TESIS
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAATAN PETUGAS KESEHATAN MELAKUKAN HAND HYGIENE DALAM MENCEGAH INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG PERINATOLOGI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
Oleh : Setiawati NPM : 0706195043
MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN ANAK PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK (JULI, 2009)
iv Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
TESIS
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAATAN PETUGAS KESEHATAN MELAKUKAN HAND HYGIENE DALAM MENCEGAH INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG PERINATOLOGI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan
Oleh Setiawati 0706195043
MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN ANAK PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK (JULI, 2009)
iv Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan Dihadapan Tim Penguji Tesis Program Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Depok, Juli 2009
Pembimbing I
Yeni Rustina, SKp., M.App.Sc., Ph.D.
Pembimbing II
Novy Helena, CD., MSc.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN ANAK PROGRAM PASCA SARJANA-FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN Tesis, Juli 2009 Setiawati Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan melakukan hand hygiene dalam mencegah infeksi nosokomial xiii + 103 + 12 tabel + 4 skema + 12 lampiran ABSTRAK Infeksi nosokomial merupakan salah satu masalah di seluruh dunia karena dapat meningkatkan kematian. Tangan petugas kesehatan merupakan salah satu sumber penularan terbesar dari pasien ke pasien lainnya. Hand hygiene adalah salah satu tindakan yang sederhana dan efektif untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Hand hygiene dapat menurunkan infeksi nosokomial jika dilakukan dengan taat dan sesuai dengan rekomendasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat ketaatan petugas kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di ruangan perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rancangan yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 84 orang petugas kesehatan (18 orang dokter dan 66 orang perawat) dengan kriteria dokter atau perawat yang memberikan perawatan langsung pada pasien. Pengukuran dilakukan dengan melakukan observasi praktik hand hygiene dengan 10 kesempatan untuk setiap orang dan kuesioner yang didukung oleh wawancara. Terdapat hubungan antara ketaatan dengan pengetahuan (p = 0,000; α ≤ 0,05), dan terdapat hubungan antara ketaatan dengan ketersediaan tenaga kerja di ruangan (p = 0,079; α ≤ 0,05). Implikasi keperawatan yang di rekomendasikan Bahwa perlu ditingkatkan pengawasan dan motivasi petugas kesehatan untuk melakukan hand hygiene sesuai dengan rekomendasi. Implikasi penelitian diharapkan adanya penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar, melibatkan orang lain sebagai peneliti dan menggunakan video.
Kata kunci: ketaatan, hand hygiene, petugas kesehatan Daftar Pustaka: 165 (1982 – 2009)
iv Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
UNIVESITAS INDONESIA MASTER PROGRAM IN NURSING SCIENCE MAJORING IN PEDIATRIC NURSING POST GRADUATE PROGRAM-FACULTY OF NURSING Thesis, July 2009 Setiawati Analyzes of factors that influence health care workers adherence to do hand hygiene in preventing nosocomial infections. xiii + 103 + 12 tables + 4 scheme + 12 appendix
ABSTRACT
Nosocomial infection is one of the problem in the world which could increase of mortality rate. Health care workers hand are one source of disease transmittion from patient to another patient. Hand hygiene is the simplest, most effective measure for preventing nosocomial infections. Hand hygiene could reduce nosocomial infections if the health care workers adherence is high and appropriate with recommendation. This research is aimed to explore the health care workers adherence and factors that influence the adherence at the perinatology ward RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo in Jakarta. The design of this study was descriptive correlation with cross sectional approach. The sampel of this study were 84 health care workers (18 doctors and 66 nurses) who direct care to the patient. Hand hygiene adherence was measured by direct observation done by the researcher. This research found that there are a relationship between adherence and personal knowledge (p = 0,000; α ≤ 0,05), and there were relationship between adherence and avaibility of staffing in the ward (p = 0,079; α ≤ 0,05). The recommendation for nursing implication are improving controlling and motivation of health care workers to do hand hygiene with appropriate recommendation. For future research the usage of video as an observation tool is needed.
Keyword: adherence, hand hygiene, health care workers Referencies: 165 (1982 – 2009)
iv Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan ramat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyusun tesis sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Anak Universitas Indonesia.
Selama proses penyusunan tesis, peneliti mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Peneliti pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Dewi Irawaty, M. A., Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Krisna Yetti, SKp., M.App.Sc., sebagai Ketua Program Magister Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Yeni Rustina, SKp., M.App.Sc., Ph.D., sebagai pembimbing I yang telah memberikan ide, bimbingan dan motivasi dalam penyusunan proposal tesis ini. 4. Novy Helena, CD, SKp., MN. sebagai pembimbing II yang juga memberikan bimbingan, arahan dan motivasi dalam penyusunan proposal tesis. 5. Dra. Junaiti Sahar, SKp., M.App.Sc., PhD, selaku koordinator mata ajar tesis yang telah memberikan pengarahan tentang penyusunan tesis. 6. Direktur RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta beserta staf dan Ibu Nining (kepala ruangan perinatologi), Suster Hermince serta perawat dan dokter. 7. Keluarga yang selalu memberikan dukungan dalam penyusunan proposal tesis ini ayahanda&ibundaku, pamanku Abi Nawa, suamiku tercinta Hasan Mawardi dan
iii Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
anakku Zeynab Hasan Kyreina al-Kubra serta keluarga besarku di Palembang dan Sukabumi. 8. Ibu Desi Wanda, MN yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan ide dan berdiskusi serta Ibu Nani Nurhaeni, MN yang telah memberikan nuansa semangat dalam menuntut ilmu. 9. Rekan-rekan satu angkatan yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. 10. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan tesis ini, yang tanpa mengurangi rasa hormat tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Semoga amal kebaikan yang telah diberikan, senantiasa mendapatkan pahala dari Alllah SWT. Selanjutnya demi kesempurnaan tesis ini, peneliti mengharapkan, masukan, saran, dan kritik yang bersifat membangun. Akhirnya peneliti berharap, semoga penelitian ini nantinya akan memberikan manfaat bagi perkembangan keperawatan anak di Indonesia.
Depok,
Juli 2009
Peneliti,
iv Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………
i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .........................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………………....
iii
ABSTRAK ..........................................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….
v
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………
vii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………..........
x
DAFTAR SKEMA …………………………………………………………………........
xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………...……….
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………………………..
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………….
13
C. Tujuan Penelitian …………….………………………………………………….
13
D. Manfaat Penelitian ………….…………………………………………………..
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Nosokomial ……………………………………………………………...
16
B. Hand Hygiene dan Ketaatan Petugas Kesehatan ...……………………………...
29
C. Kendala (barier) dalam Melakukan HH ………………………………………..
41
D. Strategi untuk Meningkatkan Ketaatan Praktik HH ……………………………
47
E. Aplikasi Health Promotion Model …………………………………...................
48
vii Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESA, DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ……………………………………………………………….
54
B. Hipotesis …………………………………………………………………………
55
C. Definisi Operasional …………………………………………………………….
57
BAB IV METODELOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ……………………………………………………………
59
B. Populasi ………………………………………………………………………….
60
C. Sampel …………………………………………………………………………..
60
D. Tempat Penelitian ………………………………………………………………..
60
E. Waktu Penelitian ………………………………………………………………..
60
F. Etika Penelitian …………………………………………………………………
61
G. Alat Pengumpulan Data ………………………………………………………...
63
H. Prosedur Pengumpulan Data ……………………………………………………
63
I. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ……………………………………………
65
J. Pengelolaan Data ………………………………………………………………..
65
K. Analisa Data ……………………………………………………………………..
67
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisa Univariat …………………………………………………………………
69
B. Analisa Bivariat …………………………………………………………………..
73
C. Analisa Multivariat ………………………………………………………………..
78
viii Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
BAB VI PEMBAHASAN A. Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi ……………………………………………
80
B. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………………………...
97
C. Implikasi Hasil Penelitian ……………………………………………………………
97
BAB VII KESIMPULAN A. Simpulan ……………………………………………………………………………
101
B. Saran ………………………………………………………………………………..
102
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1. Rantai Penularan Infeksi Nosokomial ..............................................
19
Skema 2.2. Skema teori HPM…………………………………………………...
52
Skema 2.3. Skema Kerangka Teori ……………………………………………..
53
Skema 3.1. Skema Kerangka Konsep …………………………………………..
55
xii Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. 5 kesempatan untuk melakukan HH
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Definisi istilah terkait Lampiran 2 Kuesioner Penelitian Lampiran 3 Lembar observasi HH Lampiran 4 Lembar observasi sensitifitas kulit Lampiran 5 Lembar wawancara Lampiran 6 Surat permohonan meninjau Lampiran 7 Surat permohonan ijin penelitian Lampiran 8 Surat keterangan lolos kaji etik Lampiran 9 Surat ijin penelitian Lampiran 10 Surat pengantar untuk responden Lampiran 11 Lembar Persetujuan Responden Lampiran 12 Daftar Riwayat Hidup
xiii Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian ………….………………..
57
Tabel 4.1. Tabel uji statistik …………………………………………………
68
Tabel 5.1. Distribusi petugas kesehatan menurut ketaatan melakukan hand hygiene di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009………………………………………………… Tabel 5.2. Distribusi petugas kesehatan Indikasi melakukan
menurut ketaatan terhadap
hand hygiene
di ruang
perinatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009………... Tabel 5.3. Distribusi petugas kesehatan
69
menurut
70
ketaatan ruangan
di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009………………………………………………… Tabel 5.4. Distribusi tingkat
petugas
kesehatan
menurut usia, jenis kelamin,
pendidikan, sensitifitas kulit,
pernyataan terhadap
rekomendasi,
kekurangan tenaga kerja,
70
tingkat
pengetahuan,
ketersediaan
role model,
fasilitas,
di ruang perinatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009................. Tabel 5.5. Analisis
responden
perinatologi
menurut usia dan
71
ketaatan di ruang
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta,
Juli 2009.........................................................................................
73
Tabel 5.6. Analisis responden menurut jenis kelamin dan ketaatan di ruang perinatologi
RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta,
Juli 2009……………………………………………….................. Tabel 5.7. Analisis
responden menurut tingkat
74
pendidikan dan ketaatan
di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009…………………………………………………………
75
Tabel 5.8. Analisis responden menurut tingkat pengetahuan dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 …………………………………………………………..
x Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
76
Tabel 5.9. Analisis responden menurut ketersediaan tenaga kerja dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009…………………………………………………………….. Tabel 5.10 Hasil uji regresi logistik sederhana
77
hubungan pengetahuan dan
ketersediaan tenaga kerja terhadap kataatan melakukan hand hygiene di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009...........................................................................................
xi Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
78
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Infeksi nosokomial masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena dapat meningkatkan kematian. Menurut Centre for Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 2 juta pasien terkena infeksi nosokomial. Infeksi ini terjadi ketika ada interaksi antara pasien, petugas perawatan, peralatan, dan bakteri (Hockenberry, 2007; Russel, 1999). Satu dari 136 pasien yang dirawat di Amerika menjadi sakit serius sebagai hasil dari infeksi nosokomial selama ia di rawat (Spencer, 2008). Efek dari infeksi nosokomial sangat bervariasi mulai dari ketidaknyamanan yang berkepanjangan atau disabilitas permanen, dan sebagian kecil kasus berakibat pada kematian pasien (Burke, 2003). Infeksi nosokomial mempengaruhi sekitar 5% sampai 10% pasien yang dirawat di rumah sakit perawatan akut (Burke) dan bisa lebih dari 30% diantara pasien dengan penyakit serius (Heacock, Sounder & Chastain, 1996; Pitted, Mouruga & Perneger, 1999).
Pengobatan yang semakin kompleks dan banyaknya pasien yang infeksi akut juga merupakan penyebab meningkatnya infeksi nosokomial. Infeksi terbanyak terjadi di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. Kelompok yang juga sangat rentan terhadap infeksi nosokomial adalah anak-anak, terutama anak yang masih sangat muda yang baru lahir dan berada di ruangan neonatal intensive care unit (NICU). Jumlah insiden di NICU sebanyak 14,2% atau 11,7 per 1000 per hari. Faktor resiko yang mendukung terjadinya infeksi nosokomial pada neonatus ini adalah berat lahir, usia gestasi kurang dan pemasangan infus
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
2
(Lachassinne, Letamendia-Richard & Gaudelus, 2005). Secara epidemiologi infeksi nosokomial yang umum terjadi pada anak-anak adalah infeksi saluran kemih 23%, infeksi saluran nafas bawah 23%, infeksi luka pembedahan 11%, infeksi bloodstream 6% (Wilsan, 2000).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan di tempat perawatan kesehatan, yang belum ada sebelum dirawat (Ball & Bindler, 2003). Penyebabnya hampir 70% adalah organisme gram positif stafilococcus aureus, koagulasi-stafilococcus negatif dan enterococci, dan organisme gram negatif escheriacoli, pseudomonas aeruginosa, organisme enterobacter, klibsiella pneumonie. Selain itu, penyebab yang paling signifikan ketika di rumah sakit adalah penggunaan Methicillin Resistan Stafilococcus Aureus / MRSA (Eaton, 2005; Russel, 1999).
Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, juga dapat terjadi pada para petugas rumah sakit tersebut. Berbagai prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien. Hal ini didukung oleh penelitian Eaton (2005) yang menyatakan bahwa modus terbesar terjadinya infeksi nosokomial adalah penularan antar pasien melalui tangan tenaga kesehatan. Beberapa faktor yang turut berperan terhadap terjadinya infeksi nosokomial pada masa neonatus adalah ibu yang kurang mengindahkan kebersihan pada waktu merawat bayinya, bayi yang mendapat pengganti air susu ibu (PASI), perlengkapan bayi seperti kain, popok, pakaian, tempat tidur, selimut dan lain-lain yang tidak bersih/steril, debu yang mengandung mikroorganisme patogen ditempat bayi yang dirawat,
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
3
infeksi silang yang terjadi diantara sesama bayi yang dirawat, terutama di tempat perawatan bayi yang jumlahnya dalam satu ruangan melebihi kapasitas yang tersedia, para petugas di bangsal bayi baru lahir, alat yang dipakai untuk pemeriksaan tambahan (Lubis, 2003).
Hasil penelitian di Indonesia yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa kejadian infeksi nosokomial sebesar 9,8% (Spiritia, 2006) dan paling tinggi ditemukan di ruang perawatan intensif neonatus (Tambunan, 2008). Bayi dalam perawatan di NICU sangat berisiko tinggi terjadi infeksi nosokomial. Prematuritas, distress nafas dan kelainan kongenital lainnya merupakan faktor resiko yang utama terjadinya infeksi nosokomial tersebut. Resiko tinggi terjadinya infeksi nosokomial pada umumnya karena beberapa faktor tadi beresiko menekan sistem kekebalan tubuh bayi.
