Tinjauan Buku
Merancang Arah Baru Demokrasi:
Indonesia Pasca Reformasi
Memahami realitas demokrasi Indonesia memang tidak gampang. Bahkan ketika kita habis membaca buku setebal hampir 1000 halaman ini, kita masih harus termangu ketika menghadapi realitas demokrasi Indonesia yang tidak sesuai dengan teori yang ada di buku. Sayangnya, belum selesai kita termangu, kita harus dihadapkan pada evaluasi demokrasi Indonesia yang tak kunjung dimulai, apalagi merancang arah baru demokrasi sebagaimana ditawarkan buku ini.
P
ROLOG yang ditulis oleh editor AE Priyono menjelaskan bahwa tesis yang hendak dielaborasi adalah bahwa perjalanan politik demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru telah mengalami distorsi dan diseorientasi. Sejumlah 46 penulis mengajak memikirkan kembali dan menawarkan reorientasinya. Bukan sekedar membuka diskusi, perdebatan dan deliberasi publik, namun diharapkan ditemukan arah baru demokrasi agar cita-cita mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial dapat tercapai.1
1
Tulisan ini bersumber dari prolog yang ditulis oleh editor AE Priyono.
Editor membagi 39 tulisan ini dalam 8 bab. Editor menjelaskan bahwa, selama ini evaluasi mengenai keadaan demokrasi di sebuah polity –negara dan masyarakat-bangsa secara keseluruhan- masih menjadi isu yang diperdebatkan, khususnya menyangkut parameter yang digunakan dan metode asesemennya. Berbagai klaim mengenai kelebihan pendekatan-pendekatan saling diunggulkan, dan menjadi topik yang tak pernah tuntas dipertengkarkan kalangan akademisi. Salah satu problem yang paling serius dan bersifat permanen dalam menilai situasi demokrasi adalah kenyataan bahwa setiap usaha untuk 121
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
mendekatinya sebagai kategori deskriptif, selalu akan berhadapan dengan pengertian-pengertian preskriptifanya yang terus menerus dipertikaikan. Demokrasi sendiri memang mengandung “konsep-konsep yang secara esensial dikontestasikan”. Setelah monarkhi, aristokrasi, atau teokrasi melenyap ke latar belakang sejarah, demokrasi merupakan sistem politik yang terus bertahan dalam evolusi tatanan pemerintahan politik di antara bangsa-bangsa. Satusatunya konsep Romawi kuno yang bisa bertahan hingga abad ke-20, selain kediktatoran, adalah demokrasi. Tapi dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa kediktatoran makin kehilangan legitimasinya dan demokrasi makin dianut sebagai norma global. Dalam pengertian ini maka demokrasi adalah “end of history”.2 Problem kedua berkaitan dengan perjalanan sejarah masyarakat yang bervariasi untuk mencapai tahap demokrasi. Banyak jalan menuju demokrasi. Transisi demokrasi tidak bisa diasumsikan sebagai proses yang seragam berskala-dunia. Evolusi demokratik tidak pernah homogen, konsolidasi demokrsi seringkali berlangsung bersamaan dengan rangkaian kontinuitas dan diskontinuitas yang melibatkan proses-proses yang
kompleks. Demokrasi bukanlah keadaan statis, tapi harus dilihat sebagai proses-untuk-menjadi, dank arena itu bersifat dinamis. Oleh karena itu, daripada berkutat menyoroti faktorfaktor yang menyebabkan muncul atau bertahannya demokrasi, adalah lebih penting untuk menyoroti bagaimana proses demokratisasi berlangsung.3 Diluar dua problem ini, sebenarnya ada problem jenis ketiga menyangkut percaturan diskursif teoriteori mengenai demokrasi. Teoriteori demokrasi diproduksi dibawah kondisi-kondisi khusus dan merupakan proyek kolektif yang kompleks yang melibatkan banyak aktor. Ada tiga jenis aktor yang biasanya terlibat dalam produksi teori-teori demokrasi. Pertama, para aktivis politik yang terlibat aktif memperjuangkan tuntutan-tuntutan, argumen-argumen, bahkan ideologi-ideologi mereka dalam perdebatan mengenai proyek-proyek politik kongkret. Kedua, adalah kelompok intelektual yang aktif secara politik, yang sering memberikan deklarasi-deklarasi yang relevan dengan kegiatankegiatan dan tuntutan-tuntutan demokratik. Kaum intelektual ini menyumbangkan terbentuknya pemikiran demokratik melalui dikembangkannya kritik-kritik sistematis dalam
2
Mengutip pendapat filsuf Walter Bryce Gallie (1956), Andrew Arato (2000) dan Francis Fukuyama (1997), editor menjelaskan pengertian ini. Epilog hal xv. 122
3
Mengutip pendapat Dankwart Rustow (1970), editor menjelaskan pengertian ini. Epilog hal xv-xvi.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Judul Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi Editor: AE Priyono dan Usman Hamid Penerbit: KPG Halaman: lii + 899 halaman ISBN: 978-979-91-0724
rangka memajukan proyek-proyek yang biasanya mereka perjuangkan bersama para aktivis. Kelompok ketiga berasal dari kalangan akademisi yang telah mengubur aspirasi-aspirasi politik mereka sendiri demi karier pekerjaan dan profesi. Diluar ketiga kelompok ini, warga-negara pada umumnya masih memiliki konsepsi sendiri mengenai demokrasi, bahkan pada tingkat diskursif muncul gejala elitis bahwa pengertian-pengertian demokrasi makin mengalami “akademisasi”. 4
dorkan berbagai pengamatan atas situasi real proses politik demokratisasi. Berikut adalah ringkasan dari bab-bab yang ada di buku ini.
