TINJAUAN EKOTEOLOGIS TENTANG PERUBAHAN PANDANGAN MASYARAKAT CAMPLONG MENGENAI FUNGSI HUTAN OENAEK
Oleh Nirwasui Arsita Awang 71 2011 036
Tugas Akhir Diajukan kepada Progam Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol)
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015
i
ii
iii
iv
Motto
Don’t ask for happiness, as for strength as it will enable you to gain happiness in your life
v
Ucapan Terima Kasih Penyelesaian tugas dan tanggungjawab sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) lewat Tugas Akhir dilakukan dengan proses yang indah. Melalui proses itu penulis belajar untuk terus berjuang. Dalam perjuangan ada kesedihan, air mata dan putus asa. Hal ini bukan sebagai langkah akhir tetapi merupakan rangkulan kasih untuk terus berjuang mencapai hasil yang maksimal. Syukur dan ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus sebagai sahabat dan motivator hidup bagi penulis Nirwasui Arsita Awang untuk pencapaian gelar Sarjana Sains Teologi (S. Si Teol). Tugas Akhir ini menjadi suatu karya yang layak diterima karena begitu banyak orang yang hadir dan mendukung penulis dengan penuh kasih baik dalam proses bimbingan maupun dalam bentuk materil, moril dan doa. Seperti ungkapan Jym Cimbala yang penulis kutip dari buku Kita dan Doa-doa Kita “when prayer comes from a sincere heart, it rises into God’s presence and stay there”, penulis menyadari begitu banyak orang yang mengasihi penulis sehingga sering melalukan percakapan dengan Tuhan untuk pencapaian penulis sampai pada tahap akhir. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan mempersembahkan karya ini kepada: 1. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D selaku pembimbing I dan sebagai teladan bagi penulis agar terus berjuang dan mampu menerobos batas-batas aman. Terobosan itu mengharuskan penulis untuk tidak cepat berpuas diri dengan hasil yang ada melainkan terus berefleksi dan me-research kembali berbagai temuan untuk menghasilkan karya yang “layak dibaca”. 2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo selaku pembimbing II sekaligus sebagai orangtua yang dengan bijak dan kasih membimbing penulis sampai pada tahap akhir penyelesaian tugas akhir. Dalam proses ini, penulis diberikan arahan-arahan yang membangun dan menolong penulis untuk terus berjuang untuk menyiapkan diri dalam ladang pelayanan Tuhan di masa mendatang. 3. Seluruh dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana dengan berbagai metode pengajaran yang menolong penulis selama menjajaki masa pendidikan. Terima kasih disampaikan untuk staf TU Fakultas Teologi yaitu Ibu Budi yang tanpa lelah siap melayani dan menolong penulis dalam urusan administrasi dan informasi. 4. Karya Tugas Akhir ini sebagai hadiah pertama yang penulis berikan untuk kedua kekasih yaitu Papa Martinus Awang dan Mama Sarfelsina A. Awang-B. Papa dan mama adalah orang yang selalu rindu dan tak pernah bosan untuk melakukan vi
percakapan dengan Tuhan tentang kehidupan penulis. Papa dan mama adalah orang yang selalu berjuang dalam kasih untuk penulis sampai pada pencapaian tahap akhir ini. Thank’s for everything papa and mama.. your my angel without wings. 5. Keluarga besar Awang, Bani, Ado, Kana Lomi, Thene yang selalu memberikan dukungan doa dan kasih bagi penulis sejak awal perkuliahan sampai tahap akhir. Terima kasih untuk Opa Trianus Bani dan Oma Dina Bani, Bapak Minggus, Mama Rosa, To’o Sepus, Mama Eri, Bapak Lius, Mama Sarah, Bapak Simon, Mama Ivon, Kakak Ai, Kakak El, Susi Nona, Adik Sarus, Melan, Usro, Letri, Mika, Ebed, Lirah, Ira, Anak Anggi dan Wili, Md Eko, Md Febry, Md Titik, Bapak Vik, Md Jenn. 6. Ungkapan terima kasih kepada para informan yakni LPA (Lembaga Pemangku Adat) wilayah Kefetoran Fatule’u yaitu Bapak Abe Bait, Bapak Kias Bait, dan Bapak Trianus Utan. KRPH Fatule’u Barat yakni Pak Gufran selaku pemangku kawasan dalam administrasi pemerintahan serta beberapa masyarakat lokal di Camplong. 7. GMIT Jemaat Betania Camplong yaitu KMJ Pdt. Dekri Oematan S.Si Teol, MJ Pdt. Frangki Risakotta S.Si Teol serta beberapa tokoh jemaat dan majelis yang dengan hati dan tangan terbuka menerima dan menuntun penulis dalam proses pengambilan data. 8. Keluarga besar Cendikiawan Teologi UKSW 2011 yang selalu dikenal dengan angkatan yang “cukup brutal” tetapi persaudaraan menjadi nilai tertinggi dan mutlak. Terima kasih karena penulis diberikan kesempatan telah menjadi bagian dari angkatan 2011. Kesalahpahaman dan masalah adalah tali pengikat agar 2011 saling merangkul dan tidak terlepas. I can’t smile without you. 9. Keluarga PD Eklesia, Sion Bipolo dan Maranatha 2. Terima kasih atas doa dan dukungan yang diberikan. Terima kasih untuk adik kos satu-satunya Novi yang selalu duduk bersama dan bercerita tentang mimpi-mimpi besar, always be wise dek. Akhir kata penulis sampaikan permohonan maaf atas setiap kesalahan baik selama masa studi dan dalam proses penyusunan Tugas Akhir. Sekiranya Tugas Akhir ini tidak sebatas formalitas dan syarat kelulusan melainkan dapat memberikan impact bagi pembaca. Tuhan memberkati. Salatiga, 7 Desember 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI Cover ................................................................................................................................... i Lembar Pengesahan ........................................................................................................... ii Pernyataan Tidak Plagiat Persetujuan Akses
............................................................................................... iii
........................................................................................................... iv
Motto ................................................................................................................................... v Ucapan Terima Kasih
............................................................................................... vi
Daftar Isi
....................................................................................................................... xiii
Abstrak
....................................................................................................................... x
1. Pendahuluan
........................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1 1.2.
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Batasan Masalah dan Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 4
1.3. Metode Penelitian .............................................................................................. 5 1.4. Sistematika Penulisan
.................................................................................. 6
2. Ekoteologi Pelestarian Hutan .................................................................................. 6 2.1. Teologi
.......................................................................................................... 6
2.2. Ekoteologi .......................................................................................................... 7 2.3. Hutan
.......................................................................................................... 12
2.4. Ekoteologi Hutan .............................................................................................. 15 2.5. Kesimpulan
.............................................................................................. 16
3. Deskripsi Hasil Penelitian mengenai “Tinjauan Ekoteologis Tentang Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek”
..................................................................... 16
3.1.
Gambaran Keadaan Hutan Camplong ......................................................... 16
3.2.
Gambaran Keadaan Masyarakat Camplong
3.3.
Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong
............................................. 17
Terhadap Fungsi Hutan Oenaek..................................................................... 18 3.3.1. Hutan Alam Beralih Menjadi Hutan Produksi
................................. 18
3.3.2. Hutan Sebagai Subyek Beralih Menjadi Hutan Sebagai Obyek
..................................................................... 20
3.3.3. Hutan Sebagai Tempat Pelaksanaan Ritual Ibadah Beralih Fungsi Menjadi Tempat Rekreasi ............................................. 22 viii
3.3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Terhadap Fungsi Hutan Oenaek ..................... 24 3.4. Kesimpulan
............................................................................................. 25
4. Tinjauan Ekoteologis Tentang Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek
.................................. 26
4.1. Pandangan Luhur Masyarakat Camplong Terhadap Hutan Oenaek .......... 26 4.2. Kajian Ekoteologis Tentang Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek
...................... 28
5. Kesimpulan dan Saran .............................................................................................. 30 5.1. Subyek – Obyek 5.2. Saran
.............................................................................................. 31
.......................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................................................. 33
ix
Abstrak Tujuan penelitian Tugas Akhir ini yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan yang berdampak pada perusakan hutan Oenaek dan melakukan tinjauan ekoteologis tentang perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan. Di Camplong terdapat Taman Wisata Alam yang menjadi tempat tinggal beberapa flora dan fauna serta dalam kepercayaan masyarakat Timor (atoni meto), hutan Camplong merupakan tempat bagi Usi sebagai ilah tertinggi dalam kepercayaan atoni meto dan roh para leluhur yang telah meninggal berdiam. Informan sebagai sumber data dalam penelitian ini yaitu LPA (Lembaga Pemangku Adat) wilayah kefetoran Fatule’u, KRPH Fatule’u Barat sebagai pemangku kawasan, GMIT Betania Camplong sebagai salah satu institut keagamaan dan beberapa masyarakat lokal yang ada di Camplong. Akibat dari adanya perubahan status hutan dari hutan alam (hutan larangan = nais talas) menjadi hutan produksi berakibat pada perubahan pandangan masyarakat yang mengganggap hutan bukan lagi sebagai subyek melainkan sebagai obyek yang siap digunakam karena memiliki nilai produktif. Perubahan pandangan ini mempengaruhi perilaku yang awalnya hutan dijadikan sebagai tempat ibadah atau pelaksanaan ritual kini hanya menjadi obyek wisata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif yang dicapai dengan cara observasi dan wawancara mendalam. Kata Kunci: Camplong, Ekologi, Ekoteologi Hutan, Hutan, Orang Timor
x
1. Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang Masalah Keadaan manusia yang bertumbuh dan berkembang di tengah alam memberi
kesadaran bahwa manusia dan alam tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Alam memiliki cakupan pengertian yang cukup luas di antaranya adalah hutan. Menurut ahli ekologi, hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohonpohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan.1 Hutan dipandang sebagai suatu kehidupan yang terus bertumbuh dan berkembang serta memberikan kontribusi positif yaitu dengan cara melindungi setiap tatanan ekosistem yang ada di dalam hutan. Dengan demikian hutan merupakan suatu tempat tinggal bagi kesatuan ekosistem yang ada di dalamnya dan karena itu kestabilannya harus tetap terjaga dan terawat. Di dalam studi ilmu kehutanan disebutkan bahwa fungsi utama dari hutan adalah menjaga keberlangsungan makhluk hidup. Hutan dapat disebut sebagai paru-paru dunia karena berfungsi sebagai penghasil oksigen yang mendukung keberlangsungan makhluk hidup. Dengan begitu, maka pelestarian dan perawatan terhadap hutan perlu dilakukan. Namun pada realitanya di beberapa tempat mengalami masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti adanya masalah-masalah perusakan dan pengotoran lingkungan maupun kebakaran hutan yang bertujuan pada pelaksanaan pembangunan.2 Proses pembangunan terjadi karena adanya pemenuhan kebutuhan industri bagi manusia yang seringkali tidak melihat bagaimana dampak dari pembangunan tersebut. Setiap aktivitas yang dijalankan oleh manusia hanya melihat pada keuntungan sepihak dan tidak ramah lingkungan. Pada dasarnya masalah lingkungan itu timbul karena kegiatan manusia sendiri yang tidak mengindahkan atau tidak mengerti prinsip-prinsip ekologi. Selain itu terjadi juga secara alamiah yaitu lewat peristiwa alam.3 Salah satu dari akibat pembangunan ialah perusakan hutan. Hal itu mengakibatkan berkurangnya fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup. Karena hutan memiliki fungsi yang sangat penting maka pemerintah Indonesia sebagai pelindung kawasan hutan menetapkan peraturan dalam UU RI No. 41/1999 tentang kehutanan yang menyebutkan bahwa: Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 1
Arief M. P Arifin, Hutan dan Kehutanan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 11. Soedjatmoko, Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), 89. 3 Zoer’aini Djamal Irwan, Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009), 103. 2
1
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan latar belakang ini, penulis akan meneliti tentang fungsi hutan lindung yang ada di Camplong. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.4 Camplong adalah salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Fatule’u, Kabupaten Kupang di Pulau Timor, Propinsi NTT dan berjarak sekitar 46 km dari Kota Kupang. Di Camplong ini terdapat hutan dan mata air di kaki gunung Fatule’u yaitu hutan lindung Camplong. Hutan ini berfungsi untuk menjaga kelestarian lingkungan dan melindungi sumber mata air yang ada, salah satu di antaranya adalah kolam Oenaek. Pulau Timor yang cenderung kering dan berbatu-batu memang memiliki kondisi alam yang keras, ditambah kondisi cuaca yang cukup panas memberikan kesan bahwa Pulau Timor adalah daerah yang tandus dan kering. Di Pulau Timor terdapat beberapa kawasan hutan dan mata air. Oleh karena itu masyarakat Timor sangat menaruh hormat pada hutan dan air. Hal tersebut tergambar dengan pemberian nama tempat yang berada di Pulau Timor kebanyakan berawal dengan sebutan oel atau oe yang dalam bahasa Timor berarti air dan fatu yang berarti batu. Pemberian nama dengan awalan oe dan fatu menggambarkan keadaan Pulau Timor yang berbatu dan adanya kerinduan masyarakat akan air.5 Selain dari pada itu, hutan juga dianggap sebagai tempat keramat yang berdiam roh-roh orang Timor yang sudah meninggal dan juga tempat di mana Uis Neno yaitu ilah tertinggi dalam pemahaman orang Timor berdiam. Itulah mengapa masyarakat Timor pada umumnya dan juga di Camplong khususnya sangat menaruh hormat pada alam. Rasa hormat masyarakat Camplong dapat dilihat melalui penghargaan mereka terhadap hutan di mana ketika Fetor Fatule’u6 membangun rumah barunya maka para tua-tua menghormati pendirian rumah itu dengan mempersembahkan korban kepada roh-roh, untuk mengadakan perdamaian dengan roh yang ada atau tinggal di pohon-pohon karena melihat tempat tinggal mereka rusak demi pembangunan rumah baru milik fetor.7 Rasa hormat masyarakat setempat pada hutan sangat tinggi di mana hubungan saudara dengan alam tetap terjaga dengan cara menjaga dan melindungi hutan. 4
