SINOPSIS TESIS
TOKOH PEREMPUAN DALAM FILM: STUDI TENTANG REPRESENTASI TOKOH PEREMPUAN DALAM FILM INDONESIA BERTEMA ISLAM TAHUN 1980 – 2010 Oleh Primi Rohimi
A. Pendahuluan Simbol-simbol Islam hadir dalam perfilman sudah sejak lama. Terdapat berbagai macam jenis film di Indonesia, salah satunya yang berhubungan dengan aktivitas dakwah adalah film yang bertema Islam. Film-film keagamaan yang disutradarai oleh Imam Tantowi, Khairul Umam, dan Dedy Mizwar, biasanya bertema Islam. Judul-judul seperti Titian Rambut Dibelah Tujuh, Al-Kautsar kemudian film-film legenda yang mengisahkan Wali Songo juga bisa dilihat sebagai genre keagamaan (Taufik, 2008: 90). Peran perempuan sangat menarik jika dikaji dalam kaitannya dengan syariat Islam di Indonesia dalam film Indonesia bertema Islam. Menurut Veronika Kusumaryati, kurator VFF 2010, selama ini peran perempuan tidak pernah dianggap penting dalam penerapan syariat Islam. Selain itu, perempuan kerap menjadi
korban
yang
paling
terlihat
dalam
penerapan
syariat
Islam
(http://www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 24 Januari 2010). Misalnya dalam film Ayat-ayat Cinta (2008), peran perempuan sebagai penentu dalam perjodohan tidak direspon penonton dan kritikus film. Dalam film tersebut justru isu poligami dan kekerasan terhadap perempuan dalam Islam yang selalu menjadi pembahasan. Tradisi patriarkhi dalam Islam memunculkan mitos perempuan hanya menjadi subjek dakwah di dalam rumah dengan perannya sebagai ibu. Padahal sejak awal Islam muncul, perempuan telah memainkan peran penting dalam kemajuan dakwah Islam. Mulai dari pengorbanan Sumayyah hingga peran Aisyah dalam
pengumpulan
hadist-hadist,
perempuan
telah
berperan
dalam
mengembangkan dan menyebarkan Islam.
1
Tampaknya ada perbedaan penampilan perempuan dalam film Indonesia bertema Islam dibandingkan dengan film bertema lainnya. Perbedaan yang terlihat jelas adalah pada kostum. Tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam sering ditampilkan mengenakan busana muslimah atau setidaknya lebih tertutup dibandingkan film yang tidak bertema Islam. Penggunaan kerudung atau jilbab pun seperti sudah menjadi ikon dalam film bertema Islam. Entah jilbab besar, jilbab yang in fashion, atau sekedar selendang dan kain tudung kepala. Perbedaan lain adalah pada penokohan. Perempuan yang menjadi bagian dari film bertema Islam cenderung sebagai muslimah yang berakhlakul karimah, berbicara dengan halus dan sopan serta berwajah cantik. Peran-peran protagonis atau setidaknya netral menjadi stereotip perempuan dalam film bertema Islam. Seorang ibu yang sabar, anak gadis yang penurut, atau istri yang berbakti pada suaminya. Kalaupun perempuan dalam film bertema Islam harus digambarkan sebagai sosok antagonis maka kostum yang dikenakan cenderung dibedakan dengan muslimah protagonis yang berjilbab walaupun pemeran antagonis itu pun adalah seorang muslimah. Perbedaan lain yang juga tampak yaitu bahwa film Indonesia bertema Islam tidak ada eksploitasi wajah dan bagian tubuh yang berlebihan melalui shot kamera. Ada kesan implementasi etika memandang secara Islam yang harus dilakukan oleh sutradara. Hal ini karena cara pandang sutradara akan mempengaruhi cara khalayak film melihat objek yang ditampilkan dalam film. Melihat objek kamera dalam film bertema Islam tidak lagi menggunakan male gaze (tatapan pria) tetapi harus dengan cara yang syar‟i. Cara memandang lawan jenis dalam Islam hanya terbatas pada bagian tubuh yang bukan aurat yaitu untuk perempuan adalah wajah dan telapak tangan. Sedangkan dalam film bertema percintaan bahkan horor, wajah dan bagian tubuh yang seharusnya tidak ditampilkan (belahan dada, paha, dan perut), justru ditampilkan dengan close up. Penelitian tentang film Indonesia bertema Islam sebagai film dakwah, film religi, maupun film islami muncul pada tahun 2000-an ketika film Indonesia bertema Islam mengalami booming dan ketika kajian Islam semakin tumbuh. Menarik sekali jika bisa melihat dan menemukan perubahan film Indonesia bertema Islam tahun 1980-an hingga tahun 2010. Penelitian yang masih sedikit
2
adalah penelitian dan/atau kajian tentang perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Apalagi pemetaan tentang kehadiran tokoh perempuan dalam rentang perjalanan film Indonesia bertema Islam yang ternyata memiliki periode masa yang telah lama. Penelitian ini dibatasi hanya pada tokoh (karakter) perempuan dalam film karena kehadiran perempuan dalam dunia film Indonesia bertema Islam tidak hanya sebagai pemain tapi ada juga yang berperan sebagai film makers. Namun efek yang lebih terasa adalah pencitraan tokoh (karakter) perempuan. Maka menarik pula jika bisa melihat dan menemukan perubahan representasi tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam tahun 1980-an hingga tahun 2010. B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah perempuan direpresentasikan dalam film Indonesia bertema Islam pada tahun 1980 hingga tahun 2010? 2. Adakah pergeseran mitos yang terjadi berkaitan dengan representasi tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam pada tahun 1980 hingga tahun 2010? C. Tujuan Dari permasalahan-permasalahan yang berhasil dirumuskan di atas maka tujuan
penelitian
ini
adalah
ingin
mengetahui
bagaimana
perempuan
direpresentasikan dalam film Indonesia bertema Islam tahun 1980 hingga tahun 2010. Representasi yang berhasil dimaknai akan mengarahkan pada tujuan selanjutnya yaitu mengetahui pergeseran mitos apa saja yang terjadi berkaitan dengan representasi tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam pada tahun 1980 hingga tahun 2010. D. Signifikansi 1. Signifikansi Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan studi mengenai penelitian dakwah dengan analisis representasi pada film sebagai bagian dari Ilmu Dakwah/Ilmu Komunikasi Islam.
3
2. Signifikansi Praktis Penelitian ini bisa memberikan manfaat kognitif dan afektif berupa pengetahuan dan pemahaman peran perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Bahkan penelitian ini bisa memberi solusi pada permasalahan bias gender dalam Islam. E. Tinjauan Pustaka 1. Film sebagai media dakwah Media dakwah yang komunikatif ada yang bersifat visual, auditif, ataupun audio visual. Chusana dalam penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu alternatif media tersebut adalah melalui film (2007). Film terbukti bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Film dapat dengan mudah menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam dengan cara non doktrinasi. Film bisa dengan menarik menyampaikan pesan-pesan akidah, syari‟ah, dan akhlak (Munif, 2004; Fauzi, 2009; Hidayatullah, 2010). Hasil penelitian Munif pada tahun 2004 dalam film Children of Heaven menyebutkan
bahwa
film
Children
of
Heaven
menjadi
media
untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah. Pesan-pesan dakwah di antaranya adalah akidah, syaria‟ah dan akhlak. Pesan-pesan dakwah tersebut juga ditemukan oleh Chusana (2006) dalam film Kiamat Sudah Dekat. Dalam penelitian Chusana, pendekatan yang digunakan sama dengan penelitian yang dilakukan Munif. Mereka menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotik. Pendekatan kualitatif lainnya adalah dengan analisis wacana seperti yang dilakukan oleh Fauzi (2009) ketika meneliti pesan dakwah dalam film Do'a Yang Mengancam. Fauzi menemukan bahwa pesan dakwah dalam film Do’a Yang Mengancam adalah pesan-pesan tentang akhlaq, syari‟ah, dan aqidah. Ternyata dengan pendekatan kuantitatif pun film bisa disimpulkan sebagai media dakwah. Ini bisa dibaca dari hasil penelitian Hidayatullah yang meneliti pesan dakwah dalam film My Name Is Khan (2010) dengan analisis isi. 2. Film Indonesia bertema Islam Hakim dalam artikelnya tentang “Citra Islam dalam Film dan Sinetron” (2010) berpendapat bahwa pada tahun 1990an, genre film religi adalah bercorak
4