Ketika kondisi bayi sakit tentu NICU merupakan salah satu alternatif pilihan untuk membantu mengembalikan kesehatannya. Namun survei menunjukkan bahwa infeksi terjadi di NICU rata-rata 15% - 20% yang mana lebih tinggi dari jumlah pengobatan dan pembedahan ICU dewasa dan pediatrik ICU. Penelitian infeksi nosokomial di NICU juga menyatakan bahwa pasien yang dirawat sangat berisiko untuk terpajan prosedur invasif dan peralatan, seperti penggunaan ventilator (Won et al. 2004). Infeksi nosokomial dapat juga ditunjukan melalui penggunaan kateter pembuluh darah, infus dengan osmolalitas tinggi, penggunaan alat bantu nafas, penggunaan antibiotik sebagai resiko penyebab yang signifikan (Lachassinne, Letamendia-Richard & Gaudelus, 2005).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
4
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi
semakin
meningkatnya
pasien-pasien
dengan
penyakit
immunocompromised, bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan infeksi nosokomial dan menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap tahunnya. Sekitar 5% infeksi nosokomial bakterimia berhubungan dengan pemasangan infus (Nahirya, Byarugaba, Kiguli & Kaddu-Mulindwa, 2008).
Kondisi-kondisi di atas memerlukan suatu strategi yang ditujukan untuk mengurangi infeksi nosokomial dengan menggunakan antibiotik propilaktik, immunoglobulin, dan teknik isolasi. Teknik isolasi harus di lakukan untuk mengurangi terpaparnya anak dan juga petugas ke sumber infeksi. Metode terbaru adalah dengan menurunkan faktor resiko dan mempertinggi daya tahan neonatus terhadap infeksi. Salah satunya melalui standar pencegahan universal. Pencegahan universal meliputi penggunaan alat pelindung seperti sarung tangan, gaun, dan masker. Alat pelindung tersebut ditujukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari darah, semua cairan tubuh, sekresi ekresi keringat, kulit yang tidak utuh (luka), mukosa membran. Pencegahan ini dirancang untuk perawatan semua pasien dalam usaha mengurangi resiko penyebaran mikroorganisme yang dikenal atau tidak dikenal sumbernya. Mencegah kontak juga dirancang untuk mencegah terjadinya penyebaran mikroorganisme secara langsung atau tidak langsung antar pasien dan pasien, pasien dengan petugas dan petugas dengan pasien.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
5
Pelaksanaan strategi dan metode dalam upaya menurunkan kejadian infeksi nosokomial melalui standar pencegahan universal merupakan tanggung jawab semua unsur yang terlibat baik pimpinan atau petugas kesehatan yang secara langsung bersentuhan dengan pasien. Pelaksanaan ini akan berjalan dengan baik jika ada kerjasama dalam menjalankan peran masing-masing. Peran pimpinan adalah penyedia sistem, sarana, dan pendukung lainnya. Peran petugas adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan infeksi dengan mematuhi semua prosedur sesuai dengan standar pencegahan universal.
Pelayanan keperawatan pada bayi muda seringkali terjadi kontak secara langsung dengan kulit dan substansi tubuh lainnya seperti urin, feses dan muntah. Perawat perlu mempehatikan pentingnya gaun, sarung tangan atau masker. Beberapa orang peneliti setuju bahwa munculnya infeksi nosokomial harus dicegah dan dikontrol dengan meningkatkan dan mengembangkan survei nasional, pengawasan nasional, lebih dari itu mengembangkan alat resisten infeksi non invasif, dan meningkatkan fasilitas perawatan kesehatan yang memudahkan pelaksanaan langkah-langkah pengendalian, seperti mencuci tangan (Brower & Chalk, 2003; WHO, 2006). Penelitian yang dilakukan Bisset, (2003); Ward, (2000); Parker, (1999) juga menyatakan bahwa mencuci tangan lebih efektif untuk mencegah infeksi nosokomial
dan dapat dicegah jika
pemberi perawatan membersihkan dengan cermat dan tekhnik sekali pakai (Glasper & Richardson, 2006).
Pentingnya mencuci tangan juga mendapat perhatian yang serius dari PBB dengan mencanangkan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Mencuci Tangan
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
6
Dengan Sabun (Yayasan Eureka Indonesia, 2009). Hal ini seiring dengan trend kesehatan anak pada tahun 2010 menuju Health and Human Services meluncurkan manusia sehat 2010, komprehensif dengan penekanan pada promosi dan prevensi penyakit dan anak-anak menjadi salah satu pusat perhatian nasional (Ashwill & James, 2007).
Rekomendasi kepada tenaga kesehatan untuk mencuci tangan sebelum menggunakan sarung tangan, setelah pemeriksaan dan hanya menggunakan sarung tangan steril dalam merawat pasien pada area kritis dapat mengurangi terjadinya infeksi nosokomial (Hockenberry & Wong, 2003). Hasil penelitian Cohen (2007) di NICU menyatakan bahwa melakukan HH merupakan suatu yang sangat penting di ruangan tersebut. Dukung secara administratif dan penyediaan produk yang mudah dijangkau seperti alcohol hand rub (ALC) sangat diperlukan karena berhubungan signifikan terhadap peningkatan praktik hand hygiene (HH). Hal seiring dinyatakan juga oleh Mayhall (2009) bahwa sebelum dan sesudah seseorang memegang neonatus harus mencuci tangan sesuai dengan standar termasuk melepaskan jam tangan, cincin dan gelang. LeTexier (2000) menyatakan bahwa penggunaan sabun ditambah antiseptik dapat menurunkan infeksi sebanyak 25% dibandingkan dengan menggunakan sabun saja. Selain itu, mencuci tangan dengan menggunakan triclosan 1% wt/vol. juga dapat diterima dan efektif untuk melawan MRSA sebagai salah satu strategi untuk mengeliminasi bakteri di NICU (Webster, Faogali & Cartwiright, 2008; Pittet, 2001).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
7
Mencuci tangan adalah hal yang sederhana, ekonomis, dan metode yang efektif untuk mencegah infeksi nosokomial di NICU (Won et al. 2004) dan efektif untuk mencegah penyebaran bakteri, patogen dan virus (CDC, 2002). Mencuci tangan juga akan mengurangi populasi anak-anak dengan penyakit infeksi terutama mengurangi kejadian diare dan penyakit pernafasan (Pittet, 2005). Kesuksesan mencuci tangan dipengaruhi oleh faktor dalam pengendalian infeksi itu sendiri seperti higiene lingkungan, kepadatan, tingkat
pendidikan dan
susunan kepegawaian yang tidak adekuat (Akyol et al. 2006). Kepatuhan mencuci tangan mempunyai keuntungan yang sangat besar yaitu 20%, namun kelompok staf yang tidak baik dalam melakukan HH sangat mempengaruhi efektifitas pelaksanaan mencuci tangan (Beggs et al. 2008).
Mencuci tangan sudah diperkenalkan sebagai salah satu yang penting untuk mencegah penularan dari infeksi. Hal ini terbukti pertama kali sejak dilakukannya eksperimen oleh Semmelwiss karena dapat menurunkan kejadian infeksi nosokomial (Larson, 1999; Rao, Jeanes, Osman, Aylott & Green, 2002). Namun bagaimanapun ini sangat sulit untuk diawasi dan dijalankan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap prosedur ini masih sangat rendah di NICU dan area rumah sakit lainnya. Padahal akibat dari mencuci tangan yang buruk dan lingkungan yang tidak adekuat sering menyebabkan penularan mikroorganisme dari orang ke orang atau dari orang ke benda (Larson, 1998; Wong & Hockenberry, 2001; Hassan, 2004; Furtado et al. 2006).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
8
Aktivitas mencuci tangan sangat erat hubungannya dengan petugas kesehatan terutama dokter dan perawat yang secara langsung berhubungan dengan pasien, namun pada kenyataannya rata-rata petugas kesehatan gagal untuk mencuci tangannya terutama mencuci tangan sesuai dengan standar yang telah direkomendasikan (WHO, 2006). Penelitian oleh CDC dan yang lainnya menemukan bahwa dokter dan perawat 60% gagal mencuci tangan sesuai waktu yang dianjurkan pada waktu kontak dengan pasien dan melakukan prosedur. Hasil dari perilaku ini menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial sebanyak 2.400.000 di Amerika setiap tahun dan mengeluarkan biaya $4.5 milyar hanya untuk perawatan dan pengobatan (Comer, et al. 2009; Burg, 2008 ).
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan untuk melakukan prosedur dengan baik adalah perilaku individu itu sendiri, pola mencuci tangan yang sudah dibangun sejak sepuluh tahun pertama kehidupan, keberagamaan seseorang dan faktor budaya yang mempengaruhi persepsi mereka tentang mencuci tangan (WHO, 2006). Walaupun sudah diperkenalkan dan mengetahui tentang pencegahan infeksi namun kepatuhan masih menjadi masalah, sehingga masih perlu diteliti lebih banyak tentang masalah yang berhubungan dengan kepatuhan dan bagaimana pemecahan yang terbaik (Patros, 2001).
Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang kepatuhan, namun belum ada yang sukses dalam menemukan cara untuk merubah perilaku dalam jangka waktu yang panjang. Namun demikian pemberian informasi tentang mencuci tangan yang benar dan penggunaan alat observasi mencuci tangan dapat berpengaruh signifikan terhadap angka mencuci tangan namun tidak terhadap
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
9
tekhnik mencuci tangan (Brock, 2002). Supaya dapat merubah perilaku, pendekatan beraneka segi harus di implementasikan (Pittet et al. 2004).
Kepatuhan mencuci tangan oleh dokter dan perawat masih sangat rendah, secara keseluruhan kurang dari 30% terutama sebelum kontak dengan pasien, sedangkan setelah kontak dengan pasien sudah baik. Ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab hal ini terjadi yaitu kurangnya pengetahuan tentang pentingnya mencuci tangan, rendahnya pengawasan praktik mencuci tangan, dan kurangnya gambaran yang positif tentang mencuci tangan. Intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketaatan mencuci tangan yaitu dengan melakukan aktivitas pendidikan tentang mencuci tangan dan merubah lingkungan fisik dan sosial yang membuat lebih mudah untuk taat dan normatif (Brug, 2008). Selain itu, Patarakul (2005) juga menyatakan bahwa ketaatan mencuci tangan masih kurang dari 50% dan sangat berbeda sekali antara petugas kesehatan dan pengunjung. Berdasarkan kuesioner awal penelitian persepsi kebutuhan pasien adalah prioritas (51,2%) dan alasan untuk tidak patuh terhadap mencuci tangan adalah lupa (35,7%), iritasi kulit (15,5%) dan strategi untuk meningkatkannya adalah dengan menyediakan sabun rendah iritasi (53,4%), informasi terkini tentang infeksi nosokomial (49,1%), kemudahan mengakses alat cuci tangan (46,3%).
90% dari subjek penelitian tahu tentang tekhnik
mencuci tangan. Faktor lain yang juga mendukung ketidaktaatan adalah kekurangan tenaga di ruangan kerja dan jenis kelamin (Hassan, 2004).
Creedon (2006) menyatakan bahwa ada perubahan yang signifikan (32%) dalam melakukan mencuci tangan sesuai dengan standar (pretest 51%, posttest 83%)
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
10
setelah mengikuti program intervensi mencuci tangan, begitu juga dengan perubahan sikap, kepercayaan dan pengetahuan. Peningkatan pengetahuan dan kemudahan mengakses dispenser dengan alcohol hand rubs sebagai antiseptik mencuci tangan secara signifikan dapat meningkatkan ketaatan mencuci tangan petugas kesehatan (Bischoff et al. 2000; Beyea, 2003) selain itu perlu adanya role model diantara koleganya dan dengan melibatkan pasien dalam program pencegahan infeksi nosokomial (Qushmaq & Meade, 2004; McGuckin, 2002) serta adanya kebijakan yang menunjang untuk dapat mengimplementasikan evidence base mencuci tangan (Sharek, 2002).
Hasil penelitian lain menyebutkan ketaatan mencuci tangan meningkat dari 40% menjadi 53% sebelum kontak dengan pasien dan 39% menjadi 59% setelah kontak dengan pasien dan terlihat lebih meningkat pada prosedur resiko tinggi (35%-60%). Rata-rata jumlah kontak dengan pasien berkurang dari 2,8 menjadi 1,8 per pasien per jam. Infeksi yang berhubungan dengan tenaga kesehatan berkurang dari 11,3 menjadi 6,2 per 1000 pasien per hari. Program pendidikan yang berorientasi pada permasalahan dasar dan berorientasi pada tugas dapat meningkatkan ketaatan mencuci tangan. Peningkatan minimal handling dan mengurangi prosedur keperawatan akan membantu mengatasi kendala utama dari keterbatasan waktu (Lam, 2004; Jeong & Choe, 2004).
Berdasarkan hasil observasi di ruang perinatologi rumah sakit umum pusat nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN) Jakarta di dapatkan
banyak
petugas kesehatan yang bekerja di ruang tersebut mulai dari perawat, dokter, dan mahasiswa serta petugas non kesehatan. Sarana untuk pencegahan universal
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
11
seperti sarana untuk alat-alat steril dan sekali pakai untuk prosedur invasif, sarana pemberian makanan, sarana untuk mencuci tangan (kran air mengalir, sabun, dan tissue) dan ALC sudah disediakan.
Hasil wawancara dengan perawat penanggung jawab pengendalian infeksi nosokomial di ruang perinatologi menyatakan bahwa sudah ada sosialisasi tentang standar pencegahan universal salah satunya informasi tentang HH melalui program in house training namun belum ada sistem pengawasan yang baik terhadap pelaksanaan HH ataupun pengontrolan alat-alat yang digunakan pasien. Selain itu masih kurangnya perhatian dari pusat pengendalian infeksi, belum ada dokumentasi tentang infeksi nosokomial secara keseluruhan termasuk HH dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (tingkat pengetahuan, tingkat kepatuhan, adanya role model, informasi tentang evidence base terbaru, ataupun asuransi).
