E P A R T E M E N K E H A K IM A N
(A lw l Sutan Osman S II.) Berhubung rapat tanggal 29 Djanuari 1968 telah memutuskan untuk mempergunakan hasil-hasil panitia jang lampau sebagai bahan dasar bagi pemb:tjaraan-pembitjflraan selandjutnja, maka demi tertjapainja konsensus dalam berbagai masalah jang pr.'sipiil kami anggap masih ada beberapa pro blem jang perlu dipefjahkan bersama. Jang ingin kami kemukakan adalah :
1.
Acti Kekuasaan Kehakiman Seperti lazimnja telah dikenal dalam ilmu hukum meliputi : a.
judicial power, kekuasaan kehakiman dalam arti kata jang scmpit ;
b-
judicial system/administration. jailu organisasi jang melakukan per adilan ;
c.
judicial personnel, para pedjabat peradilan.
Undang-undang Dasar 1945 dalam B A B I X dengan djudul Kekuasa an Kehakiman” djuga menganggapnja dalam kctiga-tiganja pcngeitian ter sebut dengan pengatiirannja masing-masing dalam pasal 24 ajal (1), pasal 24 ajat (2) serta pasal 25. Dalam definisi pasal 1 R .U .U . Pokok K ekuasaan Kehakiman hanja ter-
dapat pengertian sub a sehingga disatu fihak definisi Uu mas'ih kurang luas. DiJain pihak definisi termaksud adalah lerlalu luas karena memasukkan pengertian peradilan tata-usaha negara kedalamnja. M enurut kelazinian da lam ilmu hukum maka ’’adm-nistratieve rechtspraak’’ setjara prinsipiil tidak termasuk dalam pengertian ’’Rechtclijk Recht’’. Kami sendiri tidak berkeberatan dj.'ka pada peradilan umum diserahkan melakukan peradilan administratif tersendiri. Tefnpi sesudah ada peradilan administrasj tersendiri. maka jang mengadili adaiah peradilan tersebut. karena peradilan adalah berbeda prinsipiil jang satu dengan jang lainnja. Demikianlah menurut pendapat kami definisi dalam pasal 1 adalah k u rang tepat. Lain daripada itu tirabul pula pertanjaan pada diri kam i apakah
22
se.sunggiihnjn pcrlu mcnetapkan scsjatu dcfinisi ? T idaklnh sudah djelas pengcrtian tentang Kekuasaan Kehakiman jang dianut dalam ilnui hukum ?
II.
hcdtulukun Mnhkantnh Agung. Dalam menanggap: kedadukaii M alikam ali A g u n g hendnknja kita menjcsuaikan diri dengan pandangan P anitya A d Hoc B adan Pekerdja M .P .R .S . tentang kedudiikan M ahkam ah T ertinggi itu, p a n d an g an mana besar kemungkinannja akan diterima oleh M .P .R .S . Jang pcrlu mendapat pcrhatian dalam hal ini adalah : 1.
2.
H ak mcngadji
( toetsingsrcclit)
dari pada M ah k am ah A g u n g
dan
A pakah M alikam ali A gung ham s merupakan pu ntiak atau tidak dari pada selttnih peradilan di Indonesia.
Ad I. M engenai toetsingsrcclit terhadap U ndang-undang baiklah kita mcngadakaii konsensus sebelum ada ketetapan M .P .R .S . m engenai persoalan ini djangan dimasukkan dalam U ndang-undang jang sedang kita bitjarakan. M cm ang perkembangan hukum dalam negara kit a m enghendaki bah w a judicial review dari pada hasil-hasil pembuat U ndang-undang (W e tgever) tetap bcrada dalam tangan legislatif m aupun executief. D alam hukum positif hal-hal ini tertjerminkan dalam penetapan M P. R S. No. X I X / M P R S / 1966 jang menjerahkan penindjauan kembali d a ri pada bcrbagai hasil-hasil legislatif jang bertentangan dengan U n dang-undang D asar kepada D .P .R . bersama dengan Pem erintah. Sekarang timbul pertanjaan pada kami apakah sistim ini tidak harus djuga dilakukan terhadap revisi dari pada peraturan-peraturan jan g bertaraf lebih rendah dari Undang-undang. Tentang penindjauan kembali dari pada peraturan jang dibuat oleh Badan-Badan Legislatif di Daerah-Daerah T ingkat II dan I telah ada procedurnja sendiri. Sedang menurut anggapan kami M ahk a m ah A g u n g akan dapat ” zich begeven op politiek terrein” djika melakukan ’’m ateriil toetsingsrcclit’’ terhadap legere legislatieve producten tersebut. M ak a timbullnh pikiran pada kami apakah tidak sebaiknja dltjar'i penjelesaian dalam sistim dimana M ahkam ah A gung dapat menjaratikati kepada Badan-badan Legislative maupun Executive untuk m erobah/ lnentjabut peraturan jang dibuatnja masing-masing, sekiranja itu ber tentangan dengan Undang-undang D asar atau U ndang-undang ? A d. 2 . T enlang kedudukan M ahkam ah A gung sebagai pu ntjak seluruh peradilan kami ingin mengenutkakan pertanjaan apakah dengan m endjadikan M ahkam ah A gung sedemikian itu kita tidak seakan-akan menganut ,idee dari pada peradilan terpimpin hal rnana tentunja sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak zaman. Lagi pula dari teks dan sedjarah pasal 24 U ndang-undang D asar tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa M ahkam ah A g u n g merupakan puntjak. Perantjang pasal 24 tsb. mas.ih terikat pada idee ’’H ooggerechtshof” se bagai puntjak dari pada peradilan umum belaka. D jik a la u tidak demikian maka tidaklah dapat kita mengerti mengapa 2 tahun kem udian, ketika idee itu masih segar dipahami, diadakan U ndang-undang N o . 7 tahun
23
1946 jang m encntukan M ahk am ah Tentara A gung sebagai pu ntjak peladilan militer. Peristiw a ini hanja dapat d faham i djika kita jakin balnva ’V e tg e v e r” kita pada ketika itu sungguh idee tersebut jang mcngangge.p M a h k a m ah A g u n g sebagai puntjak peradilan umum. Berhubung dengan hal-hal jang dikemukakan ini maka perlu d ia dakan perobahan dalam peramusan pasal 9 ajat ( 2 ) dan (3) R .U .U . jang disam ping itu memuat pula ketentuan jang compronvstis dengan membeda-bedakan peradilan jang seluruhnja dan jang sebagian berada dibaw ah kekuasaan M ahkam ah A gung. D a la m hal ini hendaknja kita tentukan segala sesuatunja setjara konsekwen. III.
Peradilan bebas. T u d ju a n kita jang sebenarnja adalah p e ra d la n bebas. jaitu terlepas dari kekuasaan dan kekuatan diluar bidang ju d icatef. D a la m hal perlu adanja djam inan-djam ’nan agar hakim sebagai pencgak hukum dapat m endjalankan tugasnja setjara murni. Jang pentinq adalah kebebasan fungsionil darii pada hakim. U ntuk ini tidaklah mcrupakan sjarat mutlak bahw a harus diikut sertakan kebebasan administrasinja, chususnja jang bersangkutan dengan pengangkatan. penr'ndahan atau promosi para hakim. D i kebanjakan negeri para hakim mas:h diangkat oleh kekuasaan executive, adakalanja dengan nasehat atau persetudjuan legislative (lihat : Commission of H um an R ’ghfs 17th Session Report of the Com m ttee oleh C hairm an rapporteur : M r. Fransisco A . D e lg a d o ). Pada um um nja dianggap masih perlu adanja ’"checking of b a la n ce ’ dalam soal-soal pengangkatan hakim, sehingga se-t’dak-tidaknja lebih dari satu fihak memperoleh wewenang, w alaupun dalam bentuk consultation atau advice. D jam inan jang lebih penting adalah terletak dalam ’’selection” p a ra hakim dan ’’tenure of office” -nja dengan p rn s ip ’’irrcm ofalab.lity” . Semua hal ini hendaknja m endapat rumusan dalam R .U .U . jang sedang kita bahas ini. Lain dari pada itu kami ingin m engemukakan apakah tidak sebaiknja demi terdjam :nn ja ’’ ndependent judicature” diadakan pembatasan kemungkinan tjam pur tangan kekuasaan diluar judicatif den memberi perintj'an setjara lim itatif dalam pasal 3 ajat ( 3 ) R U U ngenai infringements jang boleh d lakukan. ' me~
IV .
Menurut hemat kami dengan fegas dapat disebutkan • cir'-c: nesti dan abolisi sadja. u ’ am_ Ketentuan-ketentuan mengenai Hak-hak Azasi. D eng an adanja usaha oleh M .P .R .S . unluk m engadakan ivaqam hak-hak azasi, maka timbul pertanjaan apakah pada tem patnja djika beberapa ketentuan seperti "presumption of innocence” (pasal 7) dimasukkan dalam R .U .U . ?
Tidaklah hal itu lebih tepat diatur dalam Atjara Pidana ?
V.
La'.n-lain hal. Hal-hal lain akan kami kemukakan sepcrlunja nanti dalam hahas pasal demi pasal.
24
mem-
ANGGOTA
P A N IT Y A
DARI
DHPARTKMEN
K E H A K IM A N
( Lciksrnin: Socmardjo S II.) . S andara Ketua dan S au d ara Ancjcjota jang tcrhormat. P erkcnankanlah saja memberikan sekcdar ta m b a lu m terhad a p P a n d a ngan Bp A lw i St. O s m a n S .H . ( W a k i l Departem en K e h a k im a n ) m engenai usul~usul dan problem-problem jang perlu kita p c tja h k a n d a n b itja r a k a n bersama unt.ik menjusun konsep R I I . I I . tentang K e k u a sa an K e h a k im a n , Penga-
dilan dan M alikam ali A gung.
D iI i n i si.
/.
Berhubung dengan perunuisan pasal 1 bila dih u b un g k an dengan pasal 9 mengenai lingkungan perad.lan, maka peradilan unuim menge nai soal bi'dang pcrdata dan pidana. peradilan m iliter mengenai soal pidana cluisus. peradilan agama sebagian dari soal/b idang perdata dan kenmdian tata-usaha negara. Sekiranja perunuisan mengenai pcrad lan tertentu scperti jang tertjantum dalam pasal 8 Undang-undang N o. 19 tahun 1948 dapat diambil sebagai perunuisan : Jang masuk Kekuasaan Kehakiman dalam peradilan umum, ialali memeriksa dan menuitus segala perkara dim ana dim inta keadilan dalam soal pcrdata dan soal p dana. jang tidak masuk lingkungan peradilan tata-usaha pemerintalian dan ketentaraan (dengan diadakan perubahan seperlunja). djuga ajat ( 2 ). T jatatan : D alam Undang-undang ini lingkungan peradilan m eliputi 3 peradilan. U ntuk dipergunakan sebagai bahan bcrsama ini saja lam pirkan p u la U ndang-undang tersebut (lam piran I V ) . D alam Bab III U ndang-undang No. 19 tahun 1948 mengenai per adilan tata-usaha Pemerintahan dan dalam Bab I V mengenai Peradilan Ketentaraan. M engenai Peradilan A gam a belum diatur tersend'ri, tetapi dalam pasal 35 ada pengatuiran mengenai pcrkara-perkara pcrdata antara orang Is'am. D alam negara kita jang berdasarkan Pantjas la dapat kita adakan pengaw asan peradilan A gam a tersendiri.
II.
Hak mengudji Undang-undang/toetsingsrecht. Sebelum ada ketentuan lain mengenai soal toetsingsrecht h r, m aka saja sependapat dengan Bp. A lw i. M engenai soal toetsingi'echt ini dapat saja tam bahkan bahw a d a lam N egara kesatuan toetsingsrecht ini sifatnja tidak ada, ketjuali apabila setjara tegas ditjantum kan dalam U ndang-undang D asar. (tjontohtjontoh lam piran I I I ) . D alam negara Federal toetsngsrecht itu memang dim ungkinkan, te tapi ada negara-negara Federal toetsingsrecht seperti D jerm an dim ana toetsingsrecht itu dilaksanakan oleh ’’Federal C onstitution C o u rt". D a n di Swiss judicial rev ew terhadap Federal legislation tidak diperkenankan, tetapi terhadap C antonal C onstitution clan Laws boleh. Posit frecht di Indonesia sebagai jang dikenlukakan Bp. A lw i dap at ?aja tam bahkan bahw a dalam N oot atas pas&l 105 U n d a n g 2 D asar?
25
Scmentava Bapak Prof. Supomo S I I . menulis bahwa suatu pcrnbahan didalam kekuasaan M ahk am ah A gung sedjak chterinianja UndangD asar ialah baliwa M ahkam ah A gung (dan Pengadilan lain) lidak lagi mempunjai hak menjatakan dalam keputusann ja. bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatancgararm atau Undang-undang Daerah Bagian adalah tak menurut Konstitusi oleh karena didalam Negara Kesatuan tidak akan ada lagi daerah bagian. Kedudukan M ahk am ah A g un g sckarang 1950 adalah sama dengan kedudukan M ahk am ah A g un g Indonesia sebehmi bcrdirinja R.I.S. D ja d i dapat kita simpulkau bahwa berdasarkan U.Ll.D. 1945 djuga M ah k a m a h A gung tidak mempunjai hak mongudji llndang-undang. III.
Pengangkatan/Pcnibcrhentinn Ilakirn dalam Peradilan Uebas. U n tu k adanja clicck and balance soal pengangkatan pemberhent.'an harus dilakukan oleh lebih dari satu Badan. (terlampir Lampiran II) . Disamping itu menurut Prof. Dr. J.H .A . Logemann dalam bunjinja Met Staatsrecht van Indonesia” halaman ! 3-1 mendjelfiskan bahwa di Neder land pemberlientian daripada Iiakim oleh Ilo g c R aad kurang merupakan djam.:nan terhadap kebebasan hakim, djaminan ini lebih lemali dari pada jang ditjantumkan dalam pasal l<S-20 b R O . jang menetapkan bahwa pemberhenlian ini dilakukan oleh Departemen van Jusiisi dengan advics Hoge Raad, djadi sesuai dengan apa jang telah dilakukan sckarang ini di Indonesia.
IV .
Mengenai usul perobahan pasal demi pasal akan kami snsulkan kemudian. Demikianlah sekedar tambahon mengcn ii pendapat kami. ANGGOTA
P A N IT Y A
D A R I DPR-GR
(I. S. Handokowidjojo) Saudara Ketua jang terhormat, Sesuai dengan pendapat kami dalam rapat pada tanggal 7 Pebruari 1968 jang lalu, tentang istilah " P E N G A J O M A N ” perla masih tctap ditjantumkan dalam rumusan pasal 2 ajat (2) scbagai berikut : (2).
Pengadilan Negara mendjalankan dan melaksanakan Iluktm i jang berdasarkan Pantjasila dan mempunjai fnngsi Pengajoman.
Setelah kami menelaah kembali bahan-bahan jang ada nuilai dibit jarakannja R U U jang menjangkut Undang-undang No. 19/1964 dan UndangNo. 13/1965 dibitjarakan dalam rapat-rapat D P R - G R dimulai dalam bulan D ju n i 1962 dan bam berachir dalam tahun 1965. pun berdasar pula musjawarah antara pihak kami (Pimpinan Komis: B pada waktu itu) dengan Sdr. Menteri Kehakiman, maka ternjata bahwa istilah " P E N G A J O M A N ’ meinpunjai arti jang sangat luas dan hubungan dengan beberapa perundangundangan lainnja dalam bidang H ukum . D alam menghadapi R .U . U . jang sedang kita bahas bersama sekarang ini kami usulkan masih tetap ditjantumkannja istilah ’’P E N G A J O M A N ” dengan alasan sebagai berikut : I. 26
Sumber hukum jang harus kita tuangkan harus berdasarkan diri kepada Pantjasila jang merupakan H u k u m Nasional.
If.
k u m u s an jang telah d iiu a n g k a n d alam R i l l I pasal 2~f l f a k in i sebagai pencgak hiikiun dan kcadilan w ad jib mcnggali. m engikuti dan meniaham i nilai-nilai lnikum jang hidup dalam m asjarakal guna m c w u d jiu lk a n sctjara benar-bcnar funcjsi hukum sebagai p e n g ajo m an. H a! ini tcntu mcmpunjai arti jang sangat luas.
III.
D e n ga n lidak m cngurangi bahan-bahan pcmikiran jang diperolch dari sumber-samber jang berasal dari negara lain, maka sebaiknja k ila lebih mcnitik beratkan kepada Mimber jang kita gali dari m asjarakal kita lebih diri, sesuai dengan kepribadian Indonesia, jaitu antara lain H a k u m A d a t .
IV .
1 fukum-hukum A d a t tcntu akan kita nilai sesuai tidak n ja kembangjin masjarakat dan ketatanegaraan dewasn ini.
dengan
pcr-
V.
G u n a mcntjapai lu dju an bentuk tala hakum nasional, perlu d ju g a mendapalkan bahan-bahan dari Lcmbaga 1 lu k u m N asio nal, chususnja jan g hubungan dengan isiilah pengajoman.
V I.
P engajom an dapat diartikan dalam alam nuisjaw arah untuk m c ntjap ai kebcnaran dan kcadilan. lidak didaj-arkan alas k c m cn a n g a n s ad ja a k an tetapi kemenangan jang didasarkan atas kebcnaran. P engajom an dapat diartikan : ambeg adil paramaarta.
Y II.
A pab ila masih dipcrlukan kami bersedia menguraikan setjara luas dan lengkap mengenai hal ini dalam rapat-rapat Panitva jang a k an d ata ng . ANGGOTA
P A N IT Y A
D A RI DPR-GR
(Brit). Djcn. T.N.I. M uamil lijlc n d i S .II.) BAB
I.
A R T I ”K B K llA S A A N K 1:11A K IM A N "
Pasal 1.
1.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan N egara untuk m e njclcnggarakan peradilan guna mcnegakkan luikum dan kcadilan bcrdasarkan P an tja sila dan fungsi hukum sebagai Pengajom an. demi terselenggaranja N e g a r a I lukum .
Pasal
2.
Penjelcnggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada B a d an -b adan Peradilan jang ditctapkan dengan U n d a n g - u n d a n g , d engan tugas pekok u ntuk menerima, memcriksa dan mcngadili serta menjelcsaikan setiap persoalan atau perkara jang d iad ju k an kepadanja, b aik d alam b id a n g perdata, pid ana atau tata usaha Negara.
Pendjelasan : Usui rumusan tesebut lebih mendjelaskan arti wcwcnang dan fungsinja. Rumusan dalam rantjangan mentjampur adukkan antara fungsi dan \vewenang,
27
2.
Tidak perlu dintniuskan : Peradilan dilakukan dengan scderhana, nuirah dan tjcpat. Alasan-alasan :
3.
D justru untuk mcntjari kebenaran jang seobjektito b je k tfn ja. djanganlah terburu-buru. lelapi tidak berarti bertele-tele. H ukum atjaralah jang mengatur soal tersebut.
a.
Setudju dengan fungsinja M ahkam ah A gung scbagai puntjak dari semua pengadilan meliputi 4 lingkungan perad lan.
b.
Peradilan U m um dan Peradilan Tata-Usaha Negara lehnis ada di~ baw ah pim pinan M ahkam ah A gung, tetapi organisasi, adm inistratip dan finansijil ada dibawah Dcpartemen Kehakiman.
Pendjelasan :
4.
5.
H a r js ada check and balance dalam scgi-segi tehnis-personecl dan tehn's administratief sehingga apalvla scimia peradilan diatur organjsatoris dan administralief, oleh M ahkam ah A g jn g , tak ada check a n d balance. D apat ditjari modus-modus jang dalam pclaksanaan. check and balance. a. M ahkam ah A gung menurut sistim U ndang-undang D asar 1945 kedudukannja adalah dibaw^h M P R , tidak disam ping. b. M ateriil (oets ngsrecht terhadap p r o d u k - p r o d u k M P R hanja ada pada M P R sendir:, bukan M ahkam ah A g un g. c. Rum usan pasal 23 bisa mengaburkan. Leb.h baik kata materi 1 dihapus sadja, sebab djiw a rumusan rantjangan op zicli zelf sebetulnja hanja formil toetsingsrecht. D alam rumusan sumpah, al'nea jang keempat ..................... dengan t dak membedakan orang, dan akan bcrlaku dalam melakukan kewadjiban saja sebaik-ba’knja dan seadil-adilnja, seperti selajaknja etc. A N G G O T A P A N IT Y A D A R I M A H K A M A H
AGUNG
(Muhammad I shah Sumoauvdjojo S II.) Saudara Ketua, Saudara A nggota jang terhormat, D alam penindjauan kembali U ndang-undang No. 19 tahun 1964 tentang ’’Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an” maka kami usulkan agar menjilah-s’lahkan antara : a. b. c. a.
D asar pemikiran. Systematica U ndang-undang. Penindjauan pasal demi pasal.
Dasar pemikiran.
Jang mendjadi dasar pemikiran adalah untuk m-erealisasikan pasal 24 U ndang-undang D asar jang dalaip pendjelasannja diterangkan bahw a K e kuasaan Kehakiman adalah merdefca, teflepas dari penganth kekuasaan Pe merintah.
28
D an ajat 1 dari pasal tersebut herbunji "K ekuasaan K ehakim an dilakukan oleh sebuah M ahkam ah A gung. dan lain-la:n badan K ehakim an m enurut LIndang-undang. Llnsur-unsur pokok jang terkandung dalam pasal 24 ajat (1) berikut oendjelasan adalah : 1. 2.
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh M ah k am ah A g u n g dan lain-lain badan Kehakim an. Kekuasaan Kehakiman harus terlepas dari pengaruh ke kuasaan Pemerintah.
A g ar dapatnja menentukan sampai dim ana M ahk am ah A g u n g m elakukan kekuasaan Kehakiman serta terlepas dari pengnruh Pemerintah. maka terlebih dahuhi harus d'berikan kepastian tentang apakah jang dim aksud dengan
Kekuasaan Kehakiman tersebut. M enurut perumusan pada Bab I pasal 1 LIndang-undang N o. 19/1964 sebagai hasil penindjuan Panitya lama jang dimaksud dengan Kekuasaan K e hakiman itu adalah kekuasaan untuk mengadili, djadi adalah kekuasaan peradilan. Kami tjondong dengan arti tersebut. sebab kalau ditilik dalam rangka kekuasaan-kekuasaan jang ada pada suatu negara adalah pokoknja : 1. 2. 3.
Kekuasaan Legislat'p : Kekuasaan E k s e k u tip ; Kekuasaan Judikat'p ;
maka teranglah bahwa oleh karena pengetrapan hukum dalam bidang pengadilan/pcradilnn d'lakukan oleh 2 kekuasaan : Legislatip dan Eksekutip, m aka adalah kekuasaan Judikat’p jang berkewadjiban melaksanakan tugas Pengadilan/peradilan tersebut. Kalau demikian halnjn jang dimaksud oleh pasal 24 LIndang-undang D a sar berikut pendjelasannja adalah peradilan (kekuasaan mengc'dili/peradila n ) harus terlepas dari pengaruh Eksekutip dan tentunja djuga terlepas d a ri pengaruh kekuasaan Legislatip. D engan serba terang ditulis dalam pendjelasannja pasal 24 U n dang - un dang D asar kata-kata "harus terlepas dari pengaruh Pem erintah’’ jang berarti bahw a dalam pelaksanaan tugas peradilan itu tidak dapat dibenarkan sa ma sekali adanja hal-hal jang m em pengaruhi/jang dapat m empengaruhi per adilan tersebut. Berhubung dengan itu. djadi kalau jang dimaksud adalah pengaruh dan bukannja ’'tjam pur tangan /ik ut tjam pur’’, maka Lembaga jang oleh U ndangundang D asar diharuskan melakukan Kekuasaan tersebut (jaitu M a h k a m a h A g u n g ) setjara consequent harus diberi kekuasaan untuk m elakukannja : tehnis,. organisatoris, administra^tp dan ftnans'iil, sebab kalau salah satu dari sifat-sifat kekuasaan itu ada pada kekuasaan lain, misalnja Kekuasaan Eksekutip/Pem erintah maka djelaslah terbuka mengalirnja hal-hal jang membawa pengaruh kepada Pengadilan. K alau dem ikian seharusnja maka perlu sekali diteliti kembali serba tjermat Bab I I I pasal 9 ajat-ajat (1 ). (2) dan (3 ), sebab kalau b u n jin ja pasal berikut ajat-ajat tersebut sebagaimana sekarang ini teranglah bahw a satu dan lain itu tidak dapat m e n d ja m in terlepasnja kekuasaan Pengadilan/per-
29
ad ilan dari p c n g a r u h pemerintah, scbab njat (3) m e ngatakan balnva Peradi la n A g a m a d a n P erad ila n M iliter, orqanisatoris n d m i n i s t m , 1 . C ‘ --I i l l 1 1 1 r"N 4 * c l em i i n a n s i i l ada d b a w a h kekuasaan masing-masing Departem en jang bcrsan k t' A k a n tetapi sebaliknja tidaklah akan merupakan suatu per.stnlan” ' n u m u d a h d ap at d ipc tjah k an , ja bah k an sukar sckali atau tidak m u n c V ''1 r 'k '1 M a h k a m a h A g u n g h a m s mcngurus pula bagi dua djenis P e n g a d i h i / ' p - ^ d f lan tersebut organisatoris, adininistratip dan finasii'l, tannn L-.v-, ■ ' Cr,a , d ja ia n
ja n g
1
berbclit-bclit.
Be rh u bu n g d en g a n itulah maka p ik ir a n /u s u l tersebut d ibaw ah in; :
perkenankanlah
kami
nit»n i i lc” Jum bangkan
P e n g a d ila n - p e n g a d ila n /P e ra d ila iv p c ra d ila n A g a m a dan M ilite r sing adalah merupakan djenis pengadilan peradilan jang chas jaitu cluts'^s b a g i/m e n g c n a i scgolongan mamisia jang tcrikat pa d a suatu kedudukan chus1''*pula, jaitu bagi Peradilan A g a m a adalah H u k u m A g a m a dan baoi i 1 M ilite r H u k u m Militer. ' J »’ ctncll,‘™ O le h karcna maksud dari U n d a n g - u n d a n g D a s a r dengan menqharuskan terlepasnja Kekuasaan Kehakiman peradilan dari p c n g arn h Pem erintah menurnt pcnafsfran kami adalah s:ipaja suatu peradilan itu bcnar-benar adil maka mcmirut hemat kami pemefjahan pcrsoalan jang mengenai Peradilan A g a m a dan Peradilan M iliter itu dapat dipikirkan sebagai berikul :
I.
Pcradiltin Agama. Peradilan A g a m a ini jang hanja m engenai pcrsoalan 'perkara-perkara dalam hal-hal jang chas dan h a m s disclesnikan sctjara cluisus p u la dengan penctrapan H u k u m A g a m a akan tidak m em baw a sualu keadilan kalau ada ikut tjam purnja pihak-pihak lain diluar kcachlian agam a jang m em berikan/m em baw a pcngaruh. D ja d i discbabkan oleh sifatnja jang chas semata-maia baik d ilih at dari sudut djenis sengketa dan djenis hukum jang ditcrapkan. m aupun golongan m anusianja maka a kan lcbih-lcbih b erm an faa t bagi rasa keadilan mercka jan g bcrkepentingan kalau P e n g a d ila n 'P erad ilan A g a m a merupakan P e n g a d ila n /P e r a d ila n tersendiri dari tingkat Pcrtamn. tingkat B a n din g sampai tingkat Kasasi. D j a d i dengan dcmikian d : R e p u b lik Indonesia h a m s ada Malika-
mah Agung. II.
Peradilan Militer. Seperti jan g dikemulcakan u n tu k P e n g a d ila n / P e r a d ila n A g a m a tersebut diatas, dan oleh karenanja di R e p u b lik Indonesia h a m s ada M a h kamah Tenfara A g u n g / M a h k a m a h A n g k a t a n Bersendjata A g u n g ( k a lau sistim A n g k a ta n Bersendjatn masih tctap d ip a k a i) . A pala g i kalau di ingat dalam peradilan M ilite r itu masih d jk c na l ’’F o ru m P r e v jljg ia tu m ’’. K alau sistim seperti diuraikan p a d a I dan I I diatas d jg u n a k a n m aka kedtia-dua djenis P e n g a d ila n /P e r a d ila n jang d im a k su d m c m p u n ja i M a h kam ah A g u n g sendiri-sendiri jan g m cm cg an g kekuasaan tehnis, o rg a n i satoris. admijiistratip dan finansil. D a la m dua djenis peradilan tersebut masing-masing kalau sekiran ja ada suatu pengaruh Pem erintah jan g m e n ja lu r k e du a n ja , jaitu oleh karenanja terutama adm inistratip d a n finansiil pe n g a d ila n - p e n g a d jla n tersebut d iba w ah kekuasaan D e pa rtem en masing-masing jan g bersang-
30
kufan. kiranja pengaruh tersebut tidak akan merapakan suatu pengaruh iang mentg-.kan peradilan sebab peraditan i(u adalah untuk scgolongan manusia jang dm sus dalam kcd a d u k a n n jn dimasjarakat jang oleh mas:ng-masing Departemen janq bersangkutan sangat diharapkan dan sangar pula diusahakan adanja ketertiban pada golongan-golongan jang dimak^nd jaitu untnk memclihara serta memperteguh disiplin, masingmasing d'siplin Agama dan disiplin kesaluan hersendjata. T e ra n g n ja ialah halnva peradilan janq tidak m em baw n kcadilan akan sangat meruqikan adjaran A g a m a dan atau m eruqikan disiplin kcsatuan bersendjata. oleh karena niana tidak m udah d iqam b ai'k an a d a n ja penqar.ih buruk dalam tubuh sendiri untuk meruqikan peradilan sendiri puln. M e n d a sa rk an pada pikiran jang kami pa pnrkan diatas ini. m aka kami menafsirkan pasal 24 U n d a n g - u n d a n g D a sa r ajat (1) tersebut balnva janq dimaksud dengan kekuasaan kehakiman 'peradilan janq dilakukan oleh M a h k a m a h A g .m g itu adalah peradilan janq bersifat Umum. dan Jinqkunqan Peradilan T a ta LIsaha N eq ara sadja. A k a n te'api kalau tctap berpeqanq pada pendirian sepcrti jan g tclah dilerangkan dalam pasal 9 ajat-ajat ( 1) . (2) dan (3) hasil pcnindjauan IIn d a n q - u n d a n q N o. 19/1964 oleh P an ity a lama, m aka M a h k a mah A g u n g sebagai pu n tja k dari 4 (empat) djcnis P erad ila n tersebut h u m s diusahakan aqar M a h k a m a h A q u n g dapat memeqang kekuasaan tehnis-orqanisatoris, administratip dan finansijl terhadap kc-cmpat- djenis peradilan itu. jaitu semata-nmla sebagai pelaksanaan murni dari p a sal 24 U n d a n g - u n d a n g Dasar herikut pcndjclasannja, jakni Kekuasaan K ehakim an Peradilan harus merdeka, terlepas dari pengaruh P em erin tah. jang akan dapat memberikan "garantie van aanstellingen” m e nudju ke ’’Kebebasan H a k i m ’’.
b.
Sostimatika Undang-undang.
O le h karena kami dalnilu telah ;kut menjusun hasil p e n in d ja u a n kembali U n d a n g - u n d a n g N o. 19 1964 oleh P anitya lama, maka mengenai sistim dari p e n ju s u n a n n ja kami tidak mengemukakan pe n ib a h a n . m elainkan mengadjukan usul kepada Panitya barn ini untuk memperhatikan suatu ta m b a h a n p a sal peralihan untuk mcmpermudah pelaksanaan p e n g g u n a a n n ja kemudian.
c.
Tindjauan pasal demi pasal. Pasal 14 dan pasal 15.
A g a r pasal 15 d idja dik a n ajat (3) dari pasal 14 sebab sem uan ja ta-mata m engatur sjahnja putusan pengadilan.
Pasal
sema-
16.
A g a r ditambah. sehingga m endjadi : ’ ’A ta s senuia putusan P en g a d ila n tingkat pertama terhadap perkara pid a na , jan g tidak m e rupakan pembebasan dari tu du h an dapat d im in ta k a n b a n d in g oleh pihak-pihak jang bersangkutan, ketjual: apabila U n d a n g - u n d a n g men e n tu k a n la in ’’.
31
Pa*al
18.
U n t u k ditam bah dibelakang, seh'ngga m endjadi : ” A p a b i!a terhadap hal-hal atau kcadnan-keadaan jang ditentukan dengan U n d a n g - u n d a n g terhadap putusan pengadilan jang telah meniperoleh kekuatan H u k u m jang tetap d'niintakan pe n indjauan kembali kepada M a h k a m a h A g u n g dalam perkara-perkara perdata dan tata-usaha N egara oleh pihak-pihak jang bersangkutan atau ah 1i w arisnja atau lain-lainnja jang mem punjai perfal;an- kekeluargaan sedarah atau semendn dengan terhukuin’’.
Pasal
17.
U n t u k ditanibahkan dibelakang sehingga mendjadi : ’’A ta s putusan Pengadilan dalam f’ngkat banding dapat d im intakan kepada M a h k a m a h A g u n g oleh p :hak-pihak jang hersangku'an jang dalam U n d a n g - u n d a n g ” .
Pasal
kasasi diatur
23.
O leh karena menurut dja la n nja Constiiiifie kita lernjatn hanja C o n s ti t u te sementara jang mengenai "toetsing" maka untuk memberikan hak toetsing kepada M a h k a m a h A g u n g seperti diterangkan dalam pasal 23 atau lain (sebab terasakan perlti a da nja hak tersebut) pasal 23 tu peri;i d iad a k an setelah diteliti seperlunja.
Pasal
27.
K iranja isMlah ’’mengangkat s u m p a h ” dalam pasal 27 ini perlu d igantj . en9 ^n mengutjapkan sumpah , dan untuk berdjandji pada nlinea pertama jang er unj .Saja menerangkan dan seterusnja” , supaja diqanti d en g a n ’ S aja berdjandji dan seterusnja” .
Pasal
29.
U n tu k memudahkan pe n gg u na an U n d a n g - u n d a n g ini nanti d alam prake ma a ami usulkan untuk diberi tam bahan seperlunja, sehinqna pasal 29 tersebut ajat (1 ) b e r k ,n ji sebagai berikut :
Dalam perkara pidana pengawasan m T l n k Y ga,n Ketu,a , P e n 9 adilan adHan dn!in)a
V™
pclaksanaan -putusan Pengadilan jang
bersangkutan
d an
tjara-tjara
T ' peraturan tersendiri, sedang putusan
,ala “ saha * ' « • “ Pasal
Peng-
o ldl Ketua
33.
U n t u k ditambah dibelakang, sehmgga berbunji • D a la m pemberian bantuan hukum itu penasehat h u k u m w a d j i b men-
t
, -— *—• * ‘"-auiidii serta membantu membmiti^ melantj^*melantjaJ-" kan penjelesaian perkara dengan berpegang teguh pada fungsi hukum sebagai pengajoman” .
Oleh karena banjak persoalan-persoalan/problema-problema jang h a m 5 dipetjahkan dalam penjusunan ketiga rantjangan Undang-undang tersebut diatas, maka Panitya Negara Penindjauan Kembali Undang-undang N o. ^ 32
laliun 1064 dan Undang-undang No. 13 tahun 1965 ini tak dapat menjelesaikan tugasnja pada waktu janq telah ditentukan oleh Keputusan Presiden No. 271 tahun 1967 tersebut diatas ja:tu sampai dengan achir bulan Pebruari 1968. Kemudian diadjukan permohonan kepada Presiden untuk mempcrpandjang masa kerdja Panitya Negara ini dan permohonan tersebut d'sctudjui dengan dikeluarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 170 tahun 196S tertanggal 8 Mei 196H tentang perpandjangan masa kerdja Pair’tya Negara Penindjauan Kembali llndaug-undang No. 19 tahun 1964 dan Undang undang No. 13 tahun 1965. Perpandjangan masa kerdja ini ditcntukan sampai dengan tanggal 30 D juni 1968. Sementara Panitya Negara ini mendjalankan tugasnja. ada seorang dari Anggotanja jang meninggal dunia, jaitu Akvi Sutan Osman S .H . (Departe men Kehakiman). Setelah cHusulkan penggaminja dan disetudjui kemudian dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 168 tahun 1968 tentang pengangkatan Bujang Datuk Intan Sati S.H. (Departemen Kehakiman) sebagai anggota menggantikan AKvi Sutan Osman S.H. (alm arhum ). Aehirnja setelah dipespand jang waktunja sampai dengan tanggal 30 D ju n i 1968. Panitva Negara Penindjauan Kembali Undang-undang No. 19 tahun 1964 dun Undang-undang No. H tahun 1965 ini dapat menjelesa;kan tugas nja dan telah monghasilkan 3 (tiga) buah Rantjangan Undang-undang, jaitu : 1.
R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an;
2.
R .U .U . tentang Susunan. Kekuasaan dan Hukum Atjara M ahk a m a h A gung :
3.
R .U .U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Um um .
33
A M A N A T P R E S ID E N R E P U B L IK IN D O N E S IA R a n tja n g a n IIn d a n g - U n d a n g tentang Ketentuan-Kctentuan Pokok K ek u a saan Kehakiman dan Rantjangan LIndang-lIndang tentang Susunan, Kekua saan dan H u k u m A tjara Malikam ali Agung dengan surat tertangqal 13 Agustus 1968 No. R. 05 P U 'HK., 8/6S disampa'kan oleh Presiden Republik Indonesia kepada Ketua D e w a n Perwakilan Rakjat Gotong Rojonq quna dibitjarakan dan mendapatkan persetudjuan. Kemudian dengan surat tertanggal 8 Okfober 196S. No. R. 015-'PU ' H K / 10/1968 Presiden Republik Indonesia telah pula menjampaikan Rantjangan U n d a n g - U n d an g tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um kepada Ketua D ew an Perwakilan Rakjat Gotong Rojong guna dibitjarakan dan mendapatkan prrsetudjunn. A d a p u n surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakjat Gotong R ojong mengenai Rantjangan Undang-IInclang tentang Kefentuau-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Rantjangan U n dang U n dang tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k um A tjara M ah k am ah A gung, adalah sebagai tertjantum dibawah ini. S E K R E T A RI A T XECJARA REPUBLIK
Nomor Lampiran Perihal
INDONESIA
: : :
Djakarta, 13 Agustus 1968 R.05./PU 'H K /S /6 8 . 1 (satu) Rantjangan lln d a n g - U n d a n g tentang: 1. Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 2. Susunan, Kekuasaan dan H u k um A tjara M ahkam ah A gung °)
Jth.
K e p a cl a Ketua Dew an Perwakilan R akjat Gotong Rojong di D JA K A R T A .
Dengan ini Pemerintah menjampaikan : ■ — —,'-w— — Rantjangan Undang-undang tentang : 1.
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan
2.
Susunan, Kekuasaan dan Ilu k u m
A tjara M a h k a m a h A g un g
guna mendapatkan persetudjuan D ew an Perwakilan R akjat Gotong Rojong. U ntuk keperluan hal tersebut kami mempersilahkan Ketua D ew a n Perwakilan Rakjat Gotong Rojong berkenan menghubungi Menteri jang bersangkutan (Menteri Kehakiman). PRESI DEN'
R E P U B I IK
INDONESIA
ttd. DJENDERAL
TNI
S O E H A R T O *)
34
R.U. U. ini tidak dimual dalam buku jni.
Tembusan disampaikan kepada : 1.
M enteri Kehakim an (dengan m enundjuk suratnja tertanggal 17 M e i 1968 No. J.S .5 /9 /9 guna keperluan persidangan D .P .R .- G R ., M enteri Kehakiman perlu segera bcrkenan mcngirim kan R a n tja n g a n U n d ang - u ndan g tersebut sehanjak 550 ganda kepada D . P . R - G R . )
2.
Ketua M ahkam ah A g un g ;
3.
Djaksa A gung,
4.
Ketua Panitya N egara Penindjauan Kembali U n dang - undang N o . 19/1964 dan U ndang-undang No. 13/1965 (M e n u n d ju k surat tanggal 22 M a re t 1968 N o. 014 /P an. N eg/1968 dan tanqgal 19 M e i 1968 N o. 02 3 /P an. N eg/196S.
35
R A N rI" J A N G A N U N D A N G - llN D A N G
N O ............... T A H U N
i o 6s
T E N T A N G KETENTUAN-KETENTUAN POKOK K E H A K IM A N . DENGAN
KEKUASAAN
R A C H M A T T U H A N JA N G M A H A ESA.
P R E S ID E N R E P U B L IK IN D O N E S IA M enim bang
:
Memperhatikan :
Mengingat
a.
bahwa U ndang - U n dan q No. 19 tahun 1964 tcntnnq Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara tahun 1964 No. 107) tidak merupakan pelaksanaan nuiiiii dari pasal 24 llndanglln d a n g Dasar 1945, knrena memuat ketvntuanketentuan jang bertentangan dengan dj\va UndanqLlndang Dasar 1945.
b.
bahwa oleh karena itu perlu ditefapkan lagi suatu U n danq -U nd an g bartt mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jang sesuai dengan Pantjas’ln sebagai dasar Negara dan sedjiwa dengan U n dang - U n dan q Dasar 1945.
Usui Panitya Negara jang dibentuk dengan Keputusan Presiden RcpubMc Indonesia No. 271 tahun 1^67. a.
Pasal-pasal: 5 ajat (1). 20 ajat Undang-U ndanq Dasar ;
b.
Ketetapan dan 3 ;
c.
Ketetapan M .P .R .S . No. X I X / M P R S / 1966 pasal 3. Dcnqan persetud juan D ew an Perwakilan Rakjat Gotong Rojonq.
M .P .R .S .
No
(1)
dan pasal 24
X - 'M P R S /1966
M E M U T U S K A N
pasal
2
:
PERT A M A : M e n tja b u t
UNDANG-UNDANG
N O . 19 T A H U N
1964
TEN
TANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KE K U A S A A N K E H A K IM A N .
KEDUA M enetapkan
U N D A N G - U N D A N G T E N T A N G KETENTUANK E T E N T U A N P O K O K K E K U A S A A N K E IIA K IM AN .
36
BAB
1.
Arri 'K E K U A S A A N K E H A K IM A N ’’ Pasal
1.
Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara untuk menjelenggarajl,n PCI‘ldi!an guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pantjasila, demi terselenggaranja Negara Hukum.
Pasal
2.
Penjelenggaraan Kekuasaan Kehakiman lertjantum dalam pasal 1 diserahkan kepada Badan-Badan Peradilan jang ditctapkan dengan Undangu nda iu j, dengan tugas-pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadil: serta Jiienjelesaikan setiap persoalan atau perkara jang d-adjukan kepadanja.
BAB
II.
K U T IiN T U A N U M U M . Pasal
3.
(1)-
Scmun peradilan diseluruh wilajali Republik Indonesia adalah peradilan Negara, jang d teiapkan dengan Undang-Undang.
(2).
Peradilan Negara mendjalankan dan melaksanakan H u k u m dasarkan Pnnijasila.
Pasal
jang
ber-
4.
(1).
Peradilan dilakukan ” D E M I K E A D I L A N T U IIA N A N JA N G M A H A ESA
(2). (3).
Peradilan d-lakukan dengan sederhana, tjepat dan biaja ringan. Segala tjampur tangan dalam urusan peradJan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dJarang, ketjuali dalam hal-hal jang tersebut dalam Undang-undang Dasar.
Pasal (1). (2).
(2).
5.
Pengadilan mengadili lnenurut H ukum dengan tidak membeda-bedakan orang. D alam perkara pcrdata Pengadilan membantu para pentjari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnja mengatasi segala hambatan dan rinta^ ngan untuk dapat tertjapainja peradilan jang sederhaiui, tjepat dan b aja ringan.
Pasal (1 ).
B E R D A S A R K A N KE-
6.
T iada seorang djuapun dapat dihadapkan didepan Pengadilan selain dari pada jang ditentukan bag nja oleh U n dang - U n dan g. T iada seorang djuapun dapat didjatuhi pidana, ketjuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian jang sah menurut Undang-undang, mendapat kejakinan, bahwa seseorang jang dianggap dapat bertanggung djawab, telah bersalah atas perbuatan jang dituduhkan atas dirinja.
37
Pasal
7.
Tiada seorang djuapun dapat dikenakan penangkapan. penahanan. pcnggeledahan dan pcnsitaan sclain atas penntah tcrUilis oleh kekuasaan jang sail dalam hal-hal dan mcnurut tjara-tjara jang diatur dengan Undang-Undanq.
Pasal
S.
Setiap orang, jang diluduh. ditangkap. ditahan. dituntut dan/atau dihadapkan didepan Pengadilan, wadjib dianggap tidak bcrsalah sebclum adanja putusan Pengadilan, jang menjatakan kesalahannja dan mcmpcroleh kekuaUn hukum jang tetap.
Pasal
9.
(1)
Seorang jang ditangkap, ditahan. dituntut ataupun diadili tanpa alasan jang berdasarkan Undang-LIndang atau karcna kckeliruan mengenai orangnja atau hukum jang ditrapkannja, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2).
Pedjabat jang dengan sengadja nielakukan perbuatan sebagaimana ter sebut dalam ajat (1) dapat dipidana.
(3).
Tjara-tjara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih landjut dengan Undang-LIndang.
D AD
III.
B A D A N - B A D A N P E R A D IL A N D A N A Z A S - A Z A S N ] A. Pasal
10.
(1). iKekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
(2).
(3).
a.
Peradilan U m um ;
b.
Peradilan A gam a ;
c.
Peradilan Militer ;
d.
Peradilan Tata-Usaha Negara.
Peradilan Umum berpuntjak pada M ahkam ah A gung. scdang Peradi-' lan tersebut dalam ajat (1) sub b, c dan d susunannja diatur oleh Undang-Undang tersendiri. Badan-Badan Pengadilan jang melakukan peradilan tersebut pada ajat ( 1 ) , ^O rg a n is a tio n s , a d m in is lr a r ip d a n
fin an s iil a d a d i b a w a h
kekuasaan
masing-masing Departemen jang bersangkutan, ketjuali M a h k a m a h A " gung jang mempunjai organisasi, administrasi dan keuangan sendjri-
Pasal
11.
!(1).
Susunan, Kekuasaan serta A tjara dari badan-badan Pengadilan diatur lebih landjut dengan Undang-Undang.
(2).
Badan-Badan Pengadilan chusus disamping badan-badan Pengadilan jang sudah ada, hanja dapat diadakan dengan U ndang- U ndang.
38
Pasal
12.
(1).
Pengadilan tidak holch menolnk untuk mcnicriksa dan mengadili sesuatu pcrkara jang diadjukan dengan dal ill bahwa hukum tidak atau kurang djclas. mclainkan wad jib untuk memcriksa dan mengad.Jinja.
(2).
Ketentuan dalam ajat (1) tidak menulup keuwmgkinan untuk usaha pcnjelcsa.au pcrkara pcrdata .setjara perdamaian. P a s a l
1 3 .
(1).
Scmua Pengadilan memeriksa dan mcmuins dengan sokurang-kurangnja tiga orang hakim, ketjual. apabila Llndang-Undang mencntukan lain.
(2).
Dianlara para Hakim tersebut dalam ajat (1) seorang bertindak sebagai Ketua. sedang Ia.nnja sebagai hakim anggauta sidang.
(3).
S;dang dibantu pula oleh seorang panitera atau seorang jang ditugaskan inclakukan pekerdjaan panitera.
(4).
Dalam perkara pidaua wad jib hadir pula seorang pemuitut umum, kctjuali apab:Ja ditcntukan lain dengan Undang-LIndang. P
chs»
I
h
.
Pengadilan memniksa dan memutuskan perkara pidana dengan hadfrnja terluduh, ketjuah apabila Undang-LIndang mencntukan lain.
Pasal
15.
(1 ).
S id a n g pemeriksaaii P e n g a d ila n a d a la h te ib u k a a p a b ila U n d a n g - U n d a n g m cn e n tu k a ii l a n .
(2).
Tidak dipcnuhinja kelcniuan dalam ajat keputusan menurut hukum.
(3).
Rapat pernnisjawaratan H ak 111 beisifat rahasia.
Pasal
(1)
u n tu k
um um .
k e tju a li
mengakibatkan batalnja
16.
Scmua putusan P e n g a d ila n hanja sah d a n m e m p u n ja i k e k u a t a n h u k u m a p a b ila d m t j a p k a n d a la m s d a n g tcrbuka u n t u k u m um .
Pasal
17.
Atas scm u a p u tu s a n P e n g a d il a n tin gk at p crtam a . ja n g t id a k m e r u p a k a n p e m b e b a s a u dari lu d u h a n , d a p a t d im in ta k a n b a n d in g oleh p ih a k - p ih a k b e r s a n g k u ta n . k e tjuali a p a b ila L l n d a n g - U n d a n g m c n e n t u k a n lain.
Pasal
ja n g
18.
A tas putusan Pengadilan dalam tingkat band-ng dapat dimintakan kasasi kepada M ahkam ah A gung oleh pihak-pihak jang berkcpeutingan jang d atur dalam Llndang-LIndang.
Pasal
19.
A pabila terdapai hal-hal atau keadaan-keadaan jancj clitentukan dengan
39
Undang-Undang, terhadap putusan Pengadilan. jang telah mci.ipcroleh kekuatan'hukum jang tetap dapat dimintakan penindjauan kembali kepada M a h kamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihnk- jang berkepentingan.
Pasal
20.
Apabila dalam satu perkara pidana terlibat orang-orang jang termasak wewenang berbagai l.ngkungan perad:l<m, maka mereka dihadapkan didepan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Um um, ketjuali apab la LlndangU n dang menentukan lain.
Pasal
21.
(1).
Segala putusan Pengadilan selain hams memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan itu, djuga hams memuat pula pasal-pasal teilentu dari peraturan-peraturan jang bersangkutan atau samber hukum tak tertuhs jang didjadikan dasar untuk mengadili.
(2).
Tiap putusan Pengadilan ditanda tangani oleh Ketua sena hakim-hakim jang memutus dan panitcra jang ikut serta bcrsidang.
(3).
Penetapan-penetapan, ichtisar-ichti.^-ar rapat permusjawaratan dan berita-berita atjara tentang pemeriksaan sidang ditanda tangani oleh Ketua dan Panitera.
Pasal
22.
Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wad jib sahng memberj bantuan jang diminta.
BAD
IV.
IIU B U N G A N P E N G A D IL A N D A N L E M B A G A N E G A R A L A IN N JA . rjasal
23.
Semua Pengadilan dapat memberi keterangan, pcrtimbangan dan nasehat-nasehat tentang soa!-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnja apabila diminta.
Pasal
24.
Mahkamah A gung berwenang untuk menjatakan tidak sail semua pcr' a tu ra n p e r u n d a n g - u n d a n g a n dari t . n g k a ta n jang lebih r e n d a h d a r i U n d a n g -
n an£f. atas alasan bertentangan dengan peraturan pem ndanq-undanga11 jang lebih tinggi. ‘
BAB
V.
H A K IM D A N K E W A D J1 B A N N JA Pasal H ). 40
25.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan w adjib menggali, mengu i an raemahami mlai-nilai hukum jang hidup dalam masjarakat.
2).
Dalam meinpert.mbangkan beral lingnnnja piclana. hakim wad jib mcmperhat.kan pula sifat-sifat jang haik clan jang djahat dari tertuduh.
Pasal
26.
(1).
Pihak jang diadili mempunjai hak ingkar terhadap hakim jang mcngad li perkaranja. li n k iiu]kar ;alah hak sescorang jang diadili unmk mengadjukan keberatan-keberatan jang discrtai dengan alasan-a'asan terhadap seorang hakim jang akan racngadili perkaranja. Putusan mengenai hal tersebut dilakukan o’.ch Pengadilan.
(2).
Apabila seorang hakim masih ter.kat luibungan keluarga sedarah sampai deradjat ketiga atau semenda dengan Ketua. salah seorang hakim ang gota. djaksa. penasehat Indium atau panitera dalam suatu perkara tertentu. ia wadjib mcngandurkan d-ri dari pemeriksaan pcrkara itu.
(3).
lVgitu pula apabila Ketua. Hakim anggo'a. Penuntat U m um atau P a nitera masih terikat dalam luibungan keluarga sedarah sampai deradjat ketiga ataa semenda dengan jang diad.li, ia wadjib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu.
Pasal
27.
Sebclum inclakukan djabatannja hakim, panitera. panitera-pengganti dan djurusita unlnk masing-masing lingkangan peradilan hams bersumpah atau bcrdjandji menurut agamanja, jang bcrbunji sebagai bcrikut : ,.Saja bersumpah bcrdjandji bahwa saja untuk mempcrolch djabatan saja ini. langsung ataa tak langsung. dengan mcnggunakan nama atau tjara apapun diuga. tiada akan membeiikan atau mendjandjikan barang scsuatu kepada sinpapun djuga’’ ; ,.bahwa saja tidak akan mcnerima pembcrian atau hadiah dari orang jang saja kctahui atau sangka sedang atau akan berperkara jang mungkin akan mengenai pelaksanaan djabatan saja : ..bahwa saja akan setia dan akan mempertahankan Pantjasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, Undang-LIndang Dasar 1945, dan segala Llndang-LIndang serta Peraturan-peraturan lain jang berlaku bagi N e gara Republik Indonesia ; ..bahwa selandjutnja saja akan mendjalankaii djabatan saja ini dengan djudjur, saksama dan dengan tidak mcmbeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam mclaksanakan kewadjiban saja scbaik-baiknja dan seadil-adilnja scperti selajaknja bagi scoiang hak.ni (Pedjabat Peradilan) jang berbadi baik dan djudjur dalam menegakkan kebcnaran dan kcadilan” .
BAB
VI.
K E D I I D U K A N P E D JA B A T P E R A D IL A N (P E N G A D IL A N )
Pasal
28.
"jjarat'Sjarat untuk dapat diangkat dan d.berhentikan sebagai hakim dan 41
tata-tjara pengangkatannja dan pcm berhentiannja ditentukan dalam UndangLlndang seperti jang dim aksud dalam pasal 10 ajat (2 ).
Pasal
29.
H a k im diangkat dan cliberhentikan oleh K cpala Negara.
Pasal
30.
Chusus untuk Peradilan U m u ni dipergunakan tata-tjara pengangkatan dan pemberhentian seperti diatur dalam Bab V I I U ndang-U ndang ini.
Pasal
31.
Hal-hal jang mengenai pangkat dan gadji liakim, panitera dan djurusita diatur dengan suatu peraturan tersendiri.
BAB
VII.
M A D JE L IS P E R T IM B A N G A N P E N E L IT IA N H A K IM (M .P .P H .) Pasal
32.
(1 ).
M adjelis Pertinibangan Penelitian H akim bcrtugas mempertimbangkan dan mengambil keputusan terachir mengenai saran-saran dan atau usulusul jang berkenaan dengan pengangkatan, promosi. kcpindahan, pem berhentian dan tindakan-tindakan/hukum an-luikum an djabatan para H akim , jang diadjukan baik oleh M ahk am ah A g un g , m aupun oleh M e n teri Kehakim an.
(2 ).
Keputusan M adjelis Pertinibangan Penelitian H akim tersebut mclalu: M enteri Kehakim an disam paikan kepada jang beiw cnang m cniuut U ndang-U ndang.
Pasal (1 ).
M adjelis Pertim bangan Penelitian H akim berkomposisi : 1. 2. 3. 4. 5.
(2 ).
33.
Ketua M ahk am ah A g u n g exofficio anggota ...... M enteri Kehakim an exofficio anggota ................... Senior H akim A g u n g .................................................. Seorang W a k il dari organisasi H ak im ............... Seorang W a k il dari organisasi pengatjara ...........
K etua W a k il Ketua A n g g o ta A n g g o ta A ng g o ta.
Para anggota tersebut dalam ajat (1) diangkat untuk d jan g k a w aktu 3 tahun oleh Kepala N egara atas hasil penn'lihan : sub 3. sub 4. sub 5.
oleh dan oleh dan oleh dan
dari para H akim A g u n g . dari para H a k im seluruh Indonesia. dari para pengatjara seluruh Indonesia.
Pasal
_
34.
M adjelis Pertim bangan Penelitian H ak im m erupakan lembaga tersendici
42
jang bcrsifat ..non-Govcrnmental” dalam lingkungan M ahk am ah A g u n g dan hei'kcdudukan ditempat kedudukan M ahkam ah A g un g.
BA D
V III.
P E I.A K S A N A A N P I IT U S A N P E N G A D IL A N Pasal ( 1 ).
(2 ).
35.
Dalam perkara pidana djaksa mclaksanakan putusan Pengadilan dibawah pengawasan Kciua Pengadilan jang bcr>angkutan, sedang pelaksauaan putusan Pengadilan dalam perkara pcrdata dij'inipin oleh Ketua Pengadilan jang bersangkutan. Dalam mclaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaja perikeadilan dan perikemanusiaan telap terpelihara.
P am l
36.
Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur lebih land jut de-ngan U ndangLlndang.
BAB
IX .
B A N T U A N IIU K U M . Pasal
37.
Setinp orang jang tcrsanqkui perkara bcrhak memperoleh bantuan hukum .
Pasal
38.
D alam perkara pidana pcnaschat hukum sedjak saat dilakukan penangkapan dan/atau pcnahanan scseorang dibolchkan m enghubangi dan memberi naschat kepadanja.
Pasal
39.
D alam pembcrian bantuan hukum itu pcnaschat luikam w ad jib mendjundjung tinggi Puntjasila dan keadilan serta mcmbantu m elantjarkan pcnjelesaian perkara.
Pasal
40.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 37, 38 dan 39 tersebut diatas diatur lebih landjut dengan Undang-LIndang.
BAB P E N
X.
U T U P.
Pasal
41.
Semua peraturan-peraturan jang m cngatur ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakim an jang bcrtcntangan dengan U ndang - U ndang ini d'njatakan tidak berlaku.
43
Pasal U n dang - U n dan g ini dinamakim K U A S A A N K E H A K IM A N .
42.
UNDANG-UNDANG
Pasal
POKOK
KE
43.
U n d ang - U n d an g ini nutlai bcrlaku pada hari diundangkan. A g a r supaja setiap orang dapat m cngetahuinja memcrintahkan pcngundangan U n dang - U n dan g ini dengan penempatan dalam Lcmbaran Negara R epublik Indonesia. D iu n d a n g k a n di D jak arta pada t a n g g a l............................. 19.......
Sekretaris N egara,
44
Disahkan di D jak arta pada tanggal .............................. 19........
Presiden Republik Indonesia
P E X D JE L A S A N ATAS U N D A N G - U N D A N G N O ............... T A H U N
1968
T E N T A N G KETENTUAN-KETENTUAN POKOK K E H A K IM A N .
I.
KEKUASAAN
II M 11 M.
1.
Dengan Dckrit Presiden 5 D j u l i l 9 5 9 kita sudah kembali kepada llndnncj-Undaiu) Dasar 1945. kepada djiw a proklamasi 17 Aqustus 1945. Tetapi kenjataannja selania ini djiw a dan ketentuan-ketentuan Undan-Undang D asar 1945 itu beluni dilaksanakan setjara m urni, m a ka akibatnja banjak pcnjelewengan terdjadi, antara lain dalam bidang kekuasaan Kehakiman. Sebagai tjontoh dapat diadjukan, bahwa U ndang - U ndang D asar 1945 dalam Pendjelasannja setjara tegas telah m enjatakan, bahw a kekuasaan kehakiman ialali kekuasaan jang merdeka, artinja terlepas dari pcngaruh kekuasaan pemerintah, akan tetapi ternjata dalam praktck dan pclaksanaannja telah disclewengkan antara lain terdapatnja pasal-pasal dalam U ndang-U ndang No. 19 T ahun 1964, jang memberikan wewcnang kepada Presiden untuk dalam beberapa hal dapat turun dan tjampur tangan dalam soal-soal Pengadilan.
2.
Dalam rangka kembali pada pelaksanaan P antja Sila dan U ndangU ndang Dasar 1945 setjara murni, semua pcnjelewengan terhadap djiwa, dasar dan tudjuan Revolusi Pantja-Sila harus dihentikan. O leh karena itu berdasarkan Ketetapan-Ketetapan M .P .R .S . N o. X /M P R S ./1 9 6 6 dan No. X IX /M P R S /1 9 6 6 , maka U ndang-Undang No. 19 tahun 1964 lersebut diatas. jang njata-njata telah menjeleweng dari djiwa U ndang-U ndang D asar 1945, harus ditjabut.
3.
D engan ditjabutnja U ndang-U ndang N o. 19 tahun 1964 tersebut d i atas'terdjadilah suatu kekosongan, jang akan menghambat d ja la n n ja peradilan pada umumnja. O leh karena itu perlulah dengan segera dibentuk U n dang - U n dan g tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman jang baru sebagai penggantinja. U ndang-U ndang jang baru ini selain bertudjuan untuk mengisi keko songan tersebut diatas, harus pula mendjaga tidak terulangnja lagi penjelewengan-penjelewengan seperti tersebut diatas. U ntuk itu perlulah dalam U ndang-U ndang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jang baru ini, diusahakan tertjantum nja dasar-dasar bagi penjelenggaraan peradilan dan ketentuan pokok mengenai hubungan peradilan dan pentjari keadilan, jang sedjiw a dengan U ndang-U ndang D asar 1945 supaja pelaksanaan penjelenggaraannja nanti dapat sesuai dengan P an tja Sila. T entang penjelenggaraan peradilan setjara mendetail untuk selandjut
45
nja akan diatur dalam peraturan-peraUiran tersendiri, dengan keten tuan, bahw a U ndang-LIndang tentang Ketrntuan-Kctontuan Pokok Kekuasaan Kehakim an ini akan merupakan induk dan pednman bagi peraturan 2 tersebut, jang hanja merupakan pelaksanaan dari pada U ndang-undang ini. U ndang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan K e hakim an ini akan hanja dapat disusun setjara tcrtib dan teratur a p a bila lebih dahulu sudah diketahui tentang batas-batas arti Kekuasa an Kehakim an seperti tertjantum dalam pasal 24 LIndang-LIndang D asar 1945. M engenai hal itu, meskipun LIndang-LIndang Dasar 1045 beserta Pendjelasannja tidak memberikan keterangan setjara djelas, tetapi dari ketentuan-ketentuan dalam pasal* 24 dan 25 LIndang-LIndang D asar 1945 sendiri beserta Pendjelasannja, dalam mana pelaksanaan Kekuasaan Kehakim an diberikan kepada badan-badan peradilan (M ah kam ah A g un g dan badan-badan kehakiman lainnja) dengan ke tentuan supaja sjarat-sjarat u n fuk dapat diangkat m endjadi hakim dan kedudukan para hakim ham s diatur lebih landjut dengan U ndangU ndang, maka njatalah, bahwa jang ditudju dengan Kekuasaan Ke hakiman dalam pasal 24. U ndang-undang D asar 1045 ialah kekuasaan N egara untuk menjelenggarakan peradilan guna mencgakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pantjasila, jang diserahkan kepada B adan 2 Peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan inengadili serta menjelesaikan setiap persoalan atau perkara jang diadjukan kepadanja. hal mana sesuai dengan dasar N egara Indonesia sebagai N egara H ukum (Rechtsstaat) seperti tertjantum dalam P e n djelasan LIndang-U ndang D asar N egara Republik Indonesia 1945. Karena pengertian tentang arti Kekuasaan Kehakim an akan m endja di Jandasan dalam menjusun LIndang-LIndang ini. maka ditjantumkannja dalam Bab ke I sebagai Bab pembukaan. Seterusnja untuk dapat menemukan ketentuan-ketentuan pokok per adilan dan keadilan sesuatu Negara w adjib diketahui sumber tertib hukum nja, jaitu pandangan hidup, kesadaran dan tjita 2 hukum serta tjita 2 moral jang meliputi suasana kedjiw aan dan w atak dari rakjat Negara jang bersangkutan. O le h karena itu maka dalam m enjusun U ndang-undang ini perlulah pribadi manusia Indonesia dengan dan dldalam m asjarakatnja memperoleh sorotan jang tadjam dan mendapatkan djam inan jang w adjar pula. U n tu k itu diusahakan dalam Llndang-undang ini tertjantum kannja beberapa peraturan 2 pokok jang memberi perlindungan hak 2 azasi manusia dalam bidang peradilan se suai dengan fungs-i hukum sebagai Pengajom an dan sedjiwa dengan U n dang - U ndang D asar 1945. U n tu k m endjam in terlaksananja m aksud tersebut sampai m endapat hasil jang diharapkan perlu adanja penegak hukum dan keadilan selaku badan pelaksana, jang melakukan tugasnja seadil-adilnja dan tidak memihak. U n tu k m endjaga supaja keadilan did jalank an seobjektif-objektifnja dixnuat dalam U ndang- undang ini beberapa peraturan jang menentukan, diw adjibk ann ja supaja pemeriksaan dilakukan da-
lam sidang terbuka untuk umum oleh sekurang-kurangnja t'ga orang hakim, diw adjibkannja kepada hakim jang masih terikat dalam hubungan kekeluargann tcrtentu dengan tertuduh, Ketua, H a k im ang g auta la'nnja. D jaksa atau Panitera dalam suatu perkara tcrtentu untuk mengundurkun d:ri dari pemeriksaan perkara itu. pembcrian bantuan hukum scmendjak sescorang m endjadi tertuduh dan d ia d a k a n n ja kenutngkinan untuk mengganti kcrugian serta rehabilitasi scscorang jang ditahan. dituntut ataupun diadili karena kckcliruan dan Iain-lain keten tuan lagi jang sesuai dengan djiw a U n d ang - U n dan g D a sar 1945. Karena pada hakekatnja segala scsuatu jang berhubungan dengan pclaksanaan tugas badan-badan pcncgak hukum dan keadilan tersebut baik buruknja tcrgantung dari pada manusia-manusia pclaksananja, iji fasti para Hakim , maka untuk itu perlulah dalam U n d a n g - U n d a n g tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakim an jang baru ini diIjantumkan tata-tjara mendapatkannja H akim " jang d ju d ju r, merdeka, berani mcngambil kcputusan dan bebas dari pengaruh baik dari dalam maupun dari ltiar dengan diadakannja suatu M ad jclis P crtim banqan Penelitian H akim jang merupakan
lembaga
tersendiri
jan g
bersifat
"non Goi'crnrncntar'. jang bertugas m em pcrtimbangkan dan menganibil kcputusan tcrachir mengenai saran-saran dan atau usttl-usul jang berkenaan dengan pengangkatan. promosi. kepindahan, pemberhcntian dan tindakan-tindakan/hukunian-hukum an djabatan para H a kim. D jam inan tersebut diatas kurang sempurna apabila tidak disertai dengan adanja pcraturan-peraturan jang m endjam in kuk u hnja kedu dukan sang H akim , untuk matia U ndang- U ndang ini m ew adjibkan kepada Pemerintah untuk mengatur kedudukan pangkat dan gadji para pctuguas Pengadilan dengan peraturan tersendiri, sudah barang tentu dengan pcngertian bahwa kedudukan. pangkat dan g adji tersebut harus diatur scdcmikian rupa, sehingga para petugas P e ng adilan pada um um nja, H akim chususnja, tidak akan m udah dapat dipengaruhi baik materiil maupun karena djabatan sedangkan sebagai sjarat bathinijah kepada sang hakim dalam m endjalankan keadilan oleh Un~ dang-U ndang ini diletakkan suatu pertanggungan djaw ab, jang lebih be rat dan mcndalam dengan m enginsjafkan kepadanja. bahw a dia d a lam m endjalankan kcadiian tidak hanja bertanggung djaw ab kepada hukum . kepada diri sendiri dan kepada rakjat, tetapi d ju g a kepada T uhan Jang M ah a Esa, jang dalam U ndang-undang ini dirum uskan dengan ketentuan. bahwa peradilan dilakukan ,,D E M I K E A D I L A N BERDASARKAN
7.
KETUHANAN
JA N G
MAHA
ESA”.
Penegasan, bahw a peradilan adalah peradilan N egara, dimaksudkan untuk m cnutup semua kem ungkinan adanja atau akan diad ak an n ja lagi p e r a d ila n - p e r a d ila n Sw apradja. jang bersifat feodalistis, atau peradilan adat jang dilakukan oleh bukan badan peradilan N egara, Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk m engingkari hukum tidak tertulis jang disebut hukum adat, m elainkan hanja akan mengalihkan perkembangan dan penetrapan hukum itu kepada PeradilanPeradilan Negara.
47
D eng an ketentuan bahw a hakim w adjib menggali, mengikuti dan mem aham i nilai-nilai hukum jang hidup dengan mengintegrasikan d ’ri dalam m asjarakat, telah terdjanv’n sepcnuhnja bahwa pcrkcmbangan dan penetrapan hukum tidak tcrtulis itu akan bcrdjalan setjara wadjar.
II.
8.
Ketentuan bahw a P E R A D I L A N D I L A K U K A N D E N G A N SED E R H A N A , T J E P A T D A N 131A J A R I N G A N " tctap ham s dipcgang teguh, w alaupun pemeriksaan disidang d ;lakukan oleh sekurang-kurangnja tiga orang hakim. U n tu k itu perlulah dalam U ndang-undang tentang H ukum A tjara P idana dan H ukum A tjara Perdata discdiakan pcraMiran-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian jang djauh lebih scderhana.
9.
LIntuk m endjaga adanja pemberlan kcadilan jang scobjcktif m ungkin. maka dalam U ndang-undang ini sclain diadakannja peraturan pcnclitian dalam pengangkatannja para hakim djuga dipandang perlu untuk menentukan, bahwa peradilan dilaksanakan oleh sebuah madjelis jang terdiri dari sekurang-kurangnja t’ga orang hakim. A k a n tetapi boleh dilupakan keadaan, bahw a Negara Republik In d o nesia memiliki w ilajah jang sangat huns tcrdapatnja para pentjari keadilan diseluruh pelosok tanah air kita. Keadaan jang scdcmikian itu dihubungkan dengan sulitnja alat-alat pengangkutan maka bagi daerah-daerah jang terpentjil, dim ana terdapat kekurangan hakim perlulah dalam U ndang- U ndang ini diadakannja saatu peraturan/ ketentuan jang memberi kem ungkinan dapatnja dilakukan penjimpangan dari ketentuan um um nja bahw a pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnja tiga orang hakim.
10.
D alam hal m endjatuhkan keputusan, hakim sebagai manusia biasa tidak Input dari kesalahan dan kehilafan. O le h karena itu agar peng adilan benar-benar m endjalankan keadilan demi untuk memenuhi hasrat dari para pentjari keadilan. maka clibuka kem ungkinan untuk memohon penindjauan kembali terhadap putusan pengadilan jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap. Penindjauan kembali ini pada umum nja dilakukan apabila terdapat . , N O V A '9 sesudah keputusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum jang tetap jaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru jang pada w aktu m engadili dahulu belum diketahui.
P A SA L D E M I PA SA L. Pasal 1 dan pasal 2. Sudah tjukup didjelaskan dalam pendjelasan umum ad. 4.
Dengan tjatatan : R um usan ini tidak semua A ng g o ta P anitya menjetudjuinja, akan tetapi ada A ng g o ta jang m enghendaki agar dibelakang Pantjasila ditam bah ,,fungsi hukum sebagai Pengajom an’ , sehingga berbunji : berdasarkan Pantjasila dan fungsi hukum sebagai Pengajoman’’.
48
Pasal
3. ( 1 ) Pasal nii m engandung arti. bahw a disam ping peradilan Negara, t'dak ada tcmpat bagi peradi nn S w a p ra d ja atau pcradi'an-pcradiian lam nja jang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Sehmgga dengan demikinn apabila dalam praktek dan kenjalaan masih terdapat adanja perad'lan jang bukan perad:lan Negara, badan peradMan tersebut harus selekas mungkin dihapuskan. Pcnjclesa:an perkara atas dasar pcrdam aian atau m elalui wash (arbitrage) tetap dipcrbolehkan. tetapi perlu diperhatikan. balnva Negara tidak memberikan kckuatan atau ak ’bat hukum terhadap putusan pcrdam aian atau perwasitan. ( 2 ) H ukum jang ditrapkan oleh P engadilan haruslah hukum jang berkepribadian Indonesia, jang berlandaskan dasar Negara serta merupakan pula dasar-hitkum bangsa kita ialah Panfjasila.
Pasal
-I. ( 1 ) ..D E M I K E A D IL A N B E R D A S A R K A N K E T U H A N A N J A N G M A H A E S A ” adalah sesuai dengan pasal 29 llndang-LIndang D asar jang berbunji : 1 . N egara berdasarkan atas ke-Tuhanan Jang M a h a Esa ; 2 . N e g ara m endjam'n kemerdekaan tiap- penduduk u ntuk memeluk agama masing- dan untuk beribadat menurut agam a dan kepertjajaannja itu. Rum usan ini berlaku untuk selniin pengadilan dalam semua lingkungan peradilan (2 ). Peradilan harus memenahi harapan dari para pentjari keadilan jang selalu menghendaki perad’l a n jang tjepat tepat aclil dan biaja ringan. T id ak diperlukan pemeriksa an dan atjara jang bcrbcl:t-belit jang dapat m enjebabkan proses sampai bcrtahun-tahun. bahkan k adan g 2 harus di landjutkan oleh para ahli-waris pentjari keadilan. B iaja ringan artinjn biaja jang serendah m ungkin sehingga d a pat terpikul oleh R akjat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mentjari kebenaran dan keadilan. ( 3 ) D isini perlu ditegaskan, bahw a agar supaja P e ng adilan dapat m cnunaikan tugasnja dengan sebaik-baiknja jakni memberikan keputusan jang semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan dan kedjudjuran, m aka tidak dapat dibenarkan adanja tekanan-tekanan atau pengaruhpengaruh dari luar jang akan m enjebabkan para H a k ’ m tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan jang seadil-adilnja.
Pasal
5 . ( 1 ) h r m erupakan sendi-pokok peradilan. P e ng adilan harus berpegang kepada hukum jang hidup dalam m asjarakat, serta kem udian m engambil kepuUisannja setjara se-adiladilnja, tanpa m em andang bulu. (2) T ju k u p djelas.
49
Pasal
6 s /d 9
Pasal 10
Ini senuia m endjam in hak-hak azasi manusia jang niendapatkan perlindungan dalam N egara berdasarkan P a n tjasila. (1 ) U n dang - L lnd ang ini m em bedakan antara cmpat lin g k u ngan peradilan jang masing-masing m em punjai lin g k u ng an w ew enang m engadili tertentu dan meliputi badanbadan peradilan tingkat pertama dan t’ngkat banding. Peradilan A g am a, M iliter dan Tata-LIsaha N egara me rupakan peradilan chusus. karena m engadili perkaraperkara tertentu atau mengenai golongan rakjat terten tu, sedangkan Peradilan U m um adalah peradilan bagi rakjat pada um um nja mengenai baik perkara perdata. m aupun perkara pidana (sipil). Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini. tidak menutup kem ungkinan adan ja pengchjsusan ( d 'f ferensiasi/spesialisasi) dalam m asing-masing lingkungan, misalnja dalam Peradilan U m um dapat diadaknn pengchususan berupa Pengadilan Lain - Lintas. P engadilan Anak-, Pengadilan Ekonom i. dan sebagainja dengan U n dang - U n dan g (lihat pasal 11 ajat 2). (2) M ahk am ah A g u n g m erupakan peradilan tingkat terachir (kasasi) bagi peradilan umum. (3) T ju k u p djelas.
Pasal 11
T ju k u p djelas.
Pasal 12
(1) Setjara tecjas ditentukan, bahw a Ila k im w adjib m entjari dan menenuikan hukum . H akim dianggap mem aham i h u kum. Pentjari keadilan datang padanja untuk ditetapkan h u kum dan keadilannja. "m ohon kcadilan^’, karena itu sangat d-iharapkan keputusan dari H akim . A n d a ik a la ia tidak m cnenmkan hukum tertulisnja, ia w a djib menggali hukum tak tertulisnja atau memutus seba gai seorang jang bidjaksana dan bertanggung djaw ab penuh kepada diri-sendiri, m asjarakat, bangsa, N egara dan T u h an Jang M a h a Esa. (2) T ju k u p djelas.
Pasal 13
(1) Sudah tjukup didjelaskan dalam pendjelasan um um ad. 9. (2) (3)
(4) T ju k u p djelas.
Pasal 14 s /d 18
T ju k u p djelas.
Pasal 19
Pasal ini m engatur tentang pe nindjauan kem bali terha dap putusan P engadilan jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap. Perm ohonan penindjauan kembali dalam perkara perda-
SO
tn diadjukan oleh fihak-fihak jang berkepentingan, termasuk d'dalam nja djuga para ahli-waris dari fihak-fihak jang berpekara. dan dalam perkara pidan a oleh terhukum atau ahli-warisnja. P e nind jau an kembali putusan merupakan upaja hukum jang istimewa. Sjarat-sjaratnja akan ditetapkan dalam H u k u m A tja ra . Pasal
20 s '
22
T jukup djelas.
Pasal 23
D engan I.cmbaga N egara diniaksudkan scmua kenegaraan baik di Pusat m aupun di D aerah.
Pasal 24
Pasal ini niengatur tentang hak m engudji (toetsingsrecht) dari M ahkam ah A gung. Pada umum nja. dalam hal mengadili suatu perkara dimukn sidang Pengadilan. maka H akim berhak untuk me ngudji setjara formil maupun materiil. m engenai saht'daknja suatu peraturan atau bertentangan tid ak n ja de ngan ketcntuan-pcrundang-undangan jang lebih tinggi. Tetapi mcmnng ada perbedaan antara hak m engudji jang dilakukan H akim apabila mengadili perkara dengan hak mengudji jang dilakukan M ahk am ah A g u n g berdasarkan pasal ini.
lem baga
D alam hal mengadili suatu perkara, apabila H ak im berpendapat. bahwa suatu peraturan adalah tidak sah, maka ia aknn mengambil putusan dengan m enjam pingkan per aturan jang bersangkutan dan mengambil putusan sendiri berdasarkan hukum dan keadilan. Ini berarti. bahwa peraturan itu tidak dapat dibatalkan oleh H akim , tetapi dianggap tidak m engikatnja dalam mengadili suatu casus tertentu itu sadja. Sebaliknja. apabila M ahkam ah A g u n g m enggunakan hak m engudjinja berdasarkan pasal ini dan kem udian M a h kamah A gung mengambil putusan bahw a suatu peratu ran pcrundang-undangan dari tingkatan jang lebih rendah dari U ndang-U ndang bertentangan dengan peratu ran per.mdang-undangan jang lebih tinggi, maka akibatnja ialah bahwa peraturan perundang-undangan itu mendjadi batal menurut hukum dan tidak berlaku lagi setjara umum. Pasal 25
(1) H akim w adjib memberikan putusan jang m emuaskan dan sesuai dengan perasaan hukum dan rasa-keadilan m asja rakat. Lebih-lebih dalam masjarakat jang masih menge nai hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai 2 hukum jang hidup dikalangan rakjat. U n tu k itu ia harus terdjun ketengah-tengah m asjara kat untuk mengenai, merasakan dan m am pu menjelam i perasaan hukum dan rasa-keadilan m asjarakat.
51
(2) Sifat-sifat jang djahat maupun jang baik dari fertudun wad jib diperhatikan Hakim dalam niempertimbangkan pidana jang akan didjatuhkan. Keadaan-kcadaan pcribadi scseorang pcrlu dipcrh'tungkan untuk memberikan pidana jang set'mpal dan se-adiladiln ja. Keadaan-peribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang- dari lingktingannja. ruk.m tetangganja, dokter ahli dj'wa dan sebagainja. Pasal 2l
s-'d 28
Pasal 2(
Dengan dianqkatnja dan diberhcntikannja paia Hakim oleli Kepala Negara, maka d'djarninlah kebebasan kedudukann ja. T jukup djeles.
Pasal 3( Pasal 31
Untuk mentjegah agar para Hakim dan pedjabal-pedjabat pengadilan lersebut mc'akukan tuqasnja dengan ti dak djudjur. maka seperf-' dikebnnjakan negara diluar negeri. pedjabat tersebut diberikan djarn'nan li dup jang lajak. sehingqa tidak memtingkinkan untuk (ergoda mela kukan hal-hal jang tertjela.
Pasal 32 s /d 34
Pasal 35.
Tjukup djelas.
Karena M a d je lis Pertim bangan Penelitian H a k im di~ adakan selain dengan maksud unt uk m e n dapatkan hakim jang bersifat bebas, d ju g a d im a k su d k an yehacja1 usaha mendapatkan tenaga-tcnaga hakim jang ahli, maka di~ benltiknja madjelis tersebut dengan 1 fat non-Governmentai" dengan bcrkomposisi scbagian (erbcsar dari ahlida'am bidang nei-acblan.
( I ) Karena dalam perkara pidana Djaksa mclaksanakan p u tusan Pengadilan. maka untuk mendapa'kan djaminan bahwa putusan terseb.it dilaksanakan sebagaimana mestinja, Ketua Pegadilan jang bersangkutan wadjib mengawasi pelaksanaan putusan tersebut. Sedangkan dalam perkara pcrdata pelaksanaan putusan dipim p’n sendiri nleh Ketua Pengadilan jang bersangkutan dan dilaksana kan oleh Panifera dan djurusita. (2) Tjukup djelas.
Pasal 36
T jukup djelas.
Pasal 37
Merupakan suatu azas jang penting, bahwa seorang iang terkena perkara mempunjai wewenang untuk memperoleh bantuan hukum, hal ini dianggap perlu karena ia wadj'b diberi perlindungan sewadjarnja. Perlu diingat djuga ketentuan dalam pasal 8. dimana se orang tertuduh wadjib d'nnggap tidak bersalah sampai adanja putusan Pengadilan jang menjatakan kesalahan
52
nju dan telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap. Karena penhngnja kedud.ikan pcnasehat hukum . maka diusahakan supaja diadakan LIundang-undang tersendiri tentang bsntuan hukum. Pasal 38.
Sesuai Sila Peri-kemanusiaan maka seorang tcrtuduh.se-^ lama bclum terbukti kcsalahannja, harus dian g gap tidak bersalah dan harus diperlakukan sesuai dengan m arlabat nja sebagai manusia. Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan de ngan keluarga atau penaschat hukum nja sedjak ia d ita han. Tetapi hubungan ini dengan sendirinja tidak boleh rnerugikan kepentingan pemeriksaan jang dunulai dengan penjidikan. U n tu k itu pegawai penjidik dapat m elakukan pengawasan terhadap hubungan tersebut dengan m cm perhatikan pctundjuk-petundjuk djaksa dan sesuai dengan keten tuan-ketentuan dalam hukum atjara pidana.
Pasal 39.
T ju ku p djelas.
53
K E T E R A N G A N P E M E R IN T A H M E N G E N A I R U U T E N T A N G KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN K E H A K IM A N D A N R U U T E N T A N G S U S U N A N . K E K U A S A A N D A N H U K U M A T JA R A M AHKAM AH AGUNG. Pada tanggal 17 O ktober 1968 M enteri Kehakiman atas nama Pemerintah m enjam paikan Keterangan Pemerintah tentang R antjangan llndang-U ndang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R a n tjangan U ndang-undang tentang Susunan, Kekuasaan dan I lukum A tjara M a h k am ah A g u n g sebagai berikut :
Keterangan Pemerintah tentang Rantjangan Undang-undang tentang K etentuan-Ketentaan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Rantjangan I Indang-undang tentang Sum nan, Kekuasaan dan Hukum A tjara Mahkamah A gung. A ssalm u’alaikum w. w. Saudara Pim pinan dan para A nggauta D ew an Perw akilan R akjat Gotong-Rojong jang kami hormati, Perkenankanlah kami pertama-lama m enjam paikan rasa terima kasih kcpada Sidang jang terhormat atas kesempafan jang diberikan kepada Pemerin tah untuk m enjam paikan keterangan berkenaan dengan dismnpaikan dua buah R antjangan Undang-undang untuk mendapatkan pcrsctudjuan D P R - G R , jaitu R U U tentang Ketentuan-Ketentuajj Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah Agung. jang semestinja masih diikuti oleli sebuah R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um dan jang telah disam paikan pula kepada D P R - G R , untuk dapat dipandang scbagai suatu kesatuan jang erat hubungan nja satu sama lain. Ketiga-tiga R U U tersebut kiranja perlu kita lihat dalam luibungannja dengan ketetapan M P R S N o. X IX / M P R S / 1 9 6 6 tentang pcnindjattan kem bali produk-produk legislatif Negara d.luar produk M P R S jang tidak sesuai dengan U n d a n g J D asar 1945, jnng dalam pasal 3 antara lain menjatakan, bahwa Undang-’ dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- jang memuat materi jang bertentangan dengan Undang- D asar 1945 ditindjau kembali. Chususnja Undang- No. 19 taluin 1964 tentang Ketentuan 2 Pokok Kekuasa an Kehakiman dan U n d a n g 2 N o. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Um um dan M ahkam ah A g un g perlu mendapat t.sdjauan leb:h landjut, oleh karena dimuat ketentuan 2 disitu jang bertentangan se tjara diametral dengan azas 2 dalam Negara H ukum atau "R u le of Law jang mengakui Pengadilan bebas scbagai unsur cssenticel dan memastikan. T-dak sadja dalam perundang-undangan, m elainkan dalam "law-application jang merupakan akibat logis dari penjim pangan dalam perundang-undangan terdapatlah pula hal 2 jang tidak sesuai dengana peradilan bebas, dan dengan demikian, t'dak sesuai dengan U ndang-undang Dasar. Saudara 2 Pim pinan dan para anggauta jang terhormat, D ikatakan antara lain o!eh pasal 19 dari U n d a n g 2 N o. 19 tahun 1964 bahwa : vD cm i kepentingan revolusi, kehormatan N egara dan Bangsa atau kef>£nting&n masjarakat jang mendesak, Presiden dapat turun atau tjam pur tangan dal&m soal Pengadilan*’,
54
sedangkan dikatakan dalam Pendjelasan mengenai pasal 19 tersebut. bahw a : Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh dari kekuasaan Exccutif dan kekuasaan membuat Undang-"’. Sebaliknja. Undang- Dasar 1945 sendri — dalam P cndjelasannja —mendjamin kebebasan Hakim dan Pengadilan dengan m engntakan, b a h w a : ..Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan jang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah'’. Adalah djclas bahwa ketentuan dalam U n d a n g 2 N o. 19 tahun 1064 dan U n dang 2 No. 13 tahun 1065 menggambarkan adanja suatu pertentangan constitationil jang ’’flagrant” , sedangkan pertentangan dengan Undang- D asar 1945 betapapun ia disertai dengan sjarat 2 tertentu. tidak dapat dibenarknn oleh Hukum . ’’Intcrfcrcncc-'* atau turun tangan dari pihak Executif dimungkinkan, sedangkan hal demikian dilarang oleh Undang- D asar 1045 , jang menghendaki adanja Kekuasaan Kehakiman jang merdeka. terlepas dari pe ngaruh Pemerintah. Bahwa dalam ’’actual practisc**nja, turun atau tjam pur tangan Presiden tersebut membawa akibat jang djauh. dalam hukum mnteriecl chususnja. baik dalam bidang tcchnis-juridis maupun dalam bidang politjk hukum nja. jang merupakan hambatan dan rintangan bagi suatu peradilan jang objectif dan tidak memihak jang ^impartial” . adalah suatu hal jang dapat difaham i ldran ja. Snudara Pimpinan dan para anggauta jang kami hormati. Suatu hal jang bcrtcntamjan dengan lln d a n g - D asar 1045, perlu diluruskan kembali. M aka kami kua. bahwa Saudara 2 dapat m enjetudjui pemikiran mengenai R U U tentang Ketentuan 2 Pokok Kekuasaan Kehakiman dan pcrandang-undangan lain jang berhubungan dengan itu jang sekarang d ’adjukan itu, perlama-tama bermaksud untuk ’rcchtzctten , menegakkan setjara hukum scsuatu jang dahulu adalah "onrecht , bertentangan dengan hukum . D isam ping itu. kiranja tidak bcrkelebih-lebihan apabila dinjatakan bahw a persoalan Pengadilan bebas. jang dituangkan dalam R U U sekaiang sekedar merupakan refieksi dari suatu keadaan dan kenjataan jang berlaku. jaitu bahw a Pengadilan itu bebas dan terlepas dari pengaruh Pemerintah. Karena itu, Presiden dalam Pidato Kenegaraannja. didepan Sidang D P R - O R pada tanggal 16 Agustus 1968 dapat menjatakan. bahw a dalam rangka usaha kita jang sungguh-sungguh untuk menegakkan sistim konstitut.onil dan mcnegakkan hukum, kekuasaan Kehakiman benar-benar telah merupakan kekuasaan jang merdeka, artinja terlepas dari pengaruh kekuasaan Pcm erintahan. 1 Ia merupakan situasi jang setjara embryonal telah dim ulai pada saat Ketua M ahkam ah A gung dikeluarkan dari tubuh Executif, sedangkan kemud ;an ditjiptakan suatu kondisi dimana Executif m endjauhkan diri dari tjam pur tangan dalam t i r u s a n - u r u s a n Pengadilan, dalam judicial affaiis . ' M ak a, R an tjan g an U ndang-undang sekarang hendak m cnuangkan dalam hukum tcrtulis segala scsuatu jang tidak tertulis mulai saat kita beitekad kembal-i pada kemurnian pelaksanaan U ndang-undang D asar 1945. dim ana N e g ara H ukum kita m endjundjung t nggi Kekuasan Kehakim an sebagai kekuasaan jang merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pula dari Badan-Badan Legislatif, Saudara P im pinan dan para A ng g auta jang kami horm ati, Sebagai akibat ditjabutnja U n d a n g 2 tentang M ah k am ah A g u n g (L .N .
55
N o. 30/1950) oleh Undang- N o. ! 3 tahun 1965. iim bullah suatu V acuu::. hukum chususnjn mengenai H ukum A 'jn rn n jn janq tam paknia tidak begitu di "v o o rzie n " oleh Undang- X o 13 tahun 1965. Kesemoatan ini ah janq dipergunakan untuk mcngis. kckosongan hukum. jang diakibatkan kaiena adanja pe ntjabulan Undang- M ahk am ah A g un g pada tahun 1°50 tersebut. jang sc karang dlsalurkan mclalui R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan llitk .u n A tja ra M a h k am ah A g un g. D isam ping itu, kedua R U U tersebut dan diiku.i pula o!eh R U U iar.q sekarang sudah disam palkan kepada D P R - G R . jaitu R U U tentang Pengad:’.m dalam lingkungan Peradilan U m um m engadukan suatu "herordem ng" dalam tindjauann ja mengenai ’’judicial power, organization dan ' ju d ’cial pei'-onnei ’ scbagai 3 unsur jang harus membantu memet jahkan pcrsoakm dari suata Peradilan bebas. B crhubung dengan pcrsoa'an-persoahin tersebut diatas. Pemerintah telah m engam bil kebidjaksanaan untuk membentuk «uatu P an i'v a Negara dengan tugas untuk m enindjau kembali U n dang " No. ) tahun 1 dan UndangN o. 13 tahun 1965, meninsun sua'ti R U U tentang Kerentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an. R U U ten'ang Susunan. Kekuasaan dan U.tkum A tja ra M ah k m ah A g un g dan R U U tentang Pengadilan dalam hngkungan Peradi'an U m um ; 3 R U U terdjak'n satu sama lain, jang harus dapa mendjam in per adilan bebas da'am aspelc-aspek ’’judicial pow er” , judicial organ'zaf ion" dan ,,judicial personnelnja.’’ K am i m ohonkan perhatian p a ll, bahwa pekerdiaan Pair'tva N egara didaluilui oleh sebttah ..team ” jang d. bentuk an'uk keperluan itu setelah ada konsultasi d a n organ- jang bersangkutan dan jang kemttd an menjerahkan hasil-hasilnja kepada suatu Pan'tya Info rde parem en'al berdasarkan Keputusan Presiden N o. 38 tahun 1967. sedangkan P airfy a tersebu! kem ud’an mendjelma dalam sebttah Panit\a Negara menurut Keputusan Pres:den N o 271 tahun 1967 dan diperpandjang masa kerdjanja berdasarkan Keputus.in Presiden N o. 170 tahun 1968. D ikctltai olelt P rol. Soelxkti S .H . dari M ahkam ah A g un g. maka Panitya Negara tersebut (crcliri dar: anggauta-angga tta sebagai wakil d a r M ah k am ah A g ung. Departemen Kehakiman d a r: kalanqan Ilniversilas dan d a r golongan m asjarakat jang m em punjai m 'nat dan keahlian terhadap persoalan kekuasaan kehakiman. M a k a ketiga-tiga R U U tersebut sebagai has'! dar: karva P anitya N egara telah disampaikan oleh Pres:den da'am am anafnja pada tanggal 13 A gustus 1968 dan kemitd’an pada tanggal 8 O ldober 1968. Saudara Pim pinan dan para anggauta jang kami hormati, Disam ping m enghapuskan pasal 19 dari U ndang-undang N c. 19 tahun 1964 jang controversial itu dan jang m em ungkinkan Presiden untuk turaii atau tjam pur tangan dalam soal Pengad lan, meskipun ia dipalas dengan ketentuan bahw a tjam pur tangan ataa turun tangan dilakukan demi kepentingan revolusi, kehormatan N egara dan Bangsa atau kepentingan m asjarakat jang mendesak, maka ketig-tiga R U U tersebut m engandang masalah-masalah sebagai concretisasi Peradilan bebas jang sekarang m endapat penindjauan kem bali ataupun "uitw erking’’ lebih landjut. Dem ikian m isalnja, d :linggalkan disini gagasan dahulu dalara UndangN c 19 tahun 1964, N o. 13 tahun 1965, bahw a M ahk am ah A g u n g adalah 56
puntjak dan putjuk pimpinan dari lingkungan peradilan lain dari pada per adilan umum. jaitu peradilan agama, m Jiter dan tata-usaha Negara. Ling k Li ng an peradilan lain tersebut adalah peradilan-pcradilnn chusus jang mempunja: t jiri-tjiri tersendiri, jang karenanja harus diatur dalam berbagai undang -undang dimana M ahkam ah A gung adalah puntjak dari Peradilan Umuiii. dan tidak lagi mendjadi putjuk pim pinan dari Peradilannja, seperti militer. agama dan tata-usaha Negara. maka kesimpulan demikian dapat ditjapai berdasarkan pertimbangan sedjarah perundang-andangan, politik hukum ataupun praktis kepegawa an berhubung dengan susunan dalam M a h k a m a h A gung. K etentjan dalnilu, sewaktu M ahkam ah A gung masih dipandang puntjak dari semua peradilan umum. tata-usaha. militer dan agama, m em punjai latar belakang keinginan untuk menadju kcarah peradian terpimpin, jang sekarang — tidak dapat dipertahankan lagi. D an djikalau kami diperkenankan menengok kembali kepada sedjarah tidak lama sesudah proklamasi kemerdekaan, maka kita akan melihat pula bahwa M ahkam ah Agung merupakan puntjak pula dari Peradilan U m um , se perti tcrtjantum dalam llndang- No. 19 tahun 1948 Pasal 66 Undang- terscbut misalnja dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa Peradilan Tata-usaha Negara tidak erat hubungannja dengan Peradilan U m um , sedangkan M P R S sendiri dalam Ketetapannja menghendaki pembentukan peradilan administrasi tersendiri. Demikian pula U n d a n g 2 No. 7 tahun 1948 menggambarkan, bahw a M a h kamah Tentara A gung merupakan puntjak dari Peradilan M iliter. meskipun keanggautaannja didjabat oleh Ketua. W a k J Ketua dan anggauta M ah k am ah A gung. M aka. terdapat peradilan Agam a tersendiri dengan M ahkam ah S jariahnja. D engan dilepaskannja gagasan. bahwa M ahkam ah A gung itu tidak d i pandang sebagai puntjak dan putjuk pimpinan dari semua peradilan, maka dikatakan dalam pasal 10 ajat ( 1 ) dan ( 2 ) dari R U U tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa :
(1 ) a. b. c. d.
Kekuasaan Kehakiman lingkungan : Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan
dilaksanakan
oleh
Pengadilan
dalam
U m um A gam a M iliter Tata-Usaha Negara
(2 ) Peradilan LTmum berpuntjak pada M ahkam ah A g un g, sedang Peradilan-peradilan tersebut dalam ajat ( 1 ) sub b, c dan d susunannja diatur oleh LIndang-undang tersendiri. Saudara Pim pinan dan para anggauta jang kami hormati, Kami mohonkan perhatian pula pada suatu ketentuan baru, jang tidak kita djum pai pada U ndang-undang N o. 19 tahun 1964 dan U n d a n g 2 N o . 13 tahun 1965, jaitu kem ungkinan pembentukan M adjelis Pertiinbangan Pene litian H akim ( M .P .P .H .) , dimana antara lain Anggauta-ang.gauta M a h k a m a h A g u n g itu d'-incorparasikan dalam badan tersebut, jang m em pertim bangkan dan mengambil keputusan terachir mengenai saran-saran dan atau usul-usul jang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukum an-hukum an djabatan para H akim , jang diad ju k an baik
57
oleh M ahkam ah A g ung. m aupun oleh M enteri Kehakim an. Pasal 32 dari R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan K ehakim an). Selandjutnja dinjatakan oleh pasal 32 ( 2 ) tersebut, bahw a Keputusan M adjelis Pertim bangan Penelitian H akim tersebiu melalui M enteri Kchakiman disampaikan kepada jang berwenang menurut U n d a n g 1’, sedangkan pasal 33 tersebut m enggam barkan komposisi dari M adjelis tersebut jaitu terdiri d a ri Ketua M ahkam ah A g un g. M enteri Kehakiman. seorang senior H akim A gung, seorang w akil dari organisasi H akim dan seorang wakil dari organisasi Pengatjara. D a ri pada itu, saran-saran ataupun usul- tersebut diadjukan oleh M .P . P .H . tersebut melalui M enteri Kehakiman kepada jang berwenang cluistisnja dalam saran- ataupun usul-usul mengenai pengangkatan dan pemberhentian itu harus disampaikan kepada Presiden jang berwenang dalam pengangkatan dan pemberhentian H akim (pasal 29 R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an). Kesemuanja ini m enundjukkan. R U U tersebut berpendirian. sesuai dengan hubungan ’’Judiciary’’ dan ’“Rule of L aw ” bahw a dalam pcrsoalan pengang katan, pemberhentian. promosi dan persoalan-pcrsoalan adm inistratif lainnja terkandung suatu bahaja potentieel. apabila kesemuanja itu disclcnggarakan oleh suatu badan setjara exclusif, melainkan baik dalam H ukum m aupun d a lam prakteknja — perlu diadakan ‘’cooperation’', setidak-tidakn ja suatu "consultation” antara ’Judiciary’', baik ia dilakukan tersendiri oleh M ahk am ah A gung ataupun ia di-incorporasikan dalam sebuah Badan lain, dan pedjabatpedjabat jang berwenang dalam soal-soal tersebut. Praktek keadaan sckarang, dimana selalu ada suatu konsultasi antara M ahkam ah A g un g dan M enteri Kehakiman dan Presiden sebagai C hief Exccutif paralcl djalan n ja dengan apa jang dilihat oleh ’ Rule of L aw ’’ tersebut dalam hubu ng ann ja dengan ’’Judiciary’*. D alam h u b u n g a n ini patut mendapat perhatian. bahwa M ahk am ah A g ung jang d ib u a t oleh Undang-undang D asar 1945, m em punjai organisas', administrasi dan keuangan sendiri sebagai kcketjualian dari ketentuan tersebut dalam pasal 10 ajat (3) dari R U U tentang Ketentuan-ketentuan P o k o k K e kuasaan Kehakiman jang pada pokoknja menjatakan, b a h w a B a d a n - b a d a n Pengadilan jang melakukan peradilan tersebut pada ajat (1 ). (jaitu Peradilan U m um , A gam a, M iliter dan Tata-Usaha N e g ara), organisatoris, a d i n i n s t r a t i f dan financieel ada d ib a w a h kekuasaan masing-masing D epartem en). D ju g a pengangkatan Ketua M ahkam ah A g un g dan W a k il Ketua M a h kamah A g ung merupakan kekctjuaL’an terhadap pengangkatan H akim lainnja jang harus melalui M .P .P .H . tersebut. Dem ikian dinjatakan dalam pasal 5 R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A g ung. bahw a Ketua M ah k am a h A g u n g diangkat oleh Presiden, setelah dipilih oieh D P R - G R diantara dua tjalon jang diusulkan oleh M adjelis Pertim bangan Penelitian H akim , sedangkan W a k il Ketua diangkat oleh Presiden atas usul setelah dipilih oleh dan dari para H akim A ng g auta M ahkam ah A g ung. Selandjutnja, para H akim A g u n g diangkat melalui prosedure pengusulan M .P .P .H . oleh Presiden (pasal 5 ajat 2,3) R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A g u n g ). D engan melepaskan gagasan M ahk am ah A g u n g sebagai puntjak dari 4
58
peradilan. maka dapa: dimcngcrti pula, bahw a susunan M a h k a m a h A q u n H janq berlainan dari dalntlu dengan diangkatnja Ketua M u d a M a h k a m a h A g u n g untuk masing-masing lingkungan Peradilan sekarang te id iii atas seoiang c uia. sekurang-kurangnja seorang W a k il Ketua dan sckurang-kurangnja tu d ju h H akim A guiiq. l ’orma.M M ahkam ah A g un g demikian hanja dapat dipaham i dengan mengijigat balnva M ahkam ah A gung itu puntjak dari Peradilan U m u m . Saudara Pim pinan dan para anggauta jang kami hoim ati, D jik alau kita meliluu beberapa kctentuan-kcteniiian dalam soal-soal kepegawaian jang berhubungan dengan para H akan. maka akan tam pak a d a nja suatu gambaran tentang "career-service jang ditempuh oleh para I lakun tersebut. D em ikian dinjatakan misalnja dalam pasal 3 ( 2 ) R U U tentang Susunan Kekuasaan dan Ilu k u m A tjara M ahkam ah A gung. balnva untuk diangkat m endjadi Ketua atau W a k il Ketua dipcrlukan pcngalam an selama scd.kitdikitnja 3 tahun sebagai Hakim Anggauta. sedangkan untuk dapat diangkat sebagai H akim A qung ia harus bcrpengalaman sed kit-dikitnja 10 talum dalam bidanq peradilan dan sed.kit-dikim ja 3 tahun sebagai H ak im band ng atau sebagai Panitera M ahkam ah A gung (pa.al 3 ( 1 ) sub f R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A g u n g ). Ketentuan. balnva seorang H akim A gung tidak dipcrkcnankan m end, ad. anggauta sesuaui partai politik. hendak mcntjcgah adanja pengangkatanpenganqkatan politik. janq tidak sesuai dengan carecr-service jang hendak d i b i n a d a l a m p e n g a n g k a t a n - p e n g a n g k a t a n Hak'm-hakim A g u n g chusasnja.
Saudara Pimpinnn dnn para anggauta jang kami hoim ati,
Pcmmkm hah menqudji npnkah suatu „»d0n9 -»n
berdasarkan
sangkutan. ... . . S clan dju tn ja dinjatakan. balnva putusan pem jataan tidak sahnja peraturan pcrundang-undangan tersebut diambil berhubung dengan pemcr:ksaan suatu perkara dalam tingkat kasasi. Saudara pim pinan dan para anggauta jang kami hormat*,
Dengan penuh pengharapan, bahwa beberapa hal jang kami ^ “Jean dalam Keteranqan ini sebagai acccntuasi dan masalah-masalah ^ttentu dalam R U U dfcampaikan kepada DPR-GR itu dapat d.pergunakan sebaga bahan pelengkap dan bahan landasan untuk pcmbitjaraau-pembitjaraan lebih landjut, maka banjak terima kasih dan penghargaan kami sampaikan atas perhatian jang Saudara-saudara tundjukkan dalam persidangan mi. Semoga dengan ditetapkannja Undang-undang tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan perundang-undangan lain jang 59
berhubungEHi dengan itu d a p a t di l et a k k a n dasar jang k ok o h bagi Pengadilan iang b e b a s s e b a g a i unsur esse nt i ee ! da ! ani N e g a r a Hukum Indonesia dan dalam s u a s a n a "Rule o f Law ’’ jang h e n d a k kita t c g a k k a n .
Saudara pimpinan dan para anggauta jang kami hormati. Disamping R U U jang telah kita sebutkan diatas perkenankanlah kami mcngadjukan pula Rantjangan llndang-undang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi di M enado dan penibahan daerah hukum Pengadilan Pengadilan Tinggi di M enado dan penibahan daerah hukum Pengadilan T inggi di Makassar, adalah satu pelaksanaan rentjana Departemen Kehakiman tahun A nggaran 196S. U ntuk memenuhi ketentuan jang tertjantum dalam U ndang" jang berlaku jai u Pengadilan Tinggi dibentuk dengan Undang-. Daerah Hukum Pengadilan Tinggi pada azasnja meliputi satu D aeiah T n g k a t I, maka disampaikan kepada sidang jang (erhormat R L Ill tentang pembentukan Pengadilan Tinggi M enado untuk mendapat pembahasan. Pengadilan Tingg. jang akan dibentuk ini daerah hukumnja meliputi semua Pengadilan Negeri jang terdapat di Propins; Sulawesi I [tarn dan Propinsi Sulawesi Tengah, Dengan dibentuknja Pengadilan Tinggi di M enado maka berkuranglah beban dari Pengadilan Tinggi Makassar jang pada saat in- memcriksa dan mengadili pada tingkat banding semua perkara Pengadilan Negeri 4 Propinsi di Sulawesi. Pengadilan Tinggi di M enado mengadili semua perkara Pengadilan Negeri di Propinsi Sulawesi Utara dan Propinsi Sulawesi Tengah dan saat ini meliputi Pengadilan Negeri di Menado. Gorontalo, Kotamobagu, Tondano. Tahuna, Donggala, Poso Luwuk dan Toli-Toli. Dengan demikian Pengadilan T inggi di Makassar tinggal meliputi Pengadilan Negeri di Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan saat inj meliputi Pengnclilail Negeri di M akasar Pare-Pare, Bontheng. Bulukumba, BauBau. Djeneponto Enrekang, Maros, M adjene, Makale, M am ud ju, Pangkadjene, Palopo, Polewali, Sungguminasa, Selajar, Sindjai Singkel, Sidenreng, Rappang, Takallar, W atam pone, W atansopeng. Kendari. U ntuk keperluan Pembentukan Pengadilan T inggi di M enado ini telah diadakan persiapan seperlunia dalam bidang materiil, personil maupun finansiil. Sehingga dengan demikian telah terpenuhi sjarat-sjarat untuk terwudjudnja Pembentukan Pengadilan Tinggi. Saudara Pimpinan, para A nggota jang terhormat, H an ja sekian keterangan tambahan Pemerintah. Semoga R .U .L I. ini men dapat persetudjuan dari D .P .R .G .R .
rr-
••
Sekian dan terima kasih.
60
PEM AXDANGAN
UMUM
ATAS RUU T EN T AN G KEKUASAAN
BABAK
I
PARA
ANGGOTA
KETENTUAN-KETENTUAN
K E H A K IM A N
DAN
RUU
DPR-GR
POKOK
TENTANG
SUSUNAN. KEKUASAAN D A N H U K U M A T JA R A
MAHKAMAH
AGUNG.
Pada tanggal 2 S O ktobcr 1968 W akil- w ak il Fraksi dalam D P R - G R memberikan pem andangan umum babak kc-I mengenai R U U tentang Ketentuan-Ketcm uan Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R U U tentang S usu nan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A g un g . Pem andangan um um itu setjara berturut-turut adalah sebagai berikut :
S O I I G I Y A R T I W I R I O lI A R D JO S .H . ( P N .l.) : A ssa'am u’alaikum w.w. Sdr. Ketua. W a k il Pemerintah Jlh. dan sidang jang kam i nu iliakan. A tas namn Fraksi Partai N ation al Indonesia. P .N .I. kami m engutjap sjukur alham dulillah kehadlirat T uhan J.M .E . atas lekas d ia d ju k a n n ja R .U .U . ten tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R .U U . tentang Susunan. Kekuasaaan dun H ukum A tjara M ahk am ah A g u n g . K edua R .U .U . tersebut sebagai real'tns dari Ketetapan M .P .R .S . N o , .X / M P R S 1966 jis Ketetapan-ketetapan 1S/IPRS N o . X .IX /lS 'lP R S /1 9 6 6 , N o. X X X I X M P R S , 196S. dengan demikian maka R .U .U . tersebut akan benar* mcmenuhi liati nurani R akjat. tidak akan tnenjimpang dari LIndang-un dang D asar 1945. Kedua R .U .U . itu mentjabut U ndang-undang jang tidak sesuai dengan ha li nurani rakjat. jang njeleweng dari relnja U n d ang - u ndan g D asar 1945 selain itu tidak semparna. ialah LIndang-undang N o . 19/1964 dan N o. 13/1965. M eng apa dikatakan b ah w a U n d a n g - u n d a n g N o. 19/1964 dan U n d an g - u n dang No. 13/1965 telah indrust terhadap U ndang-undang D a s a r 1945 selain itu tidak sempurna. disini dapat dikenuikakan sebagai m itsal tersebut dalam pasal 19 dari U ndang-undang N o. 19/1964 jang berbunii : ’ D em i kepcntingan revolusi, Kchorm atan N e g a ia dan Bangsa atau kepentingan m asjarakat jang sangat mendesak, Presiden dapat turun atau tja m pur tangan dalam soal-soal P engadilan” . Pasal 19 d ari U n d a n q - u n d a n g N o . 19/1964 ini b u n jin ja sangat contrast sekali dengan p c n d je la s a n ' pasal 24-25 U n d a n g - u n d a n g D a s a r 1945 jang berbunji : "K ekuasaan K ehakim an ialah kekuasaan ja n g M erdeka” artinja terlepas d a ri pangaruh kekuasaan P em erintah. Berhubung dengan itu harus d iad ak an djam inan dalam U n d a n g - u n d a n g tentang k ed ud ukannja para H a k im .
M e n g in g a t bahw a kita sebagai exponent orde baru, jang in g in mencgakkan ’’R ule of L a w ” dari Negara kita. R epublik Indonesia, sudah sepantasnja kalau kita m engutjapkan saluut kepada Pemerintah jang telah dengan sem is m enanggapi keinginan hati nurani rakjat, ialah dengan m enghasdkan kedua ra n tja n g a n tersebut jang akan m engembalikan kem urm an U n d an g - u n d an g D a sa r 1945.
61
M eskipun pasal 19 dari U ndang- undang N o. 19 '1064 m enggunakan dalih ’’demi kepentingan revolusi. kehormatan N egara dan B angsa” dan sebagainja tocli tetap inconstilutioncel. toch tetap m cnerdjang lln d an g - u n d an g D asar 1945. sclain itu m em punjai cffck dan excesscn didalani hukum dan psychology sangat merugikan N usa dan Bangsa akan m cngakibatkan kegojahan didalam melaksanakan baik terhadap para pcnegak hukum m aupun pada rakjat seluruhnja. Pasal 19 dari U ndang-undang N o. 19 1964 telah djelas memberi kcsempatan pada Pcnguasa untuk m enggunakan kekuasaannja, jang mana akan mem ungkinkan bertindak sewenang-wenang. Sedjalan dengan terbentuknja U ndang- undang N o. 10 1064 pada dewasa itu, terdapatlah pcntjam pur adukan kekuasaan. sela’n tersebut dalam pasal 19 U ndang-undang No. 19/1964. Ketua M ahk am ah A g un g m endjabat pula m endjadi M enteri. Inilah kedjanggalan- pada dewasa itu. untung sadja ke djanggalan tersebut sedikit demi sedikit diachiri. Sdr. Ketua Jth., M engenai U ndang-undang No. 13 1065 dalam pasal 70 berbunji : ’ U ndang-undang M ahkam ah A g u n g (L .N . N o. 30 1050) dan peraturan lain jang mengatur tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , Pengadilan Sw apradja dan Pengadilan A dat dengan U ndang-undang ini dinjatakan tidak berlaku v . D ja d i U ndang-undang no. 13/1965 mcntjabtit U ndang- undang M ahkamah A g un g /U nd ang - un d ang N o. 1/1950 (L .N . No. 30/1950) sedangkan kalaa k'ta tindjau U ndang-undang N o. 13/1965 itu tidak m engatur H ukum A tjara M ahkam ah A gung. dengan dem ikian U ndang-undang ini mengakibatkan suatu leemte/gap jang besar, oleh karena itu sudah semestinja kalau usa ha Pemerintah untuk kc vacuman dengan m engadjukan R .L I.U . tentang S u sunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A g un g perlu kita sambut dengan gembira. A palag i apabila R .L I.U . jang ketiga tentang P engadilan d a lam Tngkungan Peradilan U m um itu oleh Pemerintah telah sekaligus diadjukan ke sidang D P R - G R . maka dalam hal -ini telah lengkaplah bahan jang memerlukan orientasi dari D P R - G R . Meng-ingat pula keterangan Pemerintah pada sidang pleno D P R - G R tanggal 17 O ktober 196H jang m engatakan bah wa 3 R .L I.U . itu tersebut terdjalin satu sama la’n jang harus m endjam in per adilan bebas dalam aspek 2 judicial power, judicial organization dan judicial personelnja. Selain itu perlu dikemukakan disini bahw a Llndang-undang N o. 13/1965 ialah mengenai : ,,Pengad lan dalam lingkungan Peradilan U m um dan M a h kamah A g u n g 1” maka sudah djelas bahw a R.LLLI. tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um ini sangat inhaerent dengan kedua R .L I.U . jang telah diserahkan pada D P R .- G R . jang sedang kita bahas ini. M a k a seperti halnja R .U .L I. tentang Susunan. Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A g ung, R .U .U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um akan mengakibatkan pula tidak berlakunja lagi U ndang-undang N o. 13/1965. M engingat bahw a U ndang-undang N o. 13/1965 mengatur pula tentang Pengadilan Negeri, Pengadilan T in g gi dengan struktuur, organisasi dan per sonelnja sekaligus djuga diatur tentang sjarat-sjaratnja bagi H akim P engadi lan Negeri dan H ak im serta Panitera Pengadilan T inggi. Sedang dalam ke dua R .U .U . jang telah diadjukan tidak terdapat mengenai hal tersebut jang
62
kami lihat hanja da’am R.U .U . tentang S u s u n a n Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah Agung (pasal 3 ajat 1) serta Panitera (pasal 3 ajat 3 . Selain itu apakah Pasal 9 R .U .U . tentang S usunan. K ekuasaan d an H u kum A tja ra M ahk am ah A g un g, merupakan djam inan procedunl bagi para H akim M ahkam ah A qim g dalam kebebasan m endialankan fungs*nja. A p a b « memnng demikian apakah ini t’dak sejogjanja pula djperlakukan bagi H akim H akim Pengadilan Negeri dan Pengadilan T m g g .. K am i berpendapat demik-an menqinqat balnva H a k i m -Hakim baw ahan M a h k a m ah A g u n g in.lah jang djlistru dan lebih- sangat mem butuhkan oleh karena d jabatan t«dak beg. u tinggi dan m endjalankan fungsinja didae.ah jang mung in e.pen ji , a n v sunq bcrluibunqan dengan masjarakat.
Sdr. Ken,a J.h. bcrhubung R.U .U . lenumg| Pengadila.i dalam hngkunga,, Peradilan Umum itu bclum d'adiukan pada Sidang D i R-<j R ka ■“ >• kami mengusulkan seperti hal tersebut diatas itu dimasukka., dalam R .U U_ tersebut ditambal, dcngm, djaminan kescdjah.eraan para Hak.m ,a,,g tersebut dalam pasal 5 U ndang-undang No. 13/ \ 96o.
, 1 1 ji-% 1ad/iliih D ja m in a n kesedjahteraan para- i.Tni.:.n H ak.m >n, actaian oerlu p t in demi kew ibnw aan n a i . i d m N eaara pada um um nja. D a la m hal ini u ntu k Peradilan pada uuisusn a clan tNegaiu P J __ , . i-
djelasnja dapa, kami kemukakan kedjadian- pada waktu_o.Je lama antara la i. ialal ban ak para Hakim -nktr, akan perg, kc b' ll' “b ii . I . . , kesadarann a tanqgung djawab maka terpakdak ada kendaraan dan ka.ena kcsaci. I .k ^ saksi/terdakwa. sa pakai kendaraan umum jang duduk s* \
1
\
puU .g
i
3
*
,
hernncikat/
MniMm rlnri s u a t u d a c r a h j a n q w a k t u a k a n D e i a n g K a r /
darinpersida,,gan terpaksa mcn.bon.jcn,,
didondangan
truck
i E ! ang'gauta V'engadilan T inggi wak„, akan pergi kepersidangan naik sepeda dan sebagainja.
Mengingat balnva para
H a k im
mclakukan praklek dan >,s maka kalau tidak ada d
tidak
d ip e r k e n a n k a n
bcrusata ^dagang.
menurunkan martabat H tim me„djadi superweien akan
^
H ak.m . K am i t.dak menghendak. bal tetapi jang kami kehendak. adalah nu
mereka lakukan itu tla,am pendjelasan pasal 24,
25ailT,daP tmqA SePn ? , .T l 945 la n q antara lain bcrbunji bahw a harus •o U ndanq-undanq D asar IV't? l‘1Hy . H-.Hm
dia-
dakan djaminan dalam undang* tentang kedudukan pal a Hak I .
Sdr. Ketua J,h„ berbi.jara mengenai masalah Mahkamah Agung sebagai badan peradilan.
Mahkamah Agung dan
b ad an -b ad an
Pengadilan lainnja tak terpisahkan
dalam kedudukannja : 0 i T>r i KVlnkim an jnnq funqsi dan tugasnja menjeleng'a. M erupakan Kekuasaan Kehak ^ ^ ^ ^ 2 R U U tcntang garakan peradilan, sepeiw terseD ^ tuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehak.m an. ba.k 1
b.
c ,
XT
_
mauDun tiap- H a k im dari M a h k a m a h A g u n g
Sebaga, |embaga Negara. ™anupadiian.Ppengadi|an lai„. ,idak ada bedaatai, dan B a d a n - b a d a n « harus bebas dari pengaruh pihak ma^ ^ t 'r n T a ^ r lr n d u k p a l
ketentuan-ketentuan
Hukum
(Pasai 4
R . U . U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiiir.in ».* pendjelasan pasal 24, 25 U n d ang - u nda n g D asar 1945). Kem udian mengenai hal harus ada berapa mafjam M a h k a m a h A g u n g d ; Ne g ara R cpublik Indonesia mi. M c n u r m Pasal 19 ajat 1. R U U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an nuika akan terdapat e-m oat (4) matjain lingkungan P c n g a d ’lan : 1. Perad lan U m u m , 2. Perad'lan A g a m a. 3. Peradi'an M li'er 4. Per adilan T ata Usaha Negara. D a la m ajat ckianja menentukan bahw a Pcradi'an U m u m berpuntjak p a da M a h k a m a h A g u n g , sedang Peradilan-perad'lan lainnja susunannja diatur oleh U ndang - u ndan g tersendiri. Pemerintah dalam ketcrangannja pada S idang Pieno 17 O k toher 1968 mengatakan bahwa M ah k am a h A cting tidak lagi mendj.uli putjuk Pimpinan dari Peradilan-peradilan Militer, A g a m a dan T ata U saha W g a r a . Sekarang soalnja apakah pasal 10 R . U . U . tentang Keteni uan-ketenfuan Pokok Kekuasaan Kehakiman itu : a.
Sesuai dengan Putusan Ketorapan M P.R .S , N o , X M P R S djelasan pasal-pasal 24. 25 U n dang - u nda n g IJa^ar 1945.
1966 jo pcn-
b.
A p akah effektif.
c.
A p ak ah t'dak akan mengakibatkan pemboro1an d'dalam N egara kita jang financieel sedang menderita kepajahan
Sdr. Ketua Jth. T erhadap persoalan tersebut dalam sub a soalnja bukan terpimp’n atau tidak terpimpin akan tetapi soalnja apakah tidak njebal atau bertentangan dengan Putusan KeJciapan M . P . R S . tanggal 5 D ju li 1966 No. X / M P R S 71966 pasal 2 jang b e rb u n ji: Semua Lembaga-lembaga Negara tingkat Pnsat dan Daerah didudukkan kembali pada posisi dan fungsi sesuai dengan jang dialnir dalam U n d a n g - u n dang D asar 1945. Djelas disini bahwa kita harus berpular haluan setjara konsckwon 1SO^ kepada U ndang-undang D asar 1945 dan untuk Lembaga Kehakiman terdapat dalam pasal 24 dan 25 Undang-undang D asar 1945. Pasal 24 (1) : Kekuasaan Kehakiman dilakul can oleh sclutah M ahkam ah A gung dan lain-lain Badan badan Kehakiman menurut U n dang-undang. (2)
: Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan LIndang-undang.
