TRADISI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DINASTI TIMUR TENGAH Dedy Sumardi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh Jl. Syeikh Abdul Rauf Kopelma Darussalam Banda Aceh Email:
[email protected]
Abstrak Artikel ini bertujuan menguraikan karakteristik pemikiran hukum Islam pada masa Dinasti Umayyah yang sarat dengan nuansa kedaerahan. Dominannya penguasa yang berasal dari suku Arab turut mempengaruhui sejumlah kebijakan terkait dengan perkembangan hukum Islam pada saat itu. Penggunaan riwayat sahabat diberlakukan sebagai rujukan utama dalam memutuskan hukum. Kebijakan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan emosional dan geografis dengan tradisi ulama Hijaz yang masih memegang kuat hadis Nabi. Namun demikian, penguasa Dinasti Umayyah memberikan kewenangan berkreasi pada lembaga peradilan sebagai lembaga independensi yang berfungsi menjalankan putusan-putusan hukum yang berasal dari pendapat para tabi’in. Pendapat tabi’iin menjadi rujukan para hakim dalam memutskan perkara disamping mereka melakukan ijtihad melalui penalaran deduksi yang selanjutnya menjadi yurispridensi hukum Islam pada saat itu. Kata Kunci: Pemikiran Hukum Islam, Dinasti Umayyah, Mazhab Hukum, Peradilan Islam Abstract The aim of this article is to describe the characteristics of Islamic legal thought during the Umayyad era laden with regional nuances. The dominance of rulers who came from Arab tribes also affect a number of policies related to the development of Islamic law at the time. The use of companions’ reports imposed as the main reference in the judgment. This policy is very closely related to the emotional and geographical ties with the tradition of Hijaz scholars who still holds strong traditions of the Prophet. However, the ruling Umayyads ruling authorizes the independence of the judiciary as an institution that functions execute decisions of law derived from the opinions of tabi'in. Tabi'in a reference opinion of the judges in deciding cases in addition to those doing ijtihad through deductive reasoning which subsequently became yurispridensi Islamic law at the time. Keywords: Islamic Legal Thought, Umayyad Dynasty, Schools Of Islamic Law, Islamic Judiciary
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2016 E-ISSN: 2502-6593
83
84
Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Pendahuluan Dalam perkembangan sejarahnya, dinasti Umayyah berkuasa kurang lebih 90 tahun. Dinasti ini dimulai dari masa pemerintahan Mu’awiyah sejak tahun 41 H/661 M dan berakhir pada masa Marwan II tahun 132 H/750 M. Adapun ibukota pemerintahan Umayyah berada di 1 Damaskus; dan pemindahan ibukota ini tentu telah merubah semangat kompromi atas penyebaran hukum Islam yang telah berkembang selama periode Madinah.2 Peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian menyebabkan perubahan terhadap Islam secara mendalam. Serangkaian penaklukan militer melahirkan kehati-hatian, yang semakin lama semakin memuncak terhadap kekuasaan politik. Akibatnya, pertimbangan terhadap pengembangan dan pemikiran Islam termasuk hukum lambat laun semakin menyusut dan bukan menjadi pertumbuhan skala prioritas. Ekspektasi terhadap perluasaan kekuasaan dari segi politik pada masa Umayyah-Damaskus (era tabi’in) memberi penegasan, dimana terdapat tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia Islam, dan di antaranya sesuai dengan pernyataan Ahmad Hasan, yakni Iraq (mazhab Bashrah dan Kufah), Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Syria.3 Kegiatan pengembangan dan pemikiran hukum Islam- khusus kepada nama dan wilayah yang disebutkan terakhir menurut Ahmad Hasan dilandasi kepada dua hal: Pertama, para sarjana hukum Islam awal (tabi’in) tidak takut untuk mengutamakan pendapat seorang sahabat 1
Untuk lebih jelasnya terkait sejarah Umayyah, lihat Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 418-420. 2 Selama periode Madinah, prinsip-prinsip peng-undangan al-Qur’an telah dikembangkan oleh Nabi Saw. dan pengganti-penggantinya sejauh yang dibutuhkan oleh masalah-masalah praktis yang dihadapi masyarakat muslim Madinah. Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantern dan Masyarakat (P3M), 1987), 26. 3 Ahmad Hasan, Pintu Ijtijhad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 2001), 18-20.