Indriyanto, Ekologi Hutan (Jakarta: Bumi Askara, 2006), 4. Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 1. 6 Fetor : Ungkapan bagi orang yang berkuasa atau memiliki kedudukan pada wilayah kekuasaan tertentu “tua adat”. Fetor Fatule’u adalah usif atau orang yang memiliki kedudukan pada wilayah kekuasaan Fatule’u. 7 De Timor Bode, no. 57 Januari 1921. 5
2
Namun saat ini terjadi perubahan pandangan yaitu hutan yang dulunya adalah tempat sakral kini telah berubah dan bukan lagi dianggap tempat yang sakral tetapi sebagai tempat eksploitasi. Adapun eksploitasi pembangunan yang dilandaskan pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, namun hal itu tidak terwujud melainkan mengarah pada aktivitas yang merusak bumi.8 Karena itu terjadilah kerusakan hutan dan mata air. Hal tersebut mempengaruhi keadaan masyarakat setempat seperti perubahan kondisi cuaca yang semakin panas. Jika hal tersebut terus dilakukan maka kerusakan tersebut dapat mengakibatkan banjir atau musim kering/kemarau dan bentuk-bentuk perubahan lingkungan lainnya seperti kerusakan hutan dan erosi tanah setiap hari.9 Permasalahan yang terjadi ialah potensi-potensi alam dan hutan pada khususnya sekarang telah berkurang manfaatnya secara ekologi. Faktor penyebab perusakan hutan pada umumnya terjadi akibat berbagai aktivitas manusia sendiri yaitu faktor pembangunan dan ekonomi. Meskipun telah diketahui kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi, namun pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional.10 Botros Boutros-Ghali menegaskan bahwa ekonomi dan ekologi harus dipahami bahwa keduanya memiliki hubungan yang erat.11 Namun karena hal itu tidak dipahami secara baik, akibatnya kini hubungan saudara antara masyarakat Camplong dan hutan lindungnya sudah rusak. Manusia seharusnya menyadari dirinya adalah bagian dari ciptaan sekaligus sebagai pengurus bumi yang harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Allah pemilik bumi.12 Tanggungjawab sebagai pengurus bumi hendaknya terwujud melalui berbagai aksi nyata dengan mulai menyadari bahwa manusia adalah agen pelestari alam. Tanggungjawab itu juga disadari dalam ranah teologi yang menyadari bahwa teologi dan ekologi bukanlah sesuatu yang harus berjalan masing-masing tetapi hendaknya saling berdampingan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa jika berbicara tentang ekologi dan teologi (ekoteologi) maka hal tersebut berkaitan dengan masalah etika khususnya etika lingkungan.13 Namun yang terjadi ialah sumber daya sosial seperti etika lingkungan, kearifan lingkungan dan pranata 8
Eben Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik: Pengantar Ilmu Teologi (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 75. 9 Herman Hidayat, Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 10. 10 Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama, 2004), 208. 11 Wesley Granberg, Redeming The Creation. The Rio Earth Summit (Geneva: WCC Publications, 1992), 6 - 7. 12 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 106. 13 B. F Drewes & Julianus Mojau M, Apa itu Teologi? Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 135.
3
sosial dan hak-hak kolektif/ulayat, kurang mendapat perlindungan.14 Hal tersebut berasal baik dari pihak pemerintah, masyarakat maupun teolog-teolog. Padahal seharusnya salah satu tugas dari teologi ialah mengingatkan manusia akan keterikatannya dengan bumi dan ketergantungan satu sama lain antara keberadaan material dengan kehidupan manusia.15 Manusia seharusnya menyadari bahwa relasi yang dibangun dengan ciptaan lain dapat memiliki rasa hormat terhadap hak hidup untuk menopang kehidupan masa kini dan akan datang.16 Namun pada realitanya keadaan yang nampak ialah fungsi hutan tidak lagi dipahami secara baik sehingga menimbulkan dampak buruk bagi alam dan juga bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Melihat realita tersebut, gereja pun kurang berperan seperti pada ibadah minggu sangat jarang isi khotbah yang diberikan berkaitan dengan ekologi. Ekologi merupakan ilmu mengenai tempat tinggal makhluk hidup yang bertumbuh dan berkembang di dalamnya.17 Karena itu seharusnya hal ini dapat menjadi perhatian khusus bagi gereja yang menjadi bagian dari alam sebab jika berbicara tentang ekologi maka tidak terlepas dari lingkungan hidup karena ekologi merupakan bagian dari lingkungan hidup di mana manusia hidup dan berkembang.18 Namun dapat dilihat sekarang bahwa kini alam dilepaskan dari pesona ilahinya dan dilihat hanya sebagai objek biasa. Ini merupakan “kondisi mutlak bagi perkembangan ilmu-ilmu alam” dan membuat alam bersedia bagi manusia untuk digunakan.19 Dengan perubahan kondisi alam demikian maka keadaan cuaca bagi masyarakat Camplong yang dulunya sejuk kini berubah menjadi panas serta debit air di kolam Oenaek pun semakin lama berkurang sebagai sumber mata air di Camplong. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis telah melakukan penelitian dengan judul: “Tinjauan Ekoteologis Tentang Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek” 1.2. Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Batasan Masalah dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini ialah: Bagaimana perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan yang berdampak pada perusakan hutan Oenaek serta bagaimana perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan ditinjau dari perspektif ekoteologis. Tujuan yang hendak 14
Jonny Purba, Pengelolaan Lingkungan Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 12. Celia Deane-Drummond, Teologi & Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 153. 16 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 75. 17 Heinz Frick, FX Bambang Suskiyanto, Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 1. 18 N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2004), 18. 19 P. Louis Leahy, SJ, Dunia, Manusia, dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisisus, 2008), 30. 15
4
dicapai dalam penelitian ini ialah: mendeskripsikan dan menganalisis perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan yang berdampak pada perusakan hutan Oenaek dan melakukan tinjauan ekoteologis tentang perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan. Penulisan Tugas Akhir ini akan dibatasi pada bagaimana perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan yang berdampak pada perusakan hutan Oenaek dan melihat bagaimana perubahan pandangan tersebut dilihat dari sudut pandang ekoteologis. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penulisan ini adalah memberikan kontribusi positif tentang hubungan teologis antara masyarakat dan hutan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Sedangkan manfaat praktis yaitu masyarakat dapat kembali melestarikan hutan lindung Oenaek di Camplong sebagai ciptaan Tuhan serta terus mentransmisikan pandangan teologis mengenai fungsi hutan kepada anak cucunya. 1.3. Metode Penelitian Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan data verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis. Data sebagai bukti dalam menguji kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis, tidak diolah melalui perhitungan matematik dengan berbagai rumus statistika. Pengolahan data dilakukan secara rasional dengan mempergunakan pola berpikir tertentu menurut hukum logika.20 Selain itu dalam penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan pandangan-pandangan masyarakat Camplong terhadap hutan Oenaek di Camplong yang telah ada sejak dulu hingga saat ini serta akan dilihat bagaimana perubahan pandangan masyarakat setempat mengenai hutan dari sudut pandang ekoteologis. Penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu yang ada di lapangan.21 Penelitian dilakukan di Camplong khususnya tempat sekitar hutan lindung Camplong yaitu Oenaek, baik itu terhadap masyarakat maupun lingkungan sekitar. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti dapat memperoleh informasi dengan cara melakukan observasi dan wawancara terhadap beberapa informan seperti tokoh pemerintah yaitu KRPH Fatule’u yang bertempat di Camplong, tokoh masyarakat yang dapat memberikan pemahaman tentang arti dan hubungan antara masyarakat camplong dan hutan 20 21
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), 32. Sumardi Suryabarata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 18.
5
lindungnya serta pihak gereja yang berada di Camplong. Setelah itu penulis dapat mendeskripsikan tentang hubungan masyarakat camplong dan hutan lindungnya yang dulu sangat dijaga dan dihormati, namun kini pemahaman itu semakin lama seakan telah hilang dilihat dari sudut pandang ekoteologis. 1.4. Sistematika Penulisan Sesuai dengan kajian dalam latar belakang di atas, maka dalam penulisan tugas akhir ini terdiri dari bagian I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan mengapa penulis tertarik untuk menulis tulisan yang berkaitan dengan masalah ekoteologis, serta melihat realita yang terjadi di masyarakat saat ini yang berkaitan dengan masalahmasalah ekologi. Pada bagian ini juga dikemukakan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta metode penelitian yang akan dipakai untuk mendukung penulisan tugas akhir ini sebab penulisan tugas akhir ini akan dilakukan studi lapangan. Selain itu juga terdapat sistematika penulisan yang menjadi dasar acuan penulis menulis tugas akhir ini. Bagian II merupakan landasan teori dari beberapa ahli yang berbicara tentang ekoteologi agar nantinya dapat digunakan sebagai kajian dan bahan analisis dari temuan di lapangan dalam melakukan penulisan tugas akhir ini. Bagian III pemaparan dan deskripsi hasil temuan di lapangan baik itu kondisi wilayah hutan Oenaek di Camplong, hasil wawancara pada beberapa tokoh dan juga dari beberapa data yang berkaitan dengan hutan Oenak di Camplong. Bagian IV berisi tinjauan ekoteologis. Bagian V penutup yaitu berisi kesimpulan dari keseluruhan tugas akhir ini dan berisi saran atau rekomendasi bagi tempat dimana penulis melakukan penelitian. 2. Ekoteologi Pelestarian Hutan 2.1. Teologi Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, teologi merupakan pengetahuan mengenai sifat-sifat Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama berdasarkan pada kitab-kitab suci.22 Secara umum teologi dipahami sebagai ilmu yang mempelajari tentang Tuhan. Secara hakiki teologi berasal dari dua kata dasar bahasa Yunani yaitu Theos yang berarti Allah atau ilah dan logos yang berarti perkataan atau Firman. Dengan demikian teologi merupakan wacana ilmiah mengenai Allah atau ilah-ilah.23 Sebagai wacana ilmiah maka teologi merupakan bidang studi ilmiah yang melalui gereja melaksanakan karya Allah dalam rangka meninjau misi dan praktik gereja di dunia. Dalam pelakasanaan misi dan karya 22
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Semarang: CV Widya Karya, 20015). B. F Drewes & Julianus M. Mojau, Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) ,16. 23
6
Allah di dunia maka teologi mencakup lima bidang disiplin ilmu yaitu bidang biblika, bidang umum, bidang historika dan bidang sistematika.24 Setiap bidang disiplin ilmu teologi memiliki konsentrasi yang signifikan. Melalui berbagai disiplin ilmu ini maka dapat menolong setiap orang untuk memahami makna ilmu teologi yang tidak berpusat pada satu hal saja. Salah satu disiplin ilmu teologi yaitu bidang sistematika mencakup hal-hal yang berkaitan dengan masalah etika dan praksis sebagai salah satu tugas panggilan gereja. Melalui hal-hal praksis inilah maka teologi mengambil peranan penting di dalam menolong orang memahami cakupan ilmu teologi yang bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia. Tugas berteologi dalam hal ini untuk memahami Allah, bukan saja melalui pemahaman biblika atau mempelajari sejarah karya Allah, tugas berteologi yang praksis ialah yang bersifat kontekstual yang bersama dengan jemaat memahami sentuhan karya Allah melalui pengalaman hidup manusia tentang Allah. 2.2. Ekoteologi Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman pada tahun 1869. Kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal/tempat hidup/habitat dan logos yang berarti ilmu atau studi.25 Secara harafiah ekologi merupakan ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekologi adalah rumah bagi makhluk hidup untuk tinggal dan berkembang. Sebagai rumah bagi makhluk hidup untuk tinggal, tentu setiap makhluk hidup harus menjaga kestabilan ekologi agar tetap tertata secara baik sehingga memberikan kenyamanan bagi setiap makhluk hidup. Dengan adanya pemahaman dasariah ini maka ekologi harus menjadi satu disiplin ilmu untuk menuntun makhluk hidup menjaga nilai hakiki dari ekologi. Sebagai suatu disiplin ilmu maka ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme yang satu dengan organisme yang lain serta lingkungannya. 26 Hubungan timbal balik itu merupakan kenyataan yang telah terbukti sebagai respon organisme dalam caracaranya berhubungan dengan oraganisme lain maupun dengan semua komponen lingkungannya. Hubungan timbal balik ini memberikan tanggungjawab moral khususnya bagi manusia sebagai makhluk yang berakal budi serta membekali rasionalitas untuk bertanggungjawab terhadap tatanan ekologi agar tetap stabil.