A pabila nada pasal 10 R . U . U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K e k u a saan Kehakiman menentukan adanja 4 M a h k a m a h sctingkal M ah k am ah A gung atau dengan perkataan lain bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh 4 buah M ah k am ah A gung, maka ini terang akan melanggar atau rncmpcrkosa LIndang-undang D a sar chususnja pasal 24 tersebut diatas. Ketjuali kalau ke-4 matjam M a h k a m a h A g un g ini dikatakan papat-papating atunggal, maksudnja djum lahnja satu terdiri empat buah. 64
D ilihnt dari segi cfficiencynja : F u n g sin ja jcincj pokok M a h k a m a h A g un g : m endjalankan kasasi. menvatus tingkat pertam a dan terachir semua sengketn w cw cnang m engadili antara Pengadilan-pengadilan b a w a h a n n ja , melakukan pcngaw asan tcrtinggi terhadap d ja lan n ja peradilan dan mengawasi tingkah laku H akim (R .U .U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A ntara M ahk am ah A gung pasal 12). ini harus didjalankan oleh sebaah M a h kamah A g un g seperti jang telah digariskan oleh pasal 24 U n d an g - u n d an g D asar 1945. Pendirian kami .ni atas dasar dari argumentasi jang fragm atis constitutioneel, ialah bahw a consritutionecl sudah diaturnja dengan tegas, fragm atis antara lain apabila ada persenyketaan antara M ahk akm ah- M ahk am ah itu lalu bagaimana, m itsalnja didalam suatu perkara koneksiil. Selain itu dengan terbentuknja M ahkam ah- M ahkam ah itu apakah tid ak akan membebankan pembeajaan jang akan semakin m em ajahkan budget N e gara oleh karena Peradilan-peradilan jang baru itm akan m em bentuk susunan, o r o a n ’snsi d an pcrsoneclnja apart.
Kami lebih t jondong pada pemikiran bahw a fata tetap m elaksanakan Pr.tusan Ketetapan M P R S No. X / M P R S / 1 9 6 6 .o pasal 24 2:'U n d a n g undang D asar 1945 janq inenghendaki Kekuasaan K ehakim an dilak uk an oleh sebunh M a h k a m ah A g u n g jang terdiri dari 4 b a g .n n (k a m e rs untuk m^smgmasinq lingkungan Peradilan jang masing-masing dikepalai oleh seorang Ketua M u d a M a h k am ah A gung dan m en pun ja. anggauta- tersendiri/chusus sesuai keaclilinn menurut bidangnja-
M a d jelis Pertim bangan Pene-
liiian H akh'ir’ (M * P .P H . Pasal1' ^ R .U .U .te n ta n g Kekuasaan K ehakim an) kami lidak keberatan asal A k a n tetap kami dalam ha. ini akan
‘
sial. Pada dewasa sekaiang jang
karenamungkin
.
d is e b a b k a n
'
tjepat akan tetapi tcrnjata pelaksanaan J ^ masih adan ja Kekuasaan K e h a k im a n jang dua istIS-
, K etua Pena-
Procedure jang pada waktu
jt„ diangkat. promotie.
adilan N e g c n / P engadilan T m s s ' * nuutasi dan s e o a g ain ja kepadc k
9 ^
'D e p a r te m e n
setelah diselidiki usul tsb. .eras dik nn n
k
dibuatkan sin at kquKus.m M aka
da|1 o)c|, M a h k a m a h A g u n g
K e h a k im a n
D epar ^
^
u n tu k
^
Kehakiman jang disebabkan
p e rd jalan an jang lama ialah di Uepa
penilaian K.U.P.
contraverJ
oleh
c»V>otiarnia iann nprln dine-
menurut pen apa
n
( d| Deparlemen Kehakim-
tiahkan bagaimana ^ c!'|‘nak' ; ^ ,’ ^ nl!ing9an pemberian penilaian K .U .P. itu. an sendiri j a n g disebabkanit diachiri jang mana bagi HakimHakim bawahan ritu^ terdapat " ‘ chef ialah Mahkamah Agung dan Menteri K ehakim an. , ^ Tttt . . R -1 i t i t t j Kin 19/1964 pasal 7 ajat 3 dan R .U .U . tentang B aik U n dan g - U n d an g N . ^ 1Q a -at 3 m enentukan b ah w a
Ketentuan-ketentuan Pokok Keha ^ P Mahkamah Agung akan l£lapi Peradilan-peradilan bawahan ttu tee^ kekuasaan Departemen-
orgamsatoris, adm inistrate dan n u departem en dalam lingkungan A ng k atan
j;.,!.-, e .
•
Hihpn
Itulah kedjadian jang njata djadi sebenamja apab.la M .P .P .H . n, dlbentuk jang komposisinja terdapat djuga unstir luar ,ang sama sekali techms 65
tidak mengetahui scsuatu jang m endjadi objek tugasnja, djustru tidak akan m engham bat tugas tersebut. A p a la g i ditam bah dengan : a. K eadaan geografis N e g a ra kita kom unikas’nja sangat sulit, dipelosokpelosok antara lain Irian Barat, ISIaluku dan sebagainja. , b.
B a n jak n ja djum lah ada 2500 orang.
(jang ada atau jang diperlukan)
H a k im ialali jang
c.
Baliwa scbcluni M a h k a m a h A g u n g atau mengusu'kan scsuatu mestinjn ada terlebih dahuhi suatu laporan atau usul jang kemudian perlu disel'diki kebenarannja terlebih dahulu pula. M a k a dapat dipertimbangkan bahwa djika jang memutuskan hal-hal ter
sebut adalah suatu badan tersendiri. segala scsuatu akan berdjalan lambat. Perlu kiranja dipisahkan pemutusan soal-soal :
sangat
A.
Pengangkatan, promosi, kcpindahan dan pemberhentian atas permintnan sendiri disatu piliak dan
B.
Pemberhentian dan Jain-lain tindakan /p cn g h uk u m an djabatan dilain pihak. Jang dapat dikatakan soal-soal routine ialah :
—
Pengangkatan :
melewati sesuatu testing jang sjaraf-sjaralnja ditcntukan oleh M a h k a m a h A g u n g dan dilakukan oleh Pengadilan T inggi dimana H a k im jang bersangkutan akan diangkat atau oleh suatu Panitya testing chusus bagi tiap-tiap Pengadilan T inggi.
Promosi
jang perlu dinilai dari hasil kerdja quanfital ief dan qualitaticf tiap-tiap I la k i m dengan djalnn cksaminasi.
:
Kepindahaa dan pemberhentian atas pennintaan sendiri. Proeedurenja
a.
Bagi H akim -Hakim Pngadilan T ingkat I atas usul K eluanja dengan pertimbangan Pengadilan T inggi jang bersangkutan.
b.
Bagi Ketua Pengadilan T in g ka t I atas usul Ketua Pengadilan T inggi jang bersangkutan.
c.
Bagi H a k im anggauta Pengadilan T in g gi atas usul Ketuanja.
d.
Bagi Ketua Pengadilan atas penilaian M a h k a m a h A g u n g diputusknn oleh M a h k a m a h A g u n g ( M a djelis) .
D jik a toch dalam hal ini perlu ada pengawasan, hanja apabila jang berkepentingan merasa tidak puas dengan putusan M a h k a m a h A g u n g perlu dipikirkan kemungkinan banding pada eventueel suatu badan. M engenai pemberhentian dan lain-lain tin dak an/pe ng hukum an djabatan memang bersifat lain. 66
Bagi m as;ng-masing tersebut diatas maka atas usul pe dja b at/in stan si jang tersebut, usul niana harus discrtai bukti- d a n /a ta u hasil pendengaran (verhoor) H akim jang bersangkutan ; M ahkam ah A g u n g m cm utuskan m asalahnja. Sclain M a h k am ah A g ung mengambil putusan, m aka d jik a H a k im jan g bersangkutan merasa tfdak puas, dapatlah dim inta banding pad a suatu b ad an. D ja d i singkatnja ialah kalau diperlukan M .P .P .H . kom posisinja sebagai berikitt :
1.
Ketua M ahkam ah A g ung ex officio anggauta Ketua 2. M enteri Kehakim an ex officio anggauta W a k il Ketua 3. Senior H akim A g un g A n g g au ta 4. Seorang W a k il dari IK A H I 5 . Seorang petugas K U P ** 6 . Sckrctaris Presiden *» 7 Seorang pensiunan H akim A nggauta M ahk am ah A g u n g ^
A n g g a u ta
M cng ap a kanv usulkan No. 5 clan 6 tidak lain djustru jang m engetahui setjara tehnis tentang pengangkatan- dan jang 7 tida am a ^as asar penga lanian jang dipcrlakan tcrutania meer untuk menilai kw ahtas m aupu n kwantitas. Selain itu perlu kami
. „ tambahkan disini mengenai pasalI 32
• .
/1 \ i 0 ) kam i
.. i i t ,. , , i M riiinUiiknn o l eh k e d u a c h e f i a l a h M a h k a m a h t i d a k s e t u d j u k a l a u p c n g u s u l a n itu ciiiaKUKan oi l i
A g un g m aupun M enteri Kehakiman. Ketidak sepakat kami mengenai hal tersebut tidak lain u n t u k ^ n t j e g a h terdjadi rcchtonzekcrheid, botsingen baik dalam eiiang 1 , c kew adjiban janq akan akibatkan kebingangan bagi )an9 1 "n ro ce d ure procedure serta stclselnja masih denrfkian m a k a kam, jang telah binsa. pcngusulan oleh M a h k a m a h A gung dan M enter. K ehak m an jang
m e m b u a t s u r at
Keputusannja.
Sdr. Ketua Jth. Mengenai masalal. penindlauan 1kernbal^puti, telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap (pasa Kekuasaan dan H u k um A tjara M ahkam ah A g u n g ).
,
1.
Pasal 19 R .U .U . tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
2.
Pasal 42 R .U .U . tentang Susunan. Kekuasaan dan
* li i i tv . l i M nhknm ah A qu nq m em ermtankan aitinajaukam ah A g u n g jang berbanji M a l ko ,9 J leh kekuasaan hukum nja kem bali suatu putusan perdata ,g e l a h mempero en k adalah t i d a k tepat s e h a r u s n j a m e m e r m t a h k a n untuk ^ ^ a k a n peme
rlksaan tambahan dan berita atjara dengan sendirinja harus dilam pirkan demi lan pu a 3.
Pasal 43 mengenai hal itu harus dihapus. Selain itu J ^ n g m g a t b ah w a jang berhak member! pertim bangan dan m enm djau itu .M ahkam ; maka istilah disertai dengan pertimbangan tersebut dalam pasal ) dan pasal 45 ajat 5 harus dihapus.
67
Sdr. Ketua Jth. Sampailah kami pada suatu pei'tunjaan rnongapa fungsi Pengajom an bngi Pengadilan tidak ditjantumkan dalam ke 2 R 11.11. tersebut diatas, sedang dalain LIndang-undang No. 19'1964 itu mengatakan knrang lebih antara lain djustru untuk mentjapai masjarakat SoMalis Indonesia, tidak memberi tempat bagi Peradilan S w a p ra d ja clan A d a t 'feodal. Dem ikianlah sambutan kami atas kc-2 R -LI.11. teisebut. semoga sumbangan pikiran kami ini dapat diterima dan megusulkan agar dalain konsiderans kedua R.LI.Ll. ditambah pasal 25 LIndang-undang Dasar l (H i oleh karena ke-2 R .LI.U . itu menjebut pula persjaratan. pengangkatan dan pcwbei'hentian. Assalaanui’alaikum w a v .
N f. T llT I I I A R A I I A P S.H .
(P A R T A I K R IS T E N IN D O N E S IA ) .
Sdr. Ketua, W a k i l Pemerintah dan Sidang jang saja hormati. Atas nania frak.si kami. Partai Kristen Indonesia, pada ke^empa'aii ini kami utjapkan sjukur dan tcrima ka.sih kepada T uha n Janq M ahakuasa dengan telah di sampaikannja kepada kita. D ew an Perwakilan R akjat dua Rentjana Undangundang (ialah) mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan mengenai Susunan. Kekuasaan dan H u k u m A tjara M a hk am ah A g u n g , dua undang-undang jang isinja sangat erat sekali berhubungan jang satu de ngan jang Iain. Kami sambut dengan sangat gembira kedua Rentjana U ndang-undang ini, sebagai suatu usaha riil dari Pemerintah untuk achirnja m P m b e b a s k a n serta mengamankan Kekuasaan Kehakiman dari penjelewengan jang amat besar dari LIndang-undang dasar 1945. penjelewengan m a n a dalam a lan i demokrasi dalam suatu Negara H u k um scsungguhnja tidak atau sulit dapat diterima, ditolerir atau dimaafkan jakni penjimpangan dari prinsip f rias Politica"' jang diganti dengan prinsip pemusatan kekuasaan, sehingga kita menghadapi kenjataan dahsjat bahw a Kekuasaan Kehakiman jang seharusnja b e b as tidak la gi bebas dari tjampur tangan Pemerintah sebagai kekuasaan eksekutif. Kami sungguh merasa lega dengan ditjabutnja U m la n q umlnnq N o . 19'' 1964 dan N o . 0 1965, oleh karena dengan ini akan dilnlangkan suatu "cmrecllt”, sebagai tertjantum dalam keterangan Pemerintah soMiaUt jang ber tentangan dengan hukum. jaitu jang a.i. ditetapkan dalam p asal 19 Undangundang No. 19/1964, jang mcmungkinkan Presiden turun atau tjampur ta ngan dalam soal Pengadilan demi apa jang disebutnja ’’kepentinnan revolusi. kehormalan Bangsa dan Negara ataupun kepcntingan masjarakat jang mendesak*’. sehingga dengan ketentuan itu kebebasan Kekuasaan Kehakiman men djadi kabur adanja. Sedangkan dalam pcndjelasan mengenai pasal 24 dan 25 Undang-undang D asar 1945 ditegaskan bahwa ’’ Kekuasaan Kehakiman ada lah Kekuasaan jang merdeka” artinja bebas dari pengaruh Kekuasaan Peme rintah. Saudara Ketua, hadirin jang terhormat. Rentjana U ndang- undang jang kita hadapi sekarang ini mengandung arti sangat penting. chususnja apabila ditindjau dari segi perkembangan dan kelangsungan hidup dari sesuatu Negara H u k u m pada umumnja. Karena salah satu tjiri chas dari sesuatu Negara H u k u m adalah jang tertjermin dalam Sistim dan Isi Kekuasaan Kehakiman jang berlaku dinegara ter sebut. 68
D id alam rangka pcnuirnian pcnglaksanaan U n d a n g - u n d a n g D a s a r 1945. dalam keschiruhannja did jiw ai oleh P an tjasila ini, P em buat U n d a n g Ulldang dalam m endjalankan tugasnja tcrikat pula pad a d jiw a P a n tjas ila ini, ^ I n m Hal ini termaMiik pula pem buatan R c n tja n a U n d an g - u n d an g tentang ^ ‘kuasaan K ehakim an dan tentang Sasunan. K ckusaan dan H u k u m A t ja ia M a h k a m a h A g un g . Seluibiingan dengan in: kami sangat m enghargai usaha P em erintah jan g lu^ntjerm inkan djiw a P antjasila dalam R c n tjan a U n d ang - u nd an g ini. Soal lain jang sangat menarik pcrhatian dan am at m enggenibirakan h ati ^anii adalah ketentuan bahw a Peradilan akan dilakukan dengan sederhana, *i^pat dan b aja jang ringan : ketentuan mana akan tetap dipegang teguh. Sem oqa prinsip ini sungguh 2 akan d d ju n d ju n g tinggi dan dipegang serta ijalankan dengan kctatnja didalam praktcknja. Sebagai tja ta ta n disini saja k^nutkakan baiiw a hingga kini masih sadja b an jak orang jang telah bertahuntahun be rad a dalam tahanan. sedangkan pem enksaan bclum d ju g a d ilak u k an . Saudara Ketua. H a d irin jang terhormat, menurut hemat kami, m aka pe“ gaturan ketcntuan-kelcntua pokok tidak begitu sesuai dengan m ak s u d n ja R c n tja n n lln d a m i- u n d a n g ini. O le h karena didalainnja tertjantuni b a n ja k ke‘cntuan-kcicntunn pelaksanaan. jang menurut pendapat kami terlam pau terPerintji. sebaiknja ketentuan-kelcnluan itu dinutat da am a u k u i a u ran a.au U ndang- undang pelaksanaan. In ila h sckedar pendapat kami mengenai
R entjan a
U ndang undang
jan g di
• m aksud pada um um nja. Perkenankanlah kami sekarang
m engadjukan
beberapa
pokok
pikiran
m aterinja :
lc.
M „ c » » i dilepaskannja * ,* « * » . h * w « Mahkamah . ^ - > 3 ^ a n 'S „ i a mend adi -puntjak- set ap peradilan jang ada. M « .u iu t he,;. a t o , pa
sal 10 dari Rentjana Undang-undang ' 'e‘e '“ Neoakok Kekuasaan Kehakiman dapat bertentangan dengan Neg ra I-Iukum jang di„str„ hams kita perd,„angkan. ,a ,l 1 . ke kun, dan kcsatuan huknra, jakn! kesa_.ua,, dalam penal sua h ku,,, dan pcnggunaannia.
]/ . n .K tj1n hukum
Repast an In k
ken,,,ns)kn,ann,a akan t u b U a
,
dan kesatuan hukum ini h a n ja a a a
Mta Mahkamah Agung.
P
kamam ja sendiri. jang di-
h > koordinir don dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung.
dim ana tiap lingkungan peraa ian
2e.
Mcnqenai pasal 31 : Menurnt •Mn'dlda" ptrngan kelentuan in: ialah bahwa pan, Hak.m d,mgan ,>ara l » J i alI p «
1 • • 1 tn ndian qan hidup jang lajak. agar mere soncl lam nja akan “^ n d a p a t u J 9baik dan d ju d ju r , t dak tergoka dapat m endjalankan tugasnja cienj da akan m elakukan hal-hal jang tertje a. u Pc,»r(-n ” iu d ic'al Menurut hemat kami maka bukan para hak.m sad,a b«e r(a ,u d ,c^l personelv lainnja dalam peradilan, jang mgm b e k e rd ,d e n g a n ttnang dan dju djur, serta m enginginkan peraturan g ad,i j a n g _ rat hemat kam i m aka tiap 2 pe.tugas negara m enginginkan d ap at mencri-
69
ma ongkos-’ perbelancljaan untuk kehidupannja senari-hari janq la ‘ak agar t.dak akan tergoda akan m elakukan sesuatu jang Icrtjcl i ' D iH ir l ha! ini peraturan gadji tcrscndir: sungguh tak akan ‘ t j u k u p m em baw a penjelesaian jang diinginkan. A k a n lebih bcrm anfaat agaknja apabila untuk tudjuan jang dimakstid corps kehakim an d-beri upgrading-course jang dapat kiranja mencljadikan mercka kepada siapa masjarakac jang sedang dalam perkara da m enggantungkan nasibnja dengan penuh kepcrtjajaan. 3e.
M engenai pasal 32. D .sini saju hendak m engadjukan perianjaan a p i kah tidak lebih baik djika angga.ua M P P I I M adjelis lYrtim bang-m Penelitihan H akim , hanja terdiri dari para hakim sadja. djadi tidak di tambah dengan anggauta jang non-governmental jang dalam sidan djustru dapat mendjadi salah satu dai\ jang borkepcntinqan. Lagi s ija bertanja apakah tidak lebih baik apabila keputusan M adjelis lersebut tidak sampai bersiiat m cncntukan, m eiainkan hanja ber.sifai nasehat ke pada M enteri Kehakim an 'Presiden.
4e.
M engenai pasal 29. M cng ing at bahw a Kcpala Negara tak dapat mengenal semua hakim di Indonesia, maka menurut hemat kami pasal 29 tak akan mcmadai didalam praktek, sebagainiana diharapkan. T idakkah ketentuan lama lebih baik kiranja atau scdikitnja tjukup baik jang menentukan : H akim A g ung, Ketua dan W a k il Ketua M a h k a m a h A gung diangkat oleh Presiden atas usul D ew an Perw akilan R a k ja t • hakim 3 lain oleh M enteri K ehakim an atas usul M ahk am ah A g u n g
5e.
M engenai pasal 2 1 . D isini kami ingin agar dibeda-bedakan a nt ara per kara Pidana dan perkara Perclata demi untuk m entjegah pengqunaan jang ticlak benar dari pasal ini. mcngingat adanja asas p r in s ip ijV ’’N u l lum delictum ” , sedangkan pasal 21 ini m cm ungkijikan adan ja sumber hukum tak tertulis bagi hukum Pidana, hal m ana m ungkin dapat terdjadi, bila dihubungkan dengan pasal 12 . H al ini akan m engakibatkan ldta kembali ke Zam an O rla. dim ana Revolusi dfanggap sebagai dju ga sum ber hukum. M engenai pasal 35. Perlu kiranja disini ditegaskan' menge nai :si dari pengertian "P engaw asan” . A pakah pengaw asan ini harus" di artikan pengawasan fisik ataukah pengawasan tehm's sadja ?
Saudara Ketua, hadirin jang terhormat, inilah sekedar pendapat fraksi Parta: Kristen Indonesia dalam pembitjaraan tingkat I I I inf.
dari
Terima kas:h.
S A H A T M . N A I N G G O L A N S.H . (M U R B A ) . Sdr. Ketua jang terhormat, W a k il Pemerintah jang kami m uliakan serta Sidang jang tertjinta. Pada beberapa hari jang lewat, kita bersama telah mcmbahas suatu Pokok jang agak berat, jakni : R U l l tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkatvinan dan R U ll tentang Pokok-pokok Peinikahan I dam. S adar atau tidak, maka perscalan jang kita bahas sekarang inipun, m enurut hemat kami m erupakan 70
tnaten jang berat pula, ketjuali bersangkat paut dengan D jiw a dan M a k n a aripada LI.LI.D . 1945 dan Pantjasila, djuga setjara chusus bersangkut paut I I Ti n tcrtcntu didalam Pantjasila dan Pasal-pasal tcrtcntu daripada ■ .13. 1945. jakn: mengenai Pembagian Kekuasaan antara Lcinbaga-Lcmbaga egara Terrmggt dan Hak-hak Azusi Rakjat. Hak- A zasi R a k ja t jang dapat
Bebcrapn tjatatan sebagai pokok-pokok pikiran jang bisa kami smnbangkan untuk pendjelasan 2 R U L I jang kita bahas sekarang ini adalah sbb. : I-
Pembagian Kekuasaan Lembaga-lcmbaga Negara Tertinggi.
K ita incm bahas R U L I tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K ekuasaan K ehakim an, man tidak man hal ini telah setjara langsung m engenai K ekuasaan suatu Lem baga N egara T ertinggi. jang konst tusionil diatur did alam pasal 24 dan pasal 25 LI.LI.D . 1945.
Pasal 24
Pasal 25.
tersebut berbunji : (1 ).
Kekuasaan Kehakim an dilakukan oleh sebitah M a h k a m a h A g u n g dan lain-la:n B adan K ehakim an m enurut Llndangundang.
( 2 ).
Susunan dan kekuasaan Badan-badan K ehakim an itu diatur dengan U ndang- undang.
Sjarat-sjarat untuk m endjadi dan untuk diberhentikan H a k im ditetapkan degan U ndang- undang.
sebagai
Pendjelasan pasal 24 dan pasal 25 itu kita batja : ,,Kekuasaan K ehakim an ialah kekuasaan jang M e rd e k a artin ja terlepas dari pengaruh kekuasaan Pem erintah. B erhubung dengnn itu harus diad ak an d ja m n a n dalam U n dang - u ndan g tentang ked u d u k a n n ja para hakim ’’.
71
K em udian pada Pendjclasan Llinuin I I . I I . D . 1945 angka I sub 1 bcrbunji : ,,N egara Indonesia berdasar atas Ilu k u m (R cchtslaat) tidak ber dasar atas kekuasaan belaka (M a c h ts ta a t). Sdr. K etua jang tcrliormat, S eland jutnja kita dapat melihat T ap M P R S N o. X X . tentaiuj M E M O R A N D U M D P R - G R M E N G U N A I S l I M B E R T E R T IB H U K l l M R I. D A N T A T A L IR L IT A N P E R A T L I R A N P E R U N I J A N G A N KM.. rhusu.Hua angka I I I Scliema Susunan Kekuasaan didalam N egara R epublik Indonesia.
Bentuk Peralnran Perutulangan nienurut sistim L I . ll .D . 10*15 adalah : — LI.LI.D . 1945; — K ctetapan M P .R . : —■LIndang-undang ; ■ — Pcraturan Peiuerinlah Pengganti Llndnng-undan j ; ■ — Pcraturan Pemerintah ; ■ — Kcputusan Presiden : ■ — Pcraturan -pcraturan
Pelakranaarm ja seperi' :
— Peraturan M enteri ; ■ — Instruksi M enteri ; — dan lain-lainnja.
Schema susunan Kekuasaan : —• Pantjasila — Pem bukaan L l.U D . 1945 — LI.LI.D. — M .P .R . M . A.
B. P. K.
D .P .R .
P R E S ID E N
D
P. A .
Sdr. Kctua jang terhormat, Berdasarkan kelcrangan-keterangan rcsmi diatas itulah kiranja (egas kami njatakan, balnva Fraksl kaini dari Parlai M L IR B A dapat menjetudjm sepenuhnja ..Keterangan Pemcr'.ntah’ scpandiang mengeni ,*pemisahan ke kuasaan'' iantara Kehakiman dun Pemerintah. sebagainiana terdapat pada hal, 1-4 (Stencilan S U . 78-68). M udah-niudahan prinsip pokok ini kita pegang bcrsama antara D P R - G R dan Pemerintah, tidak sadja diatas kertas tetapi djaga didalam pelaksanaan ~
nja ! N a ra in Sdr. Ketua, kami kurang mengerti atau bagi kami masih kurang djelas, mengapa djustru pada Pasal 32 ajat ke -1 kalim at tcrachir dari RLILI tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K e h a k m a n ini Pemerintah 72
Ulenundjukkan tjainpur tangan oleh Pemcrintali. K alim at terachir jang kam i mnks;idkan ialah bcrbimji : ....................... jang diadjukan baik oleh M ahk am ah A g un g . m aupun oleh M c n i e r i K e h a k im a n ” .
M enteri Kehak.man iiu adalah jang memimpin Departem en K ehakim an dan Departemen Kehakiman it;t termasuk kckuasaan Pcm erintah (E k s e k u tif). ^ c n g a n demikian Sdr. Ketua. kami bertanja kepada Peinerintah : Sam pai d m an a k a h batas-batas kekuasaan antara Pcm erintah (dalam hal in > D e p a r t e m e n Kehakim an) dan M ahkam ah A gung ? K am i akan sangat bertc i" m a kasih. apabila Pemcrintali dapat memberikan sekedar pendjelasan atau keterangan, mengingat persoalan hii agak hangat kami rasa pada dewasa in i dijiiasa-masa jang akan datang. chususnja jang berlnibungan dengan masalah grasi, s c o l a h - o l a h kita mcnghadapi 3 instansi, jakni : Lem baga Kepres-denan, Departemen Kehakiman dan M ahkam ah A g un g. Schubungan dengan P e m is a h a n K e k u a s a a n n ia k a a d a s a tu - d u a j a n g p e r lu m c m in t n p e r lia t ia n . b u k a n sadja k e p a d a P c m e r in t a h te ta p i d ju g a kepada f o r u m D P R - G R in i. a .i. : a-
A p ak ah tidak lebih baik — dcmi dan untuk mcnegakkan ’’the rule of la w " lcedua R U U jang kita bahas sekarang ini. scgera m ungkin disusul dengan perobahan dan atau pengganfean Undang-undang Pokok Kcdj^ksaa'n, jaitu H U . No. 15 tahun 1961. dan Undang-undang Pokok KcpoHsian Negara, ja tu U U . No. 13 tahun 1961 ? Kami ingm sekedar kete rangan dari Pcmerintah tcntang hal in:..
h.
M enurut sistim U .U .D . 1945, maka pada B A B V pasal 17 d k a ta k a n : d ib a n tu
oleh
( 1 ) .
P r e s id e n
M e n tc r i- m e n te r !
N e g a r a .
(2 ). (3 ).
Menteri-menteri itu diangkat dan dibeihenti an o e i resi en. Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pcm ennlahan.
A k a n tetapi didalam praktck sehari-har. apakah memang b “ ar-benar kita pegang prinsip-prinsip ini ? A tau dengan perkataan laui. apakah n emang jang m endjalankan Pemerintaluu.
ragu. akan takutlah nantinja dimasa-masa jang akan datang orang Menleri. Apabila sampai dctik* mi .nasih banjak orang meng,mpwmp,kan kuisi Menteri. maka pada suat u waktu sebaliknja, orang ogah-ogahan d j a d i Menteri. C.
Beberapa hari janq lalu kami m endapatkan suatu lembar stencilan melalu. box surat-surat D P R - G R , jang setelah kami batja ternjata _ sinja ada ah R adiogram Deparem en Pertahanan-Keamanan jang ditandatangam K A b H A N K A M atas nam a M en hank am /P an gab , m erupakan mstruksi kepada para Panglim a A ng k atan dan baw ahannja. jang melarang t iam Pur'' tangan dibidang P e n g a d i l a n baik Peradilan P .dana m aupun P eradilan Perdata. (Stencilan Sh. 798-9-68 tertanggal 3-10-68).
73
i
Kami rasa, tjampur tangan jang dimaksudkan diatas bukanlah hanja dibi. dang dimaksudkan, mclainkan linmpir disemua b dang jang dipimpin kcbctulun oleh orang 2 sipil. Sdr. Ketua jang terhormat, Beberapa bulan jang lalu, kami da i i Bagian Li. d.da la in pembahasan RLILI tentang Hubungan Pemerintah dan Pemerintah Dncrah dan RUL1 tentaiKj Daerah Swatantra, kami ada mendapat sebuah salinan daripadn In>truksi B cr satna Panglhna A I3R I d: D jaw a Timur, jaitu Instruksi No. I N S I R-01 4 G p / 1968 lertanggal 11 April 1968, jang isinja : I. Melarang para anggauta kesatuan A B R I di Djatijn untuk : 1.
ABRI
jang
tergabung
dalam
Kesatuan-
T j amp ur ta ng an dalam b:dang jang bukan mendjadi tugasnja.
2.
M e n g g i m a k a n gedung-gedung bioskop untuk meritjari d.ma-dana.
3.
Mengadakan/menjediakan tcmpat, ikut serta perdjudian.
4.
Menggunakan kendaraan bermotor dengan muatan melebilu tenaga jang telah ditcnUikan.
Dengan fakta-fakta diatas itu Sdr. Ketua jang terhormat lantas lijnbul pertanjaan jang mentjubiti benak kcpala kami, apakah hal seperti difitas jta, jakui tjampur tangan dibidang jang bakan tugasnja adalah sebagai ekses daripada dwi-fungsi A B R I ? Alaukah, karcna memang kita didalam Indonesia merdeka ini, betul2 sudah didalam suatu kcadaan jang sevba katjau jang kian hari kian katjau, sehingga tiada mampu lagi Ilmu Polink, Ilmu Negara, dll. ilmu non-ekses untuk mencrtibkan lnikum. sehingga kita cl dania modern sekarang ini perlu melalui Lembaga D P R - G R menjatakan suatu lima PengetallUi.Ui jang berdiri sendiri jang bernama , . K A T J A L I N O l X ) G I jaitu Ilmu jang mempeladjal-i sebab- terdjadinja masaalahnja sendiri. djalan mengatasinja semua penjelewengan- dan kekatjauan- sedjak Proklamasi hingga sekarang dan dengan demikian kita dapat berhasil anluk mencrtibkan Ilu k u m ? D ja d i Sdr. Ketua jang terhormat. Kami sangat setudju sekali akan pendapat Pemerintah untuk mem sahkan Kekuasaan Kehakiman dan Pemerintah, bahkan pemisahan seinua kekuasaankekuasaan dan lrdang- (ugas seluruh aparatur Negara ! II. A pab la kami begitu seludju lOO'v tentang idee pemisahan kekuasa an antara Badan Kehakiman dan Pemerintah sebagaimana didjelaskan Peme rintah, maka sebal.knja kami tidak mengerti atau masih memerlukan Keterangan mengenai pokok pikiran jang dikemukakan Pemerintah sebagaimana d dalam pasal 10 dan pasal2 lain jang bersangkutan dengan itu dari R U U tentang ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa kita akan mempunja: 4 Peradilan, jaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan M iliter dan Peradilan Tata-Usara Negara. 74
J
■
Jang keniudian. bahw a Peradilan Um m n berpuntjak pada M a h k a m a h A g u n g sedang Peradilan Againa, Peradilan M iliter dan Peradilan T ata-U saha N e gara susim ann’ja diatur oleh Undang-undang tersendiri. Sdr. Ketua jang terhormat. A d a dua-tiga hal jang ingiji kami kcniiikakan mengenai hal ini : 1. Scbagainiana kami tegaskan didalain tanggapan kami m engenai R U U lentang Ketcntjan-ketentuan Pokok Perkawinan beberapa liari jang la id, maka sckarang djuga kami tegaskan bahwa / l likum Adai dan Hukum A~ gama pada kenjataannja sama kuatnja dalam masjarakat kita bahkan kadang kala erat safu sama lain dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Kami t id a k m e n g h e n d a k i, s u p a ja Peradilan A g a m a d it ia d a k a n , sekali lagj, u n tu k
m e n h in d a r
s a la h
paham ,
Agama ditiadnkan nantinja
kam i
t id a k
s u p a j a Peradlan Peradilan A d at . K am i
m enghendaki
d a n la n ta s d ib e n t u k p u la
m e ra sa, s e p a n d ja n g m e n g e n a i
Peradilan Agama,
b a ik la h k a m i a n d j u r k a n agar
s u p a ja d is e r a h k a n k e p a d a L e m b a g a - le m b a g a A g a m a d i b u k a n d 'a t u r o le h Negara,
Negara
j a n g b e r s a n g k u t a n . D ja-
h a n ja se k e d a r m c ra b c ri
bimbjngan
dan
pengawasan D ari segi teknis-organ satoris, kami melihat bahwa akan m akm katjaulah Per adilan kija nantinja. dfikalau terlalu banjak m a t jam-matjam Peradilan. 2.
Peradilan U m u m b e r p u n t j a k p a d a
M a h k a m a h
A g u n g dan Peradilan-
p e r a d Jan l a i n n j a s u s u n a n n ja a k a n d ia t u r oleh U n d a n g - u n d a n g tersendiri.
I'im b ul p e r t a n ja a n - p c r t a n ja a n : a.
b.
D jik a la u demikian, apakah kita akan mengenai Peradilan m iliter jang berpuntjak bukan pada M ahkam ah A gung, teiapi pada M ah k a m a h A g u n g M ilite r jang terpisah dan tersendiri dari M ahk am ah A g u n g , seIvngga nan tinja kita akan mempunjai 4 matjam M ahk am ah A g u n g ? D a n konsekwensin ja, Departemen P e r t a h a n a n - R e a m a n a n l a h nanti nisatoris, adm inistratip dan f n a n s j i l membawahi M a h k a m a h A g u n g Tentara, Departemen Agama m e m b a w a h i organisator.s, adm inistratip dan Einansiil m em bawahi Mahkamah Sjariahnja. K am i l i d a k s e p e n d a p a t d e n g a n P c m e r in t a h ja n g m e n g e m u k a k a n . „K etentuan dahulu, sewakta M ahkam ah A g un g masih dipandang^ puntjak senma peradilan umum, tata-usaha, militer dan agam a m em punjai atar belakang keinginan untuk menudju kearah peradilan terpim pin, jang sekarang tidak dapat dipertahankan lag, . S epandjang ingatan kami, segala jang berbau istilah terpimpin barulah m untjui ditengah-tengah R akjat Indonesia dengan adanja D ek rit 5 juli 1959, sedangkan M ahkam ah A g un g sebagai p u ntjak dari scmua m a tjam Peradilan itu kita kenal sudah sedjak adan ja N e g ara R epu blik In donesia jang kita tjintai itu.
c.
D ja d i men unit hemat kami, maka tjukuplah 3 m atjam peradilan itu, jang langsung diselenggarakan oleh Pcm erintah N egara, jaitu P e rad ilan Umum. Peradilan M ilite r (istilahnja bagi kam i Peradilan Angkatan Bcr~
75
scndjata,
untuk penerliban i.stilah). dan Peradilan Tata Usaha Negara (jang bagi kami istilahnja : Peradilan AdministraM N e g ara). jang kesemuanja itu berpuntjak pada ALlhkanuih Aijiunj Oleh karena Mahkamaii A gung send.ri bordjumlah sekurang-kuranqnja tudjuh orang Hakim A gung. dibantu oleli scoraiu] Paniiera. sekuranqkarangnja scorang W k . Panitera dan bcbcrapa orang Panitera peugqanii (pasal 2 R U I I tentang Susunan. Kekuasaan dan Ifak m u Atjara Mahkamah A gung maka baiklah di Mahkamaii Agung itu d adakan pengi hususan pembidangan tugas sesuai dengan keachlian making-masing anggauta Hakim A gung) disamping keselur.ihan Anggauta M ahkamaii Agung itu merupakan suatu badan kollegial. Denuk nnlah pula ten'ang konrdinasl, integrasi dan svnehronisasi serta s•m p !:n<=i dapat tenjipta dengan keseluruhannja matjam Peradilan itu berpun'jak pada Mahkamah Agung tcrmasuk Peradilan Agama jang d selenggarakan oleh Lembaga-icmbaga A gam a jang bersangkulan. d.
Pasal 10 R U U tentang Ketentuan-ketentuaii Pokok Kekuasaan Kehaki man itu membatulikan paling srd.kit LIndang-undang sebanjak (> buali, jaitu : LI.LI. tentang Perad.lan Agama. t i l l , tentang Peradilan Angkatan Bersendjata dan U ndang undang tenlang Peradilan Adnrnistrasi Negara disertai mas ng-masing Ilukum A t jam njd. J imbul pertanjaan membuat suatu LIndang-undang sadja paling sed kit memirut pengalaman menghabiskan waktu 6 lnilan (sudah kerdja ketas an'ara Pemerin tah dan D P R - G R ) . sehingga sepaiias lain maka setrlah RITU tentang ke’entuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini selesa! dibuluhkan waktu paling scdikit 6 kal. 6 lnilan djtunlah 36 balan djadi 3 tahun. Sdr. Ketua jang terhormat.
D j u d u l R U U , j ang b c r s a n g k u t a n a d a l a h L I n d a n g - u n d a n g N o ................... tentang Ketentunn-kctcntuan Pokok Kckun<;iun hch.ikiinnn. scdaiH|knn nama nja sendiri adalah " L I N D A N G - U N D A N G P O K O K K K K U A S A A N KliH A K I M A N ’’ seperii disebut pasal 42 R U U ini. Dengan demikian kita masih terpukau kepada pola-pola bcrpikir lama, bahwa disamping "U ndang-undang" kita kenai ‘Tlndang-andang Pokok". ’’ LIndang-undang Pokok ” maun niembutulikan pelaksanaannja berbentuk LIndang-undang. Kami mclihat bahwa bcntuk ’’Undang-undang Pokok" lidak terdapat d dalam sistim penmdang-undangan memirut U . I I D. 194*5. sebagaimana telah kami uraikan lerdahulu ta d ’, tentang landasan landasan peraturan-perundangan kita. Didalam pembahasan R i l l I tentang hetctntuni-ketcm turn Pokok Perkawinan hal sistim urutan perundang-undang ni telah pula kami singgung beberapa hari jang lain sehingga kami mendjad. ragu-ragu, bahwa untuk seterusnja bukan sadja Departemen Kehakiman melainkan djuga Departemen- lainnja akan mendrop la g : D P R - G R ini sedjumlah R l l l l Pokok, jang bcntuknja tidak d kenal dalam L I.U .D . 1945.
Sdr. Ketua jang terhormat, Sehubungan pula dengan itu, maka pada pasal 11 ajal; ke-2. kita mengenal
Badan-badan Peradilan Chusus, a.i. Peradilan laUi-Untas. Peradilan Atmk76
anak. Peradilan Ekonomi d!sb .. janq keseluruhann ja itu dibentuk dengan ..U ndang-undang'. ..Undang-undang” janq dibutuhkan ini adalah tam bahan
teihadap ..Undang-undang*' jang kami scbutkan tadi m engenai matjamm atjam nja Peradilan. sudah tentu tam bahan bclakangan ;ni disertai dengan llu k u m A tja ra n ja masing-masing. HI
Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim (M .P .P .H .).
Pada prinsipnja suatu badan non-governmental jang m erupakan badan pertim bangan dan penelitian H akim , sebagaimana dim uat dalam B A B V I I R U U tentang Kctentuan-kctcntuan Pokok kekuasaan Kehakim an kam i dapat mcncrima dengan beberapa tjatatan, a.i. : 1.
Baiklah saran-saran dan usul-usul jang berkenaan dengan pengangkatan, promosi. kepindahan, pembcrhentian dan lindakan- tindakan/hukum anhukuim m djabatan para H akim itu hanja diadjukan oleh M a h k a m a h A g u n g , d jadi tidak seperti didalam R U U . djuga oleh M enteri Kehakim an (kalimat terachir pasal 32 ajat ke-1). Pengangkatan M adjelis Pertim bangan P e n e lit ia n te r s e b u t d is e s u a ik a n dengan masa d j a b a t a n Presidcn d a n a ta u P e m ilih a n U m u m , j a i t u 5 t a h u n , d j a d i b u k a n d j a n g k a w a k t u 3 t a h u n s e p e rti d is e b u t p a s a l 3 3 a j a t ke-2.
3
Konsekwensi logis daripada status dan tugasnja. maka sew adjarnjalah apabila anggota-anggota M adjelis tersebut diangkat oleh K epala N e gara alas hasil pilihan sebagai disebut ajat ke-2 pasal 3 3 . A k a n tetapi, ada beberapa hal jang pcrlu meminta perhatian k’ta beisam a, jaitu a.i. : a
m engenai pengangkatan dan prom osi M ad je lis b e rsa n g k u ta n akan tetap m em perhatikan Ketentuan- e en u a n Kepeqaw aian. janq d id a la m aparatur P em eiin ta i ^ l ja up
S epandjang
A W dan Son] jang agar
jang nlc11? oe
llm s tn Pcflatrai Pnsat. Umbaga Admunstms, Negara Departemen Tenaqa Kerdja. kepindahan para H ak im kami rasa M ahk am ah A g u n g send.rilah lebih tahu anak-buahnja, oleh karena itu ami m engan ju r an supaja diadakan suatu ketentuan tentang ia ini un u
h in d a v i kesim pang-siuran d an ke k atjau a n a n ta ra tugas m asing e parle m e n d isatu p ih ak d an antara K e kuasaan e la ’m an an eme rin ta h d ila in p ih ak .
b.
Pasal 31 R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K^ u®sa‘i n J ^ ® ' hakim an janq m engatur : ..Hal-hal jang, mengenm Pan 9 ^ f 1 1 H ak im . Panitera dan D jurusita diatur dengan suatu Perat^ " Pe ' rintah tersendiri” . jang lebih djelas d.da am P e n d j c l a s ^ idee iancr sesuai dengan realitas, bahkan lebih dari itu lagi m enurut
hem .! k l i , jakni d i« V fa ^ ta s . Bahkan long lebih W m e n m » hemat kam i bukanlah djam inan akan gadji, m elam kan fas^ ^ . jang be rh ub un qan dengan pekerdjaan dan tugas. kakan beberapa m inggu jang lalu didalam R apat K e rd ja diaiitara B A G I A N B dan P e m e r i n t a h sch^ “ " 9an d e ig a n pembaltiasan A N G G A R A N B E L A N D J A P E R A L I H A N T A H U N 1969. K am i kira
77
baiklah, Sdr. Menteri Keuangan didalam hal ini lebih melihat kenjataan, dan baiklah jang terhormat Presiden sebagai Kcpala Negara dan Kepa’a Pemerintahan memberikan perhatian chusus dan tidak lupa pula kami melalui forum ini djuga nicmperingatkan P A N IT IA A N G G A R A N DPR-GR jang mcnjasun A N G G A R A N PEN D AP A T A N D A N B E L A N D JA N E G A R A fdak begitu sadja melupakannja ! Sdr. Ketua jang terhormat, Bagaimanakah diharapkan dari seorang Hakim akan melakukan tugasnja sebaik-baiknja, djikalau kantor-kantor tempat mereka bekerdja seperti kandang-kandang KLIDA sebagaimana terdapa' dipelosok-pelosok Tanah Air iang djauh dari Ibu Kota Republik Indonesia kita jang tertjinta ini, bagai manakah mereka dapat melakukan pemeriksaan perkara djikalau mereka tjdak diberi fasilitas berupa kendaraan roda-dua untuk sedjauli 3-12 km. Sesungguhnja Sdr. Ketua, kita tidak usah djauh-djatih. Dilingkungan kita sendiri didalam gcdung DPR-GR ini kelihatan kepintjangan. Djustru para anggota D PR-GR jang sungguh-sungguh menumpahkan waktu dan tenaganja, jang bekerdja keras itulah jang tidak mempunjai fasilitas. Para anggota-anggota D PR-GR jang terhormat itulah. djustru jang tidak pernah menuntut ini dan itu. jang kami rasa ada dan tjukup banjak djumlahnja dan meliputi seluruh Fraksi-fraksi di D PR-GR ini. Mereka tidak mempunjai pembantu tersendiri, melainkan bekerdja sendiri, mengumpulkan dan nientjari serta mengolah bahan-bahannja lalu mengetik sendiri teks pidato-pidato mereka. Apabila karena sangat melaratnja setjara uraum para penghidupan dan kehidupan para Hakim kita. maka bukanlah aneh lagi djikalau para Sardjana kita ogah-ogahan mendjadi Hakim djustru sebaliknja dengan forum kita ini, jakni bahwa karena fasilitas-fasilitas jang terlalu meiijolok diantara para nggatita dan Pimpinan DPR-GR, maka kami rasa suatu faktor jang menjebabkan Pimpinan DPR-GR itu mendjadi rebutan selalu pada masa-niasa belakangan ini, baik oleh pribadi-pribadi tertentu maupun oleh golongangolongan tertentu ! Sdr. Ketua jang terhormat, IV . Peradilan dilakukan „ D E M I K E A D IL A N B E R D A S A R K A N K E T U H A N A N JA N G M A H A E S A ’’, demikianlah bunji pasal 4 dari R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana termaktub pada ajat ke-1. Kami rasa dasar ini kurang lengkap, sehingga kami andjurkan mendjadi: „ D E M I K E A D IL A N D A N K E B E N A R A N B E R D A S A R K A N K E T U H A N A N JA N G M A H A E S A ”. Mengapa kami andjurkan demikian ? Oleh karena .Jkesadaran hukum” daripada Masjarakat kita sudah makin meningkat, sehingga kenjataannja, bahwa sedjak Republik Indonesia kita jang ditjetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu persoalan ,,Keadilan dan Kebenaran’’ ini mendjadi soal jang hangat selalu, mendjadi dilemma jang kekal dibumi Indonesia merdeka. ..Keadilan dan Kebenaran" adalah saudara kan78
diing jang tidak dapat dipisah-pisahkan. merupakan dwi-Uinggalnja Sang H U K U M ' D-dnl am praktck-praktek H u k u in di Indonesia ,.Kebenaran se~ rilH]kali terdcsak oleh ..Kekuasaan", sehingga rasa , Keadilan'9 itu m e n d ja d i Sepihak. K am i rasa, w alaupun sudah lebih 23 tahun usia R e p u b lik Ind o ne sia ja n g *ertjinta itu. maka dimasa-masa depan jang agak lama lagi ,.Sinar Kcbcnar~ dan ,,N u r K e ad ilan ’* itu perlu m endapat perha*ian kita, b a h k a n scharusn ialah m endjad i konsensus N a s ;onal pula, sehingga siapapun ja n g berkuasa tidak perlu ditakuti oleh w arganja dan orang tidak akan terlalu sibuk d e n g an P°lU‘ik-politik. O le h karena w arga daripada R epu blik P roklam asi itu selalu ^iam banq pintu kcgelisahan. kechawatiran dan ketakutan akan ,,kekuasaan law an-law an politiknja. maka orang beriom ba m endjad i poUtikus, seh in 9ga : disatu pihak kita m em punjai terlalu b a n ja k politikus-tanggitng d a n pilitikus avonturicr-opportiinistis alias pengchianat-pengchianat dan badjln 9^n-badjingan politik. D ila in pihak R a k ja t Indonesia itu lebih g am p an g dan m udah dibanqkit-bangkitkan sem angatnja oleh poluikus-politikus ja n g kami sebutkan tadi. < — jnncj pada tahap terachir hasilnja a d alah ,,m aling ter»*ak m aling dan saling m engkam bing-hitam kan antara seorang pem im pin dengan jang !ainnja\. sehingga R ak jat jang baik-baik itu m e n d jad i um pan ^ r i p n d a para pem im pin jang tidak bertanggung-djaw ab, dan ..Sang Kebe~ pun m endjadi kian m endjauh. bahkan pemalsuan-'pemalsuan d an jang m eradjalcla. O le h karena itulah tadi kam i m e n gan djurkan , ^flar supaja b u n ji daripada pasal jang bersangkutan itu tidak tju k u p dengan ’•K eadilan” tetapi ditam bah dengan ..Kebenaran .
vSebaliknja, Sdr. Ketua jang terhormat, Seringkali tcrla!u~bmar. keterlaluan — akibatnja kekaljauan S ang wi^n\va Pcnguasapitn hilanq. Kita terlalu d ju d ju r dan benar te ria ap ^angsa asing, sampai-sampai isi-perut kita seinua . diketahui bangsa asing, jan g me nHidahkan subversi asing tetapi sadja mendjadi bahaja latent jang meng-
°brak-ngabrik persatuan dan kesatuan bangsa. Sdr. Ketua jang terhormat, Ban,-ban, ini pemilaian masjarakat W«n kabur akan ” » ai-n‘la]J - H lIK U M
R .M ..
A T T A R A ’’ kita, dan karenanja kian sangsi da
” .n
K e ld L
eg
’J j g
dan' Kebenaran- Hukom dengan hebohn.a perkara
A P mengenai soal fitnah terhadap Pedjabat. Terlepas ^ ^ ^cg aim ana du d uk perkara jang sesungguhnja, suatu hal J^ng kam i m asa 'v a d jib d a n m im bar ini untuk m emperingatkan Pem erintah. .alah A tja r a Persidangan (pemeriksaan dim uka H a k im ). K am i kira. karena : a 9ak m enjangkut dengan pribadi-pribad. d a n p a d a okmnn-oknum P “ 9 u aM . m aka sebaiknja diselenggarakan pemeriksaan ter u up cU , ‘ , O le h tutup. demi dan memelihara w ibaw a Penguasa set,ara keselurulan .. O le h sebab itulah kami dapat m enjetudjui sepenu nja apa jang imu „ , , . pasal 15 R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K ekuasaan K ehakim an lni /. jang berbunji :
ajat ke-1.
S idanq pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka u n tu k ketjuali apabila U ndang-undang m enentukan lain.
um um .
79
aj a t ke-2.
T i d a k d i p e n u l i i n j a k e t e n t u an d a ' a m a i a i ( 1) h a t a l n j a k e p u t u s a n m e n u r ut l u k u m . R a p a t p e n n u s j a w a r a t a n H a k i m bcrsifat rahasia.
aj at ke 3Sdr .
Ketua
j a ng
m e n g a k ;b a t k a n
terhormat .
Apabila d:afas kami katakan, bahwa karcna terlalu terbuka pcmeriksaan maka hilang kewibawaan Penguasa. Djadi ada gunanja dif juniinnkan pengetjualian. sebagaimana bjnji kalimat kedua ajat kc-1 tad', tcinpi ada tetapinja Sdr. Kelua, jaitu djanganlah lantas dengan d a ’.il jang ditjari-tjari maka pemeriksaan dilakukan setjara tertutup alias rahasia. schingga "sanq kebcnaran'’ tidak kundjiing hadir. dan akibatnja hilanglah pula wibawa P c*_ nguasa ! Sebagaimana kita maklumi bei'sama, bahwa orang- nienghebohkan seluruh Rakjat beberapa bulan jang lain dengan mcndjadi head-line itu berita-berita mengenai Manipulasi B.B. Kira tidak mcngciahui niana jang benar lagi, dan dipihak lain jang pasti. menggontjangkan masjarakai dan rakjat jang sudah begitu mcrana. Dan untuk memperoleh " Sang Kebcnaran" clan demi untuk Kepastian Ilukum” maka kami pergunakan sua'u kesempatan un tuk menanjakan hal itu kepada Pemcrintali meialui Rapat-rapai Kerdja anta ra D P R - G R dan Pcmerintah. Untuk menghindari salah-paham dan kekeliruan, maka kami ulangi pertanjaan dan saran-saran kami itu jang kami kira agak penting sekarang ini. 1.
S a m p a i d i m a n a k a h k e b e n ar a n bcrita di k o r an . b a h w a dari
18 o r an g
importi r j a n g fer sangkut d i a n t a r a n j a 17 o r a n g su d ah m e l ar i ka n diri ? A p a k a h ka r en a A n g g a i a n B e l a n d j a j an g k u r a n g s a d j a p a d a Kedjaksaan A g u n g ?
Sehubungan dengan itu, apakah scbab-sebab maka tcrdjadi hal demikian itu, djika bcnar bcrita-berita itu ? Sehubungan dengan berita-bcrita itu, kami sarankan. hal-hal jang menggemparkan masjarakat seperti itu kurang bidjaksana untuk dimmimkan, karcna sangat memalukan aparafur Negara kita tidak .sadja didalam negeri akan tetapi djuga didunia intornasional. Ba ik lah Kedjaksaan Agung tidak sekedar ment jari-i jari kambing hjtam. 2.
Seringkali kita kaget oleh berita-berita jang mcndjadi head-line surat-surat kabar, tetapi berila- tersebut hilang tidak bcrbekas. karena penjelesaian diam-diam, a.i. bulan Mci jang lewat tentang importir emas. Pertanjaan : Bagaimanakah sesungguhnja persoalannja dan penjelesaiannja jang ditempuh ? P e r t a n j a a n tersebut tadi k a m i a d j u k a n t a n g g a l 15— 20 Sep t emb er j a n g lalu ( d j i k a l a u ka mi t id ak l u p a ) , j a n g d j a w a b a n n j a s a mp a i se k a r a n g b e l u m / t i d a k k a m i terima. D j i k a l a u b et ul 2 lcorang-koran m e n j e b a r k a n f i t n ah d a n k ab a r palsu, toch a d a p i d a n a n j a , —■p ’d a n a l a h . S e ba l i k n j a , k a l a u m e m a n g a d a b e n a r n j a berita-berita k o r a n itu. a m b i l l a h t i n d a k a n b er da s a r ka n fakta-fakta
jang
dikemukakan
oleh
k o r an -k or an
dan
fakta-fakta lain. S e h i n g g a betul-betul kita m e n e g a k k a n
80
ditambah "the
rule
of law", bukan '’the rule of power” bukan pula ’’the rule of man’'. Hal-hal diatas itu kami singgung Sdr. Ketua jang terhormat karena masih berkisar pada soal atjara, jaitu pemeriksaan dimuka Pengadilan. Sebagaimana kita ketahui bersama sebelum pemeriksaan di muka Pengadilan itu didjalankan maka dilakukan pemeriksaan oleh pengusut/pertjidik. Mengenai hal ini selandjutnja, baiklah kami bahas lebih mendalam pada kesempatan lam, jaitu pada waktu R U U tentang Hukum Atjara. V.
Sdr. Ketua jang terhormat, W akil Pemerintah jang kami muliakan serta Sidang jang tertjinta.
Pada Sidang Umum ke-V M P R S jang lalu kita telah menetapkan Tap M P R S No. 41 tentang T U G A S P O K O K K A B IN E T P E M B A N G U N A N , ja tu : a.
Mentjiptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai sjarat untuk berhasilnja pelaksanaan Rentjana Pembangunan Lima Tahun dan Pemilihan Umum ;
b. Menjusun dan melaksanakan Rentjana Pembangunan Lima Tahun ; c.
Melaksanakan Pemilihan Umum sesuai dengan No. X III/M P R S /1 9 6 8 ;
Ketetapan
M PRS
d.
Mengembalikan ketertiban dan keamanan Masjarakat dengan mengikis habis sisa2 G-30-S/PKI dan setiap perongrongan, penjelewengan serta pengchianatan terhadap Pantjasila dan Undang-undang Dasar 1945 :
e.
Melandjutkan penjempurnaan dan pembersihan setjara menjeluruh Aparatur Negara dari tingkat Pusat sampai Daerah.
Oleh karena Tap M P R S tersebut kami anggap merupakan suatu konsensus nasional, dimana semua golongan dan pihak menghendaki dimulainja Pembangunan, maka sengadja kami peringatkan Tap. M P R S jang bersangkutan, didalam menilai setiap R U U sekarang ini. Kemudian, batas tahun ke~ sabaran Rakjat sebagaimana dinjatakan Bapak Presiden sudah kian mendekat. Oleh karenanja, kami rasa perlulah k ta semua mengadakan inventacis&si. Melihat dan memperhatikan keadaan Tanah Air pada dewasa ini, dimana kita membutuhkan sangat persatuan dan kesatuan nasional jang bulat, kepentingan Negara, Bangsa dan Rakjat diatas segala kepentingan pribadi/golongan/partai, dan kami hubungkan dengan soal inventarisasi, maka ada beberapa hal jang perlu kita perhatikan djikalau betul2 semua kita mempunjai iktikad baik untuk tetap tegak d'atas relnja Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 jang dilandasf U .U .D . 1945 dan Pantjasila itu, jaknr : 1. Apabila meneliti pembitjaraan-pembitjaraan didalam Sidang Pleno kita sehubungan dengan R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dan R U U tentang Pokok-pokok Pernikahan Islam, maka sama halnja (kemungkinan sekali) kami lihat darj segi akibat pada waktu sekarang ini, 81
dengan R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jaitu sepandjang mengenai Agama, sehingga ada beberapa masaiah jang kami lontarkan kepada Sidang jang tertjinta ini, jaitu : a.
Kami pertjaja dan jakin, bahwa Penierintah tjukup baik hati dan mempunjai itikad baik, guna dan untuk mengatasi persoalan-persoalan jang bersangkut paut dengan Perkawinan dibuatlah R U U ten tang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan. Untuk ’’the rule of law’\ Pemerintah membuat R U U tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Sekali lagi, untuk menghindari salah faham. kami jakin dan pertjaja sepenuhnja bahwa Pemerintah didorong iktikad baik. Namun, bukan mustahil pokok-pokok jang prmsipiil didalam semuanja R U U jang bersangkutan itu, jang hams kita akui bersama, sukar untuk memperoleh konsensus nasional. sehingga kami ragu dan chawatir it;kad baik Pemerintah itu ditunggangi oleh baik sisa-sisa G-30-S/PKI maupun subversi Asing. dimana kaum vestedinterest menari-nari kegirangan, karena R U U - R U U jang bersang kutan mendjadi IS S U E baru. Untuk itulah kami memintakan kewaspadaan nasional dari semua kita. baik D P R -G R sendiri mau pun Pemerintah.
b.
Apakah belum tiba waktunja bagi kita semua untuk tidak terlalu mengikuti pola-pola tjara berpikir lama, jaitu dengan berpikir me nurut pengkotak-kotakan sehingga pada achirnja kepentingan pribadi/golongan mengatasi kepentingan Negara, Bangsa dan Rakjat seluruhnja ? Sekedar untuk memperingatkan kita semua Sidang jang tertjinta ini, baiklah kami batjakan sadjak kami pribadi 11 tahun jang lalu, jang bunjinja : A N T A R A SURC j A D A N N E R A K A I B U
P E R T I W I
Disana - dipersimpangan benua Diatas tumpukan pulau-pulau indah Setelah lama merana dibakar sepi Dibadai topan rindu dan dahaga Ibu Pertiwi tegak berdiri Melambaikan Sang Saka Merah Putih Pernah ia ia djadi garuda bebas diangkasa djadi air berlagu mendjeladjah rimba djadi angin pengembara sesuka Ibu Pertiwi-Pusaka Bunda Dajungkan perahu badja Model tudjuhbelas empat lima 82
M adju mengarungi lautan bebas Mendjeladjah pendjuru dunia Membawa obor Pantjasila Tuhan-lah mentjipta alam semesta Indonesia tanah tumpah darah Kcmanusiaan sumber Kasih dan Tjinta Keadilan sosial sudah perdamaian bangsa-bangsa Kedaulatan rakjat sumber kuasa negara Ibu Pertiwi mulai dibakar sepi Dibadai topan rindu dan dahaga Baru belasan tahun menggentarkan dunia Sinar putih berapi pada pudar diwadjah Njanjian dan lagu bangga djadi sajup anak tjutju kotjar katjir kehilangan gembala dipadang luas tak bertepi Ibu Pertiwi — madjulah mendjeladjah dunia Djangan oleng ditengah dua karang raksasa Putera-Puterimu berbagai tjorak muka Adat istiadat dan Kejakinan hidup jang berbeda Tapi satu djuga Dalam taman B H IN N E K A T U N G G A L IK A 2.
Sekedar bahan bantuan bagi Sidang jang tertjinta in!, maka kam! lampirkan pula Statement Partai kami beberapa hari jang lalu : lampiran II. (lihat lampiran).
Sdr. Ketua jang terhormat. Demikianlah tanggapan kami dari Fraksi Partai M U R B A tentang R U U jang bersangkutan, semoga dapat diselesaikan bersama dengan sebidjaksanabidjaksananja. Terima kasih, merdeka seratus persen. Djakarta, 28 Oktober 1968. Statement Partai Murba. B U L A T K A N P E R S A T U A N N A S IO N A L , T JE G A H PEkT E N T A N G A N D A N S A L IN G S A L A H - M E N JA L A H K A N k e D A L A M . LE P A S K A N K E T E R G A N T U N G A N P ER D A G A N G A N IN D O N E S IA P A D A S IN G A P U R A . Berhubung dengan perkembangan situasi dalam negeri setelah pemerintah Singapura melakukan tindakan biadab menggantung-mati dua orang pradjurit KKo-AL Republik Indonesia, djustru disaat-saat telah dihentikannja konfrontasi dan dipulihkannja kembali hubungan persahabatan antara kedua ne gara, maka Dewan Partai Murba menjatakan sbb.: 83
1.
pemerintah Singapura telah n ja ta 2 m elakukan tindakan pernnisuhan dan provokasi terhadap negara dan rakjat Indonesia :
2.
a d a n ja gedjala 2 jang kuat, bahw a pemerintah S ingapura telah dipera’at oleh kepentingan 2 kaum imperialis dan djaringan- subversi international jang berusaha m enggagalkan persatuan serta persahabatan negara- dan rakjat 2 di A sia T engqara, jang dim ulai dengan m em peruntj;ng masalah sengketa Sabah antara M alay sia dan F ilipina :
3.
tindakaxi biadab pemerintah S ingapura terhadap dua orang pradjarit A n g k a ta n Bersendjata Republik Indonesia b a r ir ini, djelas mcrupakan provokasi kaum imperialis dalam usahanja m em pertahankan dominasi politik, ekonomi dan m ilitem ja di A sia T enggara :
4.
diatas dasar konstatasi dan sin jalemen- terhadap gedjala-gcdjala terse but diatas, Partai M urb a m enjerukan kepada Pemerintah dan seluruh lapisan R ak jat Indonesia : a.
membulatkan kesatuan dan persatuan nasional dengan djalan mentjegah gedjala-’ membeloknja situasi m endjadi pertentangan dan saling salah-menjalahkan antara kekuatan'- nasional didalam negeri satu sama lain ;
b.
melepaskan ketergantungan Indonesia dibidang ekonomi-perdagangan selama ini kepada Singapura, guna m entjegah adanja tindakan 2 penghinaan selandjutnja oleh pemerintah Singapura terhadap negara dan rakjat Indonesia .
c.
m enjiapkan dan m enghidupkan sarana'-’-kekuatan nasional Indonesia dibidang perekonomian dan perdagangan sesLiai dengan kedaulatan R epublik Indonesia jang besar dan kaja-raja dengan A ng katan Perangnja jang terkuat di A sia T enggara.
Djakarta, 24 Oktober 1968. D ew an Partai Partai M u rb a Ketua U m u m ttd. __Sukarni K artodiw irjo
Sekretaris U m u m ltd. Sugiarto M urbantoko
D O E R M A N S.H. (N .U .) : Assalamu’alaikum w. w. Sdr. Ketua jang terhormat, Sdr. M e n te r i/W a k il Pemerintah jang ter horm at serta rekan 2 para anggota jang dim uliakan. Pembuka-kata : ..Ape Patria Justitia Indonesia, mariturite salutant’’ m aksudnja : ,,H idup D ew i Justitia Indonesia, sambutlah salut kehormatan setinggi-tingginja’’. Seterusnja perkenankanlah kami dari Fraksi N .U . menjam paikan utjapan terima kasih jang tidak berhingga pada Pemerintah plus para anggota Panitia N egara, jang telah m enunaikan dharma-bakti hasil" karyanja dalam m entjiptakan/m enjusun kedua R U U jang dihadapi dewasa iiii: 84
1.
RUU dan
tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok K ekuasaan K ehak im an,
2.
R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tja r a M a h k a in a h A g un g .
D alam pem andangnn umum tk. I l l ini kami tjoba m enjusun tan g g ap an ini bcrupa : I. Pendahuluan II. U m um , sedjarah Peradilan, keadaan H u k um III. Cluisus mengenai kedua R .U .U . dan I V . K esim pulan/P enutup. I.
Pendahuluan.
Sem endjak dekrit Presiden jang terkenal tanggal 5 D ju li 1959, sudah dapat d'katakan menurut peribahasa Belanda : ’’H et daagnet in *t O o ste n ’’ tentang kem balinja kita pada U U D -45. tegasnja pada djiw a P ro klam asi 17 A gustus 1945. sinsingan fadjar dinfuk T im ur telah m endjadi suluh-bendang penerang bumi dari sang matahari. jang diharap-harapkan untuk dim anfaatkan m enjuburi bum i penghuni R .I., tetapi barulah sekarang w a k tu n ja datang , sesudahnja hembusan taufan datang m enjapu kabut-awan gelap jang mendekap m enjelewengkan tjahaja sang surya ; dengan ketegasan isi pidato P re siden tanggal 16 A gustus 1968 baru ini, jang m engandung ’itjkad bajk, tulus dan ichlas dari Pemerintah untuk setjara m um i dan konsekwen m elaksanakan U U D - 4 5 , diantaranja Presiden berkata : ,,D alam rangka usaha kita jan g sungguh-sungguh untuk menegakkan sistim konstitusionil dan m enegakkan H u k um , maka kita dapat m enjatakan dewasa ini, bahw a kekuasaan K eha kim an benar- telah merupakan kekuasaan jang merdeka, artinja terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah’', diiringi dengan bukti ad an ja pengirim an berbagai R U U pada D P R G R , diantaranja kedua R U U , jang dibitjarakan, dibahas dan diselesaikan hendaknja dalam masa tahun sidang ini dengan sebaik-baiknja. A ta s usaha dan ’itikad baik Pemerintah untuk setjara murni melaksanakan U U D - 4 5 demi tegaknja hukum disegala bidang tidak sadja d ib id a n g legislatif, istimewa dibidang eksekutif/pelaksana/aparatur N egara, akan dapat sam butan baik dari segala lapisan masjarakat D a lam dan Luar Negeri* Mudah-mudahan djang anlah sembojan Rule of Law itu djadi lip-service atau hiasan diatas kertas belaka. S audara Ketua jang terhormat, hadirin dan hadirat jang m ulia. S e d ja la n / sehubungan dengan T ap M P R S N o. X I X / M P R S / ’66 tentang penind jau an kembali product 2 legislatif N egara diluar product M P R S jang tid ak sesuai dengan U U D - 4 5 diantaranja pasal 3 m enjatakan, bahw a U ndang - u ndan g dan Peraturan Pemerintah P e n g g a n t i U ndang-undang jang m emuat materi jang bertentangan dengan U U D - 45 d ifn d ja u kembali ; chususnja U U N o . 19 tahun 1964 tentang k e te n tu a n - k e te n t u a n Pokok Kekuasaan K ehakim an d an U U N o. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m u m dan M a h k a m a h A g u n g perlu mendapat tindjauan lebih lan djut, oleh karena ada ketentuan jang didalam nja bertentangan setjara diameteral dengan azasdalam N egara H u k um atau R ule of Law, jang m engakui P eradilan jang bebas sebagai unsur essensiil dan memastikan.
II.
IIm um . Scdjarah Pcracli'an Hukum . a). 11M U M .
N e g a r a R c p u b l i k I n d o n e s i a a d a l a h s u a t u N e g a r a j a n q m c m p u n i r . i organ is a s i K e t a t a n c g a r a a n j a n g ber si st i m P c m e r i n t a h a n . .seperti j a n q d i t e g a s k a n d a l a m L I L I D - 4 5 sbb. : ,.Indonesia a d a la h N e q a r a j a n q b c r d a s a r k a n alas lnikuin ( R e c h t s s t a a ' ) sebagaim ana termaksud dalam pendjelasan U lID -45. t c g a s n j a bci'arti N e gara R.I. adalah N e q a ra H u k n n i bcrdasarkan kepada K edaulatan R a k ja t : d a n k e d a u l a t a n R a k j a t b u k a n l a h a n a r c h i c . K e d a u l a t a n R a k j a l t i d a k nienqi d u i n k a n o r a n g a t a u q o l o n q a n b e r t i n d a k s e n d i r i ’-’ t e n t a n g l i u k m n . K e d a u l a t a n R a k j a t m e n q h e n d a k i k a t a i m i f a k a t d a r i P c r w a k i l a n R a k j a r t e n t a n g seqal a j a n g m e n g e n a i p e n g h i d u p a n ui nuni . h a n j a P e m e n ' n t a h l a h j a n g b e r h a k me!aks a n a k a n h u k u m d e n g a n p e r a n t a r a a n M a h k a m a h - ( P e n g a d i l a n - ) -n ja. Perseo r a n g a n t i d a k bol eh m e n d j a l a n k a n h u k u m se n d i r i ( e i g e n r i c h t i n g ). B i a r p u n d i k a t a k a n sct jar a t i d a k l a n g s u n g . t etapi d a l a m L I n d a n q - u n d a n q tel ah t j u k u p t e r t j a n t u m b e b e r a p a p as a l j a n q m e m b u k t i k a n . bahwa N c q a ra R.I. adalah N e q a r a H u k u m . m i s a l n j a : . .P r e s i d e n R c p u b l i k I n d o n e s i a m c m c q a n q k e k u a s aa n P e m e r i n t a h m e n u r u t L I n d a n q - u n d a n q D a s a r ’’ ( p a s a l 4 a j a t 1) d j a d i Presiden dalam mendjalankan k ' e k u u as a a n n ja t er i kat ol eh hukum, j ai t u
Undanq-undanq Dasar. Selandjutnja pasal 23 U U D - 4 5 menqatakan. bahwa A nq qa ran Pendapatan dan Belandja N e q a r a ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Llndangundang, (ajat 1 ) . Segala padjak untuk keperluan N e q a r a berdasarkan llnd an q-u nd ang (ajat 2 ) , dsb. Istimewa didalam suatu N e q a r a Hukum m a s j a r a k a t didalamnja tentulah hidup didalam lingkunqan peraturan'- dan ketentuan- atau dengan lain perkatan anggota masjarakatnja tidak bisc\ bcrtvndak V\aUnp SiKlia. i\.V\ teVmyat pada peraturan- clan ketentuan- jang menqatur sesuatu didalam kehidupan masjarakat, umpamanja mengatur h u b u n g a n perseorangan seperti mengatur pertalian pamili. keahliwarisan. perkawinan, hutanq-piutang, sewa-menjewa. djual-beli dan sebagainja ; djuga hubungan perseorangan dengan N e g a r a umpamanja : kewadjiban seseorang menta ati ketentuan- jang dibuat oleh Nega ra, kewadjiban membajar padja k ataupun kewadjiban N e ga r a terhadap w ar g an ja , seperti memberikan pendidikan setjukupnja dan sebagainja. Peraturan2 dan ketentuan- ini dibuat oleh alat-alat (badan ) negara jang chusus bertugas untuk itu jaitu Par le m e n/ De wa n Per wak il an R a k ja t ( D P R ) , oleh Menteri, oleh Pemerintah2 Daerah berotonomi dan lain2 mempunjai hak kewenangan didalam itu. B a h w a setiap anqqota masjarakat berkewadjiban menta ati peraturan dan ketentuan- itu tak dapat disangkal lagi, rnereka talc dapat bertindak sesu~ ka hati, mereka harus mengatur penghidupannja sehari-hari menurut garis tertentu, sesuai dengan peraturan dan ketentuan tersebut. M en g elu ar dari garis2 peraturan2 dan ketentuan2 itu mengakibatkan sesuatu tindakan atas diri mereka oleh alat N e g a r a jang chusus bertugas mengawasi dan memelihara perwudjudan peraturan2 dan ketentuan2 tersebut dengan lain perkataan 86
..sanksinja" untuk tiap- perbuatan jang melanggar peraturanJ dan ketentuan jang chusus pula untuk itu begitupun jang berw enang m elakukan sesuatu tindakan itu tidak pula dibenarkan dengan se-mena” atau se-wenang- sadja melakukan garis peraturan- dan kecentuanJ jg. tertentu, sebab ,,eigenrichting’ sekalli-kali tidak diidjinkan. M enjim pang dari ketentuanJ tersebut m cngakibatkan pula suatu akibat atas diri petugas Negara itu. U m pam anja : Bilamana tindakan paksa atas seseorang jang melakukan sesuau perbuatan jang dapat dihukum dilakukan oleh seorang petugas Negara jang chusus ditugaskan untuk itu, maka akibatnja akan m cnjerupai tindakan paksa pula atas diri sipetugas, karena m enurut pasal 421 K U H P jang berbunji : Seorang pegawai Negeri jang dengan menjalah gunakan djabatan memaksa seseorang melakukan, tidak m elakukan atau membiarkan sesuatu dihukum dengan hukuman pendjara setinggi-tingginja 4 tahu n” . T indakan paksa dari seorang jang bukan petugas N egara, pun tidak dibenarkan, karena jg. m e la k u k a n sedemikian, adalah bertindak d ilu a r hukum dan akan mengakibatkan pula suatu tindakan ^ paksa atas dirinja dari alat N egara jang berhak, biarpun dasar pokok ini m em punjai djuga beberapa pengetjualian. T indakan seseorang terhadap seseorang lainpun biarpun terang bersalah m isalnja telah terbukti melakukan korupsi lalu ditjuhk adalah d ilu a r hukum , sekalipun jang bersalah itu dikemudian diserahkan kepada A la t N e gara, karena pentjulikan jang sedemikian diantjam dengan hukum an pendjara menurut pasal 333 K .U -H .P. jang berbunji : .Seorang atau seseorang jang dengan sengadja tanpa hak merampas kebebasan bergera atau me an jut can
perampasan kebebasan bergerak seseorang dihukum dengan hukuman pendiara setinggi-tingginja 8 tahun". Begitupun tindakan penang apan o e perorangan atas seseorang dengan alasan Alat Negara jang er a a ai a a m ewa djibannja melakukan penangkapan itu. adalah diluar hukum. sekahpun ,ang ditangkap adalah terang bersalah.
Demikian pula tindakan p a k s a dengan ant jaman oleh perseorangan ter hadap criediteurnja supaja hutang dilunaskan ada a 1 uar u u Tindakan sedemikian rupa diantjam dengan hukuman pendjara menurut pasal 335 ajat I
kan setinggi2nja , tahun atau denda
Rp. 300,— . . , ,. t . .f . Membiarkan terdjadinja tindakan- seperti terse ut la ointu ba »• • • I..* »» 1 Mal-im-liakiman sendiri, berarti membuka pmtu oaeigennchtug atau maan Hak m-hatarwn « memaksakan kehendaknja atas gi setiap orancr anq merasa d in tjukup Kuac memdNM sesamanja, baik kehendak itu dalam alam fikirannja m aup-ii
memang diketahui berlawanan dengan hukum. lah tjita2 Negara Hukum itu menjerupai chajal beWw dan dalam masjarakat dalil : ’’Kekuasaan adala e e n a ra n ■
ifn tetao-
berlakulah diberlakulah di opdemikian is-
Kehendak "jang tidak berdasar atas hak tidak mungkin diwudjudkan mendja di kenjataan, demikian pula kehendak jang berdasarkan atas hak hanja dapat 87
dipaksakan dengan perantaraan alat N egara iang chusus ditugaskan untuk itu. B erd jalann ja hukum dengan baik. adalah suatu kepentingan utama. baikpun bagi N e g a ra m aupun bagi w arga negaranja. D e n g a n b e rd ja la n n ja hukum sebagaim ana mcstinja. terpelihara'.ah kepenti ngan- N e g ara dan w arg anja tim bal balik. Sekarang tim bul pcrtanjaan : A la t N egara jang m anakah jang chusus clitugas kan untuk m endjainin kelantjaran H u k um didalam N egara 1 D ja w a b n ja : T id ak lain dan tidak bukan ialah Badan- Peradilan dari N e gara.
b ).
Scdjarnh peradilan di Indonesia.
U n tu k kelengkapan pandangan umum ini dirasa acla m anfaatnja djuga diang kapkan sedikit sedjarah peradilan d itanah tum pnh darah kita Indonesia ini jaitu scbagai berikut : Peradilan di Indonesia telah m engalam i perobahan bcsar sesudah D je p an g menjerah dan djuga setelah penjerahan K edaulatan. jaitu didalam atjara Pidana, m aupun dalam atjara Perdata. Perobahan jang paling njata ialah meningg alkan ’’dualism e’’ dalam hukum atjara dim Lika Pengadilan, sedangkan perobahan jang kedua ternjata dalam hal sifat jang sederhana dari tjara berperkara. Perobahan ini berhubungan dengan perobahan- da'am susunan Pe ngadilan. O le h karena itu dengan setjara garis besar dikem ukakan disini Se djarah A tja ra Pengadilan dan susunan berupa djenis- P engadilan di Ind o ne sia. D a la m hal ini harus dibeda-bedakan zam an jang berikut : A . Z am an selama kekuasaan Pem erintah Belanda 1848 sampai dengan petjah perang dengan D je p a n g . M e n u ru t Rechterlijke O rd o n n an tie ( R .O ,) -|- ludvschc
1. 2. 3. 4. 5. B.
C.
Peradilan ,, ,, „ ,,
dulu
Z am an sesudah D jep ang menjerah sampai penjerahan Desem ber 1949. M e n u ru t U .U . R .I. N o . 19/48 susunannja adalah :
3.
tahun ( J S .)
Pemerintah (G o u v. Rechtsspraak) A d a t (In h . Rechtsspraak) S w apradja (Zelfbest. Rechtsspraak) A g a m a (G odsdienst Rechtsspraak) D esa ( Dorps-justitie).
Z am an selama kekuasaan D je p an g (1942 - 1945). K eadaan tetap seperti djam an B elanda. hanja dasarnja : dilan untuk golongan bangsa, ketjuali bangsa D je p a n g .
1. 2.
sedjak
S atu Penga kedaulatan
P e ng adilan Negeri „ T in g g i M a h k a m a h A g un g.
B erpendirian : Satu Pengadilan untuk semua golongan B angsa satu kedjaksaan U m um ( O .M .) dibaw ahi D ja k s a A g u n g . 88
27
dan
Zaman dari 27 Desember 1949 sampai sekarang. Menurut LIndang-undang darurat No. 18 tahun 1950 (L.N . No. 27/ 1950) badan2 Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan Kedjaksaan pada Pengadilan- telah dilaksanakan dan untuk madjelis jang tertinggi Mahkamah Agung diadakan satu peraturan dengan U .U . No. 1/1950 (L.N. No. 30 tahun 1950). Ringkasnja ada Peradilan Umum jang terdiri dari :
Pengadilan Nege-
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung serta Pengadilan Administrasi Pemerintahan ditambah lagi dengan Pengadilan Ketentaraan jang terdiri dari : Pengadilan Tentara. Pengadilan Tentara Tinggi, •Agung dan Pengadilan Tentara Luar Biasa.
Mahkamah
Tentara
Disamping pengadilan jang tersebut diatas ada Pengadilan sekedar dia kui oleh Negara jaitu : Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapradja. dengan Undang-undang No. 19/1964 dan No. 13/1965 jang a kan dirobah sekarang ini. D ita m b a h
c).
Keadaan Hukum.
..Pantarei” , kata Heraklites. jang berarti ..semuanja mengalir” atau kata °v id iu s : ..Omnia mutontur, nihil intent”, jaitu ..semuanja berobah dan tak adalah jang hilang lenjap’’. Menurut hukum alam semuanja tidak ada jang tetap. atau semuanja ber obah. Masjarakat manusiapun ikut berobah, dus djuga mengalir ; oleh karena itu hukum jang mengatur masjarakat dan manusia itupun harus djuga berobah menurut keadaan, tempat dan waktu. Hukum itu tidak dapat membeku dengan tidak memperdulikan masjarakat jang terus menerus mad,u kemuka. Sekarang timbul pertanjaan : Bagaimanakah djadinja engan u m jang tert.ilis jang telah dimasukkan kedalam codifikasi Karena dengan cod)f,kas., maka hukum itu djadi membeku sukar untuk berobahnja. Djawab : Letaknja ialah dalam ketjerdasan, kebidjaksanaan dan kedaJa™ ilmu pengetahuan seseorang Hakim, jang akan menunbang dan memutuskan sesuatu perkara. ] • •itu , Hakim adalah orang jang mencyc.
tt
t i ijpnnmeneq
tidak ada pada waktu codifikasi disusun. Untuk mengatasi kesulitan/kesukaran ini, maka ahli
^
V o n Savigny memberikan dalilnja jang te9a® J aiam codifikasi itu bukanlah apa jang kita bikin dan apa jang kita tuliskan dal;am “ dihkas1 itu belaka. ..Das' Recht ist nicht gemacht, das Recht st undI lebt met dem Volke”, artinja hukum itu bukanlah apa jang dibikm, tetapi apa jang ada dan apa jang hidup bersama rakjat. Dengan a i ini g y 89
beri kepastian, bahwa hukum iiu liarus dinamis. menurut aliran djnman. agar betul2 hukum itu dapat mendjalankan dharmanja, jaitu sebagai tata kehidupnn dalam segala bentulc dan sangkut pa.itnja perhubungan mereka. Para IIakini dalam menegakkan hukum betul tetap memandang kodifikasi sebagai pedoman dan patokan untuk mendjamin tentang sunggah2 adanja kepastian huku-n (rechtszekerheid), tetapi dia tidak akan membisu menurutkan bunji kata-katn dalam kodifikasi itu belaka. Disana sini para Hakim itu akan mengtikur tjap peristiwa dengan ukuran rasa keadilan jang lebih schat menurut pertimbangan rakjat, jakni ukuran keadilan dengan berdasarkan adat kebiasaan dan pikiran jang bersih. Dengan demikian, maka hukum2 jang ada itu dapatlah dibentuk menurut bentuk jang dihadjatkan, sehingga terdapat pulalah kelemasan hukum (rechtsleningheid). Adanja rechtszekerheid perlu untuk menjatakan keadilan jang tegas tepat dan adanja Rechtsleningheid perlu untuk mentjiptakan hukum jang hidup. Dengan setjara ini maka hukum jang teriuHs jang membeku itu dapat djuga hidup terus mengikuti ramannja dengan tidak mengorbankan rasa keadilan dalam adat kebiasaan orang setcmpat. bahkan menghargai keadilan mereka jang murni itu sebagai pertimbangan. Gunanja kelemasan hukum tidak sadja untuk dapat menjesuaikan hukum- jang sudah ada terlebih dulu dengan peristiwa2 baru jang tidak begitu menjimpang dari ukuran1' keadilan setjara umum, tetapi djuga supaja para hakim dapat menegakkan hukum itu dengan sebaik-baiknja, selaras dengan tugasnja dan dapat mengalirkan kehidupan hukum itu kearah jang benar, dengan perkataan lain para hakim djuga harus memberikan saluran2 dari tiap2 aliran baru jang timbul dalam masjarakat diwaktu itu. Disamping membela hak-hak jang harus diperlindungi oleh hukum, ia djuga harus memberi didikan pada masjarakat, jang manakah jang dikatakan keadilan jang harus didjundjung tinggi oleh rakjat. Dan tiap-tiap putusan Hakim itu adalah memberikan ketentuan jang pasti bagi orang banjak mana jang hak dan mana jang menjimpang dari kebenaran. Dengan djalan begini maka para Hakim djiuga mempertjepat djalannja proces kemadjuan pikiran rakjat dalam mentjari keadilan jang luhur. Tu ga s dan kewadjiban dari Hukum itu ialah untuk mendjadi alat mentjapai keadilan dalam masjarakat ; dengan adanja aturan'-' hukum dapatlah ditetapkan mana jang adil mana jang tidak. Dapatlah dikatakan dengan tegas, bahwa aturan2 hukum itu merupakan garis tegak lurus putih, jang memperbedakan jang gelap dan jang terang jang membatasi antara jang salah dan jang benar. Hukum adalah djalan untuk menudju keadilan jang maha luhur. Sekarang timbul pertanjaan : ,,Apakah jang dikatakan keadilan itu ? Dari segi T h eo cratic, maka adalah keadilan itu segala sesuatu perbuatan jang diridhai Theos (Tuhan). Seorang jang mengharapkan keridhaanNja hendaklah berlaku adil daiam segala tindak tanduknja, baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan. Lawannja ialah tjurang, jaitu sesuatu perbuatan jang dibentjinja. Memang seorang atau seseorang akan pajah berlaku adil, sebelum ia sanggup menghilangkan perasaan membeda-bedakan antara famili sendiri dengan orang 90
lain, diw aktu ia menjaksikan sesuatu perkara atau m endjatuhkan hukum an. D isini perlu diterangkan sedikit tentang adat kebiasaan manusia ; um pam anja manusia akan menjairuh orang lain mclakukan kebadjikan. T etapi kalau kebadjikan itu menghadap dia. atjapkali dia tinggalkan. K edjahatan jang paling besar, bila tcrbit dari perbuatannja nistjaja m endjadi keringanan pada pandangannja, jakni ditjari-tjari supaja kedjahatan jang besar itu tam pak rin g an dim ata manusia. Tetapi kalau kebadjikan jang paling baik terbit dari perbua*tan orang lain scringkali m endjadikan tempat perbantahan, jakni tid a k lekas diterima. Jang discbut diatas m enundjukkan bahwa si fat m anusia itu suka membela diri sendiri, w alaupun dalam bersalah dan djuga m enjalahkan perbuatan orang lain w alaupun perbuatan orang lain itu dalam kebenaran. S ud ah tentu sifat jang terscbut itu tidak baik ada pada diri seseorang jang hendak mentjapai keutamaan hidup bermasjarakat jang harmonis dalam Negara. Pcndek kata jang salah tctap disalahkan, jang benar dibenarkan de ngan tidak pandang bulu siapa jang melakukan, sekalipun anak kand un g sen diri. M enim bang sama berat. menjukat sama penuh, sehingga dalam hukum tertjapai tudjuan keadilan. T idaklah ibarat membelah betung, jang satu diind jak jang satu diangkat. D ialam persada bumi ini jang dialam i o eh um m at manusin dari pelbagai tjorak ragam pandangan hidup (W elt- anschaun g) se suatu golongan bangsa dan masjarakat, maka timbul pelbagai pand an g a n atau theori terhadap keadilan ini sehingga tjorak keadilan itu d in ja ta k a n n ja m enu rut pand ang an masjarakat. U m pam a : A p a jang adil menurut bangsa p e n d j a d j a h (kolonial) tidaklah adil memurut si-terdjadjah. A pa jang adil kata kutjing ti a a 1 a i kata tikus. K esim pulannja fc^lumlah ada dapat diperole latas ^ unia se suatu rumusan keadilan jang universil atau jang maha lunur seperti jang im gini selagi um m at manusia ini tidak dapat mengendali an aw a n a su e d u n ia a n n ja dan tidak m em punjai kejakinan beragama. T etapi in.i bukanlah berarti keadilan itu t id a k ada m elainkan tjuk u p ada, dan tjukup dirum uskan didalam hukum jang dibikin oleh manusia a P**n jang tertulis m aupun jang tidak tertulis, jang d id jad i an pe om an 1 p didalam m asjarakat dan organ Negara. Ulpianus berkata : ,Ju stitia est constans et perpetua voluntas ius suum q»uique tribuens,, dan ,,juris pralsept sunt hoec : honeste vivere, * -n ° n laedere suum cuique tribuere *, m aksudnja ,,keadilan ada a^ e en a jang tetap dan jang tak ada achirnja .untuk memberi pada tap- orang apa jang mendjadi h a k n ja ”, dan „peraturan- dasar hukum a d a la h : hidup dengan patut, tak m erugikan orang lain, memberi pada orang lain apa jang men ja 1 bagiannja'\ U n tu k m entjapai keadilan keduniaan ini, m aka th e °rie T r lJ s . jan g dikemukakan M ontesquieu dalam bukunja : „L E s p in t des Lois lah sangat terkenal. M en uru t M ontesquieu supaja p e n g h id u p a n .N e g a ra d ap at teratur baik, m aka kekuasaan dalam N egara itu sebaiknja dibagi m endj tiga, jaitu :
a. b. c.
Kekuasaan Legislatif, ialah kekuasaan membuat Undang-undang J „ Exekutif , .. untuk mendjalankan Undang-undang ; „ Juridis (judicatief) ialah kekuuasaan untuk mengadili. 91
K etiga kekuasaan ini harus dipisah-pisahkan dan mas'ng-masing kekuasa an harus dipegang oleh B adan jang berdiri sendiri-', terpisah satu sama lain dan tidak saling raempengaruhi. D engan dem ikian dapat diharapkan, bahw a hak dan kebebasan w arga negara dapat terdjam in. D i A m erika Serikat adjaran M ontesquieu ini didjalankan. Presiden A m er'ka Serikat sebagai Kepala dari Badan Hxekutief memegang kekuasaan sendiri, terpisah dari kekuasaan Legislatief dan kckuasaan Ju d catie f. B agaim ana di R epublik Ind o ne sia? U ndang- undang D asar 1945 memakai sistim pertanggungan djaw ab Presiden. D ja d i Presiden memegang sen diri kekuasaan executif, sedangkan M entcri- adalah sebagai pembantu Presiden dan harus bertanggung-djaw ab kepadanja. H a l ini m engingat kita akan pemisahan kekuasaan jang dipakai di Amerika Serikat. w alaupun dalam beberapa hal sistim U .U .D .-45 adalah tidak sama dengan sistim pemisahan. U m p a m a n ja dalam soal kekuasaan Legislatif menui'ut pasal 5 U U D - 4 5 d katakan : ,,Presiden memegang kekuasaan membentuk U .U . dengan pcrsetudjuan D .P .R .’’, sedangkan di A m erika Serikat kekuasaan menibuat U .U . terletak ditangan Congress. M enurut U U D - 4 5 sebagai suatu N egara jang berbentuk Kcsatuan mengenai satu hierarchie P engadilan dengan M ah k am a h A g u n g dipuntjaknja, serta H u k um N asional dilaksanakan diseluruh Negara. Kekuasaan Pengadilan sebagai kekuasaan ketiga menurut Trias Politica berkewadjiban memberi keputusan jang seadil-adilnja dalam perkara-perkara pidana, sipil, m aupun pidana m iliter dan djuga perkara- Perdata jang diadjukan kepadanja. Soal2 mengenai kekuasaan Kehakim an ini dalam U ndang-undang D asar 1945 diatur dalam pasal 24 dan 25 jang m enjatakan : ,.Kekuasaan Kchakiman dilakukan oleh M ahk am ah A g u n g dan lain- badan kehakiman menurut Undang-undang. Susunan dan kekuasaan bad an 2 kehakiman itu diatur dengan U ndang-undang (pasal 2 4 )’’. Sjarat 2 untuk m endjadi dan untuk memberhentikan sebagai H akim ditetapkan dengan U ndang-undang (pasal 25). Tegasnja dapatlah ditarik kesimpulan, bahw a didalam N egara Republik Indonesia adalah satu-satunja badan jang berwenang melakukan penjelesaian atas sesuatu pelanggaran hukum. baikpun jang dilakukan oleh w arganegara ataupun oleh pribadi organ- kenegaraan ialah badan kekuasaan jang ketiga menuriut Trias Politica atau dengan lain perkataan Pengadilan 2 Negaralah jang berhak memberikan keputusan (vonnis) ■via H a k im 2 jang mengetuai persidangannja. Bagaim ana pentingnja peranan H ak im didalam melabuhkan keadilan menurut H u k um sangatlah dirasakan dan diharapkan tinggi oleh masjarakat ramai. Istimewa putusan jang berisi penuh keadilan, tidaklah akan dapat bantahan dari Siiapapun dan akan merasa puas masjarakat dan berbahagialah N egara m em punjai H a k im 2 jang telah melakukan putusan sede m ikian rupa, dan tertjapailah dasar tudjuan N egara sebagai N egara H ukum . Tetapi baga,imana dalam prakteknja ? M asih banjak jang m enjalah gunakan kekuasaan disadari atau tidak disadari, disengadja ataju tidak disengadja 92
‘dalam bidang kewenangan masing- diberbagai Peradilan dan Pengadilan. ukanlah maksud kita disini hendak mengungkapkan segala matjam kepintjangan jang bersimeradjalela itu, tetapi sekedar membajangkan bahwa rupa*uPanja manusia ini ibarat mesin jang apabila minjak pelintjirnja kurang ^ ’perhatikan, maka seretlah djalannja mesin itu. Telah mendjadi rahasia umum ^ ah\va dimana-mana seeing terdjadi penekanan, penindasan dan main Hakimhakiman sendiri dari badan jang menganggap dirisija berkuasa. Tjontohnja seperti jang telah kedjadian atas dliri beberapa rekan- kita sendiri didaerah^aerah jang diperlakukan mengeluar dari huk/um dan peri kemanusiaan c.q. ^lcW g g a r hak azasi manusia, Istimewa lagi apabila perasaan sentimen ikut j^rbitjara maka hilang lenjaplah keadilan menurut hukum. D jadi tepat benarah apa jang dikatakan Pemerintah dalam keterangannja. bahwa tudjuan ada*ah untuk ..rechtzetten” menegakkan setjara hukum sesewaktu jang dahulu adalah ..onrecht" bertentangan dengan hukum sangat pada tempatnja dilakukan sekarang. Pelarangan turut tjampur Badan2 lainnja dalam bidang2 Pera dilan ini sangat tepat sekali.
Sekarang timbul pertanjaan : Siapa jang berwenang memberikan putusan aPahila ada clash antara Pemerintah dengan masjarakat ? Pertentangan mana rnengakibatkan pelanggaran Hukum, dilakukan oleh kedua belah pihak, dengan lain perkataan perbuatan'J/tindakan2 jang mengeluar ketentuan Hukum dila kukan oleh kedua belah pihak, seperti kedjadian dalam peristiwa jang terkenal sebagai berikut : ,,Peristiwa 3 Djuli tahun 1946” antara almarhum Prof. Mr. Moch. Yamin dkk. dengan Pemerintah (Kabinet Sutan Sjahrir), dalam peristiwa mana dituduhkan kepada Mr. Moch. Yamin dkk. melanggar pasal 88 bis dan 107 ajat (1) dan (2) KUHP, seperti jang disebut dalam bukunja jg. bernama ..Sapta Dharma” jang merupakan „Apologie pembelaan tindakan politik 3 Djuli”, didepan Mahkamah Tentara di Jogjakarta 1948. Dalam buku tersebut pada dalil II tentang : Kesetiaan kepada pembentukan manusia merdeka. Beliau mengatakan : Manusia merdeka (homo liber) dengan sekumpulan hak manusia, pertama kalinja telah dituliskan dalam pia9am Raya (Magna Charta) 1215 jaitu perdjandjian Tunnymoad disungai Thames antara Radja John Lackland dengan kaum ningrat dan rakjat Inggeris.
Dalam piagam itu, tersebut dalam pasal 36 : ,,Nulus liber homo capiatur, vel imperisonetur aut, dlisaisaitur nisi per legale judicium parium suorum vel periegom terrae” (..Manusia merdeka tidak seorang djuga boleh ditangkap, dikurung atau ditawan ............. selain dalam hal jang telah ditentukan me nurut putusan Hakim jang sjah atau menurut aturan Daerah” ). Ratio Magna Charta ini selainnja beriai djandji jang menandakan kemenangan aristokrasi feodal dan rakjat terhadap radja John Lackland, ialah Kepala Negara (Pemerintah) tak boleh bertindak sewenang-wenang, merampas atau membatasi kemerdekaan manusia merdeka jang mendjadi anak buah Negara. Kepala Negara jang insjaf akan kewadjibannja harus tunduk kepada atiuran Negara jang menentukan tjara dan apabila kemerdekaan diri anak buah boleh dibatasi. Pembatasan diri itu boleh dilakukan hanja dengan kekuatan putusan Hakim atau menurut aturan Undang-undang jang telah ditentukan lebih dulu. - i t . Manusia merdeka jang mempunjai hak perlindungan Negara mi telah didiirikan dimana-mana seperti terbukti dalam beberapa zaman sedjarah. Sungguhpun didalam UUD-45 R.I. hanja didjamin dalam garis besarnja hak ma nusia itu didalam kata pembuka dan sedikit - sedikit dalam batang tubuh 93
UUD-45 tetapi dengan dasar Pantjasilanja jang diakui mendjadi dasar Ne gara Hukum, maka sewadjarnjalah segala sesuatu persengketaan jang berupa pelanggaran hukum, baikpun dilakukan oleh Negara (Pemerintah), maupun oleh masjarakat dan warganegaranja, timbal balik, diputus oleh Mahkamah Peradilan negara jang chusus bertugas untuk mentjari kebenaran jang hakiki, baikpun materiil ataupun formil, buat mentjapai keadilan jang ditudju dida lam Negara Hukum, dengan lain perkataan Mahkamah- Peradilan Negara haruslah bertindak tegas dan tepat tanpa pilih bulu untuk menegakkan keadi lan didalam Negara Hukum satu dan lainnja untuk djaminan adanja rechts zekerheid didalam suatu rechtstaat. III.
Chusus mengenai kedua R U U .
Setelah mempeladjari meneliti dan membandlng mateni U .U . 19/64 de ngan R.U .U . penggantinja ini ternjata 6 Bab dengan 31 pasalnja dari U U 19/’64 didjadikan 10 Bab dengan 43 pasal pasal dalam R U U . ini. Seterusnja diambil dibawah ini perbandingannja, sistimatiknja dan sebagainja sbb. : U .U . No. 19/64
R.U .U . jang baru.
1. BAB
I.
Ketentuan Umum (pasal 1-6)
1. BAB
I.
2.
II.
Kekuasaan-Kehakiman (pasal 7-17)
2.
,,
II. Ketentuan (psl. 3-9)
III. Hubungan Pengadilan dan Pemerintah (pasal 18-19)
3.
,,
III. Badan- Peradilan dan azas-nja (psl. 10-22)
4.
IV . Hakim dan Kewadjibannja (psl. 20-23)
4.
,,
IV . Hubungan Pengadilan dan Lenibaga Negara lainnja (psl. 23-24)
5.
V. Pelaksanaan Putusan (psl. 24-25)
A
V I. Bantuan Hukum (psl. 26-31)
Umum
5. BAB
V. Hakim dan Kewadjibannja (psl. 25-27)
6.
V I. Kedudukan Pedjabat Peradilan (Pengadilan) (psl. 28-31)
,,
7.
,,
V II. Madjelis Pertimbangan Penelitihan H a kim (M P P H ) (psl. 32-34)
8.
„
V III. Pelaksanaan Putusan Pengadilan (psl. 35-36)
9. 10. 94
Arti Kekuasaan Keha kiman (psl. 1-2)
,, „
IX . Bantuan Hukum (psl. 37-40) X . Penutup (psl. 41-43)
Sdr. Ketua dan hadirin jang terhormat. ^erikutnja ditcruskan dengan sistrmatik dan perbandingan antara : R.U.U. jang baru
Undang-Undang No. 13/1965 BAB I. Ketentuan Umum (psl. 1-24)
I. Tempat kedudukan dan su sunan (psl. 1-10) II. Tentang Kekuasaan Mah kamah Agung (psl. 11-16)
2.
t
3.
,,
III. Tentang Pengadilan Tinggi (psl. 33-39)
III. Hukum Atjara dalam memutuskan sengketa tentang wewenang mengadili (psl. 17-24)
..
IV. Tentang Mahkamah Agung
IV. Hukum Atjara dalam pemeriksaan kasasi
II.
Tentang Pengadilan Negeri (psl. 25-32)
BAB
S 1 Tentang tempat kedudukan dan susunan Mahkamah Agung S 2 Tentang Kekuasaan Mahkamah Agung (psl. 47-52)
Bagian 1 Dalam perkara Perdata (psl. 25-32) Bagian 2 Dalam perkara Pidana psl. 33-41)
S 3 Tentang Ketentuan2 lain (psl. 53-54) 5.
V. Tentang Panitera (psl. 55-64)
6.
„ VI. Tentang Djurusita (psl. 65-69)
7.
„ V II. Ketentuan Penutup (psl. 70-72)
V. Hukum Atjara dalam hal menindjau kembali putusan jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap (psl. 42-48) VI. Ketentuan2 lain VII. Ketentuan Penutup (psl. 51-53)
Menilik pada schema P*rba“^ R U .^ K e te n tu ! S e X K K e k ^ s a a n Kehakiman ini ada£a M £ £ H . ^M adjeU , Pertimbangan Penelitihan Hakim) dalam pasal 32 da“J^udufcan Mahkamah Agung terhadap Badan2 Peradilan lamnja. jang menurut.pasal 47 a,at (1) U.U. No. 13/1965 adalah sebagai puntjak semua peradilan dan .ebagai Pe ngadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan member! pimpman kepa a 95
Pengadilan2 jang bersangkutan, sedangkan dalam R U U sekarang ini, Mahkamah Agung hanja membawahi Peradilan U m um sadja, terlepas dari Per adilan'- lainnja jang berdiri sendiri2 dibawah masing-2 Departemen jang bersangkutan. A pakah dasarnja bagi Pemerintah dalam M P P H (sungguhpun sajn SCbagai seorang pengatjara ingin minta pendjelasan) untuk mengikut sertakan pengatjara didalam nja ? Seterusnja kami sangat tertarik akan susanan M ahkam ah A gung jailg didalam pasal tertentu dalam U ndang-undang tersebut jaitu djika scbeluninja M ahkam ah A gung adalah pimpinan sehiruh peradilan jang ada (atas atasannja M ahkam ah A g u n g ), maka sekarang dalam susunan ini adalah M ahkam ah A gung hanja meliputi peradilan umum sadja. Seterusnja sidang jang terhormat, pada kesempatan ini kami pergunakan untuk bertanja kepada Pemerintah hal-hal seperti berikut, jaitu : Apakah Pemerintah mengetahui adanja peradiJan terhadap orang-orang jang pernah m engganjang G e stap u /P K I dan O rla seperti jang terdjadi di Brebes tahun jang lalu dan di Pematang Siuntar baru2 ini ? Apakah Pemerintah menjadari akibat tuntutan Negara jang dilakukan oleh Kedjaksaan terhadap tindakan2 jang dianggap melanggar hukum dalam pengganjangan G e stapu /P K I dan O rla itu ? Sampai dimana konsekwensi jang akan diambil nanti ? A pakah akan dipilih sadja ? Seterusnja kami dari Fraksi N .U . mengambil kesimpulan sbb. : Frakgi N .U . dalam pemandangan umum ini menjatakan jaitu dalam bebe rapa segi, beberapa punten, kurang sependapat dengan Pemerintah atas alasan untuk melepaskan M ahkam ah A gung sebagai puntjak dari semua per adilan, O le h k arcn an ja masalah ini perlu mendapat pembahasan jang lebih chusus nanti pada kesempatan selandjutnja, dalam tingkat I V tentunja. Istilah peradilan terpimpin jang dipergunakan dalam hal M ahkam ah A gung sebagai puntjak semua peradilan apakah sudah tepat ? Pemerintah menjebut adanja M ahkam ah A gung seperti jang disebut dalam U U D -45 sehLngga bukankah hal ini akan mengurangi arti dari lembaga2 lainnja jang mempunjai puntjak sendiri ? Demikianlah Saudara2 tanggapan dalam keseluruhannja. Sebagai penutup saja mengutjapkan terima kasih atas perhatian Saudara2 jang terhormat atas pem andangan ini dan. W assalam u ’alaikum w. w.
96
M A L IK US S U P A R T O S.H.
(K A R Y A P E M B A N G U N A N B) :
Sdr. Pinipm an. Sdr. W a k il Pcmeritah dan sidang jang kam i m uliakan. A ssalam u’alaikum w. w. D engan senang fraksi kami, Fraksi Karya Pem bangunan „B m enjam but pembitjaraan kedua R .U .U . ini di Forum D ew an Perw akilan R a k ja t, jakni R .U U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an dan R .U .U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ah k am ah A g u n g . S ebagai mana oleh Pemerintah telah disinggung didalam keterangannja, jang d iu tja p k a n pada sidang pleno D P R - G R pada tanggal 17 O ktober 1968 k.l. „K ekuasaan Kehakim an ialah kekuasaan Pemerintah, sesuai dengan djam inan jang telah diberikan oleh Undang- D asar 1945 tentang kebebasan H ak im dan P e n g ad i lan. N am un azas ini dizaman O rla telah diperkosa dengan ditjiptakan U n dang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan'- Pokok K ekuasaan Kehaman dan Undang- No. 13 tahun 1965, jang oleh Pemerintah sendiri digambarkan sebagai suatu pertentangan constitution'll jang flagrant dan bertenta ngan dengan Undang- Dasar 1945, betapapun ia disertai dengan sjarat- tertentu. T urun atau tjam pur tangan Presiden sebagai pihak Eksekutif didalam Peradilan membawa akibat jang djauh dcin dapat merupakan ham batan dan rintangan bagi suatu peradlan jang objektif. Karena itu kami mengutjapkan sukur alham dulillah tentang kesadaran dari rakjatr dan pemerintah untuk kembali ke djalan jang benar, kepada kem urnian U ndang-undang D asar 1945. D alam Pidato Kenegaraannja didepan sidang D P R - G R pada tanggal Agustus 1968 oleh Presiden dikatakan, bahwa dalam rangka usaha kita jang sungguh- untuk menegakkan sistim konstitiisionil dan menega an iu um, kekuasaan Kehakim an benar-benar telah merupakan kekuasaan jang mer e a, jakni terlepas dani penqaruh kekuusaan Pemerintah. Saudara Ketua. oleh Pemerintah didalam keterangannja isi ang p eno D P R pada tanggal 17 O ktober 1968 diatas telah disinggung dengan sekian kata tentang perkosaan-* Undang-undang D asar 1945 oleh regiem jang lam pau. P ad a w aktu itu banjak Undang-undang, Pcraturan P « mcrin a iatm ?idak U ndang- undang m aupun Penpres dan Perpres jang dikeluai^an. jang tidak sesuai dengan U ndang-undang D asar 1945. sehingga M P R Sp^ f " j tapannja N o. X I X / M P R S / '6 6 memerintahkan penind jauan kembali produk legislatif N egara diluar produk M P R S jang tidak sesuai dengan U n d a i g-
undanq Dasar 1945. . , , u , Berdasarkan pcngalaman ini fiimbullah suatu pertanjaan, apakah belum 'ibalah «aatnia untuk memberi wewenang kepada suatu Lembaga Negara di uar faPR dan Pemerintah. untuk mengudii produk’ Legislate sampa, ketagkat Undang-undang jang bertentangan dengan Undang-un ang ,. merintah menanggapi, bahwa hak mengudji oleh suatu Badan^Kehak man ap kah suatu Undanq-undancj itu konstitusioml atau “dak karena b ^ n ta n g a n dengan Undang-undang Dasar dikenal tidak berdasarkan sed,arah perundang-undanqan N egara Kesatuan kita. Meskipun dem ikian pemerintah jang
sekarang b^rtm daklebihdjauh daripada perundang-undangan jang telah ada, dengan mentjantumkan suatu ketentuan dalam RUU tentang Susunan. Kekuasaan dan Hukum Atjara Mah kamah Agung pasal 16, bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menja97
a
rakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkatan 'n nq lebih rcndali dari Undnnc|-undancj. ntn.« alasan bertcntanvi.ia dengan p c r a tu i -in penm dang-undangan jang lebih tinggi. scdangkan pem baia’ann ja dilak^anakan oleh instansi jang bcrsangkulan. Nanuin, sebagaimana diakui sendiri oleh Pemer ntali. diram an jang 1ampau te’ah banjak ditjiptakan peraturan" leghlatif dalam tincjkat unda undang maupun dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganli l l n d i ' undang, jang terang m enjalah U ndang-undang D asar 1(>J5. akan tetnp bcr lakunja tidak dapat ditjcgah karcna kira masih mempcrtahankan a d a g ;um bahw a undang-undang tidak dapat diganggu-gugat. Kami kira, penga’a n n n diregiem jang lampau telah tjukup dirasa pahit. untuk merobah pendirian ini dan memberikan kepada M ahkam ah A g un g sebaga: Kekuasaan Kehakim an jang Tertinggi untuk mengudji produk-' legislatif vampa; keringkat undangundang. Dengan demikian maka penjelewengan" jang bertentangan dengan U ndang-undang Dasar 1045 makin dapat dihindari. Saudara Ketua, sekarang kami ingin memberikan tanggapan kami mcngenai kedua R .U .U . jang sekarang merupakan pokok pembit jaraan didalam sidang D P R ini. R .U .U . jang disam paikan ini memberikan djaminan-' bagi penduduk. jang terkcna perkara. bahw a hak-hak arasi mereka tetap mendapat perlindungan, jakni dengan ditjantum kannja pasal 29 tentang kemungkinan penuntutan ganti kcrugian dan rehabi 1itasi djika mereka terbukti. ditangkap ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan jang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnja atau hukum jang ditrapkannja. A ja t 2 dari pasal tersebut dapat mcmidana pedjabat. jang dengan scngadja melakukn perbuatan sebagaimana tersebut dalam ajar (1 ). Selain ini didalam pasal 38 seseorang jang ditangkap dan ditahan scdjak dilakukannja penangkapan dan/atau penahanan diberi hak untuk mempcroleh baruuan luikum, penaschat luikum m ana dibolehkan m enghubungi dan meniberi nasehat kepadanja. Kedua pasal2 ini beserta pasal- lainnja jang dimaksudkan untuk rneinberikan perlindungan terhadap hak-hak a~asi dari sl-tertuduh tjukup meniberi djaminan tentang beriangsimgnja ’'rule of law'” . Kedua pasal tersebut m enundjukkan adanja tjara bcrpildr jang progressif. Prinsip ini kita djum pai pula pada U ndang-undang N o. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an. hanja ................ undang-undang jang mengatur tjara- untuk memmtut, ganti kcrugian. rehabilitasi dan peinbebanan ganri kerugian, dan jang mengatur bantuan hukum dari sitertuduh, sebagaimana djuga dalam R .U .U . jang sekarang ini dikaitkan kepada pasal2 jang bersangkutan. tidak kundjung datang. D ja d i, Sdr. Ketua, meskipun kita telah mempunjai undang-undang jang bagus, jang meniberi djam inan sepenuhnja kepada hak-hak azasi sitertuduh, nam un, djika undang-undang jang mengatur tjara pelaksanaannja tidak di buat, peraturan2 tersebut merupakan huruf mati dan tidak dapat difaedahkan. M em bitjarakan isi dari R .U .U . ini dalam keseluruhaimja, kami nielihat beberapa ,.leemten” , jang djika tidak ditanggapi, dapat mendatangkan kesukaran2. M isalnja, mengenai pasal 13. Pasal 13 R .U .U . diatas mengatur pemeriksaan dan memutus perkara, jang dilakukan oleh sekurang-kurangnja 3 orang hakim. D jik a jang memutus 3 orang hakim, atau setidak-tidaknja lebih dari
98
seorang. keputusan mana jang hams diambil, djika antara para hakim tersebut tidnk dnpat persesuaian paham ? Didalam Rechierlijke Organisatic (R.O.) dahulu dimuat peraturan dalam pasal 40. bahwa djika tidak terdapat pcrscsuaian paham, diambil kebidjaksanaan :
dal 'alum pcrkarcr pcrdata :
dalam instansi pertama, keputusan jang mengun(ungkan tergugat dan didalam perkara bandingan, revislie atau kasasi, penguatan keputusan, jang diadjukan.
dalam pcvkara pidana
:
scnantiasa untuk kepentingan sitertuduh.
Seterusnja. Sdr. Ketua, apakah memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang-kurangnja 3 hakim, dcwrasa inii dapat dilakukan d segala w ila jah di Indonesia, berhubung dengan kekurangan akan tenaga hakim dan kesulitanlalu -lintas, chtisusn ja didaerah~daerah/kcpulauanJ, la,?nnja daripada tanah D ja w a ?
Djika ini dewasa ini ditrapkan djuga di-kepulauan- lainnja daripada tanah Djawa. banjak perkara didaerah-daerah jang terpentjil akan terbengkalai dan tidak dapat diputus. Menurut pasal 13 ajat (1) mentjoba memberikan way out d a r ip a d a kesukaran- jang diatas ini. dengan ditjantumkannja ka imat .......... ketjuali apabila Undang-undang menentukan lain . A p a k a h tidak sebaiknja. sa nihil menunggu keluarnja undang-undang jang bcrsangkutan diatas. diberikan suatu peraturan perahhan, dim ana kepada M a h k a m a h A g u n g diberikan wewcnang untuk mengadakan pengetjualian d a n pasal ini untuk daerah jang tertcntu berhubung dengan keadaan darurat
Untuk mendjamin objektivifas pemeriksaan perlu djuga i anggapi edan mental para Hakim. Sjukur. bahwa ini djuga te a &sa ari engan ditjantumkannja pasal- mengenai kedudukan pedjabat pera 1an ( a ) pasal2 jang mcngatur pengangkatan. promosi, kepindahan, pem er en t'indakan2/hukuman2 djabatan para Hakim (Bab V II). adaan
a n
l a n
a n
M e n u r u t pasal 31 R . U . U . hal-hal jang mengenai pangkat, dan gadji hakim, panitera dan djurusuita diatur dengan suatu peraturan jang tersendiri. A ch irn ja dapat diperbuat suatu peraturan chusus, jang dapat l s e s u a i an e-
ngan posisi Hakim didalam masjarakat. . M en g enai mental, jang harus dinriliki para Hakim, engan, i jan utn n nja pasal 32, 33 dan 34 (Bab V II) maka djabatan Hakim merupakan djabatan pilihan. . . . , , Segala sesuatu jang mengenai pengangkatan, promosi, epin a an, pemberhentian dan tindakan2/hukuman2 djabatan para Hakim harus diadjukan kepada Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim, jang akan mempertimbangkan dan mengambil keputusan terachir. Menurut pasal 34 Madjelis Per timbangan Penelitian Hakim ini merupakan lembaga tersendiri jang bersifat ’’non-Governmental'9 dalam lingkungan Mahkamah Agung. Diikut-sertakannja Wakil dari pengatjara (note : wakil oleh dan dari organisasi pengatjara seluruh Indonesia) menan a^ an, a wa peme rintah telah mendapat pengertian dan mengakui akan fungsi penga jara dida lam demokrasi. . . Untuk mendjamin objektivitas daripada pemeriksaan, larangan, untuk mendjadi anggauta suatu partij politik, jang ditjantumkan dalam pasal 3 ajat ( l ) n o r g a n i s a s i
99
■
dari R l l U tentang Susunan. Kekuasaan dan Iln k u m A tjara M a h k am ah /Aguncj dapat berpendapat. bahw a pembatalan ini m cinpnnjai m anfaat bnqi terhadap para H akim didalam lingkungan perndilan umum. S audara Ketua, kami m cnghargai usaha pemerintah .mtuk. mcmpersiapkan R .U .U . tentang Ketentuan-ketent nan Pokok Kekuasaan K chak’nian janq singkat dan djelas (terdiri d an 45 pasal). Akan tetapi pasal- jang s ed ik’t dium lahnja ini biasanja m em perlihatkan kekurangan-. m isalnja : seperti tidak adanja peraturan mengenai memegang rahasia mengenai pembit jaraau- dalam ..raadkam er". larangan untuk hakim jang m engadil’ perkara untuk' memberik 111 nasehat- kepada pihak jang bersengketa atau kepada pengat jaran ja didalam sengketa tersebut. ketjuali diperbo’.ehkan oleh peraturan Pr , -undang--an ketentuan, apakah D jaksa didalam perkara. dimana ia adalah pemm tut umum dapat menghadiri pembit jaraan- dalam ..raadkam er” (menurut R .O . janq dahulu dalam ps. tersebut pemmtut umum tidak diperkenankan hadlir pada pembit jaraan- dalam ..raadkam er", tidak djuga disinggung tentang kewadjiban panitera dan djurusifa setjara umum. scdangkan kew adjiban hakim dapat penegasan dalam pasal 25 (Bab V -). M eskipun ada maksud pemerintah untuk menjamp.n’kan R .U .U tentanq bantuan H ukum , nanuin kiranja tepat djuga. djika didalam R .U .U . ini diniuaf beberapa pasal disebut perkataan ..pengatjara” (pasal 33) dan ..penasehat hukum ’' (pasal 38 dan 39). Saudara Ketua, last but not least kami ingin kemukakan beberapa per.soalan. jang m ungkin dapat didjadikan suatu pokok pemikiran. M enurut pasal 10 R .U .U . peradilan umum barpunljak kepada M ahkam ah A gung, scdangkan peradilan- agama. militer dan T ata- llsaha Negara susnnnannja diatur oleh U ndang-undang tersendiri. Jang kami mohonkan pcrhatian ialah Peradilan Tata U saha Negara. karena sering m enjangkut hak-hak ar:as: dari pihak jang bersangkutan. Karcna itu kami usulkan. agar supaja djuga Peradilan T ata Usaha Negara berpuntjak kepada M ahkam ah A g ung sebagai Pengadilan jang tertinggi. Saudara Ketua, sekarang tiba saatnja bagi kami untuk membitjarakan R .U .U , satunja, jakni R .U .U . tentang Susunan. Kekuasaan dan H ukum /Atjara M ahkam ah A gung. Tentang keharusannja untuk memberikan ..matericle toct.singsrecht” ke pada M ahkam ah A g un g telah kami singgung pada permulaan surat tanggapan kami. H ak mengudji setjara formil dari M arkam ah A g un g telah diatur didalam pasal 14 R .U .U . tersebut. A d a suatu hal jang patut dipudji, jakni apa jang ditjantum kan dalam pasal 42 mengenai penindiauan kembali suatu keputusan perdata jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap atas dasar alasan jang tertentn. disebut dalam sub a s 'd g. Pada putusan pidana penindjauan kembali ini diatur didalam pasal 44 R .U .U . tersebut, Saudara Ketua. pasal 15 ajat (3) mengenai permohonan kasasi jang diadjukan demi kcpentingan hukum oleh D jaksa A g ung mengatakan. bahwa apabila, berhubung dengan permohonan kasasi ini M ahkam ah A g un g memmembatalkan suatu putusan atau penetapan Pengadilan bawahan. M ahkam ah A gung dapat berpendapat, bahw a pembatalan ini mempunjai manfaat bagi jang berkepentingan’’. M enurut pendjelasan jang diberikan mengenai pasal
100
dan ajat ini. ,.mempunjai manf aat bagi jang bcrkcpenti ngan artinja mcrobaii kcadaaan**. Berhubung dengan pasal \n. kami ingin me n g a d j u k a n parlanjaan- :
1- Apkali pcrmohonan kasasi o’eli D jaksa A gung detai kepentingan hukum berlaku pula untuk perkara- perdata alaukah hanja untuk keputusan2 pidana ? 2. D alam perkara pidana apakah arti ..nicrobah keadaan’ dapat mengakibatkan si lerluikum mendapat keringanan lnikunian alau sebaliknja ? (jaitu djika ditindjau dari kepentingan m asjarakat). D id alam keterangannja mengenai pasal 15 pemerintah mengatakan. bahw a ..kasasi dcmi kepentingan linkum " scmata-mata dipergunakan untuk memperoleh pendapat dar. M ahkam ah A gung mengenai suatu persoalan jang telah diputus oleh suatu pengadilan bawahan dalam suatu putusan jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap, dengan maksud untuk niemakai pendapat pengadilan jg. tertinggi itu sebagai pedoman dikemudian hari. tanpa merobah keadaan siterpidana atau para pihalc jang bcrkepentiaigan. M en uru t pendapat kami pendjelasan jang sepenting in' tidak tepat unfuk dinuiat didalam pen djelasan meiainkan lebih tepat dimuat sebagai salah suatu ajat dari pasal jang bersangkutan. D id alam praktek kadang- timbul suatu pcristiwa, dunana siteihukum maupun penuntut umum didalam keputusan perkara pidana. tidak m engadjukan ban d ngan atau kasasi. D jik a keputusan tersebut menjangkut djuga kepentingan pihak: kctiga diluar perkara (buiten geding) jang dirug kan oleh keputusan tersebut. maka pihak kctiga ini tidak ada pilihan lagi dailpa a ertawa a kepada keputusan tersebut jang oleh para pihak jang beipei caia ti a - i an ding atau dimohonkan pemeriksaan kasasi. Bahwa apakah tidak selajaknja pihak jang merasa dirugikan ini dibeii ke^empatan untuk memohon kasasi. setidak-tidaknja mengenai agian a n <eputusan jang meriujikan kepentingannja.