daripada pendapat sahabat yang lain, bahkan pendapat seorang tabi’in terkadang menjadi prioritas daripada pendapat seorang sahabat. Kedua, para tabi’in sendiri telah mengembangkan pemikiran hukum secara independen dan bernilai otentik untuk digunakan sesuai tingkat relevansinya dengan kebutuhan mereka, dan ini dinilai sebagai langkah yang konstruktif.4 Pada point kedua di atas, jika dicermati secara profesional dan proporsional menunjukkan bahwa era Umayyah, dimana Damaskus sebagai pusat ibukota, yang secara politik dan kekuasaannya ikut mendukung aktivitas pengembangan hukum Islam secara berkala dan dari segi aspek dan berdimensi luas. Bahkan upaya atau gagasan untuk melakukan rumusan-rumusan hukum pun dirancang berdasarkan faktor-faktor lokal dan regional. Rumusan-rumusan hukum tersebut tentu tidak melibatkan sepenuhnya para khalifah, karena itu hukum menjadi urusan masyarakat secara personal dan posisi khalifah sebatas menjaga struktur administrasi yang ada di setiap propinsi. Sistem pemerintahan Umayyah banyak menyerap konsep-konsep dan institusiinstitusi asing. Hal ini terlihat dengan menyebut penerapan dzimma (pajak; upeti), dan muhtasib yang dulunya dikenal dengan amil al-suq (inspektur pasar).5 Dikarenakan pemerintahan Umayyah memegang kendali politik dan kekuasaan melalui stuktur administrasi yang kuat, berarti dengan sendirinya pemerintah ikut mempengaruhi keadaan hukum. Dengan kata lain, hukum begitu terikat dengan aroma politik pemerintahan; dan bagi mereka (para qadhi) yang diberikan kewenangan sebagai pemutus hukum hanyalah untuk menerapkan sistem administrasi hukum, dan bukan dalam konteks ilmu tentang yurisprudensi yang dimilikinya. Yurisprudensi Islam pada masa pemerintahan Umayyah bukan lagi analisis ilmiah terhadap praktek peradilan, meski 4 Ahmad Hasan, Pintu Ijtijhad Sebelum Tertutup, 28-30. 5 Noel J. Coulson, Hukum Islam, 32.
Dedy Sumardi kewenangannya telah diakui, namun aktivitas mereka sebatas merumuskan hukum yang terkadang justru berlawanan dengan praktek peradilan. Oleh karena itu, pendekatan hukum Islam pada era Umayyah lebih ke arah religius dan idealistik. Konfigurasi dan Pemikiran Hukum Islam Sebagaimana uraian sebelumnya, dimana alur pemikiran di era Umayyah (tabi’in), hukum Islam lebih mengedepankan perbuatan atau pendapat sahabat. Model ini tentu mengisyaratkan bahwa kalangan tabi’in sangat kental dengan alur pemikiran ulama Hijaz (Madinah). Kecenderungan dalam model pemikiran seperti ini, boleh jadi lantaran kebiasaan-kebiasaan mereka (tabi’in) masih terikat erat secara psikologis maupun geografis dengan pemikiran ulama Hijaz. Oleh karena itu, wajar saja para tabi’in lebih memilih pendapat sahabat ketika merekonstruksi persoalan-persoalan hukum, dengan pertimbangan bahwa sahabat lebih dekat dengan hadis. Bahkan dalam sejumlah literatur disebutkan para tabi’in akan dengan mudah mengikat pendapat mereka dengan mengikuti pemikiran para pendahulu dari kalangan sahabat, seperti ibn Abbas, ibn Umar, Zubair Abdullah ibn Amr ibn Ash.6 Namun menurut ibn al-Qayyim hukum Islam pada masa tabi’in disebarkan oleh para pengikut 4 (empat) sahabat terkemuka, yaitu: ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengambil hukum Islam dari Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar, orang Mekah diwarisi oleh fikih Abdullah ibn Abbas dan orang Irak diwarisi oleh fikih Abdullah ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama dari kalangan tabi’in bisa dicatat beberapa tokoh utamanya, yaitu: Atha ibn Rubah, Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di Mekkah, Amr ibn Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di 6
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Pernikahan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 32-34; Rasyad Hasan Khalil, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: AMZAH, 2009), 12-13.
85 Bashrah, Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn Salmani di Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam ibn Yusuf dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan sejumlah ulama hukum Islam yang berada di Irak.7 Berdasarkan kecenderungan ini, pemikiran hukum Islam pada masa tabi`in mengarah kepada dua bentuk. Pertama, lebih banyak menggunakan riwayat dibanding dengan penalaran akal. Metode demikian ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam Madinah dengan tokohnya Sa`id ibn al-Musayyab. Kedua, lebih banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan menggunakan riwayat. Metode pemikiran ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam Kufah dengan tokohnya Ibrahim al-Nakha`i. Cara ini lebih dikenal dengan sebutan “Aliran Kufah”. Adapun mazhab Madinah menjadi mazhab Malik, sedangkan mazhab Kufah menjadi mazhab Hanafi yang akan berkembang selanjutnya di era Abbasiyah. Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum syariat dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang ada dalam rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuantujuan moral yang berada dibalik hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan tanggapan kritis dari para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang memandang hukum sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih memilih memahami nash secara tekstual dan menganggap fatwa sahabat sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dan as-Sunnah/ Hadis.8 Proses penggunaan penalaran rasional pun kerap diwarnai atas dasar metode dialektika (jadali) atau yang lebih
7
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lām al Muwaqqi‘īn (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) I: 21. 8 Mun’in A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 33.
86
Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016
dikenal dengan deduksi-logis.9 Model metode ini dapat dilihat berdasarkan cara tabi’in menjelaskan tentang suatu hukum, dengan cara mengajukan pertanyaanpertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-tesis) dan antitesa. Kedua pernyataan ini kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip logika untuk memperoleh kesimpulan (tesa akhir). Ditambahkan bahwa pendekatan pada model ini terkadang menggunakan pendekatan analogi (qiyas) dan argumentasi (illat), rumus-rumus/asas, dan termasuk konsideran tujuan kendati tidak terlalu konsisten. Meski kemudian, penggunaan model ini untuk menentukan hukum terhadap suatu masalah yang secara fisik tidak disebut dalam nash, tetapi secara simbolik diisyaratkan oleh nash karena mempunyai referensi tertentu. Namun karena cara berpikir analogis ini terkesan kaku, maka ditemukan metode berpikir yang lebih longgar, sebagai pengembangan dari qiyas, yaitu istihsan. Ini menunjukkan kembalinya kebebasan berpendapat dalam bentuk baru. Sementara bagi kelompok Hijaz, makin diperkokohnya konsep sunnah yang cenderung mengklaim generasi pendahulu sebagai sumber dalam rangka mengkokohkan tradisi. Kesamaan keduanya terletak pada metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam alQur’an. Namun sistem hukum mereka berbeda jauh yang disebabkan perbedaan ruang. Kebebasan pendapat yang dinikmati ulama Kufah membuahkan perbedaan pendapat yang tidak sedikit.10 Selanjutnya, pertentangan antara madzab-madzab pertama yang mapan, dan kaum oposisi yang dogmatis kini mengkristal menjadi konflik antara penganut kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-ra’y) dan penganjur penggunaan hadits Nabi saw semata secara ketat (ahl al-hadis). Lebih jauh perbedaan pendapat tidak hanya terjadi
antara satu madzab dengan madzab yang lain, tetapi juga didalam masing-masing madzab. Hal ini menjadikan tidak adanya keseragaman hukum merupakan ciri utama hukum di masa itu.11 Meskipun ulama tabi’in dalam berijtihad mengikuti petunjuk dari cara berijtihad ulama sahabat di masing-masing kota, namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berbada dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi. Qadhi Syuraih dan beberapa ulama tabi’in, misalnya berfatwa tidak menerima kesaksian salah seorang suami-istri terhadap yang lain di peradilan dan kesaksian orang tua terhadap anaknya dan anak-anak terhadap orang tuanya. Fatwa tersebut berebeda dengan ketetapan khalifah Ali ibn Abi Thalib. Alasan yang dikemukakan Qadhi Syuraih adalah adanya unsur Tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam kesaksiannya. Demikian pula, ulama tabi’in menetapkan ketidakbolehan perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa itu banyak orang yang jahat dan fasik yang selalu mengganggu perempuan. Padahal hal itu diperbolehkan pada masa Rasulullah asalkan tidak memakai wewangian.12 Terdapat pula penjelasan yang digambarkan oleh Ahmad Hasan ketika alAwza’i mempergunakan istilah la ba’sa, halal, haram dn makruh dalam tulisantulisannya. Istilah-istilah ini telah digunakannya dalam pengertian masingmasing sebagai “diizinkan” dan “tidak disukai.” Ketika beliau membicarakan masalah penjualan tawanan perang, ia menyatakan bahwa kaum muslimin tak menganggap sebagai hal yang tercela (la ba’sa) untuk menjual tawanan perang perempuan, namun menjadi tercela (yakrahuna) atas penjualan tawanan perang lelaki, meski menerima penukarannya bagi tentara muslim yang tertawan. Tampaknya, istilah-istilah yang dipakai al-Awza’i atas kasus tersebut sebatas pada pengertian yang
9
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), 32. 10 Noel J. Coulson, Hukum Islam, 42.
11 12
Noel J. Coulson, Hukum Islam, 59.
Amir Starifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 2001), II: 246.
Dedy Sumardi bersifat literal (sebatas pengalaman atau ungkapan-ungkapan yang biasa) daripada mencari subtansi hukum (lebih ilmiah dan bersifat teoritis). Konkritnya, beliau menggunakan istilah-istilah ini untuk kasuskasus yang masih diperselisihkan dan tidak dikategorikan ke dalam “yang diperbolehkan” atau “yang dilarang” dalam nash.13 Demikian pula kasus lainnya terkait pembayaran honorarium tentara, dimana pemerintah mengeluarkan semacam cek. Dengan cek ini mereka bisa mengambil padi dari lumbung pemerintah dalam jumlah tertentu setelah masa panen. Perhitungan tentang adanya kemungkinan turun naiknya harga padi, melahirkan aktivitas baru, berupa jual beli cek. Praktek inilah yang kemudian, setelah dikaji, tidak disetujui oleh kalangan ulama era Umayyah. Menurut ulama-ulama tabi’in kala itu, praktek seperti itu dikategorikan sebagai riba yang dilarang oleh nash. Guna memberi makna riba yang lebih luas daripada hanya sekedar “bunga dari modal pinjaman”, para ulama menggabungkan dengan larangan judi. Artinya, mereka melihat adanya unsur kesamaan antara riba dan judi; dan karena unsur itulah keduanya dilarang oleh nash. Bahkan unsur riba diperluas mencakup segala pendapatan atau laba yang diperoleh lantaran kesempatan semata, tanpa adanya pekerjaan yang menuntut diperoleh gaji. Demikian pula dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh akibat tidak bisa diperhitungkan secara tepat, juga berdampak kepada riba. Upaya dan gagasan pengharaman cek oleh ulama, maka dirumuskan suatu aturan bahwa seorang pembeli bahan makanan tidak boleh menjualnya kembali sebelum menerima barangnya. Aturan ini berlaku secara simultan antara Madinah dan Kufah, kendati prakteknya tidak terlalu persis; praktek Madinah hanya membatasi pada bahan makanan saja, sementara Kufah berlaku
87 kepada semua barang yang dapat dipindahkan.14 Kasus-kasus di atas telah memperlihatkan bagaimana penerepan hukum pada era Umayyah-tabi’in. Untuk melihat perkembangan selanjutnya, para tabi’in berusaha menerapkan sistem atau model hukum (Islam) berasal dari tradisi negara khalifah. Hukum dikembangkan oleh para tabi’in secara individual melalui kerangka tafsiran dan tingkat pemahaman mereka atas dalil nash. Hasil ijtihad para tabi’in secara serta merta berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat secara individual di dalam kehidupannya atas dasar ketaatan mereka kepada Allah swt (agama). Sementara pelaksanaannya kerap dieksekusi oleh badan pengadilan (arbitrase), kendati sebagiannya terjadi secara serta merta melalui ketaatan para hakim, atau pelaksanaannya diperoleh atas dasar rekomendasi kebijakan penguasa negara, seperti dalam perkara jarimah hudud.15 Ketidakkonsistensi antara para qadhi (dalam konteks tertentu dipandang sebagai ulama), hakim (pemutus hukum) dan pemerintah dalam urusan hukum (Islam) pada era Umayyah adalah suatu dinamika yang rumit. Keputusan qadhi (ulama) misalnya, cenderung dianggap bukan sebagai hukum Islam (fikih). Keputusan dan kebijakan para penguasa (pemerintah) pun jarang sekali yang dihargai atau dimasukkan menjadi hukum Islam, bahkan banyak yang dianggap sebagai keputusan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan hukum Islam, sehingga ditolak oleh qadhi (ulama). Agar ulama memperoleh keputusan hukum (diakui pendapatnya), maka ulama memerlukan uji kelayakan dalam bentuk karya ilmiah, yang kemudian dilakukan sistematisasi dalam bentuk buku sebagai hasil ijtihad mereka. Sekiranya pendapat para ulama era tabi’in masih dalam bentuk laporan yurisprudensi, maka tindakan yang demikian akan dinilai (oleh kalangan 14
Noel J. Coulson, Hukum Islam, 43-44. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: RayaGrafindo Persada, 1996), 105107. 15
13
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad, 29.
88
Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016
pemerintah maupun lembaga lainnya) sebatas keputusan personal, dan itu tentu tidak berdampak sistemik serta tidak mengikat bagi masyarakat luas. Kebijakan Politik dan Penerapan Hukum Islam Pemerintahan dinasti Umayyah memiliki ciri Arabisme, yakni mendahulukan bangsa Arab dari bangsabangsa muslim lainnya. Ciri ini tentu saja bertentangan dengan apa yang telah dipraktekkan Nabi Saw. dan para sahabat sebelumnya. Bahkan secara garis besar alQur’an sendiri tidak pernah membedakan satu golongan dengan golongan lainnya, satu bangsa dengan bangsa lainnya. Sikap fanatisme kearaban (ashabiyah) yang menjadi simbol kekuasaan era Umayyah adalah pilihan politik. Pernyataan ini dibuktikan ketika Hisyam ibn Abdul Malik pada tahun 105 H menjabat kepala pemerintahan, dengan mengganti para pemimpin yang berasal dari suku Yaman, dan menempatkan kalangan suku Qays ke dalam sistem pemerintahan. Gejolak politik pun tidak dapat dihindari di antara kedua suku tersebut.16 Lantaran tulisan ini tidak dalam format sejarah politik Umayyah, kiranya penting juga untuk dicatat, bahwa kedua suku di atas antara Yaman dan Qays ikut mempengaruhi corak perkembangan politik pada masa Umayyah. Perkembangan politik tidak sebatas menguasai wilayah kekuasaannya, melainkan bertujuan merubah tatanan dan sistem hukum kenegaraan. Organisasi negara Islam di bawah regim Umayyah tidak secara tegas memisahkan antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif. Dalam kedua hal ini kekuasaan tertinggi tetap berada pada khalifah. Melalui pendelegasian otoritasnya banyak pejabat (bawahannya) yang memiliki wewenang yudikatif dalam batas16
Penjelasan lebih lanjut tentang fanatisme kearaban era Umayyah, lihat Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, terj. Ahmad Fahrurozi, dkk (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), 196 dst.
batas daerah territorial atau fungsional dari tugas administrasi mereka. Gubernur propinsi, komandan tentara, pejabat kas negara (bayt al-mal), inspektur (pengawas) pasar, dan bahkan pejabat pengairan memiliki hak dan kewenangan dalam konteks hukum untuk mengadili setiap perbuatan yang dianggap telah melanggar. Sementara itu, pejabat polisi (syurthah) merangkum aneka ragam wewenang. Sebab ruang lingkup tugasnya meliputi penyelidikan atas kejahatan, penangkapan, pemeriksaan (dalam pengadilan) dan hukuman bagi terhukum.17 Lalu bagaimana penyelesaian dalam hal perkara-perkara perdata (keagamaan), yang oleh penguasan (pemerintah) didelegasikan kepada qadhi. Posisi qadhi lambat laun menjadi penting dan dipandang sebagai jabatan strategis dalam sistem pemerintahan Umayyah. Aktivitas para qadhi yang diangkat oleh pemerintah dengan sejumlah rekomendasi pihak-pihak tertentu tidaklah bersifat netral atas perkaraperkara yang akan diputuskan. Meski kemudian, para qadhi yang diangkat oleh pemerintah memiliki wewenang yudikatif secara umum, menembus sistem pemisahan administrasi negara yang bersifat subsider (tambahan). Dan ketika masa pemerintahan Umayyah berakhir, mereka telah menjadi alat negara yang sentral dalam hal menangani hukum. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, mereka bukanlah para pemutus hukum yang sama sekali independen; dan keputusan-keputusan hukum mereka dapat ditinjau kembali oleh penguasan politik atau lebih dikenal dengan hukum Umayyah.18 Meski pengaruh kekuasaan yudikatif semakin disempurnakan, hanya saja tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan peradilan, sehingga tidak banyak informasi tentang peradilan yang didapatkan pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih banyak disibukkan dalam urusan politik kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan 17 18
Noel J. Coulson, Hukum Islam, 139. Noel J. Coulson, Hukum Islam, 139.
