TRANSFORMASI KABA KE NASKAH DRAMA STUDI KOMPARATIF KABA MINANGKABAU DAN NASKAH DRAMA MALIN KUNDANG KARYA WISRAN HADI
TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana Strata 2
Magister Ilmu Susastra
Musfeptial A4A005022
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
TRANSFORMASI KABA KE NASKAH DRAMA STUDI KOMPARATIF KABA MINANGKABAU DAN NASKAH DRAMA MALIN KUNDANG KARYA WISRAN HADI
TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana Strata 2
Magister Ilmu Susastra
Musfeptial A4A005022
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
TESIS TRANSFORMASI KABA KE NASKAH DRAMA STUDI KOMPARATIF KABA MINANGKABAU DAN NASKAH DRAMA MALIN KUNDANG KARYA WISRAN HADI
Disusun oleh Musfeptial A4A005022
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Penulisan Tesis pada tanggal
Oktober 2007
Pembimbing Utama
Pembimbing Kedua
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
Drs. Redyanto Noor, M.Hum.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Susastra
Prof. Dr. Nurdien H. Kistanto, M.A.
TESIS TRANSFORMASI KABA KE NASKAH DRAMA STUDI KOMPARATIF KABA MINANGKABAU DAN NASKAH DRAMA MALIN KUNDANG KARYA WISRAN HADI
Disusun oleh Musfeptial A4A005022 Telah Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Tesis pada tanggal 28 November 2007 dan Dinyatakan Diterima
Ketua Tim Penguji Prof. Dr. Nurdien H. Kistanto, M.A.
________________________
Sekretaris Drs. H.Anhari Basuki, S.U.
________________________
Penguji I Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
________________________
Penguji II Prof. Dr.Djuliati Suroyo
________________________
Penguji III Drs. Redyanto Noor, M.Hum.
________________________
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun belum/tidak diterbitkan, sumbernya disebutkan dan dijelaskan di dalam teks dan daftar pustaka.
Semarang,
Oktober 2007
Musfeptial
PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul Transformasi Kaba ke Naskah Drama: Studi Komparatif Kaba Minangkabau dan Naskah Drama Malin Kundang karya Wisran Hadi ini merupakan tugas akhir dalam penyelesaian studi di Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Tesis ini terwujud bukan semata hasil usaha penulis, akan tetapi banyak pihak yang membantu baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Nurdien H. Kistanto, M.A. selaku Ketua Program Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro. 2. Bapak Dr. Dendy Sugono selaku kepala Pusat Bahasa Depdiknas. 3. Bapak Drs. Sukamto, M.Pd. mantan Kepala Balai Bahasa Kalbar dan Drs. Firman Susilo, M.Pd. Kepala Balai Bahasa Kalbar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di
Program
Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro. 4. Bapak Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono selaku pembimbing utama yang dalam kesibukan beliau masih meluangkan waktu untuk membimbing penulis.
5. Bapak Drs. Redyanto Noor, M.Hum. selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan tiada bosan-bosannya memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 6. Para dosen Program Studi Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro. 7. Istri dan anak tercinta (Hanivi Chan, Naufal dan Niken) yang dengan segenap pengertian dan kasih sayang telah menghadirkan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 8. Papa, Cani, Dajang, Daef, Niyen, Nihel, Dajon, Dafir, Dazet, Ena, Adi, dan Apa, Ibu, serta kemenakanda tercinta Hendro, Ega, dan Ersyad. Dua orang yang penulis hormati dan sayangi, Hj. Tinur (Almarhum), Ibunda penulis dan Kakanda Syaiful (Almarhum) yang sangat senang dan bangga ketika penulis bisa melanjutkan pendidikan di Magister Susastra Universitas Diponegoro. 9. Teman-teman Mahasiswa Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro Pak Karyono, Mas Budi, Mas Imam, Mbak Yuli, Bu Eko, Mbak Uni, Mbak Neni, Mbak Vivit, Mbak Ana, Ito’ Nency, Pak Rosyid, Mas Rifki, Mas Aklis, Bu Rukiah,serta Bu Memei yang selalu akrab dalam petemanan. 10. Saudaraku Eli (Balai Bahasa Medan), Sri Sabakti (Balai Bahasa Pakan Baru), Asep (Balai Bahasa Semarang), dan Elis Setiati (Balai Bahasa Palangkaraya) . 11. Mas Dwi, Mbak Ari, dan Rianto yang selalu sabar membantu Mahasiswa dalam hal administrasi.
12. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis hadirkan tesis ini kehadapan pembaca, semoga bermanfaat. Semarang, Oktober 2007
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………
iii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….....
iv
HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………………. v PRAKATA ………………………………………………………………….......
vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
ix
ABSTRAKSI …………………………………………………………………… xi BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang dan Masalah. ………………………………………
1
1.1.1 Latar Belakang ….………………………………………..
1
1.1.2 Rumusan Masalah ………………………………………..
9
1.2 Tujuan dan Manfaat ……………………………………………….
9
1.2.1 Tujuan Penelitian ………………………………………..
9
1.2.2 Manfaat Penelitian ………………………………………
9
1.3 Ruang Lingkup Penelitian …………………………………………
10
1.4 Metode …………………………………………………………….
11
1.4.1 Metode / Pendekatan Penelitian …………………………
11
1.4.2 Metode Pengumpulan Data ……………………………...
11
1.5 Landasan Teori ……………………………………………………
12
1.6 Sistematika Penulisan …………………………………………….
14
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……………………………………….... 14 2.1 Penelitian Sebelumnya ………………………………………………
14
2.2 Sastra Bandingan ……………………………………………………. 20 2.3 Landasan Teori ………………………………………………………
24
BAB III TRANSFORMASI TEKS MALIN KUNDANG ……………………... 30 3.1 Transformasi Bentuk Teks …………………………………………..
30
3.1.1 Transformasi Unsur Teks ………………………………….
40
3.1.2 Analisis Sekuen Cerita …………………………………….
56
3.1.2.1 Sekuen Kaba Malin Kundang …………………………… 56 3.1.2.2 Sekuen Naskah Drama Malin Kundang ……………….... 57 3.1.3 Bagan Transformasi Teks Malin Kundang ……………….
60
3.2 Transformasi Isi Teks ……………………………………………….
68
3.2.1 Tradisi Kepemilikan Harta ………………………………..
69
3.2.2 Tradisi Merantau ………………………………………….
73
3.2.3 Tradisi Perjodohan ………………………………………..
75
3.2.4 Sistem Kekerabatan ……………………………………….
77
3.2.5 Pola Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak ……….
79
3.3 Pengaruh Kaba pada Teks Drama Malin Kundang …………………
80
BAB IV RESEPSI SASTRA WISRAN HADI TERHADAP CERITA MALIN KUNDANG …………………………………………
83
4.1 Perlawanan Tehadap Mitos ………………………………………..
84
4.2 Kritik Terhadap Sistem Matrilineal ……………………………….
89
4.3 Oedipus Kompleks dan Elektra Kompleks ………………………..
95
BAB V SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………
102
5.1 Simpulan ………………………………………………………….
102
5.2 Saran ………………………………………………………………
106
DAFTAR PUSTAKA ………..……………………………………………...
107
ABSTRAK Penelitian ini berjudul Transformasi Kaba ke Naskah Drama : Studi Komparatif Kaba Minangkabau dan Naskah Drama Malin Kundang karya Wisran Hadi. Tujuan penelitian ini untuk melihat transformasi dan resepsi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang. Sesuai dengan tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode perbandingan dan didukung dengan teori resepsi sastra. Dari perbandingan kedua teks ditemukan adanya transformasi dan resepsi terhadap cerita Malin Kundang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa transformasi terjadi pada aspek struktur dan isi teks. Adanya transformasi isi teks menunjukkan adanya resepsi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang
Kata kunci: Transformasi dan resepsi sastra.
ABSTRACT
This research is entitled “The Transformation of Kaba into Drama Script : The Comparative Study of Kaba Minangkabau and The Drama Script of Malin Kundang by Wisran Hadi”. The aim of this research was to describe the transformation of text and the reception by Wisran Hadi toward the story of Malin Kundang. Based on that aim, this research used a comparative method, supported with the theory of literature’s reception. Comparing the two texts resulted in the finding of the transformation and the reception toward the story of Malin Kundang. The result of this research showed that the transformation happenned with the aspect of structure and contain of text. This transformation of the contain of text showed the reception by Wisran Hadi towards the story of Malin Kundang.
Key Words : Transformation and literature’s reception.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Karya sastra dapat dipandang sebagai suatu cerminan realiatas kehidupan. Suatu kenyataan yang melekat pada karya sastra adalah sebuah realitas semu yang sudah diolah dari sebuah observasi, penelaahan, dan penafsiran yang dilakukan seorang pengarang terhadap sesuatu yang dilihat, dihadapi, dan dirasakannnya. Sejalan dengan itu, Junus menjelaskan bahwa realitas pada sebuah karya sastra bukanlah suatu realitas telanjang, yang sahih dan yang semata-mata mewakili relitas konkrit dalam kehidupan (1989:10). Realitas dalam sebuah karya sastra selalu memiliki relasi dengan sesuatu yang lain, baik itu aktivitas sosial masyarakat maupun dinamika yang terjadi dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Damono (2002:1) menjelaskan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi hubungan yang ada antara sastra, sastrawan, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Karya sastra sebagai produk budaya suatu masyarakat selalu berkaitan erat dengan masyarakatnya. Teeuw (1984, 220-221) menguraikan hubungan kenyataan
dengan sastra. Menurut Teeuw, dalam karya sastra terjadi perjalanan bolak balik antara kenyataan dengan khayalan pengarang. Pendapat Teeuw sebenarnya berangkat dari kerangka pemikiran Plato tentang kenyataan dalam karya sastra. Bagi Plato seni yang baik adalah yang tidak bertentangan antara realisme dengan idealisme: seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakikat dari kenyataan itu sendiri. Artinya, seni yang baik menurut Plato harus berangkat dari hakikat sebuah kenyataan. Walaupun
kaum stukturalis sastra
beranggapan bahwa sebuah karya sastra bersifat otonom, bebas dari pengaruh luar, tetapi kenyataan membuktikan bahwa masayarakat, baik pengarang, pembaca, maupun budaya suatu masyarakat, memiliki peranan dalam pengolahan imajinasai dan pengembangan suatu karya sastra. Suatu kenyataan yang melekat pada karya sastra adalah sebuah kenyataan semu yang sudah diolah melalui proses observasi, penelaahan, dan penafsiran yang dilakukan seorang pengarang terhadap sesuatu yang dilihat, dihadapi, dan dirasakannnya. Sejalan dengan itu, Junus menjelaskan bahwa realitas pada sebuah karya sastra bukanlah suatu realitas telanjang, yang sahih dan yang semata-mata mewakili relitas konkrit dalam kehidupan (1989:10). Bahkan pada masyarakat tradisional, gerak laku dan warna sastra sangat mengakar pada kebudayaan. Sebuah karya sastra dapat dianggap milik bersama (komunal) dan karya sastra dapat pula dianggap mewakili kehidupan suatu masyarakat. Kehadiran karya sastra dalam masyarakat yang tradisional tidak dapat
terlepas dari kehidupan dan budaya masyarakat pendukung karya sastra tersebut, sehingga warna lokal dalam sastra lama dengan sangat jelas dapat diamati. Babad, hikayat, kaba, dan, cerita panji merupakan beberapa contoh karya sastra lama yang sarat dengan nuansa lokal (budaya etnik). Dalam perjalanan sastra Indonesia
hal itu juga dapat diamati. Banyak
pengarang dalam mencipta sebuah karya sastra dipengaruhi oleh budaya tempat pengarang itu berasal. Pada masa permulaan Balai Pustaka misalnya, sebagian besar karya yang muncul bernuansa adat Minangkabau. Hal itu disebabkan pada masa itu hampir sebagian besar pengarang Balai Pustaka berasal dari Minangkabau. Salah Asuhan karya Abdul Muis dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli merupakan dua contoh karya yang bernuansa budaya Minang pada masa itu. Pada masa perkembangan sastra selanjutnya, warna budaya yang muncul sangat beragam. Kita bisa melihat adanya warna Jawa dalam novel Sang Priyayi karya Umar Kayam dan Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari. Hal yang sama juga bisa dilihat dari karya Korrie Layun Rampan yang dominan dengan nuansa budaya Dayak (Kalimantan). Bahkan Gerson Poyk seorang pengarang dari Flores, dalam karyakaryanya juga memperlihatkan warna lokal. Hal yang tidak dapat dihindari bahwa kenyataan seorang pengarang juga dibentuk oleh suatu lingkungan budaya. Abdul Hadi WM (melalui Mahayana, 2005:6) menjelaskan bahwa pendekatan dan sikap tradisi dalam karya sastra dapat dikelompokkan dalam tiga kecenderungan (1999:6). Kecenderungan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1)
Pengarang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan dan berkarya. Kelompok ini beranggapan bahwa aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir perlu dipergunakan. Pengarang yang masuk kelompok ini antara lain Putu Wijaya, Arifin C. Noer, dan Sapardi Djoko Damono.
(2)
Pengarang yang penumpukan pada satu budaya daerah saja, seperti Jawa, Minang, Sunda, Melayu Riau dan lain-lain. Pengarang ini berkarya dengan tujuan ingin memberikan corak khas kedaerahan dalam perkembangan sastra Indonesia. Mereka yang masuk kelompok ini antara lain Umar Kayam, Ahmad Tohari, Darmanto Jatman, Suryadi A.G, Ibrahim Sattah, dan Wisran Hadi.
(3)
Mereka yang mengambil tradisi atau agama tertentu sebagai kerangka karyanya. Pengarang yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini adalah Sutardji Calzoum Bahri, D Zawawi Imron, Abdul Hadi WM dan lainlain.
Melihat pola penulisan karya Wisran Hadi, pengelompokan Wisran Hadi ke dalam kelompok kedua seperti di atas, sangat tepat. Sebagai seorang pengarang yang lahir dan besar di lingkungan budaya Minang, karya Wisran Hadi selalu kental dengan warna lokal. Bahkan hampir semua naskah dramanya mengungkapkan permasalahan dan konflik tentang adat Minang. Wisran Hadi tidak hanya terikat dengan tatanan adat yang ada, tetapi berusaha melihat adat Minang dari aspek lain.
Hal itu sangat terlihat pada berbagai karya dramanya, seperti naskah drama Cinduo Mata, Puti Bungsu, Anggun Nan Tongga, Perguruan, Jalan Lurus, Tuanku Nan Renceh, dan Malin Kundang. Keberadaan Wisran Hadi dalam kehidupan kesastraan di Indonesia, khususnya drama, diakui oleh banyak peneliti dan pengkaji sastra. Umar Junus dalam bukunya Mitos dan Komunikasi, panjang lebar mengulas cara penciptaan naskah drama Wisran Hadi yang banyak dipengaruhi oleh cerita kaba Minangkabau. Jakob Sumardjo (1997), dalam bukunya Perkembangan Teater dan Drama Indonesia mencatat bahwa sejak tahun 1975 Wisran Hadi telah ikut meramaikan kehidupan pernaskahan drama di Indonesia. Gaung dan Puti Bungsu merupakan dua (2) judul naskah drama Wisran Hadi yang hadir pada tahun itu.
Wisran Hadi adalah salah
seorang sastrawan Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Padang, Sumatera Barat. Ia menyelesaikan pendidikan seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada tahun 1969. Selain itu, ia juga pernah mengikuti kegiatan International Writing Program (IPW) di Iowa University, USA pada tahun 1977. Serta pernah mengikuti observasi teater dan modern di Amerika pada tahun 1987 dan di Jepang pada tahun 1989. Dalam bidang penciptaan naskah drama, Wisran Hadi banyak mendapat hadiah dan penghargaan sebagai bukti atas eksistensinya dalam dunia sastra. Hadiah dan penghargan yang diperolehnya adalah sebagai berikut.
(1) Dua belas naskah dramanya menjadi langganan juara lomba penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarata dari tahun 1977 sampai dengan 1987; (2) Hadiah Sastra dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atas naskah drama Jalan Lurus tahun 1991; (3) Pada tahun 1995 menjadi Sastrawan terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; (4) Jalan Lurus menjadi naskah drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997; (5) Juara harapan lomba penulisan naskah drama Dewan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998; (6) Pada tahun 2000 menjadi Sastrawan terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; (7) Tahun 2000 naskah drama Empat Orang Melayu menjadi buku drama terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan dinobatkan sebagai buku bacaan pelajar di sekolah menengah; (8) Tahun 2000 mendapat hadiah sastra ASEAN ( The S.E.A. Write Bangkok) atas karyanya yang berjudul Cindu Mato; (9) Dua (2) naskah drama, Nyonya-Nyonya dan Roh menjadi juara harapan lomba penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003;
(10) Tahun 2003 menerimaa Anugerah Seni dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Memunculkan sesuatu yang baru merupakan salah satu ciri teks drama Wisran Hadi. Ia mampu menyuguhkan hal baru yang berakar dari sesuatu yang lama (tradisi) kepada pembaca. Hal itu dapat dicermati pada banyak teks dramanya. Dalam naskah drama Malin Kundang misalnya, Wisran Hadi tidak begitu saja mengikuti pola dan alur penceritaan yang sudah dikenal begitu luas oleh masyarakat sebagai cerita rakyat, yang dilisankan dari mulut ke telinga, tetapi
berusaha membuat sebuah
interpretasi baru terhadap cerita rakyak Malin Kundang. Hal tersebut hampir sama dengan konsep kontramitos yang diungkap oleh
Umar Junus. Bahwa mitos ketika
dilihat dari aspek dan pemahaman yang baru akan memunculkan sebuah kontramitos (Junus, 1981 :74). Berarti Wisran Hadi dengan naskah dramanya telah memunculkan sebuah kontramitos tentang Malin Kundang atau telah membuat sebuah transformasi baru tentang Malin Kundang. Menurut hemat penulis, naskah drama Malin Kundang menarik untuk dianalisis secara transformasi. Pendapat ini didasarkan pada alasan; pertama, naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi memunculkan sebuah interpretasi baru terhadap cerita Malin Kundang. Wisran Hadi berusaha membuat sebuah cerita Malin Kundang dengan corak lain. Ia berusaha membuat cerita naskah drama Malin Kundang dengan latar fenomena sosial masyarakat yang ada pada masa naskah drama ini diciptakan. Naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi tidak
lagi berbicara tentang tokoh Malin Kundang sebagai anak durhaka, tetapi naskah drama Malin Kundang mengungkap konflik yang ada di tengah masyarakat Minangkabau, khususnya konflik adat Minangkabau menghadapi perkembangan zaman. Kedua, naskah drama karya Wisran Hadi ini dipengaruhi oleh bentuk cerita Kaba Minangkabau, yaitu cerita Malin Kundang, Kaba Malin Duano, dan Kaba Puti Bungsu. Seiring dengan pendapat Julia Kristeva tentang intertekstual, bahwa setiap teks merupakan mozaik, serapan, sitiran, dan transformasi dari teks terdahulu, sehingga memungkinkan teks itu menjadi bermakna (melalui Culler, 1981). Begitu juga halnya dengan naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, naskah drama tersebut tidak bisa dipisahkan dengan cerita Kaba Minangkabau yang ada sebelumnya. Pemunculan nama tokoh Puti Bungsu dan Malin Kundang merupakan salah satu bukti adanya keterikatan naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi dengan teks yang ada sebelumnya.
1.1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut.
(1) Bagaimanakah transformasi dari cerita Malin Kundang ke naskah drama Malin Kundang dari segi bentuk dan isi? (2) Bagaimanakah resepsi dan interpretasi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang?
1.2
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis kemukakan di
atas, maka penelitian ini bertujuan mengungkap dan menjelaskan: (1) Transformasi dari cerita
Malin Kundang ke
naskah drama Malin
Kundang dari segi bentuk dan isi; (2) Resepsi dan interpretasi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang.
