II
4.1
TINJAUAN PUSTAKA
MOTOR BAKAR DIESEL Motor bakar diesel merupakan salah satu jenis motor bakar internal yang banyak digunakan sebagai sumber tenaga penggerak di sektor pertanian. Motor bakar diesel banyak digunakan pada berbagai pemanfaatan, antara lain: traktor, pompa air, bengkel pertanian, penggerak pada mesin-mesin pengolah hasil pertanian, sarana angkut di perkebunan, dan lain-lain. Motor bakar diesel yang digunakan sebagai penggerak traktor tangan pada penelitian ini merupakan motor bakar diesel 4 langkah (four strokes cycle engine). Siklus kerja motor bakar diesel disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Siklus kerja motor bakar diesel 4 langkah Prinsip kerja motor diesel adalah pada piston yang bergerak translasi (bolak-balik) di dalam silinder yang dihubungkan dengan pena engkol dan poros engkol. Pena engkol dan poros engkol berputar pada bantalannya dengan perantara batang penggerak atau batang penghubung. Campuran bahan bakar dan udara dibakar di dalam ruang bakar, yaitu ruangan yang dibatasi oleh dinding silinder, kepala piston, dan kepala silinder. Gas pembakaran mampu mendorong piston yang selanjutnya memutar poros engkol. Pada kepala silinder terdapat katup isap yang berfungsi memasukkan udara ke dalam silinder dan katup buang untuk membuang gas hasil pembakaran (Arismunandar dan Tsuda, 1985). Motor bakar bekerja melalui mekanisme langkah yang terjadi berulang-ulang sehingga menghasilkan putaran pada poros engkol. Langkah awal pada mesin diesel empat langkah berawal dari masuknya udara melalui katup isap (langkah isap). Saat piston berada pada posisi terjauh dari kepala silinder dan kedua katup pada posisi tertutup, maka gerakan piston ke atas merupakan gerakan menekan udara di dalam silinder (langkah kompresi). Umumnya tekanan dan suhu yang terjadi pada
saat proses adalah mencapai 30 kg/cm2 dan 550 oC atau minimal 427 oC (Davis, 1983). Sesaat sebelum piston mencapai posisi maksimum, bahan bakar disemprotkan ke dalam ruang bakar. Bahan bakar terbakar dan menyebabkan kenaikan tekanan dan temperatur. Gas hasil pembakaran mendorong piston ke bawah (langkah ekspansi) dan selanjutnya memutar poros engkol. Selanjutnya gas pembakaran dipaksa keluar melalui silinder oleh piston yang bergerak dari bawah ke atas melalui saluran buang (langkah buang). Bahan bakar yang disemprotkan ke dalam silinder berbentuk butiran cairan yang halus oleh injektor. Tekanan pada bahan bakar berada pada selang 8970 - 20700 kPa. Penyemprotan harus dilakukan pada waktu, jumlah, dan dengan pola yang tepat (Davis, 1983). Karena udara di dalam silinder pada kondisi tersebut sudah bersuhu dan bertekanan tinggi maka butiran bahan bakar tersebut akan menguap. Penguapan butiran bahan bakar dimulai dari bagian luarnya, yaitu bagian yang terpanas. Uap bahan bakar kemudian bercampur dengan udara yang ada di sekitarnya. Proses ini terjadi secara berangsur-angsur dan berlangsung selama temperatur sekitarnya mencukupi. Menurut Arismunandar dan Tsuda (1985), proses pembakaran juga terjadi secara berangsur; proses pembakaran awal terjadi pada suhu yang lebih rendah dan laju pembakarannya pun meningkat. Berikut adalah rekasi pembakaran bahan bakar sehingga menghasilkan kalor.
Pembakaran merupakan reaksi oksidasi yang cepat dari bahan bakar sehingga menghasilkan panas. Pembakaran yang sempurna dari bahan bakar hanya akan terjadi jika tersedia oksigen yang cukup (UNEP, 2006). Menurut Arismunandar dan Tsuda (1985), proses pembakaran dapat dipercepat dengan menambah pasokan udara ke dalam silinder dan memperbaiki proses pencampuran bahan bakar udara dengan bahan bakar. Jika pasokan udara terlalu banyak maka kemungkinan terjadi kesukaran dalam menyalakan mesin dalam keadaan dingin. Hal tersebut disebabkan oleh proses pemindahan panas dari udara ke dinding silinder; yang masih dalam keadaan dingin menjadi lebih besar sehingga udara tersebut menjadi dingin juga. Sebaliknya jika mesin sudah panas temperatur udara sebelum langkah kompresi menjadi lebih tinggi, sehingga diperoleh kenaikan tekanan efektif rata-rata. Kondisi tersebut menyebabkan mesin bekerja lebih efisien. Hasil pembakaran bahan bakar tidak dimanfaatkan seluruhnya menjadi kerja, bahkan lebih dari separuhnya terbuang. Tabel neraca energi pada motor bakar diesel dapat dilihat pada Tabel 2 (Basyirun dkk., 2008).