24
Drewes & Mojau, Apa itu Teologi?, 84. Indriyanto, Ekologi Hutan (Jakarta: PT Bumi Askara, 2006) hlm, 2. 26 Indriyanto, Ekologi Hutan, 2. 25
7
Kenyataan ekologis yang terlihat saat ini ialah terjadi berbagai krisis yang mencakup seluruh tatanan dan kesatuan ekologis. Sonny Keraf mengungkapkan bahwa krisis ekologis terjadi karena adanya kesalahan perilaku manusia terhadap alam yang didasarkan pada kesalahan paradigma atau cara pandang manusia terhadap alam.27 Disambung olehnya, untuk mengatasi krisis ini maka perlu adanya perubahan paradigma yang akan berdampak pada perilaku manusia terhadap alam. Tentu harapan ini dapat terwujud jika diaplikasikan secara global oleh manusia sebagai makhluk yang bermoral dan bertanggungjawab. Sonny Keraf dalam tulisannya mengungkapkan salah satu solusi yang dikemukakan oleh Fritjof Capra28 yaitu ecoliteracy, “melek ekologi”.29 Ini merupakan salah satu kesadaran yang diharapkan mampu mengubah paradigma dan perilaku manusia untuk menjaga alam secara tepat. Untuk mendukung upaya pada kesadaran tentang ekologis ini maka terdapat enam prinsip ekologis yang harus diperhatikan30 yaitu: pertama, prinsip jejaring yaitu adanya jejaring kehidupan yang saling berkembang dengan identitas dirinya masing-masing tanpa membatasi perkembangan sistem kehidupan yang lain. Kedua, prinsip siklus yaitu dalam setiap sistem kehidupan akan memproduksi sisa produksi sebagai limbah yang dapat berguna menjadi energi bagi sistem kehidupan yang lain. Ketiga, prinsip energi surya yang olehnya memungkinkan sistem kehidupan di alam ini dapat terjadi dan karena siklus sistem kehidupan yang bergantung menjadi hal yang penting. Keempat, prinsip kemitraan yaitu bahwa pertukaran sumber daya dan energi terjadi dalam ekosistem karena adanya kerjasama. Kelima, prinsip keanekaragaman di mana kekayaan dan kompleksitas ekosistem dapat saling menopang melalui pertautan siklis sebagai prinsip-prinsip dasar ekologis. Keenam, prinsip keseimbangan dinamis yaitu fleksibilitas merupakan rangkaian pertumbuhan yang dinamis sehingga pemberdayaan secara seimbang perlu dilakukan. Berdasarkan keenam prinsip yang dikemukakan di atas maka diharapkan setiap individu yang merupakan bagian dari kesatuan ekologis menyadari dan “melek ekologi” sebagai satu langkah awal menuju pelestarian ekologis. Realitas terhadap kesadaran ekologi sebagai tempat tinggal makhluk hidup saat ini seakan menjadi perbincangan hangat diberbagai bidang disiplin ilmu termasuk Ilmu Teologi. Hal ini mengacu pada kenyataan adanya pengabaian tanggung jawab terhadap tatanan ekologi. 27
Sonny Keraf, Fritjof Capra Tentang Melek Ekologi Menuju Masyarakat Berkelanjutan, (Jakarta: STF Driyakarya, 2013), 55-56. 28 Fritjof Capra adalah seorang fisikawan dan penganut teori sistem tentang alam semesta. 29 Melek ekologi atau ecoliteracy adalah istilah yang digunakan oleh Capra untuk menggambarkan manusia yang sudah mencapai tingkat kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup. 30 Keraf, Fritjof Capra Tentang Melek Ekologi Menuju Masyarakat Berkelanjutan, 68-71.
8
Bidang sistematika dalam ilmu teologi mengambil peranan dalam bagian ini yaitu mencoba meninjau proses berteologi secara praksis melalui krisis ekologi yang makin marak terjadi. Krisis ekologi muncul setelah manusia memasuki era modern sejak abad ke-17. Dalam Makalah Studi Institut PERSETIA yang dipaparkan oleh Yusak B. Setyawan tentang seorang teolog barat yaitu Lynn White yang secara eksplisit mengangkat hubungan antara teologi dan ekologi mengacu pada konsep penciptaan. Disampaikan olehnya bahwa “Kekristenan harus mampu bertanggung jawab pada kerusakan ekologis, karena selama ini telah mengajarkan tentang doktrin penguasaan manusia atas bumi dan ciptaan lainnya yang dipercaya telah menimbulkan eksploitasi atas alam.”31 Krisis ekologis ini menjadi perhatian penting sebab mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan seluruh kesatuan ekologis. Dalam Alkitab terdapat berbagai teks yang menggambarkan posisi manusia dengan seluruh ciptaan di muka bumi. Pertama, Kejadian 1:27 “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Bagian yang pertama ini dapat dilihat adanya konsep antropologis terhadap alam yang dibangun sangat kuat dalam paradigma berpikir umat Kristiani (Mateus Mali, CSsR).32 Paradigma teologi ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang luhur, yang diciptakan segambar dengan Allah. Kedua, Kejadian 2: 15 “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Manusia memiliki tugas dan tanggungjawab moral sebagai yang mengusahakan dan menjadi agen pelestarian alam. Karena itu, Bernard Haring, seorang teolog moral memasukan ekologi dalam Free and Faithful in Christ sebab ia berpendapat bahwa orang harus disadarkan pada tatanan hidup yang bermoral dalam kebersamaan dengan makhluk ciptaan lain yang ada di alam ini.33 Tatanan hidup yang bermoral haruslah menjadi suatu aplikasi nyata dalam kehidupan ciptaan. Ketiga, Mazmur 104 yaitu teks yang menegaskan bahwa tidak saja makhluk hidup yang adalah bagian dari ciptaan Allah melainkan seluruh kosmis. Hal ini berkaitan dengan ekosentrisme yang menekankan tentang kesatuan ekologis secara holistik yang berpusat pada theosentrisme.
31
Yusak B. Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi: Gereja Dalam Konteks Persoalan Ekologis Di Indonesia, Makalah Studi Institut PERSETIA, STT Jakarta, 23-26 Juni 2015, 2. 32 Sunarko dan Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 144146. 33 Sunarko dan Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, 140-145.
9
Peranan teologi dalam mengatasi krisis ekologis seharusnya dapat dimulai dari berbagai kritik yang disampaikan misalnya menjawab kritik tentang bagaimana Kekristenan memahami makna penciptaan dari teks Alkitab yang ada. Gereja sebagai suatu institusi keagamaan hendaknya mampu mengkondisikan diri untuk menjelaskan makna penciptaan dari teks-teks Allkitab yang ada. Ditegaskan oleh Setyawan bahwa krisis ekologis tidak hanya berkaitan dengan masalah teologi melainkan membutuhkan eklesiologi baru yang relevan dengannya.34 Hal ini dimaksudkan agar gereja menyadari peranan dan upaya yang harus dilakukan berkaitan dengan krisis ekologis. Respon teologi terhadap perubahan ekologis tercakup dalam pembahasan tentang bagaimana teologi bersikap terhadap alam. Alam dalam perspektif teologi adalah ciptaan yang terkait dengan sang Pencipta, yaitu Tuhan Sang Pencipta.35 Oleh karena itu teologi harus mampu membangun pemahaman yang tepat tentang Sang Pencipta, yang menciptakan alam dan kesatuan ekologis. Pemahaman yang dibangun bukan saja terpaparkan secara teoritik, tetapi memiliki pengaruh terhadap perilaku hidup seluruh ciptaan. Eka Darmaputera mengemukakan tiga hal mengenai hubungan manusia dengan alam yaitu: Pertama, orang memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan sehingga manusia harus tunduk kepada alam dan menghormatinya seperti dengan menggunakan sesajen. Kedua, alam dipandang sebagai obyek dan manusia mengambil peran sebagai subyek. Ketiga, Manusia dan alam sama-sama dipandang sebagai dua subyek yang saling mempengaruhi sehingga dapat dibangun hubungan yang selaras.36 Hal ini juga ditinjau dari pemahaman masyarakat tradisional. Malcolm Brownlee melihat hubungan manusia dengan alam pada era modern ini yaitu manusia berusaha menguasai dan menggunakan alam seperti pada pandangan kedua di atas. Perkembangan ilmu teknologi menjadikan alam bukan lagi sesuatu yang sakral, melainkan sebagai obyek penelitian untuk diselidiki dan digarap.37 Adapun pandangan Kristen tentang hubungan manusia dengan alam yaitu pada satu segi manusia merupakan bagian dari alam yang adalah sama ciptaan Tuhan, namun di pihak lain manusia diciptakan berbeda dari makhluk hidup lainnya. Manusia diberi kebebasan untuk berkomunikasi serta diberikan kebebasan dan tanggungjawab, karena itu sikap yang tepat ialah manusia perlu untuk menghargai alam. Manusia sebagai makhluk hidup yang adalah bagian dari kesatuan 34
Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi, 5. Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi, 14. 36 Eka Darmaputera, Pancasila And The Search For Identity And Modernity In Indonesian Society (Ph. D, dissertation , Boston College and Andover Newton Theological School, Newton Center, Massachusetts, 1982), 263-264. 37 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 152156. 35
10
ciptaan, harus mampu memposisikan diri di dalam alam serta menyadari tanggung jawabnya sebagai sesama ciptaan dengan menjunjung tinggi nilai kehidupan yang bermoral dan beretika. Pengabaian tanggungjawab terhadap tatanan ekologis karena tanggungjawab moral terhadap lingkungan dianggap bukan sesuatu yang terlalu penting untuk dijadikan perhatian. Upaya berteologi dalam menyikapi pengabaian ini melalui bidang sistematika yang mencakup disiplin tentang etika lingkungan. Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Adat atau kebiasaan inilah yang akan menjadi dasar perilaku setiap manusia, tentang bagaimana manusia harus hidup dan hal tersebut ditransmisikan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian manusia membutuhkan etika sebagai bentuk refleksi kritis bagaimana menentukan pilihan dan cara hidup yang tepat sebagai manusia. Sebagai manusia beradat maka dituntut untuk hidup beretika tidak saja dengan sesama manusia melainkan dengan seluruh makhluk hidup termasuk lingkungan tempatnya tinggal. Untuk itu maka perlu dikembangkan nilai etika yang berwawasan lingkungan yang dikenal dengan etika lingkungan. Etika Lingkungan merupakan sebuah disiplin filsafat yang menjelaskan bagaimana hubungan moralitas antara manusia dengan lingkungan atau alam serta menyoroti sikap dan perilaku manusia. Celia Deane mengemukakan bahwa etika lingkungan memiliki tugas mengembangkan asas-asas berkenaan dengan tindakan manusia terhadap dunia yang bukan manusia.38 Sonny Keraf mendefinisikan pengertian etika lingkungan dalam tiga bagian yaitu:39 Pertama, Antroposentrisme yaitu teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Hal ini melihat bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia dan kepentingan manusia mempunyai kepentingan paling tinggi di alam semesta. Kedua, Biosentrisme yaitu teori yang menekankan bahwa tidak saja manusia yang memiliki nilai, tetapi alam juga memiliki nilai tersendiri terlepas dari kepentingan manusia. Teori ini memberikan penegasan bahwa setiap makhluk hidup yang ada dalam lingkup alam semesta memiliki nilai sehingga pantas diperhatikan secara moral. Teori ini memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki tanggungjawab moral tidak saja kepada manusia tetapi juga pada alam. Ketiga, Ekosentrisme yaitu teori yang memusatkan etika pada keseluruhan komunitas ekologis baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya memiliki keterikatan. Pemahaman ini menuntut suatu 38 39
Deane-Drummond, Teologi & Ekologi, 75. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Buku Kompas, 2002), 33-81.
