4
TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1992). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi: ruang daratan, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang merupakan sumberdaya alam yang harus dikelola bagi sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga dalam konteks ini, ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan (Dardak 2006). Ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono 2001). Berdasarkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan system jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkhi memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah
5
distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rustiadi et al., 2006 menyatakan bahwa tata ruang merupakan wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang yang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud dari hasil pembelajaran (learning process). Penataan ruang merupakan suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Terdapat dua unsur penataan ruang, pertama menyangkut proses penataan fisik ruang dan kedua menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang (Rustiadi et al., 2006). Penataan ruang dilakukan sebagai upaya (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilitas dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan (3) keberlanjutan (sustainability). Perencanaan Tata Ruang Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintah dan mencakup wilayah perencanaan yang luas. Secara hirarkhi terdiri atas: (1) rencana tata ruang wilayah nasional, (2) rencana tata ruang wilayah provinsi, (3) rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Rencana rinci tata ruang disusun merupakan penjabaran rencana umum tata ruang berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan/ kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan subblok peruntukan. Rencana rinci tata ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), terdiri atas: (1) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (2) rencana tata ruang kawasan
6
strategis provinsi, (3) rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang
kawasan
strategis
kabupaten/kota.
Untuk
rencana
tata
ruang
pulau/kepulauan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana pendekatan dalam pengelolaan ruang dilakukan secara terpadu (Integrated Coastal Management). Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antar ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Lingkup perencanaan wilayah pesisir dapat dilihat dari pendekatan administratif, dan perencanaan berdasarkan pendekatan eko-biogeografis. Perencanaan berdasarkan pendekatan administratif, meliputi desa atau kecamatan, sedangkan batas ke arah laut, untuk wilayah Propinsi sejauh 12 mil dan untuk Kabupaten/ Kota adalah sepertiga dari batas propinsi. Pendekatan ekobiogeografis, meliputi kondisi ekologi, biologi beserta ekosistem wilayah darat dan laut bersama semua jenis biota yang hidup di dalamnya serta kondisi geografis yang menentukan faktor alam yang membentuk dan mempengaruhi evolusi dan perubahan wilayah.
Gambar 1. Hirarkhi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008)
7
Terdapat empat tahapan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir seperti yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, yaitu: (1) rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir, (2) rencana zonasi, (3) rencana pengelolaan, dan (4) rencana aksi (Gambar 1). Sedangkan dimensi perencanaan, terdiri dari (physical planning), ekonomi (economic planning), sosial (social planning), politis (political planning), partisipatif (participative or consensus planning), dinamis (dynamic planning) (Dirjen Penataan Ruang 2001). Zonasi Efektivitas penerapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Oleh karena itu, dalam penerapan terhadap pengendalian pemanfaatan ruang masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi ditetapkan dengan (1) peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional, (2) peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi, dan (3) peraturan daerah kabupaten/kota untuk arahan peraturan zonasi sistem kabupaten/kota. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, zonasi merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Sedangkan rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap
8
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terdiri atas: (1) kawasan pemanfaatan umum, (2) kawasan konservasi, (3) kawasan strategis nasional tertentu, dan (4) alur laut yang terdiri dari zona dan sub zona. Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu kawasan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan budidaya, namun juga menyediakan ruang bagi zona preservasi dan konservasi. Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah zona dimana masih memungkinkan adanya pembangunan namun
dilakukan
dengan
memperhatikan
kaidah-kaidah
pembangunan
berkelanjutan (Odum 1989). Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan merupakan wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan kawasan budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan. Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kawasan didefinisikan bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria
karakteristik
fisik,
biologi,
sosial,
dan
ekonomi
untuk
dipertahankan
keberadaannya. Arahan peruntukan ruang dalam Undang-Undang Nomor 27
9
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri dari: 1. Kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan budidaya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, seperti: kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambangan. 2. Kawasan konservasi dengan fungsi utama melindungi kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang setara dengan kawasan lindung dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 3. Alur laut merupakan perairan yang dimanfaatkan, antara lain: untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut. 4. Kawasan strategis nasional tertentu. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan budidaya terdiri dari: (1) kawasan peruntukan hutan produksi, (2) kawasan peruntukan hutan rakyat, (3) kawasan peruntukan pertanian, (4) kawasan peruntukan perikanan, (5) kawasan peruntukan pertambangan, (6) kawasan peruntukan permukiman, (7) kawasan peruntukan industri, (8) kawasan peruntukan pariwisata, (9) kawasan tempat ibadah, (10) kawasan pendidikan, dan (11) kawasan pertahanan keamanan. Kawasan lindung berdasarkan definisi menurut The World Conservation Union (IUCN) 1994, terdiri dari enam (6) kategori, yaitu: 1.