Islam urban, sedangkan pada tahun 1980-an genre film religi lebih banyak berlatar Islam pedesaan. Film religi era 1980an dan 1990an menampilkan Islam sebagai agama mistis-dogmatis. Beberapa pemerhati film mengelompokkan film-film bertema Islam sebagai film religi. Seperti artikel yang ditulis oleh Patawari (lulusan IKJ yang aktif dalam Cinema Kelana) dalam situsnya www.cinephilia-cine.blogspot.com (diakses pada tanggal 23 Juli 2010), dia merumuskan bahwa film religi merupakan sub genre dari film drama yang mengangkat agama sebagai tema sentralnya. Simbol-simbol Islam dalam film Indonesia ini dikritisi oleh Ashaf (2008) sebagai keniscayaan sejarah Indonesia mengingat dunia hiburan berusaha melayani penontonnya yang sebagian besar muslim. Selain itu, Islam adalah tema yang menarik karena ketegangan muslim dalam menghadapi modernitas. Ashaf menyimpulkan dalam film Indonesia bertema Islam terdapat dua jenis tema religius yaitu religius mantra dan religius praksis. Aminudin pada tahun 2010 melakukan analisis pada simbol-simbol Islam yang muncul dalam film Indonesia pasca orde baru. Menurutnya simbol-simbol tersebut terrepresentasikan dalam wujud mistic synthetic dimana terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam tradisional yang bertemu dengan Islam modernis. Teori Ashaf dan Aminudin ini bisa diperjelas secara aplikatif oleh penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2010). Wardani meneliti tentang simbolsimbol keagamaan dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Dengan analisis resepsi, Wardani menemukan bahwa interpretasi para informan dalam menyaksikan film Perempuan Berkalung Sorban dapat dikelompokkan sesuai posisi decoding khalayak Hall yaitu posisi dominan hegemonik, negosiasi dan oposisional. Nampaknya pendekatan kualitatif khususnya dengan analisis semiotik menjadi alat yang sering digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang simbol-simbol Islam dalam film Indonesia bertema Islam. Penelitian “Pesan Moral Islami dalam Film Ayat-Ayat Cinta” menggunakan analisis Semiotik model Roland Barthes dan model Wacana Van Dijk (Zakiyah, 2008). 3. Representasi Perempuan dalam Film Indonesia
5
Salah satu pustaka penting yang membahas perempuan, Islam, dan film yaitu buku yang ditulis oleh Colin. Buku yang merupakan hasil penelitiannya ini berjudul Women, Islam and Cinema (2004). Fokus penelitiannya adalah film-film di Iran dan Turki, Kazakhstan dan Uzbekistan, Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Indonesia, serta India. Menurutnya, di Indonesia, perempuan membuat film mengikuti sudut pandang laki-laki. Representasi perempuan dalam film Indonesia dan hubungannya dengan agama dalam buku ini terasa kurang sesuai. Ini karena Colin menggunakan objek film Roro Mendut yang terasa kurang sesuai jika dikategorikan sebagai film Islam. Representasi pun masih sebatas tanda denotatif atau makna yang nampak. Colin masih belum bisa dengan kritis melihat kaitan makna tampilan perempuan dalam film Indonesia khususnya yang bertema Islam. Membahas interaksi antara perempuan dan film, tidak terlepas dari membahas posisi perempuan yang tidak menguntungkan dalam film. Menurut Ashaf (2007) adalah sah apabila film menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Ini karena film merupakan media yang menggambarkan suasana konflik sosial politik. Konflik adalah domain yang dipersepsikan sebagai milik laki-laki, dan perempuan senantiasa menjadi korbannya. Perempuan Indonesia tidak selalu dalam posisi lemah. Sosok ibu dalam film merupakan sosok yang sering ditampilkan. Karena seringnya maka khalayak tidak melihat bahwa sosok ibu sebenarnya merupakan tokoh sentral. Gambaran sosok ibu menjadi pembahasan dalam film Indonesia seperti dalam film Rindu Kami padaMU yang diteliti Rahma (2007). Hasil penelitian terhadap film ini menunjukkan ibu direpresentasikan sebagai sosok yang sangat menyayangi anaknya, penuh kehangatan, dan keramahan. Ibu juga direpresentasikan sebagai sosok
yang mampu mengerti kebutuhan dan keinginan anak-anaknya.
Berdasarkan representasi tersebut ibu ditampilkan sebagai sosok yang dominan dalam rumah tangga yang selalu bisa diandalkan oleh anggota keluarga lain. Petuah-petuah yang diajarkan ibu kepada anak menjadikan ibu sebagai simbol moralitas bagi anak. Disini ibu mewakili superego anak-anak dimana setiap kebijakan ibu haruslah ditaati. Hal ini tidak lepas dari budaya masyarakat Indonesia yang menganggap ibu sebagai pusat rumah tangga. Selain itu, agama Islam juga berpengaruh di mana ajaran Islam menekankan bahwa ibu adalah
6
sosok yang harus dihormati lebih besar dari pada ayah. Kelemahlembutan dan kasih sayang ibu dalam dimensi barat dianggap sebagai sebuah kelemahan perempuan. Namun dalam film ini kelembutan dan kasih sayang ibu merupakan bentuk lain dari sebuah kekuasaan wanita terhadap suami dan anak-anaknya. Sebuah kekuasaan yang sama sekali tidak mengancam bagi orang-orang yang dikuasai. Interpretasi seperti ini bukan murni subyektifitas peneliti. Film yang disutradarai Garin hampir selalu menampilkan hal-hal yang jarang ditangkap oleh masyarakat namun merupakan fakta yang ada di sekitar kita. Garin tidak menunjukkan ketertindasan perempuan sebagai suatu hal yang lemah namun ketertindasan tersebut dilihat sebagai bentuk kekuatan atau resistensi yaitu perjuangan. Tampilan perempuan dalam film Indonesia bertema Islam memiliki perbedaan yang menonjol dibanding tampilan perempuan dalam genre film lainnya. Ini karena nilai Islam yang memberikan gambaran tertentu terhadap perempuan Islam (muslimah). Tidak mengherankan film-film Indonesia bertema Islam kental dengan shot dan adegan yang menampilkan perempuan Islam yang berbau fiqih seperti tokoh utama perempuan pasti menggunakan kerudung atau setidaknya berkostum sopan. Misalnya dalam film-film Nada dan Dakwah, Ayatayat Cinta, Syahadat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1&2 dan Perempuan Berkalung Sorban. Penelitian tentang perempuan dalam film Indonesia bertema Islam mulai bermunculan ketika film Perempuan Berkalung Sorban menimbulkan pro kontra. Di antaranya adalah penelitian tentang Pemberontakan Perempuan Pesantren (Analisis Pesan Dakwah Perspektif Gender dalam Film Perempuan Berkalung Sorban) pada tahun 2009. Penelitian ini dilakukan oleh Maulidya. Dengan analisis isi, Maulidya menemukan bahwa pesan dakwah dengan perspektif gender yang terkandung dalam film Perempuan Berkalung Sorban adalah yang berhubungan dengan syariah dan akhlaq. Bentuk ketidakadilan gender yang paling menonjol dalam film Perempuan Berkalung Sorban adalah kekerasan (violence) terhadap perempuan yang berupa kekerasan yang berbentuk pemerkosaan dalam perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu adanya tindak pemukulan dan kekerasan dengan bentuk pelecehan seksual.
7
Penelitian dengan subyek perempuan dan obyek yang sama yaitu film Perempuan Berkalung Sorban juga dilakukan oleh Damayanti (2010). Menurutnya, Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perempuan dalam menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari di sebuah pesantren tradisional yang kental akan budaya patriarki. Terlepas dari pro kontranya dalam merepresentasikan kondisi perempuan dalam pesantren, film ini menunjukkan anggapan bahwa perempuan menempati posisi inferior dari lakilaki. Anggapan bahwa perempuan hanya merupakan obyek, pelengkap atau pelayan dari laki-laki, hingga berbagai tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan ditampilkan dalam film ini. Film ini pada akhirnya juga menunjukkan bagaimana perempuan mampu membebaskan diri dari kehidupan yang diskriminatif dan kekerasan. Dengan intelektualitas dan kemandirian secara ekonomi, perempuan kemudian menjadi manusia yang dapat meraih kebahagiaan dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Lebih dari itu, perempuan bahkan mampu membuat perubahan terhadap lingkungannya yang diskriminatif terhadap perempuan tersebut sehingga mengetahui pentingnya kesetaraan jender. 4. Mitos Perempuan dalam Film Studi Semiotika Representasi Perempuan Muslim pada Tokoh Annisa Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban Karya Hanung Bramantyo, diteliti oleh Five Yuniartin Cholil (2010). Penelitian ini mengangkat tema tentang gender perempuan dalam kehidupan keluarga dan aturan pondok pesantren salafiah yang memiliki budaya Islam patriarkhi. Film ini berfungsi untuk menyajikan realita yang ada dalam masyarakat bahwa tugas seorang perempuan tidak selalu mengurus pekerjaan rumah tangga saja, melainkan mereka juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas di luar rumah tetapi tidak boleh sampai melampaui kodratnya. Namun karena budaya patriarkhi masih melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari membuat posisi Annisa (objek dalam penelitian ini) harus mengikuti budaya patriarkhi tersebut dengan menurut terhadap aturan dari abinya (Kiai Hanan). Metode penelitian skripsi ini menggunakan analisis semiology Roland Barthes untuk menganalisis tanda-tanda representasi Annisa yang disajikan dalam film dan mengetahui mitos tentang perempuan muslim. Selain menggunakan teori semiology, peneliti juga menggunakan teori gender
8
perempuan dalam Islam untuk memberikan penjelasan terhadap tanda-tanda representasi Annisa dalam film. Kesimpulan dari skripsi ini menunjukkan bahwa Annisa mampu menunjukkan kepada lingkungannya jika ia adalah perempuan yang mandiri, memiliki posisi yang sederajat dengan laki-laki, dan mampu mengubah gaya berfikir Islam patriarkhi keluarga dan pondok pesantrennya. Ia menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri namun tetap berpegangan pada kaidah Islam.
F. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan bagian untuk menjelaskan posisi penelitian ini dalam kerangka Ilmu Dakwah/Ilmu Komunikasi Islam. Karena masalah yang ingin diteliti merupakan masalah dengan nuansa komunikasi dan Islam maka perlu kiranya ditunjukkan kerangka pemikiran agar masalah ini dapat dilihat dari teori dakwah dan teori komunikasi. Selain dua teori tersebut, teori representasi dan teori semiotik juga menjadi kerangka pemikiran dalam rangka membantu proses analisis pada bab selanjutnya. Oleh karena fokus penelitian adalah pada tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam maka teori tentang perempuan dalam Islam pun menjadi salah satu kerangka pemikiran paling penting dalam penelitian ini. G. Metode 1. Metode Penelitian Permasalahan representasi dalam media massa terutama film erat kaitannya dengan metode analisis tekstual dalam hal ini metode semiotik. Ini karena membahas representasi sama artinya dengan membahas teks. Penelitian ini mencermati bagaimana realita kelompok sosial tertentu (dalam hal ini perempuan) ditampilkan dalam film. Penelitian seperti ini merupakan studi representasi. Menurut Pawito (tt:6), studi representasi pada dasarnya merupakan salah satu bagian penting dari studi media. Ini karena studi representasi membahas tentang bagaimana media massa menampilkan representasi realita kelompok masyarakat.
9
Menurut Stokes (2007:19-20), pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan representasi akan terjawab lebih memuaskan melalui analisis semiotik. Metode semiotika meneliti objek makna sebuah teks atau sebuah rangkaian teks. Metode ini memungkinkan mengembangkan penafsiran peneliti sendiri terhadap objek analisis dengan menjabarkan teks menjadi komponen unit makna. Semiotika adalah salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang dikaji (Stokes, 2007:76). Semiotik memecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkannya dengan wacana yang lebih luas. Semiotik menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana ia beroperasi. Menurut Stokes (2007:78), karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisional. Peneliti lain yang mempelajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda. Namun Stokes menegaskan bahwa hal tersebut tidak mengurangi nilai semiotika karena semiotika adalah tentang memperkaya pemahaman kita terhadap teks. Sebagai sebuah metode, semiotika bersifat interpretatif, dan konsekuensinya interpretatif. 2. Subjek dan Objek Penelitian Pengkategorian subjek dan objek dalam penelitian ini mengikuti pola pikir Stokes (2007:12). Stokes mengelompokkan sinema Inggris kontemporer ke dalam wilayah subjek penelitian. Sedangkan objek analisisnya adalah representasi budaya Asia-India dalam Bhaji on the Beach, East is East dan Bend it Like Beckham. Maka dalam penelitian ini, subjek penelitiannya adalah film Indonesia bertema Islam. Subjek penelitian ini dibatasi dari tahun 1980 hingga 2010 yang melibatkan lima belas judul film. Pemilihan tahun tersebut karena pertimbangan produksi film Indonesia bertema Islam pada tahun 1980 hingga 2010 secara kuantitatif mengalami dinamika. Subjek penelitian ini yaitu film Sunan Kalijaga (diproduksi oleh PT. Tobali Indah Film & PT Empat Gajah Film pada tahun 1984), Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar (diproduksi oleh Smaradhana Pro pada tahun 1985), Sunan Gunung Jati (diproduksi oleh
10
Raam Soraya lewat PT Soraya Intercine Films pada tahun 1985), Nada dan Dakwah (diproduksi oleh Falcon Picture pada tahun 1992), Kiamat Sudah Dekat (diproduksi oleh Citra Sinema pada tahun 2003), Mengaku Rasul (diproduksi oleh Starvision pada tahun 2008), Kun Fa Ya Kun (diproduksi oleh Putaar Production pada tahun 2008), Ayat-ayat Cinta (diproduksi oleh MD Pictures pada tahun 2008), Syahadat Cinta (diproduksi oleh Pyramid Citra Perkasa pada tahun 2008), Ketika Cinta Bertasbih 1 (diproduksi oleh Sinemart Pictures pada tahun 2009), Ketika Cinta Bertasbih 2 (diproduksi oleh Sinemart Pictures pada tahun 2009), Doa yang Mengancam (diproduksi oleh Sinemart pada tahun 2008), 3 Doa 3 Cinta (diproduksi oleh Investasi Film Indonesia pada tahun 2008), Perempuan Berkalung Surban (diproduksi oleh Starvision Plus pada tahun 2009), dan Emak Naik Haji (diproduksi oleh Mizan Productions dan Smaradhana Pro pada tahun 2009). Semuanya berjumlah lima belas film. Sebetulnya masih ada film Indonesia bertema Islam lain yang juga diproduksi pada tahun-tahun tersebut. Namun film-film tersebut terasa kurang populer dari sisi rating dan fenomenal. Film-film lain yang tidak menjadi subjek penelitian pun terasa sulit untuk dilacak karena sudah tidak diproduksi dan dipasarkan. Dari bisnis persewaan pun kualitasnya kurang bagus untuk digandakan. Lima belas film ini tidak serta merta narasinya tentang perempuan. Justru inilah yang menjadi kriteria pemilihannya sebagai subjek penelitian. Beberapa pertimbangan tersebut diharapkan bisa menunjukkan bagaimana representasi perempuan dalam film Indonesia bertema Islam, baik sebagai tokoh utama maupun figuran. Objek penelitiannya adalah tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam untuk melihat representasi perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Membahas representasi perempuan dalam film bisa dimaknai luas sampai kepada kru film atau pembuat film seperti sutradara, penulis skenario dan produser. Maka penelitian ini dibatasi hanya pada tokoh perempuan dalam film. Tokoh perempuan yang dimaksud adalah perempuan yang ditampilkan dalam film sebagai pemeran tokoh tertentu maupun sebagai figuran. Ini karena apa yang dialami perempuan-perempuan yang ditampilkan
11
dalam film adalah gambaran perempuan dalam kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Objek analisis dalam penelitian ini dapat disebutkan di antaranya dalam film Sunan Kalijaga yaitu ibu, adik, dan dayang Sunan, peserta perempuan dalam pengajian Sunan, rakyat perempuan. Film Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar tidak ada pemeran perempuan. Film Sunan Gunung Jati yaitu ibu, istri, dan murid perempuan Sunan, rakyat perempuan, dayang dan selir raja Blambangan). Film Nada dan Dakwah yaitu tokoh utama dan peserta pengajian perempuan. Film Kiamat Sudah Dekat yaitu ibu, adik, dan teman perempuan Fandy, Sarah, ibu Saprol. Film Mengaku Rasul yaitu Rianti, istriistri ustadz dan para santri. Film Kun Fa Ya Kun yaitu istri Ardan dan perempuan pembeli cermin. Film Ayat-ayat Cinta yaitu Maria, mama Maria, Nurul, bulik Nurul, teman-teman liqo‟ Nurul, Aisyah, bibi Aisyah, Noura, mama Noura, dan saudara Noura. Film Syahadat Cinta yaitu Priscilla, ibu pengemis, Aisyah, dan Zaenab. Film Ketika Cinta Bertasbih 1 yaitu Eliana, Ana, Husna, adik-adik dan ibu Azzam, mama Furqon, perempuan yang meneror Furqon, umi Ana, teman Ana, para figuran. Film Ketika Cinta Bertasbih 2 tokoh-tokohnya hampir sama. Film Doa yang Mengancam yaitu Juleha, perawat, ibu kos Madrim, para figuran. Film 3 Doa 3 Cinta yaitu Dian, Film Perempuan Berkalung Surban yaitu Annisa, umi Annisa, guru Annisa, teman Annisa, para figuran. Film Emak Naik Haji yaitu emak, dan para figuran. 3. Jenis Data Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini data primer adalah mise-en-scene dan unsur sinematografi lainnya. Mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama (Pratista, 2008:61) yakni setting (latar), kostum dan tata rias wajah, pencahayaan, serta para pemain dan pergerakannya. Fungsi setting selain sebagai penunjuk ruang dan wilayah juga sebagai penunjuk waktu, status sosial, motif, pembangun mood, dan pendukung adegan (Pratista, 2008:66-70). Sedangkan kostum, memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda,
12
serta berfungsi sebagai penunjuk kepribadian, symbol dan image (Pratista, 2008:72-73). Selain mise-en-scene data primer juga diambil dari unsur sinematografi. Menurut Pratista (2008:89), unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Unsur sinematografi ini akan lebih dilihat dari shot yang menampilkan tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Shot merupakan unsur terkecil dari film. Satu adegan bisa berjumlah belasan hingga puluhan shot (Pratista, 2008:29). Shot adalah satu rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar (editing). Sekumpulan beberapa shot biasanya dapat dikelompokkan menjadi sebuah adegan. Adegan (scene) adalah satu segmen pendek
dari
keseluruhan
cerita
yang
memperlihatkan
satu
aksi
berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter atau motif. Data sekunder dalam penelitian ini yaitu data-data dari tinjauan pustaka dan kerangka teori. Data sekunder ini akan mempengaruhi interpretasi peneliti. Interpretasi peneliti sendiri dalam studi semiotika adalah data sekunder yang berperan dalam analisis data. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan beberapa teknik dalam pengumpulan data. Dalam menggunakan beberapa cara itu diharapkan dapat memperoleh data yang representatif. Secara rinci dalam mengumpulkan data digunakan beberapa teknik yang akan meliputi dokumentasi dan studi pustaka. Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan cara pengamatan melalui kaset video, yaitu dengan mengumpulkan data-data berdasarkan pengamatan melalui VCD lima belas film. Teknik ini diharapkan dapat memudahkan mengetahui representasi perempuan yang terdapat dalan film-film tersebut. Studi pustaka digunakan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan guna mengkaji beberapa pokok permasalahan dari objek yang diteliti. Fungsi dari data literatur yang berupa buku-buku, majalah, jurnal atau website adalah untuk mendapatkan teori-teori
13
pendukung lebih lanjut yang relevan dengan kajian penelitian untuk mendukung proses penelitian. 5. Analisis Data Analisis data kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul dalam riset adalah data kualitatif.