Tabel 2.1 Keseimbangan energi pada motor bakar Neraca energi (%) Daya berguna
25
Kerugian akibat gesekan & aksesoris
5
Kerugian pendinginan
30
Kerugian gas buang
40
Sumber: Basyirun dkk., 2008
Jika pada proses pembakaran butiran bahan bakar yang terbentuk terlalu besar saat penyemprotan bahan bakar atau bila beberapa butir terkumpul menjadi satu, maka akan terjadi dekomposisi. Dekomposisi menyebabkan terbentuknya karbon-karbon padat (hangus). Hal ini disebabkan penguapan dan pencampuran dengan udara yang ada di dalam silinder tidak dapat
5
berlangsung sempurna. Proses ini terjadi bila terlalu banyak bahan bakar yang disemprotkan, yaitu pada waktu daya mesin akan diperbesar. Jika hangus yang terjadi terlalu banyak, gas buang yang keluar dari mesin akan berwarna hitam dan mengotori udara.
2.2
BIODIESEL SAWIT Kelapa sawit merupakan sumber bahan baku penghasil minyak terefisien dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Buah kelapa sawit terdiri dari daging buah yang dapat diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil) dan inti (kernel) yang dapat diolah menjadi (Palm Kernel Oil). Minyak CPO dan PKO memiliki perbedaan baik dalam komposisi asam lemak yang terkandung maupun sifat fikio kimianya (Hambali dkk., 2007). Saat ini pasokan bahan baku minyak sawit cukup melimpah karena perkebunan kelapa sawit sudah lama diusahakan dalam skala besar dan berkembang dengan baik. Oleh sebab itu, biodiesel minyak sawit sangat potensial dikembangkan dalam rangka pengembangan bahan bakar alternatif di Indonesia apabila dibandingkan dengan tumbuhan lain. Ditinjau dari segi produktivitas kebun per hektar (Tabel 2.2), kelapa sawit memiliki produktivitas kebun tertinggi dibandingkan tumbuhan penghasil minyak lainnya yaitu 5000 kg/ha/thn. Di samping produktivitas kebun yang tinggi, produksi minyak kelapa sawit di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Data produksi kelapa sawit di Indonesia disajikan pada Tabel 2.3. Pada tahun 2006 Indonesia telah berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi sebesar 15.9 juta ton CPO (Tabel 2.4).
Tabel 2.2 Beberapa jenis tumbuhan Indonesia penghasil minyak - lemak Produktivitas
Sumber
Kadar % bkr
P/NP
biji
40-60
NP
1590
daging buah
60-70
P
2260
Kelapa sawit
sabut + daging buah
45-70 + 46 54
P
5000
Nyamplung
Inti biji
40-73
NP
2000
daging buah
40-80
P
2217
Nama Jarak pagar Kelapa
Alpukat
(kg/ha/thn)
Keterangan: bkr = berat kering; P = minyak/lemak pangan; NP = minyak/lemak non-pangan Sumber: Soerawidjaja, 2006.
Tabel 2.3 Produksi kelapa sawit (CPO dan PKO) di Indonesia Produksi CPO Produksi PKO Tahun (1000 ton) (1000 ton) 2001 9,200 1,476 2002
10,300
1,599
2003
11,500
1,594
2004
14,000
1.830
2005
15,000
1.853
Sumber: Oil world, Agustus 2006
6
Tabel 2.4 Produksi minyak kelapa sawit dunia tahun 2006 Negara % Produksi (1000 ton) Indonesia 44% 15900 Malaysia
43%
15881
Others
7%
2718
Thailand
2%
820
Nigeria
2%
815
Kolombia
2%
711
Sumber: Oil world, GAPKI
Menurut Hambali dkk. (2007), biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati (baik minyak baru maupun bekas penggorengan), lemak hewani, dan ganggang melalui proses transesterifikasi, esterifikasi, atau proses esterifikasi-transesterifikasi. Minyak nabati merupakan bahan baku yang umum digunakan di dunia untuk menghasilkan biodiesel. Minyak nabati yang umum digunakan sebagai bahan baku biodiesel di antaranya rapeseed oil (Eropa), soy bean oil (USA), minyak sawit (Asia), dan minyak kelapa (Filipina). Umumnya minyak nabati diproduksi menjadi biodiesel melalui proses transesterifikasi (Gambar 2.2). Pada dasarnya proses ini bertujuan untuk mengubah trigliserida menjadi asam lemak metil ester (FAME).