Dedy Sumardi difokuskan pada upaya pembasmian terhadap para para pemberontak dan penentang pemerintahan. Bahkan dalam pandangan Hasbi Asshiddiqie, bahwa salah satu perkembangan yang dicapai era Umayyah dalam sistem peradilan adalah mulai dibukukannya putusan-putusan hakim. Demikian juga sidang-sidang sudah dilaksanakan di gedung yang memang diperuntukan untuk proses peradilan.19 Proses lembaga peradilan era Umayyah telah terorganisasikan secara mandiri, lembaga peradilan pada masa ini dikenal dengan Nizham al-Qadha (organisasi kehakiman) yang sudah dipisahkan dari kekuasaan politik.20 Dalam konteks kebijakan administrasi hukum, pemerintahan Umayyah mengambil langkah yang siginifikan, yakni menjadikan hakim sebagai pembentuk hukum yang hanya berlaku terhadap orang Islam. Para hakim diperkenankan untuk menggunakan kreasinya dalam mengkombinasikan hukum lokal dengan semangat al-Qur’an dan norma-norma hukum temporer yang berlaku di dalam masyarakat muslim pada waktu itu.21 Pada saat itu, mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi keputusankeputusan hakim, maka jika tidak didapatkan nash dan ijma, hakim diperkenankan untuk memutuskan perkara dengan hasil ijtihadnya sendiri.22 Kebijakan 19
Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Bahkan keputusan mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalam hal tersebut khalifah selalu mengawasi gerak gerik hakim dan mencatat hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan. Lihat Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), 79. 20 M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 24. 21 Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis tentang Hukum Islam di Barat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 12-13. 22 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, 79.
89 tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada ketentuan khusus yang harus dilakukan oleh para hakim berkaitan dengan bagaimana ia memutuskan perkara, sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hakim diberi kewenangan untuk memformulasikan hukum secara kreatif. Pengangkatan hakim pada masa ini juga dilakukan secara terpisah dengan pengangkatan gubernur. Khalifah hanya mengangkat para hakim yang akan diposisikan di ibukota pemerintahan, sedangkan hakim-hakim yang ditugaskan di daerah-daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah.23 Demikian juga kepemimpinan terhadap lembaga peradilan, lembaga peradilan dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non-muslim diberikan otonomi hukum dibawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka. Hal ini juga yang mendasari mengapa hakim hanya ada di kota-kota besar.24 Hakim ibukota tidak bisa membatalkan hakim daerah. Kekuasaan pembatalan keputusan hanya dipegang oleh khalifah atau wakilnya. Tugas hakim hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan kepadanya. Pada masa itu belum ada hakim khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara. Kekuasaan ini masih dipegang oleh khalifah sendiri. Adapun ciri peradilan pada masa ini adalah : 1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. 2. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan mereka berlaku untuk rakyat biasa dan penguasa. Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakimhakim yang menyeleweng dari 23
Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009), 47. 24 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj.) (Jakarta : Serambi 2006), 281.
90
Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016 garis-garis yang sudah ditentukan. 3. Putusan-putusan hakim belum lagi disusun dan dibukukan secara sempurna dan permulaan hakim yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi adalah hakim Mesir dimasa Pemerintahan Mu’awiyyah.25
Adapun langkah penyusunan yurisprudensi juga telah dilakukan pada masa dinasti ini. Melihat semakin meningkatnya perkara-perkara rakyat, dan sering pula terjadi putusan yang sama terhadap masalah yang berbeda, maka atas inisatif seorang hakim yang bertugas di Mesir, Salim ibn Ataz, dibuatlah suatu himpunan yurisprudensi.26 Terdapat sejumlah instansi penyelenggara tugas kekuasaan kehakiman pada masa dinasti Umayyah yang dapat dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu: al-Qadhaa’, al-Hisbah, dan al-Nadhar fi al-Mazhalim; dan ketiga lembaga ini memiliki fungsi dan kewenangan masing-msing. Namun, terlepas dari aspirasiaspirasi sosio-regligius dari khalifah Umayyah, hukun Islam sebagaimana diketahui saat ini tidak ditakdirkan untuk muncul secara langsung dari praktek hukum Umayyah atau dari lingkungan-lingkungan kekuasaan. Bukan para hakim, tetapi para ulama yang tidak memiliki hubunganhubungan resmi dengan rezim khalifah adalah pemegang peran kunci dalam perkembangan hukum yang disesuaikan 25
Pernah pada pemerintahan Muawiyah hakim Mesir yang bernama Salim Ibnu Ataz memutuskan masalah pembagian harta warisan. Kemudian orang yang bersangkutan berbeda tentang putusan yang dijatuhkan hakim, maka mereka semua kembali lagi ke Hakim. Sesudah hakim memutuskan sekali lagi perkara itu, maka putusan itu dibukukan, lihat : Hasbi Ash Shiddiqy, Peradilan, 21. 26 Nama Salim ibn Ataz tercatat sebagai hakim pertama yang melakukan pencatatan putusan perkara pada masa dinasti Umayah. Namun di beberapa literatur tercatat dengan nama yang berbeda, seperti Salim ibn Anas, Sulaim ibn Itr dan Salman ibn Atar. Lihat M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum, 21.