Pada dasarnya, analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense
of)
terhadap
data,
menafsirkan
(interpreting),
atau
mentranformasikan (transforming) data ke dalam bentuk-bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah (thesis) yang akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan final (Pawito, 2007: 101).
Menurut Stokes (2003: 19), pertanyaan tentang apa yang dimaksud dari representasi akan terjawab lebih memuaskan dengan analisis semiotik. Dalam penelitian ini, analisis pertama yang dilakukan adalah analisis semiotik dari Roland Barthes yakni memaknai secara denotatif tokoh perempuan yang ditampilkan dalam film. Kemudian analisis kedua masih dengan analisis semiotik secara konotatif yang menggunakan teori mitos dari Roland Barthes. Analisis kedua ini digabung dengan teori representasi Stuart Hall (1997). Analisis semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika dari Roland Barthes. Roland Barthes menggambarkan kekuatan penggunaan semiotika untuk membongkar struktur makna yang tersembunyi dalam tontonan (Danesi, 2010:14). Teori Barthes tentang mitos memungkinkan seorang pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi (Berger, 1982:30).
14
Barthes menggunakan istilah penanda (Pn) dan petanda (Pt). Menurut Barthes sebagaimana yang dikutip Kurniawan (2001:68), penanda konotasi dibangun dari tanda dari system denotasi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk satu konotator tunggal. Petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Untuk menjawab pertanyaan tentang pergeseran mitos perempuan dalam film Indonesia bertema Islam maka analisis mitologi dari Barthes pun diterapkan. Mitologi adalah refleksi versi modern dari tema, plot, dan karakter mitos (Danesi, 2010:214). Danesi mencontohkan pada awal film-film Hollywood, oposisi konseptual mitos baik melawan buruk memanifestasikan dirinya dalam pelbagai cara-cara simbolis dan ekspresif misalnya pahlawan menggunakan topi putih dan yang jahat menggunakan topi hitam. Dalam penelitian ini mitologi terlihat jelas dengan penggunaan simbol-simbol kostum jilbab dan gamis putih, baju tertutup dan modis pada karakter-karakter yang baik.
6. Prosedur Penelitian Langkah-langkah dalam penelitian ini mengikuti tahapan-tahapan analisis semiotik Stokes (2007:80). Tahapan tersebut dimulai dengan mendefinisikan objek analisis. Tahapan ini sudah ditunjukkan dari desain metodologi pada sub bab subjek dan objek penelitian. Setelah objek analisis ditetapkan maka tahapan berikutnya adalah mengumpulkan teks. Dalam penelitian ini peneliti tidak hanya mengumpulkan film yang menjadi subjek penelitian. Peneliti juga berusaha mendapatkan script dan sinopsis dari berbagai sumber dan menyusunnya sendiri. Teks didapatkan dari hasil menonton film kemudian melakukan crop pada shots yang menampilkan perempuan. Dialog yang diucapkan tokoh-tokoh perempuan maupun dialog dari tokoh lain yang merujuk pada perempuan pun dicatat oleh peneliti.
15
Tahapan ketiga adalah menjelaskan teks tersebut. Pada tahapan ini teks yang sudah dikumpulkan dimaknasi secara denotatif. Maksudnya yaitu menjelaskan teks sesuai dengan yang terihat atau terbaca tanpa dimaknai dengan subyektivitas atau rasa tertentu. Tahap berikutnya adalah menafsirkan teks. Pada tahap ini, teks dimaknai secara konotatif. Maksudnya yaitu menelusuri makna lain dari yang terlihat. Misalnya dialog umi Annisa yang melarang Annisa naik kuda memuat alasan apa. Makna konotasi juga bisa dengan memberi rasa kritis atas tampilan perempuan. Misalnya kenapa yang ditampilkan sebagai rakyat jelata yang miskin dan akhirnya meninggal tanpa perjuangan adalah perempuan dan anakanak. Tahap berikutnya adalah menjelaskan kode-kode kultural. Misalnya budaya apakah yang mempengaruhi tampilan perempuan. Apakah budaya timur tengah ataukah budaya Indonesia pada periode tahun tertentu yang ditunjukkan dengan tren busana mulism, kerudung dan sebagainya. Tahapan selanjutnya adalah menyusun generalisasi. Pada bagian ini peneliti merumuskan apa yang dapat dikatakan mengenai bagaimana teks yang dikaji bermakna. Menerapkan apa yang dikatakan Barthes. Menunjukkan perubahan mitos dari periode subjek penelitian. Akhirnya tahapan terakhir adalah tahapan kesimpulan. Apakah analisis yang dihasilkan dapat benar-benar menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Apakah tujuan dari penelitian ini sudah tercapai. H. Makna Konotasi Representasi Tokoh Perempuan dalam Film Indonesia Bertema Islam Tahun 1980 - 2010 1. Film Indonesia bertema Islam Periode 80 an a. Perempuan berkerudung direpresentasikan sebagai perempuan yang menutup aurat dalam beribadah Menutup aurat hanya dilakukan ketika sholat. Ini dapat dilihat dalam film Sunan Kalijaga scene 30 ketika Nimas sedang sholat, dia menggunakan mukena terusan putih. Bahkan ketika membaca al Quran (scene 6 dan scene 27 dalam film Sunan Kalijaga) atau mendengarkan ceramah dari Sunan pun (scene 3 pada film Sunan Kalijaga dan Syech Siti
16
Jenar) perempuan hanya memakai kerudung yang hanya disematkan di kepala tanpa harus memakai baju yang lebih tertutup. b. Istri yang melayani suami direpresentasikan sebagai istri yang ideal Representasi istri ideal pada tahun 1980an ditampilkan dalam film Sunan Kalijaga ketika istri Adipati Wilatikta menyambut suami yang datang dari bepergian kemudian mengganti alas kakinya (scene 2). Pelayanan sepenuhnya pada suami adalah representasi istri ideal. c. Istri yang duduk maupun berjalan di posisi yang lebih rendah atau di belakang suami direpresentasikan sebagai istri yang tunduk pada suami Representasi ketundukan istri pada suami pada tahun 1980an ditampilkan dalam scene 2 film Sunan Kalijaga ketika seorang istri (istri Adipati Wilatikta) menyambut suami kemudian berjalan mengiringinya di belakang, bukan di sampingnya. d. Perempuan yang lusuh dan tidak bisa mendapatkan makanan untuk dirinya dan anak-anaknya direpresentasikan sebagai simbol kemiskinan Indonesia periode 1980an merupakan negara yang sedang berkembang. Kemiskinan yang masih menjadi ciri negara yang sedang berkembang
menempatkan
perempuan
sebagai
aktornya.
Ini
direpresentasikan oleh rakyat jelata yang miskin dalam film Sunan Kalijaga (scene 8, 18, 23, 28, 35). e. Perempuan yang diajak laki-laki untuk bergabung melakukan sesuatu direpresentasikan sebagai perempuan tidak meminta tapi diminta Adegan Raden Said yang memukul gamelan dan Nimas yang kemudian diajak untuk memukul juga dalam scene 5 film Sunan Kalijaga menunjukkan simbolisasi laki-laki yang lebih dahulu mempunyai inisiatif melakukan sesuatu. Perempuan hanya mengikuti ajakan laki-laki.