Saudara Ketua. Pasal 13 ajat (2b) mcmancjnja mcmuat ketetapan, bahw a perm ohonan ketiga jang kasasi h anja nakan, telah
kasasi dalam perkara pidana dapat diadjukan djuga o.eh pihak dirugikan. A k an tetapi ajat 3 m enjebutkan, bahw a perm ohonan dapat diterima. apabila upaja- hukum b asa. jang dapat dipergudipergunakan semuanja.
P ihak ketiga, bukan terdakwa, jang oleh Keputusan IIak*m pidan a diru-
g kan dalam kepentingannja. tiidak dapat memohon pemeriksaan u lang an terhttdap keputusn tersebut karena bukan partij dalam perkara. A p a k a h tidaklah semestinja, bahwa tjara permohonan kasasi oleh pihak ketiga jang dirugikan »ini diatur dengan pasal tersendiri ? Sdr. Ketua, ada lagi suatu kebiasaan. um pam anja dikalang an m asjarakat pedagang, untuk memutus perselisihan diantara m eieka dengan pe rantaraan wasit. D a h u lu n ja kebiasaan ini diakui dan diatur oleh undang-undang (R v . 615 d s b .). M eskipun peraturan2 R v. sekarang tidak dipakai lagi, n an iu n ke biasaan m em etjahkan perselisihan ini tetap diakui oleh jurisprudensi. M a la h a n
Undang-undang M a h k a m a h A g u n g Indonesia ( Undang-undang tahun 6 M e i 1950, L .N . 50 - 30) dalam Bab V I , ps. 108 dan sclerusnja mcmuat peraturan- mengenai djalan pengadilan pada peradilan tingkntan kc-2 bagi putusan wasit. A p a k a h tidak sebaiknja R . U . U . ini menniat djuga peraturansematjam itu guna memberikan dasar hukum bagi peradilan jang dilakukan oleh para wasit ? Saudara Ketua, hendaknja peradilan jang dilakukan o'e'i para wasit ini (arbitrage) m endapat sokongan dari pemerintah, svperti suatu pengetjualian. Arbitrage adalah, sclaln praktis dan tjepat. tcrnjata memcnuhi sclera para pihak jang bersengketa untuk mendapat keadilan. Keputusan para wasit, unluk dapat diiaksanakan harus memperoleh fialeksekusi dari Hakim . D eng an demikian. maka teiap ada pcngawasan dari H a k im Pengadilan tentang isi keputusuan jang diambil oleh para wasit. Keterangan Pemerintah dalam Pcndjelasan alas R . U . U . tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibawah pasal 3 (1), tctap nieniperbolehkan penjelcsaian perkara atas dasar perdamaian atau mclalui wasit (arbitrage), akan tetapi Negara lidak memberikan kekuatan atau akibat hukum terhadap putusan pcrdamajan atau perwasitan. Sebenarnja penjelcsaian mclalui wasit dapat mei ingankan H a k im didalam menunaikan tugasnja. Penjelcsaian perkara melalui hakim perdamaian tumbuh karena kebutuhan masjarakat akan penjelcsaian sengkela jang tjcpat alas da sar persetudjuan kedua belah pihak. Saudara Ketua, ada lagi jang harus mendapat pemetjahan. jakni djika timbul sengketa tenlang wewenang mengadili. antara P e n g a d i l a n dalam lingkungan peradilan sipil (civielc rechter) dan pengadilan didalam lingkungan peradilan kelcntnraan. U n dang- undang M a h k a m a h A g u n g Indonesia (L N . 50-30) didalam ps. 14 ( I ) U'VSrVuU W l a h v n wCWCiVAW'J M a V k a m a h A g u n g untuk mengadilinja, kctjuali djika perselisihan itu terdjadi antara M a h k a m a h A g u n g sendiri dan pengadilan perkara hukum an ketcntaraan tertinggi, dalam hal mana perselisihan diputus oleh Presiden. Saudara Ketua, achirnja kami sampai kepada tanggapan kami jang penghabisan, jakni mengenai pengangkatan Ketua. W a k i V Ketua dan para anggauta M a hk am ah Agung. Pengangkatan Ketua M a h k a m a h Agung' oleh Presiden atas pemilihan D ew a n Perwakilan R a k ja t dari dua tjalon jang diusulkan oleh M adjelis Pertimbangan Penelitian H akim telah dapat nientjerminkan dua faktor, jakni : faktor keahlian (pentjalonan dari M adjelis Pertimbangan Penelitian H a k im dan faktor politisch (pemilihan oleh D ew a n Perwakilan R a k ja t) . D e n g a n adanja dua faktor itu dapat didjam in adanja suatu p:mpinan jang kuat, jang dapat diharapkan dapat menegakkan rule of law d. dalam situasi2 jang kritis. Tentang pemilihan W a k i l Ketua dan para anggauta kami tidak mempunjai komentar. D em ikian tanggapan fraksi kami, fraksi Karya Pem bangunan ,,B ’ me ngenai kedua R . U . U . tersebut dan seterusnja atas perhatian. kami mengutjapkan terima kasih. 102
K L IN T JO R O JA K T l S.IL
( K A R Y A P E M 1 3 A N G U N A N C)
Assalaamu’alaikum warahm atullaahi wabarakaatuh.
,
Saudara Ketua, W a lu l Pemerintah dan Sidang jang saja hormati. Salah seorang pemrasaran pada Simposiuin tentang /Indonesia N egara H u k um " oleh Universitas Indonesia pada kira- awal tahun 1966. dengan mcngcjimnkan methode pendekatan empiris, telah mentjoba menganaLisa tentang Negara H ukum Indonesia . apakah telah terlaksana atau belum dalam pengaiamau njata. norma- kardinal jang dianggap seharusnja berlaku disuatu negara hukum. Sesuai dengan methode-pendekatannja jang empires tersebut, beliau telah menggunakan beberapa index tcrtentu jang sebagai keseluruhan dianggap m enljakup setjara operationil hakekat dan pengert»an N egara H ukum sebagai kenjataan empiris. Index- tersebut antara lain ialah : 1.
Konstitutionalisme
2.
Peradilan bebas (impartial trial)
3.
Peradilan A dm inistralif
dan masili ada beberapa index lainnja. D ari isi penq-index-an tersebu'. diatas sebagai titik-tolak tanggapan kami, Fraksi Karva Pe.nbangi.nnn " C ” . kiranja pada tenipalnja diatas m imbar ini kami sampaikan rasa penghargaan dan terima kasih ra esi
103
di : m enjam pingkan ’’rules of the game*’, karena ia djuga m endjadi pemain, m erangkap ”p e la tih ’\ dem ikian pula wasit-wasitnja dihorong. bahkan jang tragis ’’penontonv-nja pun didikte kapan ham s “ aplause’*. kapan ham s bersorak-sorai. P rasangka karena "P a n g lim a -politik’’ tersebut m engakibatkan, bah w a H a k im harus m embebaskan anggauta S O B S I jang m erusak/m ensabot mesin perusahaan, ham s m em benarkan anggauta B T I jang melakukan aksi sepihak dengan m entjangkuli tanah milik orang lain, harus m enghukum se orang pegaw ai jang tekun bekerdja untuk keluarga karcna m ungkin ia menolak m endjadi anggota partai dan dian g gap bordjuis. kapbir dan lain2. T erlalu ban jak tjontoh- jang kcseluruhannja itu m engakibatkan k^ta menarik kesim pulan bahw a Peradilan bebas sebagai index-pokok kedua dari liakekat ’’N egara H u k u m 1’ sebenarnja in conreto tidak ada. K alau Francis Bacon m engatakan bahw a "T h e place of Justice is an hallowed place” , m aka pada masa itu dapat dinjatakan bahw a ’’VVc even wondered, did Justice really exist ?’’, w alaupun keadilan-lnikum semata-mata ! Saudara Ketua jang terhormat ! Sangat menggembirakan kiranja dalam mengura kan hubungan jang erat antara Konstitutionalisme dan Peradilan Bebas. sebagai index pokok daripada hakekat N egara, oleh Pemerintah dalam Pendjeiasan R antjang an Undangundang tersebut, telah dibentangkan dengan djelas dan dinjatakan antara lain bahw a untuk ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an diusahakan tertjantum nja dasar- bagi penjelenggaraan jang scdjiwa dengan Undangundang D asar 1945 dan sesuai dengan P an tja Sila. D a la m hal jang dim aksudkan dengan dasar 2 tersebut ialah sumber T e rtb H u kum Bangsa Indonesia, jaitu pandangan hidup, kesadaran. tjita- moral jang meliputi suasana kedjiw aan dan w atak bangsa Indonesia sendiri, jang tertjakup tentunja dalam hakekat P a n tja Sila sendiri. Inilah kiranja jang dim aksud kan untuk dim asukkan dalam materi dasar Pemerintah ini, Fraksi kami sa ngat m enjetudjuinja ; sebelum kita m elibatkan pada materie ketentuan-ketentuan itu sendiri. D engan dem ;kian, w alaupun masih belum tegas sekali, kita telah m enjinggung persoalan ’’legality’’ dari N egara hukum kita ini, karena isi pengertian N e g a ra H u k um tersebut telah ’’terisi’’ (geladen) dengan unsur- jang chas Indone sia : Pantjasila, jang dalam hal ini dianggap sebagai sumber moral/nalur? daripada R a ntjang an U ndang- undang jan g kita hadapi sekarang ini dan jang sesuai pula dengan T ap X X / M P R S / 1 9 6 6 tentang : Sum ber Tertib H ukum R .I. dan T ata U rutan Peraturan Perundang-undangan R .I. H u b u n g an jang demikian eratnja antara Konstitusi dengan R antjang an U ndang-undang ini, Saudara, tinggalah m ew adjibkan kita untuk menilei apa kah in concreto djiw a P a n tja Sila itu benar 2 telah tertjermin dalam bentuk m aupun materie R an tjan g an U ndang-undang ini. A pabila dalam pendjeiasan resmi R a n tjan g an U ndang- undang ini dim aksudkan untuk ditjantum kannja bebefapa peraturan 2 pokok, jang memberikan perlindungan hak 2 azasi m anu k a dalam bidang peradilan sesuai dengan fungsi hukum sebagai Pengajoman,
104
i
"Kika tinggnlah kita m enilai sifat chas hak- azasi m anusia Ind o nesia, d u s ; hnk azasi m anusia jang sesuai dengan P a n tja Sila telah benar- tertjerm in dalam ketentuan- R a n tja n g a n U n dang - undan g ini: jaitu suatu hak azasi ja n g 'sinja analoog dengan tjiri-chas hukum A d a t Indonesia seperti d iru m u skan oleh Prof. Supom o "g aat dus principieel uit van den Sociaal gcbonden mens'’. S u d a h k a h tertjernvn djaminan- keseim bangan antara kepentingan N e g a ra (u m u m /m a s ja ra k at) dan kepentingan perseorangan. D ja d i hak- azasi manusia Indonesia adalah pula suatu pengertian ja n g "gelad e n", sebab lain nja tentu sadja tidak identik dengan pengertian hak azasi nienurut pengertian Barat. jang mengarah kepada ’’individualism e” berdasarkan filsafat adjaran "H u k u m A la m ” ( N atuu rrechtslee r). K am i m engira d isin ilah letak persoalannja jang agak muskil dan disini pu lalah d ib utuh k an pem ikiran jang agak serins dari D ew an jang terhormat ini. A p a sebabnja. Saudara Ketua ? K am i membenarkau b a h w a beberapa tjiri chas dari hakekat N egara H u k um ialah : pengakuan hak- azasi manusia, disam ping unsur kcpasthm-hukum (rechtszekerheid). D a la m ’’law -applicatio n '’ kita selalu dihadapkan dengan peroalan tentang kcpastian-hukum 'jang ditun tu t oleh m asjarakat jang berhadapan dengan pcrsoalan hak- azasi manusin, dus : persoalan Keadilan (gerechtigheid) jang dituntut oleh perseorangan dalam m asjarakat itu. Inilah kiranja jang dalam peladjaran- S ekolah H u k u m itu "tenderen” antara diktatur dari m asjarakat dan anarchic dari perseoran 9a n -
,
. . 1
Kadang- terdapat pcrsoalan jang kalau dipandang dar. sudut perseora ngan sangat m enjinggung rasa keadilan, tetap? m emang demi terpel.haran,a kelangsungan hidup dan ketertiban m asjarakat. a m i masi 1 1 o erir. Pepatah m enjatakan "het hoogste recht is ie gro
kan ketidak-adilan bagi
s e s e o ra n g .
g > j
akan mCiunibul„ coKiifannia
Dalam hal mi sesuai dengan «b u fe n n ,a
R a n tja n q a n U ndang- undang tenlang Ketentuan- c en^ l1‘
flianja diuga tidak berisikan hal* pelaksanaan, ,ang dalam
kp^em natan
lain
kesempatan lain
akan kami uraikan. S aud ara Ketua, W a k il Pemerintah serta Sidang jang kam i horm ati ! Fraksi kam i sekali lagi s a n g a t m enghargai "geste" P e ^ a h sedemikian pu la isi dari kedua R antjang an n ang ui — perlindungan hak “ azas: , •— peradilan bebas — kepastian hukum .
apabila
^
, ,ketentuann .a itu didjiw j.j.- ai ni.t. an tia S:la janqJ in tin ja dan oleh P J^ancja o m )a J adalah azas kekeluarqaan dan berdasarkan ke T uhan an Jang a a s. mate r\ J •> < tifa tioba untuk memasukt setjara um um mateD eng an dasar- tersebut Kita ijouci i ,r , , Vpf-pntnan rie2 pokok dari R a n tja n g a n U ndang- undang tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan
dan menjo-
kong azas' pokok’jang technis memang harus melekat pada hakekat Negara Hukum umumnja, Peradilan Bebas chususnja, jai u 105
.—■a d a n ja azas satu pcrndiluii : peradilan N egara , —• azas ’’presum ption o f innocence” ; —- a d a n ja prinsip ' ’legality"' : cluisusnja d ib id an g peradilan p 'd a n a ; ■ —■pr*nsip ’’legal a id ” ; — prinsip "o p e n b a a rh e id ” proses pe ng adilan ; ■ —> prinsip d im u n g k in k a n n ja p e n a id jn u a n kcmbnl: ( he rzie iw ig ) ’’ suatu putusan Pangacfclan ; — prinsip peradilan "’in presentin’’. P rinsip ini a dalah prinsip- jang ag un g. jang memang lnhaerant dengan peradilan bebas, dan jang perlu kita tegakkan clan pe rlahank an. Kam i kirn belum w a k tu n ja dalam A tja ra P e m an d an g an U m u m sekarang in: telah kita bitja ra k a n soal- technis/pasal clenr: pasal serta masalah- pclaksanaan ia.nnja. F raksi kam i sekali lagi m enjntakan pcng h a rg aan kepada Pem erintah m elalui M en te ri K ehakim an atas hal- tersebut. Saudara Ketua jang terhorm at dalam kctcrangan Pem erintah tentang R a n tja n g a n U n dang - u ndan g ini tnng g al 17 O k to b e r 1Oo-S jang lalu, d in ja ta kan pula bahw a kedua R a n tja n g a n U n d ang - u ndan g ini ditam bah dengan R a n tja n g a n U n d an g - u n d an g tentang P e ng adilan L in gk u ng an Peradilan U m um , m erupakan hasil karya dari suatu Panitya N egara jang bcranggautakan ahli- dari beberapa Departem en 'Lem baga N egara jang bersangkutan deng an masalah penegakkan hukum . kalangan Llniversitas serta dari golongan m asjarakat jang berm inat terhadap persoalan kekuasaan K ehakim an tersebut. K am i tidak tahu dan tidak berw enang menget.ahui apakah hasil karya tersebut sudah m erupakan hasil m ufakat jang bulat ataukah hasil m axim al jang bisa ditjapai, tetapi kiranja perlu disini ditang g apj pokok-’ p jk jra n fraksi kami, jaitu jang paralel dengan keterangan Pem erintah, tcrmasuk d ib id an g ’’ju d i cial organization’’ dan "jud icial personnel” , serta beberapa a.spek- daripadanja. Jang paling kardinal, pertama-tama adalah m asalah prinsip kednduk-an d ari Lem baga M a h k a m ah A g u n g sendiri. Terlebih dahulu ingin kami m engutip pasal 24 U ndang- undang D asar 1945 jang sedikit banjak m enjinggung soal kekuasaan Kehakim an. jang menjatakan : ajat 1 : Kekuasaan K ehakim an dilakukan oleh sebuah M ahk am ah A gung dan lain- B adan K ehakim an m enurut U n d a ng - u ndan g ’’. Pendjeiasan U ndang- undang D asar 1945 itu sendiri tidak menjatakan selandjutnja, hanja menegaskan prinsip ,,im partial trial” , jaitu : ,-Kekuasaan Kehakim an ialah kekuasaan jang merdeka artinja terlepas dari pengaruh ke kuasaan Pemerintah. B erhubung dengan itu harus diadakan djnm lnan dalam ,,U ndang- undang tentang kedudukan para H a k im ’’. Saudara Ketua jang terhormat, mengenai masalah ini. rupanja Pe-merintah telah m eninggalkan prinsip piram id, prinsip bahw a M ah k am ah A gung merupakan p u ntjak dan putjuk pim pinan dari semua lingkungan-peradilan dan m enganut sistim ,.m inaret” , dim ana M ahk am ah A g u n g tidak meliputj peradilan- chusus lainnja (peradilan militer, ayama dan tata-usaha N e g ara ). 106
Pcm erintah mengam bil sebagai argum entasinja jaitu berdasarkan pertim^ u g a n sedjarah pcrundang-undangan, politik huku m a ta u p u n praktis kepeHpwaian berhubungan dengan susunan dalam M a h k a m a h A g u n g . D ju g a ^ n jatakan bahw a prinsip piram ida tersebut din jatak an dalam keterangan p enierintah tersebut sebagai berlatar-belakang keinginan u n tu k m e n u d ju kearah peradilan terpimpin. S audara Ketua, dalam pembahasan umum telah kam i n ja ta k a n sekedarnja ba W n beberapa inti dari pengertian dan hakekat N e g ara H u k u m ja n g k ita ialah a d an ja perlindungan terhadap hak-hak azasi m anusia, a d a n ja suatu kepastian hukum dan prinsip "legality” . Prinsip universil in jla h ja n g saja k ir a SlIJit untuk ditiadakan. w alaupun isinja (de materieele stelselm atigheid) menii 1iki kechususan2 tertentu. Setjara praktis dan situational dew asa ini inungk ’1* ’'favourable*' untuk tidak m enganut prinsip M a h k a m a h A g u n g sebagai ’•P untjak" (prinsip piram ide). T etapi kiranja prinsip nunaret jaitu b a h w a t i aP peradilan jang chusus m em punjai p u n tjak ja n g s e n d i* 3 akan bertentan 9an dengan tjita 2 serta paham N egara H u k u m sendiri, k are«a a k a « beral
4- i
i
i
• c
(ii t'l- N cqara H u k um m aupun sebagai suatu
ia n a harus dia.n,t sepcrti jans
Undang-undang ini. A tas dasar- utu fraksi kami e ^n me d u p k a n n ja sistim piram ide dim ana ja„ V ada. dengan konsekwensi Pakan p u n tja k dari setiap badan p e ia d < J 9 r.„r;,HiHn chusus itu >«-
“
susnja pasal 23 adalah sebenarnja mempu J d id alam ketentuan pokok. K am i anggap p
.umkan akan sangat banjak mej
j
i raksi kami berpenoapat t>a ^ terlalu berlebih-lebihan w alaupun kami
)
apa
^ a s a l3 2
^
ini. Chu^
technis ini apabila ditjannelaksanaan H u k u m .
1
j
g
a
lni ada,ah
v,«iir3ini f^^pnsi toersoalan^ ‘ h id ang \ a^
nja , ialah bagaim ana tjaranja *“$ “ ^ “ e ^ i g dan m entjukupi untuk dapat seorang H ak im dengan lena j
d a p a l bekerdja
v
setjara baik m enim bulkan kesan n e g atif K am i chaw atir bahw a hal m i aican aap n&AiaYiat2 linip sehingga m enjebabkan para Pedjabat-* lainnja ,ang m ei^.pakan pe djabat _lim e (lijndiensten) untuk dapat bekerdja dengan tenang an a 2 n a d jj merasa bah w a d jabatannja vital pula, akan m enghendaki pe raturan cjadji
tersendiri.
107
D j a d i inti persoalannja ialah bagaim ana memberikan djaminan hidup jang lajak ; maka fraksi kami berpendapat bahw a unluk tudjuan itu kepada para H a k im clnisusnja jang aktif memegang’ perkara'-’ di Pengadilan- diberikan tundjangan- chusus serta incentive lainnja. sehingga in c o n c r c t o akan m entjapai tudjuannja. M a s a ’ah lain jang tidak kalah pentingnja adalah seperti jang dirumuskan dalam pasal 32. tentang lembaga M a d j e l i s Pertimbangan Pe~ n e lit a n H a k im ( M . P . P . H . ) . M engenai fungsi dari Lembaga ini, fraksi kami masih kurang dapat mengerti, jang althans saatu Lembaga jang bersifat ’'non-governmental’' dapat memiliki wewcnang sebagai suatu ’’decisionmaking bo dy ’’, melebihi Lembaga M a h k a m a h A g u n g dan Mcntcri Kehakiman sendiri, jaitu didalam soal’J pembinaan personalianja. Kami beluin bisa menerima dan kami anggap sebagai suatu kedjanggalan. bahwa Lembaga- resmi seperti M a h k a m a h A g u n g d: sub-ordinasikan dan di sub-organisasikun pada suatu non-governmental. Kami djustru cha w at’r maksud jang baik untuk leb h m e l u w c s k a n upajap e m b n a a n personil akan tidak dapat mentjapai sasarannja. A dalah sangat simpatik sekali bahwa untuk mengadakan ’'cooperation*’ dan ’'consultation” Lembaga M P P H itu, menurut hemat kami. hanjalah memiliki keputusan- jang sifatnja semata-mata merupakan fatwa. saran“/usul-usul jang semata-mata bersifat ’’adviserend” dan bukannja menentukan ( ”beslissend“ ) atau mengikat dalam politik pembinaan personil. Selandjutnja dilihat dari segi komposisi M P P H (pasal 33), dimana duduk pula organisasi- non-governmental .jang tentunja mempunjai ukuran- tersendiri mengenai ukuran ke-agungan/kedju djura n (dignity) ari para H akim , kami chawatirkan. tjepat atau Iambat akan menimbulkan suatu prosess ’*verpolitv*cring" daripada djabatan Hakim. Kami mengerti dan memahami bahwa mungkin tudjuannja adalah baik. akan tetapi kami menilai bahwa keadaan masih belum mengidjinkan mengadakan proses verpolitisering tadi dalam pembinaan personil kekuasaan K e h a k i m a n . Terachir adalah mengenai persoalan koneksitas. Seperti jang dirumuskan pasal 20, memang merupakan djalan keluar daTi persoalan jang up-lo-date pada masa sekarang ini. A k a n tetapi kami berpendapat ticlaklah lebih baik sebaga: kr terium untuk menentukan termasuk lingkungan peradilan manakah seseorang itu. D id a la m rangka koneksitas. dilihat vpersonen-gebied pelaku-nja, hal mana tidak akan memberikn kesan bahwa peradilan umum a pr ori lebih tinggi daripada peradilan2 chusus. D a la m hal ini konkr-tnja adalah mengenai djabatan H ak im Ketua dari Pengadilan Koneksitas itif» j^ n 9 sai"na sekali tergantung daripada personen-gebied daripada pelakirnja. Sebenarnja masih banjak persoalan2 serta masalah technis jang inharent terhadap azas2 pokok dari Kekuasaan Kehakiman s e p e r t i jang tertjanlum ditemukan persesuaian pa ham dengan Pemerintah didalam tingkat- pembidalanr R .U . U . ini akan tetapi jang kami kira akan dapat diuraikan dan ditemukan persesuaian paham dengan Pemerintah didalam tingkat- pembitjaraan selandjutnja. Demikian pula mengenai R . U . U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m Atjara M a h k a m a h A g un g. Saudara Ketua, W a k i l Pemerintah serta Sidang jang kami muliakart. Sekali lagi fraksi kami mengutjapkan penghargaan kepada Pemerintah jang telah beriktikad baik untuk menjampaikan kepada Dewaii Perwakilan a jat, Rantjangan-Rantjangan Undang-undang jang tidak bisa dilepaskan
108
dengan hakekat dan kelangsungan h idup serta p e rd ju ang an d a rip a d a N e g a ra H uk um didalam dunia njatn. D ju stru karena sangat penting dan k a rd in a ln ja mnsalfih- terpokok scpcrt! jang dirum uskan didalam R .U .U . itu. m aka kam i kira w adjarlah kiranja bahw a dalam tingkat2 pem bitjaraan s c la n d iu ln ja bersama-sama dengan Pem erintah, D ew an Perw akilan R a k ja t dapat membitjarakail dengan lebih m endalam lagi. A p a k a h pemb tjaraan itu akan dilakukan dalam tin g k at2 pe m bitjaraan pada B agian B D .P .R . ataukah didalam suatu Pan tya K e rd ja /C h u s u s D P R kami serahknn sepcnuhnja kepada R apat P arip urna mi. c.q. P a iu ty a M usjaw arah. B agaim ana besam ja art5 dan hakekat azas- keadilan dan a n - la n n.lai janq a g u n g tertjermin didalam R .U .U . ini dapat di iikis *an o c 1 apa iang dikatakan oleh F ranc’s Bacon : vSo when any of the four pillars of govern ment are ma nlv shaken or weakened (w hic are religion justice, counsel and treasure) m e n ' had need to pray of fair weather . K am i kira kita beli.m berada dalam "b a d w eather” , karena w aktu mas h terbuka d id alam pem bi tjaraan'- selandjutnja. Sekian dan terima kasih. W a s s a la m u a la ik u m
SA EFU LLA H
S.H.
w a r a c h m a t u l la a h i
wa
b a ra k a a tu h !
(P .S .I.I.) =
A ssalaam u ’alaikum w. w. Sdr. Ketua, W a k il P e m e rin ta h dan Sidang jang m u lia.
Atas nan,a fraksi P.S.I.I. kami “ ^ fe rh a d a p r S - U ^ patan jane, clibcl'ikan untuk ■"“ ' ^ ^ ^ ^ ^ K e l i a k i m a n dan R U U tentang tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekiu A m inn S usunan, K ckuasaan dan H u k u m A tjara ®1J g J nerintai1 dan P a n itia NeT erim a kasih kam i samp^ ’1 ^ " d\nn N o* 19/1964 dan U n d an g - u n d an g gara p e n m d ja ua n kembali Undang-u < 9 h m e n jam paikan N o . 13/1965 jang telah menjelesaikan tugasnja clan kedua R .U .U . itu ke D .P .R - G .R S audara
K etua dan Sidang jang mulia. • w I I I ini fraksi tidak akan terlalu d ja u h dan D a la m pem bitjaraan tingka ^^ kedua R .U .U . tersebut sebab m endetail m engenai m aten pasal a p ins;a’ A lla h apab ila m asih ad a kehal ini mem erlukan w aktu jang )LJ p gda kesem patan ini kam i akan sem patan akan kami sampaikan pu c ‘ . pertanjaan d a n h arap an jang m e n gg u nak annja untuk m enjam paik bersifat um um sadja. S audara K etua dan Sidang jang mulia.
f f T l kdita SePe,ldaPaL n ahSV,ngatd pe.«i^^Y r't” ia “ T b m m S k T m a s a l S . m a s a la h k e ta a ta n d a n k e p e rtja ja a n a ta u k
h
sjarakat. 109
Kedua R . l l . l l . ini djuga sangat penting artinja sebab merupakan manifestast dari prinsip jang dianut oleh negara kita jaitu Negara Hukum, diniana setiap warga negara adalah equal before (he law. Kedua R .U . U . ini adalah mengenai masalah suatu Lembaga negara penegak hukum, tempat segenap penduduk negara mentjari dun mendapatkan keadilan berdasarkan ke-Tuhan-an Jang Maha I£sa. Saudara Ketua dan Sidang jang mulia. Berhubung demikian penting dan luasnja itu, dalam menghadapi kedua R U U . ini harus benar- serius membahasnja dari sega'.a segi dan aspeknja kehidupan masjarakat kita. Sebab hukum baru dapat dilaksanakan dan ditaati bilaraana sesuai dengan kesadaran hukum masjarakat itu sendiri. Oleh karena itu dengan tidak mengurangi terima ka.sih dan penghargaan jang scbcsar-besarnja kepada Pemerintah dan Panitya Negara, hendaknja kepada D P R - G R diberi kesempatan jang seluas-luasnjn unruk menelaah clan membahas kedua R .U .U . tersebut, agar tidak lagi ferdapat tjelah- atau kemungkinan^ adanja penjelewengan dibidang kehakiman ini, baik dari pihak penguasa maupun da ri pihak pedjabat- pcnegak hukum sendiri. Scbab pcnjelev.vng.ui~ dari mereka milah jang mendjadi sebab utama hukum tidak dapat ditegakkan dan merupa kan tjontoh jang baik bagi penjelewengan hukum dalam masjarakat sehingga kepastian hukum tidak ada lagi, seperti kita alami dimasa-masa jang lalu. Itulah sebabnja maka M P R S dalam Ketetapannja No. X I X ' M P R S . "66 memutuskan untuk menindjau kembali produk- legislatif negara diluar produk M P R S . jang tidak sesuai dengan LI.LI.D. 1945. jang dibidang Kehakiman ini antaranja U U . No. 19/1964 dan U U . No. 13/1965.' Saudara Ketua dan Sidang jang mulia. Seperti tadi telah kami utarakan diatas bahwa pada kesempatan ini akan kami gunakan untuk menjampaikan beberapa pertanjaan sadja. L
Dengan berlakunja Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekua saan Kehakiman ini nanti ; dalam hal penuntutan pidana, apakah jang di anut dinegara kita ini opportuniteit beginsel atau lcgaliteit beginsel. Ha] mi perlu kami tanjakan sebab dari pengalaman selama ini, dianutnja azas- oppor.unitas sering menimbulkan penjalah gunaan azas tersebut se hingga tidak djarang para pedjabat jang mempunjai kedudukan penting bisa terhindar dari tuntutan hukum dengan alasan demi ini demi itu jang sebenarnja alasan jang dibuat-buat sadja agar kedudukannja tetap bisa dipertahankan. Apakah hal ini sesuai dengan prinsip ” T h e Rule of L a w ?’’ Sedang U .U .D . sendiri menjatakan bahwa ’’Segala W a r g a Negara bersamaan kedudukannja didalam Hukum dan Pemerintah dan wadjib mendjundjung Hukum dan Pemerintah itu dengan tidak ada ketjualinja’’. ( Pasal 27 ajat 1 ). O leh karena itu apakah belum w aktunja bagi negara kita untuk mening-
110
galkan sadja azas opportunitas itu sebab tidak sesuai dengan isi d a n d ji w a U .U .D . kita ? 2.
M eng enai sum pah bagi para pedjabat kehakim an (pasal 27 R .U . U . ) , karai usulkan agar setjara tegas ditulis dalam teksnja kata2 ’’D em i A llah'* bagi jang beragama Islam dan kata- jang lazim bagi a g am a2 lain, seperti hainjn sum pah P re s id e n /W a k il Presiden jang tertjantum dalam U .U .D . w alaupun memang disitu dinjatakan be rsum pah/berdjandji m enurut agam anja. H a l ini penting untuk m enghindarkan penafsiran jan g berlainan, sedangkan kata- ’’D em i A lla h ” atau kata- lain jang lazim bagi setiap agam a itu m em punjai ar;i psvchologis jang penting dan dalam bagi si-peng u tjnp sumpah.
3- T entang Hakim- A g u n g dalam R .U .U . tentang S usunan dan H u k u m A tja ra M a h k am ah A g un g . kami berpendapat bahw a sebaiknja p ara H a kim M a h k a m ah A g u n g itu tetap diusulkan oleh D .P .R . H a l ini bu k an diniaksudkan untuk mendapat dukungan politik dengan m engenjam pingkan sjaral- ketjakapan, akan tetapi w alaupun B adan Peradilan ini m em punjai kedudukan jang mcrdcka tapi ini tidak berarti terlepas sama sekali d ari pengaw asan rakjat. Sebab seorang H akim bagaim anapun ahlinja dalam b id a n g n ja tetap ti dak holch m engenjam pingkan tanggung djaw abnja terhadap T u ia n dan
Rakjatnja. 4.
S e la n d ju tn ja sebagai folow up dan konsekwensi dari be rlak un ja kedua R .U .U . ini, perlu pula kita segera memikirkan perubahan- H .I.R * dan K .U .H . P id a n a /K .U .H . Perdata jang banjak sekali hal2 ja n g tidak sesuai lagi baik dari segi2 sumber hukum nja m aupun dari segi kemadjuan- dja~ man jang harus diiluitinja sudah djauh ketinggalan.D em ikian d ju g a perundang-iindangan sebagai pelaksanaannja perlu segera diadakan.
D em ikian lah pandangan sementara dari kami m udah-m udahan ada manfa a tn ja bagi kehidupan hukum dinegara kita, sesuai dengan tekad kita bersama hendak menegakkan H u k um , K onstitusi dan Dem okrasi dinegara kita jang berdasarkan P antjasila ini. T erim a kasih.
F . X . S O E D I/ O N O S .H .
(K A T O L IK ) :
Jang terhorm at Sdr. Ketua, Sdr. M enteri K ehakim an, S d r. A n g g o ta 2 D P R GR. A ta s nam a Fraksi K atolik kami sebelum m ulai akan m enjam paikan satu Motto jang kam i pergunakan; dan M o tto ini kami am bilkan dari pendjelasan pasal 3 a ja t 2 R .U .U . K etentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an ja n g berbuH u k u m jang ditrapk an oleh Pengadilan haruslah hukum jang berkepribadian Indonesia, jang berlandaskan dasar N egara serta p u la m erupakan dasar-hu-
111
kum bangsa kita ia!ah Pantjasila ( Pendjelasan pasal 3 ajat 2 R U U Ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an).
I.
Pengantar .
Pertama-tama perkenankanlah kami menjampaikan utjapan tcrima kasih atas kesempatan mi unt.uk menjainpaikan pendapat Fraksi Katolik dalam si dang jang mulia ini. Kedua R U U jang sungguh vital dan akan mcmpunjai akibat- jang ” verstrekkend” dalam pelaksanaan rule of law' dalam negara hukum Indonesia mi, baiklah kita bitjarakan dengan ketenangan hati dan p ik ;ran jang nuchter. seh ;ng g a rakjat Indonesia benar- akan dapat mengcnjam produk wetgever k ’ta. karena merasa dil'ndungi hak-haknja, didjam in rechrsrekerhe?d-nja, dan merasa benar2 ada ’’pengajomair' atas nasibnja. jang aclVrnja akan sangat berarti bagi pembangunan negara kita. Rule of law tanpa adanja Lembaga Jadikatif jang schat tidak akan ada art’nja, sebab betapa baiknja undang-undang janng kita buat, lidak akan da pat terlaksana. apab?la lembaga jang harus ’’rcclu zettcn” tidak benar- degelijk in de ware zin van het woord, seperti jang dimaksudkan oleh pasal 24 dan 25 U U D '45 beserta pendjelasannja. Bahkan Undang-undang No. 19/ 1964 harus d ’tjabut, karena tidak mendjamin kedudukan Lembaga Judikatif di sebabkan dimungkinkannja tjampur tangan Lembaga Executif. Fraksi Katolik sependapat sepenuhnja dengan Pemerintah. Tetapi kami ingin mcngulang kata2 jang diutjapkan oleh rekan kami Sdr. V .B . D a Costa S .U . sewaktu menjampaikan pandangan Llmum menanggapi RLILI pokok Perkawinan dan R U L I Pokok2 Pcraturan Penvkahan U m a t Islam, ialah sckali-kali kita djangan main ’’belah bam bu” , tangan m endjundjung linggi, tetapi kami mengindjak-ngindjak. P un instansi dari kedua R .U . U . jang kita bahas hari ini pasti tidak seorangpun menolaknja, ja*ta untuk melaksanakan U U D ’45 setjara murni dan konsekwen. N a m u n mendjadi tugas kita semua untuk menelaah apakah kedua R U U tersebut benar2 telah menudju kesasarannja. Kiranja perlu kami ketengahkan disini pula kesan kami sbb. : Sepandjang pengalaman kami sebagai anggota D P R - G R ± 1 V-; tahun, maka dari R U U R U U jang pernah kita bahas, jang banjak mendapat tanggapan serta perhatian dari masjarakat ialah R U U Kepartaian, Ke-Ormasan dan Kelcaryaan serta R U U Pemilihan U m um , jang lain-lainnja hampir semuanja relatif dapat dika takan tidak/kurang mendapat perhatian dari masjarakat, termasuk R U U jang kita bahas hari ini. Sedangkan seperti kami katakan dimuka R U U ini sangat penting pelaksanaan Rule of Law dan akibat-nja akan begitu ,.vertrekkend . H a n ja IK A H I- la h jang sudah mengutarakan tanggapannja, tetapi P E R S A H I , P E R A D I N dan Fakultas2 H u k u m dari Universitas- jang terbesar diseluruh Nusantara ini, jang mestinja merasa dirinja paling berkepentingan dalam hal ini belum djuga terdengar pendapatnja atau tanggapannja, hanjalah dapat kami utarakan disini, bahw a setjara tidak resmi kami mendapat kabar bahwa Fakultas H u k um A tm a djay a tjabang Jogjakarta dalam waktu dekat akan
112
merajakan d'cs natalisnja dengan atjara a.i. d ’.es-rede jang bcrdju du l . ,,Bebe rapa Pokok Pikiran mengenai Peradilan di Indonesia . A la n g k a h bniknja Sdr. Ketua. bila D P R - G R jang terhormat ini memperhntikan d'jjga pendapat2 dari lembaga- atau m asjarakat, jang achirnja akan mengenjam atau menanggung baik buruknja R U U jan g kita bahas sekarang I Saudara Ketua, pcrkenankanlah kann kin; memasuki maleri. II.
Pantjasila tncnghcmlaki kcsatuan hukum.
Saudara Ketua, N egara jang sedang kita bina ini adalah negara Pantjasila. negara kcsatuan, negara hukum, sehingga politik hukum (rechtspolttiek) dari luikum nasional haruslah kita tudjukan kcarah itu. A ta u lebih djelasnja dapat kami uraikan sbb. : P am jasila dasar falsafah neqara kita, dalam dirinja sudah mcngandung azas kcsatuan, kcrukunan dan tolcransi disam ping unsur kcsatuan jang dengan djelas nam pak dalam bentuk negara ialah neqara kesatuan. Azas ini menghendaki tidak adan ja disknm m as, hukum . pun tidak mcnghcndaki sistim hukum dan sist.m perad.Ian jan g menq an dung unsur penqkotakan-kotakan (pasal 27 ajat 2 U U D 45). S.sa- hukum intergentil dan bibit2 pertentangan ideologi serta agama harus d.buang djauh^ dan politik hukum kita harus m cnudju kc un.fikasi hukum. D id a la m membimbing Bangsa I n d o n e s i a setjara peadagogis u ntuk i. , , i i i UK:h m adiu dan lebih m odern, kita m cnudju kckcsadaran hukum jang c • schreven recht, tetapi hentidak perlu terlampau banjak peutercn_ p ^^ daknja kita mcnganut azas kodifikaM )< 9 n d a b m ketera n g a n n ja kami tidak berbeda pendapai dengan p , mcngikuti dan m em aham i a.i. m enjatakan, bahw a hakim wac^| ^ masj ar akat .
nilai2 hukum jang hickip dengan meng
tjatahm
g
- .. , . h„unm kiranja dalam bidang judikatif tidak bisa Tjita- sebagai negara h u * um 1 Trias P o Htika, dim ana kem antapan lain ke juali harus didasarkan kepadc «■ nerona-ronaan , . , , harus didjauhkan d a n perong-iongan peradilan sebagai kekuasaan _judiKc perundang-undangan maukekuasaan pemerintah jan g ^ain pun dalam bentuk executief. n ,. .,
,
,
, .
diam a .1
_ T_ S audara Ketua, tidak perlu saja kami sefraksi Sdr. V .B . D a
pendjadjahan
9
P
sudah apriori tidak bisa
. n ti IT
. . . ,.cniaulanq P erkaw inan
mendasarkan atas azas ’’v e r d e e lt en heerst , er apa mr,:n t peradilan. A d a jang didasarkan atas tm dak p.dananja, atas h u ku m nja, atas
113
golcfngannja. atas agamanja. H a l ini harus kita nchiri clan sesuai dengan apa jang kami utarakan clinuika falsafah negara kiia Pr.iiljasila menghendaki pula adanja kesatnan link uni. Kita mendambakan rule of law. k t s mendambakan rechtszekerheid. dan o'eh kai'ena kiia harus menijiptakan rechtseenheid. sebab rechtseenhcid bevordert rechtszekcrheid demikian salah sijornng pembitjara pada tangga! 25 Oktober 196S jb!. III.
M ahkam ah A gung sebagai puntjak peradilan.
D a lam keterangan Pemerintah pada 17 Oktober 1968 a.i. diterangkan, (kami kutip) : ..Demikian misalnja ditingga'.kan disini gagasan dahulu dalam Undang-undang No. 19 lahun 1964. No. 13 tahun 1965. bahwa M ahkam ah A g u n g adalah putjuk pimpiuan dari l;ngkungan peradilan lain dari pada per adilan umum, jaitu peradilan agama. militer dau tata-usaha negara. Lingkungan peradilan lain tersebut adalah peradilnn-peradilan chusus jang memp.unjai tjiri* tersendiri. jang karenanja luirus diatur dalam berbagai llndaagundang dimana M a hk am ah A g u n g adalnh puntjak dari Peradilan umum. dan tidak lagi mendjadi putjuk pimpinan dari peradilannja. seperti militer, agama dan tata-usaha negara, maka kesimpulan demikian dapat ditjapai berdasarkan pertimbangan sediarah perundang-undangan. politik hukum ataupun praktis kepegawaian berhubung dengan susunan dalam M ah k am ah A gung. Keten tuan dulu, sewaktu M ah k am a h A g u n g masih dipandang puntjak semua per adilan umum, tata-usaha, militer dan agama. mempunjai latar belakang keinginan untuk menudju kearah peradilan terpimpin jang —- sekarang •— tidak dapat dipertahankan lagi” . Demikinn kutipan. Saudara Ketua. berdasarkan alasan- jang kami utarakan dimuka terpaksa kami tidak sependapat deffgan pemerintah. Betapa tidak Sdr. Ketua ! A p a bila masing- badan peradilan mempunjai M a h k a m a h A g u n g n ja sendiri sulit kiranja untuk menggambarkan dapat tertjapainja ,,rechtszekerheid” , sebab tidakkah dengan struktur M ah k a m a h A g u n g seperti tersebut dalam R l I U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman itu akan menimbulkan tafsiran jang t'dak seragam ? Lebih sulit lagi kiranja djika dipjkirkan apabila timbul jurisd/iksi-geschil, lalu M a h k a m a h A g u n g manakah jang karus menentukan ? Kami tidak sependapat dengan Pemerintah jang menjatakan bahwa M ahk am ah A g u n g sebagai puntjak dari semua peradilan itu karena berlatar belakang keinginan menudju kepcradilan terpimpin. jang sekarang tidak dapat dlipertahankan lagi. Pengcrtian ,,terpimpin” jang dikemukakan oleh Pemerin tah ini kami tangkap kalau tidak salah pengertiannja analoog dengan ,,demokrasi terpimpin’’, ..ekonomi terpimpin” . A palagi serupa ini akan kami setudju apabila M a hk am ah A g u n g itu diletakkan dibawah kekuasaan Lembaga Eksekutip, seperti dahulu Ketua M ah k am a h A g u n g diberi kodudukan sebagai M enteri’’ pembantu Presiden. Tetapi dalam R L IU tentang KetentuanPokok Kekuasaan Kehakiman. sendiri pasa! 10 ajat 3 menentukan, ,.Badan* Pengadilan jang melakukan peradilan tersebut pada ajat 1, organisatoris, administratip dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing- Departemen jang bersangkutan, ketjuali M a h k m a h A g u n g jang mempunjai organisas*, administrasi dan keuangan sendiri” . 114
D engan ketentuan serupa ini maka pengertian ,,terpim pinv seperti ,,de~ mokrasi terpim pin’\ ,,ekonomi terpim pin” menurut hemat kam i tidaklah kena. K iranja w adjar sekali badan- peradilan itu m em punjai pim pinan ja n g ,rmandiri\ terlepas dari perongrongan lembaga- jang m anapun, demi te rtjapainja kesatuan hukum dan demi terdjam innja rechtszekerheid. M a k a u n tu k itu struktur piram idal. dimana M ahkam ah A gung sebagai p u ntjak dari semua badan- peradilan menurut hemat kami adalah jang sebaik-baiknja dan setepat-tepatnja.
IV .
Bi\dan-badan peradilan.
S audara Ketua, seperti telah kami utarakan dim uka, bahw a P an tjasila sendiri sudah m cngandung azas kesatuan, jang dengan dem ikian tidak hendaki adan ja diskriminasi hukum, pun tidak m enghendaki sistim huku m dan sistim peradilan jang m cngandung unsur pengkotak-kotakan. Pasal 10 ajat 1, ajat 2, dan lebih- ajat 3-nja memberikan^ kesan jan g kuat kepada kami adanja suatu sistim peradilan jang ber-kotak- jansj tid ak /k u ra n g perlu, demi kesuburan Pantjasila jang pada dirinja m en g an du n§ azas kesatuan. H a l tersebut hanjalah m engingatkan kami kepada iechtsp©liM&k p a d a djam an H in d ia Belanda. Berhubung dengan itu menurut hemat kam i kiranja akan lebih baik, djika hanja diadakan dua matjam pokok peradilan, ialah Peradilan U m um (dalam arti bukan militer) dan P e radilan M iliter, de ngan kem ungkinan masing* mengadakan differensiasi setjaia lim itatif dan berdasarkan azas cffisiensi, misalnja untuk Peradilan U m um ditentukan d if ferensiasi sbb. :
— Peradilan kanak-kanak, — —' ~
,, ,, ,,
ekonomi, lalu-lintas, tata-usaha, dsb.
Begitu pula selandjutnja pengaturan mengenai Peradilan M iliter. Perlu kiranja ditegaskan disini, bahw a semua djenis pe ngadilan/peradilan m enurut differensiasi d a r i P e r a d i l a n U m u m /M ilite r, semuanja dan m asing2 h a n ja m erupakan afdeling atau bagian dari Pengadilan N egeri M iliter. S eland ju tnja Sdr. Ketua, Peradilan U m um dengan differensiasinja itu semuanja berpuntjak kepada M ahk am ah A g u n g . D a la m hal ini perlu kam i kutipkan pasal 24 a ja t 1 U U D ’45 sbb. : ..Kekuasaan K ehakim an dilakukan oleh sebuah M a h k a m a h A g u n g dan lain- Badan K ehakim an m enurut U n d a n g .
Kiranja berdasarkan pasal 24 ajat 1 U U D ’45 itu, pendapat kami diatas dapat djuga berlaku bagi P e r a d ila n M iliter dengan semua differensiasiaja. Oleh karena U U D ’45 setjara explisit menghendaki hanja sebuah Mahkamah Agung, maka kiranja dapat diadakan sebuah ’’kamer” untuk peradilan militer di Mahkamah Agung. 115
V.
Bclam bcrsih dari bahaja tjampur taru/.m pihak lain.
Saudara Ketua, dimuka telah kami njatak.m. bahwa 1‘ raksi Katol k scpenuhnja setudju untuk membersihkan t jampur-tangan dalam urusan peradilan o!eh pihak- lain diluar kekuasaan kehakiman, sepert' te r n ja a dalam pasal 4 ajat 3 R U U Tentang Keientuan-ketentuan Pokok Kekua^aar. Kehakinuui. ".Tetapi menurut hemat kami tudjuan dari pasal 4 aiat 3 tersebut tidak terdjamhi dengan adanja pasal 10 ajat 2 dan 3 jo. pasal 11. Mcntinr. hemat kami pa sal- itu membuka kemungkinan tjampur tangannja pihak-' iain diluar kekuasa an kehakiman dalam urusan peradilan dan dengan demikian lidak akan terdjannn pula kekuasaan judikatif jang kompak dan otonom. M en uru t hemat kami dengan dim ungkinkannja berbagai departemen mempunjai wewenang dalam bidang peradilan seka'ipun hanja organisatoris, administratif dan finansiil dan walaupun hanja atas dasar undanj-undang. nam un hal itu merupakan suatu bahaja perongrongan terhadap kekuasaan ju dikatif oleh pihakJ diluar kekuasaan kehakiman M engapa organisatoris. fi nansiil dan administratif tidak diletakkan dibawah Departemen Kehakiman D isam ping itu menurut hemat kami akan lebih baik b i 1a susunan badan'-’ pengadilan itu sudah d'tentukan didalam R L I U Pokok ini, misalnja : Pengadilan Negeri, Pengadilan T inggi dan M a h k am ah A g u n g . Selandjutnja scbaiknjs di tentukan pula pokok-pokok kekuasaannja masing'-' berturat-turut sebagai: Pcngadilan Tingkat Pertama, Pengadilan T ingkat Banding. Pengadilan Kasasi ■dan Herzicning. Saudara Ketua, menurut hemat kami dengan djalau demikian tjampur ta~ ngan dalam urusan peradilan dari fihak- lain diluar kekuasaaan kehakiman, djadi baik executief maupun 'egislatief. dapat dihhularkan sedjauh-djauhnja D jik a demikian Sdr. Ketua. maka jang zogcnaanul Peradilan Perumahau oleh K .U .P . dan Landreform mendjadi hapus dengan setulirinja. artinja kembali langsung mendjadi w ewenangnja Pengadilan Negeri dan dengan sendirinja pula tidak akan numgkin timbul semi-peradilan jang serha dubious/lidak pasti itu.
VI.
Pcnjclcivcngan-pcnjcleii’cncjan dari rule o[ law.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa terutama dalam melaksanakan penangkapan. penahanan banjak terdjadi penjelewengan- dari rale of law dan mc^a n 99ar hak- azasi manusia. Lebih- djika undang-undang jg. dimaksud dalam pasal 7 R U U tentang Pokok- Kekuasaan Kehakiman tidak segera menjusul diadakan. Penjelewengan2/pelanggarandalam hal ini sudah dari dahulu hingga sekarang, meskipun sudah tiap kali mendapat perhatian bagaimana memberantasnja. Baiklah bunji pasal 7 jang begitu bag us itu kami kutip ,,Tiada seorang djuapun dapat dikenakan penangkapan. penahanan. penggeledahan dan pensitaan. selain atas perinlah tertulis o'.eh kekuasaan jang sjah dan dalam hal- dan menurut tjara- jang diatur dengan undang-undang’’. D itam b ah dengan pendjeiasan jang lidak kalah bagusnja, (saja kutip) sbb. : Pasal 6 s /d 9. Ini semua mendjamin hak- azasi manusia jang mendapatkan perlindungan dalam Negara berdasarkan Pantjasila. Saudara Ketua, pasala jang begitu mulia tudjuannja seperti pasal 7 ter sebut, lama sudah tidak lerlaksana, bahkan kadang- mendjelma mendjadi 116
..ironie” bagi kita, M engapa ? Karena undang-undang seperti jang dim aksad dalam pasal itu tidak kundjung ada djuga, sehingga rule of law nja dalam pelaksanaann japun mendjadi tidak ada. jang terdjadi lalu tindakan- jang mengindjak-indjak hak-hak azasi manusia. naimin didasari dalih- jang hebat. W ille k eur, Sdr. Ketua. jang meradjelela. M aka untuk mengatasi itu. kiranja ba*k apabila tiap penangkapan, penahanan dsb. selain harus atas pcontah tertulis. harus selalu disertai alasan2 jang konkrit. sehingga pelanggaran dalam hal in: harus setjepatnja dapat diachiri/ditjcgah oleh Kctua Pengad lan Negcri ambtshalve atau atas per** m iniaan jang hcrkcpcntingan. Sjarat* konkrit tersebut hcndaklah d tjantu nv kan dalam R U U Pokok ini djangan ditangguhkan m enunggu sampai ad an ja undang-undang jang baru. M u ta t s m utandis Sdr. Kctua, pendapat kami itu dapat pula ditrapkan pada pasal 9 ajat 3. D alam rangkaian ini kiranja ada baiknja mcmbitjarakan pasal 8 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 tersebut berbunji sbb. Setiap oranq. jang dUuduh. ditangkap. ditahan. d tuntut d a n / atau dihadapkan didepan Pengadilan. w adjib dianggap tidak bersalah sebelum adanja putusan pengadilan. jang menjatakan kesalahannja dan memperoleh kekuatan hukum jang tetap.v
Excellent rule of law ! Tetapi pelaksanaannja djauh dari bunji pasalnja > Sehingga terasa bnhkan mendjadi iriterend, i ron is Karena itu un t uk d«pa reduccren penjelewengan terhadap rule of law tersebut. bukanlah ba.k sekali djika jang d a t u r oleh pasa! 8 it-a tidak hanja . e lap °ra dst dst ................ dianggap tidak bersalah ........ .......... dst ..M 'n d j'w M , a k ,mnda,,a, p c M u a n sebagai orang ,ang „dak bersalah V II.
Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim.
Mengenai Madjelis ini seperti tersebut ^ ^ J ^ M a ^ j e H s itu tidak akan mi perlu mengemukakan kekawatiran .kain , menohambat misalnja jang b e rdjalan . A p a k a h d alam pra‘ ' t^ 3 in q a t k e b u tu h a n n ja s u n g g u h mem engenai p e n g a n g k a ta n hakim ,ang_ i 9 9 kkgh d alam h a l in i seb a ik n ja m erlukan pu tu sa n ,ang tjepat dan tcpa . ^ mc1ihat ko m p o slsin ja seper-
“ tuk
»«» iang dimaksud
dengan ’’non-governmental”. V III.
PENUTUP.
Saudara Ketua. kiranja masih tjukup baoiak jang ^ tip i karena bersifat teknis maka ™ aim(lks diuga tampak betapa jkutaia. Hama dan beberapa hal lan« Kek„asaan Kehakiman masih djauh R U U tentang Keten uan-ketentuan P ^ karenanja harus dilepasdar, sasarannja : Rule of k e k u a s a a n kehakiman. Sedangkan jang m e n ja n g k u t R U U KrUang S ^ ^ n a n
Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah 117
A g u n g . dengan m em perhatikan m engingat akan pendapat jang telah kami uraikan dim uka chususnja jang m enjangkut M a h k am ah A g u n g , pada umum-* n ja Fraksi K ato lik dapat menerima. T etapi S dr. Ketua, berhubung hal- jang kami uraikan dim uka itu ada jang prinsipiil berbeda dengan pendapat Pem erintah. maka dalam kesempatan ini sekaligus kam i minta, apabila djaw aban Pemerintah nanti atas pandangan U m u m tingkat I I I ini belum dju g a dapat bertemu dengan pendapat kami, hendaklah dibuka sekali lagi babak ke-2 dan pem bahasan tingkat I I I ini. H a l ini kam i anggap sangat penting, karcna R U U ini benar- akan menentukan apakah rule of law jang didam ba-dam bakan oleh O rd e Barn, oleh bangsa Indonesia dap at terlaksana atau tidak. M a k a achirnja atas perhatian dari sidang jang m ulia ini serta dari w ak il2 Pem erintah kami uljapknn ban jak 2 terima kasih.
A B D U L M U 'T H I S H . (P A R M U S I) : S a ud a ra Ketua, W a k il Pem erintah dan para anggota D P R - G R jang saja h@rmati. A ssalam u’alaikum w. w. Pertama sekali inginlah saja m enjatakan disini penghargaan Fraksi kami kepada Pemerintah jang telah berhasil m enjusun R U U tentang Susunan, Ke^ kuasaan dan H u k u m A tja ra M a h k a m a h A g u n g sehingga dpt. m endjadi atjara ^ ita sekarang, karena memang sangat dihad jatkan oieh m asjarakat kita jang naus akan kepastian H u k u m dalam lalulintas kehidupan mereka schari-hari. D e n g a n gam blang Pemerintah dalam Keterangan d an P e n d je la s a n n ja tentang kedua R U U ini m enandaskan kekeliruan jang sangat m enjolok dari pasal 19 U U N o. 19/1964, jaitu pasal jang mem buka kesempatan bagi Badan E ksekutif untuk tjam pur tangan dalam soal- Pengadilan. Pasal ini telah dijakini oleh Pem erintah sebagai pasal jang diametral pertentangan dengan U U D dan untuk m enjatakan sangat tidak setudjunja, Pemerintah mengkw&lifisirnja sebagai pertentangan konstitusionil jang flagrant. K am i m enghargai pendirian Pem erintah itu dan karena ia dilatar beta" kangi oleh hasrat hendak m enegakkan R ule of Law , kami m endukungnja de*ng an hati jang ichlas. M engenai m aterinja fraksi kam i dalam garis besarnja m enganggapnja se bagai materi jang baik, w alau pun belum dapat m enganggapnja sebagai materi jang sempurna baik. Sebabpun dem ikian ialah karena kam i m enjadari bahwa kedua R U U itu adalah karya m anusia, sedang jang sem purna itu hanjalah T u h a n Jang M a h a E sa dan M a h a A d il. D a la m hubungan ini m aka dibawah ini kami sam paikan pendapat kami, jaitu sebagai berikut :
Tentang Bab 111 R U U tentang Ketentuan^keteniuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 118
Bab ini menimbulkan persoalan dalam pemikiran kami tentang m anakah jang lebih memunskan rasa keaddan, lebih praktis dan lebih tepat dengan maksud U U D antara dua alternatif : a. b.
Semua Peradilan berpuntjak kepada M ahk am ah A g u n g , H a n ja Peradilan Um um sadja jang akan bcrpnntjak kepada M .A .
Kalau dipilih alternatif kedua. pertanjaan jang akan segera timbul ialah : a.
Badan Kehakim an m a n a k a h jang akan m endjadi puntjak bagi Peradilan A gam a, Peradilan M ililc r dan Peradilan Adm im strasi N egara .
b.
Kalau niasinq-masingnja mempunjai puntjak sendiri5. a^ kaJ i f ' ” £n a a n telah mempuniai clausule supaja tidak mend,urus kepada P' bahwa Badan Judicatief dalam Negara kita mempun,a, 4 (empat) aiuka. m enurut banjaknja djenis Peradilan jang ada ;
c.
Apakah puntjak dari 3 Peradilan lain itu akan setingkat dengan Mahkarnah A g un g ?
d.
Kalau puntjaknja terjetak dibawah saaot dan ini tidak akan bcrarti bahwa Badan Kehakiman itu aja.u oleh Badan Eksekulif, sckalipun Departemen itu bem am a
d ib a ^ S S Departem en
Kehakim an. Pertanjaan- ini akan disusul lagi den 9an hubungan antara M ahkam ah A gung dengc itu ? K alau ada dalam bentuk apa ?
lain j
A ta u k ah akan dibiarkan sadja Badan’ Kehakiman lin itu tanpa puntjak 7
Pertanjaan- itu tentu akan dpt.
dari R U U
ini disebut ..U U tersendiri . Tetap
karena
»»
^
belum ada atau belum ditundjuk °?e , f m£f b’i tjaraan babak pertama im, guhkan pengungkapan pendinannja da am P P e m e r in t a h memberikan dan m ungkin akan diungkapan nanti ^ ^ ^ ^ ^ ' " d i s a m p a i k a n oleh
D a la m pendjaw aban P e m A
^
a
g
e . “ ^ j ' ' ^ ' „ e!IS a r k e d u d u k a n M a h k a m a h
^
dipertahankannja M a h k a m a h g 9 fceinginan untuk menudju adilan ialah ..karena m e m p u n ja i latar belakang K e i y
t id a k
kearah Peradilan-terpimpin’ . P e rt.n ja a n kami ialah. m d a £ * l “ M ahk am aii1A g un g ”sebagai p u ntjak dari m enjusun suatu U U ig. m enem palfa * b i kanq hasrat bersama u ntuk
‘ B ^ * n Pe-dita.
m
e n u d .u
k e p a d a
P e r a d
Ia n
dengan latar(beanii ^
la n g
^
^
m u
o le h
p c r t im b
a n
rasa keadilan rakjat dan k* ; “^ ? n p emerin la h dapat melepaskan pend.rian-
jang rasion;l pragmatis,, apakan r
k
nia itu ? 119
Sekali lagi snja katakan bahwa Fraks. kami beiumlah .sampai kepada satu pendirian jang tcntu2 dalam persoalan mi. tctap; pondjelasan- jang diharapkan ladi. tentu akan menolong kami dan barangkali fraksi lain djuga untuk mcngambil kesimpulan dan penduian terach r jang tegas. Sau dar a Ketua, W a k i l Pemerintah dan para anggnfa jang saja Iiormati. Sekarang saja mengarahkan pandangan kepada pasal 1 3 laigkungan Bab ini. Menurut pasal 1 3 ajnt 4 ditentukan bahwa dalam perkara pidana harus!ah hadir seorang Pcnuntut Llmum. ketjuali apalrla ditentukan lain oleh 11 LI. Sa d ah tentu Pemerintah hcrmaksud dengan naval dan ajat in: supaja Hukum dapat ditegakkan dengan tcrtib dan supaja Tertuduh jang dituntut, ialah karena memang berdasar Hukum. Dalam pada itu kita menjadari pula suatu pr.nsip hukum jang nu'netapkan bahwa ss-Tertuduh akan (clap dianggap tidak bersa'ah sampai lerbukti dan mejakmkan balnva ia memang telah bersalah me'nnggar Hukum. Disini Ter tuduh berhadapan dengan seorang D ja ks a jang memang ahli tentang Hukum seaang Tertuduh sendiri jang akan menerima ak bat Hukum itu biasanja terdiri dari orang- jang tidak ahli Hukum. M a k a demi untuk menegakkan 1-eacMan. ..per'andingan" antara Djaksa disatu pinak dan Fertuduh d 'p hak lain, be n ar -’ tidak seiribaiK|. Oleh karena itu hendaknja diharuskan adanja bantuan ahli Ilukum untuk membela T c r tuduh, .sehingga Hakim, D ja ksa dan Pena«ihat Hukum — menurut tjara- jang te ah ditctapkan dapat bersama-sama mentjari keputusan jang scadil-adilnja menurut Hukum. Baik Hakim maupun D ja ks a tcntu dapat diharapkan akan erbuat jang objektif dalam tugasnja. A ka n tetapi hasrat untuk berpikir objektivisme tidak se na n tas a dapat ditjapai oleh manusia. w a la u p u n ia berMinjjcfiih- berhasrat mcntjapainja. Faktor subjektif mereka sangat banjak mc■■‘le^ang peranan, sehingga sedjauh-d jauh jang dapat ditjapai ialah apa jang d-sebut subjectieve objectiviteit’V Masi ng- akan melihat persoalan dari tempat tegaknja sendiri. Dan berlain tempat tegak. berlain pula benda jang nampak. Dengan ikut sertanja Penasehat Hukum jang akan mcnjelami persoalan ifu djuga dari segi subjekt-vitas Tertuduh, maka akan lebih mudah kiranja didekati keputusan jang adil jang sangat- diharapkan oleh si Tertuduh, karena kulit dan batang tubuhnja send ri jang akan mennnggungkannja. Dengan konkrit saja usulkan supaja dalam pasal 1 3 dimasukkan satu ajat lagi jang bunjinja sebagai berikut : ,,( 5) . Dalam perkara pidana Tertuduh w adjib d-bantu oleh Penasehat Hukum, ketjuali kalau ditctapkan lain oleh Unda ng- un dan g” . D e w a n jang mulia, sebelum saja mengachiri pandangan sementara tentang Bab III ini, perlulah saja sampa'kan pula disini hal pemakaian islilah dalam R U U dan dalam Bab III ini chususnja. Disini disebut ,,Badan'- Peradilan” dan dalam bcl-erapa pasal ,,Badan- Pe nga dil an’’ . Kalau saja t :dak keliru mamahami l’angkaian pasal2 R U L I ini, maka jang dimaksud dengan kedua istilah jtu jplah jang dalam LILID Bab III disebut ,,B ad an Kehakiman” atsu ,,Badan3 Kehakiman” . 120
D jik a memang demikianlah halnja jang sebenarnja, maka saja pudjikan agar istilah Badan Peradilan dan Badan P engadilan itu diganti dengan istilah Badan Kehakiman sesuai dengan istilah jang dipakai oleh U U D sendiri. N am paknja setjara ilmu bahasa ia tidak akan membawa konsekwensi apa-apa dan soal ketjil sadja. akan tetapi Pemerintah tentu lebih mengetahui d a n saja bahwa tehnik dan sistimatik per-undang-an menghendaki ketehtian dal«m pemakaian suatu istilah. M ak a w alaupun Parlemen dan D P R didalam arti katania serupn sadja. tetapi dalam tehnik perundang-undangan. k*ta se:a.u rneniakai D P R . karcna istilah itulah jang kita djum pai dalam U U D D an denqan pemakaian istilah Badan Kehakiman mcngganti isit ah B adan Peradilan dan Badan Pengadilan. makin djelaslah hubungan R U U ini d engan U U D dan tci pcnuhilah pula dalam bidang redaksioml kembahnja kita kepada U U D 45 sctjara murni dan konsckwen.
Tentang Bab V II . c•i S id a n q
i p lcn o
ot'.r. cnin h n r m a t i d a l a m j a n g s a ja n o r m a u . u a i a u
p e m b i t j a r a a n b a b a k p e r t a m a ini. \ > i O P P H
k a m i i n g i n p u l a m e n j a t a k a n p c r Se i u d ] u a n s e b a q a im a n a jan q d u n a k s u d d e n g a n B a b V
fn i!” K a l a u t u g a s n j a ter, / , n s u l 2 ia w a
p e r l u m e n g a m e n d i r n j a l a g i . 1 e t a p i Ka a k a n d i p e r t i m b a n g k a n n j a m e n t j a k u p p u al s
,2 u n t u k k e p j n d a h a n , kgn d
haws pada incnipertimbangkan dan memutuskan saran- * n /a (a u usrf £ » g berkenfian dengan pengangkatan dan promos, seseorangHatm jang t:entuniia terarali kepada segi5 teknis diabatanterutaman^.ma^^^ |(u kaml ,idak sud dengan pasalI 33 kam, anggap.telah^ I P j. k persoalan jang
pemberhcntian dan tindakan ' f " X " t
S is
d i a U 'n sadia9 tetapi lebih
tirnbangkan td a k la h m enjangkut g sorotan masjarakat terhabanjak bersifat atau bersumber P»d « P“ !,aJa" “ " K H u k u m dan Keadildap H ak im sebagai Pemegang amanat un2tu^ berada dibaliknja lebih m udah an. Penila'an dan sorotan ini serta bahan- ia g memanq berw adj'b didengar dan diketahui oleh Lembaga a 'p erasaan jg. menilai bahw a m endengnr keluhan rakjat dan kemgman mere • canaka2 bahw a H ak im telah
seorang Hakim tidak memenuhi r a s a keadiian dan sangkaD ketentuail Vrsekongkol dengan Djaksa untuk dalam kedjahatan Hukmn Atjara menurut lidak mudah sampainia keteliekonomi. perasaan dan sangka- jang D « fla O rganisasi H akim atau O r g a n , sas, P agak sulit m engungkapkannja karena bangan et.ket atau la:n-lainnja. M a mi kiranja akan sangat bermanfaa k jang sama sekali tidak■ ja£ d ja tu h n ja seseorang H akim . 1 e mg j hal-hal tersebut dapat d itja n dala
. e
n
H an kalaupun sampai, g a t j , ^
^ m endjalankan pekerdjaan M P P H sertanja suatu unsur dari Lem baga tingan pribadi tentang n aik dan , tidak m em punjai kepentingan atas « Leqislatif. O le h karena itu saja dim asukkan pu la seorang unsur
nD D rD " ag ay d a ,a u M h a n 2oleh Lembaga ini jang m endjadi bekalnja D P R - G R , jang akan diben bahan bahan2 jang tersedia dalam tangan dalam m endjaiankan tugasnja disamp g unsur2 M P P H jang lain. c. . . . . , f^ntana Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
K e ^ i „ t ‘" i T n ^ m ^ p e r h a t i L P - e rintah terhadap pasa. 35 ajat (2) jnng berbunji 5
121
,,DaJam m elaksanakan putusan Pengadilan keadilan dan peri-kemanusiaan tetap terpelihara” .
diusahakan
supaja
pen-
D e ng a n b u n jin ja teks jang denrloan hisalah timbul kesan bahwa menurut pandangan Pem erintah : memelihara peri-kehadilan. dan peri-keadilan itu bukanlah m endjadi kew adjiban jang im peratif bagi Pclaksana eksekusi. P aling2 h a n ja sekedar diusahakan. A pak ah usaha itu sungguh- atau asal ada sadja, tidaklah m endjadi persoalan benar. D jik a memang dcm .kianlah jang dimaksud oleh Pemerintah, maka pasal ini sudah terlepas dari dasarnja sebagaimana jang disebut dalam R U U pasal I, karena disitu d'njatakan bahw a Peradilan berdasar Pantjasila. Karena dasar ini harus dipegang teguh. maka hendaknja dengan tegas2 dinjatakan bahw a dalam pelaksanaan keputusan Pengadilan w a d j i b dipelihara peri-keadilan dan peri-kemanusiaan. D alam hubungan ini saja m engam endir pasal 35 ajat (2 ’ ini .sehingga berbunji sebagai berikut : (2)
,,D alam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaja perikeadilan dan peri-kemanusiaan tetap terpelihara’’.
D em ikianlah pandangan saja tentang R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an. T an g gapan tentang R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan H u k um A tja ra M ahk am ah A g un g. terpaksa kami tangguhkan sampai terdjaw abnja pertanjaan2 kami jang tentu akan diberikan Pemerintah pada w aktunja.
Atas perhatian D ew an jang mulia saja m enghaturkan b an jak 2 terima kasih. N j. SA LJO S.H.
(K A R Y A P E M B A N G U N A N A )
Saudara Ketua, w akil2 Pem erintah dan S audara2 jang terhormat. D eng an rasa sjukur kehadirat T u h a n fraksi kami (F raksi K arya Pembangunan A ) m enjam but R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an R U U tersebut merupakan langkah penting kearah djalan kembali iang pandjang, jaitu pelaksanaan U U D *45 setjara nmrni. D eng an D ekrit 5 D ju li 1959 kita telah kembali kepada U U D ’45, tetapi masih segar dalam ingatan kita semua, betapa dim. pelaksanaannja telah terdjadi penjelewengan2, sehingga bertentangan diametral dengan U U D . Betapa dengan m udahnja U ndang-undang N o. 19 tahun 1964 dengan pasal 19-nja, jang memberi wewena*ig kepada Presiden untuk turun tangan atau tjampur-tangan dalam soal pengadilan, diterima oleh D P R , adalah bukti pembelengguan mental oleh jang berkuasa pada w aktu itu, di'bawah sistim demokrasi terpimpin. Baru setelah A n g k atan ’66 m enggugah dan m em bangunkan lagi hati nurani kita, barulah kita m enjadari betapa djauh kita sudah m enjim pang. D eng an sengadja kami sebutkan dorongan moril A n g k a ta n *6 6 , oleh karena pada dewasa ini A n g k a ta n ’66 sudah ham pir dilupakan, bahkan banjak ditjemoohkan. Baiklah kita sadari, bahw a apabila hari ini k ita hendak meletakkan dasar2 hukum untuk suatu peradilan bebas, maka hal itu adalah berkat pendobrakan A ngkatan '66. Betapa sukanja untuk memberi arti tentang kekuasaan kehakim an itu kita ^adari. D a n apabila kita m em batja kembali pendjelasan atas R U U ini jang
122
menjcbutkan balnva didalam perumusan tentang kekuasaan kehakim an itu ada anqgota Panitia jang menghendaki agar supaja fungsi ..pengajom an ditjantuinkan didalam dcfinisi tentang kekuasaan kehak'.man itu. itulah suatu bukti. bahw a kita m em punjai tjita2 jang tinggi s e k a l i tentang keadilan sehingg kekuasaan kehakiman atau rechterlijke macht diben defmisi. P a ^ah al aP3* ^ dibandm gkan dengan lain* kekuasaan disam ping ju 1 a i jai u ' leqisiatlf dan executief tidak diberi pengertian. D alam hal in!_ kita dapa melihat betapa soal kekuasaan kehakiman dirasakan s e b a g a .s a la h - s a tu s e n d . daripada pencgakkan negara hukum. M ak a d an itu man- jang tampan kita terutama menginginkan 1 angunnj p ‘ kesatuan hukum ialah kesatuan penafsiran m aupun peneiangan ^ ’k u ^ ang pada w aktu belakangan ini dan pada waktu ,ang lampau kurang diperhatikan d a n m a l a h a n t c r d a p a t p e n je le w e n g a n ja n g a n ja se a .1 .
Kekuasaan kehakiman hendaknja diwudjudkan massicf dan satu. Oleh sebab itu. meskipun pasal 10
peradilan. hendaknja Mahkamah ^ ^
i^ e S n d ir i, jaitu kamar untuk
peradi an tersebut. ^ " S “nJ ; “” ar'e radilan agama dan peradilan tata-suaha
peradilan umum, pei’adilan muuer, pt-im* j ^onaf^iran hukum ia. N egara. H a l ini untuk mentjegah ada^ pe" • menjebutkan, bahw a berbeda-beda. Sehubungan 1 s e t j L f organisatoris. adminisb a d a n 2 pengadilan jang terselbut pkekuasaan masing2 departemen jang bertratip dan finansiil ada dibaw ah keku . , s a n g k u t a n . k e tju a l i M ahkam ah A gung. 3bPadan2 ekse„ dap badan pengadilan itu tidak num gkm a ,cBerhubung dengan hal itu pula k utip dibaw ah mana pengadilan itu berna, . ^ berpuntjak pada satu mahkam aka sangat penting apabila semua peradilan berpuntja* P mah, jaitu M a h k a m a h A gung. i i korl-jnS npnaadilan chusus disam ping Pasal 11 ajat 1 menjebutkan, bahw a dindakan dengan undangbadan- pengadilan jang sudah ada. hanja ap paSal 10 ajat 2 telah
undang. P a L l in, bagi kami belum ^
a^
disebut, bahw a perad.lan u m n m b e rp
adilan- jang disebut dalam sub lb., c cu ™ d .n g tersendiri. Pasal 10 ajat m enurut pengertian pasal 10 ajat agam a dan peradilan tata-usaha nega
sebenarnja
jang
masih
disebut
«•
adS X a m a h Agun^ dan per-
d Psusunannja diatur dalam undang4 matiam peradilan, dan
^ k a
p e ra d ”
t o
miHter, peradilan
Deradilan2 chusus. M a k a apakah n badan2 pengadilan chusus
1^9
lain nja itu ?
j.-i-r, rhusus lain itu dimaksudkan misalnja Apakah dengan b a d a n peng:?form menqenai urusan perumahan ? pengadilan chusus mengenai ^ ^ ^ S d a k dapat menjetudjuinja. Apabila itu jang dimaksudkan, maka . i_„ti,nn dalam ajat 1 bahw a pengadilan ti-
A I, £ ' T
f a.fal ' 2J a" 9
dak boleh menolak untuk
m em er
dan mengadili suatu perkara jang diadjuksa a | djeias melainkan wadjib
tarn dengan dal,h bahwa un uk memer.ksa dan mengad,l.n,a ad Tetapi kalau dalam pasal 22 AB terh vslg sMtu ak,bat hukum bahwa hak ajat 1 tidak menjebutkan sangsi. Ujuga
L i ’p dengan pasal 22 AB. 9 ,akan i(u di.jkatkan rech Sgedapat dituntut, maka pasal 12 p ]2 , disebutkan P
123
nertanja
"d e n g a n dalih bahw a hukum tidak atau kurang d je la s ^ sadja. sedangkan p a sal 22 A B m enjebut '’stilzw ijgen’’ dan #% onvoI!edigheid der wet’\ jang dapat diterdjem ahkan dengan "tid ak a d a n ja ’* dan ' ’kurang lengkapnja'* undang-un dang disam ping ’’duisterheid der wet"' atau kurang djclasnja undang-undang. M e n uru t pendapat kami pasal 22 A B itu sckalipun bcrasal dar; djam an kolonial, nam un tentang isinja leb h lengkap dan tidak ada salahnja apabila djuga didalam pasal 12 ajat 1 semua unsur tersebut dilcngkapkan. agar supaja lebih sempurna. Pasal 20 mengenai connexitcit jang berbunji : A pabila dalam suatu perkara pidana terlibat orang2 jang termasuk wewenang llngkungan bcrbagai peradilan maka mereka dihadapkan didepan pengadilan didalam lingkungan peradilan U m um , ketjuali apabila undang-undang menentukan la:n. H a l ini m ungkin dim aksudkan untuk m el.ndungi orang sipil jang terlibat. agar supaja dapat diselamatkan dari pengadiTan mi'iter. Conneksitas ini hanja ada dua kem ungkinan, ialah terl’batnja orang2 sipil dan orang militer. sebab konneksitas dewasa ini tidak dapat lagi berupa perbedaan t ngkatan pengadilan sebagai mana dulu dizaman kolonial, d sebabkan adanja penggolongan2 penduduk jang mempunjai badan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi selandjutnja ada kalim at jang berbunji ’’ketjuali apabila undang 2 menentukan la ’n f\ dan dalam hal ini pasti adalah undang- peradilan militer jang nanti menundjuk lain. M a k a ketentuan pasal 20 ini m endjadi kchilangan arti. seba gai suatu ketentuan pokok sifatnja seharusnja pasti dan tidak dapat d u b a h lagi dengan suatu ketentuan lain. Pasal 21 ajat 1 jang menjebutkan hukum tak tertul s sebagai sumber hu kum perlu penegasan antara hukum perdata dan hukum pidana, sebab apabila diterangkan didalam hukum pidana dapat bertentangan dengan K .U .H .P . pa sal 1 ajat 1. Interpretasi analogispun tidak diperkenankan dalam perkara pi dana, maka dari itu apabila sumber hukum tertulis kita terapkan didalam hukum pidana pasti akan tidak ada kepaslian hukum dan bertentangan denqan azas "n ullum delictum” . Tentang pasal 24, jaitu pasal jang mengenai toetsingsrecht, jang hanja meliputi peraturan perundang-undangan jang lebih rendah daripada undang2, ^ebaiknja djuga meliputi undang2, meskipun negara kita adalah Negara Kesatuan, sebab dalam kenjataannja M ahk am ah A g un g dalam hal ini hanja memberikan suatu penilaian jang harus diindahkan oleh D P R dan Pemerintah. D a n pentjabutannja dilakukan oleh D P R dan Pemerintah bersama-sama. Maka dalam hal ini, m engingat bahw a H akim lebih tahu tentang soal2 hukum, tidak ada salahnja bila M ahkam ah A g un g d:beri wewenang dan memberi peni la.’an tentang bertentangan atau tidaknja suatu undang2 dengan undang2 jang lebih tinggi. Pasal 26 jang memuat apa jang sebenarnja wrakingsrccht dari pihak jang diadili dan verschonngsrecht dari hakim baru disebut pokok2nja sadja, dan perlu dibcri ketentuan, bahw a akan d atur lebih landjut dalam hu kum atjara. Sebab jang ditulis dalam pasal 26 adalah baru mengenai pokok2n ja dan tidak memuat alasan2 atas dasar mana seseorang jang d adili dapat ingkar terhadap hakim jang mengadili perkaranja.
Selandjutnja Saudara Ketua, k^mi menjetudjui pembinaan suatu ’’carperservice’’ bagi hakim, sebab pekerdjaan ^akim memerlukan sesuatu kealilian 124
dan suatu pengetahuan jang luas tentang hukum. Ini hanja dapat diperoleh di da lam
suatu p c k c rd ja a n ja n g b e rd a sa rk a n p e n g a la m a n ja n g
m enerus d ib id a n g
uas
an
eras
itu.
Pembentukan M .P.P-H . merupakan suatu idee jang b a n ,, dan m ungkin didalnm negara k?ta merupakan suatu hal jang aneh sekali. Penelitian dan pertimbangan itu akan meliputi segr jang dcm'kian lias, jai u en aug peng a ng k atan. 'p r o m o s i. p e m b e r h e n t ia n dan tindakan- hukum an d jabatan para h a kim. A pakah Pemerintah tidak sependapat dengan kami. bahw a barang k ah tunas M .P .P .H . dengan demikian akan mendjadi terlampau luas . S edangkan apa jang kami ketahui di Amerika ten.tama hanja soal pengangkatan jang keputusannja terachir diserahkan kepada I u ,c a ommi ee ^ Assotiation. Itupun p e n t ja lo n a n diadjukan oleh G ubernur d a n suatu S ate dan pada tingkat terachir diteliti dan disetudjut oleh Judicial C o m ™ ^ d ' r ' Association. D ja d i tidak begitu banjak pihak- jang I j a m p u p p £ •,,, pengangkatan hakim- itu. Sedangkan menurut pasal 33 ,tu 1 dari unsur executief. jaitu : Menteri Kehakiman, Ketua M a h k a , ^ senior H akim A gung. seorang wakil d a n O rgam sasi H ak .m dan .e o g v kil d a r i O r g a n i s a s i P e n g a t j a r a .
r i - dan A™ nada bag! Luasnja komposisi pada M M gP P .H . ini djustru memberi ^ ppeluang id an g djuga
suatu pertrmiann mengapn m.saln) ^
9
dimMukkan dalam
M.P.-
m endjadi salah satu partai dalam peiKtud P .H . itu.
Djadi terlalu luas itu bisa d|.,<|a berarti malah mendjadi kurang. Maka sehubungan dengan itu. kami ” ™®“’ uj j 2 j rjj* a n g k a n untuk medemikian luasnja M .P .P .H . itu, aga1’ SUPCj \9 _ _ j „ M P P H itu masukkan Djaksa atau mengurangi kompos.s, dar.pada M .r .ir .r i.
, i.A*n anakah sekiranja tidak lebih Begitu pula m engurangi akan tuga J mos. dan pemberhcntian sadja, baik apabila hanja meliputi pengangkat. .^ p .H a sedangkan kepindahan dan t i n d a k a n * hukum an djabatan para kan kepada lain- badan diluar M .P - P H . itu. S audara Ketua dan Sdr. jan g terho r m a t . ^ l e h ^ D P R - dig u n g m e n en tu k an , b a h w a Ketua M a h k a m a h A g un g dipihh antara- tjalon jang diadjukan oleh M.P-
v
i
i
v u
o cf>1r\iknia ianq diadjukan itu satu tjalon tung-
ga, d a rM bp T H dadPan m cn^sfatan Lta’u menolak tja.on tunggal itu dengan suara terbanjak atau suara majoritas biasa. tj
lam h
.
L-ami kemukakan dalam hal ini, ialah b e hw a da-
X
"
! -«! • « “ “**? ' r ^ Pen9aWaSan
dak setjara langsung m entjam puri tentang pen ja o
”
Djuga didalam RU U tentang Susunan. Kekuasaan dan H u k ^ A t|«a , atiarania jang akan dipergunakan didalam Mahkamah d'masukkan didalam at,aran,a. Mahkamah Agung, kami mengusulkan agar supa)
125
Pasal 30 ajat (2) hanja menjebutkan. bahwa didalam suatu putusea, apa bila M ah k am ah A g un g membntalkan putusan Pengadilan bawahan dan mengad'li sendiri perkaranja. maka dipakai H ukum Pcmbuktian jang berlaku b a g i Pengadilan T ingkat P e r t a m a . sedangkan -a'at- pcmbuktian atau Hukum Pembuktian itu djuga masih belum ditegaskan. T entunja dalam hal ini masih dipaka-' pedoman- R .I.D .,
akan tetapi me-
ngingat bahwa kita akan mcmbahaau-' pula H ukum A tjara ini, m aka’*sebclum itu ada baiknja pasal 30 ajat (2) dipcrlengkapi dengan jang berlaku bagi M ahkam ah Agung.
H ukum
Pembuktian
D alam U ndang-undang M ahkam ah A g ung tahun 1QS0, H ukum Pambukt'ian menjebutkan alat2 pcmbuktian jang menjim pang dari R .I.D ., jailu : 1.
2. 3. 4. 5.
P e n g e t a h u a n H akim Keterangan T erdakw a Keterangan Saksi K e t e r a n g a n a h li d a n
Bukti surat2.
D a n dalam hal ini, M ahkam ah A g un g lebih mengutamakan vrije bewijs theorie jang dianut oleh R .I.D . dan mer.gingat bahw a pembaharuan H ukum A tja ra itu masih lama, maka kami berpendapar bahw a sebaiknja dalam hal ini pa sal 30 tidak hanja m enundjuk sadjn kepada H uk um Pembuktian jang berlaku bagi Pengadilan T ing kat Pertama, akan tetapi djuga dapat membnharui H u kum Pembuktian itu. Saudara Ketua dan Sdr.2 sekalian, h anja sekian penaandangan kami me ngenai 2 R U U ini.
Terima kasih. M U S T A F A SO E P A N G K A T .
(l.P.K.I.) :
Assalamu’alaikum w. w. Saudara Pim pinan D P R - G R , D P R - G R jang terhormat.
W a k il Pemerintah
dan Para
Anggota
A tas nam a Fraksi IP-K I perkenankanlah kami menjam paikan tanggapan kami terhadap R U U tentang K etentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tjara M ahk am ah A gung, fang oleh Fraksi IP-K I memang telah lama diharapkan agar U U ini dapat segera diselesaikan karena sangat urgent sekali dalam rangka menegakkan ke adilan dan kebenaran dalam rangka pelaksanaan U U D ’45 setjara m urni dan konsekwen, dalam hal ini kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginja ke pada Pemerintah jang telah dapat m engadjukan kedua R U U ini, dan semoga segera memperoleh persetudjuan kita bersama. karena memang telah ditunggu-tunggu oleh R a k ja t pada um um nja atas segera tersusunnja U .U . ini.
126
Menegakkan keadilan dan Kebenaran dalam rangka P«lal^sa"®®n UUL> 1945 setjara murni dan konsekwen. oleh Sidang U m um ke I V M P K b dengan Ketctapan M P R S No. X /M P R S /1 9 6 6 telah dinjatakan dengan tegas bahw a kekatjauan discmua bidanq kehidupan R akjat dan N egara jang m em untjak pada terdjadinja G-30-S P K I adalah antara lain disebabkan oleh ad an ja penjelewengan terhadap U U D 1945, bahwa untuk m endjam in tidak terdjadinja lagi penjelewengan ialah didudukannjs kembali Lem baga- N egara pada posisi dan fungsi sesuai dengan U U D 1945, dan oleh Ketetapan M P R S N o. X I X / M P R S 1966 ditegaskan pula bahwa dalam rangka pemurnian pelaksanaan U U D 1945 p e r l u menindjau produk- legislatip baik jang berbentuk Penpres, Perpres. maupun jang berbentuk U U dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. maka dengan dim adjukannja oleh Pemerintah R U U tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R U U tentang S usu nan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A g un g ini merupakan kebutuhan jang sangat mendesak bagi R akjat atas adanja djam inan ketertiban dan ketenteraman hidup lahir dan batin. Undang-,,ndang N o. 19 tahun 1964 dan . U n d a n 9" benar2 merupakan produk- legislatip jang m enjimpang 1945. dim ana had,,,, iang m endjalankan fungsi jang sewadjairnj;a terscbut maka makin pula memperpan arti pula memberi kelonggaran kepa c P K I dan O rde Lama untuk mentpptakan
N °' ^ ,a^ an ' telah tidak
ketidak stabilan jang ber‘ nghambat iajah sisaa G-30-S/ m enguntungkan bagi dengan ^
usaha come backnja. Dengan demikian <^ , U n d a n g 2 tersebut dan di~ b ir a dan t e r im a kasih atas segera d itja iu k ‘ n a r c ^idasarkan kepada Falaafah ganti dengan LIndang-undang b a r u jang ei <_ DaSal 24 dan pasal 25. P A N T J A S IL A dan U U D 1945 chususnja B A K abinet Pembangudan kami jakin sepenuhnja bahwa suksesnja kannja penertiban Lem baga2 nan akan banjak dibantu oleh segera ' j^g ^k a m a h A g un g, B adan N eqara, terutama Lembaga T e r t in g g in ja s i seqera ditindjau kembali Pemcriksa K euangan jang undang’ nja ,J|»|a.peri- * 9 karena tidak sesuai dengan djiw a D a la m
m e m b a h a s m a te r i d a r i
d a p a t m e n je t u d j u i R U U
^
.
(
u s u l P e m e r in
n j a a k a n s e g e r a d is u s u l d e n g a n
<
nK e te n tu a n 2 P o k o k K e k u a s a a n Ke-
s e p e r ti j a n g d im a k s u d d a la m
,2\ pasal
11 a ja t
(1 )
dan
(2)^, p a -
h a k im a n p a s a l 9 a ja t (3 ), pasal s a l 36 d a n p a s a l 40, s e h in g g a se e
1 sele s a in ja U U t e n t a n g K e t e n t u a n 2 PoP o r a d il a n s e t ja r a t e r tib d a n m antap. kepada Jth. M en te ri k o k ir ii s e g e ra p u la ’dapat ^ ^ ^ / ^ " L i ^ d j u g a D a la m rangka ini tidak lupa te^*” mnerhatikan tertibnja pelaksanaan PerH A N - K A M / P A N G A B jang telah memPe , m kepada P A N G A D , PA adilan sebelumnja dengan d i k e l u a k menqistruksikan kepada seluruh N G A L . P A N G A U dan P A , ^ A^ a “ “ 'dUarang m engganggu d ja lw m ja seslagordenja untuk dengan dalih apap sedanq dilakukan oleh aiat/basuatu pemeriksaan pidana a ta ,,p e r > terhadap orang sipil. H a l in i m ^ n a m l^ h k e ^ak in an ^am T b a h w a Segera tersusunnia
U ndang
ja n , s c d a ,,
*1
kita balms sekarang ini, segera pula ak;m dapat terlaksana dalam suasana tcnarig dan tertib dimana Rakjat merasa lega dan tcnteram. Selandjutnja jang mengenai R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan H u kum Atjara M ahkam ah A gung. Fraks kami mengusulkan agar didalamnja memuat kelentuan ten'ang peradilan bagi par.i anggota l.e.nhaga- Negara Tertinggi seperti anggota M P R S D P R - G R . D P A . BPK. dan M A . guna mendjamin kewibawaan serta martabat dari Lembaga- tersebut. Unuik itu kami usulkan agar dalam Bab II pasal 11 ditambnh satu ajat lagi mendjadi pasnl 11 ajat (2) jang berbunji : ..Mahkamah A gung mengadili perkara- jang menjangkut anggota- Lembaga Negara Tertinggi dalam ungkat perlama dan terarhir"1. Selandjutnja jang lain- akan kami salurkan lewat kesempatan pembahasan Tingkat I V guna lebih sempurnanja penjusunan kedua I I I I ini. Assalaamu’alalkum w. w. Sekali lajar terkembang stirut kita berpantang” .
128
ATAS PE M A N D A N G A N U M U M PA R a A N G G O T A DPR-GR BABAK I M E N G E N A I R U U T E N T A N G
d ja w a b a n
p e m e r in t a h
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN K E H A K IM A N D A N R U U T E N T A N G S U S U N A N . K E K U A SA A N D A N H U K U M A T JA R A MAHKAMAH
AGUNG.
A tas tanggapan para anggota D P R - G R jang diadjukan pada tanggal 28 dan 29 O ktober 1968 Pcmerintah meniberi djaw aban atas Pertanjaan- anggota tersebut. D ja w a b a n Pemerintah jang disam paikan pada tanggal 31 O ktober 1968, adalah sebagai berikut :
Djawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum D PR-G R pada tanggal 28 dan 29 Oktober 1968 mengenai Rantjangan Undang-undang tentang Keten~ tuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Rantjangan Undang~un~ dang tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah A gung . Saudara P im pinan dan para A nggota D P R - G R jang terhormat, M e n a n g q a p i Pem andangan U m um Saudara2 A ng g o ta D P R - G R jang terhormat pada tanggal 28 dan 29 O ktober 1968 m e n g e n a i kedua R U U jang telah disam paikan o le h P e m e r in t a h kepada D P R - G R , jaitu R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R U U tentang S usunan, Kekuasaan dan H u k u m A tjara M ahk am ah A gung jang semestinja disertai dengan P em andangan U m um mengenai R U U tentang Pengadilan da am lingkun gan P eradilan U m u m , jang oleh Pemerintah telah disam paikan pad a ta n g gal 8 O k to b e r 1968 maka tam paklah dengan djelas adanja. emocra ic w ay of life” dalam kehidupan parlementer kita, dim ana k it a menga *** ®1 ~ kan m elindungi a d a n ja suatu ’'wide range of diversities , se ang Vfhendak m enjesuaikan diri dengan kehidupan demokratis ^ aru® ,... >• m am puan untu k m enudju kearah suatu ’’variety^of unity jai u jan g ditjap ai dengan m em pergunakan ’’diversity setjara crea i * , D a n . apabila kita sudah m au menerima azas demokrasi. dem .kian pu la demokrasi Pantjasila. maka kita akan sampai pula pada suatu keten uan, jan g m enjatakan, bahw a consent jang m urni sebagai sua u m gr i j 9 tal dan preliiminer sifatnja, adalah suatu hasil terachir d a n tukar fik p a n d a n g a n ataupun dari suatu perundingan. K ita sekedar dap at m engatakan tentang rundingan jang a ^ p kita d a p a t m engadakan suatu ’’contribution” untuk memiliki suatu com m on und e rsta n d in g ” , dan m engadakan suatu tjara kom m um kasi jan g di u d ju k a n kesatu arah sadja, bu k an apabila seorang pem bitjara itu m engadakan sebuah pidato kepada suatu ’’audience” dalam suatu ’ one--w a y tra ffic P u la , djustru karena kita m em bitjarakan tentang R U U - R U U , jan g bersangkutan dengan penegakkan K e k u a s a a n K ehakim an jang merdeka, lah disini, b a h w a persoalan ’’Kekuasaan K ehakim an , ang merdeka sebagai unsur essentieel dari ’’R ule of L aw '’ harus memilifa functional equivalent untu k dap at m endjam in ’’R ule of L aw ” , dim ana azas-nja, ^ m b a g a d an prosedure-prosedurenja tidak usah identik sifatnja, m elainkan broadly sim ilar , sehingga d a p a t disim pulkan b a h w a ’’R u le of L a w m em ungkinkan a d a n ja diversitas d a n varietas struktur politik, systeem Pem erintahan, systeem ekonom i
129
dan kebudajaan dan untuk pelaksanaannja tidak perlu memil'ki replica2 demokrasi lainnja. Dalam rangka pcmbitjaraan disiai, tcrdnpat suatu "functional equiva lent” , jalah Kekuasaan Kehakiman jang merdcka. akan tetapi ia tidak mcnutup kemungkinan pula adanja suatu varietns ataup.m divcrsitas. seperti terfihat pula dari pandangan Saudara- jang terhormat. untuk mana Pemerintah ingin menjatakan lerima kasih dan penghargaannja dan senioga dapat mcrupakan bahan untuk mendjadi suatu "u nity " pandangan kelak. Sungguh bermanfaat pandangan-. saran'-’. pcrtimbangan-pcrtimbangan ataupun recommendasi- jang diberikan oleh Saudara- dan apabila kita mempunjai kemampuan dan kesenian untuk mengadakan perembugan. maka ia mungkin dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mentjapai consensus jang dapat cbpertanggung-djawabkan kepada Tulian dan Rakjat. Dan apabila kita mclihat perentjanaan LIndang-undang ini., jang berhubungan dengan pcrsoalan Kekuasaan Kehakiman jang merdcka. dalam rangka pc'aksanaan Ketetapan M P R S No. X I X , dimana penindjauan kembali Undang-undang dan Perpu jang memuat materi jang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 itu diserahkan kepada Pemerintah bersama-sama D P R - G R . maka mendjadi tudjuan kita bersama unluk berembug dan bcrunding guna mentjapai suatu consensus dengan mendjauhkan diri dari penondjolan controversy belaka. Saudara Pimpinan dan para A nggota jang terhormat, Telah kami kenuikakan. bahwa ’’Rule of Law ’" perlu mcmiliki ’ functional equivalent’ , jaitu dalam rangka pcmbitjaraan disini "Kekuasaan Kehakiman jang merdeka’’. Tam paknja ada suatu kesatuan pendapat jang tak diutjapkan bahwa Kekuasaan Kehakiman jang merdeka itu berarti merdcka atau bebas dari segala tjampur tangan oleh Executive maupun Legislative dan bebas da lam mendjalankan tugasnja. "w ith the exercise of the judicial function’ . Djustru pembitjaraan di D P R - G R mengenai Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehak iman. Susunan, Kekuasaan dan H u k um Atjara M ahkam a Agung: ten tang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Um um . menundjukkan bahwa kebebasan dalam mendjalankan ’’judicial function’’nja dari tjampur tangan Executive dan Legislative ini merupakan rintangan prinsipieel bagi Legisla tive dan Executive untuk meletakkan "the general framework’’ dan azas-azas nja mengenaii susunan. kekuasaan dari Pengadilan. Suatu perundang-undangan mengenai hal ini sudah barang tentu tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk mengurangi ataupun melanggar azas kebebasan dari ’’judiciary dal am mendjalankan tugasnja, ’’in the exercise of its judicial functions , sua tu hal jang pernah didjalankan oleh LIndang-undang No. 19 tahun 1964 dan N o. 13 tahun 1965 jang bertentangan setjara ’’flagrant’’ dengan Kekuasaan Kehakiman jang merdeka. D jik a la u Kekuasaan Kehakiman jang merdeka sebagai ’’functional equi valent’’ telah kita setudjui semua, maka dalam ,’uitwerking’’nja ia masih membuka pintu bagi varietas dan diversitas dalam pandangan mengenai beberapa masalah, jang tidak usah menudju kearah kesimpulan, bahwa pandangan lain dari pada apa jang dikemukakan adalah bertentangan dengan Llndang-undang D a s a r 1945, apalagi dengan Pantjasila. D em ikian lah misalnja, persoalan M P P H (M adjelis Pertimbangan Penelitihan H a k im ) mendapat tanggapan jang bermatjam-matjam, dengan berpokok130
pangkal pada pertimbangan2 tertentu, baik ia mengenai ’’scope”n ja m aupun mengenai composisinja ataupun kemanfaatannja. Dikem ukakan oleh Sdr. Sugihharti S H . dari Fraksi P .N .I. m isalnja, bahwa apabila dipandang perlu untuk memasukkan P E R A D I N dalam komposisi M P P H tersebut. jang mempunjai kewenangan dalam bidang pengangkatan, pemberhentian, pemindahan, promosi dan tindakan/hukum an administratif, maka perlu pula komposisi diperluas dengan Sekretaris Presiden dan Ke pala Kantor Urusan Pegawai, sedangkan apabila kedua pedjabat terachir ini tidak dimasukkan maka duduknja wakil dari organisasi Pengatjara masih me rupakan pertanjaan. Sdr. M alikus Suparto S H . menjetudjui sekali duduknja P E R A D I N dalam M P P H tersebut, sedangkan ada (Sdr. A bd. M u ’thi dari Fraksi P .M .I.) jang berpendapat bahwa semestinja seorang anggauta D P R duduk sebagai anggauta dari M P P H . Sdr. D urm an S H dari Fraksi N .U . menanjakan. apakah dasarnja untuk mengikut sertakan Pengatjara dalam M P P H , sedangkan Sdr. B .M . K oentjoro Y a k ti S H dari Fraksi Karya Pembangunan C tidak dapat m enjetudjui, bahw a saran-’ itu seolah-olah merupakan sesuatu jang harus diterima, sehingga Sdr. B .M . Koentjoro Y ak ti S H jang terhormat hanja membatasi pertim bangan ter sebut sebagai sebuah fatwa jang ’’advisory” sifatnja. Begitu pula Sdr. F .X . Sudiono S H dari Fraksi Katholik memandang adanja M P P H tidak praktis dan mempersoalkan M P P H jang sifatnja adalah non-governmental itu. M engenai "scope'’ jang di "toebedelen” kepada M P P H misalnja N j. S. S aljo S H dari Fraksi Karya Pembangunan A berpendapat bahwa terlalu luas, se hingga ia membatasi diri pada soal2 pengangkatan, pemberhentian dan pro mosi, sedangkan persoalan pemindahan ataupun tindakan/hukum an administratif sebetulnja tidak m endjadi tugas kewenangannja. M engenai composisinja N j. S. Saljo S H berpendapat, bahwa ia terlalu lua*, sehingga dapat menimbulkan pertanjaan oleh karena apakah D jak sa tidak di masukkan didalam nja, apabila semua pedjabat jang tersangkut didalam sesuatu peradilan. Pandangan jang bermatjam-matjam tersebut hanja memberikan sebuaV ilustrasi, bahw a dalam persoalan pengangkataan, pemberhentian para H ak im dan lain-lain masih terdapat varietas2 dalam rangka ketentuan, bahw a chususnja soal pengangkatan dan pemberhentian para H akim tidak dapat diserahkan setjara exclusif kepada satu Badan sadja, baik ia Badan Executif, Judicatif, m aupun Legislatif, melainkan bahw a dalam soal2 tersebut perlu ada suatu ’’cooperation” ataupun se-tidak2-nja suatu ’’consultation’’ antara Judicatif dan badan jang berwenang dalam persoalan tersebut, jalah Executif. D a ri pada itu. R U U ini mengambil suatu prinsip, bahw a B adan Judicatif — dalam hal ni M ahk am ah A gung — itu diincorporasikan dalam sebuah M adjelis, sedangkan dalam Negara-Negara lain kadang2 M ahk am ah A g u n g m endjadi anggauta dar,i sebuah ,.Committee” ataupun M ahk am ah A g u n g sebagai B adan Judikatif mengadakan consultation atau co-operation dengan pedjabat jan g berwenang m engadakan pengangkatan ataupun pemberhentian. A d a la h suatu prinsip, bahw a M ahkam ah A g u n g sendiri ataupun Executif sendiri setjara exclusif tidak boleh mengadakan pengangkatan atau pember hentian, oleh karena hal demikian dapat m enim bulkan bahaja jang potentieel dan chususnja pengangkatan ataupun pemberhentian oleh M a h k a m a h A g u n g sendiri akan terlepas dari pengawasan baik dari Executif m aupun dari Legis latif. D a n adalah suatu prinsip pula dalam R U U itu M a k a m a h A g u n g diin-
131
corporasikan dalam sebuah Madjelis. jang kemudian akan memberikan saransarnn ataupun usul-usul kepada Executif. M aka, apabila tcrdapat kadang-kadnng suatu divergensi pandanqan mengenai Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim tersebut. baik jang me ngenai ,,scope"nja, maupan jang mengenai composisinjn. ataupun mengenai sifat dari badan tersebut. apakah ia bcrsifat ..governmental" ataupun ..non governmental'’ dan bagaimanakah sifat dari pcrtimbangan-pertimbangan dari Badan tersebut, apakah ia bersifa; advisorv atau pun ia merupakan pertimbangan jang mengikat, kesemuanja itu dim ungkinkan dalam rangka prinsip diatas, bahwa M ahkam ah Ag.ing itu dalam soal-soal pengangkatan. promosi, kepindahan, pemberhen'ian dan tindakan hukuman djabatan para Hakim diincorporasikan dalam Badan jang bernama Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim mengadakan konsultasi dan cooperation dengan pedjabnt-pedjabat janq berwenang. Karena itu. varictns dan divcrsitas pandangan tersebut masih dimungkinkan dalam rangka "Rule of Law", jang tidak dapat menjetudjui pengangkatan, pembcrhentian dan lain" terhadap para Hakim setjara exclusif, sedangkan Negara Hukum. demikian pula Negara Hukum Indonesia tidak mengenai suatu kehendak jnng ditcrmincrend jang mcmastiknn. melainkan ia mengakui adanja kekuasaan-kekuasaan jang mengadakan imbangan satu sama lain. M ak a apabila tcrdapat varietas ataupun divcrsitas pandangan mengenai Pertimbangan Penelitian Hakim tersebut. baik jang mengenai ..scope", komposisi, sifat dan hakekat dari pcrtimbangan-pcrtimbangan jang diberikan, hal demikian merupakan hal jang wadjar dalam rangka "R ule of Law'" dan kare na itu. ia dapat didjadikan bahan pcmbitjaraan selandjutnja antara Pemerintah dan D P R - G R . Saudara Pimpinan dan para A nggauta jang terhormat. Suatu persoalan lain, jang tampaknjn mendapat perhatian para Anggauta jang terhormat, bersangkutan dengan pertanjaan. apakah M ahkam ah Agung itu harus dipandang sebagai puntjak atau tidak dari 4 lingkungan peradilan dalam RULT tersebut. jaitu peradilan umum. tafa-usaha negara. militer dan agama. D im ana ada sementara anggauta. jang belum memasuki masalah ter sebut (Sdr. E. Sjaefullah S H da ri Fraksi P.S.I I.), atau membatasi diri pada permintaan keterangan ataupun pendjelasan mengenai pclcpasan gagasan sebagai puntjak ( A B R I ) , maka beberapa Saudara Anggauta jang terhormat telah mulai dengan pandangannja terhadap gagasan (N j. Tuti Harahap SH. Sdr. F .X . Soediono S H . Nj. S. Saljo S H . clan lain-lain), jang kcsernuanja >tu disertai dengan argumentasi. bahkan diteruskan suatu kesimpulan, bahwa ketentuan M ahkam ah A gung bukan sebagai puntjak itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar. chususnja pasal 24, 25. Perkenankanlah kami sekali lagi mohonkan perhatian Saudara-saudara, bahwa ketiga-tiga RULT jang Saudara-saudara sekarang hadapi, jaitu R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, RLILI tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k um A tjara M ahk am ah A g un g dan RLILI tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m u m adalah hasil karya dari sebuah Panitya Negara, jang diketuai oleh Prof. Soebekti, Ketua M ahk am ah Agung dan terdiri dari Anggauta-anggauta sebagai wakil dari M ahkam ah Agung. Departemen Kehakiman, dari kalangan Universitas dan dari golongan masja rakat, jang mempunjai minat dan keahlian terhadap persoalan kekuasaan ke hakiman. D engan demikian persoalan ini sudah dibahas oleh teoretici prac132
tisi dan mereka jang berakar setjara representalip dalam masjarakat, ja n y sampai pada suatu kesimpulan, bahwa gagasan Malilcamah A g u n g sebagai puntjak dari iingkungau peradilan. Mai demikian tidak mcnuiup kcmungkinan, bahwa pandangan lain dapat diadjukan. jang bcrlainan dengan discrtai argumcntasi rationil. Dari pada itu. telah kami njatakan dalam Keterangan Pcmerintah pada tanggal 17 Oktober 1968. alasan- apakah janq dapat dikemukakan untuk sampai kepada suatu kesijnpulan. balnva Mahkamah A g un g itu bukan puntjak lagi dari -4 Iingkungau peradilan. Alasan-alasan tersebut mungkin memerlukan pendjelasan lebih hind jut. jang apabila dipcrkenankan akan kami berikan kepada para Anggauta jang terhormat : Keicntuan dahulu sewakiu Mahkamah Agung masih dipandang sebagai puntjak dari semua peradilan umum. tata-asaha Negara, militer dan agama. mempunja'' latar belakang keinginan untuk menudju kearah peradilan tcrpimpin. jang sekarang tidak dapat dipertahankan lagi. Berkelebih-lebihan kami njatakan cUs»xii. bahwa pcradjlan terpjmpjn bukanlah jang dimaksudkan seperti seorang anggauta jang terhormat (Sdr. F .X . Soediono S H ) scolah-olah M ahkam ah A gung itu diletakkan dibawah kekua saan Executif. melainkan peradilan terpimpin mcmungkinkan adanja suatu hubungan hierarch; jang kuat. sehingga Pengadilan ini setjara 'ntern tidak dapat dipandang sebagai Pengadilan jang bebas. Suatu Kekuasaan Kehakiman jang merdeka kiranja djclas pic-supposes adanja sualu kemerdekaan dari tjampur tangan dan pengaruh dari luar maupun dari dalam. sedangkan idee peradilan terpimpin menutup kcmungkinan adanja suatu kebebaaan kcdalam. Culmijiasin ja M a h k a m a h A gung mendjadi puntjak dan Imgkungan peradilan jaitu peradilan umam. tata-usaha negara. militer dan agama, didahului oleh suatu gagasan jang diutjapkan oleh Menteri Kehakiman dahulu p a da tahun-tahun 1961 dan 1962. D ik atak an antara lain oleh Menteri Kehakiman dahulu pada tahun ^^61 pada Reuni Ikatan H akim d ’- Trctes dan kemudian dalam Pameran lJo a erabangunan tahun 1961 : ..M endjalankan H u k um dalam periode transisi itu mcmang sulit sekali. Itulah antara lain sebabnja kami telah mcrcn! janakan Peradilan T erpim pin, jang telah disetudjui oleh Kabinct dan scdianja pada h a ii kemarin dibitjarakan dalam Dewan Perwakilan R akjat Gotong R ojong . S aud ara 2 jang terhormat, Peradilan terpimpin jang tersimpul dalam R an tjan g a n LTndang-undanq tentang Dasar-dasar Pokok Kekuasaan Kehakim an adalah sebaga: berikut : A d a 4 l-'ngkungan peradilan, ja itu : 1. 2. 3. 4.
Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan
U m um , A gam a, M iliter dan Tata-LIsaha Pcmerintah atau Peradilan A dm rJstrasi.
S em uanja ini harus sampai keM am kam ah A g un g jang merupakan Pengadilan Tertinggi dari masing-masing Iingkungau itu.
Badan
133
Sebagai B adan P e n g a d ilan T ertinggi M a h k a m a h A g u n g m em impin dengan d ja la n kasasi. D is a m p in g itu M a h k a m a h A g u n g adalah p u ntjak dari pada semua lin g k u n g an peradilan. Sebagai pu ntjak M a h k a m a h A gung memberi p im p inan dengan tidak perlu ada perkara” . Sesudah m engem ukakan a d a n ja 4 lin g ku ng an peradilan. maka dikatakan oleh M enteri K ehakim an dah u lu pada tahun 1961 pada Pam eran P em bangunan bahw a : ,,Sem ua peradilan harus terpim pin. dan pim p in an n ja adalah satu. Sebagai pim pinan dari ke-empat lin g ku ng an itu, bertindak M a h k am ah A gung. Kesatuan pim pinan itu sangat diperlukan terutama dalam masa peralihan jg. telah beberapa kali kita alam i dalam w aktu 20 tahun balakangan ini’*. K em udian kata-kata ini diulangi lagi dalam m usjaw arah Ikatan H akim T ja b a n g S u m a te ra /A tje h di P rapat tahun 1962. D a n apabila kita m elihat pada R a n tja n g a n Pendjelasan atas U ndangu ndan g tentang dasar-dasar pokok Kekuasaan K ehakim an dan tentang pokokpokok Susunan Kekuasaan M a h k a m a h A g u n g , akan tam paklah kiranja disitu kata-kata jang m engingatkan kita pada peradilan terpim pin : ,,D e n g a n ad an ja pim pinan dari M a h k a m a h A g u n g sesudah, m aupun sebelum ada sesuatu peristiwa atau perkara hukum , m aka kita mempunjai peradilan jang dapat dikatakan Peradilan Terpimpiri'. K utipan-kutipan inilah m endjelaskan. bahw a bertindaknja M ahkam ah A g u n g sebagai puntjak dari 4 lingkungan didasarkan atas gagasan Peradilan T erpim pin jang djuga m em ungkinkan M a h k a m a h A g u n g m emimpin sebelum ada suatu perkara hukum jang d iad ju k an kepadanja. A pabila dikem ukakan sebagai alasan ,,kesatuan b iik u m " itu diperlukan M ah k am ah A g u n g sebagai p u njak dari 4 lin g ku ng an peradilan, m aka kami m ohonkan perhatian, bah w a tanpa m engangkat M a h k a m a h A g un g sebagai p u ntjak pim pinan m enurut Pendjelasan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tja ra M a h k a m a h A gung (U m u m ) tidaklah tertutup kemungkinan bahw a dalam U ndang- undang tersendiri jang m engatur tiap peradilan chusus tadi akan ditetapkan b ah w a putusan-putusan dalam tingkat terachir dari Badan-badan dalam lin g ku ng an peradilan tersebut ditundukkan pada peme riksaan kasasi oleh M a h k a m a h A g u n g , djustru karena pemeriksaan tingkatan kasasi memerlukan suatu "technical skill’* dan pengalam an, dan ia diadakan untuk kepentingan kesatuan hukum . b. Sesuai dengan R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an, Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tja ra M a h k am ah A gung, tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , jang didasarkan atas U ndang- undang D asar 45, m aka k iranja U ndang- undang N o . 19 tahun 1948 pun didasarkan atas U ndang- undang D a s a r 1945. M a k a djelas dari U ndang- undang N o. 19 tahun 1948 tersebut. jang dahuln di’susun oleh Ketua M a h k a m a h A g u n g , M enteri K ehakim an dan D jaksa A g u n g , bahw a M a h k am ah A g u n g adalah top dari Peradilan U m um . D ikatakan dalam pasal 7, bah w a Kekuasaan K ehakim an dalam peradlan umum dilakukan oleh :
1* Pengadilan 2. Pengadilan 1 Mahkamah 134
Negeri Tinggi Agung.
D ju g a
dikatakan
oleh
pasal
66
mengenai
Peradilan
T ata- U saha
Pem crintahan bahw a : ,,D jik a dengan undang-undang atau berdasarkan atas U n dang - u ndan g tidak ditctapkan badan-badan Kehakim an lain untuk mcmeriksa memutus perkara dalam soal Tata-Usaha Pem erintahan maka P eng adilan T in g g i dalam tingkatan pertama dan M ahkam ah A g u n g dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus perkara-perkara itu’’. M a k a ia djelas m enundjukkan, bahw a peradilan tata-usaha Pem erintahan (N e g a ra ) itu tidak inhaerent hubungannja dengan Peradilan U m u m , suatu hal jang ditetapkan oleh Ketetapan M P R S pula. D isam ping itu apabila dinjatakan oleh U ndang-undang N o . 7 tahun 1948, bahw a M a h k a m a h T entara A g un g merupakan puntjak dari Peradilan M ilite r maka ia sekedar mendjelaskan. bahw a bukan M ahk am ah A gung jang m en d jadi puntjak dari Peradilan M iliter, meskipun keanggautaannja d id jab at oleh Ketua, ^V akil Ketua dan anggauta M ahkam ah A g u n g , sehingga dapat dik ata kan, bahw a rangka djabatan ini merupakan suatu Personele U n ie dan bah w a organis M a h k a m a h A g u n g itu bukanlah puntjak dari Peradilan M iliter. K em urnian dari U n d a n g - u n d a n g , berdasarkan atas U ndang- undang D a sa r 45, sewaktu kita m engadakan perdjoangan physik, kiranja tidak usah kita ragu kan dan kesemuanja itu m enundjukkan, bahw a berdasarkan U n dang - u ndan g D a sa r 1945. M a h k am ah A g u n g itu tidak merupakan puntjak dari peradilan lain dari peradilan umum. D a n , apabila dinjatakan. bahw a pelepasan gagasan M ah k am ah A g u n g sebagai p u ntjak dari 4 lingkungan peradilan itu merupakan suatu pelang g aran U n dang - undang D asar 1945, chususnja pasal 24, 25, jang antara lain mengatakan, bah w a Kekuasaan K e h a k im a n dilakukan oleh sebuah M a h k a m a h A g u n g dan lain-lain B adan Kehakim an menurut U ndang-undang. m aka hal dem i kian m erupakan suatu tafsiran jang kami hargai, akan tetapi jang apat had ap i dengan penafsiran lain jang m ungkin memberikan suatu hasi! jang berlainan pula dan jg. m e m u n g k in k a n adan ja M ahk am ah A g u n g sebagai p u n tja k dari peradilan umum , sedangkan badan-badan peradilan lainnja m em punjai p u n tja k n ja sendiri. D a lam hal dem ikian accentuasi dipusatkan pada penarsiran p ada kata-kata dalam pasal 24” lain-lain Badan K ehakim an m enurut U n da n g - u n d a n g ” . Persoalan ini, jang m ungkin dapat diperdjelas dan dipertegas dalam P^rnbitjaraan selandjutnja, akan m e n d a p a t pemetjahan jang memuaskan, apabila kita m enundjukkan pengertian satu sama Ia n , mentjarl suatu ..mterpenetration'’ , jang berdasarkan atas respek terhadap perbedaan pand an g an satu sama lain. H a n ja ingin kam i m ohonkan perhatian, bahw a apa jang sudah d itjap ai sebagai materi dalam U n d a n g - u n d a n g N o . 19 tahun 1948, kem ulian U n dang u ndan g N o . 7 tahun 1948, b e rd a sa rk a n atas interprestasi diatas (S d r. F .X . Soedfono S H ) , jan g m elihat M a h k a m a h A g u n g p u n tja k dari Peradilan U m u m dan fang d ju g a m engakui ppradilan-peradilan lainnja, akan d ip a n d a n g jnconstitutionil karena m elanggar pasal 24 U ndang- undang D a s a r 1945.
135
c. Praktis kepegawa*an berhubung denqan susunan M a h k a m a h A gung disebut sebagai alasan dan pertimbangan untuk mcntjapi’i suatu kcsimpulan. bahwa telah dilcpaskan gagasan mengenai M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak dari 4 lingkungan peradilan. D u d u k n ja pedjabal-pedjabat dari Bad.in-badan Pengadilan diluar pcradilan U m u m di M a h k a m a h Agung dapat m cnghadapkan mereka para Hakim, jg. berdasarkan atas ’’career-scrvice” harus mclalui tingkatan-tingkatan untuk dapat diangkat sebagai H a k im A g u n g . schijiga menempatkan mereka jang dahulu adalah diluar Peradilan U m u m scketika sebagai suatu pedjabat di M a h k a m a h A g u n g kurang bidjaksana sifatnja dan mungkin menimbulkan ’’verhoudingen” jang kurang tepat. D iin an a tampaknja persoalan M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak atau tidak menarik perhatian, maka dengan agak sedikit mendjelaskan apakah jang mendjadi alasan- dalam mengenutkakan prinsip tersebut dalam R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tja ra dan menjatakan tcrima kasih dan penghargaan terhadap perhatian jang S a u d a ra J tundjukkan terhadap persoa lan ini, kiranja ada kem anfaatannja, apabila pembitjaraan dan pembahasan mengenai masalah ini, dilandjutkan dalam pembitjaraan lebih landjut. Kami mohonkan perhatian, oleh karena agak bcrlainan dengan R U U biasa, maka ketiga-tiganja rantjangan R U U ini adalah suatu ’’uitvloeiscl” dari Kctctapan M P R S No. X I X / M P R S / 1 966, jang mewadjibkan Pemerintah bersama-sama dengan D P R - G R untuk m enindjau kembali segala U n dang- undang dan Perpu sedjak dekrit Presiden tgl. 5 D ju li 1959 apakah ia bertentangan dengan U n d a n g 2 D asar 1945 atau tidak. Saudara Pimpinan dan para anggauta jang terhormat, D im ana tampaknja ada suatu kechawatiran, bahwa Kekuasaan Kehakiman jg. merdeka itu dapat dirongrong oleh pasal 10 ajat 3, jang menjatakan, b a h w a : Badan- Pengadilan jang melakukan peradilan tersebut pada ajat (1) (jaitu Pengadilan U m u m , Peradilan A gam a, Peradilan Militer, Peradi lan Tata-Usaha N e g ara) organisatoris, admiai'stratip dan financieel ada dibawah kekuasaan masing- Departemen jang bersangkutan, ketjuali M a h k a m a h A g u n g jang mempunjai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri” . dan hendak menjerahkan soal2 organisatoris, financieel dan administrate dibawah Departemen Kehakiman, maka kami ingin mohonkan perhatian Saudara-saudara bahw a kekuasaan Kehak man jang merdeka itu m cngandung kebe basan dalam m endjalankan tugas, ” in the exercise of their judicial function' , jang sebagai persoalan adalah agak lepas d jalan n ja dengan soal2 adm:nistratif, organisatoris dan financieel, chususnja jang bersangkutan dengan soal2 pengangkatan, pemberhentian, promosi, ’’tenure of office’’ dan lainnja selalu menghendaki adanja ’’cooperation’’ dan ’’consultation” antara Badan2 Judicatif, di-incorparasikan atau tidak dalam badan lain, dan pedjabat jang berkewenanoan mengenai hal2 tersebut, jaitu dari Executive. Selandjutnja, pernjataan terima kas h ingin kami sampaikan kepada para anggauta jang terhormat ( N j. S. Saljo S H , M alik u s Suparto S H dll), jang telah menjorotkan perhatiannja terhadap persoalan ’’toetsing” dengan disertai 136
alasan- untuk memperkuat kesimpulannja, bahwa sepatutnja vtoetsingsrecht itu diberikan kepada M ahkam ah A gung. D a ri pada itu, ada sedikit ’’afsplitsing" pada suatu pendapat, bahw a hak ini terbatas pada suatu pernjataan tidak sah suatu peraturan sedangkan pernbatalan dila»uikan oleh badan jang berwenang dan karena itu hak tersebut se patutnja diberikan kepada M ahkam ah Agung. D jik a kalau kami diperkenankan untuk sedikit memberikan pendjelasan ten tang masalah tersebut, maka kiranja hal demikian per-tama2 dapat dipusatkan pada suatu kenjataan bahwa bukanlah ’’uit den aard der 2aak,f m endjadi tugas dari M ahkam ah A g ung dalam melakukan toetsing. D jik alau kami katakan, bahwa hak mengudji, jaitu apakah suatu undang2 itu constitutionil atau tidak, tidak dikenal berdasarkan sedjarah perundang-undangan Negara Kesatuan kita, maka ingatlah kita pada alm arhum Prof. D r. Soepomo S H , jang melihat dan ikut serta dalam penjusunan dari beberapa U ndang-undang Dasar, jalah Undang- D asar 45, Konstitusi Sementara R IS dan jang pernah menjatakan, sewaktu kita meninggalkan Konstitusi Sem enta ra R IS dan beralih pada U n d an g 2 D asar Sementara R I, bahw a berlainan de ngan zaman R IS , maka sekarang RI-Kesatuan, berdasarkan atas U n d a n g 2 D asar Sementara, tidak mengenai ’’toetsingsrecht" tersebut, sama h aln ja de ngan keadaan sebelum Konstitusi Sementara. T id ak lain dan tak bukan, maka U n d ang 2 D asar jang tidak mengenai sjig sre ch t" tersebut adalah U n d a n g 2 D asar 1945.