1.2.2
Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan menghasilkan sebuah naskah yang mendeskripsikan
makna dan struktur, transformasi, serta resepsi dan interpretasi naskah drama Wisran Hadi secara utuh. Sesuai dengan tujuan, penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis yang bisa didapatkan dari hasil penelitian ini adalah pengayaan dan pengembangan menyeluruh tentang telaah transformasi dan resepsi sastra. Manfaat praktis yang bisa diambil pembaca ialah hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan penelitian yang sejenis. Hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk
memperkaya referensi tentang telaah sastra Indonesia, khususnya drama. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan kepada pembaca bahwa naskah drama Malin Kundang adalah sebuah karya sastra yang baru yang terjadi akibat dialog antarteks sastra.
1.3
Ruang Lingkup Penelitian Sebagai seorang penulis naskah drama terkenal dan sangat produktif berkarya,
Wisran Hadi telah menulis naskah drama, antara lain Cinduo Mata, Puti Bungsu, Anggun Nan Tongga, Perguruan, Jalan Lurus, Tuanku Nan Renceh, dan Malin Kundang, dan lain-lain. Dalam tesis ini penulis hanya membandingkan korpus naskah Kaba (cerita) Malin Kundang hasil rekaman dari penutur lisan yang dilakukan oleh “Dara Record Padang” yang sudah ditransliterasi oleh Syamsudin Udin dengan naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi. Kajian juga dibatasi pada analisis struktur, tranformasi yang terjadi pada naskah drama Malin Kundang, serta resepsi sastra dan interpretasi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang.
1.4
Metode
1.4.1
Metode / Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini, adalah pendekatan
perbandingan. Pendekatan perbandingan bertujuan untuk membandingkan naskah
drama Malin Kundang Wisran Hadi dengan kaba Malin Kundang. Dengan pendekatan tersebut diharapkan terlihat korelasi antara naskah drama Malin Kundang Wisran Hadi dengan kaba Malin Kundang. Pendekatan perbandingan diperlukan untuk melihat resepsi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang. Pendekatan tersebut penting untuk digunakan pada penelitian ini, karena dengan menganalisis naskah drama Malin Kundang Wisran Hadi akan dapat diungkap resepsi dan interpretasi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang. Sebagai seorang pembaca teks cerita rakyat Malin Kundang tentunya Wisran Hadi memberikan tanggapan terhadap cerita tersebut dalam naskah dramanya. Reaksi tersebut bahkan bisa memunculkan sebuah transformasi teks oleh pembaca. Transformasi dapat berupa aspek bentuk maupun aspek nilai yang diwariskan (Endraswara, 2003: 122).
1.4.2
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan yang difokuskan pada teks karya sastra drama Wisran Hadi. Langkah-langkah yang penulis lakukan dalam studi kepustakaan adalah membaca dan mencatat. Teks yang dijadikan sumber data dibaca dengan cermat dan teliti untuk mendapatkan berbagai transformasi yang terkandung di dalamnya dan melihat resepsi pengarang terhadap karya yang ada sebelumnya. Langkah kerja dalam penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah mendeskripsikan teks cerita Malin Kundang. Tahap kedua adalah
menguraikan unsur-unsur yang membangun struktur cerita rakyat Malin Kundang dan naskah drama Malin Kundang. Tahap ketiga adalah mengungkap transformasi yang terjadi pada naskah drama Malin Kundang serta mengungkap resepsi sastra Wisran Hadi dalam naskah drama Malin Kundang. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk deskriptif.
1.5
Landasan Teori Kerangka teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini
adalah
resepsi sastra. Secara etimologi resepsi sastra berasal dari bahasa Latin
recipere yang berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca menerima dan memberikan makna karya sastra yang dibacanya, sehinggga dapat memberikan reaksi dan tanggapan terhadapnya (Junus, 1984: 1). Ide tentang resepsi sastra, sebenarnya telah dimulai oleh Mukarovsky dan Vodicka, dengan konsep karya sastra sebagai objek estetis, bukan artefak. Perkembangan yang
sistematis dan teoretis tentang resepsi sastra baru
dimulai sekitar tahun 1960-an di Jerman Barat. Hans Robert Jauzs dan Wolfgang Iser merupakan dua nama yang memperkenalkan dan berjasa dalam bidang teori resepsi sastra. Jauzs (melalui Ampera, 2005: 14) menjelaskan tujuh tesis pemikirannya tentang resepsi sastra, yaitu pengalaman pembaca, horizon harapan pembaca, jarak
estetik, semangat zaman, rangkaian sastra, aspek diakronis dan sinkronis, dan hubungan sejarah sastra dengan sejarah umum.
Berbeda dari Jauss, Iser dalam teorinya tentang resepsi sastra lebih menekankan pada efek dan kesan, yaitu bagimana pembaca menanggapi teks sastra secara langsung. Kajian terhadap reaksi pembaca merupakan hal terpenting sebagai jawaban terhadap teks menurut pandangan Iser. Bahkan Iser perpandangan bahwa karya sastra akan memberikan kesan kepada pembacanya sehingga mampu menghidupkan realitas kehidupan (Iser melalui Junus, 1985:37). Sejalan dengan Iser, Junus dalam bukunya Resepsi Sastra menjelaskan bahwa biasanya pembaca menghubungkan teks sastra dengan pengalamannya sendiri dalam menghidupi suatu realitas karya, sehingga bacaan tersebut selalu berhubungan dengan realitas kehidupan (1985:36). Suatu karya sastra akan menimbulkan kesan tertentu ketika teks sastra tersebut dibaca. Dalam proses pembacaan teks sastra akan terjadi interaksi antara hakikat karya sastra dengan “teks luar” yang sudah ada dalam pikiran pembaca, sehingga teks luar akan memberikan kesan dan nilai yang berbeda pada seseorang ketika membaca teks. Uraian lebih rinci tentang landasan teori resepsi sastra dalam penelitian ini, akan penulis paparkan tersendiri pada bab tinjauan kepustakaan.
1.6
Sistematika Penulisan Laporan Laporan penelitian ini terhimpun dalam lima (5) bab. Bab 1 pendahuluan,
berisi latar belakang dan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup
penelitian, metode dan langkah kerja penelitian, landasan teori, dan sistematika penulisan laporan. Bab 2 kajian pustaka dan landasan teori, meliputi uraian tentang hasil penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini dan uraian mengenai pendekatan sastra bandingan serta uraian teori resepsi sastra. Bab 3
membahas transformasi yang terjadi pada naskah drama
Malin
Kundang karya Wisran Hadi. Bab 4 berisikan analisis resepsi Wisran Hadi sebagai seorang pembaca sekaligus penulis, terhadap cerita rakyat Malin Kundang Bab 5 merupakan bab penutup. Bab ini berisi paparan simpulan dari keseluruhan isi bab-bab sebelumnya dan saran.
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Tinjauan Kepustaaan Sebagai seorang penulis naskah drama terkenal dan sangat produktif berkarya,
Wisran Hadi telah menulis naskah drama, antara lain Cinduo Mato, Puti Bungsu, Anggun Nan Tongga, Perguruan, Jalan Lurus, Tuanku Nan Renceh, dan Malin Kundang, dan lain-lain. Dengan gaya (style) penciptaan karya sastra yang khas, yaitu membentuk formula baru dari sebuah karya sastra, tetapi karya tersebut tetap
berangkat dari akar cerita lama (kaba). Gaya penciptaan karya sastra yang khas tersebut telah mengundang minat para pemerhati dan peneliti sastra untuk membicarakan dan mengkaji naskah drama karya Wisran Hadi tersebut. Di antara peneliti tersebut antara lain Teeuw, Jakob Sumarjo, Umar Junus, Ifan Adila, dan Hasanuddin, WS. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra (1984:367) membicarakan pola penciptaan naskah drama Wisran Hadi. Teeuw menjelaskan bahwa pola penciptaan yang dipergunakan dalam naskah drama Wisran Hadi dengan cara memutar-balikkan isi cerita, sehingga cerita bertentangan dengan cerita sebelumnya. Dalam naskah drama Wisran Hadi terlihat adanya tegangan antara harapan yang diberikan pengarang kepada pembaca dan usaha pengarang untuk memberi makna pada penyimpangan yang secara sadar ia lakukan. Namun demikian, pembicaraan Teeuw tentang pola penciptaan naskah drama Wisran Hadi sebenarnya masih mengutip dan berangkat dari pemikiran yang dilontarkan Umar Junus tentang Wisran Hadi. Jakob Sumarjo, dalam bukunya Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (1997) mencatat bahwa sejak tahun 1975 Wisran Hadi telah ikut meramaikan kehidupan pernaskahan drama di Indonesia . Gaung dan Puti Bungsu merupakan dua judul naskah drama yang memenangi harapan lomba penulisan naskah drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975. Bahkan, Wisran Hadi adalah salah seorang penulis naskah drama yang selalu mendapat hadiah pada lomba yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Umar Junus dalam beberapa buku, di antaranya Mitos dan Komunikasi (1981), Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (1983), dan Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985) juga membicarakan naskah drama Wisran Hadi. Dalam buku Mitos dan Komunikasi Junus membicarakan tentang ceriat Malin Kundang. Dalam buku tersebut Junus mengeritik sikap yang menganggap cerita Malin Kundang sebagai cerita kanak-kanak belaka, seakan-akan kedudukannya telah didegradasi, sehingga cerita Malin Kundang hanya diartikan sebagai pemberian ajaran moral kepada anak. Junus juga memberikan ulasan yang panjang lebar tentang cerita tradisional Minangkabau Malin Kundang. Dia menyimpulkan dua hal, pertama, keinginan pulang tokoh Malin Kundang untuk membanggakan kekayaannya di kampung supaya ibunya juga ikut terhormat. Keinginan Malin Kundang pulang, jelas merupakan bukti kecintaannya pada ibu dan kampung halamannya. Tidak ada unsur melupakan ibu pada diri Malin Kundang. Jadi, persoalannya bukan tidak mau mengakui ibunya, tetapi Malin Kundang tidak lagi mengenal ibunya karena terpisah lama. Si anak di rantau menjadi orang yang kaya dan hidup serba mewah dan membayangkan ibunya masih seperti dulu, waktu dia tinggalkan. Sedangkan si ibu hidup semakin sengsara sehingga menjadi perempuan yang melarat sekali. Akibatnya, si anak menjadi tidak percaya bahwa perempuan tua yang ia temui di Pantai Padang itu adalah ibunya. Kedua, kutukan yang dilakukan ibu merupakan sebuah pembuktian kepada masyarakat bahwa Malin Kundang betul anak si ibu. Walaupun akibat dari kutukan
tersebut si anak berubah menjadi batu. Demitefikasi dan interpretasi seperti yang dilakukan Junus tersebut juga telah dilakukan Wisran Hadi dalam naskah dramanya Malin Kundang (1981: 88). Dalam buku
Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya
Indonesia (1983) juga dibicarakan tentang naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi. Junus berpendapat bahwa naskah drama Puti Bungsu (Wanita Terakhir) (1978) berangkat dari tiga cerita rakyat yang berbeda, pertama Malin Kundang, kedua Malin Deman, dan ketiga Sangkuriang. Dalam buku Resepsi Sastra:
Sebuah Pengantar (1985), Junus masih
membahas tentang naskah drama Wisran Hadi, Puti Bungsu. Junus (1985: 93) mengambil simpulan dari analisisnya tentang naskah drama tersebut, sebagai berikut: (1)
Wisran Hadi melihat adanya empat atau lima cerita yang terpisah, yaitu Malin Kundang,
Malin Dewa, Malin Deman, Malin Duano, dan
Sangkuriang. (2)
Keempat atau kelima cerita tersebut dan diperlakukan Wisran Hadi secara lain dari yang biasa diperlakukan orang. Kesemuanya tidak lagi dilihat sebagai cerita-cerita yang terpisah-terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan.
(3)
Keadaan tersebut terjadi karena fenomena sosio-budaya kini yang memungkinkan untuk melihatnya sebagai suatu kesatuan.
Dengan melihat pada pokok bahasan yang telah dilakukan oleh Junus, maka penelitian ini jelas berbeda dengan apa yang sudah dilakukannya. Junus berangkat dari analisisnya tentang teks drama Puti Bungsu. Bahwa teks drama Puti Bungsu muncul akibat adanya dialog antarteks sastra. Di sini juga terlihat tidak konsistennya Junus memberikan pandapatnya tentang teks cerita yang menjadi tumpuan dalam teks drama Puti Bungsu Wisran Hadi. Pada buku Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (1983) Junus mengatakan bahwa teks drama tersebut memuat tiga cerita rakyat, yaitu Malin Kundang, Malin Deman, dan Sangkuriang, sedangkan pada buku Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985) Junus menjelaskan bahwa naskah drama Puti Bungsu memuat lima cerita rakyat, yaitu Malin Kundang, Malin Dewa, Malin Deman, Malin Duano, dan Sangkuriang. Hal itu tentu akan membingungkan pembaca, mana di antara dua pendapat Junus tersebut yang mendekati kebenaran dari aspek data, apakah teks Puti Bungsu bersumber dari tiga cerita atau lima cerita rakyat. Kajian yang mendalam tentang naskah drama Puti Bungsu (Wanita Terakhir) pernah dilakukan Ifan Adila (1996) berupa tesis di Universitas Gajah Mada dengan judul Puti Bungsu (Wanita Terakhir) Analisis Struktural dan Intertekstual. Analisis yang dalakukan Adila pada tesis tersebut berupa analisis unsur struktur ketiga naskah yang termuat dalam naskah drama Puti Bungsu serta perbandingan antara naskah drama tersebut dengan ketiga cerita tersebut secara interteks.
Hasanuddin, WS. (2003) membicarakan teks drama Wisran Hadi, yang berjudul Anggun nan Tungga Magek Jabang. Cara kerja yang dipergunakan Hasanuddin dalam buku yang berjudul
Transformasi dan Produksi Sosial Teks
Melalui Tanggapan dan Penciptaan Karya Sastra: Kajian Intertekstualitas Teks Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang ini berangkat dari analisis filologi. Pada mulanya ia berusaha memperbandingkan enam (6) naskah
Cerita Anggun nan
Tungga Magek Jabang dalam beberapa episode. Setelah memperbandingkan teks Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang atas episode-episode sesuai dengan pokok cerita,
barulah Hasanuddin menentukan lima (5) teks sambutan. Istilah teks
sambutan dalam penelitian tersebut berarti teks yang menjadi acuan atau tumpuan (hipogram). Setelah itu barulah Hasanuddin memperbandingkan antara teks sambutan dengan teks penyambut, dalam hal ini teks drama Cerita Anggun nan Tungga Magek Jabang karya Wisran Hadi. Dari cara kerja dan analisis yang dilakukannya, penelitian tersebut adalah penelitian
intertekstualitas, karena dari segi analisis berusaha
memperbandingkan antara teks sambutan dengan teks penyambut. Melihat hasil penelitian seperti yang diuraikan di atas, maka penelitian yang khusus membicarakan teks cerita Malin Kundang secara utuh belum pernah dilakukan, setidaknya dengan teori dan pendekatan yang sama dengan yang penulis lakukan. Penelitian ini berusaha melihat perbandingan antara kaba Malin Kundang dengan teks drama Malin Kundang sehingga terlihat adanya sebuah transformasi teks cerita Malin Kundang. Selain itu, penelitian ini juga melihat bagaimana resepsi sastra
Wisran Hadi sebagai seorang pembaca (penikmat untuk sastra lisan) sekaligus sebagai penulis terhadap cerita rakyat Malin Kundang.
2.2
Sastra Bandingan Sastra bandingan merupakana salah satu dari sekian banyak pendekatan yang
ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh Sante-Beuve dalam sebuah artikelnya yang terbit tahun 1868 (Damono, 2005: 14). Dalam artikel tersebut dijelaskannya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhan terhadap pendekatan perbandingan terjadi ketika jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun 1921. Wellek & Waren (1990: 47) menjelaskan bahwa istilah sastra bandingan dalam praktiknya menyangkut tiga masalah. Ketiga masalah tersebut sebagai berikut. Pertama, istilah sastra bandingan dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat tersebut masuk ke dalam penulisan sastra yang lebih artistik. Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Pendekatan ini dipelopori oleh ilmuan Prancis yang dipimpin oleh Fernand Baldensperger. Kelompok ini berusaha menganalisis citra dan konsep pengarang tertentu, serta faktor penerjemahan dan faktor penerimaan (receving factor) – suasana khusus dan situasi sastra tempat karya pengarang asing diimpor. Penelitian kelompok ini membuktikan bahwa kesusastraan Eropa Barat membentuk suatu kesatuan sastra. Ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan studi dan telaah sastra menyeluruh. Jadi, sastra bandingan sama dengan sastra dunia, sastra umum, atau sastra universal. Istilah sastra dunia memang terlalu muluk dan menyisaratkan bahwa yang harus dipelajari adalah sastra yang ada pada lima benua. Namun demikian, maksud dari istilah sastra dunia adalah bahwa pada
suatu saat semua kesusastraan tiap negara memainkan peran tersendiri dalam konsep dan perkembangan sastra dunia.
Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut bersepakat bahwa sastra bandingan harus bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan sastra satu negara dengan sastra negara lain. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, muncul kritikan terhadap pandangan yang dianut oleh kedua mazhab. Kedua mazhab sepertinya tidak memperhatikan kondisi sebagian besar negara Asia yang memiliki keragaman bahasa dan budaya. Indonesia, misalnya,
satu suku dengan suku yang lain memiliki
perbedaan dari segi bahasa dan budaya. Nada (melalui Damono, 2005: 5) menjelaskan bahwa perbedaan bahasa merupakan faktor penentu dalam sastra bandingan. Bahkan Nada berkesimpulan bahwa membandingkan sastrawan Arab AlBuhturin dengan penyair Syaugi bukanlah kajian bandingan karena kedua sastrawan tersebut berangkat dari bahasa dan budaya yang hampir sama, yaitu Arab. Hal tersebut mengisyaratkan juga bahwa membandingkan sastra Melayu Riau dengan sastra Semenanjung Melayu bukanlah termasuk dalam bidang kajian sastra
bandingan. Bertolak dari pendapat Nada di atas, maka membandingkan antara sastra Jawa dengan sastra Sunda merupakan kajian sastra bandingan. Begitu juga halnya dengan membandingkan antara sastra daerah, misalnya sastra Minang dengan sastra Indonesia merupakan kajian sastra bandingan, karena kedua sastra tersebut memilikli bahasa yang berbeda. Berangkat dari argumen di atas, maka membandingkan kaba Malin Kundang yang menggunakan medium bahasa Minangkabau dengan naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi yang menggunakan medium bahasa Indonesia tentu juga termasuk ke dalam ranah penelitian sastra bandingan, karena kedua genre tersebut menggunakan medium bahasa yang berbeda. Dalam sastra bandingan, perbedaan dan persamaan yang ada dalam sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang dibandingkan adalah kejadian sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style, perangkat evolusi budaya, dan sebagainya (1990: 13). Remak lebih jauh juga memberikan batasan tentang objek sastra bandingan. Menurut Remak, yang menjadi objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional dan karya sastra dunia (adiluhung). Pendapat ini dibantah oleh Damono. Menurut Damono, karya apa pun boleh dibandingkan asalkan ditulis dengan bahasa yang berbeda. Bahkan menyimpulkan pendapat Damono (2005) bahwa ketika seorang pengarang menulis dalam lebih dari satu bahasa, seperti Rabindranath Tagore yang menulis karya sastra dalam dua bahasa, yaitu Inggris dan Benggali atau salah seorang pengarang Indonesia, Ajib Rosidi yang menulis sebuah
cerita dalam versi Sunda dan Indonesia tentu hal itu bisa dijadikan objek sastra bandingan selama pengarang tersebut menulis dalam dua bahasa yang berbeda, dengan dasar bahwa seorang pengarang mampu melakukan perjalanan ulang-alik antara dua kebudayaan. Namun demikian, yang terpenting dari kajian sastra bandingan
adalah
bagaimana
seorang
peneliti
mampu
menemukan
serta
membandingkan kekhasan sastra yang dibandingkan (Noor, 2006: 1).