17
f. Perempuan yang hanya melihat laki-laki berlatih bela diri direpresentasikan sebagai perempuan tidak perlu mempunyai kemampuan seni bela diri Kemampuan seni bela diri biasanya dimiliki laki-laki. Perempuan hanya bisa melihat dan kagum dengan sosok perkasa yang menguasai seni bela diri. Ini dimaknai dalam scene 7 film Sunan Kalijaga ketika Nimas Wulan melihat Raden Said berlatih bela diri. Kalaupun perempuan bisa melakukan seni bela diri seperti simbol Nyai Gandasari, kemampuan bela diri tersebut masih di bawah laki-laki (scene 21 film Sunan Gunungjati). Perempuan yang menguasai seni bela diri pun tidak lazim. g. Perempuan yang menunjukkan ekspresi senang dan marah direpresentasikan sebagai perempuan bersifat emosional Seorang ibu akan menunjukkan ekspresi senang dan bangga dengan buah hatinya yang berhasil melakukan sesuatu yang baik. Seorang ibu akan langsung memarahi anaknya yang pergi tanpa ijin seperti ibu Raden Said yang memarahi Raden Said yang pergi tanpa ijin. Bahkan ketika seorang ibu mendapati anaknya mencuri maka amarah itu seketika akan muncul seperti yang ditunjukkan dalam scene 25 film Sunan Kalijaga. h. Pendidikan moral dan pengasuhan anak direpresentasikan sebagai tanggung jawab ibu Seorang ibu mempunyai peran utama mendidik anak-anaknya terutama masalah moral. Karenanya bahkan pendidikan anak-anak adalah tanggung jawab ibunya. Jadi ketika seorang anak melakukan tindakan amoral maka yang bertanggung jawab adalah ibunya, yang disalahkan adalah ibunya. Ini ditampilkan ketika ibu Raden Said kecewa dan marah kepada Raden Said yang ketahuan mencuri. Bahkan Adipati Wilatikta pun ikut menyalahkan istrinya atas perbuatan Raden Said tersebut (film Sunan Kalijaga). i. Hukuman
kepada
anak
yang
dijatuhkan
oleh
bapak
direpresentasikan sebagai tidak adanya kekuasaan ibu dalam menghukum anak-anaknya
18
Meskipun ibu bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya namun ketika seorang anak melakukan kesalahan, yang menjatuhkan hukuman adalah ayah (. Ibu tidak mempunyai andil dalam menentukan jenis hukuman bahkan menjadi subyek yang menghukum anaknya. Kuasa ibu pada anak-anaknya hanyalah ketika tidak ada kuasa ayah (scene 10, 26, 29 dan 33 film Sunan Kalijaga). j. Perempuan bisa menghentikan kekerasan dengan tangisan dan kecantikan direpresentasikan sebagai kemampuan perempuan dalam menyelesaikan masalah Nimas Wulan yang meminta agar Adipati Wilatikta menghentikan cambukan kepada Raden Said dan Nyimas Gandasari yang berhasil menjebak Raja Cakraningrat adalah symbol perempuan bisa menghentikan kekerasan. Kekerasan dan kejahatan yang berhasil dihentikan perempuan itu bukan karena akalnya atau kekuatannya namun dengan tipu daya dan sisi feminitasnya yaitu tangisan dan kecantikan. k. Perempuan
adalah
korban
kekerasan
dan
pelecehan
direpresentasikan sebagai ketidakberdayaan perempuan Setiap ada perampokan pasti perempuan adalah korban dari kekerasan dan perkosaan (scene 31 film Sunan Kalijaga, scene 2 ). Bahkan suami yang marah kepada istrinya pun bisa melakukan kekerasan kepada istri tanpa perlawanan istri. l. Pekerjaan menumbuk alu, menyapu, menjaga anak, dayang dan penari direpresentasikan sebagai pekerjaan perempuan Profesi-profesi yang pasti dilakukan oleh perempuan di antaranya dayang dan penari. Setiap kekuasaan pasti memiliki dayang yang hanya menjadi kelengkapan suatu sistem. Dayang juga membantu pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh istri penguasa. Pekerjaan-pekerjaan rumah, menjaga anak, menumbuk beras, melakukan apa pun yang diperintahkan penguasa adalah pekerjaan dayang atau pembantu. Penari yang merupakan sosok yang gemulai juga identik dengan perempuan. Termasuk sebagai profesi perempuan yaitu menumbuk alu, menyapu, menjaga anak (scene 35 dan 36 film Sunan Kalijaga).
19
m. Kedangkalan
perempuan
dalam
menyimpulkan
sesuatu
direpresentasikan sebagai ketidakpandaian perempuan dalam menyimpulkan sesuatu Adegan perempuan di perahu yang mengira Raden Said yang semedi di pinggir sungai sebagai sebuah patung menunjukkan symbol kedangkalan simpulan perempuan (scene 33 film Sunan Kalijaga). Lakilaki ditunjukkan lebih teliti dan akhirnya menyimpulkan sesuatu yang benar. n. Perempuan mudah tertarik dengan magic direpresentasikan sebagai mudahnya menarik perhatian perempuan Perempuan mudah dibuat terkesima akan sesuatu. Apalagi jika berhubungan dengan magic maka perempuan akan lebih banyak tertarik dibandingkan laki-laki. Seperti adegan demonstrasi magis dalam scene 37 film Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Djati, mayoritas penonton adalah perempuan. o. Perlawanan atas kepemimpinan ratu direpresentasikan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin Ilustrasi ini terlihat ketika kekuasaan Kusumawardani direbut oleh saudara laki-lakinya scene 13 dan 15 dalam film Sunan Kalijaga. Ilustrasi ini bisa menunjukkan pemahaman konsep kepemimpinan di era 80-an adalah oleh laki-laki, bukan perempuan. p. Terhindar dari panas direpresentasikan sebagai cara perempuan menjaga kecantikan Seorang putri identik dengan kecantikan. Ke mana pun kecantikan itu akan dijaga. Salah satu cara menjaga kecantikan adalah ketika putri tersebut berada di luar ruangan memakai paying agar terhindar dari panas untuk menjaga kecantikannya seperti dalam scene 7 film Sunan Kalijaga. 2. Film Indonesia bertema Islam Periode 90 an a. Perempuan
berjilbab
dan
memakai
baju
muslimah
direpresentasikan sebagai perempuan yang lebih relijius Sejak Scene pertama, Ida Iasha tampil dengan mengenakan baju muslimah dan jilbab. Ida Iasha mengenakan kerudung hingga menutup
20
leher. Gambar tersebut diambil dengan close up shot. Begitu pula beberapa teman Ida, dan santriwati. Pada tahun 90an, jilbab yang dipakai oleh muslimah tidak hanya sekedar kerudung yang menutup kepala. b. Perempuan dan laki-laki membahas sesuatu berdampingan direpresentasikan sebagai kesetaraan perempuan dan laki-laki Ida Iasha membahas masalah Pandan Wangi dengan duduk berdampingan. Begitu pula ketika teman-teman Ida saling berdiskusi dan memberikan pengarahan ketrampilan kepada warga desa Pandan Wangi. Pada saat berdiskusi tentang masalah Pandan Wangi maupun pada saat memberikan pengarahan tentang ketrampilan, karena forumnya hanya terdiri dari sekelompok orang maka duduknya bercampur. Namun dalam rapat yang dihadiri banyak orang dan pengajian besar, duduknya dipisah, ibu-ibu duduk di barisan belakang. c. Perempuan
mengusulkan
suatu
kegiatan
direpresentasikan
sebagai sudah mempunyai inisiatif untuk melakukan perubahan Ida Iasha melakukan mengusulkan beberapa cara untuk mengatasi masalah Pandan Wangi kepada Rhoma. Ida Iasha juga bergerak bersama teman-temannya sementara Rhoma bersama KH. Zainudin MZ. d. Sekretaris direpresentasikan sebagai profesi perempuan Scene 30 menampilkan seorang perempuan sekretaris Bustani yang mempersilakan Rhoma memasuki ruang kerja Bustani. Sekretaris tersebut tampil lagi dalam scene rapat. Dia duduk di sebelah Bustani selaku direktur. e. Perempuan berjalan di belakang laki-laki direpresentasikan sebagai posisi setelah laki-laki Ini ditampilkan ketika Ida Iasha berjalan mengikuti Rhoma di studionya. Hal yang sama juga ditampilkan ketika beberapa penjahat dibekuk di rumahnya, beberapa perempuan berjalan di belakangnya. f. Perempuan cantik direpresentasikan sebagai pusat perhatian Scene 9 menampilkan Ida Iasha dan teman-temannya yang masih membahas masalah desa Pandan Wangi dengan posisi duduk. Gambar
21
diambil dengan middle shot dengan fokus pada salah satu perempuan yang terlihat lebih cantik dibanding yang lain. g. Perempuan memijit, dan menyajikan minuman direpresentasikan sebagai tugas perempuan Scene 11 menampilkan dalam sekilas perempuan dalam sebuah bar yang membawa minuman. Scene lain pun menunjukkan Ida Iasha membawakan minuman untuk ayahnya. Scene 32 film Kiamat Sudah Dekat menampilkan Sarah yang menyajikan minuman kepada tamu. h. Perempuan yang bisa menyetir mobil, membawa beban berat, pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki direpresentasikan sebagai bentuk kemandirian dan kekuatan perempuan Scene 12, 15, dan 29 menampilkan Ida Iasha yang sedang mengemudikan mobil. Gambar selanjutnya dalam scene ini menampilkan dua orang perempuan yang sedang menyunggi bungkusan karung, berjalan di jalan raya yang dilalui mobil Ida Iasha. i. Perempuan
berduyun-duyun
mendatangi
keramaian
direpresentasikan bahwa perempuan mudah terpengaruh Scene 18 menampilkan santriwati yang sedang berkumpul menanti kedatangan Rhoma dan Zainudin M.Z. Hal ini mengesankan perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh kehadiran public figure dibandingkan lakilaki. Perempuan lebih banyak datang berduyun-duyun dan bergerombol dari pada laki-laki. j. Dalam pertarungan fisik, perempuan tidak terlibat karena tidak menguasai
bela
diri
direpresentasikan
bahwa
perempuan
menghindari kekerasan dan menyelesaikan masalah dengan jalan komunikasi Ini ditampilkan ketika Ida Iasha dan Rhoma menggrebek penjahat dan Rhoma yang beraksi bela diri sementara Ida hanya berlindung di dekat mobil dan menelepon polisi (scene 43) k. Dalam suatu forum, walaupun perempuan duduk di deretan pembicara, yang menjadi pembicara utama tetap laki-laki direpresentasikan bahwa laki-laki adalah tetap yang utama.