Dengan pemahaman tersebut, editor menyampaikan bahwa proposisi terbaik adalah menawarkan perdebatan dengan pertama-tama menyo-
Bab 1 dan Bab 2 memberikan ulasan umum. Hasil penelitian Marcus Mietzner barangkali merepresentasikan ulasan yang paling mewakili situasi umum realitas politik demokratisasi Indonesia.5 Menurutnya, demokratisasi Indonesia mengalami stagnasi sejak 2006. Penilaian ini sejalan dengan gambaran umum yang dilontarkan melalui evaluasi lembagalembaga internasional seperti Freedom House dan Economic Intelligence Unit. Paling mencolok dalam penilaian Mietzner adalah muncul-
4
5
Editor mengutip Bustein dan Jorke (2007). Epilog hal xvi-xvii.
Marcus Mietzner, Stagnasi Demokratik Indonesia: Elite Konservatif vs Masyarakat Sipil, hal 151-183. 123
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
nya golongan elite konservatif antireformis sebagai penyebab terjadinya kemacetan dan kemunduran demokrasi Indonesia. Studi-studi sebelumnya juga memperlihatkan bahwa bahkan sejak masa yang lebih awal, demokratisasi Indonesia sudah mengidap defisit berupa monopolisasi politik elitis di satu pihak dan marginalisasi politik popular di pihak lain —dua gejala yang dianggap sebagai sumber kemacetan demokrasi pasca-Orde-Baru. Sementara, pendapat Arief Priyadi antara lain, rezim demokrasi pascaOrde-Baru tidak memiliki kemampuan dan/atau kepedulian terhadap penegakan keadilan untuk menyeret para pelaku pelanggaran HAM berat.6 Pandangan ini nampak menegaskan Mietzner mengenai munculnya kelompok-kelompok elite anti-reformis, Priyadi melihat bahwa para pelaku pelanggaran HAM masa lalu itu, kini bahkan muncul sebagai calon presiden pemilu 2014. Senada dengan Arief, Frans Magnis-Suseno juga mempertanyakan, demokrasi macam apa yang melahirkan para pemimpin negara yang terus membiarkan korupsi merajalela, juga merebaknya kekerasan dan inteloransi agama, serta diskriminasi terhadap kelompokkelompok minoritas.7 Apapun penje-
lasannya, menurut Magnis, dengan para pemimpin elitis yang mengalami disorientasi cita-cita reformasi, maka distorsi-distorsi demokrasi kita, sedang membawa kita menuju ke arah kehidupan yang penuh bahaya. Dengan elite sipil konservatif yang anti-reformis tetapi terlanjur mengokupasi lembaga-lembaga demokrasi formal yang berpusat di Jakarta, dan hanya sibuk di pusat kekuasaan itu, banyak wilayah lokal di daerahdaerah yang jauh akhirnya menjadi terabaikan. Papua dan Kalimantan adalah contoh wilayah-wilayah di mana praktik rezim-lama masih berlangsung. Benar bahwa dengan demokrasi elektoral, kekuasaan militer sudah tergusur secara signifikan dari lembaga-lembaga politik formal. Tetapi seperti ditunjukkan Zely Ariane, peranan militer masih begitu menentukan dalam meneruskan garispernerintah pusat terhadap Papua untuk menjalankan kebijakanganda: anti-demokrasi dan antiseparatisme.8 Perampasan sumber daya alam oleh pihak asing maupun oleh kekuatan modal-lokal juga terus dibela pemerintah pusat dalam kasus di Kalimantan. Seperti halnya dalam kasus Papua, kasus yang diulas Nancy Lee Peluso9 mengenai desentralisasi pengelolaan sumber daya alam di wilayah Kalimantan tidak pernah ber-
6
Arief Priyadi, Reformasi di Mata Keluarga Korban Pelanggaran HAM, hal 3-19.
8
7
9
Franz Magnis Suseno, Demokrasi Indonesia dalam Keadaan bahaya!, hal 137-150. 124
Luky Djani, Peran Uang dalam Demokrasi Elektoral Indonesia, hal 185-200. Nancy Lee Peluso, Desentralisasi dan Kekerasan: Sebuah Babak dalam Politik Reformasi, hal 43-58.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
akibat pada peningkatan kesejahteraan penduduk lokal. Topik yang diangkat M. Abduh Azis10 dan Julia Suryakusuma11 mengilustrasikan bahwa yang terjadi justru sebuah kontinum absolut dari apa yang berasal dari praktik rezim sebelumnya. Azis, memperlihatkan bahwa politik kebudayaan Orde Baru masih terus bertahan, nyaris tak tersentuh oleh aspirasi-aspirasi kebebasan berekspresi dan kebebasan kreatif. Lembaga sensor tetap dipertahankan, produksi kreatif dikontrol, khususnya didasarkan pada semacam kecurigaan moral —bahwa produk kesenian berpotensi mencederai agama, membongkar luka-luka sejarah sosial-politik— serta klaim-klaim ideologis dan superioritas moral lainnya. Azis mengemukakan, di sektor kebudayaan, Indonesia zaman reformasi masih terus dibayang-bayangi kultur Orde Baru. Sementara, Julia Suryakusuma membeberkan isu yang jauh lebih mengendap dalam relasirelasi sosial berbasis gender. Diskriminasi terhadap perempuan masih belum bisa dihapuskan. Ideologi gender yang melahirkan praktik patriarkis tak pernah lenyap, hanya bergeser dari jenis patriarki feodalmiliteristik ke jenis patrimonialIslamis.