Gambar 2.2 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alkohol (sumber: Knothe, 2005) Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti petrodiesel (BBM) untuk mesin diesel. Umumnya biodiesel dapat digunakan tanpa memodifikasi mesin ataupun menambahkan alat lain, sebab karakteristik biodiesel bersifat menyerupai petrodiesel. Biodiesel dapat diaplikasikan baik dalam bentuk 100% (B100) atau campuran dengan petrodiesel pada konsentrasi tertentu (BXX), seperti 10% biodiesel dicampur dengan 90% petrodiesel dikenal dengan nama B10 (Hambali dkk., 2007). Pada Tabel 2.5 disajikan perbandingan karakteristik biodiesel dari bahan baku yang berbeda.
7
No
Tabel 2.5 Perbandingan karakteristik biodiesel dari beberapa bahan baku Parameter Petrodiesel Palm oil Coconut Jatropha Manfaat
1 Bilangan setana
51
62
70
51
2 Titik nyala
49
170
106
192
3 Kandungan sulfur (%) 4 Kandungan O2 (%) 5 Viskositas (cSt)
0.05
0
Tidak ada emisi SOx
0
11
Menambah efek pembakaran
3-4
5.06
2.7
6 Pelumasan
3800
7 CFPP (oC)
+ 14
-8
16
10
18
3-4
5.06
2.7
8 Stabilitas terhadap oksidasi (jam) 9 Distilasi (suhu 90 oC)
Lebih besar lebih baik, penyalaan lebih baik Keamanan ketika penanganan & penyimpanan
4.84
Atomisasi terjadi lebih baik
>7000
Meningkatkan efisiensi pompa dan memperhalus kerja mesin
-2
Penting untuk penggunaan bahan bakar pada musim dingin
4.84
Atomisasi terjadi lebih baik
Sumber: Aun, 2006 di dalam Hambali dkk., 2007
Pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah; sumber minyak nabati mudah diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati mudah dan cepat, serta tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel tinggi (mencapai 95%). Biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan petrodiesel, yaitu: 1. bahan bakar ramah lingkunan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (free sulphur, smoke number rendah), sesuai dengan isu-isu global, 2. cetane number lebih tinggi ( > 57) sehingga efisiensi pembakaran lebih baik, 3. memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin dan dapat terurai, 4. merupakan energi terbarukan karena terbuat dari bahan alam yang dapat diperbaharui, dan meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat diproduksi secara lokal. Secara umum, parameter standar mutu biodiesel terdiri atas densitas, titik nyala, angka setana, viskkositas kinematik, abu sulfat, angka iodium, dan residu karbon. Berikut adalah penjelasan dari parameter-parameter tersebut: 1. densitas densitas adalah berat cairan per unit volume pada 15 oC dan 101.325 kPa dengan satuan standar pengukuran misalnya kg/m3, 2. titik nyala titik nyala merupakan suhu terendah yang harus dicapai dalam pemanasan minyak untuk menimbulkan uap terbakar sesaat ketika disinggungkan dengan suatu nyala api. Titik nyala minimum untuk bahan bakar diesel adalah 150 oF (66 oC), 3. angka setana mutu penyalaan diukur dengan indeks yang disebut Setana (Cetane). Mesin diesel memerlukan angka setana sekitar 50. Angka setana bahan bakar adalah persen volume dari setana dalam campuran setana dan alpha-methyl naphthalene. Setana mempunyai mutu penyalaan yang sangat baik dan alpha-methyl naphthalene mempunyai mutu penyalaan yang buruk. Angka setana 48 berarti bahan bakar tersebut terdiri atas 48% setana dan 52% alpha-methyl naphthalene,
8
4. viskositas kinematik viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari mulut pipa semprot (nozzle) menuju ruang bakar. Viskositas yang tidak terlalu rendah akan menguntungkan ditinjau dari meningkatnya kemampuan daya lumas dari bahan bakar terhadap mesin diesel. Viskositas di atas 5.5 cSt tidak diharapkan karena akan menghambat jalannya mesin. 5. abu sulfat dalam petrodiesel, kandungan abu teridentifikasi kemungkinan berasal dari mineral yang tidak sengaja tercampur dengan bahan bakar dan logam sabun yang dapat larut sebagai akibat netralisasi asam organik sewaktu diadakan alkali treatment. Menurut Schindlbauer (1998) yang diacu dalam Soerawidjaja dkk. (2005), kandungan abu sulfat dalam biodiesel mirip dengan kandungan abu oksida dalam petrodiesel yang sangat erat kaitannya dengan keberadaan kandungan katalis basa seperti KOH. Angka yang umumnya berlaku dibatasi pada 200 ppm. 6. angka iodium angka iodium merupakan ukuran ketakjenuhan asam lemak yang menjadi basis pembuatan metil ester. Semakin tak jenuh asam berarti semakin banyak ikatan rangkap yang terkandung di dalamnya. Menurut Kossmehl & Heinrich (1997) yang diacu dalam Soerawidjaja dkk. (2005), ketika mesin diesel dioperasikan dengan menggunakan metil ester dengan angka iodium lebih besar dari 115 mulai terbentuk deposit pada lubang saluran injeksi, piston ring, dan kanal piston ring. 7. residu karbon residu karbon adalah karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran habis. Residu karbon maksimum yang diuapkan oleh bahan bakar adalah 0.01%. Kini, beberapa negara telah memiliki standar mutu biodiesel yang berlaku di negaranya masingmasing. Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Standar mutu biodiesel alkil ester Indonesia No Parameter Unit Nilai o 3 1 Massa jenis pada 40 C kg/m 850 - 890 o
2
Viskositas kinematik pada 40 C
3
Angka setana
2
mm /s (cSt)
Metode ASTM D 1298
2.3 – 6.0
ASTM D 445
min. 51
ASTM D 613
Titik nyala (mangkok tertutup)
o
min. 100
ASTM D93
5
Titik kabut
o
maks. 18
ASTM D 2500
6
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 oC)
maks. No 3
ASTM D 130
7
Residu karbon (mikro) - dalam contoh asli, atau - dalam 10% ampas distilasi
8
Air dan sedimen
9
Temperatur destilasi, 90% recovered
10
Sulfated ash
11
Sulfur
4
C C
ASTM D 4530 %-massa
maks. 0.05 maks. 0.3
%-vol
maks. 0.05*
ASTM D 2709 atau ASTM D 1796
C
maks. 360
ASTM D 1160
% mass
maks. 0.02
ASTM D 874
ppm- (mg/kg)
maks. 100
ASTM D 5453 atau ASTM D 1266
o
Sumber: SNI 04-7 182-2006
9
Tabel 2.6 Standar mutu biodiesel alkil ester Indonesia (lanjutan) ppm-m (mg/kg) maks. 10 AOCS Ca 12-55
12
Fosfor
13
Angka asam (NA)
14
AOCS Cd 3d-63 atau ASTM D 664
mg - KOH/g
maks. 0.8
Gliserol bebas
%-massa
maks. 0.02
15
Gliserol total
%-massa
maks. 0.24
AOCS Ca 14-56 atau ASTM D6584 AOCS Ca 14-56 atau ASTM D6584
16
Kandungan ester
% massa
min. 96.5
dihitung*
17
Angka iodium
% massa (g - I2/100 g)
maks. 115
AOCS Cd 1-25
18
Uji Halpen
negatif
AOCS Cb 1-25
Sumber: SNI 04-7 182-2006
2.3
TRAKTOR SEBAGAI SUMBER DAYA PENARIK Sebuah traktor pertanian dilengkapi dengan motor bakar internal yang mengubah energi kimia dari bahan bakar menjadi panas, kemudian energi panas diubah menjadi energi mekanik. Indicated power merupakan daya yang diterima piston akibat ledakan bahan bakar. Brake power atau belt power adalah daya mekanis yang ditimbulkan oleh motor dan tersedia pada roda gila atau puli untuk melakukan kerja berguna. Daya yang tersedia ini merupakan pengurangan dari indicated power oleh daya untuk mengatasi gesekan pada bagian-bagian motor yang bergerak (McColly dan Martin, 1955). Traktor pertanian dapat menyalurkan dayanya dalam tiga bentuk, yaitu melalui Power Take Off (PTO), hidrolik, dan daya tarik (McColly dan Martin, 1955). Di antara ketiga daya yang tersedia pada traktor, daya tarik (drawbar power) merupakan daya yang terbanyak digunakan tetapi yang terendah efisiensinya (Barger et al., 1985). Jika traktor digunakan sebagai sumber daya tarik, maka daya motor dikonversikan menjadi penarik oleh alat traksi atau roda penggerak (Eshelman, 1967).
2.3.1 Kinerja Tarik (Tractive Performance) Kinerja tarik merupakan kemampuan mendasar dari traktor yang terpenting sejak traktor menggantikan tenaga hewan. Banyak dilaporkan dalam laporan penelitian, bahwa kinerja tarik tidak hanya dipengaruhi konstruksi atau bentuk traktor seperti berat traktor, kondisi alat traksi, dan inflasi atau perubahan tekanan udara, tetapi juga oleh kondisi permukaan, jenis tanah, dan situasi waktu mengemudi (Oida, 1992; Rum, 1996). Menurut Liljedahl et al. (1989), keragaman traksi yang dihasilkan traktor dipengaruhi oleh kondisi roda penggerak, kondisi lintasan, dan interaksi antara roda penggerak dengan tanah. Faktor-faktor yang memengaruhi traksi roda traktor menurut Liljedahl et al. (1989) adalah tekanan ban dan berat yang diterima roda penggerak. Faktor penting yang memengaruhi besarnya traksi adalah diameter roda, lebar roda, berat roda, tipe dan keadaan tanah, kemiringan tanah, dan tinggi tempat pemasangan alat. Besarnya tenaga maksimum yang dapat dikerahkan roda pada permukaan tanah (lintasan) dipengaruhi oleh reaksi tanah terhadap roda sehingga memungkinkan roda menghasilkan tenaga tarik dan tergantung pada ketahanan tanah terhadap keretakan. Oleh sebab itu gaya traksi tergantung pada kohesi tanah (pada tanah liat) dan gesekan dalam (internal friction) tanah (pada tanah berpasir).