Data dari departemen ilmu kesehatan anak (IKA) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2008 yang menganalisis kejadian infeksi di ruang perinatologi meliputi jumlah kejadian infeksi, penggunaan antibiotik dan kuman tersering penyebab infeksi. Infeksi tertinggi yaitu infeksi aliran darah (IAD) 384,60/00 terjadi pada bulan Februari, Maret sebesar 307,60/00 dan bulan Januari menjadi 2800/00. Penggunaan dua macam antibiotik yang paling sering dipakai, yaitu sebanyak 64 pasien, 13 pasien menggunakan satu macam antibiotik, dan 1 pasien
menggunakan tiga
macam antibiotik. Kuman patogen terbanyak
penyebab IAD adalah Acinetobacter calcoaceticus, Staphylococcus epidermidis, Escheria coli, Pseudomonas Sp, Enterobacter aerogenes, Serratia marcescens
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
12
dan Seratia liquefaciens. Kemudian pada bulan Juni IAD masih merupakan infeksi yang tertinggi yaitu 156,80/00, menurun pada bulan April dan Mei sebesar 121,20/00 menjadi 88,80/00. Selanjutnya infeksi saluran nafas (ISN) pneumonia (Hospital Acquired Pneumonia) yaitu 1000/00 hanya terjadi pada bulan Juni. Penggunaan dua macam antibiotik yang paling sering dipakai yaitu sebanyak 126 pasien dan 3 pasien menggunakan satu macam antibiotik. Kuman tersering yang menjadi penyebab infeksi Enterobacter aerogene, Staphyloccus epidermis dan Klebsiella pneumoniae dan Serratia M. Pada ventilator pneumonia associated (VAP) dan ISN adalah Acinetobacter calcoaceticus
dan
Pseudomonas aeoregonsa. Sedangkan pada infeksi saluran kemih (ISK) adalah Acinetobacter calcoaceticus. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan 30 kesempatan perawat dan 30 kesempatan dokter untuk mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan ALC sebelum dan sesudah berhubungan dengan pasien dan lingkungannya, didapatkan hasil yaitu perawat yang menggunakan ALC 7%, mencuci tangan 35% dan tidak menggunakan sabun atau ALC sebesar 58%; sedangkan untuk dokter yang menggunakan ALC 27%, mencuci tangan 5% dan tidak menggunakan sabun atau ALC 73%. Observasi ini meliputi kontak dengan tubuh pasien, melakukan prosedur aseptik, berinteraksi dengan lingkungan dan memasang alat seperti infus, suction, prosedur umbilikal kateter dan lain-lain. Hasil yang paling dominan, petugas tidak melakukan HH adalah pada saat kontak dengan tubuh pasien dan lingkungannya. Dengan ini secara keseluruhan masalah ini kurang dari harapan, sehingga masih perlu dilakukan penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan HH.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
13
B. Rumusan Masalah Infeksi nosokomial masih merupakan masalah di area pelayanan kesehatan terutama di NICU. Kondisi ini disebabkan oleh faktor lingkungan perawatan, kondisi bayi, dan petugas yang bertugas di ruang tersebut. Beberapa hal ini dapat menyebabkan infeksi baru pada bayi yang dirawat, yang pada akhirnya berdampak pada bertambahnya lama hari rawat, dan peningkatan biaya perawatan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran mikroorganisme salah satunya adalah dengan melakukan HH. Walaupun HH merupakan tindakan yang mudah, murah dan efektif tetapi ketaatan melakukan HH masih sangat rendah. Oleh sebab itu, perlu diteliti faktor apakah yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan untuk melakukan HH?.
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apakah saja yang mempengaruhi ketaatan tenaga kesehatan untuk melakukan HH 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi tingkat ketaatan terhadap standar HH di ruangan perinatologi. b. Mengidentifikasi faktor-faktor internal : usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
sensitifitas
kulit,
pengetahuan,
pernyataan
terhadap
rekomendasi HH yang mempengaruhi ketaatan terhadap standar HH di ruangan perinatologi.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
14
c. Mengidentifikasi faktor-faktor eksternal : ketersediaan fasilitas, kekurangan tenaga kerja, dan role model yang mempengaruhi ketaatan terhadap standar HH di ruangan perinatologi. d. Mengidentifikasi faktor-faktor internal yang dominan mempengaruhi ketaatan terhadap standar HH di ruangan perinatologi. e. Mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang dominan mempengaruhi ketaatan terhadap standar HH di ruangan perinatologi.
D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat : 1.
Manfaat Aplikatif a. Setiap petugas kesehatan dapat memanfaatkan sarana dan melakukan HH sesuai dengan standar agar dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial. b. Bagi perawat hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan bermanfaat dalam meningkatkan dan menerapkan dalam area manapun, khususnya area pelayanan keperawatan anak. c. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan tentang pentingnya melakukan HH yang sesuai dengan standar sebelum dan sesudah berhubungan dengan lingkungan dan tindakan pada pasien terutama bayi dan anak-anak.
2.
Manfaat Keilmuan a. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang aplikatif terhadap keperawatan anak, khususnya dalam pencegahan terjadinya infeksi nosokomial melalui HH.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
15
b. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan informasi bagi staf akademik dan mahasiswa dalam rangka mengembangkan proses belajar mengajar khususnya berkaitan dengan kepatuhan terhadap standar HH. c. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu keperawatan yang sesuai dengan karakteristik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat secara positif dengan mengoptimalkan peran perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan pencegahan infeksi nosokomial dengan melakukan HH sesuai dengan standar. d. Proses belajar yang dialami oleh peneliti selama proses penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi peneliti serta terjadinya perubahan sikap dan pandangan tentang HH dan pengaruhnya terhadap infeksi nosokomial.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan mendiskripsikan tinjauan pustaka yang relevan berhubungan dengan tujuan penelitian pada tesis ini. Ia akan dibagi dalam beberapa bagian: (a) infeksi nosokomial, (b) ketaatan melakukan hand hygiene dan faktor-faktor yang mempengaruhi, (c) kendala dalam melakukan hand hygiene, (d) aplikasi konsep model promosi kesehatan Pender.
A. Infeksi Nosokomial 1. Definisi Infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien dirawat di rumah sakit (WHO, 2003). Sumber lain mendefinisikan infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan setelah dirawat 2x24 jam. Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan tidak dalam inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari infeksi penyakit yang telah dideritanya. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung, dan penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko mendapat infeksi nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien ke pengunjung atau keluarga, ataupun dari petugas ke pasien (Husain, 2008).
Depkes (2003) menyatakan bahwa seseorang mendapat HAI apabila penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis infeksi 17 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
tersebut, pada saat masuk penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari penyakit tersebut, tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan, infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya, bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
2. Insiden Angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 36% pada akhir abad 20. Pada tahun 1975, dimana kejadian infeksi nosokomial dari 7,2 per 1000 pasien per hari dan menjadi 9,8 pada tahun 1995 (Burke, 2003). Sedangkan di Amerika sekitar 2 juta kasus per tahun. Merujuk ke survei nasional infeksi nosokomial (2000), lebih dari 500.000 pada 2 juta kasus infeksi nosokomial terjadi di intensive care unit (ICU). Sedangkan infeksi nosokomial yang terjadi di NICU sekitar 6% sampai 40% dan secara internasional sampai 69%. Infeksi nosokomial sangat signifikan berhubungan erat dengan kesakitan dan meningkatkan jumlah kematian dan berdampak juga pada sistem pelayanan kesehatan. Strategi yang mudah untuk dilakukan dan efektif untuk mengurangi penyebaran patogen dari rumah sakit dan flora kulit pada bayi dan lingkungannya adalah dengan mencuci tangan sesuai dengan standar. Salah satu faktor yang juga mempengaruhi kejadian infeksi nosokomial adalah bayi preterm dengan berat lahir rendah (Newby, 2008).
18 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Neonatus dengan berat badan lahir sangat rendah khususnya yang menggunakan intervensi seperti ventilasi mekanik sangat berisiko besar untuk terkena infeksi dan kematian. Untuk itu perlu dipatuhi protokol asepsik untuk bayi dengan resiko ini (Pawa, Ramji, Prakash & Thirupuram, 1997). Mencuci tangan menjadi sangat penting sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, terutama pasien dengan resiko tinggi seperti setelah menjalani operasi, memakai kateter, dan bayi baru lahir (Steere & Mallison, 1975). Hasil penelitian di NICU rumah sakit Kandang Kerbau Singapura menyatakan bahwa kebiasaan menggunakan gaun sebelum masuk ke ruang neonatus tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan terhadap insiden infeksi nosokomial atau kematian neonatus. Oleh sebab itu lebih baik berfokus pada mencuci tangan yang adekuat oleh semua personil rumah sakit dan pengunjung sebelum memegang neonatus (Tan, Lim & Malathi, 2007). 3. Rantai penyebaran infeksi Saat ini, tim khusus pengendalian infeksi sepakat bahwa petugas kesehatan merupakan media yang bisa menyebarkan agen infeksi melalui tangannya. Sebagian besar tangan mempunyai makna yang signifikan untuk menyebarkan infeksi nosokomial (Larson, 1988a). Penyebaran mikroorganisme ini terjadi dalam dua cara: dari petugas kesehatan ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan (Burke, 2003; Larson, 1998a). Sebuah penelitian dilakukan oleh Larson (1984) menunjukkan bahwa 21% dari 103 tangan petugas kesehatan ditemukan spesies bakteri gram negatif keperti kelompok Klebsielllaenterobacter dan beberapa spesies Serratia.
19 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Sejak 1980 yang lalu, banyak peneliti memberikan bukti bahwa dengan meningkatkan praktik HH petugas kesehatan menjadi faktor utama yang secara signifikan dapat menurunkan kejadian infeksi nosokomial (Larson, 1988a; Larson, 1999; Pittet et al. 2000). Kemudian Larson (1984) mengidentifikasi bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebersihan tangan dan jumlah koloni bakteri yang di isolasi sebelum dan sesudah membersihkan tangan. Jumlah sebelum mencuci tangan 4,88 X 104 CFUs, tetapi setelah mencuci tangan jumlahnya berkurang menjadi 1,64 X 104 CFUs.
Fasilitas kesehatan dan tangan petugas kesehatan seperti dokter, perawat dan caregiver merupakan salah satu rantai penyebaran infeksi MRSA. Maka dari itu sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka untuk mencuci tangan sesuai dengan standar (Berk, 2004). Selain petugas kesehatan, pengunjung juga dapat meyebarkan MRSA, untuk itu perlu juga bagi pengunjung untuk mencuci tangan mereka sesuai dengan standar. Tindakan mencuci tangan lebih efektif untuk mencegah penyebaran MRSA daripada mengisolasi pasien yang terinfeksi (ScienceDaily, 2009). 4. Skema rantai penularan infeksi nosokomial
Tempat Keluar Penjamu yang rentan
Sumber Penyebab
Cara Penularan Kontak langsung dan tidak langsung
Tempat Masuk Gambar 2.1: Skema rantai penularan infeksi nosokomial 20 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari dua bagian besar yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisikondisi lokal. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan (Parhusip, 2005). Menurut WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang merusak barier normal, contoh intubasi, kateterisasi, dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh dan kurang staf, penyalahgunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak tepat dan ketidaktaatan terhadap peraturan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.
Weinstein (1998) menyatakan bahwa
meningkatnya kejadian infeksi
nosokomial dipengaruhi oleh 3 hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan fasilitas perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan
pasien
dan
kondisi
pasien
rumah
sakit
yang
semakin
immunocompromised. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, faktor-faktor yang sering disebut sebagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi nosokomial secara umum sebagai berikut: 1. Usia Penelitian Syahrul (1997) dan Kamal (1998) menemukan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian infeksi nosokomial. Pada periode neonatal, bayi dengan berat badan lahir rendah dan jenis kelamin 21 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
laki-laki berisiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial 1,7 kali dibandingkan dengan wanita (Nguyen, 2009). 2. Jenis kelamin Nguyen (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada infeksi saluran kemih ada perbedaan kejadian antara laki-laki dan perempuan karena perempuan
secara
anatomis
memiliki
uretra
yang
lebih
pendek
dibandingkan dengan laki-laki (Garibaldi, 1993). 3. Lama hari rawat Pasien yang dirawat lebih lama di rumah sakit berisiko mendapatkan infeksi lebih tinggi dibandingkan dengan lama rawat yang singkat (Mireya et al., 2007). Semakin lama hari rawat maka akan semakin terpapar terhadap agen patogen dari rumah sakit sehingga infeksi nosokomial pun akan semakin tinggi. Lama hari rawat inap yang merupakan faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi infeksi nosokomial di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (Yelda, 2003) 4. Kelas ruang rawat Kelas ruang rawat yang semakin rendah makin rentan terhadap kemungkinan infeksi nosokomial. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang jelek, seperti ventilasi kurang memadai, jarak satu pasien dengan pasien yang tidak sesuai, cahaya dengan intensitas yang kurang dapat menjadi sumber infeksi (Ahmad, 2002).
22 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
5. Komplikasi dan penyakit penyerta Pasien di rumah sakit dengan komplikasi dan penyakit penyerta pada umumnya mempunyai kondisi umum yang lemah, sehingga lebih terpapar terhadap infeksi (Garibaldi, 1993). 6. Penggunaan alat invasif Penggunaan alat-alat invasif dihubungkan sebagai faktor yang berperan dalam menyebabkan infeksi nosokomial (Richard et. al, 1999). Semakin lama pemakaian ventilator mekanik, kateter urin, terapi intravena dan infus akan meingkatkan resiko untuk terkena infeksi nosokomial (Yelda, 2003). Tindakan yang berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial di ruang PICU dan NICU antara lain adalah pemasangan kateter arteri umbilikal, pemberian nutrisi parenteral dan penggunaan ventilasi mekanik (Mireya, 2007). Suatu penelitian klinis di ruang penyakit dalam tentang infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi dari kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa ekstravasasi infiltrat yaitu cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula, terjadinya penyumbatan dimana infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain, flebitis, trombosis, kolonisasi kanul yaitu bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam
23 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
pembuluh darah, septikemia bila kuman menyebar hematogen dari kanul dan supurasi bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul.
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan transfusi darah karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia (Utama, 2006). 7. Pemakaian antibiotik Pemakaian antibiotik baik jenis atau jumlah yang irasional tanpa menunggu kultur dapat menyebabkan timbulnya infeksi nosokomial. Ada hubungan yang bermakna antara kejadian infeksi nosokomial dengan pemaparan terhadap antibiotik dimana pasien yang mendapatkan antibiotik beresiko mendapatkan infeksi 3,45 kali (Yelda, 2003). Adanya organisme yang patogen yang sudah resisten dengan antibiotik tertentu akan meningkatkan juga resiko terjadinya infeksi nosokomial. Bakteri yang resisten terhadap methicillin dan antibiotik lainnya disebut MRSA.
Infeksi MRSA sering dimulai dari benjolan merah, jerawat atau gigitan serangga. Kemudian infeksi menyebar keseluruh tubuh dan akhirnya bisa menimbulkan kematian. Infeksi MRSA dapat dicegah dengan mencuci 24 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
tangan menggunakan sabun dan air selama 20-30 detik atau menggunakan antiseptik alkohol 60% serta membersihkan lingkungan (Medical News Today, 2007). MRSA diperkirakan akan menjadi pembunuh lebih dari AIDS/HIV. Laporan lain juga menyebutkan bahwa MRSA dapat menyebakan gangguan kesehatan pada anak-anak dan dewasa (Morton, 2008).
Disinfeksi alat-alat yang digunakan pada pasien masih kurang dan HH agak sulit untuk diobservasi pada area pelayanan rawat jalan. Jumlah infeksi MRSA yang di dapat di masyarakat meningkat selama dekade yang lalu. Beberapa data menyebutkan bahwa MRSA ditemukan di masyarakat yang menderita penyakit kronis dan membutuhkan kontak sering dengan sistem pelayanan kesehatan melalui kunjungan pasien rawat jalan (Jernigan et al., 1995; Troillet et al., 1998).