dengan pemerintahan Islam. Para ulama tersebut tentu saja tidak bekerja dalam ruang kosong. Praktek para qadhi adalah titik tolak mereka. Namun hal itu hanya merupakan titik tolak, sesuatu yang dikritik sebagai langkah pertama menuju formulasi dan sistematisasi yang meliputi banyak hal dan tidak mengekang secara politis terhadap hukum Tuhan yang ideal. Para ulama diasyikkan, sekurang-kurangnya, dengan hukum sebagaimana adanya secara aktual sampai taraf bahwa hal ini dapat ditentukan berdasar praktek hukum, dari pada dengan hukum sebagaimana seharusnya terjadi.27 Seiring dengan semakin meningkatnya barisan para ulama, rezim khalifah mendapatkan dirinya berkompetisi dengan komunitas ulama dalam membentuk Islam dan hukum Islam. Para qadhi mempresentasikan diri sebagai pegawai khalifah, sementara para ulama duduk di luar wilayah kepegawaian formal. Kenyataan bahwa para qadhi kadang-kadang direkrut dari barisan ulama bukan berarti tidak berlakunya garis pembatas yang penting ini. Jika orang-orang semacam ini berpengaruh dalam proses yang dapat membangkitkan hukum Islam, mereka dapat menerapkan pengaruh ini pada kapasitas mereka sebagai ulama, bukan sebagai qadhi. Sebab, dalam masyarakat Islam yang berkembang, otoritas cepat menjadi terikat dengan pengetahuan religius dan kesalehan individual, tidak dengan kekuasaan. Perkembangan ini memiliki akarnya pada masa-masa Islam paling awal dan mendapatkan momentumnya selama penaklukan-penaklukan, ketika kaum ArabMuslim mendapatkan dirinya membentuk komunitas dalam setiap wilayah utama, seiring dengan beralihnya keyakinan non Arab kepada Islam, komunitas-komunitas religius yang masih belum berpengalaman yang mengejar ketinggalan dalam tugas berfikir yang mendesak implikasi-implikasi dari keyakinan yang baru mereka temukan.28 27
M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan
Hukum, 7. 28
Hukum, 7.
M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan
Dedy Sumardi Dalam situasi semacam ini, kekhalifahan tidak dapat berharap untuk mengontrol perkembangan kepemimpinan spiritual akar rumput. Para ulama membentuk kepemimpinan semacam ini dan bertindak secara sangat spontan dan independen terhadap rezim penguasa dan aspirasi-aspirasinya. Dalam kenyataannya, mereka lebih dari para ahli hukum dalam arti biasa istilah tersebut digunakan, sebab mereka tidak hanya menangani hukum, tetapi juga banyak sisi lainnya. Wilayah hukum yang menjadi praktek mereka begitu luas jangkauannya, meliputi keseluruhan cara hidup yang memasukkan banyak detail kehidupan sehari-hari yang melampaui wilayah yang biasannya disebut hukum. Pada beberapa masa berikutnya, pemakaian Islam mendapatkan suatu kata untuk mengungkapkan totalitas normanorma hukum, moral dan ritual yang oleh para ulama saleh coba artikulasikan dengan kata syari’ah. Oleh karena syari’ah mencakup norma-norma melampaui normanorma yang merupakan hukum dalam arti sempit, maka tidaklah tepat untuk menyamakan syari’ah dan hukum sederhana yang sering dilakukan. Di sisi lain, hukum jelas merupakan bagian dari syari’ah dalam pikiran muslim dan memang harus dipahami seperti ini.29 Tidak dapat dielakkan bahwa hukum yang dipandang sebagai himpunan normanorma yang bisa dipaksakan akan menjadi perhatian utama para ulama saleh setelah periode Umayyah berikutnya dan selanjutnya era Abbasiyah, karena Islam yang mereka upayakan untuk diartikulasikan, adalah Islam yang tumbuh di dalam konteks kekaisaran yang meluas. Para ulama sangat menyadari kehidupan di dalam suatu pemerintahan yang harus digabungkan dengan impian mereka mengenai tatanan masyarakat Islam yang ideal. Meskipun para ulama itu pada umumya bukan merupakan bagian dari pegawai khalifah, mereka sebenarnya adalah
91 orang-orang yang tidak mampu memimpikan Islam tanpa pemerintahan Islam dan hukum Islam. Mereka bersama dengan rezim Umayyah berkeyakinan bahwa ekspansi Islam melalui alat kekaisaran khalifah disahkan oleh Tuhan dan kenyataannya hal itu merupakan misi Islam untuk mengganti kekaisarankekaisaran yang telah jatuh dengan tatanan politik baru. Tidak dapat dielakkan bahwa mereka seharusnya mengerahkan bagian utama dari kemampuan-kemampuan reflektif mereka pada subyek-subyek pemerintahan dan hukum dan bahwa praktek hukum Umayyah tentu saja merupakan obyek utama dari perhatian mereka.30 Para ulama yang mengajukan konsep-konsep tandingan terhadap pemerintahan Umayyah tentang patokan tingkah laku yang mencerminkan seluruh etika Islam itu kemudian mengelompokkan menjadi beberapa madzab. Itulah madzabmadzab hukum pertama dalam Islam. Selanjutnya, ketika Umayyah ditumbangkan oleh 2 kekuatan besar, yaitu kaum ulama sebagai perancang pola negara dan masyarakat dan dinasti Abbasiyah yang berjanji akan melaksanakan rancangan ini. Di bawah sokongan politik, kemudian madzab-madzab hukum berkembang pesat. Namun, pendekatan hukum mereka bersifat religius-idealistik-akademistik yang lebih tertarik mengembangkan ”sistem ibadah” dalam dunia hukum. Hal ini bertentangan dengan pragmatisme dalam tradisi Umayyah yang memfokuskan pada analisa hukum terhadap praktek peradilan. Akibatnya, timbul kesenjangan antara konsep hukum yang dikemukakan kaum ulama dan praktek di peradilan. Inilah yang menjadi ciri utama hukum Islam masa itu.31 Kondisi Sosial Masyarakat dan Praktek terhadap Keagamaan Selama kurun waktu 90 tahun, pemerintahan Umayyah terkenal dengan 30
29
Hukum, 8.