11
etika yang tidak hanya berpusat pada kepentingan manusia melainkan berpusat pada keseluruhan ekologis dalam upaya mengatasi persoalan dan krisis lingkungan hidup yang terjadi. Karena itu, tanggung jawab moral tidak saja dibatasi pada makhluk hidup melainkan berlaku bagi semua realitas ekologis. 2.3. Hutan Hutan merupakan bagian dari kesatuan ekologis yang olehnya manusia memiliki berbagai sumber kebutuhan baik itu sandang, pangan dan papan. Indriyanto memaparkan pemikiran menurut Kadri yaitu hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan ekosistem.40 Sebagai suatu persekutuan hidup maka realitas ekologis yang ada di dalamnya akan saling menopang satu dengan yang lainnya untuk berkembang dan bertumbuh. Dikemukakan oleh Simon Hasanu bahwa hutan merupakan suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pohon atau vegetasi berkayu, yang mempunyai luasan tertentu hingga membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi yang spesifik.41 Hutan juga merupakan masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis. Hutan dapat dibedakan menjadi dua jenis: hutan tak sejenis (heterogen) atau hutan campuran yang terdiri atas macam-macam tumbuhan seperti hutan alam atau hutan tanaman. Jenis hutan yang kedua ialah hutan sejenis (homogen) atau hutan murni, adalah hutan yang didominasi oleh beberapa jenis tumbuhan yang terdiri dari 80% dari keseluruhan populasi misalnya hutan jati, mahoni. Hutan ini dapat disebut hutan alam karena terbentuk dengan sendirinya.42 Hutan memiliki peran penting dalam keberlangsungan makhluk hidup, secara langsung maupun tidak langsung pemanfaatan sumber daya alam dari hutan selalu dipakai. Manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki berbagai kebutuhan dan keinginan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan, tidak segan menggunakan sumber daya alam hutan untuk mencapai segala kebutuhannya. Asumsi untuk terus mengkonsumsi hasil hutan membuat manusia menjadi makhluk yang melupakan dan mengabaikan kesadaran dan tanggung jawab dalam penataan hutan sebagai bagian dari kesatuan ekologis.
40
Indriyanto, Ekologi Hutan, 4. Simon Hasanu, Hutan Jati dan Kemakmuran (Yogyakarta: Aditya Media, 1993), 13-15. 42 Arifin, Hutan dan Kehutanan (Yogyakarta: KANISIUS, 2001). 37. 41
12
Ekologi hutan merupakan suatu ekosistem sekaligus sebagai bagian dari masyarakat secara umum. Ekologi Hutan adalah cabang dari ekologi yang mempelajari tentang ekosistem Hutan.
43
Ekologi Hutan mempelajari hubungan timbal balik antara organisme satu dengan
lainnya serta dengan semua komponen lingkungan yang ada dalam ekosistem hutan. Menurut Soerianegara dan Indrawan, hutan sebagai suatu ekosistem dapat dipahami dari dua segi yaitu: segi autekologi merupakan ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya, dan segi sinekologi yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Hubungan yang saling menopang antara setiap sistem kehidupan di dalam hutan menuntut agar hutan dapat menjadi rumah atau tempat tinggal nyaman untuk menampung kehidupan setiap organisme yang ada di dalamnya. Melihat pentingnya hutan sebagai penolong makhluk hidup, maka Arief Arifin mengemukakan dua fungsi hutan yaitu:44 Pertama, fungsi pelindung yaitu hutan berfungsi sebagai pelindung (hutan lindung) yaitu kawasan yang keadaan alamnya diperuntukkan sebagai pengaturan tata air, pencegahan banjir, pencegahan erosi, dan pemeliharaan kesuburan tanah. Kawasan hutan lindung merupakan kawasan yang memiliki curah hujan tinggi dan struktur tanah yang mudah meresapkan air. Dengan demikian sistem hidrologi berlaku di mana hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan atau embun. Kedua, fungsi produksi di mana hutan memiliki peran penting dalam bidang ekonomi karena produksi hasil hutan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Ini merupakan kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan untuk memperoleh hasil. Adapun fungsi lain dari hutan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan: Pertama, fungsi kawasan suaka alam berfungsi sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kedua, kawasan pelestarian alam dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan mempunyai fungsi sebagai sitem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam dapat digunakan untuk kegiatan penelitian dan kegiatan lain yang dapat menunjang budi daya serta kegiatan wisata alam. Ketiga, hutan berfungsi sebagai penghasil dan penyeimbang oksigen bagi makhluk hidup dalam proses respirasi bersama hidrogen akan 43 44
Arifin, Hutan dan Kehutanan, 3. Arifin, Hutan dan Kehutanan, 54-79.
13
membentuk air yang merupakan cairan utama dalam penyusunan tubuh. Hutan tidak hanya berfungsi dari kayunya saja, tetapi karena sumber daya alam dan sumber hayatinya dapat mencegah terjadinya kekeringan dan kepanasan serta cuaca buruk akibat perubahan cuaca yang sangat merugikan manusia. Hal ini dikarenakan hutan dapat menyimpan berjuta-juta kubik air yang dijadikan sebagai mata air di sungai-sungai dan uap air ke udara sebagai proses awal timbulnya hujan. Fungsi hutan memiliki cakupan yang luas, tidak saja pada pemenuhan ekonomi dan pelestariannya. Adapun fungsi lain dari hutan dalam kebudayaan atau adat tertentu yaitu hutan berfungsi sebagai tempat ibadah atau tempat keramat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa istilah yaitu: Pertama, dinamisme berasal dari bahasa Yunani dynamis yang berarti kekuasaan, kekuatan, khasiat.
45
Dinamisme ialah kepercayaan kepada suatu daya kekuatan
atau kekuasaan yang keramat dan tidak berpribadi, yang dianggap halus maupun berjazad seperti fluidum yang dapat dimiliki maupun tidak oleh binatang, benda dan manusia. Kedua, Animisme berasal dari bahasa Latin anima yang artinya roh atau nyawa. Di dalam animisme terdapat daya kekuatan yang berpribadi yang bekerja pada manusia karena kehendaknya.46 Kekuatan dan daya itu dialami oleh manusia primitif seebagai kesewenang-wenangan yang diperbuat oleh daya-daya itu yang lebih dari manusia dan tidak dapat dimengerti oleh manusia primitif. Ketiga, jiwa dalam arti sebenarnya yang memisahkan diri dari tubuh pada saat seseorang meninggal dunia, secara personal menetap di dunia roh (geestenland) yang sama seperti dunia sekarang ini (bumi). Jiwa ini masih menjalani beberapa kali kematian (umumnya 7 - 9 kali) lalu akhirnya kembali menjadi daya hidup (zielstof). Adapun jiwa yang berdiam ditanaman seperti pohon. Pohon itu adalah sakral, yang selalu dipakai oleh imam dalam hampir semua aktivitas ritualnya. Jiwa atau daya hidup dari pohon itu selalu dicoba untuk bisa dipindahkan kepada manusia.47 Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi itu di atas, maka hutan tidak hanya berperan pada kebutuhan material bagi manusia melainkan hutan juga menjadi suatu kebutuhan kepercayaan “jiwa” bagi masyarakat primitif. Kepercayaan inilah yang terus terpatri dan menjadi hal yang mendasar agar hutan tetap dijaga kelestariannya sebagai suatu kesatuan alam. Kesadaran ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia juga merupakan bagian dari alam yang seharusnya saling menopang dan menjaga. 45
A. G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 33-35. Bambang R. Utomo, Sekilas Mengenal Berbagai Agama dan Kepercayaan di Indonesia (Malang: Pusat Pembinaan Anggota Gereja, 1992), 15-17. 47 Kruijt, C. Alb, Kepercayaan Animisme di Indonesia (Rotterdam: Electrische Drukkerij, D. van Sijn & Zoon, tanpa tahun). Diterjemahkan oleh Dr. Eben Nuban Timo – Bahan Kuliah Metode Penelitian Teologi. 46
14
2.4.
Ekoteologi Hutan Proses berteologi dalam ranah ekologi tentu menjadikan Alkitab sebagai tolok ukur
secara dasariah untuk memahami konsep keterikatan makhluk hidup dalam kesatuan ekologis. Hutan merupakan bagian integral dari kesatuan ekologis yang menyita perhatian dari kaum teolog, agar dalam proses berteologi yang dilakukan mampu menyinggung tatanan kesatuan hutan yang saat ini terancam kelestarian dan keutuhannya. Krisis ekologi hutan saat ini yang mengakibatkan minimnya fungsi hutan serta pengabaian kesadaran ekologi, mengundang perhatian dari para teolog untuk menyikapi masalah tersebut. Adanya konsep untuk “menguasai” alam yang tersurat dalam Alkitab menjadi salah satu kritik tajam dari beberapa ahli terhadap agama Kristen. Ini dianggap doktrin yang menuntun manusia melupakan kewajibannya untuk melindungi alam sebagai tempat tinggalnya. Pemahaman eko-teologi yang tepat dituntut untuk menuntun kembali manusia kepada perilaku yang tepat. Setyawan mengemukakan pandangan dari Ruther yang membagi ekoteologi ke dalam dua bagian besar, yakni48 eko-teologi yang didasarkan pada ide perjanjian (covenantal)
dan
sakramental
(sacramental).
Teolog-teolog
protestan
cenderung
mengembangkan eko-teologi covenantal, yang menekankan pada sumber-sumber biblis terutama ide perjanjian dalam pengusahaan eko-teologinya. Sedangkan teolog-teolog Katolik menekankan pada tradisi sakramental, tidak hanya sumber-sumber biblis tetapi juga pemikiran-pemikiran bapa-bapa gereja dan mistikisme abad-abad pertengahan. Pandangan tentang eko-teologi ini yang harus dikaji agar penerapannya dapat terelaisasi dalam setiap bidang ekologi seperti hutan yang memiliki makna ganda dengan nilai “sakral” serta telah terpola dalam kehidupan masyarakat tertentu. Kompleksitas fungsi hutan bagi masyarakat tertentu memiliki nilai yang dijunjung melalui kearifan lokal. Hutan bukan saja sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi melainkan memiliki makna yang “sakral” sehingga memiliki kesatuan dengan manusia. Hutan yang adalah bagian dari kesatuan ekologis diberikan penghargaan yang begitu tinggi dengan pemahaman dinamisme. Setiap roh leluhur dipercaya menempati pohon-pohon di hutan sehingga bentuk berteologi yang dilakukan terhadap hutan dengan cara menjaga agar hutan tersebut tidak punah. Kemajuan globalitas yang merambah hingga seluruh lapisan kehidupan manusia, merubah aspek dan pola berteologi yang kental dan erat dengan alam. Hutan yang memiliki
48
Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi, 14.
15
nilai sakral semakin hari mencerminkan krisis yang mendalam. Krisis itu memberikan pengaruh dan dampak yang signifikan bagi manusia. Melalui krisis ekologis yang semakin nampak dengan kapasitas perkembangan teknologi mengakibatkan para ahli menelaah sebab akibat dari krisis tersebut yang dianggap berasal dari konsep penciptaan yang ada di dalam Kitab Kejadian. Inilah mengapa pembenahan dalam penyampaian makna kisah penciptaan ini harus terus dilakukan oleh para teolog. Penafsiran yang tepat secara efisien perlu ditempuh untuk memberikan cerminan baru yang tepat dan tanpa mempersalahkan teks yang telah dikanonkan. 2.5.