Akhirnya, melalui ulasan menarik Hermawan Sulistyo, kita melihat banyak narasi otentik gerakan reformasi itu kini disingkirkan dari memori kolektif bangsa Indonesia.12 Sulistyo menyadari bahwa historiografi selalu berpihak pada pemenang. Historiografi yang ditulis oleh para pemenang juga menjadi sumber upaya penghilangan memori kolektif untuk melenyapkan berbagai gagasan otentik perubahan yang dilahirkan oleh Gerakan Reformasi 1998. Menurutnya, meskipun hingga sepuluh tahun terakhir ini belum banyak buku sejarah Reformasi ditulis, kecuali sekadar penggalan-penggalan biografi beberapa tokoh politik dan para jenderal, berbagai pihak sudah mulai berusaha menghilangkan fragmen-fragmen penting yang justru merupakan bagian esensial peristiwa 1998. Sementara, bagi Jeffrey Winters motif disorientasi demokrasi melalui penggeseran arah perubahan memang dimaksudkan untuk merampok kekuasaan sambil berbagai legitimasi, sangat terlihat jelas di kalangan yang disebut kaum oligark.13 Merekalah yang paling berkepentingan agar arus politik demokratisasi bisa dikendalikan, supaya daya-revolusionernya tidak menghancurkan mereka. Ada kalkulasi rasional bahwa sebagai elite yang menjadi kroni Orde
10
M. Abduh Azis, Film Indonesia Masa Kini: Bayangbayang Politik Kebudayaan orde Baru, hal 93-103. 11
Julia Suryakusuma, Perempuan Indonesia: Dari Patriarki Militer-Feodal Ke Patriarki IslamisPatrimonial, hal 59-92.
12 Hermawan Sulistyo, Historiografi 1998 Revisited, hal 109-130 13
Jeffrey A. Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, hal 201-224. 125
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
Baru, mereka sangat berkepentingan untuk melindungi kekayaan yang berhasil mereka akumulasi. Caranya, menurut Winters, bukan dengan menolak gelombang demokratisasi yang memang mustahil dilawan, melainkan dengan menunggangi, mengendalikan, dan memanfaatkannya. Mereka tidak saja mendukung partai-partai politik sebagai aktor formal demokrasi, tetapi sebagian bahkan mendirikannya sendiri. Mereka inilah yang membuat demokrasi akhirnya berjalan seiring dengan oligarki. Sebuah paradoks yang menjadi nyata di Indonesia. Sementara, Gerry van Klinken menyoroti menguatnya kelas-perantara sebagai aktor utama demokrasi patronase di wilayah-wilayah provinsial.14 Inilah sebuah kelas yang makin dominan setelah desentralisasi pasca Orde-Baru. Hubungan-hubungan patronal antara penguasa lokal dan kelas perantara ini tak jarang juga dilakukan di dalam dan melalui jaringan partai, misalnya untuk negosiasi pelaksanaan berbagai proyek pemerintah daerah dengan rekanan dari kalangan korporat —kaum bisnis lokal maupun supra-lokal, bahkan multinasional. Jaringan-jaringan itu berada dalam konstelasi yang rumit antara pemegang kekuasaan birokrasi pusat dan daerah —sebuah kerumitan yang dengan mudah bisa diterobos oleh kelas perantara di tingkat lokal. 14
Gerry van Klinken, Demokrasi Patronase Indonesia di Tingkat Provinsial, hal 225-255.
126
Merekalah sebenarnya penggerak aktif mesin demokrasi lokal-patronal itu. Tapi seperti digambarkan Klinken, mirip yang terjadi di tingkat nasional, praktik-praktik demokrasi patronal itu juga berlangsung secara tertutup dan sangat eksklusioner. Khususnya terhadap partisipasi popular, apalagi dari kalangan non”putra-daerah.” Bab 3 yang mengambil judul Kebuntuan Islam-Politik dalam Demokratisasi Indonesia, beberapa tulisan antara lain menyampaikan, bahwa selama satu setengah dasawarsa sejak 1998, demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang direbut dan dimonopoli kekuatan-kekuatan elite ekonomi dan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dunia internasional terkesan dengan Indonesia, dan Indonesia merupakan contoh berhasil dari rezim yang mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi yang stabil dan terkonsolidasi. Namun demikian, bab ini juga membahas mengenai Indonesia yang juga disebut-sebut sebagai anomali di dunia Islam yang berhasil mewujudkan negasi tesis bahwa Islam tidak cocok dengan demokrasi. Dalam setting pasca-Orde-Baru, Islam ternyata menunjukkan potensi-potensi internalnya yang sesuai dengan prinsip demokrasi. Karena watak kulturalnya yang khas, juga karena perkembangan modernisasi, umat Islam Indonesia menjadi lebih terbuka dan berorientasi demokratis. Dengan perspektif seperti itu, Michael Bueh-
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
ler mengantarkan pembahasan mengenai posisi umat Islam dalam proses demokratisasi Indonesia pasca-Orde-Baru.15 Tetapi Remy Madinier16, Vedi R. Hadiz17, dan terlebih Airlangga Pribadi 18 lebih jauh menyoroti berbagai kelemahan partaipartai Islam dan kelompok-kelompok gerakan Islam non-partai, sehingga akhirnya terseret dalam paradoks-paradoks demokratisasi. Meskipun kekuatan-kekuatan strategis di dalam umat Islam sendiri sudah beradaptasi di dalam sistem politik demokratik, ketiga tulisan itu menunjukkan bahwa partai-partai dan gerakan sosial-politik Islam bukanlah kekuatan alternatif yang bisa menanggulangi berbagai krisis demokrasi pasca-Orde-Baru. Madinier menunjukkan, partai-partai Islam sama saja dalam hal praktik politik dinastik, nepotis, predatoris, dan korup partaipartai sekuler. Hadiz bahkan memperlihatkan sebuah contoh kasus: bahwa PKS bukan saja gagal menciptakan alternatif ideologis terhadap demokrasi liberal Indonesia pascaOrde-Baru, melainkan malah menerima resep neoliberalisme dalam kebijakan-kebijakan ekonomi-politiknya
15
Michael Buehler, Islam dan demokrasi di Indonesia, hal 259-274. 16
Remy Madinier, Islam-Politik atau Kemenangan Instrumentalisasi Politik atas Islam?, hal 275-290.