2.3
Landasan Teori Pemahaman yang lebih luas, resepsi sastra dapat diartikan sebagai pengolahan
teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya (Ratna, 2004:165). Reaksi yang diberikan pembaca dapat bersifat positif maupun negatif. Reaksi yang bersifat positif, mungkin pembaca akan merasa senang dan memberi reaksi dengan perasaannya. Sebaliknya, reaksi negatif, mungkin pembaca akan merasa kesal , bahkan antipati terhadap teks karya sastra. Pembaca dalam teori resepsi sastra dapat dikelompokkan menjadi pembaca biasa dan pembaca ideal. Junus menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembaca biasa adalah pembaca dalam arti sebenarnya, yang mambaca karya sastra sebagai karya sastra, sedangkan pembaca ideal adalah pembaca yang memiliki tujuan tertentu ketika membaca sebuah karya sastra (1985: 52). Tujuan tersebut memberikan celah kepada pembaca untuk memberikan reaksi dari yang telah dibacanya. Reaksi dari pembacaan tersebut pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan teks sastra.
Dalam arti yang lebih luas resepsi sastra dapat didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadap karya sastra oleh pembaca. Ide tentang resepsi sastra, sebenarnya telah dimulai oleh Mukarovsky dan dengan konsep karya sastra sebagai objek estetis, bukan artefak. Bagi Mukarovsky pembaca merupakan pusat pemberian makna terhadap sebuah teks sastra. Bahkan menurutnya, dalam seni bukanlah hasil yang penting, tetapi proses pemberian makna terhadap seni tersebut merupakan hal yang lebih penting. Pembaca sebagai subjeklah yang akan memberikan makna terhadap seni tersebut (Mukarovsky melalui Teeuw, 1984: 188-189). Ide Mukarovsky tersebut dikembangkan dan disempurnakan oleh seorang muridnya bernama Velix Vodicka. Konsep yang terpenting dari Vodicka adalah kongkretisasi. Konsep Vodicka tentang kongkretisasi berangkat dari kerangka pemikiran seorang ahli sastra Roman Ingarden. Ingarden berpendapat bahwa karya sastra tidak pernah lengkap menciptakan dan menggambarkan sebuah kanyataan. Dalam hal ini ia menyebut ada Unbestimmtheisstelen, yang berarti tempat tidak tertentu atau kosong, hal-hal yang tidak terisi oleh karya sastra dan pengisian tempattempat yang kosong tersebut terserah kepada pembacanya. Bagi Ingarden kebebsasan pembaca mengisi ruang yang kosong tersebut sangat terbatas, dibatasi oleh struktur karya sastra. Lain halnya pendapat Vodicka, baginya kebebasan yang luas bagi pembaca merupakan hal yang penting. Baginya kebebasan pembaca lebih besar. Masyarakat pembacalah yang menikmati, menafsirkan, mengevaluasi secara estetis
karya tersebut sehingga mencapai realisasi sebagai objek estetis (Abdullah, 1994: 149). Makna karya sastra harus berangkat dari proses konkretisasi yang diadakan terus menerus oleh lingkungan pembaca yang susul menyusul dalam waktu atau berbeda-beda menurut situasinya (Vodicka dalam Teeuw, 1984: 192). Sebuah karya sastra selalu dapat dimaknai pada masa tertentu, tempat, dan waktu tertentu dengan pemaknaan yang baru pula. Yang terpenting dalam resepsi sastra adalah studi kongkretisasi
Bahkan Vodicka (melalui Junus, 1984: 31) menjelaskan
idenya
tentang hal yang berkaitan dengan penerimaan karya sastra oleh pembaca. Menurut Vodicka, ada empat penerimaan sebuah karya sastra oleh pembaca, sebagai berikut. 1. Rekonstruksi kaidah sastra dan kompleks anggapan tentang sastra suatu masa. 2. Rekonstruksi sastra suatu masa, misalnya mengenai kelompok karya sastra yang menjadi objek penilain yang ada ketika itu. 3. Studi tentang kongkretisasi karya sastra . 4. Studi tentang pengaruh dan kesan suatu karya sastra dalam masyarkat sastra dan masyarakat yang lebih luas. Perkembangan yang
sistematis dan teoretis tentang resepsi sastra baru
dimulai sekitar tahun 1960-an di Jerman Barat. Hans Robert Jauzs dan Wolfgang Iser merupakan dua nama yang memperkenalkan dan berjasa dalam bidang teori resepsi sastra. Jauzs lebih menekankan telaahnya pada bagaimana suatu karya sastra diterima pada suatu tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu atau horizon tertentu yang diharapkan ( melalui Junus, 1984: 33). Dengan demikian, hanya dengan
penerimaan yang baik oleh pembaca maka karya sastra akan tetap berkembang. Rersepsi sastra merupakan reaksi pembaca terhadap karya sastra. Dalam pemahaman yang lebih luas resepsi sastra dapat diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya (Ratna, 2004:165). Pembaca dalam teori resepsi sastra dapat dikelompokkan menjadi pembaca biasa dan pembaca ideal. Junus (1985: 52) menjelaskan bahwa
yang dimaksud
dengan pembaca biasa adalah pembaca dalam arti sebenarnya yang membaca karya sastra sebagai karya sastra, sedangkan pembaca ideal adalah pembaca yang memiliki tujuan tertentu ketika membaca karya sastra. Tujuan tersebut memberikan celah kepada pembaca untuk memberikan reaksi dari yang telah dibacanya. Reaksi dari pembacaan tersebut pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan teks sastra. Biasanya pembaca akan memanfaatkan kode-kode tertentu, seperti kode budaya dan bahasa untuk membantu memaknai sebuah karya sastra. Untuk mengetahui reaksi pembaca terhadap karya sastra, penelitian resepsi sastra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, peneliti langsung menanyakan reaksi pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya. Penelitian seperti ini biasanya dilakukan dengan cara wawancara atau menyebarkan koesiner; kedua, peneliti dapat menyelidiki resepsi sastra pembaca melalui kemunculan karya sastra yang sejenis dari pengarang yang muncul kemudian.
Seiring dengan dua cara penelitian resepsi sastra seperti yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini berangkat dari cara kerja yang kedua, yaitu peneliti berusaha melihat resepsi sastra pembaca, dalam hal ini Wisran Hadi
melalui
kemunculan naskah drama Malin Kundang. Penelitian ini juga memfokuskan analisis dengan menggunakan dua dari empat cara penerimaan karya sastra oleh pembaca yang dikemukakan oleh Vodicka, sebagai berikut. 1. Rekonstruksi sastra suatu masa, misalnya mengenai kelompok karya sastra yang menjadi objek penilain yang ada ketika itu. 2. Studi tentang pengaruh dan kesan suatu karya sastra dalam masyarakat sastra dan masyarakat yang lebih luas.
Rekonstruksi sastra pada suatu masa, dalam hal ini cerita rakyat Malin Kundang telah memunculkan konstruksi baru tentang cerita Malin Kundang oleh pengarang berikutnya. Interpretasi tersebut sangat
beragam bahkan ada yag
menyimpang dari cerita asalnya. Namun, harus diakui bahwa cerita lama seperti cerita kaba Malin Kundang secara ide cerita memiliki pengaruh di tengah masyarakat pembaca untuk memunculkan karya berikutnya. Naskah drama
Malin Kundang
karya Wisran Hadi merupakan salah satu dari sekian fakta bahwa karya sebelumnya memiliki pengaruh terhadap kemunculan karya selanjutnya. Bahkan Junus dalam bukunya Fiksi dan Sejarah: Suatu Dialog menjelaskan bahwa adanya pengaruh sastra lama dalam sastra modern setidaknya disebabkan oleh dua hal (1989: 58), yaitu,
1. Keinginan untuk memunculkan suatu karya yang berbeda dari suatu karya yang ada pada masa dulunya; 2. Adanya anggapan bahwa sastra “lama” tidak dapat menangkap realitas hari ini, atau tidak sesuai dengan realitas yang ada hari ini.
BAB 3 TRANSFORMASI TEKS MALIN KUNDANG
3.1
Transformasi Bentuk Teks Untuk melihat transformasi bentuk yang terjadi pada teks Malin Kundang,
maka perbandingan unsur-unsur yang ada pada kedua teks Malin Kundang menjadi sangat penting dilakukan. Unsur-unsur yang diperbandingkan pada kedua teks Malin Kundang meliputi alur, tema, tokoh, dan latar. Dari perbandingan keempat unsur tersebut akan terlihat hakikat transformasi bentuk teks dari kaba Malin Kundang ke teks drama Malin Kundang. Naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi ditulis pada tahun 1978. Naskah drama ini terdiri atas lima (5) babak. Namun, dalam naskah drama Malin Kundang Wisran Hadi tidak menggunakan istilah babak, tetapi menggunakan istilah putaran. Penggunaan istilah putaran mungkin memberikan interpretasi bahwa Wisran Hadi terpengaruh dengan istilah putaran yang digunakan dalam teater tradisional Minangkabau yaitu randai. Permainan randai biasanya dibawakan oleh banyak orang dengan cara membuat lingkarang. Sambil berjalan, mereka melakukan gerakan pencak silat dengan langkah maju dan mundur. Ada kalanya mereka bernyanyi secara serentak sambil memukulkan tangan ke paha, sehingga memunculkan irama tersendiri. Semua gerakan pencak silat tersebut mereka lakukan dituntun dengan abaaba oleh salah seorang dari mereka. Salah satu gerakan randai yang terpenting adalah
memperkecil lingkaran. Hal itu bertujuan mengantar lakon ke dalam lingkaran untuk memerankan adegan kaba. Setelah lakon berada dalam lingkaran, anggota randai kembali memperbesar lingkaran. Demikian juga hanya setelah lakon melakukan dialog, anggota randai akan kembali memperkecil lingkaran untuk menjemput tokoh yang berada dalam lingkaran dan kembali masuk ke lingkaran randai. Selama dialog berlangsung anggota randai hanya berdiam pada lingkaran. Begitulah seterusnya, hingga sebuah kaba selesai ditampilkan. Lingkaran randai berfungsi sebagai pengantar lakon pada babak berikutnya . Navis (1984: 275) menjelaskan bahwa dalam randai lingkaran menjadi sangat penting karena dalam lingkaran para lakon memainkan perannya masing-masing. Hal yang hampir sama juga dapat dilihat dalam naskah drama Wisran Hadi. Kalimat pengantar masing-masing putaran tetap dimulai dengan teks penunjang : koor datang dan bergerak melingkar. Dari analisis terlihat bahwa penciptaan latar dalam naskah drama Malin Kundang, Wisran Hadi dipengaruhi oleh formula pertunjukan randai. Melihat judulnya, jelas sekali bahwa kahadiran naskah drama ini diilhami dari Kaba Malin Kundang, cerita rakyat Minangkabau. Naskah drama Malin Kundang terdiri atas dua bagian, yaitu teks utama dan teks penunjang. Luxemburg (1986: 166) menyebut teks penunjang dengan istilah teks samping. Pada babak pertama, teks utama berisi dialog antara Ayah Malin Kundang dengan Ibu Malin Kundang. Dialog berkisar tentang ketersinggungan Ayah Malin Kundang karena rumah yang mereka bangun digadaikan oleh mamak (paman) Malin
Kundang, saudara laki-laki ibu, sebagai jaminan pinjaman di bank. Ketersinggungan tersebut membuat Ayah Malin Kundang pergi dari rumah karena merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh paman. Ketika mau meninggalkan rumah yang telah digadaikan tersebut tokoh ayah mangajak ibu untuk ikut serta meninggalkan rumah, tetapi ibu menolak karena ibu meyakini suatu saat rumah itu akan kembail padanya. Kepergian ayah merupakan salah satu bentuk protes yang dilakukan ayah terhadap keputusan paman yang dengan semena-mena menggadaikan rumah yang telah mereka bangun. Teks penunjang pada babak pertama berisi tentang pengantar setting panggung dan gambaran suasana kegelisahan. Suasana kegelisahan yang ditonjolkan pada teks penunjang ini sangat erat kaitannnya dengan dialog yang terjadi pada babak pertama. Teks utama pada babak kedua adalah dialog antara tokoh Malin Kundang dan Ibu. Dialog berisi seputar pertanyaan Malin Kundang tentang asal-usul ayahnya. Tokoh ibu hanya menyatakan bahwa bapak Malin Kundang pergi karena menjaga harga dirinya sebagai seorang suami dan seorang ayah. Dalam dialog si ibu tidak mau memberi tahu siapa ayah Malin Kundang. Tokoh Malin Kundang akhirnya pergi sendiri mencari ayahnya. Teks penunjang pada bagian babak kedua berisi tentang pengaturan setting pentas dan prolog yang mengisyaratkan bahwa tokoh Malin Kundang sudah dewasa.
Babak ketiga, teks utama berisi tentang kembalinya Malin Kundang dari rantau setelan mencari ayahnya, tetapi ia tidak menemukannya. Selain itu, dari rantau Malin Kundang juga membawa seorang wanita yang kelak dijadikan istrinya. Sedangkan teks penunjang pada babak ketiga berisi tentang pengaturan setting dengan latar gelombang laut yang makin lama makin melemah. Gelombang laut yang makin lama makin melemah ini sangat mendukung untuk membangun suasana berlabuhnya kapal Malin Kundang. Pada babak keempat, teks utama adalah dialog antara Malin Kundang dan Ibu; antara Malin Kundang dan Wanita; serta dialog antara Ibu dan Wanita. Dialog tersebut berkisar tentang kecemburuan tokoh ibu kepada wanita. Hal itu disebabkan oleh masa lalu tokoh ibu - tokoh ibu takut kehilangan Malin Kundang karena sebelumnya ibu telah kehilangan tokoh ayah. Teks penunjang pada babak kempat berisi pengantar setting pentas, yaitu Malin Kundang dan Malin Kundang berbimbingan tangan. Teks utama pada babak kelima berisi dialog antara penyair dan dengan Malin Kundang. Dialog berisi tentang masa lalu penyair yang kelam. Ia terpaksa hidup dipanti asuhan karena ditinggal pergi oleh kedua orang tuannya. Kemudian diketahui bahwa Malin Kundang adalah ayah dari penyair,
dan wanita yang kemudian
diketahui bernama Puti Bungsu adalah ibu dari penyair. Teks penunjang pada babak kelima berisi penjelasan tentang pengaturan pentas. Di samping itu, teks penunjang
pada babak kelima ini juga berisi pengantar tentang kehadiran seorang penyair yang mencari masa lalunya. Berbeda dengan bentuk teks naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, secara umum Kaba Malin Kundang dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka kaba, bagian isi kaba yang di dalamnya terdapat cerita, dan bagaian penutup kaba. Bagian pembuka kaba dan penutup kaba Malin Kundang berupa pantun. Hal itu sepertinya berlaku lazim bagi semua Kaba Minangkabau. Navis (1984:247) menjelaskan bahwa pada umumnya setiap kaba dibuka dengan pantun dan ditutup pula dengan pantun. Bagi seorang tukang kaba (tukang cerita), pantun pembuka dan pantun penutup sebuah kaba sangatlah bervariasi. Dari satu tempat pertunjukan ke tempat pertunjukan lainnya dengan motif cerita yang sama, maka pantun yang ditampilkan oleh tukang kaba sangatlah beragam dan hal tersebut merupakan salah satu kelebihan dari sastra lisan, tukang cerita sekaligus berperan sebagai kreator cerita. Bentuk-bentuk pantun yang lazim digunakan oleh tukang kaba, antara lain sebagai berikut. Kaik-bakaik rotan sago, takaik di aka baha; dari langit tabarito, tibo di bumi jadi kaba. Antah sapek antah rumbio, kok sapek runduk-rundukan, rundukan ka sawah suduik, padi sarumpun jo ilalang, rang tanam di tapi koto;
antah dapek antah ko tido, kok tak dapek tolong tunjukkan, kaji lah lamo tak baulang, jalan lah lamo tak batampuh, kok banyak garan nan lupo. Terjemahannya: Kait berkait rotan saga, terkait di akar bahar; dari langit terberita, tiba di bumi jadi kabar. Entah sepak entah rumbia, jika sepak runduk-rundukkan, rundukkan ke sawah sudut, padi serumpun dengan hilalang, orang tanam di tepi koto; entah dapat entah tidak, jika tidak dapat tolong tunjukkan, kaji sudah lama tidak diulang, jalan sudah lama tidak ditempuh, entah banyak yang sudah lupa. Atau seperti, Banda urang kami bandakan. padi tahampa di pamatang, dirambah daun jarami; kaba urang kami kabakan, antah talabih antah takurang, kok salah mintak diubah. Terjemahnnya: Bandar orang kami bandarkan, padi terhampar di pematang, dirambah daun jerami; kabar orang kami kabarkan, entah terlebih entah terkurang, kalau salah minta diubahi.
Atau seperti ini, Ramilah pakan Tujuh Koto, rami nan sadang tangah hari; dikambang kaba curito lamo, untuang parintang-ritang ati. Terjemahannya: Ramilah pekan Tujuh Koto, ramai di kala tengah hari, dikembang cerita lama, untuk perintang-rintang hati (Navis, 1984: 247-248). Pada Kaba Malin Kundang pantun pembuka yang digunakan oleh tukang cerita sebagai berikut. Nan kelok bakelok ujuang tali, ujuang tali pangabek paga, antah takabek antah tidak; kelok bakelok ujuang nyanyi, ujuang nyanyi masuk ka kaba, antah ka dapek tidak. Kapa lulito dari tangah, ci potong di ateh batu; kaba curito nan didanga, bohoang urang tukang kaba ndak tau. (KMK: 1) Terjemahannya: Kelok-berkelok ujung tali, ujung tali pengikat pagar; entah terikat entah tidak; kelok-berkelok ujung nyanyi, ujung nyayi masuk ke kaba, entah akan dapat entah tidak Kapal lulita dari tengah, sipotong di atas batu; kabar cerita yang didengar,
orang bohong kami tidak tahu. Adapun pantun yang digunakan untuk menutup cerita Malin Kundang oleh tukang kaba (cerita) adalah sebagai berikut.
Anyuiklah bamban dari ulu, takotak-kotak dari tapian; sahinggo iko carito daulu, kok untuang jadi palajaran.(KMK: 48) Terjemahannya: Hanyutlah bamban dari hulu, terkotak-kotak dari tepian; sampai di situ cerita dahulu, mudah-mudahan jadi pelajaran. Bagian isi cerita Kaba Malin Kundang disampaikan oleh tukang kaba (cerita) dengan corak prosa berirama. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. Aso ilang duo tabilang, kok untuang barasaki di rantau urang, den jajak baliak tanah Minang, supayo kok lah tuo mande den sanang.. Lah bulek aia ka pambuluh, niek di ati marantau sabana sungguh, kini dakek isuak ka jauh, bacarai jo mande (o) ati ancua luluah (ai) (KMK: 3). Terjemahannya: Satu hilang dua terbilang, jika berezeki di rantau orang, saya jejak kembali tanag Minang, supaya di hari tua ibuku senang. Telah bulat air ke pembuluh, niat merantau kuat sungguh,
kini dekat besok akan jauh, meninggalkan ibu hati hancur luluh.
Dari segi bahasa yang digunakan juga terjadi transformasi. Pada kaba Malin Kundang medium bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau. Idiom-idiom yang digunakan merupakan idiom yang ada dalam ranah bahasa Minangkabau yang biasa digunakan oleh penuturnya. Dengan demikian, bagi penikmat sastra yang berasal dari luar etnis Minangkabau tentu akan sulit untuk memahami dan isi teks secara keseluruhan. Ditambah lagi dengan kecenderungan bahasa yang digunakan berbentuk majas tentu akan menambah sulit untuk memahaminya. Namun demikian, secara ide cerita semua orang akan mengetahui cerita Malin Kundang karena cerita rakyat ini hampir dikenal oleh seluruh etnis di Indonesia. Kiasan tersebut seperti, Pipi nan bagai pauh dilayang, sangguanyo bulek bagai bintang, jangeknyo kuniang co paneh patang (KMK: 12). Terjemahnya: Pipi nan bagai pauh dilayang, saggulnya bulat bagai bintang, kulitnya kuning bak panas petang.
merupakan ungkapan yang khas dan sering digunakan dalam bahasa Minangkabau maupun dalam bahas Melayu. Tidak demikian halnya dengan naskah drama Malin Kundang, medium bahasa yang digunakan adalah adalah bahasa Indonesia. Karena menggunakan medium bahasa Indonesia, maka idiom bahasa yang digunakan adalah idiom bahasa
Indonesia. Walaupun masih menggunakan latar Minangkabau, kesan sebuah hasil kreativitas sastra modern sangat tampak pada naskah drama Malin Kundang. Ayah : Kepalamu lebih keras dari beton rumah ini! Ibu : Pikiranmu lebih pendek dari ukurannya Ayah : Cukup penghinaan terhadapku
Dialog yang bernuansa perdebatan antara tokoh ayah dan ibu, seperti di atas sangat jarang dan bahkan tidak pernah dipergunakan dalan ranah bahasa Minangkabau. Masyarakat Minangkabau dalam mengungkapkan rasa emosional biasanya menggunakan bahasa berkias. Dari segi bercerita, jelas terjadi sebuah tranformasi. Kaba Malin Kundang merupakan cerita lisan yang disampaikan secara lisan dari mulut ke telinga. Di sini peran tukang cerita sebagai seorang kreator cerita sangat dominan. Tukang cerita berusaha memaparkan sifat dan karakter tokoh dengan gaya bercerita. Di dalam teks drama Malin Kundang, tidak ada tukang cerita yang berperan sebagai penggerak cerita. Gerak cerita sangat ditentukan oleh tokoh-tokoh fiksi yang ada dalam cerita. Peristiwa tidak lagi diceritakan tetapi dialog antartokoh yang ada memaparkan sebuah cerita.
3.1.1
Transformasi Unsur Teks
Alur yang digunakan pada naskah drama Malin Kundang adalah alur flashback atau sorot balik. Hal itu terlihat dari urutan alur pada naskah drama Malin Kundang. Alur yang dimunculkan tidak berurutan, bahkan cenderung memunculkan konflik di awal cerita, yaitu pada bagian awal babak pertama. Konflik yang dimunculkan pengarang ada naskah drama berawal dari perdebatan antara ayah dan ibu Malin Kundang tentang rumah yang digadaikan oleh mamak (paman). Akibat dari konflik tersebut, tokoh ayah pergi dari rumah dan sekaligus meninggalkan ibu dan Malin Kundang. Hal iitu dapat dilihat dari kutipan dialog antara tokoh ayah dan ibu berikut ini.
Ayah Ibu Ayah
Ibu
Ibu Ayah
: Apa artinya, kalau rumah telah digadaikan. : Sesaat nanti, kita akan memiliki kembali. :Dan kapan itu akan terjadi istriku. Dapatkah mamaknya Malin Kundang perpikir begitu? Mereka telah menggadaikan rumah kita, untuk jaminan pinjaman dari bank. Kepastian apa yang dapat kita pegang dari spekulasi dagang, yang kini mereka. :Dari segi lain kita telah menghindarkan penjara. Mereka terjepit dalam hutang yang banya. Apakah kita akan membiarkannya? Yah…, katakanlah aku telah terlanjur. Ayah : Kenapa rumah digadai sewaktu pemiliknya pergi. Kenapa tidak dibiarkan mereka menanggung akibat sendiri. Bila Malin Kundang dewasa kelak, kau tahu apa arti pemalsuan tanda tangan baginya? : Bagaimana aku tahu tentang yang akan datang? :Memang kau tidak akan pernah tahu, bagaimana hatiku mendidih didepan penghinaan secara adat dan hak pribadi. Memang kau tidak akan pernah tahu, bagaimana aku nanti menatap Malin Kundang setelah dikatahuinya, ayahnya sendiri tidak berdaya di depan penghinaan. Ikuti aku sekarang, kalau kau masih menjadi seorang istri. Tidak ada alasan bagimu bagimu bertahan di sini (DMK: 1-2).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa pada bagian awal naskah drama pengarang telah memunculkan sebuah konflik yang sangat berpengaruh pada jalan alur selanjutnya. Dari lima babak naskah drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, dapat disusun urutan alur sebagai berikut, yaitu (1) babak pertama, konflik antara ibu dengan ayah yang berakibat perginya ayah dari rumah; (2) babak kedua, setelah dewasa Malin Kundang berusaha mencari ayahnya; (3) babak ketiga, Malin Kundang tidak bertemu dengan ayahnya, tetapi ia pulang membawa seorang wanita; (4) babak keempat, dialog antara Malin Kundang, Ibu, dan wanita; (5) babak kelima, Malin Kundang dan Puti Bungsu bertemu dengan seorang penyair dan kemudian diketahui adalah anak mereka sendiri yang dulunya mereka titipkan di panti asuhan. Lain halnya dengan Kaba Malin Kundang. Alur yang digunakan pada Kaba Malin Kundang adalah teknik penceritaan maju atau progresif. Peristiwa-peristiwa dikisahkan secara runtut dan bersifat kronologis dari awal hingga akhir cerita. Pada teks kaba Malin Kundang, cerita dimulai dengan kisah tokoh Malin Kundang
waktu kecil. Di waktu kecil, Malin Kundang sudah ditinggal oleh
Bapaknya karena meninggal dunia, sehingga Malin Kundang hanya diasuh oleh ibunya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ibu Malin Kundang terpaksa bekerja mencari kayu di kaki Gunung Padang. Setelah Malin Kundang dewasa, ia ingin untuk merantau dengan tujuan ingin merubah nasib keluarganya, ia sangat berkeinginan untuk membahagiakan ibunya.
Keinginan Malin Kundang untuk merantau dengan berat hati dikabulkan oleh ibunya. Kebetulan pada saat itu ada kapal besar yang sedang berlabuh di Pantai Padang, maka atas izin nakhoda kapal,
Malin Kundang diizinkan untuk ikut berlayar. Dalam
pelayaran, nakhoda bertanya kepada Malin Kundang kemana tujuanya merantau. Malin Kundang menjawab bahwa ia tidak mengetahui kemana tujuannnya. Hal ini mengakibatkan nakhoda kasihan pada Malin Kundang dan menerima Malin Kundang sebagai anak buah kapal. Hingga akhirnya mereka berlayar ke daerah Bugis, kampung halaman nakhoda. Sampai di Bugis, Malin Kundang dibawa kerumahnya oleh nakhoda dan dikenalkan dengan anaknya Ambun Sori. Selama menjadi anak buah kapal Malin Kundang dibimbing bekerja dan berniaga oleh nakhoda. Karena Malin Kundang memang memiliki bakat, maka
ia dipercaya sebagai pembantu
nakhoda sekaligus pengendali dalam berniaga. Pada suatu pelayaran ayah Ambun Sori sakit dan meninggal dunia sehingga mayatnya harus dibuang ke laut. Sampai di Bugis Malin Kundang segera menyampaikan berita duka kepada Ambun Sori. Ambun Sori sedih karena menjadi yatim piatu, karena sejak kecil Ambun Sori sudah ditinggal oleh ibunya karena meninggal dunia. Malin Kundang mencoba membujuk dan atas amanat nakhoda, Malin Kundang menikahi Ambun Sori. Setelah lama di rantau, timbul kerinduan akan kampung halaman dalam diri Malin Kundang. Ditemani oleh Ambu Sori, maka berlayarlah kapal Malin Kundang dari tanah Bugis ke kampung halamannya, Padang. Selang beberapa hari, sampailah
kapal Malin Kundang di Muara Padang. Di Muara Padang orang heran dan kagum menyaksikan Malin Kundang telah menjadi nakhoda kapal. Berita tersebut disampaikan orang
kepada bunda Malin Kundang Dan serta-merta bundanya
mendatangi kapal Malin Kundang. Melihat kedatangan ibu tua bungkuk, miskin, dan kumal, Malin Kundang menolaknya. Bahkan sempat menendang ibu tua tersebut. Ibunya berusaha menyadarkan Malin Kundang dengan menunjukkan tanda-tanda di tubuhnya. Bahkan Ambun Sori berusaha menyadarkan Malin Kundang dan kalau benar itu ibu Malin Kundang, Ambun Sori mau menerimanya. Akan tetapi, Malin Kundang tetap mencerca. Malin Kundang menjadi anak durhaka. Ibu Malin Kundang pulang ke rumah dengan rasa sedih. Kapal Malin Kundang pun berangkat meninggalkan Muara Padang. Sampai di rumah, si ibu berdoa pada Allah, supaya Malin Kundang dihukum atas kedurhakaannya. Doa si ibu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, seketika datang badai dan topan besar. Kapal Malin Kundang menjadi terombang-ambing di tengah lautan dan dibawa kembali oleh gelombang ke pinggir pantai Padang. Sampai di pantai kapal tersebut terhempas ke batu karang, sehingga kapal tersebut menadi pecah dan Malin Kundang beserta anak buah kapal dan kapalnya menjadi batu. Dari lima permasalah yang ada, permasalahan tersebut biasa dikelompokkan lagi menjadi dua bagian, yaitu permasalahan pertama sampai keempat merupakan satu permasalahan yang memiliki kausalitas atau sebab akibat; sedangkan permasalahan kelima merupakan permasalahan yang berdiri sendiri. Dengan
demikian, naskah drama Malin Kundang memiliki dua tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayornya adalah sebuah sistem adat yang kaku membuat hancur sebuah rumah tangga, sedangkan yang menjadi tema minor adalah perpisahan orang tua berakibat terlantarnya kehidupan anak. Dalam kaba Malin Kundang tema yang dikemukakan mengisahkan tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibu. Cerita disusun dan dikembangkan berdasarkan tema, sehingga alur cerita merupakan sarana untuk mendukung dan menyampaikan tema. Malin Kundang adalah seorang anak yang telah dibesarkan oleh ibunya (single parent). Setelah remaja ia pergi merantau. Di rantau ia menjadi seorang nakhoda kapal dan saudagar yang kaya raya. Kekayaan yang berlimpah telah membuat tokoh Malin Kundang durhaka kepada ibunya. Ia malu mengakui kepda istrinya bahwa ibu yang tua dan kumal yang ikut menjemput kehadirannya di Muara Padang adalah ibunya. Salah satu kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan tokoh utama adalah intensitas dan frekuensi kemunculannya dalam cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh utama biasanya sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 1994:177) Selain tokoh utama, ada pula tokoh-tokoh lain yang biasa disebut tokoh tambahan. Dari segi tokoh juga terjadi sebuah transformasi. Tokoh-tokoh yang dimunculkan pengarang dalam naskah drama Malin Kundang yaitu, Ayah Malin Kundang, Ibu Malin Kundang, Malin Kundang, Puti Bungsu, dan Penyair. Sesuai
dengan perannya masing-masing, maka Malin Kundang, Ibu Malin Kundang, dan Ayah Malin Kundang merupakan tokoh utama, sedangkan Puti Bungsu dan Penyair merupakan tokoh tambahan. Terjadinya penambahan tokoh pada teks drama Malin Kundang, yaitu menjadi lima (5) orang tokoh, yaitu Malin Kundang, Ayah, Ibu, Puti Bungsu, dan Penyair
menandakan
telah
terjadinya
transformasi
terhadap
tokoh
cerita.
Transformasi tidak hanya sekadar penambahan tokoh, tetapi terjadi juga transformasi peran tokoh Hal ini sangat berbeda dengan kaba Malin Kundang, hanya memiliki empat (4) tokoh, yaitu Malin Kundang, Ibu, Nakhoda, dan Ambu Sori. Transformasi peran tokoh terlihat dari tokoh Malin Kundang. Pada kaba, tokoh Malin Kundang perperan sebagai anak, sedangkan pada naskah drama Wisran Hadi Malin Kundang tidak hanya berperan sebagai anak, seperti pada putaran (babak) pertama sampai putaran keempat, tetapi pada putaran kelima tokoh Malin Kundang perperan sebagai ayah dari penyair. Selain itu, pada kaba Malin Kundang tokoh ayah dan Puti Bungsu tidak ada, yang ada hanya tokoh Ambun Sori yang berperan sebagai istri Malin Kundang. Sebaliknya dalam teks drama Malin Kundang, sebagai istri Malin Kundang adalah tokoh Puti Bungsu. Begitu juga halnya dengan posisi ayah, dalam kaba Malin Kundang tokoh Malin Kundang diposisikan sebagai anak yatim, seperti kutipan berikut. Curito kajadian di Ranah Minang, iyo hikayaik Malin Kundang,
awaka laia bapak bapulang, mande lah tingga jo rang bujang (KMK: 1-2) Terjermahannya: Cerita kejadian di daerah Minang, ialah hikayat Malin Kundang, ia lahir bapaknya berpulang, ibu tinggal dengan nak bujang.
Namun, dalam teks drama Malin Kundang, Malin Kundang tidak lagi menjadi anak yatim, tetapi memiliki bapak dan ibu. Ia hanya menjadi korban dari ketidak berdayaan tokoh ayah melawan keputusan paman untuk menggadai harta pusaka sekaligus rumah yang berdiri di atas tanah tersebut. Bahkan tokoh ayah dalam teks drama Malin Kundang dijadikan sebagai tumpuan cerita pada putaran pertama. Hal yang hampir sama juga terjadi pada tokoh Nakhoda, pada cerita kaba tokoh ini dimunculkan sebagai orang yang mempunyai andil dalam mengubah hidup tokoh Malin Kundang setelah Malin Kundang dijadikan anak angkat. Hal tersebut terlihat seperti kutipan berikut.
Nan kok itu Bapak tanyokan, Malin Kundang mande manamokan, dari ketek dimabuk parasaian, mangko takana nak bajalan. Mandanga kato si Buyuang kini, nangkodo mandanga ibolah ati, taniek di ati nak mangasihi, disangko anak (o) kanduang sandiri. (KMK: 8). Terjemahannya:
Kalau itu Bapak tanyakan, Malin Kundang ibu menamakan, dari kecil dimabuk kemiskinan, maka berkeinginan hendak berjalan. Mendengar kata si Buyung ini, nakhoda mendengar sedihlah hati, terniat di hati hendak mengasihi, dianggap anak kandung sendiri.
Lain halnya dengan naskah drama Malin Kundang, pada naskah drama Malin Kundang nama tokoh nakhoda tidak dimunculkan oleh pengarang. Pemunculan tokoh seperti Puti Bungsu, Ayah, dan tokoh penyair dalam naskah drama ini adalah sesutu yang baru . Sepertinya Wisran Hadi tidak hanya dipengaruhi oleh kaba Malin Kundang secara ide cerita, tetapi juga kaba Puti Bangsu atau kaba Cindu Mato. Dalam kaba Minangkabau nama Puti Bungsu hanya didapat dalam kedua kaba tersebut. Pada kaba Malin Kundang kedua nama tokoh tersebut tidak pernah ada.
Perbandingan tokoh-tokoh yang dimunculkan pada kaba dan naskah drama Wisran Hadi dapat dilihat dari tabel berikut.
Kaba Malin Kundang Tokoh
Posisi
Malin Kundang
Sebagai anak
Ibu Malin Kundang
Sebagai ibu Malin Kundang
Nakhoda
Bapak Ambun Sori (tokoh ini dalam naskah drama tidak ada)
Ambun Sori
Istri MalinKundang (tokoh ini dalam drama tidak ada, sebagai istri dalam naskah drama adalah Puti Bungsu)
Naskah drama Malin Kundang Tokoh
Posisi
Malin Kundang
Sebagai anak, sekaligus sebagai bapak sang penyair
Ayah Malin Kundang
Sebagai ayah Malin Kundang (dalam kaba tokoh
ini tidak ada karena tokoh ini dimatikan ketika Malin Kundang lahir)
Ibu Malin Kundang
Sebagai ibu malin Kundang (dalam kaba tokoh ini tidak ada)
Puti Bungsu
Istri Malin Kundang (dalam kaba sebagai istri adalah Ambun Sori)
Penyair
Anak Malin Kundang dan Puti Bungsu (dalam kaba tokoh ini tidak ada)
Untuk melihat pemahaman keberadaan tokoh dalam naskah drama Wisran Hadi, berikut akan dipaparka peran dan fungsi tokoh dalam keseluruhan babak drama Wisran Hadi.
(1)
Malin Kundang Tokoh Malin Kundang mulai hadir pada babak kedua hingga babak kelima
dalam naskah drama. Pada babak kedua tokoh ini berperan sebagai penggerak cerita. Cerita berangkat dari dialog antara tokoh Malin Kundang dengan ibunya seputar identitas ayah Malin Kundang. Jawaban yang diberikan ibu kepada Malin Kundang tentang identitas ayahnya sangatlah kabur. Tokoh ibu hanya memberi tahu bahwa
ayah Malin Kundang pergi dari rumah karena merasa harga dirinya sebagai laki-laki dan pemimpin rumah tangga terinjak-injak oleh paman. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut. Malin Kundang
Ibu Malin Kundang Ibu
: Mengapa kita pelit mengungkap sejarah yang gelap, sekiranya ayahku tenggelam di dalamnya. Mengapa harus ditutupi goa kekecewaan masa lalu, dimana orang-orang pun akan lewat di sana. : Apa yang dapat kukatakan tentang ayahmu? : Katakan sebisanya, sebutkan seadanya. : Hanya satu yang dapat kusimak. Dia pergi karena harga dirinya terinjak (DMK: 8).
Berbekal sedikit informasi dari ibunya, tokoh Malin Kundang berusaha mencari ayahnya ke rantau.Keinginan Malin Kundang untuk mengetahui ayahnya disebabkan karena sejak kecil ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Ibu Ibu
: Kenapa ibu selalu resah setiap kutanya siapa ayah? : Kini kau telah dewasa Malin Kundang. Saat kau melihat sesuatu yang tidak ada dalam rumah kita yang lengang ini. Mengapa aku kau tusuk dengan jarum berbisa, dengan selalu menanyakan ayahmu. (Ke samping) Tapi berapa lamalah aku bertahan, anakku. Malin Kundang. Akan ku katakan tentang ayahmu tapi jangan undang kekecewaan (DMK: 7).
Dari kutipan di atas tergambar bahwa sejak kecil tokoh Malin Kundang belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya, karena tokoh ayah pergi dari rumah sewaktu Malin Kundang bayi. Pada babak ketiga Malin Kundang masih berperan sebagai penggerak cerita. Pada babak ini Malin Kundang muncul bersama dengan tokoh wanita (Puti Bungsu).
Tokoh wanita adalah tokoh yang dibawa Malin Kundang dari rantau ketika ia berusaha mencari ayahnya di rantau. Dialog pada baba ketiga seputar kemesraan hubungan antara mereka berdua sebagai pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara. Hal itu tersirat dalam kutipan berikut. Wanita
:Malin Kundang . Kirimkan sinyal tentang dirimu, tentang hari perkawinan, tentang nama anak kita, tentang kau dan rumah ibumu. Ciptakan sinyal yang baru untuk kita. Ciptakan sinyal yang baru seprti hoirizon di ujung sana. Agar laut dan langit berpadu dalam pangkuanku. Oh, sekali lagi aku kan kehilangan. Sekali lagi aku dikurung kesangsian (DMK: 13).
