TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Nelayan dan Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan Nelayan sesungguhnya bukanlah suatu entitas tunggal, tetapi terdiri dari
beberapa kelompok. Satria (2002) mengelompokkan nelayan berdasarkan status penguasaan kapital, yaitu terdiri dari nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal /perahu, jaring dan alat tangkap lainnya sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK). Menurut Mubyarto, et al (1984), nelayan dibagi menjadi lima macam status nelayan, yaitu: 1. Nelayan Kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain sebagai buruh nelayan tanpa ia harus ikut bekerja. Nelayan jenis ini biasa disebut juragan 2. Nelayan Kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai awak kapal 3. Nelayan Sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat ditutup dengan pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekerjakan tenaga dari luar keluarga 4. Nelayan Miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga harus ditambah dengan bekerja lain,baik untuk ia sendiri atau untuk istri dan anak-anaknya 5. Buruh nelayan atau tukang kiteng, yaitu bekas nelayan yang pekerjaannya memperbaiki jaring yang sudah rusak. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kelompok orang-orang miskin yang berusia diatas 40 tahun dan sudah tidak kuat lagi melaut Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, menyatakan bahwa dari 16.420.000 jiwa masyarakat pesisir yang menjadi sasaran dari program pemberdayaan masyarakat pesisir, 32% dari masyarakat sasaran masih berada di bawah garis kemiskinan, yaitu sebanyak 5.254.000 jiwa (Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, 2007). Menurut Satria (2002), kemiskinan dapat digolongkan berdasarkan penyebab kemiskinan. Ada dua aliran besar yang
20
melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan. Pertama, aliran modernisasi yang selalu menganggap persoalan kemiskinan disebabkan disebabkan faktor internal masyarakat. Dalam aliran ini, kemiskinan nelayan terjadi sebagai akibat faktor budaya (kemalasan), keterbatasan modal dan teknologi, keterbatasan manajemen, serta kondisi sumber daya alam. Kedua, aliran struktural yang menganggap kemiskinan nelayan disebabkan oleh faktor eksternal. Kemiskinan struktural dapat terjadi akibat, pertama, kemiskinan sebagai korban pembangunan. Kedua, kemiskinan terjadi karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional yang diberlakukan. Dari dua aliran besar yang melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan di atas kita dapat melihat bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan kemiskinan tersebut adalah kurangnya pengetahuan dan lemahnya pendidikan, oleh karena itu faktor penting yang perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk memperkecil angka kemiskinan nelayan tersebut adalah dengan meningkatkan pendidikan nelayan. Fakta yang ditemui pada keluarga nelayan di lapisan bawah seperti nelayan buruh adalah tingkat pendidikan anak nelayan yang rendah, sebagian besar hanya mencapai tingkat SD (Sekolah Dasar) dan sedikit yang melanjutkan ke tingkat sekolah lanjutan. Berdasarkan data yang terdapat dalam hasil penelitian Angelina (2005) disebutkan bahwa tingkat pendidikan di Muara Angke termasuk dalam kategori rendah, karena 50% hanya tamat SD, selanjutnya 30% tamat SLTP, 13% tamat SLTA, dan 7% tidak tamat SD dari total jumlah penduduk di Muara Angke.