M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan
M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan
Hukum, 8. 31
Noel J. Coulson, Hukum Islam, 42.
92 pola agresif. Hal ini dilandasi atas kebijakan politik yang bertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Adapun daerah-daerah yang dikuasai meliputi: Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol. Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat. Bahkan pada masa dinasti Umayyah, orang-orang muslim Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa yang bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “Sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk “memerintah”. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara. Karena itu, masyarakat pada masa Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristokrat Arab. Kelas sosial kedua adalah para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penu mereka sebagai warga muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat adalah golongan budak.32 Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi dalam prakteknya, mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah. Khalifah Dinasti Umayyah banyak 32 Syed Mahmuddunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 56.
Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016 yang bergaya hidup mewah dan sama sekali berbeda dengan para khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap. Selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah, dua kota Hijaz, Mekah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu dan puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam baru yang ingin mempelajari al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan bisa berinteraksi dengan para penakluk. Di samping itu, kesenjangan yang besar antara bahasa klasik al-Qur’an dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa serta dialek lain menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Sementara dalam bidang sosial secara umum, kondisi masyarakat selama 14 periode kekhalifahan dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat strata sosial. Para sejarawan membagi strata sosial masa Dinasti Umayyah menjadi empat stratifikasi sosial. Pertama adalah kelas tertinggi yang ditempati oleh kaum Muslimin yang memegang kekuasaan, dan kaum ningrat dari bangsa Arab. Kedua adalah kaum non Muslim yang atas dasar keyakinan sendiri, mereka memeluk Islam. Secara teori kelompok ini memliki hak-hak dan kewajiban sebagaimana kaum Muslimin lainnya. Ketiga adalah kelompok dzimmi atau penganut agama lain seprti Yahudi dan Nasrani, yang memilih tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan bersedia membayar pajak sebagai konsekwensinya. Keempat
Dedy Sumardi adalah golongan budak-budak yang menempati strata sosial paling rendah.33 Kondisi sosial masyarakat Muslimin pada masa Dinasti Umayyah tergolong aman dan damai. Demikian juga dengan masyarakat non-muslim. Masyarakat muslim dan non-muslim bisa hidup berdampingan. Orang-orang non muslim merupakan masyarakat minoritas yang dilindungi (dzimmi) dan dijaga keselamatanya (musta’min) terutama Yahudi dan Kristen. Kebiasaan ini bejalan dengan baik karena dikalangan orang-orang Arab pra-Islam terdapat satu kebiasaan untuk melindungi orang lain sebagai sikap yang dihormati. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Masyarakat Spanyol merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing. Keadilan yang diperoleh oleh warga non-muslim pada masa Dinasti Umayyah tidak hanya dalam hal kebebasan beragama, melainkan termasuk kebebasan dalam bidang hukum dan peradilan. Para khalifah memberikan kebebasan bagi mereka untuk menggunakan kebebasan yuridiksi mereka sebagaimana yang diatur dalam agama mereka masing-masing. Dalam pelaksanaan hukum, pemerintahan Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam al-Qadai (organisasi kehakiman). Karena keputusan pada masa Muawiyah yang mengganti sistem pemerintahan menjadi monarki, berdampak mendapat protes dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, dan Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubeir, bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Mu’awiyah. Mereka menyarankan agar ia mau mengikuti jejak 33 Karim. M Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta:Bagaskara, 2011), 2324; Philip K. Hitti, History, 281.
93 Rasulullah atau Abu bakar atau Umar dalam urusan khalifah dan tidak mendahulukan kabilah dari umat.34 Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Keputusan ini direkayasa seolah-olah Mu’awiyah mendapat dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya menerapkan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai pengantinya kelak. Walaupun Mu’awiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan mu’awiyah menyebut dirinya sebagai Amir al- Mu’minin. Dan status jabatan khalifah diartikan sebagai “wakil Allah” dalam memimpin uamt dengan mengaitkannya kepada al-Qur;an (surat alBaqarah ayat 30). Atas dasar ini, Dinasti Umayyah menyatakan bahwa keputusankeputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah, dan siapa yang menentangnya adalah kafir.35 Pada masa pemerintahan Umayyah terjadi juga beberapa pemberontakan atau konflik umat Islam seperti yang telah disebutkan di atas seperti: aliran Syi’ah, Khawarij (lahir bukan karena perpecahan paham keagamaan, melainkan karena permasalahan politik yang tidak sepaham pada masa Ali ibn Abi Thalib—yang kemudian lebih dikenal dengan aliran keagamaan), termasuk dengan aliran baru, yaitu mawalli. Meski kemudian, era Umar ibn Abdul Aziz gerakan oposisi ini, dapat dirangkul kembali dan dapat hidup berdampingan dikarenakan pada masa Umar beliau selalu berpihak pada kepentingan umat Islam. 34 St. Roestam, dkk, Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum Islam dan Syariat Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1992), 465. 35 Umar Sulaiman al-Asyiqar, Fiqih Islam; Sejarah Pembentukan dan Perkembangannya (Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), 223-224.
94 Dalam masa peralihan juga umat Islam terpecah menjadi tiga, yaitu, pengikut Ali (syi’ah), khawarij (golongan non Mu’awiyah dan Ali), dan pengikut Mu’awiyah, akan tetapi ada yang mengatakan terbagi menjadi empat golongan, yaitu ditambah dengan golongan yang diam, atau tidak berpihak kepada siapapun. Pada zaman masa Bani Umayyah memang terjadi politisasi agama, dan bahkan agama dijadikan sebagai alasan atau kambing hitam oleh kepentingan politik. Sebenarnya, golongan yang telah disebutkan di atas bukan merupakan golongan keagamaan tetapi termasuk golongan karena perpecahan politik pada waktu itu, tetapi, di masa kini aliran tersebut lebih condong disebut dengan aliran keagamaan. Penutup Tradisi pemikiran hukum Islam telah dipahami bahwa masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup yang berbeda. Perbedaan ini dapat dibuktikan di mana perilaku individu tertentu terkadang tampak tidak diakomodir sebagai hukum yang legal untuk ukuran yang modern, melainkan dinilai sebatas pada perilaku adat dan sosial semata. Tentu pertimbangan yang mendasari pemikiran hukum ini akan menjadi sorotan serius menakala Dinasti Umayyah memegang kekuasaan pemerintahan. Kegiatan ijtihad dalam konteks hukum relatif sedikit dipengaruhi oleh sifat kedaerahan; dan tetap mengkompromikan perbuatan atau pendapat sahabat. Dikarenakan kenyataan yang demikian, mendorong para sarjana hukum Islam awal (era tabi’in Dinasti Umayyah) untuk menyusun kaidah-kaidah yang memiliki korelasi yang bersinambungan dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menentukan atau menetapkan suatu susunan dan bentuk hukum. Secara geografis dan psikologis madzab Kufah lebih terbuka terhadap sistem hukum dari luar. Hal ini berbeda dengan situasi Madinah yang lebih homogen. Kemudian muncul oposisi terhadap metode hukum yang sudah mapan diterima oleh
Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016 madzab-madzab pertama. Cirinya, dogmatis, ketat dan kaku. Mereka menuntut ketaatan yang lebih kuat terhadap norma-norma alQur’an. Namun mereka sepakat dengan madzab-madzab pertama dalam memproyeksikan sunnah ke belakang yang menjadikan Nabi saw sebagai sumber utama hukum al-Qur’an. Dengan pula para pemutus hukum atau hakim (ulama) memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam halhal yang tidak ada nash atau ijma’. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan mereka berlaku untuk rakyat biasa dan penguasa. Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan. Putusan-putusan hakim belum lagi disusun dan dibukukan secara sempurna dan permulaan hakim yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi adalah hakim Mesir di masa pemerintahan Mu’awiyyah. Daftar Pustaka Arfa, Faisar Ananda, Sejarah Pembentukan Hukum Islam; Studi Kritis tentang Hukum Islam di Barat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996 Asshiddiqie, M. Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997 Al-Asyiqar, Umar Sulaiman, Fiqih Islam; Sejarah Pembentukan dan Perkembangannya, Jakarta: Akademika Pressindo, 2001 Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantern dan Masyarakat (P3M), 1987. Al-Faruq, Asadullah, Hukum Acara Peradilan Islam, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009 Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, terj. Ghofron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Dedy Sumardi Habib, Kamal Sa’id, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, terj. Ahmad Fahrurozi, dkk, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007. Hasan, Ahmad, Pintu Ijtijhad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 2001 Hitti, Philip K., History of The Arabs, (terj.) Jakarta: Serambi 2006. Hosen, Ibrahim, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Pernikahan, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, I‘lām al Muwaqqi‘īn, Jilid I, Beirut: Dar alFikr, t.th Karim, M Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta:Bagaskara, 2011 Khalil, Rasyad Hasan, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.
95 Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011 Mahmuddunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005 Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Sirri, Mun’in A., Sejarah Fiqih Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. St. Roestam, dkk, Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum Islam dan Syariat Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1992. Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta: Logos, 2001. Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: RayaGrafindo Persada, 1996.