Kesimpulan Eko-teologis berangkat dari pemahaman tentang bagaimana berteologi dengan seluruh
ciptaan sebagai suatu kesatuan ekologis. Dalam konsep penciptaan manusia diberikan tugas sebagai yang bertanggungjawab atas pemeliharaan dan perawatan alam yang ada dan bukan “menguasai”. Pemahaman yang tepat akan menuntun manusia untuk mengaplikasikan perilaku yang tepat pula pada alam. Konsep tentang taman eden sebagai tempat yang indah dapat dipakai oleh manusia modern pada saat ini. Modernisasi yang menuntut produktifitas perlu disegarkan kembali dengan konsep yang praksis. Taman eden sebagai tempat yang asri, dengan ketersediaan segala sesuatu yang melibatkan tanggung jawab manusia sebagai agen pemelihara segala yang baik dari Sang Pencipta. Jika hutan dicitrakan sebagai taman eden maka manusia dapat membangun kesadaran dan tanggung jawab moral serta merintis kembali hidup beretika terhadap pemeliharaan dan pelestarian ekologi. Untuk menata dan merawat kembali hutan dari krisis ekologis yang makin marak ini maka selain peninjauan kembali pada pemahaman akan teks Alkitab, manusia perlu mengubah cara pandangnya terhadap alam yang akan berdampak pada perubahan perilaku yang bersahabat dan saling menjaga. Perilaku sadar ekologi yang dalam ungkapan Fritjof “melek ekologi” dapat dibangun melalui prinsip-prinsip dasar ekologi. Prinsip ini dapat dijadikan bagian integral dari kehidupan manusia yang perlu dihayati dan dilakukan. Dengan demikian pembangunan kembali kesatuan ekologis dapat dilakukan dengan penuh tanggungjawab. 3. Deskripsi Hasil Penelitian mengenai “Tinjauan Ekoteologis Tentang Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek” 3.1.
Gambaran Keadaan Hutan Camplong
Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Camplong terletak di daratan Pulau Timor sekitar 45 km sebelah timur Kota Kupang, ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara 16
administrasi pemerintahan, kawasan ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Taman Wisata Alam Camplong49 memiliki luas 696,60 hektar yang termasuk dalam kelompok hutan sisimeni sanam RTK 2. TWA Camplong merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang ditunjuk melalui beberapa keputusan antara lain: SK Residen Timor Tahun 1928, menetapkan kawasan hutan Camplong seluas 475 hektar fungsi hutan lindung, SK Menteri Pertanian RI Nomor: 183/Kpts/UM/III/1980 tanggal 17 Maret 1980, tentang luasan kawasan hutan sismeni sanam 1.640.000 hektar, SK Gubernur Kepala Daerah NTT Nomor: 86/BLKH/1982 tanggal 30 Maret 1982 menetapkan Hutan Taman Wisata Alam Camplong dengan luas 2.000 hektar. Dibuat berita acara tata batas tanggal 8 Juni 1982 dan disahkan oleh Menteri Kehutanan RI pada tanggal 25 Desember 1982 dengan luas 696,60 hektar, SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 89/Kpts-II/1983 tanggal 2 Desember 1983 sebagai kawasan hutan TGHK dengan fungsi masing-masing HW//HAS/HL/HPT/HPK dengan luas 1.667.962 termasuk hutan Taman Wisata Alam Camplong dengan luas 696,60 hektar, SK Menhutbun RI Nomor: 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999, tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur, termasuk hutan Taman Wisata Alam Camplong dengan luas 696,60 hektar, SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 347/Kpts-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Camplong dengan luas 696,60 hektar.50 Berdasarkan penetapan SK yang dikemukakan di atas ketika Kawasan Hutan Camplong berbadan hukum dan ada penetapan kawasan secara administrasi pemerintahan, maka terjadi perubahan serta alih fungsi dari Hutan Lindung menjadi TWA Camplong. Perubahan ini memberi dampak nyata bagi TWA Camplong yaitu mulai adanya pengunjung yang berekreasi di Oenaek. Minat para pengunjung pada TWA Camplong didukung oleh adanya jasa lingkungan seperti kolam renang, sumber mata air, gua alam dan beberapa satwa seperti buaya muara dan ular sanca Timor. Selain itu keadaan lingkungan yang sejuk memberikan kenyamanan bagi para pengunjung maupun masyarakat yang berdomisili di sekitar TWA Camplong. 3.2.
Gambaran Keadaan Masyarakat Camplong
Keadaan masyarakat Camplong mengalami perubahan yang terstruktur dari masa kefetoran sampai pada pola kepemimpinan desa dan kelurahan. TWA Camplong berada dalam dua wilayah yaitu desa Camplong II dan Kelurahan Camplong I. Batas wilayahnya 49
Selanjutnya dalam deskripsi hasil penelitian penulis akan menuliskannya dengan TWA Camplong. Gufran, SST, Laporan Pelaksanaan Kegiatan Patroli Pengamanan Rutin di Taman Wisata Alam Camplong, Kupang, 2012. Hlm. 1-2
50
17
langsung dapat dilihat dari batasan jalan raya. Perubahan kepemimpinan dimulai sejak tahun 1940-1969
diberlakukan
kepemimpinan
oleh
Temukung,
1970-1998
diberlakukan
kepemimpinan oleh Kepala Desa Camplong I dan tahun 1999-sekarang dipimpin oleh Lurah Camplong I. Keadaan masyarakat Camplong dipengaruhi sistem budaya yang masih melekat dan ditransmisikan secara turun temurun yang kemudian terpola dalam kehidupan masyarakat, hal ini terlihat dengan presentase mata pencaharian penduduk yang didominasi oleh petani karena wilayah Kelurahan Camplong I yang berada di wilayah pegunungan. Potensi mata pencaharian masyarakat Camplong dipengaruhi oleh kondisi geografis yaitu keadaan iklim pada umumnya sama dengan wilayah di NTT yaitu terdiri dari musim kemarau dan hujan. Keadaan musim berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November.51 Kondisi geografis antara Desa Camplong II dan Kelurahan Camplong I adalah sama karena letak dan batasan wilayah yang tidak terlalu signifikan. Dengan keadaan tersebut maka masyarakat selalu menjadi agen dalam pengembangan kebutuhan ekonomi mereka melalui alam sekitar. Karena itulah sejak dulu masyarakat Timor selalu menjaga kelestarian alam yang memiliki fungsi ganda yaitu sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi serta penjaga kelestarian tempat mereka tinggal. 3.3.
Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Terhadap Fungsi Hutan Oenaek
Perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan Oenaek disebabkan karena adanya pergeseran makna yang mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat. Lunturnya pandangan yang luhur terus terpola dalam aktivitas hidup yang memberi dampak nyata pada perubahan lingkungan khususnya hutan Oenaek. Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa temuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan Oenaek. 3.3.1. Hutan Alam Beralih Menjadi Hutan Produksi Nama Camplong berasal dari bahasa Timor “Sanaplop” yang adalah salah satu pohon besar yang ada di pulau Timor. Buah dari pohon itu sering dipakai oleh orang Timor sebagai alat penerang saat makan malam atau menyambut tamu.
52
Kepercayaan orang Timor dulu
ialah hutan yang terdiri dari komunitas pepohonan yang ada di Camplong berasal dari buah pohon Sanaplop. Buah pohon Sanaplop jatuh ke dalam air yang ada di bawah pohon itu dan kemudian air mengalirkan buah-buah itu ke tempat yang baru dan di situlah mulai tumbuh pohon-pohon yang baru. Demikian pun pada malam hari kelelawar makan buah dari pohon 51
Egber Nahakuain, Rencana Strategis Pembangunan Kelurahan Camplong I Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang Provinsi NTT Periode 2013-2017, (Camplong, 2012), 6-7. 52 Trianus Bani. Wawancara pada hari Senin 24 Agustus 2015. Pkl 14.39 WITA di rumah Bpk. Trianus Bani
18
itu dan menjatuhkan bijinya di tanah sehingga tumbuh lagi pohon yang baru.53 Berdasarkan pemahaman sejarah ini kemudian menimbulkan nilai sakral akan adanya penghormatan terhadap hutan yang terdiri dari komunitas pepohonan yang pada masa lampau dapat menjadi penolong bagi orang Timor pada waktu malam. Pohon-pohon yang tumbuh secara alamiah itu membentuk suatu kawasan hutan yang indah dan asri. Pohon-pohon tersebut memberikan sumbangsi besar yang berfungsi sebagai penyerap air saat hujan dan melalui itu terbentuk satu kolam alam yang disebut oleh masyarakat setempat Kolam Oenaek. Oenaek adalah salah satu mata air di Camplong yang terletak di bawah kaki gunung Fatule’u. Oenaek dalam bahasa Timor disebut “Mata Air Besar” yang dari situ mengalir beberapa mata air lain yang berada di dataran yang lebih rendah. Mata air Oenaek memberikan dampak yang positif bagi orang Timor dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup seperti mencuci, memasak bahkan untuk kebutuhan tanaman dan hewan. PDAM yang berada di Camplong pun membangun kesepakatan bersama dengan pemerintah dan tokoh adat untuk pemanfaatan air bersih bagi warga. Potensi mata pencaharian orang Timor yang adalah petani didukung dengan adanya mata air Oenaek dan karena itu mereka sangat menjaga kelestarian hutan agar debit mata air Oenaek tetap terjaga. Namun sangat disayangkan, kehidupan orang Timor yang dulu sangat menyatu dengan alam kini seakan hampir tidak terlihat. Keadaan asri dan sejuk semakin lama berubah menjadi cuaca yang panas dan gersang. Air yang beberapa tahun lalu terus mengaliri selokan-selokan sekalipun pada musim kemarau dan membasahi tanah, sekarang sudah tidak ada. Diungkapkan oleh Bpk. Trianus Utan sebagai Amaf Besar di wilayah kefetoran Manbait, hal ini disebabkan karena adanya peralihan dari hutan alam menjadi hutan produksi. Hutan alam yang tumbuh secara alami memberikan keseimbangan curah hujan yang tepat batas tanpa mengurangi keseimbangan ekosistem di Camplong. Hematnya, hal ini berubah ketika hak tanah ulayat dialihfungsikan menjadi hutan produksi dengan komunitas tumbuhan produksi seperti pohon jati yang berpotensi menciptakan kebakaran setiap tahun.54 Ketidakstabilan ekosistem yang ada di Camplong mulai merambah pada margasatwa yang ada di TWA dan sekitar hutan Camplong, beberapa satwa telah punah seperti biawak, rusa, beberapa jenis burung, ular. Ini merupakan realitas krisis ekologi yang tampak jelas ada di TWA Camplong. Debit air yang mulai berkurang memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat baik 53
F.H. van de Wetering, De Timor Bode no. 59 Maret 1921, (Diterjemahkan oleh Eben Nuban Timo), 2. Hak Tanah Ulayat : Tanah yang berada dalam wilayah kefetoran, dan kemudian oleh tokoh-tokoh adat dibagikan bagi orangtua-orangtua dulu pada saat itu. Biasanya tata letak batas tanah akan ditandai dengan fam/marga (milik keluarga tertentu). 54
19
untuk pemenuhan kebutuhan primer dalam rumah tangga maupun kebutuhan lahan dan peternakan. Ini merupakan fakta yang terjadi di Camplong yang telah mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap hutan. Hutan saat ini dipandang sebagai aset yang memiliki nilai produksi. Disamping itu, padatnya lahan pemukiman penduduk yang sudah ada di Camplong menjadi salah satu sebab karena terus dilakukannya pembangunan dan meminimalkan pertumbuhan pohon-pohon sebagai penyeimbang ekosistem dan penyangga tatanan mata air Oenaek. Realitanya penduduk yang ada dan tinggal di wilayah Camplong baik kelurahan maupun desa, tidak saja didominasi oleh orang Timor saja melainkan sudah terdapat banyak pendatang baik dari beberapa pulau yang ada di NTT maupun dari luar. Para pendatang yang berdomisili di Camplong disebabkan karena usaha perdagangan maupun perkawinan dengan masyarakat lokal. Jika ditelaah maka krisis ekologis yang terjadi di Camplong karena adanya ketidaksadaran moral dari seluruh masyarakat yang berdomisili di Camplong. Kebudayaan yang terpatri dalam diri orang Timor mulai bergeser fungsinya dengan dasar kebutuhan konsumen yang ada sehingga menjadikan hutan Camplong sebagai lahan produksi. Sistem kapitalisme mulai menjadi faktor penting yang tanpa disadari merusak tatanan alam di Camplong. Beberapa masyarakat karena tuntutan ekonomi menjual tanah kepada para pendatang dan kemudian dilakukan berbagai pembangunan. Beberapa pendatang yang tinggal pada lahan terbatas (pendatang yang berdagang), para wisatawan yang berekreasi berpotensi menimbulkan tumpukan sampah pada area-area tertentu bahkan menutup saluran aliran air. Diungkapkan oleh salah satu masyarakat Camplong, ini pun disebabkan oleh karena kurang adanya pengawasan secara efektif dari pihak pemerintah yang secara administratif bertanggungjawab mengarahkan dan bersama dengan tokoh adat, masyarakat maupun pihak agama menjaga kelestarian ekologis di Hutan Camplong. Realita akan adanya perubahan status hutan dari hutan alam menjadi hutan produksi berdampak pada perubahan pandangan masyarakat akan hutan. Perubahan pandangan itu kemudian berpengaruh pada sikap hidup masyarakat Camplong yang memandang hutan bukan lagi sebagai subyek melainkan obyek yang memberikan nilai produksi dan siap untuk digunakan. 3.3.2. Hutan Sebagai Subyek Beralih Menjadi Hutan Sebagai Obyek Sebelum terbentuk menjadi desa dan kelurahan, Camplong masih merupakan wilayah kefetoran yaitu dalam wilayah kefetoran Manbait. Kehidupan masyarakat pada masa lampau