22
Hal ini nampak pada scene ketika seorang laki-laki menjadi pembicara padahal sebelumnya Ida Iasha sudah memberikan pengarahan. Namun tetap yang menjadi sosok sentral pembicara adalah orang tersebut. l. Tokoh Ida Iasha direpresentasikan bahwa perempuan dengan status sosial ekonomi menengah ke atas lebih mempunyai akses perubahan dan kemandirian Hal ini direpresentasikan oleh tokoh Ida Iasha yang anak seorang direktur, berpenampilan berbeda dengan perempuan pada umumnya. Dia memakai baju longgar dan berjilbab. Dia bisa melakukan pergerakan dalam masyarakat dan mengajak orang banyak. m. Perempuan yang menangis dan berteriak-teriak direpresentasika sebagai perempuan bersifat emosional Hal ini ditunjukkan oleh seorang ibu yang melihat suaminya dibunuh anaknya dan menangis di dekat jasad suaminya yang sudah meninggal dalam film Nada dan Dakwah. n. Jilbab masih diwakili warna putih atau warna-warna soft direpresentasikan sebagai warna-warna perempuan relijius Hal ini terrepresentasikan dalam jilbab-jilbab yang dipakai Ida Iasha dan teman-temannya serta santriwati. Jilbab-jilbab yang dipakai tahun 90an berwarna mayoritas putih polos atau warna soft lainnya. Warna ini merepresentasikan kesucian yang menjadi makna jilbab. 3.
Film Indonesia bertema Islam Periode 2000-2010 a. Menjemur pakaian, menyajikan minuman, memasak dan mencuci piring direpresentasikan sebagai tugas perempuan di rumah Hal ini ditunjukkan oleh Ibu Saprol dan Sarah (Kiamat Sudah Dekat) yang mengangkat jemuran dan menjemur pakaian, istri Ardan (Kun Fayakun) yang memasak dan menyapu. Scene 8 menampilkan ibu Fahri (Ayat-ayat Cinta) di Indonesia dan saudara perempuannya sedang memasak di dapur. Emak mencuci piring (Emak Naik Haji). Nyai Mahmudah memasak di dapur bersama beberapa santriwati (perempuan Berkalung Surban). Scene 17 menampilkan Sarah yang sedang membuatkan minuman dan menyajikannya. Scene 18 menampilkan ibu
23
Farid yang membawakan minuman (Kiamat Sudah Dekat). Ibu Ana menyajikan minuman untuk suaminya (Ketika Cinta Bertasbih). Scene 49, scene 50, dan scene 51 (ketiga scene ini dalam rangkaian satu cerita) yang memperlihatkan Annisa masih sibuk menjemur pakaian tiba-tiba dipanggil Samsudin untuk “melayani”nya. b. Perempuan berkerudung direpresentasikan sebagai perempuan yang relijius dan modis Sarah tidak selalu memakai jilbab yang menutup dada. Ketika dia sedang menjemur baju, dia hanya memakai ciput saja (Kiamat Sudah Dekat). Aisyah dan beberapa santriwati menggunakan jilbab kreasi (Sajadah Cinta). c. Perempuan yang tidak berjilbab, berdekatan dengan pria direpresentasikan sebagai perempuan yang berakhlak buruk dan memiliki kedangkalan dalam pengetahuan Islam Hal ini ditunjukkan oleh adik Fandi yang sedang berpacaran . Scene 19 menampilkan beberapa teman perempuan Fandi yang mengenakan kaos tanpa lengan sedang berkumpul dengan Fandi dan teman-temannya. Salah satu dari mereka bergelayut manja dengan teman prianya (Kiamat Sudah Dekat). Scene 27 menampilkan ibu Fandi yang tidak berjilbab bertanya-tanya kepada Fandi tentang Islam. Scene 30 menampilkan Sarah yang sedang berada di kamar teman perempuannya dan melihat album foto temannya yang berisi foto mantan-mantan teman dekat temannya. d. Perempuan hanya bisa memandang pria yang disukainya dari jauh dan dari tempat tersembunyi direpresentasikan sebagai rasa malu perempuan terhadap laki-laki Hal ini ditunjukkan oleh Sarah yang melihat Fandi dari balik jendela yang berteralis sambil menggigit jari. Scene 31 menampilkan Sarah yang sedang melihat bunga mawar pemberian Fandi. Scene 5 menampilkan seorang mahasiswi berjilbab yang memberikan surat cinta kepada Fahri.
24
e. Perempuan mengatupkan tangan ketika bersalaman dengan lawan jenis direpresentasikan sebagai etika bersalaman dengan lawan jenis dalam Islam Scene 21 menampilkan Sarah yang mengatupkan tangannya ketika diajak salaman oleh teman prianya. Begitu pula dalam film Ayat-ayat Cinta scene 30 menampilkan Aisya yang menuju ruang tamu untuk dikenalkan dengan Fahri f. Istri yang menyambut kedatangan suami direpresentasikan sebagai istri tunduk pada suami Hal ini ditunjukkan oleh istri Ardan yang menyambut kedatangan suami dan menuruti saran suami untuk tidak berhutang. g. Perempuan yang panik dan menangis direpresentasikan sebagai perempuan bersifat emosional Hal ini ditunjukkan ketika istri Ardan panik karena anaknya dirawat di rumah sakit. Scene 7 dalam film Kun Fayakun menampilkan bu Ardan yang memberitahu suaminya bahwa tidak ada uang untuk belanja besok dan dia berinisiatif untuk meminjam tetangga tapi dilarang oleh suaminya. Bu Ardan pun menurut. Bu Ardan kemudian masuk kamar dan menangis. Scene 7 dalam film Ketika Cinta Bertasbih menampilkan flash back masa kecil teman Azzam yang ibunya menangis histeris memeluk anak-anaknya karena suaminya ditembak teroris. h. Perawat, penyanyi dan teller bank direpresentasikan sebagai profesi perempuan. Hal ini direpresentasikan oleh perawat yang merawat anak Ardan dan Madrim dan penyanyi direpresentasikan oleh Dona Satelit. Scene 22 film Ketika Cinta Bertasbih menampilkan Husna di bank sedang berbicara dengan teller bank yang berjilbab. i. Perempuan dan poligami direpresentasikan sebagai solusi dari mewujudkan keturunan, dan keadilan akan rasa cinta terhadap lawan jenis. Scene 51 menampilkan Maria, Aisha dan Fahri yang duduk di kursi makan setelah Maria resmi menjadi istri ke dua Fahri. Perempuan di
25
pesantren juga lekat dengan budaya poligami, meski tidak semua keluarga pesantren melakukannya. Scene 57 menggambarkan Samsudin dan Annisa menghadap keluarga besar Samsudin. Samsudin tanpa pikir panjang dan meminta persetujuan Annisa memutuskan untuk poligami. o. Ibu yang rela tidak makan demi anak-anaknya direpresentasikan sebagai keikhlasan ibu Scene 5 dalam film Kun Fayakun menampilkan bu Ardan yang sudah selesai masak membagi nasi menjadi dua piring, dia sendiri makan nasi yang menempel di bakul nasi. Perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban digambarkan memiliki peran yang sudah lumrah disandangkan oleh pihak laki-laki yaitu sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga. Peran tradisional seorang perempuan pertama kali diperlihatkan Nyai sebagai istri Kyai Hanan dan ibu Annisa pada scene 1, scene 4, scene 6, scene 8, scene 9, dan scene 10. p. Perempuan yang diancam dan ditampar direpresentasikan sebagai perempuan korban kekerasan Scene 22 menampilkan Noura yang wajahnya berdarah dan ketakutan karena ditampar seorang laki-laki. Dalam pernikahannya dengan Samsudin, Annisa mengalami kekerasan fisik juga kekerasan psikis atau mental saat bersama Samsudin. Kekerasan tersebut berupa ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan baik di wilayah publik maupun domestik. Kekerasan fisik diterima Annisa setiap ia tidak mau “melayani” Samsudin, seperti didorong dengan kasar hingga menatap tembok pada scene 46 dan scene 51, serta pada scene 53 Annisa dipegang dagunya dengan kasar juga oleh Samsudin. q. Perempuan yang bisa mengendarai motor, mobil dan kuda sendiri direpresentasikan sebagai perempuan mandiri Scene 19 menampilkan Husna yang berjilbab, adik Azzam yang sedang menaiki motor hendak pergi namun masih berbicara dengan ibunya dan adik-adiknya di teras. Scene 4 dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2 menampilkan Ana yang baru turun dari mobil dengan wajah berbinar-binar
26
tanpa sengaja bertemu Azzam yang akan menemui abinya. Scene 1 dalam film Perempuan Berkalung Surban menampilkan perempuan yang menunggang kuda. r. Anak perempuan yang membantu ibunya direpresentasikan sebagai anak shalihah Scene 3 dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2 menampilkan Husna yang membantu ibunya melipat batik. s. Ibu dan anak perempuan mengikuti perintah berdoa dari suami (ayahnya),
terpilihnya
ketua
kelas
oleh
murid
laki-laki
direpresentasikan sebagai kepemimpinan dalam keluarga tidak berada pada perempuan Scene 3 dan scene 5 dalam film Perempuan Berkalung Surban. hal yang menarik dari sikap Nyai dalam film Perempuan Berkalung Sorban adalah kepasrahan dan keikhlasannya akan peran yang ia jalani sebagai istri Kyai Hanan, seorang kyai yang kolot melanggengkan budaya patriarki dalam keluarganya. Nyai menaruh hormat yang tinggi kepada Kyai Hanan. t. Pembatas laki-laki dan perempuan direpresentasikan sebagai sarana membatasi kebebasan interaksi laki-laki dan perempuan Scene 38 dalam film Syahadat Cinta menampilkan barisan santriwati yang duduk menghadap pembatas kelas sedangkan santri lakilaki menghadap ustaz yang duduk di sisi santri laki-laki. Scene 15 menampilkan Aisyah yang memakai gamis putih mendapat surat dari balik pembatas kelas. H. Simpulan Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, keberanian, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya meta-language (Strinati, 1995:113).