2.2
Pendidikan Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam mendukung Sistem Pendidikan Nasional tersebut pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Wajib Belajar sejak 2 mei 1994, diselenggarakan selama
21
enam tahun di sekolah dasar (SD) atau yang sederajat dan setara dengan SD dan tiga tahun di sekolah menengah pertama (SMP). Namun efektivitas program ini masih patut dipertanyakan karena masih tingginya angka putus sekolah, hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan yang cukup mendasar antara wajib belajar yang diterapkan di Indonesia dan wajib belajar yang diselenggarakan di negara maju. Ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di negara maju (compulsory education) adalah sebagai berikut: a). Ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; b). Diatur dengan undang-undang wajib belajar; c). Tolak ukur keberhasilan program adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; d). Ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah. Sedangkan ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di Indonesia (universal primary education) adalah sebagai berikut: a).tidak bersifat paksaan ; b). Tidak diatur dengan undang undang tersendiri ; c). Keberhasilan diukur dari angka partisipasi dalam pendidikan dasar; d). Tidak ada sanksi hukum bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah (Suwarso dan Suyoto, 1994). Menurut UNESCO diacu dalam Suryani (2004) ada enam pilar pembelajaran pendidikan yang direkomendasikan di abad mendatang yang sebagian bahkan semua pilar tersebut sedang dan sudah dipraktikan di negara maju, sedangkan di negara berkembang termasuk di Indonesia masih lebih banyak dalam wacana. Enam pilar pendidikan tersebut antara lain (a) Learning to know, (b) learning to do, (c) learning to be, (d) learning to live together, (e) Learn how to learn, (f) Learning throughout life. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (3) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia diartikan sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Ketiga jenis jalur pendidikan tersebut dapat saling melengkapi dan memperkaya.
22
2.2.1 Pendidikan Formal Pendidikan jalur formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sedangkan pengertian pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (Undang Undang No 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (11) dan Ayat (13)). Pendidikan jalur formal merupakan bagian dari pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan kreatif, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas dan berdaya saing di era global.
2.2.2 Pendidikan Non Formal Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pengertian pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Terdapat beberapa jenis lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan non-formal di Indonesia, yaitu: a. Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) : adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional di bidang pendidikan luar sekolah. BP-PLSP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan pengembangan program
23
serta fasilitasi pengembangan sumberdaya pendidikan luar sekolah berdasarkan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional. b. Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB): adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Dinas Pendidikan Propinsi di bidang pendidikan luar sekolah. BPKB mempunyai tugas untuk mengembangkan model program pendidikan luar sekolah sesuai dengan kebijakan Dinas Pendidikan Propinsi dan kharakteristik propinsinya. c. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB): adalah unit pelaksana teknis Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di bidang pendidikan luar sekolah (nonformal). SKB secara umum mempunyai tugas membuat percontohan program pendidikan nonformal, mengembangkan bahan belajar muatan lokal sesuai dengan kebijakan dinas pendidikan kabupaten/kota dan potensi lokal setiap daerah. d. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM): suatu lembaga milik masyarakat yang pengelolaannya menggunakan azas dari, oleh dan untuk masyarakat. PKBM ini merupakan wahana pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan belajarnya sendiri. PKBM merupakan sumber informasi dan penyelenggaraan berbagai kegiatan belajar pendidikan kecakapan hidup sebagai perwujudan pendidikan sepanjang hayat e. Lembaga PNF sejenis: adalah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang meberikan pelayanan pendidikan nonformal berorientasi life skills/keterampilan dan tidak tergolong ke dalam kategori-katagori di atas, seperti; LPTM, Organisasi Perempuan, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Termasuk dalam lembaga pendidikan non formal jenis ini adalah home schooling dan sekolah terbuka. Penelitian ini mengkhususkan untuk melihat lebih dekat pada tiga jenis pendidikan non formal saja, yaitu PKBM, SKB, dan Home schooling.
24
a.
PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Sejarah dan Pengertian PKBM Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat merupakan tindak lanjut dari gagasan Community Learning Center yang telah dikenal di Indonesia sejak tahun enam puluhan. Secara kelembagaan, perintisannya di Indonesia dengan nama PKBM baru dimulai pada tahun 1998 sejalan dengan upaya untuk memperluas kesempatan masyarakat memperoleh layanan pendidikan yang dijelaskan (Sudjana dikutip oleh Muzaqi (2004)). Menurut BPPLS (Ismiati, 2007) PKBM adalah suatu wadah milik masyarakat dikelola dari, oleh, dan masyarakat yang menyediakan informasi dan kegiatan belajar sepanjang hayat bagi setiap warga masyarakat agar mereka lebih berdaya Tujuan PKBM, memperluas kesempatan warga masyarakat, khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Dalam upaya menyamakan persepsi dan menyelaraskan penyelenggaraan PKBM, dengan ide dasar PKBM sebagai pusat kegiatan pendidikan luar sekolah, PKBM yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kepentingan dan kemampuan masyarakat. Pengertian PKBM menurut BPKP (Muzaqi ,2004) adalah tempat pembelajaran dalam bentuk berbagai macam keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana, dan segala potensi yang ada di sekitar lingkungan kehidupan masyarakat, agar masyarakat memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan memperbaiki taraf hidupnya. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih dan dijadikan sebagai ajang proses pemberdayaan masyarakat. Hal ini selaras dengan adanya pemikiran bahwa dengan melembagakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, maka akan banyak potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang selama ini belum dikembangkan secara maksimal. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat diarahkan untuk dapat mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi bermanfaat bagi kehidupannya. Agar mampu mengembangkan potensipotensi tersebut, maka diupayakan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan di PKBM bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai basis pendidikan bagi masyarakat perlu
25
dikembangkan secara komprehensif, fleksibel, dan beraneka ragam serta terbuka bagi semua kelompok usia dan anggota masyarakat sesuai dengan peranan, hasrat, kepentingan, dan kebutuhan belajar masyarakat. Oleh karena itu, jenis pendidikan yang diselenggarakan dalam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) juga beragam sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pembelajaran masyarakat.
Fungsi dan Azaz PKBM. PKBM sebagai lembaga pendidikan yang dibentuk dan diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat, secara kelembagaan mempunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: a. Sebagai tempat kegiatan belajar bagi warga masyarakat, artinya tempat bagi warga masyarakat untuk menimba ilmu dan memperoleh berbagai jenis keterampilan dan pengetahuan fungsional yang dapat didayagunakan secara tepat dalam upaya memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan masyarakat. b. Sebagai tempat pusaran berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat, artinya bahwa PKBM diharapkan dapat digunakan sebagai tempat pertukaran berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat, sehingga menjadi suatu sinergi yang dinamis dalam upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. c. Sebagai pusat dan sumber informasi, artinya bahwa PKBM merupakan tempat warga masyarakat untuk menanyakan berbagai informasi tentang berbagai jenis kegiatan pembelajaran dan keterampilan fungsional yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. PKBM dapat menyediakan informasi kepada anggota masyarakat yang membutuhkan keterampilan fungsional untuk bekal hidup (life skill). d. Sebagai ajang tukar menukar keterampilan dan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan dengan prinsip saling membelajarkan melalui diskusi-diskusi mengenai permasalahan yang dihadapi. e. Sebagai tempat berkumpulnya warga masyarakat yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, serta nilai-nilai tertentu bagi masyarakat
26
yang membutuhkannya. disamping itu dapat juga digunakan untuk berbagai pertemuan bagi penyelenggaraan dan nara sumber baik intern maupun ekstern. f. Sebagai loka belajar yang tidak pernah berhenti, artinya PKBM merupakan suatu tempat yang secara terus menerus digunakan untuk proses belajar mengajar Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwasanya fungsi dari PKBM dalam masyarakat sebagai proses kegiatan belajar yang bersifat non-formal untuk memudahkan masyarakat memperoleh pengetahuan dan keterampilan (BPKB Jatim, 2000 diacu dalam Muzaqi 2004).