MRSA bisa berberpindah ke petugas kesehatan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa gaun petugas kesehatan sering menjadi sarana penyebaran setelah melakukan perawatan pasien dengan infeksi MRSA. Ketika jaket sudah dipakai pada area klinik sebagai pengganti sebuah gaun, ia
menjadi terkontaminasi pada
2/3
kasus, dan
tanganpun
ikut
terkontaminasi karena menyentuh jaket tersebut. Boyce et al. (1997) menemukan 13 dari 20 (65%) gaun perawat atau seragam terkontaminasi setelah mereka menyelesaikan aktivitas perawatan pasien di pagi hari dengan infeksi MRSA di bagian sistem saluran perkemihan atau luka, dan
25 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
42% personil yang kontak langsung dengan pasien yang terkontaminasi sarung tangan mereka.
MRSA didapat dari bakteri yang resisten, sebagian besar antibiotik termasuk semua jenis penicillin dan sepalosforin. MRSA dapat menyebar pada orang lain melalui berbagai cara. Orang bisa membawa melalui hidung, kulit, tanpa menunjukkan gejala sakit disebut kolonisasi. MRSA bisa juga menyebabkan infeksi seperti bisul, infeksi luka, dan pneumonia. MRSA dapat menyebar melalui orang ke orang khususnya melalui tangan dan sentuhan ke orang lain. Strategi untuk pencegahannya adalah melalui cuci tangan dengan sabun dan air hangat setelah bersentuhan dengan klien, pakaian dan sarung tangan, bersihkan ruangan setiap hari, gunakan sarung tangan setiap bersentuhan dangan sampah dan observasi prosedur isolasi. MRSA juga dapat dibawa ke rumah melalui pakaian, melalui sentuhan ke tubuh yang luka atau adanya keluaran cairan dari pasien. MRSA yang tidak menunjukkan gejala tidak perlu di obati namun jika serius dapat di obati menggunakan vancomicyn melalui intravena atau oral. Namun begitu, Vancomycin bisa menyebabkan efek samping yang serius (Guideline for the Control of MRSA, 2000) 8. Mikroorganisme Dari sisi mikroorganisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari organisme tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan juga kolonisasi, dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibiotik dan rendahnya pertahanan tubuh. Kemampuan mikroorganisme untuk
26 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
menyebabkan infeksi nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang diakibatkan (Potter & Perry, 1993).
Mikroorganisme resisten seperti vancomycin-resistant enterococci (VRE) mempunyai daya tahan pada tangan dan lingkungan selama satu jam (Noskin, Stosor, Cooper, & Peterson, 1995). Tiga ribu seratus tujuh puluh lima wanita yang mengikuti festival musik terjangkit bakteri Shigella sonnie dan hal ini dihubungkan dengan tidak mencuci tangan. Maka dari itu untuk membatasi jalan masuk bakteri sebaiknya melakukan cuci tangan dan membawa peralatan tersebut selama beraktivitas di luar rumah (Lee et al., 1999).
Laporan lainnya menklaim bahwa penurunan jumlah infeksi VRE secara signifikan sebagai hasil meningkatnya perilaku mencuci tangan sendiri. Larson et al. (2000) mengimplementasikan program melalui penelitian kuasi eksperimen untuk melihat peningkatan ketaatan mencuci tangan pada salah satu dari dua rumah sakit yang sama. Meningkatnya ketaatan mencuci tangan dibantu dengan menyediakan dispenser sabun pada dua unit tiaptiap rumah sakit. Peneliti melaporkan bahwa infeksi akibat VRE berkurang dari asalnya 85% pada intervensi rumah sakit.
Tidak mencuci tangan juga dihubungkan dengan terjangkit multi resisten Klebsiella pneumonia. Penelitian di ruang anak-anak selama 3 minggu, 9 bayi terinfeksi atau terpapar dengan Klibsiella pneumonia; 2 dari 9 bayi berkembang
menjadi
septikimia
dan
satu
27 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
aspirasi
pneumonia.
Mikroorganisme yang sama yang juga berpengaruh terhadap bayi baru lahir yang di isolasi dari lingkungan sumber, hidung dan tangan dokter, tangan perawat, dan dari ibu yang anaknya terinfeksi (Coovadia et al., 1992). Terjangkit infeksi rotavirus pada pasien pediatrik juga berhubungan dengan perilaku tidak mencuci tangan (Raad, Sherertz, Russell & Reuman, 1990). Lima puluh tujuh persen dari jumlah potensial terjadi kematian akibat diare dapat dihindarkan melalui mencuci tangan. Mencuci tangan dengan tepat adalah cara yang efektif untuk menghindari semua tipe MRSA baik di tangan maupun tubuh (Pearson, 2006). 9. Status nutrisi Umur, status nutrisi, jumlah dan lama intubasi serta lamanya dilakukan pemasangan ventilasi mekanik, pemberian makanan melalui selang naso gastrik adalah faktor yang berisiko menyebabkan berkembangnya pneumonia nosokomial (Patra et all, 2006). Status nutrisi dihubungkan dengan pembentukan daya tahan tubuh sebagai mekanisme pertahanan terhadap infeksi.
6. Strategi menurunkan infeksi nosokomial Banyak penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan infeksi nosokomial termasuk strategi untuk menurunnya. Namun begitu, sampai saat ini infeksi nosokomial tetap terus berkembang dan masih menjadi masalah di pelayanan kesehatan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi diatas dan salah satunya
kegagalan petugas kesehatan dalam melakukan HH. Kondisi ini akhirnya mendapatkan perhatian khusus dari CDC (2002) dengan merekomendasikan kepada petugas kesehatan untuk praktik HH sesuai dengan indikasi: (a) sebelum 28 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
memulai perawatan pasien atau memulai lagi perawatan, (b) setelah menyelesaikan perawatan, (c) sebelum melakukan prosedur invasif, (d) ketika memindahkan dari prosedur yang kotor ke prosedur yang bersih, (e) setelah melepaskan sarung tangan, dan (f) setelah kontak dengan substansi tubuh. Hal ini sangat penting di perkenalkan bahwa HH diperlukan walaupun sudah menggunakan sarung tangan atau tidak menggunakan sarung tangan, atau adanya perubahan prosedur ketika merawat pasien yang sama. 7. Gambar 2.1. 5 kesempatan mencuci tangan
29 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
B. Hand Hygiene dan Ketaatan Petugas Kesehatan 1. Definisi Ketaatan dan HH Ketaatan adalah tingkat yang mana seseorang taat sesuai dengan yang telah di rekomendasikan (Kretzer, & Larson, 1998). Selain itu menurut kamus besar bahasa Indonesia ketaatan adalah sikap patuh atau kepatuhan. Dengan demikian, ketaatan adalah kepatuhan seseorang terhadap sesuatu yang telah direkomendasikan. HH adalah sebuah istilah umum, salah satunya mencuci tangan dengan air dan menggunakan sabun atau menggosok tangan dengan cairan antiseptik seperti alcohol hand rubs (ALC) (Larson, 1995).
2. Manfaat melakukan HH Jumlah total bakteri yang terdapat di tangan sekitar 5 sampai 6 batang colony forming unit (CFUs) sebelum mencuci tangan (Larson, Butz, Gullette, & Laughon, 1990). Bakteri ini dikelompokkan dalam dua katagori: bakteri sementara dan tetap. Bakteri sementara koloninya berada dilapisan permukaan kulit, mudah dibersihkan dengan mencuci tangan secara rutin (Pittet, 2001a) sedangkan bakteri tetap koloninya menempel ke lapisan dalam kulit, mereka lebih tahan jika hanya dibersihkan dengan mencuci tangan (Sprunt, Redman, & Leidy, 1973). Sebuah penelitian pada 36 perawat dan 21 non perawat, dilaporkan bahwa lebih dari setengah tangan perawat dan 38% non perawat yang bekerja di nursing home care memperlihatkan adanya koloni dari ragi, seperti candida species (Strausbaugh et al., 1994).
Area jari kuku juga dianggap sebagai tempat utama flora ditangan dan area subungual (wilayah di bawah jari kuku) sering menjadi tempat masuknya 30 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
mikroorganisme paling banyak dan merupakan sumber perkembangbiakan selanjutnya, khususnya di bawah sarung tangan. Permukaan kuku dan cat kuku disebut sebagai penyebab meningkatnya jumlah bakteri di jari kuku. Mikroorganisme yang ada di kulit terbagi dua transient dan resident. Mikroorganisme residen tidak selalu berdampak infeksi nosokomial tetapi didukung juga oleh kondisi keparahan penyakit klien, sedangkan transient mikroorganisme
banyak
ditemukan
ditangan
petugas
kesehatan
dan
merupakan penyebab utama meningkatnya infeksi nosokomial. Floranya meliputi gram negatif Califorms dan stafilococcus aureus. Kondisi ini dapat di cegah dengan melakukan HH sesuai dengan standar, termasuk tekhnik menggunakan sabun dan agen antiseptik, waterless hand scrubs, serta tekhnik mencuci tangan, patuh dengan standar mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan (Infection Guidlines Control, 1998).
Mencuci tangan (HW) adalah menggosokkan semua permukaan dengan sabun tangan, diikuti dengan membilas mereka di bawah air mengalir dan mengeringkan dengan handuk sekali pakai (Garner & Favero, 1986). CDC merekomendasikan
bahwa
menggosok
harus
dilakukan
pada
semua
permukaan tangan, dan membersihkan sesuai dengan waktu yang telah direkomendasikan yaitu antara 15 sampai 20 detik (Larson, 1995). Mencuci tangan
menggunakan
sabun
atau
deterjen
disebut
membersihkan
mikroorganisme secara mekanik, sementara mencuci tangan dengan menggunakan antimikroba dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme disebut membersihkan mikroorganisme secara kimia (Garner & Favero, 1986). Melakukan HW dengan benar juga merupakan cara yang 31 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
terbaik untuk menghilangkan sebagian besar infeksi MRSA yang ada di kulit tangan (Zwillich, 2007). Rekomendasi waktu untuk mencuci tangan yang terbaru adalah 40-60 detik (WHO, 2006).
Hasil penelitan Larson (1995); Voss & Widmer (1997) menyatakan bahwa alkohol jell adalah sesuatu yang tepat digunakan untuk disinfeksi HH dengan beberapa alasan: pertama, produk alkohol aktif melawan semua bakteri, sebagian besar virus yang penting di klinis, ragi dan jamur. Kedua, tidak tersedianya bak tempat mencuci tangan. Ketiga, kontaminasi mikroba dari pakaian petugas kesehatan dapat dihindari. Keempat, produk ini bekerja cepat dan iritasi pada tangan juga kurang. Kapan tangan seseorang dianggap bebas dari bahaya penyakit menular dengan menggunakan alkohol yaitu ketika alkohol diletakkan pada salah satu telapak tangan kemudian menggososkkan kedua telapak tangan sampai menutupi semua permukaan tangan dan jari hingga tangan kering. Namun walaupun sudah melakukan HH tetapi belum sesuai dengan standar tetap akan berdampak terhadap terjadinya infeksi nosokomial.
3. Lima kesempatan melakukan HH a) Sebelum memulai perawatan pasien dan melakukan perawatan kembali Kebersihan tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah perawatan karena banyak penelitian mendokumentasikan bahwa petugas kesehatan dapat terkontaminasi melalui tangan mereka sendiri (atau sarung tangan) dengan hanya menyentuh benda yang ada di ruangan pasien, dan area
32 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
kulit yang ada mikroorganismenya yang dikeluarkan setiap hari dari kulit normal pasien (Boyce, Opal, Chow, 1994; Samore, 1996).
Boyce et al. (1997) melaporkan bahwa 96 dari 350 (27%) MRSA mempengaruhi ruangan pasien. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa jumlah beberapa mikroorganisme seperti Staphylococcus aureus, Gramnegative rods, dan Enterococcus bervariasi dari 0 sampai 106 koloni/10 cm2 dalam lingkungan pasien (Bertone, Fisher, & Mortensen, 1994; Ehrenkranz & Alfonso, 1991). Ketaatan akan pelaksanaan HH sebelum melakukan perawatan atau sebelum mulai melakukan perawatan lagi masih rendah. Sebuah penelitian oleh Davenport (1992) menunjukan bahwa perawat mencuci tangan sebelum melakukan perawatan hanya 27% dan penelitian ini menunjukkan bahwa perawat tidak mencuci tangannya setelah selesai melakukan perawatan. Padahal sebelum melakukan aktivitas perawatan petugas kesehatan perlu mencuci tangannya. Casewell (1997) menemukan bahwa 17% tangan perawat di ICU terkontaminasi Klibsiella sekitar 100-1000 CFUs selama aktivitas perawatan seperti mengangkat seorang pasien, memeriksa tekanan darah, nadi, temperatur oral pasien, dan menyentuh tangan atau bahu pasien. b) Setelah menyelesaikan perawatan pasien Pada area klinik, banyak sekali petugas kesehatan yang mengabaikan mencuci tangan mereka setelah kontak dengan pasien, terutama untuk aktivitas yang mempunyai resiko rendah terhadap penularan penyakit seperti mengukur tekanan darah dan nadi, begitu juga dengan aktivitas yang mempunyai resiko tinggi seperti memasukkan kateter intravena, 33 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
kateter arterial atau merawat luka. Ini bisa terjadi mungkin karena mereka mereka tidak menyadari bahwa tangan mereka menjadi penyebar penyakit pada saat melakukan tindakan tersebut. Larson (1983) melaporkan hasil penelitiannya, dari 30 perawat 51% diantaranya mencuci tangan mereka sebelum meninggalkan ruang isolasi. Pada tahun 1974, Fox dan koleganya melaporkan bahwa RNs tidak mencuci tangan mereka setelah melakukan aktivitas yang kotor dalam 93% insiden yang diobservasi.
Pada sebuah penelitian, perawat diminta untuk menyentuh alat kelamin pasien yang mempunyai koloni dengan gram negatif bacilli selama 15 detik dan pada saat yang bersamaan mereka mengukur nadi femoral. Kemudian perawat membersihkan tangannya dengan menggunakan sabun dan air atau menggunakan alkohol. Setelah membersihkan tangan mereka, mereka menyentuh bagian dari kateter urin dengan jari mereka. Bagian kateter tersebut kemudian di kultur. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri gram negatif di tularkan lewat tangan tenaga kesehatan ke kateter dalam 11 dari 12 (92%) kasus setelah mencuci tangan dengan sabun dan 2 dari 12 (17%) setelah memakai alkohol. Penelitian ini menunjukkan bahwa mencuci tangan menggunakan sabun tidak efektif untuk mencegah penularan bakteri gram negatif melalui kulit ke kateter (Ehrenkranz & Alfonso, 1991). c) Sebelum melakukan prosedur invasif Penggunaan alat-alat invasif juga merupakan faktor yang berperan besar dalam menyebabkan infeksi nosokomial (Richard et. al, 1999). Semakin lama pemakaian ventilator mekanik, kateter urin, terapi intravena dan 34 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
infus akan meingkatkan resiko untuk terkena infeksi nosokomial (Yelda, 2003). Tindakan yang berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial di ruang PICU dan NICU antara lain adalah pemasangan kateter arteri umbilikal, pemberian nutrisi parenteral dan penggunaan ventilasi mekanik (Mireya, 2007). Larson dan koleganya (1997) menemukan bahwa perawat mencuci tangannya hanya 38% pada waktu sebelum melakukan prosedur invasif di ICU. d) Ketika memindahkan dari prosedur yang kotor ke bersih Dua penelitian melaporkan bahwa angka ketaatan mencuci tangan dalam melakukan prosedur keperawatan hanya 11%; seperti ketika tindakan memindahkan dari bagian tubuh yang kotor ke bagian tubuh yang bersih, dan pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar petugas kesehatan mencuci tangan mereka setelah melakukan perawatan pada pasien (Sproat & Ingglis, 1994; Thompson et al., 1997). Selain itu, sebagian besar petugas kesehatan juga mecuci tangan mereka setelah kontak dengan cairan tubuh pasien (William, Campbell, Henry & Collier, 1994). e) Setelah melepaskan sarung tangan Sejak tahun 1980 yang lalu, secara dramatis penggunaan sarung tangan meningkat. Ini dilakukan sebagai salah satu usaha untuk mencegah penyebaran bakteri dari pasien ke petugas kesehatan yang berasal dari cairan tubuh seperti darah. Untuk itu, CDC merekomendasikan kepada petugas kesehatan sebaiknya menggunakan sarung tangan untuk mengurangi resiko terpapar infeksi dari pasien dan mencegah banyak mikroorganisme bepindah dari petugas kesehatan ke pasien (Garner & 35 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Simmons, 1983). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bakteri meningkat 16 CFUs per menit pada petugas yang tidak menggunakan sarung tangan (Pittet, Dharan, Touveneau, Sauvan & Perneger, 1999). Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa beberapa patogen dapat berpindah ke petugas kesehatan melalui sedikit kerusakan pada sarung tangan atau tangannya terkontaminasi selama membuka sarung tangan (Korniewicz, Laughon, Cyr, Lytle & Larson, 1990). Ini menjelaskan mengapa beberapa petugas kesehatan terkena virus herpes simplex pada saat mereka menggunakan sarung tangan (Kotilainen, Brinker, Avato & Gantz, 1989). Penggunaan sarung tangan terkadang memberikan perasaan aman yang salah kepada petugas kesehatan, dimana petugas kesehatan sudah merasa aman dengan menggunakan sarung tangan. Pada akhirnya mengurangi ketaatan dalam melakukan HH setelah melepas sarung tangan.
Thomson dan koleganya (1997) melaporkan bahwa petugas kesehatan yang menggunakan sarung tangan 139 dari 170 (82%) berinteraksi dengan pasien yang berindikasi memakai sarung tangan. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya potensi untuk menyebarkan mikroba sebesar 82% saat berinteraksi dengan pasien. Selanjutnya Kim, Roghmann, Perencevich dan Harris (2003) melaporkan bahwa petugas kesehatan tidak mengganti sarung tangan dan mencuci tangan mereka dengan adekuat setelah terpapar dengan banyak bagian tubuh pasien. Sebagai tambahan, sarung tangan bisa menyebarkan bakteri walaupun tanpa kontak dengan pasien. Boyce dan koleganya (1997) menyatakan bahwa 36 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
sarung tangan dapat menyebarkan MRSA sebesar 42% pada petugas kesehatan yang menyentuh bagian permukaan yang tercemar tetapi tidak langsung mengalami. Selain itu, Tenorio et al. (2001) menemukan bahwa 29% (5 dari 17) petugas kesehatan terkena Vancomycin-resistent enterococcus (VRE) akibat dari pasien melalui tangannya setelah mengganti sarung tangan. Lund et al. (1994) menguji hubungan antara penggunaan sarung tangan dan prosedur mencuci tangan selama 477 kesempatan mencuci tangan. Mencuci tangan (lamanya 9 detik atau lebih) terjadi hanya 19 dari 152 (12%) kontak dengan pasien resiko tinggi (seperti kontak dengan darah atau cairan tubuh).
4. Penelitian terkait ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan HH Hampir setiap orang bisa mengingat upaya dari para orang tua dan guru untuk menanamkan praktik mencuci tangan sebagai usaha mencegah penyebaran kuman. Konsep mencuci tangan dengan antiseptik mulai diperkenalkan sejak awal abad 19. Pada tahun 1946, Ignaz Semmelweis mengamati wanita yang mempunyai bayi yang dibawa ke salah satu klinik di rumah sakit umum Vienna yang mempunyai angka kematian yang tinggi. Kemudian ia melihat lagi ke klinik yang lainnya pada rumah sakit yang sama namun angka kematiannya lebih rendah dari pada klinik yang pertama. Untuk mengatasi masalah ini, pada bulan Mei 1947, Semmelweis menuntut petugas kesehatan untuk mencuci tangan mereka dengan cairan klorin sebelum dan sesudah mengobati tiap-tiap pasien di klinik. Sebagai hasil dari intervensi ini, angka kematian ibu pada klinik yang pertama turun secara signifikan (Carter, 1985; Jarvis, 1994). Intervensi ini oleh Semmelweis digambarkan sebagai bukti 37 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
pertama yang mendukung bahwa indikasi mencuci tangan dengan antiseptik pada saat kontak dengan pasien dapat mengurangi penyebaran penyakit.
Pada tahun 1985 CDC mempublikasikan secara formal standar praktik mencuci tangan di rumah sakit (Garner & Favero, 1986). Pada standar mencuci tangan ini penggunaan sabun antimikroba harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan prosedur invasif atau merawat pasien dengan resiko tinggi infeksi. Sebuah organisasi pengendalian infeksi dan epidemiologi juga mempublikasikan standar untuk mencuci tangan dan penggunaan antiseptik yang sama dengan standar CDC pada 1988 dan 1995 (Larson, 1995).
Sebuah penelitian observasi tentang ketaatan diantara petugas kesehatan dalam melakukan HH hasilnya adalah 5% sampai 81% (secara keseluruhan adalah 40%) (Meengs, Giles, Chisholm, Cordell & Nelson, 1994; Muto, Sistrom, & Wurtz, Moye & Jovanovic, 1994; Farr, 2000; Pittet et al, 2000). Penelitian yang dilakukan di pusat pengobatan universitas Duke menunjukkan bahwa petugas kesehatan mencuci tangannya sebelum dan sesudah kontak 67-105 (64%) dengan pasien dan dokter menunjukkan kondisi yang lebih buruk yaitu hanya mencuci tangan 2 kali untuk 12 pasien kontak (17%) (Kickland & Weinstein, 1999). Penelitian observasional lainnya di Ohio, menemukan bahwa perawat mencuci tangan mereka sebanyak 139 dari 427 kesempatan mencuci tangan (32,6%); dokter residen 29 dari 49 kesempatan (59,2%); dokter yang bertugas 34 dari 91 (37,4%); staf ICU bedah dan kardivaskuler 31 dari 55 (56,4%); staf perawatan umum 70 dari 307 (22,8%). Secara
38 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
keseluruhan ketaatan mencuci tangan
207 dari 686 kali (30,2%)
(Watanakunakorn, Wang & Hazy, 1998).
Masalah yang sama terjadi di seluruh dunia. Observasi praktik mencuci tangan melalui rekaman yang dilakukan pada dokter dan perawat selama dua minggu di departemen bedah rumah sakit pendidikan utama di England. Investigasi melaporkan bahwa dokter mencuci tangan mereka di antara pemeriksaan pasien 36 dari 88 kali (41%), konsultan mencuci tangan mereka 30 kali dari 55 pemeriksaan (55%), sementara registred nurse (RNs) mencuci tangan mereka 6 dari 23 pemeriksaan (26%). Selanjutnya, setengah dari pasien yang diperiksa mempunyai luka setelah operasi (Daniel & Rees, 1999). Larson dan Kretzer (1995) memeriksa 37 publikasi penelitian antara 1989 dan 1994 menyatakan bahwa secara keseluruhan ketaatan mencuci tangan petugas kesehatan sebesar 39% dimana perawat 49% dan petugas kesehatan lainnya hanya 26%.
Dari beberapa hal dilihat bahwa frekuensi perawat mencuci tangan sudah lebih tinggi daripada petugas kesehatan lainnya. Pittet, Mouroungga et al. (1999) menemukan bahwa RNs mempunyai lebih dari 66% kesempatan untuk melakukan HH daripada yang lainnya. Seorang observer merekam jumlah kontak pasien dan aktivitas untuk tiap-tiap perawat selama 3 jam periode observasi. Aktivitas dikatagorikan sebagai prosedur kotor atau bersih, merujuk ke skala Fulkenson (Meengs et al., 1994). Terputusnya tekhnik mencuci tangan didefinisikan sebagai suatu kegagalan untuk mencuci tangan setelah kontak dengan pasien dan sebelum memulai kerja pada pasien atau aktivitas lainnya. Sebelas staf pengajar, 11 dokter residen dan 13 perawat emergensi di 39 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
observasi. Pada 409 total kontak, mencuci tangan terjadi setelah 32,3% total kontak. Perawat mencuci tangan setelah kontak 85 kali dari 146 (58,2%), residen 24 kali dari 129 (18,6%) setelah kontak, dan staf pengajar 23 kali dari 134 (17,2%) setelah kontak (Meengs et al., 1994).
Sebuah penelitian observasi mengadakan evaluasi tentang efek kepatuhan terhadap protokol HH. Dari 2834 kesempatan melakukan HH pada saat penelitian, dan secara keseluruhan ketatan terhadap protokol HH 48%. Ketaatan terbesar adalah perawat (52%) dibandingkan dengan dokter (30%). Jumlah ketaatan mencuci tangan ditemukan meningkat menjadi 70% pada 1248 indikasi HH diantara RNs yang bekerja di ICU (O’Boyle et al., 2001).
5. Faktor yang mempengaruhi ketaatan melakukan HH Ketidaktaatan umumnya terjadi pada area yang tingkat ketergantungan pasien sangat tinggi. Ketaatan terendah sekitar 36% terjadi di tempat seperti ICU dimana indikasi untuk mencuci tangan lebih sering hal ini dikarenakan kemungkinan penyebaran mikroorganisme lebih besar seperti pemasangan alat melalui intravena 39%, perawatan alat-alat pernafasan sebesar 18%, tindakan pada tubuh pasien dari bagian yang kotor ke bagian yang bersih sebesar 11%, setelah kontak dengan cairan tubuh sebesar 63%, dan setelah perawatan luka sebesar 58%. Secara umum ketaatan menurun ketika tuntutan untuk mencuci tangan lebih tinggi (Pittet, 2001b).
Pada beberapa situasi praktik mencuci tangan yang dilakukan oleh petugas kesehatan belum memenuhi standar waktu yang direkomendasikan misalnya 40 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
mencuci tangan hanya menghabiskan waktu 0,9 dari 15 detik pada saat mencuci tangan dengan sabun (Meengs et al., 1994). Walaupun waktu yang digunakan masih kurang namun petugas kesehatan menyakini bahwa mereka sudah mencuci tangannya dengan hati-hati. Kondisi seperti ini dapat ditemukan pada area yang tingkat ketergantungan pasiennya tinggi sehingga petugas kesehatan bekerja sangat sibuk seperti di ICU. Walaupun dengan alasan demikian, namun pada prinsipnya jika mencuci tangan dengan cepat tidak akan mempunyai dampak yang signifikan dalam membersihkan flora sementara. Perilaku petugas kesehatan tersebut pada akhirnya tetap saja membuat infeksi nosokomial berkembang. Seharusnya petugas kesehatan menyadari bahwa kegagalan mencuci tangan dalam beberapa hari atau minggu berperan penting terhadap krisis yang ada pada pasien yang dirawatnya.
C. Kendala (barrier) dalam melakukan HH Merujuk pada literatur, buruknya ketaatan dalam melakukan HH dihubungkan dengan berbagai macam kendala. Beberapa kemungkinan misalnya agen HW dapat menyebabkan iritasi atau kering pada kulit, petugas kesehatan kesulitan dalam mengakses bak cuci tangan atau persediaan alat HH, kurangnya role model dari kolega atau atasan, beban kerja yang tinggi, kekurangan tenaga kerja, dan indikasi yang banyak menuntut untuk melakukan HH per jam per perawatan pasien. Bekerja di ICU, bekerja selama seminggu contohnya bekerja di akhir pekan, penggunaan sarung tangan, atau jenis kelamin laki-laki adalah faktor yang mungkin mempengaruhi angka ketaatan mencuci tangan (Pittet, 2001b). Burke (2003) menambahkan beberapa faktor, seperti kebingungan atau tidak mengerti
41 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
tentang standar HH, kurangnya asuransi dan penyelenggaraan oleh pusat pengendalian infeksi.
Kendala dalam membentuk perilaku HH tidak hanya terjadi di institusi, tetapi juga antar kolega petugas kesehatan. Untuk itu, baik institusi maupun kelompok kecil yang dinamis menjadi pertimbangan ketika mempelajari praktik HH bagi petugas kesehatan. Kemudahan dalam mengakses persediaan untuk melakukan HH, bak cuci tangan, sabun, deterjen, atau alkohol jell adalah sangat penting untuk membuat ketaatan menjadi optimal sesuai dengan standar.
Petugas kesehatan lebih sering menggunakan alkohol yang digosokkan di tangan daripada mencuci tangannya dengan menggunakan sabun dan air, terutama sekali dalam situasi yang tingkat ketergantungan pasien tinggi seperti di ICU. Pada sebuah penelitian di ICU, memperlihatkan bahwa rata-rata perawat 62 detik tinggal disamping pasien, berjalan ke bak cuci tangan, mencuci tangannya dan kembali merawat pasien (Voss & Winmer, 1977). Perbedaannya, sekitar ¼ lebih dari waktu yang dibutuhkan ketika menggunakan alkohol pada sisi tempat tidur pasien (Voss & Winmer, 1977). Sebuah penelitian juga dilakukan di NICU menyatakan bahwa kepatuhan mencuci tangan staf di NICU masih rendah namun dengan mencuci tangan menggunakan alkohol meningkat signifikan daripada menggunakan sabun. Rekomendasi hasil penelitian di NICU, bahwa penggunaan alkohol dapat meningkatkan ketaatan mencuci tangan sesuai dengan standar (Cohen, et al., 2003). Beberapa kendala dalam melakukan HH: 1.
Kondisi kulit dan frekuensi HH 42
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Pada saat membahas tentang penggunaan produk yang digunakan untuk melakukan HH, terutama sabun dan deterjen lainnya, ternyata merupakan faktor utama yang menyebabkan dermatitis kronis pada petugas kesehatan (Dubbert, Dolce, Richter, Miller, Chapman, 1990). Sebuah penelitian yang melibatkan 2 ICU menyatakan bahwa dermatitis kontak adalah masalah petugas kesehatan yaitu sebesar 55,6% (Forrester & Roth, 1998). Iritasi kulit oleh produk HH dipertimbangkan sebagai salah satu kendala dalam melakukan ketaatan mencuci tangan secara tepat (Larson, 1985). Penggunaan sabun dan deterjen secara dapat merusak kulit, sehingga petugas kesehatan harus di beri informasi dengan baik mengenai kemungkinan efek yang merugikan dari agen pencuci tangan. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan mengenai standar mencuci tangan juga merupakan kendala dalam melakukan kebersihan tangan. 2. Efek Kekurangan Tenaga Tidak
seperti
kerja
dokter,
kerja
RNs
di
rumah
sakit
jarang
mengorganisasikan seputar populasi spesifik penyakit. RNs mengelompokkan pasien secara umum seperti kelompok umur atau intensitas perawatan (seperti, unit pediatrik/perawatan dewasa; atau perawatan intensif/perawatan umum). Perawat yang bekerja di ICU mempunyai beban kerja yang lebih berat dibandingkan dengan perawat di ruang perawatan umum. Pada kenyataanya banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan infeksi nosokomial pasien di rumah sakit meliputi faktor individu (seperti keparahan penyakit pasien), faktor perawatan (seperti penggunaan antibiotik) dan faktor organisasi (seperti susunan kepegawaian) bisa mempengaruhi peningkatan infeksi nosokomial (Jackson, et al., 2002). 43 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Susunan kepegawaian atau rasio perawat dan jumlah pasien yang dirawat oleh satu orang perawat dengan katagori pekerjaan tertentu dan rasio ini berubah setiap shif dan unit perawatan di tiap-tiap institusi. Rasio perawat penting untuk perawatan pasien kritis ini berbeda-beda di seluruh dunia. Sebagai contohnya, di Australia dan Inggris, rasio satu perawat untuk satu pasien di ICU dan satu perawat untuk dua pasien di untuk unit dengan tingkat ketergantungannya tinggi. Di Amerika dan Erofa, satu perawat sering dibutuhkan untuk merawat pasien lebih dari satu pasien di ICU. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa ketaatan mencuci tangan masih rendah berhubungan dengan shif per unit per hari dan rasio yang tinggi perawat dan pasien. Jadwal sift kerja satu atau dua shif akan lebih konsentrasi untuk mencuci tangan (Arenas et al, 2005).
Kekurangan staf perawatan klinik di Amerika Serikat di laporkan karena rumah sakit dibawah tekanan yang ekstrim dalam mengendalikan biaya. Kekurangan RNs dilaporkan hampir di semua bagian Amerika Serikat sejak 1988 (Buerhaus, Straiger, & Aurbach, 2000). Sampai saat ini di Amerika masih kekurangan RNs, sehingga RNs lama harus bekerja ekstra dan lebih lama dari usia yang seharusnya.Kecenderungan ini diperkirakan berlanjut lebih dari 10 tahun, diperkirakan lebih dari 40% RNs yang bekerja dengan usia lebih dari 50 tahun (Buerhaus et al., 2000).
Pengetahuan yang berhubungan dengan susunan kepegawaian perawat (nurse staffing) yang berorientasi pasien adalah sesuatu yang penting bagi 44 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
manajemen sumber daya perawat profesional dalam mengoptimalisasikan perawatan pasien. Penelitian menunjukkan bahwa pasien di rumah sakit dengan jumlah RNs yang sedikit lebih sering mengalami komplikasi dan meninggal pada kondisi pengobatan daripada pasien di rumah sakit dengan banyak RNs. Selanjutnya banyak penelitian mengungkapkan bukti bahwa kekurangan tenaga berhubungan dengan peningkatan lama rawat di rumah sakit akibat dari infeksi nosokmial seperti infeksi saluran perkemihan, infeksi setelah operasi, dan pneumonia. Komplikasi ini dapat dicegah jika perawat punya cukup waktu untuk memantau pasien dengan ketat (Kovner & Gergen 1998; Lichting, Knauf & Millholland, 1999).
Pittet (2001a) menemukan hubungan antara ketidaktaatan mencuci tangan yang sesuai dengan standar dan kekurangan tenaga. Dia melaporkan bahwa kekurangan
tenaga merupakan
salah
satu
kendala dalam kataatan
melaksanakan HH sesuai dengan standar. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Hassan (2004) yang menemukan rata-rata ketaatan mencuci tangan di ICU rendah ketika rasio perawat/pasien kurang dari 1:2. Larson dan Killien (1982) melaporkan bahwa terlalu sibuk adalah alasan penting yang diberikan oleh petugas kesehatan untuk tidak mencuci tangan mereka. Pitted (2001b) menemukan bahwa berkurangnya ketaatan mencuci tangan 5% (+ 2%) per peningkatan dari 10 kesempatan mencuci tangan per jam. Hasil penelitian Lipsett & Swoboda (2001) menunjukkan bahwa secara signifikan kelompok perawat kurang menyukai mencuci tangan untuk resiko rendah dan resiko tinggi (MD 9,2% versus 17,1%; RN 69,4% versus 39,6%; (nursing support personel) NSP 85% versus 23,3%). walaupun perawat kurang menyukai 45 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
mencuci tangan pada pasien resiko tinggi dibandingkan NSP. Namun tangan NSP akan berdampak lebih utama dalam meningkatkan penyebaran infeksi.
Terjangkitnya Enterobacter cloacae di NICU berhubungan dengan ketidakpatuhan mencuci tangan dan kekurangan tenaga. Jumlah pasien yang di rawat sehari-hari pada unit itu melebihi kapasitas maksimum unit. Pada kenyataannya jumlah anggota staf kurang dari yang dibutuhkan untuk melakukan beban kerja tersebut. Ketaatan mencuci tangan sesuai dengan standar pada unit ini, sebelum melakukan kontak dengan pasien hanya 25% selama puncak beban kerja petugas kesehatan, tetapi meningkat setelah berakhir masa kekurangan tenaga. Surveilen mendokumentasikan jika pasien dirawat selama masa ini dapat berisiko empat kali lipat mendapat infeksi nosokomial. Penelitian ini tidak hanya menunjukkan hubungan antara beban kerja dan infeksi, tetapi yang pokok adalah tentang ketaatan mencuci tangan sesuai dengan standar yang masih buruk (Harbarth, Sudre, Dharan, Cadenas, & Pittet, 1999).
HH merupakan salah satu cara yang efektif untuk membantu mencegah penyebaran
organisme,
seperti
mencuci
tangan.
Mencuci
tangan
menggunakan sabun biasa dan air, menggosok tangan dengan antiseptik termasuk alkohol atau antisepsis tangan untuk pembedahan (CDC, 2002). Mencuci tangan didefiniskan sesuatu yang penting sekali, yaitu dengan menggesekan semua permukaan tangan menggunakan sabun, di ikuti dengan membilas mereka di bawah air mengalir dan dikeringkan dengan handuk sekali pakai (Gamer & Favero, 1986). 46 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Menggosokan alkohol di tangan dapat digunakan dalam beberapa kondisi seperti sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien, sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan, sebelum memasukkan kateter urin, kateter vaskular periper, atau alat invasif yang membutuhkan pembedahan untuk
meletakkannya,
jika
memindahkan
dari
bagian
tubuh
yang
terkontaminasi ke bagian tubuh yan bersih selama perawatan pasien, setelah kontak dengan benda (termasuk alat-alat) yang berada di lingkungan pasien. Tangan yang lebih kotor harus digosok lebih lama. Mencuci tangan yang efektif membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 15 detik selama menggosok dengan sabun biasa atau disinfektan dan air hangat.
D. Strategi untuk meningkatkan ketatatan melakukan HH Penelitian tentang HH di unit neonatal menunjukkan bahwa intervensi multimodal terhadap infeksi nosokomial melalui program pendidikan dapat meningkatkan cakupan praktik HH. Pentingnya HH dan cara HH yang benar harus dijadikan sebagai program terhadap semua staf sebelum bekerja di NICU (Lam, Lie & Lau, 2004). Hasil penelitian lain menyatakan setelah dilakukan program pendidikan tentang HH peningkatannya hanya sedikit, namun dengan meningkatkan ketersediaan alkohol dan antiseptik untuk tangan berdampak signifikan terhadap peningkatan ketaatan mencuci tangan dari 19% menjadi 41%
dengan
ketersediaan 1 dispenser untuk 4 buah tempat tidur, dan dengan 1 dispenser untuk tiap tempat tidur ketaatan sebelumnya 23% dan setelahnya 48%. Kesimpulannya program
pendidikan
dan
meningkatkan
kesadaran
meningkatkan ketaatan mencuci tangan (Bischoff, 2000).
47 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
pasien
gagal
untuk
Ketaatan terhadap standar mencuci tangan di area resiko tinggi seperti NICU dapat difasilitasi oleh berbagai faktor seperti dukungan administratif, jumlah infeksi dan pendidikan yang terus menerus dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya mencuci tangan bagi staf rumah sakit. Penggunaan ALC untuk membersihkan tangan di NICU sangat di rekomendasikan (Cohen, 2003). Agen HH lainnya yang dapat digunakan untuk mencuci tangan meliputi chlorhexidine gluconate, iodophor (e.g. povidone iodine) dan triclosan (May, 2000).
E. Aplikasi Health Promotion Model (HPM) Nola J Pender 1. Konsep Model Promosi Kesehatan Model Promosi Kesehatan (HPM) adalah suatu cara untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan fisik dan interpersonalnya dalam berbagai dimensi. HPM lahir dari penelitian tentang 7 faktor persepsi kognitif dan 5 faktor modifikasi tingkah laku yang mempengaruhi dan meramalkan tentang perilaku kesehatan. Model ini menggabungkan dua teori yaitu dari teori nilai pengharapan (Expectancy-Value) dan teori pembelajaran sosial (Social Cognitive Theory) dalam perspektif keperawatan manusia dilihat sebagai fungsi yang holistik (Tomey & Alligood, 2006). Beberapa variabel dalam teori ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik individu dan pengalaman individu Karakteristik individu dan pengalaman individu meliputi perilaku sebelumnya dan faktor individu. Setiap petugas kesehatan mempunyai karakteristik yang unik dan pengalaman masa lalu yang dapat mempengaruhi tindakannya. Perilaku petugas kesehatan dalam melakukan HH pada masa yang lalu 48 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
mempunyai efek yang langsung dan tidak langsung. Efek secara langsung dimana terjadinya pengulangan-pengulangan perilaku HH yang terdahulu yang dapat bersifat merugikan ataupun menguntungkan. Merugikan jika pengalaman tersebut bertentangan dengan standar yang seharusnya dilakukan dan dapat menguntungkan jika perilaku HH terdahulu telah sesuai standar sehingga sudah tertanam nilai yang positif terhadap praktik HH.
Faktor personal yang juga mempengaruhi perilaku HH meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sensitifitas kulit, suasana kerja, lupa, kesibukan, tidak setuju dengan rekomendasi HH, penggunaan sarung tangan, ketidakpercayaan terhadap nilai HH. 2. Perilaku spesifik kognitif dan afektif Manfaat tindakan HH secara langsung bagi petugas kesehatan dapat membentuk gambaran diri dan penguatan yang positif dalam melakukan praktik HH di area pelayanan kesehatan. Kepercayaan tentang manfaat dan hasil positif dari perilaku melakukan HH dapat menjadi motivasi internal yang tinggi dalam melakukan praktik HH secara berkesinambungan. Namun terkadang dalam melakukan HH banyak hambatan misalnya ketidaktersediaan fasilitas, tidak cukup biaya, mahal, sulit untuk di jangkau atau banyak waktu yang digunakan untuk melakukan HH.
Kemampuan petugas kesehatan untuk melakukan tindakan HH sesuai dengan standar didasari oleh kemampuan dan keterampilan, sehingga dapat mengambil keputusan dan mempertimbangkan konsekuensinya. Perasaan mampu dan terampil melakukan HH akan mendorong petugas kesehatan 49 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
untuk melakukan praktik HH lebih sering. Kemampuan diri petugas kesehatan dadasarkan pada 4 tipe yaitu feed back dari lingkungan sekitarnya, pengalaman orang lain, ajakan orang lain dan status psikologis seperti kecemasan, ketakutan dan ketenangan terhadap penilaian orang lain.
Sikap yang berhubungan dengan aktivitas HH meliputi emosi yang timbul pada saat melakukan tindakan HH, dan lingkungan dimana HH dilakukan. Pengaruh aktivitas HH dapat bersifat positif dan negatif. Perilaku yang berpengaruh positif akan sering di ulangi sedangkan perilaku yang berpengaruh negatif akan cenderung dikurangi atau dibatasi. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah faktor interpersonal.
Pengaruh interpersonal dalam melakukan praktik HH adalah kesadaran tentang perilaku, kepercayaan atau sikap orang lain tentang HH. Sumber utama yang berpengaruh secara interpersonal dalam melakukan praktik HH adalah kolega atau atasan, role model, dan petugas kesehatan lainnya yang berada di area pelayanan
kesehatan.
Sedangkan
pengaruh
situasional
yang
dapat
memfasilitasi atau menghalangi melakukan praktik HH misalnya suasana kerja, ketersediaan alat, dukungan secara administratif, program pendidikan yang berkelanjutan. 2. Komitmen rencana tindakan Komitmen untuk melaksanakan tindakan HH dan identifikasi strategi untuk melaksanakan dan meningkatkan praktik HH melalui perencanaan. Rencana kegiatan melakukan HH akan berhasil dengan sukses jika strategi yang telah disusun disetujui bersama-sama, dimana satu kelompok dan kelompok lainnya 50 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
memberi dukungan berupa penguatan dan penghargaan nyata terhadap komitmen yang telah disepakati. Komitmen sendiri tanpa strategi yang baik akan mengalami kegagalan dalam membentuk suatu nilai perilaku HH oleh petugas kesehatan. 4. Kebutuhan langsung Kebutuhan langsung terhadap praktik HH adalah pilihan
utama petugas
kesehatan ketika tindakan HH yang dilakukannya diketahui memberi manfaat positif bagi dirinya, pasien dan lingkungan disekitarnya. Perilaku yang didasari oleh kebutuhan langsung terhadap HH ini dapat berasal dari kemauan petugas kesehatan sendiri ataupun dari lingkungan di luar dirinya. Pengetahuan dasar petugas kesehatan tentang infeksi nosokomial termasuk didalamnya tentang HH serta hasil-hasil penelitian yang berhubungan menjadi sebuah kesadaran dan menumbuhkan komitmen untuk melakukan tindakan HH sesuai dengan standar. Kebututuhan akan pengendalian infeksi nosokomial saat ini sudah menjadi suatu keharusan karena dibeberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadiannya berdampak negatif baik bagi petugas kesehatan maupun pasien dan lingkungannya. 5. Hasil perilaku Perilaku ketaatan terhadap HH dari petugas kesehatan dan petugas kesehatan pendukung diharapkan akan membuat perubahan pada petugas itu sendiri yaitu dapat mempertahankan dan meningkatkan ketaatan terhadap HH sebagaimana mestinya, sehingga dapat berdampak pada sistem perawatan kesehatan pasien dengan indikator lama rawat berkurang, biaya yang dikeluarkan juga sedikit dan kepuasan klien dan keluarga meningkat dan pada akhirnya menurunkan kejadian infeksi nosokomial. 51 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
52 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
54
BAB III KERANGKA KONSEP
Pada bab ini akan menguraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis yang dilakukan dan definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian.
A. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian merupakan landasan berfikir untuk melakukan penelitian dan di kembangkan berdasarkan tinjauan pustaka. Faktor-faktor yang mempunyai pengaruh terhadap ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene yang akan diteliti : karakteristik responden yang merupakan variabel independen meliputi, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sensitifitas kulit, pengetahuan, pernyataan terhadap rekomendasi hand hygiene, ketersediaan fasilitas, kekurangan tenaga kerja, dan role model. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah ketaatan.
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis maka dibuatlah kerangka konsep penelitian yang merupakan modifikasi dari pendapat WHO (2005) ; Pitted (2001) ; Larson (1998) ; Hassan (2004) seperti tergambar dalam skema dibawah ini :
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
55
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Faktor Internal - Usia - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - Sensitifitas kulit - Pengetahuan - Pernyataan terhadap rekomendasi HH
Ketaatan terhadap HH
Faktor Eksternal - Ketersediaan fasilitas - Kekurangan tenaga kerja - Role model
Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
B. Hipotesis 1.
Hipotesis Mayor ada pengaruh faktor internal (usia, jenis kelamin, pendidikan, sensitifitas kulit, pengetahuan, pernyataan terhadap rekomendasi HH) dan faktor eksternal (ketersediaan fasilitas, kekurangan tenaga kerja, role model) terhadap ketaatan melakukan HH.
2. Hipotesis minor 1. Faktor usia berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 2. Faktor jenis kelamin berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 3. Faktor tingkat pendidikan berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
56
4. Faktor sensitifitas kulit berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 5. Faktor pengetahuan berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 6. Faktor pernyataan terhadap rekomendasi HH berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 7. Faktor ketersediaan fasilitas berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 8. Faktor kekurangan tenaga kerja berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH 9. Faktor role model berpengaruh terhadap ketaatan melakukan praktik HH
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
59
BAB IV METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan menguraikan tentang metodologi penelitian, meliputi rancangan penelitian yang digunakan, populasi dan sampel penelitian, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpulan data, prosedur pengumpulan data serta analisa data.
A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Jenis penelitian dengan rancangan cross sectional ini berusaha mempelajari dinamika hubungan atau korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini seluruh variabel yang diteliti diukur pada saat bersamaan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat, artinya setiap subjek penelitian diambil hanya satu kali saja yang diukur menurut keadaan dan status pada saat itu (Budiharto, 2001).
Penelitian ini berusaha mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketaatan dalam melakukan praktik hand hygiene (HH) dengan cara pendekatan melalui observasi dan kuesioner. Pemilihan rancangan ini karena dapat menemukan korelasi antara faktor-faktor yang mempengaruhi, mudah dilakukan dan sederhana, waktu yang digunakan relatif singkat ( Notoatmojo, 2002). Pada penelitian ini peneliti mengambil data primer dan sekunder dari ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
60
B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah perawat dan dokter yang bertugas di ruang perinatologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dengan jumlah 85 orang 1 responden dropout. 2. Sampel Jumlah sampel yang didapatkan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditentukan adalah 84 orang, dengan rincian 66 orang perawat dan 18 orang dokter.
C. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di NICU, SCN 1, SCN 2, SCN 3 ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang berada di Salemba Jakarta Pusat provinsi DKI Jakarta. Pengambilan data aktivitas melakukan hand hygiene dilakukan didalam ruangan sedangkan untuk pengisian kuesioner ada yang diisi didalam ruangan dan diluar ruangan disesuaikan dengan kondisi responden.
D. Waktu Penelitian Pengumpulan data dilakukan selama 24 hari, dimulai dari tanggal 16 Juni sampai tanggal 8 Juli 2009. Proses penelitian, dimulai dari pembuatan proposal sampai penyusunan laporan berlangsung selama hampir 5 bulan. Secara lengkap waktu dan tahapan penelitian dapat dilihat dalam tabel yang terdapat di lampiran 3.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
61
E. Etika Penelitian Penelitian ini dilakukan setelah dinyatakan lolos kaji etik oleh Komite Etik FIK UI serta mendapatkan persetujuan dari Direktur Utama dan Kepala Divisi Perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebelum pengambilan data penelitian dilakukan melalui kuesioner, responden diberikan informasi tentang tujuan dan manfaat penelitian. Setiap responden diberi kebebasan untuk menyetujui apakah bersedia atau menolak untuk menjadi subyek penelitian dengan cara menandatangani informed concent atau surat pernyataan kesediaan yang telah disiapkan oleh peneliti. Namun, untuk pengambilan data observasi yang berkaitan dengan data ruangan peneliti bekerja sama dengan kepala ruangan perawatan dan perawat yang bertugas dibagian pengendalian infeksi ruang perinatologi. Selain itu pengambilan data observasi praktik melakukan hand hygiene diambil tanpa meminta persetujuan responden, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi bias data.
Penelitian ini juga memenuhi beberapa prinsip etik, yaitu : 1. Autonomy (kebebasan) Peneliti memberikan kebebasan untuk menentukan apakah responden bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara suka rela dengan memberikan tanda tangan pada lembar persetujuan. Tujuan, manfaat dan resiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian akan dijelaskan sebelum responden memberikan persetujuan. Responden juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat penelitian jika responden menghendakinya.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
62
2. Anonimity Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dengan tidak menuliskan nama sebenarnya pada lembaran kuesioner dan lembar observasi hand hygiene tetapi dengan kode responden, sehingga responden merasa aman dan tenang. 3. Confidentiality Peneliti mempertahankan prinsip kerahasiaan data responden dengan cara menyimpan data responden sebagai dokumentasi penelitian. 4. Data Protection Data hasil penelitian akan disimpan oleh peneliti dan hanya dapat diakses oleh peneliti. Setelah penelitian selesai, data dihancurkan oleh peneliti. 5. Right to Withdraw Selama penelitian dilakukan ada satu responden yang tidak di masukkan menjadi responden karena data responden yang diminta melalui kuesioner tidak di lengkapi. 6. Potential Benefit Hasil penelitian memiliki potensi untuk dapat dijadikan dasar dalam mencegah dan menanggulangi penularan infeksi nosokomial melalui petugas kesehatan dengan cara melakukan hand hygiene pada saat memberikan pelayanan/asuhan. 7. Potential harm Selama penelitian berlangsung peneliti berusaha sebisa mungkin untuk membuat kondisi normal ruangan dengan ikut terlibat dalam beberapa aktivitas ruangan dan berbaur dengan perawat atau dokter yang ada di ruangan tempat penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk membuat responden tetap nyaman dan beraktivitas seperti biasa.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
63
F. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data dalam penelitian terdiri dari 3 jenis yaitu menggunakan lembar observasi, kuesioner dan wawancara. Lembar observasi digunakan untuk melihat praktik hand hygiene yang dilakukan oleh responden dengan cara memberikan check list pada lembar observasi sesuai dengan indikasi yang dilakukan oleh responden. Observasi yang dilakukan pada setiap responden adalah 10 kesempatan. Kemudian dari 10 kesempatan tersebut dikatagorikan taat jika responden melakukan praktik hand hygiene sesuai indikasi dan dikatagorikan tidak taat jika hanya melakukan ≤ 5. Observasi juga dilakukan untuk melihat sensitifitas kulit responden dengan cara menanyakan terlebih dahulu pada kepala ruangan tentang informasi akibat pemakaian agen hand hygiene kemudian mengobservasi langsung tangan responden satu persatu.
Kemudian melakukan wawancara dengan kepala ruangan dan perawat pengendalian infeksi untuk mendapatkan data fasilitas ruangan untuk melakukan hand hygiene, role model dan ketersediaan tenaga yang ada di ruangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengobservasi sendiri ketersediaan fasilitas yang ada di ruangan menggunakan format observasi yang telah disediakan.
G. Prosedur Pengumpulan Data Sebelum pengambilan data peneliti mengikuti prosedur pengambilan data sebagai berikut : 1.
Prosedur Administrasi Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang ditujukan kepada Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
64
2. Prosedur Tehnis a. Mengurus surat ijin penelitian ke RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk memperoleh ijin penelitian, kemudian peneliti menyampaikan ijin penelitian kepada kepala divisi perinatologi dan kepala ruangan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. b. Menemui kepala ruangan untuk menginformasikan kepada calon responden dan pengambilan data sekunder dan data primer. c. Peneliti berkoordinasi dengan perawat pengendalian infeksi untuk menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian yang akan dilakukan terhadap responden. Peneliti juga meminta bantuan kepada perawat pengendalian infeksi untuk memantau kelengkapan responden dan meminta bantuan jika peneliti tidak bertemu langsung dengan responden saat pengisian kuesioner. d. Menemui calon responden dan meminta kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. e. Menyebarkan kuesioner kepada responden f. Setelah kuesioner diisi oleh responden peneliti langsung mengambil kembali kuesioner tersebut dan selanjutnya di cek kelengkapan datanya, jika ada yang tidak lengkap meminta kembali dilengkapi jika responden bersedia. g. Peneliti kemudian melakukan observasi terhadap aktivitas HH dengan ikut terlibat dalam kegiatan ruangan pada shif pagi atau sore. h. Peneliti mulai melakukan proses data editing.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
65
H. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kualitas ditentukan oleh tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur. Validitas adalah kesahihan, yaitu seberapa dekat alat ukur mengatakan apa yang seharusnya diukur (Sastroasmoro, 2002). Validitas dicapai dengan menggunakan alat ukur yang sesuai dengan apa yang akan diukur, seperti penggunaan lembar observasi hand hygiene dari WHO yang telah di alihbahasakan ke bahasa Indonesia dan telah dipergunakan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, kemudian lembar observasi sensitifitas kulit juga digunakan dengan mengalih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia, lembar observasi ini juga pernah digunakan dalam penelitian Hassan (2004) dan Larson et al. (1998). Kemudian yang terakhir adalah lembar wawancara yang dikembangkan oleh peneliti sendiri dengan didasari oleh teori dan hasil penelitian tentang hand hygiene.
Reliabilitas adalah keandalan atau ketepatan pengukuran. Suatu pengukuran disebut handal apabila alat tersebut memberikan nilai yang sama atau hampir sama bila pemeriksaan dilakukan berulang-ulang (Sastroasmoro, 2002). Tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan keandalan pengukuran pada penelitian ini adalah melakukan observasi dari awal tindakan sampai akhir tindakan dengan cermat dan melakukan cross check antara data wawancara dan observasi langsung.
I.
Pengelolaan Data Setelah data terkumpul, maka selanjutnya dilakukan pengelolaan data untuk mendapatkan analisis penelitian dengan informasi yang benar (Hastono, 2007).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
66
Tahapan pengelolaan data yang harus dilalui adalah : 1. Editing Kegiatan ini dilakukan untuk menilai kelengkapan data yang diperoleh dari responden. Setelah responden mengisi kuesioner akan dilakukan pengecekan apakah jawaban yang ada sudah lengkap terisi semua dan dapat dibaca dengan baik. Setelah dilihat ternyata ada satu kuesioner yang tidak lengkap datanya sehingga di dropout. 2. Coding Tahap kedua pengelolaan data adalah proses coding dimana proses ini penting dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam mengelola berbagai data yang masuk. Coding dilakukan dengan memberikan kode pada setiap kuesioner dan lembar observasi HH tiap responden. 3. Processing Data yang sudah terkumpul dimasukkan ke dalam program analisa data menggunakan komputer. Data dimasukkan sesuai nomor responden pada kuesioner dan nomor pada lembar observasi dan jawaban responden dimasukkan kedalam komputer dalam bentuk angka sesuai dengan skor jawaban yang telah ditentukan ketika melakukan koding. 4. Cleaning Suatu pembersihan seluruh data agar terbebas dari kesalahan sebelum dilakukan analisis data, baik kesalahan dalam memberi kode maupun dalam membaca kode. Kesalahan juga dimungkinkan terjadi pada saat memasukkan data ke komputer. Pengelompokan data yang salah akan diperbaiki hingga tidak ditemukan kembali data yang tidak sesuai, sehingga data siap dianalisis.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
67
J. Analisa Data Setelah tahap pengelolaan data selesai, maka dilanjutkan dengan analisa data. Analisa data dalam penelitian ini melalui 3 tahap sebagi berikut : 1. Analisis Univariat Analisa univariat dilakukan untuk melihat tampilan distribusi variabel karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sensitifitas kulit, peryataan terhadap rekomendasi hand hygiene, ketersediaan fasilitas, kekurangan tenaga kerja dan role model. Informasi hasil analisa univariat yang disajikan adalah informasi utama dan tampilan untuk data katagorik dalam bentuk distribusi frekuensi. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat diperlukan untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisa bivariat dapat dilihat pada tabel 4.1. 3. Analisis Multivariat Analisis multivariat digunakan untuk menganalisis variabel bebas yang paling signifikan hubungannya dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik regresi logistik model prediksi. Variabel yang dapat diikutsertakan dalam analisis multivariat adalah yang mempunyai nilai p < 0,25, setelah dilakukan analisis bivariat.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
59
Tabel 4.1. Tabel Uji Statistik
No.
Uji statistik
Variabel terikat Univariat
Bivariat X2 X2 X2
1. 2. 3. 4. 5.
Usia (katagorik) Jenis kelamin (katagorik) Tingkat pendidikan (katagorik) Sensitifitas kulit (katagorik) Pengetahuan (katagorik)
Ketaatan (katagorik) Ketaatan (katagorik) Ketaatan (katagorik) Ketaatan (katagorik) Ketaatan (katagorik)
Deskriptik Statistik Deskriptik Statistik Deskriptik Statistik Deskriptik Statistik Deskriptik Statistik
6.
Pernyataan terhadap rekomendasi HH (katagorik) Ketersediaan alat (katagorik) Kekurangan tenaga kerja (katagorik) Role model (katagorik)
Ketaatan (katagorik)
Deskriptik Statistik
Ketaatan (katagorik) Ketaatan (katagorik)
Deskriptik Statistik Deskriptik Statistik
Ketaatan (katagorik)
Deskriptik Statistik
7. 8. 9.
Variabel bebas
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Multivariat
X2
Regresi Logistik
X2
Regresi Logistik
69
BAB V HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan ditampilkan hasil penelitian yang disesuaikan dengan tujuan yaitu: a) tingkat ketaatan responden, b) faktor eksternal meliputi, usia, jenis kelamin, pendidikan, sensitifitas kulit, pengetahuan, pernyataan terhadap rekomendasi HH, c) faktor eksternal meliputi ketersediaan fasilitas, kekurangan tenaga kerja dan role model, e) faktor internal dan eksternal yang dominan. Penjelasan tersebut meliputi hasil pengolahan data yang merupakan hasil analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat.
Pengumpulan data dimulai tanggal 16 Juni sampai 8 Juli 2009 di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sampel 84 orang untuk kuesioner dan Observasi.