27
Hasil interpretasi makna konotasi di atas menunjukkan kesan adanya beberapa mitos dan aturan tentang perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Mitos-mitos tersebut merupakan stereotype perempuan yang dilabelkan oleh masyarakat. Perempuan yang tidak sesuai dengan gambaran stereotype tersebut cenderung mengalami annihilisasi dengan interpretasi terhadap tafsiran ayat al Quran, hadits dan beberapa kitab. Mitos-mitos tersebut terkesan ditampilkan ada yang bergeser dan ada yang tetap atau sama atau tidak bergeser. Mitos yang tidak bergeser di antaranya istri yang tunduk pada suami; perempuan sebagai simbol kemiskinan; perempuan tidak meminta tapi diminta; perempuan tidak perlu mempunyai kemampuan seni bela diri; perempuan bersifat emosional; pendidikan moral dan pengasuhan anak sebagai tanggung jawab ibu; tidak adanya kekuasaan ibu dalam menghukum anak-anaknya; perempuan adalah korban kekerasan. Mitos yang bergeser di antaranya perempuan menghentikan kekerasan dengan tangisan dan kecantikan sebagai kemampuan perempuan dalam menyelesaikan
masalah
ditampilkan
berbeda
karena
perempuan
bisa
menyelesaikan masalah dengan ide dan komunikasi yang dilakukannya; istri adalah pihak yang sering bersalah ditampilkan berbeda karena istri lebih dihormati; ketidakberdayaan perempuan sebagai korban ditampilkan berbeda karena
perempuan
akhirnya
bisa
memperjuangkan
ketidakberdayaannya;
pekerjaan perempuan ditampilkan berbeda karena jenis pekerjaan perempuan sudah bervariasi; ketidakpandaian perempuan dalam menyimpulkan sesuatu ditampilkan berbeda karena perempuan bahkan bisa menempuh studi lanjut; mudahnya menarik perhatian perempuan ditampilkan berbeda karena perempuan hanya tertarik dengan hal-hal yang menjadi minatnya; perempuan tidak boleh menjadi pemimpin ditampilkan berbeda karena perempuan memiliki keberanian memimpin diri sendiri, keluarga dan komunitasnya. Analisa tersebut memunculkan kesan bahwa pergeseran mitos perempuan dalam film Indonesia bertema Islam pada beberapa hal sudah benar-benar bergeser. Namun di beberapa mitos hanya berubah bentuk representasinya, tidak sepenuhnya berubah. Ini bisa jadi karena interpretasi atas teks-teks Islam yang
28
melandasi mitos tersebut. Namun yang pasti, Islam dalam merepresentasikan tokoh perempuan dalam film terkesan lebih etis.
29
Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.Cetakan pertama. Yogyakarta: Kepel Press. Al-Albani, Nashiruddin, 1413 H, Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitâb wa alSunnah, Yordania: Al-Maktabah al-Islamiyah. Al-Barazi, Muhammad Fuad, 1999, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah, Jilid II, Riyadh: Adhwa al-Salaf.
Aliyudin, Enjang AS., 2009, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Tim Widya Padjadjaran. al-Malaky, Ekky, 2004, Remaja Doyan Nonton, Bandung: DAR! Mizan. al-Qaradhawi, Yusuf, 2006, Fatwa-fatwa Kontemporer 3, Depok: Gema Insani. Al-Qur‟an dan Tarjamahnya, 1978, Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur‟an Depag RI. al-Zuhaily, Wahbah, 1986, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr. Amiruddin, Arsal, 2010, Islam dalam Film Indonesia:Studi Semiotika Terhadap Film-Film Pasca Orde Baru, makalah tidak diterbitkan Ashaf, Abdul Firman, 2004, Aspek Gender dalam Film Indonesia, hasil penelitian tidak diterbitkan, Bandar Lampung: Universitas Lampung. Ashaf,
Abdul Firman, 2007, Perempuan dalam Konflik:Refleksi atas Pencitraannya di Media Film, dalam Jurnal Progress No.28/Th.XII/Juni/2007, Bandar Lampung: FISIP Universitas Tulang Bawang.
Ashaf, Abdul Firman, 2008, Sinema Religius, Mantra atau Praktis?, dalam Lampung Post, Lampung. As-Sidni dan as-Suyuthi, 1991, Hasyiyah an-Nasai, Beirut: Dar al-Ma‟rifah. Aziz, Moh. Ali, 2004, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenadan Media. Barker, Chris, 2004, Cultural Studies; Teori dan Praktik, Yogyakarta: Bentang. Barthes, R., 1973, Mythologies, Terjemahan, Ikramullah Mahyuddin, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Barthes, Roland, 2004, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Yogyakarta: Kreasi Wacana.
30
Berger, Arthur Asa, 1982, Media Analysis Techniques, Beverly Hills: Sage Publications. Bignell, Jonathan, 1997, Media Semiotics: An Introduction, Manchester and New York: Manchester University Press. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Christomy, T., & Untung Yuwono, 2004, Semiotika Budaya, Jakarta: Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI. Chusana, Amelia, 2006, Muatan Dakwah dalam Film Kiamat Sudah Dekat, skripsi tidak diterbitkan, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Colin, Gonul Donmez, 2004, Women, Islam and Cinema, London: Reactionbooks. Colin, Gonul Donmez, 2004, Women, Islam and Cinema, London: Reactionbooks. Damayanti, Diana (2010) Representasi Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban, skripsi tidak diterbitkan, Semarang: FISIP Undip. Danesi, Marcel, 2010, Pesan, Tanda, dan Makna:Buku Teks Dasar mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra. El Guindi, Fadwa, 2003, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman, Jakarta: Serambi. Eriyanto, 2001, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKIS. Fauzi, Imam, 2009, Pesan Dakwah melalui Film (Analisis Wacana Film Do'a Yang Mengancam), skripsi tidak diterbitkan, Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Sunan Ampel. Fiske, John, 1990, Introductions to Communication Studies, London: Routledge. Fiske, John, 2004, Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Terjemah, Idy Subandy Ibrahim dan Yosial Iriantara, Yogyakarta: Jalasutra. Fitriani, Yunita, 2010, Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban, skripsi tidak diterbitkan, Semarang: FISIP Undip. Ghassani, Husninatul, 2010, Kekerasan terhadap Perempuan: Analisis Semiotika Film Jamila dan Sang Presiden, skripsi tidak diterbitkan, Semarang: FISIP Undip.