20
atau dengan sebutan ”atoni meto”55 sangat menyatu dengan alam khususnya hutan dan air. Diungkapkan oleh salah satu ketua LPA (Lembaga Pemangku Adat) Manbait, atoni meto itu kalau jalan dan ketemu air pasti mereka akan tinggal di situ karena mereka menganggap bahwa air merupakan sumber kehidupan utama tidak saja bagi manusia tetapi juga bagi binatang karena orang Timor sering memelihara binatang.”56 Tidak hanya itu saja, hutan Camplong yang pada saat ini secara administrasi pemerintahan telah menjadi TWA Camplong, dulu sangat dipelihara karena mereka menganggap bahwa hutan khususnya pohon itu memiliki “nyawa”.57 Ditambahkan pula olehnya bahwa sebutan hutan Camplong dulu ialah “Nais Talas” yang dalam Bahasa Indonesia disebut Hutan Larangan atau Hutan Tutupan. Dengan adanya pandangan sakral masyarakat lampau yang menyebut hutan Camplong adalah Nais Talas, maka ketika melewati hutan mereka cenderung menggunakan simbol non verbal yaitu berjalan dengan melipat tangan di dada.58 Dengan adanya pemahaman ini maka sulit bagi masyarakat untuk masuk hutan dan ambil sesuatu. Ada pernyataan sikap yang ditunjukkan oleh orang Timor lewat sumpah adat. Ada istilah “kalau sudah buang ludah tidak mungkin jilat kembali” sehingga kalau dijaga ataupun tidak keadaan hutan tetap aman dan lestari. Kehidupan masyarat Camplong yang menyatu dengan hutan terus terjaga karena bagi mereka hutan adalah bagian atau “sebelah badan” mereka. Mereka menjaga hutan layaknya menjaga diri. Hutan adalah subyek yang tetap harus terlindungi dan terus hidup. Di dalam hutan menyimpan banyak kehidupan baik secara alamiah maupun adanya pandangan sakral. Hutan adalah tempat di mana para roh leluhur mereka tinggal. Karena itu maka mereka sangat menghindari akan adanya kerusakan hutan yang berpotensi memusnahkan seluruh potensi kehidupan yang ada di dalamnya. Seiring adanya perkembangan teknologi dan tuntutan hidup maka hutan bukan lagi dipandang sebagai subyek melainkan beralih menjadi obyek pemenuhan kebutuhan. Pandangan hutan sebagai obyek didasarkan pada pemahaman akan adanya keuntungan yang diperoleh dari hasil-hasil hutan. Hal ini terlihat seperti adanya penebangan pohon yang sekalipun dibekali dengan surat ijin dapat menimbulkan jumlah resapan air berkurang bahkan 55
Atoni Meto adalah bahasa Timor yang menunjukkan arti identitas diri orang Timor: Sebutan yang merujuk pada orang “laki-laki” dalam suku Timor. 56 Bpk. Aldrian A. Bait. Wawancara pada hari Sabtu 22 Agustus 2015. Pkl 12.04 WITA di rumah Bpk. A. A. Bait 57 Bpk. Melkias Bait. Wawancara pada hari Rabu 19 Agustus 2015. Pkl 11.11 WITA di rumah Bpk. Melkias Bait 58 Melipat tangan di dada merupakan simbol penghormatan bahwa hutan memiliki nilai sakral serta adanya peringatan bahwa hutan tidak boleh ditebas melainkan harus tetap dihormati.
21
kehidupan di dalam hutan terancam punah. Penebangan pohon yang membentuk hutan alam tersebut kemudian diganti dengan tanaman-tanaman produksi yang memiliki nilai jual. Selain itu, salah satu hal krusial yang terjadi yaitu adanya perambahan hutan untuk membentuk pemukiman penduduk yang berpotensi terjadinya pemunahan beberapa komunitas pepohonan. Adapun kebakaran yang dilakukan oleh beberapa pihak baik oleh masyarakat maupun orang yang berada di luar wilayah Camplong. Berdasarkan hasil observasi dari penulis ketika melakukan penelitian di TWA Camplong, kebakaran hutan menjadi salah satu realitas yang terjadi saat ini. Hal ini dapat dilakukan karena adanya unsur kesengajaan maupun tidak oleh masyarakat setempat. Kebakaran hutan yang terjadi semakin meminimalkan lahan hutan. Ini menjadi salah satu dampak buruk ekologis karena tidak adanya tanggungjawab moral dan etis dari manusia sebagai agen pelestarian hutan. Manusia kini memandang hutan bukan sebagai subyek melainkan obyek pemenuhan kebutuhan yang tanpa permisi dapat dengan mudah digunakan tanpa adanya negosiasi dan kesepakatan. Demikian pandangan sakral yang dipelihara oleh atoni meto telah bergeser menjadi pandangan yang melibatkan sistem kapitalisme dan produksi. Pergeseran pandangan itu memberikan dampak nyata bagi krisis ekologis di wilayah Camplong. 3.3.3. Hutan Sebagai Tempat Pelaksanaan Ritual Ibadah Beralih Fungsi Menjadi Tempat Rekreasi Setiap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Timor selalu ditandai dengan adanya pelaksanaan ritus. Pelaksanaan berbagai ritual keagamaan dilakukan di tempat-tempat yang dianggap oleh mereka berdiam Uis Neno yang merupakan sebutan Tuhan bagi atoni meto. Salah satu tempat pelaksanaan ritual bagi atoni meto adalah di hutan. Hutan sebagai tempat yang sakral, sebagai tempat di mana setiap roh-roh para leluhur berdiam. Ritual tersebut disampaikan kepada Uis Neno melalui Uis Pah. Dalam kepercayaan orang Timor Uis Pah berdiam di dalam toboe atau sarang semut.59 Adanya konsep pemahaman tentang Usi dalam diri orang Timor mendukung adanya pelaksanaan ritual. “Uis Pah an bi pah pinan”, adalah ungkapan bagi fetor yang menjadi pemimpin dalam penetapan wilayah. Fetor dan tokoh adat lainnya memiliki peranan penting dalam menjaga kearifan lokal orang Timor. Kebudayaan orang Timor yang menaruh hormat kepada Uis Pah yang dipercaya sebagai pemimpin dibuktikan seperti setiap ulu hasil dari usaha mereka akan di bawa ke fetor sebelum mereka menggunakannya “puin alekot, fuak
59
Ds. Krayer Van Aalst, Toboe. Kepercayaan Orang Timor Akan Sarang Semut Zendingsbode, 1926.
22
alekot”,60 yang pada saat ini aplikasi dari hasil panen terbaik mereka bawa ke gereja. Demikian pula setiap ritual yang akan dilaksanakan disampaikan kepada tua-tua adat sebagai Uis Pah yang akan memberitahukan syarat pelaksanaan ritual. Syaratnya akan disampaikan oleh roh yang dipercaya oleh atoni meto dalam tidur malam lewat mimpi, kemudian keesokan harinya akan disampaikan persyaratan ritual tersebut untuk dipenuhi dan dilaksanakan. Demikianlah orang Timor menganggap alam merupakan pusat kehidupan mereka sehingga sikap bersahabat dengan alam menjadi landasan utama dalam sikap hidup mereka. Pelaksanaan ritual adat biasanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan seperti ketika mereka memotong pohon untuk membangun rumah, maka mereka harus melakukan upacara adat untuk memindahkan roh yang dipercaya berdiam di dalam pohon yang akan dipotong itu. Ritual adat yang dilaksanakan biasanya melibatkan tokoh adat setempat.61 Bukan saja sebatas pada ritual, pohon yang telah ditebang itu harus ditanam ulang sebagai pengganti. Dengan kearifan lokal yang kental ini maka keasrian dan keseimbangan ekologis tetap terjaga karena alam yang begitu menyatu dalam diri orang Timor. Orang Timor bukan saja menganggap hutan sebagai “sebelah badan” tetapi sebagai tempat ibadah. Bukan saja hutan yang harus mereka jaga tetapi kehidupan di dalamnya seperti sumber mata air yaitu kolam Oenaek harus mereka jaga. Salah satu ritual yang mereka lakukan seperti ketika debit air di kolam Oenaek mulai berkurang. Diungkapkan oleh Bpk. Melkias Bait sebagai salah satu Pemangku Adat Fatuleu, ritual adat tersebut pernah dilakukan sekitar tahun 1995 yaitu ketika debit air di Oenaek berkurang maka para tokoh adat memiliki inisiatif bekerjasama dengan pemerintah dan pihak agama untuk melaksankan upacara adat yang ditandai dengan doa dan pembunuhan hewan yaitu kerbau. Ketika darah hewan diteteskan di tanah bahkan di atas batu maka tempat tersebut akan mengeluarkan air. Hal ini memberikan gambaran bahwa alam sangat menyatu dengan kebudayaan/adat yang sangat melekat dalam diri orang Timor. Sikap penghormatan terhadap hutan terus dilakukan oleh masyarakat lokal (atoni meto) dan menjadi suatu kebudayaan yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi adat bahkan berpotensi akan adanya sanksi alam. Orang yang melakukan pelanggaran harus “tek oko” atau “kasih duduk tempat sirih” untuk membayar denda mereka. Denda adat biasanya dapat berupa binatang seperti babi, beras, sopi dan uang logam yang dibawa kepada fetor kemudian bersama dengan tua-tua adat berbicara lalu makan bersama di situ. Jika orang tersebut 60
Buah dan biji terbaik (hasil panen terbaik yang pertama), yang harus di bawa kepada fetor Bpk. Trianus Utan. Wawancara pada hari Selasa 25 Agustus 2015. Pkl. 08.07 WITA di rumah Bpk. Trianus Utan 61
23
melakukan lagi maka denda yang sebelumnya akan dilipatgandakan. 62 Tidak saja denda adat yang dikenakan, pelanggaran terhadap kesakralan alam dapat mendatangkan sanksi alam seperti kecelakaan karena tertindih pohon. Atas berbagai ketentuan dan sanksi inilah maka atoni meto sangat menaruh hormat pada alam dan penghormatan itu didukung oleh adanya berbagai ritual adat. Penghormatan yang begitu tinggi dipegang erat oleh orang Timor karena bagi mereka hutan yang terdiri dari komunitas pepohonan tidak saja karena memiliki nilai sakral dan sebagai tempat ibadah melainkan sebagai pendukung pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Komunitas pepohonan yang ada di hutan Camplong khususnya pada kawasan TWA Camplong memberikan kontribusi yang besar bagi mata air Oenaek. Tetapi kearifan lokal itu seakan runtuh ketika hutan bukan saja dijadikan sebagai tempat ibadah melainkan dijadikan tempat rekreasi. Hal ini didukung dengan perubahan status hutan dengan nama TWA Camplong dan bukan lagi Hutan Larangan. Hutan hanya dipandang sebagai obyek untuk memberikan keuntungan dan memiliki nilai jual bagi para pengunjung. Sekalipun telah diubah status menjadi TWA perawatan terhadap hutan dan kehidupan di dalamnya tidak begitu menolong kestabilan ekosistem di hutan Oenaek. Pemerintah sebagai pemangku kawasan telah bertugas untuk melindungi setiap kehidupan di dalam hutan, tetapi hal itu memiliki kuantitas yang sama dengan aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab. Ini merupakan realita ketika penulis melihat langsung keadaan TWA Camplong tidak lagi memberikan kesan seperti beberapa tahun lalu. Keadaannya telah berubah karena pola pikir dan pandangan oleh masyarakat setempat pun telah mengalami perubahan terhadap makna dan fungsi hutan bagi kehidupan manusia. 3.3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Terhadap Fungsi Hutan Oenaek Perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap perubahan fungsi hutan Oenaek tidak terjadi begitu saja melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 63 Pertama, memudarnya pengaruh dari struktur kekuasaan tradisional. Ini berkaitan dengan pola kekuasaan yang ditetapkan dalam wilayah kefetoran sebagai usif. Beberapa
orang
yang
dipercaya sebagai pemangku adat, karena disebabkan oleh berbagai kepentingan maka pola penguasaan dan penetapan hak wilayah tidak lagi sejalan sebagaimana mestinya. Beberapa 62
Bpk. Trianus Utan. Wawancara pada hari Selasa 25 Agustus 2015. Pkl. 08.07 WITA di rumah Bpk. Trianus Utan 63 Wawancara dengan beberapa masyarakat di Camplong dan KMJ (Ketua Majelis Jemaat) dan Wakil KMJ GMIT Betania Camplong pada hari Kamis 20 Agustus 2015 pkl 14.00 WITA dan hari Senin 24 Agustus 2015 pkl.13.20 WITA.