Kategori I a : strict nature reserve, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk kepentingan keilmuan, yaitu suatu kawasan daratan dan atau laut yang memiliki ekosistem, penampakan geologis atau fisiologis dan atau jenis-jenis unik dan luar biasa atau mewakili yang kegunaan utamanya bagi kepentingan riset dan atau monitoring lingkungan
2.
Kategori I b : wilderness area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk perlindungan hidupan liar, yaitu suatu kawasan daratan dan atau laut yang masih utuh dan asli yang cukup luas dan belum
10
termodifikasi atau sedikit termodifikasi, ditetapkan untuk mempertahankan karakter-karakter dan pengaruh alami tanpa adanya okupasi pemukiman permanen atau yang significant lainnya yang dilindungi dan dikelola dalam rangka mengawetkan kondisi alam. 3.
Kategori II : national park, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaanya untuk perlindungan ekosistem dan wisata, yaitu: kawasan alami daratan dan atau laut yang ditetapkan untuk: (i) melindungi integritas satu atau lebih ekosistem bagi generasi saat ini maupun yang akan datang; (ii) meniadakan eksploitasi atau pemukiman sesuai dengan tujuan penetapannya; (iii) menyediakan landasan bagi pengunjung untuk tujuan spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi yang ramah dan arif terhadap lingkungan dan budaya.
4.
Kategori III : natural monument, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi dari penampakan alam yang khas, yaitu suatu kawasan yang berisi satu atau lebih penampakan-penampakan alam atau gabungan alam dan budaya yang khas yang mempunyai nilai yang luar biasa (outstanding) dan unik karena kelangkaannya, secara kualitas mewakili atau estetis atau mempunyai keunggulan budaya;
5.
Kategori IV : habitat/spesies management area, kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi melalui intervensi manajemen/pengelolaan, yaitu kawasan daratan dan atau laut yang mendapatkan campur tangan aktif untuk keperluan pengelolaannya dalam rangka menjamin terpeliharanya habitat dan atau memenuhi kebutuhan yang khas dari suatu jenis.
6.
Kategori V : protected landscape/seascape, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi bentang alam atau laut dan sebagai tempat wisata, yaitu suatu kawasan daratan serta kawasan pantai dan laut yang mempunyai nilai estetika, ekologis dan atau budaya yang significant yang sering dibarengi dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas interaksi tradisional merupakan hal yang penting bagi pemeliharaan dan evolusi dari kawasan.
7.
Kategori VI : managed resource protected area, yaitu kawasan lindung yang tujuan
pengelolaannya
untuk
keseimbangan
ekosistem
alam
yang
11
berkelanjutan, yaitu suatu kawasan yang memiliki sistem-sistem alami yang belum termodifikasi, yaitu dikelola untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati jangka panjang, yang dalam waktu yang sama menyediakan aliran yang lestari produk dan jasa bagi pemenuhan masyarakat. Secara detail penjabaran jenis kawasan lindung di Indonesia telah diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yakni: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya; kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air 2. Kawasan perlindungan setempat; sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan ruang terbuka hijau kota 3. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut, cagar alam dan cagar alam laut, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional dan taman nasional laut, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman wisata alam laut, dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan 4. Kawasan rawan bencana alam; kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, kawasan rawan banjir 5. Kawasan lindung geologi; kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah 6. Kawasan lindung lainnya; cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi. Mengingat pentingnya keberadaan kawasan lindung dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan, maka kawasan lindung perlu dikelola dengan baik dan bertanggung
12
jawab. Tujuan pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan melestarikan fungsi lindung serta menghindari berbagai kegiatan yang merusak lingkungan (Aliati 2007). Upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga fungsi lingkungan adalah memberikan prioritas pemanfatan lahan di daerah hulu sebagai pengatur tata air sebagai upaya untuk mencegah dampak lingkungan yang bersumber dari daerah hulu, dan perlindungan terhadap ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir dalam mencegah dampak lingkungan yang bersumber dari wilayah pesisir.