31
Hall, Stuart (Ed.), 1997, Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, London: Sage Publications. Harper, Sue, 2000, Women in British Cinema:Mad, Bad and Dangerous To Know, London: Continuum. Heider, Karl, 1991, Indonesian Cinema: National Culture on Screen, Honolulu: University of Hawaii Press. Hidayatullah, Ahmad, 2010, Pesan Dakwah dalam Film (Analisis Isi Film My Name Is Khan), skripsi tidak diterbitkan, Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Imanjaya, Ekky, 2006, A to Z About Indonesia Film, Bandung: Mizan. Jabir Asy Syal „Qishasun Nisa fil Qur‟anul Karim‟, Kairo, 1986. Kitab al-Adab no. 5971 Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548 Kracauer, Sigfried, 1974, From Cagliari to Hitler: A Psychological History of the German Film, New Jersey: Princeton University Press. Kristanto, J.B, 2005, Katalog Film Indonesia 1926-2005, Jakarta: Penerbit Nalar. Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang: Indonesiatera. Kushartanti dkk, 2005, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kusnita, Ajeng Febri, 2009, Eksploitasi Perempuan dalam Film Horor (Analisis Wacana Eksploitasi Perempuan dalam Film Horor Indonesia Era 80 an, 90 an, dan 2000 an), skripsi tidak diterbitkan, Surakarta: FISIP UNS. Lewis, Glen & Christian Slude, 1994, Critical Communication, Australia: Prentice Hall. Lies Marcoes-Natsir, 2007, Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer; Gender sebagai Perspekif dalam Islamic Studies, Jakarta: The Wahid Institute.
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss, 2005, Theories of Human Communication, Eight edition, Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
32
Mahmudah, Nur, Jurnal Palastren, 2009, Membincang Perempuan dalam Al Quran, Kudus: PSG STAIN Kudus. Mahmudah, Nur, tt., Membincang Perempuan dalam Al Quran, makalah tidak diterbitkan dalam Sosialisasi Gender di Pesantren, Kudus. Maulidya, Rafika Hidayatul, 2009, Pemberontakan Perempuan Pesantren (Analisis Pesan Dakwah Perspektif Gender dalam Film Perempuan Berkalung Sorban), skripsi tidak diterbitkan, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Mulyana, Deddy, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya. Munif, Ahmad, 2004, Muatan Dakwah dalam Film Children of Heaven, skripsi tidak diterbitkan, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Narula, Uma, 2006, Communication Models, New Delhi: Atlanticbooks.. Panuti, Sujiman & Aart van Zoest (Ed.), 1991, Serba-serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia. Paramadhita, Intan, 2008, Perspektif Gender dalam kajian Film, dalam Jurnal Perempuan No. 61, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Paramadhita, Intan, Jurnal Perempuan No. 61, 2008, Perspektif Gender dalam kajian Film, Jakarta. Pawito, 2007, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKiS. Pawito, tt, Studi Media (Media Studies): Pengantar Ringkas, makalah tidak diterbitkan. Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra. Pitasari, Indi Putri Wahyuni, 2009, Pelecehan Seksual terhadap Perempuan dalam Film Indonesia (Analisis Isi Film-film Indonesia tahun 2006) dalam Jurnal FISIPOL (Ilmu Komunikasi), Vol 5, No 5., Yogyakarta: UMY. Pratista, Himawan, 2008, Memahami Film, Yogyakarta: Homerian Pustaka. Qardhawi, Yusuf, 2010, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad menurut al Qur’an dan Sunnah, Jakarta: PT Mizan Publika. Rahma, Shuvia, 2007, Representasi Ibu dalam Film (Analisis Semiotik Film Rindu Kami karya Garin Nugroho), skripsi tidak diterbitkan, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
33
Ridha, Muhammad Rasyid, 1992, Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan Wanita. Surabaya: Pustaka Progressif. Saefulloh, Aris, 2009, Dakwahtainment: Komodifikasi Industri Media di Balik Ayat Tuhan, dalam Jurnal Komunika, Vol. 3 No. 2, Purwokerto: STAIN Purwokerto. Saefulloh, Aris, Jurnal Komunika, Vol. 3 No. 2, 2009, Dakwahtainment: Komodifikasi Industri Media Di Balik Ayat Tuhan, Purwokerto: STAIN Purwokerto. Said, Salim, 1982, Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers. Sen, Krishna, 1994, Indonesian Cinema: Framing The New Order. London: Zed Books. Setiawan, Ikwan, 2008, Perempuan dalam Layar Bergerak: Representasi Perempuan dan Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia Era 2000-an (Analisis Semiotika Mitos Barthesian dan Wacana Foucauldian), tesis tidak diterbitkan, Yogyakarta: Kajian Budaya dan Media UGM. Shihab, M. Quraish, 2000, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati. Sontag, Susan, 1986, A Barthes Reader, Canada:McGraw-Hill. Storey, John (Ed.), 1994, Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, New York: Harvester Heatsheaf. Strinati, Dominic, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culure, New York: Routledge. Sue Harper Women in British Cinema: Mad, Bad and Dangerous to know (Continuum, London, 2000) Sunardi, St., 2004, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Buku Baik. Takwin, Bagus, Volume I No. 2, Agustus 1999, Cuplikan-cuplikan Ideologi, Jurnal Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta. Taufik, M.Tata, 2008, Etika Komunikasi Islam, Bandung: Penerbit Sahifa. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Tolson, Andrew, 1996, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, London: Arnold. Turner, Graeme, 1993, Film as Social Practice. New York: Routledge.
34
Wardani, Ani, 2010, Simbol-Simbol Keagamaan dalam Film (Analisis Resepsi Film Perempuan Berkalung Sorban), skripsi tidak diterbitkan, Semarang: FISIP Undip. Wasid, Wasid, 2011, Meretas Hegemoni Tafsir Bias Jender: Membaca Kritis Tafsir Gender Perspektif Nasr Hamid Abu Zaid, makalah tidak diterbitkan, Surabaya: IAIN Sunan Ampel. Zakiyah, Onik, 2008, Pesan Moral Islami Dalam Film Ayat-Ayat Cinta (Kajian Analisis Semiotik Model Roland Barthes dan Model Wacana Van Dijk), skripsi tidak diterbitkan, Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Daftar Internet
http://americanaejournal.hu/vol4no1/toth http://astro.temple.edu/~ruby/wava/worth/sintro.html http://bataviase.co.id/node/173661 http://eprints.sunan-ampel.ac.id/624/1/Wasid.pdf http://ericsasono.multiply.com/journal/item/99 http://etnohistori.org/membioskopkan-santri-pesantrennya.html http://id.wikipedia.org/wiki/Di_Bawah_Lindungan_Ka%27bah_%28film_1981% 29 http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Film_Indonesia_tahun_1980 http://id.wikipedia.org/wiki/Titian_Serambut_Dibelah_Tujuh http://nahimunkar.com/8044/kenapa-film-yang-dianggap-islami-tidak-mengarahke-islam/ http://perfilman.pnri.go.id/filmografi.php?1=1&a=view&recid=FILM-M1209 http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel.php?1=1&a=view&recid=KAR-000011 http://primitifzine.net/mimbar/mimbar/36-rhoma-irama-antara-lirik-cinta-dandakwah http://sidogiri.net/index.php/artikel/view/27 http://wapedia.mobi/id/Perfilman_Indonesia
35
http://www.citwf.com/film260757.htm http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-73620.pdf http://www.jurnal.budiluhur.ac.id/wp.../04/blcom-01-vol2-no2-april2007.pdf http://www.latrobe.edu.au/screeningthepast/reviews/rev1201/bmbr13a.htm
36
Daftar CD Film Sunan Kalijaga, 1984, Jakarta: PT. Tobali Indah Film & PT Empat Gajah Film. Film Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar, 1985, Jakarta: Smaradhana Pro. Film Sunan Gunung Jati, 1985, Jakarta: Raam Soraya lewat PT Soraya Intercine Films. Film Nada dan Dakwah, 1992, Jakarta: Falcon Picture. Film Kiamat Sudah Dekat, 2003, Jakarta: Citra Sinema. Film Mengaku Rasul, 2008, Jakarta: Starvision. Film Kun Fa Ya Kun (diproduksi oleh Putaar Production pada tahun 2008), Film Ayat-ayat Cinta (diproduksi oleh MD Pictures pada tahun 2008), Film Syahadat Cinta (diproduksi oleh Pyramid Citra Perkasa pada tahun 2008), Film Ketika Cinta Bertasbih 1 (diproduksi oleh Sinemart Pictures pada tahun 2009), Film Ketika Cinta Bertasbih 2 (diproduksi oleh Sinemart Pictures pada tahun 2009), Film Doa yang Mengancam (diproduksi oleh Sinemart pada tahun 2008), Film 3 Doa 3 Cinta (diproduksi oleh Investasi Film Indonesia pada tahun 2008), Film Perempuan Berkalung Surban (diproduksi oleh Starvision Plus pada tahun 2009), dan Film Emak Naik Haji (diproduksi oleh Mizan Productions dan Smaradhana Pro pada tahun 2009)
37