” toet~
H a l demikian dapat diperkuat dengan suatu ketentuan dalam Ketetapan M P R S N o. X IX / M P R S / 1 9 6 6 , jang menjerahkan kepada Pemerintah bersama2 dengan D P R - G R untuk menindjau kembali semua U n d a n g 2 dasar dan Peraturan Pemerintah Pengganti U n d a n g 2 sesudab Dekrit 5 D ju li 1959, jang bertentangan dengan U n d a n g 2 Dasar, sehingga ’’toetsingsrecht tersebut ti~ dak diberikan sebagai suatu ’'judicial review” . M eskipun pcnindjauan kembali setjara restriktif terbatas pada Undang- dan Peraturan2 Penganti U n d a n g 2 jang dikeluarkan sedjak dekrit 5 D ju li *959, nam un kesemuanja itu sekedar menundjukkan, bahwa suatu review terhadap U n d a n g 2 dan Peraturan-peraturan Pengganti U n d an g - jang memuat materi jang bertentangan dengan U n d a n g 2 D asar 1945 itu tidak diserahkan kepada M a h k a m a h A g un g , melainkan kepada Pemerintah bersama-sama dengan DPR-GR. D a ri pada itu, penjusunan ketiga-tiga R U U jang sekarang kita hadapi, adaloh dalam ran g ka pelaksanaan Ketetapan M P R S No. X IX / M P R S / 1 9 6 6 , jang m enjerahkan penindjauan kembali Undang- N o. 19 tahun 1964 dan U n d a n g N o. 13 tahun 1965 kepada P em erintah bersama-sama dengan D P R - G R . Per soalan ’’toetsingsrecht" ataupun "peradilan adm inistratip m engandung per^ soalan hubungan pula antara Judicatif dengan Executif dan Legislatir, dimana vtoetsingsrecht” dapat merupakan suatu masalah judicial review terha dap ’’Legislative A c t” dan peradilan administratif itu, apabila dilakukan oleh pengadilan umum, itu dapat menimbulkan persoalan judicial review ternadap suatu ’’Executive A c t” . O le h karena itu, persoalan itu jang m enjangkut bad an- lain kiranja sukar da pat d itindjau dari satu sudut sadja, jaitu dari sudut kepentingan Judicative, m elainkan dua sudut lainnja, jaitu sudut Executif dan Legislatir perlu mendaP ft tin d jau a n disini.
137
Saudara Pim pinan dan para anggauta jang terhormat, Pasal 20 dalam R U U tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman, m enjatakan, bahw a apabila dalam suatu perkara pidana terlibat orangtermasuk wcwenang berbagai lingkungan peradilan dihadapkan didepan ng ad ilan dalam lingkungan Pengadilan U m um , ketjuali apabila Undangnentukan lain tam paknja m endapat perhatian dari beberapa anggauta terhormat, (B .M . Koentjorojakti S H . N j. Saljo S H , A B R I dll.
jang jang Pe me jang
Pasal 20 jang m engandung masalah connexitas, jaitu apabila suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh orang-orang jang termasuk lingkungan peradilan jang berbeda-beda. ditetapkan tidak dengan maksud lain, bahwa dalam hal demikian kita kembali kepada Pengadilan dalam lingkungan Peng adilan U m um sebagai badan Pengadilan jang biasa mengadili pcrkara-perkara pidana dari para warga negara. D a ri pada itu, keketjualian jang dichaw atirkan, dan jang termuat dalam pasal 20 tersebut, jalah bahw a U ndang-undang dapat menentukan lain, kira n ja dapat kita kurangi kechawatiran tersebut, dim ana U ndang-undanglah sebagai produk legislatif jang dapat memberikan ketentuan lain. Saudara P im pinan dan para anggauta jang terhormat, A tas perhatian jang ditundjukkan berhubung dengan pernjataanpernjataan jang kadang-kadang technis sifatnja (Sdr. M alikus Suparto S .H .) kami utjapkan banjak terima kasih, nam im demikian kami mohon kerelaan Sauduara-sauduara jang terhormat untuk m engalihkan pembitjaraan mengenai hal tersebut untuk m engalihkan persoalan-persoalan tersebut dalam pembi tjaraan lebih landjut, jang m em ungkinkan kita untuk setjara intensif menelaah problema technis-juridis, jang Saudara m aksudkan. D em ikian pula, kami utjapkan terima kasih dan penghargaan atas saransaran pertimbangan-pertimbangan jang sepenuhnja mendapat perhatian kami untuk dipetjahkan lebih landjut dalam pembitjaraan jang akan datang. D ju ga kami mohon dibebaskan dari pendjaw aban atas pertanjaan mengenai persoalanpesoalan concreet, jang pengaturannja tidak termasuk dalam ketga-tiga R a n tja n g a n U ndang-undang ini. D em ikian m isalnja pertanjaan, apakah kita akan menganut azas opportunitet atau azas legalitas (Sdr. Sjaefullah S H .), bagaim anakah mengenai perentjanaan U ndang-undang sebagai pengganti H I R ataupun K U H P , kami mohonkan penangguhan pendjaw abannja, sedangkan pertanjaan mengenai pe ri jelenggaraan peradilan mengenai peristjwa tertentu ing jn kami keluarkan dari pem bitjaraan disini, segala sesuatu untuk menghapuskan suatu kesan seolah-olah1 kita hendak mempengaruhi ataupun m entjam puri dalam Peng adilan. Selandjutnja pemikiran Sdr. A b d . M u 'th i ( P M I ) mengenai bantuan hukum patut m endapat perhatian kita semua, sedangkan saran jang dimak sudkan untuk melengkapi ataupun m enjem purnakan ket ga-tiga R antjangan perlu m endapat penghargaan kita. Sauadara P im pinan dan para A n g g au ta jang terhormat, P a d a achirnja, ingin kami tegaskan, bahw a Pem andangan U m um dan D ja w a b a n Pemerintah ini didasarkan atas kesungguhan untuk ikut serta daatn menegakkan kembali Kekuasaan Kehakim an jang merdeka dan untuk
menjelesaikan tugas jang diserahkan oleh M adjelis Perm usjaw aratan R a k ja t Sementara kepada kita, Pemerintah bersama-sama dengan D e w an Perw akilan R a k ja t G otong R ojong guna menindjau kembali segala U n dang - undan g dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang jang memuat materi jang bertentangan dengan Undang-undang D asar 1945. Senioga ia dapat dipergunakan sebagai landasan untuk m engadakan pernbltjaraan lebih landjut dan untuk memudahkan tukar pikiran, sehingga penunaian tugas kita bersam daapat kita pertanggung-djawabKan kepada R a k ja t dan H ukum . Sekian dan terlma kasih.
139
P E M A N D A N G A N U M U M B A B A K II P A R A A N G G O T A D P R - G R A TAS R U U T E N T A N G K ET E N T U A N -K E T E N T U A N PO K O K KE K U A S A A N K E H A K IM A N D A N R U U T E N T A N G SU SU N A N , KE K U A S A A N D A N H U K U M A T JA R A M A H K A M A H A G U N G SERTA P E M A N D A N G A N U M U M BABAK I ATAS RU U T EN T A N G PEN G A D IL A N D A L A M L IN G K U N G A N P E R A D IL A N U M U M . Pada tanggal 11 Nopember 1968 diadakanlah pemandangan umum babak ke-II para Anggota D P R - G R mengenai R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R L IU tentang Susunan. Kekuasaan dan H u k u m Atjara M ahk am ah A g u n g dan pemandangan umum babak ke-I mcngenai R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pemandanngan umum tersebut adalah sebagai berikut :
S U G IA R T Y W IR J O H A R D JO S I I . ( P .N .I.) : Assalamu ’alaikum w. w. Sdr. Ketua, W a k i l Pemerintah jang terhormat dan Sidang jang kami muliakan, Kami atas nama Fraksi Partai Nasional Indonesia 7P.N .I. mcngui japkan banjak terima kasih atas kesempatan jang (elah d'berikan, untuk memberi sam butan pada Sidang hari ini mengenai 3 R .U . U . tentang : ab. c.
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m u m ; Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ; Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tjara M a hk am ah Agung.
Sjukur alhamdulilah kami utjapkan alas telah disadjikannja ke 3 R.U.LI. ■ni, jang mana satu dengan lainnja sangat erat hubungannja. maka meskipun dalam pembahasan semestinja terhadap R U U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m u m itu masih pada tingkat III Babak I sedang jang lainnja sudah pada t'ngkat III Babak II. k ami mohon perkenankanlah untuk menanggapi sekaliguS. Sebelum R .LI.U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m u m diadjukan. dalam hal kami menghadapi kedua R .U .U . jang lainnja itu dapat dikatakan setengah-setengah oleh karcna kami takutkan bu kan- mengenai sesuatu hal jang kami kemukakan itu '.elah ditjantumkan dalam R U U . jang terachir itu, maka dengan telah diserahkan ketiga R U U . itu pada sidang ini dapat dikatakan bahwa kita tidak perlu ragu2 lagi. Sdr. Ketua dan Sidang jang kami muliakan, D id a la m alam demokrasi Pantjasila di Indonesia ini sudah semestinja kalau di D .P .R .- G .R . adalah merupakan tempat penuangan pemikiran rakjat melalui wakil-wakilnja, setjara berkompetitie ikut serta memikirkan Pemerjntahan jang sehat demi kesedjahteraan seluruh rakjat, maka sudah semestinja bahwa seharusnja kalau penondjolan contraversi-contraversi itu harus didjauhkan. Kita akan saling harga-menghargai didalam mengutarakan pemikiran140
pemikiran. oleh karena djelas bahw a pepatah ’’zooveel hoofden zoveel zinnefl* itu tetap ada, hanja jang penting ialah bagaim ana kita m empertemukan pen dapat dari ’the diversity opinions” in:. K ita jakjn bahw a k ita senuia jan g berada dipersidangan ini mempunjai pendapat-pendapat jang constructive and healty, untuk m enjumbangkan pemikiran-pemikiran demi Pem erintahan jan g sehat dan stabiel. hanja sudah barang tentu tjara m enindjau itu terdapat dari beraneka segpi, maka dari itulah kita semua berusaha mentjari suatu consensus jang sehat terlepas dari unsur Compulsory. Pada persidangan inilah kam i akan mcngcmukakan pemikiran-pemikiran jang constructive and healthy demi ' ’judicial power*’ kita jang pcnuh wibawa. Sdr. Ketua dan Sidang jang kami muliakan, P ada situasi dan kondisi dewasa sekarang jang mana kita seluruh B angsa Indonesia m enginginkan tegaknja Negara Pantjasila beserta azas dasarnja dan Undancj-undanq D asarnja 1945. jane, telah berulang kali m endapat pertjobaan-pertjobaan untuk meruntuhkan dengan berbagai bentuk perongrongan dengan kedok Pantjasila itu sendiri. maka sudah barang tentu b ah w a suatu "jud icial power’* jang berwibawa sangat diper u an. U n tu k m endapatkan suatu "judicial power” (ang berw ibaw a m aka sudah baranq tentu diperlukan "judicial organization' jang setnpurna d an ,udicial personal-nja jang sehat sedjahtera spirituil tidak ada tekanan-tekanan. benarbenar bebas dari ’’compulsory** dan materiil benar-benar sedjahtera sehingga tidak tergojah oleh ’*economische druk’ . K i t a ' telah merdeka 23 tahun. w a d j ib l a h kita
-the j u d ic ia l pow er" kita in i. m e n g e n a i t ja p a i
d a n
ja n g
m a s ih
te ta p
ta n p a
q ^ a lit y
a d a
^
p e ru b a
q u a n tity .
Sdr. Ketua dan Sidang jang kami muliakan, A o abila A p a b ila p e s a t,
k in k ita
d e n g a n
m e lih a t m e n n a t
k e n ja ta a n
adilan
Negeri,
d a e r a h
z a m a n
k e m a d ju a n ic e j
q u a n tity m e m a n g d a p a t k a m i a k u i t ju k u p e e lu r u h K a b u p a te n m e m p u n a i
b a h w a
Y
a d a
W
a m e n a
ja n g
di K abup
sam pai-sam pai b a tu p u n
Peng-
h a !£
P e n g a d ila n
m a s ih
b e r u p a
u aTT1nir ^ ln n t K Pro-
N e g e r m ia
d a n
h a m p .r
s e lu r u h
P ro -
p in s i/D a e ra h T ing kat I m e m p un jai Penga 1 an , "in d ir ia l oraaA k a n tetaoi aoabila kita melihat qualitynja baik dibidang ju d ic ia l orga/\Kan tetapi apaDiid k menah an n a pas atau
nization’ maupun ’’judicial » lus dodo’\Marilah kita melihat kalau menggunakan istilah bahasa Djawa g TWinni TsHmpwa” k e a d a a n
n ja ta
ia la h
k ita
tjo b a
m e lih a t
g e d u n g
•;P e n 9 a d ,l* “
r ™
* ™
rv , . J. n,- 1 T’iiWr.i iancr dikeliljnai oleh gedung-gedung lain jang Djakarta di Djalan Tji toi . J 9 • melihat halaman gedung K
k
a m
a h
g e la n d a n g a n .
Z
l
n g e n a i
k
ir f r ^
a
T
b a n ,. ^
ta ta - u s a h a n ja
s id a n g a n d a n
In i
k a d a n g *
a
e
r ^ lf lia t t S
b a ik
k e r ta s
a
e
9 T
^ d
m e n g e n a i u n tu k
A
“ ” ^ a
n *
* ? % % % % & £
a
“ “
m e l.h a ” , P
«
m e m b ik in
' “
k e d a ’e r a h . d a e r a h , is in ia
” ; k e P “
b e r ,ta
g e d u n g
a n ta r a
a p a la g l la in
m e -
,u a ^
a tja r a
p e r s td a n g a n
t.d a k
a d a
s e b a g a in ja .
141
Quality ’’judicial personal”-nja inipun perlu dipertinggi oleh karena bagaimanapun djua agar para Hakim maupun para petugas lainnja baik Panitera dan para pegawai dari "judicial power” ini perlu mendapat perahtian oleh karena demi mendapat suatu wibawa bagi ’’the judicial personal’ -nja. Sebaliknjalah kalau Pemerintah ini mengintegrasikan dirinja kepada keseluruhan dari ’’the judicial organization and personal” , tidak hanja jang ada di Departemen sadja. Selain itu kami berpendapat bahwa tugas Pemerintah chususnja Depar temen Kehakiman itu akan memerlukan begroting/budget jang besar dan mempunjai tugas jang berat Sdr. Ketua dan Sidang jang kami muliakan. Guidance jang kami berikan diatas itulah jang akan membeiflcan suatu expressing atas sambutan kami jang telah kami berikan pada sidang Tingkat III Babak I tanggal 26/10-1968. Disini akan kami pertegas atas usul2 mengenai : 1. Mahkamah Agung jang hanja mendjadi Puntjak dari Pengadilan di Ling kungan Peradilan Umum tidak lagi mendjadi Puntjak Peradilan2 : a. b. c.
Militer ; Agama ; Tata Usaha Negara.
2. Madjelis Pertimbangan Hakim. 3. Dualisme jang terdapat di Peradilan Umum. Mengenai Mahkamah Agung tersebut dalam pasal 10/2 hanja sebagai puntjak Peradilan Umum, tidak mendjadi puntjak bagi Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara, tidak dapat kami terima dengan argumentasi: Interpretas pada pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, bahwa Kekuasa an Kehakiman didjalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain2 Badan Kehakiman menurut Undang-undang itu diarhikan bahwa lain-lain Badan Kehakiman adalah Peradilan jang setingkat Mahkamah Agung adalah tidak benar. Djusteru itu sudah merupakan penjelewengan Undang-undang Dasar 1945 chususnja pasal 24 ; dengan demikian berarti pula sudah menjeleweng dari putusan Tap. No. X /M P R S /1966, Tap. No. X IX /M P R S /1 966, Tap. No. X X X IX / M P R S / 1 966. Bagaimanapun kami tetap berpendirian bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan jang dimaksudkan dengan dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang ialah peradilan/badanbadan Kehakiman jang tidak setingkat Mahkamah Agung. Untuk ini kami mengusulkan jang menurut anggapan kami constructive and healthy sebagai berikut: Pasal 10 ajat 2 dan 3 R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke kuasaan Kehakiman supaja diidrop diganti dengan Pasal 10 a ja t: 142
(2). Semua Pengadilan berpuntjak pada Mahkamah Agung, jang merupakan Pengadilan Tertinggi untuk semua lingkungan Peradilan. (3).
Peradilan Umum dnn Peradilan Tata Usaha Negara tehnis. organisa toris. ndminitratip dan finansiil ada diibawah kekuasaan IMahkamah Agung.
Peradilan Agama dan Peradilan Militer tehnis ada dibawah pimpman Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratip dan finansiil ada d*bawah kekuasaan masmg-masing Departemen jang bersangkutan.
Dengan pcngusulan tersebut diatas maka sekaligus telah mentjakup penghapusan dualisme didalam lingkungan Peradilan Umum d a n sekaligus akan meringankan Departemen Kehakiman dan sekaligus pula akan menghapus idee Madjclis Pertimbangan Penelitian Hak.m tersebut dalamq P“ a^ P as®f 32. 33. 34 R.U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehak man dan segala pcraturan jang berhubungan dengan itu ialah tersebut da am pasal-pasal 8. 9. 10 R.U .U . tentang Pengadilan dalam_1,n9kun9a^ Per« di an Umum. Mengenai hal ini telah ditjakup oleh pasal 33 R .U .U . tentang Peng adilan dalam linqkunqan Peradilan Umum dengan P e r u b a h a n t a n P a tumkan istilah-istflah Pokok K e k u a s a a n Kehakiman sehmgg. b « * u n j.: ..Hakim diangkat dan diperhentikan oleh Kepala Negara imenurt^tt tata-t ara sperti d ia tu r d a la m U n d a n g - u n d a n g d a n pasa • • ke te n tu an Pokok Kekuasaan K ehakim an d en gan peru tu m k a n
kata-kata.
seperti jang
•
mentiane®hinnaa
<jimaks“? ^ sebagai p e L e r h e n ^ n ja di.en.ukan da,am
U n dang - undang ’’.
Pada sidang jang lamPau ^ w ^ k ita ^ e b ih '^ (m d c r u n g untuk menghianggapan kami telah djelas ialah bahw t u <jcnqan perkataan langkan dualisme dalam lingkungan Pera i an p.H . bagi Perlain pada prinsipnja tidak dapat menerima dualisme dan M.L .F 9 adilan U m u m .
«
_ n«ar
rVm-
Kita menghendaki kemurnian pela^ Sa^ aa^ 9^ 5nd^any menginginkan agar susnja pasal 24, 25 U n d a n g - u n d a n g ^ asa" 1p9k i i a ’an9pemerintah. Apabila Kekuasaan Kehakiman, maka terlepas dari comoosisi keanggautakami meliihat pembentukan M .P .P.H . jang “ ^ “" ' ^ “ Tngatakan^’bahwa
annja dari Iuar Kekuasaan Kehakiman, ^*a M .P .P .H . telah melepaskan dirinja dan
m e m asuki
pengaruh
K
k e k u asaan S w a s ta / r e r a
i
asaan Pemerintah kemudian e k u a s a a n
m.
Icekusa&n S w B sta/P srsdin jang
Apakah dengan memasukkan peng_ Umum itu benar-benar dapat ’non-Governmental" kedalam tubuh P* f pendirlan in, karena garanderen tegaknja rule of law , K kesanksian inilah kami menolak. menanqgapii sambutan kami pada D jadi djawaban P em erm a 1(M968 adalah kcliru, dalam sambutan pers dangan Tingkat III tanggal 26 menerima' kami tersebut tidak pernah kami mengataican odnwa ^ r Peradin dalam komposisi M.P.P-H.
143
M aka untuk d/elasni* A*
Kami men oink
/•
Undang-undang
™ P “ t M ahkam ah
d*
^
(berdasar pasal
Kami menghendaki acnr
< " ■ " • * * * « * prodasar m e i ra ^akim diatur rl-iU t t Jam m ‘l n terhadap ftindokan pasal-pasai 24. 25 Und ‘" m d 'n U^ di" ' ^ d , „ „ , e j , d i n (he/^ . g undang D asar 1945).
4
kalau
menerima M .P .P .H b
haruq rl'u US mener,,na, maicn kn
' P
•
erac^ an Minum, akan tetapi
a ,™ p pus d ''*w t ' D ™ r ,si ' s ™ di™ hah iaia'> = Puh c ^ a u ';n K U p. hani.-i „nf , ' unan. ^ a k im A n g g n u fa M ahkam ah Putiisin re ,im s P rcsideiT lian/i I me' " nrfinu masa djahatan, demikian P I,San' ' " " uk nic,),perl;cpat dikeluarfcannja sural
P e i,“ feam' “ ,a" 9'
n'ei" heri
A *>ar dihapus d a„ dirubaJi ;
a-
'
gam baran
djelas
n.aka
:
Dalam R.U .U ten p a Sil 5 P ^ I henth
n T * PasaI'P ^ s^ e -03O a32kC^ n tS n P ° kok Kck,insaan Kehakiman in dCn9an « * n g h a p uf 34 dan dl^ a k a n perubahan bagi 1° a/at 2 " sehinalTberh **!> *£?* * ” sePerti Jang dim aksud dalam ent'^ an sebagai' H a k im rf"^ f ;'arat/ sJarat untuk dapat diangkat dan 10 n‘ nnl a ^ itentlIkan dalam r ata“ti ara pengangkatan dan pember^ aJat 2 dan 3 R ( j U U nd*n9-unda n g ”. Mengu.sulkan pula pasal U ' ,tU dlri'bah - e n d ;a d i seb aqa?be rik ut : a Jat 2 pasa] }0; g ianoUamoenga,dl,an berPlintiak pada Mahkamah Agung, “ » k semaa a/at
3
pasal Jo ■
p
e r
i-i
tehnis ' Sn U ^ Uni dan PcradiIa” T afa-U saha Negara dibauAf, ^ an,satoris> adm inistratif dan finansiil ada P e rS n
dibawih
I
? “ aSaan M a h ^ * " a h A g u n g . , 9 a m a c* a n Peradilan M iliter,
^ e rs a n g k u ta n UaSa3n b.
144
24
dan ’^ ' 9 1 -endM M a l,k a 'nal> A g un g, ten:,'is.
.
" s‘ adm iniseralif dan finaiisi?/"™ 3-
A gung
tehnis ada
rnasin9"m as*n 9r Departem en
/ails'
^alam R .U harus dihapus p a s a l- p a s a l^ ^ f d a ^am I»ngkungan Peradilan UmurB < “ • 1 0 dan jang perlu diubah pasal 3
dengan me„gl,ap„s ,st, ah-sHlah : .,p okl)l< Kekuasaan Kchakinvm sehingga be,-bun,, : ..Hakim diaagkae dan diperhaUkan oleh Ke a h Negara m cm rul tala-,,ara scperli dial,,,- dalam U ndang-undang". c.
Us,,I Inn,balian agar pasal 24 R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah mendjadi demikian : ..Mahkamah Agung bcrwcnang untuk menjatakan tidak sjahnia *emua peraturan atas alasan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945”' Hal in; adalah perlu untuk mentjegah adanja pen jalah-gunaan penqetranan peraturan-peraturan, jang bertentangan dengan Undanq-undancr' n ^ L I i .1 . , . , ,| J.Hn dan apabi'a mcnunggu sampai adania pcrsidangan badan legnslalif terlchih dahulu maka akan makan waktu lama dan akan nkibatkan excessen jang merugikan Nusa dan Bangsa. i u c i u l j
d.
Mengenai tambahan Pasal 54 R .U .U . tentang Pengadilan dalam linqkung Peradilan Umum, agar ditambahkan kata-kata ketjaalj apabila Undang-undang menentukan lain” sehingga pasal 54 fersebm berbunji ..Semua peraturan-peraturan jang mengatur tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. pengadilan Swapradja dan pengadilan A dat dengan Undang-undang >ini dinjatakan tidak berlaku ketiuali apabila Undang-undng menentukan lain” . Pengusulan kami ini atas dasar ada Daerah antara lain Irian Barat janq karena pertimbangan geografis dan komunikasi jang belum lantjar belum dapat dihapus Peradilan Adat/Pamong Pradja seluruhnja dan alasanalasan lebih landjut dapat kami berikan. Tentang pengajoman. sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia, Fraks: P.N.I. seka'i lagi mengharapkan pendapat dari Pemerintah.
Demikianlah sumbangan kami demi tegaknia ’’Rule of Law’’ c.q. ’’the judicial power” dalam Negara Pantja Sila ini. semoga sumbangan kami ini dapat mempertjepat terbentuknja 3 R U U . jang sedang kita bahas ni. Sekali lagi terima kasih akan waktu jang telah diberikan pada kami. Assaiamu’alaikum w. w.
Hj. TLITI H A R M IA P S H .
(P A R K IN D O ) ;
Saudara Ketua, W a k i l Pemerintah jang terhormat, Sidang jang saja hormati, Pertama-tama atas nama fraksi kami, fraksi Partai Kristen Indonesia, kami disini mengutjapkan banjak terima kaaih atas kesempatan jang diberikan kepada kami untuk mengadjukan pemandangan kami pertama mengenai R .U .U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan kedua mengadju kan pemandangan kami dalam babak kedua mengenai R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan mengenai R .U .U . ^ n ta n g Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah Agung. 145
S a ud a ra K etua, M e n g e n aj jang pertam a. ialah P em andangan U m u m terhadap R .U .U . tentang P e n g a d ila n dalam lin g ku ng an P e rad ilan U m um . kami berpendapat sbb : B aik dalam considerans m aupun dalam Pendjeiasan dari R .U .U . tersebut ditja n tu m k a n bah w a R .U .U . tersebut m em uat (m erupakan) ketentuanketentuan pelaksanaan dari R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke kuasaan K ehakim an. B erhubung dengan ini dan pula berhubung dengan sangat te rd ja lin n ja isi dari kedua R .U .U . ini jang satu dengan jang lain, maka pokokpokok pikiran terhadap R .U .U . ini tentunja idcntik dengan atau sedikitnja sangat be rh ub un gan dengan pokok pikiran terhadap R U .U . mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an. D a n berhubung dalam pembahasan R .U .U . jang terdahulu masih ada beberapa son! jang masih ag ak crucial, m isalnja tentang status M a h k am ah A g un g apakah M a h kam ah A g u n g h an ja p u n tjak dari Peradilan U m u m sadja ataukah merupakan p u n tja k d a ri peradilan-peradilan lainnja djuga jaitu Peradilan Mjliter, P e rad ilan A g a m a dan Peradilan T ata-U saha N egara soal M adjelis Pertim bangan Penelitian H a k im baik mengenai scope-nja m aupun mengenai kom poaisinja, dan lain-lain soal lagi, m aka menurut hemat kami apakah tidak lebih baik, djika pem bitjaraan tingkat I I I ini ditang g uhk an sampai kita selesai dengan pem bahasan R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakjiman, sehingga kesempatan jang sekarang diberikan kepada kami, kami belum gunakan. M en g enai soal jang ke-2. jakni pem andangan umum babak ke-II terhadap R .U .U . tentang Ketentun-ketntuan Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R .U .U . tentang Susunan. Kekuasaan dan H u k u m A tja ra M ah k am a h A gung, kami merasa sangat berterimh kasih dengan d ia d ak an n ja pem bitjaraan babak ke-II inn. M e n u ru t hemat kami ini adalah bukfci bagi kami. bahw a baik Pemerintah m aupun Pim pinan D .P .R . m enginsjafi betapa pentingnja kedua R U . U . ini sehingga p^rlu diadakan pem bitjaraan babak ke-II. S audara Ketua, D a la m kesempatan ini kami ingin m engutjapkan penghargaan kami jang sebesar-besarnja terhadap djaw ab an Pem erintah jang begitu teliti dan mendalam dalam m enanggapi pem andangan um um babak pertama dan untuk ini kami utjapkan terima kasih, M en g e n ai beberapa soal, m isalnja soal hak m engudji, soal M adjelis Per tim bangan Penelitian H a k im dll., kami Fraksi Parkindo jakin, bahw a dalam pem bitjaraan lebih lan djut akan m udah didapatkan consensus antara semua pihak, w alau pun masih ada beberapa ’’voetangels en klemm en’’, misalnja soal hak m engudji, jang m enurut hemat kami masih harus diteliti setjara meridalam dan sungguh-sungguh. M en g enai satu soal besar kami belum dapat m em bajangkan titik pertem uan dengan pendapat Pem erintah jakni mengenai status M ahkam ah A gung sebagai pu ntjak hanja dari Peradilan U m u m sadja. D a la m babak pertama kami telah kem ukakan kechawatiran kami akan k a b u m ja kepastian dan kesatuan hukum (kesatuan dalam penafsiran dan p e n g g u n a a n n ja )» d jik a tiap peradilan umum, militer, agama dan tata-usaha
146
negara) mem punjai M ahk am ah A gungnja* sendiri-sendiri. T erh adap Ini oleh Pemerintah dalam djaw abannja telah dikemukakan : A p a b ila dikem ukakan alasan ..kesatuan hukum ’’ itu diperlukan M ahk am ah A g u n g sebagai p u n tja k pim p;nan menurut pendjeiasan R .U .U . tentang Susunan, Kekusaan dan Hnkum A tja ra M ahkam ah A gung (U m um ) tidaklah tertutup kem ungkinan bahw a dalam U .U . tersend;ri jang mengatur tiap peradilan chusus tadi akan ditetapkan bahwa putusan-putusan dalam tingkat terachir dari Badan-badan dalam lin g kungan peradilan tersebut ditundukkan pada pemeriksaan kasasi oleh M a h k a mah A gung, djustru karena pemeriksaan tingkatan kasasi memerlukan suatu ’’technical skilT' dan pengalaman, dan ia diadakan aintuk kepentingan kesatuan hukum. Saudara Ketua, Saja rasa dengan segala hormat bagi Pemerintah, cfJsini ada suatu hal jang teramat penting, dimana Pemerintah rasa-rasanja kurang tjermat dalam pem ikirannja. s e k u r a n g - k u r a n g n ja dalam pcrumusannja. S aja bertanja dalam sitiiasi seandainja sudah ada 4 M ahkam ah A gung. A pabila ada satu perkara sudah lewat M ahk am ah A gung Tata-Usaha N egara m isalnja. A p a k a h tid ak gandjil perkara itu ..ditundukkan lagi pada pemeriksaan kasasi oleh M a h k a mah A g u n g (U m u m ) ” . sebagaimana dinjatakan oleh Pemerintah dalam d ja w abannja tanggal 2-10-1968. Saja bertanja : bagaim ana m aksud Pem erintah dalam h a l ini ?
Apakah tiga Makamah Agung lainnja. jakni Mahkamah T e"*ara Agung, Mahkamah Agung Agama dan Mahkamah Agung Tata- sa a egara a an gesubordineerd kepada M ahk am ah A g un g (U m um ) .
Mengenai hal ..kemungkinan kasasi” ini hendak saja^ kemukakan pula disini : Djika kita dihadapkan dengan ..kemungkinan sadja dan sesu • kemungkinan dari sebaliknja pun tidak tertutup dalam hal mi k e m u n ^ m an bahwa Peradilan-peradilan lain dari pada Pera ian mum 1 ^ te n ta n g
penundukan
k e p u t u s a n - k e p u t u s a n n ja
kepada Mahkamah Agung (Umum). D j a d i : djangan digantungkan kepada sesuatu jang
te r a c
ir U*VU
„
c ^ h a ik n ia " " s e b a , k n >a
a
pas i.
Saudara Ketua. Ditempat ,ain da,am
U u "n! “
m
l S !™
M a il
X gung U <*an pada Peradilan Milrter, maka sekedar mendjelaskan bahwa bukan Mahkamah Agung ,ang m“ d,ad, punt ak dari Peradilan Militer meskipun keanggautaannja didjabat oleh Ke ua. W a k il Ketua dan Anggauta Mahkamah Agung^ sehingga dapat d ik a ik a n bahwa untuk djabatan ini merupakan suatu Pe«onel* Ume dan bahwa organisasi Mahkamah Agung itu bukanlah puntjak dan Peradilan Militer. Mengenai hal ini kami berpendapat pula bahwa sebaiknja puntjak dari Peradilan Militer djuga berada ditangan jang disebut Pemerintah Mahkamah Agung Umum. Alasan kami ‘untuk berpendapat demikian ada ah . 147
Pertama,
mengingat bahwa M ah k a m a h Tentara Agung baru diadakan pad-. tahun 1948, maka rupa-rupanja ditahun 1945 diwaktu U U D k’ta dibuat, dalam alam pikiran ahli-ahli hukum k’ta hanja terbajang satu M a hk am ah A g u n g jang kekuasaannia meliputi seluruh per adilan d ’ Indonesia. Bagi kemungkinan besar bahwa M a h k a m a h Tentara A g u n g ditahan 1948 dianggap perlu menghadapi makar", jakni pertjobaan-pertjobaan coup D ju n i 1946 di Jogjakarta dan D ju li 1946 d.i Surakarta, jang wakt.i itu masih belum diadili. dan untuk menghadapi pu'a kemungkinan pertjobaan coup dari pihak komunis jang kemudian memang terdjadi. Semuanja ini berarti bahwa M a h k a m a h Tentara A g u n g itu timbul dalam keadaan darurat/luar biasa. Saudara Ketua sekarang pun adanja M a h k a m ah Tentara A g un g dapat aturannja digantungkan kepada kebutuhan sewaktu-waktu. Apabila sewaktu-waktu dapat diadakan M ah k am a h Militer Luar Biasa, jang lazim disebut M a hm ilu b, mcngapa tidak dapat pula diadakan sewaktu-waktu menurut kebutuhan M a h k a m a h MiWter A g u n g Luar Biasa ?
Kedua,
mengingat kesatuan hukum (kesatuan dalam pcnafsiran dan pengg unaannja) jang selalu mendjadi prinsip utama bagi kami untuk menudju kearah kepastian hukum.
Saudara Ketua, D engan ini saja menjatakan belum dapat menjetudjui ctfadakannja 4 M a h kamah A gung, karena tidak melihat keharusan prinsipiil jang memaksa ( ’dwingende principiele noodzaak” ), melainkan saja tetap kuatjr akan kaburnja kepastian dan kesatuan hukum.
ScVian. Saudara Ketua. terima kasih.
S A H A T N A IN G G O L A N S I~I.
(M U RB A ).
Sdr. Ketua jang terhormat, W a k i l Pemerintah jang kami muliakan, serta Sidang jang tertjinta. T iga (3) buah R U U . sekaligus kami bitjarakan, jaitu R U U . tentang Pe ngadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , R U U . tentang Ketentuan- P o kok Kekuasaan Kehakiman dan R U U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H u kum A tjara M a h k am ah A g u n g , R U U . jang pertama merupakan P em anda ngan U m u m Babak jang ke-I sedangkan kedua R U U . belakangan merupakan Pem andangan U m u m ke-II. Sdr. Ketua jang terhormat,
Tentang R U U . jang pertama. Kami berpendapat, bahw a pada um um nja R U U . ini lebih bersifat tehnis148
juridis karenanja tidak begitu berai djika’au dibandingkan dengan 2 R U U jang kam: sebutkan diatas. Oleh karenanja hanja beberapa hal jang kami anggap penting kami sorot. jakni : (1)
Pasal 2 R U U . ini jang menetapkan, bahwa Badan Peradilan U m um jang tersebut dalam pasal 1, mengadili baik perkara pidana m aupun perkara Perdata. Kami rasa pasal ini adalah konsekwensi logis daripada R U U . tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman jang m engandung ga gasan, bahwa ada 4 lingkungan Peradilan dan kesemuanja itu tidak berpuntjak pada M ahkam ah Agung. H anja Peradilan U m um jang berpuntjak pada M ahkam ah Agung. Terhadap pasal 2 R U U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradi lan U m um ini, kar.i: hanja menegaskan pendirian Fraksi kami bahw a pa sal 2 in! adalah prinsipiil dan 1 lebih landj.it kami soroti nanti dalam rangka pembahasan 2 R U U jang bersangkutan.
(2 ).
A pakah tidak perlu ditegaskan pula didalam R U U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Perad.lan Umum ini, bahwa Hak-m dilarang m endjadi anggo'a sesuatu Partai Politik atau Organisasi Kemasjarakatan jang berbau politik ? Karena pasal 34 hanja disebut ,,partai politik” .
(3 ).
A pakah tidak terlalu sulit. atau apakah tidak menjulitkan nantinja. apa bila Pengadilan Negeri dibentuk dengan U n d a n g -, sebagaimana ditentukan pasal 19 aja^ (1) R U U . ini ? Atau dengan perkataan Iain, apa kah pembentukan Pemerintahan Daerah Kabupaten, jaitu melalui atau dengan U n d an g 3, tidak menghalang-halang! pembentukan Pengadilan Negeri ?
(4).
A pakah tidak lebih baik, djikalau R U U . tentang Pengadilan dalam hngkungan Peradilan Um um ini sekaiigus dibitjarakan d e n g a n R U U ten tang Ketentuan2 Pokok Kedjaksaan dan R U U . tentang Ketentuan Acoolisian Negara jang baru ?
Untuk selandjutnja nanti kami memberikan sumbangan pikiran didalam pen: bitjaraan Tingkat IV . Kemudian. terlebih dahulu kami meminta maaf terhadap Sdr. Ketua jang ter hormat, oleh karena kam: anggap materi jang kita bahas agak berat dan bah kan m enjinggung segi2 jang pr'nsipill, maka waktu jang akan kami pergunakan agak menjimpang sedikit daripada kebiasaan, jaitu agak pandjang sed'ikit. Kami mohon kerelaan dan kelapangan hati Sdr. Ketua jang terhormat, dan untuk Itu pula kami tidak lupa menjampaikan diperbanjak terima kasih. D id alam Pem andangan U m um Babak I tempo hari pada ura an pendahu luan daripada Pemandangan Um um Fraksi kami, dengan penuh kesadaran dan keinsjafan jang mendalam telah kami mohon perhatian kita semua ^ ai pihak D P R - G R sendiri m aupun pihak Pemerintah. bahw a kedua R U U . jang bersangkutan, jaitu R U U . tentajig Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R U U . tentang Susunafi, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ah k am ah A g un g, m engandung pokok n^ateri jang agak berat sshingqa mem butuhkaii kctenangan dan pemikiran jang mendalam. O leh karena itulah pada pendahn-
149
luan Pem andangan U m um kami tersebut kami m ohonkan pula ’’konsensusnasional” . D a n memang, clugaan dan anggapan kami itu tidak meleset, terbukti dari pada pendapat jang timbul pada Pem andangan babak I itu jang di kemukakan berbagai Fraksi di D P R - G R ini. D a n dengan kesempatan ini pula pada Pem andangan U m um B abak ll, rasanja kami tidak lupa untuk memperingatkan seruan kami pada Pem andangan U m um Babak I itu, jaitu sekali lagi ..konsensus-nasiona!". dimana kcpentingan Negara, Bangsa dan R akjat dintas kepentingan pribadi/golongan untuk kepentingan dan kemenangan bagi seluruh R akjat Indonesia jang dilindungi oleh U U D 1945 dan Pantjasila jang m endjadi D jiw a dan Semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. dan bukan pula untuk kepentingan D P R - G R sendiri ataupun untuk kepentingan Pemerintah sendiri ! Sdr. Ketua jang terhormat, Kami membagi ura-an kami sclandjutnja atas 2 bagian, jaitu bagian I mengenai persesuaian pendapat antara D P R - G R dnn Pemerintah dan bagian II mengenai perbedaan pendapat antara D P R - G R dan Pemerintah. I.
Persesuaian pendapat antara DPR~GR dan Pcmerintah. Saudara Ketua jang terhormat,
D jikalau kami tiada keliru, maka sepandjang penelitian kami terhadap Pem an dangan U m um Babak I dan Keterangan atau D jaw ab an Pemerintah atas Pe m andangan U m um Babak I tersebut. maka persesuaian pendapat jang sudah merupakan konsensus antara Pemerintah dan D P R - G R disatu pihak, dan diantara semua Fraksi jang ada di D P R - G R dipihak lainnja pada pokoknja adalah : 1. Bahwa, semua-pihak jang bersangkutan m em butuhkan su atu Undang-’-undang jang mengatur Ketentuan'2 Pokok Kekuasaan Kehakiman ;
150
2.
Bahwa, semua pihak2 jang bersangkutan menghendaki agar supaja didalam U n d a n g 2 jang dibutuhkan bersama itu, tegas-djelas ditentukan pengaturannja tentang ” Peradilan Bebas” , jaitu ’’Judic.’al-power’’ jang tidak ditjampuri oleh B adan2 Perlengkapan Negara lainnja ;
3.
Bahwa, semua pihak2 jang bersangkutan sama2 melandaskan pem andangannja atas dasar landasan U U D -1945 dan Pantjasila. M arilaK kita pegang teguh2 dahulu h al2 jang telah mendjadi persesuaian paham semua pihak2 jang kami sebutkan diatas untuk melangkah lebih mentjapai titik3 persesua'an pendapat didalam penjelesaian kedua R U U . jang bersangkutan
II. Perbedaan pendapat (crucial-points) antara Pemerintah dan OPR-Crii, Sdr. Ket ua jang terhormat, D jikalau kami tidak keliru terhadap Pemandangan U m um Babak I jang dikemukakan semua Fraksi di D P R - G R dan D jaw aban Pemerintah atas Pe mandangan Umum tersebut, maka pada pokoknja crucial-points itu berkisar pada : 1. A pakah M ahkam ah Agung sebagai puntjak dari tidak; dan kekuasaan kehakiman jang Merdeka.
semua
Peradilan
atau
2.
Perlu tidaknja. susunan. keanggautaan dan tugas daripada M adjelis Pertimbangan Penelitian Hakim (M .P .P .H .).
3.
Toetsingsrecht dari pada M ahkamah Agung.
D a n djikalau kami lebih mendalam lagi, maka ketiga-tiganja crucial-points tersebut dapat kami simpulkan bersumber kepada suatu a , ja ni . ena s*-; ran Undang- Dasar 1945 dan Pantjasila, jang realisasinja didalam materi R U U . tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana termuat pada pasal 24 dan pasal 25 Undang* Dasar 1945 serta Pendjelasannja. Sdr. Ketua jang terhormat,
Teks lenqkap daripada pasal 21 pasal 25 U U D 1945 serta Pend)elasannia itu telah kami muatkan didalam P e m a n d a n g a n Umum kam, pada Babak I. dan untuk lebih djelasnja kami batjakan sekal. agi . Pasal
( !)
24.
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah
Mahkamah Agung dan
lain2 badan kehakim an menurut U ndang- undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan" kehakiman itu diatur dengan Undangundang.
^
Sjarat2 untuk mendjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim diletapkan de. ngan U ndang-undang. P endjelasan
Kekuasaan Kehakiman i ! S n
a
l
a
pasal
h
* = t .a m 'S g '- t a n g
d
24 ^
25
d an
g
a
/
i
t
u
harus di-
kedudukan para hakim.
Sdr. Ketua jang terhormat, Didalam djawabannja atas P e m a n d a n g a n Umum babak I, Pemerintah menge”Dan, apabila dinjatakan, bahwa pelepasan gagasan Mahkamah Agung 151
sebagai pu ntjak dari 4 lingkungan peradilan .tu merupakan suatu pe» langgaran U ndang-undang D asar 1945, chususnja pasal 24, 25. jang antara lain m engatakan, bahw a Kekuasaan Kehakim an dJak u k an oleh sebuah M ahk am ah A g u n g dan lain- Badan Kehakim an menurut U n dang-undang, m aka hal dem ikian m erupakan suatu tafsiran jang kami hargai, akan tetapi jang dapat d ih a d a p : dengan penafsiran lain, jang m ungkin memberikan suatu has*l jang berlainan pula dan jang memungkinkan adanja M ahkam ah A g u n g sebagai puntjak dari peradilan umum, sedang badan2 peradilan lainnja m em punjai pu ntjaknja sendiri. D alam hal demikian accentuasi dipusatkan pada penafsiran pada kata2 dalam pasal 24 : ’’lain2 Badan Kehakim an menurut U ndang- undang’0. (alinea kedua hal. 8, Stencilan S U . 81— 68). D jelaslah kiranja bagi kita semua, bahw a pada um um nja fraksi di D P R - G R menafajdkan kalimat bagian depan dan Pemerintah menafsirkan kaliinat bagi an belakang daripada ajat (1) pasal 24 U U D . 1945 itu, atau dengan perkataan lain, D P R - G R memegang Kepala dan Pemerintah meinegang B untutnja sedangkan sesungguhnja Kepala dan Buntut itu satu djua. O leh karena itu timbul pertanjaan : apabila terdapat penafsiran jang berlainan tentang U n dang-undang D asar 1945 sebagaimana halnja sekarang in: antara Pemerintah dan D P R - G R , maka siapakah jang berhak dan berwenang menjelesaikan ? Konstitusionil, menurut hemat kami satu-sat'imja jang berhak dan berwenang itu adalah M P R S . pada dewasa ini (jang setelah pemilihan umum, nam anja M adjelis Permusjawaratan R akjat, disingkat M P R ), lihat pasal 1 ajat (2 ), jo. pasal 3 U ndang-undang D asar 1945 beserta Pendjeiasan pasal2 tersebut lihat djuga Pendjeiasan U m um sub III U ndang-undang D asar 1945 jang menegaskan bahwa ’’D ie gesamte Staatsgewalt liegt allein bei der M adjelis” . Akan tetapi semua kita mengetahui, bahw a salah satu atjara jang sedianja diatjarakan pada Sidang U m um ke-V M P R S tempoharl adalah : '’K E S A T U A N T A F S IR P A N T J A S IL A jang pembahasannja ditunda. D em ikianpun halnja dengan salah satu atjara jang tidak mendapatkan konsensus, sehingga ditunda penjelesaiannja adalah : T I A G A M H A K ,H A K A Z A S I M A N U S I A D A N H A K - H A K S E R T A K E W A D J I B A N W A R G A N E G A R A ’' dan " P E L E N G K A P P E N D J E L A S A N U N D A N G 2 D A S A R 1945 D A N S U S U N A N P E M B A G I A N K E K U A S a A N L E M B A G A 2 N E G A R A M E N U R U T S IS T IM U N D A N G 2 1945” . Lantas timbul pertanjaan, bagaim anakah djalan keluarnja ? A dakan Sidang U m um atau Sidang Istimewa M P R S , sekaligus membitjarakan m asalah2 lain jang merupakan problematik-nasional pada dewasa ini. Tetapi, apakah hal itu pada dewasa ini m engandung banjak kem ungkinan ? D engan sampai kepada maksud tudjuan ? Kam i rasa, hal itu s*a2 belaka, mengingat masa S.dang U m um ke V tempo liari jang belum sepuluh bulan berlalu ? Lalu br.gaimana ? A pakah ada kemungkinan untuk mengadakan M U S JA W A R A H NASIO~ N A L seperti M U N A S tahun 1957 ? M usjaw arah N asional diperlukan, oleh
152-
karena ketidak mampuan M P R S menjelesaikan problemat k’2 nasional, sehin& ga luruslah djalan menudju Repelita jang sudah diambang pintu ! Tetapi apakah M usjaw arah Nas onal tersebut akan membawa hasil jang d i maksudkan ? Saudara Ketua jang terhormat, Pihak Pemerintah agak melandaskan pokok pik.rannja pada T ap M P R S No. X IX /1 9 6 6 . U ntuk menghindarl salah faham dan salah tafsir baiklah teks Tap M P R S tersebut kami batjakan : M enim bang : bahwa dalam rangka pemurnian pelaksanaan U ndan9 'und*” 9
Dasar 1945 perlu menindjau produk- legislatif baik jang ber bentuk Penetapan- Presiden/Peraturan2 Presiden, maupun jang berbentuk Undang-undang dan Peraturan Pemer:ntah Pengganti Undang-undang. M engingat : dst. M endengar : dst. m
e
m
u
t
u
s
k
a
n
M enetapkan : (1).
M e n in d ja u dan
k e m b a li p r o d u k - p r o d u k l e g * * *
p c ra tu ra n
P r e s id e n .
m aupun
ja n g
ja n g
b e rb e n tu k
Peraturan P e m e r in t a h P e n g g a n t i U n d a n g - o n a n g n ia n p e la k s a n a a n U n d a n g - u n d a n g Dasar •
( 2 > -
sar 1945.
Pasal
!•
Semua Penetapan Pres den dan Peraturan Presiden jang dikeluarkan sedjak Dekrit 5 Djuli 1959, ditindjau kembali. pasal
2.
Menugaskan kepada P e m e r in t a h b e r s a m a - s a m a D P R ngan ketenkan penindjauan kembali seperti tersebut pasal 1 Ketetapan -u dengan keten tuan-ketentuan : (1 ).
Penetapan Presiden dan Peratum n Presiden jang ^ suai dengan suara hati nurani R akjat daia g Revolusi dituangkan d a la m U n d a n g - u n d a n g .
(2). Penetapan Presiden dan'
d t a f e t K tidak S X sglandjutnja den<,an
pe,
unc}ang-undangan. 153
Pasal
3.
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang jang meinuat materi jang bertentangan dengan U ndang-undang D asar 1945 ditindjau kembali.
Pasal
4.
Penindjauan kembali Penetapan-penetapan Presiden, Pcraturan-pcraluran Presiden, U ndang-undang dan Peraturan Pcmerintah Pcngganu Undangundang harus selesai dalam djangka waktu dua tahun sesudah dikeluarkannja ketetapan ini.
Pasal
5.
Selama penindjauan kembal: seperti dimaksud dalam pasal-pasal tersebut diatas belum selesai, Pcnetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti U ndang-undang tetap berlaku.
Pasal
6.
Sedjak ditetapkannja Ketetapan ini, tidak dibenarkan lagi dikeluarkan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-pcraturan Presiden jang baru.
Selandjutnja Sdr., Ketua jang terhormat, Pemerintah mengatakan, bahwa : ,,Kami mohonkan perhatian, oleh karena agak bcrlainan dengan R .U .U . biasa, maka ketiga-tiga rantjangan R .U .U . ini adalah suatu „uitvloe;sel” dari Ketetapan M P R S N o. X IX / M P R S / 1 9 6 6 , jang mewadjibkan Pemerintah bersama-sama dengan D P R G R untuk menindjau kembali segala U ndang-undang dan Perpu sedjak dekrit Presiden tahun 1959, apakah ia bertentangan dengan U ndang-undang D asar 1945 atau t:dak (H al. 9, kalimat terachir alinea pertam a). Chususnja mengenai diktum pasal 3 Tap M PRS. No. IX tersebut jang melandasi R .U .U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M a h k a mah A gung ; R .U .U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Um um . N ah, sekarang Sdr. Ketua jang terhormat, apakah T ap M P R S No. X I X tersebut tidak mengandung kelemahan atau kekurangan didalam tubuhnja sendir ? A tau dengan perkataan lain, mengapa djustru Sidang U m um M P R S ke-IV menjerahkan wewenang kepada Pemerintah bersama-sama D P R - G R melalui T ap X I X itu untuk menilai apakah sesuatu U ndang-undang atau Per aturan Pemerintah Pengganti U ndang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-undang D asar 1945 ? D im ana Pemerintah dan D P R - G R bersama-sama diberi m andat sebagai
oenafsir ? D an, apakah hal ini tidak bertentangan dengan Undang-undang D asar 1945 ? Sekali lagi kami tekankan, mengapa M P R S tidak memberikan 154
penafsiran mana jang bertentangan dan mana sadja jang tidak bertentangan dengan U ndang-U ndang D asar 1945, mengapa djusrtu hak dan w ew enang itu diberikan kepada Pemerintah bersama-sama D P R - G R ? Kami rasa Sdr.. Ketua jang terhormat, pada T ap X I X M P R S inilah salah satu terletak kesulitan menerobos tembok kebuntuan pem andangan a n tara Pemerintah dan pem andangan D P R - G R . sehingga Pemerintah mengemukakan salah satu argumentasinja, dengan mengemukakan U ndang-undang N o. 19 tahun 1948 jang memungkinkan M ahkam ah A g u n g itu bukan top dari semua Lingkungan Peradilan. D ju g a Undang-undang N o. 19 tahun 1948 ini didasarkan pada Undang-undang D asar 1945, demikian Pemerintah menge mukakan argumentasinja. Bagi kami timbul pertanjaan. apakah tepat, djikalau Pemerintah melandaskan pikirannja kepada Undang-undang, jang w alaupun didasarkan pada Undang-undang D asar 1945 akan tetapi sepandjang pengetahuan kami tidak/belum pernah diberlakukan ? D a n selandjutnja, bagaim ana ? Landasan pemikiran Pemerintah atas T ap M P R S N o. X IX /1 9 6 6 itu, bagaim anapun djuga sangat kami hargai, merupakan suatu tjermin daripada kelainan pendapat alias pertanda masih hidupnja demokrasi, w alaupun kam i sfendri tidak sependapat dengan Pemerintah didalam hal jang demikian jtu, sebagaimana kami kemukakan diatas sepandjang mengenai penafsiran pasal 24 pasal 25 dan Pendjelasan Undang-undang Dasar 1945 (chususnja pasal 24 ajat ke-1).
Dari uraian diatas itu djelaslah kiranja letak persoalannja, bahwa diantara Pemerintah dan D P R /G R telah timbul suatu perbedaan penafsiran akan Undang-undang Dasar 1945 dan Tap M PRS jang bersangkutan, dan kami rasa soal ini adalah prinsipiil didalam rangka menegakkan Negara hukum sebagaimana dikehendaki oleh Undang-undang Dasar 1945 sendiri. Lantas bagaimana djalan keluarnja kita dari djalan buntu ini ? K am i rasa djikalau baik pihak Pemerintah sendiri maupun pihak D P R - G R akan tetap menjadari dan menginsjafi sedalam-dalamnja akan keadaan dan situasi T anah A ir pada dewasa ini, dimana jang paling dibutuhkan oleh seluruh rakjat adalah pembangunan, maka tanpa mengEambur-hamburkan uang rakjat lagj, tanpa membuang-buang waktu dan tenaga, kami jakin kita akan sampai kepada andjuran kami sedjak semula jaitu bagaimana memperoleh konsensus-nasional. d e n g a n mentjiptakan konsensus-nasional itu kita untuk masa dekat ini tjdak perlu mengadakan Sidang Um um atau Sidang Istimewa M P R S , w alaupun sesungguhnja djustru M P R S itulah jang berhak dan berwenang m engadakan penjelesaian terachir akan perbedaan penafsiran jang kami kem ukakan diatas tadi. D jik a tidak perlu untuk menghambur-hamburkan uang rakjat dan tenaga untuk m engadakan Sidang jang kami maksudkan. D a n konsensus-nasional ini kami jakin akan dapat ditjapai apabila ada saling pengertian pribadi/golongan ditempatkan dibawah Kepentingan N e gara, Bangsa dan R akjat Indonesia jang sudah rindu akan Pem bangunan. q -j ^ etua jang terhormat, W a k il Pemerintah jang kami m uliakan serta oidang jang tertjinta.
Pada bagian-bagian lain Djawaban Pemerintah kami dapat mengikuti, cimana a.i. Pemerintah dengan keichlasan dan kedjudjuran hati jang bagi kami ‘Jaa k lain merupakan tjermin daripada itikad baik sehingga kami h a n ja ber155
daja menjam paikan rasa terima kasih dan penghargaan jang setinggi-tinggi** n ja atas pengakuan Pemer-ntah sendiri dengan mengemukakan antara lain : ’’Perkenankanlah kami sekali lagi mohonkan perhatian Saudara- bahwa ketigaa-tiga R U U . jang saudara- sekarang hadap*. jaitu R U U . tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman, R U U . tentang Susunan, Ke kuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A gung dan R U U . tentang Pe ngadilan dalam lingkungan Peradilan Um um adalah hasil2 karya dari sebuah Panitia Negara, jang d.ketuai o!eh Prof. Soebekti, Ketua M a h kamah A gung dan terdiri anggota- sebagai wakil- dari M ahkam ah A gung, Departemen Kehakiman, d a n kalangan Universitas dan dari golongan masjarakat, jang mempunjai minat dan keachiian terhadap per soalan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian persoalan ini sudah dibahas oleh teoritis, prak isi dan mereka jang berakal setjara reprensentatip dalam masjarakat, jang sampai pada suatu kesimpulan. bahwa gagasan M ahkam ah A gung sebagai puntjak dari lingkungan peradilan. H al de mikian tidak menutup kemungkinan, bahwa pandangan lain dapat diadjukan, jang berlainan dengan disertai argumentasi rationil’’. (hal. 5 kalim at2 bagian bawah, S U . 81-68). D engan pengakuan ini djelaslah bagi kami : a.
bahwa Panitia Negara jan<j dimaksudkan menghendaki agar supaja M ahkam ah A gung itulah puntjak dari semua l.ngkungan Peradilan ;
b.
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan Panitia Negara but, dengan mengemukakan alasan2 rationil.
terse
Dengan adanja perbedaan pendapat antara Panitia Negara jang bersangku tan dengan pihak Pemerintah mengenai : ’’apakah M ahkam ah A gung itu merupakan puntjak daripada semua Lingkungan Peradilan” , maka bagi kami masih kurang djelas, mengapa Pemerintah sampai kepada perbedaan penda pat tersebut. Kami berpendapat, tidak berkelebihan kiranja djikalau kami katakan bahwa djustru Panitia Negara jang disebutkan itulah jang lebih menguasai masalah/persoalan dan sudah tidak diragukan oleh masjarakat lagi akan keachiian masing2 anggota Panitia tersebut. Sdr. Ketua jang terhormat, Argumentasi selandjutnja adalah gagasan M enteri Kehakiman jang dahulu pada tahun2 1961 dan 1962, sehingga bagi kami t ;mbul berbagai persoalan ’ang antara la;n : bahwa, benarkah gagasan M enteri Kehakiman jang dahulu itu jg. dimaksudkan dengan ,.Peradilan Terpim pin” itu adalah peradilan jang lebih menekankan perkataan ,fterpimpin”nja sehingga mendjurus kepada ,.Peradilan Diktaturisme’’ ? Seolah-olah semua gagasan jang ditjetuskan sedjak D ekrit 5 D ju li 1959 itu berdj'iwa dan bersemangat. ,,Diktaturisme’\ kami rasa kurang tepat, djikalau sejpuanja gagasan jang ditjetuskan sedjak Dekrit 5 D ju li 1959 itu berbau ,fDiktat|irisme” . K ita boleh semua pihak?, semua orang dan golongan mencjemuk^Jcan pendapat dan berhak untuk metiqeluarkan pikiran sebagaimanp. didj§m in oleh U n d ang 2 D asar 1945 ch u sq ^
156
nja pasal 28, akan tetapi kelirulah kiranja djikalau kita h anja m elihat sejji* negatif belaka dari masa‘~ silam, atau terus-menerus diraju-raju a priori-a priorP-an. Kami sangat menghargai pernjataan Pemerintah jang m engemukakan bahwa : ..Ketentuan dahulu, sewaktu M ahkam ah A g un g masih dipandang sebagai puntjak dari semua peradilan umum. tata-usaha negara, militer dan agama, mempunjai latar belakang keinginan untuk menudju kearah peradilan terpimpin, jang sekarang tidak dapat dipertahankan lagi . A kan tetapi, kamipun dapat mengemukakan djustru sebaliknja, jaitu bahwa gagasan Menteri Kehakiman jang dahulu itu adalah -untuk menegak kan Kekuasaan Kehakiman sesuai dengan U ndang-undang D asar 1945, walaitipun hal itu tidak dengan tegas dinjatakan M enteri Kehakiman jang da hulu. A dapun jang mendjadi alasan kami mengemukakan demikian : a.
U .U .D . 1945 dibuat pada waktu dan keadaan transisi, jaitu transisi dari pendjadjahan kearah kemerdekaan.
b.
G agasan M enteri Kehakiman jang dahulu itu dibuat ^ k t u transisi pula, jakni transisi dari U .U .D . Sementara kearah U .U .D . 1945.
c.
M asa sekarang in i adalah djuga transisi, jakni tr a n s is i dari penjelewengnn U .U .D . 1945 kearah pelaksanaan setjara m urm dan konsekwen U .U .D . 1945.
Lagi pula, oleh karena kebetulan sekali gagasan Menteri dahulu ditjetuskan tepat pada masa kian menandjaknja Pasaran ’’ maka bagi kami timbul kesan bahwa Pemerintah seo a -oa m bahwa semuanja jang ditjetuskan pada masa itu ada a ti a ai dengan U .U .D . 1945 dst. D ilihat dari segi kemanfaatan dan tudjuannja. hatian Sidang ini akan, kenjataan-kenjataan sekarang a gasan-gagasan dimasa silam itu demikian. K enjataan-e
nnrian ai
^ m o h o n ^m perkami hen#.,^
maksudkan. ialah gagasan-gagasan ) ^ 9 ^ tua"9 d L s lk a n ^ e m a n f a a t a n n ja . perundang^undangan jang sampai sekarang ini Misalnja sadja : diantara Pemerintah dan DPR-GR telah tertjapai konsensus
tentang peningkatan berbagai Penpres dan Undang-undang karena dirasakan k e m a n f a a t a n n
ja
ber a9a , . dan dihhat dari s g
j; ) -
annja. D a n landasan untak itu tegas diberikan oleh T ap M P R S N o . X I X / 1966, chususnja pasal 2 ajat ke-1, jang berbunji s bahwa Presiden dan P e r a t u r a n - p e r a t u r a n Presiden jang isi dan tu djuan n a sesuw dengan hati nurani rakjat dalam rangka pengamanan Revolus. ^ ^ g k a n dalam bentuk Undang-undang. Kem udian daripada itu baiklah kam i rasa Pemerintah jang sekarang ini m elandjutkan usaha-usaha Pemerintah jang sudah2 jang telah ditjapai jang njata-njata b e r g u n a . berm anfaat m engun.ungkan bagi Bangsa. R ak jat dan Negara, bahkan tidak hanja m elandjutkan tetapi djuga m enjempurnakan apa-apa jang telah ditjapai oleh Pemerintah dunasa-
157
masa lalu, sehingga terdapat kontinuitet, dan kita tetap herdjalaa lebih xnadju bukan lebih mundur atau lebih seret djalannja. Sdr. Ketua jang terhormat, Gagasan, bahwa M ahkam ah A g un g itu bukanlah merupakan puntjak dari semua lingkungan peradilan didalam Negara Repub!;k Indoncs'a, maka menurut hemat kami Pemerintah mendjurus kenrah ,,PeracFlan Liberalisme", sehingga ,,Peradilan jang merdeka" jang dimaksudkan Pendjelasan pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 itu mendjelma mendjadi ..Peradilan Liberalisme” . Berbitjara tentang ..Peradi'an T erpim pin” (djikalau mcndjurus kearah Diktatorisme) dan ,.Peradilan jang M erde k a” (jang mcndjurus kearah Liberalisme) kami anggap bertentangan dengan D jiw a dan Scmangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 jang dilandasi oleh LIndang" D asar 1945 dan Pantjasila. D jikalau demikian, maka sampailah kita kepada problematik-problematik nasional. jang mau tidak man terbajanglah kembali dipuang mata kita malapetaka-malapetaka nasional pada waktu-waktu jang sudah Jakni, bahwa puntjak Liberalisme dalam Indonesia merdeka adalah tragedi-tragedi D .I./ T .I.I. P R R I/Perm esta dan la.;n-lain Pemberontakan se dangkan puntjak Diktaturisme didalam pertumbuhan Republik Indonesia ber puntjak pada tragedi G .3 0 .S /P K I. Lantas bagaimana ? Kita dihadapkan kepada konsensus nasional akan pcrumusan dari pada ,,Demokrasi a la Indonesia” , prinsip ..Musjawarah untuk m ufakat’’ untuk mengisi Gedung Kemerdekaan itu dengan djalan Pembangunan. Kami ulangi sekali lagi, bahwa menurut hemat kami, bahwa Undang-’ Dasar 1945 dan Pantjasila itu bukanlah mengandung faham Diktaturisme dan bukan pula mengandung faham Liberalisme, sudah merupakan konsensus nasional. Tetaps, ada tetapinja, jaitu, bagaimana reak’sasinja disemua bidang kehidupan dan pengh.idupan ketatanegaraan dan kemasjarakatan, termasuk dibidang Ke kuasaan Kehakiman. Sdr. Ketua jang terhormat, Dengan argumentasi2 diatas itulah kami berpendapat, bahwa lingkungan Per adilan itu menurut hemat kami dimungkinkan lebih dari satu akan tetapi ber puntjak kepada M ahkam ah Agung, sebagaimana kami kemukakan pada Pe mandangan U m um kami pada Babak I tempo hari. Selandjutnja, Pemerintah didalam djawabannja mengemukakan pula alasan : ’’Apabila, dikemukakan sebagai alasan ’’kesatuan hukum ” itu diperlukan M ahkam ah A gung sebagai puntjak dari 4 lingkungan peradilan, maka kami mohonkan perhatian, bahwa tanpa mengangkat M ahkam ah A gung se bagai puntjak pimpinan menurut Pendjelasan R U U . tentang Susunan, Keku asaan dan H u k um Atjara M ahkam ah A g un g (U m um ) tidaklah tertutup kemungkinan bahwa dalam U n d a n g 2 Dasar tersendiri jang mengatur tiap per adilan chusus tadi akan ditetapkan bahwa putusan2 dalam tingkat terachir da ri Badan2 dalam lingkungan peradilan tersebut ditundukkan pada pemeriksaan kasasi oleh M ahkam ah A gung, djustru karena pemeriksaan tingkatan ka158
sasi mcincrlukan suatu "technical skill dan pengalaman’’, dan ia diadakan untuk kepentingan kesatuan hukum. (hal. 7 alinea 6). Dan pada Pendjelasan Umum R U U . tentang Susunan. Kekuasaan dan H u kum Atjara Mahkamah Agung Pemerintah mengemukakan pula bahwa : ’’Dalam Undang- ini te’ah dilepaskan gagasan. bahwa M ahkam ah A gung merupakan putjuk pimpinan djuga dari lingkungan2 peradilan lainnja, agama, militer dan tatn-usaha negara. Lingkungan2 peradilan lainnja ini adalah per adilan'-' chusus jang masing- mempunjai tjiri* chas. dan karenanja harus di atur dalam berbagai Undang- tersendiri. Nanuin demikian tidaklah tcrtutup kcmungkinan bahwa dalam Undang'- ter sendiri jang mengatur tiap- peradilan chusus tadi akan ditetapkan bahwa p u tusan2 dalam tingkat tcrachir dari Badan- Pengadilan dalam lingkungan per adilan tersebut ditundukkan pada pemeriksaan kasasi oleh M ahkam ah A g u n g ’’. Dengan keterangan dan Pendjelasan Pemerintah itu kami berpendapat, bah wa ’’kesatuan luikum’’ itu ditjapai dan dipelihara hanja dengan kasasi . Dengan mcmpcrgunakan perkataan tidaklah tertut'iip kcmungkinan dst. ka mi belum melihat tjukup djaminan oleh karena R U U jang beisangkutan belum kami tahu dan lihat. dengan perkataan lain RUU.- jang memungkinkan 'kasasi'’ dari lingkungan2 peradilan lainnja itu pada Mahkamah A gung sam pai dctik ini masih belum didrop Pemerintah pada D P R - G R ini sehingga ka mi agak ragu. Kemudian daripada itu dengan mempergunakan perkataan ’’tidaklah tcrtutup kcmungkinan'’ dst. itu, maka timbul pertanjaan sebabknja, bagaimana dj.kakalau didalam RUU.- jang bersangkutan itu "kemungkinan jang dimaksud kan tertutup ? Keterangan Pemerintah ini tidak sadja meragukan bagi kami, bahkan mcnqchnwatirkan. bahwa Pemerintah membuka p.nk, untuk m em bute persoalan-baru jang kcmungkinan pula merupakan djalan lempang^kearahj penjelcwenqan U U D . 1945. Kami rasa baiklah kita mengachur, k« ^ 9 uan dan kechawatiran jang demikian itu. sekaligus ^ t i j k mentjapa' ^ ngan menegakkan pada salah satu pasal didalam RUU^ ^ jang menentukan, bahwa : ’’M ahkamah Agung a a a p ^ TertinaLinqkungan Peradilan” . atau ’’Mahkamah Agung adalah Kekuasaan ng gi Badan Kekuasaan Negara diseluruh wilajah Republik Indon M enurut hemat kami, bahwa ’’kesatuan-hukum” jang akan ^ dak1^ 11 tiukup jd ^n ^ a Linqk^unqan 3]Pera!dna1n Um um. san” .
"
-* •
d ® "a^ Ps^ , Oleh
karena
"pen3aw a-
u l , t1 r?T ttT fpntmci Susunan, Kekuasaan dan H ukum Atjara MahBahwa, pasal 11 R U U t e g „ M ahkam ah A gung melakukan pengawamah A g u n g berbunj . > peradilan dalam lingkungan peradilan umum san tertmqgi terhadap djalannja percmimi , j i dan mend aga supaja peradilan itu diselenggarakan dengan seksama dan se-
wadjarnja”. 159
Sehingga timbul pertanjaan, Siapakah jang m endjalankan pengawasan itu atas djalan nja peradilan diluar lingkungan peradilan U m um itu ? M enurut kedua-dua R U U . jang kita bahas sekarang ini, djelas bukan M ahk am ah A g un g. D jik alau demikian halnja, m a ka apabila M ahk am ah A g un g itu bukan lacfi merupakan puntjak dari semua lingkungan2 peradilan jang ada didalam w ilajah kekuasaan N egara Republik Indonesia, maka seolah-olah kita m endjurus kearah ’’membentuk negara da lam negara’’. D ip ih ak lain, setjara logika. djikalau kila melihat bunji pasal 29 R U U . tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakim an jang menetapkan, bahwa H akim d!angkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara maka pengawasan tertinggi atas semua lingkungan peradilan itu adalah Kepala. Ini djalan-p^kiran jang logis. A k an tetapi t’dak semua jang logis itu adalah benar ! D a n , andaikata Kepala Negaralah jang mengawas* itu (karena beliaulah jang mengangkat dan m em berhentikannja), lalu tim bul pertanjaan, apakah djalan inf tidak membuka kem ungkinan untuk m endjurus kearah pemupukan pemusatan kekuasaan atas satu tangan alias Diktaturism e ? d.
Kami dapat memahami, bahwa pasal 12 sub a dari R U U . tentang Susu nan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A g un g jang menetapkan bahw a M ahkam ah A g ung memutus pada tingkatan pertama dan terachir semua sengketa tentang wewenang mengadili antara Pengadilan dari su atu lingkungan dengan Pengadilan dari lingkungan jang lain, merupakan suatu upaja untuk mentjapai dan menielihara '’kesatuan-hukum’'. N am un ,kami rasa tugas pengawasan atas djalannja peradilan pada se mua Hngkungan2 peradilan jang ada merupakan suatu soal prinsipiil. D an menurut hemat kam1’, tugas pengawasan ini tidak sadja prinsipiil dibidang Kekuasaan Kehakiman belaka, melainkan meliputi semua bidang kegiatan dan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan, oleh karena dengan tidak tegasnja pengawasan itu m emungkinkan semua orang jang mendjadi pe djabat pemerintahan saling mentjutji-tangan dan saling mengkambinghitamkan satu sama lain, sehingga tidak ketahuan lagi siapa sesungguhnja jang bertanggung djaw ab atas sesuatu soal atau masaalah.
e.
Kami dapat memahami R .U .U . jang bersangkutan sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah, bahw a diadakannja 4 lingkungan Peradilan, dan pada Pemandangan U m um kami Babak I tempo hari kami mengusulkan tjukuplah tiga, tetapi semuanja berpuntjak pada M ahkam ah A gung. Karena kami m enjadari kenjataan memang dibutuhkan peradilan chusus itu untuk perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakjat tertentu sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah pada Pendjelasan Pasal 10 R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman A k an tetapi, kami rasa semua pihak sependapat (tidak sadja sesama Fraksi di D P R - G R melainkan djuga pihak D P R - G R sendiri dan Peme rintah) bahw a kita di Indonesia sebagaimana terkandung dalam D jiw a U .U .D . 1945, tidak menghendaki penggolongan warganegara begitu rupa dimuka Pengadilan atau melalui sarana peradilan-peradilan jang berbedabeda dan berlain-lainan sehingga m entjiptakan nantinja w arganegara kelas istimewa" disamping ,,warganegara kelas k a m b i n g P a s a l 27 ajat
160
(1) dari U.U.D. 1945 kita tegas menetapkan, bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannja didalam hukum dan pemerintahan dan wadjib nicndjundjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada keketjuali-
annja. D a n untuk tetap berpidjak pada Pasal 27 ajat (1) U .U .D . 1945 inilah kami mcrasa perlu memohonkan perhatian, bahwa tugas pengawasan atas semua lingkungan- peradilan itu berada pada M ahkam ah A g u n g sadja sehingga kami masih tetap berpendirian bahwa semua lingkungan2 per adilan itu adalah M ahkamah Agung. Selandjutnja Sdr. Ketua jang terhormat, .f
M engapa kami sedjak pemandangan Um um Babak I mengemukakan, bahw a M ahkam ah Agung itu merupakan puntjak dari semua lingkunganlingkungan peradilan. Alasan kami, ketjuali alasan-alasan diatas tadi ada lah jang berhubungan dengan Gengsi dan M artabat Lembaga-lembaga Negara Tertinggi. Bahwa, kita semua mengetahui Lembaga-lembaga Negara Tertinggi jang diatur U .U .D . 1945 adalah:
Jang
a. b.
M . P. RKekuasaan Pemerintah Negara.
c. d. e. f. g.
D . P. A . D . P. R . M . A. B. P. K. Kementerian Negara.
semuanja itu merupakan badan kekuasaan
jang enam
sehingga
mendjadi : 1. 2.
Presiden dan W a k il Presiden. Kementerian.
3.
Mahkamah Agung.
4. 5. 6.
Dewan Pertimbangan Agung. Dew an Perwakilan Rakjat. M adjelis Permusjawaratan Rakjat.
Kami ulangi, kekuasaan jang 6 itulah jang m e n . kencgaraan Republik Indonesia masing-masing tugas atau fungsinja. D engan demikian kita ™en 1945 tidak mengenai pembag.an-kekuasaan 1 9 9^ misahkan 3 kekuasaan, jaitu antara badan Legisia
katif jang, bersumber kepada “
t;tfw a
u S T 9 « “
f e n q n itu deiiqan cd ^ ndang D asar mendalatn memisahEksekutif dan Judi-
T'theralisme ShadT rk eK rangan kami tadi
mengandung a ..u mendjurus kearah
paham Diktaturisme atau Liberalisme. Sdr. Ketua jang terhormat, • , i irotiiaf'isn adanja 6 badan kekuasaan jang diakui kiranja bahw a perlu kami mohonkan perhatian akan suatu
a , ja m
agai-
161
mana agar supaja kc-cnam-enamnja badan kekuasaan itu didudukkan pada propoisinja. Ketjuali itu, bahw a kita sendiri perlu mendidik diri kita semua untuk m enghonnati Penguasa (jang termasuk 6 badan kekuasaan tadi), maksud kami untuk mentjiptakan ,,warganegara kelas kam bing" (tegas kami menolalc hal demikian itu seperti kami kemukakan tadi dida!am rangka membitjarakan pasal 27 ajat (1) LIndang-undang D asar 10-45). kami hanja ingin jang ..wadjar’ , jang ..patut atau ’’sclajaknja" . Jaitu, didalam R U U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jang kita bitjarakan seka rang ini kami mohonkan perhatian, akan kedudukan orang-orang jang menduduki 6 badan kekuasaan jang kami sebutkan tadi dirnuka H U K U M dan P E R A D I L A N . Sehingga untuk keperluan itu kami rasa perlu dituangkan didalam R . U . U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Itu materi jang terdapat didalam pasal 106 Undang-undang Dasar Scnicntara 1950 ditlu, jang berbunji : ajat (1). Presiden, W a k i l Presiden, Menteri-Menteri, Ketua, W a k i l Ketua dan A ng g auta D ew an Perwakilan Rakjat. Ketua W'akil-Ketua dan A ng g auta M a h k a m a h A g u n g , D jaksa A g u n g pada M ahkam ah A g un g, Ketua, W a k i l Ketua dan A ng g auta D ew an Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan djuga pegawai-pegawai, anggauta-anggauta mad;'eHs-madjelis tinggi dan pedjabat-pedjabat lain jang ditundjuk dengan undang-undang. diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga oleh M a h k a m a h A gung. pun sesudah mereka berhenti. berhubung dengan kedjahatan dan pelanggaran djabatan serta kedjahatan dan pelnnggaran lain jang ditcntukan dengan undang-undang dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, ketjuali djika ditetapkan lain dengan undang-undang. (2). D engan undang-undang dapat ditetapkan bahwa perkara perdata dan perkara pidana sipil terhadap golongan-golongan orang dan badan jang tertentu hanja boleh diadili oleh pengadilan jang ditun djuk dengan undang-undang itu. (3). D engan undang-undang dapat ditetapkan bahwa perkara perdata jang mengenai peraturan-peraturan jang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang hanja boleh diadili oleh pengadilan jang di tundjuk dengan u ndang 2 itu. Pasal 106 Undang-undang Dasar Sementara 1950 ini lebih dikenal dengan
„forum priviligiatum ’’. Sehubungan dengan ,,forum priviligiatum” ini kami mengjngatkan, bahwa sampai sekarang ini chusus terhadap anggota Pimpinan M P R S masih berlaku Peraturan Presiden No. 5 T ahun 1961 tentang SEGI-’ P R O T O K O L E R D A L A M T IN D A K A N K E P O L IS IA N T E R H A D A P ANGGOTA P IM P I N A N M P R S . Tindakan Kepolisian jang dimaksudkan adalah : 162
a. b. c. d. e. f-
pemanggilan berhubung dengan tindak-pidana incminta kcterangan tentang tindak pidana. penangkapan. penahanan. penahanan. penggeledahan.
Tindakan kepolisian tersebut hanja dapat dilaksanakan oleh petugaspetugas Negara menurut ketentuan sebagai berikut: a. apabila petugas negara tersebut termasuk Ketentaraan serendahrendahnja harus berpangkat : Kolonel. b. apabila petugas-negara tersebut termasuk dalam Kepolisian. serendahrendahnja harus berpangkat : Komisaris Besar. c. apabila petugas-petugas tersebut termasuk dalam badan Pemerintahan Sipil serendah-rendahnja harus berpangkat : Gubernur. Djelasnja, apabila pasal 106 UUDS-1950 itu mengatur Peradilan. maka Peraturan Preaiden jang kami sebutkan itu adalah mengenai tindakan kepolisian. Selandjutnja. tentang nasib daripada Peraturan Presiden No. 5 tahun 1961 ini pihak Pemerintah merentjanakan agar supaja ditingkatkan mendjadi hukiam-positif kita, apakah berbentuk Undang-undang dengan sjarat ataukah akan mendjadi Peraturan Pemerintah. Dan sampai saat terachir dilingkungan Panitia Chusus Penpres-Perpres sendiri sudah hampir semua Fraksi dapat menjetudjuinja. Hanja perlu diiperhatikan bahwa djikalau materi Perpres 5/1961 itu adalah terhadap hanja Anggota Pimpinan M PRS, maka kami kira sebaiknja diperluas sehingga mentjakupi materi pasal 106 UUDS-1950 jang kami sebulkan tadi. Alasan kami selandjutnja untuk penuangan m a t e r i pasal 106 ULIDS. 1950 itu didalam R U U . tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman ialah mene gakkan rasa keadiian bahwa, sudah m e n d j a d i ketentuan misalnja seorang Perwira Menengah djika d i h a d a p k a n dimuka Pengadilan paling sedikit diperiksa oleh jang berpangkat Perwira Menengah, maka adalah wadjar pula bahwa seseorang Mfenteri atau bekas IVIenteri apabila dihadapkan dimiuka Peradilan untuk diperiksa p e m e r i k s a a n itu dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sekedar imbangan untuk mentjapai hierarchie dibidang Angkatan Bersendjata, adalah kurang adil apabila misalnja seseorang Menteri atau bekas Mente ri jang bersangkutan itu langsung diperiksa di Peradilan Umum tingkat Per tama. jakni Pengadilan Negeri. Begitupun seorang Anggota D PR-G R/M PR S, jang merupakan tjermin dari pada Demokrasi kita, m e r u p a k a n s e s u a t u jang kurang adil apabila misalnja mereka diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan seorang Perwira M e nengah akan diperiksa oleh P e n g a d i l a n Tinggi Angkatan Bersendjata. Seterusnja, adalah tidak atau k u r a n g adil nanti djikalau misalnja seorang Anggota Mahkamah Agung atau seorang bekas Anggota Mahkamah Agung akan diperiksa oleh Hakim2 pada P e n g a d i l a n Negeri, ataupun seseorang ang gota Badan Pemeriksa Keuangan atau bekas Anggota Badan Pemeriksa Keuangan akan diperiksa di P e n g a d i l a n Negeri, sedangkan seorang warganega163
ra biasa misalnja pentjuri seekor ajam diperiksa pada Pengadilan Negeri. Djadi alasan ini berdasarkan rasa Keadilan didalam suatu Negara Hukum, jaitu Negara Hukum Republik Indonesia kita jang tertjinta itu. Kami ulangi sekali lagi alasan kami, bahwa demi dan untuk menegakkan rasa Keadilan disatu pihak dan dilain pihak adalah untuk mendidik Rakjat rnenghormati Penguasa dan agar supaja Penguasa itu berwibawa dimata Rakjat. Bagi Angkatan Bersendjata misalnja sudah dimutlakkan oleh adanja organisasi jang kuat jang menimbulkan hierarchie, dan adalah tidak masuk akal untuk mempersamakan seorang Perwira Tinggi dengan seorang Pradjurit dunuka Hakim/Pengadilan, karena dengan mempersamakannja itu berarti menghapuskan hierarchie jang kami maksudkan. Sdr. Ketua jang tejhormat, Selandjutnja apabila gagasan kami ini diteruskan maka akan sampai kita kembali kepada masalah soal ’’apakah Mahkamah Agung sebagai puntjak atau tidak daripada semua lingkungan peradilan jang ada’’. Bahwa, dengan diadakannja suatu ketentuan didalam R U U . tentang Ketentuan- Pokok Ke kuasaan Kehakiman jang kita bitjarakan sekarang ini, maka njatalah keistimewaan daripada Mahkamah Agung itu, bahwa ia mengadili tingkat pertama dan terachir dalam hal2 chusus sebagaimana kami kemukakan tadi. Inilah jang mendjadi salah satu alasan bagi fraksi kami. bahwa Mahkamah Agung itu me rupakan puntjak daripada semua lingkungan2 peradilan. Kita semua tahu, bahwa Undang2 Dasar 1945 kita itu dibuat pada lebih 23 tahun jang lalu, dan kita semuanja tahu pula, bahwa banjak perkembangan perubahan selama masa 23 tahun ini disamping adanja kekurangan2 didalam Undang2 Dasar 1945 sendiri sebagaimana dikatakan didalam Pendjelasannja, bahwa Undang2 Dasar Bersifat Singkat dan Supel (Angka IV Pendjelasan U U D 1945). Oleh karenanja, tidaklah bidjaksana, apabila misalnja akan ada orang berpendapat, bahwa materi pasal 106 U U D S tersebut tidak dapat dipergunakan atau dituangkan didalam R U U . tentang Ketentuan2 Pokok Ke kuasaan Kehakiman, oleh karena dia berasal dari Undang2 Dasar Sementara itu tidak berlaku lagi pada waktu sekarang ini. Apabila memang berguna dan ternjata demi kepentingan Bangsa dan Rakjat Indonesia, maka akan dapat dipertanggung djawabkan bukan sadja kepada rakjat pada waktu sekarang ini melainkan djuga dapat dipertanggung dja wabkan kepada generasi2 jang akan datang dan terhadap sedjarah dan hu kum apabila materi pasal 106 jang kami maksudkan dituangkan didalam RU U . jang kita bahas ini. Sdr. Ketma jang terhormat, W akil Pemerintah jang kami muliakan serta Sidang jang tertjinta. Demikianlah kira2 keterangan/uraian sebagai bahan pertimbangan untuk Si dang jang tertjinta ini mengenai crucial-point jang pertama antara Pemerlntah dan DPR-GR. Sekarang kami akan melandjutkan uraian kami tentang crucial-point jang ke dua, jakni perlu tidaknja, susunan, keanggotaan dan tugas dari Madjelis Per timbangan Penelitian Hakim (M .P .P.H .). Tentang hal ini kami tidak akan pandjang lebar menguraikannja. Pokok2 plkiran jang akan disampaikan oleh Fraksi kami P A R T A I M U R B A adalah : 164
Bahwa, untuk betul' berpidjak kepada U U D . 1945 dan Pantjasila, jang tidak memberi tempat pada sistim diktaturisme dan sistim liberalisme d i dalam Kekuasaan Kehakiman, pada prinsipnja diadakannja M adjelis Pertimbangan Pcnelitihan Hakim itu sebagaimana termaktub dalam R U U . tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kehakiman bagi kami meru pakan suatu upaja unkik mentjiptakan dan menegakkan Peradilan jang
a.
merdeka’’ b.
Bahwa. susunan, keanggotaan dan tugas dari M adjelis Pertim bangan enelitihan H akim itu dapatlah nanti selandjutnja dibahas pada tingkat IV
c.
Bahwa, restriksi jang perlu kami tekankan. djanganlah kiranja den9a" pembentukan Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim itu lantas ki a mau atau tjenderung untuk mentjiptakan dan atau membcn uk e uasaan Kehakiman didalam bidang Kekuasaan Kehakiman sepertn mendirikan Negara dalam Negara, sehingga keadaan bukan makin baik akan e-
untuk mendekatkan masingJ pendixian.
tapi makin katjau-balau.
kam: landjutkan dengan c r u c ia l- p o in t jang ketiga jakni tentang Ke kuasaan Mahkamah Agung jang dilimpahkan dari Mad,el.s Permusjawaratan Rakjat Sementara (M P R S), jaitu jang lebih dikenal dengan Toetsing-
S ekarang
srecht’\
Didalam kehidupan praktek ketatanegaraan kita sepandjang usia publik Indonesia jang kita tjintai bersama itu se ing ana- Dasar Proakan kesulitan* j a n g diakibatkan singka. dan supeln,a U"dang Dasiar Fro klamasi kita. dimana kadang» timbul hal jang kurang d djika dihhat dari segi konst,tusionil sedangka.i‘ d i n j a
p e r b e d a a n
p e n a f s i r a n
t i d a k
s a d j a
i a n
u - k u a t a n
p o l i t i k
( j a n g
m
e n -
Organisasi Kekaryaan). Sdr. Ketua jang terhormat, Kami akan mengemukakan beberapa alasan, betapa perlu kita pertun ang an hak dan wewenang ini, jaitu : » * . t t t t f i PrnVlamasi kita, maka kekuasaan jang tertinggi itu a. M enurut sistim U U D Proklamasi * M PRSK
adalah ditangan M P R (jang^sek^
“8
menetapkan Undang2
D a l\ \ lh W n a 'a m e r e k a la h pula ^ q a 'ja n f untuk menetapkan penafsiranii],a_ dan a^n d a t a u peraturan perdan wewenang dan menilai apakah s e s i a bertentanqan dengan Undang2 u n d a n g Jan lebih rendah daripada U ndang
^
^
Dasar atau tidak. Inilah dari segi
Menurut
p e n g a la m a n
ja n g
s u d a h
k e tju a
S id a n q n ja
untuk memanggil M P R S untuk■ k a n
s e s u a tu
m a s a la h ,
s e d a n g k a n
)ang diperlukan u n tu k
m e n je le s a i-
dutal™. masa ,rank ita
se k a
g
d a ta n q
ditentukan didalam Tap
( a n d a 'ik a -
M PRS 165
jang bersangkutan) terlalu banjaklah faktor- penghalang untuk menjelenggarakan Sidang M P R S . Pula dengan adanja konsensus nasional sekarang ini tentang dmdakan dan akan dim ulam ja R entjana Pem bangunan Lima Tahun, maka kurang praktislah untiuk setiap waktu jang dibutuhkau sangat menjelenggarakan Sidang M P R S (baik Sidang LImum maupun Sidang Istimewa). A pabila kita lihat misalnja pada pepundang-undangan Negara Luar, misalnja sadja Republik Federasi Djerman jang dibuat tahun 1949 maka tegas dinjata kan dalam pasal 93 U l I D mereka bahwa : (1).
(2).
Das Bundcsverfassungsgericht cntscheidet
:
1.
uber die Auslegung diescr und G rjndg csc'ze s ans Anlas^ von Stre:tigkiten uber den LImfang der rechte und Pfl.chten eim s obcrsten Bundeorgans oder andercr Beteigligter. d»c durch dieses Grundgesetz order in der Geschafiungordnung eines obersien Bundesorgans mit eigenen Rechten ansgestattetsind ;
2.
bei Meinungsperschiedenheiten oder Z w eifcln uber formlichc und sachliche Vereinbarkkeit von Bundesrecht oder Landesrecht mit diesem Grundgesetz oder die Vormcnbarkkeit von Bundesrechi mit sonstigem Bundesrecht auf A ntrag der Bundesregierung, einer Landsregierung oder eines Dritfels der Mitglieder des Bundestagc ;
3.
bei Meinungsverschiedcnheitcn uber Rechte und Pflichten des Bundes und der Lander, insbesondere bei der A usfuhrung von Bundesrecht durch die Lander und bei d e r A usubung der Bundesrufsicht ;
4.
in anderen offenlich-rechlichen Streitigkeiten zwischen dem Bunde und der Landern. zwischen verchiedcnen Laidern oder innerhalb eines Landes, soweit nicht ein anderer Rechtsweg gegeben ist ;
5.
in den ubr.gen in diesen Grundgesets vergeschonen Fallen :
Das Bundesverfassungsgericli w ird forner in den ihm sonst durch Bundesgesetz zwggewiesenen Fallen tatig.
D ik a ta k a n , b a h w a :
M ahkam ah Konstitusi Federal memutuskan :
166
(1).
berkenaan dengan penafs.ran Unclang- Dasar apabila terdapat pertentangan pendapat mengenai luasnja hak dan kewadjiban sesuatu A la t Perlengkapan Tertinggi Federasi atau pedjabat- lain, jang oleh U n d a n g 2 D asar ini atau oleh peraturan sesuatu Alat Perlengkapan Tertiggi Federasi diberi hak-kekuasaan ;
(2).
apabila terdapat perbedaan pendapat atau keragu-raguan berhubungan dengan kemungkinan hubungan formil atau meteriil antara U n d a n g 2 Federal atau perundang-undangan Negara Bagian der.gan U n d a n g 2 D asar ini atau kemungk'nan hubungan antara per3tutan-per-undang2an Negara Bagian dangan U n d a n g 2 Federal,
maka atas permintaan Pemerintah Federal. Pemerintah Negara Bel gian atau sepertiga dari Anggota Dewan Perwakilan Federal ; (3). apabila ada perbedaan pendapat mengenai hak dan kewadjiban Fcderasi dan Negara Bagian, chususnja dalam hubungan pelaksa naan Undang- Federal oleh Negara Bagian dan jang berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan Federal ; (4). bcrkenaan dengan perbedaan pendapat hukum-publik antara Fe deral dengan Negara Bagian, antara Negara- Bagian atau dida lam Negara Bagian, selama tidak ditetapkan bahwa harus diselesaikan oleh Peradilan jang lain ; (5).
Mahkamah Konstitusi Federal djuga bertindak dalam perkara2 jang ditetapkan oleh Undang- Federal termasuk wewenangnja.
Kita tidak mengenai Mahkamah Konstitusi seperti disebutkan diatas tadi, ka mi rasa disini pcrsoalannja ialah ’’siapakah jang berhak dan berwenang itu apabila terdapat perbedaan penafsiran atau penilaian atau keragu-raguan ter hadap sesuatu ketentuan dalam U U D atau Undang- menurut sistim Undang2 Dasar Proklainasi kita ibu tanpa mengabaikan keadaan dan situasi objektif ditanah air’’ ? Djikalau mengenai peraturan per-undang2-an jang lebih rendah dari Undang2 telah ditetapkan dalam pasal 16 RU U . tentang Sususan, Keku asaan dan Hukum Atjara Mahkamah Agung. Dan dari segi praktis, maka alangkah baiknja djikalau hak dan wewenang tersebut dilimpahkan M P R S sekarang ini kepada Mahkamah Agung, sehingga pasal 16 R U U . jang bersangkutan ditambah dengan suatu ketentiuan jang menentukan, bahwa M ah kamah Agung mempunjai hak dan wewenang untuk :
a- memberi pufcusan tentang perbedaan penafsiran mengenai Undang2 Dasar dan Pantjasila ; b.
memberi putusan tentang apakah sesuatu Undang2 itu bertentangan atau tidak dengan Undang2 Dasar.
Sdr. Ketua jang terhormat, Kelihatannja hal ini adalah djanggal sekali, bahkan dapat difeuduh menggrogoti hak dan wewenang M PRS, akan tetapi dari sudut praktis pada dewasa *ni kami rasa dapat dipertanggung djawabkan kepada rakjat Indonesia pun, kepada generasi jang akan datang apabila Pembangunan memang bisa dilaksanakan.
Adapun d a n
inginan
u n tu k
kami j a n g MPRS k e p a d a
a la s a n
w e w e n a n g
m e n e m p a tk a n
s a a n
ja n g
b e r d ir i
s e n d ir i,
s a a n
ja n g
merdeka. Maka
k e d u a
te n ta n g
K e k u a s a a n
t id a k
K
d itja m p u r i
a p a b ila
k ita
m e n g e m u k a k a n
p e lim p a h a n
h a k
ini a d a l a h h a s i a t d a n ke~ e h a k im a n itu s e b a g a i s u a t u Kekua k e k u a s a a n la in , m e r u p a k a n Kekua
M a h k a m a h
m a u
A g- ung
b e tu l- b e tu l
b e rh a s ra t
d a n
b e rk e -
Merdeka. m a k a t i d a k p e r l u lagi k i t a c h a w a t i r a k a n p e n j a l a h g u n a a n K e k u a s a a n Kehakiman, k a r e n a t o c h kontrol masih d a p a t d i d j a l a n k a n melalui DPR-GR d a n atau Madjelis Pertimin g in a n
u n tu k
m e n tjip ta k a n
s u a tu
P e r a d ila n
ja n g
bangan Penelitian Hakim. Mahkamah Agung tetap mendjadi sasatan kontroi daripada D PR-G R dan M P P H . Kami mintakan pula perhatian akan Badan-badan Kekuasaan Negara jang 6 jang telah dikemukakan diatas tadi. Dan sehubungan pula dengan Pemisahan Kekuasaan Kehakiman ini mendjadi ,,Peradilan jang Merdeka”, maka untuk lebih mcntjcrminkannja perlu ditentukan suatu ketentuan merupakan pasal tersendiri sesudah pasal 2 R.U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bagaimana tjaranja menempatkannja bagi kami tidak begitu prinsipiil, asal sadja perunuusannja kira-kira demikian : ,,Kekuasaan Kehakiman adalah merdeka. Segala tjampurtangan hagaimanapun djuga oleh Badan-badan Kekuasaan Negara jang bukan Kekuasaan Kehakiman terlarang, ketjuali djika ditentukan dengan Undang-undang”. Sdr. Ketua jang terhormat,
Sebagai bahan u-ntuk Sidang jang tertjinta ini, maka baiklah kita perhatikan suasana pexdebatan-perdebatan jang timbul pada Panitia Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hal ini, jang antara lain seperti dikemukakan Yamin dan Supomo. (1 ).
Y A M I N . Balai Agung djanganlali sadja melaksanakan bagian kekuasaan keha kiman, tetapi djuga hendaklah mendjadi badan jang membanding, apakah undang-undang jang dibuat oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar Undang-undang Dasar Republik atau bertentangan dengan hukum adat jang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan sjariah Agama Islam. Djadi dalam Mahkamah Tinggi itu, hendaknja dibentuk badan sipil dan kriminil, tetapi djuga Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam Tinggi, jang pekerdjaannja tidak sadja mendjalankan kehakiman, tetapi djuga membanding dan memberi laporan tentang pendapatnja kepada Presiden Republik tentang segala hal jang melanggar hukum dasar, hukum adat dan aturan sjariah.
( 2 ).
SUPOMO
.
Pertama tentang jang dikehendaki oleh Tuan Yamin supaja ditetapkan, bahwa Mahkamah Agung berhak menetapkan, bahwa sesuatu undangundang bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Sistim demikian itu memang ada, jaitiu di Amerika dan djuga dinegeri Djerman pada djaman konstitusi Weimar, djadi direpublik Djerman pada djaman konstitusi Weimar, djadi direpublik Djerman sesudah perang dunia Ada djuga dinegeri Australia, di Tjekoslowakia sesudah perang Dunia ke I. Djuga di Australia. Tetapi apa artinja sistim itu Sistim ini tidak ada di Perantjis, tjidak ada di Inggeris, tidak ada di Belanda, di Dai Nippon djuga fcidak ada. Tetapi kita harus mengetahui betul sistim itu. Sistim fang dipakai didalam negeri Belanda berdasarkan materieel recht, jaitu satu konsekwensi daripada sistim Trias Politica, jang memang di Ame168
rika belul-betul didjalankan dengan sesempurna-sempurnanja. Djuga di Pilipina, oleh karena Undang-undang Dasarnja memang berdasar atas model sistim Amerika jauu dalam pengertian Negara jang berdasar JLiberale democratic, jang memisah-misahkan badan-badan penjelenggara semuanja ; sebagai kesempurnaan sistim itu memang sudah selajaknja Mahkamah Agung, jaitu pengadilan tertinggi mempunjai hak seperti jang diandjurkan oleh tuan Yamin. Akan tetapi dinegeri itu tidak ada. Menurut pendapat saja, tuan Kefcua, dalam rantjangan Undang-undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim jang membedakan prinsipil 3% badan itu, artinja tidaklah, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-*undang. Memang maksud sistim jang diadjukan oleh Yarain, jalah supaja kekuasaan kehakiman mengontrole kekuasaan undang-undang. Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternjata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada jang pro, ada jang contra-kontrol. Apa sebabnja ? Undang-undang Dasar hanja mengenai semua aturan jang pokok dan biasanja begitu lebar bunj.inja, se hingga dapat diberi interpretasi demikian, bahwa pendapat A bisa selaras. sedang pendapat B pun bisa djuga. Djadi dalam praktek, djikalau ada per selisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar atau tidak, itu pada umumnja bukan soal juridis, tetapi soal politis, oleh kadena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada conflict antara kekuasaan sesuatu undang-undang dan Undangundang Dasar. Maka menurut pendapat saja sistim itu tidak baik buat Ne gara Indonesia, jang akan kita bentuk. Ketjuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan me ngatakan, bahwa para ahli hukum Indonesiapun sama sekali tidak mempunjai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat djuga bahwa di Austria, Tjechoslowakia dan Djerman waktu Weimar bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitufcioneel-hof, sesuatu pengadilan specifik jang melukt mengerdjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banjak, dan bahwa kita harus menambah tenagatenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Djadi buat negara jang muda saja kira belum waktiunja, mengerdjakan persoalan itu. Demikianlah Sdr. Ketua jang terhormat, sekedar suatu bahan bagi Sidang jang tertjinta ini, perdebatan pada Panitia Pembentuk Undang-undang Dasar 1945 itu pada tanggal 15 Djuli 1945 sebagaimana kami dapat batja pada halaman 336, 341-342 dari Prof. Mr. H. H. Muh. Yamin „naskah persiapan undang-undang dasar 1945”. i
Sdr. Ketua Jang terhormat, Sebelum kami achiri Pemandangan Umum kami babak II ini perkenajakanlah kami memb tjarakan crucial-point lain sebagai kelengkapan crucialpoint jang kami sebutkan 3 tadi, ja k n i: berapakah lingkungan peradilan jang kita perlukan sekarang ini., Djikalau dalam Pemandangan Umum kami babgk I tempo hari kami mengheqdajci b^hwa djitmlah lingkungan Peradilan itu sesuai dengan R.U.U. jang 169
dibuat Pemerintah, maka dengan uraian kami jang begitu pandjang lebar tadi kami akan menjempurnakan Pemandangan U m um pada Babak I, jaitu dengan mengusulkan agar supaja tjukuplah dua. Lingkungan Peradilan itu, jakni Peradilan U m um dan Peradilan A ngkatan Bersendjata. Perkara- jang bersangKutpaut dengan Administrasi Negara dan A gam a kami rasa tjukup ditampung oleh Peradilan Umum dengan pombidangan tugas-tugas daripada Hakim hakim jang ada. T an pa mempersoalkan, apakah sesuai atau tidak dengan D jiw a dan M a k n a jang tersurat dan jang tersirat didalam Undang-undang Dasar 1945, penjempurnaan Pemandangan kami ini didasarkan atas scgi-scgi praktis. Kami tekankan, segi- praktis, bahwa kenjataan sampai sekarang ini sadja kontrol dan pembinaan terhadap Peradilan U m um tidak dapat didjalankan dengan soksama, dan bagaimanakah kiranja djikalau diadakan lagi 2 lingkungan peradilan baru dapat diadakan kontrol dan pembinaan itu, bagi kami masih merupakan Lmpian belaka. Memang sangat ideal djikalau diadakan 4 lingkungan Per adilan, akan tetapi marilah kita sedikit demi sedikit leb.h realistis. Demikianlah Pemandangan Um um kami Babak kc-II ini tentang R.U.Ll. tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R.U.Ll. tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A gung, semoga Tuhan Jang M a h a Bidjaksana melimpahkan k e- arf-bidjaksanaan-Nja bagi Sidang jang tertjinta ini sehingga dapat keluar dari iingkaran jang tidak berudjung pangkal. Terima kasih dan Merdeka lOO^r.
Nj. SALJO S H . (K A R Y A P E M B A N G U N A N A ) : Saudara Ketua, Saudara Menteri dan sekalian hadirin jang terhormat. Sebagaimana tertjantum daiam pendjolasan atas R U U . tentang Pengadi lan dalam ln g k u n g a n Peradilan Um um , maka Undang- ini merupakan p e l a k sanaan daripada ketentuan- dan azas-' jang tertjantum dalam U n d a n g 2 ten tang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman. D ju g a Menteri K e h a k i m a n dalam Keterangan Pemerintah tentang R U U . tentang Pengadilan dalam ling kungan Peradilan U m um pada tgl. 31 Oktober jbl. menjatakan, bahwa de ngan diadjukannia R U U . ini. lengkaplah kesatuan tiga R U U . jang mengatur * judicial power, jud c:al organization dan judicial personnel!” dinegara kita. Saudara Ketua dan Saudara2 sekalian jang terhormat, Menurut hemat kami, memang dengan adanja 3 R L IU . itu, dan dengan ditjabutnja U n d a n g 2 No. 19 tahun 1964 dan U n d a n g 2 No. 13 tahun 1965, telah terpenuhi sebagian daripada Ketetapan M P R S No. X IX / 1 9 6 6 tentang pen n d ja u a n kembali produk2 legislatif diluar produk2 legislatif diluar produk2 M P R S , jang dikeluarkan setelah EVekrit tgl. 5 D ju li 1959. Tetapi sebagai usaha besar untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasar kan Pantjasila serta fungsi hukum sebagai pengajoman, 3 R U U . itu sadja be'um tjukup. Kead lan berdasar Pantjasila dan fungsi hukum sebagai pengajo-
170
man tidak dapat dipisahkan dari hukum materiil dan hukum atjara, terutama hukum pidana materiil dan hukum atjara pidana. Presumption of innocence misalnja, jang azasnja djuga tertjantum dalam pasal 8 R U U . tentang Keten tuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menjaratkat agar pemeriksaan, djuga pemeriksaan pendahaluan baik oleh Potisi maupun oleh Djaksa harus bersifat accusatoir dan tidak iniuisitoir seperti sekarang masih berlaku. H al itu dan lain2 segi atjara memerlukan pembaharuan Undang2 tentang Ketentuan-kctentuan pokok Kepolisian maupun Undang2 tentang Ketentuan2 Po kok Kedjaksaan. Maka oleh sebab itu fraksi kami (fraksi Karya Pembangu nan A ) berpendapat, bahwa setjepatnja harus menjusul pula R U U . tentang Ketentuan- Pokok Kekuasaan Kepolisian, disamping hukum pidana materiil dan hukum atjara pidana jang baru. Apabila sarana2 untuk suatu peradilan bebas dan adil itu telah lengkap, barulah kita dapat mentjapai momentem da lam menegakkan hukum dan keadiian berdasarkan Pantjasila. Namun kita mengerti, bahwa semua itu memerlukan waktu, dan tidak dapat terlaksana dengan satu kata utjapan adjaib sadja dan oleh sebab itulah mendjadi makin penting perombakan dalam organisasi dan personi] kehakiman serta pokok kekuasaan kehakiman. Meskipun hukum atjara pidana dan hukum pidana materiil jang baru belum ada, namun apabila mereka jang menghanteer hukum telah memiliki mental penegak hukum berdasar Pantjasila, hal itu sudah akan banjak sekali membantu. Karenanja kami menjatakan terima kasih sebesar-besarnja kepada Pemerintah jang berturut-turut telah mempersiapkan rastjangan-rantjangan undang-undang baru. Saudara Ketua dan Saudara-saudara jang terhormat , Judicial Organization dan judicial personnel dalam lingkungan Peradjlan Umum jang diatur dalam R.U .U. ini, jang meliputi tiga tijagkatan pengadilan, menurut pendapat kami tjukup mendjamin lengkapnja pemeriksaan terhadap sesuatu perkara, dengan memungkinkan revisi dan kasasi. Ketentuan dalam pasal 2. bahwa badan peradilan umum jang tersebut dalam pasal 1 mengadili baik perkara perdata, hendaklah kiranja dapat dipertegas, bahwa Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama mengadili semua perkara pidana dan perdata, djuga misalnja sengketa2 m e n g e n a i sewa-menjewa rumah. Ketentuan dalam pasal 54. bahwa pengadilan swapradja dan pengadilan adat harus selekas mungkin dihapuskan, merupakan langkah madju dalam melaksanakan kesatuan susunan peradilan umum. Penghapusan pengadilan swapradja dan P£n9adilan adat membawa k o n s e k w e n s i bahwa disetiap Daerah Tipgkat II harus didirikan Pengadilan N e g e r i , sekiranja hal itu belum demikian. Pasal 22 ajat 2 dan 4 memberi kemungkinan untuk menjijnpang dari ke~ tentuan. bahwa untuk sahnja sesuatu sidang diperlukan h a d i m j a tiga orang hakim (pasal 22 ajat 1). Untuk mentjapai keputusan jang seadil mungkin memang tiga orang hakim adalah djaminan jang lebih besar. l etapi untuk tjepatnja pemeriksaan terhadap sesuatu perkara, maka apabila isuatu cn9h adilan Negeri terdapat kekurangan hakim, maka Mahkamah Agung dapat menentukan lain (pasal 22 ajat 2). Disamping itu pasal 22 ajat 4 mengatur setjara umum kapan P e n g a d i la n Negeri dapat bersidang dengan hakim tunggal dan dengan mempergunakan atjara sumnuer. Sjaratnja ialah apabila perkara
171
pidana itu antjaman hukumannja tidak lebih dari lima tahun pendjara. Me~ ngenai hal ini, apakah Pemerintah tidak sependapat dengan krmi, bahwa atjara kilat (summier) seharusnja tidak begitu sadja dipergunakan dalam setiap perkara jang antjaman hukumannja tidak melebihi 5 tahun. tetapi dasar atjara summier adalah sifat sederhananja perkara maupun pembuktiannja. Meskipun antjaman hukuman tidak melebihi lima tahun, tetapi apabila sifat perkaranja maupun pembuktiannja tidak mudah, seharusnja tidak dipergunakan atjara summier. R.I.D. mengizinkan atjara kilat hanja dalam perkara- jang sederhana sifatnja dan mudah pembuktiannja serta antjaman hukumannja tidak melebihi satu tahun. Mengapa R.U .U. jang sekarang kita hadapi ini mentjantumkan ketentuan2 jang begitu longgar untuk atjara summier, kami ku rang dapat mengerti, ketjuali mungkin dengan pertimbangan untuk mempertjepat pemeriksaan. Kami berpendapat, bahwa demi ketjepatan tidak boleh dikorbankan ketjermatan. Menurut kententuan dalam pasal 32 Pengadilan Tinggi mengawasi Pe ngadilan Negeri didalam daerah hukumnja. Bahwa Pengadilan Tinggi menga wasi kelakuan dan keradjinan maupun menilai ketjakapan hakim2 Pengadilan Negeri, hal itu sudahlah wadjar. Tetapi pengawasan itu tidak boleh bersifat projudicial, tidak boleh mendjadi tjampurtangan dalam perkara- jang sedang diperiksa, sehingga mendjurus kepada peradilan terpimpiji. Pasal 32 ajat 5 harus benar2 dipegang teguh. Dalam pendjelasan disebutEan, bahwa penga wasan-Pengadilan Tinggi akan bermanfaat untuk koordinasi dan kesatuan putusan. Chususnja mengenai kesatuan putusan jang didjatuhkan itu. kami mengemukakan disini, agar kita mulai tradisi jang baik untuk menerbitkan pu tusan- hakim dalam berkala setjara teratur, agar supaja para hakim (dan dju ga umum) dapat mengikuti putusan- hakim lain jang penting, diseluruh Indo nesia. Madjalah Hukum dan Masjarakat (orgaan Persahi) berhubung dengan kesulitan2 materiil tidak begitu teratur terbitnja, dan djuga tidak dapat memuat banjak keputusan2. Kritik2 maupun annotates dari ahli2 hukum diluar per adilan terhadap putusan2 hakim adalah penting dan membantu setjara konstruktif bagi mutu para hakim sendiri. Dahulu kritik2 Itu dilakukan setjara terus-menerus sehingga para hakim senantiasa berhati2 dan waspada. Baiklah apabila Departemen Kehakiman memulai dengan penerbitan itu. Saudara Ketua,
Pada umumnja fraksi kami dapat menjetudjui R U U . ini, dengan beberapa tjatatan. Misalnja mengenai Mahkamah Agung, jang akan kami perdjelaskan lagi dalam pemandangan umum babak ke-II tentang R U U . tentang Mahka mah Agung. Pasal 34 dan 35 meletakkan s j a r a t 2 jang tjukup berat untuk hakim. Menurut hemat kami sebaiknja hakim dilarang mendjadi anggota organisasi politik pa da umumnja, dan tidak hanja partai politik sadja. Hal ini meng;ngat, bahwa dewasa ini ada organisasi2 politik bukan partai, dan ada orang2 jang berafiliasi dengan partai politik. Perkenankanlah kami sekarang berbitjara tentang kesedjahteraan para hakim* Mengingat akan luhurnja pekerdjaan hakim serta sjarat2nja jang be172
gitu berat, sudah sewadjarnja apabila ada kompensasi jang tjukup berupa gadji dan tundjangan- chusus.Tetapi perlukah misalnja tentang rumah dan kendaraan dinas diatur dalam undang-undang ini, jaitu pasal 4. Aplagi menurut pasal tersebut hakim Pengadilan Negeri tidak disediakan rumah dinas atau pun kendaraan dinas. Mengapa tidak ? Apabila anggaran belandja Departemen Kehakiman mengizinkan apakah hakim Pengadilan Negeri tidak boleh memiljkj rumah dinas atau kendaraan dinas ? Kami usulkan agar ketentuan- mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah sadja, dengan tidak menutup kemungkinan ha kim Pengadilan Negeri memperoleh r;umah dinas dan kendaraan dinas. Terutama pada waktu'- melakukan tugas. Senafas dengan hal perumahan adalah djuga hal pakaian dinas. Dewasa ini banjak kebiasaan untuk memakai pakaian dinas dengan segala tanda kepangkatan. Bagi hakim pakaian dinaspun adalah b a i k , t e t a p i apabila m e l a k u k a n tugas mengadili hendaknja dipakal pa kaian jang sama dan tanda p a n g k a t . agar s u p a j a hakim benar- lepas dari pengaruh2 psychologis jang ditimbulkan oleh tanda2 ’’rangorde”. Apabila pakaian waktu mengadili itu dipertahankan toga, itupun kami setudju, ataukah ditjiptakan pakaian lain jang sesuai dengan kepribadian nasional, itupun dapat kami seludjui. asal tanda pangkat ditanggalkan pada waktu me ngadili. Saudara Ketua, Saudara Menteri dan Saudara2 sekalian jang terhormat, Sekianlah pemandangan umum kami. Terima Saudara Babak kedua an-ketentuan kuasaan dan
kasih. Ketua, Saudara Menteri dan Saudara2 sekalian jang terhormat mengenai pemandangan umum tentang R U I. en ang e ei* u Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R U U . tentang Susunan, Ke Hukum Atjara Mahkamah Agung hendak kami pergunakan un
tuk memperdjelas beberapa hal. Pertama, mengenai dilepaskannja gagasan Mahkamah Agung sebagai Puntjak dan putjuk pimpinan semua peradilan. Sebagaimana fraks! kami (frak si Karya Pembangunan A ) m e n g e m u k a k a n dalam pemandangan umum babak kesatu, kami berpendapat, bahwa seharusnja Mahkamah Agung itu satu, dengan empat kamar didalamnja, jaitu u n t u k peradilan umum, peradilan mi iter peradilan agama dan peradilan adminiistratif. Alasan kami kemukakan ialah demi kepastian dan kesatuan hukum. Pemerintah dalam djawabannja m e n u n d j u k k a n , bahwa Mahkamah Agung sebagai puntjak semua lingkungan peradilan akan mendjelmakan Peradilan Terpimpin. Keterangan Pemerintah jang demikian ini menurut pendapat kami adalah '* questionable'’. Benarkah a d a n j a satu Mahkamah Agung untuk empat ling kungan peradilan akan m e n d j u r u s pada peradilan terpimpin ? H al itu akan
173
tergantung pada ketentuan- sendiri dalam Undang-undang tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k um A tjara M ahkam ah A gung. Ketentuan- mengenai ke kuasaan M ahkam ah A gung, itulah jang akan menentukan apakah perad'lan kita setjara intern akan merupakan peradilan terpimpin atau t'dak. dan bukanlah a-priori dengan adanja satu M ahkam ah A gung maka peradilan kita in tern mendjadi peradilan terpimpin. Sama halnja dengan hubungan antara Pe ngadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Dalam pemandangan kami mengenai R U U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um te lah kami kemukakan. bahwa pengawasan dan pimpinan Pengnd'lan Tinggi terhadap Pengadilan Negeri tidak bolch bersifat prejudicial. Begitu pulalah hubungan M ahkam ah A g un g terhadap semua lingkungan perad'lan. D juga apabila M ahk am ah A gung hanja mendjadi puntjak Peradilan U m um sadja, peradilan terpimpin intern dapat terdjad.i. jaitu apabila pengadilan jang lebih tinggi mengadakan tjampur-tangan jang sifatnja prejudicial terhadap pengadi lan2 jang lebih rendah. Gagasan. bahwa ke-empat2 lingkungan peradilan akan mempunjai pun tjak sendiri2 jang satu sama jang lain terlepas, tidak dapat kami setudju'. O leh Pemerintah dikemukakan. bahwa ’'tanpa mengangkat M .A . sebagai pun tjak pimpinan menurut Pendjeiasan R U U . tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara M ahkam ah A g un g (U m um ) tidaklah tertutup kemungkinan bahwa dalam U n d a n g 2 tersendiri iang mengatur tiap peradilan chusus tadi akan ditetapkan bahwa putusan2 dalam tingkat terachir dari badan2 dalam lingkungan peradilan tersebut ditundukkan pada pemeriksaan kasasi olehM.A., djustru karena pemeriksaan tingkatan kasasi memerlukan suatu ’’technical skill’ dan pengalaman, dan ia diadakan untuk kepentingan kesatuan hukum. Pertanjaan kami ialah tidaklah sebaiknja ketentuan itu disebut dalam U n d a ng 2. tentang M ahkam ah A g un g sendiri, jang kemudian nanti lebih uitgewerkt difjantumkan dalam U n d a n g 2 jang mengatur tiap peradilan chusus tersendiri. Fraksi kamipun dapat mempertimbangkan modelasi2 dalam bentuk organisasi, tetapi prinsip kesatuan hukum dan kepastian itu harus benar2 terdjamin dida lam satu M ahk a m a h Agung. Kedua, mengenai hukum pembuktian M ahk am ah A g un g kami usulkan se kali lagi agar ditjantumkan dalam U n d a n g 2 tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k um A tjara M ahkam ah A g u n g untuk melengkapi hukum atjaranja. D an kami sarankan agar memakai lagi hukum pembuktian dari Undang-undang M ahkam ah A gung No. 30 tahun 1950. Ketiga, mengenai M .P P .H ., kami mengadjak Pemerintah untuk sungguh2 mempertimbangkan adanja badan seperti itu setjara mendalam. Baik mengenai prinsipnja maupun mengenai actual practice-nja nanti. A pakah badan seperti itu akan dapat bekerdja setjara efficient ? Kalau tidak salah didalam lingku ngan perguruan tinggi djuga ada sematjam badan jang mempertimbangkan promosi para dosen. A p a prakteknja ? Badan tersebut sukar dikumpulkan un tuk berapat, berhubung kesibukan para anggota2nja masing2. Ditempuhlah tjara bekerdja setjara estafet. Berkas2 usul promosi dikirim berturut2 kepada anggota2 badan itu, jang masing2 memberi disposisi. D a n akibatnja ialah, bah wa suatu usul promosi baru dapat diputuskan lebih daripada setahun kemudi-
174
an. Sebab berkas- itu sering terhenbi berbulan2 entah ditengah-. Bagaimanakah kiranja nanti tjara kerdja M.P.P.H. itu. Apakah tidak ada kemungkinan pula, bahwa akan verwateran ? Oleh Sebab itulah fraksi kami mengusulkan agar tugasnja dipersempit, hanja untuk pengangkatan, promos1 dan pemberhentian, sedangkan komposisinja tjukup terd1r! atas Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman dan seorang anggota lagi, jang dipilih oleh Peradin dan Persadja ber-sama‘J. Gagasan Pemerintah bahwa dalam M P P H . akan duduk pula seorang w akil dari organisasi hakim adalah djanggal, sebab anggota itu sendiri pada suatu ketika mungkin akan dipertimbangkan oleh M .P .P.H . Advokat dan djaksa berhubung dengan pekerdjaannja memang dapat menilai hakim, tetapi tjukup kedua organisasi itu menundjuk satu orang ber-sama-. Sehubungan dengan gagasan untuk membentuk M P P H . itu kami lingin mengadjukan pertanjaan apakah M .P.P.H. hanja untuk menehti hakim- didalam lingkungan Peradilan Umum sadja / Hoi ke-en,pat i;.ng ingin kami kemukakan adalah mengenai kemungkinan untuk menjimpang dari hukum atjara apabila j^n9 4 er a. ^ a. pedjabat2 tertentu misalnja untuk anggota DPR. M P R atau lainnja. M isalnja mengenai penahanannja. Bukanlah maksud kami untuk mengh.dupkani kembali forum priviligiatum, tetapi dalam tjara2 penahanan se-t.dak-nja diadakan kemungkinan penjimpangan dari atjara. a *f j - j berhubung dengan peristiwa jang belum lama berse ang er ja Sekianlah Saudara Ketua, dan Saudara2 sekalian. Terima kasih.