10
Besarnya gaya traksi akibat reaksi tanah ditunjukkan persamaan berikut (Bekker di dalam Gill dan Vanden Berg, 1968): (1)
Fmaks = Ac + W tan ∅
Menurut Gill dan Vanden Berg (1968), gaya yang diperoleh dari persamaan (1) menunjukkan bahwa gaya traksi untuk tanah tertentu dapat ditingkatkan dengan memperluas bidang sentuh roda dengan tanah (A) dan atau menambah beban traktor (W). Nilai kohesi tanah (c) kecil pada tanah dengan kandungan pasir tinggi, sehingga faktor yang lebih memengaruhi adalah berat dinamis pada roda penggerak. Luas permukaan bidang sentuh roda dengan tanah lebih berpengaruh terhadap traksi pada tanah dengan kandungan liat tinggi, karena tanah liat mempunyai koefisien gesekan yang rendah dan sudut gesekan dalam (∅) yang kecil. Dalam kenyataannya, gaya traksi (Fmaks) tidak hanya merupakan fungsi dari sifat dinamis tanah serta berat dari traktor saja, melainkan juga merupakan fungsi dari slip yang timbul dan panjang permukaan sentuh antara alat traksi dengan tanah. Kinerja tarik traktor juga dipengaruhi kondisi tanah dan alat yang ditarik. Penggunaan traktor yang tidak sesuai dengan kondisi alat traksi dapat menyebabkan menurunnya kinerja tarik traktor. Fungsi alat traksi atau roda penggerak selain dapat memberikan traksi yang cukup untuk menghasilkan tenaga tarik yang diperlukan, juga dapat menghasilkan kecepatan kerja yang sesuai untuk mencapai hasil kerja yang diharapkan (Gill dan Vanden Berg, 1968). Kemampuan roda untuk menghasilkan gaya tarik diekspresikan oleh koefisien traksi (C T). Koefisien traksi merupakan perbandingan gaya tarik maksimum yang dapat dihasilkan roda penggerak (Fmaks) dengan beban dinamis (W) pada roda tersebut: CT =
Fmaks W
(2)
Daya traktor efektif akan berkurang pada waktu beroperasi karena adanya transmisi, untuk menjalankan traktor itu sendiri, serta untuk mengatasi tahanan guling dan mengatasi slip (Moens, 1978; Jones dan Aldred, 1980). Besarnya daya tarik traktor dan kemampuan mobilitasnya dibatasi oleh kapasitas traksi dari alat traksi pada tanah. Efisiensi alat traksi mengubah daya putaran engine menjadi daya berguna umumnya rendah saat beroperasi di tanah (Gill dan Vanden Berg, 1968). Menurut Wanders (1978) yang diacu dalam Rum (1996), gaya tarikan traktor masih dapat ditingkatkan dengan menaikkan slip roda hingga 30%. Akan tetapi peningkatan traksi dengan slip lebih dari 15% tidak cukup untuk mengimbangi kehilangan tenaga akibat penurunan kecepatan maju. Slip optimum yang terjadi saat traktor beroperasi adalah 10-15% (Anonim, 1984; Rum 1996).
2.3.2
Kapasitas dan Efisiensi Traktor di Lapangan
Kapasitas kerja suatu mesin pertanian adalah laju mesin tersebut untuk mengerjakan lahan sesuai dengan fungsi yang dimaksud atau manfaat pekerjaannya. Biasanya, kapasitas ini dinyatakan dalam luas (ha) yang dapat dikerjakan oleh mesin per jam. Faktor-faktor yang terlibat di dalamnya adalah lebar kerja yang berguna dan kecepatan maju dengan memperhitungkan waktu kehilangan saat pembelokan serta perawatan mesin. Menurut Suastawa dkk. (2000), kapasitas kerja suatu alat didefenisikan sebagai kemampuan kerja suatu alat atau mesin memberikan hasil (hektar, kilogram, liter) per satuan waktu. Kapasitas kerja dapat dibedakan menjadi kapasitas lapang teoritis dan kapasitas lapang efektif.