—mirip seperti yang dipilih partai Islam AKP di Turki. Gejala yang sama juga ditunjukkan Pribadi menyangkut kasus gerakan Jaringan Islam Liberal. Dengan kata lain, tidak ada makna progresif apapun untuk menyimpulkan bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi dalam situasi dimana kekuatan-kekuatan strategisnya tidak hanya gagal mengoreksi distorsi dan disorientasi demokrasi, tetapi malah menjadi bagian dari masalah-masalah kronisnya. Di Bab 4 bertema Reorientasi Demokrasi, Mochtar Pabottingi 19 , menyimpulkan antara lain bahwa paradoks dan kontradiksi rezim “reformasi” bukanlah hal yang aneh karena rezim ini sebenarnya masih merupakan bablasan Orde Baru—dan karena itu masih terus mewarisi irasionalitas-irasionalitasnya. Menurutnya, sebenarnya tidak pernah ada pergantian rezim sejak 1998. Ini bukan hanya karena pemerintahan langsung diserahkan kepada Habibie yang merupakan pelanjut Soeharto, melainkan juga karena kepemimpinan oposisi tidak mampu mengkonsolidasi diri untuk menawarkan visi komprehensif mengenai arah perjalanan politik pascaSoeharto. Idealnya, menurut Pabottingi, pergantian rezim mensyaratkan hadirnya the best mind of the nation yang dikelola oleh para pemuka
17
Vedi R Hadiz, Kebuntuan Politik Partai-partai Islam di Indonesia: Perbandingan PKS dan AKP, hal 291316. 18
Airlangga Pribadi, Muslim Pro-Demokrasi dalam Pusaran Ekonomi-Politik Liberal, hal 317-334.
19
Mochtar Pabottingi, Paradigma dan Distorsi Demokrasi: Pelajaran dari Indonesia Silam demi Indonesia ke Depan, hal 339-366. 127
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
oposisi dan ditawarkan untuk antitesis. Tetapi inilah persisnya yang tidak pernah muncul di Indonesia pasca Orde-Baru. Juga termasuk dari kalangan gerakan Islam. Selain ketiadaan alternatif untuk munculnya antitesis terhadap pengaruh Orde Baru yang sudah berurat-berakar, diagnosis tentang bertahannya elite Orde Baru dikemukakan oleh Parakitri T. Simbolon.20 Menurutnya, kekuatan elite ahli waris Orde Baru masih jauh lebih kuat menguasai negara ketimbang kekuatan kalangan oposisi yang menumbangkannya. Mereka tidak lenyap bersama Soeharto. Mereka tidak pernah dikalahkan oleh gerakan reformasi. Meskipun sebenarnya capaian yang diperoleh kalangan oposisi tak terlalu buruk, tetapi karena ruang-ruang politik dan ekonomi masih dihuni oleh elite ahli waris Orde Baru itu, demokrasi yang berhasil ditegakkan hanyalah demokrasi artifisial, demokrasi sebagai tata-pemerintahan negara. Tak terlalu meleset jika situasi ini dilukiskan sebagai semacam antiklimaks, seperti dikatakan B. HerryPriyono.21 Menandai terjadinya kontradiksi antara apa yang seharusnya terjadi dan apa yang senyatanya berlangsung, Herry-Priyono memperli-
20
Parakitri T. Simbolon, Demokrasi Melangkah di Jalan Bangsa, hal 367-376.