Klasifikasi PKBM Hasil analisis Zainuddin Arif (Ismiati, 2007) menyebutkan bahwa berdasarkan penyelenggaraannya secara garis besar ada tipe atau tiga jenis PKBM yaitu: 1. PKBM Berbasis masyarakat (Community Based), dengan ciri, dari, oleh, dan untuk masyarakat 2. PKBM Berbasis kelembagaan (Institution Based) Pengelolaan PKBM ini dilaksanakan oleh pemerintah atau swasta (yayasan atau LSM) dan masyarakat menjadi kelompok sasaran progam atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Semua sarana dan prasarana termasuk didalamnya disediakan oleh pemerintah. 3. PKBM komprehensif, dengan ciri utama penyelenggara merupakan gabungan antara pemerintah/swasta dengan masyarakat.
b.
Homeschooling
Pengertian dan Klasifikasi Home schooling Home schooling merupakan jalur pendidikan informal dimana hasil belajarnya dapat disetarakan, apabila ingin mengikuti ujian nasional kesetaraan, hasil belajar siswa home schooling dapat diakui dari rapor, portofolio, CV, sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan (Yulaelawati (Mulyadi, 2007)). Menurut Dr. Seto Mulyadi, Psi., M.Si, (Nakita, 2007) Home schooling terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
27
1. Home schooling Tunggal Home schooling jenis ini dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Biasanya home schooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas home schooling lain. Alasan lain, karena lokasi/tempat tinggal si pelaku home schooling yang tak memungkinkannya berhubungan dengan komunitas home schooling lain. Pada home schooling jenis ini yang berperan sebagai pengajar adalah ayah, ibu, atau keduanya. Namun jika keduanya sama-sama bekerja, maka harus ada pilihan lain, misalnya tante, paman, nenek, anggota keluarga lain, atau tutor dari lembaga penyelenggara home schooling. Kelebihan dari home schooling jenis ini adalah anak bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja, namun home schooling jenis ini tetap memiliki kelemahan yaitu bila anak hanya menjalani kegiatan home schooling di rumah (tidak bergabung dengan komunitas lain) dikhawatirkan berpengaruh kepada kemampuan pergaulan atau sosialisasinya dan dikhawatirkan pula anak tidak memiliki kesempatan untuk bersaing/berkompetisi dengan orang lain. 2. Home schooling Majemuk Home schooling jenis ini dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan orang tua masing-masing. Dalam home schooling jenis ini terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk dilakukan secara bersama-sama. Pengajar dalam home schooling majemuk kurang lebih sama dengan pengajar pada home schooling tunggal, sedangkan kelebihannya adalah adanya ruang gerak yang lebih luas daripada home schooling tunggal. 3. Home schooling Komunitas Jenis home schooling ini merupakan gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus dan bahan ajar termasuk meramu kegiatan pokok (olahraga, seni, dan bahasa), menyediakan sarana dan prasarana serta jadwal pelajaran. Pengajar dalam home schooling jenis ini bisa orang tua bisa juga orang lain yang mampu berperan sebagai fasilitator utama dalam kegiatan anak. Kelebihan dalam home schooling jenis ini adalah
28
tersedianya fasilitas yang pembelajaran yang lebih baik seperti bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, fasilitas olah raga dan kesenian serta adanya dukungan yang lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk mengajar sesuai keahlian masing-masing. Banyak kelebihan yang dimiliki oleh home schooling jenis ini bukan berarti menunjukan tiadanya kekurangan dalam sistem pembelajaran ini, dan kekurangan yang terdapat dalam home schooling jenis ini adalah adanya kekhawatiran komunitas ini tergelincir menjadi sekolah formal, karena terstruktur atau terjadwal, seperti mengadakan kegiatan seminggu dua kali dan sebagainya.