24
orang menetapkan haknya hanya untuk kekuasaan dan gelar. Kepercayaan kekuasaan itu tidak lagi berfokus pada bagaimana menjaga kearifan lokal seperti menjaga kelestarian hutan yang semakin lama telah memudar dan tergantikan oleh budaya produksi dan kapitalisme. Kedua, adanya perubahan status hutan dari Hutan Larangan menjadi TWA Camplong. Dengan adanya perubahan status ini maka hutan pun mengalami peralihan fungsi secara ekonomi yang mremiliki nilai produktif bagi manusia. Ketiga, adanya pembelahan hutan yang dilakukan untuk dijadikan jalan negara. Adanya jalan raya sebagai jalur perhubungan yang melintasi hutan dan berpotensi menjadikan hutan memiliki nilai ekonomis ketika dijadikan TWA Camplong. Faktor-fakor inilah yang secara konkrit dapat dilihat sebagai penyebab akan adanya perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan Oenaek. Keadaan akan adanya kesadaran terhadap perubahan ini tidak disadari oleh masyarakat setempat, para pendatang maupun para wisatawan yang mampir atau melintasi kawasan TWA Camplong. Realitanya setiap orang seakan menikmati dan memaklumi keadaan yang ada sekarang padahal jika ditelaah secara benar maka adanya perbedaan yang begitu mencolok pada kondisi cuaca yang dulunya begitu sejuk kini berubah menjadi panas dan gersang serta adanya kondisi kemarau panjang jika dibandingkan dengan waktu curah hujan. Kesadaran ini tertutup oleh adanya konsep pemenuhan kebutuhan dengan berbagai hasil hutan yang dianggap memberikan keuntungan bagi manusia. 3.4. Kesimpulan Krisis ekologis secara tidak disadari terus berkembang dan memberikan dampak negatif hampir bagi semua kalangan. Krisis ekologis yang terjadi di TWA Camplong disebabkan oleh adanya pergeseran nilai budaya yang secara tidak sadar dialami oleh masyarakat Camplong. Pergeseran budaya yang mengakibatkan adanya krisis ekologis dapat terlihat dalam beberapa poin yang dikemukakan oleh para nara sumber sebagai berikut: Pertama, pergeseran nilai budaya yang pada awalnya kehidupan atoni meto sangat menyatu dengan alam, berubah pandang ketika hutan alam dialihfungsikan menjadi hutan produksi. Kearifan lokal yang begitu melekat perlahan-lahan runtuh karena sistem kapitalisme yang merambah dalam kehidupan manusia. Tanggungjawab moral terhadap alam pun semakin diabaikan serta alam tidak lagi dipandang sebagai subyek melainkan sebagai obyek pemenuhan kebutuhan konsumen.
25
Kedua, pengalihan pola pikir dan pandangan masyarakat tentang hutan sebagai subyek kepada obyek memberikan dampak krusial bagi pelestarian hutan. Nilai sakral dalam hutan telah tergantikan dengan nilai produksi. Pemanfaatan dan pemeliharaan hutan sebagai aset jangka panjang dilupakan dan menitikberatkannya pada pemenuhan jangka pendek. Berbagai pandangan teologis tentang sadar ekologi saja tidak cukup menolong jemaat bahkan masyarakat Camplong untuk membangkitkan “sadar ekologis” yang seakan telah terkubur oleh budaya baru. Pencanangan program kebersamaan oleh pihak agama, pemerintah dan LPA (Lembaga Pemangku Adat) untuk mengayuh kembali budaya yang terlupakan perlu dilakukan agar manusia sadar bahwa tanggungjawab terhadap alam merupakan bentuk tanggungjawab terhadap diri sendiri serta kepada Sang Pencipta. 4. Tinjauan Ekoteologis Terhadap Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek Bagian ini merupakan kajian ekoteologis tentang pandangan luhur dan sakral dalam diri masyarakat Camplong khususnya atoni meto terhadap hutan Oenaek pada masa lampau yang telah beralih fungsi serta mengkaji berbagai faktor yang menyebabkan adanya perubahan pandangan masyarakat Camplong terhadap fungsi hutan Oenaek. 4.1.
Pandangan Luhur Masyarakat Camplong Terhadap Hutan Oenaek Hutan sebagai bagian dari diri masyarakat Camplong yang dianggap memiliki nilai luhur,
nilai yang sakral dan harus terus dijaga kelstariannya. Kearifan lokal ini menjadi suatu pola hidup bagi atoni meto dengan terus membiarkan diri mereka menyatu dengan alam. Bagi mereka kehidupan manusia bergantung pada alam sebab alam khususnya hutan adalah saudara dan juga sebagai tempat untuk melindungi kehidupan yang ada di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa atoni meto menganut kepercayaan dinamisme yaitu adanya daya kekuatan yang tidak berpribadi seperti roh-roh leluhur yang telah meninggal akan menempati hutan baik itu pada pohon-pohon maupun batu-batu besar. Kepercayaan ini menjadi dasar bagi mereka untuk menjaga kelestarian kestabilan hutan sebab ada kehidupan di dalamnya. Kepercayaan bahwa di dalam pohon-pohon besar ada jiwa yang berdiam di sana. Karena itulah ketika atoni meto menebang pohon selalu diadakan ritual untuk “minta permisi” sekaligus memindahkan roh yang ada di dalam pohon itu ke tempat yang lain. Penghargaan diri terhadap alam dilakukan oleh atoni meto karena mereka sadar akan pentingnya makna dan fungsi hutan. Bagi mereka hutan memiliki fungsi pelindung di mana hutan Oenaek menjadi kawasan yang menolong pengaturan debit mata air Oenaek serta memberi kesuburan tanah di wilayah tersebut. Hal ini memberikan dampak positif sebab 26
kondisi tanah yang cenderung berbatu dapat meresapi air melalui akar pohon-pohon besar yang membentuk hutan alam di Camplong. Dengan demikian hutan Oenaek yang ada di Camplong tidak saja sebagai tempat pelaksanaan ritus-ritus ibadah karena memiliki makna sakral melainkan juga sebagai gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan atau embun. Hasilnya terlihat dengan adanya kolam Oenaek yang menolong kehidupan primer bahkan pertanian dan peternakan masyarakat setempat serta mengaliri beberapa mata air lainnya yang ada di sekitar wilayah Camplong. Dalam rangka menjaga hutan Oenaek maka ditetapkan hutan itu sebagai Hutan Larangan atau dalam bahasa Timor disebut Nais Talas. Berbagai aturan ditetapkan oleh masyarakat lampau yang kemudian dilaksanakan melalui kepemimpinan yang ada pada saat itu yaitu pola kepemimpinan fetor. Fetor dianggap sebagai Uis Pah atau pemimpin dalam suatu wilayah kefetoran tertentu. Aturan-aturan yang ditetapkan seperti harus adanya pelaksanaan ritual adat ketika mengambil hasil hutan seperti pohon, harus dilaksanakan secara benar dengan memenuhi berbagai ketentuan adat “sesajen” bagi roh-roh yang ada di hutan. Jika hal-hal itu dilanggar maupun secara sengaja tidak dilakukan aturan-aturan yang telah ditetapkan maka akan adanya sanksi adat bahkan berpotensi menimbulkan sanksi alam seperti sakit, bencana maupun kematian. Paham tentang Biosentrisme di dalam konsep Etika Lingkungan menjadi hal yang secara tidak langsung hidup dalam imajinasi masyarakat Camplong tentang hutan. Paham ini menekankan bahwa tidak saja manusia yang memiliki nilai melainkan alam pun memiliki nilai tersendiri. Hal ini berarti bahwa hutan Oenaek memiliki nilai yang telah terpatri di dalam diri masyarakat setempat serta tetap dijunjung tinggi dengan adanya tanggungjawab moral untuk menjaga dan merawat hutan. Atoni meto berusaha menjaga kehidupan yang beretika dengan alam tempat di mana mereka tinggal dan hidup di dalamnya. Nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat terhadap alam sangat besar dipengaruhi oleh pengalaman hidup mereka akan adanya kuasa dan daya yang hidup di dalam hutan. Hal ini menegaskan adanya hubungan manusia dengan alam yang memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa sehingga manusia harus tunduk terhadap alam dan menghormatinya seperti dengan menggunakan sesajen. Ini merupakan pengaruh besar bagi pola kehidupan dan pandangan masyarakat Camplong pada waktu dulu terhadap hutan. Hutan yang dipandang sebagai ruang kuasa yang memiliki nilai sakral harus dihargai tanpa adanya perusakan. Dalam kehidupan atoni meto di Camplong pada masa lampau hutan masih merupakan hutan alam serta sebagai subyek dan bagian dari diri mereka. Hutan belum 27
dialihfungsikan menjadi hutan yang memiliki nilai produktif yang siap memberikan keuntungan bagi aktivitas manusia. Masyarakat Camplong pada masa lampau memandang bahwa diri mereka harus dibekali tanggungjawab. Sebab jika terjadi kerusakan hutan maka mereka merasa bahwa hal itu terjadi dalam diri mereka. Kehidupan masyarakat pada masa lampau belum mengenal agama khususnya Kekristenan sehingga mereka percaya bahwa Tuhan, sumber hidup mereka ada di dalam hutan. Konsep inilah yang mengharuskan mereka agar hutan tetap terjaga agar tempat di mana berdiam Tuhan bagi mereka tidak punah dan tetap dapat ditemui melalui berbagai pelaksanaan ritual adat. Konsep biosentrisme yang melekat dalam diri atoni meto beralih pada konsep antroposentrime yang memfokuskan nilai moral pada kepentingan dan pemenuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan status hutan menjadi hutan produksi. 4.2. Kajian Ekoteologis Tentang Perubahan Pandangan Masyarakat Camplong Mengenai Fungsi Hutan Oenaek Perubahan pandangan masyarakat Camplong mengenai fungsi hutan Oenaek karena adanya pergeseran makna dan nilai budaya lokal. Komunitas pepohonan yang membentuk hutan alam dialihfungsikan menjadi hutan produksi dengan cara menanam berbagai tanaman yang memikiki nilai produktif seperti penetapan lahan untuk hutan jati. Perubahan ini mengakibatkan hutan sebagai fungsi pelindung beralih ke fungsi produksi di mana hutan dianggap memiliki peranan penting dalam bidang ekonomi karena produksi hasil hutan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Tanpa disadari hal ini bukannya memberikan dampak positif melainkan menimbulkan adanya kebakaran setiap tahun. Hutan produksi seperti hutan jati akan terlahap api lebih cepat dibandingkan dengan hutan alam. Kesewenangan itu dilakukan oleh manusia sebab setiap aktivitas dan peralihan fungsi hutan difokuskan pada diri manusia dan bukan pada alam. Hal ini mengarah pada paham antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta yang memiliki kepentingan lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Konsep ini menjadikan manusia menganggap alam sebagai obyek yang siap untuk digarap dan bukan subyek yang seharusnya dilindungi dan dijaga. Pohon-pohon ditebang untuk pemenuhan proses pembangunan dan diganti dengan tanaman produksi yang berdampak pada kurangnya penampungan serapan air hujan untuk mata air yang ada di hutan Oenaek.