hatkan bahwa proses dialektik demokratisasi bisa menjadi seruwet perebutan ruang-ruang fisik lembaga demokrasi antara para “bajingan” dan “pahlawan” demokrasi. Proses itu juga bisa menjadi absurd karena apa yang dipertarungkan itu pun masih sebatas pada lagak (pretence) dan bukan pada isi (substance). Tak bisa dipastikan bagaimana akhir pertarungan antara kekuatan antagonis dan protagonis itu —begitu pula siapa yang bakal memenangkannya, HerryPriyono hanya mengantarkan kita pada kesimpulan yang menggantung: pada jarak antara pembangunan institusi-institusi demokrasi menuju habituasi demokrasi terbentang jalan ketakpastian politik yang tak terprediksikan. Sementara. Purwo Santoso mencoba menanggulangi ketakpastian itu dengan resep general yang sepertinya mudah dikerjakan. 22 Bahwa demokratisasi membutuhkan kontekstualisasi. Menggunakan perspektif yang mirip dengan yang digunakan Herry-Priyono, Purwo mengemukakan bahwa pelembagaan demokrasi selama ini diam-diam berlangsung dalam kontradiksi. Apa yang disebut pewacanaan teks universal demokrasi sering berlangsung top-down dan penuh dengan pemaksaan atas konteks sosial-kultural lokalnya. Seperti ingin menyarankan sebaliknya, Purwo mempertimbangkan bahwa adaptasi atas konteks
21
B. Herry-Priyono, Pada Mulanya adalah Lagak: Habituasi sebagai Kunci Institusionalisasi Demokrasi, hal 377-398. 128
22
Purwo Santoso, Keharusan Untuk Kontekstualisasi Demokrasi, hal 399-418.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
inilah yang seharusnya membimbing proses institusionalisasi demokrasi. Hanya dengan itu pembiasaan atau habituasi demokrasi akan berjalan tanpa kontradiksi. Menurutnya proses transisi demokrasi seringkali terbentur oleh masalah yang tak banyak disadari ini. Bagi Willy Purna Samadhi masalah demokratisasi dan institusionalisasi demokrasi yang paling serius di Indonesia adalah kegagalannya dalam melahirkan representasi.23 Demokrasi Indonesia pasca-Orde-Baru adalah demokrasi yang tidak representatif dan mengeksklusi kepentingan publik. Penyebabnya jelas, yakni karena lembaga-lembaga demokrasi dikuasai dan dimonopoli oleh kekuatankekuatan elite oligarkis, dan hanya dijalankan sesuai kepentingan mereka. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik. Dengan kata lain, ada demokrasi tetapi tak ada keterwakilan publik. Menggunakan pendekatan yang sama, adalah Hee Yeon-Cho yang mengingatkan bahwa politik demokratik selalu membuka ruang bagi terjadinya kompetisi berbagai kekuatan. 24 Bahkan setelah terjadinya demokratisasi, kekuatan-kekuatan monopolistik tetap terus berusaha
mempertahankan privilese mereka. Semua ini melahirkan konteks sosial yang akhirnya terstruktur begitu rupa di mana agen-agen dalam proyek kolektif —demokratisasi— itu saling berinteraksi. Disitu pulalah agen-agen akhirnya distrukturkan dalam hubungan-hubungan kekuasaan. Relasikuasa adalah situasi dimana suatu agensi mempengaruhi atau memiliki efek terhadap sebuah struktur yang pada gilirannya membentuk konteks dan menentukan rangkaian kemungkinan-kemungkinan bagi agensi yang lain. Demokratisasi akhirnya bukan lagi sekadar soal institusionalisasi dan kontekstualisasinya, tetapi lebih menyangkut agenda para agensi dalam proses-proses politik. Disini berlaku diktum bahwa peranan agensi seorang aktor menjadi struktur bagi aktor lainnya. Bab 5 mengambil judul tentang Demokratisasi melalui Eksperimentasi Penegakan HAM. Dalam bab ini, Hendardi25, Usman Hamid,26 dan tim KontraS-Ikohi27 dalam evaluasi atas apa yang dilakukan empat pemerintahan pasca-Orde-Baru, sebagian besar persyaratan HAM untuk penegakan demokrasi, gagal dipenuhi. Hendardi memperlihatkan kasus-kasus kejaha-
25
Hendardi, Merancang Kembali Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, hal 493-500. 26
23
Willy Purna Samadhi, Mengembalikan Publik pada Demokrasi, hal 419-432.
Usman Hamid dan Indria Fernida, Mempertimbangkan Amnesti bagi Tahanan Politik Papua, hal 527-545.
24
27
Hee Yeon-Cho, Demokratisasi sebagai Demonopolisasi: Memperkenalkan Perspektif Asia, 433-456
Tim KontraS-Ikohi, Poliik Ratifikasi Instrumen HAM untuk Intervensi Demokratik, hal 501-525. 129
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
tan HAM serius mengenai peristiwa 1965 serta pembantaian di Aceh dan Papua. Juga bahwa kasus-kasus penghilangan paksa dalam peristiwa Mei 1998 sama sekali tidak pernah dipedulikan pemerintah, khususnya di bawah SBY sejak 2009. Ini yang membuat deret impunitas tetap panjang, bahkan makin banyak. Usman Hamid bersama KontraS yang menyoroti penyelesaian kasus para tahanan politik Papua, juga membuktikan bahwa janji-janji pemberian grasi, amnesti, dan abolisi terhadap korban operasi militer rezim militer lama, tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan sejak 2011 langkah-langkah untuk penyelesaian damai dan demokratis terhadap “masalah Papua” makin surut, dan Presiden SBY makin terbukti tidak (bisa) melakukan apapun untuk memenuhi janjinya. Kasus Papua akhirnya terjatuh ke dalam situasi seperti yang diungkapkan Zely Ariane, menjadi wilayah yang direbut kembali di bawah penanganan militer ala rezim Orde Baru.28 Hanya pada skenario ratifikasi, para aktivis memperoleh hasil kerja mereka. Tim KontraS-Ikohi menjelaskan contoh keberhasilan menyangkut enam ratifikasi HAM PBB —dua di antaranya adalah kovenan pokok International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pada 2005— yang
28 Zely Ariane, Tak Ada demokrasi di Papua, hal 2142.
130
berhasil disahkan menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia setelah reformasi. Enam ratifikasi itu adalah produk penting desakan masyarakat sipil Indonesia untuk melancarkan demokratisasi, karena melaluinya, berbagai kebebasan demokratik — mulai dari kebebasan sipil-politik, jaminan atas hak-hak sosial-ekonomibudaya, hingga ketentuan antidiskriminasi rasial dan bebas penyiksaan— dijamin secara legal, melengkapi jaminan konstitusional HAM melalui amendemen UUD 1945. Mereka meyakini bahwa atribusi legal prinsip-prinsip HAM adalah bagian penting keberhasilan demokratisasi, walaupun juga menyadari bahwa pada akhirnya strategi semacam itu harus tunduk pada realisme politik pertarungan kekuasaan. Pada analisis terakhir, instalasi legal HAM dalam politik demokratisasi bisa terjatuh pada strategi institusionalisasi top-down seperti dikritik Purwo Santoso di bab 4. Tanpa political will dari atas, juga tanpa desakan dari bawah, instrumen-instrumen itu hanya akan menjadi ornamen belaka. Ornamentasi program dan institusionalisasi top-down sebenarnya bukan hanya berlangsung dalam sektor HAM. Sebagaimana ditunjukkan pada bagian awal bab, Herryadi Adun et al. memperlihatkan bahwa bantuan-bantuan internasional dalam berbagai bidang dan sektor sebenarnya memiliki kecenderungan seperti itu, apalagi dengan kenyataan
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
hahwa pemerintahan reformasi melarang lembaga asing menyalurkan bantuan mereka langsung kepada masyarakat sipil, tetapi harus disisipkan ke dalam program pemerintah.29 Kebijakan ini dijalankan oleh lembaga-lembaga bantuan internasional, swasta maupun pemerintah, baik yang bersifat multilateral maupun bilateral. Ada kebutuhan bahwa larangan itu semestinya dipertimbangkan kembali, juga perlu revisi menyeluruh agar strategi bantuannya bukan lagi bersifat mendukung bantuan pembangunan seperti yang dilakukan pada masa lalu untuk di serap menjadi program pemerintahan, melainkan demi memperkuat arus bawah demokratisasi. Tanga revisi seperti itu, bantuan yang didasarkan pada niat baik itu akan terjatuh pada logika kartel, “cartel of good intentions”. Program tata kelola pemerintah yang mengaitkan bantuan pembangunan demokrasi dengan pemberantasan korupsi, misalnya, kini harus lebih ditekankan untuk juga melibatkan partisipasi kewargaan. Pesan seperti inilah yang tampaknya juga ingin ditunjukkan Peter Carey mengenai bagaimana pemberantasan korupsi harusnya dikerjakan secara lebih serius untuk menda-
29 Herryadi Adun, Jim Toar Matuli, Mickael Bobby Hoelman, Sugeng Bahagijo, Dari Strategi bantuan pembangunan ke Strategi Demokratisasi: Evaluasi Satu Dekade Bantuan Internasional di Indonesia, hal 461-492.
patkan dukungan internasional sekaligus partisipasi segenap lapisan masyarakat.30 Isu kejahatan korupsi yang secara populer dinilai publik sebagai penghambat demokrasi, membutuhkan vitalitas politik yang besar agar dapat ditanggulangi. Bagi Carey, pemberantasan korupsi mutlak diperlukan karena dua pertimbangan: hancur sebagai negara-bubar akibat korupsi yang merajalela atau bangkit sebagai negeri yang jaya dan mandiri karena bebas korupsi. Menurut Carey, langkah awal yang diperlukan untuk pemberantasan korupsi secara sistematik adalah dengan menyasar golongan elite. Dengan melakukan penghukuman secara dramatis dan demonstratif untuk menimbulkan efek jera, sasaran pemidanaan kepada kalangan elite korup ini juga perlu disertai dengan mulai dibangunnya kembali tatanan hukum yang solid, pergantian kepemimpinan politik melalui disiapkannya kelas menengah yang independen, serta — dan ini yang lebih mendesak— dibangkitkannya sense of urgency bahwa korupsi adalah penyakit terbesar yang bisa menyebabkan kematian bangsa. Langkah-langkah seperti itulah persisnya yang pernah dikerjakan oleh Inggris sehingga negeri itu berhasil keluar dari situasi sebagai negera paling korup di Eropa pada akhir abad ke-17 menjadi negara yang secara ekonomi dan politik sangat
30
Peter Carey, Korupsi Indonesia Kontemporer dan Pengalaman Sejarah Inggris 1688-1956, hal 549-582. 131
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
digdaya pada pertengahan abad ke19. Bagi Hilmar Farid, membangun kembali gerakan sosial untuk melawan dan mengatasi agresivitas destruktif kapitalisme adalah sebuah keharusan.31 Inilah syarat awal untuk memperbaiki agenda demokratisasi. Sudah terlalu banyak waktu yang dicurahkan para aktivis dan kaum intelektual selama ini untuk membangun imaginasi mengenai rencanarencana membangun rute masa depan, tetapi mereka lupa menterjemahkannya menjadi strategi politik dengan agenda yang konkret. Mengambil sikap realistis untuk mengakui bahwa banyak capaian telah diperoleh selama lima belas tahun terakhir, sebagaimana juga banyak yang masih macet dan gagal, Hilmar mengajak kita “membuat sintesis dari berbagai temuan, pengalaman, dan usulan yang dilakukan oleh elemenelemen gerakan sosial, dan memadunya ... menuju agenda yang lebih solid”. Agar bisa dikerjakan secara efektif, maka pada setiap agenda aksi diperlukan dukungan yang lugs. Itulah yang menjadi tantangan sekaligus jaminan keberhasilan. Kemenangankemenangan kecil di tingkat real politik menurutnya, jauh lebih penting diupayakan ketimbang hanya mengolah gagasan-gagasan besar tanpa melakukan apa-apa.
Wilson Obrigadoz menawaran Sosialisme Abad ke-21.32 Obrigadoz mengajak untuk menghidupkan kembali tradisi pemikiran sosialis Indonesia dan menyarankan untuk melihat pengalaman lerakan progresif di Brazil, Venezuela, serta beberapa negara Amerika Latin lain. Baginya sosialisme adalah alternatif yang hidup yang bisa menawarkan solusi untuk menanggulangi krisis demokrasi Indonesia. Hanya melalui sosialisme, politik alternatif bisa dikerjakan secara tuntas. Tetapi, seperti halnya Hilmar, Wilson juga menyadari bahwa membangun alternatif politik radikal adalah jalan yang panjang dan tidak mudah. Andar Nubowo33 dan John Muhammad 34 mengajukan dua jenis alternatif berbeda. Kebuntuan dan kegagalan Islam-politik yang malah menyeret para aktivis gerakan Islamis membangun mitos baru “negara-syariatik” makin membuat gerakan sosial-politik Muslim makin tidak relevan dengan problem demokratisasi yang mengalami disorientasi. Menjadi pariah dalam praktik diskursif politik demokrasi liberalelektoral pasca-Orde-Baru, para aktivis Muslim itu malah terbenam ke
32
Wilson Obrigadoz, Sosialisme Abad XXI sebagai Politik Alternatif, hal 595-606. 33
31
Hilmar Farid, Demokratisasi Indonesia PascaOrde-Baru dalam Perspektif Gerakan Sosial, hal 583594. 132
Andar Nubowo, Arah Baru Politik Islam Indonesia: dari nalar Syariatik Menuju Islam Transformatif, Hal 607-630 34
John Muhammad & Khalisah Khalid, Politik Hijau: Melintasi Batas, Melampaui Alternatif, hal 631-654.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
dalam mentalitas orang-kalah dan akhirnya terjebak dalam rangkaian pemikiran mitis yang satu ke pemikiran mitis berikutnya. Semua ini menurut Andar, menunjukkan kebangkrutan etos Islam yang sejati. Karena itu jalan keluar yang sama sekali baru harus ditempuh. Andar menyarankan agar reorientasi dan reaktualisasi gerakan sosial-politik Muslim berpaling ke pembelaan atas kemaslahatan-publik. Menggemakan kembali pemikiran Islam Transformatif dari para cendekiawan Muslim seperti Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurahman, kini perumusan baru gerakan Islam-sosial dan Islampolitik harus dikembangkan dengan concern dan visi baru yang bercorak republikan. Republikanisme itu dimaksudkan sebagai pendulum bagi sebuah gagasan yang mengingatkan kita pada ide Robert W. Hefner tentang civic-Islam. Hanya dengan kerangka baru ini pemikiran politik muslim akan mendapatkan relevansinya kembali untuk ikut terlibat dalam menanggulangi krisis-krisis demokrasi. John Muhammad lebih melihat krisis ekologi global sebagai alasan primer untuk memikirkan kembali penataan ulang gerakan pro-demokrasi yang selama ini terfragmentasi. “Politik hijau” bukan hanya mempersoalkan kerusakan lingkungan ekologis yang, sebagai sebuah isu pembangunan, sering dinilai sebagai masalah sektoral. Politik hijau mengajak memikirkan bahwa dampak
ekspansi modal global sesungguhnya mengancam seluruh kehidupan. Karena klaim untuk membela seluruh kehidupan inilah, appeal politik hijau secara efektif seharusnya adalah yang paling non-divisif dibandingkan politik alternatif lain —yang seringkali tidak bisa menyembunyikan basis pemihakannya: kelas, sektor, agama, isu, golongan, dst. Sayangnya harus diakui bahwa politisasi gerakan hijau, sering tak terhindar dari dilema ketergesaan untuk masuk ke politik elektoral di satu pihak dan membangun diaspora gerakan non-partai berbasis masyarakat yang bersifat non-elektoral di pihak lain. Alternatif politik hijau, masih terlalu lemah dan minor untuk memecahkan dilema-dilemanya sendiri, khususnya menyangkut klaim mengenai watak non-divisif gerakannya. Pada akhirnya, dalam berbagai usaha pencarian alternatif-alternatif yang masih terlalu dini untuk dipastikan kesuksesannya, orang juga masih dihadapkan pada berbagai problem demokrasi “sehari-hari” yang menuntut respons-respons spontan dan taktis. Di sini kepekaan pada urgensi sering mendikte arah perhatian. Ini yang misalnya menjadi pusat keprihatinan Fransisco Budi Hardiman35 ketika dia mengangkat isu preferensi demokratik yang diambil pemerintahan SBY untuk lebih mene-
35
Wawancara dengan Fransisco Budi Hardiman, Dari Kolonisasi Birokrasi ke Koloni Pasar, hal 659672. 133
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
kankan kebebasan (dan karena itu juga kebebasan pasar, pasar-bebas) ketimbang kesetaraan warga. Preferensi seperti itu telah menciptakan situasi di mana mereka yang memiliki kekuatan berlebihlah yang akan menguasai ruang demokrasi, dan akhirnya justru menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar. Juga pada kasus seperti yang dilihat Ita Fatia Nadia mengenai fenomena penyebaran foto-foto Soeharto sebagai perebutan (penjajahan) kembali ruang publik oleh mereka yang mempunyai sumberdana besar untuk mengacaukan kesadaran publik dan mendistorsi kesadaran politik warga.36 Pun dalam kasus pemilikan perusahaan-perusahaan pers oleh para pemodal besar seperti diangkat Ignatius Haryanto yang menyebabkan terjadinya fenomena ganjil tentang ketidak-bebasan jurnalistik dalam era pers-bebas.37 Dalam contoh-contoh kasus ini, pemikiran alternatif yang ditempuh untuk menanggulanginya berada pada skala middle-range, ketimbang pada level ideologis seperti yang dipikirkan para penulis di bab sebelumnya. Kita juga bisa meletakkannya di dalam fokus yang lebih spesifik mengenai isu di sekitar ruang publik sebagai arena perebutan dominasi dan hegemoni.
Tulisan Merlyna Lim 38 serta tulisan Veronica Hamid 39 melihat fenomena peranan media sosial dalam transformasi ruang publik politik. Kaum cyberactivist yang jumlahnya terus membesar di Indonesia mungkin memperlihatkan bergesernya suasana politik kota yang dimainkan kaum muda yang telah terdigitalisasi. Berbagai pertanyaan masih menggantung tanpa jawaban. Benarkah para penghuni cyberspace bisa menjadi kekuatan yang berpengaruh mengubah opini di ruang publik? Apakah clicktivism di media sosial punya koneksi dengan aktivisme tradisional di dunia offline? Bagaimana mungkin mengharapkan terjadinya politisasi netizen jika jumlahnya di cyberspace masih kalah oleh mereka yang hanya ingin berpartisipasi pada hura-hura popculture yang disediakan oleh media sosial? Bagaimana membayangkan partisipasi politik mereka di dunia konkret dalam ketiadaan pengalaman menjadi aktivis offline? Apakah cyber-democracy bisa menjadi ruang bagi tumbuhnya alternatif-alternatif untuk mengkonter demokrasi representatif yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi hegemonik?
38 36
Ita Fatia Nadia, “Piye le kabarmu, kepenak jamanku tho?” Perebutan Ruang Publik Politik untuk Restorasi Orde Baru?, hal 673-682. 37
Ignatius Haryanto, Monopoli Media dan Runtuhnya Independensi Jurnalistik, hal 683-702. 134
Merlyna Lim, Internet dan Kekuasaan Politik di Indonesia: Medan-Medan Baru Pembentukan Identitas, hal 703-720. 39
Veronica Hamid, Angin Harapan Demokrasi Digital, Nostalgia Demokrasi Klasik, Transformasi Ruang Publik, dan Politisasi Media Sosial, hal 721-744.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Melalui tulisannya, Lim melakukan refleksi atas pengalaman Indonesia pasca-Orde-Baru. Melalui internet katanya, terbuka peluang munculnya komunitas-komunitas politik baru yang bisa eksis di luar negara dan bisnis. Juga melalui internet bisa muncul teknologi alternatif untuk pemberdayaan masyarakat sipil. Sedangkan Veronica dan John melengkapi tesis Lim dengan memaparkan contoh-contoh dari beberapa negara mengenai penggunaan media sosial sebagai alat perlawanan politik terhadap persekongkolan rezim politik nasional dan imperium finansial global. Menyoroti pengalaman Indonesia, mereka juga memperlihatkan potensi media digital interaktif itu dalam memfasilitasi munculnya aspirasi politik baru untuk membangun jaringan-jaringan perlawanan lintas sektoral, lintas kelas, lintas golongan, dan lintas isu. Terakhir di Bab 8 yang bertema Politik Kelas dan Politik Massa, Olle Tornquist memetakan sebuah gambaran makro dan historis mengenai betapa selama ini politik berbasis kelas terus termarginalisasi dari demokrasi Indonesia.40 Ini yang menjadi penyebab terus menguatnya politik patron-klien, juga gagalnya para pejuang demokrasi membangun basis sosial yang luas, atau partai politik alternatif yang berasal dari
kekuatan gerakan sosial. Pada saat yang sama, sebagaimana dibuktikan oleh Eryanto Nugroho dan Lee Wilson, politik massa bekerja atas dasar sentimen etnis dan keagamaan yang diolah oleh kekuatan-kekuatan konservatif dan petualang-petualang fasis yang masih bercokol di jajaran aparat kekerasan negara. 41 Gejala terakhir ini memperlihatkan bahwa kemungkinan politik berbasis kelas menjadi semakin sulit. Padahal di pihak lain, perkembangan sosiologis sektor industri telah memunculkan lapisan kelas buruh yang makin kuat. Topik ini dibahas secara mendalam oleh Surya Tjandra42 dan Max Lane43, yang menyarankan bahwa untuk membangun politik alternatif masa depan Indonesia, mau tak mau harus mulai dikerjakan di atas jalur politik kelas. Max Lane bahkan melihat sudah terjadinya perubahan-perubahan struktural ke arah kebutuhan adanya pengorganisasian politik kelas buruh. Perkembangan dinamis kelas ini sebagai sebuah kekuatan sosial membuat para aktivisnya sadar bahwa mereka harus menjadi lebih otonom secara politik. Merekalah kekuatan yang paling real bagi munculnya
41
Eryanto Nugroho & Lee Wilson, Menuju Politik Massa yang Inklusif: Ormas-ormas Milisia dan Demokratisasi di Indonesia, hal 773-788. 42
Surya Tjandra, Gerakan Serikat Buruh Indonesia Pasca-Orde Baru, hal 789-722. 40 Olle Tornquist, Marginalisasi Kepentingan Kelas dan Demokrasi di Indonesia, hal 749-772.
43 Max Lane, Ke Arah Politik Kelas: Memproyeksikan Periode Pasca-Pasca-Orde Baru, hal 823-844.
135
Tinjauan Buku: Merancang Arah Baru Demokrasi
pengorganisasian baru politik popular yang meluas dengan dukungan inti minimal antara 1-3 juta pengikut. Jika ini berkembang dan menular di kalangan kelas-kelas proletariat lain, tentu pengaruhnya akan menjadi ekspansif dan akumulatif. Inilah situasi awal yang bisa menciptakan riak-riak kecil bagi gelombang baru
136
perubahan yang bersifat radikal pada episode yang disebutnya “pascaPasca-Orde-Baru.” Sekarang ini, kita sedang mulai memasuki tahap awal dari episode tersebut, diperkirakan pematangan situasinya akan berlangsung selama satu dekade ke depan.++ Masad Masrur