11
Menurut Daywin dkk. (1999), kapasitas lapang teoritis adalah kemampuan kerja suatu alat di dalam suatu bidang tanah, jika mesin berjalan maju (100%) dan alat tersebut bekerja dalam lebar maksimum (100%). Waktu teoritis untuk setiap luasan adalah waktu yang digunakan untuk kapasitas lapang teoritis. Menurut Suastawa dkk. (2000), kapasitas lapang efektif merupakan waktu nyata yang diperlukan di lapangan dalam menyelesaikan suatu unit pekerjaan tertentu. Sedangkan efisiensi lapang merupakan rasio antara kapasitas lapang efektif dengan kapasitas lapang teoritis.
2.4
HASIL EKSPERIMEN APLIKASI BIODIESEL SEBAGAI BAHAN BAKAR Telah banyak dilakukan penelitian mengenai evaluasi aplikasi biodiesel sebagai bahan bakar untuk mengoperasikan mesin diesel. Umumnya hasil penelitian menunjukkan bahwa daya yang dihasilkan oleh mesin diesel yang menggunakan bahan bakar biodiesel cenderung lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar berbasis petrodiesel (Anami, 2008; Kalam et al., 2009; Meighani & Morteza, 2008; Ozsezen et al., 2009; Praptijanto dkk., 2005). Laju konsumsi bahan bakar pada mesin diesel yang menggunakan biodiesel cenderung lebih besar dibandingkan menggunakan petrodiesel (Kalam et al., 2009; Ozsezen et al., 2009; Praptijanto dkk., 2005). Akan tetapi emisi gas buang yang dihasilkan oleh mesin diesel berbahan bakar biodiesel cenderung mengalami penurunan dibandingkan dengan menggunakan petrodiesel (Kalam et al., 2009; McCormick & Teresa, 2005; Ozsezen et al., 2009).
2.4.1 Daya Mesin Diesel Anami (2008) menguji kinerja traktor roda empat Kubota B6100 dengan menggunakan cocodiesel sebagai bahan bakar. Dari pengujian tersebut data yang diperoleh (Tabel 2.7) menunjukkan bahwa kinerja traktor Kubota B6100 (brake power output, kW) cenderung menurun seiring meningkatnya kadar cocodiesel dalam campuran bahan bakar yang digunakan. Praptijanto dkk. (2005) melakukan uji performansi pada mesin diesel Isuzu Panther (4JA1-L) yang menggunakan biodiesel berbasis minyak sawit dengan mesin diesel yang menggunakan petrodiesel. Hasil pengujian (Tabel 2.7) menunjukkan bahwa daya yang dihasilkan mesin diesel yang menggunakan biodiesel cenderung mengalami penurunan dibandingkan dengan mesin diesel yang menggunakan petrodiesel.
Tabel 2.7 Kinerja mesin diesel dan traktor menggunakan beberapa komposisi bahan bakar Traktor Kubota B6100 (14 hp) rpm engine 2200 Mesin Diesel Isuzu Panther (4JA1-L) * ** Daya (kW) Daya (kW) Bahan Bahan Daya (kW) Daya (kW) Lintasan Lintasan CRR CRR bakar bakar 2000 rpm 2500 rpm berumput beton B0 1.25 0.0187 1.05 0.0174 B0 19.31 22.54 B20 - C
1.20
0.0181
0.99
0.0170
B30 - S
19.56
21.58
B40 - C
1.12
0.0182
0.94
0.0172
B50 - S
19.75
21.99
B60 - C
1.06
0.0183
0.89
0.0170
B70 - S
19.56
21.26
B100 - C
0.96
0.0183
0.82
0.0170
B100 - S
19.37
21.15
Keterangan : C : biodiesel berbasis minyak kelapa; S: biodiesel berbasis minyak sawit Sumber: * Anami, 2008; ** Praptijanto dkk., 2005
12
Kalam et al. (2009) membandingkan kinerja mesin diesel tipe indirect injection (Isuzu 4FBI) dengan rated power 39 kW/5000 rpm; yang menggunakan campuran biodiesel minyak sawit dengan petrodiesel (B20) dengan menggunakan petrodiesel. Dinamometer yang digunakan merupakan instrumen ukur yang sesuai standard SAE, yaitu JI349 JUN90. Kecepatan putaran mesin beroperasi pada selang 1000 – 4000 rpm pada half –throttle setting. Hasil pengujian menunjukkan bahwa brake power output rata - rata yang dihasilkan oleh mesin diesel yang menggunakan bahan bakar B20 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mesin diesel yang menggunakan bahan bakar petrodiesel. Brake power output rata - rata yang dihasilkan oleh mesin diesel menggunakan bahan bakar B20 dan petrodiesel pada 2500 rpm yaitu 11.8 kW dan 11.93 kW. Pengujian performansi mesin diesel yang dilakukan oleh Ozsezen et al. (2009) dan Meighani & Morteza (2008) juga menunjukkan bahwa daya yang dihasilkan oleh mesin diesel yang menggunakan bahan bakar biodiesel cenderung lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan petrodiesel. Ozsezen et al. (2009) membandingkan performansi mesin diesel injeksi langsung (6.0 L Ford Cargo) dengan maksimum power 81 kW pada 2600 rpm; menggunakan biodiesel dari minyak jelantah (waste palm oil methyl ester, WPOME) dan (canola oil methyl ester, COME) dengan bahan bakar berbasis petrodiesel (petroleum based diesel fuel, PBDF). Dinamometer yang digunakan yaitu dinamometer hidrolik. Hasil pengujian (disajikan pada Gambar 2.3) menunjukkan bahwa daya yang dihasilkan oleh mesin diesel yang menggunakan bahan bakar biodiesel (WPOME dan COME) cenderung lebih rendah dibandingkan menggunakan petrodiesel (PBDF).
Gambar 2.3 Perbandingan brake power maksimum dari 3 jenis bahan bakar (sumber: Ozsezen et al., 2009) Meighani & Morteza (2008) melakukan uji performansi mesin diesel stasioner menggunakan biodiesel dari minyak kanola (canola oil methyl ester, COME) sebagai bahan bakar. Mesin diesel yang diuji merupakan mesin diesel injeksi langsung (Sane Co. M8/1). Biodiesel dari minyak kanola diaplikasikan dengan cara dicampur dengan bahan bakar berbasis petrodiesel pada kadar tertentu. Pada eksperimen tersebut mesin diesel digandengkan dengan Froud absorption dynamometer DPX model dinamometer. Mesin diesel dioperasikan pada tujuh level kecepatan putaran mesin; yaitu pada selang 550 – 1150 rpm denggan menaikkan putaran mesin sebesar 100 rpm. Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa daya dan torsi yang dihasilkan oleh mesin diesel cenderung mengalami penurunan seiring meningkatnya kadar biodiesel minyak kanola dalam campuran bahan bakar. Data hasil pengujian disajikan pada Tabel 2.8.
13
Tabel 2.8 Perbandingan kinerja mesin diesel menggunakan variasi komposisi biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel Bahan Brake power Torsi bakar (kW) (N.m) 5.874 65.73 B0 (0%) (0%) B25 - COME
5.713 (-2.74%)
63.37 (-3.59%)
B50 – COME
5.257 (-10.02%)
59.75 (-9.09%)
B75 – COME
5.179 (-11.83%)
57.59 (-12.39%)
B100 - COME
4.585 (-21.94%)
50.96 (-22.47%)
Keterangan : menggunakan canola oil methyl esters (COME) Sumber : Meighani & Morteza, 2008
2.4.2
Laju Konsumsi Bahan Bakar
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, laju konsumsi bahan bakar dari mesin diesel yang menggunakan biodiesel cenderung lebih besar dibandingkan dengan menggunakan petrodiesel. Kalam et al. (2009) menjelaskan bahwa pada kecepatan putaran mesin hingga 2250 rpm, laju konsumsi bahan bakar (specific fuel consumption, g/kW.jam) dari mesin diesel menggunakan bahan bakar yang dicampur dengan biodiesel minyak sawit dengan petrodiesel (B20) maupun petrodiesel (B0) besarnya cenderung sama. Saat mesin beroperasi di atas 2250 rpm, laju konsumsi bahan bakar menggunakan biodiesel meningkat secara drastis. Laju konsumsi bahan bakar rata-rata dari mesin yang menggunakan B20 dan B0 adalah 426.69 g/kW.jam dan 505.38 g/kW.jam. Ozsezen et al. (2009) melakukan uji performansi terhadap mesin diesel injeksi langsung (6.0 L Ford Cargo) dengan maksimum power 81 kW pada 2600 rpm. Dalam eksperimen tersebut laju konsumsi bahan bakar maksimum dari mesin diesel yang menggunakan biodiesel dari minyak jelantah (WPOME) dan minyak kanola (COME) cenderung lebih besar dibandingkan dengan menggunakan petrodiesel (PBDF) yang disajikan pada Tabel 2.9. Pada Tabel 2.9 juga disajikan hasil eksperimen Praptijanto dkk. (2005). Pada eksperimen tersebut digunakan mesin diesel 4 langkah tipe direct injection 2500 cc Isuzu Panther (4JA1-L). Dari eksperimen tersebut disimpulkan bahwa penambahan kadar biodiesel CPO dalam campuran bahan bakar dapat meningkatkan nilai brake specific fuel consumption (Bsfc) berkisar antara 3.04 – 25%.
14
Tabel 2.9 Perbandingan brake spesific fuel consumptin (Bsfc) pada mesin diesel menggunakan variasi bahan bakar Bsfc (kg/kW.jam) Bahan bakar
Mesin diesel Isuzu Panther (4JA1-L), 2000 rpm *
B0
0.330
B50 – POME
0.346
B100 – POME
0.360
Mesin diesel 6.0 L Ford Cargo, 1500 rpm – full load **
PBDF
0.254
COME
0.270
WPOME
0.273
Mesin diesel Sane Co. (M8/1) ***
B0
0.322
B50 – COME
0.298
B100 - COME
0.313
Keterangan : WPOME: waste palm oil methyl ester; COME: canola oil methyl ester; PBDF: petroleum based diesel fuel Sumber: * Praptijanto dkk., 2005; ** Ozsezen et al., 2009 ; *** Meighani & Morteza, 2008
Berbeda dengan hasil dari eksperimen yang tersebut di atas, pada eksperimen yang dilakukan oleh Meighani & Morteza (2008) diperoleh data bahwa laju konsumsi bahan bakar dari mesin diesel yang menggunakan bahan bakar biodiesel tidak lebih besar dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar petrodiesel. Pada eksperimen tersebut digunakan campuran biodiesel minyak kanola (COME) dengan petrodiesel pada kadar tertentu sebagai bahan bakar mesin diesel Sane Co. (M8/1). Pada Tabel 2.9 tampak bahwa terjadi penurunan laju konsumsi bahan bakar (Bsfc, kg/kW.jam) seiring dengan meningkatnya kadar kadar biodiesel minyak kanola (COME) dalam campuran bahan bakar yang digunakan untuk mengoperasikan mesin diesel.
2.4.3 Emisi Biodiesel Secara keseluruhan, emisi biodiesel lebih rendah dibandingkan dengan emisi bensin maupun petrodiesel (kecuali emisi NOx). Dibandingkan dengan petrodiesel, biodiesel tidak menghasilkan sulfur, menghasilkan karbon monoksida (CO) lebih dari dua puluh kali lebih rendah, dan mengandung O2. Berikut ini adalah karakteristik emisi biodiesel dibandingkan dengan emisi petrodiesel (Anonim, 2010): 1. 2. 3. 4. 5. 6.
emisi karbon dioksida (CO2) berkurang sebesar 100%, emisi sulfur dioksida (SO2) berkurang sebesar 100%, emisi jelaga berkurang sebesar 40 – 60%, emisi karbon monoksida (CO) berkurang sebesar 10 – 50%, emisi hidrokarbon (HC) berkurang sebesar 10 – 50%, seluruh polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) dan khususnya PAHs karsinogen berkurang: - phenanthren berkurang sebesar 97%, - benzofloroanthen berkurang sebesar 56%, - benzapyren berkurang sebesar 71%,
15
- senyawa aldehydes dan aromatic berkurang sebesar 13%, 7. emisi nitrous oksida (NOx) berkurang atau bertambah sebesar 5 – 10% tergantung umur dan tipe mesin. Kalam et al. (2009) membandingkan emisi gas buang mesin diesel (Isuzu 4FBI) pada beban 50 Nm dengan kecepatan putaran mesin konstan pada 2250 rpm; dengan menggunakan campuran biodiesel minyak sawit dan petrodiesel (B20) dengan menggunakan petrodiesel. Hasil pengujian menunjukkan bahwa emisi gas buang CO dan HC dengan menggunakan B20 berkurang sedangkan emisi NOx cenderung bertambah relatif terhadap petrodiesel. Ozsezen et al. (2009) membandingkan emisi gas buang mesin diesel injeksi langsung (6.0 L Ford Cargo) yang menggunakan biodiesel dari minyak jelantah dan biodiesel dari minyak kanola relatif terhadap bahan bakar petrodiesel. Hasil pengujian menunjukkan bahwa mesin diesel yang menggunakan biodiesel dari minyak jelantah maupun biodiesel dari minyak kanola, emisi CO, HC, dan smoke opacity berkurang relatif terhadap petrodiesel. Sedangkan untuk emisi NOx jumlahnya cenderung bertambah. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Perbandingan emisi gas buang beberapa jenis biodiesel (relatif terhadap petrodiesel) Bahan bakar B20 - POME *
NOx 3.36%
CO -75%
CO2
HC -20.59%
Smoke opacity
WPOME **
22.13%
-86.89%
-1.74%
-14.29%
-67.65%
COME**
6.48%
-72.68%
1.74%
-9.52%
-47.96%
Keterangan Sumber
: POME: Palm Oil Methyl Ester; WPOME: Waste Oil Methyl Ester; COME: Canola Oil Methyl Esters : * Kalam et al., 2009; ** Ozsezen et al., 2009
16