28
Perubahan paradigma dan pola pikir masyarakat menjadikan hutan Camplong bukan sebagai tempat sakral untuk pelaksanaan ritus-ritus ibadah melainkan sebagai tempat yang memberikan nilai jual yaitu sebagai tempat rekreasi. Sebenarnya hal ini tidak dapat dikatakan salah, tetapi karena perubahan status hutan dari Hutan Larangan menjadi TWA Camplong membuat orang beranggapan bahwa hutan Oenaek di kawasan Camplong tidak lagi memiliki nilai yang luhur untuk terus dipelihara sebab telah ada badan hukum sebagai pemangku kawasan untuk melindungi dan merawat hutan. Masyarakat merasa tidak perlu lagi ada tanggungjawab moral untuk melindungi hutan layaknya menjaga diri mereka karena hutan yang telah berbadan hukum telah memiliki berbagai ketetapan hukum yang diarahkan pada tanggungjawab pemerintah. Perubahan paradigma ini berdampak pada perilaku manusia kepada alam yang semakin lama akan menjadi kebiasaan yang membudaya dan mengakibatkan peningkatan krisis ekologis. Krisis ekologis menjadi perhatian diberbagai kalangan ilmu termasuk dalam ilmu teologi. Beberapa ahli mencoba menelaah beberapa ajaran dalam Kekristenan yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya krisis ekologi tersebut. Hal yang disoroti dari ajaran Kristen ialah tentang konsep penciptaan yang mengatakan bahwa manusia ditempatkan dalam taman Eden untuk “mengusahakan” taman itu. Sebenarnya hal ini berarti adanya suatu tanggungjawab moral yang harus dilakukan dan bukan berpusat pada hak penguasaan. Namun sikap hidup yang terpola pada masyarakat Camplong pada saat ini dapat tergambar pada bagian lain dari kisah penciptaan yang tertulis bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah. Bagian ini memberikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang luhur yang memiliki status lebih tinggi dari pada ciptaan yang lain. Seharusnya sebagai makhluk yang luhur yang dibekali dengan akal budi dan rasionalitas, manusia mampu memposisikan dirinya dalam ciptaan untuk mengemban dan melaksanakan tanggungjawab terhadap alam seperti yang dikisahkan dalam kisah penciptaan di Kitab Kejadian. Namun hal tersebut hanya akan berhenti pada proses diskusi dan wacana jika tidak disertai dengan aksi nyata. Manusia harus disadarkan kembali dengan pemahaman ekologis yang tepat. Krisis ekologis yang terjadi di hutan Oenaek yang diakibatkan oleh berubahnya pandangan masyarakat terhadap fungsi hutan perlu disegarkan kembali dengan pencanangan berbagai kegiatan. Hal ini dapat dilakukan jika mereka menyadari kembali status dan makna hutan seutuhnya. Proses ini dapat dilakukan dimulai dengan LPA (Lembaga Pemangku Adat) yang memahami makna dan kearifan lokal yang ada dan hidup pada masa lampau. Kepentingan kekuasaan hendaknya dapat dikesampingkan dan menjadikan krisis ekologis 29
yang makin marak terjadi pada saat ini menjadi fokus utama. Melalui para tua adat dapat mentransmisikan berbagai pemahaman dan kearifan lokal yang dulunya pernah menjadi pola hidup dan kepercayaan yang tersimpan dan menjadi bagian dalam diri atoni meto. Adanya hubungan timbal balik antara satu organisme dengan lainnya maupun seluruh komponen dalam kesatuan ekologis dapat menolong manusia untuk memahami makna ekologi secara dasariah. Hubungan timbal balik serta penyadaran kembali pada pola pikir yang tepat bagi masyarakat Camplong dapat dilakukan melalui konsep “melek ekologi”. Konsep ini merupakan gambaran tentang kesadaran manusia mengenai pentingnya lingkungan hidup. Penerapan konsep “melek ekologi” dapat dijajaki dengan berbagai prinsip seperti membangun kemitraan dan menghargai keanekaragaman ekosistem yang ada di dalamnya. Sebenarnya hal ini dapat menuntun kembali masyarakat Camplong untuk menjaga hutan sebagai bagian dari hidup mereka dengan dasar pemahaman bahwa manusia adalah agen pelestari hutan bukan agen untuk “pengusahaan” hasil hutan. Kesadaran ekologis harus dilakukan secara global yang dimulai dengan perubahan dan penyegaran kembali pola pikir dan pandangan masyarakat Camplong yang kemudian dapat berpengaruh pada perilaku yang bertanggungjawab terhadap hutan. Dengan demikian maka kritik terhadap konsep penciptaan dapat dipahami kembali bahwa konsep untuk “mengusahakan” bukan berarti menguasai dan menjadikan alam atau hutan sebagai obyek melainkan “memelihara” dan menjadikannya sebagai subyek yaitu bagian dari diri manusia. Hal ini dapat dilengkapi dengan pemahaman konsep eko-teologi yang tepat dan dapat menolong manusia memahami ekologi dalam ranah teologi. Adapun dua ide yang didasarkan pada ide perjanjian dan sakramental. Di mana dengan dua konsep ini manusia tidak saja berfokus pada teks-teks Alkitab melainkan dapat menggunakan berbagai tradisi positif untuk saling melengkapi. Hal inilah yang diharapkan terjadi dalam kehidupam masyarakat Camplong agar terus menghidupkan budaya lokal yang bersifat positif sehingga masyarakat tidak lupa pada identitas diri dan perilaku hidup yang bertanggungjawab. 5. Kesimpulan dan Saran Berdasar pada hasil penelitian dan tinjauan ekoteologis yang dilakukan terhadap perubahan pandangan masyarakat Camplong mengenai fungsi hutan Oenaek, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
30
5.1. Subyek - Obyek Perubahan pandangan masyarakat terhadap hutan secara langsung mempengaruhi perilaku hidup mereka terhadap hutan. Perubahan pandangan yang terjadi yaitu hutan yang awalnya sebagai subyek dialihkan menjadi obyek produksi yang memberikan nilai dan keuntungan bagi manusia. Perilaku itu kemudian menjadi suatu kebiasaan yang menuntun masyarakat setempat pada pengabaian tanggungjawab terhadap hutan serta berpotensi memudarkan nilai-nilai moral yang hidup dalam diri atoni meto pada masa lampau. Sikap pengabaian ini memberi dampak akan terjadinya krisis ekologis. Pelaku utama dari adanya krisis ekologis dapat dipertanyakan pada pandangan dan perilaku hidup manusia terhadap alam khususnya oleh masyarakat Camplong terhadap hutan Oenaek. Manusia cenderung menganggap diri memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya dalam ranah ciptaan. Manusia memandang bahwa ia berkuasa atas segala ciptaan karena ia diberi tanggungjawab untuk “mengusahakannya”. Tanggungjawab tersebut jika dipahami secara tepat maka tugas untuk mengusahakan yang dimaksudkan ialah untuk memelihara, menjaga agar ciptaan lainnya memiliki nilai yang sama penting dengan manusia. Pergeseran pandangan yang dialami oleh masyarakat Camplong karena memandang hutan bukan merupakan subyek yang adalah bagian integral dalam dirinya. Hutan hanya sebagai lahan produksi yang dapat memberikan keuntungan bagi manusia. Karena itulah maka perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dan bersahabat dengan alam menjadi maklum dan terpola serta menjadi suatu kebiasaan hidup. Pola ini seharusnya disadari memberikan dampak buruk seperti perubahan cuaca yang semakin panas dan pemunahan keanekaragaman hayati yang hidup di dalam hutan serta kearifan lokal yang semakin lama telah memudar. Kajian terhadap masalah ini perlu dilakukan dengan berbagai upaya untuk membangun kembali kesadaran ekologis yang adalah rumah bagi makhluk hidup yang saling bergantung serta dengan itu teologi mengambil bagian dalam mengkaji berbagai ajaran agar memberikan kesan yang tepat bagi para pembaca untuk bertanggungjawab terhadap alam. 5.2.
Saran
Bagi masyarakat Camplong khususnya LPA sebagai yang mengetahui nilai-nilai budaya dalam diri atoni meto dapat ditransmisikan kepada generasi berikutnya agar makna tentang hutan sebagai subyek dan tempat sakral yang memiliki nilai luhur tidak hilang karena adanya perkembangan globalisasi melainkan terus dilaksanakan sebagai kebudayaan lokal yang memberi dampak positif bagi kehidupan manusia.
31
Bagi pemerintah sebagai pemangku kawasan, diharapkan mencanangkan berbagai program yang terstruktur serta memberikan impact yang baik bagi seluruh masyarakat. Pelestarian hutan tidak hanya terbatas pada aturan yang termuat pada SK maupun UU, melainkan dapat dibangun kerjasama dengan berbagai pihak terkait. Bagi agama khususnya gereja-gereja yang ada di sekitar TWA Camplong dapat menolong jemaat membangun kesadaran ekologis dengan memberikan kajian teologis yang tepat tentang teks-teks Alkitab dan diselaraskan dengan pemahaman tentang ekosentrisme bahwa seluruh kosmis memiliki nilai yang sama penting dan sama-sama adalah subyek ciptaan. Hal tersebut diharapkan memiliki dampak pada nilai tanggungjawab yang dapat dilakukan terhadap alam khususnya di kawasan TWA Camplong.
32
Daftar Pustaka Arief, A. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius, 2011. Attfield, Robin. Etika Lingkungan Global. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010. Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Darmaputera, Eka. Pancasila And The Search For Identity And Modernity In Indonesian Society. Ph. D, dissertation, Boston College and Andover Newton Theological School, Newton Center, Massachusetts, 1982. De Timor Bode. Hau Susu Sanaplo. Diterjemahkan oleh Ebenhaizer I. Nuban Timo. Kupang: 1921. Aalst, Krayer Van. Toboe: Kepercayaan Orang Timor Akan Sarang Semut. Zendingsbode, 1926. Drewes B. F & Mojau, M. Apa itu Teologi? Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Drummond, C. D. Teologi & Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Frick, H & Suskiyanto, B, FX. Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Fauzi, A. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama, 2004. Granberg, W. Redeming The Creation. The Rio Earth Summit. Geneva: WCC Publications, 1992. Hidayat, H. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru Dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Honig, A. G. JR. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Indriyanto. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Askara, 2006. Irwan, Zoer’aini. D. MS, Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009. Keraf Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Buku Kompas, 2002. Keraf Sonny. Fritjof Capra Tentang Melek Ekologi Menuju Masyarakat Berkelanjutan. Jakarta: STF Driyakarya, 2013. Kruijt, C. Alb. Kepercayaan Animisme di Indonesia. Diterjemahkan oleh Ebenhaizer I. Nuban Timo. Rotterdam: Electrische Drukkerij, D. van Sijn & Zoon, tanpa tahun. Leahy, P. L. SJ. Dunia, Manusia, dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisisus, 2008.
33
Nawawi, H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983. Nahakuain, Egber. Rencana Strategis Pembangunan Kelurahan Camplong I Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang Provinsi NTT Periode 2013-2017. Camplong, 2012. Purba, J. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Setyawan, Yusak B. Menuju Eko-Eklesiologi: Gereja Dalam Konteks Persoalan Ekologis Di Indonesia. STT Jakarta, 2015. Siahaan, N. H. T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga, 2004. Soedjatmoko. Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. Sunarko dan Kristiyanto Eddy. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Yogyakarta: Kanisius, 2008. Simon, Hasanu. Hutan Jati dan Kemakmuran. Yogyakarta: Aditya Media, 1993. Suharso dan Retnoningsih Ana. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: CV Widya Karya, 2005. Suryabarata, S. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Timo, Ebenhaizer, N. Pemberita Firman Pencinta Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Timo, Ebenhaizer, N. Polifonik Bukan Monofonik: Pengantar Ilmu Teologi. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015. Utomo R. Bambang. Sekilas Mengenal Berbagai Agama dan Kepercayaan di Indonesia. Malang: Pusat Pembinaan Anggota Gereja, 1992.
34