M A L IK U S S U P A R T O S H . (K A R Y A P E M B A N G U N A N B.) : Sdr. Ketua, Sdr. W ak il Pemerintah dan Sidang jang mulia. Didalam menanggapi R.U.U. tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum ini kita tidak dapat lepas dari materi jang telah diatur a am R.U .U. jang belakang ini akan merupakan induk dan pedomanbagi p u lainnja. janq hanja merupakan pelaksanaan dari peraturan induk n kian jang kami dapat batja dari Pendjelasan Pemermtah mengena. R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan e a iman. c i . . , • t»uu n r a i k a n didalam t a n g g a p a n kami mengenai Sebagaimana kami telah u r a i k a n _ Kckuasaan Kehakiman, R .U .U . R. J .U . tentang Ketentuan- e en u ^ . telah kami sebut iaian mi menampakkan kckuran9an'"fhas^ mengenai pembiajaan2 dalam *’raad-
nasehat2 kepada pihak ^ S . ^ ^ k a n oleh peraturan perundang-undangsengketa tersebut ketjuali dlPerb° ^ ^ ah Pra hakim tidak mendapat peran, bagaimana kalau didalam didjatuhkan. Menurut hemat sesuaian paham didalam keputusan j g karena mana harus berbentuk kami peraturan2 tersebut bersifat prmsipin, peraturan Undang-undang. 175
H a ra p a n kami, bahw a kekurangan2 tersebut ditam pung oleh R .U .U . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , sehingga kita meraperoleh pandangan didalam keseluruhannja mengenai Peradilan U m um , dan dapat m enilai tentang kekurangan2 jang m ungkin belum tertjakup, akan tetapi penting untuk ditam bahkan demi objektivitas Pengadilan. Sdr. Ketua jang terhormat, M em bitjarakan R .U .U . tentang P engadilan dalam lingkungan Peradilan U m u m didalam kesefuruhannja kami ingin mengusulkan beberapa persoalan, jang kiranja dapat m endjadi titik pemikiran. Jakni, pertama : D id alam pasal 4 ajat 2 dari R .U .U . jang bersangkutan untuk ketua, w akil ketua, hakim 2 agung, panitera dan w akil panitera M .A ., Ketua, w akil ketua dan hakim pengadilan tinggi, ketua dan w akil ketua peng adilan negeri disediakan rumah dinas dan kendaraan dinas. T idak di-sebut2 disini para hakim dari P engadilan Negeri. D jik a kita ingin m endjundjung martabat haktm, maka apakah tidaklah sepatutnja, djika kepada hakim- Pengadilan Negeri djuga diberi rumah dan kendaraan dinas ? Kedua : M engenai umur H akim . M a k a kami usulkan untuk H akim Peng adilan Negeri se~rendah2nja 30 tahun, dan untuk H akim Pengadilan T inggi se-rendah-nja 35 tahun. D ju g a umur untuk Panitera, untuk Panitera Pengadilan Negeri 25 tahun dan untuk Panitera Pengadilan T ing gi 30 tahun. Selain itu ditambahkan suatu Ketentuan, bahw a untuk diangkat m endjadi H akim Peng^ adil an Negeri haruis mempunjai pengalaman kerdja di Pengadilan s e - d ik it2n ja 2 tahun. Ketiga : T entang toga. Kam i usulkan, bahw a pemakaian toga ini diwadjibkan lagi bagi para H akim , jang sedang mengadili perkara. Siapa jang pernah ke Pengadilan, mengakui bahw a toga ini memberikan *’a c e r ta in dig nity’' kepada para penegak hukum. K e-em pat: Pasal 46. Panitera membuat salinan dan kem udian memberi kan kepada D jak sa jang bersangkutan dari semua putusan, jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap. m endjadi : D alam perkara pidana Panitera membuat salinan dan kemudian memberikan kepada D jaksa jang bersangkutan dari semua putusan, jang telah memperoleh kekuatan hukum jang tetap. Sdr. Ketua jang terhormat, D em ikianlah pandangan fraksi kami, fraksi K arya Pem bangunan B mengenai R .U .U . tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Um um . M engenai kedua R .U .U . lainnja, jang telah diadjukan terlebih dahulu kami sekedar ingin m engadakan tam bahan8 buah pikiran, jang sekiranja dapat di
176
annja mengenai pasal 3 (1) dari R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an Pemerintah a.i. mengatakan, bahw a penjelesaian pei> kara atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan, tetapi perlu diperhatikan, bahwa Negara tidak memberikan kekuatan atau akibat hukum terhadap putusan perdamaian atau perwasitan. Ini bertentangan dengan pasal 30 dari R .U .U tentang Pengadilan dalam L ingkungan Peradilan Um um , dim ana dikatakan, bahwa Pengadilan T inggi adalah pengadilan b a n ding untuk keputusan wasit (arbitrage) dan didalam pendjeiasan dari R .U . . tersebut (U m u m ) diterangkan pula, bahwa penjelesaian perkara perdata atas dasar perdamian melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan, akan tetapi untuk dapat didjalankan sebagai suatu putusan Pengadilan. memerlukan idzm • pelaksanaan (fiat eksekusi) dari Pengadilan Negeri jang daerah hukum nja meliputi tempat dimana putusan wasit itu diam bjl. H e nd aknja pendje asan dari R .U .U . diatas tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an dirobah dan disesuaikan dengan makna dari pasal 30 d a n R .U .U . tentang Pe ngadilan dalam lingkungan Peradilan Um um . jakni bahwa untuk m endapatkan kekuatan hukum keputusan wasit harus mendapat fiat eksekusi d a n Peradilan Negeri, jang daerah hukum nja meliputi tempat dim ana putusan wasit itu diambil. D engan demikian pertentangan2 dalam pendjeiasan dapat ditiadakan. A g a r supaja penjelesaian^ perkara perdata oleh para wasit " ' m a u h i sjarat3 formil jang tertentu, perlu kiranja diada an pera uran p , undangan. misaln,a dimuat pasal' jang tertentu d.da!am U ndang-undang H ukum A tja ra Perdata jang mengatur materi ini. K e d u a : M adjelis
P e r t i m b a n g a n
Penelitian H akim . Fraksi kam i
dapat bahw a tjara kerdja dari M adjelis ini per u
.erpen-
a ur
Sdr. Ketua jang terhormat, K am i ingin menambahkan lagi satu hal, jang kiranja da^ R .U .U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara sebagai pasal tambahan. D idalam Undang-un an9 1 9 5 0 dim uat peraturan bahwa Presiden. para 1
' ” ^ ' hd^ .
“
tertinggi kel
u n tu k
para anggota madjelis tertinggi dan'
^ dalam [ungsinja, pun setelah
m e K ^ a ^ e r^ e n U dari^pekerd!aan°rnereka. diadili oleh M a h k a m a h A g u ^ Ketentuan
i " s^ npjJ^e^K o n s tU u s > r R lS * er^apa ^ seper(. in )_
Meskipim Dasar ly ndang Dasar jang berlaku namun ketentuan ini, d,tmd,au dan su kcdjahatan jang diperbuat pada pedjasekarang. „ dak b“ tcn,anf ^ n a k a n wfwenang atau menjalahi su" ’Z j f S ^ n t ' a U d e t t ’denga9n sifatnja jang chusus. jang dapat U
n d a n g -
u n d a n g
m enjangkut keselamatan negara. Sdr. Ketua jang terhormat. Baranakali baniak hal jang kami singgung, jang m em punjai sifat tehnis, oarangkaii banjak nai ja y . didalam bagian. A d a la h harapan jang sebenarnja lebih tepat dibitjaraKa Vnmi V»aik tanrr-
kami, bahwa apa jang telah kami uratkan dalam tanggapan kami, ba,k tang.
gapan jang pertam a m aupun tanggapan kami jang kedua ini dapat djperbintjang k an didalam pem bitjaraan-pem bitjaraan jang selandjutnja. U ntuk beberapa hal jang masih dirag uk an perlu ditjari djalan keluar, maka kami m em pertim bangkan untuk m engadjukan usul-usul amandemen. Sekian dan terima kasih.
Z A I N B A D JE B E R
(N .U .).
A ssalam u ’alaikum w. w. Sdr. Ketua, para anggota wk. pemerintah jang kami hormati. D id a la m kesempatan ini untuk m endjadi landasan daripada uraian terhadap 3 R U U ., perkenankanlah saja melandasi pem bitjaraan ketiga R U U . ini, disamping landasan Pantjasila dan U U D . 1945 dengan beberapa sabda Rasulullah serta kepustakaan sedjarah Islam untuk m endjiw ai pem bitjaraan ketiga R U U . ini. ’’ Pada suatu ketika U m ar mengirim surat kepada Am er Ibn Al-Ash. G ubernur M esir, m enjuruh m engangkat K a ’ab Ibn D la n n a h m endjadi Q a d i M esir. Ketika A m er m enjam paikan hal itu, K a ’ab mcnolak seraja berkata ’’D em i A llah, tidak A lla h lepaskan daku dari urusan D ja h ilija h serta kebiasaannja, kem udian aku kembali lagi kepada urusan jang aku telah dilepaskan dari p a d a n ja ’9. M enurut berita Ibn ’U fa ir : K a ’ab dimasa D ja h ilija h seorang H akim terkenal. K iranja beliau merasai, bahw a pekerdjaan itu, suatu pekerdjaan berat dan m ungkin membawa kepada ketjurangan. Karena itu beliau tidak ingin lagi jang demikian, beliau pun menolak tawaran C halifah jang berharga itu. U m ar berkata : Seorang E m ir mengangkat Q a d h i dengan maksud agar qadhi itu memihak kepadanja maka emir itu m enanggung sej5aruh dosa dari padanja ( Tarich A l- Q odha 16 ). Soal penjamarataan seorang emir dengan rakjat ada riw ajat : Pada suatu hari A s j’ats Ibn Q ais datang menemui Sjuraih A1 Q a d h i di madjeilis Pengadilan. K edatangannja disambut H akim S juraih dengan ramah tamah dan dipersilahkan duduk disamping. Sedjurus datang seorang lelaki mengadukan A sja Ats. M ak a berkatalah S juraih : ’’B angunlah dari samping ku dan duduklah ditempat terdakwa serta djaw ablah pengakuan orang ini’’. M endengar itu A s j’ats m endjaw ab : ’’Saja ingin m endjaw ab pertanjaannja disini sadja’’. D id ja w a b oleh Q a d h i : ,TE ngkau berdiri dari tempat ini duduk ketempat terdakwa, atau saja perintahkan orang lain menegakkan engkau da ri tempat ini untuk didudukkan ketempat itu. Setelah mendengar hardikan Q a dhi, A s j’ats berdiri memenuhi suruhan ketua pengadilan. Sabda
R asul :
’’Barang siapa ingin m endjadi qadhi dan meminta djabatan tersebut, ber^ arti diserahkan dirinja kepada dirinja sendiri, dan barang siapa dipaksa mendiadi qadhi nistjaja A llah turunkan m alaikat untuk menuntun dan memimpin^ nia'\
178
ding untuk keputusan wasit (arbitrage) Sabda Nabi :
tetap diperbolehkan, akan tetapi
Para qadhi itu dibagi tiga. Sebagian kedalam sjurga. dua bagian kedalam neraka. Orang jang dimaksukkan kesjurga, ialah hakim jang mengetahui ebenaran dan memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran, hakim J^n9 ^ne" ngetahui kebenaran tetapi berlaku tjurang dalam memberi putusan, kedalam neraka, dan hakim jang memutuskan perkara dengan kebodohannja, djuga 1masukkan kedalam neraka". Kata Al-Ghazaly dalam Al-wadjiez : Hendaknjalah qadhi menjediakan tempat jang lapang, tinggi, jang sesua! dengan ilmu kesehatan; djangan ditempat jang terlalu dingin atau panas; dan tidak disukai para qadhi mempergunakan mesdjid untuk tempat mengadili perkara, karena ditakuti akan hasil hiruk pikuk. Dalam pada itu, boleh ia memutuskan perkara djika perkara itu timbul didalamnja dan terus diputuskan . Kata Al-Maqrizy : "Manakala Harun telah mendjadi Chalifah, iapun mengangkat Abu Jusuf mendjadi qadhi pada tahun 170 H. Sesudah itu, Harun tida agi me ngangkat qadhi kota lain sebelum mendapat advis dari Abu Jusu . Menggambarkan Kepada Negara mengangkat Hakim ada advis baru diangkat Hakim lain.
dan
sesudah
Sdr. W ak il Pemerintah. Pimpinan dan anggota2 DPR-GR mat. Kalau pada babak I dalam membitjarakan . • • en ang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R-U.U tenta g dan Hukum Atjara
S kita
p ^ t ^ a
itu
Susunan .
“ “ T Keha^rapTaf«eP
dalami bersama. maka pada kesempatan ini kam. ^ t > a p k . n te rm , kasih atas djawaban dan p e n d j e l a s a n Pemerintah pada tanggal 31 Oktober ,.1. Dengan mengemukakan bahwa ketiga R.U.U. jang dtodjukan jang sekarang kita bitjarakan ini. sebagai has.1 karya dar se tu a h p a m t a
Negara jang sudah dibahas oleh,kal“ 3a^ demikian tidak menutup dikemukakan Pemerintah selandjutnja
verhoul 1391 pemetjahan jang sebaik-
baiknja. Kamipun mengerti bahwa Tap N 0j X IX /M P R S /1 9 6 6 m ^ghendak, penindjauan kembali segala perundang-undangan an e pu ^ . se$ua. Presiden 5 Djuli 1959 j a n g bertentangan dengan U. . . ♦ ^ dengan djiwa djawaban P e m e r i n t a h bahwa apabila ita e r i jara lsini en179
tang M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak dari 4 matjam peradilan atau tidak, maka tidaklah dapat diartikan bahw a gagasan jang satu adalah sesuai dengan U . U . D . 1945 dan jang lainnja bertentangan, sehingga tertut.iplah kcmungkinan untuk mempersoalkan. Sebab kalau kira sudah berpendapat bahwa gagasan jang dituangkan oleh Panitia Negara dalam ketiga R . U . U . ini cluisusnja melepaskan M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak 4 matjam kekuasaan Kehakiman di Indonesia, sudah sesuai dengan U l l D . 1945 dan penjatuannja pada M a h kamah A g u n g sebagai hal jang tidak sesuai dengan U . U . D . 1945, maka tim bul pertanjaan pada kami mengapa Panitva A n 'a r Lembaga Negara jang m endahului Panitya N egara itu jang dikctuai oleh Ketua jang sama dari M a h kamah A g u n g , dalam naskah konsepsinja scmula bisa menerima gagasan M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak 4 matjam peradilan itu ? M e n g ap a pula organisasi para hakim jaitu I K A H I djuga masih tetap menghendaki M a h k a mah A g u n g sebagai puntjak ? Sehingga rasanja tidak salah kalau kami berkesimpulan bahwa membitjarakan gagasan M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak atau tidak, soalnja tidak terletak pada bertentangan atau tidak dengan pasal" dalam U . U . D . 1945, tetapi lebih menjerupai persoalan bagaim ana sebaiknja bentuk kekuasaan kehakiman dinegara hukum dan Negara kesatuan Republik Indonesia ini atas dasar kekuasaan Kehakiman dinegara adalah kekuasaan jang merdeka dari tjampur tangan eksekutip maupun lcgislatif. Ini menundjukkan keluwesan jang diberikan oleh U .L I.D . kita. Pad a kesempatan ini kami ingin mengutip senagian memorandum dari I K A H I tanggal D jakarta 7 Nopember 1968. bagian jang menjebutkan bahwa : D ari ke-4 matjam lingkungan peradilan jang merupakan alat.- perlengkapan kekuasaan kehakiman, maka peradilan umum dan peradilan tata-usaha Negara jang langsung melajani kepentingan rakjat banjak dan jang langsung berhubungan dengan perlindungan hak-hak azasi warganegara terhadap tindakan penguasa, karena demikian pentingnja dan bahkan mendjadi batu ttdjian bagi dunia luar tentang berlakunja ’’rule of law ” dinegara kita, maka mutlak perlu ditempatkan langsung dibawah pimpinan M a hk a m a h A g un g sebagai penanggung djawab tertinggi badan judikatif, baik mengenai urusan tehnis, organisatoris, administratif maupun financiil, sedangkan peradilan agama dan peradjlan militer sebagai peradilan chusus jang hanja mempunjai jurisdiksi terhadap golongan rakjat tertentu, tehnis tetap membawahi M ahk a m a h A g u n g sesuai dengan struktur kesatuan dalam badan kekuasaan Kehakiman, tetapi dengan pertimbangan historis dan garis hierarchie kemiliteran setjara administratif, organisatoris dan finansiil tetap dalam lingkungan Departemen A gam a dan
Departemen Hankam. Bahwa I K A H I sangat menjajangkan bahwa setelah kita mengalami djaman penjelewengan hukum bukanlah ditanggulangi dengan memperkuat kedudukan benteng terachir menegakkan hukum, jaitu M a hk am ah A g un g de ngan memberikan kepadanja segala kewibawaan jang diperlukan, tetapi sebaliknja dengan djalan mengurangi kekuasaan dan kewibawaan M ahkam ah A g un g dengan mempersempit ruang gerak dan ruang tugasnja hanja dalam bidang ’’rule of law ’’, sedang M ahk a m a h A g un g mestinja diberikan keduduk an sebagai alat utama, pula pelaksana supremasi hukum. Selandjutnja, meskipun U U . No. 19/1964 dibuat dalam masa orde lama, letapi kedudukan dan kekuasaan M ah k am ah A g un g jang diatur dalam pasal 7 180
adalah lebih baik dan sesaai dengan ketentuan tl.U .D . 1945 karena nienetap kan bahwa Mahkamah Agung merupakan pengadilan jang tertinggi untuk se mua linqkungan pengadilan. __ Tetapi dengan ditambahnja pasal 19 dimana PreswJe*J dapat tjampur tangan dalam soal2 pengadilan. hilanglah lagi kepemimpinan a ama , ^ un® dalam badan2 iudikatif dan di sub-ordinasftan kepada badan eksekutif Bila pasal tjampur tangan ini dihilangkan, maka U .U . Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jang akan digantt itu masih djauh lebih balk dan madju dalam mengatur kekuasaan kehakiman. Dalam R.U .U . jang baru njatanja kekuasaan jang sudah dipunjai M ah kamah Agung akan dipreteli dan tinggal mendjadi puntjak peradi an umum sadja. Demikian bagian2 j a n g kami anggap p e r l u kami kutip dalam u r a i a n in/ dengan mengemukakan beberapa point dari pendirian IK A H I mi, maka r a s a nja patut mendjadi pertimbangan kita s e l a n d j u t n j a a p a j a n g d i s e b u t o l e h IK A H I didalam menilai U n d a n g - u n d a n g No. 19/1964. Selandjutnja fraksi kami telah djuga membatasi membitjarakan badan M P P H itu pada babak I dengan hanja menanjakan apa asarnja emerin a memasukkan dalam badan seperti itu organisasi pengatjara. a ini e um berarti kami telah menjetudjui adanja M P P H dengan para anggo a nja jang tersebut dalam R U U itu minus organisasi pengatjara.
Kamipun masih ingin bertukar pikiran setjara mendalam pada kesempatan tingkat berikutnja mengenai masalah ini. Sekalipun art.nja i a meng a 1 pemikiran IK A H I jang dituangkan dalam memorandumnja tan99al. ? °P ber 1968 ku jang menjatakan bahwa : ..IKAHI tidak d a p a £ adakannja J a t u M P P H seperti diatur dalam Bab V II R - U U Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman karena akan menj mendialankan 'lalam struktur ketatanegaraan kita akan bero.eh bantuan u dikomposidalam pembinaan personil para Hakim, mengingat a an tugasnja desinja sedemikian dan tersentralisir di Pusat akan suht melakukan tugasnja
ngan
l a n t j a r ’’ .
Saudara Pimpinan jang terhormat. • n n t a h
d a l a m
dingkan meniatakan
Mr^ k t ^ rt1968n'itud kamiUk^g ta memperbim31 „mA, 9n(liimnia iana IK A H I ,,Berdasarkan p e n g a l a m a n ketatanegaraan j . (misalnja d
i a w
d e n g a n
:
a b
a n
t a n g g a l
p e n d i r i a n
U K t o D
j a n g
e
t e r m
u a t
d a l a m
-erbukti telah terdjadi d S a de^ u Umun« i i t ^ f e r k r t k u a s a J kepada U .U .D . (materiil toetsingsrecht) kePada k ^ S a t kakan ini sekedar untuk
l e b i h
M
a h
k
a m
a h
“ S T S S S Agung^sehmgg^
IT ,' terTo1;: mempero e 9j ™ a‘’ untuk mengamankan U U D .
mah Agung bukanlah akan berarti M P R sebaga, mstans. jang tertmgg, dalam 181
t u g a s n ja u n tu k meniberi p e rin ta h atau tid a k k e p a d a b a d a n ia in n ja . jaitu D P R d a n P e m e r in ta h ? S e h in g g a ketelitian d a la m m e n d ja g a p c n je le w e n g a n dari U . U . D . a k a n lebih te r d ja in in p u la , kam i in gin m c n g a d j a k D e w a n inj d an P e m e rin tah u n tu k lebih m an te p m endiskur.ikan hal ini p a d a k e s e m p atan la in n ja P e m b a ta s a n ja n g d ib e rik a n k e p a d a M a h k a m a h A g u n g . m e n u ru t p e n d a p a t kam i b u k a n s a d ja terletak p a d a p e ra tu r a n p e r u n d a n g a n ja n g d ib a w a h tingk at U n d a n g - u n d a n g sad ja, tetapi m e n u r u t p a h a in k a m i oleh R . L I t l . ini lebih dibatasi lagi, h a n ja p a d a ja n g d ite m u k a n d a la m sesuatu p e rk ara ja n g d iperiksa d a la m tin g k a t kasasi. P e m b a ta s a n ja n g seperti itu p u n a k a n tid a k b a n j a k memb a n tu p a r a p e n tja r i h u k u m . k aren a b e rd asar p e n g a la m a n sesuatu pemeriksaan p erk ara b a r u tiba p a d a tin g k a t kasasi setelah b c r ta h u n - ta h u n d e n g a n kemunqk in a n p e ra tu ra n p e r u n d a n g a n ja n g d im a k s a d s u d a h tidak b e r la k u lagi p a d a d j a n g k a w a k t u tersebut. s e d a n g k a n d ip ih a k lain pe raturan p e r u n d a n g a n ter sebut telah b e r a k ib a t luas p a d a m a s ja r s k a t d a n tid a k terbatas p a d a orang jang m e n g a d j u k a n p e rk a ra itu sad ja. M e m a n g m u n g k i n a k a n d ir a s a k a n b a h w a kalau tid a k dibatasi seperti m a k a a k a n m c m b a n tu fungsi M a h k a m a h A g u n g jan g la in n ja jaitu m em eriksa p e rk a ra d a la m tin g k a t kasasi, n a n u in m e m b u k a p e m b atasan itu d e n g a n tjara ja n g lain, a k a n lebih b a n j a k m a n f a a t n j a d a r ip a d a m e n g in g a t k e m u n g k in a n d ir u g ik a n n ja m a s ja r a k a t a k ib at tid a k b erhati-hatinja m ereka ja n g b e rk u a s a m e n g e lu a r k a n sesuau p e raturan . d ju stru tuga s kitalah u n tu k m e m ik ir k a n b a g a im a n a a g a r m a s ja r a k a t m e lihat d an merasa mendapatk a n -djaminan- p e r l in d u n g a n itu. D e m ik ia n l a h k a m i m e n ja m b u t u lu r a n t a n g a n P e m e r in ta h u n t u k ikut memb itjarak an d e n g a n segala k e s u n g g u h a n d a la m m e n e g a k k a n kem bali ke k uasaan K e h a k im a n ja n g m e rd e k a d an u n tu k m e nje le saik an tugas ja n g d isc ra h k a n k e p a d a P e m e r in ta h d a n D P R - G R ini. d e n g a n k e s u n g g u h a n iiu piila kita meng h a rg a i pendapat- ja n g dibe rikan m a s ja r a k a t te r h a d a p p e m b itja r a a n ketiga R . U . U . ini F r a k s i N . U . ja n g k a m i w a k ili b u k a n s a d ja m erasa b e r la n g g u n g d j a w a b tapi tu r u t b e r t a n g g u n g d j a w a b atas hasil p c k e r d ja a n nanti.
Sekian dan terima kasih. S e l a n d j u t n ja m e n g e n i R . U . U . te n ta n g P e n g a d il a n d a la m l in g k u n g a n P e r a d ila n U m u m . Seperti j a n g d ik a t a k a n oleh p e n d je la s a n P e m e r in ta h t a n g g a l 31 O k t o b e r ja n g d a la m p e m b it ja r a a n R . U . U . te n ta n g P e n g a d i l a n d a la m 1 in g k u n g a n P e r a d ila n U m u m , P e m e r in ta h m e n g a n g g a p k e te r a n g a n tersebut sebagai ta m b a h a n dari k e te r a n g a n P e m e r in t a h ta n g g a l 17 O k t o b e r ’68 b e r k e n a a n d e n g a n d u a R U U la in n ja ja n g m e n ja n g k u t k e k u a s a a n k e h a k im a n . O l e h k a r e n a n ja se b e n arn ja ketig a R U U ini se b a ik n ja u n t u k atjara s e la n d ju tn ja d i d j a d ik a n sa tu paket, k a re n a k e tig a n ja d j a iin m e n d ja lin , seperti d j u g a d in j a t a k a n oleh P e m e rin ta h . P a d a k e s e m p a ta n ini k a m i h a n ja a k a n m e m b a ta si diri p a d a hal- hal jan g la n g s u n g m e n ja n g k u t d u a tin g k a t P e r a d il a n d a la m l i n g k u n g a n P e r a d ila n U m u m . S e b a b k a m i b e lu m a k a n tergesa-gesa u n t u k m e n jim p u l k a n disin., a p a k a h P e r a d il a n tin g k a t j a n g ke tig a jaitu M a h k a m a h A g u n g itu m e r u p a k a n p u n tja k h a n j a d a r i p e r a d i la n u m u m atau d j u g a d a r i P e r a d il a n la in n ja . 1965 m a k a a k a n m e n a m p a k p e rb e d a a n p a d a hal- sbb. :
182
i o ^ K al1U kUa memPerhat‘kan R.U.U. ini dibanding dengan U.U. No. 13/ j y w maka akan nmpak perbedaan pada hal-ha! sbb. : 3 j- *keluaikannja ketentuan- jang menjangkut M ahkam ah A g u n g didjadikan terpisah. D ikeluarkannja ketentuan 2 ja n q m e n ja n q k u t tjampur tangan d il u a r kekuasaan K e h a k im a n . c. Dikeluarkannja ketentuan- jg. m en^ng kut alat revolusi. manipol usdek dan pedoman pelaksanaannja, fungsi hukum sebagai pengajom an, kontra revolusi dsb. d. A d a n ja perobahan redaksionil. b.
D em ikian beberapa perbedaan pokok jang dapat kami tarik antara R U U . ini dengan U U . No. 13/1965. Berdasarkan garis- besar tersebut maka kami dapat menerima R U U . ini setjara keseluruhan dengan beberapa saran 3 p an dangan penjempurnaan. M en un djuk pasal 4 R U U ini mengenai penggadjian apakah jang dimaksud akan diatur dalam peraturan tersendiri itu ataukah tetap dengan P G R S . hanja ditam bah beberapa matjam tundjangan lainnja. Kami sangat tjondong untuk tetap menjetudjui pengaturan gadji tersendiri terhadap pedjabat 2 chu sus diLngkungan kekuasaan kehakiman. H al ini tjukup dirasakan adil dan w adjar apabila diingat bahwa lerhadap Legislatip ada ketentuan tersendiri dan terhadap eksekutip malah terdapat beberapa ketentuan penggadjian, terutama karena sifat daripada tugas jang didjalankan. D alam sedjaraH Islam pernah disebutkan bahwa gadji seorang qadhi (H akim ) lebih besar dari ga dji C halifah sendiri malahan terhadap tugas 2 jang diberikan diberi tundjan 9an chusus pula. Tentu falsafah dari penggadjian ini dapat kita fahami, djustru »untuk tidak menggantungkan hukum pada keadaan dapur sang H akim . O le h karenanja kami mendesak kepada Pemerintah untuk segera mereaLsir ketentuan 2 tersebut baik berdasarkan R U U . ini m aupun berdasarkan undang-undang jang berlaku. Sdr. Ketua jang terhormat, Beberapa hal jang menjangkut kepentjngan pentjari hukum didalam R U U . ini perlu diberi ketentuan 2 sebagai sanksi untuk melindungi kepentingan tersebut. M isa ln ja pasal 6 R U U . jang mengatur adanja hubungan keluarga para pe djabat jang disangkutkan dengan sesuatu perkara. tidak tjukup hanja didjaniin dengan adanja pasal 7 R U U . tentang hak ingkar, tetapi kami m engang gap perlu diberi ketentuan sanksi terhadap pelanggaran pasal 6 tersebut apa bila ternjata kem.udian pedjabat jang dimaksud tidak m engundurkan d:ri de ngan sukarela berdasar ketentuan pasal 6 tersebut tanpa harus ^tenant! digunak ann ja hak ingkar tersebut dalam pasal 7 R U U . ini. Sehubungan dengan pentjari hukum itu pula kami m intakan perhatian pa sal 22 R U U . jang memperkenankan sidang dengan H akim tunggal terhadap terhadap perkara sumier. Ketentuan dalam pasal ini kami mengesrti pengatu ran sekaligus hendak memetjahkan pengertian apa itu jang disebut perkara sumier jang selama ini menimbulkan perbedaan 2 tafsiran tentang batas hukuman, karena adanja anggaran H I R sebagai pedoman. jang kami persoalkaft bukan soal batas hukum an tersebut tetapi prinsip tiga H akim . U n tu k memberi kan ketentuan terhadap perkara sumier, tjukup dengan seorang H a k im ( H a
183
k im T u n g g a l ) , k a m i m e m e r l u k a n p e m b a h a s a n lag*. B a g a i m a n a p u n satu tid a x s a m a d e n g a n tiga. S e t j a r a te g a s p u l a s j p a j a d i t j a n t u m k a n d a l a m R L IL I. ini m is a l n j a se s u d ah p a s a l 23 ia la h k e te n t u a n b a h w a H a k i m m e m c rik s n p e r k a r a p id a n a , berdasark a n s u r a t t u d u h a n j a n g d ib u a t oleh D j a k s a . M u n g k i n ini d i a n g g a p berlebiha n , k a r e n a m e n j a n g k u t h u k u m a t j a r a n a m u n d a l a m b e b e r a p a hal R L I L I ini n a m p a k t id a k bisa m e n g h i n d a r k a n d ir i d a r i ketentuan- d i b i d a n g h u k u m a t j a ra itu. O l e h k a r e n a n j a h a l in i k a m i s a r a n k a n p a d a k e s e m p a ta n ini a t a u k a la u perlu d j u g a d a l a m R U U . t e n ta n g K e te n t.ia n - k e te n tu a n P o k o k K e k u a s a a n K e h a k i m a n a g a r b e r la k u b a g i s e m u a L i n g k u n g a n p e r a d i la n . S e b e n a r n ja d e n g a n L I U . tentang K e t e n tu a n - k e te n tu a n P o k o k K e k u a s a a n K e d j a k s a a a n h al ini s u d a h d je la s n a m u n d a l a m p r a k te k a d a a n g g a p a n b a h w a P e n g a d ila n m asih tetap m e n g g iu n a k a n H I R . k a r e n a n j a u n t u k m e n g a c h ir i h al tersebut s u p a j a tu r u t d i t j a n t u m k a n d a l a m R U U . ini. A g a r s e o ra n g H a k i m b e n a r 2 d i d a l a m p e r k a r a p e r d a ta b e r a d a d ia n t a r a P e n g g u g a t d a n te r g u g a t atas d a s a r g u g a t a n p e n g g u g a t d a n d a l a m p e r k a r a p i d a n a d i a n t a r a D j a k s a d a n te r tu d u h atas d a s a r t u d u h a n p e n u n t u t u m u m .
S a u d a ra P im p in a n , P a d a k e s e m p a ta n in i s a ja in g in p u l a b e r t a n ja s e h u b u n g a n dengan p asal 19 R U U . ( P e n g a d i l a n N e g e r i d ib e n t u k d e n g a n U n d a n g - u n d a n g ) s a m p a i d i m a n a k e b u t u h a n n j a u n t u k m e m b a g i atas k la s ifik a s i P e n g a d i l a n N e g e r i ja n g a d a di In d o n e s ia s a m p a i ke s e kian t in g k a t itu. A p a k a h m a s ih d ip e r l u k a n p e m b a g ia n k la sifik a si atas tingkat- p e n g a d i l a n n egeri seperti itu d a n d j i k a p e rlu a p a ti d a k t j u k u p d ib a g i atas d u a klas s a d j a ? D e n g a n a d a n j a p a s a l 34 (1 ) d a n 35 (1 ) d a n R L I U . ini ( s ja r a t2 H a k i m P e n g a d i l a n N e g e r i d a n P e n g a d i l a n T i n g g ! ) a p a k a h h a l ini d ia r t ik a n u n t u k m ereka j a n g a k a n d ite r im a s e b a g a i H a k i m se s u d ah U n d a n g - ini b e rlak u, atauk a h d j u g a te r h a d a p m ereka ja n g s u d a h m e n d ja d i H a k i m ( j a n g b u k a n Sardjana H u k u m )
s e b a g a im a n a ja n g te r tja n tu m d id a l a m U n d a n g 2 j a n g
be rlak u
D a l a m h u b u n g a n ini p u l a k a m i in g in b e r t a n ja k e p a d a P e m e r in ta h , berap a k a h d j u m l a h P e n g a d i l a n N e g e r i di I n d o n e s ia d e w a s a ini d a n b e r a p a djum la h H a k i m n j a d a n d a r i H a k i m 2 itu b e r a p a ja n g S a r d j a n a H u k u m d a n b e ra p a ja n g b e lu m ? B e r a p a k e b u t u h a n rieel d ari P e n g a d i l a n 2 N e g e r i itu sem ua ? B e r a p a j a n g d ite r im a se b ag a i H a k i m P e n g a d i l a n N e g e r i p a d a t a h u n 1967 d a n 1968
in i.
A p a k a h a d a a n im o m a s ja r a k a t te r h a d a p l a p a n g a n p e k e r d ja a n ini ?
U n t u k P e n g a d i l a n T i n g g i k a m i in g in b e r t a n ja b e r a p a d j u m l a h n j a d a n H a k i m 2 n j a j a n g te r b a g i atas S a r d j a n a m a u p u n tid a k . T e r h a d a p H a k i m 2 ja n g fyplum S a r d j a n a a p a k a h P e m e r in ta h be rse d ia m e n e m p a t k a n m ereka dikota-kota U niversitas d is a m p in g m e re k a ja n g m e n d a p a t tu g a s b e l a d ja r ? D e m i k i a n l a h b e b e r a p a p e r t a n j a a n ja n g k a m i a n g g a p tid a k lepas dari h u b u n g a n m e n e n t u k a n isi p e r- un d an g - an ini. S e b a g a i j a n g terachir. k a m i s a r a n k a n a g a r kete n tu an P e n u t u p p asal 34 R U U s u p a ja setjara tegas m e n je b u t p u la U n d a n g 2 N o . 2 1 /1 9 6 4 d it j a b u t d a n d a l a m p e n d je la s a n d j u g a d it j a n t u m k a n te rm asuk P e r a t u r a n P e m e r in ta h te n ta n g P e r u m a h a n ja n g m e n g e n a i w e w e n a n g m e n g a d ili sen gk e ta p e r u m a h a n . K a r e n a b a ik p ^nga.d ilan l a n d r e fo r m m a u p u n p e r a d ila n ja n g b e r a d a d i l i n g k u n g a n P e r u m a h a n t id a k b isa d is a m a k a n d e n g a n P e r a d il a n C h u s u s seperti P e r a d il a n K a n a k 2 a ta u L a lu I^intas j a n g m asih ber-
184.
ada dilingkungan Peradilan Um um . Karenanja kedua djenis Peradilan ifcu ti dak dikenal baik oleh U .U . No. 19/1964 ataupun dalam R .U .U . tentang Ke tentuan'- Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun R .U .U . jang sekarang kita bitjarakan. A p a jang dialami selama ini tem jata Pengadilan Landreform de ngan bentuk Hakim- Rakjat itu bukan melantjarkan sengketa Landreform malahan perkara- akibat pelaksanaan Landreform tertumpuk begitu sadja. U n tuk mentjabut Undang- tersebut rasanja tidak diperlukan menempuh pembuatan R U U . tersendiri lagi. Achixul kalam kami sampaikan terima kasih kepada Pemerintah dan Panitia Negara dan untuk menghadapi kelahiran R U U . ini kam i dari Fraksi N U akan melakukan pembahasan jang lebih mendalam pada tingkat pembi tjaraan selandjutnja. Terima kasih.
W assalam u'alikum w.w.
F.X. S U D IO N O S.H.
(K A T O LIK ).
Jth. Sdr. Ketua, Jth. Sdr. W a k il Pemerintah, Jth. S dr2. A nggota D P R - G R , Perkenankanlah kami atas nam a Fraksi KatoliJk terlebih dahulu m enjam paikan banjak- terima kasih, karena harapan kami telah terkabulkan dengan dibukanja babak ke-2 dari pandangan umum tingkat ke-III ini. M u d a h 2an kesempatan ini akan dapat mempermudah aiau memperlantjar djalan jang akan kita tempuh lebih landjut dalam tingkat2 pembitjaraan berikutnja. M em ang benar, Sdr. Ketua, sudah ada kata sepakat tentang perlunja Kekuasaan Kehakiman jang merdeka sebagai functionil equivalent. T etapi jang belum ada kesatuan pendapat ialah „implementation”nja. Baiklah sebelum m enguraikan perbedaan2 pendapat antara Pemerintah dan fraksi kami, ingin kami menjam paikan tjatatan terlehih dahulu sbb. : Sdr. Ketua. D alam ha la m a n 2 d ja w a b an Pem erintah p a d a tan g g al 31 O k t° b « 1968 d ik e m u k ak a n , b a h w a ’’rule o f la w ” perlu m em ihki ’’functionil equivalent , ja itu kekuaaan Kehakim an jang Merdeka. M en uru t hemat kami tam paknja disini ada kekelixuan, karena tudjuan dan prasarana untuk mentjapai tudjuan ditjampur-adukan T u d ju a n d a n N egara Indonesia terletak dalam alinea ke-4 Pembukaan U .U .D . *945, ja i t u : n^elindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tum pah darah Indonesia ,Aan untuk m em adjukan kesedjahteraan umum, m entjerdaskan kehidupan 'b a n g s a ................ dst................... dst. Prasarana untuk m entjapai tudjuan atu ia b h U .U .D . 1945 jang mengenai prinsip2 mengenai pem erintahan negara, antara lain jang terpenting ialah : 1. 2. 3.
Indonesia adalah negara hukum. Sistim konstitutionil. Kekuasaan N egara Tertinggi terletak dalam M ad je lis Perm usjaw aratan R akjat.
185
(D e n g a n dem ikian negara hukum merupakan salah satu prasarana jang terdapat dalam U .U .D . 1945 untuk m entjapai tudjuan. laid dari pengertian N egara H u k u m ialah) : 4. 5. 6.
R u le of Law . E q u a lity before the law. E q u a l justice under the law. (Jang ke-tiga-’nja hanja dapat dilaksanakan dengan sempurna, apabila ada prinsip ke : 7. Kekuasaan Kehakiman jang M erdeka.
D engan demikian apa jang disebut dalam prinsip- N o. 4, 5, 6 dan 7 merupakan prasarana pula. Kekuasaan Kehakim an jang merdeka diperlukan untuk mentjapai tudjuan ialah : M clin d u ng i segenap bangsa Indonesia ........ dst........... dst........... dst., djadi bukan just for the sake of being independent. Sdr. Ketua. Kami akan mulai uraian kami jang menjangkut perbedaan2 implementasA jang kami sebutkan driatas, Pemerintah dalam djaw abannja telah mencgaskan apa jang dimaksudkan dengan ,.peradilan terpimpin” . D alam halaman 6 d ja waban Pemerintah a.i. berbunji (kami kutip) : ,,a. Ketentuan dahulu, sewaktu M ahkam ah A g un g masih dipandang sebagai puntjak dari semua peradilan tata-usaha, Negara, militer dan agama, mempunjai latar belakang keinginan untuk m enudju kearah peradilan terpimpin. jang sekarang tidak dapat dipertahankan lagi. Berkelebih-lebihan kami njatakan disini. bahwa peradilan terpimpin bukanlah jang dimaksudkan seperti seorang anggota jang terhormat (Sdr. F .X . Soedijono S .H .) seolah-o'ah M ahkam ah A gung it a diletakkan dibawah kekuasaan Eksekutip, melainkan peradilan terpimpin memungkinkan adanja suatu hubungan hierarchie jang kuat, sehingga Pengadilan ini setjara intern tridak dapat dipandang sebagai sebagai Pengadilan jang bebas” . Dem ikian kutipan. Sdr. Ketua, D engan tidak usah menjebutkan bahwa jang menangkap keterangan Pemerintah pada tanggal 17 Oktober 1968 serupa itu bukan hanja kami, sebenarnja peradilan terpimpin dalam arti serupa itu pada saat sekarang sudah tidak mendjadi persoalan, sebab Pemerintah tidak memaksudkannja, sedang kan kami tidak menghendak:. N am un demikian, Sdr. Ketua, persoalannja tidak mendjadi labih sederhana, tetapi bahkan mendjadi kompleks. Perkenankanlah kami mengulang apa jang kami katakan dalam pandangan umum babak per tama pada tanggal 28 Oktober 1968 : ,,Kiranja w adjar sekali badan2 peradilan itu mempunjai pimp'nan jang ,,sendiri” , terlepas dari perongrongan lembaga3 jang m anapun” dalam k al’mat tersebut sesuai dengan apa jang terdapat dalam pasal 4 ajat 3 R .U .U . tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jang berbunji : ,.Segala tjampur-tangan dalam urusan peradilan oleh pihak3 lain diluar kekuasaan Kehakiman dilarang, ketjuali dalam h a l2 jang tersebut dalam Undang-undang D asar” .
186
Sdr. Ketua. D engan menjebutkan kedua hal itu, kiranja kami m engatakan, bahw a bagi kami pengertian ’’terpimpin’’ itu tidaklah selalu buruk, chususnja dalam bid ang peradilan, sebab menurut hemat kami ’’peradilan terpimpin’’ tidak pe rlu/usah menutup kemungkinan adanja peradilan jang bebas kedalam, dalam arti peradilan jang sehat. M em im pin dalam arti jang baik tidak perlu berarti memak*sa, melainkan dapat berarti : ’’Ing ngarsa sung tulada ing m adya m bangun karya, tut wuri h and ajani” . Semuanja itu Sdr. Ketua, dengan m aksud unlu k mentjegah hal- jang tidak baik. A dan ja sistim banding, kasasi dan herziening pun sudah dapat dikatakan adanja suatu pimpinan didalam peradilan Ind o ne sia, seperti halnja ditiap tingkat Peradilan mempunjai seorang Ketua sebagai pemegang pim pinan dengan tidak perlu memperkosa hak otonomi dari tiap 2 hakim. K arenanja djustru pengarah dari dalam harus ada artinja jurispudensi tetap dari M ahkam ah A g ung harus merupakan pegangan bagi judex fasti dan de ngan demikian tertjapai equal justice under the law jang m entjiptakan ke pastian hukum. D engan pimpinan jang satu, jang berpuntjak pada M a h k a m a h A g u n g dengan melalui jurispudensi pasti akan terdjamin adanja rechtzekerheid. Sdr. Ketua, ’’T erp im pin” dalam arti tersebut dimuka kiranja djuga sudah terdapat dalam R U U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A g u n g , ialah dalam Bab II, tentang Kekuasaan M ahkam ah A gung, pasal 11 ajat 1 s /d ajat 5 . D engan mengingat pendapat kami jang telah kami utarakan dalam pandangan umum pada tgl. 28 Oktober 1968, ialah bahwa kiranja akan lebih baik djika hanja diadakan dua matjam pokok peradilan, ialah Peradilan U m um dan Peradilan M iliter, dengan kemungkinan masing 2 m engadakan differensiasi setjara lim itatif dan berdasarkan azas effisiensi, m isalnja untuk Per adilan U m um diten.ukan differensiasi sbb. : — — ——
Peradilan kanak 2 ; Peradilan ekonomi ; Peradilan lalu-lintas ; Peradilan tata-usaha negara dsb.
pasal2 jang kami sebutkan dimuka dalam R U U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u m A tja ra M ahkam ah A gung. dapat ditrapkan/dilaksanakan sesuai dengan pengertian **terpimpinM kami. Baiklah kami kutip pasal2 jang bersangkutan itu, sbb. :
ajat 1 : Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
dja-
lannja peradilan dalam lingkungan peradilan umum dan m endjaga supaja peradilan itu diselenggarakan dengan seksama dan sewa jar-
nja. ajat 2 ajat 3
: Mahkamah Agung mengawasi tingkah-laku danperbuatan Hakim, : Untuk ituMahkamah Agung dapat memberi peringatan,tegoran dan petundjuk jang dipandang perlu. 187
ajat 4 : M a h k am ah A g un g berwenang untuk meminta keterangan dari se mua Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. M ahkam ah A g u n g dalam hal itu dapat memerintahkan disam paikannja berkas2 perkara dan surat2 untuk dinilai. (ex am inasi). ajat 5 : Pengaw asan jang dilakukan oleh M ahk am ah A g un g itu tidak boleh mengurangi kebebasan setiap hakim untuk mcmutus suatu perkara menurut kejakinannja sendiri. Sdr. Ketua. A p a jang kami kutip diatas kiranja mutatis metandis adalah seperti jang ka mi m aksudkan "peradilan terpim pin'’ dimuka. D engan ketentuan- seperti itu, kami tidak mengerti m engapa M ahk am ah A g un g harus dipetjah2. sedangkan m asing2 (?) kem udian akan mem punjai Undancj-undangnja jang serupa. M enurut djaw aban pemer:n‘ah tgl. 31 O ktober 1968: maka jang m endjadi keberatan lagi adanja peralihan terpimpin ialah seperti jang dikehendaki oleh M enteri Kehakim an pada tahun 1961 ialah. (kam i kutip) : "K u iip a n 2 inilah mendjelaskan, bahwa bert-ndaknja M ahkam ah A g un g sebagai puntjak dari 4 lingkungan didasarkan atas gagasan Peradilan Terpim pin, jang djuga mem ungkinkan M ahkam ah A g .ing memimpin scbclum ada suatu perkara hukum jang diadjukan kepadanja’’. M ak a dengan adanja pasal2 jang tersebut dalam Bab II R U U . tentang S usunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A g un g, chususnja pasal 11 ajat 1 s M aja 5. dengan satu M ahkam ah A gung sebagai puntjak peradilan, kami jakin akan mendjanv’n adanja peradilan jang bebas kedalam, dalam arti peradilan jang sehaf, dan akan m endjamin lebih m udahnja tertjapai ’kesatuan H u k u m ’’. karena adanja kesatuan interpretasi, dan lagi pula tidak akan menimbulkan kcsulitan dalam m emctjahkan jurisdiksi-geschil jang m ungkin sekali timbul, karena subslraat daripada hukum ialah satu dan sama j a i t u orang.
Sdr. Ketua, M engenai peradilan tata-usaha negara telah djelas pendapat fraksi kami. ialah dimasukkan dalam peradilan umum. W a la u p u n Pemerintah berpendapat, bahwa peradilan tata-usaha negara tidak inhearent hubungannja dengan per adilan umum, nam un kiranja bukan itu persoalannja melainkan jang terutama ialah eenheid in re rechtspraak ter bevordering van de rechtszekerheid demi perlindungan segenap bangsa Indonesia. K iranja tudjuan inilah jang harus m endjadi dasar dari segala interpretasi. Tentang Peradilan M iliter, memang benar Sdr. Ketua, bahw a menurut
Undang-undang N o. 67 tahun 1948, M ahkam ah A g un g tidak mendjadi pun tjak dani Peradilan M iliter. T etapi kiranja tidak dapat disangkal pula, bahwa keanggotaannja pada w aktu itu didjabat oleh Ketua, "W akil Ketua dan anggota2 M ahk am ah A gung. bahkan sampai tingkatan-’ jang lebih rendah oleh Kel.ua Pengadilan Negeri, jang tidak dapat lain ketjuali harus diartikan, bahw a tidak ada rintangan2 prinsipiil, bahw a Peradilan M ilite ip u n dapat berpuntjak pada M ahk am ah A g un g. A pabila Pemerintah mengartikan itu sebagai „Personele U n ie’’, mengapa dalam kedua R .U .U . jang kita bahas sekaini tidak memilih bentuk jang lebih sesuai dengan keadaan negara kita 188
ialah bentuk ..kcsatuan” . jang berarti Pengadilan M iliterpun berpuntjak ke pada M ahkam ah A gung. sehingga lebih terdjamxn adanja kesatuan hukum 1f M engenai hal ini perkenankanlah kami mengutip tulisan Sdr. S. T a s n f b .H . dalam Harlan Indonesia Raya, tanggal 7 Nopember 1968. N o. 216. rubnek Kritik dan Komentar. jang berdjudul ..R U U Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an" sbb. : ..Demi kesatuan hukum. rantjangan diatas m i sama sckali tidak memuaskan. T idaklah benar anggapan bahw a a anja satu M ahkam ah A gung sebagai puntjak semua peradilan akan m enudju kepada suatu ..pengadilan terpimpin” . Apakah misalnja Pengadilan di mer a erikat, dimana putusan- Pengadilan M iliter dapat diperiksa pada fang at terachir oleh M ahkam ah Agung merupakan ..pengadilan terpimpin . D justru untuk m enghilangkan kesan bahwa negara kita adalah negara mi iter, ma a djuga putusan- Pengadilan M iliter pada taraf terachir ^harus iperi sa o e ^ sntu M ahkam ah A gung jang hakimnja terdiri dari orang slPj • emi ian arl sekarang harus ditegaskan bahwa hanja ada satu M ahkam ah gung jang membawahi pengadilan 2 lainnja. D em ikian kutipan. Lain daripada itu Sdr. Ketua, baiklah kita ingat djuga raison d etre pada adanja per-undang2an militer. ialah : pada azasnja bagi semua anggota A B R I pun berlaku hukum sipil seperti jang berlaku bagi w a r g a negara a» j . H a n ja karena sifat dan djabatannja perlu diadakan per-undang an c u
bagi anggota A B R I jang ^
berkesimpulan J
b e r p u n t ja k
pada Mahkamah
Agung.
Sdr. Ketua.
Praktis kepegawaian dipakai sebagai Pemecintah dapat ^pendapat ^ " 8a"seb^
tidak akan m e n djad i masalah lagi.
b aw ah sam pai atas, kiranja alasan
t
sebab M ahkam ah A gung dapat merang ap
j_ n n _n
P em erintah jang akan
Dengan demikian kam,
U
-
m eninggalkan strulctur P ^rn id a ^ d P ^ diatas dan jang menurut hemat struktur minaret berdasarkan a l a s a t t U D 1945 pasal 24 ajat 1, jang kami djuga lebih sesuai dengan ^ ^ j n djelas menjatakan, bah w a
Kekua^an
KehakimarT 2 k S
o,eh sebuah Mahkamah Agung dan lain*
B adan Kehakim an m enurut U nd an g - u nd an g . Sdr. Ketua,
^ R .U .U . tentang Ketentuan-
V' P“ T K e h £ i > . Pemerintah dalam djawabannja meketentuan Pokok Kekuasaan Kehatama mengandung kebe. njatakan bahwa kekuasaan kehakim I 0 o[ ^ w functi on-, basan dalam m endjalankan tugas,
'in
nnric haw ahi^ de-
jang sebagai persoalan adalah agak lepas djalannja(kam , g a m bawah., de d a r “consCf.atbn‘’
antar“a
B adan2 Judikatif, di-inkorporasikan atau tidak dalam badan Iain, dan pedja bat jang berkewenangan mengenai hal-hal tersebut jaitu dari Executive. W a la u p u n kami sependapat dengan Pemerintah, bahwa kebebasan kehakiman dalam m endjalankan tugasnja sebagai persoalan agak lepas djalannja (djadi tidak lepas sama sekali) dengan soal- admmistrati dsb., nam un djustru itulah jang kami chawatirkan dapat membuka kemungkinan tjampur tangannja pihak2 diluar kekuasaan kehakiman dalam urusan peradilan seperti telah kami kemu-* kakan dalam pandangan umum jg. terdahulu. Sedangkan menurut hemat kami merupakan suatu noodzakelijke kwaad, toch merupakan noodzakelijke kwaad jang paling m inim dan hanja karena alasan2 historis kami masih dapat menerim anja. Sangat menarik perhatian kami memorandum IK A H I jang kami terima terkirim dari P P I K A H I dan jang djuga dikirim kepada Pim pinan D P R - G R jang antara lain menjatakan (kami kutip) : 12. D ari ke-4 matjam lingkungan perad'lan jang merupakan alat2 perlengkapan Kekuasaan Kehakiman, maka peradilan umum dan peradilan tata-usaha Negara jang langsung melajani kepentingan rakjat banjak dan jang langsung berhubungan dengan perlindungan hak-hak azasi warganegara terhadap tindakan penguasa, karena demikian pentingnja dan bahkan m endjadi batu udjian bagi dunia luar tentang berlakunja "rule of law ” dinegara kita, maka mutlak perlu ditempatkan lang*sung dibaw ah pim pinan M ahkam ah A gung sebagai penanggung djaw ab ter^ tingi badan judikatip, baik mengenai urusan tehnis, organisatoris. administratip m aupun finansiilnja, sedangkan peradilan agama dan peradilan militer sebagai peradilan chusus jang hanja mempunjai jurisdiksi tehradap golongan rakjat tertentu, tehnis tetap membawahi (m aksudnja dibaw ah) M ahkam ah A gung sesuai dengan struktur kesatuan dalam Badan Kekuasaan Kehakiman, tetapi dengan pertimbangan historis dan garis hierarchie kemiliteran setjara administratif, organisatoris dan finansiil tetap dalam lingkungan Departemen A gam a dan Departemen H ankam .
Sdr. Ketua, A g a k berbeda dengan pendapat fraksi kami, tetapi kami ingin masalah jang m enjangkut soal finansiil, adminis ratif, organisatoris dan mutatis metandis kami trapkan dalam pendapat fraksi kami, maka lalu akan mendjadi sbb. : Semua peradilan organisatoris, adm inistratif, finansiil dan tehnis di baw ah M ahkam ah A g un g. D jik a demikian lalu timbul persoalan dalam hati kami, bagaim anakah kedudukan Departemen Kehakiman ? M ak a sdr. Ketua, kiranja akan lebih baik djika dalam R .U .U . jang kita bahas kini diberikan ketentuan jang lebih tegas mengenai ruang lingkupnja kekuasaan Kehakiman, karena menurut hemat kami hal ini tidak identlk dengan penjelenggaraan peradilan in enger zin. D jik a Pemerintah dalam djaw abannja menjatakan, bahwa ke-3 R .U .U . jang sedang kita bahas sekarang ini adalah hasil karya suatu Panitya Negara jang terdiri dari para theoritici, praktisi dan mereka jang berakar setjara representatip dalam masjarakat dan diketuai oleh Prof. Soebekti S .H ., Ketua M ahkam ah A g ung, dengan penuh rasa hormat kami ingin mengutarakan hal2
sbb.: 190
1.
A da baiknfa sekali lagi kami mengutip kalimat terachir jang terdapat d a lam memorandum IK A H I sbb. : Bersama ini dilam pirkan naskah rantjang-
!",9 ^ f ! karya Panify a antar Lembaga N egara dim ana liv A r ll ikut duduk didalamnja meskipun Ketua Panityanja sama dengan Panitya Negara jang rantjangan U ndang-undangnja sekarang dibahas oleh D P R - G R , tetapi dalam hasil karyanja terdapat perbedaan 2 jang prinsipiil, sebagai bahan perbandingan dalam rangka penindjauan kem bali ke-3 rantjangan Undang-undang tersebut (D em ikian kutipan). M enurut pengamatan kami perbedaan 2 prinsipiil jang dim aksud antara lain ialah : a.
b.
Panitya Antar Lembaga Negara menghendaki M ahkam ah A g u n g se bagai puntjak semua peradilan, sedang Panitya Negara melepaskan prinsip tersebut. Panitya A ntar Lembaga Negara menghendaki semua peradilan teknis dibawah M ahkam ah A gung. sedang organisatoris, administratif, finansiil peradilan umum dan peradilan tata-usaha negara dibaw ah M ahkam ah A gung peradilan militer dan peradilan agama masing 2 dibawah Departemen Hankam dan Agama.
c.
M adjelis Penelitian Pertimbangan Hakim jang terdapat dalam hasil karya Panitya Negara, tidak terdapat dalam hasil karya Panitya A ntar Lembaga Negara.
d.
Toetsingrecht untuk semua peraturan ada pada M ahkam ah A g ung menurut Panitya Antar Lembaga Negara. Sedang menurut Panitya Negara hanja aintuk peraturan- jang lebih rendah daripada Undangundang.
Sdr. Ketua, A dakah hubungan antara kedua Panitya itu, samakah Panitya Interdepartemental sepectii disebut dalam keterangan Pemerintah tgl. 17 O ktober 1968 dengan Panitia A ntar Lembaga Negara, apakah dalam Panitia itu segala sesuatunja berdjalan dengan smooth tanpa ada crucial points dan djika memang ada bagaim ana memetjahkannja, semuanja itu kami tidak tahu. H a n ja dengan mengambiil kutipan dari memorandum IK A H I ingin kami xnengemukakan fakta, bahwa d u a p a n itia jang masing 2 terdiri atas ’empu- klas berat d a lam bidang peradilan dengan nota bene ketua jang sama, dapat m enghasilkan karya 2 jang setjara prinsipiil berbeda. 2.
Sekali lagi dg. tidak mengurangi rasa horm at kami kepada Panitia Negara, kiranja sebagai konsekw ensinja pula kamipun tidak bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pendapat dan djasa orang lain, terjjiasuk w akil rakjat disini jang mungkin kurang ahli dan pembentuk serta pemlkir Undang-undang No. 19/1964, jang ternjata tid a k sedikit materi jang sama dengan R .U .U . jang sedang kita bahas, jang m ungkin se-tidak2n ja memberi inspirasi kepada Panitia Negara, jang m ungkin ;se-tidak2n ja dapat menambah effisiensi kerdja Panitia Negara, karena m engenai beberapa hal tidak perlu memeras otak.
191
U n t u k s e k e d a r m e n j a t a k a n rasa lio r m a t k a m i itu. p c r k c n a n k a n l a h k a m i m e n g u s u l k a n a g a r d a l a m M e m o r i P e n d j e la s a n R . U . U . te n ta n g K etentuank e te n tu a n P o k o k K e k u a s a a n K e h a k im a n . I U in u n i. N o . 7 alin e a 2 d it a m b a h d e n g a n kata- ..s e h in g g a tu r u t serta se tjara a k t if m e re a lis a s ik a n penjatu a n d a n k e s a tu a n h u k u m d is e lu r u h I n d o n e s i a ” . Kata- itu k a m i a m b il d ari M e m o r i P e n d j e la s a n
Undang-undang
No.
19/
1964, j a n g m u n g k i n t id a k te r a m b il o le h P a n i t i a N e g a r a , sebab kalimatj a n g k a m i u s u lk a n d it a m b a h d e n g a n kata- tersebut persis sam a dengan Kata- itu k a m i a m b il d a r i M e m o r i P e n d j e la s a n U n d a n g - u n d a n g N o . 19/ 1964 s e s u d a h d i k u r a n g i kata- j a n g k a m i u s u lk a n . D i n g a n d e m ik ia n kalim a t s e l u r u h n ja m e n d j a d i a k a n b e r b u n ji : ,. D e n g a n k e te n tu a n b a h w a h a k im w a d j i b m e n g g a l i, m e n g ik u t i d a n m e m a h a m i s e p e n u h n ja b a h w a perkemb a n g a n d a n p e n e r a p a n h u k u m t id a k tertulis itu a k a n b e r d ja l a n setjara w a d j a r , s e h in g g a t u r u t serta s e tjara a k t if m e re a lis a s ik a n p e n ja t u a n d a n k e s a tu a n h u k u m d is e lu r u h In d o n e s ia .
H a l ini kami kemukakan dengan memberi tekanan kepada penjatuan dan
kesatuan hukum, karena menurut hemat kami ini lebih sesuai dengan rechtspolitiek jang kami utaraRan dalam menudju ke hukum nasional jang modern, dengan azas unifikatie dan codifikatif. S d r . K e tua, D e n g a n d e m ik ia n d j u g a b e r t a m b a h dje las, a p a se b ab k a m i m e m ilih sistim d a n s tr u k tu r p e r a d ila n seperti telah k a m i u r a ik a n diatas. K a t a k a n l a h ,,voorm ijn p a r t ” s e b a g a i P e r a d il a n T e r p i m p i n in te r n ju d ik a t if , se b ag a i kebalikan d ari P e r a d il a n ja n g versp'.interd dan te r p e tja h b e lah. D ja d i lain s o a ln ja d a r i p a h a m a ta u p o litik , ,D e m o k r a s i T e r p i m p i n ” , k a r e n a d a la m P e r a d i l a n T e r p i m p i n itu d j u s t r u d ip e r l u k a n K e k u a s a a n J u d i k a t i f jan g k o m p a k d a n m a n ta p , be bas d a r i segala p e r o n g r o n g a n dari kek uasaa n E k s e k u t i f d a n L e gislatif, d e n g a n ta k m e n g u r a n g i h a k o t o n o m i seorang h a k im d i d a l a m m e m p e r t a n g g u n g - d j a w a b k a n h a ti n u r a n i n j a ’’in the exer cise o f their j u d ic ia l f u n c t io n ” . 3.
K a m i m e n g a k u i , b a h w a wakil- r a k j a t d isin i in i tid a k s e m u a n ja s am a kea h l i a n n j a d a n k a m i s e n d ir ip u n t i d a k a h li d a l a m b i d a n g p e ra d ila n b a ik s e b a g a i teoretikus m a u p u n se b ag a i p r a k tik u s , n a m u n t id a k b e r k e leb ihan k ir a n j a d j ik a k a m i k a t a k a n , b a h w a d a l a m m e n g e m u k a k a n m a s a l a h 2 terte n tu, b ia s a p u l a k a m i m e n e m p u h d j a l a n u n t u k b e r k o n s u lta s i d e n g a n m e re k a j a n g le b ih expert, j a n g k ir a n j a t id a k a d a d je le k n ja u n t u k mend a p a t p e n g h a r g a a n k a m i s e la ja k n ja . S e b a l ik n j a k a m i m o h o n p e rh a tia n kepada P e m e r in ta h , b a h w a bukan tan p a a la s a n K e te ta p a n M P R S N o . X F X / 1 9 6 6 itu m e n je r a h k a n h a l p e n i n d j a u a n ke m b a li p e ru n da n g u n d a n g a n ja n g b e r t e n t a n g a n d e n g a n U . U . D . 1945 k e p a d a P e m e rin ta h b er s a m a - s a m a d e n g a n D P R - G R ( d j a d i b u k a n k e p a d a le m b a g a Ju d ik a tif d a l a m scope t o e t s in g s r e c h t ) , k a r e n a m e n u r u t h e m a t k a m i ja n g d id ja d ik a n m o t if u ta m a a d a l a h segi p o litis n ja d a n d a la m h al R . U . U . j a n g sedang k ita b a h a s ini in casu t id a k m e n j a n g k u t se-mataa segi tehnis-juridisnja, k ir a n j a t id a k b e r le b ih a n d j i k a k a m i k a t a k a n , b a h w a a p a j a n g k a m i k e m u k a k a n d a la m p a n d a n g a n u m u m b a ik b a b a k I m a u p u n sekarang su d a h vam i
192
sesua/'kan pula dengan apa jang dikehendaki oleh Ketetapan M P R S ' No. X IX /1 9 6 6 . Sebagai penegasan terhadap azas- politik jang telah kami kem ukakan dem i kekuasaan kehakiman jang merdeka, perlu kami djelaskan antara lain, bahw a bukan maksud kami untuk berpegang teguh kepada apa jang dinam akan Trias Polit'ca. nielainkan idee Trias Politica kami pergunakan sebagai denkdan werk-methode. Kiranja idee tersebut ditrapkan pada Lembaga Judikatif kita akan tetap mempunjai Teltungnja djika kita mendambakan kekuasaan kehakiman jang merdeka seperti jang dikehendaki oleh L I.U .D . 1945. Oleh karenanja kami mengharap. agar Pemerintah sebagai Executif tjukup ichlas untuk memuatkan seUiruh badan- pengadilan dibawah kekuasaan Kehakiman inconrcto DeparJemen Kehakiman. mengenai segi organisatoris, administratif serta finansijl. sedang segi tehnisnja semua berpuntjak kepada M ahkam ah A gung. Sdr. Ketua jang terhormat, M enanqgapi tentang toelsingsrecht, jang dalam djaw aban Pemerintah sudah djelas tidak menjetudjui adanja toetsingsrecht pada M ahkam ah A g un g. ,ndan . • •— — d a n undangtidak berdasarkan alasan-alasan sbb. :
review, sedang motif utamanja : segi politis.
kepada M ahkam ah A gung.
jLN am u ii
u e m iK iciii,
audun a
------- ^
-
Tt tt n
^ r\A tr
pasal 37 itu membawa akibat perubahan bagi Pem bukaan U .U .D . 1945 m enurut hemat kami pun M ahkam ah A g u n g dapat m enjatakan batal. Sebab Pembukaan U .U .D . 1945 tidak dapat dirubah oleh siapapun, tertnasitk M .P .R . hasil pemilihan umum.
193
Sdr. Ketua, M engenai R .U .U . tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Um um , karena sangat erat hubu ng ann ja dengan R .U .L I. tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an, kiranja dapat dibitjarakan dalam tingkat-tingkat berikutnja sambil memetjahkan persoalan-persoalan jang m enjangkut R .U .U . jang terchir itu. K em udian untuk mengachiri pandangan umum kami ini sekali lagi kami njatakan rasa horm at kami kepada Panitia Negara, nam un dengan rendah hati kami ingin m enjatakan. Terim a kasih.
M A J O R (L) S U K A R T O N S .H . ( A B R I) : Sdr. Pim pinan. Sdr. W a k il Pemerintah dan S dr2. sekalian jang kami hormati, Perkenankanlah kami atas sama Fraksi A B R I m enjadjikan pandangan Fraksi kami sekaligus terhadap R antjang an U ndang-undang tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , terhadap R .U .U . tentang Keten tuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an dan R .U .U . tentang Susunan, Kekuasaan dan H uk um A tjara M ahk am ah A g un g. Pertama-tama kami Lngin m enjam paikan rasa terima kasih kepada Sdr. Pim pinan atas pemberian kesempatan jg. diberikan kepada Fraksi kami untuk memberikan tanggapan terhadap R a n tjan g an U ndang-undang tersebut. D eng an demikian maka kini lengkap sudahlah, ketiga R U L I jang mengatur seluk beluk B adan K ehakim an dalam rangka m elaksanakan am anat Pasal 24 U .U .D . 1945. U n tu k itu kami memberikan penghargaan pada Pemerintah jang telah dengan tekun menggarap ketiga R .U .U . tersebut, jang pada saat ini telah diisadjikan dihadapan kita semua. Sesuai dengan tanggapan kami terhadap kedua R antjang an U ndang-undang terdahulu maka dalam menanggapi R .U .U . inipun, dasar berpidjak kam i tidak lepas daripada Pengertian O rd e Baru sendiri, jaitu suatu tatanan peri-kehidupan R akjat, Bangsa dan Negara kita, jang diiletakkan ke-mbaU pada kem urnian pelaksanaan Pantja Sila dan U .U .D . 1945. A d ala h merupakan mission A B R I selaku salah satu ke kuatan sosial untuk selalu memurnikan P an tja Sila dan LT.U.D. 1945 dalam segala perikehidupan termasuk dalam perikehidupan tertib H ukum , kesemuanja cfelam rangka m ew udjudkan serta mensukseskan T u d ju an Nasional sebagaimana tertjantum dalam Pem bukaan U .U .D . 1945 setjara positif, konkrit tegas dan djelas. D engan djelas kami melihat usaha2 Pemerintah kearah ini. dalam ketiga R .U .U . tersebut dengan ditetapkannja tiga tingkat pengadilan jang berarti bahw a disam ping peradilan negara tidak ada tempat bagi per adilan S w apradja atau peradilan lainnja jang dilakukan oleh bukan peradil an Negara. A p abila dalam praktek dan kenjataan masih terdapat adanja peradilan jang bukan peradilan negara, maka badan tersebut harus selekas mungkin dihapuskan. Sekaligus Pemerjntah telah membuktikan adanja Demokrasi da lam H u k um bagi semua V /a rg a negara. M em ang dem ikianlah jang dikehendaki oleh A B R I. A B R I sebagai P radjurit Sapta M argais sangat menentang adanja keistimewaan bagi kelompok warga-negara jang satu lain daripada jang lain. K arena ini djelas bertentangan dengan Dem okrasi Pantja Sila. D justru kehidupan Demokrasi jang sehat harus kita tum buhkan dan kembang-
194
kan dalam O rde Baru ini. M aka dari itu A B R I sesuai dengan Pasal 24 jang mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah M ah k am ah A gung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut U U , dan Pasal 27 jang mengatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannja dan w adjib m endjundjung H ukum dan Pemerintah itu dengan tidak ada ketjualinja : kami ingin bertanja pada Pemerintah, apakah gagasan jang tidak m enghendaki M ahkam ah A gung sebagai Puntjak dari segala Badan Kehakiman tidak bercentangan dengan djiw a dan semangat Pasal 24 dan 27 tersebut. D im ana antara lain Pasal 24 dengan tegas mengatakan bahwa kekuasaan kehakim an dilakukan oleh Sebuah M ahkam ah A gung. Sesuai dengan mission O rde Baru sendiri, jang menginginkan adanja koreksi dan introspeksi setjara prinsipil dan menjeluruh atas praktek2 jang tidak dilandaskan atas Kcmurnian pelaksanaan Pantja Sila dan U U D 1945. maka Praksl A B R I berpendapat sejogjanja M ahkam ah A gung tetap merupakan puntjak dari segala Badan2 Kehakiman jang ada. A B R I, jang berasal dari seluruh lapisan, aliran dan golongan m asjarakat Indonesia, jang pada hakekatnja djuga tidak berbeda dengan w arganegara lainnja, A B R I tidak menghendaki disendirikan dalam praktek2 perlakuan Hukum , apalagi diistimewakan. Bahkan A B R I sesuai dengan fungsinja patut mendapat perlakuan H ukum jang lebih berat apabila melakukan tindakan** jang bertentangan dengan Hukum . A B R I tetap matt selalu bersama dengan warga2 negara' lainnja,' bahkan A B R I lebih bangga kalau lebih berat menerim a tugas kewadjiban dari negara. S dr2. Pim pinan dan S dr2. sekalian. D alam rangka menegakkan Judicial Power, Judicial O rg anization dan Judicial Personnel kami menghargai maksud baik Pemerintah dengan gagasan M P P H - n ja . G agasan mana didasarkan atas kehendak adanja K IS S antara lembaga executief cq Menteri Kehakiman dan lembaga Judicatief cq Ketua M ahkam ah A g un g didalam menghanteer para H akim dalam m endjalankan tugasnja. Karena memang H akim mempunjai dua sumber pengendalmn jaitu dibidang tehnis dikendalikan oleh Ketua M ahkam ah A g ung sedang dibidang adm inistratif oleh Menteri Kehakiman. D justru karena inilah, demi mentjegah adanja kesimpang-siuran perlu adanja Kiss diantara dua lembaga tersebut. A tas dasar ini, Fraksi A B R I dapat menerima gagasan M P P H dengan tjatatan perlu dirobah baik mengenai scope dan komposisi m aupun sifat- dari pada M P P H sendiri. Bentuk Komposisinja perlu disederhanakan, jaitu tju kup dari kedua lembaga itu sadja, tidak perlu adanja lembaga-^ non-govern mental dalam M P P H . Sedang tugasnja pun dalam hal memberi nasehat dan saran sadja. D engan demikian akan tertjapailah maksud Pemerintah dalam menegak~ kan Judicial Power. Judicial O rganization dan Judicial Personnel serta sistim Peradilan bebas dalam ketfga R .U .U . tersebut. Sdr. Pim pinan dan Sdr. Sekalian. A c h irn ja sebagai penutup kami harapkan semoga ketiga R .U .U . segera lahir m endjadi U .U . dan sebagai sumber H ukum Positif hendaknja m em punjai kewibawaan, dapat dilaksanakan oleh para petugas Pengabdi H u k u m m aupun oleh negara sebagai gezagorganisatie. Semoga T uh an meridhoi kita semua. Am ien.
195
M U STAFA SOEPANGAT.
(IP K I)
A ss al am u ’alaikum w. w. Saudara Pimpinan, W a k i l Pemerintah dan sidang jang (erhcrmat. Fraksi I P K I menjambut baik atas dimasukkannja R.U.U- tentang Pengadilan dalam Lin gk u ng an Peradilan U m um . sebagai rangka'an kclandjutan dan merupakan satu kesatuan dalam usaha mengadakan s.ia'u pengaturan kembali mengenai ’’judicial power, judicial organization dan judjcjal personnel" scbagaj tjga unsur jang harus membantu memetjahkan persoalan dari suatu peradilan be bas dalam rangka kemurnian pelaksanaan II U .D . 1945. dimana h.al ini telah sangat ditunggu-tunggu oleh R akjat atas adanja djaminan hukum, adanja ketertiban dan ke'.entcraman lv'dup lahir dan batin.
R . U L I . tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum ini mengatur susunan, kekuasaan. administrasi serta kedudukan para hakim dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, dimana jang menjangkut M ah k a mah A g u n g sebagai puntjak dari Peradilan llmum telah diatur tersendiri da lam R . U . U . tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum At jam Mahkamah Agung. Dengan ditetapkannja adanja tiga tingkat pengadilan dalam U U ini dan diartikan pula bahw a disamping peradilan negara t.idak ada tempat lagi bagi peradilan Swa pr adj a atau peradilan lainnja jang dilakukan bukan oleh badan peradilan negara, maka sudah merupakan adanja djaminan kepastian hukum bagi rakjat pentjari keadiian untuk tidak menghndapi praktek- hakim'-’an sen diri atau kalaa pada zaman Or'a clulu adanja hukum rcvo'us:. Fraksi I P K I berpendapat bahwa R L I U tentang Pengadilan dalam lingku ngan Peradilan Umum ini bilamana dalam pembahasann ja dirangkaikan dengan pembahasan terhadap R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K e kuasaan Kehakiman dan R U U tentang Kctcntuan-ke'entuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R L I U tentang Susunan. Kekuasaan dan Hukum Atjara M a h kamah A g a n g sebagai satu kesatuan maka akan lebih memantnpkan dalam usaha menjusun Kekuasaan Kehakiman jang dilakuka-n oleh Mahkamah Agung dan Badan- Kehakiman lainnja jang bersumber kepada sumber hukum Negara Hukum Indonesia jang berdasarkan Pantjnsila. dan tidak pcrlu lagi t.imbulnja banjak perbedaan pendapat jang tadjam antara Pemerintah dan D P R - G R , dimana sudah sama-sama berpendapat bahwa Kekuasaan Kehakiman harus bebas dari tjampur tangan executicf dan legislatief. Dalam menanggapi R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum telah memenuhi prinsip jang dikchendaki oleh Pantjasila dan U U D 1945 chususnja pasal 24 dan pasal 25 beserta pendjelasannja, dan selandjutnja dapat segera diselesaikan dalam tingkat pembahasan selandjutnja dan segera memperoleh pengesahannja. Saudara Pimpinan, W a k i l Pemerintah dan Sidang jang terhormat. Dalam kesempatan tanggapan babak ke-II terhadp RLILI tentang Kekuasaan dan Hukum A tj a r a Mahkamah Agu ng, Fraksi kami hanja sekali lagi men-stress usul-usulnja terdahulu ialah. A g a r segera disusun LIU sebagai pelaksanaan dari ULI Pokok Kekuasaan Kehakiman seperti jang dimaksud dalam R U U pasal 9 ajat (3), pasal 10 ajat (2), pasal 1 1 ajat ( 1 ) dan (2), pasal 36 dan pasal 40. 196
A dapun dalam R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan H-ukum A tja ra M ahkam ah A g jn g . kami usulkan agar dalam Bab II Pasal 11 ditambah satu ajat lagi mendjadi Pasal 11 ajat (2) jang berbunji : ,,M ahk am ah A gung mengadili perkara- jang menjangkut anggota- Lembaga N egara Tertinggi dalam tingkat pertama dan terachir. D alam menanggapi masih adanja perbedaan pendapat terhadap kedudukan M ahkam ah A gung sebagai puntjak Peradilan Um um dan adanja pendapat bahwa M ahkam ah A gung sebagai puntjak badan- Peradilan lainnja djuga. Fraksi kami berpendapat perkilah diadakan pembahasan setjara mendalam mengingat masalah ini dapat menadjam pada penafs.ran terhadap pelaksana an U U D 1945. dimana hal ini dapat ditjegah karena kalau sampai adanja perbedaan tafsir itu tidak dcipat dipertemukan kami chawatir bahwa tudjuan pokok untuk segera mclahirkan adanja susunan Kekuasaan Kehakim an jang m urni dengan U U D 1945 itu djustru akan tertunda dan bahkan dapat menimbulkan kcgclisahan atas makin kaburnja kepastian hukum agi pentjari ea dilan. D engan adanja tanggapan babak ke-II terhadap dua R U U .m ii dan betapa besar sambutan masjarakat (erhadap masalah ini mendjadi b.ikti betapa pentingnja pembahasan terhadap masalah Badan Keha iman ini se a9a* m am es tasi tuntutan hati m .rani R akjat tentang tegaknja keadilan dan kebenaran iaX h t r n j
sc.era n,en in9kat
dalam tingkat I V
d
dimana dapat
kita untuk kem,L1.
^ t p: ; “ ttT c w !’; r baSS n
" g a W u ,'ni dan dapa, mengesahkannja
m endjadi U ndang-undang. ,,Sekali Lajar Terkembang Surut Kita Berpantang . W a ss a la m u ’alaikum w. w.
E. S A E F U L L A H S.H. (P .S I I ) : Assalam u'alaikum w. w. Sdr. Ketua, W a k il Pemerintah dan Sidang jang mulia. T ? _i_ci pqtt kami m eniampaikan terima kasih Pertama-tama a;as nama Fraksi 1 . tanoaaoan kam i terha-
d'ap
',1 ^ t S S f 3 5 d &
kepada D PR-G R ini.
Sdr. Ketua dan Sidang jang mulia.
Berhubung R U U tentang ini merupakan R U U Kekuasaan
Kehakiman,
sedang
Pokok V e S u a n - k e .e n .u a n Pokok kuu
y
Kekuasaan Kehakiman itu sendiri masth dalam tara
alangkah baiknja bilam ana pembahasan R
mi mena
„ „ mk niia 5an
m aka setidak-
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ata tidaknja tidak mendahuluinja. Sebab bagaimana kita akan membahasn|a apabila ketentuan'- pokok jang mendjadi landasann,a masih belum selesai dibitjarakan.
197
Sdr. Ketua, W a k il Pem erintah dan S idang Jang mulia. P ad a kesempatan pem andangan um um babak ke-I jang lalu Fraksi P S II belum m enjam paikan pendap atnja tentang materi dari R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K ekuasaan K ehakim an dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H uk um A tja ra M a h k a m a h A g u n g ini, tetapi baru m enanggapinja sctjara umum sadja. Sekali lagi kami tegaskan bahw a kedua R U U jang sedang kita bahas ini sungguh sangat penting bagi kehidupan hukum dinegara kita. baik bagi masa sekarang m aupun bagi generasi2 jang akan datang. A p alag i bila ditindjau bah w a N e g ara kita adalah N egara H u k u m dan demokratis. dim ana rakjat ban jak selama ini belum menikmati dan merasakan hidup di N egara H ukum sebab hukum dan keadiian selalu berada dibaw ah kekuatan dan kekuasaan, sehingga apa jang disebut Rectstaat baru tertulis dalam U ndang-undang D a sa r sadja, sedang prakteknja se-hari2 lebih mendekati kepada M achtstaat atau politiestaat. Sebagaim ana kita maklum, didalam dunia ilmu hukum tata negara, azas-azas pokok dalam suatu N egara H u k um jaitu : a.
azas legaiiteit,
b.
azas perlindungan kebebasan dan hak azasi manusia, dengan pengertian harus sesuai dengan kesedjahteraan umum .
K edua azas ini harus tertjermin didalam R U U jang nanti akan kita sahkan m endjadi U ndang- undang. O le h karena itu kam i sangat berterima kasih dan m enjam paikan penghargaan kepada Pem erintah dan Panitia N egara jang telah m enjusun R U U ini, jang djauh lebih m adju kearah tjita2 N egara H u k u m dibanding dengan U U N o . 19/1964 dan U U N o. 13/1965, w alaupun dalam beberapa hal masih harus kita bahas bersama agar lebih mendekati kearah kesem purnaan. Prinsip kebebasan Judicial Pow er dari pengaruh Executive Power dan Legislative Pow er serta pengaruh2 lainnja seperti jang dikehendakj oleh U U D , setjara tegas tertjantum dalam R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an (pasal 4 ajat 3 ), sungguh sangat membesarkan hati kita. O le h karenanja d jang an sampai ada tjelah2 jang m em ungkinkan penerobosan terhadap prinsip ini. K edaulatan Peradilan harus benar2 terdjamin. Sdr. Ketua dan S idang jang mulia. Berdasarkan prinsip kebebasan dan kedaulatan Peradilan tersebut diatas inginlah kam i m enjam paikan beberapa usul sbb. : 1.
Prinsip kebebasan Peradilan m erupakan beban jang sangat berat bagi para hakim, nam un beban ini sangat m ulia. O le h karenanja martabat, kew ibaw aan dan kehorm atannja harus benar2 terdjam in oleh undangundang. A tas pertim bangan inilah kami tidak sependapat dengan Pemerintah bah w a pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/ hu kum an2 djabatan para hakim diusulkan oleh M adjelis Pertim bangan Penelitian H ak im , sebab dilihat dari struktur dan komposisinja dichawa^
198
tirkan akan mengurangi kebebasan dan kedaulatan Badan Peradilan itu sendiri. Pengaruh" dari luar Badan Peradilan pasti akan bisa diterobos melalui M adjelis ini, sehingga martabat, kewibawaan dan kehormatan'nja sebagai hakim akan kurang terdjamin. Instansi” jang tertinggi dari badan tersebut akan lebih dihargai dan kompeten sasuai dengan tugasnja sebagai pengawas B adan 2 Peradilan dan para hakim baw ahannja untuk mengusulkan atas pengangkatan, promosi, pemberhentian dsb. D a n bagi M ahkam ah Agung sendiri pengusulannja harus tetap oleh D ew an Perwakilan R akjat sebagai manifestasi azas demokrasi adanja chek and balance antar kekuasaan Eksekutif, Judikatif dan egis ati Sebab kebebasan jang dimiltki oleh Badan Peradilan tidaklah berarii sama sekali lepas dari tanggung-djawabnja terhadap T uhan dan rakjat. Disamping ilu djuga sampai sedjauh mana suatu badan non-gobernmental dapat menentukan sesuatu djabatan jang begitu penting. 2.
Sesuai dengan azas* Negara Hukum tentang perlindungan kebebasan dan hak-hak azasi manusia. pasal 7 R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu adanja penegasan bahw a penangkapan. penahanan. penggeledahan dan pensitaan hanjallah berdasarkan surat perintah tertulis dari hakim. D a n dalam pasal 8 R U U ga gaskan bahw a sistim ,,accustoir ’ dalam ha p e n u n u a n pi , dengan penambahan bahwa sedjak pemeriksaan pendahuluan si-tersangka dibolehkan untuk didam pingi oleh pembela. serta terhadap pelanggaran pasal ini oleh siapapun harus ada sanksinja jang tegas.
3.
Sehubungan dengan ini djuga jaitu perlmdungan kebebasan. hak azasi manusia dan teqaknja Rule of Law terhadap tm dakan jang d a r i Penguasa agar t e r d ja m in n ja rasa kead.lan. maka Peradilan TataU saha N egara dimasukkan dalam Peradilan U m um . Sdr. Ketua d an sidang jang mulia. M engenai
A gung
M a h k a m a h
k a m i
sependapat
jang terhormat bah\\a fv4a y j j p ^ a s a l924 ( l f d a n adilan, sesuai dengan bunji U U U pasai \) pastian hukum.
d a n
abolisi
kesatuan serta ke R T T T T tpntana
A gung ditambah dengan
L T e r„ L K :.M r m r t ,d “ a S
amnesti,
demi
o le h
icepa a
P r e s id e n "
Pasal 12
a g a r
d ita m b a h
d e n g a n
e.
s u b
antara Pengadilan perdata dan Pengadilan T entara . Pasal 50 tentang p e n g a w a s a n atas notaris dan ^ dim asukkan kedalam Bab II tentang Kekuasaan M ahk am ah A g u n g .
^
Selandjutnja hal-hal jang bersifat technis akan dikem ukakan dalam rapat bagian nanti.
Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum w. w.
199
A B D U L M U ’ T i l l S.I I.
(PARM U SI) :
A ssalam u’alaikum vv- w. Sdr. Kekia, Bapak Menteri clan para anggota janq saja Iionnati. Saja m engutjapkan banjak terima kasili atas pcrhatiian Pemerintah terhadap tanggapan saja dalam pemandangan unutm D P R - G R tanggal 28 Oktober 1968, seperti djuga terhadap para anggota jang 'am dalam babak pertama itu. S dr. Ketua. D ala m babak pertama saja menanggahkan pengungkapan pendapat Fraks'i kami tentang kedua RLILI ini, ialah karena hendak mcndcngar lebih dahulu pendjawaban Pemerintah tentang pasal- jang termuat dalam Bab III R L I U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman. Sebab n ja demikian ialah karena I’ raksi kami inenganggap bahwa Bab III iniiah jang akan memberi wadjali bagi Badan Judikatif kita dan o!ch karena itu pasaljang termuat dalam RLILI itu erat sekali sanqkut pautnja denqau pasal" Bab I I I itu. Dani pendjawaban Pemerintah. saja mendapat kesan bahwa Pemerintah tetap tjenderung kepada sikap mempertahankan R L I U itu sebagaimana jang telah diadjukan. sehingga hanja Peradilan LI mum sadja'ah jang akan berpuntjak kepada M a h k a m a h A gung. A d a p u n mengenai Badan- Peradilan Iainnja apakah mas:ng-nja akan mempunjai puntjak sendiri2 pula. Pemerintah dalam pendjawabannja belumlah memberikan ketcgasan tetap, ,,mungkin dapat dipcrdjelas dan dipertegas dalam pcmbitjaraan selandjutnja” . Kami bersjukur karena Pemerintah belum mengambi! sikap pasti tentang hal ini dan belum hendak menegaskan bahwa Badan- Peradilan lain itu mas:ngakan mempunjai puntjak semaljam M a h k a m a h A g u n g pula didalam lingkungannja. D eng an begitu pendekatan pendirian akan lebih mudah ditjapai atas pandangan jang berbeda-beda dalam kalangan Fraksi- di D P R - G R ini. D ala m hubungan ini dan mendjelang adanja ,,pcmbitjaraan sclandutnja seperti jang dimaksud o'eh Pemerintah, maka Fraksi kami berpendapat bahwa semua Badan- Peradilan ini harus berpuntjak kepada M ah k am a h A g un g sadja. D:dalam M a h k a m a h A g u n g jang satu itulah diadakan k am ar2 untuk raenampung segala perkara dalam tingkat Tcrt'nggi, sehingga kita terhindar dari kesimpang-siuran pelaksanaan H u k u m jang membahajakan bagi kepastian H ukum . M e n u ru t pendapat kauri, hal adanja satu sadja M a h k a m a h A gung itulah jang lebih (jepat mentjerminkan tcrlaksananja LILID setjara murni dan konsekwen. Sjahdan, kalau pendirian ini ditenma, maka dengan sendirinja persjaratan2 jang tertjantum dalam Pasal RLILI M a hk am ah A g u n g tentu harus diubah dan disesuaikan dengan keperluan- jang menjangkut dengan tugas dibidang masing-. U n tu k H a k im Anggota M ah k a m a h A g u n g dalam kamar militer nv'salnja, harus disjaratkan keahlian dalam kemilitcran sebagaimana dalam kamar A g a m a diperlukan sjarat keahlian untuk itu, disamping sjarat keahlian dibidang H u k u m jang mutlak harus dipenuhi. T id ak perlu kam i terangkan lagi bahw a kami tidak dapat menjetudjui 200
adanja sematjam M ahkam ah A gung untuk masing 2 B adan Peradilan diluar Peradilan Um um itu, sebab adanja M ahkam ah A gung sematjam itu akan membangkitkan screntetan persoalan- jang pelik, dan berat jang tadinja tidak akan terdjadi, kalau puntjak Badan- Peradilan itu berada dalam satu tangan, jaitu dalam tangan M ahkam ah Agung jang satu. D a n djika kita konsekwen untuk memberikan peradilan jang murah dan tjepat, maka adanja M ahkam ah A gung jang pclbagai matjam itu djustru akan memperlambat dan memperhambai djalannja peradilan itu. D ew an jang terhormat. D alam kesempatan ini saja mengundang perhatian D ew an kepada pasal 10 ajat ( 3 ) dari R U U jang berbunji sbb. : „ (3 ). Badan- Pengadilan jang melakukan peradilan tersebut pada ajat (1), Organisatoris, administratip dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing 2 Departemen jang ^ bersangkutan, ketjuali M ahkam ah A gung jang m e m p u n ja d organisasi, administrasi dan keuangan sendiri” . Dani ajat ini ternjata bahwa hanja M ahkam ah A gung sadja jang m empunjai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. A d ap u n jang lain, organisatonis. administratif dan finansiil berada dibawah kekuasaan D e partemen jang notabene adalah tergolong kedalam Badan hksekutit. S elandjutnja tidaklah Pemerintah sependapat dengan saja bahw a dengan ikut tjam purnja Departemen dalam mengurus Badan 2 Kehakiman, kita sudah dengan sadar dun sukarela melepaskan pendirian bahwa Kekuasaan Keha kiman itu adalah kekuasaan jang mereka tanpa ikut tjampur tangannja Badan Eksekutif, w alaupun hanja dalam bidang organisasi, administrasi dan keuangan ? i ^ Kekuasaan Kehakim an K alau kita tetap konsekwen dengan g g baru dim ana terjang merdeka, ajat ( 3 ) ini harus diubah dengas menguasai Badan kandung ketegasan bahwa Departemen apap i!euanqannja. Ia harus terKehakiman termasuk organisasi administrasi ^ terhindarlah pusat ditangan M ahkam ah A gung semata^ keiantjaran sesuatu pula kita d a n dualisme jang dalam praktek m gg yy urusan. ^ 1 • jjn m kedua sebaqai tam bahan dan Dem ikianloli ta n g g a p a n k a m i da a lato sengadja penegasan d a n tanggapan pada babak P IH inj> gebab toch scsual tidak kam i singgung dalam pem i j dengan Peraturan T ata tertib bahwa
tingkat ini akan dibawa ag. kedaa dengan keinginan Pemerintah djuga,
®
p
jg f,ahan 2 jang diutarakan dalam an tiligkat I V nanti. Sesuai
^ mbitjaraan selandjutnja hal* jg. gkan ^
P
,W landasan kita bersama. q 1 • 1 11
jL g
.nendjadi
tinqkat I V akan dilandjutkan oleh Ba-
9la n SB ° t iau iT h T a S a T h S r r F r a k J kami ^ ^ e n d a p a . bahwa Panitya Chususlah janq lebih baik. Sebab menurut kenjataannja^ Bag ;an, B it u s u d a h terlalu berat bebannja sekarang. jang w alaupun sudah berkali-kali d,standby-
201
kan diw aktu reses, nam un lidak kurang dia mempunjai tunggakan jang tidak kurang dari 20 R U U jang belum diselesaikan. D an lagi dengan Panitya Chusus ini terbuka kesempatan luas untuk memasukkan tenaga- jang ahli ke~ dalam nja sehingga R U U ini dapat digarap lebih mendalam dan lebih tjepat sesuai dengan keinginan masjarakat jang memang haus kepada kepastian H u k u m dan Rule of Law jang djam inan objektifnja dapat dipantjangkan dalam kedua U U ini. U n tu k kesempurnaannja lagi kiranja tidak ada salahnja kalau Panitya Chusus itu melalui D P R - G R meminta pula pendapat 2 dari ka~ langan jang pasti berminat kepada R U U - R U U ini, seperti IK A H I jang baru sadja selesai dengan m usjaw arah kerdjanja, dimana R U U ini mendapat sambutan dan pembahasan jang serius. A tas perhatian D ew an kami m engutjapkan terima kasih. W a s s a la m u ’alaikum w. w.
202
D J A W A B A N P E M E R IN T A H A T A S P E M A N D A N G A N U M U M P A R A A N G G O T A DPR-GR BABAK K E D U A M E N G E N A I R U U T E N T A N G KETENTUAN-KETENTUAN
POKOK
KEKUASAAN
K E H A K IM A N D A N R U U T E N T A N G S U S U N A N . K E K U A S A A N D A N H U K U M A T JA R A MAHKAMAH
AGUNG
Pada tanggal 5 Desember 1968 Pemerintah telah m enjam paikan djaw aban atas Pem andangan Um um D P R - G R babak II mengena,i R U U tentang K eten tuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A gung. Pada saat jang bersamaan telah pula disampaikan D jaw aban Pem erintah atas Pem andangan Um um D P R - G R babak I mengenai R antjang an Undangundang tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um . 00)
Djawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum para Anggota D P R -G R babak kedua mengenai R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah Agung. Saudara Pim pipinan dan para A nggauta D P R - G R jang terhormat, D eng an penuh perhatian Pemerintah telah mengikuti pemandanganpem andangan Saudara-saudara Anggota D P R - G R jang terhormat pada tanggal 11 Nopember 1968, jaitu pemandangan umum babak kedua menge nai R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum Atjara M ahk am ah A g u n g serta pem andangan umum babak pertama tentang R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Um um . Perkenankanlah kami pertama-tama menjampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada para A nggota jang terhormat, jang dalam pem andangan umum babak kedua mengenai R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke kuasaan Kehakim an dan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H u k u p j A tja ra M ah k am ah A gung, telah lebih mempertegas lagi pendirian-pendiriann ja serta m elengkapi argumentasi-argumentasi bagi hal-hal jan9 dikem ukakan dalam babak pertama jang memberikan gambaran jang lebih djelas m engenai masalah jang kita hadapi bersama. Rasa terima kasih dan penghargaan kami sam paikan pula kepada para A nggota jang terhormat jang dalam pemandangan umum babak pertama mengenai R U U tentang Pengadilan dalam lin g kungan Peradilan U m um telah m enjumbangkan baik pertim bangan, saransaran, suggesti-suggesti, rekomendasi-rekomendasi terhadap materi jang diatur dalam R U U tersebut. Kesemuanja itu bahkan m enundjukkan kesungguhan dan rasa tanggung-djawab jang ada pada Saudara dalam m enanggapi persoatan-persoalan jang bersangkutan dengan Kekuasaan K ehakim an fang merdeka dalam segala aspeknja, dan konsensus jang hendak kita tjapai kira~
* •)
Keterangan Pemerintah mengenai RU tU tentfing Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um akan dlm uat dfllam penerbitan lain.
203
nja dapat diketemukan apabiia pandangan-pandangan jang bervaricties dan diversities ini dapat diperdjelas dan dipertegas, sehingga diiaksanakan suatu ,,interpenetration” jang merupakan suatu pcngcrtian berdasar atas rcspek terhadap perbedaan pandangan satu sama lain. Diversitas dan varitas dalam pandangan jang diperlegas dan diper djelas, dapat m ew udjudkan suatu ..interpenetration” jang merupakan suatu pengertian berdasar atas respek terhadap pandangan jang distinct satu sama lain. Respek terhadap pandangan lain kiranja tidak akan melahitkan suatu kritik jang "degenerend’’ ; maka tidak usah dimasukkan da'am katcgori krjtjk ini apa jang dikatakan "gewogcn en tc licht beponden” dalam Pandangan Um um . M a k a m endjadi tudjuan kita bersama untuk berunding dan bercinbug guna mentjapai suatu konsonsus jang dapat dipertanggung-d jawabkan. dengan menghargai pendapat clan pandangan lain, dengan menghindarkan diri dari pra-sangka terhadap suatu masalah dan dengan m endjauhkan diri dari penondjolan kontraversy-kontraversy dan kontradiksi-kontradiksi belaka. D engan tudjuan jang identik. dalam hal ini mentjapai suatu Kekuasaan Kehakim an jang merdeka, suatu konsensus jang hendak ditjapai. semoga bu kanlah chajalan belaka.
Pernjataan terima kasih dan penghargaan >ngin kami scrtai dengan suatu permintaan keredoan dari Saudara-saudara jang terhormat, agar supaja dalam menelaah persoalan-persoalan jang m ungkin dapat diluibungkan dengan Undang-undang D asar 1945 pendapat jang berlainan djanganlah sampai dikwalifisir sebagai suatu penjelewengan dnri U ndang-undang D asar belaka, djustru karena kwalifikasi menjeleweng dari U ndang-undang D asar dapat membawa suatu stigma jang tidak m udah dihapaskan. Saudara Pim pinan dan para A nggauta jang kami hormati. D jik alau kami diperkenankan sekedar m engadakan tanggapan mengenai beberapa persoalan jang tnmpaknja menarik perhatian Saudara-saudara jang terhormat, maka pertama ingin kami njatakan terima kasih dan penghargaan terhadap pengertian jang ditundjukkan oleh para A nggauta jang terhormat dengan mempertimbangkan bahw a hal-hal demikian paint mendapat penelahan jang mendalam dan seksama dalam pembitjaraan-pcmbitjaraan dan lingkatan penjelesa:an, tanpa memotong segala pertukar pikiran dalam tingkatan pem bitjaraan sekarang. Selandjutnja, tak terhindarlah kita dari suatu kesan, seolah-olah masalahmasalah jang kita hadapi bersama dan d :djadikan focus jang kelihatannja mendapat perhatian setjara spektral dan dilihat dari satu sudut jang kemudian m em antjar pada masalah lain, tanpa melihat ni dalam hubungannja dengan lembaga-lembaga negara lain, seperti dengan Executive dan Legislative. K am i harapkan, semoga Saudara-saudara jang terhormat dapat mengikuti suatu maxiim umum, jang melihat adanja suatu prinsip ,,pembagian kekuasaan, sesuai dengan prinsip demokrasi, dalam hal ini dengan demokrasi Pantja Sila dan melihat lial tersebut sebagai bagian dari Negara H ukum , Negara ’’Rule of Law ” jang modern. 204
Pembagian kekuasaan tidak usahlah m enimbulkan persoalan "separation of power , separation des pouvoirs” dalam bentuk aseli dan extreemnja, jang mcngharuskan adanja suatu isolasi. seo!ah-olah ada suatu ’’w all’' antara tiga kekuasaan jang kita kenal. Kita mengetahui. adjaran Montesquieu bahwa ’’separation des pouvoirs*', jang disertai dengan suatu ketentuan, bahwa pouvoir itu harus diserahkan kepada orang jang bcrsangkutan. tidak sesuai dengan kehidupan dan kenjataan hukum. Bagaimana djuga, dalam pengertian jang luas, prinsip bahw a kekuasaan-kekuasaan itu harus ditangan jang berbeda-beda, dalam ’’distinct hands dan tidak diletakkan dalam satu tangan, jang dapat m enum buhkan accumulasi atau conccntrasi kekuasaan dalam satu tangan um um nja diterima oleh constitusi- modern. D an salah satu maxim dari constitutionalisme ada lah,, bahwa Pengadilan itu harus bebas dari pengawasan, pengaruh atau tjam pur tangan dari kekuasaan lain. Karena itu, pembagian kekuasaan antara Lem baga Negara, adalah sesuai dengan demokrasi Pantja-sila dan m erupakan bagmn dapi sebuah Negara H ukum , jang menganut ’’R ule of Law ” . D engan mengakui, bahwa pembagian kekuasaan jang disjaratkan oleh suatu Negara H ukum jang demokratis, adalah inherent dalam kehidupan hukum kita, maka ’’Judiciary", M ahkam ah A gung chususnja akan m endapat sorotan jang berlainan. apabila kita mampu melihat hubungan hukum kita maka ’ Judiciary’’. M ahkam ah A g ung chususnja akan mendapat sorotan jang berlainan, apabila kita mampu melihat hubungan M ahkam ah A g u n g dan Lembaga-lembaga Negara lain dan tidak menindjau kedudukan dan wewe nang M ahkam ah A g un g setjara restriktif tanpa melihat keluar batas-batasnja. Dem ikian misalnja, apabila kita melihat persoalan peradilan adm inistratif sebagai salah satu lingkungan peradilan ataupun persoalan ’’toetsingsrecht” jg. m endapat perhatian djuga, maka perlu kita lihat "Judiciary” itu dalam hu~ bungannja dg. Executive ataupun Legislative, oleh karena peradilan adminiistra tif dan ’toetsing” iitu pada hakekatnja merupakan suatu "judicial review’ ter hadap ..Executive” dan terhadap "Legislative A ct” . A dalah djelas pula bahw a suatu ’ interference” dari Executive ataupun dari Legislative terhadap Judi ciary” dalam mendjalankan tugasnja adalah terlarang, dan dengan dem ikian dilarang ’’Executive” dan ’’Legislative review’’ terhadap ’’Judicial act” sehingga ia dapat menimbulkan persoalan, bagaim anakah terdjadi hal kebalikannja, jaitu suatu ’’judicial review” terhadap ’’Executive” dan ’’Legislative A ct” . Suatu "judicial review " terhadap ’’Executive A c t’’ dan ’’Legislative A c t” menimbulkan masalah Pengadilan A dm inistratif, masalah ’’toetsingrecht” dan m enggam barkan hubungan Judiciary, Executive dan Legislative, jang dihadapi dengan pemetjahan jang berbeda-beda, dengan systeem Perantj.is dan A m erika sebagai gradasi dan type jang berhadapan satu sama lain, dengan Inggris sebagai systeem intermediate. Kesemuanja itu m ew adjibkan kita untuk menentukan suatu ’’positie-bepaling” , dengan condisi atau situasi jang ada pada kita, bagaim anakah kita melihat ’’Judiciary’’ atau ’’Judicial P o w er” dalam hubungannja dengan "Executive’’ dan ’’Legislative” . Saudara P im pinan dan para A nggauta jang kami hormati, L ingkung an Peradilan Adm inistratif adalah salah satu d ari em pat ling-
205
kungan peradilan jang diakui oleh R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jalah Peradilan Unnim. Agama, Militer dan Tata Usaha Negara tersebut, jang kemudian menimbulkan pcrsoalan apakah peradilan-peradilan tersebut berpuntjak atau tidak pada Mahkamah Agung. Dari pembitjara-pembitjara jang terhormat umumnja terlihat adanja pandangan, bahwa disamping ada peradilan umum masih terdapat lingkungan peradilan lain, meskipun ada jang berpendapat, bahwa djumlah lingkungan peradilan itu perlu dikurangj. A kan tetapi, apabila sudah kita memasuki persoalan, apakah Mahkamah Agung itu mendjadi puntjak atau harus kita lepaskan gagasan Mahkamah Agung sebagai puntjak, maka dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi bermatjam-mat jam, ataupun kadangkadang disertai dengan "’moods" dan "emotions’’, hendak dibenarkan kesimpulan-kesimpulan jang dikemukakan dalam masalah tersebut. Pemerintah ingin menjatakan penghargaan atas tambahan-tambahan argumentasi-argumentasi dan considerasi-considerasi jang kesemiianja itu memberikan gambaran jang lebih djelas mengenai pertimbangan-pertimbangan Saudara jang terhormat untuk menudju kekesimpulan jang dikchcndakinja. Chususnja ingin kami sampaikan terima kasih kepada para anggauta jang masih memerlukan pembitjaraan mengenai masalah jang tjukup penting ini dalam tingkalan-tingkatan pcnjelcsaian lebih landjut dan dengan demikian tidak memotong a priori landjutan tukar pikiran mengenai masalah ini jang sungguh diperlukan. Pada saat sekarang, Pemerintah ingin membatasi diri pada suatu kenjataan, bahwa tidaklah tertutup kemungkinan bahwa putusan-pulusan dalam tingkat terachir dari Badan-badan dalam lingkungan peradilan-peradilan ditundukkan pada pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung. Apakah kemungkinan demikian merupakan ketentuan jang harus dipcnuhi ataukah ia sekedar merupakan suatu kesempatan jang diberikan bagi masing-masing Badan dalam lingkungan peradilan, adalah suatu hal jang kiranja dapat diselesaikan dalam pembitjaraan pada tingkatan-tingkatan lebih landjut. Seterusnja kami persilahkan pada evaluasi Saudara-saudara jang terhor mat, apakah kemungkinan untuk memusatkan segala pemeriksaan kasasi dari Badan-badan dalam masing-masing lingkungan peradilan ditangan Mahkamah A gung fungsionil mendjadikan M ahkamah A gung sebagai Badan Peradilan jang memegang pimpinan tertinggi dalam kesatuan hukum. Dengan demikiaa dapat dihindarkan pembitjaraan tentang puntjak atau tidaknja Mahkamah Agung seperti halnja dengan Undang-undang No. 19 tahun 1948, sedangkan setjara rieel ada kemungkinan bahwa Mahkamah Agung sebagai Hakim kasasi memegang pimpinan dan memusatkan pada dirinja suatu kewenangan memeriksa dalam tingkatan kasasi segala perkara jang diadjukan kepadanja. Undang-undang No. 19 tahun 1948, jang mengakui adanja beberapa lingkungan peradilan dan jang menentukan Mahkamah Agung sebagai top dari Peradilan Umum, tidak menjinggung persoalan puntjak Mahkamah Agung dari lingkungan peradilan lainnja. sedangkan masalah ini dimulai de ngan Undang-undang No. 19 tahun 1964 dan Undang-undang No. 13 tahun 1965 dan sebagai konsekwensi reactif dikemukakan lagi dalam pembitjaraan di D P R - G R ini. Kami mohon perhatian Saudara-saudara jang terhormat ~ mungkin berkelebih-lebihan — , bahwa Pengadilan Tertinggi di Perantjis dinamakan ” C our de Cassation” .
206
D eng an demikian pula, maka keinginan pad a sementara anggauta jang terhormat, agar supaja M ahkam ah A g un g — apabila ia dipandang sebagai puntjak dnri segala peradilan memiliki kamar-kamar, kam ar agam a, militer dan tata usaha negara. dapat terw udjud dalam sebuah organisasi jan g intern sifatnja dan jang kurang pada tempatnja untuk diatur dalam U n d a n g 2 jang kita hadapi sekarang. Penghargaan ingin kami sampaikan kepada Saudara-saudara jang ter hormat, jang dengan segala kesungguhan telah m endalam i pendjelasanpendjclasan jang diberikan oleh Pemerintah mengenai persoalan ini. S uatu penghargaan jang ingin kami sertai dengan suatu perm intaan, agar supaja kami diperkenankan untuk menghilangkan kesan jang ditjapai oleh Sdr. S. N ain gg o lan S H , Sdr. F .X . Soedijono S H dalam m enghadapi persoalan ini. Ing.in kami tegaskan. bahwa mengenai hubungan antara Peradilan T erp im pin dan telah dilcpaskan gagasan M ahkam ah sebagai puntjak dari segala per adilan. kami sekedar membatasi d iri pada suatu keterangan, jang m enjatakan : ..Ketentuan dahulu sewaktu M ahkam ah A gung masih dipandang sebagai p untjak semua peradilan, U m um , Tata-usaha N egara, militer dan A g am a, m em punjai latar belakang keinginan untuk m enundjuk kearah pe rad ilan ter pim pin, jang sekarang tidak dipertahankan lagi’’. K am i m ohonkan perhatian, bahwa latar belakang dari ketentuan bah w a M a h k a m a h A g un g. adalah puntjak dari semua peradilan dalam U n d a n g 2 lama, adalah keinginan untuk menudju kearah peradilan terpimpin, jang kem udian m endjelma dalam U ndang-undang N o. 19 tahun 1964 dan U ndangundang No. 13 tahun 1965. Kami m ohonkan perhatian pula, kami mengatakan, bahw a M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak dari semua peradilan itu berarti pelaksanaan dari g a gasan peradilan terpimpin, sehingga ia menutup kem ungkinan adan ja per adilan bebas. seperti tam paknja dikemukakan oleh Sdr. F .X . Soedijono S H dan N j. S aljo S H . D eng an mengutip kata-kata M enteri K ehakim an hendak d.igambarkan, bahw a ada suatu keinginan untuk m engintrodusir peradilan terpim pin jang kurang acceptabel itu dan jang menurut Pemerintah dahulu kem udian d iw u djud kan dalam U ndang-undang N o. 19 tahun 1964 dan U ndang- undang N o. 13 tahun 1965 itu. K am i persilahkan Saud ara-sau d ara jang terhormat F .X . Soedijono S H .. Sdr. N a in g g o la n S H untuk mengemukakan pand ang annja sendiri mengenai peradilan terpimpin, jang pada hakekatnja dan tidak sem uanja jang dari dahulu itu tidak usah kurang baik adanja, akan tetapi pengertian tentang per adilan terpim pin dahulu, jang kemudian direalisasikan dalam ketentuan pu ntjak p ad a M a h k a m a h A g u n g , adalah djelas kurang dibenarkan. A d a la h hak Saudara-saudara untuk mengemukakan pand ang an m engenai peradilan terpim pin tersebut. M a k a , ing in kam i m ohonkan dapatnja dihilangkan kesan, seolah-olah ketentuan M a h k a m a h A g u n g sebagai puntjak dari semua peradilan itu dengan sendirinja h a n ja m em ungkinkan pelaksanaan peradilan terpim pin d a n ” uitsluitcn” suatu peradilan bebas.
207
If
II— '
Keterangan Pemerintah dahulu sekedar mengambarkan background dan tertjiptanja ketentuan diatas, jang didorong oleh suatu keinginan supaja di introdusir adanja peradilan terpimpin. Selandjutnja, apabila dikemukakan sebagai tjontoh illustratif Amerika Serikat, dimana Supreme Court itu djuga dipandang sebagai puntjak dari peradilan militer. seperti dikemukakan oleh Sdr. F.X. Socdiono SI I dengan mengutip Sdr. Tasrif SH, kami minta diperkenankan untuk mcmpersoalkan kebenaran dari kesimpulan demikian dengan mengingat apa jang dikatakan bahwa : "Court of Military Appeals’’, which sits at the top of the military coart hierarchy’’, bahwa ’’Court of Appeals” itu dalam lrVrarchy dari military courts adalah puntjaknja. Seterusnja dinjatakan bahwa Supreme Court belum menjatakan dengan djelas "the exact extent” dari peradilan umum untuk mengadakan ’’reviuw’’ putusan'-' dari pengadilan- militer. akan tetapi ia menundjukkan, bahwa kekuasaan peradilan umum it.u adalah "exceedingly limited’’ ("Government by the People” , oleh James Mac Gregor Bums — Jack W alte r Peltason, halaman 497). Tjontoh dari Amerika Serikat tersebut djustru tidak mendjelaskan kedu dukan Mahkamah Agung disana sebagai puntjak dari Peradilan Militer ; karena itu, ia s>ukar dapat diterapkan terhadap tudjuan pembitjaraan jang hendak ditjapai oleh Sdr. tersebut. Gambaran seolah-olah dimungkinkan adanja 4 Mahkamah Agung satu bagi masing- lingkungan peradilan, seperti digambarkan oleh Nj. T. Harahap S H , kiranja kurang mengikuti kenjataan, apabila diingat bahwa tiap peradilan, umum, administratif, militer dan Agama masih diberi kcmungkinan untuk menjerahkan pemeriksaau dalam tingkatan kasasi kepada Mahkamah Agung, sehingga terbaka kemungkinan, bahwa Mahkamah Agung itu adalah penguasa satu-satunja untuk melakukan pemeriksaau perkara daiam tingkatan kasasi. Saudara pimpinan dan para anggota jang kami hormati, Perkenankanlah kami mengenai M P P H (Madjelis Pertimbangan Pene litian H akim ), untuk menggambarkan sekali lagi Badan tersebut sebagai suatu rangkaian badan jg. ikut serta dalam mempertimbangkan persoalan pengang katan pemberhentian, kenaikan pangkat, pemindahan dan tindakan/hukuman administratif terhadap para Hakim. Adalah djelas pula bahwa Mahkamah A gung sebagai Judiciary disini di-incorporasikan dalam sebuah Badan dinamakan M P P H , jang berwenang memberi pertimbangan2 dalam soal- pengangkatan, pemberhentian dan lain2 para Hakim, jang kemudian mendapat keputusan final dari Executive jang berwenang dalam soal2 tersebut. M aka Badan M P P H tersebut ,,inschakelen’’ M ahkamah A gung dalam mengadakan ’’cooperation, consultation ataupun dalam memberikan consentnja dengan Presiden sebagai Kepala Executif atau badan executif lainnja. Djikalau kita dapat menerima prinsip tersebut, maka persoalan ’’scope dari kewenangannja, composisinja, sifat badan tersebut sebagai non-govern mental atau tidak, sifatnja dari pertimbangan2nja, apakah ia merupakan ke putusan terachir ataupun sebagai advisory belaka, merupakan hal2 jang dapat kami adjukan dalam pembitjaraan2 lebih landjut. 208
i
D alam hal ini adalah menarik perhatian bahw a chususnja dalam composisi, apakah ia dikurangi atau ditam bah, perlu agar supaja badan tersebut memperlantjar penjelesaian hal- adm inistratif kepegawaian dengan mendjauhkan pengaruh- jang tak diinginkan dalam soal pengangkatan dan lain 2 itu. H a n ja kita berhadapan dengan suatu gagasan, bahw a bagaim anapun djuga M ahkam ah A gung disini dimasukkan dalam suatu badan, dinam akan M P P H tersebut. perlu di-inschakelen dalam soal2 pengangkatan, pemberhentian dll., para H akim , dalam ’’cooperationnja” consultationnja dengan P e d ja bat jang benvenang dalam hal ini. jalah Executive. Saudara pim pinan dan para anggota jang terhormat, B erhubungan erat dengan persoalan M P P H ini, jang bergerak d a l a m s o a l2 kepegawaian, seperti pengangkatan, pemberhentian, kenaikan pangkat d l . p a ra 'H a k im , maka kiranja persoalan organisasi/adm im strasi/f.nancieel d a n M ahkam ah A g ung dalam hubungannja dengan Lembaga- N egara l a i n n j a . se perti Executive ataupun L e g is la tiv e sudah sew adjarnja m endapat perhatian dari Saudara- anggota jang terhormat Sdr. Soegiarti W ir jo a i jo , r F .X . Soedijono S H . Sdr. Soegiarti W irjo h a r d jo S H jang terhormat dengan tegas inenolak adan ja dualisme d i Peradilan LImum dan m e n g h e n d a k i agar era 1 . . . , w ah pim pinan M ahkam ah A gung, technis, organisatoris. diinuns a f dan financieel, sedangkan P e r a d il a n A gam a dan Peradilan aJ a dibaw ah M ah k am ah A g u n g s e d a n g k a n o r g a m s a t o n s , adm.n.strataf dan fin a c ie e l a d a d ib a w a h k e k u a s a n m a s in g - D e p a r te m e n .
Sdr. F .X . Soedijono S H jang terhorniat
SST^
^ r ^ S
L
S
l S
-
L
n
^ n
a
j
segi technisnja semua ber-
puntjak kepada M ahk am ah A gung. O le h karenanja kami “ en? h afaP | 3 '™ tju k u p ichlas u n t u k ^ Soedijono S H . ” agar Kehakim an. in conm u s a t k a n s e lu r u h b a d a r r p e n g a 1 . . o r g a n i s a to r is , a d m in is t r a t if serc r e to D e p a r t e m e n K e h a k im a n , m e i i f 9 ^ b c r p u n t j a k k e p a d a M ahta f in a n c ie e l, s e d a n g m e n g e n a i se g i teenn.
)
k am ah A gung”.