Landasan Hukum Home Schooling Terdapat beberapa landasan hukum yang mendasari keberadaan home schooling menurut Sumardiono (2007), yaitu: 1. Kesepakatan kerjasama antara Ditjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas dan ASAHPENA Isi dari kesepakatan tersebut adalah tentang pembinaan dan penyelenggaraan komunitas Sekolah Rumah sebagai satuan pendidikan kesetaraan dengan tujuan meningkatkan kuantitas dan kualitas Sekolah Rumah untuk memperluas akses pendidikan dasar 9 tahun jalur pendidikan nonformal (Paket A dan Paket B), memperluas akses pendidikan menengah jalur pendidikan nonformal melalui komunitas Sekolah Rumah dan pendidikan alternatif, meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing penyelenggaraan sekolahrumah dan pendidikan alternatif, serta meningkatkan kerjasama antara kedua belah pihak serta lembaga-lembaga penyelenggara sekolahrumah dan pendidikan alternatif yang terkait lainnya. 2. UUD 1945 Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional. Pasal 31 Ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
29
Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3. UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5: 1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu 2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. 4. UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian tentang komunitas belajar. Komunitas Belajar merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU 20/2003 pasal 26 ayat (4): "Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis". Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal. Hal itu sejalan dengan UU 20/2003 pasal 26 ayat (6): "Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan." Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (1): "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
30
mandiri". Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20/23, pasal 27 ayat (2).
c.
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Sanggar Kegiatan Belajar merupakan salah satu lembaga pemerintah yang
berada dalam naungan Balai pengembangan dan Pelatihan Pendidikan luar Sekolah (BPPPLS). Berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 41 Tahun 2003 BPPPLS merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi dibidang pengembangan dan pelatihan pendidikan luar sekolah. BPPPLS mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan program, model dan media pendidikan luar sekolah.. Berdasarkan SK Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 41 Tahun 2003, dalam pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa disetiap Kotamadya/kabupaten Administrasi dibentuk Sanggar Kegiatan Belajar (Sanggar Kegiatan Belajar), dan pada ayat (2) disebutkan bahwa Sanggar Kegiatan Belajar dipimpin oleh Kepala Seksi yang dalam melaksanakan tugasnya berada dan bertanggung jawab kepada Kepala Balai Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan Luar Sekolah (BP3LS) serta berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Kepala Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi. Selanjutnya sesuai SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 41Tahun 2003, SKB mempunyai tugas sebagai berikut: 1. menyusun program dan rencana kegiatan operasional 2. melaksanakan pelayanan kegiatan relajar mengajar pendidikan luar sekolah 3. melaksanakan uji coba program, media, dan sistem pendidikan luar sekolah 4. melaksanakan pelatihan tenaga kependidikan 5. melaksanakan bimbingan, penyuluhan, dan bimbingan teknis terhadap PKBM dan kegiatan belajar mengajar pendidikan luar sekolah
31
6. melaksanakan pelayanan informasi pendidikan luar sekolah di kotamadya/kabupaten administrasi 7. melaksanakan pengelolaan kegiatan ketatausahaan 8. melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan operasional
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian Fathoni (2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan atau mempengaruhi tingkat pendidikan. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu faktor internal (keluarga dan orang tua) dan faktor eksternal (lingkungan serta sarana informasi). Faktor internal terdiri dari beberapa hal yaitu umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, besar keluarga (besar tanggungan), total pendapatan keluarga, total pengeluaran keluarga, persepsi tentang arti penting sekolah, persepsi tentang biaya pendidikan, dan status usaha kepala keluarga. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, informasi terhadap pendidikan, sarana pendidikan, serta jarak sarana pendidikan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Suryani (2004) yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan adalah sebagai berikut:
2.3.1 Faktor Internal Faktor internal yang diduga berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak dalam penelitian ini adalah karakteristik personal kepala keluarga dan persepsi keluarga nelayan terhadap pendidikan. Karakteristik personal kepala keluarga yang diukur antara lain tingkat pendidikan kepala keluarga, umur kepala keluarga, besarnya pendapatan keluarga, jumlah tanggungan, nilai anak dalam keluarga, dan status sosial dalam pekerjaan.
1) Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Menurut Gunarsa dan Gunarsa (Suryani, 2004) tingkat pendidikan secara langsung dan tidak langsung akan menentukan baik buruknya pola komunikasi
32
antara anggota keluarga. Selain itu, imbas dari pendidikan orang tua akan mempengaruhi persepsinya tentang penting atau tidaknya pendidikan. Menurut Heryanto (1998) dengan dasar pendidikan yang relatif memadai untuk mampu memberikan makna terhadap nilai, kegunaan dan pentingnya pendidikan bagi masa depan anaknya sehingga kesungguhan untuk menambah wawasan dan bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya menjadi cita-cita dan harapan dalam hidupnya.
2) Umur Kepala Keluarga Selain berkaitan dengan tingkat kedewasaan teknis seseorang, usia juga mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis. Dalam hal ini berarti semakin lanjut usia seseorang, diharapkan akan semakin mampu menunjukan kematangan jiwa (dalam arti semakin bijaksana), semakin mampu berpikir secara rasional dan semakin mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lainnya yang menunjukan kematangan intelektual dalam psikologis, sehingga semakin tua usia seseorang, motivasi yang dimiliki akan semakin tinggi. Usia dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, mempersepsi dan menyikapi sesuatu yang menjadi objeknya (Heryanto, 1998).
3)
Pendapatan Keluarga Kondisi ekonomi keluarga dapat diukur dengan tingkat kesejahteraan
keluarga. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan keluarga adalah tingkat pendapatan keluarga. Pendapatan nelayan dapat diperoleh dari usaha perikanan (usaha penangkapan dan non-penangkapan) maupun dari usaha non perikanan yang dilakukan oleh nelayan. Di satu sisi pendidikan formal diperlukan oleh masyarakat nelayan, namun di sisi lain pendidikan formal memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang tinggi menjadi salah satu faktor penghambat bagi para nelayan dengan status sebagai masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya akibat dari ketidakpastian berusaha. Kemiskinan yang melekat erat pada nelayan mengakibatkan mereka tidak mampu memberikan
33
pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya terutama pendidikan formal (Erizal diacu dalam Suryani 2004).
5)
Jumlah Tanggungan Banyaknya tanggungan dalam keluarga berimplikasi pada besar kecilnya
pengeluaran dalam satu keluarga. Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2004) di Desa Karangjaladri Ciamis, semakin banyak jumlah tanggungan mengakibatkan persepsi masyarakat nelayan terhadap pendidikan formal semakin rendah.
6)
Nilai Anak dalam Keluarga Nilai anak adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan
orangtuanya. Pada dasarnya semua orang tua menginginkan kondisi anaknya lebih baik dari kondisi orang tua dalam menjalani kehidupan yang dapat ditunjukkan dengan harapan orang tua terhadap masa depan kehidupan anaknya. Hasil penelitian Sukmawan (2000) di Sukabumi menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga nelayan sangat mengharapkan anaknya dapat menjadi pegawai negeri atau swasta.
7)
Status Sosial Status (kedudukan) sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestise, hak dan kewajibannya. Secara tidak langsung kedudukan (status) dapat mencerminkan adanya pelapisan (stratifikasi sosial). Untuk mempelajari stratifikasi sosial menurut Zanden (1990) diacu dalam Satria (2001) terdapat tiga pendekatan yang harus dilakukan, yaitu: (a) Pendekatan objektif, yaitu menggunakan ukuran objektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik seperti pekerjaan, pendidikan, atau penghasilan. (b) Pendekatan subjektif (self-placement), yaitu kelas dilihat sebagi kategori sosial dan disusun dengan meminta responden untuk menilai statusnya sendiri. (c) Pendekatan reputasional, yaitu subjek penelitian diminta untuk menilai status orang lain dan menempatkannya pada posisi tertentu.
34
Dalam penelitian, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan objektif yaitu melihat kedudukan nelayan berdasarkan pekerjaan. Status sosial nelayan dibagi berdasarkan pemilikan armada dan alat tangkap. Berdasarkan pemilikan armada dan alat tangkap, nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan pandhiga. Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2004) di Ciamis didapat bahwa semakin tinggi status sosial nelayan maka persepsi terhadap pendidikan formal akan semakin tinggi.