Pada babak keempat tokoh Malin Kundang hadir masih sebagai penggerak cerita. Pada bagian ini sentral cerita berkisar tentang sanggahan Malin Kundang tentang kutukan ibu terhadap Malin Kundang. Dari kutipan dialog dua tokoh diketahui bahwa yang dikutuk ibu bukanlah Malin Kundang melainkan hanyalah karang yang tidak berpasir. M.Kundang Ibu M. Kundang Ibu
M. Kundang Ibu M. Kundang
:(Memeluk ibunya) Ibu ! impian celaka apa ini ! Akulah Malin Kundang. : Malin Kundang telah membatu di pantai tak berpasir. : Ibu, dengar suara ankmu lebih teliti. Bukalah matamu. : (Membuka matanya yang selama adegan tadi ditutupi) Oh, kau? : Lihatlkah ibu. Akulah anakmu, Malin Kundang. : Apakah mungkin? : Bagaimana seorang anak dapat melupakan ibunya sendiri, bila dia selalu mengingat anaknya,
merindukan anaknya, memberikan kasih sayang, meneteki dengan ikhlas danmelahirkan dengan pasrah. Bagaimana seorang anak dapat melupakan ibunya, selagi menggema cinta dalam hatinya? Dan dengan alasan apa, anak dapat lupa begitusaja pada ibunya. Dan dengan alasan apa, ibu dengan mata tertutup mengutuki anaknya sendiri? Ibu. Hentikan impian itu karena Malin Kundang yang sesungguhnya telah datang.
Pada babak kelima tokoh Malin Kundang juga muncul. Di sini tokoh Malin Kundang tidak lagi berperan sebagai penggerak cerita, karena pada babak ini sebagai penggerak cerita adalah tokoh penyair. Pada bagian ini Malin Kundang sudah diposisikan sebagai tokoh ayah penyair.
(2) Tokoh Ayah Tokoh ayah pada teks drama ini hanya muncul pada babak pertama. Pada bagian ini tokoh ayah berperan sebagai penggerak cerita. Konflik pada bagian ini muncul disebabkan perdebatan antara tokoh ayah dan tokoh ibu tentang penghinaan adat oleh paman terhadap hak milik ayah. Di satu sisi, rumah dibangun oleh tokoh ayah di atas tanah kaum istrinya, sedangkan di pihak lain paman adalah pemegang kekuasaan tertingga atas kepemilikan harta pusaka di kaumnya. Dengan demikian, menurut adat ia berkuasa terhadap harta pusaka kaumnya (tanah kaum). Disebabkan kecewa tokoh ayah terpaksa meninggalkan rumah, istri dan anaknya demi menjada harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan pemimpin rumah tangga.
(3)
Ibu Malin Kundang Tokoh ini muncul pada babak pertama, kedua dan keempat. Pada babak
pertama tokoh ini sangat berperan dalam menggerakkan alur cerita bersama dengan tokoh ayah. Pada babak kedua tokoh ibu juga berperan menggerakkan cerita bersama dengan tokoh Malin Kundang. Begitu juga halnya pada babak keempat tokoh ini memainkan peranan dalam menggerakkan alur cerita secara keseluruhan bersama tokoh wanita dan malin Kundang.
(4)
Puti Bungsu (wanita) Tokoh ini mulai muncul pada babak ketiga, keempat, hingga kelima. Pada
babak ketiga tokoh ini sangat berperan dalam menggerakkan cerita bersama tokoh Malin Kundang. Pada babak keempat tokoh Puti Bungsu bersama dengan Malin Kundang dan tokoh ibu yang berperan menggerakkan alur cerita. Lain halnya pada babak kelima, tokoh wanita tidak banyak muncul, ia muncul hanya pada bagian akhir cerita ketika terjadi pertemuan antara ia dengan anaknya sang penyair.
5)
Penyair Tokoh ini hanya muncul pada babak kelima. Ia berposisi sebagai anak Malin
Kundang. Pada babak kelima, ia bersama dengan tokoh Malin Kundang yang menggerakkan alur cerita.
Interpretasi Wisran Hadi terhadap teks cerita Malin Kundang memungkinkan terjadinya transformasi latar cerita. Pada naskah drama Malin Kundang latar tempat tidak ditampilkan secara jelas. Namun, dari keseluruhan cerita dan konflik yang muncul dalam cerita, serta nama tokoh yang dimunculkan, seperti nama mamak jelas menunjuk pada penyebutan yang khas di Minangkabau. Dalam konsep budaya masyarakat Minangkabau kata mamak berarti pemimpin bagi kelompok atau sukunya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa latar yang dimunculkan pengarang mengarah kepada latar tempat Sumatera Barat. Selain itu, dari konflik yang dimunculkan, seperti pada babak pertama, konflik yang muncul bermula ketika seorang
paman
menggdai rumah yang telah dibangun oleh tokoh ayah jelas
mendukung argumen tentang penentuan latar Sumatera Barat. Selain daerah Sumatera Barat yang diacu dari pemakaian simbol-simbol budaya tidak ada daerah lain yang dijadikan latar teks drama Malin Kundang. Selain itu, dalam naskah drama latar yang ditampilkan juga bersifat umum, dengan tidak menunjukan tempatnya secara pasti, seperti penggir kampung di kaki gunung, (putaran pertama), hutan (putaran kedua), dan pinggir pantai (putaran ketiga). Lain halnya dengan Kaba Malin Kundang, latar tempat yang dimunculkan pada dari Kaba Malin Kundang adalah Pantai Air Manis, di kaki Gunung Padang dan daerah Bugis. Pantai Air Manis Padang merupakan kampung halaman tokoh Malin Kundang. Di pantai ini jugalah Malin Kundang dikutuk oleh ibunya atas
kedurhakaannya sehingga ia menjadi batu. Latar tempat tersebut seperti kutipan berikut. Tampek tingganyo kalau dibilang, di pantai pasisia kota Padang, di subarang aia di nan langang, iyo di kaki Gunuang Padang (KMK; 2). Terjemahannya: Tempat tinggalnya kalau dipandang, di pantai pesisir kota Padang, di seberang air di tempat yang lengang, ialah di kaki Gunung Padang. Daerah Bugis merupakan latar yang digunakan sebagai tempat tinggal tokoh Nakhoda beserta anaknya Ambun Sori, yang kelak menjadi istri Malin Kundang. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Kapa barangkek dik Bugih pun tingga, antah pabilo nyo ka dapek singgah, ati nangko maraso lah susah, Ambun Sori tingga di rumah (KMK: 10). Terjemahannya: Kapal berangkat meninggalkan daerah Bugis, entah kapan akan kembali lagi, hati merasa sedih, Ambun Sori tinggal di rumah.
3.1.2
Analisis Sekuen Cerita Analisis yang dilakukan terhadap kedua teks cerita Malin Kundang didasari
atas episode-episode yang termuat dalam cerita. Episode-episode tersebut berisi sekuen-sekuen cerita yang menjadi inti keseluruhan cerita.
3.1.2.1 Sekuen Kaba Malin Kundang 1. Malin Kundang lahir bertepatan dengan meninggalnya bapak. 2. Pekerjaan ibu Malin Kundang mencari kayu bakar di hutan. 3. Malin Kundang menjadi laki-laki remaja. 4. Malin Kundang pergi merantau. 5. Malin Kundang ikut dengan Nakhoda Bugis. 6. Malin Kundang diangkat menjadi anak angkat Nakhoda Bugis. 7. Malin Kundang berlayar ke negeri Bugis. 8. Malin Kundangbertemu denga Ambun Sori, anak Nakhoda Bugis. 9. Malin Kundang diangkat jadi orang kepercayaan Nakhoda Bugis. 10. Nakhoda Bugis meninggal dalam pelayaran dan mayatnya dibuang ke laut. 11. Sebelum meninggal Nakhoda Bugis berpesan kepada Malin Kundang untuk menjaga Ambun Sori. 12. Malin Kundang kawin dengan Ambun Sori. 13. Malin Kundang menjadi seorang yang kaya raya. 14. Di kampung ibu Malin Kundang bertembah miskindan tua. 15. Malin Kundang pulang kampung ditemani istrinya Ambun Sori. 16. Malin Kundang bertemu dengan ibunya dan Malin Kundang tidak mengakui ibunya.
17. Malin Kundang membentak dan menghardik orang tuanya. 18. Malin Kundang kembali berlayar. 19. Ibu berdoa kepada Allah supaya Malin Kundang dihukum atas kedurhakaanya. 20. Di laut terjadi badai dan topan. 21. Kapal Malin Kundang dibawa kembali oleh ombak ke pantai Padang. 22. Kapal Malin Kundang pecah akibat hantaman gelombang dan akhirnya berubah menjadi batu.
3.1.2.2 Sekuan naskah drama Malin Kundang 1. Ayah Malin Kundang mengajak ibu meniggalkan rumah yang telah mereka bangun karena kecewa
sebab rumah mereka digadaikan oleh
paman untuk menutup utang paman di bank. 2. Pertentangan anatar Ayah dengan Ibu karena Ibu menolak meninggalkan rumah yang dibangun di atas tanah (suku) kaumnya. 3. Ayah meninggalkan rumah yang telah dibangunnya sendiri demi harga diri. 4. Malin Kundang bertanya kepada Ibu tentang asal-usul ayahnya. 5. Ibu tidak memberikan informasi yang jelas kepada Malin Kundang tentang asal-usul ayahnya. 6. Malin Kundang pergi ke rantau mencari ayahnya.
7. Malin Kundang datang dari rantau dengan membawa seorang wanita. 8. Malin Kundang bertemu dengan ibunya setelah kembali dari rantau. 9. Malin Kundang menjelaskan kepada ibu bahwa yang dikutuki ibu adalah batu tempat penahan ombak (kutukan hanya ada dalam khayalan ibu). 10. Malin Kundang mengabari ibunya bahwa ia tidak bertemu dengan ayah. 11. Kecemburuan ibu atas kedekatan Malin Kundang dengan wanita yang dibawanya dari rantau. 12. Malin Kundang bertemu dengan seorang penyair. 13. Penyair berkisah bahwa sejak kecil ia sudah dititip di panti asuhan oleh kedua orang tuanya, akibat ego mereka masing-masing. 14. Pengakuan Malin Kundang bahwa ia adalah bapak si penyair sedangkan ibunya adalah Puti Bungsu. 15. Malin Kundang mengabari Puti Bangsu bahwa ia telah bertemu dengan anak mereka. 16. Pertemuan antara Malin Kundang dan Puti Bungsu dengan anaknya (si penyair).
Dari sekuen cerita di atas, terlihat bahwa masing masing genre sastra, baik kaba
Malin Kundang maupun teks drama Malin Kundang Wisran Hadi
memperlihatkan perbedaan. Pada kaba, sekuen cerita terdiri dari dua puluh dua (22), sedangkan pada teks drama sekuen cerita terdiri dari enam belas (16) bagian. Adanya
perbedaan jumlah sekuen cerita membuktikan bahwa kedua cerita merupakan hasil cipta sastra yang berbeda. Kaba merupakan hasil cipta sastra lisan dengan corak yang sangat tradisional, sementara teks drama Malin Kundang Wisran Hadi merupakan hasil cipta sastra modern yang hadir akibat dialog antarteks sastra. Pokok-pokok cerita yang terkandung dalam masing masing sekuen memeprelihatkan ketidaksamaan. Pada kaba Malin Kundang jelas terlihat bahwa yang menjadi pokok cerita adalah kisah seorang anak yang durhaka kepada orang tua. Lain halnya dengan teks drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, persoalan yang dimunculkan tidak lagi tentang anak durhaka, tetapi persolaan yang lebih bersifat kompleks mulai dari persoalan kepemilikan harta menurut adat Minangkabau, harga diri, hingga persoalan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.
3.1.3
Bagan Transformasi Teks Malin Kundang NASKAH NARASI
DRAMA
MALIN MALIN KUNDANG
KABA KUNDANG
I.
Pembukaan
Kaba
Cerita
pantun:
di
buka
dengan - Prolog awal Koor datang melingkar
Kelok berkelok ujung tali,
bergerak gelisah. Setelah
ujung tali pengikat pagar,
kegelisahan sampai pada
entah terikat entah tidak; kelok
berkelok
puncak , gerakan mereka
ujung jadi menjadi lambat dan
nyanyi,
akhirnya berhenti sama
ujung nyanyi masuk ke sekali. Semua itu diiringi kaba,
nyanyian
entah dapat entah tidak.
tentang kegelisahan.
bersahutan
Kapal gulita darihulu, sipotong di atas batu;
kabar cerita yang didengar, orang bohong kami tak tahu.
II.
Memperkenalkan
- Memperkenalkan tokoh Kemunculan tokoh dalam
tokoh cerita
Malin Kundang dan
ibu.
Cerita di daerah Minang, ialah
hikayat
naskah
drama
bersama sama, tapi pada
Malin babak
tertentu
Kundang;
tertentu
Ia lahir bapaknya
dimunculkan.
berpulang,
tidak
tokoh akan
Ibu tinggal dengan nak
- Tokoh Ayah dan Ibu
bujang.
dimunculkan pada babak pertama.
-Tokoh Ambun Sori Ambun
Sori
- Tokoh Malin Kundang orang baru muncul pada babak
panggilkan,
kedua.
ia lahir bapak meninggal,
- Tokoh Puti Bangsu
ke akhirat dipanggil Tuhan, muncul
pada
babak
seperti itulah nasib
ketiga.
perasaian.
-Tokoh penyair ( anak Malin Kundang dan Puti Bangsu
baru
muncul
pada babak kelima.
III. Perpindahan cerita Perpindahan satu episode Pengantar satu episode dari satu episode
ke episiode lain dilakukan
ke episode lain
pendendang (tukang kaba) merupakan dengan
ke
episode
menggunakan isyarat
berikutnya sebuah
ke
cerita
pantun
berikutnya.
Dari
Seperti : (terjemahan)
putaran drama Malin
lima
Didulang sedulang lagi,
Kundang,
hanya
pendulang emas di Salido; pengantar putaran ke-1 diulang seulang lagi,
yang
menggunakan
penjeput cerito tadi.
prolog. Selebihnya hanya menggunakan gerakan
Entah ke lantai antah
beberapa orang (koor)
tidak,
yang
entah ke padi muda juga;
perubahan
entah sampai antah
cerita.
indak,
Putaran ke-1
walau berat dicoba juga.
Koor datang melingkar
mengisyaratkan
bergerak gelisah. Setelah kegelisahan
sampai
puncak, gerakan mereka
menjadi lamban dan akhirnya berhenti. Semua itu
diiringi
nyanyian
bersahutan sesamanya tentang
kegelisahan.
Suasana
pinggir
kampung di kaki gunung.
Putaran ke-2 Koor datang melingkar. Bergerak gelisah. Setelah itu
mereka
berubah
menyampaikan
suatu
harapan. Sambil pergi
koor memanggil : “Tanggalkan
selimut
bayimu Malin Kundang”. Suasana uwir-uwir rimba matahari segalah.
Putaran ke-3 Koor datang melingkar dan
bernyanyi.
gelombang
laut
disampaikannya
Kesan yang makin
lama makin melemah dan akhirnya hilang.
Putaran ke-4 Koor
bersibak
dan
melingkar beberapa kali memberikan
kesan
pertemuan, diiringi
nyanyian
perjalanan.
Malin. Malin Kundang dan
wanita
datang
berbimbingan tangan.
Putaran ke-5 Koor mencari. Makin lama
makin
liar.
Akhirnya mereka letih dan
rontok.
penyair datang.
Seorang
IV.
Cara
tokoh - Tokoh Ibu
mengubah Kehidupan
- Tokoh Bapak
Mencari kayu bakar
Pergi dari rumah untuk
ke hutan.
menjaga harga diri
- Tokoh Malin Kundang Merantau
ke
daerah
Bugis.
- Tokoh Ibu tetep tinggal di rumah yang sudah dibangun - Tokoh Malin Kundang dengan cara pergi merantau
V.
Permulaan konflik
Malin
Kundang
tidak Rumah yang dibangun
mengakui ibunya karena
oleh ayah di tanah pusaka
miskin dan kumuh.
kaum ibu digadaikan oleh paman ke bank untuk
modal
dagang
tanpa
persetujuan
ayah,
bahkan
paman
melakukannnya
dengan
cara
curang,
memalsukan tangan ayah
dari
yaitu tanda
VII. Pertikaian
Malin Kundang berdebat Ayah bertengkar dengan
antartokoh
dengan ibunya di Pantai ibu karena ayah merasa
dalam cerita
Padang. Ibu meyakini bahwa
Malin
harga dirinya diinjak oleh
Kundang saudara ibu sementara
adalah anaknya. Sedangkan ibu memahami keputusan Malin
Kundang
tidak saudaranya
mengakui ibunya
yang
menggadai rumah mereka.
VII. Puncak konflik
Malin
Kundang
tidak Tokoh Ayah pergi dari
mengakui Ibu kandungnya, Seperti
rumah yang telah
kutipan dibangunnya serta
(terjemahan)
meninggalkan istri dan
Bunda memekik melulung
anaknya (konflik dalam
panjang,
wahai
nak tema mayor)
kandung Malin Kundang, Dialog
antara
dari kecil kini lah bujang, Kundang mengapa bunda kau buang. anaknya, sang Kau jangan banyak cerita, berangkatlah
dari
Malin dengan penyair,
dimana diakhir dialog
sini, sang penyair mencerca
anjing tua anjing celaka,
tokoh bapak sebagai
hamba pukul kalau tak
orang
pergi.
bertanggung
yang
tidak jawab
karena menitipkan penyair ke Panti Asuhan ketika kecil
VIII.
Cara
tokoh - Tokoh Ibu
mengatasi Konflik
- Tokoh Ayah
Memohon kepada
Meninggalkan
anak
Tuhan supaya Malin
dan istrinya (lari dari
Kundang dihukum.
masalah)
- Tokh Malin Kundang Menyesal atas sikap
- Tokoh Malin Kundang dan Puti Bungsu
durhaka
pada orang tua, Meminta maaf kepada
namun
belum
sempat anaknya
meminta maaf pada
kelalaiannya
orang tua .
sang penyair di
atas merawat
waktu kecil.
IX. Penyelesain cerita
Malin Kundang beserta
Malin Kundang dan Puti
istri dan anak buah kapal
Bungsu bertemu dengan
berubah menjadi batu.
anaknya,
yang
dulu
pernah dititipkannya di Panti Asuhan.
3.2
Transformasi Isi Teks Transformasi isi teks Malin Kundang sangat dipengaruhi oleh penerimaan
pengarang terhadap teks yang ada sebelumnya. Penerimaan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan hidup dan keyakinan pengarang. Seorang pengarang dengan pengarang lainnya biasanya memiliki perbedaan penerimaan terhadap sebuah teks sastra. Hal itu disebabkan oleh pandangan dan keyakinan yang brebeda pula tiap-tiap pengarang. Penerimaan Wisran Hadi terhadap teks kaba Malin Kundang yang ada sebelumnya terlihat dari niatan dan sikap pengarang yang tergambar dalam teks drama Malin Kundang yang ditulisnya. Transformasi mengisyaratkan adanya sebuah perubahan yang terjadi pada teks sastra. Penyimpangan atau pemberontakan isi teks mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki atau disimpangi (Teeuw, 1984: 146). Transformasi yang terjadi pada isi teks drama Malin Kundang karya Wisran Hadi memperlihatkan adanya penyimpangan dari teks pembanding, yaitu kaba Malin Kundang. Transformasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
3.2.1
Tradisi Kepemilikan Harta Dalam konsep adat Minangkabua, kepemilikan harta pusaka, seperti tanah dan
rumah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki. Kaum atau orang yang tidak memeiliki harta pusaka, dianggap orang datang, malakok (melekat), yang tidak jelas asal-usulnya (Navis, 1984: 150-151).
Tanah bagi masyarakat Minangkabau
merupakan tempat lahir, tempat hidup, dan tempat mati. Sebagai tempat lahir, berarti setiap kaum atau kerabat harus memiliki rumah sebagai tempat lahir anak dan cucunya. Sebagai tempat hidup, bermakna bahwa setiap kaum atau kerabat harus memiliki sawah atau ladang yang menjadi sumber mata pencaharian bagi kerabatnya. Sebagai tempat mati, artinya setiap kaum atau kerabat harus memiliki pandam atau makam agar jenazah tidak terlantar. Bahkan sangat pentingnya arti tanah bagi orang Minangkabau,
tatanan
adat
Minangkabau
memberikan
motivasi
kepada
masyarakatnya tentang kepemilikan tanah. Hal tersebut tertuang dalam bentuk pantun berikut. Apo gunonyo kabau batali, Lapeh karimbo jadi jalang, Pauikkan sajo di pamatang; Apo gunonyo badan mancari, Iyo pamagang sawah jo ladang Nak mambela sanak kanduang. Terjemahannya: Apa gunanya kerbau bertali, lepas kerimba jadi jalang, pautkan saja di pematang, apa guna badan mencari, ialah untuk pemegang sawah dan ladang,
untuk membela saudara kandung (Navis, 1984:151). Pada kaba Malin Kundang dikisahkan bahwa Ibu Malin Kundang memiliki rumah, tanah. Bahkan keluarga Malin Kundang merupakan penduduk asli pesisir kota Padang. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ibu Malin Kundang adalah orang Minangkabau. Selain memiliki rumah sebagai tempat tinggal, ia juga punya tanah sebagai tempat asal-usul kaum mereka menurut adat Minangkabau. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan berikut. Tampek tingganyo kalau dibilang, di pantai pasisia kota Padang, di subarang aia di nan langang, iyo di kaki Gunuang Padang. Terjemahannya: Tempat tinggalnya kalau dibilang, di pantai pesisir kota Padang, di seberang air di tempat yang lengang, ialah di kaki Gunung Padang (KMK:2).
Dalam hal kepemilikan harta, pada kaba Malin Kundang tersirat bahwa harta dikuasai oleh Ibu Malin Kundang. Hal tersebut dapat dicermati dalam teks, dimana Ibu Malin Kundang hanya hidup seorang diri. Struktur masyarakat yang ada dalam teks cerita sangat bertolak belakang dengan struktur masyarakat Minangkabau yang mengenal struktur kekerabatan besar, seperti saudara, sepupu, senenek, dan sekaum (Navis, 1984: 136). Namun demikian, kepemilikan harta pada kaba Malin Kundang tetap mengikuti sistem yang berlaku dalam adat Minangkabau, yaitu diwarisi kepada pihak perempuan.
Pada teks drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, kepemilikan harta malah memunculkan permasalahan. Di satu pihak, harta diwariskan kepada perempuan, namun di pihak lain, kekuasaan tetap dipegang oleh pihak laki-laki (paman). Seakan terjadi sikap ambivalen dalam pembagian kekuasaan. Permasalah mulai muncul ketika paman bertindak semena-mena kepada kerabatnya. Rumah yang sudah dibangun oleh tokoh ayah (suami ibu) digadaikan ke bank oleh paman tanpa persetujuan ayah. Tokoh ayah meresa terhina akibat perlakuan paman tersebut melakukan protes dengan cara pergi dari rumah. Dari perjalanan alur cerita di atas terlihat bahwa pengarang ingin mengkritik sikap paman yang semena-mena terhadap keponakannya. Keseimbangan posisi antara paman dan tokoh ayah merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam karyanya. Paman sebagai seorang penguasa tentulah tidak bisa semena-mena terhadap saudara dan keponakannya. Dalam teks drama terlihat akibat dari kesalahan paman berakibat hancurnya rumah tangga yang dibangun tokoh Ibu dan Ayah Malin Kundang. Bahkan tokoh Malin Kundang hingga remaja tidak mengenal ayahnya. Pesan yang ingin disampaikan pengarang pada teks drama adalah bahwa paman hendaklah menjadi pengayom bagi kerabatnya. Hal itu seiring dengan peran paman yang disebutkan dalam pantun adat Minangkabau: Kaluk paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokkan, bao manari ka Saruaso; Anak dipangkua kamanakan dibimbiang, rang kampuang dipatenggangkan, adat nagari jan binaso.
Terjemahannya: Keluk pakau kacang belimbing, tempurung lenggang-lenggokkan, bawa menari ke Saruaso, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampuang dipatenggangkan, adat negeri jangan binasa.
Dari isi pantun di atas, tergambar peran paman bagi keponakannnya. Ia berperan sebagai pelindung dan pembimbing bagi kerabatnya. Dikiaskan pada pantun di atas bahwa bagi seorang paman harus ada keseimbangan anatara tanggung jawabnya terhadap anak dan keponakannya : anak dipangku kemenakan dibimbing. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa teks drama Malin Kundang juga ingin memberi pesan kepada paman di Minangkabau akan tanggung jawabnya sebagai pemelihara harta kaum dan kerabatnya.
3.2.2
Tradisi Merantau Pada teks kaba diceritakan bahwa rantau adalah tempat mencari kehidupan
yang lebih baik bagi tokoh Malin Kundang. Hal itu terbukti keberhasilan tokoh Malin Kundang sebagai seorang nakhoda kapal dan saudagar kaya. Abih bulan taun lah tibo, Malin jadi nangkodo juo, pai manggaleh ka mano-mano, Ambun Sori tatap nyo bao Terjemahannya:
Habis bulan tahun pun datang, Malin menjadi nakhoda jua, pergi berdagang ke mana-mana, Ambun Sori tetap dibawa (KMK: 19). Malin dipandang sangaik gagahnya, kapanyo gadang dipandang mato, banyaklah galeh nan inyo bao, bininyo rancak inyo pun kayo.
Terjemahannya: Malin dipandang sangat gagahnya, kapalnya besar dipandang mata, banyaklah niaga yang ia bawa, istrinya cantik ia pun kaya (KMK: 20).
Sama halnya dengan isi teks kaba Malin Kundang, bagi masyarakat Minangkabau, rantau merupakan tempat mencari kekayaan yang lebih banyak untuk dibawa ke kampung halaman. Tujuan mencari harta kekayan di rantau ialah untuk menaikkan harga diri atau meningkatkan martabat kerabat dalam masyarakat atau mambangkik batang tarandam (Navis, 1984: 109). Menarik untuk dicermati pada teks drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, rantau bagi tokoh ayah tidak hanya sekadar tempat mencari kehidupan yang layak seperti yang terjadi pada teks kaba Malin Kundang, tetapi juga sebagai tempat “melarikan diri” ketika terjadi konflik di rumah tangga. Merasa
harga dirinya
diinjak-injak oleh paman, maka tokoh ayah terpaksa meninggalkan rumah dan pergi ke rantau. Secara jeles memang tidak diceritakan bahwa tokoh ayah pergi ke rantau, tetapi dari dialog yang terjadi antara tokoh ibu dan Malin Kundang dapat dimaknai
bahwa rantau merupakan tempat ayah membawa kesedihannya. Hal tersebut tersirat pada kutipan berikut. M. Kundang Ibu
M. Kundang
:Aku akan mencarinya, ke manapun. Aku akan menyusulnya, di manapun, Ibu. Izinkan. :Biar ku antar kau padanya dalam pengertianpengertian. Ku tunggu kau di pantai waktu yang tiada berpasir lagi. Kurelakan kau pergi, tak kuhalangi kau mencari. Karena wanita tak ada artinya bagimu atau ayahmu. Bagaimana aku mencegahmu, kau akan pergi juga. Pergila. Jangan katakan aku melarang. Aku takut kalau harga dirimu tersinggung. :Kalau aku pergi, jangan antarkan. Di pantai perpisahan tidak menyenangkan. Bagaimanapun pasir terbawa bila laut berbalik surut. Bagaimana jadinya nanti, sebelah kakikutertancap di pantai sebelah lagi terbenam di laut. Jangan antarkan tapi mohon maafkan (DMK: 9).
Interpretasi tersebut juga didukung dengan kutipan dialog Malin Kundang pada awal babak ketiga M. Kundang
:Gulung layar! Turunkan tangga! Berikan tali-tali yang kukuh pada mereka. Agar air pasang tidak menghanyutkan. Hari ini, kita naik ke darat! Ayaoo ! (DMK: 10).
Transformasi orientasi merantau seperti yang dikemukan Wisran Hadi dalam teks dramanya, sejalan dengan hasil penelitian Naim dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, bahwa salah satu dari sekian banyak sebab orang Minangkabu merantau adalah faktor sosial. Salah satu dari sekian banyak faktor sosial yang dikemukankanya adalah konflik internal, artinya ketika terjadi konflik di
rumah tangga, baik dengan istri maupun dengan kerabat istrinya, maka merantau merupakan jalan keluar yang ditempuh laki-laki Minangkabau (Naim, 1984: 273).
3.2.3
Tradisi Perjodohan Perjodohan yang terjadi pada kaba Malin Kundang sudah mengenal akulturasi
budaya. Perjodohan antara tokoh Malin Kundang dari budaya Minangkabau dengan Ambun Sori dari budaya Bugis merupakan sebuah bukti akulturasi budaya. Kutipan berikut merupakan bukti kedua tokoh dalam teks kaba berasal dari budaya yang berbeda. Tampek tingganyo kalau dibilang, di pantai pasisia kota Padang, di subarang aia di nan langang, iyo di kaki Gunuang Padang. Terjemhannya: Tempat tinggalnya kalau dibilang, di pantai pesisir kota Padang, di seberang air di tempat yang lengang, ialah di kaki Gunung Padang (KMK:2).
(O) kapa barangkek (dik ai) Bugih pun tingga, antah pabilo nyo ka dapek singgah, ati maraso (lah) susah, Ambun Sori tinggal di rumah (di ai) Terjemahannya: Kapal berangkat Bugis pun tinggal, entah pabila ia kembali singgah, hati nakhoda merasa gundah, Ambun Sori sendiri tinggalk di rumah (KMK: 11).
Dari kutipan di atas tergambar bahwa Malin Kundang berasal dari pesisir kota Padang dengan latar belakang budaya Minangkabau, sedangkan tokoh Ambun Sori menurut kutipan di atas berasal dari daerah Sulawesi, budaya Bugis. Transformasi yang terjadi pada teks drama Malin Kundang tentang perjodohan sangat menarik untuk dicermati. Perjodohan tidak terjadi antarsuku tetapi perjodohan menyangkut aspek strata kehidupan. Tokoh Malin Kundang dalam tatanan masyarakat Minangkabau dianggap sebagai simbol dari orang miskin yang yang berasal dari pantai Air Manis Padang. Sementara, Puti Bungsu merupakan putri bangsawan turunan kerabat kerajaan Pagarruyung, Minangkabau. Dengan demikian, secara sadar Wisran Hadi sebagai pengarang telah membut sebuah transformasi pola perjodohan. Perjodohan antara individu dari kalangan rakyat biasa dengan kalangan bangsawan. Atau antara strata atas dengan strata bawah. Perjodohan yang terjadi pada teks drama Malin Kundang jelas ingin menghapus sebuah strata sosial yang ada. Sehingga siapa pun dan dari kelas mana pun berhak untuk menikah dengan orang yang yang dicintainya, tanpa melihat status sosialnya dalam masyarakat.
3.2.4
Sistem Kekerabatan
`
Minangkabau dengan sistem kekerabatan yang matrilinel memposisikan pusat
kekuasaan berada pada pihak ibu. Dalam hal ini, saudara laki-laki ibu atau paman dari ibu memegang kekuasaan atas kerabatnya. Ia menjadi pelindung dan pengayom
atas kaumnya. Sementara pihak perempuan dalam struktur adat Minangkabau merupakan pihak yang mewarisi semua harta pusaka. Sebagai pewaris harta pusaka ia harus tetap berada dalam lingkungan kerabatnya (rumah gadang). Konsekuensi dari itu semua, dalam sebuah ikatan perkawinan pihak laki-lakilah yang harus tinggal dan menetap di rumah pihak perempuan. Bahkan sangat tabu bagi masyarakat Minangkabau membawa istri untuk menetap dalam waktu yang lama di rumah kerabatnya. Posisi suami tetap dianggap sebagai orang luar atau tamu yang harus dihormati (Navis, 1984:212).. Dalam adat Minangkabau posisi laki-laki, baik telah kawin maupun belum, ia tetap bagian anggota keluarga dari pihak ibunya. Ia hanya memiliki kekuasan penuh sebagai paman ketika berada di lingkungan kerabatnya sendiri. Kekuasaan untuk mengatur dalam lingkungan kerabat istrinya dipegang oleh saudara laki-laki istrinya atau paman dari istrinya. Pada teks drama Malin Kundang pengarang mengangkat konflik yang bersumber dari sistem kekerabatan ini. Tokoh paman sebagai penguasa atas harta pusaka menggadaikan tanah serta rumah yang berada di atasnya. Tindakan paman tersebut dilakukan tanpa persetujuan tokoh ayah sebagai orang yang membangun rumah. Konflik yang dimunculkan pengarang pada teks drama itu menarik untuk dicermati. Penggadaian harta pusaka oleh paman telah melanggar sebuah ketentuan adat yang ada di Minangkabau, bahwa harta pusaka boleh digadai dengan alasan: (1) Biaya menyelenggarakan mayat yang terbujur di tengah rumah;
(2) Biaya untuk pernikahan dan jemputan jika ada gadih gadang (perempuan yang telah melewati umur) belum memiliki suami; (3) Biaya memperbaiki rumah gadang yang sudah rusak (ketirisan); (4) Untuk mendirikan penghulu (pemimpin adat).
Konflik yang dimunculkan dalam teks drama Malin Kundang karya Wisran Hadi memiliki korelasi dengan hasil penelitian Nain tahun 1973 yang diterbitkan menjadi buku Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Naim menjelaskan bahwa dalam praktiknya jual-beli dan pegang gadai tanah pusaka selain tujuan di atas sering kali dilanggar oleh masyarakat Minangkabau (Naim, 1984: 275).
3.2.5 Pola Tanggung jawab Orang Tua terhadap Anak Pada teks kaba Malin Kundang dikisahkan bahwa tokoh ibu sangat berperan dalam mengasuh dan mendidik Malin Kundang. Hal itu disebabkan karena dalam kaba tokoh ayah diposisikan telah mati ketika Malin Kundang lahir. Hal yang sama juga terjadi pada teks drama Malin Kundang. Tokoh ibu sangat berperan dalam membesarkan dan merawat Malin Kundang. Bedanya dengan teks kaba ialah pada teks drama tokoh ayah pergi dari rumah ketika Malin Kundang masih kecil. Seakan tokoh ayah tidak memiliki tanggung jawab terhadap anaknya. Hal yang hampir sama juga berulang pada babak kelima. Pada babak ini diceritakan bahwa akibat perceraian tokoh Malin Kundang dengan istrinya Puti
Bungsu, tokoh penyair Kundang terpaksa dititipkan dan dibesarkan di Panti Asuhan. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut. M. Kundang Penyair
M. Kundang Penyair
:Apakah kau punya sesuatu yang mengecewakan terhadap ibumu? :Aku tidakakan menghiraukan lagi orang tuaku. Yang jelas aku telah hadir dalam kehidupan ini. Mereka berdua telah erkhianat pada dirinya, sehingga aku terpaksa dibesarkan di rumah yatim piatu. Moral apa yangada pada mereka, sehingga mereka dapat berbuat seperti itu? Ini, ini, bung. Itu sebabnya, aku, kukatakan sebagai Malin Kundang dalam sajak-sajak sebelumnya (DMK: 23). :Kau dibesarkan di rumah yatim piatu? :Ya. Akibat kegagalan mereka sendiri dan rasa keaku-an yang bertumpuk segede gunung! Di mana letak kemanusiaannya! Maaf, maaf. Aku lagi emosi dengan masa kecilku.
Kritikan pengarang terhadap tanggung jawab orang tua atas perkembangan anaknya merupakan trasformasi yag positif teradap teks kaba Malin Kundang. Dari isi jelas kritikan ini mengndung sebuah ide pembaruan tentang tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan anaknya. Dalam konteks budaya Minangkabau yang ada dalam teks drama Malin Kundang dapat dimaknai bahwa perlu adanya keseimbangan antara tanggung jawab ayah sebagai orang tua dan paman (mamak) sebagai pemimipin kaum atau kerabat.
3.3
Pengaruh Kaba pada Teks Drama Malin Kundang Penciptaan teks sastra drama Malin Kundang karya Wisran Hadi tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kaba Malin Kundang. Walaupun secara ide cerita kedua
cerita memiliki perbedaaan yang sangat mendasar. Dimana kaba Malin Kundang memiliki ide cerita anak yang durhaka kepada orang tua, sedangkan teks drama Malin Kundang
karya Wisran Hadi secara ide cerita lebih berangkat dari fenomena
kehidupan yang kompleks. Namun demikian, kalau dianalisis secara menyeluruh dan dengan teliti terlihat adanya korelasi antara kedua teks tersebut. Pertama dari aspek judul, jelas telah terlihat pengaruh kaba Minangkabau pada teks drama Wisran Hadi. Penamaan teks drama Malin Kundang pada teks drama Wisran Hadi jelas mengisyaratkan adanya pengaruh kaba pada teks drama tersebut. Walaupun secara substansi isi terjadi perbedaan, bahkan teks drama Malin Kundang Wisran Hadi cenderung membentuk sebuah kontramitos terhadap cerita rakyat Malin Kundang
namun dari judul terlihat adanya kesamaan substansi yang akan
dibicarakan yaitu tentang konflik yang dihadapi oleh tokoh Malin Kundang serta permasalahan yang muncul di seputar tokoh utama cerita yaitu Malin Kundang. Kedua, dari segi struktur, antara lain tokoh, latar tempat dan latar sosial (budaya). Seperti telah dibahas sebelumnya, nama tokoh yang dimunculkan pada teks drama memiliki persamaan dengan nama tokoh yang ada pada teks kaba. Nama tokoh Malin Kundang dan Ibu Malin Kundang merupakan dua nama yang tetap muncul pada kedua teks.
BAB 4 RESEPSI SASTRA WISRAN HADI TERHADAP CERITA MALIN KUNDANG
Sebagai seorang pembaca dalam pandangan teori resepsi sastra, Wisran Hadi tergolong sebagai pembaca ideal. Ia tidak sekadar membaca atau mendengar kaba Malin Kundang, tetapi memberikan reaksi yang kritis dengan menghasilkan karya sastra baru yang bertolak dari cerita rakyat tersebut. Wisran Hadi memberikan memberikan interpretasi baru terhadap cerita kaba Malin Kundang. Bagi Wisran Hadi, kaba Malin Kundang harus dilihat dari konteks yang logis dalam pandangan kekinian. Wisran Hadi melihat kutukan seorang ibu terhadap anak kandungnya adalah sesuatu yang irasional. Kepulangan Malin Kundang dari rantau adalah menifestasi dari kasih sayang dan kerinduannya kepada tokoh ibu. Hal itu terlihat dalam kutipan dialog antar ibu dan Malin Kundang sebagai berikut. Malin Kundang Ibu Malin Kundang
: Lihatlah ibu. Akulah anakmu ,Malin Kundang : Apakah mungkin? : Bagaimana mungkin seorang anak dapat melupakan ibunya sendiri, bila dia selalu melihat anaknya, merindukan anaknya, memberikan kasih sayang, menetekinya dengan ikhlas dan melahirkan dengan
Ibu Malin Kundang Ibu Malin Kundang
pasrah. Bagaimana seorang anak dapat melupakan ibunya, selagi menggema cinta dalam hatinya? Dan dengan alasan apa, anak dapat lupa begitu saja pada ibunya. Dan dengan alasan apa, ibu dengan mata tertutup mengutuki anaknya sendiri.? Ibu. Hentikan impian itu karena Malin Kundang yang sesungguhnya telah datang. : Dan siapkah yang telah kukutuki? : Impianmu sendiri. Bayangan kekecewaan masa silam. : Yang telah membatu di pantai tak berpasir? : Adalah kaki bukit berbatu cadas, penahan gelombang laut yang keras (DMK: 16).
Dari kutipan dialog antara tokoh Ibu dan Malin Kundang di atas, terlihat bahwa bagi Wisran Hadi anak yang durhaka dan dikutuki ibunya menjadi batu hanyalah sebuah cerita mitos yang irasional. Wisran Hadi berusaha membuat sebuah cerita baru tentang Malin Kundang dengan memunculkan konflik-konflik yang dipandang relevan dengan keadaan ketika karya tersebut ditulis. Bahkan dari dialog di atas diketahui bahwa kutukan seorang ibu tidak pernah terjadi, bahkan kutukan tersebut hanyalah sebuah khayalan ibu tentang masa lalu.
4.1
Perlawanan Terhadap Mitos Perlawanan terhadap sebuah mitos merupakan hal yang sangat menarik untuk
dibicarakan. Hal itu mengingat mitos merupakan sesuatu yang sudah lama ada dan dipercayaai oleh suatu kelompok masyarakat, terlebih masyarakat tradisional. Pada masyarakat tradisional, mitos diyakini sebagai sesuatu yang yang diyakini kebenarannya. Bahkan Hasanuddin (2003: 193) menjelaskan bahwa bagi masyarakat
tradisional mitos lebih penting dari ceri-cerita lain yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tradisional
tidak menyadari bahwa
mereka berada pada ranah yang bernaunsa mitos, karena bagi masyarakat tradisional keyakian pada sesuatu akan lebih dominan daripada nilai logika. Dalam banyak naskah drama Wisran Hadi, motif penolakan terhadap mitos sangatlah dominan. Bahkan Wisrana Hadi melakukan perlawanan terhadap mitos yang sudah ada. Dalam naskah drama Anggun Nan Tungga Magek Jabang, misalnya Wisran Hadi memcoba memunculkan raja yang tidak dapat dijadikan anutan, padahal pada kaba Anggun Nan Tungga Magek Jabang sosok raja adalah anutan rakyat (Hasanuddin, 2003: 169). Hal yang hampir sama juga terlihat dalam naskah drama Senandung Semenanjung. Bagi Wisran Hadi tidak hanya Hang Tuah yang dapat dianggap sebagai pahlawan tanah Malayu, tetapi Hang Jebat berhak juga disebut sebagai pahlawan tanah Melayu.
Hal itu juga dilakukannya pada cerita Malin
Kundang. Kaba Malin Kundang pada dasarnya adalah pengukuhan terhadap sebuah mitos tentang kepatuhan anak kepada orang tua. Bahwa seorang anak harus selalu patuh dan hormat kepada orang tuanya, kalau ia tidak patuh maka akan bernasib sama seperti yang dialami oleh tokoh Malin Kundang. Bahkan Junus menjelaskan bahwa bagi masyarakat tradisional atau lama kesusastraan juga berfungsi sebagai salah satu sarana pengukuhan mitos yang ada di tengah-tengah masyarakat penganutnya ((1981: 85).
Sebagai seorang pembaca atau penikmat sastra, Wisran Hadi tidak puas hanya dengan apa yang telah didengarnya dari tuturan lisan atau hasil bacaannya dari teks sastra. Reaksi yang muncul tentu didasarkan pada resepsi Wisran Hadi terhadap cerita tersebut. Merujuk pada analisis transformasi pada bagian terdahulu, terlihat bahwa terjadi banyak transformasi yang dilakukan Wisran Hadi. Trasformasi tidak hanya terjadi pada struktur cerita, tetapi ide dan ideologi cerita yang dimunculkan sangat berbeda. Wisran Hadi berusaha membuat sebuah cerita yang berasngkat dari sebuah realitas hidup yang dilihat oleh pengarang sebagai anggota masyarakat. Kongkretisasi cerita dari realitas hidup telah membuat pengarang melakukan perlawanan terhadap sebuah mitos yang ada, yaitu mitos tentang Malin Kundang. Perlawanan terhadap mitos yang dilakukan Wisran Hadi sebagai seorang penulis cenderung memunculkan sebuah mitos baru tentang Malin Kundang. Hal itu didasarkan kepada ide cerita yang sangat berbeda dengan cerita Malin Kundang yang ada sebelumnya. Perlawanan terhadap mitos tersebut dapat diuraikan berikut ini. Pertama, bagi Wisran Hadi Malin, Kundang bukan lagi dianggap sebagai anak yang durhaka pada orang tua, tetapi adalah korban realitas hidup dari pertikaian antara bapak dan ibu. Penolakan terhadap Malin Kundang sebagai anak durhaka dapat dilihat pada kutipan berikut. Malin Kundang
Ibu Malin Kundang
:Ibu impian apakah yang menjalari tubuhmu? Bukankah yang berdiri di sini anakmu? Ibu. Ibu. Anakmu telah datang. :Oh, oh, oh,… Apa ini yang terjadi. Sesuatu keajaiban Siapakah kau sebenarnya? :Anakmu Ibu Malin Kundang.
Ibu Malin Kundang Ibu
Malin Kundang Ibu
Malin Kundang Ibu
Malin Kundang
:Tidakkah ini suatu kekeliruan? Anakku telah kukutuki dan telah membatu di pantai tak berpasir. :Yang hadir di sinilah anakmu. :(ke samping) Sewaktu dia datang bersama istrinya ke pelabuhan , akau datang ke sana menjemput dengan kebanggaan dan kepercayaan dia datang bersama ayahnya. Tapi dia menuruni tangga kapa bersama seorang bidadari ! O, mata apakah yang ada pada ketuaanku ! Sewaktu dia membimbing wanita itu, kecemburuanku menjalar memenasi tubuh, kupejamkan mata, tapi bayangan ayahnya tampak lebih jelas dan sangat jelas sekali. Kubuka mataku yang tua ini, nyata sekali yang datang adalah ayahnya bersama istri baru setelah aku ditinggalkan. Dalam gemuruh genderang dan tepuk tangan, aku menyelusup ke tengah orang ramai mendekat. Sewaktu orang-orang dalam kemabukkan dan kegembiraan tidak lagi mengingat dirinya, mengingat orang lain, aku terbanting, didorong-dorong, karena wanita tua tidak punya hak lagi ikut dalam pesta – pesta kemabukan. : Ibu! Mimpi apakah yang kau sampaikan. :Dalam nafasku kemudian mengalir dendam. Mengalir sebuah kekecewaan yang besar. Lalu kukutuki mereka. Kukutuki yang datang itu. Membatulah! Kalau kau tak membatu dalam jasadmu, membatulah dalam diriku. : Ibu :Dengan segala kekecewaan aku pulang. Dan bekal yang kubawa ikut terinjak. Dan tahukah kau, apa lagi sesuatu itu? O, semua orang berlari menemuiku. Semua orang memuji-muji. Kaulah wanita yang setia sebagai ubu. Telah kau tunggu dia dalam berbagai musim. Tapi setelah dia pulang tidak lagi mengenal aku. Pantas sekali dia dikutuki! , begitu kata mereka padaku dengan penuh semangat. (suara merendah) Dan kini suara itu datang lagi. Suara yang telah membatu dalam diriku. Apakah ini suatu hukuman? :(memeluk ibunya) Ibu! Impian celaka apa ini! Akulah anakmu. Malin Kundang! (DMK, 14-15).
Dari kutipan dialog antara tokoh Malin Kundang Ibu di atas terlihat bagaimana bantahan tokoh Malin Kundang tentang anak durhaka dan telah dikutuk oleh ibunya menjadi batu.
Bantahan tetang anak durhaka ini sekaligus dapat
dimaknai sebagai sanggahan terhadap sebuah mitos tentang anak durhaka. Bagi Wisran Hadi anak durhaka hanyalah sebuah khayalan ibu yang dilatarbelakangi oleh kecemburuannya pada Puti Bungsu, istri Malin Kundang dan khayalan ibu tentang tokoh ayah yang datang kepadanya dengan membawa istri baru. Penolakan diri Malin Kundang sebagai anak durhaka yang dikutiki oleh ibunya menjadi batu, juga tergambar pada kutipan berikut. Malin Kundang
:Bagaimana seorang anak dapat melupakan ibunya sendiri, bila dia selalau mengingat anaknya, merindukan anaknya, memebrikan kasih sayang , meneteki dengan ikhlas dan melahirkan dengan pasrah. Bagaimana seorang anak dapat melupakan ibunya, selagi menggema cinta dalam hatinya? Dan dengan alasan apa, anak dapat melupakan ibunya. Dan dengan alasan apa, ibu dengan mata tertutup megutuki anaknya sendiri? Ibu. Hentikan impian itu karena Malin Kundang yang sesungguhnya telah datang.
Kedua, mitos tentang orang tua yang menjadi anutan. Dalam naskah drama, Wisran Hadi memunculkan watak lain dari orang tua. Malin Kundang dan Puti Bungsu bukanlah tipe orang tua anutan dalam mengasuh dan mendidik anak. Perselisihan antara Malin Kundang dengan istrinya Puti Bungsu berakibat
sengsaranya masa kecil anak, yaitu penyair. Ia terpaksa tinggal di Panti Asuhan akibat perpisahan orang tua mereka. Penyair
Malin Kundang Penyair
:Aku tidak menghiraukan lagi orang tuaku. Yang jelas aku telah hadir dalam kahidupan ini. Mereka beredua telah berkhianat pada dirinya, sehinggaaku terpaksa dibesarkan di rumah yatim piatu. Moral apa yang ada pada mereka, sehingga mereka dapat berbuat seperti itu? Ini, ini, bung. Itu sebabnya, aku, kukatakan sebagai Malin Kundang dalam sajaksajakku sebelumnya. : Kau dibesarkan di rumah yatim piatu? : Ya. Akibat kegagalan mereka sendiri, dan rasa keaku-an yang bertumpuk segede gunung! Di mana letak kemanusiaannya! Maaf, maaf. Aku lagi sedang emosi dengan masa kecilku (DMK: 23).
Dari kutipan dialog antara tokoh Malin Kundang dengan penyair, seolah-olah pengarang ingin memberikan gambaran tentang orang tua yang tidak pantas menjadi anutan. Degan kata lain, dalam naskah drama tersebut pengarang ingin mengatakan bahwa bapak dan ibu sang penyairlah yang durhaka kepada anaknya. Ketiga, penolakan terhadap mitos penamaan malin. Dalam Minangkabau malin
struktur adat
merupakan salah satu perangkat penghulu (pemimpin adat)
dalam satu negeri ( Navis, 1984: 143). Dalam melaksanakan roda pemerintahan adat, biasanya penghulu dibantu oleh empat orang pemimpin, yaitu. 1. Panungkek (penongkat), yaitu bertindak sebagai wakil penghulu . 2. Manti (mantri), yaitu pembantu penghulu dalam tata pemerintahan adat. 3. Malin, yang bertindak dan mengatur masalah keagamaan di dalan negeri.
4. Dubalang (hulubalang) yang bertugas sebagai pemimpin keamanan di dalam negeri. Dalam kaba drama Malin Kundang, Malin Kundang adalah anak yang durhaka. Namun, tidak demikian bagi Wisran Hadi. Dalam naskah drama secara implisit ia menolak Malin Kundang sebagai anak durhaka. Pandangan Wisran Hadi Malin Kundang bukanlah anak durhaka tetapi adalah anak yang baik dan berbakti kepada orang tua. Dengan penolakan yang dilakukan terhadap Malin Kundang anak durhaka sekaligus
juga Wisran Hadi memberikan interpretasi terhadap penamaan malin.
Sebagai seorang Minangkabau, apalagi sebagai budayawan Minangkabau, tidak mungkin Wisran Hadi tidak tahu dengan struktur kelembagaan pemerintahan negeri di Minangkabau.
4.2
Kritik Terhadap Sistem Matrilineal Keberadaan kaba Malin Kundang merupakan sebuah bentuk pengukuhan
hegemoni dari sestem matrilineal di Minangkabau. Hal itu dapat dicermatai dari dua aspek, pertama terlihat dari dominasi tokoh ibu dalam membesarkan Malin Kundang; kedua, kaba Malin Kundang tidak perah memunculkan tokoh ayah, bahkan cendrung memposisiskan tokoh ayah sebagai seseorang yang telah mati ketika Malin Kundang bayi. Dengan munculnya tokoh ayah pada naskah drama Malin Kundang jelas si
pengarang memberikan kritik tentang hegemoni sistem matrilineal yang tidak memberikan posisi yang layak kepada tokoh ayah. Curito kajadian di Ranah Minang, iyo hikayat Malin Kundang, awak laia bapak bapulang, mande lah tingga jo rang bujang (KMK: 2). Terjemahnnya: Cerita kejadian di daerah Minang, ialah hikayat Malin Kundang, ia lahir bapaknya berpulang, ibu tinggal dengan nak bujang. Dalam kaba Malin Kundang terjadi pengaburan struktur kelambagaan adat yang ada di Minangkabau, yaitu mamak (paman). Tidak dimunculkannnya tokoh paman dalam kaba Malin Kundang mengisyarakan sebuah pengaburan struktur adat yang baku di Minangkabau, padahal dalam struktut kelembagaan adat Minangkabau posisi seorang paman sangat jelas, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap saudara perempuan dan keponakannnya. Pada naskah drama Malin Kundang, Wisran Hadi berusaha memunculkan sebuah konflik yang muncul dari tindakan paman. Dengan memunculkan konflik yang bermula dari paman, Wisran Hadi telah berusaha memperjelas sebuah struktur kelembagaan adat yang berlaku di Minangkabau. Namun demikian, kehadiran paman dalam naskah drama membawa banyak konflik.
Dengan adanya konflik yang
melekat pada diri paman, Wisran Hadi juga melihat bahwa kedudukan dan posisi
paman sebagai seorang yang sangat menentukan dalam kelompok juga membawa banyak permasalahan kepada kelompoknya. Resepsi Wisran Hadi terhadap sistem matrilineal di Minangkabau juga memunculkan kritiknya tentang kepemilikan harta di Minangkaba. Karena paman adalah sebagai penguasa terhadap kaumnya (suku atau marga) maka secara otomatis kekuasaan dan pengaturan harta secara adat di Minangkabau dilakukan oleh paman. Sedangkan perempuan mempunyai hak untuk memiliki harta pusaka dibawah pengaturan paman. Dengan pola kepemilikan harta pusaka yang demikian memunculkan permasalahan jika seorang paman bertindak sewenang-wenang kepada saudara perempuan atau keponakannya. Konflik tersebut berusaha diangkat oleh Wisran Hadi dalam naskah dramanya, seperti kutipan berikut. Ayah Ibu Ayah
Ibu
: Apa artinya, kalau rumah telah digadaikan. : Sesaat nanti, kita akan memiliki kembali. :Dan kapan itu akan terjadi istriku. Dapatkah mamaknya Malin Kundang perpikir begitu? Mereka telah menggadaikan rumah kita, untuk jaminan pinjaman dari bank. Kepastian apa yang dapat kita pegang dari spekulasi dagang, yang kini mereka. :Dari segi lain kita telah menghindarkan penjara. Mereka terjepit dalam hutang yang banya. Apakah kita akan membiarkannya? Yah…, katakanlah aku telah terlanjur. Ayah : Kenapa rumah digadai sewaktu pemiliknya pergi. Kenapa tidak dibiarkan mereka menanggung akibat sendiri. Bila Malin Kundang dewasa kelak, kau tahu apa arti pemalsuan tanda tangan baginya? (DMK: 1-2)
Dari dialog antara tokoh ayah dan ibu di atas, terlihat bagaimana kekuasaan paman yang tidak terbatas terhadap kepemilikan harta di Minangkabau. Dengan semena-mena seorang paman menggadai rumah yang sudah dibangun oleh ayah di
atas tanah pusaka istrinya. Bukti kesemena-menaan paman adalah tidak minta izin kepada tokoh ayah dan ibu ketika menggadaikan rumah mereka, bahkan paman melakukan pemalsuan tanda tangan ketika menggadaikan rumah tersebut ke bank. Menggadai dilakukan paman bukanlah untuk membantu kehidupan saudara atau keponakannya sebagaimana tanggung jawabnya sebagai seorang paman, tetapi hanya untuk keperluan pribadinya yaitu jaminan pinjaman di bank untuk membayar hutang dagangnya. Selain itu, kekuasaan seorang suami di lingkungan keluarga istrinya juga menjadi salah satu kritik yang diungkap oleh Wisran Hadi dalam naskah dramanya. Hal ini berangkat dari posisi seorang suami dalam tatanan adat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau seorang suami mempunyai posisi sebagai orang datang dalam lingkungan kerabat istrinya (Navis, 1984:211). Seorang laki-laki yang telah diikat dalam hubungan perkawinan, dan kemudian tinggal dan berdiam di rumah istrinya, maka ia menjadi orang sumando (ipar) di keluarga istrinya. Walaupun ia telah menjadi orang sumando tetapi ia bukanlah bagian dari anggota keluarga. Ia tetap dianggap sebagai orang datang di lingkungan keluarga istrinya. Ia tetap menjadi bagian yang sah dari keluarga rumah ibunya, dimana ia berfungsi sebagai anggota keluarga dalam garis keturunannya. Predikat sebagai orang sumando berarti seseorang telah terikat dengan ketentuan adat
perkawinan yang berlaku dengan
sistem matrilineal. Dengan status orang sumando tersebut berarti seorang laki-laki Minangkabau sekaligus telah mewarisi gelar keluarga besarnya.
Dengan poisisi suami yang lemah seperti uraian di atas, maka Wisran Hadi mencoba melihat hal ini dari aspek lain. Bagi Wisran Hadi, karena suami dianggap orang datang dan tidak memiliki kekuasaan di rumah istrinya, maka ketika haknya diganggu oleh paman atau saudara istrinya, maka seorang suami berhak melakukan protes kepada kerabat istrinya.
Hal itu dilakukan untuk
tentu untuk menjaga
wibawanya dalam keluarganya. Dalam naskah drama Malin Kundang, protes yang dilakukan oleh tokoh ayah ialah dengan pergi meninggalkan rumah yang telah dibangun di atas tanah keluarga (kaum) istrinya. Bagi tokoh ayah, tindakan tersebut dilakukannya supaya saudara ibu menyadari kesalahannya dan meminta maaf pada tokoh ayah serta segera menebus gadai yang telah dilakukannya. Hal itu terlihat seperti kutipan berikut. Ibu
Ayah
Ibu Ayah
:Mereka juga tahu, rumah diperlukan untuk seorang perempuan dari turunanku nanti. Malin Kundang tidak akan dikecewakan, percayalah. :Kau sendiri atau mamaknya MalinKundang, aku tidak bermaksud menghinanya. Keberanian mereka kukagumi. Menggadaikan seseuatu yang bukan miliknya. Begitukah contoh yang diberikan mamaknya kepada Malin Kundang? Walaupun kau dan Malin Kundang menjadi tempatan hari tuaku, aku terpaksa meninggalkan. Kalau lelaki tidak berdaya di depan penghinaan, masih adakah alasan bagiya hadir di sini? Kalau lelaki tidak berdaya terhadap haknya yang dirampas, masih betahkan dia menegakkan kepala? :Melarikan diri bukanlah cara penyelesaian. :Ya. Melarikan diri bukanlah sifatnya. Tapi aku harus menegur mereka secara keras, tanpa hadir di depan mereka. Rumah ini harus ditebus kembali sesudah mereka mengantarkan maaf. Dan baru dapat aku kembali kepada hakku, istri, dan anakku Malin Kundang (DMK: 2-3).
Menurut Wisran Hadi, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan paman dengan menggadai rumah yang telah dibangun oleh tokoh ayah harus dilawan. Di sini terlihat Wisran Hadi memliki interpretasi lain terhadap peran dan posisi ayah dalam tatanan adat
Minangkabau. Secara implisit bisa dimaknai bahwa Wisran Hadi
menawarkan reposisi peran dan posisi ayah. Sebagai orang tua, ayah haruslah orang yang pertama bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya, sedangkan dari aspek
posisi, sebagai kepala keluarga, ayah harus dianggap sebagai aggota
keluarganya dari istrinya supaya dia dengan leluasa membina rumah tangganya.Hal ini juga tersirat pada kutipan berikut.
Ayah
4.3
:Tetaplah kau berada dalam tiran adat yang tak pernah mengakui hak-hak manusia. Mengerutlah kau dalam cekikan waktu entah kapan berkhirnya penjajahan. Asuhlah Malin Kundang dalam lingkaran setan. Bila nanti kita disalahinya, jangan salahkan ayahnya. Jangan salahkan bumi tempatnya, karena kau telah mengajarkan padanya pembangkangan (DMK: 4).
Oedipus Kompleks dan Elektra Kompleks
Pada kaba Malin Kundang, dikisahkan bahwa tokoh Malin Kundang adalah anak semata wayang yang sangat disayang oleh ibunya. Kedekatan antara ibu dan anak dikisahkan sebagai berikut. O sajak mulo (dik ai) bapaknyo mati, iduik mande mancari kayu api, anak dibao pagi-pagi, ka dalam rimbo (o) kayu dicari. Terjemahannya: Sejak mula bapaknya pergi, hidup ibu mencari kayu api, anak dibawa apagi-pagi, ke dalam rimba kayu dicari.
Navis (1994: 43) berusaha menguraikan kedekatan psikologis antara anak dengan ibu ini dari etimologi bahasa. Menurut Navis, kata kundang berasal dari kata ulang dikundang-kundang, yang berarti selalu dibawa. Bagi Wisran Hadi kedekatan antara tokoh-tokoh dalam cerita Malin Kudang diapresiasi dalam bentuk lain. Resepsi Wisran Hadi terhadap cerita Malin Kundang memunculkan gejala oedipus kompleks dan elektra kompleks. Istilah oedipus kompleks mengacu cerita Romawi Kuno. Pada mitologi Yunani Kuno, ada kisah tentang seorang raja membunuh bapaknya dan mengawini ibunya sendiri. Cerita berawal ketika Raja Laius, diingatkan oleh ahli nujum kerajaan bahwa kelak anak yang dikandung oleh istrinya akan membunuh dirinya. Begitu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki, maka oleh sang raja si anak segera dibuang ke dalam hutan. Nasib baik bagi si anak, secara kebetulan ada seorang yang lewat dalam
hutan, segera ia mengambil anak tersebut dan diserahkan kepada raja Corinthia. Kemudian Oedipus dirawat oleh raja hingga tumbuh menjadi remaja. Pada suatu ketika, tatkala Oedipus berjalan-jalan ke daerah Thebes,
ia
bertemu dengan Raja Laius, tak lain adalah ayahnya sendiri. Dalam pertemuan tersebut keduanya sempat bertengkar dan akhirnya mereka terlibat perkelahian, yang berakibat terbunuhnya Raja Laius. Setelah itu, di daerah Thebes ia juga berhasil menakluka makluk aneh yang bernama Sphinx. Atas keberhasilan Oedipus mengalahkan makluk aneh tersebut, ia kemudian diangkat menjadi raja dan mengawini Jocasta, yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pada bagian akhir cerita dikisahkan bahwa Jocasta bunuh diri setelah mengetahui bahwa yang menjadi suaminya adalah anaknya sendiri, Oedipus. Miltologi Kuno Yunanai tersebut telah mengilhami Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisis untuk memunculkan istilah baru tentang perkembangan ilmu kejiwaan dengan istilah oedipus kompleks (Damono, 2005: 56). Oedipus kompleks bermakna suatu keseluruhan hasrat cinta dan benci yang dirasaka anak terhadap orang tuanya. Milner (1992: 116) menjelaskan bahwa oedipus kompleks adalah salah satu incest yang berisis ketertarikan anak laki-laki kepada orang tua dari jenis kelamin yang berbeda dengannya (ibu). Dalam bentuk yang positif, oedipus kompleks tampil seperti apa yang ada dalam kisah raja Oedipus: agar rivalnya sang ayah, tokoh yang sejenis mati dan kemudian hasrat sekseualnya terhadap tokoh sang ibu dapat tercapai (Moesono, 2003: 34).
Dalam sastra Indonesia tradisional motif seperti kisah oedipus juga bisa kita temukan. Cerita rakyat Sangkuriang dari daerah Sunda dan Babad Tanah Jawi merupakan dua cerita yang memeliki motif yang hampir sama dengan cerita odipus. Pada kisah oedipus, tokoh anak dari awal sudah diingatkan oleh para peramal kelak yang dikawininya adalah ibunya sendiri. Lain halnya dengan cerita Sangkuriang, tokoh anak awalnya tidak mengetahui bahwa yang dicintainya adalah ibu kandungnya sendiri karena ia memang tidak ingat lagi dengan ibunya. Bahkan ketika si ibu mengatakan bahwa ia tak lain adalah ibu kandungnya sendiri, sang anak tidak mempercayainya. Lebih-lebih pada cerita dikisahkan bahwa Dayang Sumbi sangat cantik. Begitu juga ketika Sangkuriang membunuh ayahnya. Hal itu dilakukannya tanpa disengaja karena ia tidak tahu bahwa anjing yang terpanah olehnya ketika berburu di hutan adalah jelmaan bapaknya. Begitu juga dengan cerita Babad Tanah Jawi, Raja Sri Watugunung pada awalnya juga tidak mengetahui bahwa yang dinikahinya adalah ibunya sendiri, yaitu Sinta. Keduanya baru mengetahui tatkala Sinta mencari kuku dikepala Sang Raja, dimana Sinta melihat bekas luka di kepala raja. Lalu Sinta menanyakan kepada raja, ikwal bekas luka di kepalanya. Sang Raja mengatakan bahwa bekas luka di kepalanya akibat dipukul oleh ibunya dengan sendok nasi. Kemudian ibunya sadar bahwa ia telah kawin dengan anaknya sendiri. Elektra kompleks merupakan kebalikan dari odipus komplek. Elektra kompleks bermakna rasa senang seorang wanita atau ibu terhadap seorang laki-laki dan laki-laki tersebut diidolakan seperti bapaknya sendiri.
Dalam naskah drama Malin Kundang motif oedipus komplek dan elektra komplek sangat kelihatan. Oedipus komples terlihat dari kepribadian yang muncul dari sikap tokoh ayah. Tokoh ayah sangat menginginkan lahirnya seorang anak perempuan dari istrinya. Dia berangan-angan bahwa anak perempuan
tersebut
memiliki kesamaan dengan ibunya sehingga bisa mengobati kerinduan tokoh ayah kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Hal ini terlihat dari kutipan dialog tokoh ibu kepada ayah berikut. Ibu
:Kalau aku tidak dapat melahirkan seorang anak perempuan, bukankah ibumu yang salah. Mengapa ia mati sewaktu kau masih membutuhkan cinta kasih dari seorang ibu? Sehingga kau memerlukan seorang anak wanita sebagai cermin dirimu. Mengapa mesti aku yang disalahkan? Karena aku tidak dapat menjembatani kenangan itu? (DMK: 6).
dan kutipan berikut juga mendukung motif oedipus kompleks pada teks drama Malin Kundang. Ibu
: Karena dia meninggalkan aku kah? atau karena aku tidak dapat menjadi ibu dalam dirinya?
Dari kutipan dialog di atas, terlihat kerinduan ayah untuk mendambakan seorang anak perempuan dari istrinya, yang diharap dapat mengobati kerinduan ayah kepada ibunya yang telah meniggal dunia. Dengan kata lain, khayalannya tentang anak perempuan yang diidolakan oleh tokoh ayah sebagai sosok yang dapat mewakili dan memuaskan kerinduan dirinya pada ibu. Namun, keinginan tokoh ayah tersebut tidak terkabul karena si ibu hanya melahirkan anak laki-laki, yaitu Malin Kundang.
Motif elektra kompleks pada naskah drama Malin Kundang terlihat dari dialog tokoh Puti Bungsu, seprti kutipan berikut. Wanita
: Aku telah menempuhnya sendiri. Bagiku jalan itu adalah kekuatanku. Ditinggalkan atau meninggalkan setelah suatu pertemuan terjadi, adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Bukankah Malin Kundang yang kini sedang . . mencari ayahnya, lalu bertemu denganku. Dalam bentuknya yang berlawanan akan menjadi ketentraman juga buatnya. Bukankah persamaan dengan satu jalan yang kutempuh, di mana aku melihat Malin Kundang sebagai gambaran ayahku juga? Dan ibu sendiri melihat kami berdua seperti ibu melihat masa lampau? Ikutilah yang ada. Mau apa kita dengan keinginan-keinginan dan pikiran-pikiran untuk mengubahnya? Apakah semua itu dapat menentramkan? (KM: 19).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Puti Bungsu sangat mengidolakan Malin Kundang, bahkan dalam diri Malin Kundang, Puti Bungsu melihat gambaran dan sosok ayahnya sendiri. Gejala lain dari elektra komplek dalam naskah drama Malin Kundang adalah kecemburuan tokoh ibu kepada calon menantunya Puti Bungsu (wanita). Tokoh ibu cemburu dan seakan tidak rela Malin Kundang dimiliki oleh tokoh Puti Bungsu. Hal ini tergambar seperti kutipan dialog berikut
Wanita Ibu
Wanita
: Ibu. Bagiku semua bukan impian, bila ayah dan ibu pergi dengan hanya meninggalkan pesan. : Suaramu sangat merdu. Aku senang mendengarnya tapi sekaligus kecemburuanku sekaligus menjadi besar. : Dapatkah kecemburuan itu hapus, kalau aku memberikan kasih sayang pada Malin Kundang.
Ibu Mali Kundang
Ibu Malin Kundang
Ibu
: Dengan kata –kuizinkan-, aku telah merasa melapaskan. : Memang kerelaan buat kita sangat tabu. Tapi kalau ibu ingin aku menemui ayah kembali dalam bentuk lain, izinkan aku dan wanita ini dapat hidup bersama. : Mengerikan anakku. Siapakah nanti yang akan ditinggalkan setelah keduanya saling bertemu. : Mengapa ketakutanmu juga harus menakuti diriku? Dapatkan ibu menerima hal ini dengan sedikit mengurangkan kenangan masa lalu? : Bagaimana kita dapat menghapus semuanya itu, Malin Kundang. Semuanya telah dibuatkan jalan untuk kita tempuh bersama (MK: 18).
Dari kutipan dialog di atas terlihat ketidakrelaan tokoh ibu untuk melapaskan anaknya kepangkuan Puti Bungsu. Walaupun secara lahirilah Malin Kundang direlakan menjadi suami Puti Bungsu, tetapi secara batiniah tokoh ibu tidak merelakan. Ini dapat dilihat dari kalimat :Dengan kata ku izinkan. Kalimat di atas mengandung makna bahwa ibu tidak dengan tulus mengizinkan Malin Kundang jatuh ke tangan Puti Bungsu. Hal tersebut diperkuat dari dialog tokoh ibu: Bagaimana kita dapat menghapus semuanya itu, Malin Kundang. Semuanya telah dibuatkan jalan untuk kita tempuh bersama.Bahkan melihat kedekatan antara Puti Bungsu dengan Malin Kundang juga memunculkan rasa cemburu pada diri ibu: Suaramu sangat merdu. Aku senang mendengarnya tapi sekaligus kecemburuanku sekaligus menjadi besar.
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan
Berdasarkan pembahasan analisis yang telah dilakukan terhadap teks Malin Kundang, dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut. (1)
Struktur teks drama Malin Kundang memperlihatkan sebuah struktur karya sastra baru yang berbeda dengan struktur teks kaba Malin Kundang. Dari bentuk teks, drama Malin Kundang terdiri atas lima babak. Masing-masing babak berisi teks utama dan teks penunjang atau teks samping, sedangkan teks kaba Malin Kundang terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka cerita, bagian isi cerita, dan penutup cerita.
(2)
Betuk–benuk pentransformasian dari teks kaba ke teks drama meliputi bentuk:
(a)
Transformasi bahasa. Dari segi bahasa yang digunakan juga terjadi sebuah transformasi. Pada kaba Malin Kundang medium bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau. Idiom-idiom yang digunakan merupakan idiom yang
ada dalam ranah bahasa Minangkabau.
Tidak demikian halnya dengan naskah drama Malin Kundang, medium bahasa yang digunakan adalah adalah bahasa Indonesia. Karena menggunakan medium bahasa Indonesia, maka idiom bahasa yang digunakan adalah diom bahasa Indonesia. Kesan sebagai hasil
kreativitas sastra modern sangat tampak pada naskah drama Malin Kundang.
(b)
Transformasi alur. Pada kaba Malin Kundang alur yang digunakan adalah alur maju atau progresif. Peristiwa-peristiwa dikisahkan secara runtut dan bersifat kronologis dari awal hingga akhir cerita. Sementara transformasi alur yang terjadi pada teks drama Malin Kundang memperlihatka bahwa teks drama mempergunakan alur flash-back atau sorot balik.
(c)
Trasnformasi tema. Teks kaba Malin Kundang bertemakan tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibu kandungnya. Transformasi yang terjadi pada teks drama ialah perubahan bentuk tema. Teks drama memiliki dua tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayornya adalah sebuah sistem adat yang kaku membuat hancur sebuah rumah tangga, sedangkan yang menjadi tema minor adalah perpisahan orang tua berakibat terlantarnya kehidupan anak.
(d)
Transformasi tokoh. Dari segi tokoh juga terjadi sebuah transformasi. Pada teks kaba tokoh yang dimunculkan yaitu tokoh Malin Kundang, Ibu, Nakhoda, dan Ambun Sori, sedangkan tokoh-tokoh yang
dimunculkan pengarang dalam naskah drama Malin Kundang yaitu, Ayah Malin Kundang, Ibu Malin Kundang, Malin Kundang, Puti Bungsu, dan Penyair.
(e)
Transformasi latar. Latar tempat pada Kaba Malin Kundang adalah Pantai Air Manis, di kaki Gunung Padang dan daerah Bugis. Lain halnya dengan teks drama Malin Kundang latar tempat tidak ditampilkan secara jelas. Namun, dari keseluruhan cerita dan konflik yang muncul dalam cerita, serta nama tokoh yang dimunculkan, seperti nama mamak jelas menunjuk pada penyebutan yang khas di Minangkabau maka latar yang ditampilkan adalah Minangkabau secara umum.
(3) Transformasi isi teks Malin Kundang sangat dipengaruhi oleh penerimaan
pengarang
terhadap
teks
yang
ada
sebelumnya.
Penerimaan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan hidup dan keyakinan pengarang. Transformasi isi teks memperperlihatkan adanya keinginan revitalisasi peranan sistem adat Minangkabau, seperti: (a)
Tradisi kepemilikan harta. Dalam teks drama pengarang memberika pesan bahwa sebagai pemimpin terhadap kaumnya, paman harus
melindungi
kepemilikan
harta
kerabatnya.
Selain
itu,
dalam
pembinaan terhadap anak keponakan, paman dan orang tua harus memiliki
tanggung
jawab
yang
berimbang
dalam
membina
kerabatnya.
(b)
Pada teks drama Malin Kundang karya Wisran Hadi, rantau bagi tokoh ayah tidak hanya sekadar tempat mencari kehidupan yang layak seperti yang terjadi pada teks kaba Malin Kundang, tetapi juga sebagai tempat “melarikan diri” ketika terjadi konflik di rumah tangga.
(c)
Perjodohan yang terjadi pada kaba Malin Kundang sudah mengenal akulturasi budaya. Perjodohan antara tokoh Malin Kundang dari budaya Minangkabau dengan Ambun Sori dari budaya Bugis. Namun sangat menarik bentuk perjodohan yang terjadi pada teks drama. Perjodohan tidak terjadi antarsuku tetapi perjodohan menyangkut aspek strata kehidupan. Perkawinan antara Malin Kundang dengan Puti Bungsu. Malin Kundang sebagai simbol dari orang miskin, sedangkan Puti Bungsu merupakan putri bangsawan turunan kerabat kerajaan Pagarruyung.
(4)
Resepsi
Wisran
Hadi
terhadap
teks
cerita
Malin
Kundang
memunculkan interpretasi baru terhadap hal-hal berikut. (a)
Perlawanan terhadap mitos. Kongkretisasi cerita dari realitas hidup telah membuat pengarang melakukan perlawanan terhadap sebuah mitos yang ada, yaitu mitos tentang Malin Kundang. Perlawanan terhadap mitos yang dilakukan Wisran Hadi sebagai seorang penulis cenderung memunculkan sebuah kontramitos baru tentang Malin Kundang.
(b)
Resepsi
Wisran
Hadi
terhadap
cerita
Malin
Kundang
juga
memperlihatkan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dilihat dengan adanya motif oedipus kompleks dan elektra kompleks pada teks drama Malin Kundang Wisran Hadi.
5.2
Saran Studi perbandingan sastra tradisional dengan sastra modern di Indonesia
merupakan studi yang masih jarang dilakukan oleh peneliti, oleh karena itu penelitian yang serius dan mendalam tentang perbandingan tersebut perlu terus digalakkan dan diberi apresiasai demi mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Imran T. 1994. Resepsi Sastra dan Penerapannya. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Adila, Ifan. 1996. “Puti Bungsu (Wanita Terakhir) Analisis Struktural dan Intertekstual”. Tesis. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta. Ampera, Taufik. 2005. “Transformasi Unsur Fabel dalam Puisi Untuk Anak Tikus Berpantun karya Maria Amin”. Tesis. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta. Culler, Jonathan. 1981. The Persuit of Sign. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Damono, Sapardi Djoko.2002. Pedoman Penelitian Sosilologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. __________ 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Endraswara, Suwarna. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hadi, Wisran. 1978. ”Naskah Drama Malin Kundang”. Hamid,Ismail 1987. Perkembangan Kesusasteraan Melayu Lama. Malaysia: Longman. Hasanuddin WS. 2003. Transformasi dan Produksi Sosial Teks Melalui Tanggapan dan Penciptaan Karya Sastra: Kajian Intertekstual Teks Cerita Anngun nan Tungga Magek Jabang. Bandung: Dian Aksara Press. Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. ___________ 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasai: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia ___________ 1984. Sejarah Melayau Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD. ___________ 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia __________ 1986. Sosiologi Sastera Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. __________ 1989. Fiksyen dan Sejarah Suatu Dialog. Bahasa dan Pustaka.
Kuala Lumpur: Dewan
Luvemburg, Jan Van dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh Dich Hartoko. Jakarta: Gramedia. Mahayana, Maman SA. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing. Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.
Moesono. 2003. Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI. Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaa Minangkabau. Jakarta: Grafitipers. Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo. Noor, Redyanto. 2006. ”Sastra Dunia : Sastra Bandingan” Makalah. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Noor, Redyanto. 2007. ”Perspektif Resepsi Novel Chiclit dan Teenlit Indonesia” Makalah. Program Doktor Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Nurgiyanto, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gajah Mada University Press. Pudentia, M.P.S.S.1992. Transformasi Sastra: Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung. Jakarta: Balai Pustaka Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Remak, Henry H.H. 1990. ”Sastra Bandingan Takrif dan Fungsi” dalam Stallkneht, Newton P. dan Horst Frenz. (ed) Sastra Bandingan Kaidah dan Perpektif (terjemahan Zalila Syarif dkk). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Stallknecht, Newton P & Frenz Horst (ed) 1990. Sastra Perbandingan Kaedah dan Perspektif: Edisi Semakan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Sumardjo, Jakob. 1997. Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Udin, Syamsuddin. 1980. “Transkripsi Kaba Malin Kundang”.
Wellek, Rene & Austin Waren. 1990. Teori Kesustraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.