Peletakkan segi ° r9anisatorJ \ ^ a k i ^ adilan dibaw ah D e p a r l t e m e kk a£}a M ahk a m ah A g u n g , dipan dan g Soed.jono S H technisnja J .-noodzakelijk k w aad ” jang pa-
C m f „ 7 m ^ n H ^ r k “ e n a a fa S = h l,o rU ketentuan demikian dapa, d.terimanja. Perkenankanlah kami dalam h u b u n g a n ini mengemukakan lagi Djawaban Pemerintah atas Pandangan Umum Babak ketiga, ,angdenganpersetudjuan Saudara2 jang terhormat akan disertai dengan pendjelasan lebih landjut. 209
Kami diperkenankan lebih dahulu mengemukakan kurangnja pengertian kepada kami, dimana ada kechawaliran adanja dualismc dalam hal ini nu:ngkin jang dimaksudkan penjelcnggarnan administrasi. organisasi dan keuangan oleh Departemen Kehakiman (Executive), scdangkan technis Pengadilan- adalah dibawah Mahkamah Agung. akan tetap: tidak ada kechawatiran pengang katan ataupun pemberhentian dilakukan o'ch Presiden. jang pada hakekatnja adalah ’'Chief Executive" djuga. sehingga dalam hal demikian hakekatnja persoalan- administrasi kepegawaian itu dilakukan oleh Executive djuga, sedangkan setjara technis Pengadilan'1 dip;mpin o'eh Mahkamah Agung. Adalah suatu hal jang telah diterima o'ch konscp ”1 he Rule of Law’’ dalam kongres di New Delhi, jang mcnghimpun pandangan. condusi-nja dalam "The Ru!e of Law in a free soe'ety" bahwa ada bahaja potentieel dalam suatu pengangkatan exclusif oleh Badan Legislative. Executive ataupun oleh ’’Judiciary’’ belaka dan bahwa dalam pengangkatan dan pemberhentian Hakim chususnja baik dalam Hukum maupun dalam praktcknja tcrdapat coopera tion” atau setidak-tidaknja suatu "consultation" antara ..Judiciary" dan pe nguasa jang berwenang dalam hal pengangkatan- tsb. Kata salah satu conclusi dari International Commission of Jurist tersebut. sewaktu membahas hubung an antara ’’Judiciary" dan "Rule of Law " antara lain : 'there are also po tential dangers in exclusive appointment by the Legislative, Executipe or Judi ciary. and where there is on the whole general satisfaction with lhe calibre and independence of judges it will be found hat either in law in practise there is some degree of cooperation (or at least consultation) between the Judiciary and the authority actually making the appointment". Melihat kesimpulan demikian, jang sungguh mqrupakan refleksi dari systeem "check and balances" dalam "R u e of Law " maka kami melihat ke inginan Sdr. Soegiarti S H agar supaja Pengadilan umum dibawah pimpinan Mahkamah Agung. technis, organisatoris. ndministrat'f dan Lnancieel kurang dapat dibenarkan oleh konscp "Rule of Law ’’ tersebut. Chususnja soal- organisator;s, administratif jang mengenai pengangkatan. pemberhentian. kenaikan pangkat dan lain-lain ha! jang bersangkutan dengan personalia Pengadilan, dapat menimbulkan "potential danger" apabila ia dilakukan setjara exclusif oleh Mahkamah Agung sendiri, sama halnja apabila diselenggarakan oleh Executive sadja. Ia memerlukan suatu "cooperation, consultation atau con sent dari dan antara Judiciary" dan penguasa jang berwenang dalam hal ini. Suatu cooperation, consultation ataupun consent mensjaratkan adanja kerdja gerak bersama antara badan-badan bersangkutan dalam soal-soal pengangkatan, pemberhentian dan lain-lain soal administratif kepegawaian, sehingga ’’dualisme jg. dichawatirkan itu pada hakekatnja tidak dichawatirkan oleh Rule of Law. apabila kita mengartikan dua'isme tersebut, sebagai suatu inchakeling dari satu badan dalam a it i bahwa soal pengangkatan jg. dilakukan oleh Badan lain. Dualisme dalam arti bahwa soal pengangkatan itu diletakkan dalam satu tangan setjara exclusif, sedangkan peranan dari badan lain itu didjauhkan, memang tidak dapat dibenarkan. Oleh karcna itu, dalam soalsoal pengangkatan. p e m b e r h e n t i n , kcnaikan pangkat dan lain-lain, Mahkamah Agung dalam hal ini dimasukkan dalam M P P H — . di-inschakc!en pula dalam rangkaian pengangkatan dan lain-lain, jang pada achirnja dilakukan Execu tive. Dalam hubungan ini pula, maka penjelenggara administrasi dan lainlain oleh Departemen sebagai suatu ’’noodzakelijk k w aaa” jang ’’minim” tidak sesuai dengan prinsip daxi ’’Rule of Law ” tersebut, jang dalam hal ini meng adakan suatu ’’cooperation” , "consultation’’ atau minta consentnja dari M a h kamah Agung (dalam M P P L I ) . 210
Saudara P im pinan dan para A nggauta jang kami hormati. Persoalan ’’toetsingrecht” , apakah ia diserahkan kepada M a h k a m a h A g u n g atau tidak, mendapatkan perhatian pula dari beberapa nggau ‘ Socgiarti S H . S dr. N ainggolan S H . Sdr. Zain Badjeber dan bdr. r . £ . Soedijono S H . dengan mengemukakan argumentas'. jang erma benarkan kcsimpulan-kesimpulan jang ditjapai. ^ Scbaliknja a p a b ila dari Pemerintah ada a 1a s a n - a 1a sa n n j a u n tu k m e n j^mpulkan, mempcrkuat kesimpulan jang d it e t a p k a n o .e h K p ... hadapi b e ra a L ini. ...aka sekirnnja argument.™ demikian dapat d,d,ad.kan buah pcmikirun pula dari Saudara-saudara jang t e r h o r m a t. Pem crintali dalam djaw aban atas P e m a n d a n g a n U m um kan alasan-alasan apakah jang dapat d i p e r g u n a k a n untuk n ’’Toetsingsrecht’’ tidak diberikan kepada M a h k a m a h A g un g.
n ^ h lh w a
y
Prof. Dr. Soepomo SH jang mengikutf dari^
ta n
penjusunan ketiqa-tiga U ndang-undang D asar j J v m pR S No X IX / jang dikutib oleli S audara N ainggolan S H dan Kete apan M P R S N ^ X I X / M P R S / 1966 adalah alasan-alasan jang dapat m entjapai K ita belum m empertimbangkan. apakah ^ e^ tl\ kad^ 9aJ e rsoalan ^"toe tN egara Kesatuan itu m em punjai effect atau ti a er ,,toets-,ngsrecht” tersebut singsrecht” sedangkan aspek pengalaman dalam patut m endapat perhatian kita. b u k an lah ” uit A p a b ila dikatakan dalam djaw aban M a h k a m a h Agung> den aard der zaak toetsing itu m endjadi tug p j_ita sebagai N e g a ra maka hal dem ikan berhubung dengan b jn tu 9 ‘ memberikan keweKesatuan, jang tidak dengan sedirinja tidak a u t o m a t is nan gan tersebut kepada M ahkam ah A gung. Kesatuan, hak mengM e n u ru t struktur dan bentuknja sebagai Negar ^ u dji tersebut norm aliter. ” uit den aard der zaa dalam m asalah in i M a h k a m a h A g u n g . K e d u d u k a n s e b a g a i * N e a a r a S e r ik a t , N e g a r a agak berlainan dengan suatu N egara jang er e Udukan K onstitusinja Federal, jang l e b i h mudah-menurut struktur dan k e d u . s u a t u permemberikan kew enangan tersebut kepada H ak im untuk m engud, aturan. D isam p ing itu, persoalan toe* ^ 9 sr*c • ^ L egislative, apabila m enggam barkan adanja hubungan a J\ ’’judicial review” terkita hendak m elihat persoalan tersebut se= 9 . j h -’Legislative review” had ap ’'Legislative A c t” sedangkan kebal.kannja, ialah 9 terhadap ’’judicial act” tidak dibenarkan oleh Rule ot L A s p e k p e n g a la m a n
in ila h
Jan g
ta m p a k n ja ^ h e n d *
m e n g g a m 'b a r k a n
a d ^
nja suatu ’’judicial review terbatas pada so u prcam a-sama D P R - G R u n tu k karena perintah M P R S kepada Pemerin a Pem res, kem udian semua m engadakan penindjauan kembali semua ^n ~»cUdah Decreet Presiden 1959, U n dang - u ndan g dan Perpu jang d i t 1t ^ d kem ukakan oleh jang didjadikan motif utama M P R S No. X IX
^ p | s X/.9 S6°6ed,'!d0ank nurut paham kami "review", teotsing apakah suatu Undang-undang
S
211
tentangan dengan U ndang-undang D asar, ini diserahkan kepada Pemerintah bersama-sama dengan D P R - G R oleh T A P tersebut. Pengalam an dari negra-negara jang mengenai adanja suatu ’’judicial review” , seperti di A m erika Serikat. djustru m cm m djukkan. bahwa dalam soal "jud ic ia l review’’ tersebut para Justices Supreme Court t:dak sadja ber tin dak sebagai ’’technician’’ belaka. melainkan dilihatnja Ilakim -hakim tersebut sebagai “ politician'’, apabila dalam m engadakan "review '’ tersebut H a k im itu akan memasuki lapangan penafsiran U ndang-undang Dasar, jang tidak dapat dihindarkan olehnja. Kam i m inta diperkenankan untuk kelak-djika d ’.kehcndaki-dalam pembi tjaraan lebih landjut. memberikan pendjeiasan- lebih landjut djika dikehendaki mengenai peranannja H ak im sebagai "politician” , apabila ia menghanteer kew enangannja m engadakan ’’review” dan m engadakan toctsing ; pe ranannja sebagai ’’politician’’ digam barkan djelas oleh Justice Frankfurter, bahw a seseorang tidaklah patut m enduduki tempat di Supreme C ourt, ketjuali djika ia adalah suatu ncgaraw an jang construktif. dalam arti jang lebih tingeji dan utama seorang politician. Pengalam an i'u pula m cnundjukkan, bahw a "jud icial review " tersebut jang m endjadikan dengan isti'ah mereka sendiri’ ..The Suprem e C o u rt becomes a superleg slature” . Pengalam an itu lagi. jang menge’uarkan utjapan dari Jackson mengenai Suprem e C ourt :
Just ce
K otert H .
’’T his Court has repeately overruled and thw arted both the Conggress and the Executive. It has been in ang ry collision with the most dynamic and populer Presidents in our history. Jefferson retaliated with impeachment; Jackson denied the C ou rt’s authority; A braham Lincoln disobeyed a wri of the C hief Justice; ... W ils o n tried to liberalize its membership and F ra n k lin D . Rosscvelt proposed to ’’re organize’’ it. Ia m enundjukkan pula, bahw a ’’judicial review" jang ada ditangan Supreme C ourt tersebut m enim bulkan bentrokan2 dengan Presiden ataupun Congres, sehingga systeem demokrasi di A m erika m entjapai suatu compromi pragmatis antara keinginan untuk memberikan kebebasan para H akim dan keinginan untuk m engadakan "political checks” terhadap ’’policy m aking activities’’ para hakim, jang bergerak dalam bidang "judicial review” tersebut. D alam m em pertim bangkan m ungkin atau tidaknja jud'cial review itu di serahkan kepada M a h k a m ah A g u n g , maka pengalaman- tersebut jang belum kita miliki, patut m endapat perhatian kita. P ad a hakekatnja ia m enggam barkan hubungan antara M ah k am ah A gung, Legislative dan Presiden, jang m erupakan ,,fam iliar pattern’’ tentang pemba gian kekuasaan dalam alam demokrasi. S a ud a ra P im pinan dan para anggauta jang kami hormati, P ada tingkatan lebih landjut, perkenankanlah kami untuk mengalihkan pem bitjaraan mengenai beberapa persoalan jang chusus m enghubungkan D PR (G R ) dengan Pengadilan2 seperti suatu ketentuan mengenai peradilan ang gauta D P R - G R dan lain- dalam tingkatan pertama dan untuk delik2 tertentu oleh M a h k a m ah A g u n g , sematjam ’’forum previligiatum ” , seperti diadjukan oleh Saudara2 A ng g auta, jang terhormat M u stafa Supangat, Sjaefullah S H , •^dr. N aingg o lan S H , ataupun tin dakan2 protocoler jang ditudjukan antara la
212
in terhadap A nggauta 2 D P R - G R , jang diadjukan oleh N j. Saljo S H . dan lainlainnja. Beberapa saran dikemukakan oleh para A nggauta jang terhormat N j. Saljo S H , Sdr. Sjaefullah S H . untuk mengikutkan pada 3 R antjangan U n d a n g 2 jang kita hadapi bcrsama R U U tentang H ukum A tjara Perdata dan H u k um A tja ra Pidana, jang bahkan disertai dengan suatu saran agar supaja si'fatnja ada lah accusatoir. D engan menjatakan terima kasih atas saran tersebut dan dengan tidak mendahului apakah sifat H ukum A tjara Pidana jang m engandung beberapa aspek itu, accusatoir atau tidak sifatnja, maka dalam hubungan dengan ketiga R U U ini jang mendjadi tilik central adalah peranan dari H ak im dalam rangkaian proces pidana, actif atau pasifkah, disamping ada ketentuan 2 mengenai hak- azasi dari orang tertuduh ataupun dari pedjabat jang bersangkutan. Saran-saran Saudara jang kami hargai tam paknja sedjalan dengan Pe merintah. jang pada saat sekarang dan sebelumnja telah m engadakan pengolahan terhadap kedua R U U tersebut mengenai H ukum A tjara Perdata dan H ukum A tja ra Pidana. D an bahwa R U U tentang Ketentuan 2 Pokok K ekua saan Kehakiman itu patut disenafaskan dengan Undang- Pokok K edjaksaan dan Kepolisian, seperti dikemukakan oleh N j Saljo S H , Sdr. N ain gg o lan S H , adalah suatu hal jang patut mendapat perhatian kita semua, djustru karena Polisi, D jaksa dan Hakim diletakkan dalam suatu rangkaian tugas-kewenangan disuatu proces pidana. Pertim bangan 2 mengenai Pengadilan Landreform jang dikem ukakan a n tara lain oleh Sdr. Zain Badjeber, N j. Saljo S H , kiranja dapat kami djaw ab dengan disampaikan R U U tentang Penghapusan Pengadilan Landreform de ngan amanat Presiden tanggal 2 Nopember 1968 kepada D P R - G R dengan disertai penghargaan kami atas kesungguhan Saudara- mengenai persoalan Pengadilan Landreform. Perhatian para A nggauta jang terhormat Sdr. Soegiarti S H , N j. Saljo S H , Sdr. M alikus Soeparto S H , Sdr. Z a in Badjeber dan lain 2 terhadap para H akim , pula jang berhubungan dengan kesedjahteraan para H akim m engan dung harapan, jang semoga dapat berwudjud dalam anggaran B elandja jang ikut ditetapkan oleh Saudara-saudara. Perhatian jang ditundjukkan oleh Pemerintah terhadap para H ak im an tara lain berw udjud pada suatu tundjangan chusus untuk para H akim , sesu atu tundjangan jang menjamakan setiap H akim dengan seorang Kepala U n it, suatu inpassing satu tingkat lebih tinggi dari pada pegawai. lalnn ja hing g a tingkat tertentu dan lain2, jang kesemuanja itu harus bergerak dalam rangka kemampuan keuangan Negara. Saran N j. Saljo S H tentang perlunja penerbitan mengenai kum pulan p u tusan 2 Pengadilan mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnja. D em ikian kami menjambut dengan gembira saran Sdr. Malikus^ Soeparto SH. mengenai toga sebagai decorum dan symbol lari ’’dignity bagi p a ra H ak im , jang sekarang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah.
213
M engenai pertanjaan Sdr. Z e in Badjeber tentang djum lah N egeri dan Hakim -nja dapat kami terangkan sebagai berikut : D ju m la h D aerah T in g kat II Dj-umlah Pengadilan Negeri D ju m la h H akim Pengadilan Negeri D ia n ta ra n ja jang sardjana Jang bukan sardjana D a p a t ditam bahkan pula : D ju m la h D aerah T ingkat I D ju m la h Pengadilan T ing gi
D ju m la h H akim Pengadilan T inggi Jang sardjana Jang bukan sardjana
Pengadilan
280 230 1.548 735 813 26 11 ( + 3 janq D P R -G R ). 78 64 14
telah/dibahas
Sesuai dengan pandangan Sdr. Zein Badjeber, maka Pemerintah bersama2 dengan M ahk am ah A g un g telah mengambil ketentuan. agar supaja ke pada para H akim jang belum sardjana diberi kesempatan untuk ditempatkan dikota U niversitas supaja mereka dapat m entjapai gelarnja. M engenai Panitia A n ta r Lembaga Negara, sebagaimana dimaksud oleh A ng g auta jang terhormat Sdr. Sudijono S H dengan mengutip dari M em oran dum IK A H I , perkenankanlah kami mengemukakan bahwa Panitia jang dibentuk oleh Presiden adalah Panitia Interdepartemental, jang kemudian mendjelma m endjadi Panitia N egara menurut Keputusan Presiden N o. 271 tahun 1967. Saudara P im pinan dan para A nggauta jang kami hormati. P ada achirnja, setelah kami ulangi terima kasih dan penghargaan atas saran2, recomendasi2, pertimbangan- dan suggesli jang diadjukan dalam Pem bitjaraan mengenai R U U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim an, R L IU tentang Susunan Kekuasaan dan H ukum A tjara M ah k a mah A g u n g dan R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , maka sudah saatnja kiranja apabila kami harapkan, semoga panda ngan, pendjeiasan dan penegasan kami dapat memberikan gambaran jang agak lebih terang kepada Saudara-saudara, jang dengan segala kesungguhan m enghadapi masalah jang m enjangkut dengan Kekuasaan Kehakiman. P ad a hakekatnja, ada suatu identitas dalam tudjuan kita, jaitu menegak kan Kekuasaan K ehakim an jang merdeka. Sekian dan terima kasih.
214
BEBERAPA PA N D A N G A N M E N G E N A I R A N T JA N G A N U N D A N G - U N D A N G T E N T A N G K E T E N T U A N - K E T E N T U A N P O K O K K E K U A S A A N K E H A K IM A N A
SEM IN A R H U K U M N A S IO N A L I<E II T A H U N 1968 D I SE M A R A N G .
Pada tanggal 27 Desember 1968 sampai dengan tanggal 30 Desember 1968 di Semarang diadakan Seminar H ukum Nasional jang kedua. Seminar tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan H ukum Nasional. Adapun thema dari Seminar tersebut adalah ’’Pelaksanaan N egara H u k um ber dasarkan demokrasi Pantjasila". Thema ini dibahas melalui empat prasaran, dan salah satu prasaran adalah prasaran ke II jaitu ’’M enegakkan Kekuasa an Kehakiman jang bebas’’ oleh Sdr. Z. Asikin Kusumah A tm adja S H . Adapun pembahasnja adalah :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prof. Oemar Seno A d ji S .H . Soeiijono Darsosentono S .H . Kol. C K H A . Tam bunan S .H . Sugiri Tjokrodidjojo S .H . D jam aluddin D t. Singo M angkuto S .H . Prof. M ahadi S.H .
P R A S A R A N D A R I Z . A S IK IN K U S U M A H A T M A D JA S.H. Menegakkan suatu kekuasaan kehakiman jang bebas suatu penilaian setjara historis dengan tudjuan mentjapai suatu hacapan dxkemudian had. I.
Prakata :
B anjak telah ditulis, dan lebih banjak lagi telah dikatakan mengenai ke adilan dan kebenaran. Setiap orang, sardjanakah ia atau bukan, tua atau muda, rakjat djelata atau pedjabat tinggi, melalui forumnja masing- telah memberikan usahanja dalam mentjapai keadilan dan kebenaran. Bahkan djiw a dan raga telah dikorbankan, ser-ng" dalam usia jaang muda belia dengan se gala kerelaan, dunia ini telah ditinggalkan dengan segala sesuatu jang ditjintai dengan keadilan dan kebenaran. Betapa tidak, perasaan keadilan dan kebenaran merupakan bagian dari alam fikiran masjarakat jang meliputi hubungan antar anggauta masjarakat jang berakar pada penilaian hati nurani untuk membedakan antara jang baik ^dan jang djahat, antara jang haq dan jang bathil sehingga dapat dikatakan ’the search for Justice is the fear for Injustice . Pengertian keadilan dan kebenaran membawa kita pada istilah H ukum , H akim dan Kekuasaan Kehakiman jang mendjadi inti dari prasaran saja dalam seminar ini. D ju g a mengenai Kekuasaan Kehakiman telah dilagukan dalam aneka ragam pada (bezongen in vale toonaarden), dan nada jang saja lagukan in i adalah nad a mengenai H uk um jang berlaku jang harus m entjerm inkan perdjuang an dan kehidupan Bangsa, nada pengenai suatu Judicial Pow er d ^ n Judicial adm inistration jang in-conccetQ harus benar-benar m am pu melakgana-
215
kan the Adm inistration of Justice dan dangan demikian mumpit memberikeui perlindungan Hukum pada segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia seperti jang dimaksudkan dalam pembukaan Llndanq-undanq Dasar 1945. O leh karena itu pembahasan ini tidak akan mengutnmakan perbandingan Ln abstracto dengan systeem jang berlaku dinegara-negara lain, melainkan terutama merupakan sualu historischc terugblik untuk mengetaluii dan 111cnilailai pal ern of iclcos, aimcs and values, embedded in the ideologies of the Indonesian society, demi tertjapainja sualu hari kemudian dengan keadilan sosial bagi segcnap rakjat Indonesia. II.
Scdjarah Kekuasaan Kehakiman.
Sebagaimana sudah dikctahui pada masa Ilin d ia Bclanda dulu. Gouvernementsrcchtspraak menganut azas dualisme. A rtinja dalam pelaksanaan hukum nja, peradilan untuk orang Eropa .erp'sah dari peradilan untuk golongan Indonesia asli ketjuali dalam beberapa hal jang terlentu Jurisdictie antara kedua djenis peradilan pcrbedaannjn alau batasnja ditentukan oleh golongan penduduk jang mendjadi tergugat (bukan penggugat) atau lerdakwa. Pada azasnja peradilan Eropa dalam instansi pertama memeriksa gugatnn perdata jang diadjukan terhadap orang Eropa (w alaupun penggugatnja adalah golongan Indonesia asli), dan perkara'-' pidana jang terdakwanja adalah orang Eropa. Peradilan untuk golongan Indonesia asli dalam instansi pertama memeriksa perkara perdata jg. tergugatnja adalah orang Indonesia asli (walau pun penggugatnja golongan Eropa) dan pcrkara-perkara pidana terhadap orang Indonesia asli. Golongan Tim ur A sing T jina dalam perkara perdata termasuk jurisdictie peradilan Eropa dan dalam perkara pidanatermasuk peradilan Indonesia asli. Sedangkan golongan Tim ur Asing lainnja termasuk golongan Indonesia asli, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. W ew enang Kekuasaan Kehakiman dalam sengketa perdata diatur dalam pasal 134 ( I ) I.S. sedangkan dalam perkara pidana maupun dalam perkara pidana diatur dalam pasal 2 ( 1 ) R .O . Kekuasaan Kehakiman hanja dapat dilaksanakan oleh Hakim-Hakim bij algemene verordem'ng aangewezen (pasal 135 I S.) sedangkan dalam pasal 136 I S dikatakan : ,,Niemand kan tegen zijn wil worden afgelrokken bij den rechter dien algemene ve ordeningen hem toekennen’’. Pasal mi mengandung
azas bahwa Pemerintah tidak boleh mengubah setjara sewenang-wcnang, kekuasaan mengadili dari para hakim jang telah ditentukan oleh Undang2. R aad van Justice merupakan H akim sehari-hari bagi golongan Eropa dalam perkara perdata dan pidana sedangkan bagi golongan Tim ur Asing T jina hanja mengenai perkara perdata. R a a d van Justitie merupakan peradilan bandingan terhadap keputusan perdata H akim K e r e s i d e n a n dan keputusan pidana dari landraad (pasal 127 sub: 2 dan pasal 129a R .O .) . L a n d r a a d m e ru p a k a n H akim se h ari- h ari b a g i g o lo n g a n In d o n e s ia asli b e rd a sa rk a n p a s a l 94 R .O . b a ik d a la m p e rk ara p e rd a ta m a u p u n d a la m perkara p id a n a .
216
D isam ping itu landraad merupakan djuga H ak im sehari-hari bagi golongan T jina dan golongan Timur Asing lainnja dalam perkara pidana. Keputusan landraad dalam perkara perdata (kalau tidak ternjata m em punjai karga f. 100.— dan kurang dari itu, dapat diminta peradilan banding pada R a a d van Justitic, sedangkan mengenai keputusan pidana dapat dimintakan banding djuga pada R aad van Justitie ketjuali mengenai vrijspraak. I Iooggqrechtshof merupakan Peradilan tertinggi dan m erupakan per adilan instansi pel lama (dan terachir) dalam perkara-perkara jang ditentukan dalam pasal 163 I.S. dan perkara pidana jang dim intakan revisic dari R aad van Justitic. K cdudukan para H akim Hooggercchtshof diatur setjara chusus dalam pasal 1-18 — 15-} I.S. jang merupakan suatu djaminan terhadap kekuasaan Eksckutip. Kc simpulan apakah jang dapat diambil mengenai kcdudukan Kekuasaan Kehakim an dalam Gouvcrncmentsrechlspraak ? Pada umumnja djuga bagi Gouvernementsrechtpraak berlaku azas bahw a H akim merdeka dalam melakukan tugasnja sebagai H akim . H a l ini memang tidak setjara tegas diatur dalam Indisch Staatsrcgeling akan tetapi azas ini dapat disimpulkan dari pasal 137 I S. : „.Ai!lc tussenkomst vid Rcgcrinq in zaken van Justitic. nict bij dcze wet tocgcstaan. is verboden ’’.. D alam pasal 20 (1 ) A.B. ditentukan bahwa : ,,De regter moet volgens de wet rechtsprckcn” , hal ini berarti H akim hanja terikat pada LIndangundang dan tidak pada perintah kekuasaan Eksekutip. Keputusan H akim hanja dapat ditjampuri dengan upaja hukum jang telah dientukuan oleh LIndangundang. D jam inan-djam inan lain jang merupakan sanksi LIndang-undang bagi azas Kemerdckaan H akim terletak dalam pengangkatan-pengangkatan, pemberhcntian dan pemindahan-pemindahan para H akim jang m em punjai maksud agar dapat dihindarkan setiap perbuatan Pemerintah jang sewenang-wenang terhadap para H akim (pasal 148, 149. 150 I.S. bagi Hooggerechtshof dan pasal 18, 19, 20. 20a, b, c R .O . bagi H akim baw ahan). A k a n tetapi pemisahan antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan Pem erintah tidak dilaksanakan terhadap scmtta peradilan. H a n ja pada Hoog~
gercchtshof dan Raad van Justitic para Hakim tcrpisah sama sekali dari pctne~ rintahan. sedangkan para Ketua landraad di Djawa dan Madura dan sebagfan besar Ketua landraad diltiar Djawa dan Madura sebcnarnja adalah pegawai Kehakiman jang diangkat sebagai pedjabat Hakim. Bahkan sebagian besar dari
magistraatsgerecht,
regentschapsgerecht
dan
districtsgerecht
adalah
pegawai Pemerintah jang merangkap djabatan Hakim. W a la u p u n dalam melakukan tugasnja sebagai H akim , pegaw ai pemerin tahan ini djuga m em punjai pos;si jang merdeka, nam un tidak dapat dihindar kan bahwa pera<\Uati it» scring bcrubah mendjadi alat kekuasaan dalam tangan Kckusaan Pemerintah (lihat a.i. van Vollenhoven dalam Staatsrecht O verzee hal. 158). Berdasarkan pasal 130, 131 (5) I-S. ada d ju g a Inheemserechtspraak dan bagi Inheemserechtspraak sama sekali tidak ada kemerdekaan seperti jang ditentukan dalam pasal 137 I.S. Inheemserechtspraak ini diatur dalam S. 1932 •—■80 dan dalam U ndangu n d a n g in i ditentukan bahw a baik pedjabat-pedjabat pem erintahan E ro pa didaerah m aupun pemerintahan pusat mem punjai pengawasan dan w ew enang tjam p ur taiigan dalam Inheemserechtspraak (pasal 56, 57, S. 1932-80).
217
U saha perbaikan kearah suatu onafhankelijke Inheemserechtspraak tidak terlaksana karena djatu hnja pemerintahan H in d ia Bcianda (lihat a.i. T . 147). D isam ping kedua lingkungan rechtspraak ini ( rcchtspraaksfercn) masih terdapat, P e radilan S w apradja, Peradilan A gam a dan Desa jang tidak mem erlukan pembahasan lebih land jut. kctjuali harus diingat bahwa ketiga rechtspraaksferen ini diakui oleh pemerintah Bcianda (bij wet erkende spraak ber dasarkan adatstaatsrecht. M engenai masa pendudukan D jcpang jang pcnting untuk dikctahui ialah penghapusan dari sifat dualisme seperti jang telah diuraikan diatas. S elandjutnja isaja akan langsung meningkat kepada keadaan sctelah pemu lihan K edaulatan pada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Peraturan-peraturan H ukum jang dikeluarkan sedjak proklamasi Kemer dekaan R epublik Indonesia berpangkal tolak kepada Peraturan Pemerintah N o . 2 tanggal 10 O ktober 1945 jang mempunjai daja surut sampai pada tanggal 27 Agustus 1945 dan pada pokoknja menentukan bahwa berdasarkan pasal I jo pasal I I Peraturan Peralihan U ndang-undang D asar maka segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan jang sudah ada pada tanggal 17 A gustus 1945, selama belum diperbaharui dengan tjara jang ditentukan U ndang-undang D asar 1945, masih berlaku asal tidak bertentangan dengan U ndang-undang D asar tersebut. Berdasarkan pasal 24 U ndang-undang Dasar 1945 R .I. tidak lagi mengenai verschillende sfcren van rechtspraak. Peradilan dilakukan atas nama Negara R .I. karena U ndang-undang D asar 1945 hanja mengenai bij wet ingesteide rechtspraak chusus mengenai status dari landschap didjelaskan bahw a hubungan contract dilakukan dengan kekuasaan asing, sehingga dalam negara kesatuan R I. jang merdeka dan berdaulat hal ini tidak lagi pada tempatnja (lihat U ndang-undang D aru rat 1947-23). D alam masa R .I. D jo k ja telah dikeluarkan Undang-undang 1948-19 jang mengatur dasar-dasar dari Kekuasaan Kehakiman jang djuga mengadili Atas N am a R .I., akan tetapi U ndang-undang ini tidak pernah dium um kan dalam Berita N egara dan tidak pernah berlaku. Setelah pemulihan kedaulatan kepada R .I. telah diundangkan Undangundang D a ru rat N o. 1 — 1951 (L .N . 1951 — No. 9) tentang tindakan-tindakan sementara untuk m enjelenggarakan Kesatuan susunan kekuasaan dan atjara Pengadilan Sipil (bukan Pengadilan M ilite r). Pokok-pokok dari Undangundang ini terdapat dalam pasal 1, 5 dan 6, jaitu : 1 — penghapusan Pengadilan Sw apradja (Zelfbestuursrechtspraak) dan Pengadilan A d a t (Inheemserechtspraak streeks bestuurd gebied) dengan pengetjualian terhadap Pengadilan A gam a dan Swapradja. Ketentuan ini tidak m engurangi wewenang jang selama ini diberikan pada H akim perdamaian (dorpsrechtspraak) berdasarkan 3a H .O . Jang menarik perhatian ialah pendjelasan dari U ndang-undang tersebut jang menguraikan bahw a : Penghapusan Pengadilan-pengadilan Sw apradja adalah setudju dengan hukum (batja sesuai penulis) karena seluruh rakjat jang bersangkutan m enghendakinja, sedangkan Pengadilan A d a t selain tidak memenuhi sjarat-sjarat jang ditentukan Undang-undang D asar (Sementara) djuga tidak diingini lagi oleh R akjat. Keadilan jang dianggap luhur dalam daerah R .I. pemeliharaannja tak dapat lebih lama diserahkan kepada peng adilan-pengadilan jang terdiri dari Hakim-hakjm jang tidak mengurangi kebebasan dan pada um um nja tak memenuhi sjarat kepandaian dan ketjakapan
218
jang menurut U ndang-undang D asa r harus dipenuhi oleh seorang H akitu. N ja ta kiranja bahwa pengadilan-pengadilan jang chusus terdiri dari Hakim jang bukan Hakim karena djabaiannja (beroeps rechters) lagi pula semua kekuasaan H akim desa harus dihapuskan (lihat T am bahan Lembaran N eqara No. 81).
2 — mengenai H ukum A tjara seberapa m ungkin R .I.B . harus diam bil sebagai pedoman, sedangkan susunan, kekuasaan dan tugas P engadilan N egeri dan Kedjaksaan dilakukan menurut peraturan-peraturan jan g dulu berlaku di Rcpublik Indonesia. Selandjutnja bcrturut-turut menjusul : 1 . Undang-undang M ahkam ah A g u n g R .I. No. 1 2 . Undang-undang No. 19 «— 1964 3. Undang-undang No. 13 — 1965
U ndang-undang 1950 —
Undang-undang M ahkam ah A gung tahun 1950 — N o. 1 , dibentuk ber dasarkan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat dan im engatur wewenang M ahkam ah A gung m en ge nai:
1. 2. 3. 4. 5.
mengadili sengketa jurisdictie, sebagai instansi pertama dan terachir antara Pengadilan-pengadilan Negeri, antara Pengadilan-pengadilan T ing gi dan antara peradilan sipil (um um) dan peradilan tentara. merupakan prijsrechiter dalam instansi pertama dan terachir. merupakan form privilegiatum dalam instansi pertama dan terachir. merupakan H akim banding bagi keputusan wasit. m erupakan H akim cassatie.
T entang kedua Undang-undang lainnja dengan singkat dikem ukakan disini bahwa' Undang-undang tersebut telah „menjempurnakan Kekuasaan Kehakim an sebagai alat jang disubordinasikan kepada kekuasaan Eksekutip’’. D em ikian pokok-pokok dari suajtu historische terugblik mengenai K ekua saan K ehakim an di Indonesia. Para pedjabat tinggi N egara semua menjadari bahwa para Hakim harus mempunjai kedudukan jang bebas, akan tetapi hal ini tidak sepenuhnja dilaksanakan. P a d a masa kolonial Belanda sebagaimana diiterangkan dim uka, djabatan H a k im Pengadilan Negeri merupakan suatu personele unie, sedangkan dalam masa Indonesia merdeka hal ini lebih ditingkatkan lagi dan m entjapai puntja k n ja ketika Ketua M ahkam ah A gung m endjadi M enteri Kabinet. K eadaan ini telah memberikan kesempatan untuk mempergunakan Kekuasaan K eha kim an untuk mentjapai tudjuan sesuatu golongan/partai. S a ja rasa itak perlu lagi saja m engulang satu persatu kedjadian jang m enjedihkan dalam per adilan jang m erupakan suatu noda jang tak terhapuskan dari w a d ja h D e w i Justitia, dan jang djustru terdjadi dalam masa Indonesia telah merdeka. Jang tertjapai bukannja perlindungan (H u ku m ) bagi segenap Bangsa Indonesia sebagaim ana ditjantum kan dalam M ukadim ah U ndang-undang D asar 1945 m elainkan sebaliknja, kesewenang-wenangan jang m endjadi tune of the day, routine sehari-hari. D a la m masa setelah Gestapu, w alpupun telah diakui b ah w a K ekuasaan K ehakim an m erupakan lembaga N egara T ertinggi jang sedjadjar dg. M P R .
219
I
Presiden sebagai mandataris M .P .R .. D.P.R., D .P .A . dan B.P.K., nam u n Jandasan Hukum posilief masih menganggap Mahkamah Agung scderadjat lengan Sekrelaris Djenderal suatu Departemen ( F. V II — F. V I I I ) scdanqkan Hakim Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri ada'ah pegawai D e partemen Kehakiman. Dalam P G .P .S . 196.S kcdudukan I l. i k m sebagai ang gauta Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak ternjata. Tegasnja tidak mcnggambarkan kedudukan Hakim sebagai kcdudukan fungsionii kekuasaan Tucjicatief jang diutamakan ialah Hakim sebagai pegawai Eksekutief Adminjstratief, jang kemudian diinpassen kedalam struktuur Eksekutief dengan ukuran Penata M uda, Penata M u d a l dsb. jang djelas melukiskan fungsi- Eksekutief /Administratief.. Tak ada sama sekali istilah chusus bagi Hakim seperti H a kim tk. I, II, dsb-nja. Disamping itu P G P S . 1968 mengadakan djuga perbedaan bagi g o l . p. H s/d F. V , bagi pegawai janq mempunjai kcdudukan sebagai Kcpala suatu sub. bagian/Seksi pada Sek. D jc n / D ir Djen./Insp. Djen. dari sualu Departemen gadji pokoknja akan dinilai menarut dasar jang lebih tinggi Struktuur orqamsasi dari Kekuasaan Kehakiman (Peng. Negeri. Peng. Tinggi dan M a h kamah Agung) tidak mengenai Sek. Djen. 'Dir. Djen. dan Insp. Djen. sehingga dengan sendirinja kedudukan Hakim akan dinilai menurut dasar jang rendali. Hal ini berarti bahwa dalam kenjataannja. infeit kedudukan Hakim anggauta Kekuasaan Kehakiman adalah selalu ondergcschikt pada Kcpala sub. bagian/ seksi pada Sek. D jen./D ir. D jcn./Insp. Djen. Departemen Kehakiman, Hasil dari pada hisiorische erugblik ini ialah bahwa : 1-
Dualisme dalam arti rechtspraak voor Europeanen dan rechtspraak voor Indonesiers memang telah dihapuskan ;
2.
Dualisme dalam arti personele unie masih tetap dipcrlahankan. III.
Tuqas dan Kcwadjiban Hakim di Indonesia.
Timbul sekarang pertanjaan mengapa personele unie masih dipcrtahankan dan apa kechawatirannja kalau hal ini dihapuskan, tegasnja apa jang ditakutkan kalau para Hakim scpenuhnja dilcpaskan dari Departemen Ke hakiman dan dimasukkan dalam Mahkamah Agung. Saja hanja melihat 2 hal janq munqkin menimbulkan alasan-alasan bagi dipertahankannja personele unie ini : 1.
kechawatiran hommes).
adanja
rechtstyranie
(ce
pouvoir
terrible
2-
keadaan keuangan Negara masih belum menqizinkan.
parmis
les
ad: 1. I . l . Melihat historischc terugblik jang telah diura kan, maka dalam sedjarah terdapat halamanhalaman hitam kelam dalam mana tertjantum kedjadian3 dimana Kekuasaan Kehakiman dipergunakan/dipengaruhi oleh tjampur tangan kekuasaan Eksekutief jang tidak wadjar. Sedangkan kedjadian- mengenai rechtertyranie jang konknt belum dapat dibuktikan, dan kalau pun terdjadi hal ini selalu masih terbuka djalan melalui banding dan kasasi. W a la u p u n demikian saja tidak menutup mata hagi kekurangan jang ada pada diri Hakim sehingga menimbulkan istilah T'echterstyranie, akan tetapi jang ingin 'saia kemukakan ialah, diban-
220
dingkan dengan penjalah gunaan Kekuasaan Kehakim an karena dimung~ kinkan o!eh personele unie maka sedjarah telah membuktikan bahw a rechterstvran-c sangat ketjil k e mu n gk in a nn j a.
1 .2 . D alam bagian ini akan dikemukakan pendapat saja mengenai doctrine
H akim di Indones'a. Salah saiu tugas negara ialah mendjam in agar setiap penduduk baik ia warganegara ataupun bukan dapat melakukan hak-haknja dan kewadjiban-kewadjibannja sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang (ongestoordc rcchtsuittocfcning van de Burger). Kalau terdjadi gangguan terhadap pelaksanaan hak-hak dan kew adjiban ini, maka negara harus menjediakan aparatuur untuk m enghapuskan g ang guan ini. A paratuur ini jang akan menentukan bahw a telah terdjadi suatu pclanggaran hak atau kelalaian dalam melaksanakan kew adjiban, kem u dian memerintahkan agar gangguan ini dikembalikan dan kew adjiban dilaksanakan.
A paratuur inilah jang dimaksudkan dengan Kekuasaan K ehakim an, ja n g harus ikut mendjam in bahwa setiap penduduk dapat melaksanakan hak-hak dan kew adjiban-kewadjibannja. W a la u p u n demikiian, anehnja sering kali rakjat djelata m em punjai perasaan takut pada H akim dan Pengadilan. Ini disebabkan karena bagi rakjat djelata. kata H akim adalah identiek dengan alat negara untuk m enghukum dan bahw a djusteru alat ini dipergunakan untuk mengganggu dalam melak sanakan haknja. Chususnja kalau pelanggaran hak tersebut dilakukan oleh seorang anggauta alat negara sendiri. Jang dichawatirkan ialah tak adan ja objektivitas pada diri H akim nja, baik dalam perkara perdata apalagi dalam perkara pidana. H a l ini tidak mengherankan apabila diingat bahw a pelaksa naan keputusan H akim seringka’i tergantung pada alat negara lain jang me rupakan alat kekuasaan Pemerintahan, sehingga negara selalu dapat menolak pelaksanaan keputusan H akim .bahkan melaksanakannja tanpa keputusan H a kim. A k an tetapi jang m endjadi tjiri chas dari suatu negara H ukum ialah bah w a negara tidak mempergunakan kemungkinan itu, tegasnja t'da* m endjadi H a k im sendiri. D alam N egara H ukum , H akim harus djuga objectier da am suatu sengketa dim ana negara m endjadi salah satu pihak. . O bjectivitas inilah jang dalam Undang-undang D asar 1945 dirum uskan dengan kata-kata ..Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan jang merdeka, artin ja terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Bahkan lebi an jut d i katakan dalam pendjelasan jang sama ,,Berhubung dengan tin harus ia akan djaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para H a im . S am pai dim ana batas-batas kebebaisan ini dan sampaa berapa }auh telah d ia d a k a n djam inan untuk mentjapai djam inan ini diharapkan men /a i ugas
dari pada seminar L.P.H .N . ini untuk menentukannja. H u k u m berlaku bagi suatu m asjarakat jang tertentu. H u k u m jang baik harus m entjerm inkan perdjuangan hidup m asjarakat dim ana hu um itu herlaku. B aik dari para anggauta m asjarakat jang telah tiada lagi karena dengan rela m engorbankan d jiw an ja bagi kehidupan masjarakat j a^g a “ ' » m aupun dari para anggauta m asarakat jang masih hidup dan m enikm ati kehid upan m asjarakat ja n g adil karena pengorbanan tersebut.
Hukum tak dapat dipandang terlepas dari masjarakat dimana Hukum itu berlaku. 221
*3
Oleh karena itu Hakim dalam melakukan peradilan wndjib menafsirkan Undang-undang demi rasa keadilan Bangsa dan mcnemukan alau menafsirkan Hukum jang tidak tertulis sesuai dengan rasa keadilan Bangsa dan bu kan sesuai dengan perasaan keadilan sang Hakim sendiri llakim pnn tak dapat
memandang dir'mja terlepas dari masjarakat dimana ia melakukan peradilan Kata-kata jang seclerhana ini sekaligus melukiskan fungsi Hakim, tanggung djawabnja. sampai dimana kebebasannja dan sampai dimana ikatannja. Di Indonesia Hukum untuk sebagian besar merupakan Hukum jang tidak tertulis, hal inilah jang terutama menjebabkan tanggung djawab dan peranan Hakim seria keputusan Hakim sangat penting dalam rechtlcven bangsa In donesia. Perkenankanlah saja mengutip kata Prof. Ter Haar untuk melukiskan fungsi Hakim di Indonesia oleh karena saja tidak mampu mentjiptakan katakata jang lebih tepat lagi : ” Bij het ontbreken v.e. wetgever is de verantwoordelijkheid van alle andere rechtsfunctionarisscn (bij uitstek dan rechter) ontzagelijk vccl groter, dan bij een slelsel van wettenrecht. Die verantwoordelijkheid groeit en groeit, naarmate de door ongeschreven recht beheerste samenleving dynamischer word!, maar aan invlocden van buiten is blootgesteld, mede geregeerd wordt door vreemd gezag, dat eiqen normen nimmer geheel buiten spel kan noch wil laten. i.h.b. de menselijkheids eis. In des rechters 'iiitspraak wordt rerht gevestigd en hcrbevestigd. De verantwoordelijkheid van den rechter is juist daarom zo groot omdat hij niet mag oordelen in voile vrpheid, d.w.z. louter naar eigen rechtsgevoel en practish inzicht, ma^r in gebondenhcid. De in het vonnis bevestiqde of gevestigde norm moet of reeds dee! nit maken v.h. stelsel of passen in het stelsel, of er aan voortbouwen. De rechter spreekt recht niet als individu maar als mstituut in een stelsel van ongeschreven recht” . Kepada kata-kata ini saja tambahkan lagi kata-kata Prof. Logemann sebagai berikut : Een rechterlijke macht, die deze functie goecl verstaat, moet er voortdurend op bedarht zijn onder niet aflatencle hertoesting en zelf critiek, als zelfstandige ordenende factor van het gemeenschaps leven consekwentte zijn in zijn uitspraken. Een eis van goed rechterlijk beleid is derhalve het letten op de oudere junsprudentie, niet als op het van verantwoordelijkheid ontheffend precedent, maar als op het verantwoordelijkheid inscherpcnd eigen institutioneel geweten’’. Kalau masih terdjadi djuga reechtterstyranie karena Hakim mengikuti perasaan keadilan sendiri jang tidak memenuhi perasaan keadilan masjarakat, maka hal ini disebabkan karena manusia jang lemah dan bersifat salah tetapi bukan karena Kekuasaan Kehakiman jang bebas. Setelah proklamasi Kemerdekaan berdasarkan pasal IV . Aturan Per adilan Presiden telah mengeluarkan Peraturan- No. 2 tgl. 10 Oktober 1945 jang berlaku surut sampai 17 Agustus 1945 jang menentukan bahwa segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan jang ada sampai berdirinja Negara R . I , pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan jang baru menurut Undng-undang Dasar masih berlaku, asal sadja tidak berten-
tangan dengan Undang-undang Dasar tersebut.
222
Peraturan ini m erupakan suatu legislatief product karena Presiden pad a w aktu itu disamping memegang djabatan sebagai Kepala Eksekutief d ju g a memegang fungsi sebagai D .P .R ., selama badan tersebut belum terbentuk. Berdasarkan peraturan ini maka tanggung djaw ab H ak im dalam Stelsel van ongeschreven recht telah bertambah besar karena harus m engudji apakah H ukum jang ada sampai tanggal 17 Agustus 1945 tidak bertentangan dengan U ndang-undang D asar 1945. W ew en ang ini o!eh M ahkam ah A g un g telah diuraikan dalam keputusan tanggal 14 Agustus 1968 N o. 182 K /S ip /1 9 6 7 antara lain sbb. : ..M enim bang bahwa sebelum ditjapai suatu kodifikasi nasional, M a h k a mah A g ung berpendapat bahwa pembinaan H ukum jan g termuat dalam B .W . harus dimungkinkan melalui keputusan-keputitsan Hakim ,jang perlu di-
berikan wewenang untuk apabila kebutuhan masjarakat sungguh-sungguh menghendakinja tidak sadja menjingkirkan ketentuan-ketentuan jang diang gap bertentangan dengan kemadjuan zatnan, tetapi djuga menambahkan keten~ tuan baru disamping ketentuan-ketentuan jang lama. ad.
2.
M engenai hal ini, saja tidak mempunjai pretentie untuk m enganggap diri sebagai orang jang ahli dalam soal ekonomi dan keuangan negara. Andaikata benar keadaan keuangan Negara jang m endjadi alasan, saja ingin me ngem ukakan bahw a ada hubungan jang timbal balik antara E konom i —H u k um dan H akim , jang setjara tepat telah dilukiskan oleh Judge Irv ing R . K aufm an sebagai b e rik u t: A democratic society thrives on justice. A s long as the tenor and quality of justice improves our institutions and economy w ill flourish, and our most cherished fundam ental values w ill long endure” . H a l ini berarti, bagaamanapun djuga keadaan keuangan N egara, pembangunan ekonomi N egara harus disertai dengan pembangunan Kekuasaan K ehakim an sehingga mampu melaksanakan fungsinja seperti jang diuaraikan diatas. Lagi pula sukar dapat diterima akal untuk mengatalcan bahw a pelepasan para H ak im dari Departemen Kehakiman akan menambah beban keuangan N egara, karena hanja merupakan pergeseran belaka. Bagian keuangan d a n budged Departem en Kehakim an jang selama ini dipergunakan untuk keperluan D irectorat P eradilan dialihkan pada M ahkam ah A gung. Jang penting ialah djaw aban atas pertanjaan apakah Kekuasaan Kehakim an dapat bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutief apabila P^ra Hakim n ja m erangkap sebagai pegawai Departemen Kehakim an ? D ja w a b a n n ja setjara tegas ialah tidak mungkin, isetidak-tidaknja ada pengaruh jang tidak langsung jang m em punjai akibat jang sama dengan pengaruh jang langsung U m p a m a nja , benar seorang H akim dapat ditempatkan, dipindahkan atau din aikk an pangkatnja atas usul M ahkam ah A g un g pada D epartem en K eha kim an. A k a n tetapi hal ini, sepandjang pengetahuan saja tidak berdasarkan U n dang - u ndan g , sehingga tak ada sanksinja. Sj*ukur apabila D epartem en K ehakim an sedemikian besar per^saan tanggung d jaw abnja sehingga m eng a ng g ap d irinja h anja sebagai pelaksana sadja dari usul M a h k a m a h A g u n g , tetapi m anusia adalah manusia. B agaim ana apabila pada suatu ketika D epartem en K ehakim an m enolak untuk m elaksanakan usul M ah k am ah A g un g ? D e n g an dem ikian pengangkatan/p e n e m p atan setjara politis, seperti jang dialam i pada masa pra G estapu
223
dan jang telah membawa akibat jang menjedihkan, selalu akan mungkin terdjadi sebab in laatste instansi pengangkatan, penempalan dsb. adalah wewe nang Menteri Kehakiman. H al inilah jang saja maksudkan dengan pengaruh jang tidak langsung, dan jang mempunjai pengaruh terhadap kebebasan Kekuasaan Kehakiman. H a l ini djuga berarti bahwa bagian jang terpcnting dari structuur dan organjsasi Kekuasaan Kehakiman terletak atau mendjadi wewenang Depar temen Kehakiman tegasnja tergantung (afhankelijk run) dari pada Departemen Kehakiman, pada hal maksud dari struktuur dan organisatie ini seliarusnja ialah agar Kekuasaan Kehakiman bebas dari pengaruh DepariemCn
Kehakiman djuga dari pengaruh jang tidak langsung. Keadaan seperti jang diuraikan diatas masih mungkin terdjadi, karena masih ada pedjabat jang belum dapat memahami hakekat dari fungsi Hakim. Sebagai tjontoh umpama dapat dikemukakan disini bahwa tundjangan chusus untuk Hakim, walaupun sudah disetudjui oleh Departemen Keuangan, tetapi belum dapat direalisasikan. karena Kantor Urusan Pegawai tak dapat menje tudjuinja. Menurut pendengaran saja. alasannja ialah kalau pada Hakim harus diberikan tundjangan chusus maka pegawai lain (S.H .) berhak djuga menerimanja. Saja sendiri sangsi apakah ada pegawai sardjana hukum jang raenuntut tundjangan seperti jang diberikan pada Hakim berdasarkan fungsinja. Selama para Hakim belum sepcnuhnja tcrlcpas atau tergantung dari Departemen Kehakiman selama itu pain ada kemungkinan dipengaruhinja Kekuasaan Kehakiman o!eh Kekuasaan Pemerintah.
Mengingat apa jang dikemukakan ad. 1. mengenai fungsi Hakim maka tak perlu dichawatifkan adanja rechterstijranic atau isol a lie mutlak dari Kekuasaan Kehakiman, dan pada Mahkamah Agung sebagai puntjak peradilan terletak kewadjiban untuk mengaivasi para 1Iakimnja. Sebaliknja tyraniesering terhadap para Hakim sebagaimana jang selama ini dibuktikan oleh sedjarah, harus ditjegah agar djangan sampai terulang lagi. Pada umumnja dimana-mana negara selalu diusahakan untuk mengada kan Kekuasaan Kehakiman jang bebas Hakim jang tidak tergantung pada administrate atau eksekutief dan jang tak dapat ditekan dengan djalan lain oleh sesuatu golongan. Hakim jang tidak dipengaruhi pada waktu mcngambil keputusan dalam suatu perkara. Antara lain usaha ini dapat dilihat dengan adanja warking en verschoningsregels, onafzetbaarheid, peradilan jury, salariering jang tersendiri dsb.-nja, bahkan ketentuan mengenai qadji Hakim sampai dimuat dalam constitute (Belanda pasal 45 GroncKvet, U.S.A. Art. I l l section I). Pada pihak lain memang pembebasan dari segala pengaruh setjara sempurna tidaklah mungkin. Pengaruh karena berita-berita pers, sebelum sesuatu perkara mendjadi sub judice ump. tak dapat dihindarkan, begitu pula politieke voorkeur dari sang Hakim sering-sering mempunjai peranan. Belum lagi pengaruh dari staande magistratuur, jang sering tidak disadari oleh sang Hakim, jang timbul karena bermatjam-matjam sebab. Pengaruh dari staande magistratuur ini dibeberapa negara diusahakan untuk dihindarkan dengan mengadakan jury rechtspraak.
Oleh karena itu dapat dimengerti, bahwa kechawatiran akan dapat dipe^flaruhi, sering mengakibatkan para Hakim mengambil sikap mendjauhkan 224
diri dari contact dengan golongan-golongan dalam m asjarakat ataupun membentuk suatu golongan sendiri jang bersifat exclusief, sehingga bersifat isolatief total. In i bukan m endjadi tudjuan dari Kekuasaan K ehakim an ja n g bebas, melainkan seharusnja bebas akan tetapi tidak bersifat abstract. H a l ini dilukiskan oleh A rthur T. V anderbel chief Justice, Supreme court of N e w Jersey s.b.b. : ,Judges should be selected for their character and competency, and in considering competency I w ould consider —' quite as much as professional capacity and oxperience courtecy, a time sense and know edge of polities, although they must of course, eschew politics from the time they w en on bench and conform to the canons of Judicial Ethies’ . K iranja para h a d ’rin akan sependapat dengan saja, bahw a kebebasan Kekusaan Kehakiman tidak hanja dapat didjam in dengan m engadakan suatu wettelpke regeling akan tetapi de persoon v.d. rechter m em punjai dju g a peranan jang menentukan. IV .
Kesimptzlan, beberapa saran dan penutup.
Sam pailah saja sekarang pada bagian achir prasaran ini, jan g akan bcrisi kesimpulan serta beberapa saran untuk memetjahkan persoalan ua isme dalam arti personele unie jang terdapat dalam diri H akim . Sebelum nja patut saja minta perhatian para mat bahw a penegakan Kekusaan Kehakiman jang be as u ,. ;ana tudjuan. just for the satce of being in d e p e n d e n t- K e k u a s a a n ^ a k ^ a n ja n g ^ bebas merupakan a/at, atau suatu prasaran untu rnen ] p undano sebagai jang t ertjantum dalam alinie terachir na? Dasar 1945 jaitu bahw a Pemerintah Indones.a w a d ,* m elm dung 1 ^ e n a p Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah ^ a h Ii banqsa, dan ifcut mekan kesedjahteraan umum. ment,erdaskan kf ' ° up* * j!^ e k a a n . perdam aian laksanakan ketertiban dunia jang berdasarkai abadi dan keadilan sosial. H al d
!™
ini
:3 £ n
tad T uJn^t^b ut’ S
l ^
S
S :Z W
^ rM
,n U
Sai
W - fa ta n
jang bersifat isolasie mutlak.
1 1 ; Berdasarkan uraian dia.as maka saja kemukakan kes.mpulan-kestmpulan
sebagai b e r ik u t:
1. berdasarkan Undang-undang Dasat 1945 Kekusaan K e h a k im s n ^ a bebas berarti. bebas dari ejampur tangan P e m ^ te h dalam kan
peradilan
d a n
bukan
berarti suatu .solatie mutlak dan lemDaga
lem baga konstitutionil lainnja ; 2.
K ekuasaan K ehakim an harus bahu membalxu 1945s . U onil la in n ja dalam m entjapai tudjuan U ndang-undang D a s a r l i m ,
3. K ekuasaan K ehakim an jan g bebas bukan m erupakan tu d ju a n m elainkan m erupakan p rasarana untuk m entjapai suatu t u d ju a n ;
225
4.
kebcbasan Hakim Indonesia dalam tnengad'li pcrkara merupakan suatu vrijlieid in gebondenhe.d. karcna keputusan Makim Indonesia wad jib ment jerminkan perasaan kcadi'an dari bangsa Indonesia dan bukan perasaan keadilan Hakim pribadi ;
5.
Hakim di Indonesia tidak mengadi'i sebagai individu melainkan sebagal suatu Iembaga dalam suasana Hukum Nasiona! Indonesia jang untuk sebagian besar terdiri dari Hukum jang t:dak tertulis :
6.
Dengan functie Hakim seperti jang diuraikan d atas maka kemungkinan terdjadinja rechterstyranic adalah kctjil sckali. Sebaliknja sedjarah membuktikan bahwa keadaan personele unic dalam diri Hakim tclah menhnbulkan penjalahgunaan dari Kekuasaan Kehakiman ;
7.
W a la u p u n Kekuasaan Kehakiman d'akui sebagai Iembaga Eksekutip/ Legislatip, namun Hukum positief masih memandang Mahkamah Agung setingkat dengan Sek. Djen. suatu Departcmen sedangkan dalam P.G. P.S. 1968 Hakim tidak mempunjai penilaian judikatief melainkan mendapat persamaan ( inpassmg) sebagai pegawai eksekutip balikan bagi golongan F. II s/d F. V gadji pokok mendapat nilai jang lebih rendah dari pada pedjabat eksekulip ;
8.
Keadaan seperti sekarang ini merupakan bahaja latent akan kemungkin an terulangnja kedjadian pen jalahgunaan Kekaasaan Kehakiman, karena masih afhanke'ijk dari Kekuasaan Eksekutief ;
9.
Kekuasaan Kehakiman jang sempurna merupakan prasarana sosial politik jang penting dalam mentjiptakan suasana jang menimbulkan kegairahan untuk membangun ; harus benar- mertipaknn lembnijn negara tertinggi jang sedjadjar dengan Kekuasaan Eksekutip dan Legislatip (dan bukan sedjadjar dengan Sek. Djen.) serta diberikan kesempatan untuk mengadjukan rentjana pembangunan sebagai bagian dari repelita ;
10. Mahkamah A gung
11.
Hakim Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri sclama belum dilaksanakan pelepasannja dari Departemen Kehakiman maka hal ini berarti Kekusaaan Kehakiman belum terlepas dari pengaruh Eksekutip dan be lli m ada djaminan bagi kedudukan Hakim seperti jang dikehendaki oleh Undang-undang Dasar 1945.
Para hadirin tjendekiawan. jang (erhormat : sebagai penutup sekali lagi saja kemukakan. bahwa saja tidak menutup mata bagi kekurangnn2 jang melekat pada diri sang hakim. Hal ini bahkan menimbulkan tekad jang lebih be sar bagi M ahkam ah A gung untuk memperbaiki mutu dari Kekuasaan Keha kiman. The Judician should have the ability to administer efficiently ; fairly and with reasonable dignity.
juslice
effectively,
Keadaan Kekuasaan Kehakiman seperti jang ada pada masa sekarang adalah sangat bertentangan dengan azas- efficiensi dan effectivitas kerdja jang sangat diperlukan bagi suatu aparatur jang baik. Kepertjajaan rakjat t^rhadap peradilannja, tergantung pada ketjakapan, pengalaman, kedjudju226
ran dan sikap terhormat dari para H akim nja dalam melaksanakan tugasnja. Mengenai pcnilaian dipenuhinja sifat- ini atau tidak maka M a h k a m a h A g u n g lah jang paling mengetaluiinja. karcna mempunjai tugas pcngawasan teriinggi tcrhadap para Hakim. Pengawasan ini harus disertai dengan wewenang untaik mengambil tindakan dan pclaksanaannja sctjara legas. Kepintjangannja sekarang ialah bahwa M ahk a m a h A gung hanjn berwenang mengusulkan suatu tindakan, sedangkan pclaksanaann ja tergantung (afhankelijk) dari M enteri Kehakiman jang tidak terikat pada usi.il tersebut. Djelaslah kiranja bahwa hal ini mendjadi sumber dari segala ketidak beresan dalam tubuh Peradilan dalam masa jang lampau karcna dimungkinkannja politieke bcnocmingcn, dan masih mungkin tcrdjadi pada masa j.a.d. H a l ini akan membawa akibat jang lebih luas lagi jaitu hilangnnja kcseimbangan antara Rccht dan Macht dan hilangnja kcpertjajaan rakjat tcrhadap pera dilan sebagai Iembaga konstitutionil jang berkcwadjiban mendjamin perlindungan H u k um bagi scgenap bangsa Indonesia. 1.
2.
3.
harus diadakan pendidikan training dan bagi para H akim ,
research
setjara
continue
H akim harus selected for their character, capability, professional ca pacity, experience, and honourable behaviont, harus diadakan suatu LIndang-undang jang mengatur suatu tjara bagaimana H akim jang tak memiliki sifat jang disebut dibawah sub. 2 dapat dibcrhentikan (removal of judges).
M em ang rupanja sudah merupakan suatu ironie v.h. noodlot bahw a setiap manusia mentjari keadilan tetapi walaupun dcmikian djusteru badan Per adilan selala dan dimana-mana negara merupakan kekuasaan jang terlemah. T h e judiciary, is beyond comparison the weakest of the departments of power. It has no influence over either the sword or the purse, no direction either of the strength or the wealth of society, and can take no active resolu tion w hat ever. It may truly be said to have neither force nor will, but merely judgment, demikian Hamilton. Semoga judgment dari Kekuasaan Kehakiman di Indonesia akan mendapat Force dan will dari segenap Bangsa Indonesia. Tnsja A lla h . D jakarta, A gustus 1968.
227
P E M B A H A S A N
Prof. Oemar Seno Aclji SH. 1.
Prakata.
Sebagai insan jang ditakdirkan T uhan Jang M aha Esa untuk memperkenankan machluknja ikut serta dalam meletakkan dasar- bagi suatu Negara H ukum Indonesia, jang mengak.ii Pengadilan bebas sebagai unsur essenlieel, vital dan bahkan jang decisive sifatnja. maka permintaan untuk niendjadi Penjanggah LItama dalam Seminar Hukum ini atas Prasaran Sdr. Asikin Kusumah A tm adja S .H . tidak dapat dihindari. Ia harus diterima, meskipun ia disertai dengan suatu "lichte huivering” : jang disebabkan karena mungkin ada perkiraan bahwa ada suatu sikap kami jang ’’gepredisponeerd” jang terbawa oleh suatu djabatan. Ia disebabkan pula karena ia mengenai suatu subject jang dapat mengakibatkan divergensi dalam pandangan, sedangkan kerendahan hati terhadap prasaran jang diberikan, sekedar memberikan upaja jang "'bescheiden’’ untuk dapat memberikan wawasan jang agak "gelijkw aardig". Ia disebabkan pula oleh kekurangan pengalaman, ’'lack of experience’’, jang mungkin akan menimbulkan suatu hasi!. tidak ’’evenwaardig” terhadap prasaran, jang dapat memperkaja diri dan dapat ’’bogen" pada suatu peng alaman jang banjak dan luas. Sungguh, apabila terdapat divergensi dalam pandangan, maka ia merupakan suatu refleksi dari doktrin ’"Rule of Law ’’ , jang masih memungkinkan adanja suatu varietas atau diversitas dalam prinsip-prinsip, lembaga ataupun prosedurenja. Ia tidak usah identik sifatnja, akan tetapi ia menundjukkan tjorak-tjorak jang "broadly sim ilar” dan memiliki ’’functional equivalent”, tanpa mensjaratkan replica-replica jang bersamaan. O leh karena itu. ia tidak usah merupakan gedjala jang mengetjilkan hati. apabila terdapat diversitas dalam pandangan. T idakkah masjarakat jang menghendakinja ,,democratie” itu bahkan menggambarkan dan mendjundjung adanja ’ a wide range of diversities’ dan mengusahakan "unity” jang ditjapai melalui penggunaan setjara creative dari diversity tersebut. U n tu k itu perlu kita menghargai adanja beberapa tudjuan jang menghendaki adanja methode-meithode diskusi ataupun konperensi-konperensi, se~ gala-galanja untuk menudju kearah concensus, suatu ingredient dari ’’demo cratic w ay of life” . Forum inilah sekiranja merupakan tempat jang ’’geeigend’’ untuk mentjurahkan pikiran kita mengenai persoalan jang kita hadapi bersama, jaitu ,,kekuasaan kehakim an’’. 2.
Identitas, Kekuasaan Kehakiman jang bebas.
Kekuasaan Kehakiman jang merdeka, tudjuan inilah jang hendak kita tjapai, oleh Saudara pemrasaran maupun oleh kita semua. Ia mempertemukan kita pada identitas dan simflaritas dalam tudjuan. Kechususan constutionil adalah, bahw a ,,kekuasaan kehakiman jang merdeka ini sebagai suatu unsur dalam systeem Pemerintahan, berdasakan atas H ukum , ’’Rechtsstaat” terdapat dalam Pendjelasan, sewaktu ia mengenai pasal 24 dan 25 menjatakan, bahw a : 228
,.Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan jang merdeka artinja terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus di~ adakan djaminan dalam Undang-undang tentang kedudukannja para Hakim”. Body dari Undang-undang Dasar 1945 sendiri tidak mendjelaskan sifat ’’independency” dari para Hakim ini ; ia sekedar menanjakan dalam pasal 24 dan 25. siapakah jang melakukan kekuasaan kehakiman tersebut jaitu M ah kamah Agung dan badan-badan Kehakiman lainnja menurut Undang-undang susunan dan kekuasaan dan sjarat pengangkatan dan pemberhenlian para Hakim, jang ditetapkan dengan Undang-undang. Kekuasaan Kehakiman jang merdeka, Pengadilan dan Hakim bebas,: menurut pengertian kita dalam Negara Hukum Indonesia, perlu kita tegaskan lebih dahulu, oleh karena ketentuan demikian pernah mengalami "deviation” dalam kehidupan hukum, sewaktu setjara diame.ral dan ”in flagrante strijd” menjatakan dalam pendjelasan pasal 19 Undang-undang No. 19 tahun 1964 antara lain : ,,Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh dari Kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang”. Ia merupakan expressi dan penegasan dari suatu ketentuan, sepenuhnja bertentangan dengan azas Negara Hukum, prinsip ’’Rule of Law” manapun, sewaktu ia menjatakan dalam pasal sligmatis dan nista, bahw a: ,,Demi kepentingan revolusi, kehormatan' Negara dan Bangsa atau kepentingan masarakat jang mendesak Presiden dapat turun atau tjampur tangan dalam soal Pengadilan’1. Setelah kita mengadakan ’’positle-bepaiing” dimana Negara Hukum itu berada ditengah-tengah 2 ’’legal systeems” jang ada, jalah konsep ’’Rule of Law” dan prinsip ’’Socialist Legality’’, chususnja mengenai persoalan Peradilan bebas, maka perlu kita meneliti lebih landjut apakah jang hendak kita tuangkan dalam pengertian kita mengenai ,,Kekuasaan Kehakiman jang merdeka” ini. Djustru karena systeem Pemerintahan, systeem politik dan ekonomi, pengalaman-pengalaman sedjarah dan ’’national heritage’’ akan memberikan effect jang memastikan terhadap peradilan bebas jang kita hendaki. Kita mengetafoui, baik Kant, Stahl,, kemudian Dicey, kesemuanja memandang ’’separation of powers” sebagai salah satu tjiri dari paham Rechtsstaat” atau ’’Rule of Law”, sedangkan Pengadilan bebas merupakan sjarat jang ’’indispensable” dalam suatu masjarakat dibawah “Rule of Law”. Dalam pengertian ’’separation of powers" jang luas, maka ia mengakui prinsip, bahwa kekuasaan itu liarus terleiak dalam tangan jang ’’distinct” dan tidak dipusatkan dalam satu tangan. Konstitusi-konstitusi modern telah menerima prinsip ini, sedangkan salah satu maxim constitutionalisme adalah, bahwa Pengadilan itu harus bebas dari pengawasan, pengaruh dan tjampur tangan dari kekuasaan lain. Dengan pengertian ini suatu Kekuasaan Kehakiman adalah bebas merdeka, apabila ia mengandung kemerdekaan dan kebebasan, dari tjampur tangan, ’’interference” dari Executive maupun dari Legislative dalam mendja-
229
T
lankan tugasnja judicieel, ’’w-th the exercise of ihe judicial function . Konsep inilah jang diterima sebagai landasan o ’eli ’ Rule of Law , meskipun kebebasan ini tidak dapat diartikan, bahwa H akim boleh bertindak sewenangwenang, setjara ’’arbitrary". K ew adjibannja adalah mengatLikan interpretasi H u k a m dengan azas-azas fundamcn;eei jang mendasarinja. D oktrin ’’Socialist Legality"” pun. jang dianut oleh kcbanjakan Negaranegara Sosialis, mengandung djanvnan constituiionil mengenai Pengadilan bebas ini, sewaktu ia menjatakan dalam pasal 112 Undang-undang D asar U S S R , bahwa : ’’Judges are independent and only subordinated to the law” Prinsip me ngenai ’’independent judge’’ iam paknja oleh paham "Socialist Legality" dipandang tidak bertentangan dengan sjarat, bahwa kebebasan tersebut mengandung "total dependence on state policy and its representatives"’, R D D sendiri tidak melihat adanja keberatan, djikalau "State Council" dapat membcrikan pengaruhnja terhadap aktivitas dari Supreme Court melalui 'suggest'ons and recommendations. Meskipun sekarang sudah d^tinggalkan. praktek dahulu ■ — w alaapun berlaku praisip ’’independent Judge" — mcmperkcnankan Kementerian Kehakiman untuk mempengaruhi djaiannja peradilan. sedangkan C C dari C P S U melarang intervensi dari organ-organ Partai tcrhadap proces Pengadilan pada tingkatan rendah, jang berarti bahwa dalam tingkat Peng adilan Tertinggi pengaruh tersebut masih dapat disalurkan. Kam i kira, tjita-tjita kita mengenai Pengadilan jang bebas lebih mendekati pengertian "R u le of Law ", jang mcnghendaki ’'Judiciary" jang mer deka sebagai suaUi sjarat ’’indispensable” dalam suatu masjarakat bebas, dari pada ’’actual practise’’ "Socialist Legality", jang setjara tertulis dan setjara impressif mengakui Pengad.lan bebas, akan tctapi jang memperkenankan adanja ’’suggestions’’ , "recommendations” dan directiva. ba,ik dari State Council” maupun dari C P S U terhadap Pengadilan. Ia mcnghendaki suatu Pengadilan jang bebas, bebas dari Executive maupun dari Legislative bebas dalam mencljalankan tugasnja. Kita tidak menghendaki tjampur tangan Executive baik ia berupa ’’suggestons’’ maupun recommendations ataupun "directiva-directiva’’. Kita ti!dak ingin kembali kepada suatu era. jang meimmgkinkan adanja ingrijpen ’ dari Executive, suatu turun tangan dan tjampur tangan jang demikian luasnja, sehingga .ia tidak terbatas "o m v an g ” ’'interference’' dan tak maki-malu mengatakan. ,.Tidak d adilinja seseorang, atau tjara-tjara maupun susunan pengadilannja mungkin dapat ditentukan oleh Presiden dalam hal ini............’’ M em ang , ketentuan jang memungkinkan adanja ’’interference” dari Presiden dalam soal-soa! Pengadilan sungguh-sungguh merupakan unikum stigmatis, tanpa mempunjai pretensi sedikitpun, bahwa ketentuan demikian sangat "indruisen” melawan ’’Rule of L a w ” ataupun “ Socialist Legality” , betapapun ’’actual practisenja’’ m enandjukkan "discrepancy" dengan apa jang dikatakan dalam U ndang-undng D asarnja. D jik ala u Pengadilan bebas dalam ’’Socialist Legality” dalam mata Prof. A . G ledhill (Prof. of Oriental Law di University of London) adalah pakaian mandi bik'ni, jaitu pak a ;an tersebut adalah penting karena apa jang hendak disembunjikan, sebab Undang-undang Dasarnja hendak menaburi pasir dalam mata dari ’’observer” nja sedangkan kliek atau partai jang ber
jang memungkmkan tu rjn atau t i a n m u r n n m n i , « dapat diumpamnkan dengan oranq h n o a n n h ' j ? a oa* Pengadilau sopan ; tanpa merasa. bahwa 2 h hfc P tCrhuka dan tak A dalah kewadjiban u t l m a k t J t ^ T e n ^ ***** proporsi sewadjarnja. dimana Undang-undang X m ‘ pada hendaki adanja suatu Kekuasaan Kehakiman j a n g merdeka Kw U A u * ” 9" ninggalkan era jang memalukan kehidupan hukum vvi\ ! •?' i hendak me' daki suatu "destigmatisering”, s e w a k tu k i l a J ,men9henkeniurman pelaksanaan Undang-undanq D-is-ir 4 S • dak kembali kepada Kehakiman jang merdeka. * ' ^an9 n,engakui Kekuasaan
Tugas utama inilah jang hendak dirumuskan u , t-, gara. lerdiri atas Ketua Mahkamah Agunq sebacni K «* Se~ ? Pamtya Neterdiri atas unsur-unsur Mahkamah Aquno D^L-, * a Pamtya. kemudian versitas Indonesia dan dari golongan masjarakat i ! , T " Kehakiman, Uniminat terhadap persoalan tersebut (umumnia m-LL9 cVPandan9 mempunjai gauia D P R.G R , meskipun dudaknia d X P a ^ v a ? kebetulanP angdalam kwalltas dari DPR-GR). Karyania telah ^ UC " dak dilakukan Presiden kepada DPR-GR, jang sekaranq I s e d i n ^ ^ den9an amanat R U U , jalah RU U tentang Ketentuan-ketentuan Pokok^Tk S keti9a-ciga an, R U U tentang Susunan. Kekuasaan dan H ukum At- , x *a,S,aan Kehakimdan R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradi^n Um ^ A 9ung Tugas utama Panitya lersebut, tugas utama kita df n j T*, balikan Kekuasaan Kehakiman jang merdeka, jano J l . 3' adalah mengem( Undang-undang No. 19 tahun 1964, Undang-undanq M? !f f ,sIattlf dah«lu dikesampingkan setjara ’’oneleganl”, bahkan setjara crue h n Un ,1965) kan sjarat-sjarat elementer jang dikehendaki oleh ^ d a n g - u n d e n ^ D 9111*1311” Suatu tugas utama. jang sumber inspirasinja leb'h dan* 5;* ••!.Sar/ prinsip-prinsip ’’Rule of Law” dari pada ’’Socialist Legality’*^ iancr H f 3" ’’pratical application masih memungkinkan adanja saran, pertimbanr, oertimbangan ataupun recomendasi dari badan-badan extra-judfcieel pun :a mengakui ’’independency’’ dari Hakim. , ' Masa'ah kemcrdekaan Kekuasaan Kehakiman. Tidak ada suatu divergensi pandangan kiranja antara kita semua, antara Saudara Pemrasaran dan kami. Kita menghendaki suatu Kekuasaan Keha kiman jang merdeka, jang merupakan suatu ’’central point” dari masalah ini dan jang merupakan suatu ketentuan, bahkan djaminan constitu ionil. Dan kiranja djuga terdapat suatu identitas opini apabi’a dikatakan bahwa kemerdekaan dalam Kekuasaan Kehakiman mengandung suatu kebebasan with the exercise of the judicial function” atau ”in the exercise of
their funct’on .
Para Hakim adalah “hmcM oaf bebas bebas dari tjampur alaupun turun tangan E x e c u te ma,,pun Legts am-e. Textbook mengenai persoalan ini tidak akan memungk.r, kebenaran ,m, dan ch.snsnja dalam hubungannja dengan . ?■ Jr „ k,aml persllahknn membatja salah satu conclusi dari Cnnfrensi d. New De.hi ("The R u!e of Law" in a free socieTy”-) d im ^ a national Commission of Ju ris t’, jang manghendaki agar supaja konsep ’’Rule
of Law dapat diangkat sebagai suatu ’’supra-national” concept ia me njatakan antara lain : concept, ia me231
’’Independence here implies freedom from interference by the Executive or Legislative with the exercise of the judicial function ’ Ia mcngandung suaiu 'freedom /rorn dan ’/ rcedoin lo r', jang berarti kebebasan dari "interference'' dan kebebasan untuk mendjalankan tugas judicielnja. Ia tidak berarti bahwa ia mcngandung suatu kebebasan setjara absolut, melainkan dalam mcndjalankau aigasnja itu Hakim tidak boleh bertindak sewenang-wenang. ’’Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbi trary manner” , demikian dikatakan antara Iain oleh Kongres International Commission of Jurists tersebut. Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman itu tcrang mendapat batas-batasnja pada Hukum, terhadap nuuia Hakim itu harus "’subordinated* dan t id a k d a p a t bertindak ’’conIra-legem’’. Dalam Negara Sosialispun. chususnja scsudah Stalin meninggal, maka to rule, administer, or judge” contra-legem, tidak akan dibenarkan. Adjaran Vyshinsky-pelaksana utama dalam Irdang Hukum dari gagasan Stalin, jang menjatakan bahwa para Hakim djangan ragu-ragu meninggalkan hukum dan mereka harus patuh mullak kepada dircctiva-directiva Partai jang merupakan aturan tertinggi bagi para Hakim tersebut. tidak akan mendapa; tempat dalam hati sanubari kita dalam menegakkan Kekuasaan Kehakiman jang merdeka. D ju ga suatu fase dalam Negara-ncgara Sosialis, dimana para Hakim dilarang untuk mcnundjuk pada peraturan-peraturan sebelumnja. dengan mengambil ’’revo’utionary conscience" sebagai landasan dan pedonian, tidak akan membantu kit. a untuk mentjari azas-azas dari Kekuasaan Kehakiman jang merdeka. Hakim, karena itu, harus mengadili menurut Hukum. sedangkan apabila Hukum ini tidak ada, maka tak mungkin ia mcnjulapnja dari "luchtledige’’. Sebaliknja djika H u k um itu ada, tak mungkin baginja untuk melanggar11ja dan tidak boleh ia mengadili bertentangan dengan Hukum. ia tidak boleh mengadili "contra-legem” . Tidak boleh kiranja seorang Hakim dengan menjembunjikan diri pada revolusi, seolah-olah revolusi itu membenarkan segala tindakan tanpa Hukum, mengadili sesuatu jang bertentangan dengan Hukum. Djustru karena Hakim itu ’’sumbordinaled” kepada Hukum, maka Hukumlah merupakan rcstiuksi jang sah, '.erhadap kebebasannja dalam mendjalankan tugas. Bahkan dapat dikatakan. bahwa Hukumlah jang harus mendjadi lan dasan dalam segala tindakan dan putusannja ; untuk itu Hakim adalah penefjak hukum. Kadang-kadang ia dirumuskan sebagai suatu kebebasan jang luas, sehingga ia melingkupi ’’condit:ons which exclude any external influence upon the judges” a ta u "independent of extra-judicial factors’’, jang menggambarkan bahwa ia tidak sekedar mengenai larangan tjampur tangan setjara institutionil dari badan-badan lain, melainkan ia hendak mendjauhkan pengaruh ataupun factor lain dari Pengadilan-pengadilpn dalam mendjalankan tugasnja. Kita mengetahui, bahwa pengaruh dari luar terhadap Pengadilan2 232
dalam beberapa N egara, chususnja dalam Negara-negara Anglo Saxon hendak dihindari dengan penjiptaan delik-delik ’’contempt of cout’’, jan g berm aksud hendak memidanakan mereka jang m e r u p a k a n rintangan atau hambatan terhadap djalannja ’’administration of justice’’ jang fair.
Ia bahkan ditingkatkan pada ketentuan international, sewaktu Draft Convention on Human Rights mengakui adanja suatu ’’freedom of informa tion ataupun "freedom of expression”, „opinion’’, dengan disertai tanggung djawab. jang dapat dibatasi setjara restriktif dan limitatif, antara lain oleh ’’fair administration of justice” sebagai suatu restriksi jang sah sjfatnja. Disamping Negara-negara Anglo Saxon jang sangat strict dalam hal ini, kl'.a melihat, Perantjis, Denmark, Luxemburg dan lain-lain jang menghendaki suatu "court-reporting’’ jang ’’fair’’ dan ’’honest”, sedangkan kadang-kadang diadakan larangan untuk mempublisir surat-surat pengadilan sebelum diada kan pemeriksaan dimuka umum. Untuk kepentingan suatu peradilan jang baik, maka hampirlah dapat dikatakan, bahwa setiap negara berusaha untuk mentjegah Pers, mass media lain atau pernjataan-pernjataan lain mempengaruhi Pengadilan-pengadilan chususnja sebelum ia mendjatuhkan putusannja. D i Negeri Belanda sendiri dibenkuk sebuah Commissie Politie-Justitie dan Pers, dibawah pimpinan Prof. M r. J.M. V an Bemmelen, jang menginginkan adanja suatu hubungan cooperatif tanpa meletakkan mereka dalam posisi jang confrontatif antara ketiga-tiganja badan tersebut. Dimaksudkan pula, agar supaja pemberitaan itu djanganlah merupakan rintangan ataupun sampai ’’impeding’’ djalannja peradilan. Ia menjerukan kepada Pers, agar supaja Pers chususnja dalam pemberitaan peradilan mendjauhkan diri dari sifat-sifat (’’opinierend” , commentarierend dan ’’culperend’’, sehingga pada hakekatnja Pers membatasi diri pada ’’factual statements’’. Pada umumnja ia mengandung suatu persoalan, bagaimankah kita hendak m e n je le n g g a r a k a n ’’fair administration of justice” dengan adanja kebebasankebebasan jang ada pada Pers ; pada intinja ia merupakan suatu masalah ’’free press’’ dan ’’fair trial”. Kebebasan Hakim dalam mendjalankan tugasnja dapat diwudjudkan dg. l a r a n g a n - l a r a n g a n tjampur tangan dari Badan-badan lain, disamping men djauhkan pengaruh extra-judicieel setjara institutionil. Namun demikian, untuk menghapuskan sama sekali adanja pengaruhpengaruh, tekanan-tekanan dari pihak lain kiranja merupakan suatu hal jang belum mendapat realisasi jang sempurna. Memang, suatu compulsion’ tidak boleh dilakukan, meskipun Hakim — seperti halnja dengan setiap pedjabat dan penegak hukum — tidak akan kebal dari adanja ’infulence dan pres sures” dari pihak luar. Dalam hal terachir, hanja karaktervo-heid dan wibawa dari para Hakim akan menolongnja dari pelaksanaan tugas, jang harus dila kukan dalam segala ketenangan dan kebebasan. D i pihak lain, djuga harus diusahakan, agar supaja para pedjabat men djauhkan diri dari pengurusan ataupun tjampur tangan dari perkara-perkara jang tidak mendjadi kewenangannja dan urusannja. Dalam hubungan inilah, kita mellihat instruksi kepada A B R I agar supaja mereka djangan mengurusi perkara-perkara pidana 'dan perdata. dimana ia bukanlah orang jang berkepentingan, sebagai suatu usaha jang patut dapat dihargai. Ia dapat dilihat sebagai suatu p e n g e r t ia n terhadap tugas seorang Hakim jang semestinja dilaksangkan dqlam suasana kebebasan.
233
Sualu kebebasan jang dilakukan dalam lingkungan pclaksanaan tugas judicieelnja berarti pula, bahw a hal demikian tidak m cngandung suatu kem ungkinan, bahw a ’ ’Judiciary" m empunjai kebebasan pula untuk melctakkan dasarnja sendiri mengenai organisasi, wew enangnja. jang kesemuanja itu harus diatur oleh Badan Legislatif. Kami minta diperkenankan untuk inengutip lagi : ” It must be recognized that the Legislative has responsibility for fixing the general framwork and laying down the prinsiplcs of organization of Judicial business..................... ” jang dapat m enim bulkan kesimpulan. bahw a Kehakiman jang merdeka tidak~ lah m engandung suatu kemerdekaan utk. mclctakkan dasar ataupun kcrangka um um nja mengenai kekuasaan ataupun organisasi dari Badan- Pengadilan, melainkan hal tersebut diserahkan kepada Badan Legislatif uniuk tneneruukannja . D a la m hubungan ini, maka penjam paian R U U tentang Keientuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ; Sasunan. Kekuasaan dan H ukum A tja ra M ah k am ah A g u n g dan R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um , jang perlu mendapat perseludjuan dari D P R - G R . merupa kan suatu ketentuan, jang sesuai pula dengan konklusi dari Kongres Inter national Commission of Jurists, oCeh karena keten uan-ketentuan pokok ke kuasaan Kehakiman, demikian pula Susunan. Kekuasaan (H ukum A tjara) M ah k am ah A g u n g dan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um dise rahkan kepada Badan Legislatif untuk meneiapkan atau untuk mengaturnja. Ia bukan suatu "aangelegenheid” jang harus dipetjahkan oleh Badan Judicatif. A k a n tetapi disinipun Badan Legislaitnf harus bergerak dalam rangka tudjuan jang hendak ditjapai dengan perentjanaan tsb., dan apabila kemerdekaan untuk meletakkan "general fram ew ork” dan pfcinsip-prins-p mengenai kekuasaan Pengadilan diserahkan kepada Badan Legislatif ladi, maka kemerdekaan ter sebut tidak boleh disalahgunakan untuk mengadakan ketentuan-keteatuan jang bertentangan dengan azas Pengadilan jang bebas. Ia tidak mengandung suatu kemerdekaan jang mutllak tanpa retriksi ataupun jang vongebreideld,, sifatnja dan ia "gebonden" pula pada tudjuan jang hendak ditjapai, jaitu Ke kuasaan Kehakim an jang merdeka. Such measures however should not be employed as an indirect method of violating the independence of the Judiciary in the exreise of its Judi cial functions’*. D em ikian dinjatakan salah satu conclusi dari International Commission of Jurists dalam Kongres tersebut, sesudah ia menjatakan, bahw a Legislativelah jang m em punjai '’responsibility'’ untuk menentukan ’'general framwork’" dan meletakkan dasar- dari organisasi ataupun kekuasaan dari Pengadilan2. Suatu conclusi jang menegaskan sekali lagi, bahw a kemerdekaan itu adanja dalam rangka pelaksanaan dari '’judicial function’" sedangkan ia melarang adanja suatu penjalah gunaan dalam menentukan ’’genera! framwork^nja atau meletakkan dasarnja mengenai organisasi dengan melanggar kemerdeka an dari "Judiciary’’ dalam m endjalankan tugasnja. U ndang-undang N o. 19 tahun 1964, kem udian U ndang-undang N o. 13 tahun 1965, memberikan tjontoh tentang penjalah-gunaan setjara kasar terhadap kewenangan jang diberi-
234
kan kepadanja untuk mengatur tentang susunan, kekuasaan dari Pengadilan2 dengan membelokkan tudjuan kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman kedjalan jang kebalikan arahnja. Mendjadi tugas kita semua untuk melihat, bahwa peletakkan ’’general frame work” ataupun prinsip oleh Legislatif itu diluruskan kembali kepada tudjuan semula. jaitu suatu ’’Judiciary’’ jang indenpendent dan bahwa - dengan demi kian - prinsip ini di "rectzetten” apa jang dahalu adalah ’’onrecht’’, karena sualu peradilan jang tidak bebas tidak akan merupakan ingredient jang vital bagi suatu ’’Rule of Law”. 3.
Divergensi dalam identitas.
’’Uitgangspunt” kita kiranja identik sifatnja, jaitu dimana kita menjata kan, bahwa Kekuasaan Kehakiman jang merdeka terutama ditekankan pada ’pelaksanaan tugas” jang harus dilakukan oleh seorang Hakim. Ia adalah bebas dalam ’’judicial function”nja dan tidak ada perselisihan faham menge nai hal ini. Kami kira, kesimpulan bahwa kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman tidak diwudjudkan dalam kemerdekaan dari ’’Judiciary”, sendiri untuk mengatur dan meletakkan dasar-, prinsip-, susunan dan kewenangan dari Kekuasaan Keha kiman, adalah acceptabel. Hal demikian mendjadi tanggung-djawab dari Le gislative untuk mengaturnja. Maka perentjanaan Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah Agung, ten tang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, mendapat justifikasi. Terhadap kesimpulan diaias kiranja tidak akan terdapat keberatan prinsipieel pula dari Saudara Prasaran, sehingga apabila ia dapat diijakan, lial ini me nimbulkan suaiu "identity of conclusion”, ataupun ’’opinion” antara kita. Begitu pula, kemerdekaan tersebut - dalam pengertian negatif - tidak berarti bahwa Hakim bo’eh bertindak sewenang-wenang ataupun boleh melakukan sesuatu jang bertentangan dengan Hukum, mendjadi ’’common opi nion” antara kita. • i_ n Suatu differentiasi pandangan dalam approach persoalan dapat menimbulkan suatu pandangan ]ang divergerend. apabila kita mula. dengan pembahasan persoalan Kekuasaan Kehakiman dan penjelenggaraan admimstrasi Pengadilan. jang merupakan suatu "betuurstaak" ataupun bestuursfunctte dan ,ang antara lain terdiri atas ”de zorg voor het in g e r e e d brengen en ou en van e geheele regeermachinel" dan ’’regeermiddelen , de zorg wa p n n e zelf standigg moet worden gedaan, het instrueren en con ro eren v on exheebenden en helpers dan "het verabtwoordenvan, wat al b,j deze arbetd gedaan of gelaten is” seperti dikemukakan o eh Van Vollenhoyen,t,d a k dapat dipandang identik dengan ••administration of just.ce *, ,ang leb.h diarfkan se bagai djalannja peradilan daripada penjelenggaraan admmtstras, pengaddan-. Bagi kami, kutipan Saudara P e m r a s a r a n , bahwa • . , ’’The Judiciary should have the ability to admimster just1Ce effectively, efficiently, fairly and with reasonable dignity • # . Menimbulkan suatu pertanjaan, apakah kata- to administer justice effectively etc*’, tersebut bermaksud menggambarkan suatu administration of justice , jang harus mendjadi tudjuan dari tiap Pengadilan, jaitu djalannja peradilan jang harus efficient, effectif dan fair itu, ataukah ia menghendaki adanja kewenangan ’’adminstratif” jang harus diserahkan kepada Pengadilan2, se235
perti hendak digam barkan sebagai penutup se-olah- administrasi Pengadilan, chususnja M a h k a m a h A g u n g , itu harus dilepaskan dari Departemen Kehakiraan. Saudara Pem rasaran m em andang perlu adanja suatu ’’historische terugblik*' untuk m entjapai kesimpulan : 1. 2.
D ualism e dalam arti R. spraak voor Europeanen dan R . spraak voor Indonesiers memang telah dihapuskan ; D ualism e dalam arti personele uni masih tetap dipertahankan.
K esim pulan jang terachir ini menimbulkan pertanjaan, apakah Kekuasa an K ehakim an itu bebas dari pengaruh kekuasaan Executif apabila para H a kim merangkap pegawai Departemen Kehakiman. Ia dikw alifisir sebagai pe ngaruh tidak langsung dan jang m empunjai pengaruh terhadap kebebasan Kekuasaan Kehakim an (H alam an 11 presaran). H a l .ini djuga berarti - dem ikianSaudara pemrasaran - bahwa bagian jang terpenting dari struklur organisasi Kekuasaan Kehakiman terletak atau mendjadi wewenang D epartem en Kehakiman tegasnja tergantung (afhankelijk van) dari pada Departemen Kehakiman, pada hal maksud dari struktur dan organisasi ini seharusnja ialah agar kekuasaan Kehakim an bebas dari penga ruh Departemen Kehakim an djuga dari pengaruh jang tidak langsung. "Aproach*’ jang berlainan inilah, jang kiranja akan menimbulkan kesimpu lan2 jang divergerend dalam persoalan administrasi ini. Saudara Pemrasaran berpendapat, bahw a karena H akim adalah pegawai Departemen Kehakiman (dipandang sebagai suatu ’ persolene unie*’ ), hal demikian mempengaruhi ke bebasan Kekuasaan Kehakiman. meskipun setjara tidak langsung, tanpa menjim pulkan lebih landjut apakah dengan demikian suatu peraturan tersendiri lepas dari Pegawai biasa, sudah memenuhi keinginannja ataukah Judiciary sendiri jang harus menjelenggarakan adm inistrasinja sendiri ataukah asal penjelenggaraannja itu dilepaskan dari Departem en Kehakiman ? D engan sementara melepaskan kesimpulan Saudara Pemrasaran, bahwa ba gian terpenting dari struktur dan organisasi Kekuasaan Kehakim an mendjadi wewenang Departemen Kehakiman, tegasnja tergantung dari pada Departe men Kehakiman, pada hal maksud dari struktur dan organisatie ini ialah se harusnja agar Kekuasaan Kehakiman bebas dari pengaruh dari Departemen Kehakim an (djug a pengaruh jang tidak langsung), maka vaproachM kami le bih kami dasarkan pada pertanjaan, apakah kekuasaan Kehakiman jang mer deka itu djuga m engandung kemerdekaan untuk menjelenggarakan adminis trasinja sendiri. D engan istilah undang2, apakah Judiciary mempunjai kemer dekaan menjelenggarakan administrasi, organisasi dan financielnja sendiri, sehingga ia tidak dimasukkan dalam kewenangan dari suatu Departemen atau pun badan Executif m anapun.
Co-operation, Consultation antara judiciary-Erecu'ive/LegislaUve. Persoalan ini merupakan suatu pelandjutan logis dari masalah kemerde kaan Kekuasaan Kehakiman, jang bebas dalam m endjalankan tugasnja judicieel, tetapi tidak bebas untuk meletakkan "general fram work’’, dasar2 dari susunan, kewenangan dari Kekuasaan Kehakim an dengan ketentuan, bah w a ia tidak boleh melanggar prinsip kemerdekaan H akim . H a l ini mendjadi tanggung-djawab Legislative untuk m engaturnja, sedangkan dalam penje~ lenggaraan administrasi ini tidak tertutup kemungkinan, bahw a ia menj&ngkut pula suatu B adan di Luar O rg an Kehakiman.
236
Masaalah Kekuasaan Kehakiman, jang meliputi persoalan ’’judicial power,, „judicial organisatios”, ,.judicial administration” dan ’’judicial personeeP’ harus dapat memetjahkan pertanjaan- bagaimana chususnja penjelenggaraan administrasi terhadap ’’judicial personnel” hams dilaksanakan. Djikalau peletakkan dasar dari "general framework’’, susunan, kekuasaan Pengadilan itu mendjadi tanggung-djawab dari Legislative, maka chususnja persoalan ’’judicial personnel" dapat disalurkan melalui 2 djalan Persoalan ’’judicial personnel” jang harus mendapat mendjamin Kekuasaan Kehakiman jang be bas dan jang meliputi masalah2 pengangkatan. pemberhentian, promosi, ’’re moval”, „tenure of office” dll., dapat dipetjahkan setjara legislative, apabila ia mengenai prinsip2 ataupun azas2 dari Persoalan2 tersebut. Demikian misalnja, ditentukan suatu ’’tenure of office”, suatu masa djabatan tertentu jang kadang2 menjimpang dari ketentuan2 bagi pegawai lainnja, dalam beberapa negara bahkan ia diperluas mendjadi djabatan seumur hidup (’’during good behaviour” ). Kesemuanja dimaksudkan agar supaja para Hakim dapat mendjalankan tugasnja da!am kebebasan dengan tenang; sedangkan disamping itu perlu ada djaminan. bahwa Hakim hanja dapat di ’’removed” dalam keadaan tertentu sadja. sehingga para Hakim tersebut dapat mendjalankan tu g a s n j a dengan tenang tanpa chawatir, bahwa ia setiap waktu dapat digeser. Prinsip2 tersebut ditetapkan oleh Badan Legislatif; kesemuanja itu menudju ke-satu arah, agar supaja kebebasan Pengadilan dan Hakim dapat dipastikan. Berdasarkan peraturan2 legislative pula dapat distipulir lebih landjut, organ- manakah jang mendapat kewenangan dalam soal2 administratip, seperti pengangkatan. pemberhentian, promosi, dan lain2, sedangkan penje le n g g a r a a n administratifnja adalah suatu ’’bestuursfunctie” suatu ’’bestuurstaak”, jang menuput hakekat dan sifatnja dapat diserahkan kepada Badan2 Executive, sebagai suatu organ jang harus mendjalankan tugasnja ia harus mempersiapkan ’’regeer-machine” dan ’’regeermiddelen” jang diperlukan un tuk dapat melantjarkan tugas jang bersangkutan. Berkelebih-lebihan kiranja perlu dikemukakan, bahwa suatu Negara H u kum, Rule of Law tidak mengenai adanja satu factor jang ’’doorslaggevend’% jang determinerned dan memastikan, melainkan ia mengenai faktor2 dan kehendak2 jang mengadakan imbangan satu sama lain, sedangkan dalam demokrasi ’’chek and balance” adalah suatu pririsip jang wadjar dan acceptabel si fatnja. Dalam hubungan demikian, dapatlah dimengerti bahwa chususnja dalam pengangkatan dan pemberhentian para hakim, Kongres International Com mission of Jurists di New Delhi dan jang dalam masaalah ’’The Judiciary and Legal Profession under the Rule of Law”, melihat adanja suatu bahaja potentieel ( ’’potential dangers” ), apabila pengangkatan dan pemberhentian itu mendjadi wewenang satu-satunja, ’’exclusive appointment” dari^ Legisla tive, Executive, atau Judicative (Judiciary). Suatu ’’exclusif appointment” , baik ia dilakukan oleh Legislative sendiri, atau oleh Executive maupun oleh Judiciary, dipandang bertentangan dengan ’’Rule of Law” bahkan dipandang sebagai suatu ’’potential dangers’’. Karena itu, kita akan melihat, bahwa baik menurut Hukum maupun dalam practeknja, terdapat sematjam kerdja-sama (’’cooperation” atau se-tidak2nja suatu ’’consultation) antara ..Judiciary” dan pedjabat jang berwenang mengadakan suatu ’’appointment” .
237
D em ikian dikatakan oleh Kongres International Commission of Jurists, berthema ’'The R ule of Law in Free society” , antara lain :
jang
,9There are also potential dangers in exclusive appointment by the Legislative, Excutive or Judiciary, and where there is on the whole general satisfaction with the calibre and independence of judges it will be found that either in law or in practise ihcrc is some degree of co operation (ar at least consultation) between the Judiciary and the authority actually making the appointment". Suatu co-operation'9, atau setidak-tidaknja suatu ’’consultation" antara Judiciary dan Pedjabat jang berwenang mengadakan pengangkatan, dalam hal ini Executive, ini merupakan suatu ’’safeguarding” terhadap " Rule of Law*9. Pengangkatan oleh Executive sendiri dengan ’’uitsluiten'’ Badan lain seperti B adan ’Judiciary’’ m enim bulkan bahaja ”verpolitisering,\ subjectivisme da lam pengangkatan. M eskipun demikian, ia masih menghadapi adanja pengaw asan oleh Legislative, akan tetapi suatu pengangkatan exclusif oleh Judi ciary, jang tidak boleh ditjam puri dan dipengaruhi oleh Executive ataupun Legislative, akan m endjauhkan Judiciary dari pengawasan matjam apapun. Kedua-duanja, suatu pengangkatan exclusif oleh Badan- tersebut. Executive, Judiciary dan oleh Legislativepun, akan m engandung bahaja; karena itu, djuga sebagai bentuk '’check and balance’', perlu ada suatu kerdja-sama atau consultasi antara Judiciary disatu fihak ataupun Executive (dan Legislative). Kesim pulan dem ikian tidak akan membenarkan, penjelenggaraan administrasi, chususnja dalam pengangkatan, pemberhentian, promosi dll. oleh Judiciary sendiri Rule of Law tidak akan membenarkan hal demikian, kerdja-sama atau pun consultation dengan Executive (atau Legislative) diperlukan untuk ini. D alam soal2 pengangkatan, pemberhentian, promosi, pemindahan dll. urusan 2 adm inistratif memang terdapat beberapa systeem, jang bergerak an tara pem ikiran bi-polar dim ana M ah k am ah A g u n g '’have no say'' dalam soal2 pengangkatan dan pemberhentian para H ak im (A m erika Serikat, Philippina) dan M a h k a m ah A g u n g m em punjai sebuah sekretariat jang kuat karena inschakeling M a h k a m ah A g u n g sebagai satu2nja badan dalam rangkaian peng angkatan. pemberhentian para H ak im (D jepan g , India dll.). D ia n ta ra n ja M ah k am ah A g u n g diikut-sertakan dalam pengangkatan atau pem berhentian para H akim dengan memasukkan M ahk am ah A g ung tersebut dalam suatu badan jang memberikan pertim bangan 2 kepada pedjabat jang berwenang m engangkat. P engangkatan para H ak im dengan dem ikian um um nja dilakukan oleh Kepala N egara, oleh Presiden dengan pertim bangan 2 dari sebuah badan consultatif, baik ia dinam akan ’'superior Council of the Judiciary" (Perantjis) ataupun suatu Judicial Service Com m ission (N ig e ria ), Sierra Leone, T anganyika), se dangkan ada k alan ja suatu Komite (Israel) jang memberikan pertimbangan kepada pedjabat jang berw enang m engangkat para H akim . D i M alaysia pengangkatan para H ak im terletak ditangan Y a n g di Pertuan A gong berdasarkan pertim bangan dari Perdana M enteri. sesudah m engadakan konsultatie dari ’’Conference of R u le rs " dengan m engingat pertim bangan 2 dari Chief Justice. (6 7 ). A p a k a h pertim bangan 2 tersebut diberikan oleh Mahkamah Agung sendiri ataukah Mahkamah Agung , jang di^incorporasikan dalam suatu Badan, entah
238
ia dinamakan suatu "C ouncil’* Commission ataupun sebuah Komit^e ia tidak me ngurangi ketentuan diatas, bahwa chususnja dalam pengangkatan, pemberhentian ataupun suatu promosi, ada suatu cooperation atau consultation antara "Judiciary" dengan "Executive"’ jang berwenang mengangkat. Ia menghadapi suatu posisi jang lebih menguntungkan dari pada Ketua M ahkam ah A g un g di Amerika Serikat ataupun Philipina, jang "has no say in the selection and appointments of judges and justices". Ia lebih mendjamin kebebasan dari ’’Judiciary" dari pada pengangkatan pa ra H akim jang dilakukan dengan djalan pemilihan. T jara demikian lebih mengandung risico terhadap kebebasan Hakim, karenanja dapat dimengerti sa lah satu kesimpulan dari Kongres tersebut. jang antara lain menjatakan : "T he selection of judges by election and particularly by reelection, as in some countries, presents special risks to the indpendence of the Judiciary .... ............................ Suatu co-operation alau ’’consultation” antara Judiciary dengan Executive jang berwenang mengangkat, ’’vooronderstellen" bahwa pengangkatan, pemberhentian. promosi dll. para H akim tidak dapat dilakukan oleh Judiciry sen~ diri, djustru karena ia akan terlepas pengawasan oleh Legislative ataupun Executive. Coorperation ini djustru dikehendaki oleh ’’Rule of Law’\ sedangkan suatu "Executive appointment’ ’ dipandang mengandung bahaja potentieel bagi ’’Rule of Law9', djadi djuga bagi kemerdekaan Pengadilan. D engan demikian, tidak dibenarkan adanja suatu kesimpulan, jang m enjata kan, bahwa kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman itu djuga meliputi penjelenggaraan administrasi, jang sudah barang tentu meliputi pengangkatan. pemberhentian, promosi d!l. para Hakim. Kechawatiran, bahwa akan timbul dualisme, apabila pelaksanaan tugas diserahkan kepada Judiciary dan penje lenggaraan administrasi disediakan bagi Executive, adalah ’misplaatsts", Ketentuan demikian, jang melihat se-olah2 penjelenggaraan administrasi oleh Executive dapat mengurangi. mempengaruhi kebebasan Pengadilan bahkan tidak dibenarkan oleh ’’Rule of Law ’’. Bahkan Rule of Law tidak dapat memahami penjelenggaraan administrasi dalam soal pengangkatan, pember hentian dll., jang dilakukan oleh ’’Judiciary" sendiri dengan mendjauhkan Excecutive dari pengangkatan 2 tadi. Pelaksanaan tugas oleh Judiaciary dan penjelenggaraan administrasi jang tidak sepenuhnja ada ditangan Judiaciary dan penjelenggaraan administrasi jang tidak sepenuhnja ada ditangan Judiciary, karena itu, tidak merupakan suatu masalah duallisme. Bahkan ’’cooperation” dan "consultation” dengan Executive, merupakan sjarat jang perilu dipenuhi o.eh azas Rule of Law # Penjelenggaraan administrasi, chususnja berhubungan dengan judicial personel" sebagai salah satu aspek dari masalah Kekuasaan Kehakiman, me liputi persoalan pengangkatan, pemberhentian dan promosi para H akim . Kesemuanja itu merupakan salah satu tjara seleksi terhadap para H akim ♦ ia „zuiver” m erupakan ,.bestuursfunctie’\ Disam ping itu, sebagai suatu mas alah ’’judicial personnel", maka soal ,,irrem ovability’ ataupun ’’tenure of office” perlu m engandung ketentuan2. jang pada hakekatnja merupakan "safeguarding” terhadap "R u le of Law ” , chususnja jang mengenai kebebasan H akim . Suatu ketentuan tentang masa djabatan ataupun djam inan bahw a kem ungkinan ’’rem oval" hanja dalam hal2 jang exceptionil, memberikan suatu ketenangan, dan kepastian bagi para H akim untuk m endjalankan tugasnja de-
239
ngan bebas ; ia adalah "bevorlijk’’ bagi pelaksanaan tugasnja setjara bebas.
Dua&sme dalam personele lim e . T id a k terluput kami dari suatu kesan. seo!ah Saudara Pemrasaran menjoroti salah satu aspek dari masalah Kekuasaan Kehakiman jang merdeka. Suatu kesan jang timbul setelah hal- dikemukakan olehnja, jang dapat menud ju kesoiatu identitas opinion, jaitu dim ana Saudara Pemrasaran antara lain m enjatakan. bahw a Kekuasaan Kehakiman jang bebas berarti, bebas dari tjam pur tangan Pemerintah dalam melaksanakan peradilan dan bukan berarti suatu isolasi mutlak dari lembaga 2 konstitutionil lainnja (kcsimpulan 1 ) atau dim ana dikatakan, bahw a kebebasan H akim Indonesia dalam mengadili perkara merupakan suatu vrijheid in gebondenheid (kesimpulan 4) dan lain-nja. Selandjutnja belum dimasukkan m asalah1' jang menjangkut pelaksanaan tugas Pengadian dalam hubungannja dengan Badan- lain, Executive ataupun Legislative. D a r i pada itu, dengan m em pergunakan "historische terugblik” , perhatiannja lebih banjak dipusatkan pada pertanjaan obsessionil, apakah H a k im 2 itu perlu clilepaskan atau tidak dari Departemen Kehakiman. Suatu pertanjaan dan pendjaw aban. jang "bijvoorbat’’ dapat diduga semula dan jang pada achirnja tiba pada suatu kesimpulan, bahwa selama H ak im itu belum dilaksanakan pelaksanaannja dari Departemen Kehakiman maka hal ini berarti Kekuasaan Kehakim an belum terlepas dari pengaruh Exe cutive (dan belum ada djam inan bagi kedudukan H akim jang dikehendaki oleh U ndang-undang D asar 45, (kesim pulan 1 1 ). Suatu kesimpulan jang dapat dihubungkan dengan kesimpulan lain (7), jang antara lain m enjatakan, bahw a H u k um Positif masih memandang M a h kamah A g un g setingkat dengan Sekdjen suatu Departemen sedangkan dalam P G P S 1968 H akim tidak m em punjai pernilaian judicatif melainkan mendapat persamaan (inpassing) sebagai pegawai eksekutip, bahkan bagi golongan F II s /d F .V gadji pokok m endapat nilai jang lebih rendah dari pada pedjabat executif. Sebuah uraian pre-liminer diperlukan untuk mentjapai kesimpulan 2 demi kian, jang tam paknja ’’inter-related" dan bahkan berdjalan ( ’’verweven") satu sama lain. Tidak mungkin Kekuasaan Kehakiman dapat bebas dari pe ngaruh kekuasaan Executive apabila para H akim merangkap sebagai pegawai Departem en Kehakim an, setidak-tidaknja pengaruh tak langsung ada jang m em punjai akibat terhadap Kekuaaan Kehakiman. Ia m elandjutkan pandangannja, bahw a hal ini djuga berarti bahwa bagian jang terpenting dari struktur dan organisasi Kekuasaan Kehakiman terletak atau m endjadi w ew enang Departemen Kehakim an tegasnja tergantung (afhankelijk vasi ) daripada Departem en Kehakim an pada hal maksud dari struktur dan organisasi ini seharusnja ialah agar Kekuasaan Kehakiman bebas dari pengaruh Departem en Kehakim an djuga dari pengaruh jang tidak lang sung. D em ikian Sdr. A sikin K usum ah A tm ad ja S H dalam prasarannja. Selandjutnja, M ah k am ah A g u n g lah sebagai substitut dari Executive — dalam hal ini Departem en Kehakim an, dalam soal2 pemindahan, penempatan atau kenaikan pangkat para H akim , tam paknja hendak diadjukan oleh Sau dara Pemrasaran. sewaktu dinjatakan olehnja : ,,Sjukur apabila Departem en K ehakim an sedemikian besar tanggungd jaw abnja sehingga m enganggap dirinja hanja sebagai pelaksana sadja dari usul M ahk am ah A g u n g .........." (curs, dari kam i).
240
Pengangkatan, pemindahan, kenaikan pangkat para H akim dan Iain 8 tidak boleh tergantung dari (afhankelijk van) Departemen Kehakiman, bahkan harus dilaksanakan pelepasannja dari Departemen Kehakiman djadi dari Executive, untuk bisa mendjamin Kekuasaan Kehakiman jang bebas, sebab selama hal2 tersebut masih diselenggarakan oleh Executive, cq oleh Departemen Kehakim an, maka selama iitu djuga masih terdapat pengaruh — meskipun tidak lanqsung terhadap Pengadilan-' dan Hakim- dan selama itu pula oranq tidak dapat berbitjara tentang Kekuasaan Kehakiman jang merdeka D itarik terus maka persamaan sebagai pegawai executive untuk para H akim , tidak dapat dibenarkan oleh Saudara Pemrasaran. Dualisme dalam personele uni masih dipertahankan, demikian salah satu kesimpulan. U ntuk ini. Prof. V an Vollenhoven-lah jang diambil untuk dapat membenarkan kesimpulan tersebut dan jang antara lain menjatakan, bahwa dalam zanian dahulu tidak dapat dihindarkan bahwa peradilan itu serinq berubah mendjadi a_at kekuasaan dalam tangan Pemerintah, chususnja dalam soal ’’Inheemsche Rechtspraak" jang memungkinkan pedjabat- Pemerintahan Erooa didaerah dan dipemerintah pusat mempunjai pengawasan m aupun wewenancr tjampur tangan dalam Inheemsche Rechtsspraak tersebut, jang kesemuania itu menundjukkan bahwa kurang pada tempatnja, apabila satu orang itu adalah ’’bestuurder”, po’itie dan Hakim pada saat jang bersamaan. Personele unie inilah jang tampaknja dilihat oleh Saudara Pemrasaran, sewaktu para H akim mendapat persamaan sebagai pegawai executive, karena dimasukkan dalam ketentuan- PGPS-1968. Kami minta diperkenankan mengutiip Prof. V an VollenhoVen sendiri Staatsrecht Overzee halaman 158), sewaktu ia membitjarakan masalah ’’Scheidinq van macht in het Regeeren Overzee” dan menjatakan bahw a : "V a n deze laaiste samenvoeging van macht is niiet het gevaarlijkste, dat een leek rechtspreekt, maar dat eenzelfde man tegelijk bestuurder,’ politicoefenaar en rechter is” . Kutipan ini kami kemukakan untuk mengetahui, apakah perbandingan Saudara Pemrasaran mengenai personele unie tersebut dengan keadaan seka rang, dimana para H akim dipersamakan dengan seorang pegawai Executive dapat dikatakan ..treffend” ataukah ia merupakan suatu perbandingan jang agak pintjang djalannja. Pcnglihatan pertama memang akan melihat keduaduanja sebagai personele unie jang sama, akan tetapi penelitian lebih landjut tidak akan mentjapai kesimpulan demikian.
Bahaja jang timbul, apabila satu orang mendjabat ’’bestuurder, politieoefenaar en rechter’’ tegelijk, harus dihadapkan dengan suatu facta, bahwa » orang tersebut memegang djabatan ’’bestuurder. politie-oefenaar dan Hakim", sehingga ia mempunjai kewenangan dan berfungsi pula dalam bidang ”bestuur’’ ataupun dalam bidang peradilan. Saja kira, hal demikian tidak bisa kita terapkan begitu sadja terKadap Hakim, jang disamakan, dengan istilah Saudara Pemrasaran ,.mendapat per samaan’’ sebagai pegawai executive. Hakim disini mendjalankan fungsi, tugas nja dalam bidang peradilan. kewenangannja terbatas pada bidang peradilan dan tidak dapat diperluas pada tugasnja "bestuurlijk”, jang dapat mengkwalifisir dia sebagai seorang Executive. Tugasnja dan fungsinja adalah restriktif pada ’’judicial function”nja dan tidak diperluas fungsinja pada suatu ’’bestuurlijke functie, sehingga disini betul2 organ Judiciary mendjalankan tugas judicieel dan ia tidak bergerak dalam fungsi ’’bestuurlijk” ataupun executive.
241
H a k im sekedar m endapat persamaan sebagai pegawai executive dan untuk itu ia di "in passen’’ sebagai pegaw ai negeri menurut ketentuan- P G P S , se dangkan apa jang dikem ukakan oleh Prof. V an Vollenhoven berkisar sekitar seorang jang termasuk organ ’"Bestuur" akan tetapi m endjalankan fungsi ’'bestuurlijk, politionee! dan judicieel". O leh karena itu. perbandingan dengan gabungan fungsi dalam satu tangan. jang dapat menimbulkan bahaja jang tidak ketjil, seperti digam barkan oleh Prof. V an V ollenhoven. tidak usah m enim bulkan keberatan pada Saudara Pem rasaran, oleh karena apa jang dikernukakan oleh S audara Pemrasaran tentang persamaan H akim dengan pegawai Executive itu sebetulnja tidak ’ covered” oleh keberatan- V an V ollenhoven dan tidak m enggam barkan seorang H ak im dengan "bestuurlijk functie” ataupun sebaliiknja seorang Executive dengan suatu ’’judiciele functie’’. Ia tidak meng gam barkan adan ja accumulasi ataupun contrasi fungsi dalam sa u tangan. Persam aan H ak im sebagai seorang pegaw ai Executive tidaklah berarti, bah w a organ Pengadilan, H akim , m endjalankan fungsi ’’bestuurlijk" ataupun sebaliknja seorang Executive dengan suatu "judiciele functie,\ Ia 1idak mengjudicieel fungsi peradilan ’'in handen van het bestuur’’, fungsi ’’rcchtspraak’\ p eradilan tidak akan diperm ainkan oleh organ bestuur, ataupun organ exe cutive. M a k a teranglah, bahw a apa jang dichaw atirkan oleh Prof. V a n V ollen hoven tidak menutupi apa jang digam barkan oleh Saudara Pemrasaran me ngenai "Personele U n ie ’’. D a n , apabila kita landjutkan kechawatiran V a n V ollenhoven tersebut, jaitu adanja accumulasi kewenangan ataupun fungsi dalam satu tangan. apa kah kita tidak akan m enanjakan persoalan, dim ana sebaliknja organ Penga dilan, H akim , itu m endjalankan tugas ’’bestuurlijk’’ apabila ia mendjalankan tugasnja dalam bidang kew arganegaraan, jang djelas tidak merupakan fungsi judicieel ? H aruskah kita m endjurus kesatu conclusi, jang menjatakan, bah w a fungsi "bestuur’’ disini m endjadi ’’machtsmiddel in handen van den R echter", jang lalu m enim bulkan keberatan2 pada Saudara Pemrasaran, jang hingga sekarang tidak *’weerleggen” anom ali itu. dim ana H akim sebagai pe djabat jang bergerak dalam bidang "bestuurlijk" ? K onklusi demikian tidak usah kita trasirkan untuk Saudara2. Kita mengetahui semua, bahw a ’’separation des pouvoirs" dalam bentuk aseli dan extreemnja bahw a harus ada isolasi total antara tiga kekuasaan. telah ditinggalkan. A d ja ra n M ontesquieu, bahw a kekuasaan legislatif sebagai pouvoir le gislatif harus diserahkan kepada kekuasaan legislatif sebagai "corps legisla tif", pouvoir executive harus ada pada corps executive dan pouvoir judicieel pada organ ataupun corps judicieel, sehingga '’separation of powers" terse but disertai dengan suatu ketentuan bahw a pouvoirnja itu harus diserahkan kepada organ jang bersangkutan, tidak sesuai lagi dengan kehidupan dan kenjataan hukum . U rusan Pem erintahan constitutionil sekarang adalah demikian complex sifatn ja seperti pernah kam i katakan, sehingga sukar sekali, bahkan dikatakan ti dak m ungkin untuk menentukan suatu lingkungan dan tugas kewadjibannja m asing2 bagian, m asing2 kekuasaan sedemikian rupa, sehingga kekuasaan itu berdaulat dalam lingkungannja. O rg a n dan fungsi itu terdjalin, "inter-rela ted" satu sama lain; ia tidak m enggam barkan suatu isolasi jang mutlak dan complete antara bagian jang satu dengan jang lain dan ia sekedar menggam-*
242
barkan dan menentukan suatu area jang tidak boleh dilanggar atau dim asuki oleh kekuasan lain. Karena itu, bukanlah suatu hal jang melanggar suatu ’’machtenscheiding’' jang doktriner, apabila H akim kadang 2 memasuki suatu pouvoir executjf, seperti halnja dengan urusan 2 kewarganegaraan. Bagaim anapun djuga, demikian pernah kami kemukakan, dalam pengertian jang luas, maka prinsip bahwa kekuasaan 2 itu harus ada pada tangan jang berbeda-beda. dalam ’’distinchands’’ dan tidak diletakkan dalam satu tangan, diterima oleh constitusi2 modern. D an salah satu maxim dari constitutionalisme adalah, bahwa Pengadilan itu harus bebas dari pengawasan, pe ngaruh dan tjam pur tangan dari Kekuasaan lain. Persamaan H akim sebagai pegawai Executive, seperti dikemukakan oleh S au dara Pemrasaran tidak usah menimbulkan kechawatiran jang pernah digarabarkan oleh Prof. V an Vollenhoven, jaitu "rechtspraak" sebagai functie mendegenerir diri ( ’’verworden” ) mendjadi suatu "m achtsmiddel in handen van het bestuur” (sebagai o rg an), oleh karena w aktu itu beberapa fungsi dipusatkan pada satu tangan; satu orang adalah "tegelijk bestuurder, politieoefennar en rechter’’. M aka, dimana dalam djalan fikiran V a n Vollenhoven masih dapat membajangkan ’’personele unie” , gambaran demikian sukar dapat direflektirkan pa da Saudara Pemrasaran, sewaktu dikemukakan olehnja tentang ’’personele unie” . D engan demikian, ia tidak menimbulkan persoalan ’’dualisme’’ dalam arti personele unie, karena fungsi Hakim , peradilan tidak diletakkan dalam ta ngan H akim sebagai orang. Ia hanja sekedar m engandung persamaan sebagai pegawai executif dan menentukan tempatnja dalam kepangkatan kepegawaian. D an, agak disajangkan, bahwa dalam ”overijver”nja Saudara Pem rasaran m enggambarkan suatu persamaan jang tidak sesuai dengan kenjataan. A d a lah tidak benar, djelas ia menjatakan, bahwa bagi golongan F II s /d F V gadji pokok mendapat nilai jang lebih rendah dari pada pedjabat executif. Kebalikannja adalah benar, "het tegendeel is w aar” . D justru golongan H a kim inilah mendapat pernilaian jang lebih tinggi dari pegawai D epartem en kehakiman lainnja, sedangkan persamaan tiap2hakim dengan seorang Kepala U n it dalam tingkatan departemental dan tundjangan chusus bagi para H ak im jang tidak diperoleh pedjabat 2 lain tidak akan menimbulkan kesimpulan, seolah 2 para H akim , dibandingkan dengan pegawai2, rekan 2 sardjanaa hukum dari Departemen, itu agak "stiefmoederlijk bedeeld” tampaknja.
Persamaan dengan pegawai Execotif-Kekuasaan Kehakiman jang tidak merdeka ? Persamaan H akim dengan pegawai executif bukanlah dualisme dalam arti personele unie ia sekedar merupakan penempatan H akim dalam tingkatan dan kepangkatan kepegawaian. D jik a la u garis pembatasan ini ditarik hingga kini, maka keberatan 2 Saudara Pemrasaran dapat ditam pung dengan adanja suatu peraturan tersendiri da lam rangka kepegawaian jang ada. A k a n tetapi, djika dualisme dalam arti personele unie hendak diteruskan pada ftiasalah "dependency*’ dari Judiciary dari Executive cq. Departem en K ehakim an, jang tidak langsung sifatnja, maka perlu kita menelaah persoalan jang diketengahkan ini. Dikatakan oleh Sdr. Pemrasaran, bahw a persamaan (inpassing) sebagai
243
pegaw ai executif m erupakan hahaja latent akan kem ungkinan terulangnja kedjadian p e njalahg un aan K ekuasaan K ehakim an, karena masih "afhankelijk’’ dari K ekuasaan Executif. Kesim pulan dem ikian dapat diluibungkan dencjan kata- pra-persiapannja, jang m en jatak an : " H a l inilah saja m aksudkan dengan pengaruh jang tidak langsung dan m em punjai pengaruh terhadap kebebasan Kekaasaan Kehakim an. H al ini djuga bcrarti bahw a bagian jang terpeniing dari slruktur dan organisasi Kekuasaan K ehakim an terletak atau m endjadi w cwenang D epar temen Kehakim an tegasnja tergantung (afhankelijk t\in) dari pada Departcmcn Kehakiman , pada hal maksud dari struktur dan organisatie ini seharusnja ialah agar Kekuasaan Kehakiman bebas Jar: pengaruh De-
partemen Kehakiman djuga d iri pengirnh jang tidak langsung'*. S aja lepaskan lebih dahulu "o p m e rk in g ” mengenai "b agian jang terpenting dari struktur dan organisatie Kekuasaan K ehakim an terletak atau mendjadi w cw enang dari DcpartemCn K ehakim an................ jang hendak dihadapkan dengan ’"Rule of L aw ". Ia m enjatakan. bahw a general fram ework" dari prinsip- mengenai susunan. kewenangan dari Judiciary itu diletakkan oleh dan m endjadi tanggung-djaw ab dari L.egisla'.if melalui perundang-undangan, se hingga tak m ungkin kiranja untuk meliha! ini sebagai kew enangan dari D e partem en Kehakim an ataupun dari Judiciary sendiri. Selandjutnja, bahaja latent jang dilihat sebagai pen jalahgunaan Kekuasaan Kehakiman berhubung dengan "dependencvnja setjara tidak langsung dari Executif. fungsi - bestuur dan politic itu dilakukan oleh seorang Bestuurder atau "Politieoefenaar” . ..Rechtspraak" m endjadi ,,een maehtsmiddcl in handen van het bestuur” , apabila fungsi semuanja itu diletakkan dalam satu tangan jang mengaccumilir semua poavoir. ..Rechtspraak" dengan demikian mendja di een machtsmicldel in handen van het bestuur. £>aja katakan diatas, hal ini tidak terdjadi disini. Rechtspraak ini tidak terdjadi disini. Rechtspraak ini masih telap diselenggarakan o ’.eh H akim dan tidak terdapat suatu pertanda sedikitpun. bahwa Departemen Kehakim an mempengaruhi, tjam pur tangan apalagi turun tangan dalam peradilan tersebut. D eng an dem ikian peradilan sebagai fungsi ditjam puri oleh Executif. Bahkan, sebaliknja pernah terdjadi, sewaktu H akim itu "tegelijk” mendjadi Bestuurder” , dalam bidang kewarganegaraan. Pada saat itulah tidak timbitl masalah perangkapan fungsi dalam satu tangan. Ia djuga (idak menimbulkan masalah kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman wakfcu itu. M ak a, tidak dapat dikatakan. bahwa accumulasi kewenangan itu tidak diletakkan dalam satu tangan. Fungsi H akim tidak diselenggarakan oleh pegawai executive dan karena itu ia tidak m enimbulkan persoalan bagi ke kuasaan Kehakiman, jang merdeka. Ia tidak merupakan bahaja latent terhadap kemerdekaan Pengadi'an seperti dichaw atirkan oleh Saudara Pemrasaran. Suatu persamaan belaka dengan pegawai executif dalam bentuk extreemn ja tidak merupakan antjaman dan bahaja jang "geexalteerd” terhadap ke merdekaan kekuasaan kehakiman. Bahkan, apabila antjam an atau bahaja ini diartikan setjara organik dan fungsionil, da belum merupakan masalah kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. Pertanjaan dapat timbul. apakah pengangkatan. pemberhentian, kenaikari Pangkat dan lain-lain oleh Executive, jang kesemuanja itu dapat menim244
bulkan pengaruh, langsung ataa tidak langsung. dapat membahajakan terhadap kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman ? Pertanjaan demikian pernah dihadapi oleh Chief Justice Philippine S u preme Court, The Hon. Cesar Bengzon. Ia menggambarkan adanja pandangan dari banjak anggaula dari kalangan Pengadilan dan Pengatjara, jang mem"iinjai keinginan mengadakan amandcmen terhadap kctenluan hukum jang bcrlaku di Philippine. Menurut Chief Justice tersebut Supreme Court-nja, "has no say in the selection and appointments of judges and justices'' dan mendjadikan hal tersebut kompetensi dari Executive dan Legislative. Keadaan demikian memang dapat menimbulkan "suspicion” , bahw a posisi- dalam Judiciary ini dikorbankan pada altar Dew i Poljtjk jang kuasa itu. Chief Justice Cesar Bengzon agak "impressed" oleh tjara pengangkatan para Hakim, judges dan justice di India, Pakistan, Malaysia dan bahkan Djepang, jang menghendaki suatu "consent" atau se-tidak-nja suatu "consul tation’’ dari Chief Justicc jang bersangkutan. Perobahan- jang dikehendaki oleh beberapa anggauta dari ’’Bench’’ dan "B a r" di Philippina — dimana Supreme Court sama sekali tidak mempunjai kewenangan dalam soalJ pengangkatan H akim — , tidak berbalik kearah extreem untuk mengeluarkan Executive ataupun Legislative dari masalah pengangkatan. melainkan da'.am hal- seleksi dan pengangkatan para H a k im perlu ada suatu kewadjiban unluk mengadakan consult dari Supreme Court dan dengan demikian mengeluarkan Judiciary dari con'rol administratif dari Executive belaka. M eskipun demikian, systeem pengangkatan "judges" dan ’’justices” di Negaranja jang menjerahkan pengangkatan tersebut kepada Executive dan Legislative Branch, kadang- melahirkan Hakim- jang "outstanding” . N a m a 2 bcsar. seperti John Marshal, Oiiver W e n d e ll Homes, dinamakan ’’The Yankee from the O lym pus", Brandeis, Cardozo. Learned H and, Frankfurter dan lain-lain terpantjang setjara impressif sebagai H akim irrespective dari system pcngaiigkatannja. Consuh, setidak-Lidaknja ’’consultation” dari Supreme Court dalam pengangkatan- Hakim d.mginkan oleh beberapa anggauta dari "B ench” dan "B a r ” di Philippina tersebut demikian dikatakan oleh Chief Justice Supreme Court Cesar Bengzon. Suatu keinginan. jang paralei djalannja dengan kesimpulan- International Commissio of Jurists. Pembahasannja mengenai hubungan antara Judiciary’ denqan "R u le of L a w ” , menghendaki pula suaui co-operation «tau setidaktidaknja "consultation” antara Judiciary dan pedjabat- jang _ berwenang m engadakan pengangkatan para Hakim tersebut. A k an Letapi. i<* didahului pula" o'.ch suatu tanggapan, bahwa "exclusive appointment oleh sa'ah satu dari ketiga tjabang dari ’’Gouvernment” , Judiciary, Executive ataupun Legis lative m engandung ’’potential dangers", djastru karena ’exclusive appoint ment” demikian akan mendekatkannja pada pengorbanan kepada D ew i Politik. . S ungguh, suatu kewenangan mengangkat jang diletakkan da am satu tan q an sadja, baik ia berada ditangan Executive, Legislative dan bahkan di ta ng an ’’Judiciary” pun. dapat menimbulkan ’’effect” dan affect pengaruh suatu ’’inbreuk” , tidak langsung mungkin, terhadap kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. H a l demikian akan menempatkan Judiciary dalam sebuah posisi jang tidak tegap terhadap "R u le of Law . Karena itu, dikehendaki oleh Rule 245
of L a w ’’ tersebut adanja suatu cooperation” , suatu conscnst mungkin dai: setidak-tidaknja suatu "consultation antara Judiciary dengan pedjabat jang mengadakan pengangkatan. selectie. promosi para Ilakim tersebut. A d a suatu ’’inschakeling” dari "Judiciary'’ dalam soal-' tersebut : apnkah Tudiciary itu di-inlijsten dalam sebuah Commission. Madjclis ataupun dengan nama apapun ia disebut. ia tidak mengurangi suatu ketentuan dalam "Rule of Law ” , jang menghendaki cooperation, consent atau consultation dalam soal- pengangkatan, seleksi dan promosi Hakim tersebut. la — dengan demi kian — mendjauhkan diri dari "exclusive oppointment", jang mengandung suatu ’’potential danger” . Mem ang prinsip "separation of powers" dahulu, dengan istilah "Prof. Neustadt dari Columbia Llnivcrsity" separate institutions sharing powers", kami melihat persoalan ini sebagai suatu "distinction of powers", berniaksud mentjiplakan systeem ’’check and balance” antara organ- konstitutionil, jang harus mengadakan pengawasan satu sama lain. Dengan demikian dihindarkan adanja concentrasi ataupun accunrulasi kekuasaan dalam sa.u tangan. Ia dengan demikian mendjauhkan pen jalahgunaan kekuasaan dan pula ia mentjiptakan adanja keseimbangan wcwenang satu dengan jang lain, dimana Judiciary jang bebas dalam soal- pcngangkuian, seleksi, pemberhentian dan kenaikan pangkat diikut sertakan dengan Executive, jang mempunjai hubungan constitutioni! dengan legislative. Maka, djustru karena ia merupakan refleksi dari systeem "check and balances" tersebut jang merapakan suatu bagian inherent dari "Rule of Law” modern ia tidak merupakan pengurangan ataupun pelanggaran terhadap ke merdekaan Kekuasaan Kehakiman. apabila "Judiciary" — baik ia di-incorporasikan” dalam sebuah Badan, apa ia dinamakan "Commission” ataupun Council”, atau tidak — di ’’inschake’en” dalam soal2 seleksi. promosi, pem berhentian dan lain-lain para Hakim, melalui "cooperation, consultation atau pun ’’consent” . Ia akan merupakan bahaja latent ataupun potcnticcl tcrhadap kemerde kaan Hakim apabila seleksi, proposi, pemberhentian itu diselenggarakan oleh Judiaciary ataupun Executive setjara exclusif. Sekali lagi, Hakim adalah bebas dalam mendjalankan tugas judicieelnja, mereka harus berada dalam suatu posisi dimana mereka dapat mengambil keputusan2 bebas dari suatu tjampur tangan, dari "interference” tanpa rasa takut, sebagai konsekwensi dalam melakukan activitas judicieelnja. Ia adalah ’’subordinated" pada Hukum, karenanja ia harus mendjauhkan tindakan- sewenang-wenang, moods” dan "emotions” . Pengangkatan, pemberhentian. kenaikan pangkat dan lain-lain jang di lakukan oleh Executive tidak merupakan sua^ii peianggaran terhadap kebe basan Kehakiman, asal ia dilakukan tidak setjara exclusif dan asal ia mengikut sertakan ’’Judiciary” dengan mengadakan suatu ,.cooperation” atau consultation” denqan M ahkam ah A gung ataupun minta consent dari padanja. Dengan demikian. persamaan Hakim dengan pegawai executif pun tidak akan merupakan pelanggaran terhadap Hakim merdeka, apabila dalam pengang^ katan tersebut Executif tidak meninggalkan M ahkam ah A g un g sebagai ’’Ju diciary” dan tidak bertindak ’’eigenhandig” . U an dalam mendjalankan tugasnja setjara bebas tersebut ia disertai dengan Ketentuan2 mengenai ..tenure of office’’, dengan memberikan ,,safeguard’’ ke246
padanja agar supaja ..removal” tidak dilaksanakan setjara mudah, dan hanja diperkenankan dalam keadaan tertentu menurut Undang2, setjara exceptionil. Masalah lain. Pcmbagian Kekuasaan. Tidak banjak disinggung oleh Saudara Pemrasaran masalah Iain me ngenai Kekuasaan Kehakiman, jang mempunjai beberapa aspek. jalah aspek ,,judicial power”, ..judicial administration, judicial organization’’ dan ’’judicial personnal”. Perhatiannja lebih difocuskan pada masaalah kepegawaian jang bersaiigkutan dengan djabatan Hakim, jang disertai dengan arsenal argumentasi, se dangkan persoalan lain, seperti ,,loetsingsrecht’’ disinggung setjara ,,en pas sant’’ dan ditindjau dalam rangka persoalan kepegawaian diatas. Tidak setjara expressis verbis persoalan "Toetsingsrecht” disinggung oleh Saudara Pemrasaran, meskipun hendak digambarkan se-olah2 hak tersebut ada pada Mahkamah Agung. dalam bidang jang agak restriktif sifatnja. Disebutlah pasa! IV Aturan Peradilan Undang- Dasar 45, jang antara lain menjatakan, bahwa sebelum M PR , D P R dan D P A dibentuk menurut U n dang2 Dasar ini, segala kekuasaannja didjalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Berdasarkan aturan ini Presiden - demikian Saudara Pemrasaran - mengeluarkan Peraturan No. 2 tgl. 10 Oktober 1945. jang berlaku surut sampai tgl. 17 Agustus 1945, jang menentukan bahwa ,.segala badan2’’ negara jang ada sampai berdirinja Negara R.I. pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan jang baru menurut Undang- Dasar masih berlaku, asal sadja tidak bertentangan dengan Undang- Dasar tersebut. Selandjutnja dinjatakan oleh Saudara Pemrasaran, bahwa : ,,Berdasarkan peraturan ini maka tanggung-djawab dalam Stelsel van ongeschreven recht telah bertambah besar karena harus mengudji apakah Hukum jang ada sampai tanggal 17 Agustus 1945 tidak bertentang an dengan Undang2 Dasar 45’’. Wewenang tersebut kemudian ditjantumkan dalam kepuUisan Mahkamah Agung tanggal 14 Agustus 1968 No. 182 K/Sip/1967, jang antara lain menjatakan * ,,Menimbang bahwa sebelum ditjapai suatu kodifikasi nasional, M ahka mah Agung berpendapat bahwa pembinaan Hukum jang termuat dalam B .W . harus dimungkinkan melalui keputusan Hakim, jang Pe£lu diberikan wewenang untuk apabila kebutuhan masjarakat sungguh- menghendakinja tidak sadja menjingkirkan ketentuan2 jang dianggapnja bertentangan dengan kemadjuan zaman, tetapi djuga menampakkan keten tuan baru disamping ketentuan2 jang lama”. Apakah dari ketentuan2 diatas, jang melihat pada Peraturan Presiden^ tang gal 10 Oktober 1945 sebagai peraturan pokok, dimaksudkan sebagai suatu juslifikasi, bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan dan hak untuk me ngudji Hukum jang ada sampai tanggal 17 Agustus pada Undang- Dasar 45 ? Ia masih terbuka bagi beberapa pertanjaan, jang semoga mendapat pendjawaban2 setjara memuaskan. Apakah jang dimaksudkan dengan hak mengu dji Saudara Pemrasaran ? Hendaklah dikatakan, bahwa hak mengudji tersebut itu res.riktir sifatnja de ngan meliputi ketentuan2 hukum jang ada sampai tanggal 17 Agustus 1945 247
ataukah ia hendak m engadakan extensi pada peraturan luikum jang dibentuk sesudah U ndang- D asar 45 m uiai berlaku ? A p a k a h sebaliknja, seperti digam barkan oleh Saudara Pemrasaran. hak men g u d ji itu dem ikian luasnja. sehingga ia tidak sadja meliputi peraturan- luikum jang tertulis m elainkan segala luikum jang ada sampai tanggal 17 Agustus 1945 ? A p a k a h hak m engudji jang dilihat o'.eh Saudara Pem rasaran dalam keputusan M a h k a m a h A g u n g diatas itu diperluas hingga maksud untuk menampakkan keteniuan baru disam ping ketentuan jang lama, sehingga ia tidak sadja membatasi diri pada penjingkiran ketentuan- jang dianggapnja bertentangan dengan kem adjuan zaman, melainkan ia m cntjiptakan hukum baru ? M cm ang masih terdapat titik jang dapat diper.sclisihkan. "betwistbare punten"’ dalam rangkaian uraian jang m enim bulkan adanja hak m engudji pada M ahkam ah A gung. T itik pangkalan adalah peraturan Presiden tgi. 10 Oktober 1945, jang masih m engakui badan- negara dan peraturanJ jang ada sampai bcrdirinja Negara R .I. (pada tanggal 17 A gustus 1945) masih letap berlaku sclama belum diadakan jang baru menurat Undang- Da.sar dan selama tidak bertentangan dengan Undang- D asar 1945. Kam i kira, ketentuan tersebut dim aksudkan untuk mcntjegah adanja vacuum hukum , karenanja ia masih mengakui hidupnja peraturan- (dan badan- negara) zam an pre-merdeka. Peraturan- tersebut hilang hidupnja, apabila sudah ditetapkan peraatunur baru berdasarkan Undang- D asar 45 ataupun ia di pandang bertentangan dengan Undang- D asar 45 sendiri. T erdapat suatu ’’gedachtensprong" disini jang masih harus dialasi dan di ,,overbruggen” , jaitu karena apakah M ahkam ah A g un g jang dipandang sebabagai badan jang paling ..geeigend’’ untuk menjatakan suatu peraturan za man pre-merdeka bertentangan dengan Undang- dasar tanpa mempersoalkan kem ungkinan lain, jaitu apakah Peraturan Presiden tanggal 10 O ktober 1945 tersebut tidak m engandung suatu po itik hukum jang dapat diuitdenken oleh Executive bersama dengan Legislative. Keputusan M ahkam ah A g ung jang berpendapat, bahwa pembinaan hu kum jang termuat d a ’am B .W . harus dim ungkinkan melalui keputusan- H a kim, jang perlu diberikan kewenangan untuk tidak sadja m enjingkirkan ke tentuan- jang dianggapnja bertentangan dengan kemadjuan zaman, tetapi djuga m enampakkan ketentuan- baru disam ping ketentuan- jang lama, masih dapat menum buhkan pertanjaan. A pak ah kewenangan untuk menampakkan ketentuan- baru tidak menempatkan para H akim dikursinja Legislator atau kah ia sekedar m endjalankan penafsiran, interprestasi hukum, ,.menemukan”, vinden ataupun dengan istilah A n g lo Saxon ,.discovers” hukum jang sudah ada ? Sekedar H akim memandang interpretasi itu „noodzakelijk'’ dan tiidak sadja membatasi d id pada pekerdjaan subsumsi setjara logis dari faktor- kedalam suatu peraturan hukum dan pada fungsinia sebagai ” la bouche de la loi’\ me-
lainkan ia kadang2 melampaui batas'-’nja dengan menambah dan memperluas bahkan nicmbentuk dan menemukan hukum seperti pernah dirum uskan dalam pasal 1 K .L I.H Perdata Swiss, maka ia tidak akan m enimbulkan keberatan2 prinsipieel. T idakkah pasal 1 tersebut mengakui beberapa hal sebagai sumber hukum , seperti Undang'-’. jurisprudensi. ilnui hukum, ,,gcwoonterccht” dll, dengan me"cjatakan : .,Das Gesetz findet auf ailen Rechtsfragen A nw endung, fiir die es nach W o rtla u t oder Auslegang cine Bestimmung enthiilt. K ann dem Gesetze keine V orschrift entnommen werdcm. so soil der Richter nach Gewohnheitsrecht und wie ein solches fehlt. nach der Regellentscheiden, die er als Gesetzgcber aufstellc wi>rdc. Er folgt dabei bewahrter Lehre und Ueberliegerung” . D engan mcngciahui sumber2 hukum nja, dengan m empergunakan m ethode2 interpretasi jang dikenai olehnja. maka H akim pada hakekatnja menenuikan, ,, discovers’’ H uk um, jang bagaim anapun djuga merupakan penetrapan dari regels jang ada. bahwa H ukum adalam ’’regel” . A pabila hendak diberikan wewenang kepada H akim untuk menampakkan ketentuan- baru dalam pembinaan B .W ., seperti dinjatakan oleh keputus an M ahkam ah A gung diatas, maka keinginan tersebut perlu ditindjau dalam tugasnja H akim sebagai ” rechtsvinder'\ T idak diperkenankan H akim berfungsi sebagai ’’law-maker” . jang mendjadi kewenangan se-mata2 dari Legis lative sedangkan Legislative dapat memberikan delegation kepada Executive, total ataupun ’’limited” sifatnja. H a k im sebagai penegak hukum, sebagai ..rechtshandhaver , agak sedikit berlainan posisinja dengan pembentuk U n d a n g 2, jang meskipun ia dapat menam pakkan ketentuan2 jang baru, - H akim - tersebut dapat m engadakan ,,tecvoeging” ; akan tetapi, tidak m ungkin baginja untuk setjara ,,willekeurig’ m entjiptakan h a l2, jang baru, tanpa mengadakan suatu „aansluiting” setjara historis ataupun tanpa mcHhat setjara teleogis. ,.Hij ziet terug, om vooruit te kunnen zien” , demikian Paul Scholten. KeSiimpu lan Saudara Pemrasaran, jang hendak dibenaikan dengan ke putusan M a h k a m ah A g un g seperti kami katakan diatas, masih membuka pintu bagi ’’un answered questions” , chususnja apakah hak m engudji jang dipretendeer itu terbatas pada peraturan2 hukum semasa pre-merdeka ataukali ia hendak meliputi pula undang2 jang ditetapkan sesudah proklamasi 45. Masalaah ’ toetsingsrecht” tam paknja disini dilihat setjara spektraal dan ditindjau dari satu sudut belaka jang kem udian memantjar dan mengreflektir diri pada m asalah lain, tanpa melihat hubungannja dengan Iembaga2 negara lain, se perti Legislative, Executive. Belum ditelaah pula, apakah bentuk N egara kita sebagai N e g a ra Kesatuan ,,uit den aard der zaak” dapat m entjiptakan vtoetsingsrecht’’ tersebut pada M ahkam ah A g ung. D em ikian pula, persoalan ,,peradilan adm inistratif ’ baru dapat ditindjau setjara m endalam , apabila kita m am pu tiielihat persoalan tersebut dalam rangka h u b u n g a n n ja antara Executive dan Judicative. 249
penjelenggaraan ’’toetsingsreht" a..au dan pcnegakkan administratif pada hakekatnja merupakan suatu Judicial review’’ terhadap ’ ’Legislative’’ dan ''Executive A c t" apabila ini dilakukan oleh M a h Tidakkah
peradilan
kamah A gung sebagai puntjak hierarchi dari Peradilan Unniin ? Pembagian kekuasaan, seperti diketahui. adalah sesuai dengan prinsip demokrasi, dalam hal ini dengan demokrasi Pantjusila. ia merupakan bagian inheren’ dari suatu Negara Hukum modern, dari suatu Negara jang mendjundjung tinggi ’’Rule of Law ". Pembagian kekuasaan tidak usahlah menimbulkan persoalan ’’separation des pouvoirs jang telah kami singgung dia^as, dimana adjaran Montsquiu dalam bentuk aseli dan extreemnja tidak sesuai lagi dengan kenjataan dan kehidupan hukum dan dimana sudah tidak ada lagi suatu isolasi jang mutlak dan complete antara organ dan pouvoir jang bersangkutan. Kami gambarkan pula, dalam pengertian jang luas prinsip pembagian kekuasaan tersebut menghendaki adanja kekuasaan dalam "distinct hands", karena accumulasi atau konsentrasi kekuasan dalam satu tangan mudah menimbulkan diktatur. D an salah satu maxim dari constitutionalisme adalah kebebasan Pengadilan dari pengawasan, pengaruh apalagi tjampur (turun) tangan dari Kekuasaan lain. M aka, persoalan ’’toetsingsrecht” itu perlu dilihai dalam rangka kedudukan, fungsi dan posisi dari M ahkam ah A gung dalam hubungannja dengan Badan atau Kekuasaan lain, ialah Badan Legislatif, apabila kita mampu melihat ’’toetsingrecht" tersebut sebagai suatu "judicial review’’ terhadap ’Legislative A ct” . Bersamaan dengan masalah peradilan administratif, jang merupakan suatu "judicial review” apabila dilakukan oleh Pengadilan Llmum, terhadap ’ Executive Act” , maka kita melihat persoalan ini dalam hubungannja antara Judicative dengan Executive. Dimaklumi, bahwa 3 sikap jang ditundjukkan oleh beberapa Negara dalam menghadapi hubungan antara Judicativc dengan Legislative dan Exe cutive, jang disebabkan karena perkembangan- hukum di-negara:! masing'2. Kita mengenai systeem Pevantjis. jang banjak mempengaruhi Negara2 continental Eropa, dengan systeem Amerika sebagai pola jang berlainan sama sekali dengan systeem Peranijis sedangkan Inggeiis adalah intermediate, duduk ditengah-tengah kedua systeem tersebut jaitu system Perantjis dan Amerika.
Systeem Perantjis. Judicial power jang bebas, jang tidak boleh ditjampuri oleh Legislative ataupun oleh Executive, djuga tidak akan mentjampuri urusan2 Legislative ataupun Executive.
Oleh karena itu, ia tidak akan mengadakan ’’judicial review" terhadap ’Legislative Act” dan ia tidak akan mengadakan suatu review terhadap Undang2 a p a k a h ia bertentangan dengan Undang- D a s a r ; ia tidak meng adakan " te s tin g ” te r h a d a p inconstutionalitet dari suatu Undang2 jang d itjip ta k a n oleh Legislator. La loiest sacree et inviolable”, demikian pendapat Perantjis, dan karena itu P e n g a d ila n tidak akan mengadakan ’’interference’’ terhadap acts dari Legislative. 250
Pengadilan pun tidak akan mengadakan ’’review” terhadap aacts dari Legislative. Pengadilan pun tidak akan mengadakan "review” terhadap "Executive Act’* sehingga peradilan administratif tidak diselenggarakan oleh Peradilan Umum, melainkan oleh peradilan tersendiri, jang diperkembangkan di Perantjis melalui Conceil d’Etat”. Systeem Amerika. Konsepsi adalah luas. dimana Pengadilan dipandang competen untuk mengudji dan menilai konstitutionalitetnja suatu Undang2 terhadap Undang*2 Dasar dan dimana Pengadilan dapat memutuskan legalitetnja dari ’’Executive” . Systeem demikian melarang ’’interference” dari Legislative, Executive terhadap Judiciary, jang sebaliknja dapat melakukan ’’review*’ terhadap Legislative maupun Executive Act. 5 ysteem Inggcris.
Systeem Intermediate penengah jang diikuti oleh Inggeris, menghendaki agar Pengadilan itu terikat oleh Undang- jang ditetapkan oleh Badan Legis lative, sehingga Pengadilan2 tidak akan mengadakan ”toetsingM terhadap Undang2, dan dalam hal ini ia paralel djalannja dengan Perantjis. Akan tetapi, dalam prinsipnja Pengadilan2 boleh mengadakan ’’review” terhadap Executive Act, sehingga ia divergerend pandangannja dengan Pe rantjis dan identik dalam penjelenggaraannja dengan Amerika. (lih a t: G. Lowell Field. ’’Gouvernments in modern societies”, halaman 236 dst.). Diketahui, bahwa perbedaan jang kita lihat antara systeem Perantjis dan Inggeris, bersumber pada pandangan Dicey, jang hendak memperbedakan ’’droit administrative’’ jang dikenal di Perantjis, akan tetapi tidak di Ingge ris. Dan dimaklumi kiranja, bahwa apa jang dikenal oleh Dicey sebagai ”droit administrative’’ itu bukan mengenai administrasi seluruhnja, tetapi mengenai sebagian sadja, jaitu jang menduduki tempat jang bersangkutan dengan per adilan administrative, sedangkan ’’droit administrative seperti diuitwerken oleh Harrion dan Orlando uu meliputi ’’Inrichting, samenstelljng, taak, bevoegdheid” dan sanksi dari organ2 administratif. . Prinsip ’’supremacy of law” jang dikemukakan oleh Dicey,^ seperti dike tahui, menghendaki agar supaja semua tunduk pada ’’regular law . jang adalah common law. Baik overheid maupun burger biasa 'unduk pada common law, mereka tunduk pada satu peradilan, berlainan dengan Perantjis, )an9 niengenal ’’peradilan burgerlijk” dan peradilan ’’administratif, terlepas dari per soalan, apakah ia merupakan suatu ’’administratif regiem , jan9 jvolledig uitgewerkl” itu ataupun ia sekedar merupakan suatu systeem administratif jang incidentee sifatnja. Kami katakan bukanlah ”uit den aard der zaak”., bukanlah mendjadi fungsi pokok ’’toetsingrecht itu ada pada tangan M ah kamah Agung. Ia tidak sebut oleh Undang2 Dasar 45, ia tidak terdapat sebagai suatu ketentuan dalam Ketetapan2 M.P.R.S. jang hingga sekarang dikeluarkan jang dapat memudahkan perundang-undangan untuk mengadakan stipulering lebih landjut. Bahkan sebaliknja, pandangan setjara institutionil maupun setjara perseorangan djustru menudu kearah ’’reverded , sewaktu dikatakan, bahwa U ndang Dasar 45 ini tidak mengenai ’’toe'singrecht". 251
m
Prof. D r. Soepomo SH , jang setidak-ticlaknja mncgikuti pembentukan ketiga-tiga Undang- Dasar dalam kehidupan hukum kita. djika tidak dikaiakan bahwa bcliau itu ’’committed” padania, pernah mengatakan pada saat Undang- Dasar Sementara 1950 mu!ai berlaku dan mcnggan i Konstitusi Sementara R.I.S. ,,Suatu perobatan dalam Kekuasaan M ahkam ah A gung sedjak. diterimanja Undang- Dasar Sementara ialah bahwa M ahkam ah Agung (dan Pengadilan lain) tidak lagi mempunjai hak menjatakan dalam keputusannja bahwa dalam peraturan ke,atanegaraan atau U ndang1* daerah bagian adalah ,,tidak menurut konstitusi", oleh karena didalam Negara Kesatuan tidak akan ada lagi daerah bagian. Kedudukan Mahkamah Agung sckarang (1950) adalah sama dengan kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebelum bcrdirinja R.I.S. Zaman berlakunja Konstitusi Semen ara R.I.S. mengenai toetsingrecht ini pada Mahkamah Agung atau Pengadilan lain dengan menjatakan ini dalam pasal 156 Konstitusi Sementara R.I S. Mahkamah Agung atau Pcngadjlan lain dapat mengudji suatu Undang- misalnja berlawanan dengan Konstitusi, Sehingga dalam kepuLusannja Undang- demikian dinjatakan in-constitutfonil. Ketentuan demikian mengalami perobahan sesudah Undang- Dasar Sementara 1950 mulai berlaku dan pandangan Prof. Dr. Soepomo S H . tersebut dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa Mahkamah Agung sebelum R.I.S. —■ diadi dibawah vigeur Undang- Dasar 19i5 —• tidak mempunjai hak mengudji, tidak dapat menjatakan suatu perundang-undangan in-konstitutionil. Suau. kewenangan jang identik dengan kekuasaan M ahkamah A gung menurut Undang- Dasar Sementara dan jang divergerend djalannja dengan Konsdtusi Sementara R.I.S. dalam masalah "toelsingsrecht’’ ini. Struktuur dan bentuk Negara kita sebagai Negara Kesatuan dapat merupakan factor dominan bahkan mungkin determinerend dalam menghadapi masalah ’’toetsingsrecht” in Dicey telah mendjelaskan ini, sewaktu Undang- jang ditetapkan oleh Badan- Pengadilan demikian Prof. Strong berusaha untuk mendjelaskan hubungan antara bentuk dan struktuur Negara Kesatuan dengan masalah ’’review” , jang berlainan pula dengan sebuah Negara jang berbentuk Serikat. Bukan maksud kami untuk menguraikan pertimbangan- ilmiah jang mentjapai kesimpulan mengenai "toetsingsrecht’’ jang divergerend karena su atu ’’approach” bersandarkan bemuk dan struktur Negara, Kesatuan ataupun Federal, jang berlainan itu. Suatu Negara Kesatuan tidak ’’uit den aard der zaak” , tidak automatis memungkinkan adanja ’’toetsingsrecht” tersebut pada Badan2 Pengadilan, ketjuali djika hak ini dipertimbangkan berdasarkan suatu peraturan perun dang-undangan ; hingga sekarang, baik Undang- Dasar, Ketetapan2 M .P . R S. ataupun perundang-undangan lain belum menjinggung hak ini supaja diberikan kepada Mahkamah Agung atau Badan2 Pengadilan lain. Kami sebut Prof. Dr. Soepomo S H jang menaikuti dari dekat lahirnja ketiga-tiga U ndang2 Dasar jang pernah menguasai kehidupan hukum kita. Kita tambahkan utjapan D j. Nasudon, sekarang Ketua M .P .R .S , jar^r dplam coachingnja kepada para Instruktur Akademi Angkatan Bersendjala R .I. (di 252
M a g e l a n g , achir Septem ber 1966) berdjtidul ,,Angkatan B e r s e n d ja ta —• O r d e B a ru — S a p ta m a r g a ~ U n d a n g - u n d a n g D a sa r 1945” (lihat K e te tap an * M . P . R . S . to n g g a k K onstitutionil O r d e B aru, h a la m a n 53z) m e n g a ta k a n : M a h k a m a h A g u n g tidak b e r w e n a n g untuk m e n e n tu k a n se b agai H a k im konstitutionil. tapi M a d j e li s P erm usjaw aratan R a k j a t l a h j a n g
merupakan kekuasaan tertinggi............ ’’
Sewaktu Kl.P.R-S. berkescmpatan untuk memberikan kewenangan int kepada M ahkam ah A gung maka kesempatan tersebut dilampaui bahkan kewenangan tersebut diberikan kepada Pemerintah bersama-sama dengan D .P .R . — G .R ., meskipun ia restriktif berlakunja terhadap Undang-* jang dipandang bertentangan dengan Undang- Dasar 45. A ra li sudah diberikan oleh M .P .R .S . dalam Ketetapan M .P .R .S , No, X I X / 1 966, meskipun toetsing’’ itu menurut kata nja sekedar meliputi Undang- (dan Perpu) jang ditetapkan sedjak tanggal 5 D ju li 1959. Pasal 3 T A P tersebut antara lain menjatakan, bahwa Undangd&n Peraturan Pemcrintah Pengganti Undang- jang mcmuat materi jang berten tangan dengan Undang- Dasar 45 ditindjau kembali, sedangkan penindjauan kembali itu diserahkan kepada Pemerintah bersama-sama D .P .R ,- G ,R , dan bukan kepada M ahkam ah Agung. A dalah dje'as disini, bahwa ’’toetsing” tersebut meskipun ia sekedar meliputi categori Undang- jang dikeluarkan sedjak tanggal 5 D ju li 1959 hingga keluarnja T A P X I X tersebut ada pada Pemerintah bersama-sama dengan D P R G R dan bukan kepada M ahkam ah Agung. Kesempatan disini untuk memberikan kewenangan tersebut kepada Mahka mah A gung tampaknja tidak dipergunakan oleh M P R S . M enarik perhatian pula, bahwa kesimpulan tersebut dibenarkan oleh Sdr. Prof. D r. Ismail Suny dalam prasarannja dalam Seminar ini, jang m enjata kan bahwa : ’’D alam hubungan ini sebagai halnja dinegara2 jang menganut parlia mentary atau national assembly supremacy, maka M ahkam ah A gung ti dak dapat menilai setjara materieel Ketetapan M P R S dan Undang- se bagai produk badan Icgislatif tertinggi, sebagaimana halnja dxmungkinkan dinegara jang men ganut Supremacy of the supreme court, ni berarti bahw a pcrnilaian setjara materieel terhadap perun ang-un angan jang lebih rendah dari Kepufcusan M P R S dan Undang- dapat diperkenankan . K am i m intakan perhatian pula atas keinginan Symposium Hak- A zasi Manusia (D ja k a rta tgl. 14-18 D ju n i 1967) j a n g terhhat dalam salah satu ke sim pulan dan jang menghendaki agar supaja dibentu our o uman R ig h ts ” , M ahkam ah Konstitusi dan Pantjasila. segala sesuatu demikian dim intakan dalam kesimpulan tersebut untuk mendobrak pertentangan atau pendirian badan- manakah jang setepatnja diben wewenang toetsingsrech la m engingatkan kita pada ’’Constitutionil Courts dibeberapa N egara (Djerm an, Italia dll.) jang dibentuk disamping Mahkamah- A gung. Ia m engandung keinginan. jang djelas m enundjukkan bahwa bukanlah m endjadi tugas pokok dari M a h k a m a h A g u n g untuk mengadakan ’’toetsing' d a n Undang- terhadap Undang- D asar. P erundang- undangan dapat memberikan kewenangan tersebut kepadanja atapu n U ndang- D asar dan Ketetapan M P R ( S ) dapat memberikan sebagai sua-
253
tu ketentuan dalam rangka pembagian kekuasaan antara lembaga- negara, da lam hal in Legislative dan Judicative. Hingga sekarang kewenangan tersebut belum diberikan oleh Ketetapan M P R S atau oleh Undang- Dasar. Ada aspek lain dalam masalah ’’toetsing” ini jang belum kita milikj dan jang kebanjakan akan bergerak dalam hukum tata-negara. Ia akan memasuki bidang interpretasi Undang- Dasar, apabila kita hendak mengadakan check ing dan testing tentang constitutionaliitetnja suatu Undang- terhadap Undang2 Dasar. Pengalaman dari Negara2 lain menundjukkan pula, bahwa "judicial review’’ demikian tidak terbatas pada soal2 technis-juridis belaka, jang mendjadikan Hakim itu sebagai seorang technician, melainkan ia melihat Hakim djuga sebagai ,,politician’’, chususnja dalam menafsirkan Undang2 Dasar, jang tidak dapat dihindari olehnja, apabila Hakim itu mengadakan ,,revjew” tersebut. __ Peranan sebagai seorang ’’politician” setjara djelas digambarkan oleh Justice Frankurter, sendirinja seorang Hakim Agung, bahwa seorang tidak patut menduduki tempat di Supreme Court djika ia adalah seorang negarawan jang construktif, dalam arti jg. lebih tinggi dan utama seorang pilitician. D ju ga Roosevelt (Theodore), sewaktu hendak mengangkat Oliver Wendell Hol mes mendjadi Hakim pada Supreme Court, menjatakan : "But in the higher sense, in the proper sense, he is no in my judgement fitted for the position unless he is a party man, a constuctive statesmen, constantly keeping in mind his adherence to the principles and polisies under this nation has been built up .......... Is should hold myself guilty of an arroparable wrong to the nation if I should appoint any man who not absolutety sanse and sound on the great national policies for which we stand in public life” (hal. 525 dst.). Pengalaman itu pula jang menundjukkan, bahwa ’’judicial review” itulah jang mendjadikan Mahkamah Agung Amerika - dengan kata2 mereka sendiri "The Supreme Court becomes a super-legislature”. Pengalaman ini pula jang menundjukkan, bahwa ’’judicial review’’ jang ada ditangan Supreme Court menimbulkan bentrokan2, ’’collision’’ dengan Presiden atau Conggres. Pernah Justice Robert H. Jackson mengeluarkan utjapan2 mengenai Supreme Court : ’’This Court has repeatedly overruled and thwarted both the Conggres and the Executive. It has been in angry collision with the most dynamic and popular President in our history. Jefferson retaliated with impeach ment ; Jackson denied the Court’s authority Abraham Lincoln disobeyed a writ of the Chief Justice ; .................. W ilson tried to leberalize its membership and Franklin D Roosevelt proposed to ’’reorganize it”. Adalah djelas, bahwa ’’judicial review’’ menurut pengalaman Negara2 jang menganut prinsip demikian tidak sadja menimbulkan masaalah technis-juri dis, jang mendjadikan seorang Hakim seorang ’’technician’’, akan tetapi djustru karena .ia harus mengadakan interprestasi Undang2 Dasar, ia mensjaratkan Hakim sebagai seorang ’’politician” dalam arti jang sebenarnja. Ingatlah kita pada Presiden Franklin Roosevelt jang bentrokan dengan Su preme Court, oleh karena beberapa Undang2 penting jang hendak diberikan kepada Bangsa Amerika sebagai ’’New Deal”, sebagian besar (8 dari 10) dinjatakan inconstitiutionil oleh Supreme Court, meskipun da’am pemilihan2 kenuidian Roosevelt mentjapai kemenangan jang besar sekali. Dalam memper254
timbangkan mungkin atau tidaknja "judicial review*’ itu diserahkan kepada Mahkamah Agung, maka pengalaman2 inilah hukum tata-negara jang harus dihantir, tidak terbatas pada tugasnja Hakim sebagai technician melainkan la harus mampu pula untuk bertindak sebagai seorang politician, kemungkinan*3 bentrokan antara Pengadilan dengan Presiden dan Perwakilan/Permusjawaratan Rakjat perlu mendapat perhatian kita, disamping bentuk Negara kita sebagai Negara Kesatuan dengan '’national assembly supremacy" jang tidak memudahkan hak tersebut diberikan kepada Mahkamah Agrung setjara normaliter dan pandangan mereka jang ”nauw betroken’* dengan masalaah tersebut tidak tertutup kemungkinan
E m pat lingkungan peradilan ini diulangi kembali dalam ketiga R U U dlselesaikan oleh Panitya Negara, disam paikan kepada D P R - G R untuk dibitjarakan. Ketiga-tiga R U U tersebut, jalah R U U tentang Pokok Kekusaan Kehakiman, R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahk am ah A gung dan R U U tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan LImum sebagai suatu Kesatuan dibitjarakan oleh Pemerintah bcrsama dengan D P R - G R . Berlainan dengan Undang- N o. 19 tahun 1964, Undang- N o. 13 tahun 1965, jang memandang M ahkam ah A gung sebagai puntjak dari 4 lingkungan Peradilan, maka dikatakan dalam R U U sekarang. bahwa Peradilan Unuimlah jang berpuntjak pada M ahkam ah A gung, sedangkan dalam Pcndjelasan R U U tentang Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A g un g di njatakan bahwa dalam U U ini telah dilcpaskan fjaya
Aturan- mengenai proces pidana tersebut dikemukakan untuk mengadakan humanisasi proces, sedangkan hak- seorang tertuduh dalam suatu proces ada’ah ”checkpoints,, pada kebidjaksanaan Kedjaksaan dan Pengadilan. Untuk kepentingan tertuduh hak-nja perlu dirumuskan dalam Hukum Atiara Pidana, akan tetapi ia ditjantumkan didalamnja untuk kepentingan Penguasa sendiri, oleh karena ia sebagai Penguasa harus bertindak adil sesuai dengan Atjara Pidana tersebut. -fylaka, mendjadi tugas primair. baik dari Kedjaksaan maupun dari Kepolisian untifk memegang teguh pada ketentuan- proces pidana, djustru karena peraturan- tersebut bersifat mengekang kekuasaan jang execsif. Pengawasan "tot een zekere mate” perlu diadakan jang dalam hal ini dilakukan oleh Peng adilan. ^ ^ Hubungan antara Judiciary dan Executive dalam proces pidana inilah, jar^g menimbulkan suara- dalam DPR-GR, untuk memikirkan tentang Undang- Pokok Kekuasaan Kehakiman (Susunan, Kekuasaan dan Hukum Atja ra Mahkamah Agung, dan RU U tentang Pengadilan dalam lingkungan Per adilan Umum), sedangkan Hukum Atjara Pidana dan Perdata merupakan rangkaian Hukum jang ’’indispensable” harus dihantir oleh Pengadilan2, da lam hubungannja dengan Kedjaksaan dan Pengadilan. Adalah suatu kenjataan, bahwa dalam ketiga-tiga R U U tersebut, jang men djadi karya dari Panitya Negara dan jang disampaikan oleh Pemerintah ke pada DPR-GR, Mahkamah Agung tersebut dalam badan jang dinamakan M.P.P.H., sehingga ia sekedar membuka masalah2 jang harus dipetjahkan me ngenai "scope”, sifatnja pertimbangan jang harus diberikan, composisi dan sifat dari badan tersebut. "Scope” dari pertimbangan tersebut berkisar sekitar pertanjaan, apakah ia mengenai lima hal jang kami sebut diatas ataukah ia harus bersifat lebih restriktif dalam memberikan pertimbangan2. Demikian pula, sifat dari pertim bangan merupakan pertanjaan, apakah pertimbangan tersebut sekedar meru pakan putusan terachir jang harus diterima oleh Pemerintah. Composisi dari badan tersebut menimbulkan buah pikiran jang bermatjam-matjam, sedang kan sifat dari badan sebagai badan non-governmental itu menimbulkan perta njaan bagi beberapa pembitjaraan. Pen
it t u p .
Menegakkan Kekuasaan Kehakiman jang merdeka sukar dapat dilepaskan dari tudjuan jang hendak ditjapai, jalah bagaimanakah kita dapat menjelenggarakan suatu ’’administration of justice , jang fair, speedy and effiIamerupakan hak azasi dari para justitiabele, jang hendak mentjari Hukum dan Keadilan. Dan apabila setjara juridis tidak tertutup kemungkinan untuk menundukkan putusan2 dari Pengadilan2 (Umum, Militer, Agama dan Administratif) pada pemeriksaan kasasi dari Mahkamah Agung apakah ini tidak berarti, bahwa setjara factis dan juridis Mahkamah Agung, demi kepentingan kesatuan da lam tingkatan kasasi, jang merupakan ’’rechtsmiddel” berasal dari Perantjis, mempunjai tudjuan untuk mendjamin kesatuan dalam penetapan hukum de ngan membatalkan atau ’’casseren” putusan jang bertentangan dengan hukum. Dan mengertilah kita, karena apakah Mahkamah Agung di Perantjis dinama kan ’’Court de cassation”. Ia bertudjuan kesatuan dalam peradilan, kesatuan 257
dalam hukum, meskinun ada tudjuan lain, jalah perbaikan kesalahan2 jang meskipun tidak ditondjolkan kedepan. H an jalah M ahkam ah A gung jang d a pat menerima pemeriksaan kasasi. Karena itu, djika ada kemungkinan. bahwa M ahkam ah A gun glah jang dapat memeriksa perkara- dalam tingkatan kasasi sebagai suatu "rcchtsmiddel’’ jang terbuka bagi putusan’ dalam tangannja kewenangan, untuk m engadakan kesatuan peradilan dan dengan demikian. djuga mendjamin kesatunn hukum. D engan demikian pula dapat dihindar pembitjaraan "onvruchtbaar" dan mendjamin steril mengenai pcrtanjaan. apakah M ahkam ah A gung adalah puntjak atau tidak dari lingkungan peradilan jang diakui hingga sekarang. Setjara juridis ataupun factis M ahkam ah A gung dalam mendjamin kcsntuan hukum tersebut memimpin pengadilan- lain, tanpa mcmbawakan suatu effect dalam bidang kepegawaian dan organisasi di M ahkam ah A gung sendiri; func tion il ia adalah topnja peradilan lain, jang dapat menundukkan putusan- da lam tingkat terachir pada pemeriksaan kasasi oleh M ahkam ah A gung. Tam paknja, apa jang dilakukan oleh Undang- No. 19 tahun 1948 dahulu, le bih dapat merasakan effect psychologis setjara ’’gevoolsmatig” dari pada R U U sekarang, jang menghadapkan masalaah. M ahkam ah A gung sebagai top atau bukan dari 4 lingkungan- peradilan, setjara contrast.
Judiciary Hubungan- lain. ’’Selection” , promotion para H akim merupakan masalaah jang belum se penuhnja djikalau oleh Sdr. Pemrasaran. Ia mendapat perhatian dalam rangkaian keberatan'-’ terhadap persamaan para H akim dengan pegawai Executive, sedangkan persoalan pengangkatan, pemberhentian, kenaikan pangkat dan la innja patut mendapat perhatian sepenuhnja dari kita semua. Telah kami kemukakan, persoalan ’’selection" pada H akim pengangkatan nja, pemberhentian, kenaikan pangkat, pemindahan dan lain2 perlu dilihat da lam hubungannja Executive dengan Judicative, jang tidak ditinggalkan dan seharusnja di-inchakelen dalam soal2 tersebut. ’’Rule of L aw ” menjatakan, bahwa baik menurut practek ataupun menurut H u kum perlu ada ’’coorperation” , setidak-tidaknja suatu ’’consultation” antara Executive dan Judicative, dan bahkan diinginkan adanja suatu consent dari Judicative dalam pengangkatan, pemberhentian para Hakim . D alam mengadakan ’’coorperation” ataupun ’’consultation’’ atau dalam memberikan ,.consent” , M ahkam ah A gung dapat bertindak sendiri sebagai organ ’’Judiciary” ataupun ia di-incorporasikan dalam badan lain, baik ia dinamakan sebuah ’’Commissi o n’’, sebuah ’’C ouncil” ataupun ’’Committee’’. Di-incorporasikan atau tidak M ahkam ah A gung tersebut. idee dari kesem uanja itu adalah, bahwa M ahkam ah A gung sebagai ,,Badan Judiciary” djangan sampai ditinggalkan dalam pengangkatan, pemberhentian, kenaikan pangkat dan lain-lain para Hakim . Coopera ion, consultation ataupun consent tidak membenarkan adanja suatu ’’exclusive appointment” , baik oleh Judikative, Executive ataupun Legislative sendiri. M aka. djikalau ;M ahkam ah A gung dalam ketiga-tiga R U U (tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan, Kehakiman, Susunan, Kekuasaan dan H ukum A tjara M ahkam ah A gung dan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan U m um ) dalam soal2 pengangkatan, pemberhentian, Kenaikan pangkat, Pemindahan, tindakan/hubum an administratif, itu di-incorporasikan dalam sebuah badan, de ngan nama singkat M .P .P .H . (M adjelis Pertimbangan Penelitian H a k im ), ketentuan demikian perlu dilihat dalam rangka ’’cooperation’’ dan ’’consulta258
lio n” antara M ahkamah A gung sebagai Judiciary dan Executive dalam per soalan- tersebut. M asuknja M ahkam ah A gung dalam Badan tersebut, — ia dapat dmamakan Council. Commission dan lain-lain — pada hakekatnja bu kanlah merupakan suatu ketentuan pasti dalam rangka azas tersebut, jang sudah dialcui oleh ' ’Rule of Law " consept. M ahkam ah A gung dapat berdiri sendiri dalam ”cooperation’"-n ja dengan Executive fcmpa melanggar ketentuan2 dari "’Rule of Law". T idak disinggung oleh Sdr. Pemrasaran bidang lain, jang memerlukan adanja hubungan cooperatif antara Judiciary dan Executive, jaitu dalam bidang proccs pidana. dalam criminal administration. Diketahui. bahwa Hukum (A tjara) Pidana jang harus ditegakkan itu, meliputi cooperation antara Judiciary dan Executive. Mcskipun dapat diterima, balnva persoalan ’’innocence" ataupun kesalahan itrn mendjadi kewenangan eklusif dari Judiciary, akan tetapi adalah suatu kenjataan. bahwa dalam proses pemeriksaan pendahuljian, dalam "'pretrial procedure"’, Executivelah jang mendjalankan tugasnja dengan control oleh Judiciary dalam beberapa hal. Bagaimanapun djuga, organ dari Executive mempunjai pcranan dalam "pretrial procedure'" jang akan mengantar penjelesaian perkara setjara Justitieel kc organ Judiciary, dengan fungsrnja executif — apakah kita namakan ’"bestnurlijk funtion” dari Djaksa dan "politicf unkt'e” dari organ Politic. Tindakan- hukum jang dilakukan oleh organ2 Kedjaksaan dan Kepolisian adalah "ingrijpend'" dalam kehidupan manusia, ia mempunjai effect dan affect terhadap kebebasan individu, baik ia merupakan penahanan. pensitaan, penggelcdahan dll. sehingga perlu diketahui hak2 dan kcwadjiban dari p e d jab at hukum tersebut. O leh karena itu pula, maka perlu kita mengetahui ’’formal dan legal framework’’ dari organ dan fungsinja masing-. Akan tetapi patut kita memahami pula, bagaimana organ-’ tersebut melaksanakan fungsinja dalam ’’spirit” dan "tradition” jang meliputi organ2 tersebut, dalam mendjalankan tugas dan tanggung djawabnja. Dalam mendjalankan fungsinja, ’’bestuurlijk” ataupun ’ politionil’ , organKedjaksaan dan Kepolisian diletakkan dalam suatu hubungan hukum dengan organ Pengadilan jang dalam fase pemeriksaan pcndahuluuan itu memegang pcranan, chususnja dalam mengadakan pengawasan terhadap tindakan- hukum jang dilakukan oleh Djaksa Polisi. Sampai kemanakah hubungan hukum itu ditetapkan, tergantung dari tradisi dan perkembangan dari "legal systeems ’ jang ada, jalah Common Law system” dan ’’Civil Las system” . Kita mengetahui ’’civil Law system” , Perantjis chususnja melihat Ju d i ciary"’ sebagai suatu badan jang meliputi Hakim (magistrature assise, dan D jaksa (magistrature debout). Hakim-Ketualah jang di Perantjis mengadakan ’’interrogatoire” terhadap seorang terdakwa, meskipun lebih dahulu seorang "judge instruction”, ,,investing judge’’, — sebagai anggauta dari magistrature d ’assise” ■ — sudah mengadakan pemeriksaan setjara intensif dan mengadakan suatu control setjukupnja terhadap tindakan- hukum oleh D jaksa atau Polisi, untuk memastikan apakah bukti atau petundjuk jang mengakibatkan tindakan2 tersebut tjukup diperhatikan oleh D jaksa dan Polisi. Posisi jang kurang lebih sama ditempati oleh juge d e s tru c tio n ” terhadap polisi, jang
259
disebut police judiciary” ; polisi justitieel jang berdampingan dengaii ’’police administrative" jang bergcrak dalam bidang kcamanan dan ketertiban ■imum dan mendjalankan tugas non-justitieel. Hakim pulalah jang memcgang peranan jang ak;if dan memimpin petntriksaan para saksi dalam persidangan. T j iri karakteristik dari systeem ini. jang kadang- dinamakan systeem inquisatoir menggambarkan tanggung-djawab N egara melalui Judiciary untuk memeriksa dan memidanakan suatu delik Judiciary karena itu ijdak dapat. bersikap passif, melainkan ia mempunjai peranan jang aktif dan positlf dalam mentjari kebenaran pada suatu proces pidana. Dalam pre-trial proccdurepun Hakim sebagai "ju dge d ’instruction’ ’ memegang peranan jang aktif. jang dengan bantuan dari D jaksa sctidaktidaknja setjara aktif ikut serta dalam pemeriksaan dan pengumpulan bukti untuk trial dimuka Pengadilan. K aren a itulah dapat dipahami apa jang dikatakan oleh Glanville W illiam : ” ................. if the terms"’ accosatoirial” and ” inquisitojrjal must be used, it seems clearest to say that they refer only to the mode in which evidence is elicited, and the single characteristic of an inqujsitoirial system is the activity of the judge in questioning the defen dant and witnesses” . Kami kira, tanpa mempergunakan istilah "inguisitojr" ataupun ’’accusatojr” jang kadang- "misleading” sifatnja. masalah pokok jang k :ta hadapi jalah peranan apakah jang hendak diberikan kepada Hakim dalam suatu proses, dalam semua ’’ geledingen" dari fase pemeriksaan, baik dalam pemeriksaan permulaan maupun dalam pemeriksaan di Pengadilan sendiri, disampjng perlindungan terhadap hak- azasi dari seorang terdakwa dengan mengadakan balance dalam pelindungan terhadap pedjabat" dalam melaksanakan tugasnja. Peranan aktif dari Hakim, baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan "ter torechtzitting” , jang memungkinkannja untuk meng adakan control terhadap D jaksa dan Polisi. tidak mengurangi kemungkinan untuk memberi perlindungan setjukupnja terhadap seorang terdakwa dalam suatu proses. Djikalau inilah jang dinamakan inquisitoir proces, jang mendjadi karakteristik dari kebanjakan Negara- Kontinental, maka ia merupakan suatu alternatif belaka dari system lain jalah system accusatoir jang menaruh kepertjajaan pada dengan sikap passif dan impartiality para Hakim. Melihat systeem terachir ini, maka penganutnja memandang peranan Hakim jg. aktif dalam ’ ’pretrial procedure” sebagai suatu pelanggaran terhadap "impartiality” Hakim jang harus bersikap ’ ’onbevoordordeeld” terhadap perkara jang dihadapinja. Sebagai ’’arbiter” jang tidak memihak, maka sikapnja dalam pemeriksaan Pengadilan adalah passif, sehingga dalam proses demikian dengan system accusatoirnja, seolah-olah hanja kelihatan contestnja antara Penuntut Umum dan terdakwa. K arena itu — demikian Glanville W illiam s tersebut — ’ ’English trial digambarkan tidak sadja sebagai accusatoir” sifa nja, melainkan djuga ’ ’com bative or gladiotorial” ; ia medjadikan suatu ’’trial” seperti ’ ’sporting contest cr trial of strength between the Crown and the accused, with the judge as an imperial arbiter” . 260
Bagaimanapun djuga, penetrapan dari Hukum Pidana dan H ukum Atjara Pidana meletakkan organ- Judiciary dan Ekecutive dalam hubungan cooperatif, meskipun ada hak- dan kewadjiban lersendiri jang di "Toe bedelen" ke~ pada masing- organ, Pengadilan, Kedjaksaan dan Kepolisian. Ia menghadapkan kita pada saatu alternalif, bagaimanakah peranan dari Pengadilan harus kita lihat dalam hubungannja dengan Executive dan bagai manakah hak- azasi dari seorang tertuduh harus di ’’verankeren” dalam sua tu H ukum A tjara Pidana. Peranan jang aktif ataupun passif dari Pengadilan, baik dalam pemeriksaan prelimine maupun pada pemeriksaan ’’ter terechtzitting’’ akan menempa kan Judiciary dalam hubungan jang berlainan terhadap Kedjaksaan dan Kepolisi an. Effect dari peranan tersebut akan dirasakan dan terlihat dalam hubungannja dengan Executive, apabila kita bersedia melihat tugas Kedjaksaan (dan Kepo lisian sebagai tugas executive, sebagai tugas ’’bestuurlijk” . Betapa kadang2 kurang djelasnja posisi intermediare dari Kedjaksaan antara Pengadilan dan Kepolisian, namun ia merupakan suaai apparatur executif jang djuga mulai mendjalankan suatu ”rechtsbedeling’\ mulailah ia mendja lankan tugasnja dalam "gerechtelijk molen’’. Ia adalah pedjabat dan penegak hukum "bij uitstek’’. T ugasnja adalah ’’besluurlijk’’ hingga tiba saatnja ia mengambil keputusan untuk mengadakan tuntutan pada Pengadilan. M u lai saat itu ia mempunjai "gezag” sendiri, memegang peranannja, dimana "Justitiele taak’’nja akan menempatkan tugasnja ’’bestuurlijk’' kebelakang. Ia mendjalankan tugasnja da lam suatu "rechtszaak” dan ia mengintrodusir suatu "rech seategorie'’, demi kian kwalifikasinja D r. Th. W . V a n Veen. Pengadilan - dengan adanja penuntutan - betrekken Kedjaksaan dalam suatu ”rechtszaak,\ jang dalam sifat ”openbaarheid”nja menundjukkan tjiri2 demokratis. Sebagai masalaah jang sudah lama dihadapi oleh manus-a, ia tidak sekedar merupakan suatu persediaan dan perentjanaan ’law c o n c e p t s ja n g kadang2 m enimbulkan sebuah Lantangan, suatu ’’challenge’ terhadap la reform’ jang hendak dirintis. Ia mengandung suatu kewadjiban pula untuk mempersiapkan "regeermachine*’ dan "regermiddelen ’ dari organ** Pengadilan, sehingga ia dapat m ndjalankan tugasnja jang baik. Disamping integritas dan kaliber tinggi jang perlu dimiliki, jang kesemuanja itu akan menangkan atau sebaliknja, menghapuskan ’’ultimate reliance’* dari masjarakat maka masjarakat sendiri perlu mengerti, memahami dan pada achirnja mengrespektir langgung djaw ab jang tidak ringan dari Hakim . Uixtuk itu, ia harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan, jang tidak mengenai "standstill’* dan berkembang terus, jurisprudensi jang tidak mentolerir Isolasi d a ri masarakat dim ana H akim itu berada, ditentukan setjara natural, conditionil dan situasionil. M ak a diperlukan latihan2 hukum dan peradilan seminar daii pertem uan2 untuk m enanggulangi dan memetjahkan persoalan* hukum.
261
’’Law-reports” dan ,,law journals” , jang incngum pulkan putusan- oari M ah* kamah A gung dan badan* Pengadilan lainnja, pembahasan dan resensi”, patut mendapat perhatian kita untuk mendapat realisasi dan didistribusikannja. T idak berkelebih-lebihan kiranja. bahwa persiapan dan perlcngkapan materieel, personil organisatoris dan financieel kesemuanja dalam rangka kcniampaan keuangan negara, merupakan ingredient, jang vital untuk dapat meningkatkan ’’adminis.xadon of justice"1 jang baik. djudjur, tjepat dan effecien. M entjap ai tudjuan itu dalam spirit jang digariskan oleh Rale of Law dan demokrasi Pantjasila, adalah tugas kiia bersama, M endcka kan tjila- jang tinggi dan ’’actual practise” nja, sehingga tidak tumbuh slogan jang kosong dan illusoir sifa nja, mensjaraikan dedikasi, self-respect dan selfreliancc, dari kita semua. LTntuk itu, kita mohonkan bimbingan dan taufik hidajat dari T uhnn Janq Maha A dil. Sekian. D jakarta, 1 Desei.iber 1968. 1. Prof. M r. H . M u h. Y am in ............ Naskah Persiapan U n d a n g 2 D asar 1945 D jilid I. II, III. 2. Prof. M r. Dr. Soepomo ................ LIndanq-undang D asar Sementara R.I. 3. Sir Kenneth Roberls-V/ray ............ The Independence of ihc Judiciary in Commonwealth Countries dalam Changing Law in developing Countries. 4. Prof. A . Gledhill ............................. Fundamental rights dalam C hanging Law in developing Countries. 5. Fresnand Terrou and Lucien Solal .................................................. Legislation for Press, Film and Radio Comparative Study of the main types of regula ions governing the inform a tion media. 6. Prof. M r. C. V an Volienhoven ... Staatsrecht Overzee. 7. Prof. M r. Paul Scolten ................ Verzamelde Gesschriften I. II, Algemenen Deel. Het Ned. Burgelijk Recht. 8. Prof. M r. R. Kranenhurg ............ Het Nederlandsch Slaasrecht. 9. Roscoe Pound ................................. The causes of popular dissatisfaction with the administration of Justice. 10. Jhon W . W ig more ........................... The Sprak that Kindled the W 'hite Flame of Progress-Pound’s St. Paul Addres O f 1906. H . Arthur T. V anderbilt ..................... W ill the challenge of Law reform be met ? Journal or the American Judi cature Society, V olum e 46, Num ber 3, 1962.
262
12. Cesar Bengzon (Chief Justice, Supreme Court of the Philippi nes) 13. James M ac Gregor Burns ...... Jack W a lte r Peltason 14. Merman Finer ........................... 15. Carl J. Fricderich ...................... 16. J.A. Corry and J.E. HodgeLs .. 17. Robert K. C arr ) Marver H . Bernstein ) D o n a ld H . M o rriso n )
Joseph E. Me. Lean
F o r ta s
.....................
22. G. Lowell Field ............... 23. Mr. Chairman-Rapporteur M r. Francisco A . Delgado 24. Gerhard Leibholz ...............
25. W a l her
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Government by the people 1966. Theory and practise of modern Govern mcnt. Constitution Government and demo cracy. Democratic Government and Politice. Democracy in Jico ry and practise.
)
18. Leon L. Salmon ........................... 19. Felix Frankfurter ....................... 20. Harold J. Berman ....................... 21. Justice A b e
Speech pada T he Second A sian Judicial Conference, T o k yo 1965.
Rosenthal
U .S. Supreme Court ....... Sir Alfred Denning ....... Robert F. Kennedy ...... Charles E. W y zan sk y ... Richard E. Neusiadt ...... C linton Rossiter .......... Robert K. W oetzel ...... T .V . Smi.h - Eduard C. Lindeman
34. A rthur T. V anderbilt .. 35. S ir A lfred D enning ...... 36. C F. Strong ................... 37. M r . J.M . V a n Bemmelen 38. M r. A . M inkenhof ...... 39. G lanville W illia m s ......
The Supreme Court. Law and Politics. Justice in the LI.S.S.R. T he American Altefc-nalive to vio lence, dalam ’ ’Reader's Digest” Ok.ober 1968. Government in modern society. Study of the right of overyone. to be free from arbitrary arrest, dc ention and excile. Judicial power and the authority of the state in the Federal Republic of Germanv dalam Journal of the ICoJ, Summer 1963, Vol. IV . No. 2. The Power of the Judiciary in EasL Germany, dalam Journal of the IC oJ, Summer 1962, Vol. IV . No. 1. Equal Justice Under Law. The Road to Justice. The pursuit of justice. The new meaning of justice. Presiden.ial Power. The American Presidency. The philosophy of freedom. The democratic w a y of life. The challenge of law reform. T he changing law. A history of modern political constitutions. Strafvoring. De Nederlandse Strafvordering. T h e proof of guilt. 263
40. J.M . V a n Bemmelen ..........................
Book review terhadap Gianviiie W illiam s ’’The proof of guilt" dalaru Journal of the International C om mission of Jurist", Antuni 1957, Vol. I. No. 1.
41. Conference of
T he Internatio- ... The Rule of Law in a Free Society, nal Jurist in N ew Delhi 1959 42. Report on the proceedings of the South East Asian Conference of Jurist, Bangkok, 1965 .................... The dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age. 43. Kataro Tanaka ............................... Democracy and judicial administrati on in Japan dalam Journal of the International C om mission of Jurist, W in te r 1959. Vol II, No. 2. 44. Y . Eisenberg ........................................The independence of Judges in ihe State of Israel. "Journal of Internatio nal Commission of jurist. Summer 1964, No. V , No. 1.
45. J. M . V an
46. Dr.
State of Israel. Bammelen ..................... De functies van het Openbaar
Ministerie. N. J. B. 1965, halaman 605 dst. Th. W . V an Veen ............... Het gezag van het Openbaar
Ministerie. T .v.S . dl. lxvii. afl. 1. 1968, 47. Sompong Sucharitkul ..................... The Rule of Law in Thailand. Journal of the International Commission of Jurists’’ . Vol. I. No. 1, 1957. 48. W . Friedmann ................................ Law in a changing society, 49. Sir Alfred Denning .......................... Freedom under Law. PEM BAHASAN S O E T IJO N O D A R S O S E N T O N O S .Ii. Para hadirin jang saja muliakan, Perkenankanlah saja lebih dahulu menguljap banjak- terima kasih kepa da Panitia Seminar Hukum Nasional Kedua Pu saL jang telah memberikan kepertjajaan dan kesempatan kepada saja untuk mendjadi salah seorang pembahas dalam Seminar ini. Sebelum saja mulai dengan pembahasan saja terhadap prasaran Sdr. Asikin Kusumah Atmadja Sardjana Hukum, jang berdjudul . "Menegakkan suatu kekuasaan kehakiman jang bebas” , inginlah saja dengan singkat menjatakan perasaan dan isi hati saja sehubungan dengan diselengQarakar.aja Seminar dikota Semarang ini. Pertama, Seminar ini haruslah kita anggap sebagai salah satu usaha kita *.<ersama untuk menegakkan Hukum ditanah air kita. Memang tidaklah mudah untuk membina Hukum ditanah air kita, kare264
na semasa Sockarno berkuasa, Hukum telah bcqita sering di-indjak- dan diperkosa hingga Rule of Law sudah hampir- lenjap dari tanah air kita. Sebagai perbandingan. imginlah saja mcnguiip pcngamatan O svaldo iilancs Benitez, Kcaia M ahkam ah A gung Chili dalam tulisan beliau : ’’The Supreme Court of Justice of Chilie” . ’ It is no easy task to guide a nation that has lived under a colonial system towards the Rule of Law. The Chilean national hero. Bernado O TIiggins, had to strive mightily to ‘each the people liberty and the legal order which is a part of it, and those who came artcr him have had a similarly difficult task’’ (vide Journal of the International Commission of Jurists penerbitan tahun 1966 halaman 269). Persoalan jang dikemukakan oleh Ketua M ahkam ah A gung tersebut, pa da prinsipnja sekarang dihadapi pula oleh para pemimpin kita jang ber.jita2 dan bertudjuan tegaknja Hukum ditanah air kita. dan Kedua, pada saja ada djuga rasa terharu dapat turui serta dalam Sem i nar ini. Teringat kepada saja tatkala kurang lebih setahun jang lampau Fakultas H ukum LIniversitas G adjah M ada menjelenggarakan suatu Seminar H u kum jang bertaraf Nasional pula dan berihema ’’Pengadilan Ilm u Hukum dalam pembinaan Orde Baru’’. Pada waktu itu saja mendjadi salah seorang penjelenggaranja, tepatnja Sekretaris Um um Panitya Seminar dan sekarang saja mendjadi salah seorang pesertanja; sungguh besar rasa hati saja dapat serta dalam Seminar ini. Para hadirin jang saja muliakan, Sebelum saja mulai dengan pembahasan saja atas prasaran Sdr. A sikin Kusumah A lm a d ja S.H .. inginlah saja terlebih dahulu mengemukakan pendirian saja tentang djadul dan materie prasaran tersebut. Pertama, sehubungan dengan pembinaan Hukum ditanah air kita pada waktu ini. pemrasaran telah memilih sebuah djudul jang tepat untuk sama- ki ta perbintjangkan. Kedaa, dalam banjak hal saja dapat menjetudjui isi prasaran tersebut; dan saja m engharap agar pembahasan saja ini dianggap sebagai penambah atau pelengkap prasaran tersebut dan Ketiga. usaha dan daja upaja untuk menegakkan suatu kekuasaan keha kiman jang bebas ditanah air kita ini harus tetap dan terus menerus diperdjuangkan apapun risiko dan konsekwensinja. P ara hadirin jang saja muliakan, B aiklah saja malai dengan pembahasan saja. Sebagaim ana kita semua maklum, Seminar ini diikuti bukan sadja oleh mereka jang sehari-harinja bergerak dibidang H u k u m maupun Ilm u H ukum , tetapi dju ga oleh mereka jang berketjimpung diluar bidang tersebut. K arena itu, saja berpendapat bahwa sebaiknja pemrasaran, memberikan suatu pendjelasan apa jang dimaksud dengan kekuasaan kehaKiman dan apa m akna pcrkataan bebas dalam pengertian tersebut. Kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan jang inelaksanakan tugas iu d ik a tif atau tugas dalam bidang peradilan, dimana pelaksanaannja didja(fliikan daii dilaksanakan oleh H akim .
265
U n tu k memahami apa jang dimaksud dengan kekua^an kehakiman jang P i d a i O Kenegaraan Presiden kita dalam menjambut H a r i Nasional 17 Agusius 1968, jang berbunji demikian : ,,D alam rangka usaha kita jang sungguh2 untuk menegakkan sistim konslitutionil dan menegakkan H ukum , maka kita dapat menjatakan dewasa ini bahwa kekua saan kehakiman benar- telah merupakan kekuasaan jang merdeka ; artinja, te r lepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah’ '. T eranglah bahwa kebebasan tersebat, tak menghendaki turut tjam pur tangannja extra judicieele machlen.
bebas, inginlah saja mengutip dari
W a la u p u n dengan demikian, kebebasan itu bukanlah suatu kebebasan jang tak mengenai pembatasan ; atau dengan perkataan lain, kebebasan ;ersebut tidak boleh melanggar atau berten angan dengan ketentuan- tertentu. Pembatasannja diantaranja adalah sebagai berikut : 1. Ideologi negara cq. Pantja Sila. 2. Undang-undang Dasar dan perundang-undangan lainnja. 3. Hukum jang berlaku. 4. Hak^ Azasi Manusia. 5. Kepenangan pihak- dalam suatu proses perkara. Para hadirin jang saja muliakan, 1. Pada halaman 6 buku prasaran tertulis demikian : ..Selandjutnja saja akan langsung meningkat kepada keadaan setelah pemulihan kedaulatan pada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. — Pemulihan kedaulatan tersebut bukan kepada Republik Indonesia, tetapi kepada Republik Indonesia Serikat. 2.
Pada halaman 7 buku prasaran lertulis demikian :
— mengenai Hukum Atjara seberapa mungkin R .I.B . harus diambil sebagai pedoman, dst.nja ....................’’ — Pada saja timbul sua.u persoalan apakah pemakaian kata pedoman tidak terlalu luas. Saja lebih tjondong uniuk mempergunakan kata pegangan, seba'b, R.I.B. adalah dasar utama Hukum A tjara kita. 3.
Pada halaman 8 buku prasaran tertulis demikian :
,,Para pedjaba!: tinggi Negara semua menjadari bahwa para H akim harus mempunjai kedudukan jang bebas, akan tetapi hal ini tjdak ;sepenuhnja dilaksanakan’’. — Kalima: tersebut sebaiknja berbunji demikian : Para pedjabat tinggi Negara semua menjadari bahwa para H akim harus dapat melakukan tugag dan kewadjibannja setjara bebas, akan tetapi hal tersebut, tidak sepenuhnja dapal didjamin dan dilaksanakan. 4.
M asih pada halaman 8 buku prasaran tertulis demikian :
,.Pada masa kolinial Belanda sebagaimana diterangkan dimuka, djabatan Hakim Pengadilan Negeri merupakan suatu Personele Unie, sedangkan dalam masa Indonesia merdeka hal ini lebih ditingkatkan lagj dan 'nentiapai punijaknia ketika Ketua M ahkam ah A gung mendjadi M enteri K abinet’’. 266
Sepandjang penge ahuan saja, Pcvsonclc Unie adalah suatu penger tian hukum ketatanegaraan (een staatsrechterlijk begrip). Di erapkannja pengertian tersebut dalam persoalan ini, diperlukan suatu pcndjelasan. sehingga kita tak perlu meraba2 apa jang dimaksudkan oleh pemrasaran. M ungkin jang dimaksud dengan pengertian tersebut ialah karena seorang Hakim Pengadilan Negeri dalam staiusnja gesabordineerd pada Mahkamah A gu n g — suatu Badan judikalif — maupun kepada Departemen Kehakiman, suatu Badan Eksekutif. P ara hadlirin jang saja muliakan, 5. P ad a halaman 9 buku prasaran tertulis demikian : ,,Sedangkan kedjadian- mengenai rcchtcrstyranic jang konkrit belum d a pat dibuktikan. dan kalaupun terdjadi hal ini selalu masih terbuka djalan melalui banding dan kasasi’’ . —■ S a ja kurang sefaham, dengan dipergunakannja kata tyranie dalam
rcchtersfyranic. Kalau toch ada, saja lebih tjondong untuk dipergunakannja pengertian pcnjalah gunaan kekuasaan (misbruik van macht). Pengertian jang terachir itu saja simpulkan dari pendapat almarhum Prof. M r . B. T e r H aar Bzn. dalam buku himpunannja Verzamelde geschriflen, halaman 466: ’ ’Die rechtspraak van de volkshoofden geschiedt - van misbruikcn natuurlijk efgezien - in onmiddelijke onderwerpenheid aan recht en rechtsbewustzijn der eigen maatscappij’’ . Saja berpendapat bahwa rcchtcrstyranic kita dapati pada sistlm peradilan dinegara2 komunis; jaitu pada apa jang terkenal R akjat (People’s C ourts).
dengan
nama
Pengadilan
T u g a s peradilan pada Pengadilan Rakjat bukanlah mengusut perkara berdasar Kebenaran dan Keadilan; tetapi untuk mengelimineer musuh2 ’ fihak jang berkuasa. Untuk djelasnja inginlah saja mengutip apa jang terdapat dalam suatu laporan pada Bulletin of the International Commission of Jurists penerbitan bulan M aret 1964, nomor 18 pada halaman 14 mengenai T he situation of the bar in H u n g ary : ’’T h e People’s Courts established in H u ngary and other coun tries occupied b y the Soviet A rm y sought to eliminate cases of enemies or potential enemies of the new regime’ ’. Sedan g proses peradilannja lebih merupakan suatu sandiwara. Untuk djelasnja, inginlah saja mengutip apa jang terdapat dalam suatu laporan pada Bulletin of the International Commission of Jurists penerbitan bulan M ei 1964, nomor 19 pada halaman 1 mengenai Legal reform in Czecho slovakia : A s readers of the Bulletin will recall, Rudolf Slanky and his asso ciates, w ere rehabilitated in 1963. Rude Pravo. the official newspaper of the Communist P arty of Csechoslovakia, published a long account on this subject on A u g u st 22, 1963. Slansky, First Secretary of the Party, had been driven from power, tried in a big show trial, sentenced and executed on December 3, 19 5 2 , with ten associates on faked chadges of espionage and high treason. 267
H is rehabilitation, reported in Bulletin 17, marked the belated official recognition of serious violations of legality during a lengthy period, called the period of the cult of personality in Czechoslovakia . Para hadirin jang saja muliakan, 6. Pada halaman 14 buku prasaran tertulis demikian : "Sebaliknja i.yrai'ilesei'ing terhadap para H akim sebagaimana jang selama ini dibuktikan oleh sedjarah, harus ditjegah agar djangan sampai terulang lag i’’. — Kata Ujranlescrlng sebaiknja diganti dengan segala matjam gangguan maupun tekanan .......................................... dstnja. A d a baiknja bahwa pemrasaran memberikan suatu djalan keluar bagaimana tjaranja mengh.ilangkan atau paling t:dak mengurangi segala mat jam
gangguan maupun tekanan tersebut. Salah satu tjara jang baik ialah agar Ketua Pengadilan Ncgeri didacrahnja masing- meminta bantuan kepada para komandan A B R I setempat apabila terdjadi hal- jang tak diinginkan. Dengan demikian A B R I berfungsi sebagai pelindung dan pajung badan- pengadilan kita dan sckaligus setjara langsung maupun tak langsung dengan aktif dan njata membesarkan hati para H akim . Ini berakibat bahwa para H akim dapat menunaikan tugas dan kew adjibannja dengan lebih tenang dan lebih membesarkan kegairahan mereka untuk bekerdja. Inginlah saja disini mengemukakan sebuah tjonLoh bagaimana fihak luar dapai. mengganggu seorang H akim jang sedang mendjalankan tugasnja. Seorang H akim Pengadilan Negeri pernah bertjeritera kepada saja seba gai ber.ikut : Pada suatu hari pada waktu ia sedang menghadap medja didalam kamar kerdjanja datanglah dua orang jang katanja hendak mengurus suatu perkara. Setelah ditanjakan mana surat kuasanja, maka mereka m enundjukkan sendjata jang ada pada mereka. Jang penting bagi fihak penguasa ialah bagaimana peristiwa- jang demi kian itu tak dapat terdjadi. Karena itu daja upaja dan tindakan2 jang bersifat preventif harus diusahakan dengan penuh kejletan dan keberanian. Para hadirin jang saja muliakan, 7. Pada halaman 17 buku prasaran tertulis demikian : 2. H akim harus selected for iheir character, capability professional capacity, experience and honourable behaviour. 3. Harus diadakan suatu Undang-undang jang mengatur suatu tjara bagaimana H akim jang tak memiliki sifat jang disebut dibawah sub 2 dapat diberhentikan (removal of judges). > —- Sebagai seorang pengatjara maupun sebagai w aigakota Jogja saja mengetahui Hakim- tertentu pada Pengadilan Negeri Jogja jang karakternja b a ik, djudjur dan mempunjai rasa pengabdian jang besar terhadap pekerdjaan-
nja. Tetapi, atjapkali saja mendengar pula bahwa pada kota- terteniu, masjarakat sudah kurang hormat ataupun respeknja pada H akim lerlentu. M enurut pernilaian masjarakat tersebut, H akim itu sudah melanggar kode djabatailnja. Suatu tjeritera pernah saja dengar - kisah mana tidak pernah saja check
268
benar atau tidaknja - tatkala saja mendjadi penasehat Hukum terdakwa pads perkara djebolnja W a d u k Sempor di Pengadilan Negeri Kebumen. Seorang Hakim jang menurut tjeritera tersebut telah melanggar djabatannja, dipindah dari kota tempat dimana ia bckerdja kekota lain
kode
Pemindahan karena membuat kesalahan (strafoverplaatsing) memang adalah suatu sanksi jang dapat diterapkan. tetapi kalau kesalahan itu terlalu besar, padanja harus dikenakan sanksi djabatan jang lebih berat. Salah satu tjara di antaranja ialah bahwa Hakim jang bersangkutan dapat diberi petundjuk agar ia mengadjukan pcrmohonan kepada atasannja untuk berhenti bekerdja. Djadi tak usah menunggu Undang-undang tentang pemberhentian rang Hakim seperti disarankan oleh Sdr. Pemrasaran.
seo-
Para hadirin jang saja nuiliakan,
Sebelum saja mengachiri pembahasan saja, maka sehubungan dengan isi prasaran Sdr. A sikm Kusumah Atm adja Sardjana Hukum, saja dengan sega la kerendahan hati ingin mengadjukan beberapa usul kepada Mahkamah A gu n g dan Departemen Kehakiman sebagai berikut : ]. Scdapat mungkin diusahakan dengan sungguh- a g ar para Hakim da pat hidup lajak dengan gadji jang diterimanja. Ini penting, agar para Hakim dapat tetap berdiri teguh dan ia scdang menghadapi godaan2 da am bentuk apapun.
tegak
kalau
Untuk para Hakim sebaiknja diadakan undang- tersendiri jang mengatur tugas, kewadjiban dan hak-nja cq gadjinja. 2. Dalam mendjalankan tugas dan kewadjibannja, agar para Hakim mendapat perlindungan dari kemungkinan adanja gangguan physis maupun psychis dari fihak luar. Kiranja perlu adanja petundjuk kepada siapa seorang Hakim dapat mengadukan peristiwanja apabila ia sedang menghadapi hal jang demikian. 3. K epada tjalon hakim sebaiknja diadakan suatu psychotest untuk meneliti dan men-check apakah padanja ada kemampuan untuk memangku sua tu djabatan jang akan dipertjajakan kepadanja. 4. K epada para Hakim a g ar diberikan fasilitas- jang dapai membangkitkan kegairahan mereka untuk bekerdja; jang saja maksud ialah, diselenggarakannja perumahan dan lain". 5. A g a r dalam djangka waktu2 jang telah ditentukan, kepada para H a kim diberikan upgrading. P a r a hadirin jang saja muliakan, K iran ja sudah tjukup pembahasan Kusumah A tm adja Sardjana Hukum.
saja
atas
prasaran
Sdr.
Asikin
T erim a kasih.
Jogja,
5
Desember
1968. 269
P E M B A H A S A N Kol. CKH. A. Tambunan S.LI. I.
P E N D A H U LU A N .
1. M asalah Kekuasaan Kehakiman sekarang ini sedang ramai dibitjarakan orang, terutama sedjak Pemeriutah mengadjukan R U U tentang Pokok pokok Kekuasaan Kehakiman kepada D P R - G R lebih kurang dua bulan jang baru lalu. Itulah sebabnja maka saja menjambut dengan gembira adjakan dari pada L P H N untuk ikut serta dalam Seminar Hukum Nasionnl ke-II jang diadakan di Semarang pada achir bulan Descmber ini sebagai salah seorang penjanggah utama. Dengan demikian saja mendapat kesempatan untuk setjara langsung ikut mendengar dan ikut berdiskusi dilingkungau orang'J jang berminat dan jang telah berpengalaman dibidang Kehakiman dinegara kita ini. Atas kesempatan berharga jang diberikan oleh L P H N ini terlebih dahulu saja menjampaikan terima kasih saja jang tidak terhingga. 2. Tugas sebagai penjanggah utama atas suatu prasaran jang dibuat oleh seorang Hakim terkenal dan jang sudah berpengalaman, adalah tidak mudah. D alam prasaran dari Sdr. Z . Asikin Kusumah A tm adja S .H . saja tidak dapat melihat banjak2 hai- jang perlu dibantah atau disanggah. M alahan sebaliknja saja menemukan banjak persamaan- pemikiran serta pendapat antara saja dengan Sdr. pemrasaran. O leh karesa itu pembahasan ini lebih tepat kiranja djika dinamakan penanggapan, suatu penanggapan jang sifatnja lebih banjak melengkapi dari pada menjanggah prasaran termaksud. 3. Setjara umum dapat dikatakan bahwa penguraian pemrasaran adalah djelas dan tjara pendekatannja dari sudut sedjarah adalah baik. D engan demikian persoalannja memperoleh kedalaman (diepte). H anja sajang sekali. mungkin djuga oleh sebab lain, pemrasaran pada um am unja hanja menjoroti satu segi sadja jaitu status dari pada Sang Hakim . Ini pulalah mungkin sebabnja mengapa didalam prasaran kurang kelihatan hubungan masalah Penegakan Kekuasaan Kehakiman jang bebas dengan Pelaksanaan Negara Hukum berdasarkan Demokrasi Pantjasila jang merupakan tema-pokok dari pada Seminar H ukum Nasional ke-II ini. Demikianlah pandangan selintas-kilat. Sekarang m arilah kita melihat prasaran tersebut dari djarak jang lebih deka‘. II.
T E N T A N G P A N G K A L TOLAK,
Pangkal tolak prasaran. 4. D idalam ilmu perang soal- pangkal tolak dan sasaran-pokok m erupa kan faktor- jang menentukan. Demikian pula didalam menghadapi sesuatu masalah seperti jang dihadapkan kepada kita sekarang ini maka soal- pangkal tolak dan sasaran-pokok merupakan faktor2 jang menentukan, T jara pendekatan sasaran-pokok atau tudjuan adalah penting djuga. akan tetapi hal itu tergantung dari pada situasi dan kondisx sehingga dapat berobah-obah. 270
P angkal tolak pemrasaran adalah tugas dan kew adjiban H ak im dengan tidak atau kurang memperhatikan kehidupan N egara dan m asjarakat Indone sia. D a n bagi jang membatja prasaran sulif kiranja untuk menghilangkan kesan ja n g timbul pada dininja jaitu bahwa tudjuan prasaran se-olah2 adalah h a n ja memperbaiki nasib para H akim sadja.
Pangkal tolak Seminar. 5. T hem a dari pada Seminar ini adalah Pelaksanaan Negara H u k um berdasarkan Demokrasi Pantjasila. Dengan demikian dapa lah dikatakan bahw a Seminar menghendaki agar semua prasaran. pembahasan2 serta penanggapan2 berpangkal tolak dari Demokrasi Pantjasila. Sudah m endjadi tradisi Bangsa Indonesia bahwa Bangsa Indonesia kjta lebih suka mengambil tindakan jang mempersatukan Bangsa dari pada jang mentjerai-beraikannja. Demokrasi Pantjasila mempersatukan kita. karena Pantjasila adalah kebudajaan kita. R uth Benedilt dalam bukunja "Patterns of C ulture” (M entor Books hal 14) berkata : " W h a t really binds men together is their culture, — the ideas and the standards they have in common” . R u p a 2n ja para penjelenggara Seminar hendak mentjari dan mengumpulkan dari pada tjendekiawan chususnja dari para peserta Seminar ’’ideas and standards’’ jang dapat memberi isi kepada kehidupan Demokrasi Pantjasila dinegara kita ini. U sah a2 baik dari para penjelenggara ini sudah selajaknja mendapat dukungan sepenuhnja dari semua pihak. terutama djika diingat bahw a kita telah 23 tahun merdeka akan tetapi belum lagi terdapat suatu konsensus apa sebenarnja Dem okrasi Pantjasila itu.
Demokrasi Pantjasila. 6. m a s u k
Sebetulnja o b je k
mengenai
p e m b a h a s a n
Demokrasi Pantjasila ini adalah terutama ter-
p e m ra s a ra n
p e rta m a .
B ukanlah untuk dapat betul2 memahami mekanisme Demokrasi Pantjasila setjara logis-sistematis harus terlebih dahulu diuraikan tentang pengertSan Dem okrasi Pantjasilla itu sendiri. A k a n tetapi sajang sekali hal demikian tidak terdapat dalam prasaran tersebut. H a n ja didalam Bab I V pada halaman 5 terdapat kata2 sbb. : ......................... ..k a ta
r in ta h a n m a a n d in ja
d e w a s a
s ifa t” ,
m e n u r u t
s e d e m ik ia n a k a n
in i
m a k a
o le h
te la h
h a m p ir
p e n a m a a n
U U D - 1 9 4 5 itu
t id a k
U U D - 1 9 4 5
s e m u a
..d e m o k r a s i
b e n tu k
dapat diterima, a k a n
d a n
d e n g a n
m e n g u ra n g k a n
P e n d je la s a n n ja ”
7
b a g i s ja r a t
m e m p u n ja i
s is te m b a h w a
p r in s ip 2
( g a r is
K em udian pada halam an 14/15 terdapat kata2 : ’’Dem okrasi Pantjasila itu dengan demikian akan p e r m u s ja w a r a ta n
d e m o k ra s i
p a n tja s ila ”
b a w a h
ja n g d a ri
dilaksanakan
p e m e p e n a t e la h s a ja ).
dengan
...........................................................
271
H a n ja didua lempat itulah dan itupun didalam kaliinat2 jang tidak penting, disinggung (lebih tepat disrempet ?) mengenai Demokrasi Pantjasila. Kalau demikian halnja dengan prasaran pertama (jang no'a bene dalam djudulnja tertjantum kata Dem okrasi Panijasila !). maka tidaklah m engherankan djika didalam prasaran- lainnja tidak ada terdapal satu kalim atpun jang menjebut atau m enjinggung Demokrasi Pantjasila. 7. A pakah dengan kata2nja ” dapat dAcrima" itu maka m ungkin pemrasaran Prof. D r. Ismail Suny S H . M C L. ada menemukan istilah lain sebagai alternatip bagi ’’Demokrasi Pantjasila" ? Sclandjutnja apakah benar bahw a demokrasi itu hanja mernpakan suatu sistem pemerintahan ? A p akah dengan tidak disinggung'-’nja Demokrasi Pantjasila dalam prasa ran2 tersebut, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa semuanja berpendapat bahwa Demokrasi Pantjasila adalah sama sadja dengan ’’demokrasi-” lain jang ada didunia ini ? D a n dengan menjebut2 adjaran2 tentang Rule of Law, Hak- A zasi dan D em o krasi dinegara2 lain, terutama dinegara2 liberalis, apakah Dem okrasi P an tja sila hendak diisi dengan adjaran2 tersebut ? Dem ikianlah beberapa pertanjaan2 jang segera timbul didalam setelah membatja prasaran2 tersebut.
hati
saja
8. S aja teringat kepada kota2 seorang penuLis Amerika mengenai demo krasi mereka : ’’W e must begin by admitting that democracy ;is still an experiment. ’’ It is full of risks, as life itself is full of risks. There is, however, no ” assuredly safe course of m ankind to follow. The problem is to choose ” that one which seems thl least hazardous. ” T he leasl hazardous for America may not be so for G erm any or Italy ’’ or Rusia, with their people of different temperaments and ’’ traditions’’. ’ ) H a l ini adalah sesuai dengan pendapat Karl M annheim jang menjatakan bah wa manusia itu (dus djuga masjarakatnja) adalah ’’situationgebunden” , ditentukan oleh ’Natur-und Kulturbedingungen’’. Sehingga lembaga2 jang hidup dalam sesua u masjarakat tidaklah sama dengan lembaga2 jang hidup da lam m asjarakat2 lain, w alaupun nama lembaga2 tersebut setjara kebetulan ada lah sama. Bukankah demokrasi djuga merupakan suatu lembaga sosial/masjarakat. ’’Democracy is a theory of society as well theory of Governm ent” . ~) D j elaslah bahwa Demokrasi Indonesia jang kita nam akan Demokrasi Pantjasila tidaklah dapat dipersamakan dengan demokrasi2 lainnja.
Demokrasi Barat. 9. Semua pemrasaran didalam membahas demokrasi, ’’Rule of Law ” hanja menjebut pendapat2 penulis Barat.
hak2 azasi dan
Apakah hal itu tidak menimbulkan kesan seolah2 para-pemrasaran Demokrasi Indonesia dengan ’’katja mata’’ Barat ? 272
melihat
D ari ’’citaties” jang dilakukan dapat terlihat bahw a penulis2 Barat tersebut memang memandang persoalan- tersebut dengan ’’katja m ata” Barat. H a l ini adalah logis djika diingat kata- dari Lord Bryce : ”Eech democratic nation inclines to identity the concept of democracy w i:h its particular institutions” . 3) Demokrasi Barat modern adalah berdasarkan individualisme orang Kris ten Eropn jang menjatakan bahwa ’’all men are equal in the sight of god” 4) A jn t jang biasanja mereka djadikan dasarnja adalah dari Ind jil Kitab I Timothens 6:2 jang menjamakan budak- dengan tuannja (m adjikannja) karena mereka sebetulnja adalah bersaudara : ’’............................. let these having believing owners not look dow n on them, because they are brothers’’. c) H a l ini mendjelma dalam M ukadim ah Pernjataan Kemerdekaan Amerika Se~ rikat : ” ........................ that men are created equal.................... ” , Selandjuinja menurut orang- Barat ’’equality is a condition of freedom" dan sebaliknja ’’fredom is a condition of equality’’. n) Itulah sebabnja mereka selalu menghubungkan "that men are created equal’’ dengan kalimatnja Thomas Jefferson : ’’M en are created free” atau dengan kalim atnja J.J. Rousseau : ’’L ’homme est ne’libre”, seperti jg. dilakukan oleh La fayette dalam ’’Declaration des droits de l’homme et du citoyen” . 10. D ari ’’equality” dan "freedom” inilah disadur apa jang dinamakan ’’human rights’’ jang oleh Dcklarasi Kemerdekaan A .S. dinamakan ” U n alienable rights” dari pada manusia disebabkan ’’they are edowed by their Creator” . D apatlah dimengerti apa sebabnja maka jang terutama dalam Demokrasi Barat adalah ’’the garantee of human rights’’ atau djaminan keamanan dari pada hak2 jang sekarang ini disebut hak2 azasi. Itulah sebabnja pula mengapa Demokrasi Barat selalu mengharuskan diadakannja : . . ' a.
proteksi konstitusionil atau pemuatan dalam U U D atau U U tentang semua hak2 azasi tersebut. b. pengadilan2 jang bebas dan tak memihak. c. pemilihan2 bebas. d. pembatasan (limitation) jang rigid dari pada : (1) circumstances of national emergencies. (2) emergency powers dari pada Eksekutip. e. kebebasan menjatakan pendapat, dsb. Sem uanja itu hanja demi keamanan dari pada hak“ azasi jang dimaksud.
Kelemahan2 Pokok Demokrasi Barat. 11. A p a k a h benar bahwa hak2 tersebut tadi adalah hak2 azasi atau hak2 jang ’’oorspronkelijk” ada pada manusia ? Bangsa Indonesia jang ber-Pantjasila pertjaja kepada Tuhan^ J .M .li. pertjaja bahw a seluruh djagad raya adalah hasil tjiptaan-Nja, pertjaja bahw a d ju g a m asusia adalah hasil tjiptaan-Nja.
273
Kita pertjaja bahwa manusia itu ditjiptakan agar melaksanakan kehendak Chaliknja. M aka manusia ditjiptakan unktk melaksanakan kewadjiban jaitu kewadjiban memudja-mudja Pentjipta-nja dengan djalan selalu mengikuti dan menjelenggarakan apa jang dikehendaki-Nja. 7) Dengan demikian bagi orang jang pertjaja kepada Tuhan J.M .E . maka kewadjibanlah jang pertama- diletakkan diatas balm manusia dan bukan hak. U ntuk dapat melaksanakan kewadjibannja dengan baik maka kepada manusia diberikan wewenang- dan haka. M aka bagi kita kewadjibanlah jang menimbulkan hak. sehingga link- tersebut bukanlah ’"oorspronkelijk"’. Oleh karena itu scbutan ” hak-‘ azasi" adalah ku rang tepat. 12. Kemudian, apakah benar "men are created equal" ? Bukankah alam sekeliling kita beserta penghuninja tjukup mcmbuktikan bahwa senuia jang ada didjagad raja ini adalah "unequal"’ ? Semuanja menundjukkan kepada ’’diversity” . D jik a semua manusia adalah ..equal"" apakah sebabnja hingga terdjadi kalimat . "the right men on the right place'". Kita sebagai jang diperijaja kepada Tuhan J.M .E . tidak mungkin mengatakan bahwa manusia itu ditjiptakan sama. Didalam A1 Q ur'an kita dapat membatja bahwa para malaikat disuruh bersudjud kepada A dam , bukan kepada Hawn. s) Kepada A dam lah T uhan J.M .E . mengadjarkan segala nama- jang ada didjagad raya ini, dan bukan ke pada Hawa. Setelah N abi M uham m ad s.a.w. wafat, jang mendjabat C halifah adalah pria dan bukan wanita. D ju ga wanita tidak diperkenankan untuk bertindak sebagai Imam selama masih ada pria. D alam Kitab Taurat-pun djelas diterangkan bahwa hak- pria tidaklah sa ma dengan kaum wanita. W a n ita didjadikan dari tubah A dam . Kemudian Tuhan J M .E . berfirman jang ditudjukan kepada wanita : ’’ ................. engkau akan takluk kepada lakimu dan iapun akan memerintahmu” . n Dalam Indjil-pun dapat didjumpai kalimat2 jang berbunji sbb. : ” H ai segala isteri orang, hendaklah karnu tunduk kepada saamimu seperti ke pada Tuhanmu. karena suami itu adalah kepala dari pada isteri” . Jo) Kemudian : ’’........... tiada aku mengidjinkan seseorang perempuan mengadjar atau memerintah atas laki2, karena A dam sudah didjadikan dulu, kemudian barulah H a w a” . 11) Dalam Kitab2 Sutji diperintahkan kepada kaum muda supaja tunduk kepada kaum iua dan supaja menghormati orang-tuanja. 12) Didalam adat-istiadat kitapun terdapat ketentuan2 sematjam itu, adat istiadat jang hingga sekarang ini rrvisih kuat dan kokoh berlaku terutama dilingkungan masjarakat diluar kota-’ jang merupakan 83 prosen dari seluruh masjarakat Indonesia. Djelaslah kiranja sudah bahwa manusia itu tidaklah sama pentjiptaannja, Ataukah djustru karena manusia ditjiptakan tidak sama, maka ”ketidak-adilan’’ itu perlu dperbaiki oleh manusia dengan mengharuskan semua manusia m e n d ja d i sama ? 274
Djika demikian apakah hal itu tidak bertentangan dengan kehendak Tuhar*. J.M.E. dan dengan Pantjasila. 13. Kemudian lagi. apakah dalil ..manusia itu lahir bebas” memang benar adanja :? Bukankah anak itu selalu lahir dalam ikatan, ikatan engan orang tua dan dengan keluarga.
The child can not survive to become the man wihout family. Sekiranja ada anak lahir bebas dari ikatan tersebut, maka mungkin anak itu adalah anak haram dan jang dibuang karena tidak ada orang jang menjukai kelahirannja. . D j u g a disebabkan kelahiran manusia dibarengi dengan pembenan kewadjiban padanja u n tu k memudja dan melaksanakan kehendak Pentjiptanja, ^ ^ k a manusia itu setjara lahiriah maupun b a t h i n ia h / r o c h a n ia h sedjak lahjrnja adalah terikat.
14. Lem baga2 masjarakat (social institutions) merupakan pantjaran dari kelakuan, tata-kelakuan dan hasil kelakuani manusia, 13) dengan lain perkataan merupakan pantjaran dari kebudajaan masjarakat bersangkutan. D a n kebudajaan sesuatu masjarakat adalah masjarakat itu sendiri. Bagaimana masarakat Amerika Serikat dan Eropa, bagaimana kelakuan, tata-kelakuan dan hasil kelakuan mereka pada umam nja kita semua sudah mengetahuinja. Bentrokan2 rasialis. persaingan2 jang kedjam, seringnja terdijadi ’’moord en doodslag” jang meluas hingga djuga mengenai tokoh pim pinan negara. lindakan2 penguasa jang kedjam dan kasar sekali, djurang jang lebar serta dalam antara si miskin dan si kaja seperti jang terdjadi Am erika Serikat jang menamakan dirinja ,fbenteng” demokrasi dan kamipun ,,dunia bebas , merupakan indikasi2 tentang keadaan masjarakatnja. Penilaian terhadap manusia seria moralnja ampak antara lain dari hubungan pria dan wanita dil-uar perkawinan jang sudah lumrah disana, pertjeraian2 perkaw inan jang telah dianggap biasa, m e n in g k a t n ja k e d ja a t ^ n *ex dan m eradjalelanja pornografi. Ditam bah lagi dengan m untjulnja ,, e u ajaanv beatles dan hippies ja n g te la h banjak m e n g h a n tju r - lu lu h k a n e^en eraman rumah-tangga disebabkan kehilangan anak2 gadisnja jang lebih suka m e m ilih ,,kebebasan” didalam asrama2 hippies. o . D ja tu h n ja moraal, kemerosotan dunia kerochanian dari orarJ9T lnl telah lama ditjanangkan oleh O stw ald Spengler dalam b u k u n j a D e r Untergang des A bendlandes” (1918). P .A . Sorokin dalam b u k u n j a "T he Crisis of our A g e ” (1941) lebih menegaskan la g i: 14) ’’W estern culture is covered by a black out ............................. T he present crisis is not ordinary but extra-ordinary. It is not merely an economic or political maladjustment, but involves simultaneously almost the whole of W este rn culture and society in all their m any sectors ..................... M ore precisely, it consists in a desintegration of a f u n d a m e n t a l form of W estern culture and society dominant for the last four centuries’*. 15. Perkem bangan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat memang sangat tjepat sekali, sedemikian tjepatnja hingga menimbulkan ketidak-seimbangan
275
antara seklor lahiriah dan sektor rohaniah. Kalimat dari dua penulis Barat berikut ini dengan sangat tepat m cnggambarkan kcadaan tersebut. Kingsley M artin mengatakan : "Since the time of the French Revolution and the first industrial revolution we have been in a rush: and rapid, inces sant change gives no time to regain a stable equilibrium. Lmrihermort. a ’’rapid movement was ex-hilarating and men forgot ............ to ask in wha'. direction they were hurrying” . ir’ ) Guru-besar pada LIniversitas Harvard A.S. —■ Prof. Robert LUich bcrkata : ’’In the course of time the ideal of scientific exactness and the tradi tional concepts of relegion and philosophy contradicted one another ........... T hus the scientists become alienated from the spiritual traditions of the western nations just when our civilisation become increasingly dependent on scientific research and technology : The result is a split mentality in modern man because a split doncept of life and the universe” . 10
Pangkal-tolak Seminar adalah benar. 16. Dengan melihat kenjataan2 di-negara- Barat dan mengingat diagnose jang dibuat oleh orang- Barat sendiri seperti terseb.it dimuka tadi, maka sudah sepantasnjalah djika kita harus hati2 didalam menindjau apalagi mcniru lembaga2 masjarakat dari negara2 Barat. O rang Barat mempertentangkan setjara ladjam individu dengan m asja rakat. Katanja : ’’The philosophy of our Bill of Rights ......................... put the individual above the State and above the group” . 17) Dualisme inilah jang membuat dunia Barat kchilangan djalan. Semua teori2 dan falsafah mereka mengenai kebebasan, ’’political creeds of laissez faire” , didasarkan kepada dualisme tadi. 18) 17. O ran g Indonesia tidak mempertentangkan individu dengan masjarakatnja. Lambang Negara kita dengan kataJnja : ..Bhjnneka T unggal Ika’’ setjara djelas mcnggambarkan pemikiran orang Indonesia tentang hal tadi : Berbeda tetapi sata. Individu dan masjarakat bcr-Bhinneka T unggal Ika sebagaimana halnja dengan bahagian- dari kosmos jang ber-beda- tetapi tidak ter-pisah2kan dan bekerdja-sama setjara harmonis. D jik a salah satu bagian menhentikan kerdja-samanja rusaklah kesatuan itu. Dengan demikian bagi masjarakat Indonesia harmoni antara anggota-’nja adalah sjarat mutlak bagi kelandjutan eksistensinja, dan harmoni hanja dapat ditjapai dengan tjara gotong-rojong, musjawarah dan kekeluargaan. 10) D jiw a atau semangat gotong-rojong dapat diartikan sebagai perasaan rela terhadap sesama warga masjarakat, sikap jang mengandung pcngertian ter hadap kebatuhan sesama warga masjarakat. Dalam masjarakat serupa itu misalnja, kebutuhan umum dinilai lebjh tinggi dari pada kebutuhan individu, bekerdja bakti untuk umum adalah suatu hal jang terpudji, dalam sistem hulcumnja hak- individu tidak djutamakan setjara tadjam dsb. D jiw a gotong-rojong adalah lawan djiw a individualis. 20) D jiw a kebudajaan Indonesia adalah Bhinneka-Tunggal-Ika. 18. D apat dikatakan bahwa para Perintis dan Pahlaw an Kemerdekaan oerdjoang dan Perang Kemerdekaan jang baru lalu dilakukan tidak lain hanja 276
unluk menjelamatkan kebadajaan kita dari bahaja kehantjuran jang datang dari pihak pendjadjah. M odal jang dipergunakan dalam perdjuangan itu ada lah Pantjasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nja. Kiranja kita semuanja sependapat bahwa kemadjuan ilmu pengeiahuan dan teknologi Barat perlu kita kuasai. tetapi lanpa inengorbankan keunggulan kita disektor rohaniah, ianpa inengorbankan Pantjasila dengan Bhinneka T anggal Ika-nja. U nluk Demokrasi Panljasi’a-lah para Pahlawan kita telah inengorbankan d jiwa-raganja. Demi menegakkan Pantjasila telah banjak mengalir air-mata, keringat dan darah. Peristiwa- belakangan ini terutama jang terdjadi di D jakarta dan Ban dung. dimana pemuda- harapan kita telah melakukan pengrusakan'-’, intimidasi- dan pemakulan hanja karena mereka tidak mampu aiaupun tidak berhasil memperolch angka-angka udjian baik. merupakan Jampu-merah” bagi dunia pendidikan kita clan djuga bagi kelandjutan kebudajaan kita. D ju ga perampokan-, crossboy & cross-girl-ism jang erat hubungannja dengan ..Oom-oom dan Tante-'ante gaang". pergaulan bebas dengan segala akibat dari padanja merupakan gedjala2 jang menundjukkan mulai menularnja penjakit- parah dari dunia Barat kebumi Indonesia. Sjukurlah bahwa hal-hal tersebm masih terbatas pada muda-mudi dikota sadja. A kan tetapi djika kita tidak tjepat- mengadakan herorientasi dan mawas diri maka dalam waktu jang tidak ;erlalu lama lagi seluruh masjarakat kita akan masulc tjengkeraman maut dari pada epidemi Barat tersebut. Berdasarkan uraian- tersebut diatas maka iepai sekalilah pangkal tolak jang diambil oleh penjelenggara Seminar ini. Kita bisa sadja melihat bintang-bintang djauh dialas atau meneropong djauh keseberang lautan, akan tetapi selalu diinga;. bahwa kaki kita berdiri dan harus melangkah madju dibumi Indonesia. III.
K E K U A S A A N K E H A K IM A N J A N G B E B A S.
Pcngertum. 19. D idalam prasaran pada halaman 10 ada terdapat beberapa jang berusaha hendak mcnguraikan pengcrJan Kekuasaan Kehakiman :
kalimat
’’Kalau terdjadi gangguan terhadap pelaksanaan hak- dan kewadjiban2 ini, maka negara harus menjediakan apavatur untuk mcnghapuskan gangguan ini. Aparatur ini jang akan menentukan bahwa telah terdjadi suatu pelanggaran hak atau kelalaian dalam melaksanakan kewadjiban, kemudian memerintahkan agar gangguan ini dikembalikan dan kewadjib an dilaksanakan. A paratur inilah jang dimaksudkan dengan Kekuasaan Kehakiman, jang harus ikut rncndjaniin bahwa setiap pendapat dapa; melaksanakan hak2 dan kewadjiban--nja’’ (garis bawah dari saja). Perumusan kalimat- ini agak kurang teliti. Kalimat pertama mengatakan bahwa hanja ada satu aparatur jang bertugas menghapuskan gangguan, te'.api kalim at terachir menjatakan bahwa aparatur Kekuasaan Kehakiman hanja merupakan salah satu aparatur. Kem udian penguraian tentang pengervian Keku•?.saan Kehakim an tadi, agak kurang mantep dan kurang kena.
277
M u n g k in perumusan2 tadi harus dihubangkan dengan perumusan jan^j terdapat dalam R U U Pokok- Kekuasaan Kehakiman jang pemrasaran ikut seria m entjiptakannja. Pasal 1 R U U tersebut berbunji : ’’Kekuasaan Kehakim an adalah Kekuasaan Negara untuk menjelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan P a n tjasila, demi lerselenggaranja Negara H iik u m ’’. Prof. D r . Ism ail Suny S .H . M .C .L jang djuga ikut merumuskan pasal didalam prasarannja mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman :
tadi,
’’T ug asnja adalah untuk menafsirkan hukum jang terdapat dalam per undang-undangan dan hukum melalui perkara- jang dihadapkan kepad a n ja ” . 21) D jik a ketiga mat jam perunmsan tadi digabungkan, maka b a'u lah dapat menangkap apa jang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman.
orang
M asalah 2 jang dihaclapi. 20. Penegakkan Kekuasaan Kehakiman jang bebas di Indonesia meliputi banjak masalah-. Bapak Menteri Kehakiman sewaktu memberikan Kelerangan Pemerintah dihadapan D P R - G R tentang R U U Pokok Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa masalah- terscbat pada hakekatnja merupakan masalah "herordening’’ penindjauan alas ’’judicial poweh” . “organizatiop” dan "ju d i cial personnel’’. Saja sependapat dengan Kelerangan Pemerintah tersebut dalam arti bah wa persoalannja adalah bagaimana menjusun ketiga unsur tadi didalam l’angka Struktur Negara berdasarkan Demokrasi Pantjasila. 21. Sebaqaimana dalam Bab- tcrdahalu telah dikatakan, pemrasaran mengutamakan imsur ’’personnel’’ sadja, itupun mengenai salah saUi segi Sadja. D ja d i pemrasaran belum mentjakup pokok- jang berintikan bagaim ana menegakkan suatu Kekuasaan Kehakiman jang mampu m endjalankan fungsi nja : ’’memberikan perlindungan hakum kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sepera jang dim aksudkan dalam pembukaan U U D-1945” , seperti jang didjandjikan pemrasaran dalam Prakata-nja. 22. Tentang hal2 jang dikemukakan oleh pemrasaran tentang keduduk an pembinaan personil para hakim jang masih dibawah Departemen Kehakim an sehingga dapat menimbulkan ketidak-bebasan para hakim, dapat dimengerti. M em ang Eugen Ehrlich pernah mengatakan bahwa ’ there is no gua rantee of justice except the personality of the judge” 22), akan tetapi ’’perso nality’’ hakim tergantung dari pada banjak sekali faktor. Sehubungan dengan ini pemrasaran pada halaman 15 seijara tepat me ngatakan bahwa oleh karenanja kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak hanja dapat didjamin dengan mengadakan suatu wettelijke regeling. D engan lain perkataan faktor2 non-weltelijk dan faktor2 non-juridis perlu mendapat perha tian. 278
A k a n tetapi w alaupun demikian sebagian besar dari prasaran adalah me ngenai wetielijke regelingen. D a n sajang sekali pada halam an 13 alinea ke-4 pemrasaran m a’ahan beranggapan bahwa sata-nja djam inan hanjalah Undangundang. S elandjutnja penguraian tentang faktor- non-wettlijk dan non-juridis ti dak begiiu banjak didjum pai dalam prasaran. A kan tetapi dalam Bab Kesim pulan halaman 16 setjara tiba- dinjatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman me rupakan prasaran sosial politik jang penting fanpa dapat diketahui apa alasan2 serta dasar-’nja untuk m enjatakan demikian.
/ udicial personnel. 23. M asalah personalia ini meliputi banjak segi2, tetapi jang terpenting adalah soal- mengenai : a. recruitment para hakim, b. status hakim, c. pengangkaian, pemindahan, kenaikan dan pemberhentian. d. pengawasan para hakim. e. person'll pembantu. Pemrasaran kebanjakan hanja mempersoalkan masalah sub a (status hakim) dan sedikit mengenai masalah sub c (soal pengangkatan dsb.).
Recruitment. 24. Negara kita hingga kini melandjutkan tjara2 recruitering dari pada Belanda. Hakim- baru diambil dari kalangan Sardjana H ukum jang baru lu lus. Setelah mengalami masa pertjobaan jang sering merupakan penugasan se bagai Panitera, maka mereka ditempalkan di pengadilan untuk mengurusi perkara2 sederhana. Kemudian dari sit a mereka m adju menurut kemampuan ser ta pengalam annja hingga mendjadi H akim T inggi atau malahan H akim A g ung. A k a n te‘api disebabkan kurangnja animio dikalangan Sardjana^ H ukum untuk^ m endjadi H akim , maka Negara terpaksa menempatkan orangbukan S ard jan a untuk m endjabat sebagai Hakim. M enurut keterangan Pemerintah di D P R - G R pada tgl. 5 Desember jang baru lalu maka djum lah H akim Sar djana adalah 799, dianiaranja 64 orang H akim Tinggi. D a n H akim non-sard ja n a berdjum lah 827 orang, diantaranja 14 orang H akim T inggi. *3) Sekarang ini suatu Pengadilan Negeri rata2 hanja mempunjai 6 orang dan suatu Pengadilan T inggi rata2 5 orang. D apat kita bajangkan bagaim ana beraLnja pekerdjaan mereka. Perlu kiranja ditjatat bahwa kini masih ada sedjum lah 50 D aerah T ingkat II jang belum mempunjai Pengadilan Negeri. 25. D i N egara2 Commonwealth Inggris Hakima baru diam bil dari ka langan advocaten (barristers) jang sudah banjak makan garam. D i A m erika Serikat selain dari kalangan ’’reputed practicing lawyers” se ring djuga diam bil dari lingkungan Guru-besar, dari kalangan anggoia2 Kongres atau G ubernur/K epala- Negara Bagian, dan dari kalangan pegawai tinqgi- 24)
Sebagaimana diketahui, pembedaan antara sistam Eropa-Kontinental jang kita ikuti sekarang dan sistem Inggris-Amerika terutama disebabkan pandangan jang berbeda terhadap Iembaga2 "the bench and bar’’. 279
D jika Kontinental Eropa menganggap '\he bench" setjara ladj.un terpis&n dari "the bar” , maka Inggris-Amerika memandangnja sebagai "merely as the two branches of a unified legal profession". 26. Sistem manakah jang terbaik dan jang paling tjotjok bunt kita ? A gar penilaian ini mendapat dukungan jang luas sehingga para Ila k im ki a memperoleh pengakuan dan penghormatan sclajaknja dari masjarakat. maka sebaiknja kita menijari ’’aansluiting" kepada kebudajaan dan tradisi bangsa kita. Tradisi kita menundjukkan bahwa masjarakat Indonesia dibagi dalam 2 golongan, kaum taa dan kaum muda. Dengan kaum tua dimaksudkan mereka jang sudah berkeluarga. Mereka inilah jang dinnggap telah bcrpengalaman sehingga merekalah jang berhak berbitjara. Dan jang paling banjak penga laman (dus tentu jang sudah berambut putih) dari antara mereka itu biasanja mempunjai suara j'ang menentukan diiingkungan masjarakatnja. Berdasarkan hal tadi maka sebaiknja tjalon- Hakim kita diambil dari kalangan para sardjana hakum jang telah bcrpengalaman banjak. Bangsa Indonesia mengnUimakan "characler", watak serta achlak, dan penga laman didahulukan dari pada kepintaran. Dengan demikian maka setiap orang jang menghadapi suatu perkara di pengadilan akan betul- merasa bahwa perkaranja sedang berada dalam ta ngan orang- jang terperijaja. djadjur dan maiang. kompefen dan kapabel. Sudah barang tentu sistem ini harus dibarengi dengan perbaikan- drastis disegi- financiil serta fasilitas2/eino!umen- dari pada Sang Ilakim .
Kedudukan Iiakim. 27. Saja sependapat dengan pemrasaran bahwa pcnghidapan Hakim se karang adalah sulit sekali. Penghargaan finansiil terhadap Hakim sangat terJalu rendah. Oleh karena itu patutlah kita semuanja memberikan saluut kepa da para Hakim jang walaupan menghadapi kesuliian- hidup jang berat masih dapat menjelenggarakan tugas-nja dengan baik. Orang- semaljam inilah jang dibutuhkan oleh Negara dan Bangsa kaa sekarang ini. Akan tetapi sajang ma sih banjak sekali para hakim jang tidak alau belum masuk kategori tadi. Hakim merupakan pemimpin masjarakat. Dengan melalai putusan--nja dia ikut membimbing dan mendorong masjarakat supaja menudju kearah jang benar, sebab dia ikut berkewadjiban mcngamankan dan menentei amkan ma sjarakat, Bangsa clan Negara. Dengan putusan--nja itu pulalah H akim ikut serta dalam penerusan kebudajaan kita. Njatalah betapa besar tanggung-djawab serta kekuasaan dari pada seorang Hakim. Oleh karena it a tidak selajaknjalah djika para H akim terpaksa mentjari part-time jobs’’ diluaran hanja guna memenuhi kebutuhan pokok hidupnja. Memang hal sematjam ini telah lazim dengan para pegawai negeri kua. akan tetapi praktek sematj'am itu mau tidak mau mendjatuhkan martabat Hakim , dan lebih bahaja lagi, hal itu akan mempengaruhi ’’im partialuy” H akim . 28 Pada hakekatnja djika dilihat dari sudut hukum tata-negara dapat dikatakan bahwa kedudukan para H akim dapat dipersamakan dengan kedu-»kan para anggola D P R . 280
B e r d a s a rk a n nal tersebut d '.h u b u n g k a n d e n g a n a p a ja n g o i u i a i k a n d i m u k a i&~ di. m a k a tju k u p be rala san lah k ir a n ja d jik a p a d a p a r a H a k i m k ita d ik e n a k a n P c r a tu r a n G a d j i ja n g chusus. D a l a m h u b u n g a n mi perlu k ir a n ja d ip e r tim b a n g k a n tja r a - di I n g g i i s d i m a n a sc tjara praktis tid ak terd apa t p erbe d au n g a d ji a n ta r a p a r a H a k i m , d j u g a d e n g a n p a ra H a k i m T in g g i- n ja . H a l ita m e n tje g a h k e m u n g k in a n t e r d ja d in ja '"sikut-nienjikut” d ia n ta ra p a ra H a k i m u n u ik m erebut posisi- ja n g lebih mengu n t u n g k a n disegi finansiil. S e l a n d j a ln j a perlu d ju g a d ip e rtim b a n g k a n b a h w a g a d j i serta fasilitas / emolumen- dari p a d a seorang H a k i m h a iu s la h scdem ikian r u p a se h in g g a d a p a t m e n a r ik s a r d ja n a h u k u m jan g bekerdja diluaran .
Soal pengangkatan dsb. 29.
D i d a l a m p ra s a r a n tidak d ik e m u k a k a n m asalah p e n g a n g k a t a n H a k im ,
w alau p u n d im in ta k a n pem buatan U U mengenainja. dtttt n i i A p a k a h d ju g a m engenai hal ini kita di-,,ver\vijs kepada I okok K e k u a s a a n K ehakim an dim ana pem etjahan masalah tadi diserahkan kepada suatu badan chusus jang disebut M adje lis P erum bangan dan P e n e .itia n " S e b a q a im a n a diketahui M a d j e li s ini terdjri dari K e tu a M a h k a m a h A g u n g se bn aai K c tu a M c n t e r i K e h a k im a n sebagai W a k i l K etua, dan 3 oran g a n g g o ta P e n g a t ja r a .
-cwokl"m eru H “U '"2 A « » iHakl"‘ r 1' dSilin i . gi rk uri agan pak an Iem baga ’ non-governm ental
M a d j e li s
M ahkm ah Agung. M engenai soal
M a d j e li s
in i telah
b a n ja k
... d .k u p as
j . n PT ? di D P R
kita kita,
s e h in g g a tid a k perlu d ii.lan g i lagi disini. 30
D a l a m lu .b u n q a n in: kiran ja k u ran g tepat
ap a
jang
d ik e m u k a k a n
d i d a l a m p r a s a r a n p a d a h a la m a n 14 da la m alinea ke-6 d u n a n a .
..Pad,, umumnja di-,»ana= negara selalu diusahakan untuk menga d a k a n K e k u a s a a n K e h a k im a n jang bcDas . d ilu ib u n g k a n
langsung
dengan :
H a k i m ja n g tid a k te r g a n tu n g p a d a ^ D e n g a n d e m ik ia n d ig a m b a r k a n seolah-o a p a d a H a k i m b c r a d a d a la m t a n g a n Ek se kutip
. ' so a f p c n g a n g ^ a t a n dsb. d ari
J c^ m ak a
s u a tu K e k u a s a a n K e h a k im a n ja n g bebas. jang
a P e ra n tjis beserta n e g a r a 2
D i negara- C o m m o n w e a l t h I n 9 9 r ‘* “f ^ b e r a d a d it a n g a n P e m e r in ta h . m e n j o n t o h n j a , m a s a la h p e n g a n g < rTmeaara k u a s e k ara ng ini. D a n
Djodi tidak ada nbahnja dengan keadaan d “ dsm ra’teka ,idak pengadilan dan hakim* mereka itu tidaklah termasuk djelelc, n ie ra sa d i r i n j a d i b a w a h k u n g k u n g a n P e m e r in a
Pcngatvasan Hakim. m r a H a k i m d il a k u k a n oleh M a h k a m a h S e k a r a n g in i p e n g a w a s a p< i i ia ]. r a m a i m e m p u n j a i p e r a n a n A g u n g beserta P e m e r in t a h D j u g a pers ‘ rak m e la lu i w a k il 2n j a j a n g t i d a k k e tjil d a l a m soal p e n g a w a s a n d i D P R d a p a t m e la k s a n a k a n k o n tro le j a n g m a n l a p . 31.
281
m ungki
Keadaan ini jang telah diterima oleh masjarakat ini kiranja tidak ada sa lahnjs djika diteruskan.
Tentang Organisasi. 32. M engenai siruktur dan organisasi Kekuasaan Kehakiman kini men djadi pusat soroian dari pada para sardjana hukum. Apakah kita akan mengikuti apa jang dinamakan sisLcm ..pyramide" dimana semua peradilan berpun tjak pada satu M ahkam ah Agung, atau sistem ..minaret’1 dengan masinglingkungan peradilan mempunjai puntjak- sendiri. Masing- sistem tentu ada variant-nja. IK A H I mengusulkan sistem piramidc dengan tjatalan bahwa peradilan umum dan peradilan administrasi (Tata-usaha Negara) untuk mu'.lak setjara teknis, organisatoris, administratif dan financieel dibawah kekuasaan Departemen jang bersangkutan. -r') Aneh sekali pendapat IK A H I ini, sebab disatu pihak IK A H I mengatakan bahwa setjara mutlak Kekuasaan Kehakiman harus terlepas dari Pemerintah (dibidang teknis, organisatoris. adminjstratjf maupun financicll), akan tetapj dilain pihak mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman tidak scluruhnja terlepas dari Pemerintah. A pakah demikian itu tidaklah menimbulkan kesan seolah-olah I K A H I menganggap bahwa merekalah jang terutama mewakili Kekuasaan Kehakiman. bahwa para Hakim dilingkangan peradilan agama dan militer bukan merupakan ,,volwaardige rechters’’, dan bahwa M ahkam ah A gung adalah hanja disediakan bagi para H akim dari Hngkungan peradilan umum dan administrasi sadja ? Apakah golongan rakjat tertentu jang dimaksud bukan merupakan rakjat. djuga ’ Selandjutnja kahmat- tadi menggambarkan seolah-olah kita memperten tangkan Rakjat dengan Penguasanja. Dibagian muka dari pada tanggapan ini telah dibuktikan bahwa Bangsa Indonesia tidak mengenai dualisme a' la Barat tersebut. Kita semuanja ber-Bhinneka-Tunggal-Ika.