7)
Persepsi Terhadap Pendidikan Formal Persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami melalui
alat penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya) dan alat untuk memahaminya adalah kognisi atau kesadaran (Sarwono 1999 diacu dalam Suryani (2004)). Setiap lingkungan sosial budaya yang berbeda dan reaksi yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula (Markovsky diacu dalam Suryani (2004)). Para orang tua nelayan kurang memperhatikan pendidikan formal anaknya dengan baik, dapat membaca dan menulis adalah tujuan utama untuk menyekolahkan anak. Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak akan sangat tergantung pada bagaimana penilaian orang tua terhadap tujuan dan sistem pendidikan formal.
2.3.2
Faktor Eksternal Faktor ekternal yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak antara
lain jarak tempat tinggal dengan sarana pendidikan, jumlah jam kerja, keterdedahan informasi, dan relevansi kurilukum dengan kebutuhan lingkungan.
1) Jarak Tempat Tinggal Menurut Heryanto (1998) jarak tempat tinggal ke sarana pendidikan dan pusat informasi pendidikan penting dijadikan pertimbagn untuk menyekolahkan anak, karena terkait dengan transportasi, biaya dan waktu pengawasan kemajuan prestasi anak.
35
2) Keterdedahan Informasi Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2004) pemanfaatan media menjadi hal yang penting dalam hal penunjang pendidikan dan semakin banyak informasi yang diterima oleh nelayan maka persepsi masyarakat terhadap pendidikan formal akan semakin tinggi.
3) Jumlah Jam Kerja Anak Jumlah jam kerja anak adalah banyaknya waktu ysng dipergunakan anak untuk membantu usaha orang tua dianggap berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak karena bersadarkan beberapa sumber menyebutkan bahwa banyak anak nelayan usia sekolah yang sudah terjun untuk membantu usaha orang tuanya untuk menambah pendapatan keluarga. Hasil penelitian Sumarsono di Jawa Timur diacu dalam Suryani (2004) menyebutkan bahwa anak merupakan faktor produksi yang dapat membantu penghasilan keluarga karena mampu memperoleh penghasilannya sendiri. Fenomena keseharian masyarakat nelayan yaitu baik anak lelaki maupun anak perempuan secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orang tua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anakanak nelayan.
4) Relevansi kurikulum dengan keutuhan lingkungan Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Undang Undang Pendidikan Nasional 2003). Dalam pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 36 ayat (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
36
Menurut Dahuri (2002) wacana kelautan perlu dikembangkan dalam pelajaran di sekolah (tingkat dasar dan menengah) hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa etos kebaharian sudah mulai menurun dan melemah terutama di kalangan generasi muda. Lunturnya etos kebaharian tersebut disebabkan sistem pendidikan nasional yang mewarisi gagasan politik etis. Rickcleft (1991) diacu dalam Dahuri (2002) menjelaskan bahwa politik etis yang ditanamkan berakar pada permasalahan-permasalahan ekonomi dan adanya unsur kemanusiaan sebagai balas jasa. Sistem pendidikan pada masa tersebut bias pada kepentingan penjajah yang mengenyampingkan etos kebaharian. Ketiadaan orientasi pendidikan pada wacana kelautan, mengakibatkan seolah-olah menjadi beban dan tidak menjadi prioritas dalam pilihan hidup masyarakat pesisir dan kondisi tersebut menyebabkan tingkat pendidian di kalangan nelayan rendah (Ramli 2002 diacu dalam Dahuri 2002). Salah satu implementasi manajemen berbasis sekolah adalah adanya pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kebutuhan siswa, memperhatikan sumberdaya yang ada dan harus mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah. Dalam pelaksanaannya pengembangan kutikulum yang telah digariskan tersebut yaitu dengan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi.