TINJAUAN HUKUM PEMBELIAN RUMAH SECARA INDENT MELALUI KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Sarjana Hukum Oleh : RIZQIE SAVITRI NIM : 050200016
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
ABSTRAK Sejalan dengan kebutuhan dan permintaan rumah yang cukup banyak dari Masyarakat Indonesia mengakibatkan pengembang dalam memasarkan atau menjual Produk rumahnya dengan sistem Indent, yakni system penjualan rumah dengan cara memesan terlebih dahulu atau dengan kata lain rumah yang menjadi objek jual beli belum di bangun atau didirikan (fisiknya belum ada), dimana dengan Sistem ini konsumen telah mengeluarkan uang tanda jadi (booking fee) dan/atau uang muka (down payment) sebesar 10 sampai dengan 30 persen dari total harga rumah. Dalam prakteknya jual beli dengan system indent ini banyak menimbulkan Permasalahan sebagai berikut:Bagaimana keabsahan perjanjian jual beli rumah dengan sistem indent yang dibuat antara pengembang dengan pembeli? Bagaimana dampak yuridis yang timbul terhadap pelaksanaan akta jual beli rumah dengan sistem indent dalam kredit pemilikan rumah terhadap konsumen, pengembang, bank dan pejabat pembuat akta tanah/notaris? Bagimana undang undang perlindungan konsumen berperan di dalam melindungi pembelian rumah secara indent? Penelitian ini bersifat Deskriptif. Jenis penelitian yang di gunakan adalah metode Pendekatan Yuridis Normatif,sementara untuk mendukung penelitian Normatif di lakukan Wawancara dengan beberapa narasumber melalui Wawancara kepada pihak Pengembang, Bank dan Notaris PPAT. Yang diharapkan dapat membahas secara mendalam permasalahan yang ada. Bahan utama dari penelitian ini adalah data Skunder yang di lakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
hokum Primer,bahan hukum sekunder, dan bahan hokum tersier. Dengan menggunakan metode deduktif.serta di sajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Hasil penelitian ini adalah transaksi jual beli rumah dengan sistem indent dengan membayar kredit kepemilikan rumah adalah sah, sepanjang perjanjian yang di buat tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Dalam jual beli rumah secara indent menimbulkan dampak yuridis terhadap pihak konsumen, pengembang dan pihan bank. Di pihak konsumen diwajibkan membayar cicilan kredit kepemilikan rumah kepada bank setiap bulannya, meskipun tanah berikut rumahnya belum diterima di dalam perjanjian kredit yang dibuat dan ditandatangani oleh konsumen, bahkan jika konsumen telat membayar cicilan kredit kepada bank bukan saja di kenakan denda tetapi kemungkinan akan di batalkan bisa juga terjadi,jika terjadi keterlambatan pembayaran cicilan berkali-kali sesuai dengan perjanjian yang telah di tentukan Pengembang secara hukum telah mengalihkan obyek jual beli kepada konsumen berupa rumah yang belum siap. buy back guarantee, yaitu kewajiban pengembang untuk membeli kembali rumah yang dijaminkan. Untuk menghindari tuntutan dari konsumen yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar, sebaiknya pengembang dalam melakukan jual beli dengan sistem indent dapat menyerahkan rumah sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Kata Kunci
: Jual Beli; Sistem Indent
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................................................
1
B. Perumusan Masalah .....................................................................
13
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................................
13
D. Keaslian Penulisan ......................................................................
14
E. Tinjauan Kepustakaan ................................................................
15
F. Metode Penulisan .......................................................................
15
G. Sistematika Penulisan .................................................................
16
BAB II KEABSAHAN JUAL BELI RUMAH DENGAN SISTIM INDENT
19
A. Perjanjian Jual Beli Rumah ..........................................................
19
B. Kredit Kepemilikan Rumah .........................................................
28
C. Keabsahan Jual Beli Rumah Dengan Sistim Indent ......................
35
BAB III DAMPAK YURIDIS YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI RUMAH DENGAN SISTIM INDENT MELALUI KREDIT KEPEMILIKAN RUAMAH ....................................................................................................
44
A. Jual Beli Tanah Berikut Rumah Diatasnya ...............................
44
B. Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Rumah Dengan Sistim Indent dalam Kredit Kepemilikan Rumah ...................... Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
52
BAB IV PERAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MELINDUNGI PEMBELIAN RUMAH SECARA INDENT ........
74
A. Pengertian dan Latar Belakang Perlindungan Konsumen ..........
74
B. Peran Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Melindungi Pembelian Rumah Secara Indent ..................................................
78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
88
A. Kesimpulan .............................................................................
87
B. Saran .......................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
90
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Alla SWT serta sembah sujud kepada-Nya, karena dengan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, selanjutnya salawat beriring salam disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan kecerahan dan keterangan iman, islam, dan ilmu kepada umat manusia. Penulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah”. Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan skripsi ini tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan ini banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dengan tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4.
Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5.
Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
I yang dengan tulus telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis. 6.
Ibu Maria Kabban, SH, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan tulus, ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
7.
Bapak Zulkifli Sembiring, SH, selaku dosen wali dari penulis yang telah banyak mengarahkan penulis dan memberikan masukan-masukan dalam bimbingan Akademik Penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8.
Seluruh Dosen dan Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di almamater tercinta ini.
9.
Bapak Novan Irawan, SH, Mkn dan Bapak Yan Sumekar, SH, Mkn, yang telah sudi meluangkan waktunya dalam membantu penulis melakukan riset.
10. Teriring doa dan takzim ananda dan rasa hormat serta terima kasih yang mendalam kepada ayahanda ”H. Drs. Riswanto Ambran” dan ibunda tercinta ”Syarifah Aida Fitria” yang telah berjuang membesarkan dan mendidik ananda dengan curahan kasih sayang, membantu dengan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini dan hal menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU. 11. Keluarga penulis (K’liva) dan saudara-saudara yang lain yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 12. Fachlevy Anda, SE yang telah memberikan semangat, dorongan, perhatian kepada penulis dan kesabarannya terhadap penulis dalam menghadapi masamasa penulisan skripsi ini. 13. Teman-teman baikku faisal, randy, sita, syima, dan teman seperjuanganku yuni, oiyk, rafi, reza, wilson dan juga teman-teman lain di masa perkuliahan. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua. Serta dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Medan,
Juli 2009
Penulis
Rizqie Savitri
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Rumah adalah sesuatu yang diidam-idamkan setiap orang untuk dimiliki, karena rumah adalah salah satu kebutuhan primer (pokok) yang sangat penting kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari disamping kebutuhan sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Definisi rumah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sebuah bangunan untuk tempat tinggal. 1 Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan hunian pembinaan keluarga. Di Indonesia saat ini masih relatif banyak warga negaranya yang belum memiliki rumah. Kondisi ini tidak terlepas dari makro perekonomian Indonesia yang mengalami krisis moneter dan ekonomi sejak tahun 1998. Kondisi tersebut secara langsung mengakibatkan daya beli rumah secara tunai menjadi rendah. Sehingga timbulnya berbagai penawaran kredit pemilikan rumah.
1
Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusaka, 2002, hal. 966. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dalam prakteknya, kredit kepemilikan rumah sangatlah tergantung pada pengadaan atau kucuran dana dari bank. Artinya kredit pemilikan rumah tidak akan berjalan baik, jika sektor perbankan tidak mempunyai dana untuk menyalurkan atau mengucurkan kredit pemilikan rumah kepada masyarakat. Dalam dunia perbankan perkreditan merupakan salah satu tugas bank yang penting, dapat dikatakan bank tanpa kredit seperti “sayur tanpa garam” demikian Munir Fuady menjelaskan 2 Keterbatasan pengadaan dana kredit pemilikan rumah dari bank atau lembaga keuangan telah mendorong pemerintah untuk membuat atau mederegulasi kebijakan disektor perbankan atau keuangan agar selalu tercipta keadaan perbankan yang kondusif dan sehat. Dengan sehat dan kondusifnya dunia perbankan tentunya akan membuat bank-bank berani untuk terjun atau berlomba-lomba menyalurkan dananya untuk kredit pemilikan rumah bagi masyarakat. Dengan banyaknya bank-bank yang terlibat di dalam kredit pemilikan rumah, pada akhirnya akan membantu program pemerintah dalam menyediakan rumah bagi warganya. Pemerintah sendiri dalam setiap menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara selalu mengalokasikan dana bagi program pengadaan rumah untuk masyarakat. Disamping itu pemerintah juga secara khusus telah membentuk departemen yang tugasnya mengurusi perumahan, yaitu Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, serta membentuk suatu badan khusus, yaitu perusahaan umum
2
Munir Fuadi, Hukum Kredit Komporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1996, hal.5.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Perumahan Nasional (perumnas) yang khusus ditugasi untuk mengurus dan mengatur pengadaan rumah bagi yang berpenghasilan rendah.untuk tahun 2005 s/d 2009 pemerintah menargetkan pembangunan rumah sebanyak 1.000.000 unit rumah sederhana 1.250.000 unit rumah RSH,. 6.000.000 unit rusun serta 25.000 sarusun. Salah satu tindakan nyata pemerintah dalam pengadaan rumah adalah memberikan subsidi bunga untuk kredit pemilikan rumah. Dalam menyalurkan subsidi bunga kredit pemilikan rumah untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah menunjuk Bank tabungan negara sebagai Bank penyalur kredit pemilikan rumah bersubsidi, walaupun Bank Tabungan Negara sendiri juga menyalurkan kredit pemilikan rumah non subsidi. Bank Tabungan Negara adalah Bank milik pemerintah yang dikhususkan sebagai Bank yang core bisnisnya kredit pemilikan rumah. Bank Tabungan Negara adalah bank dengan pangsa tertinggi untuk pemberian kredit pemilikan rumah, sebesar 26,91%. Kredit yang disalurkan Bank Tabungan Negara per 30 November 2007 sebesar Rp.4 triliun, yang telah dimanfaatkan oleh 4.062.741 debitur. Dari jumlah kredit itu, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi yang menjadi program pemerintah yang akan disalurkan pada awal tahun 2008 sebesar Rp10,4 triliun. Sementara untuk kredit kepemilikan rumah non subsidi sebesar Rp.5,8 triliun yang akan di salurkan pada awal tahun 2008
oleh Bank
tabungan negara dan untuk tahun 2009 meningkat menjadi 8 triliun. 3
3
http://www.btn.co.id/berita. di akses pada tanggal 25 juli 2009 pada pukul 12.00 WIB.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dalam perkembangannya, penyaluran kredit pemilikan rumah diikuti pula oleh Bank-Bank Pemerintah lainnya di luar Bank Tabungan Negara, seperti : Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia ’46, maupun Bank Swasta, seperti Bank Niaga, Bank Panin, Bank NISP, Bank Permata, serta Bank asing, seperti : Citibank dan lainlain. Masuknya Bank-Bank tersebut di dalam “bisnis” kredit pemilikan rumah di sektor property (real estate) tidak terlepas pula dari prospek keuntungan yang menjanjikan serta pangsa pasar yang masih besar dan luas. Alasan lain yang melandasi bank-bank terjun dan berlomba-lomba dalam penyaluran kredit pemilikan rumah adalah dikarenakan jenis dan resiko kredit pemilikan rumah relatif lebih “kecil” dan “aman” dibandingkan jenis dan resiko kredit lainnya di dunia perbankan. Dalam kredit pemilikan rumah, yang menjadi anggunan kredit oleh bank ialah rumah yang dibeli oleh konsumen/debitur. Artinya resiko kredit macet relatif kecil dilakukan oleh konsumen/debitur. Selain itu jika kredit pemilikan rumahnya macet, maka bank akan “lebih mudah” untuk mengeksekusi/lelang rumah yang menjadi agunan kredit dibanding agunan kredit bentuk lain. Dikatakan demikian karena rumah bentuk nyata (terlihat) sehingga “mudah” untuk dikuasai dan dilelang/dijual sebagai pelunasan kredit yang macet, disamping harga rumah yang kebanyakan mengalami increase (kenaikan). 4
4
Yustiapratiwi, “Kredit Kepemilikan Rumah”, terdapat dalam
[email protected]. diakses tanggal 20 Desember 2007. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dengan demikian, penyaluran kredit pemilikan rumah tidak hanya dilakukan oleh Bank Tabungan Negara (BTN) tetapi juga diikuti oleh Bank-Bank Pemerintah lainnya di luar Bank Tabungan Negara, serta di ikuti juga okeh bank-bank swasta lainnya antara lain bank BCA, Bank Niaga dan lain-lain. Karena kredit pemilikan rumah mempunyai prospek keuntungan yang menjanjikan serta pangsa pasar yang masih terbuka, karena tingginya permintaan oleh masyarakat yang tidak mampu membeli rumah secara tunai. Tingginya
permintaan
masyarakat
tersebut
tidak
diimbangi
dengan
kemampuan pengembang dalam menyediakan rumah siap huni (ready stock), sehingga berkembang transaksi jual beli rumah dengan sistem indent atau membeli rumah dengan cara memesan terlebih dahulu. Kata indent berasal dari bahasa Inggris, yang menurut kamus bahasa InggrisIndonesia terjemahan Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, kata indent artinya memasukan. 5 Jadi, dalam hal ini penggunaan istilah indent adalah untuk mengartikan memesan terlebih dengan memberi uang jadi/uang muka untuk membeli rumah yang belum ada (belum didirikan/belum di bangun). Dalam transaksi rumah dengan sistim indent melalui kredit pemilikan rumah, para pihak yang terlibat adalah konsumen (pembeli), pengembang dan Bank, dimana masing-masing antara satu dengan yang lain terikat di dalam hubungan perjanjian.
5
Jhon M Eclos dan Hasan Shadili. Kamus Inggris-Indonesia.1999.hal.132
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dalam prakteknya bentuk perjanjian dan hubungan hukum yang mengikat masingmasing pihak tersebut biasanya adalah sebagai berikut : 6 1. Antara konsumen dengan pengembang terikat jual beli rumah berbentuk surat perjanjian pengikatan jual beli (SPPJB) secara dibawah tangan atau akta Notaris yang kemudian ditingkatkan derajat hubungan hukumnya dengan akta jual beli dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). 2. Antara konsumen sebagai debitur denga bank sebagai kreditur terikat perjanjian kredit pemilik rumah dan/atau pengakuan hutang dengan kuasa menjual secara dibawah tangan atau akta notaris. 3. Antara pengembang dengan bank terikat perjanjian kejasana pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah dengan jaminan (kebanyakan bentuknya dengan akta notaries). Adapun gambaran singkat proses dan tahapan pembelian rumah dengan sistim indent melalui kredit pemilikan rumah dari bank antara pembeli dengan pengembang adalah : Pertama kali konsumen mendatangi pengembang, dimana dalam tahap ini konsumen menentukan atau memilih tipe, lokasi, harga rumah, serta cara pembayaran melalui kredit pemilikan rumah dari bank (biasanya bank yang sudah ada kerjasama dengan pengambang). Pada tahap ini antara konsumen dengan pengembang sepakat bahwa rumah yang dibeli, secara fisik belum di bangun (belum ada). Artinya pembeli memesan rumah terlebih dahulu kepada pengembang kemudian pengembang menjanjikan akan membangun serta menyerahkan rumah yang menjadi objek jual beli dimaksud sesuai dengan waktu yang disepakati dengan konsumen (biasanya
6
Sutarno, Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Jakarta: Alfabetha, 2005, hal. 96.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
sepuluh sampai enam belas bulan dari tanggal pemesanan atau setelah akad kredit dengan bank). 7 Pada tahap ini pembeli membayar uang tanda jadi (booking fee) kepada pengembang. Setelah membayar uang tanda jadi, selanjutnya pembeli akan membayar uang muka yang jumlahnya bervariasi, yaitu antara sepuluh sampai dengan tiga puluh persen dari total harga rumah. 8 Besarnya uang muka tergantung kesepakatan. Sisa pembayaran harga rumah dibayar oleh konsumen melalui kredit pemilikan rumah dengan bank yang sudah ada perjanjian kerjasama pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah dari bank. Biasanya pengembang mengarahkan konsumen untuk mengurus atau mengambil kredit pemilikan rumah dengan bank yang sudah ada perjanjian kerjasama pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah dengan pengembang. 9 Tahap selanjutnya adalah konsumen mengajukan permohonan atau aplikasi kredit pemilikan rumah kepada bank. Setelah permohonan atau aplikasi kredit pemilikan rumah pembeli disetujui oleh bank, maka antara konsumen sebagai debitur dengan bank sebagai kreditur akan melaksanakan akad kredit atau penandatanganan akta perjanjian kredit dan/atau pengakuan hutang dengan jaminan dibawah tangan
7
Achmat Rayadi Sabur, Milis Properti,Keuntungan property dalam Mengembangkan Kredit Pemilikan Rumah Buat Konsumen, Jakarta, 2007, hal. 1. 8 Ariadi Ponogoro, “Out of the Property Box”, dalam http://www.google.com diakses tanggal 24 Oktober 2007. 9 Ibid., hal.2. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
atau dengan akta notaris, surat kuasa membebankan hak tanggungan dan/atau Akta pemberian hak tanggungan di hadapan notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, serta perjanjian-perjanjian lainnya yang diisyaratkan oleh bank. Bersamaan pelaksanaan akad kredit tersebut, antara konsumen dengan pengembang ditandatangani akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, meskipun bangunan rumah belum selesai dibangun dan diserahkan oleh pengembang kepada konsumen. Setelah akad kredit dan dan sambil menunggu serah terima kunci rumah dari pengembang, konsumen sudah di wajibkan mengangsur kredit kepemilikan rumahnya kepada bank. Hal ini dikarenakan konsumen/debitur sudah terikat isi akta perjanjian kredit dan/atau akta pengakuan hutang yang sudah ditandatanginya denngan bank. Dari gambaran tahapan tersebut di atas, terlihat bahwa saat disepakatinya transaksi jual beli rumah (pembayaran uang tanda juadi dan uang muka) antara pengembang sebagai penjual dengan konsumen dilaksanakan, rumah yang menjadi objek jual beli belum dibangun dan siap untuk diserahkan oleh pengembang kepada konsumen. Dalam kondisi seperti diuraikan diatas (sisa harga pembelian belum diterima oleh pengembang, rumah belum selesai dibangun dan belum diserahkan kepada konsumen), dan antara pengembang dengan konsumen melaksanakan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam blanko standar akta jual beli yang berlaku sekarang ini di dalamnya berisi dan mengatur antara lain mengenai subjek hukum yang terlibat, yaitu penjual dengan konsumen, objek jual belinya yaitu tanah beserta bangunan (jika ojek rumah), Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
harga transaksi, serta beberapa klausul baku. Beberapa klausul baku penting dalam akta jual beli adalah sebagai berikut :10 1. “pihak pertama (maksudnya penjual) mengaku telah menerima sepenuhnya uang dari pihak kedua (maksutnya konsumen) dan untuk penerimaan uang tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan yang sah (kwitansi) 2. “mulai hari ini (maksudnya hari dan tanggal pada saat akta di tandatangani) objek jual beli yang di uraikan dalam akta ini telah menjadi pihak ke dua (maksudnya konsumen) dan karenanya segala keuntungan yang di dapat dari, dan segala kerugian/beban atas objek jual beli tersebut diatas menjadi hak/beban pihak kedua (maksutnya konsumen)” 3. “jual beli ini meliputi pula : (biasanya didalam akta jual beli diisi/disebutkan tanah berikut bangunan seluas berapa meter persegi yang berdiri diatasnya, setempat dikenal jalan apa)” Dalam blanko standart akta jual beli yang dikeluarkan oleh pemerintah, terlihat pemerintah memegang prinsip hukum jual beli tanah dan bangunan “ terang” dan “tunai” berarti barangnya sudah ada dan di ketahui oleh pembeli dan siap diserahkan oleh penjual. Sedangkan kata “tunai” berarti pembeliannya dilakukan dengan pembayaran lunas (sekaligus). Intinya pembayaran dan penyerahan rumah berikut tanahnya dilakukan pada saat yang bersamaan (cash and carry). Jika melihat praktek jual beli rumah dengan system indent melalui kredit pemilikan rumah dari bank serta dikaitkan dengan isi dan klausal yang terdapat dalam akta jual beli yang ditandatangani oleh pengembang/penjual dengan konsumen, terlihat adanya penyimpangan atas isi dan klausul baku yang terdapat dalam akta jual beli tersebut. Dikatakan yang menyimpang karena objek jual belinya yaitu rumah belum selesai didirikan dan diserahkan oleh pengembang kepada konsumen dan
10
Ibid., hal. 1.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
harga pembelian belum diterima sepenuhnya oleh pengembang. Rumah akan diserahkan oleh pengembang kurang lebih sepuluh sampai dengan enam belas bulan sejak akat kredit dilaksanakan (jangka waktu penyerahan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang diatur dalam surat pemesanan dan surat pengikatan jual-beli). Sedangkan sisa harga pembelian rumah baru diterima pengembang dari pihak bank setelah dilaksanakan akat kredit dan ditandatangani akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Biasanya pencairan dana kredit pemilikan rumah dicairkan secara bertahap sesuai progress kontruksi bangunan. Tahapan pencairan kredit kepemilikan rumah dimaksud diatur dan disepakati oleh pengembang dengan bank dalam perjanjian kerjasama pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah dengan jaminan Akta jual beli yang di tanda tangani oleh pengembang dengan konsumen tersebut dilakukan di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Seperti diketahui bahwa akta jual beli adalah merupakan salah satu bentuk akta otentik yang pembuatannya harus dibuat di hadapan pejabat umum (PPAT). Hal ini seperti yang diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang Undang dan di buat oleh atau dihadapan pejabat umum. Yang dimaksud pejabat umum dalam Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam konteks jual beli tanah dan/atau bangunan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini seperti diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Argraria jo Pasal 37 ayat Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda Benda Yang Ada Diatasnya jo Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta jual beli yang di tanda tangani pengembang dan konsumen itu sendiri adalah merupakan perjanjian pokok atas perjanjian kredit pemilikan rumah yang di buat antara debitur/konsumen dengan bank/kreditur, seperti: perjanjian kredit/ pengakuan hutang atau surat kuasa membebankan hak tanggungan/akta pemberian hak tanggungan yang merupakan perjanjian aksesoirnya. Artinya perjanjian pokonya hapus atau batal, maka dengan sendirinya perjanjian sesoir-nya juga hapus atau batal dengan sendirinya. Penyimpangan dalam penandatanganan akta jual beli tersebut diatas akan menjadi permasalahan hukum bagi para pihak (pengembang/penjual, konsumen/ debitur, bank/kreditur) termaksud pejabat pembuat akta tanah yang memuat, membacakan dan menandatanganani akta jual beli tersebut dan notaries yang memuat,
membacakan dan
menandatangani
akta-akta perjanjian
accessoir.
Permasalahan hukum dimaksut tentunya membawa konsekeensi atau dampak yuridis tidak hanya kepada para pihak tetapi juga terhadap akta-akta yang sudah ditandatangani oleh para pihak tersebut. Kalau saja dibaca ketentuan dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Nomor 10 Tahun 1998, bahwa dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikat dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.kondisi ini merupakan suatu implementasi dari asas prudential banking yang selama ini telah menjadi pedoman bank-bank dalam melakukan pemberian kredit 11 Dalam praktek perbankan, jaminan ini lajim dikenal dengan istilah personal guarantee atau corporate guarantee. Bank Menginterprestasikan bahwa personal guarantee atau corporate guarantee ini merupakan perangkat yang dapat memberikan perlindungan jaminan yang lebih optimal dan dinilai dapat mendukung keyakinan dalam mekanisme pemberian kredit. Jaminan yang diberikan tersebut dapat mengakibatkan kewajiaban secara financial dari pihak penanggung (guarantor) untuk menanggung terhadap pemenuhan presentasi apabila pihak yang dijamin (debitur) melakukan cidera janji (wanprestasi). 12 Pemahaman yang keliru ini tercermin dari adanya anggapan bahwa dengan adanya personal guarantee atau corporate guarantee dalam perjanjian kredit, maka kewajiban pemenuhan prestasi dari pihak penanggung bersifat seketika tatkala pihak debitur yang dijamin melakukan wanprestasi. Karena pemahaman yang keliru inilah, maka mana kala mereka memberikan tanggapan atau opini terhadap kredit-kredit
11
Achmad Rayadi Sabur. “Pemerhati Pasar Uang”, BEI NEWS Edisi 7 Tahun II OktoberDesember 2001, hal. 20. 12 Ibid hal.2. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
bermasalah sebagaimana yang telah dilakukan dengan kebijakan pemerintah dengan membentuk badan penyehatan perbankan nasional pada masa pasca krisis, yang sebagian diantaranya diketahui dijamin dengan personal guarantee dan corporate guarantee dari sejumblah konglomerat, mereka beranggapan bahwa seharusnya badan tersebut dapat melakukan upaya upaya paksa kepada pihak penjamin untuk segera memenuhi untuk segera memenuhi pihak debitur. Tentunya kondisi ini tidaklah bersifat sesederhana itu. Namun harus melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur di dalam Pasal 1820 sampai Pasal 1864 KUHPerdata Di dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau pergantian atas kerugian akibat penggunaa, pemakaiyan, dan pemanfaatan barang yang didagangkan. Selain itu pelaku usaha diwajibkan memberikan kompensasi, gantirugi, dan/atau pergantian, dan manfaat barang dan jasa yang diteriama tidak sesuai perjanjian yang telah di sepakati terlebih dahulu pemberian ini adalah sampai sejauh manakah ganti rugi itu harus diberiakan. Untuk memberikan perlindungan perlindungan kepada konsumen jika pelaku usaha melanggar apa yang dilarang dalam Undang-Undang perlindungan konsumen dan merugikan konsumen. Permasalahan hukum tersebut akan menjadi lebih rumit dan compleks penyelesaianya, jika salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap isi perjanjian jual beli rumah dan perjanjian kredit pemilikan rumah yang disepakati dan Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
ditandatangani sebelumnya, seperti : pengembang telat atau tidak dapat menyerahkan rumah kepada konsumen sehingga menyebabkan konsumen tidak mau membayar angsuran kredit pemilikan rumah di bank Dari uraian tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas maka permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Keabsahan Pembelian Rumah Dengan Sistim Indent ? 2. Bagaimanakah Dampak Yuridis yang Timbul dalam Pelaksanaan Jual Beli Rumah Dengan Sistim Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah? 3. bagaimanakah Peran Undang –Undang Perlindungan Konsumen dalam Melindungi Pembelian Rumah Dengan Sistim Indent?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan utama penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tata cara pembelian rumah dengan sistem indent bila dilihat dari segi hukum perdata
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
2. Untuk mengetahui proses pembelian rumah dengan memakai sistim kredit kepemilikan rumah 3. untuk mengetahui Tinjauan Hukum pembelian rumah dengan sistem indent melalui kredit kepemilikan rumah
Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang dari hasil penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum keperdataan khususnya di dalam sebuah perjanjian serta menambah khasanah perpustakaan. 2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan mengenai akta jual beli rumah secara indent bagi para praktisi hukum maupun akademisi.
D Keaslian Penulisan Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang di peroleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di angkatlah suatu materi yaitu mengenai “Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah” . Dalam proses pengajuan judul skripsi ini harus di daftarkan terlebih dahulu kebagian hukum perdata dan telah di periksa dan disahkan oleh Ketua Departemen Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Hukum Keperdataan atas dasar pemeriksaan tersebut di yakini bahwa judul yang di angkat termasuk pembahasan yang ada di dalamnya belum pernah ada penulisan sebelumnya dan merupakan karangan ilmiah yang memang benar atau dibuat tanpa menciplak dari skripsi lain, khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga dapat di pertanggung jawabkan keaslian penulisannya.
E. Tinjaun Kepustakaan Jual beli rumah menurut Pasal 1457 Kitab Undang Undang hukum Perdata adalah “Suatu persetujuan, dengan nama pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Jadi jual beli menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut F. Metode Penulisan. Untuk melengkapi penilisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipetanggung jawabkan, penulis menggunakan Metode Penelitian Hukum Normatif, dengan pengumpulan data secara Studi Pustaka (library research). Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Adapun data sekender yang digunakan dalam penulisan skripsi iniantara lain berasal dari buku-buku perpustakaan, artikel-artikel baik dari Koran maupun majalah, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Kemudian dipelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini dengan cara membaca, menafsirkan, serta menterjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan jual beli rumah secara indent Mengingat bahwa apa yang dikemukakan dalam tulisan ii merupakan suatu hal yang baru maka pengambilan bahan tidak terlepas dari media cetak. G. Sistematika Penulisan. Dalam penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, sistematika penulisan merupakan suatu bagian yang sangat penting, karena dengan adanya sistematika penulisan ini maka pembahasannya akan dapat di arahkan untuk menjawab masalahmasalah dan membuktikan kebenaran hipotesanya. Kemudian agar memudahkan isi dari skripsi ini, maka sistematika penulis disusun secara menyeluruh mengikat kerangka dasarnya yang di bagi dalam beberapa bab serta sub bab secara berurutan, yang masing-masing bab itu akan menantang pemecahan permasalahan dalam pembahasannya dan kita lihat sebagai berikut.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Pada bab I sebagai pendahuluan, penulis menguraikan tentang hal-hal umum dari sekripsi ini seperti uraian singkat garis besar permasalahan yang digunakan sebagai dasar pemegang dalam penulisan skripsi ini. Secara sistematis bab I ini di bagi dalam beberapa sub bab, yaitu tentang : A. Latar Belakang, B. Perumusan masalah, C. Tujuan dan manfaat penulisan, D. Keaslian penulisan, E. Tinjauan kepustakaan, F. Sistematika penulisan, G. Sistimatika Penulisan
Pada bab II penulis membahas tentang Keabsahan Jual Beli rumah dengan sistem indent dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu : A. Perjanjian Jual Beli Rumah B. Kredit Kepemilikan Rumah C. Keabsahan Jual Beli rumah Dengan Sistim Indent
Pada bab III penulis membahas Dampak Yuridis yang Timbul dalam Pelaksanaan Jual Beli Rumah dengan Sistim Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah yang di bagi menjadi beberapa sub bab yaitu : Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
A. Jual Beli Tanah Berikut Rumah Diatasnya B. Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Rumah Dengan Sistim Indent Dalam Kredit Kepemilikan Rumah : 1. Tinjauan Hukum Pelaksanaan Jual Beli Rumah Terhadap Konsumen, Pengembang dan Bank 2. Tinajau Hukum Terhadap PPAT dan Notaris 3. Tinjauan Hukum Terhadap Akta-Akta yang di tandatangi
Pada bab IV penulis membahas tentang Peran Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Melindungi Pembelian Rumah Secara Indent dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu : A. Pengertian dan Latar Belakang Perlindungan Konsumen B. Peran Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Melindungi Pembelian Rumah Secara Indent. BAB II KEABSAHAN JUAL BELI RUMAH DENGAN SISTIM INDENT
A. Perjanjian Jual Beli Rumah
Dalam perjanjian jual beli rumah terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu penjual sebagai pihak yang menjual rumah dan konsumen sebagai pihak yang membeli rumah. Pihak penjual dalam kaitannya dengan tulisan ini adalah apa yang Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
dinamakan dengan pengembang, yaitu suatu perusahaan yang bidang usahanya membangun dan mengembangkan proyek perumahan. Sedangkan yang dimaksud dengan pihak konsumen adalah pihak yang membeli rumah dari pengembang. Jual beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah: “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. 13 Jadi jual beli menurut KUH Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 14 Dari uraian di atas terlihat bahwa barang dan harga adalah merupakan unsur pokok dalam perjanjian jual beli. Kedua unsur tersebut juga ada dalam perjanjian jual beli rumah, yaitu rumah dan harga pembelian. Jika melihat kedua unsur yang terdapat dalam perjanjian jual beli rumah, dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli rumah tunduk pada asas konsesualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Pengertian konsensualisme adalah perjanjian jual beli sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah, mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pada saat tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga pembelian antara penjual dengan konsumen. Kata
13
KUH Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 18, Jakarta: Pradnya Paramita, Pasal 1457. 14 R. Subekti, Aneka Perjanjian…op. cit., hal. 2. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
sepakat mengenai rumah dan harga antara pengembang dengan konsumen dalam perjanjian jual beli rumah terjadi atau dinyatakan dengan cara menandatangani surat pemesanan rumah. Asas konsesualisme itu sendiri dianut oleh KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1458, bahwa jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum diserahkan. Di samping menganut asas konsensualisme, jual beli menurut KUH Perdata juga bersifat obligatoir, yang artinya perjanjian jual beli belum memindahkan hak milik atas barang yang menjadi objek jual beli. Hak milik atas barang baru berpindah dengan dilakukannya penyerahan atau levering. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1459 KUH Perdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahan belum dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1475 KUH Perdata, penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjualbelikan dibutuhkan penyerahan. 15 Apabila adalam perjanjian jual beli tidak ditentukan oleh para pihak di mana seharusnya barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan, penyerahan harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada pada saat perjanjian jual beli dilakukan. Cara penyerahan benda yang diperjuabelikan berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang diperjuabelikan tersebut. Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut: 16 1. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol tertentu (penyerahan simbolis), misalnya: penyerahan kunci gudang sebagai simbol dari penyerahan barang yang ada dalam gudang tersebut. Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah, jika: barang yang dibeli tersebut sudah ada di tangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan, misalnya barang tersebut sebelumnya telah dipinjam oleh pembeli;
15
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 128. 16 Ibid., hal. 128-129. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
barang yang dibeli tersebut masih berada di tangan penjual pada saat penyerahan karena adanya suatu perjanjian lain, misalnya barang yang sudah dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual; barang yang dijual tersebut berada di tangan pihak ketiga, baik karena persetujuan penjual sebelum penyerahan, maupun atas persetujuan pembeli setelah penyerahan berlangsung. 2. Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta di bawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berhutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh berutang. 3. Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama. Apabila karena kelalaian penjual,
penyerahan tersebut
tidak dapat
dilaksanakan, pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian atas alasan bahwa si penjual tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata bahwa syarat batal selalu dianggap dicantumkan dalam perjanjianperjanjian timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal jual beli rumah antara pengembang dengan konsumen yang dilakukan dengan sistem indent (membeli rumah dengan cara memesan terlebih dahulu), menempatkan konsumen pada posisi yang tidak menguntungkan atau dirugikan. Konsumen mengeluarkan uang harga pembelian tetapi belum menerima rumah yang dibelinya dari pengembang.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dalam seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. 17 Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan, ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya itu diwajibkan memenuhi tuntutan itu. 18 Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain. 19 Biasanya bentuk dan isi surat pemesanan dan surat perjanjian pengikatan jual beli dibuat dan ditentukan secara sepihak (perjanjian baku/perjanjian standar) oleh pengembang tanpa melibatkan konsumen. Dalam hal ini konsumen tidak dalam posisi seimbang, karena konsumen hanya disodorkan perjanjian yang bentuk dan isinya sudah ditentukan oleh pengembang. Konsumen hanya dapat menentukan sikap tanda menandatangani atau tidak menandatangani. Perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai
17
R. Subekti, Aneka Perjanjian…, op. cit., hal. 1. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 9, Jakarta: Intermasa, 1984, hal. 1. 19 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 22, Jakarta: Intermasa, 1989, hal. 122-123. 18
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausulklausulnya. 20 Perjanjian baku ini memiliki karekater sebagai berikut: a. Ditentukan sepihak; b. Berbentuk formulir; c. Mengandung syarat eksonerasi, yaitu syarat dari pihak kreditur untuk mengelakkan
dirinya
dari
tanggung
jawab
yang
seharusnya
menjadi
kewajibannya; d. Dicetak dengan huruf kecil; e. Disodorkan kepada konsumen sebagai “take it or leave it contract”. Surat perjanjian pengikatan jual beli pada umumnya berisi: para subjek hukum (penjual dan pembeli), objek jual beli, harga jual beli, cara pembayaran, hak dan kewajiban masing-masing pihak, serah terima rumah, masa pemeliharaan, sanksi, ketentuan pembatalan, pengalihan hak, jaminan, penandatanganan akta jual beli, cidera janji, force majeure, penyelesaian perselisihan, perjanjian tambahan, kedudukan hukum (pilihan domisili menurut hukum).
20
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cet.1., Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 66. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Guna melindungi para pihak yang akan membuat surat perjanjian pengikatan jual beli rumah. Pemerintah mengeluarkan pedoman untuk pembuatan surat perjanjian pengikatan jual beli, yaitu: “Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah”, Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 09/KPTS/1995, tanggal 23 Juni 1995. Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah dimaksud mengatur: hak dan kewajiban penjual dan pembeli, jaminan dari penjual, serah terima rumah, pemeliharaan bangunan, pengalihan hak, ketentuan pembatalan, penandatanganan akta jual beli, penyelesaian perselisihan. Di samping ketentuan tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga membatasi pengembang (pelaku usaha) dalam membuat atau mencantumkan klausul baku dalam perjanjian jual beli rumah dengan konsumen. Selanjutnya antara pengembang dengan konsumen, menandatangani akta jual beli. Dalam hal pembeliannya melalui kredit pemilikan rumah dari bank, penandatanganan akta jual beli dilakukan bersamaan dengan akad kredit (penandatangan akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan/atau Akta Pemberian Hak Tanggungan) di bank. Sedangkan penandatanganan akta jual beli untuk cara pembayaran tunai maupun angsuran bertahap dilakukan setelah harga pembelian rumah diterima secara keseluruhan oleh pengembang dari konsumen.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Penandatanganan akta jual beli rumah seperti dimaksud di atas harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), juncto Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 2 ayat (1), (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 26 ayat (1) UUPA, menyatakan, Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah), sebagai peraturan pelaksana dari UUPA itu menyatakan: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Adapun Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (UUHT), menyatakan: Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No.37 Tahun 1998 tentang PPAT), menyatakan: Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT, menyatakan: PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) PP No.37 Tahun 1998 tentang PPAT, menyatakan: Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
a. b. c. d. e. f. g. h.
jual beli; tukar menukar; hibah; pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; pemberian Hak Tanggungan; pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dari ketentuan di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa akta jual beli adalah
akta otentik. Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta jual beli. Pengertian akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang intinya menyatakan: “akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta dibuatnya”. 21 Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, untuk dapat dikatakan sebagai akta otentik haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Bentuk aktanya ditentukan oleh undang-undang; b. Dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum; c. Dimana tempat akta itu dibuat. Menurut Pasal 21 ayat (1) PP No.37 Tahun 1998 tentang PPAT, bentuk akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (akta jual beli) ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Hal ini berdasarkan Pasal 95 dan
21
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., pasal 1868.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
B. Kredit Pemilikan Rumah 1. Pengertian Kredit Pemilikan Rumah Kredit pemilikan rumah secara harfiah adalah kredit untuk memiliki rumah. Para pihak yang terlibat dalam kredit pemilikan rumah adalah pihak pembeli rumah atau yang dinamakan debitur, yaitu pihak yang meminjam uang untuk melunasi pembelian rumah dari penjual dan pihak bank atau yang dinamakan kreditur, yaitu pihak yang meminjamkan uang kepada pihak yang ingin membeli rumah. Istilah kredit sendiri dipergunakan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kredit menurut Pasal 1 huruf (k) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dari isi pasal tersebut di atas, terlihat bahwa mengenai persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam yang dibuat bentuknya tidak dinyatakan secara tegas, tertulis atau tidak tertulis. Namun ketentuan undang-undang tersebut harus dikaitkan dengan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10/1966, tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb., tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb., tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/EK/IN/2/1967, tanggal 6 Pebruari 1967, yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun wajib mempergunakan/membuat akad perjanjian kredit. 22 Dari kata-kata “wajib mempergunakan/membuat akad perjanjian kredit” di atas, dapat dipahami bahwa perjanjian kredit wajib dibuat dengan akad, yang dalam praktek dunia perbankan diterjemahkan dengan bentuk tertulis. Pada hakekatnya, dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, semuanya itu adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata adalah “perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
22
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 181.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula” Perjanjian pinjam meminjam seperti yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata mengandung makna yang luas. Dikatakan demikian karena obyeknya adalah suatu benda yang menghabis karena pemakaian (verbruiklening), termasuk di dalamnya uang. Perjanjian kredit pemilikan rumah antara konsumen (debitur) dengan bank (kreditur)
adalah perjanjian pinjam meminjam uang.
Konsumen (debitur)
berkewajiban untuk melunasi hutang yang didapatnya berikut bunga kepada bank (kreditur) dalam jangka waktu yang telah ditentukan/disepakati diawal perjanjian. Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, uang hasil kredit tersebut harus dipergunakan oleh konsumen (debitur) untuk melunasi harga pembelian rumah kepada pengembang. Rumah yang dibelinya tersebut nantinya akan dijadikan agunan kredit kepada bank (kreditur).
2. Macam-Macam Perjanjian yang ada dalam Kredit Pemilikan Rumah Di dalam membuat perjanjian kredit pemilikan rumah, sedikitnya antara debitur (konsumen) dengan bank (kreditur) terikat perjanjian sebagai berikut: a. Akta Perjanjian Kredit; b. Akta Pengakuan Hutang dengan Kuasa Menjual; Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
c. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Adapun penjelasan dari perjanjian di atas, adalah sebagai berikut: a. Akta Perjanjian Kredit Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit dengan 2 bentuk atau cara, yaitu: 23 1) Perjanjian kredit berupa akta di bawah tangan; 2) Perjanjian kredit berupa akta Notaris. Dilihat dari bentuknya, akta perjanjian kredit pada umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), di mana bentuk dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh bank tanpa melibatkan debitur. Biasanya dalam perjanjian kredit pemilikan rumah memuat atau mengatur hal-hal mengenai: subjek rumah memuat atau mengatur hal-hal mengenai: subjek hukum yang terlibat (kreditur dan debitur), jumlah/plafon kredit, suku bunga yang diberlakukan (termasuk penurunan/kenaikan, biaya administrasi, provisi, biaya premi asuransi jiwa dan kebakaran, pembuatan akta Notaris, jangka waktu kredit, bentuk jaminan/agunan kredit, hak dan kewajiban kreditur dan debitur, tata cara melakukan pembayaran angsuran kredit, denda keterlambatan, tata cara pelunasan kredit sebelum jangka waktu kredit berakhir (percepatan atau keseluruhan), pelaksanaan eksekusi jika kredit
23
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 82.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
macet, pemberian kuasa-kuasa (di antaranya kuasa menjual/mengalihkan serta mengosongkan agunan kredit, jika kredit macet), penyelesaian perselisihan dan domisili hukum.
b. Akta Pengakuan Hutang dengan Kuasa Menjual Sama seperti akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang dapat dibuat secara akta Notaris maupun akta di bawah tangan. Dalam prakteknya bank lebih banyak membuat akta pengakuan hutang secara akta Notaris. Hal ini guna memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 224 HIR (Het Herziene Indonesisch), sehingga nantinya akan memperkuat kedudukan bank secara hukum dalam pelaksanaan eksekusi, jika kredit menjadi macet. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan Pasal 224 HIR yang berbunyi sebagai berikut: Surat grosse dari pada akta hipotik dan surat hutang, yang dibuat dihadapan Notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai “Atas nama Keadilan” berkekuatan sama dengan putusan Hakim. Jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilakukan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang tinggal atau memilih kedudukannya, yaitu secara yang dinyatakan pada pasal di atas ini dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan itu hanya dilakukan, jika sudah diijinkan dengan putusan hakim. Jika hal melakukan putusan hakim itu Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
harus dijalankan sama sekali atau sebagiannya diluar daerah hukum Pengadilan Negeri, yang ketuanya menyuruh melakukan itu, maka diturutlah peraturan pada Pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya. 24 Dari pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa suatu grosse akta hipotik dan akta pengakuan hutang yang dibuat di hadapan Notaris dan memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan seperti putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya dapat langsung dimohon pelaksanaan eksekusinya terhadap agunan kredit yang kreditnya macet. Perkataan Atas Nama Keadilan, semula berbunyi “Atas nama Sri Baginda Raja”, namun sekarang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 25 Dengan dibuatnya akta pengakuan hutang secara akta Notaris, maka pihak bank (kreditur) dapat meminta Notaris yang membuat akta untuk mengeluarkan grosse akta pengakuan hutang. Kewenangan Notaris dimaksud di atas, seperti yang diatur dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Indonesia. Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan Ordonantie Staatsblad 1860 Nomor 3, berbunyi:
24
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet. 6., Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 125. 25 Ibid., hal. 125. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 26
c. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (UUHT), menyatakan: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
26
Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), diterjemahkan oleh G.H.S. Lumban Tobing, cet.3, Jakarta: Erlangga, 1992, hal. 9. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat dalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu ialah: 27 1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. 2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA. 3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. 4) Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu. 5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Adapun Pasal 10 ayat (1) UUHT, menyatakan, pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
3. Perjanjian Kerjasama Pemberian Kredit Pemilikan Rumah Perjanjian Kerjasama Pemberian Fasilitas Kredit Pemilikan Rumah adalah perjanjian kerjasama yang dibuat antara bank dengan pengembang untuk mempermudah pembeli dalam mengajukan atau mengurus kredit pemilikan rumah.
27
Ibid., hal. 10.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Di samping itu pembuatan perjanjian kerjasama tersebut juga dimaksudkan untuk mempermudah atau memperlancar hubungan bisnis antara pengembang dengan bank. Pasal 1820 KUH Perdata, menyatakan, suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang mana kala orang itu sendiri tidak memenuhinya. Sedangkan Pasal 1821 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan, tiada penanggungan, jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Selanjutnya Pasal 1823 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan, seorang dapat mengajukan diri sebagai penanggung dengan telah diminta untuk itu orang untuk siapa ia mengikatkan dirinya, bahkan diluar pengetahuan orang itu. Pasal 1824
KUH Perdata
menyatakan,
penanggungan
utang
tidak
dipersangkakan, tetapi harus dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya.
C. Keabsahan Jual Beli Rumah Dengan Sistem Indent Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa jual beli rumah dari pengembang kepada pembeli secara sistem indent, yaitu jual beli kavling tanah dengan janji pembeli akan mendirikan bangunan rumah tinggal di atasnya dalam jangka waktu tertentu, antara pengembang perumahan dengan pembeli, dengan pengertian fisik bangunan rumah belum ada atau belum selesai dibangun, dimana
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
jangka waktu penyerahan rumah diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan antara pengembang dengan konsumen. Berdasarkan wawancara dengan responden dinyatakan transaksi jual beli rumah dengan sistem indent antara pengembang dengan konsumen dilakukan dengan cara: 1. Dibuat perjanjian pemesanan yang ditandatangani oleh pengembang dan konsumen setelah konsumen sepakat mengenai tipe, lokasi, harga rumah, dan cara pembayaran. 2. Dengan ditandatanganinya surat pemesanan, maka dibuat surat pengikatan jual beli yang ditandatangani oleh pengembang dan konsumen. Perjanjian pengikatan jual beli dapat dibuat secara akta Notaris maupun di bawah tangan. Alasan dilakukannya pengikatan jual beli karena rumah sebagai objek jual beli itu belum dapat diserahkan oleh pengembang kepada konsumen dan harga pembelian rumah belum sepenuhnya dibayar oleh konsumen kepada pemegang. 3. Dengan terjadinya pengikatan jual beli antara pengembang dengan konsumen, maka konsumen diwajibkan untuk: a. Membayar uang muka kepada pengembang (dalam hal pembelian dengan cara kredit pemilikan rumah); b. Membayar angsuran bertahap untuk pertama kali (dalam hal pembelian dengan cara angsuran bertahap);
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
c. Pelunasan harga pembelian (dalam hal pembelian dengan tunai). 28 Dalam hal cara pembayaran melalui kredit pemilikan rumah, pengembang mensyaratkan konsumen untuk membayar uang muka sebesar 10 persen sampai dengan 30 persen dari harga rumah dan sisanya dikreditkan melalui bank. Pada tahap ini pula konsumen diarahkan untuk mengajukan permohonan kredit pemilikan rumah kepada bank. Biasanya pengembang mengarahkan konsumen kepada bank yang sudah ada kerjasama pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah dengan pengembang. Perjanjian pengikatan jual beli rumah itu dibuat dalam bentuk perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang konsep atau draft-nya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, (dalam hal ini pihak pengembang) sebagai penjual dan atau produsen. Perjanjian ini disamping memuat aturan-aturan yang umumnya biasa tercantum dalam sesuatu perjanjian, memuat pula persyaratan-persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian itu. 29 Perjanjian baku yaitu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
28
Hasil wawancara Bapak Firman, selaku Direktur PT. Ira Setia Budi, di Medan tanggal 28 Februari 2009. 29 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Cet. 2, Yogyakarta: Diadit Media, 2001, hal. 96. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 30 Walaupun secara teoretis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan hukum. Berkaitan dengan hal ini, Stein mengatakan bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.31 Perbuatan jual beli rumah dengan sistem indent yang dilakukan oleh pengembang kepada pembeli adalah boleh dan sah saja, sepanjang antara pengembang dengan konsumen sama-sama menginginkannya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas kepatutan dan keadilan yang hidup di masyarakat, serta pembuatan perjanjian jual belinya memenuhi syaratsyarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, dalam pembuatan surat perjanjian pengikatan jual beli rumahnya. Ini berarti bahwa pada prinsipnya tidak dilarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama
30
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 66 31
Ibid, hal. 15.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
dan sepanjang
perjanjian
baku
dan/atau
klausula
baku
tersebut
tidak
bertentangan dengan undang-undang. Syarat-syarat sahnya persetujuan yang tercantum dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya perjanjian jual beli, yaitu : 32 a. Kata sepakat antara penjual dan pembeli; b. Kemampuan/kecakapan baik penjual maupun pembeli untuk mengikat diri; c. Obyek tertentu/yang dapat ditentukan; d. Sebab/kausa yang halal. Transaksi jual beli rumah dengan sistem indent dalam prakteknya rentan terhadap permasalahan, sebagaimana wawancara dengan responden dinyatakan permasalahan yang timbul adalah telatnya serah terima rumah atau rumahnya tidak dibangun atau bangunan rumahnya tidak sesuai dengan spesifikasi tipe dan bahan bangunan yang telah diperjanjikan. 33 Permasalah tersebut akan menjadi complicated penyelesaiannya, jika jual beli rumah dengan sistem indent tersebut mendapatkan fasilitas kredit pemilikan rumah dari bank dan dilakkukan akad kredit serta penandatangan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal rumah yang menjadi objek jual beli tersebut belum (sedang proses) dibangun atau masih berupa tanah kosong. Dikatakan
32
R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. 2, Bandung : Tarsito, 1991, hal. 7. 33 Wawancara dengan Bapak Novan Irawan, S.H, Mkn., selaku Notaris di Kota Medan, tanggal 2 maret 2009. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
demikian karena penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut bertentangan dengan : 4. Isi/klausul dalam surat perjanjian pengikatan jual beli, yang intinya menyatakan: Penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah akan dilaksanakan dengan syarat harga pembelian rumah sudah lunas dan rumah tersebut sudah selesai dibangun dan siap diserahterimakan kepada pembeli, serta hak atas tanah tempat berdirinya rumah sudah bersetifikat atas nama pengembang. 34 5. Angka X butir (1) huruf (a) dan (b) keputusan menteri Negara perumahan rakyat nomor 09/KPTS/M/1995 tentang pedoman pengikatan
jual beli rumah, yang
berbunyi: 35 a. Akta jual beli tanah dan bangunan rumah harus ditandatangani oelh penjual dan pembeli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal telah dipenuhi aspek-aspek sebagai berikut : 1) Bangunan rumah telah selesai dibangun diatas tanah dan telah siap utnuk dihuni; 2) Pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah berserta pajak dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan itu;
34
Pasal 9 Pengikatan Jual Beli PT. Ira Setia Budi dengan Pembeli No.456/IRASB/IV/2006. Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat, Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, Kepmen Perumahan Rakyat no. 09/KPTS/M/1995, angka X butir (1) huruf (a) dan (b). 35
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dari ketentuan di atas dapat dipahami bahwa penandatanganan akta jual beli rumah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah antara pengembang dengan pembeli, syaratnya adalah : 1. Rumah yang menjadi objek jual beli sudah selesai dibangun dan siap dihuni oleh konsumen. 2. Harga pembelian rumah sudah dilunasi oleh konsumen kepada pengembang. 3. Isi/klausul perjanjian yang terdapat dalam akta jual beli, khusunya isi/klausul tentang: “Mulai hari ini (maksudnya hari dan tanggal pada saat akta jual beli ditandatangaini) obyek jual beli yang diuraikan dalam akta ini telah menjadi milik pihak kedua (maksudnya konsumen) dan karenanya segala keuntungan yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas obyek jual beli terebut diatas menjadi hak/beban kedua (maksudnya pembeli)”. Dan klausul tentang : “Jual beli ini meliputi pula: (biasanya dalam akta jual beli diisi/disebutkan tanah berikut bangunan seluas beberapa meter yang berdiri diatasnya, setempat dikenal jalan apa”. Dikatakan bertentangan dengan isi/klusul jual beli dimaksud, karena secara de fackto konsumen belum menerima fisik (memiliki) bangunan rumah, tetapi dalam klausul akta jual beli konsumen sudah dikatakan telah memiliki rumah, bahkan sudah dinyatakan akan menanggung segala keuntungan dan kerugian yang timbul setelah ditandatangani akta jual beli tersebut. Meskipun akta jual beli tersebut merupakan undang-undang, serta asas pacta sunt servanda bagi mereka yang membuatnya, tetapi Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
pembuatannya menyalahi atau melanggar klausul yang terdapat dalam akta jual beli itu sendiri. Pembuatan akta jual beli tersebut juga dikategorikan menyalahi itikad baik yang diatur pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan, persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan itikad baik tersebut. Kalaupun ada ketentuan yang mencoba mendefinisikan itikad baik tersebut, tetapi definisi itu masih juga menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna itikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada penafsiran itikad baik dalam praktek peradilan. 36 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atas rumah yang belum dibangun (sistem indent) antara pengembang dengan konsumen bertentangan angka X butir (1) huruf (a) dan (b) Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Jika dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, pelaksanaan akta jual beli dimaksud diatas tidak dapat dikatagorikan melanggar pasal 18 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dikatakan demikian karena klasul baku mengenai pengalihan tanggung jawab dari pengembang (penjual) kepada konsumen
36
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, cet. 1, Jakarta : Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universita Indonesia, 2003, hal. 7. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
yang tercantum dalam blangko akta jual beli. Blangko akta jual beli itu sendiri adalah merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang intinya bercirikan : bentuk aktanya ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum dan dimana tempat akta itu dibuat. Mengenai akta jual beli merupakan akta otentik dipertegas dalam pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah junto pasal 1 ayat (1), pasal 2 dan pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang intinya menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta pemindahan hak atas tanah yang kedudukannya sebagai akta otentik untuk pembuatan hukum antara lain seperti jual beli, tukar menukar, hibah. Menurut pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Blangko Akta Jual Beli Itu Sendiri Dibuat
Atau
Dicetak
Oleh
Menteri.
Menurut
Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, Yang Dimaksud Dengan Menteri Adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam prakteknya penandatangan akta jual beli atas rumah yang belum (sedang proses) dibangun (sistem indent) melalui kredit pemilikan rumah lebih cenderung dilaksanakan atas kehendak atau keinginan pengembang semata. Hal ini Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
semata-mata guna kepentingan pengembangan untuk mendapatkan pencairan dana/plafon kredit pemilikan rumah dari bank. Padahal pencantuman klausul baku dalam blanko akta jual beli sengaja dibuat untuk transaksi jual beli rumah yang pembayarannya sudah lunas dan rumahnya sudah selesai (ada) dan siap diserah terimakan pada saat yang bersamaan dengan penandatanganan akta jual beli. Hal ini sesuai dengan asas “terang” dan “tunai” yang dianut dalam masyarakat adat Indonesia. Disamping itu penandatanganan akta jual beli atas rumah dengan sistem indent bertentangan dengan asas kepatutan, kebiasaan dan keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat, meskipun para pihak “menghendaki” pelaksanaan penandatanganan akta jual beli tersebut.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
BAB III DAMPAK YURIDIS YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN AKTA JUAL BELI RUMAH DENGAN SISTEM INDENT MELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH
A. Jual Beli Tanah Berikut Rumah Diatasnya Berkembangnya pelbagai aktivitas anggota masyarakat guna memanfaatkan tanah telah mendorong adanya pengaturan perihal sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman, mengingat tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah. Akan tetapi, harus digunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. 37 Penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, 38 yang dalam pasal 4 dinyatakan tujuan penataan perumahan dan permukiman adalah untuk: 39
37
Sahat HMT Sinaga, op. cit., hal. 1. Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, cet. 1, 2005, hal. 32. 39 Sahat HMT, op. cit., hal. 2. 38
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat; b. menyediakan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur; c. memberikan arah pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran penduduk yang rasional; d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidangbidang lain.
Bidang Pertanahan memegang peranan penting dalam pembangunan perumahan dan permukiman, 40 sehingga dari segi pengaturan bidang pertanahan berkaitan secara erat dengan pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman, baik dalam tahapan persiapan perolehan tanah, pembangunan perumahan dan permukiman sampai kepada nantinya dilakukan peralihan hak atas tanah kepada anggota masyarakat yang akan memilikinya. Pada prakteknya kerapkali dalam pelaksanaan jual beli tanah, pada saat penjual dan pembeli mencapai kata sepakat untuk mengadakan jual beli atas tanah belum dapat langsung dilaksanakan penandatanganan Akta Jual Beli sebagai salah satu bentuk akta tanah yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, terdapat
40
Kamarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Jakarta: Yayasan Realestat Indonesia, cet. 1, 1996, hal. 32. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
syarat-syarat formal yang harus dipenuhi, yakni syarat-syarat umum terdiri dari sertipikat hak milik, kartu tanda penduduk, dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, serta bukti pembayaran PPh untuk penjual dan surat SSB (BPHTB) untuk pembeli. 41 Selain alasan belum terpenuhinya syarat-syarat formal dimaksud, dalam hal pembayaran harga jual beli dilakukan secara mencicil, sertipikat tanda bukti hak atas tanah masih dalam proses balik nama ke atas nama Penjual. Atau sedangkan dalam proses penerbitan sertipikat Induk atas nama Badan Usaha (misalnya atas nama Perseroan Terbatas) penandatanganan Akta Jual Beli dan pendaftaran pencatatan peralihan haknya dalam Sertipikat tanda bukti hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan belum dapat dilangsungkan. 42 Pada saat syarat-syarat yang diuraikan sebelum ini telah dipenuhi apabila pihak Penjual adalah badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman terdapat persyaratan tambahan lain berupa telah didirikan bangunan di atas tanah yang dimaksud, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-
41
J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta: Kanisius, cet.1, 2001), hal. 122. SSB atau Surat Setoran Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Badan Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, demikian Pasal 1 ayat 9 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. 42 Sahat HMT Sinaga, op. cit., hal. 4-5. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, bahwa Badan Usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah. Larangan jual beli tanah kosong atau belum dibangun di areal perumahan/real estat sebelumnya telah diatur dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria Nomor Btu.4/233/4-78 perihal perusahaan yang bergerak dalam bidang pengembangan perumahan/real estat yang merupakan salah satu tindak lanjut dari Pasal 12 Peraturan Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan. Namun setelah diterbitkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Dan Permukiman R.I. Nomor 109/UM.01.01/M/09/09 tertanggal 27 September 1999 Perihal Pedoman penjualan kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang oleh badan usaha di bidang pengembangan perumahan dan permukiman yang dalam alinea terakhir, dinyatakan: Khusus dalam menghadapi krisis moneter dan krisis ekonomi yang sedang dialami sesuai dengan persetujuan Presiden Republik Indonesia, badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman dapat menjual kaveling tanah matang ukuran menengah (luas kaveling diatas 200 m2 sampai dengan 600 m2) untuk pembangunan rumah menengah berbanding 2 (dua) kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang, selama 2 (dua) tahun sampai dengan tahun 2001 dengan tetap mengikuti ketentuan a.3 s/d dan b.1 s/d b.3.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dengan terbitnya surat Menteri di atas, banyak badan usaha di bidang perumahan dan permukiman kemudian melakukan jual tanah tanpa bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut. Pada umumnya antara badan usaha dengan pembeli dibuat perjanjian pengikatan jual beli, baik dalam bentuk di bawah tangan maupun akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris. Dalam praktik kebiasaan jual beli tanah juga sebelum terjadinya krisis ekonomi sebelum tahun 1997 lazim dibuat suatu perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan untuk sementara menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokoknya yaitu jual beli di hadapan PPAT yang berwenang untuk membuatnya. Mengingat posisinya sebagai perjanjian pendahuluan, dalam perjanjian pengikatan jual beli biasanya dimuat janji-janji dari calon Penjual dan calon Pembeli yang pada dasarnya menyepakati, apabila syarat-syarat untuk dilaksanakan penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT maka para pihak sepakat akan hadir di hadapan PPAT yang berwenang untuk membuatnya, guna melaksanakan penandantanganan akta jual beli. Ada kejadian setelah seluruh syarat untuk pelaksanaan jual terpenuhi. Penjual tidak dapat hadir di hadapan PPAT guna menandatangani akta jual beli. Keadaan yang demikian itu tentu akan sangat
merugikan kepentingan Pembeli yang telah memenuhi seluruh
kewajibannya termasuk melunasi harga jual beli yang disepakati. Menurut teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir suatu perikatan yang mempunyai akibat Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
hukum bagi para pihak. Akibatnya, pihak yang dirugikan karena percaya pada janji-janji pihak lawannya tidak terlindungi dan tidak dapat menuntut ganti. 43 Menurut hukum adat yang merupakan dasar dari hukum tanah nasional yang berlaku sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomo 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli telah terjadi sejak ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan dibayarnya harga oleh Pembeli kepada Penjual. Pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli berarti pemindahan penguasaan secara yuridis dan secara fisik sekaligus. Walaupun adakalanya pemindahan hak tersebut baru secara yuridis saja karena secara fisik tanah masih dibawah penguasaan orang lain, misalnya karena hubungan sewa yang belum berakhir waktunya. 44 Di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan mengenai status bangunan atau rumah yang berdiri di atas tanah, karena berdasarkan asas pemisahan horizontal dimungkinkan pemilikan dan peralihan benda-benda di atas tanah itu terlepas dari
43
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media, cet.3, 2005, hal. 3. 44 Sahat HMT Sinaga, op. cit., hal. 19. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
tanahnya. 45 Oleh karena itu pelaksanaan jual beli tanah berikut rumah atau bangunan harus memenuhi syarat: 46 a) Bahwa bangunan tersebut menurut sifatnya menjadi satu kesatuan dengan tanahnya; b) Bahwa pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, pemilik bangunan tersebut; c) Dalam akta jual belinya disebutkan secara tegas bahwa obyek jual belinya adalah tanah hak berikut rumah atau bangunan.
Dalam perkembangan praktek, jual beli tanah berikut bangunan (miaslnya rumah tinggal) yang didirikan di atasnya adalah yang paling sering terjadi terutama di daerah perkotaan. Bangunan didirikan setelah memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) dari instansi yang berwenang. Penerbitan IMB diproses berdasarkan kelengkapan dokumen yang dapat membuktikan hubungan hukum (biasanya hubungan kepemilikan) antara pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan yanag akan didirikan di atas tanah dimaksud. Pembuktian lain adalah mengacu kepada pembayaran BPHTB yang harus dibayar oleh calon penerima/pemegang hak atas tanah dan bangunan sebelum akta jual beli ditandatangani di hadapan PPAT yang berwenang. Dalam formulir pembayaran BPHTB dicantumkan secara jelas dan rinci luas tanah dan luas bangunan serta besar pajak (bea) yang wajib dibayar oleh wajib pajak.
45
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, cet. 1, 1996, hal. 85. 46 Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, cet. 1, 2005, hal.58. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Alat kontrol lain yang dapat dipakai oleh PPAT dalam hal adanya bangunan (rumah tinggal) yang berdiri di atas tanah yang menjadi objek jual beli, adalah dengan adanya proses peningkatan hak atas tanah dari misalnya Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik sebagaimana hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 Tahun 1998 tanggal 26 Juni 1998 yang menyatakan adanya bangunan (rumah tinggal) sebelum peningkatan hak atas tanah menuju Hak Milik dilakukan. Hal itu dibuktikan dengan adanya IMB dan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencantumkan adanya bangunan. PPAT akan mencantumkan dalam blanko akta jual beli, bahwa jual beli meliputi tanah dan bangunan yang berdiri di atas tanah yang menjadi obyek jual beli, setelah dilakukan pembayaran BPHTB yang juga meliputi bangunan, yang besarnya sesuai dengan harga jual beli tanah dan bangunan dengan ambang batas minimal adalah nilai jual objek pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun pajak jual beli tanah dilangsungkan. 47 Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dinyatakan: (1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
47
Sahat HMT Sinaga, op. cit., hal. 19.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
yang berwenanag menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warganegara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Dari ketentuan tersebut pada prinsipnya peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan oleh petugas Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan wilayah kerja lokasi tanah yang menjadi objek pendaftaran, jika hal itu dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.. Sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Adapun yang dimaksud dengan Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya (misalnya dalam perbuatan hukum Jual Beli dihadiri oleh Penjual dan Pembeli atau Kuasanya), disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu, yang dapat memberikan Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
kesaksian mengenai kehadiran para pihak, kelengkapan dokumen-dokumen yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak dengan dihadiri para saksi, serta menjelaskan sehingga pada pihak mengerti tentang apa yang ditandatanganinya sebagai bukti persetujuan atas perbuatan hukum yang dimaksud dalam akta yang ditandatangani. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah tersebut, dimuat ketentuan perihal PPAT menolak untuk membuat Akta Jual Beli, jika: a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1) surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemebang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. salah satu pihak atau pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak atau e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
B. Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Rumah Dengan Sistem Indent Dalam Kredit Pemilikan Rumah 1. Tinjauan Hukum Terhadap pelaksanaan akta jual beli terhadap konsumen, pengembang dan bank Seperti yang sudah diuraikan diatas, bahwa pelaksanaan penandatanganan akta jual beli dihadapan pejabat pembuat akta tanah atas rumah yang belum dibangun antara pengembang dengan konsumen akan menimbulkan akibat atau dampak yuridis terhadap para pihak yang membuatnya. Apalagi jika jual beli rumah tersebut mempergunakan fasilitas kredit pemilikan rimah dari bank, yang mana pihak bank juga akan terkena akibat atau dampak yuridisnya. Dampak yuridis tersebut akan menjadi persoalan hukum, jika akta jual beli tersebut dipermasalahkan secara hukum oleh salah satu pihak yang merawsa dirugikan, misalnya jika pengembang cidera janji dengan tidak membangun ataupun telat menyerahkan rumah yang menhadi objek jual beli kepada konsumen atau menyerahkan rumah yang tidak sesuai dengan spesifikasi bahan bangunan dan desain tumah yang telah disepakati didalam perjanjian. Pada prakteknya, meskipun pelaksanaan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atas rumah yang belum dibangun bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta bertentangan dengan asas kepatutan, kebiasaan dan keadilan yang hidup dan berkembang dimasyarakat (asa terang dan tunai), akta jual beli tersebut sering dibuat dan
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
ditandatangani oleh pengembang dengan konsumen. Para pihak yang terlibat seolah tutup mata dan menganggap perbuatannya seolah-olah tidak ada implikasi hukumnya. Dengan ditandatanganinya akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atas rumah yang belum dibangun akan berdampak atau mengakibatkan pihak pembeli pada posisi atau keadaan yang sangat lemah dan dirugikan secara hukum. Apalagi jika jual beli tersebut melalui kredit pemilikan rumah dimana antara konsumen dengan bank telah melaksanakan akad kredit (penandatanganan akta perjanjian kredit, akta pengajuan hutang, surat kuasa membebankan hak tanggungn akta pemberian hak tanggungan). Biasanya pelaksanaan akad kredit bersamaan dengan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Posisi pembeli dikatakan lemah dan dirugikan secara hukum adalah karena dengan ditandatanganinya akta jual beli dan akad kredit dengan bank tersebut menyebabkan pembeli pada posisi atau keadaan seolah-olahh telah menerima objek jual beli (tanah berikut rumah) termasuk segala resiko keuntungan/kerugian yang mungkin timbul, meskipun pada kenyataannya belum dilakukan serah terima tanah berikut rumah secara fisik dari pengembang. Padahal pembeli telah melunasi harga pembelian rumah (melunasi uang muka dan pelunasan melalui kredit pemilikan rumah dari bank). Posisi atau keadaan yang menempatkan konsumen seolah-olah telah menerima tanah berikut rumah dan akan menanggung resiko yang mungkin timbul tersebut adalah berdasarkan isi/klausul yang terdapat dalam akta jual beli, yang intinya mengatakan dengan ditandatangani akta jual beli tersebut, maka tanah Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
berikut rumah telah menjadi milik konsumen termasuk keuntungan dan kerugian yang akan timbul. Dampak yuridis lainnya yang merugikan konsumen adalah konsumen diwajibkan membayar cicilan kredit pemilikan rumah kepada bank setiap bulannya, meskipun tanah berikut rumahnya belum diterima. Kewajiban tersebut timbul berdasarkan perjanjian kredit yang telah dibuat dan ditandatangani oleh konsumen dengan pihak bank. Bahkan jika konsumen telat membayar cicilan kredit pemilikan rumah kepada bank, konsumen akan dikenakan denda keterlambatan. Dalam kredit pemilikan rumah, konsumen dikenakan bunga pinjaman, biaya administrasi, provisi, premi asuransi jiwa dan kebakaran, biaya notaries untuk pembuatan akad (perjanjian kredit), pengakuan hutang, surat kuasa membebankan hak tanggungan/akta pemberian hak tanggungan) oleh bank. Apabila konsumen memberhentikan secara sepihak (tidak melanjutkan lagi) cicilan kredit pemilikan rumahnya, dampak yuridisnya adalah pihak bank akan melakukan eksekusi denga cara menjual agunan kredit (tanah berikut rumah) kepada pihak lain berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani antara konsumen dengan bank dapat mengeksekusi berdasarkan pasal 6 junto pasal 14 ayat (2) dan (3), serta pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Undang-Undang Hak Tanggungan).
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan :Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan: Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan katakata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa kantor pertanahan akan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sebagai bukti adanya hak tanggungan. Selanjutnya pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan: Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypoheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Kemudian pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Hak tanggungan menyatakan: apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau b. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 (2), obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului dari kreditur lainnya. Jika agunan kredit belum dapat dipasang hak tanggungan, maka bank dapat mengeksekusi berdasarkan grose akta pengakuan hutang. Hal ini seperti diatur pasal 224 HIR. Sebgaimana yang sudah ditegaskan, pasal 224 HIR, mengenal dua bentuk grose akta : 48 1. Grose
akta
pengakuan
hutang
(notarieele
schuldbriven,
debenture,
acknowledgement of indebtednessi, dan 2. Groe aktahipotik (grose akta van hypoteek). Dari pasal 224 HIR dapat disimpulkan bahwa suatu grose akta hipotik (sekarang hak tanggungan) dan surat hutang (pengakuan hutang) yang dibaut dihadapan notaries dan yang kepala aktanya memakai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan hukum tetap, artinya, eksekusi langsung dapat simohonkan pelaksanaannya karena eksekusinya mempunyai kekuatan eksekutorial. Berdasarkan pasal 1 peraturan jabatan notaries, atau permohonan dari pihak yang menghendaki, notaries dapat memberikan grose atas akta pengakuan hutang
48
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cet. 3,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991, hal. 1. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
yang dibuatnya. Grose akta tersebut memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika bank tidak mau mempergunakan eksekusi berdasarkan akta mau mempergunakan eksekusi berdasarkan akta pengakuan hutang seperti dimaksud diatas, bank dapat meminta pengembang untuk membeli (buy back) agunan kredit seharga out standing (sisa hutang pokok berikut bunga dan denda keterlambatan) terakhir. Hal ini berdasarkan klausul Buy Back Guarantee dalam penyajian kerjasama pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah yang dibuat dan ditandatangani antar pihak bank dengan pengembang. Buy back itu sendiri adalah diadakan untuk melindungi kepentingan pihak bank yang telah mengeluarkan dana pelunasan dalam transaksi jual beli rumah antara konsumen dengan pengembang. Buy back guarantee adalah jaminan yang diberikan pengembang kepada bank untuk membeli kembali agunan kredit dalam kredit pemilikan rumah yang macet, yaitu dengan cara jalan mengambil alih out standing terakhir di bank. Jaminan yang diberikan tersebut diatas akan berakhir jika proses balik nama sertifikat keatas nama konsumen sudah selesai dan sertifikat tersebut diatas akan berakhir jika proses balik nama sertifikat keatas nama konsumen sudah selesai dan sertifikat tersebut siap atau sudah dipasang hak tanggungan oleh bank, serta rumah yang menjadi objek agunan kredit sudah selesai dan diserahkan kepada pembeli. Dalam prakteknya pelaksanaan buy back guarantee dilakukan dengan pembuatan akta subrogasi antara bank dengan pengembang tanpa mengikutsertakan pembeli. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Lebih jauh lagi bank akan melaporkan kredit macet yang dilakukan oleh konsumen kepada Bank Indonesia, yang berakibat konsumen tidak dapat meminjam lagi kredit pada bank seluruh Indonesia. Dalam prakteknya pembeli tidak mendapatkan kembali seluruh uang yang sudah dibayarkan/disetor kepada bank. Hal ini disebabkan hasil penjualan/pelelangan (eksekusi) rumah oleh bank hanya dapat menutupi out standing (sisa hutang pokok berikut bunga dan denda keterlambatan). Dalam prakteknya, penjualan/pelelangan yang dilakukan oleh bank menginginkan secara cepat agar hasil penjualan/pelelangan rumah terebut dapat segeramenutupi kredit pemilikan rumah yang macet. Pada akhirnya dalam keadaan seperti diatas, konsumen tidak mendapatkan apa-apa atau dengan kata lain pembeli sangat dirugikan. Dalam kondisi demikian konsumen dapat menuntut ganti rugi (tuntutan perdata) ataupun menuntut secara pidana kepada pengembang yang telah melakukan wan prestasi atas perjanjian yang telah disepakati dan disetujui bersama. Disamping itu pembeli juga dapat menuntut pihak bank atas pelaksanan eksekusi (penjualan/pelelangan) atas tanah berikut rumah. Adapun dampak yuridis pengembang atas pelaksanaan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atas rumah yang belum dibangun dan sudah dilaksanakan akad kredit adalah bahwa pengembang secara hukum telah mengalihkan obyek jual beli (tanah berikut rumah) kepada pihak konsumen, meskipun pada kenyataanyanya rumah secara fisik belum diserahkan kepada konsumen. Selanjutnya akta jual beli tersebut akan dijadikan dasar (perjanjian pokok) Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
pelaksanaan akad kredit antara konsumen/debitur dengan bank dalam kredit pemilikan rumah. Dengan pelaksanaannya akad kredit tersebut, maka pengembang akan menerima pencairan dana kredit pemilikan rumah dari bank yahng merupakan pelunasan atas pembelian rumah oleh pembeli. Tanpa adanya pelaksanaan akad kerdit, maka tidak akan ada pencairan dana kredit pemilikan rumah dari bank kepada pengembang. Setelah krisis moneter dan pasca pemerintah melikuidasi beberapa bank, bank-bank pemberi kredit pemilikan rumah tidak mau lagi melaksanakan akad kredit sebelum ditandatanganinya akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebelum krisi moneter dan penlikuidasian beberapa bank, bank pemberi kredit pemilikan rumah banyak melaksanakan akad kredit dengan alas hak atau jaminan berbentuk surat pengikatan jaminan melalui pengikatan cassie. Selama pengembang tidak melakukan pembangunan konstruksi bangunan rumah, maka dampak yuridisnya adalah pengembang tidak akan mendapat pencairan dana kredit pemilikan rumah dari bank, meskipun telah dilaksanakan akad kredit. Ketentuan pencairan ini diatur dalam perjanjian kerjasama pemberian fasilitas kredit pemilikan rumahyang dibuat antara pemgembang dengan bank. Dalam prakteknya pencairan dana kredit pemilikan rumah tidak disalurkan kepada konsumen, melainkan disalurkan kepada pengembang ke dalam bentuk rekening Escroe Account (rekening yang dikelola oleh pengembang bersama bank) ataupun dalam bentuk deposito. Dalam kredit pemilikan rumah indent, biasanya Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
pencairan dari bank kepada pengembang dilakukan secara bertahap sesuai progress fisik bangunan, misalnya: pencairan pertama dilakukan pada saat akad kredit sebesar harga tanah atau 50 % (lima puluh persen) dari sisa plafon kredit yang belum dicairkan, yaitu setelah fisik bangunan rumah mencapai 50 % (lima puluh persen), dan pencairan ketiga sebesar sisa plafon kredit yang tersisa, yakni setelah bangunan rumah selesai 100 % (seratus persen) dan sudah diserahkan kepada konsumen, serta sertifikat, izin mendirikan bangunan atas nama pembeli telah selesai dan diserahkan kepada bank. 49 Apabila setelah dilakukan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah pengembang melakukan wan prestasi tidak memenuhi kewajibannya membangun dan menyerahkan rumah kepada konsumen, maka pengembang dapat dituntut secara perdata dan pidana oleh konsumen, juga dapat diminta oleh bank berdasarkan perjanjian kerjasama yang telah ditandatangani untuk membeli kembali (buy back) agunan kredit (rumah) sebesar out standing (jumlah hutang terakhir). Dalam Pasal 1267 KUH Perdata dinyatakan, Pihak yang merasa perjanjian tidak dipenuhi, boleh memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilkukan, akan memaksa pihak yang lainnya untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian itu disertai penggantian biaya, rugi dan bunga.
49
Hasil wawancara Bapak Firman, selaku Direktur PT. Ira Setia Budi, di Medan tanggal 28 Februari 2009. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dari isi Pasal 1267 KUH Perdata di atas, dapat dipahami bahwa konsumen sebagai pihak yang dirugikan pengembang dapat melakukan tuntutan sebagai berikut: a. Pemenuhan perjanjian; b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c. Ganti rugi saja; d. Pembatalan perjanjian; e. Pembatalan disertai ganti rugi. Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur, yaitu : biaya (segala pengeluaran yang telah dikeluarkan), ganti rugi (perbuatan yang menimbulkan kerugian) dan bunga (kerugian yang berupa kehilangan keuntungan). Biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli dalam transaksi jual beli rumah dengan sistem indent melalui kredit pemilikan rumah adalah : a. Uang tanda jadi (booking fee); b. Uang muka (down payment); c. Pajak pertambahan nilai; d. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB); e. Biaya akta jual beli dan proses balik nama sertifikat; f. Biaya notaris untuk akad kredit di bank, provisi, administrasi, premi asuransi jiwa dan asuransi kebakaran; g. Angsuran atau cicilan kredit (hutang pokok dan bunga).
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Berdasarkan pasal 1267 KUH Perdata, semua pengeluaran yang telah dikeluarkan
oleh
konsumen
seperti
diuraikan
diatas
dapat
dimintakan
pengembaliannya kepada pengembang. Bahkan pembeli dapat menuntut bunga atas kerugian yang berupa kehilangan keuntungan. Di samping membayar ganti rugi seperti yang diatur dalam KUH Perdata, pengembang dapat dikenakan sanksi pidana, yaitu : 1. perbuatan menyuruh memberikan keterangan palsu didalam akta otentik, yang diatur dalam pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun. 2. perbuatan penipuan, yang diatur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun. Dalam prakteknya transasksi jual beli rumah dengan sistem indent melalui fasilitas kredit pemilikan rumah, pengembang “meminta” konsumen untuk segera melaksanakan akad kredit dengan bank setelah aplikasi kredit pemilikan rumahnya disetujui oleh bank. Dengan dilaksanakannya akad kredit pemilikan rumah dari bank. Padahal untuk melaksanakan akad kredit, pihak bank mensyaratkan kepada pengembang untuk menandatangani akta jual beli dengan konsumen dihadapan pejabat pembuat akata tanah terlebih dahulu. Dari uraian di atas terlihat bahwa pengembang mempunyai kepentingan agar melaksanakan akta jual beli dan akad kredit dilaksanakan lebih dahulu (secara bersamaan), walaupun rumah yang menjadi obyek jual beli sekaligus yang akan Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
menjadi agunan kredit pemilikan rumah belum dibangun dan diserahkan kepada konsumen. Dengan demikian keterangan palsu seperti yang diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dikatakan demikian karena berdasarkan isi/klausul akta jual beli, obyek jual beli (tanah dan bangunan rumah) termasuk keuntungan dan kerugian yang akan timbul dinyatakan sudah beralih atau menjadi meilik konsumen. Padahal dalam kenyataannya pengembang belum membangun dan menyerahkan tanah dan bangunan dan menyerahkan tanah dan bangunan rumah secara nyata (feitelijk levering) kepada konsumen. Kesimpulannya, pengembang telah memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam akta jual beli yang merupakan akta otentik berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bahkan lebih lanjut pengembang dapat dikategorikan melakukan tindakan penipuan seperti yang diatur dalam pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika pengembang tidak dapat membangun rumah dan menyerahkan kepada konsumen sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dan diperjanjikan sebelumnya. Dalam hal pengembanga berkeinginan untuk tetap membangun dan menyerahkan rumah kepada pembeli (serah terima telah lewat dari wktu yang disepakati), maka pembeli dapat meminta pengembang untuk membayar denda keterlambatan yang besarnya berdasarkan surat perjanjjian pengikat jual beli yang dibuat dan ditangani oleh pengembang dan pembeli, yang isinya merujuk kepada Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Menurut angka II butir (5) Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, menyatakan: Apabila penjual lalai untuk menyerahkan tanah dan bangunan rumah tepat waktu sepertu yang diperjanjikan kepada pembeli, diwajibkan membayar denda keterlambatan penyerahan tersebut sebesar 20/000 (dua perseribu) dari jumlah total harga tanah dan bangunan rumah untuk setiap hari keterlambatannya. 50 Dalam hal penyerahan tanah berikut rumah kepada pembeli telah lewat waktu (telat) dan rumah yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi bahan bangunan yang disepakati dan diperjanjjikan sebelumnya, pengembang sebagai pelaku usaha dapat juga dikategorikan telah melanggar pasal 8 ayat (1) huruf (f) junto pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan angka II butir (1) Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Pasal 8 ayat (1) huruf (f) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan :
50
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang
Pengikatan Jual Beli Rumah, op. cit., angka 2 butir (5). Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : (f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; Sedangkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk : a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. Tidak menepatai janji atas suatu pelayanan dan/atau perstasi. Apabila pengembang melanggar pasal 8 ayat (1) huruf (f) dimaksud di atas (misal: bangunan rumah tidak sesuai dengan spesifikasi bahan bangunan), pengembang dapat dikenakan sanksi berdsarkan pasal 62 ayat (1), yaitu sanksi berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Sedangkan pelanggaran terhadap pasal 16 seperti disebutkan diatas (misal : pengembang telat menyerahkan tanah berikut rumah), pengembang dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana sendan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sanksi pidana tersebut diatas berdasarkan pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dijatukan hukuman tambahan, antara lain berupa : Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
a. Pembayaran ganti rugi; b. Pemerintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; c. Pencabutan izin usaha. Angka II butir (1) Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, menyatakan, Penjual wajib melaksanakan pendirian bangunan sesuai waktu yang telah diperjanjikan menurut gambar arsiktektur, gambar denah, dan spesifikasi teknis bangunan, yang telah disetujui dan ditandatangani bersama oleh kedua belah pihak dan dilampirkan, yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam akta pengikatan jual beli rumah tersebut. Pelanggaran terhadap angka II butir (1) keputusan menteri negara perumahan rakyat nomor 09/KPTS/M/1995 tentang pedoman pengikatan perjanjian pengikatan jual beli rumah yang sudah ditandatangani menjadi batal.
2. Tinjauan Hukum terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris Seperti diketahui bahwa para pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli rumah dengan sistem indet melalui kredit pemilikan rumah adalah pengembang
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
(penjual), konsumen merangkap sebagai debitur, dan bank (kreditur). Para pihak tersebut masing-masing terlibat hubungan hukum yang berbeda, yaitu : a. Antara pengembang dengan konsumen terikat hubungan hukum jual beli tanah berikut rumah. b. Antara konsumen sebagai debitur dengan bank terikat hubungan hukum perjanjian kredit dan pengakuan hutang. Hubungan jual beli antara pengembang dengan konsumen secara yuridis formal harus dilakukan dengan akta jual beli yang dibuat/dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini sesuai dengan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, junto pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, junto pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tangungan Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, junto pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (1), (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dikatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik perbuatan hukum (jual beli) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. Dalam melakukan tugasnya memebuat akta jual beli, pejabat pembuat akata tanah harus berpegangan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Pembuat Akta Tanah Dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan, Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Sedangkan pasal 18 ayat (1), (2), Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Pemerintah Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyatakan : 1. Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang tersedua secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya. 2. Pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kejadian status dan data yang benar dan didukung oleh dokumen yang menurut pengetahuan PPAT yang bersangkutan adalah benar. Dari
ketentuan
tersebut
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
sebelum
ditandatangani akta jual beli tersebut, selain harus dibacakan juga harus dijelaskan Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
isinya dengan jelas kepada para pihak yang berkepentingan dan isinya pun harus sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar yang didukung oleh dokumen yang berdasarkan pengetahuan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah benar. Menjadi persoalan, bagaimana jika seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat akta jual beli atas rumah yang belum ada wujudnya dan belum diserahkan kepada konsumen (sistem indent). Dalam pembuatan akta jual beli tersebut, dicantumkan kata-kata “jual beli tersebut berikut dengan bangunan rumah” oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dimaksud telah mengetahui bahwa rumah yang objek jual beli belum dibangun dan diserahkan secara nyata (fisik) dari pengembang (penjual) kepada konsumen. Di samping itu pejabat akta tanah dimaksud juga sudah mengetahui bahwa standar blanko akta jual beli (bentuj dan isinya telah ditentukan menteri) terdapat isi/klusul yang menyatakan bahwa dengan ditandatanganinya akta jual beli tersebut telah terjadi pengalihan obyek jual beli (tanah berilkut rumah) dari pengembang kepada konsumen, termasuk didalamnya resiko keuntungan atau kerugian yang mungkin timbul. Berdasarkan pasal 1459 KUH Perdata, hak milik atas rumah (barang tidak bergerak) akan berpindah setelah dilakukan penyerahan secara yuridis (juridische levering), yakni penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah guna proses balik nama sertifikat keatas nama konsumen maupun penyerahan nyata (feitelijk levering), yakni penyerahan kunci (fisik rumah). Intinya Pejabat
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Pembuat Akta Tanah tersebut telah membenarkan hal yang tidak sebenarnya terjadi antara fakta dengan isi yang terdapat dalam akta jual beli yang dibuatnya. Dalam keadaan seperti diatas Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut dapat dikatagorikan telah melanggar pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, junto pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu telah membuatakta jaul beli yang bertentangan antara fakta yang sebenarnya dengan isi/klusul yang terdapat dalam akta jual beli tersebut, meskipun pembuatan akta jual beli tersebut atas “permintaan” para pihak, khususnya pihak pengembang. Dampak yuridis dari pembuatan jual beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif seperti yang diatur pasal 10 ayat (1) huruf (c) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah junto pasal 38 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut berdasarkan ketentuan diatas dikatagorikan telah melakukan pelanggaran ringan. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap Pejabat Pembuat Akta Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Tanah yang telah melakukan pelanggaran tersebut adalah dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebelum sanksi tersebut dijatuhkan, Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut diberi kesempatan utnuk mengajukan pembelaan diri kepada menteri. Bahkan pihak konsumen yang merasa dirugikan akibat pembuatan akta jual beli tersebut (misal: pengembang tidak dapat menyerahkan rumah) dapat menuntut Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut dengan tuntutan telah membuat dan memasukkan keterangan yang tidak sebenarnya dalam akta otentik (akta jual beli). Perbuatan tersebut diatas dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal 263 ayat (1) junto pasal 264 ayat (1) angka (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun. Dampak yuridis notaris yang memuat akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang dan surat kuasa membebankan hak tanggungan/akta pemberian hak tanggungan dalam hubungan hukum pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah adalah dapat dikategorikan telah melanggar pasal 1 peraturan jabatan notaries di Indonesia (ordonantie staatsblad 1860 nomor 3) atau sering disebut Peraturan Jabatan Notaris dan pasal 263 ayat (1) junto pasal 264 ayat (1) angka (1) Kitab-Kitab Hukum Pidana. Dalam praktek pelaksanaan akad kredit (penandatanganan akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, surat kuasa membebankan hak tanggungan/akta pemberian hak tanggungan/akta pemberian hak tanggungan) dan penandatanganan akta jual beli, biasanya dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Akta Tanah dan notaris oleh orang yang sama. Akta perjanjian kredit, pengakuan hutang, surat kuasa membebankan hak tanggungan yang dibuat dihadapan notaris adalah merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud pasal 1868 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dikatakan melanggar ketentuan pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris adalah karena notaris tersebut telah membiarkan dan memasukkan agunan kredit yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (rumahnya belum dibangun/ada) didalam akta perjanjian kredit atau surat kuasa membebankan hak tanggungan (jika belum dapat dibuat akta pemberian haktanggungan). Padahal notaris tersebut telah mengetahui dari pihak bahwa transaksi jual beli rumah yang akan dibiayai oleh bank tersebut adalah sistem indent (rumah belum ada/selesai dibangun). Dari pasal 1 peraturan jabatan notaris dikatakan bahwa notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki utnuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Artisnya perkataan “perbuatan, perjanjian dan ketetapan” senantiasa diartikan merupakan perbuatan orang-orang yang menugaskan kepada notaris untuk membuat akta. Isi keterangan yang dimuat dalam dalam akta tersebut berlaku sebagai yang benar, isinya tersebut mempunyai kepastian sebagai perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu perbuatan hukum yang tidak pernah dilakukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam pembuatan akta perjanjian kredit. Perbuatan hukum tersebut dimaksud adalah debitur untuk telah menerima dan/atau memiliki bangunan rumah dari pengembang yang akan dijadikan Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
agunan kredit dalam perjanjian kredit antara konsumen/debitur dengan bank.padahal dalam kenyataannya si debitur belum menerima dan menguasai fisik banunan rumah tersebut belum ada (sedang proses pembangunan). Profesor Hamaker mengeuraikan tugas notaris dengan mengatakan bahwa notaris diangkat untuk dan atas permintaan dari orang yang melakukan tindakan hukum, hadir sebagai saksi pada perbuatanperbuatan hukum yang mereka lakukan dan untuk menuliskan (mengkonstatir) apa yang disaksikannya itu. 51 Jika dihubungkan dengan pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, perbuatan notaris seperti dimaksud diatas dapat dikualifikasikan telah melakukan kesalahankesalahan dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris, yakni memasukkan keterangan yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya dalam akta yang dibuatnya. Sanksi atau hukuman yang dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut: peneguran dan pemecatan sementara selama tiga sampai enam bulan. Sanksi atau hukuman tersebut di atas dapat dilanjutkan dengan pemecatan notaris dari jabatannya. Berdasarkan pasal 50 peraturan jabatan notaris, yang berhak menjatuhkan sanksi atau hukuman adalah pengadilan negeri dimana tempat notaris tersebut bertugas. Disamping itu, perbuatan notaris yang memasukkan keterangan yang tidak sebenarnya dalam rangka akta tersebut dapat dituntut berdasarkan pasal 263 ayat (1) junto pasal 264 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dimana sanksi uu hukuman yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
51
G.H.S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 42.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
3. Tinjauan Hukum terhadap akta-akta yang telah ditandatangani Seperti diketahui bahwa akta perjanjian kredit dan akta pengakuan hutang merupakan accesoir dari akta jual beli yang merupakan perjanjian pokok. Akta perjanjian kredit dan akta pengakuan hutang tidak akan dibuat jika tidak ada akta jual beli rumah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan surat kuasa membebankan hak tanggungan atau akta pemberian hak tanggungan adalah merupakan accesoir dari akta perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokoknya. Dimana surat kuasa membebankan hak tanggungan atau akta pemberian hak tanggungan tidak akan dibuat jika tidak ada akta perjanjian kredit. Dalam hal transaksi jual beli rumah dengan sistem indent melalui kredit pemilikan rumah dari bank, akta jual belinya menjadi batal karena tuntutan konsumen yang dirugikan, maka dengan sendirinya akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, surat kuasa membebankan hak tanggungan atau akta pemberian hak tanggungan menjadi batal pula. Hal ini seperti yang diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata, terdapat sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu : 1) Karena pembayaran ; 2) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpangan barang yang hendak dibayarkan itu disuatu tempat; 3) Pembahasan hutang; 4) Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik; Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
5) Percampuran hutang; 6) Pembahasan hutang; 7) Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian; 8) Pembatalan perjanjian; 9) Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan; 10) Lewat waktu. Sebagaimana telah diterangkan, perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orangorang yang menurut Undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat dengan tidak cakap untuk bertindak sendiri begitu pula yang dibuat dengan paksaan, khilafan atau penipuan ataupun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang kesusilaan ataupun ketertiban umum, dapat dibatalkan . pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian dibuat. 52 Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa penandatangani akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk rumah yang belum ada fisiknya adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
52
R. Subekti (c), op. cit., hal. 160.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
BAB IV PERAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MELINDUNGI PEMBELIAN RUMAH SECARA INDENT
A. Pengertian dan Latar Belakang Perlindungan Konsumen Konsumen (sebagai alih bahasa dari consumer), secara harfiah berarti “Seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa” atau “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”, juga “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. 53 Menurut Az Nasution, yang disebut dengan konsumen adalah: Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk kegunaan tertentu. Pengertian setiap orang dalam batasan di atas baik orang
53
Az Nasution, Konsumsi dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 69.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
dalam arti alamiah maupun orang dalam arti hukum (manusia dan badan hukum). Kemudian yang dimaksud dengan “mendapatkan secara sah” dalam batasan tersebut adalah diperolehnya barang atau jasa itu dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum atau melawan hukum. Selanjutnya dicantumkan istilah “untuk kegunaan tertentu” dimaksudkan untuk memberi tolak ukur pembeda antara berbagai konsumen yang dikenal (konsumen antara atau konsumen akhir). 54 Untuk membedakan kedua macam konsumen tersebut, tergantung dari “kegunaan barang atau jasa yang diperlukannya”. Apabila kegunaan barang atau jasa yang dipergunakan konsumen tersebut untuk tujuan memproduksi barang atau jasa lain dan/atau untuk dijual kembali, maka disebut konsumen antara. Apabila kegunaan barang atau jasa yang diperlukannya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual kembali (tujuan non komersial), maka konsumen tersebut disebut konsumen akhir. Dengan demikian terdapat dua pengertian atau jenis konsumen, yaitu: a. Konsumen yang menggunakan barang atau jasa keperluan komersial. b. Konsumen yang menggunakan barang atau jasa untuk keperluan diri sendiri atau keluarga dan non komersial. 55
54 55
Ibid., hal. 70. Ibid.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Di dalam Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, yang dimaksud dengan konsumen adalah “One who consumers, Individuals who purchase, use, maintain and dispose of products and services. Users of the final product. 56 Terjemahan secara bebas, maka konsumen adalah seseorang yang mengkonsumsi, seseorang yang membeli, menggunakan, membayar dan memakai suatu produk dan jasa, sebagai pengguna akhir dari suatu produk. Di dalam Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Selanjutnya, di dalam penjelasan Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Sementara itu, berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan tentang konsumen (akhir) tersebut, antara lain:
56
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minnessota: West Publishing Company, 1991, hal. 550. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan. 57 b. Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam mss, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak diperdagangkan kembali. 58 c. Setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang atau untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan. 59 Konsumen yang akan dibahas adalah konsumen akhir, yang selanjutnya disebut dengan konsumen, yaitu setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhannya sendiri dan rumah tangganya serta tidak untuk diperdagangkan kembali atau memproduksi barang atau jasa lain. Di dalam kaitannya pembahasan perlindungan konsumen ini, maka digunakan istilah perlindungan konsumen yang terdapat di dalam Pasal 1 butir (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang didefinisikan bahwa segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Mengenai definisi pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 8 Tahun tentang Perlindungan Konsumen ini dalam Pasal 1 Butir (3) mendefinisikannya bahwa setiap
57
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Departemen Kehakiman R.I., 1981, hal. 3. 58 YKLI, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen – Buku I, Jakarta: YLKI, 1981, hal. 4. 59 Fakultas Hukum UI & Departemen Perdagangan R.I., Rancangan Akademik UndangUndang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Departemen Perdagangan R.I., 1992, hal. 58. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Selanjutnya, di dalam penjelasan Pasal 1 butir (3) disebutkan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Untuk selanjutnya, dalam pembahasan ini, akan digunakan istilah pelaku usaha, sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar bahwa: Konsumen pada umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha baik secara ekonomis, tingkat pendidikan maupun kemampuan daya bersaing atau daya tawarnya. Resolusi PBB 39/248 tanggal 16 April 1985 memberikan gambaran kelemahan tersebut sebagai ketidakseimbangan dalam tingkat perekonomian, tingkat pendidikan dan daya tawarnya. 60
60
Bernandes M. Waluyo, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Universitas Parahyangan, 1997, hal.9. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Dengan gambaran kedudukan konsumen yang tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha tersebut, maka muncullah beberapa asas untuk memberikan perlindungan konsumen pada umumnya, antara lain sebagai berikut: a. Caveat Emptor (Let The Buyer Beware) Asas ini Berarti bahwa pembeli berkewajiban memeriksa barang-barang yang dibelinya dan bahwa ia sendiri memikul segala resiko kerugian. Asas ini berlaku, oleh karena pada awal sejarah manusia apa yang diproduksi oleh produsen adalah apa yang dikonsumsi oleh konsumen. Produsen harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan bagi konsumen. Sebaliknya konsumen menentukan sendiri apa yang dibutuhkannya, dan konsumen memikul resiko sendiri bila timbul kerugian sebagai akibat kerusakan dari produk yang dikonsumsi. Oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati (let the buyer beware) b. Caveat Venditor (Let The Producer Beware) Asas ini Berarti waspadalah produsen dalam memproduksi barang-barang yang akan dipasarkannya. Apabila keadaan semula adalah bahwa produsen memproduksi barang untuk konsumen, maka dengan bertambahnya kesadaran konsumen untuk memilih barang-barang yang diperlukan dan semakin bertambahnya tuntutan konsumen akan barang-barang yang lebih baik, maka asas caveat emptor kemudian mulai ditinggalkan. Produsen tidak dapat lagi memproduksi barang sesuai dengan keinginan produsen (product out policy), Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
tetapi produsen harus memproduksi barang sesuai dengan keinginan konsumen (market in policy). Karena itu asas caveat berubah menjadi caveat venditor. 61
B. Peran Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pembelian Rumah Secara Indent
Dalam
Melindungi
Pada saat krisis moneter melanda Indonesia yang mencapai puncaknya dalam kurun waktu tahun 1997 sampai 1999, dengan diterbitkannya surat Menteri Negara Perumahan Dan Permukiman Republik Indonesia Nomor 109/UM.01.01/M/09/09 tertanggal 27 September 1999, yang memberikan kesempatan kepada badan usaha di bidang perumahan dan permukiman dapat menjual kavling tanah matang tanpa bangunan. Peluang yang dibuka telah mengakibatkan terjadinya banyak transaksi jual tanah kavling tanah matang tanpa bangunan di kawasan perumahan dan permukiman dari badan usaha pengembang perumahan dan permukiman. Beberapa ketentuan dalam surat pengikatan jual beli tetap mengharuskan dilaksanakan pembangunan rumah di atas kavling tanah matang yang dibeli dalam tenggang waktu tertentu, mengingat maksud badan usaha pengembang perumahan dan permukiman mengembangkan suatu areal tentu untuk menciptakan perumahan dan permukiman yang di dalamnya terbangun rumah-rumah tinggal dengan pelbagai bangunan fasilitas pendukungnya dan dihuni oleh para pembeli sehingga terciptalah kawasan perumahan
61
Ibid., hal. 10.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
dan permukiman baru yang pada saatnya akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi termasuk meningkatnya harga tanah di lokasi dimaksud. 62 Dalam prakteknya perjanjian pengikatan jual beli rumah dibuat dalam bentuk perjanjian baku. Dalam bentuk perjanjian, ia merupakan suatu perjanjian yang konsep atau draft-nya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak; biasanya penjual atau dan atau produsen. Perjanjian ini disamping memuat aturan-aturan yang umumnya biasa tercantum dalam sesuatu perjanjian, memuat pula persyaratanpersyaratan khusus, baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut halhal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian itu. 63 Biasanya perjanjian pengikatan jual beli rumah bentuk dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pengembang. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, terhitung tanggal 20 April 2000, pelaku usaha (pengembang) dibatasi dalam hal pencantuman klausul baku dalam pembuatan perjanjian jual beli rumah. Pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan : 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
62 63
Sahat HMT Sinaga, op. cit., hal. 57. Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, suatu pengantar, Cet. 2, Yogyakarta: Diadit
Media, 2001, hal. 96. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang uang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemamfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi mamfaat
jasa atau
mengurangi memfaat jasa atau mengurangi harta kekayan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini. Dari ketentuan undang-undang perlindungan konsumen di atas, dapat dipahami bahwa perbuatan jual beli rumah dengan sistem indent yang dilakukan oleh pengembang kepada konsumen adalah boleh dan sah saja, sepanjang antara pengembang dengan konsumen sama-sama menginginkannya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan harus diberikan kepada pembeli kavling tanah matang secara indent dengan fasilitas kredit kepelimikan rumah oleh pengembang. Sebagaimana alur dari prinsip jual beli tanah menurut hukum adat yang menjadi dasar hukum tanah nasional, walaupun pembeli telah melunasi harga yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli serta telah ditandatanganinya Surat Pengikatan Jual Beli belumlah menjadi bukti tentang telah terjadinya jual beli tanah dari pengembang kepada pembeli.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Tertundanya penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang, demikian pula pencatatan peralihan hak dalam sertipikat tanda bukti hak atas tanah yang menjadi proses lanjutan yang didahului dengan penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang menjadi alasan yang berdasar untuk diajukan pembatalan jual beli tanah antara pengembang dengan pembeli. Hal demikian tentu bukanlah posisi yang baik bagi pembeli tanah yang akan dibangun rumah di atasnya yang menjadi obyek jual beli. Piranti hukum yang melindungi konsumen yang termuat dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang
usaha
pengembangan
perumahan
dan
permukiman
nasional
telah
menghasilkan berbagai jenis rumah dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan rumah yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, karena adanya fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, di sisi lain, kondisi di atas sering mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, Undangundang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan konsumen, khususnya dalam hal jual beli rumah secara sistem indent yang ditawarkan oleh pengembang. Pada dasarnya prinsip ekonomi, maka pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, yang sering dalam penerapan prinsip sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar
kondisi sebagaimana
dipaparkan
di atas,
perlu
upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Ketentuan undang-undang tentang perlindungan konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klusula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta tidak
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
“berbentuk” sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Tersebut. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur kewajiban konsumen adalah: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang 64 dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Selanjutnya dalam Pasal 7 undang-undang perlindungan konsumen itu diatur tentang kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak didiskriminatif;
64
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen termuat definisi, Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggunaan,
pemakaian
dan
penggantian atas kerugian akibat
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Pelaksanaan jual beli rumah secara indent, maka pengembang harus melaksanakan sebagaimana yang ditawarkan kepada konsumen mengenai kewajiban untuk membangun bangunan di atas tanah yang menjadi objek jual beli sebagaimana hal itu diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Penyampaian informasi tentang hal itu secara transparan harus menjadi kewajiban dari pengembang perumahan dan permukiman sebagai pelaku usaha. Pelaku usaha dilarang dalam menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
yang lengkap. 65 Mengingat pelaku usaha yang melanggar dapat dikenai hukuman pidana penjara atau pidana denda. Dalam hal jual beli tanah tanpa bangunan adalah resiko tidak dapat dilakukan penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang, demikian pula pencatatan peralihan hak atas tanah dalam sertipikat tanda bukti hak atas tanah. Jual beli tanah yang dibangun rumah itu antara pengembang dengan pembeli yang dalam implementasinya dituangkan dalam bentuk Surat Pengikatan Jual Beli sesungguhnya tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang sebagaimana hal yang demikian diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Dengan demikian surat pengikatan jual beli yang dibuat antara pengembang dengan pembeli yang memperjanjikan akan membangun rumah itu juga tunduk kepada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang mensyaratkan penjualan tanah beserta bangunan yang didirikan di atasnya, maupun ketentuan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga pelanggaran atas ketentuan dalam undang-undang dapat menjadi dasar jual beli yang dimaksud dalam surat pengikatan jual beli bisa dimintakan pembatalan.
65
Lihat, Pasal 8 ayat (1) huruf (f) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Berdasarkan uraian penulisan dalam bab-bab sebelumnya, maka dibuat kesimpulan sebgai berikut : 1. Transaksi jual beli rumah dengan sistem indent dengan membayar kredit pemilikan rumah adalah Sah sepanjang perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan perundang-undangan yaitu pelaksanaan akad kredit itu dengan bank dan setelah rumah sudah dibangun (fisiknya ada) diserah terimakan kepada konsumen. Namun, dalam sistem indent sering terjadi pelanggaran kewajiban pengembang untuk menyerahkan rumah sesuai dengan jangka waktu, spesifikasi tipe dan teknik bahan bangunan yang telah disepakati dalam perjanjian, sehingga merugikan pihak konsumen. 2. Dalam jual beli rumah secara indent menimbulkan dampak yuridis terhadap pihak konsumen, pengembang dan pihak bank, sebagai berikut:. a. Konsumen diwajibkan membayar cicilan kredit pemilikan rumah kepada bank setiap bulannya, meskipun tanah berikut rumahnya belum diterima di dalam perjanjian kredit yang dibuat dan ditandatangani oleh konsumen, bahkan jika konsumen telat membayar cicilan kredit kepada bank bukan saja di kenakan denda tetapi kemungkinan akan di batalkan bisa juga terjadi,jika terjadi keterlambatan pembayaran cicilan berkali-kali sesuai dengan perjanjian yang telah di tentukan. b. Pengembang secara hukum telah mengalihkan obyek jual beli kepada konsumen berupa rumah yang belum siap. Ini adalah keuntungan pengembang, dimana konsumen terus membayar cicilan kepada bank sampai
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
bertahun-tahun, dan dalam hal ini bank semakin di untungkan dengan bunga pinjaman kredit. c. buy back guarantee, yaitu kewajiban pengembang untuk membeli kembali rumah yang dijaminkan. 3. Pengikatan jual beli yang dibuat antara pengembang dengan pembeli yang memperjanjikan akan membangun rumah itu harus tunduk kepada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam kaitan dengan larangan-larangan dalam melakukan perjanjian baku (Pasal 18), kemudian juga terhadap informasi tentang fisik rumah yang akan dibangun sebagaimana yang telah diinformasi kepada konsumen.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas, maka dalam penulisan ini disampaikan beberapa saran yang mungkin bermanfaat bagi para pihak yang terlibat, khususnya konsumen, yaitu : 1. sebaikinya pemerintah membuat peraturan khusus (minimal setingkat peraturan pemerintah) tentang transaksi jual beli rumah dengan sistem indent dan menerapkannya dengan pengawasan yang ketat terhadap pengembang dan bank. Jika perlu terapkan sanksi yang tegas terhadap pihak yang melanggarnya 2. Sebaiknya konsumen menghindari membeli rumah dengan sistem indent (fisik) bangunan rumah belum ada/jadi) untuk menghindari hal-hal, seperti: serah terima rumah telat dari jangka waktu yang telah disepakati, bangunan rumah tidak sesuai
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
dengan spesifikasi tipe dan teknis bahan bangunan yang diperjanjikan, tidak dibangunnya fasilitas sosial dan umum yang telah diperjanjikan. 3. Sebaiknya pihak Bank dalam melakukan kerjasama dengan pengembang lebih selektif untuk menilai kredibilitas pihak pengembang dalam memasarkan rumah secara indent kepada konsumen.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adinugroho, Tjipto, Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta: Pradya Paramita, 1983. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan PerundangUndangan tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Departemen Kehakiman R.I., 1981. Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minnessota: West Publishing Company, 1991. Eclos, Jhon M dan Hasan Shadili. Kamus Inggris-Indonesia.1999. Fakultas Hukum UI & Departemen Perdagangan R.I., Rancangan Akademik UndangUndang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Departemen Perdagangan R.I., 1992. Fuady, Munir, Hukum Kredit Kontemporer, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1996. Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cet. 3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. 1, 1996. Hutagalung, Arie S., Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, cet. 1, 2005. Jhon, Echols M. dan Shadily, kamus bahasa Inggris-Indonesia, Jakarta.1998. Kamarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Jakarta: Yayasan Realestat Indonesia, cet. 1, 1996. Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni dengan Judul Buku Asli General Theori of Law and State, Alih Bahasa Somardi, Jakarta : Penerbit RimdiPRESS, 1995. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pengikatan Jual Beli Rumah. Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, cet. 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universita Indonesia, 2003. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgejlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet.18, Jakarta : Pradya paramita. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994. Lumban Tobing, G.H.S., (penerjemah), Peraturan Jabatan Notaris Notaris Reglement), cet.3, Jakarta: Erlangga, 1992. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005. Media Indonesia, Sektor Perbankan, Desember 2007. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Diadit Media, Cet.2., 2001. Nasution, Az., Konsumsi dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Perum Perumnas. Persyaratan KPR-BTN Kredit Kepemilikan Rumah/Griya Pemula. diakses dari internet home page Perum Perumnas. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pusaka, 2002.
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Sabur, Achmad Rayadi, Pemerhati Pasar Uang, BEI NEWS Edisi 7 Tahun II Oktober-Desember 2001. Sabur, Achmat Rayadi, Milis Properti,Keuntungan property dalam Mengembangkan Kredit Pemilikan Rumah Buat Konsumen, Jakarta, 2007. Sinaga, Sahat HMT, Jual Beli Tanah Dan Pencatatan Peralihan Hak, Bandung: Pustaka Sutra, 2007. Sihombing, Irene Eka, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, cet. 1, 2005. Singarimbun, Masri dan Sofia Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta; LP3ES, 1989. Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cet.1., Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Soedjendro, J. Kartini, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta: Kanisius, cet.1, 2001. Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodelogi penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), KUH Perdata (Burgelijk Wetboek), Cet. 18, Jakarta: Pradnya Paramita. Subekti, R., Hukum Perjanjian, Cet. 9, Jakarta: Intermasa, 1984. ______, Aneka Perjanjian, Cet.7, Bandung : Alumni, 1985. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
______, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 22, Jakarta: Intermasa, 1989. Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media, cet.3, 2005. Sumardjono, Maria S.W., Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta : Percetakan PT. Gramedia, 1989. Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1998. Suryodiningrat, R. M., Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. 2, Bandung: Tarsito, 1991. Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet. 6., Bandung: Mandar Maju, 1989. Sutarno, Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Jakarta: Alfabetha, 2005. Tjokam, H.Moh., Prekreditan Bisnis Inti Bank Komersial,Konsep, Teknik dan Kasus, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum, 1999. Waluyo, Bernandes M., Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Universitas Parahyangan, 1997. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, Kepmen Perumahan Rakyat no. 09/KPTS/M/1995. C. Internet “Konsul Hukum”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com diakses tanggal 24 Oktober 2007. Ariadi Pnogoro, “Out of The Property Box”, terdapat dalam www.google.com diakses 24 Oktober 2007. Priyadi, ”Mendapatkan Akta Jual Beli” http:www.wikimedia.com diakses tanggal .20 Oktober 2007. YKLI, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen – Buku I, (Jakarta: YLKI, 1981).
Rizqie Savitri : Tinjauan Hukum Pembelian Rumah Secara Indent Melalui Kredit Kepemilikan Rumah, 2009.