Fungsi Pengadilan. 33. Mengenai masalah fungsi ini saja sependapat dengan pemrasaran. Kekuasaan Kehakiman tidak Iain dari pada salah suatu prasarana kita untuk mentjapai tudjuan jang ditjita-tjita oleh Bangsa kita sebagaimana tertjantura dalam U l i D kita. Hakim Indonesia bukan hanja merupakan seorang ,,umpire” , tetapi djuga merupakan Guru dan Pendidik. D ia merupakan unsur jang ,,onmisbaar’’ untuk mentjiptakan keadaan damai didalam Negara, Bangsa dan M asjarakat. 34. Fungsi Pengadilan inilah jang merupakan soal-politik. dalam penegakan Kekuasaan Kehakiman jang babas. Seorang H akim A g un g kita m enga takan bahwa : ” ................ mutlaknja peradilan bebas, (berarti) bahw a Kekuasaan K eha kiman dan tiap2 H akim tingkal manapun dalam m endjalankan fungsinja adalah bebas, sesuai dengan pendapat dan suara hati-nurani-nja” . 20) 282
Saja lebih sependapat dengan Saudara pemrasaran jang mengatakan bahwa ; * Hakim wadjib menafsirkan LIU demi rasakeadilanBangsa danmenemukan atau menafsirkan Hukum jang tidakterUilis sesuaidengan rasa keadilan Bangsa dan bukan sesuai dengan perasaan keadilan Sana Hakim sendiri". -7) (garis bawah dari saja). Sebab Hakim tidak mengadili sebagai individu melainkan sebagai suatu lembaga. Oleh karena itu para Hakim kita harus : 6. b. c.
berani menjatakan pendapatnja didalam sidang ; bebas dari politieke voorkeur ; bebas dari tekanan- politik.
Perkara- dimana ada kepentingannja tersangkut dia tidak boleh memeriksa dan mengadilinja. Kalau halJ tersebut dimuka tadi dihubungkan lagi dengan dapatnja disclenggarakannja peradilan jang tjepat dan murah, maka dapatlah dipastikan bahwa nama dan kedudukan para Hakim Indonesia tidak lama lagi akan men djadi dihormati dan didjundjung tinggi bukan hanja oleh Bangsa kita sendiri tetapi djuga oleh Bangsa2 didunia ini. Hak mengudji UU. 35. Mengenai masalah jang ’’controversial’' ini pemrasaran tidak djelas memberikan pendapatnja. Hanja pada halaman 12 alinea ke-3 disebut bahwa Hakim „harus mengudji apakah Hukum jang ada sampai tanggal 17 Agustus 1945 tidak berLeniangan dengan U U D 1945’’. Djadi hak mengudji Hukum (bukan hanja U U ) jang ada sebelum Proklamasi Kemerdekaan Kita. Akan tetapi dengan disebutnja djuga keputusan Mahkamah Agung tanggal 14 Agustus 1968 No. 182/K /S ip/l967, jang djuga disiteer oleh Sri W idojati Wiratmo S.J. 28). maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini pemrasaran sependapat dengan rekannja Hakim Agung tadi. Dalam putusan jang dimaksud jang perlu mendapat sorotan kita adalah rangkaian kata2 : ........... harus dimungkinkan .......... Hakim .......... diberikan we wenang untuk apabila kebuttihan via.sjd.takat sttngguh~ tnefighenda~ kinja tidak sadja menjingkirkan ketentuan2 jang dianggapnja bertentagan dengan kemadjuan zaman, tetapi djuga menambahkan keten tuan ,,baru disamping ketentuan2 jang lama . (garis bawah dari saja). Rangkaian kata2 dalam konsiderans pulusan itu disusul lagi dengan per timbangan mengenai interpretasi asal 70 U U No. 13/1965 jang dihubungkan dengan atjara kasasi di Mahkamah Agung. Berdasarkan hal2 tersebut, demikian katanja, maka sebenarnja Hakim Indonesia telah mendjalankan wewenang mengudji. Suatu kesimpulan jang sangat tergesa-gesa jang didasarkan atas alasan2 jang ’’feeble’’ jaitu suatu urian dalam konsiderans dari pada satu (only) putusan badan peradilan, dan suatu uraian lagi dalam suatu putusan jang pada hakekatnja merupakan inter pretasi daripada suatu ketentuan U U . 283
36. U ntuk dapat menilai persoalan ini maka kita harus m eiihainja d a ia n rangka konstitusi dan kehidupan kenegaraan kita. U U D 1945 mengatakan bahw a M P R merupakan pendjelmaan seluruh R akjat Indonesia sehingga memegang kekuasaan Negara jang iertinggi. D engan dihubungkan pada pasal 3 U U D maka berwenang mcmb.iat dan jang bertanggung djawab atas "policy" Kenegaraan kita adalah M P R . D jadi dapat dikatakan bahwa kekuasaan M P R adalah tidak :erbatas. Presiden cq Pemerintah dan D P R hanja merupakan pelaksana2 daripada ’’policy’’ itu. H a l ini sebagaimana telah diketahui djelas sekali terljha. dalam T A P M P R S N o. X X / M P R S / I 9 6 6 : a. b.
T A P M P R S jang memuat G B I IN dalam bidang legislatip dilaksanakan dengan U U . ,,T A P M P R S jang memuat G B H N dalam bidang eksekutip dilaksanakan dengan keputusan Presiden".
Kemudian lagi : ,,P E R P E M adalah memuat aturan2 uinLim untuk melaksanakan U U ” . 37. Berdasarkan keientuan2 tadi maka para pelaksana T AP- M P R memperlanggungdjawabkan hasil- karyanja kepada M P R . H al ini adalah logis : sipelaksana perintah bertanggung-djawab kepada s:peniberi pcrintah Hal- apa jang merupakan kcbutulian masjarakat jang sunggnli- ataupun jang bertentangan dengan kcmad'y.ian zaman. adalah termasuk wewenang M P R . Sidang2 M P R S ditahun 1966, 1967 dan 1968 merupakan bukti- jang konkrit dari pada pendapat tadi. Tindakan- daripada D P R dan Pemerintah hanja meng-konkretisasi-kan kehendak Rakja'. melalui M P R S itu. Pendeknja semua tindakan- Pemerintah dan D P R tadi adalah berdasar kan dan didjamin oleh U U D kita. 38. Pemrasaran menghendaki supaja kepada Kekuasaan Kehakiman diberikan wewenang untuk menilai dan m enghapus/meniadakan ’’policy” jang dikehendaki oleh Rakjat melalui M PR-nja. Apakah dengan demikian M ahkam ah A gung hendak berdiri dia.as M P R ? Ataukah M .A . mau menggantikan Pemerintah sehingga terdjadilah apa jang dinamakan ’’government by the judges’’ ? A taukah M .A . hendak didjadikan D P R ke-II aiau D PR-bajangan ? 39. Katakanlah bahwa M ahkam ah A gung pada suatu ketika menjatakan tidak berlaku ’’policy” jangdidjalankan oleh M P R /P e m e r in ia h /D P R . Bagaimanakah sekiranja lembaga2 negara ter>.inggi tadi tidak menjetudjui putusan itu ? Apakah M ahkam ah A gung tidak kehilangan muka atau setidak-tidaknja apakah semua lembaga2 terlinggi jang bersangkutan (incl. M .A . sendiri) tidak akan rugi akibat putusan itu ? Berdasarkan uaraian2 dimuka maka dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga ’’toetsingsrecht’’ alau ’’judicial review” asal Barat jang berbau formalisme itu tidak atau kurang sesuai dengan a'.am Demokrasi Pantjasila. T A P M P R S N o, X IX /M P R S /1 9 6 6 merupakan penggarisan-bawah daripada pendapat saja ini. 284
Kita semuanja, Iembaga2 negara tertinggi tidak terketjunli, ber-BhineekaTunggal-Ika. Dengan mentaal Pantjasila jang menghendaki goodwill dan se’frestraint untuk menudju musjawarah, pertentangan2 tidak akan terdjadi. Bukankah U U D kila setjara gemilang dan tegas menjatakan bahwa dalam kehidupan Negara, jang sangat penting adalah semangat, semangat para pen jelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerin ahan. Perbandingan dengan peradilan militer. 40. Sebelum saja mengachiri penanggapan ini, perkenankanlah saja untuk menguraikan sediku tentang keadaan peradilan militer kita sebagai bahan perbandingan. Para hakim-militer diambil dari kalangan militer, sehjngga mereka mengetahui dan telah mengalami sendiri tata kehidupan dan tata-tjara berpikir seorang militer. Sebelum mendjadi hakim, dia telah mengalami penempatan sebagai perwira anggota Staf Kehakiman, sebagai panitera, pembela, penasehat hukum, dan sebagai djaksa. Dan peningkatan djabatan- itu baru dapat terdjadi djika dia memenuhi sjarat jang berat, dimana persjaratan mental menempati tempat jang terutama. Dengan demikian para hakim tidak lagi ’’eenzijdig” penglihatannja dan telah mcndjalani dinas jang pandjang sebelum mendjabat sebagai Hakim. Para Hakim dihormati oleh para justiciabe'.ennja bukan karena pangkat-militernja tetapi karena achlak dan pengalamannja. Administrasi pengangkatan, pemindahan dsb. dari pada Hakim berada diiangan Angkatan bersangkutan dan bukan diurus oleh pengadilan sendiri. Demikian djuga mengenai soal2 logistik dan finansiil. W alaupun demikian para Hakim Miiiter tidak pernah merasa dirinja tertekan ataupun dibawah perintah pengusaha sewaktu mereka melakukan tugas-peradilan mereka. Situasi diperadilan militer inilah merupakan salah satu buktx konkrit bahwa masalah2 administrasi dan finansiil tidak perlu merupakan penghalang atau penghambat bagi penjelenggaraan suatu peradilan jang bebas. Per'.u kiranja ditambahkan disini bahwa keadaan :'ni tidaklah berbeda de ngan keadaan peradilan militer dinegara- lain didunia ini. Sering para Hakim Militer bekerdja dibawah naungan perundangundangan jang 'simpang-siur atau jang telah usang atau ketinggalan zaman, namun mereka berhasil menemukan hukum jang memuaskan semua pihak, inclusief Dewi Justitia sendiri. Nampaklah dengan tjontoh ini bahwa meutal jang sehat dapat mengatasi kesulitan-’ jang bagaimanapun hebatnja. IV .
P E N U T U P.
41. Demikianlah tanggapan saja terhadap prasaran mengenai masalah penegakan Kekuasaan Kehakiman jang bebas dinegara kita ini. Dibandingkan dengan pembahasan2 lainnja, maka dalam tanggapan ini tidak banjak hal2 baru jang saja dapat sumbangkan. Atas ketidak-mampuan ini saja mohon agar da pat dimaafkan hendaknja. 285
Sebelum saja mengachiri tanggapan ini, maka perlu kiranja kita semuanja mengingat bahw a pada saat ini Negara dan Bangsa kita sedang herada diambang pintu pelaksanaan R E P E L IT A . Berhasil-tidaknja O rde Baru banjak ditentukan oleh berhasil-tidaknja usaha- pembangunan ini. Sampai dim anakah Kekuasaan Kehakim an jang bebas jang kita sekarang persoalkan ditempat ini dapat memberikan aandeelnja lagi suksesnja usaha- pembangunan jang raksasa itu ? D alam hubungan ini saja teringat kepada Djendcral T.B. SimaUipang jang mengatakan bahwa tugas kita adalah djauh lebih bcrat daripada hanja menerima dan mengutip pemikiran jang telah diperkcmbangkan di Am erika Serikat, Eropa Barat, dst.-nja. Tugas kita ialah, dengan mempergunakan pikiran2 tadi sebagai pendorong dan bahan perbandingan, m endjalankan pemikiran jang kreatip, dimana sardjana- kita dalam bcrbagai bidang diturut-sertakan, untuk memperkembangkan pikiran- jang mcmbantu kita dalam memahami dan memetjahkan persoalan- sekitar pembangunan di Indonesia sekarang ini dan di-tahun2 jang akan datang. -°) Selandjutnja didalam kata-penutwp ini saja masih hendak m enanggapi kata-penutup dari pada prasaran jang mengutip Ham ilton, sebagaimana djuga Sri W id o ja ti W ira tm o S .H . mengachiri tulisannja didalam harian K O M P A S seperti telah disebut dalam bagian muka daripada tanggapan inj, jajtu jang mengatakan : ’’The judiciary, is beyond comparison the weakes: of the depart ments of power’’. Sebetulnja jang dimaksud oleh H am ilton dengan ’’power” adalah lebih banjak kekuatan fisik daripada kekuatan psychis. Kata2 daripada H am ilton ini dengan demikian tidak mengenai sasarannja djika diingat bahwa "the problem of power is less question of the magnitude than the morality of responsibility” . Achirul kata saja hendak menutup tanggapan ini dengan kata- mu.iara jang pernah diutjapkan oleh seorang H akim ternama : ’’The ultimate authority did not repose in instifu ions but jn men 1” :i0) D jakarta, 5 Desember 1968,
286
S O E G IR I I.
T JO K R O D ID fO IO
SH.
Pendahufaan :
1. Pertama-tama kami mengutjapkan sjukur kehadirat Tuhan Jang Ma~ ha Esa, dengan berkat dan rachmatnja kami mendapat kesempatan jang berharga untuk turut serta dalam Seminar Hukum Nasional ke II .ini, jang kami anggap penting sekali artinja dalam usaha menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam kehidupan masjarakat kita, dan dalam rangka pembangunan bangsa dan nagara kita pada umumnja. 2. Selandjutnja pada kesempatan ini ingin kami menjampailcan penghargaan kami kepada pemrasaran, Sdr. H. Asikin Kusumah Atmadja S.H., jang meskipun sehari-hari sudah disibukkan dengan tugas2 di Mahkamah Agung, namun masih dapat menghasiikan karya prasarannja itu, suatu karja jang memberikan sumbangan dalam Seminar Hukum Nasional ke II ini chususnja, pembinaan Hukum Nasional pada umumnja. Tugas kami selaku salah seorang penjanggah adalah untuk memberikan sanggahan‘-/pembahasan2 terhadap prasaran beliau tersebut, penjanggahan mana kami landasi ikbikad untuk ikut menjumbangkan fikiran sesuai kemampuan jang pada kami. 3.
Berdasarkan rangka sistinaatieknja, prasaran tersebut berisi : I. II. III. IV.
Prakata. Sedjarah Kekuasaan Kehakiman. Tugas dan kewadjiban Hakim di Indonesia. Kesimpulan, beberapa saran dan penutup.
S a n g g a h a n dan pembahasan kami akan disesuaikan dengan rangka sistematiek tersebut ; disamping itu sanggahan kami mengambil sistim :
a. b. II.
pembahasan (prasaran setjara) umum. pembahasan setjara bab demi bab.
Pembahasan Umum.
Thema prasaran kami sambut dengan hangat dan penuh enthousias, ka rena masalah Kekuasaan Kehakiman disetiap masjarakat, lebih2 dinegara Republik Indonesa ini, merupakan salah satu hal jSng penting sekali, lebih2 ka rena masalah ini setjara langsung menjangkut perdjoangan bangsa kita dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dengan Kekuasaan Kehakiman sebagai aparatnja. Kami setudju dengan Pemrasaran bahwa uraiannja tidak mengutamakan perbandingan in abstracto dengan systim jang berlaku dinegara-negara lain - walaupun sekedar untuk bahan perbandingan sadja hal ini tidak ada buruknja, namun lebih menitik beratkan segi2 praktis realistik, karena jang diutamakan adalah kemanfaatannja dalam masjarakat, dalam kenjataan praktek Kekuasaan Kehakiman dinegara kita. Sanggahan kamipun akan menitik berat kan pada segi2 praktis. 287
N am u n disam ping itu, kalau semula kami m engharapkan isi prasaran itu akan memberikan gam baran jang djelas tentang bagaimana menegakkan Ke kuasaan Kehakim an jang bebas, akan mengemukakan konsepsi atau gagasan jang djelas terperintji dan systiematis tentang apa dan bagaim ana Kekuasaan Kehakim an jang bebas itu, maka setelah kami teliti apa jang telah dikem uka kan oleh Pemrasaran jang dinjatakan sebagai hasil perni'.aian setjara I Iistoris, dari permulaan sampai achir kami tidak menemukan setjara djelas apa jang kam i harapkan itu sebagaimana jang kami bajangkan sennila. M eskipun didalam prasaran disana-sini beberapa k ili d'konsta'.ir perlun ja dilaksanakan Kekuasaan Kehakiman jang bebas, tapi Pemrasaran tidak memberikan gagasannja setjara njata, jang djelas bahwa rannkaian- arguinen dan uraian dari Pemrasaran lebih merupakan suatu landasan dari tuntutan su paja M A H K A M A H A G U N G dilepaskan dari Departemen Kehakiman dan status serta gadji para H akim supaja setingkat lebih tinggi dari aparatur Ke kuasaan Eksekutip dan Legislatip. H al jang kami konstatir ini akan iebih djelas lagi kalau kita lihat pada bagian kesimpulan, beberapa saran dan pemttup pada hn'am an 16 dari prasa ran. N am un demikian, karena Pemrasaran dalam prakatanja telah menjatakan bahwa nada jang dilagukannja adalah nada mengenai H ukum jang berlaku jang harus mentjerminkan perdjuangan dan kehidupan Bangsa. nada mcngcnai suatu Judicial Power dan Judicial adm inistration jang harus benar- mampu memberikan perlindungan H ukum kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia seperti jang d maksudkan dalam pembukaan Undang-undang D asar 1945, maka atas maksud baik dari Pemrasaran ini ka mi akan bahas berturut-turut apakah nada- jang dibawakan oleh Pemrasaran itu benar2 se-irama dengan lagu jang hendak dibaw akannja itu.
III.
Pembahasan bab clemi bab :
1. Setelah prakata maka Pemrasaran mengemukakan bagian ke-II dari prasarannja pokok, chusus jang membentangkan Sedjarah Kekuasaan Keha kiman pada masa H india Belanda dulu, dimana uraian tersebut sampai meli puti sepertiga dari seluruh prasaran. Berbitjara soal sedjarah Kekuasaan Kehakiman sebelum Perang D unia ke-II ini, maka disamping karena sudah dengan pandjang lebar diuraikan oleh Pemrasaran, kiranja kami sebagai Penjanggah tidak perlu lagi untuk meinperluasnja dan menurut hemat kami adalah suatu kedjanggalan pula kiranja un tuk m enjanggah fakta2 sedjarah, w alaupun berstatus sebagai Penjanggah. Selain itu untuk memperluas ataupun untuk mengemukakan perbandingan mengenai segi sedjarah ini, kiranja tjukuplah kalau kami tundjuk sadja literatuur karangan Bapak Prof. D r. R. Soepomo almarhum jang berdjudul ,,S Y S T IM H U K U M I N D O N E S I A " terbitan N o o id h o ff K o lff’ N .V . D ja karta, jang didalam nja menguraikan tentang Kekuasaan Kehakim an sebelum Perang D unia ke-II. Kami pertjaja, bahwa segenap peserta Seminar jang terhormat telah tjukup mengenai dan mengetahui isi buku Prof. D r. R. Soepomo tersebut ketika mempeladjari mata kuliah Pengantar Ilm u H ukum dalam tingkat Persiapan di Perguruan T in g gi ataupun pada kesempatan-kesempatan lain. M engenai bagian ke-II prasaran ini, kami hanja akan mengemukakan beberapa tjatatan : 288
a. Bahwa dari penindjau segi sedjarah Kekuasaan Kehakim an ini. Pem rasaran baru menghasilkan kesimpulan dengan menjatakan sebagai berikut: Hasil daripada historische terugblik ini ialah bahwa : 1. 2.
Dualisme dalam arti rechtspraak voor Europeanen dan rechtsspraak voor Indonesiccrs memang telah dihapuskan ; Dualisme dalam arti pcrsoneele unie masih tetap dipertahankan.
N am un demikian dengan baru menghasilkan kesimpulan diatas, m aka menurut hemat kami Pemrasaran belum berhasil menundjukkan arah kepada suatu gagasan tentang bagaimana konsepsi Kekuasaan Kehakiman Jang Bebas seperti diharapkan oleh Pemrasaran.
b. Bahwa terdapat suatu hal jang merupakan suatu kedjanggalan, ialah bahwa dalam rangka uraian tentang sedjarah Kekuasaan Kehakiman ini (vide, hal. 8 teks prasaran). ternjata Pemrasaran menjimpang dari systematik dan pokok pembitjaraan jang semula membitjarakan sedjarah Kekuasaan Keha kiman dan seterusnja menjimpang kepersoaian Hakim dan hubungannja de ngan PGPS 1968, sampai- menjebut soal inpassing dan sebagainja. Kami menjaksikan apakah hal itu perlu d hubungkan dengan 'thema dari uraian tsb. Dalam hubungannja dengan PGPS ini Pemrasaran menjatakan antara lain : „Dalam PGPS 1968 kedudukan Hakim sebagai anggauta Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak ternjata. Tegasnja tidak menggambarkan Hakim sebagai kedudukan fungsionil kekuasaan judikatief jang diutamakan ialah Hakim sebagai pegawai Eksekutief/Administratief, jang kemudian di-inpassen kedalam struktur Eksekutief dengan ukuran Penata Muda I dsb., jang djelas melukiskan fungsi EkesekuCief/Administratief. Tak ada sama sekali istilah bagi Hakim tk. I, II, dsb.-nja”. Menurut hemat kami, ketentuan-ketentuan dalam PGPS 1968 itu memang tidaklah dimaksud untuk menggambarkan apakah suatu djabatan atau status termasuk Eksekutief, Juudikatief aiau Legislatief, tapi hanja memberikan ukuran-ukuran atau patokan-patokan dalam soalkepangkatan dalam hubung annja dengan aspek finansiil jang dibebankan pada Anggaran Belandja Ne gara. Djadi kalau dalam PGPS sama sekali tidak menjebut-njebut istilahistilah chusus bagi Hakim dengan tingkat-tingkatnja itu sebagai dikemukakan oleh Pemrasaran, hal itu tak berarti menghilangkan kedudukan fungsionil ke kuasaan Judikatief daripada Hakim, sebab soal kedudukan fungsionil ke kuasaan Judikatief daripada Hakim lebih tepat diatur dalam Undang-undang dan peraturan-peraturan tersendiri, misalnja dalam U.U. Pokok Kehakiman, dalam H .IR. dan lain-lain sebagainja. Kalau Pemrasaran bermaksud agar soal kepangkatan dan gadji para Hakim supaja diatur dalam PG P atau Peraturan Gadji tersendiri, misalnja Peraturan Gadji Hakim dsb., kiranja hal jang demikian itu adalah lebih tepat kalau dibahas dalam forum lain, akan tetapi bukan dalam forum Seminar dengan pokok pembitjaraan mengenai Kekuasaan Kehakiman Jang Bebas. Djustru arti Kekuasaan Kehakiman jang Bebas berdasarkan UndangUndang Dasar 1 9 4 5 , menurut hemat kami bahwa Kekuasaan Kehakiman b e b a s 289
dari tjampur tangan Pemerintah di!., sekali lagi kami tekankan dalam melaksanakan Peradilan. Dus bukan berarati bebas dari kekuasaan jang berwenang dalam mengatur kepangkatan dan gadji dari para Hakim jang dibebankan kepada keuangan atau Anggaran Bclandja Negara tersebut.
c. Dalam suatu Negara Hukum seperti Negara kita ini. dan berdasarkan djiwa dari Undang-LIndang Dasar 1945 serta dasar fa Isa fah Negara kita Pantjasila, maka status Kekuasaan Kehakiman. djuga status Hakim-Hakimnja, bukanlah merupakan suatu status jang exclusive dalam rangka kehidupan masjarakat dan Negara. Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu bidang dari Kekuasaan dalam Kehidupan masjarakat dan Negara disamping kekuasaan Eksekutip dan Legislatip. Kekuasaan Judikatief. kekuasaan Eksekutief dan kekuasaan Legislat'ip didalam konslellasi negara kita adalah merupakan prasaran Bangsa kita dalam perdjuangan untuk mewudjudkan tjita-tjita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tertjantum dalam M ukaddim ah Undang-LIndang Dasar 1945, dus hakekatnja ketiga kekuasaan ini adalah merupakan kesatuan prasarana dari Bangsa kita jang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, hanja bisa clibedabedakan dalam fungsi dan tugasnja. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan pendapat R O S C O E P O U N D dalam bukunja An Introduction to The Philosophy of Law dg. tcgas m enja takan : " L A W M A K I N G , A D M I N I S T R A T IO N , A N D A D ] LID I R A T IO N C A N N O T B E R IG ID L Y F E N C E D O F F O N E F R O M T H E O T H E R A N D T U R N E D O V E R E A C H T O A S E P A R A T E A G E N C Y A S IT S E X C L U S IV E F IE L D .” Djustru karena itu. kalau dalam aspek administratief finansiil dan sebagainja dari Kekuasaan Kehakiman masih disamakan ataupun dikaitkan dengan hal-hal jang berhubungan dengan Kekuasaan Eksekutief dan Legislatief, misalnja dalam hubungannja dengan soal P G P S '68 ta cl i, hal demikian adalah suatu keadaan penjimpangan dari prinsip Kekuasaan Kehakiman jang bebas dalam melakukan peradilan.
»
2. Bagian ke-III dari prasaran ditentukan pokok pembitjaraan jang ngan djudul : ,,Tugas dan Kewadjiban Hakim di Indonesia” akan tetapi isinja jang dibahas oleh Pemrasaran sebagian menjimpang dari pokok pembitjaraan tersebut, jang dengan demikian menurut systematik uraian ilmiah tidak bisa dipertanggung djawabkan. Meskipun oleh Pemrasaran telah ditentukan pokok pembahasan bagian III ini mengenai Tugas dan Kewadjiban Hakim, ternjata pada permulaan pembi tjaraan atau pembahasannja sadja sudah menjimpang kepersoalan mengapa personele unie masih dipertahankan dan apa kechawatirannja kalau hal ini dihapuskan, tegasnja apa jang ditakutkan kalau para H akim sepenuhnja dilepaskan dari Departemen Kehakiman dan dimasukkan dalam M ahkam ah A gung ? M enurut hemat kami, persoalannja para H akim belum /tidak terlepas da ri Departemen Kehakiman dan persoalan administratif kepegawaian dari pa ra Hakim tersebut, adalah berlainan sekali dengan persoakm tugas dan kewa djiban Hakim di Indonesia, dan djuga persoalan ini sulit untuk setjara ilmiah dikaitkan dengan persoalan kebebasan Kekuasaan Kehakiman dalam malaksa-
nakan peradilan. 290
Bahkan lebih menjimpang lagi dari persoalan, dimana dalam bagian ke-III dari prasaran ini, malah dipersoalkan tentang tundjangan chusus untuk H a kim, jang dikatakan w alaupun sudah disetudjui oleh Departemen Keuangan tetapi belum dapat direalisasikan, karena Kantor Urusan Pegawai tak dapat m enjetudjuinja, dan selandjutnja d is in g g u n g - s in g g u n g lagi tentang persoalan gadji H akim , seperti dapat kita batja dalam teks prasaran halaman 14. D engan banjaknja penjim pangan2 dari pokok2 persoalan jang dibahas da lam forum Seminar ini, menimbulkan pertanjaan pada kami, apakah lagu jang dibawakan oleh Pemrasaran tidak terlalu mcmbawa kita kearah nada2 kepersoalan gadji dan tundjangan para Hakim atau nada2 lain jang kurang sesuai dengan tudjuan kita untuk membahas persoalan Kehakiman jang bebas ? Pertanjaan ini terlintas dalam pikiran kami karena dalam bagian ke-II, II I dan sampai bagian ke-IV atau penutup soal gadji dan P G P S ini selalu diungkap dan dikemukakan terus oleh Pemrasaran, sedangkan menurut hemat kami seharusnja setjara ilmiah bahwa pada bagian ke-II dan ke-III dari prasaran itu djustru adalah mengenai inti pembahasan dari persoalan pokok jaitu mengenai persoalan Kekuasaan Kehakiman jang bebas. Karena itu pada bagian ke-III dari prasaran ini kami hanja akan membe rikan beberapa tjatatan mengenai apa jang dikemukakan oleh Pemrasaran. a. Pada bagian ke-III ini, mengenai tugas dan kewadjiban H akim , ka mi lihat bahwa Pemrasaran lebih banjak mengemukakan pernjataan2 daripada pembahasan2 setjara ilimah, misalnja : 1. Pada halaman 10 dari prasaran, dikemukakan hal jang berhubungan dengan tugas dan kewadjiban Hakim , dengan menjatakan antara lain : ** A paratur inilah jang dimasudkan dengan Kekuasaan Kehakiman, J a n g ha rus ikut mendjam in bahwa setiap penduduk dapat melaksanakan hak2 dan kewadjiban-kew adjibannja. *\ S elandjutnja dinjatakan oleh Pemrasaran : ’’ W a la u p u n demikian, anehnja seringkali rakjat djelata mempunjai perasaan takut pada H akim dan Penga dilan. Ini disebabkan karena bagi rakjat djelata kata H akim adalah indentiek dengan alat negara untuk menghukum ................................. dst. . M engenai pernjataan Pemrasaran bahwa Kekuasaan Kehakiman harus ikut mendjam in bahwa setiap penduduk dapat melaksanakan hak“ dan kewadjibannnja itu, kiranja pernjataan sematjam itu adalah overbodig, adalah berlebihan, sebab hal itu sudah inhaerent dengan funksi dari kekuasaan Judika tief; adalah suatu kedjanggalan kalau Kekuasaan Kehakiman sampai tidak ikut m endjam in setiap penduduk dalam melaksanakan hak-haknja dan kewadji'bannja. _ v ,**.• L jL u J 2. M engenai pernjataan Pemrasaran jang menjatakan : ’r anehnja seringkali rakjat djelata mempunjai perasaan takut pada H akim dan Pengadilan ............................................... dst. ’\ D ikatakan bahw a hal ini disebabkan karena rakjat djelata meng-identikkan kata H akim dan alat negara untuk mefeighukum; menurut hemat kam i untuk itu masih diperlukan pemberian penerangan jang lebih intensip kepada rakjat tentang funksi dan peranan H akim dan Pengadilan dalam kehidupan masjarak at dan negara kita jang berdasarkan Pantjasila itu*
291
3. Pada halaman 11 Pemrasaran menjatakan : ’’H ukum tak dapat dipandang terlepas dari masjarakat dim ana H ukum itu berlaku O leh karena itu H akim dalam melakukan peradilan wad jib menafsirkan Undang- dcmi ra sa keadilan Bangsa dan menemukan atau menafsirkan Hukum jang tidak tertulis sesuai dengan rasa keadilan Bangsa clan bukan sesuai dengan perasaan keadilan sang H akim sendiri ................................. dst. ’ K am i m enjetudjui pendapat tersebut, dengan tjatatan bila jang dimaksud Pemrasaran adalah hendak menggambarkan bagaimana pelaksanaan Kekua saan Kehakiman jang bebas. seharusnja kemudian diuraikan lebih land jut se tjara djelas dan systematis bagaim ana melaksanakan Kekuasaan Kehakiman jang bebas dengan segala sesaatu jang bertalian dengan hal itu. Pemrasaran hanja mendjelaskan dibawah kalimat jang kami citeer tadi sebagai berikut : ” Kata-kata jang sederhana ini sekaligus melukiskan functie H akim , langgung djaw abnja, sampai dimana kebebasannja dan sampai mana ikatannja.’’ M enurut hemat kami uraian itu perlu dilengkapi. Untuk mendjelaskan tugas dan kewadjiban H akim di Indonesia jang dihubungkan dengan thenia tentang Kekuasaan Kehakiman jang bebas tidak tjukup digambarkan dengan ’'kata'-’ sederhana’’ jang pendek. U ntuk kelengkapan perlu d'slress hal- jang dipandang dapat menggambarkan atau didjadikan ukuran bagaimana melaksanakan Ke kuasaan Kehakiman jang bebas. b. Pada halaman 13, Pemrasaran memperbintjangkan soal pengangkat an dan penempatan para Hakim jang mengalami kcsulitan pelbagai persoalan karena setjara administratief para H akim masih tcrmastik dalam Departemen Kehakiman, dan dikemukakan pula suatu kechawatiran Pemrasaran bahwa pengangkatan/penempatan setjara politis, seperti jang dialami pada masa pra Gestapu dan jang telah membawa akibat jang menjedihkan, se'alu akan m ung kin terdjadi sebab in laatsste instansi pengangka an, penempatan, dan sebagai nja adalah wewenang Menteri Kehakiman. Demikian kala Pemrasaran. M enanggapi apa jang dikemukakan oleh Pemrasaran, tentang soal sela lu akan mungkin terdjadi pengangkatan dan penempatan setjara politis kalau para Hakim masih termasuk setjara adm inistrate dalam Departemen K eha kiman tersebut, kiranja dapat diadjukan pula suatu pertanjaan apakah kalau para H akim sudah lepas dari Departemen Kehakiman lain sudah dapat didjamin sudah tidak ada kemungkinan lagi pengangkatan dan penempatan setjara politis ? M enurut hemat kami soal kemungkinan selalu terbuka diistansi m anapun, dan pula soal ada tidaknja kemungkinan penempatan atau pengangkatan se tjara politis itu, tidaklah terletak pada persoalan apakah H akim masih terma suk dalam Departemen Kehakiman atau sudah lepas dari Departemen K eha kiman. akan tetapi terletak pada siapa oknum jang menduduki djabatan jang berwenang di-instansi jang bersangkutan i u.
IV . !•
292
Kesimpulan dan beberapa pandangan : Setjara keseluruhan prasaran tersebut masih belum begitu djelas menghasikan suatu uraian jang mendjelaskan seijara konkrit apa jang dimaksud dengan suatu Kekuasaan Kehakiman jang bebas. Sebenarnja Pemrasaran d ’sana-sini dalam uraiannja sudah menjinggung hal itu, te'.api sajangnja tidak dirumuskan dalam suatu konsepsi jang
2.
3.
4.
konkril dan systematis. misalnja pada halaman 10 dari teks prasaraimja jang ditjetak discbutkan bahwa ..sampai dimana batas-batas kebebasan ini dan sampai berapa djauh leiah diadakan djaminan untuk mentjapai djaminan ini diharapkan mendjadi iagas daripada Seminar L .P .H .N . ini untuk menentukannja."'. kiranja lebih iepat pernjataan ini Ialu disusul dengan perumasan konsepsi systcmatis. M emang kami akui bahwa untuk membitjarakan Kekuasaan Kehakiman kita Lidak boleh lidak harus memikirkan kedudakan Pengadilan serta tugas dan kewadjiban Hakim tersebut. Bahwa kekuasaan Eksekutip mengatur gadji Hakim dalam P .G .P . dan sebagainja jang berarti bahwa sediku banjak Kekuasaan Eksekutip mengatur segi-segi adminisiratief dari Kekuasaan Kehakiman, pada hemat kamj pada prinsipnja tidak mempengaruhi. kebebasan dari Kekuasaan Kehakiman kita, karena menurut hemat kami kebebasan jang dimaksud disini adalah kebebasan terutama da'am urusan-urusan Pengadilan. Fungsi peradilan dari Kekuasaan Kehakiman kiranja tidak mutlak harus diikatkan dengan pengurusan personil, materiil dan finansiilnja. Bahwa keadaan finansiil dan nuueriil seorang Hakim — atau petuqas pada umumnja — akan ikut merupakan faktor jang mempengaruhi kebe basan Hakim itu bisa dimengerti, tetapi pada hemat kami prjnsjp-prinsjp kebebasan Hakim tidak hanja dLjari dalam ketentuan-ketentuan finansiil dan materiil semata, melainkan djuga pada mental dan moral. M enurut hemat kami unsur-unsur untuk menegakkan Kekuasaan Kehakiman jang bebas dapat diijari pada : a. posiii Kekuasaan Kehakiman itu sendiri. b. posisi dan kondisi (menial maupun tehnis) daripada para pelaksananja (H ak im ). ad a. Kekuasaan Kehakiman jang bebas dapa,. diartikan : a. 1. bebas dari tjampur tangan dari Kekuasaan Eksekiaip dan Legislatip, terhadap urusan- Pengadilan. a. 2. djuga pengaruh luar merupakan hal jang bertentangan dengan prinsip kebebasan Kekuasaan Kehakiman. a. 3. bebas dari pengaruh subjek ivitas, emosi dan lain perasaan pribadi jang nega.ip. ad b. Jang dimaksud disini setjara singkat adalah bahwa seorang Hakim harus berwibawa sehingga mampu mengatasi faktor-faktor jang akan mempengaruhi setjara negatip kedudukannja jang bebas i!ai. Kewibawaan timbul dari kepertjajaan masjaraka., dan kepertjajaan masjarakat timbul karena sikap dan tindakan para pedjabat iiu jang dilandasi atas karakter dan kepribadian jang baik, disamping faktor-faktor kemampuan tehnis jang mendjamin ketetapan dari putusan-putusan jang diambil, hal-hal jang merupakan kondisi dari para pelaksana. Disini dapat dimasukkan pula pemikiran-pemikiran tentanq sjarat-sjarai mendjadi Hakim, masa djabatan seorang dsb.-nja. Kesimpulan-kesimpulan kami diatas belumlah merupakan sesuatu konsepsi lenqkap dan systema.is, melainkan terbatas pada bentuk sanggahari, dan sekiranja dapat pula ada sedikit manfaatnia. Semarang, 7 Desember 1968. 293
P E M B A H A S A N D J A M A L U D D IN D T . S IN G O M A N G K llT O SH . T A N G G A P A N
M E N G E N A I
P R A S A R A N
Penilaian setjara historis jang dibentangkan saudara pemrasaran, meliputi tiga zaman, jaitu : Z am an H in dia Belanda, zanuan pcndudukan militer D jepang dan Zam an Kemerdekaan. D ari uraian mengenai sedjarah kekuasaan kehakiman dalam tiga zaman itu, saudara pemrasaran ternjata banjak mendjatuhkan perhatiannja hanja kepada zaman H in dia Belanda dan kepada 'Zaman Kemerdekaan, sedangkan zaman pendudukan militer Djepang, hanja setjara en passant sadja disinggungnja. Djurusan pandangan saudara pemrasaran dalam mengnngkapkaii sedjarah kekuasaan kehakiman dalam zaman H india Belanda dan zaman Kemerdekaan, ternjata hanja terbatas pada structuur, organisasi dan peraturan* perundangannja, sehingga karena itu kurang dapat dirasakan pembahasanja itu meliputi ruang-lingkup jang dimaksudnja semula, jang dinam akannja sendiri;: suatu historische terugblik untuk mengetahui dan menilai pattern of ideas aimes and values, embedded in the ideologies of the Indonesian society. O leh karena prasaran maksudnja merupakan suatu his.orischc terugblik jang meliputi zaman H india Belanda, zaman D jepang dan zaman Kemerdekaan, maka log.islah kalau diharapkan dari padanja penundjukan- tentang ada a'.au tidak adanja persamaan dan atau perbedaan mengenai tjorak dan w arnanja ideas, aimes and values jang embedded in the ideologies of the Indonesian society dalam tiap2 zaman iai, dan kemudian sebab- jang pokok dan utama. jang memberikan penentuan scope dari kekuasaan kehakiman dalam tiap zaman jang bersangkutan. T anpa terdjun dalam teoretische bespiegelingen dan hal- jang abstract, maka didepan forum sebagai seminar ini, adalah terpandang lajak pula, djika pendekatan setjara practisch dan pragmadsch, jang merupakan tjiri dari pra saran tersebut, tidak meniggalkan sama sekali pandangan- dan uraian- ilmiah jang bersifat sosiologis, economis dan politis serta interdependensinja dengan bidang hukum dan kekuasaan kehakiman. H al jang belakangan saja sebutkan itu, nistjaja tidak akan menggabungkan tudjuan jang hendak ditjapai oleh prasaran, bahkan sebaliknja pengupasan-pegupasan jang demikian itu akan menambah kemantepan penger.ian dan kemantepan penerimaan dari pemetjahan masalahnja, sebagai jang disarankan oleh saudara pemrasaran dalam bagian terachir dari prasarannja. M u d a h 2an dalam babak landjutan nanti, saudara pemrasaran akan mengisi kehampaan jang dirasakan itu, dengan pendjelasan- jang lebih illustratif. D ari uraian mengenai sedjarah kekuasaan kehakiman dalam tiga zaman itu, dapat dibatja hal- jang tersurat, teiapi dapat pula dirasakan hal2 jang tesirat didalam nja, Setjara tersurat, saudara pemrasaran telah menundjuklcan dengan kata2 jang sober dan summier adanja kekuasaan eksekutif jang tjam pur tangan dalam kekuasaan kehakiman. N am un dibalik kata2 jang sober dan summier itu, dapat dirasakan hal2 jang tersirat, jang kalau hendak diungkapkan setjara pandjang-lebar pasti daPat merupakan satu buku jang tebal dalam hubungan keperluan seminar ini, 294
nam un pembahas merasa tidak tjukup, djika saudara pemrasaran hanja menundjuk kepada adanja kekuasaan eksekutif jang mendominasi dan memba^si kebebasan kekuasaan kehakiman sadja, tanpa memberikan pendjeladjahan, meskipun terbatas kepada jang pokok-nja sadja, tentang watak (character) dari kekuasaan eksekutif jang bersangkutan dan aim (tudjuan) jang hendak ditjapainja. Pendjeladjahan mengenai character dan aim dari kekuasaan eksekutif pembahas anggap penting sekali, djusteru djika rakjat Indonesia menginginkan adanja kekuasaan kehakiman jang bebas dalam negaranja, buat masa se karang dan buat masa- jang akan datang. Pembahas menggaris-bawahi konstaiering saudara pemrasaran, bahwa da lam sedjarah bangsa dan tanah air kita, sedjak zaman kolonial sampai kepada zaman kemerdekaan sekarang ini, tidak terdapat suatu kekuasaan kehakiman jang bebas, tentunja dengan tjatatan, bahwa kebebasan jang dimaksud itu ialah kebebasan dalam pengerian jang relatif. D alam hubungan inilah, pembahas ingin mengadakan pendjeladjahan se~ perlunja dan dengan demikian mengungkapkan hal- jang tersirat dibalik kata2 jang sober dan summier dari saudara pemrasaran.
Zaman
P e m e r i n t a h an
K o l o n i a l
B eIa n d a.
Sedjak dari zaman pemerintahan Kolonial Belanda, sampai kepada pemerintahan Balatentara Djepang dan zaman pemerintahan Negara Republik In donesia, tersiradah benang merah jang mendjeludjur sepandjang tiga zaman itu. D an benang merah jang mendjeludjur itu adalah politik jang didjalankan kekuasaan eksekutif dari masing- Pemerintahan dalam tiga zaman itu. T idak akan berlebih-lebihan kiranja, diuraikan disini bahwa pemerintah an kolonial Belanda itu didjalankan oleh Gubernur Djenderal H india Belanda sebagai w akil dari R alu Negara Belanda. Karenanja tidak disangsikan lagi, bahwa pokok- politik pendjadjahan ditentukan oleh kekuasaan eksekutif negeri Belanda jaitu Ratu da-n Menteri D jadjahannja di Indonesia untuk kepentingan hidup dan kehidupan bangsa dan negara Belanda. A dapun pelaksanaannja diserahkan kepada kebidjaksanaan Gubernur Djenderal dengan hantuan para direktur jang mengepalai departemen2 jang diadakan menurut keperluannja dan dinamakan Departementen van Algemeen Bestuur. Dengan de mikian, djelaslah bahwa segala bidang pemerintahan harus didjiwai dan dikuasai oleh politik kolonial jang ditik-beratkan pada bidang ekonomi, poi iti mana pada pokoknja bertudjuan untuk mengusahakan derasnja arus ekajaan Indonesia mengalir kenegeri Belanda. U n tu k memberikan sekedar illustrasi tentang akibat dari kedahsjatan politik ekonomi kolonial Belanda di Indonesia itu, pembahas disini ®Pa jang ditulis oleh Prof. D r. S U M IT R O D J O J O H A D I K U S U M O dalam bukunja ‘'Persoalan Ekonom i di Indonesia’', tahun 1953, halaman 10 dan 11 : ’’Keadaan demikian harus dilihat tidak sadja dari sudut hubungannja dengan m eningkatnja produksi seluruhnja, melainkan pula d a n sudut pembagian hasil produksi. Sedangkan penghasilan dan eksport mentjapai m lai raoisan djutaan rupiah dan dollar setiap tahunnja, orang2 Indonesia hidup atas ting^ kat segobang sehari. H asil pendjadjahan Belanda selama tiga setengah abad antara lain adalah sebagai bejrikut :
295
— D alam tahun 1940, dari liap 100 orang, hanja 7 orang dapat membatja dan menulis. ■ — D alam tjatjah djiw a, jang mclebihi 70 djuta manusia itu, hanja auu 1.200 orang doktcr, djadi untuk nicnulupi kebutuhan tiap- 60.000 orang dalam lapangan kesehatan. hanja ada sain doktcr. ■ —■Didesa-desa, tingkat penghidapan da'ani tahun 1922 sciinggi 3 sen dollar Amerika schari. scdangkan dalam (alum 1(H3 inakin merendah sampai sualu tingkat jang hampir tidak dapat diperljajai orang, jaitu 1 sen dollar Amerika bagi tiap- orang scliap harinja. — G adji harian buruh pabrik dipusat-pusat kira- 12 sampai 15 sen dollar Amerika.
perindustrian
dari
kota-
D alam hubungan jang lain, dinjatakan lagi olch Prof. D r. Sumitro : ’’D alam tahun 1936, bangsa Indonesia (jang meliputi 9<S% dari seluruh penduduk kepulauan kita), hanja menerima sepcrlinia dari pendapatan nasionalnja". ’’O ra n g 2 Eropah, jang raerupakan kurang dari penduduk Indonesia, menerima 60 % dari pendapalan nasional’’. Seterusnja diungkapkan lagi oleh Prof. Dr. Sumitro : ..Dan lagi dari kenjaiaan2 dan angka2 jang diberikan dalam hubungan bcntuk bangunan perekonomian Indonesia, dapatlah dilarik kcsimpu.an, bahwa orang dapat menamakannja bentuk perekonomian perianian jang berat sebciah. Bcntuk jang demikian itu, untuk sebagian besar adalah akibat poiitik kolonial jany dilakukan dengan sengadja’’. Poiitik ekonomi kolonial Belanda jang demikian dahsjatnja itulah jang merupakan tit.ik berat dari pemerintahan kolonial. Bidang-bidang jang lain, sebagai onderwijs, kesehatan. agravia. pcrtanian, keradjinan, perdagangan, pekerdjaan umum, bestuur ; rcchispraak dan polltie adalah bidang- van de tweede orde, sedangkan pcnggarapannja disesuaikan dengan keperluan dan kepentingan poliiik ekonominja. Volksraad jang diadakan pada tahun 1918, meskipun sudah merupakan langkah madju, tidak lebih dan lidak kurang dari pseudo-pcrwakilan. Kiranja sudah logis, kalau poiitik kolonial Belanda itu didjalankan terutama untuk kepentingan bangsa dan negara Belanda dan tidak atau sedikit sekali untuk kepentingan bangsa Indonesia. Belangen behartiging jang berat sebelah untuk golongan bangsa jang m endjadjah dan golongan bangsa jang terdjadjah oleh pemerintahan kolonial itulah, jang menjebabkan scgaia sesuatunja dalam bidang pemerintahan bersiifat dua!i»tis, D alam bidang bestuur diadakan Inlands Bestuur, jang terdiri dari orang2 Indonesia asli dan Europees Beslaiur. jang terdiri dari orang- Belanda sendiri ; dalam bidang hiikum, diadakan peradilan untuk orang Eropah dan peradilan untuk bangsa Indonesia asli dan dalam bidang e c o n o m ic , terdapatlah serba dualisme, sebagai akibat dari bertenggernja het hoogkapitalisme diatas pundak het voorkapitaJiisme, sebagai akibat dari m enjusupnja geldhuishouding kedalam dorpsgemeenschap dan sebagai akibat dari bertemunja de westerse cultuur onderneming dengan de dorpshuishouding. Ergo, kita 'tidak perlu heran djika dizam an H in d ia Belanda, terdapat dua lisme dalam gouvernementsrechtspraak, tidak perlu heran djika kedudukan para hakim dari Hooggreshtshof dan R aad van Justitie, berbeda dcncjan kedudukan hakim2 pada Landraad, dan tidak perlu heran djika djabatan hakim Peng296
adilan Negeri merupakan suatu personele unie. Meskipun semuanja itu tidak enak dirasakan oleh bangsa Indonesia, narnun hanja adalah logis dalam rangka poliiik kolonial. Pemerintahan Gubernur Djenderal H india Belanda. tidak sedjaraTipun mempunjai maksud untuk mendjadikan Indonesia suatu negara jang volwaardig dan berdaulat disamping negara Belanda sendiri. Tetapi terlepas dari hala itu, kita toch tidak usah menutup mata daH telinga terhadap hal-hal jang baik dizaman pendjadahan itu, baik dalam arti pengaturannja dan baik pula dalam arti pelaksanaannja. U ntuk membatasi diri pada bidang hukum dan kekuasaan kehakiman sadja, bagaimanapun djuga ketentuan2 jang termuat dalam pasal2 jang dikemukakan oleh saudara pemrasaran, jaitu rentetan : — pasal
135 I.S . ; ps. 136 I.S. dan
—- pasal — pasal — pasal
148I.S. — 154 I.S. ; 20 (1) A.B. ; 18R O : ps. 20 a,b dan c
ps. 137 ;
RO.
adalah ketentuan2 pokok dan prinsipil unluk menegakkan kekuasaan kehakinian jang terbebas dari tjampur tangan kekuasaan eksekutif. Pasal 134 I.S. baik djuga untuk mendapat perhatian chusus dari kita semuanja. Lebih- djika ketentuan2 jang termaktub dalam pasal itu didjadikan batu udjian untuk praktek2 jang berlaku sekarang dalam negara kita. O leh pasal 134 I.S. ditentukan dengan terang, bahwa perkara2 perdata adalah semata-mata wewenang dari kekuasaan kehakiman. Tetapi dalam praktek kenegaraan sekarang, bukanlah mendjadi rahasia lagi, bahwa perkaraperkara jang sifatnja semala-mata perdata, diselesaikan oleh instansi-instansi Pemerintahan jang kekuasaannja bukan kekuasaan kehakiman. Teranglah, bahwa prakltek- jang demikian itu, meskipun tidak bersifat membatasi kekuasaan kehakiman, tetapi njata menggerogoti atau ondermijnen kekuasaan kehakiman. D alam hubungan pembatasan kekuasaan jang melekat pada hakim, baik pula mendapat perhatian kita pasal 22 a A.B., jang menentukan, bahwa kekua saan hukum dari hakim dan dapat didjalankannja keputusan2 hakim serta akte2 otentik dibatasi oleh keketjualian- jang diakui dalam hukum xnternasional. D ari uraian2 kami jang mendjeladjah zaman Pemerintahan H in dia Be landa, dapalah ditarik kesiimpulan, bahwa peraturan2 perundangan tjukup mengatur kebebasan dari kekuasaan kehakimannja, sepandjang tidak bertenlangan dengan pol'itik kolonial, jang telah diwariskan oleh Pemerintah Belanda dan tidak pula dibatasi oleh keketjualian2 jang telah diakui dalam hukum internasional.
Zaman pendudukan mMiter D JE PA N G . H iiorise terugblik, terhadap keadaan dimasa pendudukan militer Djepang selama 3 Y» tahun, nistjaja akan menemui pula djeludjur benang merah jang memberikan impactnja, terhadap pemerintahan militer Djepang setjara keseluruhan pada um um nja dan terhadap kekuasaan kehakiman pada chususnja. D a n benang merah jang kami sebutkan itu, adalah politik perang Djepang jang dinam akan D a i Toa Senso atau politik perang Asia T im ur Raya. Politik perang jang dilanseer D jepang kebika itu, ialah pada pokoknja memanfaatkan daerah2 jang telah diduduki balatentaranja untuk kepentingan perangnja.
297
Dibaw ah leadership pemerintahan* militcrnja. diorganisirlah badan- jang sem militer untuk melatih rakjat dan untuk nicndapatkannja mensciimateriaal bagi periahanan daerah jang bersangkuuiu atau daerah-' lain jang dikuasai Djepang. Kekajaan rakjat, dalam serba bentak sedjak dari pe'.bagai matjam bahan makanan, serba djenis bahan baku, bahan minjak bumi. besi dan lain-, diangkat ke Djepang dan digunakan untuk vvarmach.nnja. M engobarkan perang discluruh Asia Timur Raya dengan tudjuan mendjadikan daerah- pendudukannja mendjadi daerah persemakmuran jang berpusat di D japang, itulah poiitik perang D ai Toa Senso jang memberikan tjap jang chas kepada pemerintahan- di-daerah- jang telah ditinggalkan olcli bangsa- pendjadjah jang termasuk geallieerden. Indonesia, karena itu menurut keperluan dibgi dua, jaitu bagian jang diletakkan dibawah kekuasaan Angkatan Laatnja dan bagian jang diletakkan dibawah kekuasaan Angkatan Daratnja. Pemerintahan tertinggi dari Angkatan Lautnja berpusat di Singapore, jang dinamakan Shonanto waktu itu. setan Lauunja berpusat di Singapore, jang dinamakan Shonanto waktu itu. scdang kan pemerintahan tertinggi dari Angkatan D aratnja berpusa,. di Djakarta. Approach terhadap rakja. Indonesia jang didjalankan oleh kedua matjam pemerintahan itu pada umumnja sama, jaitu mengambil hati rakjat dengan tjara jang sedjalan dengan sikap anti Belanda. D i sana-sini sengadja ditimbalkan dalam buhm- peitama sematjam keonaran, N elajan didjadikan hakim Pengadilan Negeri, tukang tjutji bolol rumah sakit didjadikan kepa’a dari rumah sakit. tukang djua'an ikan dipasar didjadikan kepala kantor pos, pendeknja semua diputar bnlikkan. Disam ping mendjalankan liquidasi total terhadap bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnja, maka bangsa Indonesia jang dipandang kaki-tangan Belanda atau men-tjoba2 menaniang kepentingan D jepang, tidak luput dari maut janq keluar dari mulut senapan atau ajunan pedang samurai. Tetapi kemudian setelah mengaltr orang- Djepang, baik militcrnja mau pun orang- sipil jang dimiliterisir, jang terpandang ahli dalam bidanq'- peme rintahan, mulai diadakan orde dan disipline setjara ketat. Tempat- di-bidang- Pemerintahan, djuga dibidang kekuasaan kehakiman jang tadinja diduduki orang2 Belanda, kini diduduki oleh orang- D jepang. Sebagai djuga bidang Pemerintahan jang lain, djuga bidang kekuasaan kehakiman pada umumnja tidak banjak mengalami perobahan. H an ja sadja kalau dizaman kolonial Belanda hanja seorang sadja jang mendjadi Directeur van Justitie dimasa Djepang ada dua orang jang memangku djabatan Dircktur Kehakiman itu jang dinamakan Sihobutjo, satu di Bukittinggi,, jang tunduk dibawah Pemerintahan Angkatan Laut di Shonanto dan sa.u di D jakarta dibawah kekuasaan Pemerintahan Ba’atentara D ai Nippon. Penghapusan dualisme dari gouvernementsrechtspraak, adalah utamanja tindakan jang bersifat psychologis, dalam rangka mengambil hati rakjat In d o nesia. Tetapi dalam pada itu, bangsa D jepang sendiri tidak termasuk jurisdiclie Pengadilan2 Indonesia untuk mengadilinja. Pendidikan2 dan latihan- untuk hakim2 dan djaksa- diadakan dibawah pimpinan Djepang dan orang2 Indonesia, dengan maksud untuk mendapat ten aga2 hakim dan djaksa jang bersemangat D a i Toa Senso. Demikianlah setjara ringkas gambaran dizaman D jepang. Prinsipnja ti dak banjak bedanja dengan zaman kolonial Belanda. Pada lahirnja ada kebe basan kekuasaan kehakiman, tetapi pada bathinnja kebebasan hanja ditolerir, djika tidak bertentangan dengan poiitik peperangan D a i T oa Senso itu. 298
Zaman
Kemerdekaan.
Sam pailah kita sekarang kepada keharusan untuk menuncfjukkan terugblik kita kepada masa selama 23 tahun kemerdekaan bangsa dan negara kita. Benang merah jang tampak mendjeludjur dizaman Pemerintahan Koloni al Belanda dan dizaman Pemerintahan M iliter Djepang, tidaklah lerputus hingga disitu sadja. Terlepasnja bangsa kita dari tjengkraman politik kolonial Belanda dan tjekikan politik perang Djepang jang dahsjat itu. dan berdirinja Republik Indone sia dengan Pemerintahannja jang merdeka dan berdaulat selama sudah 23 ta hun, tidaklah menjebabkan sirnanja problema kebebasan dari kekuasaan ke hakiman, tetapi sekaliknja malah menjebabkan problemanja mendjadi proble ma jang sentral diwaktu jang achir ini. D jik a tidak demikian pentingnja, nistjaja Lembaga Pembinaan H ukum Nasional, tidak akan memprak'arsai seminar ini dengan thema : ’’Pelaksanaan N egara H ukum berdasarkan Demokrasi Pantjasila” , dan dalam rangka serta ruang lingkup thema tersebut menempatkan prasaran jang berdjudul gamblang ’’Menegakkan Kekuasaan Kehakiman jang bebas” . Jang mendjadi keheranan kita ialah mengapa dalam masa regiem O rde Lama, problema mengenai kebebasan kekuasaan kehakiman tidak muntjul ditengah2 masjarakat negara k^a dan tidak ada idee dari pihak manapun djuga untuk menggalang suatu seminar sebagai ini. Bahkan semendjak undang2 : ’’Tentang ketentuan- pokok kekuasaan kehakim an (U n d a n g 2 No. 19 lahun 1964)” dan tidak lama kemudian : ’’U n d an g 2 ten tang Pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum dan M ahkam ah A g un g (U n d a n g 2 N o. 13 tahun 1965)” , diundangkan, dan karena itu telah m endjadi kenjataan sebagai peraturan perundangan jang mengikat setiap warga negara Indonesia, tidak ada suatu kalanganpun, baik swasta maupun pemerintah, ba ik ia sipil m aupun militer, baik ia ormas maupun orpol, jang bernafsu untuk memberikan tanggapan atasnja, apalagi jang mau nekat untuk mengetjamnja sebagai w anprodukten dari kekuasaan legislatip, padahal kedua undang- ilulah jang mengatur hal2 jang sangat ’’.ingrijpend” , dalam hal jang menjangkut dengan kebebasan kekuasaan kehakiman, atau menurut perumusan saudara pemrasaran : ’’Kedua undang2 tersebut telah menjempurnakan kekuasaan ke hakim an sebagai alat jang disubordinasiKan kepada kekuasaan eksekutip T id ak ada seorang sardjana hukumpun, apakah ia profesor, hakim, djaksa, advokat, legislator atau administrator, j^ng berani menulis satu karanganpun aintuk menilai undang2 tersebut setjara ilmiah dan falsafah hukum dengan m engam bil Pantja-Sila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai batu udjian. B arulah p ad a achir A pril 1966, sekelompok sardjana hukum jang outstanding berkum pul di Universitas Indonesia dalam suatu seminar unluk melakukan pem bahasan U U D 1945, jang sampai kepada kesimpulan, bahwa telah terdjadi dim asa jang lalu penjelewengan dari djiw a demokrasi U U D 1945 itu, dan sam pai pula kepada kesadaran, bahwa kaum intelektuil” , karena telah' *nenutup mata, telinga dan mulut terhadap penjelewengan2 jang dikonstatir itu. M em b itjarakan problema kekuasaan kehakiman sadja, menurut pendapat kam i iliidak tjukup, djika tidak disoroti pula soal2 hukum, hakim dan mahkam ah jang m erupakan rentetan2 persoalan2 jang erat hubungannja dengan pro blem a tersebut.
299
Kalau kita membagi masa 23 tahun kemerdekaan bangsa dan negara kiia menurut penamaan- demokrasi jang telah diterapkan dalam praktek kenegaraan dan pemerintahan kila, maka periode dari tanggal dan Hari proklainasi kemerdekaan sampai awal tahun 1957. adalah periode jang dinamakan periode demokrasi liberal, jang berlandaskan U U D . 1945. U U D . 1949 dan U U D . 1950; periode dari awal tahun 1957 sampai Sidang I'nuim M P R S . ke IV bu lan D ju n i 1966, adalah periode demokrasi lerpimpin. jang berlandaskan U n dang- Dasar 1950 dan Undang- Dasar 1945; dan dari D juni 1% 6 sampai .se karang dan mudah'-’an seterusnja adalah periode demokrasi Pantja-Sila. de ngan landasan U U Dasar 1945, jang hendak didjalankan siiijara murni dan konsekwen. D alam periode demokrasi liberal, litik tolak bidang hukum. hakim m ah kamah dan kekuasaan kehakiman adalah pasal II dari Pern'.uran Peralihan U ndang" D asar 1945 jng dipertegas kenmdiun dengan Peraturan Presiden tgl. 10-10-1945, untuk kemudian ber-nngsur- madju menudju perabaikan dan penjempurnaannja sesuai dengan Ketentuan- Undang- Dasar jang berlaku. Pada umumnja bidang kehakiman dalam periode lerscbu:, ketjuali hal perbaikan dan penjempurnaannja tidak banjak mcngalami perobnhan. Peraturan- perundangan jang tidak bertentangan dengan Undang- Dasar ie!ap berlaku, kekuasaan kehakiman berdja'an dengan tertib dan lenteram tanpa ada mengalami tekanan- apalagi tjampur tangan kekuasaan-' eksekutip dan legislatip. Sampai kepada dikumandangkannja konsepsi politik jang dinamakun : ’’Demokrasi Terpimpin", o'.eh bekas Presiden Sukarno pada 21 Pebruari ta hun 1957, jang merupakan induk ba’a, pangkal ijclaka dari segala-galanja. Periode ini per’u mendapat penjorotan jang agak seksama, lebih- djika kita mau mengenai pattern of ideas, aimes and values embedded in the ideologies of the Indonesian, socieny dalam periode itu. Lebih dahulu untuk kedjernihan expose ini, periode Demokrasi Terpimpin ini kita bagi dalam dua tahap Tahap pertama, demokrasi terpimpin dalam rangka Undang- Dasar Sementara tahun 1950, jaitu dari Pebruari 1957 sampai pcndekritan kembali ke U L ID 1945, tanggal 5 D juli 1959, dan tahap kedua, jang meningkatkan intensitas demokrasi terpimpin dalam rangka LIU D 1945. Sebagai dikalahui, ketika demokrasi terpimpin tahap pertama masih berumur muda, sudah terdjadi kegegeran dalam bidang ketata-negaraan, karena tindakan bekas presiden Sukarno, ketika ia mengangkat dirinja sendiri men djadi pembentuk kabinat dan Ketua Dewan Nasional. Kegegeran disebabkan diluar para penasehatnja dan penganutnja, Jn d a k a n bekas presiden Sukarno itu dianggap dan dinjatakan bertentangan dengan U ndang 2 Dasar Sementara 1950. A pa jang dinamakan demokrasi terpimpin ketika itu itu tidak dimengerti rakjat dan definisi resmi dari Pemerintahpun tidak ada. Demokrasi terpimpin tahap pertama iat rupanja tidak menghasilkan apa jang diinginkan konseptornja sendiri, jaitu katanja untuk menjelama.kan R e publik Proklamasi. Menurut konstatering konseptornja sendiri, konsepsi demokrasi terpimpin itu belum dapat diterima setjara bulat oleh masjarakat, padahal penerimaan se tjara bulat itu merupakan suatu ’’conditio sine qua non bagi pelaksanaannja dengan sesempurna-sempurnanja. Pertjobaan melaksanakan konsepsi demokrasi terpimpin itu, njatanja 300
membawa akibat mendjadi bertambah buruknja keadaan perekonomian dan Doli:ik. Kcnjataan jang demikian itu malah ditafsirkan oleh bekas presiden Sukarno ketika itu sebagai akibat masjarakat belum menerima konscpsinja itu setjara bulat. Ia mcnginginkan dcmokrasi terpimpinnja itu d i’aksanakan discgala lapangan kcncgaraan. discgala lapangan kemasjarakatan, disegala bidang2 po iitik. discgala bidang- militcr dan disega'a bidang2 sosial-ekonomi dan untuk itu LIndang- Dasar Scmcntara 1950 tidak mcmberikan padanja ruang gerak jang leluasa. Sebab itu hcndaklah kcnibnli kedjiwa dan semnngat LIndang2 Dasar Proklamasi tahun 1945, jang katanja lebih mendjamin tcrlaksananja dcmokrasi terpimpin. Itulah gagasan jang diharapkan kcsidang konsti'tuante dimasa itu dan karcna tidak tertjapainja djumlah suara jang diperlukan dalam konsftituantc. un.uk mcmbacking gagasan bekas presiden Sukarno, maka diambillah tindakan kekuatan bcrupa mendekritkan kembali ke L I.L ID . 1945 dan sekaligus memb-.ibarkan konstituante pi'ihan rakjat pada 5 D ju li 1959. Garis2 besar daripada haluan negara. jang menurut LI.U.D. 1945 harus ditctapkan oleh M .P .R ., ditetapkan dalam pidato 17-8-1959, jaitu 42 hari scsudah LI.U .D. 1945 itu scndiri hams dipakai kembali ; pjdato mana berdjudul : ..Penemuan kembali revolusi kita” , dan oleh D .P .A . lebih kurang sebulan kenuulian dinobatkan djadi ..Manifesto Poiitik Republik Indonesia” dan merupakan bukan sadja pendjelasan resmi dari Dekrit 5 D ju li 1959, tetapi djuga pedoman resmi dalam pcrdjuangan menjelesaikan Revolusi Indonesia. Sebagai follow-up dari Dekrit 5 D juli 1959 itu dan M anipol, maka diam billah lebih dahulu tindakan2 jang amat fundamenti! dalam bidang hukum dan per-undang2an.
Kepala D .P .R . disodorkan kcinginan Pemerintah untuk mengadakan bcberapa peraturan2 negara, disamping 3 bentuk peraturan negara jang terdapat dalam U .L I.D . 1945. Dasarnja ialah Dekrit dan rentetan peraturan2 negara jang baru itu ialah : 1. 2. 3. 4. 5.
Penetapnn Presiden. Peraturan Presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan suatu Peraturan Presiden Keputusan Presiden untuk melakukan dan meresmikan pengangkatan2, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri jg. dibuat di Kementerian negara, Departcmen2 Pemerintahan. niasing- untuk mengalur sesuatu hal dan untuk melakukan dan meresmikan pengangkatan-.
D engan mcngambil kebidjaksanaan jang demikian iai, njatalah Pemerintah m engadakan regiem hukum jang baru disamping regiem hukum jang bersumber pada U .U .D . 1945. A ne h bin A d ja ib ! T adinja dikatakan bahwa O LI.D. 1945 lebih m endja min terlaksananja Dcmokrasi T e r p i m p i n , tetapi sesudah kembali ke U .U .D . 1945 ternjata U .U .D . 1945 tidak dipandang tjukup untuk didjadikan sumber pelaksanaan D ekrit itu sendiri. D u a regiem hukum dalam satu negara hukum ! Suatu keanehan, suatu absurditeit untuk negara2 hukum jang lain, tetapi
bagi negara hukum Indonesia, nialah hal jang demikian itu di'afsirkan sebaga) suatu jang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Tetapi kalau diteliti setjara seksama dan diperkirakan setjara politis man kemana Sukarno dg. demokrasi terpimpinnja itu, maka bcrdirinja satu regiem hukum jang lain disamping regiem hukum jang bersumber pada LI.U .D . 1945 itu, adalah konaekwensinja jang logis ; regiem hukum jang bersumber pada Dekrit adalah manifestasi pemikiran jang mendjurus kepada suatu machtsstaat, sedangkan regiem hukum, jang bersumber pada U U D 1945 bcrtolak dari pola pemikiran negara hukum. H al jang demikian itu tidak tepat benar untuk dinamakan penjelewengan, tetapi lebih tepat djika regiem hukum jang baru itu, dipandang sebagai pertumbuhan benalu jg. lambat laun akan menelan sama sekali batang kaju tempat ia hidup menempel. Pembuatan peraturuan2 negara jang baru itu, se-mata- berada dalam ke kuasaan eksekutip M P R S , dan kemudian D P R G R , hanja ..inge-schakeld"’ didalam pembua an peraturan- negara jang bersumber U . U . D . 1945. Dengan peraturan- negara jang bersumber pada Dekrit itu, dilandjutkanlah mengambil tindakan- kekuatan, jaitu pengeluaran orang- partai opposisi, mcmpersukar atau melarang terbitnja surat- kabar jg. korrcktip, pcngawasan ketat terhadap aktivitas2 orpol dan ormas- dan kemudian dilandjutkan lagi dengan pembubaran golongan Manikebu, B.P.S. dan Partai Murba. Pentjekokan mental rakjat dengan : Manipol, Usdek, Djarek, Ampera, Resopim, Takem, Gesuri, Tavip. Takari. Nasakom, Pantja Azimat. jang penuh dengan istilah- kekuatan diutjapkan dengan semangat jang berapi-api diselang-seling dengan intimidasi- terhadap lawan- politiknja lain tidak mempu njai maksud untuk menggiring massa Indonesia kearah tudjuan politiknja. Ketjuali pentjekokan, diadakan pula pengregimentasian rakjat Indonesia Pegawai2 sipi 1, bahkan pegawai'-’ swastapun disamping anggola'- keempat angkatan bersendjata, harus beruniform lengkap dengan segala matjam tanda pangkatnja, semuanja itu dengan maksud untuk menanamkan keseragaman dan kadaver disiplin dalam masjarakat. Dalam hubungan itu para hakim dilarang memakai toganja dan diharuskan mengenakan pakaian jang tak kalah hebatnja dari uniform seorang djenderal. Itulah stijl Mussolini, stijl Hitler dan stijl Stalin, jang ditcrapkan dibumi Indonesia, oleh bekas Presiden Sukarno. Semuanja harus serba terpimpin dan dipimpin oleh Pemimpjn Besar Revolusj. Parlemen pilihan rakjat dibubarkan, lan diadakan Parlemen baru dengan pengangkatan anggota-anggotanja ; M P R S . diadakan dengan pengangkatan2. Dengan demikian, M P R S dan D P R G R mudah diberikan status terpimpin ekonomi harus paralel dengan demokrasi terpimpin, sebab itu diharuskan me nurut sistim ekonomi terpimpin ; dalam bidang pendidjkan dan unjversjtas diterapkan sistim studie terpimpin ; dalam bidang hukumpun sudah disebutsebut keharusan diadakannja peradilan terpimpin. Kalau kita teliti apa2 jang harus diritul menurut M anipol, jang sudah terperintji oleh D .P .A ., maka mengherankan djuga apa sebabnja bidang judikatip atau kekuasaan kehakiman tidak di-sebut2 untuk pengritulan. Jang disebut dengan tegas ialah : Retohng badan eksekutip. jaitu Pemerintah, Kepe gawaian dan lain sebagainja, vertikal dan horizontal. Retooling badan legislatip, jaitu D .P .R . dan Retooling semua Alat Kekuasaan Negara. A ngkatan Darat, Angkatan Laut, A ngkatan U dara dan Polisi. M ungkin belum dipikirkan pada waktu itu, bagaimana sistim jang se302
baiknja untuk memanipolkan bidang judikatip. Tetapi kemudian diperdapat dju ga sistim itu, menurut resep demokrasi-terpimpin dan M anipol. U n d a n g 2 No. 19/1964 dan U ndang 2 No. 13/1965, dalam pandangau pembahas. tidak lain dari pengkonkrifan idee untuk mengmanipolkan kekuasaan judikatip. D a ri konsiderannja, sudah terang bahwa pembuatan U n dang 2 No. 19/ *64 jang mengatur azas2, prinsip2 dan pokok2 fentang kekuasaan kehakiman, harus sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai haluan negara. O leh karena itu, lidak heran djika disediakan satu pasal didalam nja, jaitu pasal 19 jang menentukan : ,,Demi kepentingan revolusi, kehormatan N egara dan Bangsa atau kepentingan masjarakat mendesak, Presiden dapat turun atau tjam pur tangan dalam soal2 pengadilan” . D ari pendjelasan pasal 19 itu, lebih dapat dipahamkan lagi bagaimana kedudukan kekuasaan keha kiman disamping kekuasaan eksekutip dan legislalip, karena dikatakan;: ,,Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutip dan ke kuasaan membuat undang- . Teranglah dengan ketentuan itu, tersedia kemungkinan jang amat luas bagi Presiden bahkan djuga bagi kekuasaan legislatip, untuk setiap waktu djika dipandang perlu mentjampuri urusan pengadilan, padahal pendjelasan pasal 24 dan 25 U U D 1945, mengatakan : „Kekuasaan kehakiman, ialah kekuasaan jang merdeka, artinja terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerinitah. Berhubung dengan itu, harus diadakan djaminan dalam U n d a n g 2 tentang kedudukan para hakim” . U n tu k direnungkan, baik djuga ketentuan2 itu dalam pasal 19 Undangundang N o. 19/1964, dari negara Republik Indonesia jang merdeka dan berdaulat itu, kita bandingkan dengan ketentuan pasal 137 I.S'., jang berasal dari zaman kolonial itu. U n d a n g 2 N o. 13/1965, adalah pengaturan lebih landjut tentang susunan, kekuasaan, kedudukan dan sekedar adminisrasi dari para hakim dan badan2 Pengadilan dari tingkat bawah hingga tfingkat tertinggi D jiw a dan semangatn ja tidak berbeda dari U ndang2 No. 19/1964. Tetapi pendjelasan umum dari U n d a n g 2 N o. 13/1965, bahkan lebih menarik lagi, karena diungkapkan dida lam nja ketentuan2 jang amat fundamentil attitude of mindnja.
Antara lain : 1.
Idee, bahw a trias politica tidak berlaku dalam masarakat Indonesia,
2.
Azas, bahwa hakim adalah tak berpihak, merdeka dari pengaruh instansi atau pengaruh manapun, tak dapat dipertahankan lebih lama dan telah dikubur.
3.
H ak im bukanlah orang jang berdiri diatas para pihak,^ dengan tidak mengikat senta dan mengintergrasikan diri dalam kehidupan poljtjk, ekonomi, sosial dan kebudajaan.
4.
H ak im adalah alat2 revolusi dan alat negara.
5.
Presiden/Pem im pin Besar Revolusi dapat menghentikan perkara seseorang jang sedang diperiksa dalam sidang Pengadilan. U n tu k per kara itu tidak dapat lagi digunakan azas opportunitas, karena; perkara tidak lagi dikuasai djaksa.
6.
T ja m p u r tangan Presiden dapat mengenai berbagai hal dari peng adilan. T jam p ur tangan itu dapat mengenai susunan pengadilan, pe~
nundjukan pengadilan atau fambahau2 hakim, penggunaan hukuni atjara lain dan sebagainja. Demikianlah ketentuan- pokok dalam bidang kekuasaan kehakiman jang dimanipolkan itu, mclalui undang- No. 19 1964 dan U ndang1’ No. 13/1965 itu disamping ada pula ketentuan- jang dipandang baik dan mndju. Ternjata bukan sampai disitu sadja intensilas pengmanipolan kekuasaan kehakiman itu, Suatu konstruksi jang uniek sekali dalam bidang ketata-negaraan masih dimungkinkan dengan penggunaan a!at seribu guna jang bernama M anipol. Kalau saaidara pemrasaran mcnamnkan pengangkalan Ketua M a h kamah A gung mendjadi menteri dalam Kabinct, ada'ah puntjaknj.i dari personele ume, maka pembahas ini lebih tjondong untuk mcnamnkan itu sematjam "clrie-een-heicr', karena pada diri orang seorang ditumpukkan 3 pangkat men teri seka'.igus, jaitu : Menteri 'Penasehat Hukum Presiden merangkap Menteri/Ketua M ahkam ah A gung jang merangkap pula Menteri Kehakiman, sua tu konstruksi jang memberikan pula kepada orang jang bersangkutan keharusan membelah 3 djiwanja, karena sebagai Menteri Penasehat Hukum , ia harus memberikan nasehat atau mcntjari dasar hukum untuk kcperluan policy jang hendak didjalankan Presiden. sebagai Menteri Kehakiman, ia harus mem bantu Presiden untuk mendjalankan policy itu dan sebagai Menteri Ketua M ahkamah A gung ia mungkin mengadili orang jang terkena policy tersebut. Itulah benang merah jang mendjeludjur pula da'am pemerintahan negara R .I. jang berdaulat itu, jang terang sekali tampaknja dalam periodc ’’demokra si terpimpin’’, jaitu berupa konsepsi poiitik jang bcrdalihkan Pantja-Slla dan U U D . 1945 dan sesuai dengan kepribadian Indonesia, hendak menegakkan diktatur rakjat diatas bumi Indonesia ini, jang katanja hendak menjelamatkan Republik Proklamasi, tetapi dalam kenjataannja hampir berhasil mengubur kan Republik Proklamasi itu. Sekarang bagaimana dalam periode demokrasi Pantjasila, jaitu kerakjatan jang dipimpin oleh hikmah kebidjaksanaan dalam permusjawaratan dan perwakilan ? Orde Baru bertolak dari landasan id.ieelnja jaitu Pantjasila, landasan konstitutionilnja, jaitu U ndang2 Dasar 1945 dan landasan operasionilnja, jaitu keputusan2 M P R S . ; Orde Baru, ingin menegakkan : Hak- Azasi M anusia, Keadilan dan Ke benaran, the Rule of Law ; berikut the Rule of the gamenja ; Orde Baru, mengandjurkan supaja dari rakjat ada : sosial control, social participation dan social support ; Orde Baru, menghendaki persatuan dan kesatuan bangsa, menghendaki hidup keseragaman antar agama, menghendaki kemakmuran jang merata dikalangan rakjat ; Orde Baru, hendak memberantas Komunisme/Marxisme-Leninisme, hen dak memberantas korupsi dan demoralisasi. D jadin ja banjak jang hendak dikerdjakan oleh O rde Baru; oleh karena itu Orde Baru banjak pula hendaknja berbuat jang konkrit. Tetapi jang pokok membersihkan lebih dahulu Republik Proklamasi dari segala matjam noda2 jang melekat padanja selama regiem O rde Lama. M P R S . dengan ketetapan‘-nja sudah banjak memberikan pedoman2 untuk itu. Tinggal lagi pengkonkritannja oleh kekuasaan eksekutip jang dipim pin oleh Presiden sebagai mandatarisnja. 304
Satu diantaranja, jang perlu mengalami restorasi, ialah kehakiman, jang sudah gedegradeerd mendjadi alat politik orde lama dan gesubordineerd kepada ke kuasaan eksekutip. Selama kedua U ndang2 jang memanipolkan kekuasaan kehakiman itu belum ditjabut atau dirobah, selama itu pula kekuasaan kehakiman belum bersih dari noda jang melekat padanja dan belum berada dalam sfeer ’’kebebasan’' jang harus diberikan negara bukum kepadanja. Sjukur djuga dalam hal ini, D P R G R . sesudah 3 tahun berorde baru, mulai membitjarakan : R U U tentang ketentuan- pokok Kekuasaan Kehakiman, R U U tentang Pengadilan dalam iingkungan Peradilan Umum. D an baru2 ini sudah pula mentjabut sedjumlah Penpres dan 45 Perpres jang tidak sesuai denqan Undang- Dasar 1945. Kembali kepada persoalan keharusan untuk menegakkan kekuasaan keha kiman jang bebas dalam negara kita kini, maka hal2 pokok jang perlu m endja di attitude of mdnd kita ialah : 1.
Kekuasaan2 eksekutip, legislatip dan judikatip adalah bcrupa pembagian kekuasaan (division of powers), dan bukan berupa pemisahan kekuasaan (separation of powers). Kekuasaan judikatip jang bebas, adalah suat*u keharusan bagi masjarakat Indonesia dibawah "Rule of Law” .
2.
Kebebasan kekuasaan judikatip hendaklah diartikan tidak boleh tjampur tangannja kekuasaan eksekutip dan kekuasaan legislatip da lam urusan Peradilan, ketjuali dalam hal2 jang diizinkan oleh undang2. Independence implier freedom from interference by the Exe cutive or Legislative with exercise of the judicial function. T jam pur tangan kekuasaan eksekutip jang dizinkan oleh undang2, ialah kekuasaan Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi rehabilitasi, dan penundjukkan pengadilan-tata usaha jang dapat diserahkan kepada tenaga2 dituar pengadilan.
3.
M enteri Kehakiman, adalah anggota dari kekuasaan eksekutip, sedangkan Ketua M ahkam ah A gung adalah pemegang kekuasaan judikatip. M engsubordinasikan Ketua M ahkam ah A gung kepada Menteri Ke hakiman berarti mengsubordinasikan kekuasaan judikatip kepada kekuasaan eksekutip.
4.
M a h k a m ah A g ung hendaklah merupakan Badan Tertinggi N egara jang otonoom disamping kekuasaan eksekutip dan legislatip.
5.
U n tu k m enghindarkan adanja tyrannie dari ssalah satu kekuasaan, disejogjakan adanja suatu sistim sematjam check and balances diantara kekuasaan eksekutip, legislatip dan judikatip.
6.
U n tuk m enghindarkan penjalah gunaan kckuasaan. maka ditiadakan pengangkatan dan mntasi hakim- Pcngadilan T inggi dan Pengadilan. Ncgeri, setjara eksklusip oleh kekuasaan legislatip, cksekutip atau judikatip. Pengagkatan, dan lain- oleh kekuasaan eksekutip, dilakukan setelah berkonsultasi dengan dan mendapat persetudjuan dari Ketua Mahkamah A gung.
7.
Setjara prinsip pengangkatan hakim dilakukan untuk seumur hidup atau sampai berumur 60 tahun, sctelah diadakan scleksi sesuai de ngan hal- jang diusulkan oleh saudara pemrasaran.
Sampai disini pembahas sudah dekat kcpada achir uraiannja. Expose dari keadaan dizaman H in dia Belanda, Djepang dan dizaman Kemerdekaan sampai runtuhnja regiem orde lama, dimaksudkan supaja kita dapat mengambil peladjaran2 jang berharga dari padanja. Dengan menjadari, bahwa kekuasaan kehakiman itu vatbaar sekali terhadap tekanan poiitik jang didjalankan kekuasaan eksekutip, maka dapatlah untuk masa2 depan didjaga setjara jealously supaja kekuasaan kehakiman tcrhindar dari tekanan2 serupa itu. D ari uraian pembahas ini, dapat diketahui, bahwa ia tidak seudjamg rambutpun berbeda pendapat althans jang pokok2nja dengan isi dari prasaran saudara Z . Asikin Kusumah A tm adja. Pembahasan ini pada pokoknja ialah penguatan dari prasaran, hanja dilihat dari segi poiitik dan tjara penuangannja diusahakan supaja lebih illustratif dan lebih hidaip. Semoga ada m anfaatnja. Djakarta, 10 Desember 1968.
306
PE M B A H A S A N : I.
MAHADI
S.H.
PENDAHULUAN :
Lam araa Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, meminta supaja kaml bersedia m endjadi Penjanggah Utama terhadap prasaran, jang telah dipersiapkan oleh Saudara Z. Asikin Kusumah A tm adja, S.H ., tiada dapat kami elakkan, ineskipun banjak kesibukan- di-bidang- lain serta pula meskipun prasaran jang bersangkutan baru kami terima pada tanggal 26 Nopember 1968. II.
T E R I M A K A S IH :
D engan menjatakan terima kasih kepada Saudara Asikin atas usahanja untuk mempcrsiapkan prasarannja. kami menambahkan keterangan, bahwa Saudara Asikin telah menjusun prasarannja dengan rapih dan teratur, sehingga u raiannja sedap dibatja dan lantjar diikuti. III.
P E N IL A IA N H IS T O R IS D A N K E S IM P U L A N :
D engan menghidangkan suatu penilaian historis, Saudara Asikin menuangkan tudjuan 'uraiannja hendak mentjapai suatu harapan dikemudian hari kedalam bentuk beberapa kesimpulan dan saran, jang kami padukan sebagai berikut : Supaja diperoleh sine qua non :
kekuasaan
kehakiman
jang
bebas,
adalah
conditio
lo .
M ahkam ah A gung disedjadjarkan kedudukannja dengan kekuasaan eksekutif ; dan legislatif ;
2o.
Para hakim lainnja dilepaskan dari Departemen Kehakiman. J)
Sekian saduran kesimpulan dan saran. Kalau kami tidak salah tangkap, kebebasan jang diperoleh dengan tjara tertera diatas hanja berarti : 1.
Lepas dari personele unie. -)
2.
Bebas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.
A p a b ila Sdr. Asikin setelah itu menjimpulkan bahwa hakim di Indonesia, dalam m enghadapi sebagian besar hukum jang tidak tertulis itu, tak ^dapat m em andang dirinja terlepas dari masjarakat dimana ia raelakukan peradilan 3) m aka, menurut dugaan kami, setiap pembatja prasaran akan seperasaan dengan kami, bahw a disamping kebebasan tertera diatas terdapat pula hal terikatnja sang hakim, jaitu terikat kepada rasa keadilan bangsa. Meskipun pemrasaran tiada memberi pendjelasan lebih landjut tentang pengertian ,,rasa keadilan bangsa5’, nam un didalam kutipan, jang disadjikan pada halaman 11, tersurat m aksud Sdr. A sikin hendak melafaskan dalil, bahwa rasa keadilan bangsa itu harus tertjermin didalam keputusan hakim dalam bentuk :
1)
B a n d i n g k a u hal.
2)
V i d e ha\. 9.
3)
Lihathal.
13.
11.
307
Norma, jang dibenarkan ataupun jang ditjiptakan oleh hakim haras merupakan pendjelasan dari stelsel jang sudah ada a faupun serasi dengan stelsel jang sudah ada itu ataupun memperkcmbang stelsel tersebut dengan tjara jang harmonis. Para hadirin, jang saja muliakan, A pakah diatas ini kita telah bersua dengan dua matjam faktor, jang erat hubungannja dengan kebebasan hakim, jaitu, pertama personele unie jang merupakan faktor pengurang pada kebebasan hakim, kedua faktor sosial. jang harus diperhitungkan oleh hakim, dimana keputusannja harus scnada dengan dasar- stelsel hukum jang berlaku dalam masjarakat jang bersangkutan, maka Sdr. Asikin pada halaman 14 dari prasarannja membawa kita sebagai pembatja kepada kenjataan, bahwa masih ada lagi faktor djenis ketiga, jang sedikit banjaknja membawa sumbing kebebasan hakim. Sdr. pemrasaran menje but sebagai tjontoh : a) b) c)
pengaruh karena berita2 pers. sebelum sesuatu perkara diputus ; politieke voorkeur dari sang hakim ; pengaruh dari staande magistratuur ;
Sekian saduran singkat dari prasaran Sdr. A sikin ; IV .
B ID A N G J A N G D I T IN G G A L K A N :
Setelah dengan singkat membentangkan alam pikiran Sdr. pemrasaran, kami segera ingin menandaskan dengan tegas akan adanja kenjataan, bahwa Sdr. Asikin isengadja melupakan beberapa hal dari pembahasannja, satu dan lain tentulah dengan maksud, supaja kami selaku penjanggah utama dan demikian djuga penjanggah2 jang lain nantinja masih kebagian bahan. V.
S IS T E M A T IK P R A S A R A N :
D judul prasaran dan kissah terachir dari prakata ') dengan segala ketegasan mentjanangkan kepada para pembatja, bahwa pembahasan Sdr. Asikin terutama merupakan suau penilaian historis, dengan maksud mengetahui dan menilai butir2 masalah, jg. dengan singkat dapat kita tjakupkan kedalam djang kauan pengertian ..kebudajaan bangsa Indonesia” . A pabila Sdr. Asikin. sesudahnja menggambarkan garis2 sedjarah kekuasaan kehakiman, didalam bab tugas dan kewadjiban hakim di Indonesisa, dengan penuh semangat dan kejakinan menekankan, bahwa tidak akan mungkin diperoleh kebebasan kekuasaan kehakiman selama para hakim masih merangkap sebagai pegawai Departemen Kehakiman, maka djelas dapat dikatakan tanpa ragu2, bahw a Sdr. A sikin ingin sekali melepaskan kekuasaan kehakiman dari belenggu Departemen Kehakiman. H a l ini perlu, supaja djangan lagi terdjadi peristiwa2 jang m enjedihkan dari masa jang lampau n). Kami merasa sedikit kurang puas, oleh karena Sdr. A sikin tidak langsung
4) 5)
L i h a t h a l 3. P a d a hal. 8 S d r . A s i k i n m e m i l i s : ..Saja rasa t a k p e r lu l a g i saja m e n g u l a n g satu pe rsa tu k e d ja d ia n jang m e n j e d i h k a n d a la m p e r a d i l a n jang m e r u p a k a n s u a t u n o d a ja n g t a k terhap u s k a n d a ri w a d j a h D e w i J u s t i t i e ......................”
308
berterus terang, kemana dipindahkan kekuasaan Departemen, Kehakiman kepada M ahkam ah Agungkah ataukah kepada Kepala Negara G). Kalau kepada Kepala Negara, apakah kekuasaan tidak masih tetap pada kekuasaan eksekutif ? Kalau kepada M ahkam ah A gung apa pula djam inan bahwa tidak akan ada pengangkatan setjara politis ataupun sesuatu kelainan jang lain ? D alam hubungan ini kami ingin mentjatat, bahw a Sdr. A sikin setjara diam- telah melepaskan dirinja dari pada kewadjiban untuk mendjawab pertanjaan : A pakah peristiwa2 jang menjedihkan itu adalah akibat kausal dari personele unie ? A pakah tak ada faktor- lain, jang telah memainkan peranan jang lebih penting ? Pertanjaan tertera diatas kami kemukakan, oleh karena kesan kami ialah, bahwa, menurut Sdr. Asikin, kebebasan kekuasaan kehakiman se-mata2 ataupun se-kurang2nja sebahagian besar tergantung kepada soal siapa jang mengangkat dan memindahkan hakim, djuga kepada kedudukan protokolair para hakim, se-olah2 hakim, jang menerima pengangkatannja dari Departe men Kehakiman dan jang kedudukannja belum sedjadjar dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif 7), tidak merasa mempunjai kebebasan pada waktu mengambil keputusan dalam suatu perkara 8). Se-olah2, apabila semua hakim nantinja telah diangkat oleh M ahkam ah A gung dan kedudukannja telah disedjadjarkan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif, mereka telah tidak dipengaruhi lagi pada waktu mengambil kep,u,tiisan dalam suatu perkara. Se-olah2 para hakim A gung jang nantinja akan berwenang mengangkat dan memindahkan itu, tidak terkena kepada utjapan Sdr. A sikin pada halaman 13, bahw a manusia itu adalah manusia. U n tu k menghindarkan salah paham, kami ingin segera menambahkan keterangan, bahwa kami tidak a priori menolak dilepaskannja kekuasaan ke hakiman dari Departemen. D alam pada itu, menurut hemat kami, Sdr. Asikin telah memperhatikan kebebasan kekuasaan kehakiman hanja dari satu segi sadja, jang belum tentu bersifat terpenting, jakni personele unie, M enurut pandangan kami, ada segi2 lain, jang tidak kurang pentingnja, terdapat didalam dan sebagai akibat dari pada kenjataan, bahwa kekuasaan kehakiman. sebagaimana djuga halnja dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif, tidaklah beroperasi diruang angkasa jang kosong, melainkan di-tenga m asjarakat. . ,
Hal ini berarti, Sdr. Asikin sendiri menurut kesimpulan kami, berpendirian demikian 9), bahwa kebebasan kekuasaan kehakiman adalah merupakan suatu gedjala sosial-psychoogie jang menggambarkan hasil inter-aksi antara 6) 7) 8)
9)
Bandingkan hal. 13 jo 5. Bandingkan hal. 13, , Pada hal. 14 Sdr. Asikin menulis „Pada umumnja dimana negara selalu diusahakan untuk mengadakan kekuasaan Kehakiman jang bebas. Hakim jang tidak tergantung pada administrate atau eksekutif dan jang tak dapat ditekan dengan djalan lain oleh suatu golongan. Hakim jang tidak dipengaruhi pada waktu Eengamhil keputusan dalam suatu perkara. Lihat hal. 10 dan 11. dimana antara Iain terdapat kahmat: „ H u k u m berlaku bagi suatu m a s ja r a k a t jang tertentu . . . « »» ..Hukum tak dapat dipandang terlepas dari masjarakat dimana hukum itu berlaku ... . . , hakimpun tak dapat memandang dirinja terlepas dari masjarakat dimana ia melakukan pernilaian”,
309
, ,,,,
seorang hakim dengan sesuatu lingkungan masjarakat tertentu, dimana sang hakim memberi peradilan. Kami pikir, hal ini adalah problema umum. jang harus ditanggapi o’eh setiap negara. Dim ana Sdr. Asikin mengakui akan adanja problema umum itu, maka adalah kurang epat untuk melangkahi akibat" buruk, jang mungkin datang dari masjarakat terhadap kebebasanhakim. D i samping itu ada problema cliusus berbunji : Kebebasan kekuasaan kehakiman di Indonesia. V I.
J A N G C H U S U S T ID A K T E R L E P A S D A R I J A N G U M U M
;
Didorong oleh hikmah pepatah ,,AIang kepalang basah, biarlah mandi terus’ , kami mengandjurkan kepada Sdr. Asikin chususnja dan kepada Se minar umumnja untuk tidak membatasi tanggapan kepada sudut historis belaka, melainkan memperluas ruang lingkup uraian, sehingga dengan demi kian, djuga suclut- lain dibawa serta kedalam arus pembitjaraan. Kembali kepada pokok persoalan, dengan segala kerendahan liati kami merasa terdorong menjatakan pengakuan, bahwa kebebaisan kehakiman di Indonesia sedikit banjaknja terlebih dahulu harus memenuhi sjarat- umum, baru sesudah itu ditambah dengan sjarat- cliusus jang diperlukan berlnibung dengan situasi dan kondisi se empat di Indonesia. Dalam pada itu, Sdr. Asikin tidak dengan djelas membuat pcrbedaan diantara dua matjam hal : pertama, kebebasan kedudukan, dalam arti tidak tergantung pada kekuasaan eksekutif 10). Disini perhatian lebih banjak ditudjukan kepada kehakiman se bagai lembaga ; kedua, kebebasan pikir, dalam arti tidak dipengaruhi pada waktu hendak mengambil keputusan dalam suatu perkara. Disini titik berat lebih banjak diletakkan kepada hakim pribadi. Sdr. Asikin hanja meneropong hal pertama dan meimisatkan keberatannja hanja kepada persoilele unie belaka, se-olah- kalau sang hakim sudah tidak lagi diangkat oleh Departemen Kehakiman, dia dengan sendirinja sudah bebas pula dari segala pengaruh pada waktu hendak mengambil keputusan dalam suatu perkara. Berhitjara tentang sjarat3 umum, baik pula kita membuat perbedaan antara : a)
sjarat subjektif, dalam arti sjarat, jang harus terdapat pada diri sang hakim. Kami menjebut misalnja ketabahan hati, mempunjai pendirian jang tetap, mempunjai mentalitas berani , mengeluarkan pendapat sendiri meskipun ada sesuatu risiko jang harus dihadapi.
b)
sjarat objektif, dalam arti sjarat, jang terletak diluar diri sang hakim ; dalam hubungan ini kami menjebut misalnja;: 1.
10)
310
djaminan tertentu dalam per-undang-an mengenai masa d ja b a ta n , batja lampiran 1 ; dengan adanja djam inan ini ditjiptakan ketenangan kerdja dan ketenteraman pikir ;
L i h a t ha!.
14.
2.
larangan per-undang2an kepada kekuasaan legislatif dan eksekutif mentjampuri urusan judikatif selain dari hal2, jang disebut setjara limitatif dalam undang-' ; vide lampiran II ; perpisahan absolut tidak mungkin; disana sini past! ada tltik2 periemuan (lihat lampiran I V ) .
3.
D jam inan akan penghasilan jang tjukup ; vide lampiran I I I ; hal dni bisa memupuk kepertjajaan kepada diri sendiri.
D alam pada itu, didalam hubungan ini kami ingin mengemukakan beberapa perumpamaan sebagai bahan perbandingan, jaitu;: 1.
2.
Segala sjarat bisa dipenuhi oleh seorang dbu rumah tangga didalam bidang masak-memasak. Buku reseppun terletak dihadapannja, di mana setjara miligram diperintji timbangan dari bermatjam-matjam bahan. Toch sering kita alami, masakannja tidak sedap. Stebaliknja ada ibu rumah tangga, jang tidak memenuhi sjarat2 subjektif dan objektfif, tetapi masakannja dapat dipudji, lezat, seronok, meskipun buku resep tak pernah dilihatnja dan diperhatikannja. M u n g k in membatjapun dia tidak bisa. D u a orang tukang djait, sama lepasan dani Sekolah D jait, sama2 mempergunakan buku pedoman karangan seorang ahli jang terkenal, tidak sama larisnja, oleh karena jang seorang dapat menjiapkan pakaian jang potongannja djauh lebih bermutu dari jang lain.
Saudara2 para pendengar jang kairti hormati. A p a artinja itu semua ? M enurut hemat kami, disamping sjarat2 subjektif dan objektif, harus ada lagi sesuatu didalam diri seorang hakim Seandainjalah sesuatu itu saudara hendak sebutkan bernama ’’bakat” , maka, sebagai seorang jang pertjaja kepa da T u h a n jang M a h a Esa, kami ingin menambahkan, bahwa bakat tersebut adalah kurnia T uhan, rahmat A llah Subhanahu W a ta A la, taufik dan hidajah dari T uhan jang M a h a Esa. Tegasnja, disamping sjarat2 subjektif jang ban jak itu dan jang bisa kita perintji satu persatu, harus ada rahmat Tuhan, jang oleh m anusia biasa disebut dengan nama ’’bakat” V II.
H AL CHUSUS : S dr.2 sekalian ;
M e n uru t hemat kami, Sdr. Asikin didalam terpakunja kepada penilaian setjara historis dengan semata2 menudjukan panahnja kepada satu sasaran, ja ’n i personele unie, telah dengan sengadja kurang memperhatikan kenjataan, b a h w a diluar gedung peradilan tidak terdapat ruang jang kosong, melainkan ruang itu penuh dengan djalinan2 dan antjaman2 pergaulan jan9 niendjelmakan diri kedalam berbagai2 bentuk golongan kemasjarakatan, ada jang bersifat politik, ada jang bersifat sosial, ada jang berslfat ekonomis dll. D ja n g an p u la dilup akan oknum 2 jang tegak sendiri. Semuanja ini menimbulkan. rlak dan gelom bang, dan kam i pikir, kalaupun tidak senantiasa atau selalu, se-kurang2 n ja ad a k alan ja sang hakim tidak dapat, kadang2 tidak berani menepiskan riak da n gelom bang itu, sehingga dia terluput dari sesuatu pengaruh 'buruk terhad a p kebebasan, jan g harus dim ilikinja.
311
A pak ah artinja ini semua ? M a k n a n ja ialah, bukan sadja sang hakim harus mcmiliki sjarat2 subjektit sebagai benteng untuk memelihara kebebasannja, tetapi djuga lingkungannja harus memiliki sesuatu sikap mental, jang berisikan . a) b) 1.
2.
memaharrui akan perlunja kebebasan pada hakim dalam memutuskan sesuatu perkara. mengekang diri dari hasrat mempengaruhi seseorang hakim ; T idak tanpa alasan, apabila : M en h am kam /P ang ab telah mengeluarkan surat tilgram jang terkenal itu tanggal 3 Oktober 1968 No. T / S .H . K ./ l21 /68 ( ln.hat lampiran V ) . P angandahan Sumatera mengeluarkan penegasan taggal 4 Agusutus 1966, jang selengkapnja kami kutipkan dibclakang ini dalam lampiran V I.
Kesan jang ditimbulkan oleh prasaran Sdr. Asikin ialah, beliau dengan bersendikan kepada peniJaian setjara historis telah membulatkan segala kesalahan kepada personele unie. Dengan lain perkataan, Sdr. Asikin hanja ingin menegakkan kebepasan kehakiman setjara formeel, sehingga dengan demikian dapat dipahami, apabila Sdr. pemrasaran terlengah memperhatikan kebebasan itu setjara materieel. Relasi sosial psychologis, jang terdapat setjaca timbal balik diantara sang hakim individual dengan lingkungannja tidak diljbatkan Sdr. A sikin kedalam uraiannja, pada hal, daja2 jang kam/i maksudkan itu tidak sadja m engandung sifat sosial, tetapi djuga sifat historis. A pabila di Sragen pada permulaan tahun 1968 ini telah m ungkin seorang tertuduh, jang oleh Pengadilan telah dibebaskan, telah ditangkap oleh sesuatu pihak tertentu dan diarak keliling koja diatas sebuah jeep tcrbuka n ). maka pada waktu memutus perkara sang hakim tentu telah memperhitungkan kemungkinan, bahw a bukan tertuduh jang diarak, tetapi sang hakim. Kenjataan telah terdjadinja peristiwa tersebut, merupakan daja sosial jang bisa menggontjangkan daja-bebas, jang harus dipunjai sang hakim. V II I .
T E R B A T A S K E P A D A P E R A D IL A N
LIMUM?
Prasaran Sdr. Asikin seluruhnja mengupas bahan2 tentang personele unie dalam bidang peradilan umum. Sungguhpun demikian kami pertjaja. bahwa uraian pemrasaran setjara mutatie mutandis tentu berlaku pula untuk badan2 pengadilan dalam bidang peradilan militair dan agama. H a n ja kami bertanja kepada diri sendiri, apakah djuga peradilan dalam soal perumahan tertjakup kedalam djangkauan uraian Sdr. Asikin. IX .
P E N U T U P :
Sebelum meninggalkan mimbar ini, kami merasa terdorong oleh keinginan untuk menegaskan kepada Sdr. Asikin dan seluruh Seminar, bahw a uraian kami lebih dimaksudkan sebagai memperhalus prasaran Sdr. A sikin dari pada m enjanggahnja.
11)
312
S e r i t a k a m i k u t ip d a r i H a r i a a M i m b a r U m u m M e d a n 17 F e b r u a r i b e r d j u d u l : D j a k s a t u n t u t 3 1/2 t a h u n . h a k i m m e m b e b a s k a n n j a ”
1968. h a l a m a n 2 ,
K a m i S d r .
M a k a b u n ji
1.
s e tja r a
A s ik in ,
d e n g a n
s e b a g a i
k e b e b a s a n
S ja r a t2
3 .
S ja r a t2
4 .
D ja la n Id s ir
K a m i P a n ity a k a m i
in i,
p e r s o n e le
ja n g
fo r m il
s u b je k tff
m e n u d ju
L e b ih
k u r a n g n ja
d a p a t
te la h
m e n g a m b il
k a m i
m e n a w a rk a n
u n ie
b a ru
b e la k a
m e n tjip ta k a n
k e p a d a
k e k u a s a a n
a lih
s a ra n 2
s a d jik a n .
k e s im p u la n ,
ja n g
be r-
dan
k e b e b a s a n p o s is i k e h a k im a n .
d ip u p u k .
h a ru s
d ib in a .
k e b e b a s a n
m a t e r iil d a p a t m e m p e n g a ru h i
in g in
d ir in t is
d e n g a n tja r a m e n e tra -
d ja la n n ja
p e r a d ila n .
k a m i.
b a h w a
te la h
b e ru s a h a
k a m i
k a m i
ja n g
ja n g
k e s im p u la n
b e rh a ra p ,
s u m ir
h a ru s
o b je k tif
S e m in a r
te la h
s e tja r a
b a h w a
s e b a g a i
:
d a ja 2 s o s ia l,
S e k ia n
m e n ja ta k a n ,
p e n g h a iu s a n
b e r ik u t
P e n g h a p u s a n
2 .
ic h la s
d e n g a n
w a k tu
k a m i
m e m e n u h j
h a ra p
is i
15
m e n it
ja n g
s e - b a i k 2n j a ,
k e in g in a n
d ib e r ik a n
k a la u p u n
k e p a d a
t id a k ,
k a m i
o le h
s e - k u r a n g 2n j a
P a n ity a .
d im a a f k a n .
313
L A M P I R A N Lampiran I, II, dan III dikutip dari International Commission of Jurists, A Report O n The International Congress O f Jurusts, New Delhi, India, 1959 :
Halaman 133 :
I.
"T he principle of irremovability of the Judiciary, and their consequent security of tenure until death or until a retiring age fixed by statute is reached, is an important safeguard of the Rule of Law. Although it is not imposible for a judge appointed for a fixed ten to assert his independence he is, particularly if he is seeking reappointment, subject to greater dif ficulties and pressures than a judge who enjoys security of tenure for his working life” .
Halaman 139 :
II.
It must be recognised that the Legisla ive has responsibility for fixing the general framework and laying down the principles of organization of Judicial business and that it may, subject to the limitation on delegations of legislative power, delegate part of this responsibility to the Executive. Such measures however should not be employed as an indirect methode of violating the independence of the Judiciary in the exercise of the judi cial functions” .
Halaman 157 : 1.
A n independent Judiciary is an indispensable requisite of a free society under the Rule of Law. S.uch independence implies freedom from in erfeence by the Executive or Legislative with the exercise of the Judicial function, but does not mean the judge is entitled to act in an arbitrary manner. J
2.
There are m different countries verying ways in which the Judiciary are appointed reappointed (where reappointment arises) and promoted, in volving the Legislative, Executive, the Judiciary itself, in sim e countries the represen at,ves of the practising legal profession, or a c o m b in a tio n wo or more of these bodies. The selection of judges by election and particularly by re-election as in some countries, presents special risks to thei independence of the Judiciarv which whirls are more likely i-i i to p be avoided , , juuii_idry only where tradition has circumscribed by prior agreement the list of candidates and has limited political controversy. There are also potential dangers; in exclusive appointment by the Legislative, Executive or Judi ciary and where there ,s on the whole general satisfaction with the calibre and independence of judges ,t will be found that either in law or practice there is some degree of co-operation (or at least consultation) between the Juliciary and the authority actually making the appointment.
Halaman 279 : in a free society, whether it has a written constitution or not and whether or not this constitution is subject to the review of a judicial body, the po sition of the Judiciary and of the individual judges is of special impor314
tance. It is a characteristic of a free society that those to whom the power of governing is entrusted can only act under and whithin the authority of the law. It has been further stated that the power of the Legislative to make law, whether or not subject to formal constitutional limits, is in a free society exercised on the assumption that the fundamental liberty of of the people as a whole will not be violeted. The inevitability of human error, especially when self-in ter-est (which includes the exercise of power as an a end in it-self) comes into conflict with the claims of others, requires that the law, and the assumptions which underlie it, should be interpreted by a Judiciary which is as f or as possible indepen dent of the Executive and Legislative. The conception of independence as applied to the Judiciary needs however fur.her elaboration. It does not mean that independence should be absolute, entitling a judge to act in an ®nt^re Y ar ' ^ r y manner. The judge’s duty is to observe the law and the a * ^ *un derlie it. in the light of his own conscience, to the best of his a b il it y . To assert the independence of the Judiciary, whithin the restricted of independence given obove is ever xn free soaefces tc. state an ideal rather than a fully realized condition a fart.. T te judge, the judicial collegium ^nd t e jig 5 ^ ° ^ of sectional interest. consepdon
h u m
a n
i m
p e r f e c t i o n
o r
i m
p
e
m
o
u
^
d
^
^
i n d e p e n d e n c e
n o t
o n i y
o f
It is therefore important
an institution; the letter may prothe judge but also or the Judiciary responsibility which are a strovide traditions and a sense of c p conscience of the indi nger guarantee of independence than me priv* vidual judge. III.
Hataman 154 : ” It is implicit in th e concept of indepefn Y u d ^ d a ry ^ d ^ th a t a Judge's made for th e adequate rem u n eratio n of J during his right to the remuneration settled for his ottice snou u ':erm of office, be altered to his disadvantage .
315
LAMPIRAN. Dikutip dari buku ’’Parlemen dan Politik” , karangan K.C. W heare, diterdje~ mahkan oleh M r. Soedjono Hardjosoedlro, Jajasan Pembangunan D jakarta 1951, hal. 36 : Separation of powers dalam bentuk jang ekstrim sekali dirumuskan dalam U U Dasar Negara Bagian Massachusetts sebagai berikut : ’’Departemen legislatif se-kali-’ tidak akan mengerdjakan usaha eksekutif dan usaha pengadilan, ataupun satu dari padanja; departemen eksekutif se-kali2 tidak akan mengerdjakan usaha legislatif dan usaha pengadilan ataupun satu dari padanja; departemen pengadilan se-kali'J tidak akan mengerdjakan usaha legislatif dan eksekutif ataupun satu dari padanja” . Pada halaman jang sama terdapat pula keterangan, jang maksudnja, bahwa apa jang dinjatakan begitu tadjam tidak pernah didjalankan dengan setjara tegas. Harold J. Laski didalam ’’A Grammar of Politics,’’ London 1951, halaman 104 menulis : ’’Not, moreover, is or possible to define with any precision the boundaries between the three divisions into which it is customary to devide the power of the State, Judges are compelled to make the law ; when legislatures confirm nomination to office they are acting within the executive sphere ; and the ordinance power of the medern executive is not only genuinely legislative, but has reached dimensions more formidable than that of Parliament itself” .
316
LAMPIRAN S U R A T D A R I UNTUK
TEM BUSAN
NOMOR A A A TTK
BBB T T K
C CC TTK
—
T I L G R A M
M E N H A N K A M /P A N G A B :
1. 2. 3. 4.
PANGAD PANGAL PANGAU PANGAK
:
P A R A D E / A S / D IR / G U B / IR D A N /K A /S E S U H A N K A M .
T /S H K /1 2 1 /6 8 . T G L .: 3-10-68. M asih sadja banjak fakta2 tentang turut tjampurnja oknum2 A B R I dalam Pemeriksaan Pidana atau Perdata jang sedang dilakukan oleh Instansi2 Sipil T T K . Dengan ini diminta perhatian para Pang. Angkatan untuk menginstruksikan kepada seluruh slagordenja SBB T T K DUA. (1) Anggauta A B R I dengan dalih apapun diiarang menakut-nakuti K M A mengganggu K M A mentjampuri atau berbuat sesuatu jang dapat mengganggu djalannja sesuatu Pemeriksaan Pidana atau Perdata jang sedang dilakukan o!eh A lat/Badan Penjidikan K M A Penuntutan atau Peradilan-Sipil terhadap orang2 Sipil TTK KM A. (2) Terhadap Pelanggaran Instruksi ini akan diambil tindakan keras T TK . A gar sapaja Instruksi Pang itu dapat bekerdja dengan effektivitas jang maksimal K M A perlu T T K dua. (1) Instruksi tsb. disebar-luaskan kepada Pedjabat2/ Badan2 Penjidikan K M A Penuntutan dan Peradilan Sipil T T K K M A . (2) Bantuan aktif dari Pedjabat2 ini K M A dalam arti supaja apabila terdjadi Pelanggaran Instruksi P A N G itu hendaknja mereka tidak ragu2 melaporkannja kepada Komandan sipelanggar T T K Dua. (3) Benar2 ditrapkan sanksi jang lebih keras oleh P A N G K R G BK berupa a.i. tindakan administratif disam ping penindakan menurut atjara Pidana atau disiplin K R G T T P apabila terdjadi pelanggaran Instruksi P A N G TSB T T K HBS. AN
M E N H A N K A M /P A N G A B KAS H A N K A M T J A P /T T D M M R KARTAKUSUM A Letnan Djenderal T N I
317
LAMPI RAN P E N E G A S A N M A J O R D JE N D E R A L A.J. M O K O G IN T A D J A N G A N T JO B A L A K U K A N T E K A N A N 2 T E R H A D A P D JA L A N N JA P E R A D IL A N M edan, 4-8-1966 (A P ) Pangandahan Sumatera Maj. Djen. A.J. Mokoginta, setelah selcsai adakan pembitjaraan satu djam dengan Ketua Mahkamah Agung Surjadi, S.H., bertempat di M akoanda Sumatera kemarin, membenkan suatu penegasan pernjataan jang menjangkut djalannja sidang pengadilan. Dalam penegasan itu untuk tudjuan tertentu, Maj. Djen. A.J. Mokoginta njatakan sebagai berikut: Dalam rangka djalannja sidang2 pengadilan, kadang- ada pihak2 jang mentjoba mengadakan tekanan2 kepada para Hakim2 pengadilan, untuk bagi kepentingan sesuatu golongan dan perorangan. Dalam ketatanegaraan R.I. „Pengadilan adalah suatu unsur pokok jang harus mendjamin kebenaran berdasarkan Ketuhanan Jang M aha Esa, djustru untuk menegakkan keadilan"’. T idak boleh tindakan2 jang menjimpang. Tidak dibenarkan adanja tindakan2 dalam bentuk apapun, dari siapapun jang mentjoba menghalangi atau mengadakan tekanan kepada para hakim dalam sesuatu sidang pegadilan. T idak mentolerir adanja hakim2 dan djaksa2 dalam sesuatu pengadilan/ perkara, mengalah kepada tekanan2 dalam bentuk apapun dan dari siapapun datangnja. Tidak membenarkan mentolerir adanja hakim2-djaksa2 jang tindakan penjelewengan sumpah djabatannja karena pengaruh apapun.
adakan sesuatu
Kepada instansi- Angkatan Bersendjata dan Sipil jang bertugas dalam Sidang pemeliharaan keamanan. diinstruksikan untuk mengambil tindakan seperlunja, kalau perlu mengadakan pengawalan terhadap gedung2 tempat berlangsungnja sidang pengadilan, dan kepada hakim2 jang memerlukan peng awalan pisik, djustru untuk menegakkan peradilan, diatas landasan kebenaran dan keadilan. M aj. Djen. A.J. Mokoginta harapkan agar lapisan masjarakat, turut memberikan bantuannja dalam hubungan ini, untuk menghidarkan adanja gerilja Politik, baik dari sisa- Gestapu-PKI, maupun dari aksi2 subversi lainnja dan dari kaum vested interest. Dengan demikian setiap oknum jang tersangkut dalam sesuatu perkara, mendapat perlakuan pengadilan berdasarkan kebenaran dan keadilan. Demikian dikbarkan oleh Pengandahan Sumatera.
318
KESIM PULAN SEM IN A R H U K U M N A S IO N A L K E I I T E N T A N G "M EN EGA K KA N KEKU ASAAN K E H A K IM A N JA N G BEBAS Setelah mendengar : 1.
Prasaran jang dikemukakan oleh Sdr. Z. Asikin Kusumah A tm adja S .H
2.
Pcmbahasan oleh para Pembahas-Utama : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
3.
Prof. Oemar Seno A dji S.H. Djamaluddin Dt. Singo Mangkuto S.H. Soetijono Darsosentono S.H. Kol. C K H . A. Tambunan S.H. Prof. M ahadi S.H. Soegiri Tjokrodidjojo S.H.
Pembahasan oleh peserta jang dikemukakan dalam Seminar ; maka Seminar Hukum Nasional ke-II menjimpulkan hal2 sebagai berikut : P E N D A H U L U A N
Masalah menegakkan kekuasaan Kehakiman jang bebas pada hakekatnja merupakan masalah pengaturan daripada judicial power, organization, personil dan judicial administration diatas landasan ideel Pantjasila djdalam rangka struktur Negara Hukum berdasarkan Demokrasi Pantjasila. Kekuasaan Kehakiman jang bebas bukan merupakan tudjuan, melainkan ber-sama2 dengan Kekuasaan2 Negara lainnja merupakan prasarana utama untuk setjara bahu membahu mentjapai tudjuan negara dan bangsa Indonesia sebagai jang tertjantum dalam Pembukaan U U D 1945 dan sesuai dengan sistim pembagian kekuasaan sebagai hal jang melekat pada kehidupan ketatanegaraan. O leh karena itu didalam usaha2 menegakkan kekuasaan Kehakiman jang bebas dinegara hukum Indonesia harus diperhatikan tidak hanja soal2 efektivitas dan efisiense, tetapi teraitama djiwa, semangat dan tradisi Bangsa dan R akjat Indonesia. Disebabkan masalah menegakkan kekuasaan Kehakiman meliputi banjak m a s a l a h 2 serta aspek2, maka sesuai dengan alam Demokrasi Pantjasila adalah w a d j a r bahwa masalah tersebut menimbulkan pandangan2 serta pesdapat2 jang berbeda-beda (varietas) meskipun mengenai beberapa hal2 pokok diperoleh kata sepakat dari semua peserta. Berdasarkan pertimbangan2 diatas dan setelah mendengar prasaran, pembahasan2 utama dan pembahasan2 umum, maka Komisi II merumuskan pendapat2nja sebagai berikut : HAL-HAL I.
I I .
POKOK
JA N G
D IS E P A K A T I.
Kekuasaan Kehakiman jang bebas merupakan sjarat mutlak dalam sua tu negara Hukum . D i Negara Indonesia Pantjasila-lah jang merupakan faktor utama dan menentukan untuk mengisi pengertian dan menegakkan Kekuasaan Kehakiman jang bebas. Kebebasan dalam m e l a k s a n a k a n tugas Kekuasaan Kehakiman mengandung didalam nja suatu kebebasan dari tjampur tangan dari fihak kekuasaan-kekuasaan negara lainnja, dan kebebasan dari paksaan direktiva
319
atau rekomendasi jang datang dari fihak extra judiciil, ketjuali dalam hal2 jang diidjinkan oleh Undang-undang. Kebebasan jang demikian itu tidaklah mutlak sifatnja, karena tugas dari pada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pantjasila dengan djalan menafsirkan hukum dan mentjari dasar- serta azas2 jang djadi landasannja, melalui perkara2 jang dihadapkan kepadanja, sehingga keputusannja mentjerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakjat Indonesia. III.
Penentuan dan pengaturan daripada rangka dan dasar2 mengenai orga nisasi serta kewenangan badan2 peradilan adalah kewenangan dan tanggung djawab dari Pembentuk Undang-undang. Penjelenggaraan wewenang ini tidak boleh disalah gunakan untuk setja ra langsung atau tidak langsung melanggar kebebasan Kekuasaan Keha kiman dalam mendjalankan tugas judisiilnja.
IV .
Untuk menjelenggarakan Kekuasaan Kehakiman jang bebas diperlukan pengaturan personil dengan ketentuan2 pokok berikut': 1. Penerimaan Hakim didasarkan pada watak, mentalitas, tingkah laku tak tertjela, disamping keachlian serta kemampuan dan pengalaman dibidang Hukum.
V.
2.
Penundjukkan2 hakim berdasarkan semata-mata alasan polilis tidak dibenarkan.
3.
Seorang hakim dilarang mendjadi anggota sesuatu partai poiitik dan organisasi jang berahliasi dengan partai poiitik.
4.
Perlu adanja djaminan2 tertentu mengenai masa djabatan dalam perundang-undangan.
5.
Pemetjatan hakim hanja dapat dilakukan dalam hal2 chusus jang ditentukan dalam undang2.
A gar supaja hakim dapat menjelenggarakan tugasnja setjara bebas, tenang dan tentram, maka perk diusahakan pengadaan jang wadjar di bidang mateml dan finansiil berupa penggadjian serta pemberian fasilitas- aan peralatan jang tjukup. H A L - H A L JA N G M E N IM B U L K A N V A R IE T A S P A N D A N G A N I.
Tentang hak mengudji materiil.
tid a k PerSO al“ " a d a ' a h a P a k a h h a k m e " 9 u d ii a d a P a d a M a h k a m a h A g u n g a ta u
1.
2.
Pendapat pertama menjetudjui penjerahan wewenang M ahkamah Agung dengan vanasi2 sebagai berikut •
kepada
a'
M D c | n 5 “ d i ‘ " e lif U,i SeI“ u1’ h u k u m d a n P erLmd a n g - u n d a n g a n ( T A P undang) P e r a tu ' ar'-P
b. c.
terbatas pada Undang-undang dan peraturan janq lebih rendah. terbatas hanja pada peraturan-peraturan jang lebih rendah dari undang-undang.
Pendapat kedua tidak menjetudjui penjerahan wewenang itu kepada MahM P SR
320
tersebu;
A9Ung'
^
wewenang
te- b u t
merupakan
wewenang