A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Petugas Kesehatan di Ruang Perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tabel 5.1. Distribusi petugas kesehatan menurut ketaatan melakukan hand hygiene di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009
Variabel Taat Tidak taat Jumlah
Indikasi Sebelum Sesudah 11 18 46 9 57 27
Jumlah
Persentase
29 55 84
34,5 65,5 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa 65,5% petugas kesehatan tidak taat melakukan hand hygiene.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
70
Tabel 5.2. Distribusi petugas kesehatan menurut ketaatan terhadap indikasi melakukan hand hygiene di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 Indikasi Kontak dengan tubuh pasien Pemasangan alat-alat Prosedur aseptic Lingkungan Jumlah
Jumlah 25 6 17 36 84
Persentase 29,8 7,1 20,3 42,8 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 42,8% petugas kesehatan tidak melakukan hand hygiene menyentuh lingkungan pasien.
Tabel 5.3. Distribusi petugas kesehatan menurut ketaatan ruangan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 Ruangan NICU SCN 1 SCN 2 SCN 3 Jumlah
Jumlah 24 17 25 18 84
Persentase 28,6 20,2 29,8 21,4 100
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa 29,8% petugas kesehatan di ruangan SCN 2 taat dalam melakukan hand hygiene.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
71
Tabel 5.4. Distribusi petugas kesehatan menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sensitifitas kulit, tingkat pengetahuan, pernyataan terhadap rekomendasi, ketersediaan fasilitas, kekurangan tenaga kerja, role model, di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009
Variabel 1. Usia a. Dewasa awal b. Dewasa madya 2. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 3. Pendidikan a. Rendah b. Tinggi 4. Pengetahuan a. Kurang b. Baik 5. Sensitifitas kulit a. Tidak iritasi b. Iritasi 6. Pernyataan terhadap rekomendasi a. Tidak setuju b. Setuju 7. Ketersediaan fasilitas HH a. Tidak tersedia b. Tersedia 8. Ketersediaan tenaga kerja a. Kurang b. Cukup c. Lebih 9. Role model a. Tidak ada b. Ada
Frekuensi
Persentase
75 9
89,3 10,7
6 78
7,1 92,9
9 75
10,7 89,3
59 25
70,2 29,8
84 0
100 0
0 84
0 100
0 84
0 100
28 56 0
33,3 66,7 0
0 84
0 100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat distribusi petugas kesehatan menurut usia, jenis kelamin, pendidikan, sensitifitas kulit, pengetahuan, ketersediaan fasilitas, ketersediaan tenaga kerja dan role model.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
72
Sebagian besar petugas kesehatan 89,3% yang bekerja di ruang perinatologi berada pada rentang usia dewasa awal. Sedangkan prosentase jenis kelamin petugas kesehatan mayoritas adalah perempuan yaitu 92,9% dan yang berjenis kelamin laki-laki 7,1%.
Distribusi tingkat pendidikan petugas kesehatan tampak bahwa mereka mempunyai tingkat pendidikan tinggi yaitu 89,3% sedangkan yang mempunyai tingkat pendidikan rendah sebesar 10,7%.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 70,2% tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang hand hygiene masih kurang dan yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik hanya sebesar 29,8%.
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 100% petugas kesehatan tidak mengalami iritasi kulit yang disebabkan oleh agen hand hygiene. Selain itu 100% petugas kesehatan menyatakan setuju terhadap rekomendasi hand hygiene. Selanjutnya fasilitas yang di gunakan untuk melakukan hand hygiene bagi petugas kesehatan 100% tersedia sesuai dengan standar.
Ketersediaan tenaga kerja yang berada di ruangan perinatologi dengan katagori cukup sebesar 66,7% dan 33,3% ketersediaan tenaga kerja di ruangan masih dalam katagori kurang. Selanjutnya diketahui bahwa role model melakukan praktik hand hygiene 100% sudah ada diruangan perinatologi.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
dalam
73
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene Tabel 5.5. Analisis responden menurut usia dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 Ketaatan Taat
Usia
Total
Tidak Taat
OR
n
%
n
%
n
%
(95% CI)
Dewasa awal
26
30,9
49
58,4
75
89,3
0,942
Dewasa madya
3
3,6
6
7,1
9
10,7
Jumlah
29
34,5
55
65,5
84
100
P value
0,21; 4,07 1,000
Dari tabel distribusi katagori usia dengan ketaatan melakukan hand hygiene diperoleh bahwa sebanyak 30,9% petugas kesehatan yang taat melakukan hand hygiene dengan pada rentang usia dewasa awal dan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 58,4%. Petugas kesehatan pada rentang usia dewasa madya yang taat melakukan hand hygiene sebanyak 3,6% dan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 7,1%. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa pada rentang usia dewasa awal lebih banyak tidak taat dalam melakukan hand hygiene. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai Odd Rasio (OR) 0,942 yang berarti petugas kesehatan pada rentang usia dewasa awal mempunyai peluang 0,94 kali untuk taat melakukan hand hygiene di banding dengan petugas kesehatan pada rentang usia dewasa awal. Hasil uji statistik (p = 1,000; α ≤ 0,05) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ketaatan dengan usia.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
74
Tabel 5.6. Analisis responden menurut jenis kelamin dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009.
Ketaatan Taat
Jenis kelamin
Total
Tidak Taat
OR (95% CI)
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
3
3,6
3
3,6
6
7,2
0,500
Perempuan
26
30,9
52
61,9
78
92,8
0,09; 2,7
Jumlah
29
34,5
55
65,5
84
100
Pvalue
0,411
Dari tabel distribusi jenis kelamin dengan ketaatan melakukan hand hygiene diperoleh bahwa sebanyak 3,6% petugas kesehatan dengan jenis kelamin laki-laki yang taat melakukan hand hygiene sedangkan laki-laki yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 3,6%. Jenis kelamin perempuan yang taat melakukan hand hygiene sebanyak 30,9% sedangkan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 61,9%. Secara keseluruhan jenis kelamin perempuan lebih banyak taat dalam melakukan hand hygiene. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai Odd Rasio (OR) 0,500 yang berarti petugas kesehatan dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai peluang 0,50 kali untuk taat melakukan hand hygiene di banding dengan perempuan. Hasil uji statistik (p = 0,411; α ≤ 0,05) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ketaatan dengan jenis kelamin.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
75
Tabel 5.7. Analisis responden menurut tingkat pendidikan dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 Ketaatan
Tingkat Pendidikan
Taat
Pvalue
Total OR
Tidak Taat
n
%
n
%
n
%
Rendah
3
3,6
6
7,1
9
10,7
Tinggi
26
30,9
49
58,3
75 89,2
Jumlah
29
34,5
55
65,5
84
(95% CI) 1,061 0,2; 4,5
1,000
100
Distribusi katagori tingkat pendidikan dengan ketaatan melakukan hand hygiene diperoleh bahwa sebanyak 3,6% petugas kesehatan dengan pendidikan rendah yang taat melakukan hand hygiene sedangkan pendidikan tinggi yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 7,1%. Petugas kesehatan yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi yang taat melakukan hand hygiene sebanyak 30,9% sedangkan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 58,3%. Secara keseluruhan petugas kesehatan yang mempunyai pendidikan tinggi lebih banyak taat dalam melakukan hand hygiene. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai Odd Rasio (OR) 1,061 yang berarti petugas kesehatan dengan pendidikan tinggi mempunyai peluang 1,06 kali untuk taat melakukan hand hygiene di banding dengan pendidikan rendah. Hasil uji statistik (p = 1,000; α ≤ 0,05) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ketaatan dan pendidikan.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
76
Tabel 5.8. Analisis responden menurut tingkat pengetahuan dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 Ketaatan Tingkat
Taat
Total OR
Tidak Taat
(95% CI)
n
%
n
%
n
%
Kurang
10
11,9
49
58,4
59
70,3
15,517
Baik
19
22,6
6
7,1
25
29,7
4,9; 48,6
Jumlah
29
34,5
55
65,5
84
100
Pengetahuan
Pvalue
0,000*
* Bermakna pada α 0,05
Hasil analisis hubungan antara tingkat pengetahuan dengan ketaatan melakukan hand hygiene diperoleh bahwa sebanyak 11,9% petugas kesehatan yang mempunyai pengetahuan kurang yang taat melakukan hand hygiene sedangkan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 58,4%. Petugas kesehatan dengan tingkat pengetahuan baik yang taat melakukan hand hygiene sebanyak 22,6% sedangkan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 7,1%. Secara keseluruhan petugas kesehatan yang mempunyai pengetahuan tinggi lebih banyak taat dalam melakukan hand hygiene. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai Odd Rasio (OR) 15,517 yang berarti petugas kesehatan dengan pengetahuan baik mempunyai peluang 15,5 kali untuk taat melakukan hand hygiene di banding dengan pengetahuan kurang pendidikan rendah. Hasil uji statistik (p = 0,000; α ≤ 0,05) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara ketaatan dan tingkat pengetahuan.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
77
Tabel 5.9. Analisis responden menurut ketersediaan tenaga kerja dan ketaatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009 Ketaatan Taat
Ketersediaan
Total OR
Tidak Taat %
(95% CI)
28
34,5
1,941
40,5
56
66,6
0,7; 5,3
65,5
84
100
n
%
n
%
n
Kurang
7
9,5
21
25
Cukup
22
26,2 34
Jumlah
29
34,5 55
Tenaga kerja
PValue
0,194
Hasil analisis hubungan antara ketersediaan tenaga kerja dengan ketaatan melakukan hand hygiene diperoleh bahwa sebanyak 9,5% petugas kesehatan dengan katagori ketersediaan tenaga kerja kurang di ruangan yang taat melakukan hand hygiene sedangkan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 25%. Petugas kesehatan dengan katagori ketersediaan tenaga kerja cukup di ruangan yang taat melakukan hand hygiene sebanyak 26,2% sedangkan yang tidak taat melakukan hand hygiene sebesar 40,5%. Secara keseluruhan petugas kesehatan dengan ketersediaan tenaga kerja cukup di ruangan yang lebih banyak taat dalam melakukan hand hygiene. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai Odd Rasio (OR) 1,941 yang berarti petugas kesehatan dengan ketersediaan tenaga kerja cukup diruangan mempunyai peluang 1,94 kali untuk taat melakukan hand hygiene di banding dengan ketersediaan tenaga kerja kurang di ruangan. Hasil uji statistik (p = 0,194; α ≤ 0,05) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ketaatan dan kekurangan tenaga kerja.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
78
3. Analisa Multivariat Sebelum dianalisis ke tahap multivariat, variabel bebas dilakukan analisis bivariat, namun tidak semua variabel dapat di uji pada tahap bivariat. Variabel-variabel tersebut adalah sensitifitas kulit, ketersediaan fasilitas dan role model tidak dapat dianalisa pada tahap bivariat karena ada sel yang tidak terisi atau hasilnya konstan.
a. Pemilihan Model Kandidat Multivariat Setelah masing-masing variabel independen meliputi: variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan dan kekurangan tenaga kerja dilakukan analisis bivariat dengan variabel terikat, kemudian variabel yang menghasilkan p value < 0,25 maka variabel tersebut langsung dimasukkan ke tahap multivariat. Variabel yang dapat masuk ke tahap multivariat hanya dua variabel yaitu variabel pengetahuan dengan p value 0,000 dan variabel ketersediaan tenaga kerja dengan p value 0,194. Seleksi bivariat menggunakan uji regresi logistik sederhana. Hasil seleksi tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini.
Tabel 5.10. Hasil uji regresi logistik sederhana hubungan pengetahuan dan ketersediaan tenaga kerja terhadap kataatan melakukan hand hygiene di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli 2009. No. Variabel
B
Wald
1.
Pengetahuan
2,967
21,536
P value 0,000
2.
Ketersediaan tenaga Kerja
0,595
3,091
0,079
OR
95% CI Min Max
19,425
5,549
67,997
1,812
0,934
3,517
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
79
Dari analisis multivariat ternyata variabel yang berhubungan bermakna dengan ketaatan petugas kesehatan adalah
dua variabel yaitu, variabel
pengetahuan yang merupakan faktor internal petugas kesehatan dan faktor ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor eksternal petugas kesehatan.
Hasil Odds Ratio (OR) dari variabel pengetahuan adalah 19,4, artinya petugas kesehatan yang mempunyai pengetahuan kurang tentang hand hygiene akan tidak taat melakukan hand hygiene sebanyak 19 kali lebih tinggi dibandingkan dengan petugas kesehatan yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang hand hygiene. Sedangkan Hasil Odds Ratio (OR) dari variabel Ketersediaan tenaga kerja adalah 1,812, artinya petugas kesehatan dengan ketersediaan tenaga kerja kurang di ruangan akan tidak taat melakukan hand hygiene sebanyak 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan petugas kesehatan dengan ketersediaan tenaga kerja cukup di ruangan.
Dari hasil analisis kedua variabel tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene adalah faktor pengetahuan (internal) sedangkan faktor eksternal adalah kekurangan tenaga kerja di ruangan.
b. Penilaian Interaksi dan Pemodelan Akhir Penilaian interaksi tidak dilakukan karena setelah dilakukan analisis multivariat hanya satu variabel yang bermakna.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
80
BAB VI PEMBAHASAN
Pada bab ini akan di bahas tentang interpretasi dan diskusi yang berhubungan dengan penelitian serta membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya serta teori-teori yang mendukung atau berlawanan dengan temuan baru. Pembahasan akan diawali dengan interpretasi dan diskusi hasil penelitian tentang tingkat ketaatan melakukan hand hygiene dan variabel bebas lainnya. Pada bagian lainnya akan dibahas tentang hasil analisis bivariat antara variabel terikat dan bebas serta hasil analisis multivariat. Bagian akhir bab ini akan membahas tentang keterbatasan penelitian, implikasi penelitian terhadap pelayanan keperawatan, pendidikan keperawatan dan penelitian keperawatan serta rekomendasi untuk penelitian yang akan datang.
A. Interpretasi dan Diskusi Hasil Penemuan hasil penelitian yaitu : 1. Ketaatan petugas dalam melakukan hand hygiene (HH) Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat ketaatan petugas kesehatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam melakukan hand hygiene yaitu 34,9%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pitted (2001) yang membandingkan tingkat ketaatan petugas kesehatan di ruang NICU, ICU, PICU, IGD dan semua ruangan lainnya dan hasilnya menunjukkan bahwa tingkat ketaatan melakukan hand hygiene di NICU masih < 50% yaitu 29%. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dua diantaranya adalah faktor kurangnya pengetahuan tentang praktik hand
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
81
hygiene sesuai dengan standar. Sehingga diperlukan suatu program pendidikan tentang hand hygiene yang berkelanjutan dengan informasi yang selalu update dan melengkapi fasilitas sesuai dengan standar. Namun, perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi ketersediaan fasilitas, dimana fasilitas yang digunakan untuk melakukan hand hygiene di ruang perinatologi sudah tersedia sesuai dengan standar bagi petugas kesehatan, meliputi tempat mencuci tangan dan ALC yang sangat mudah untuk diakses. Seharusnya kondisi ini sangat mendukung untuk petugas kesehatan taat terhadap hand hygiene sesuai dengan rekomendasi.
Hal ini juga didukung oleh penelitian observasi lainnya yang menyatakan bahwa tingkat ketaatan petugas kesehatan secara keseluruhan hanya 40% (Meengs, Giles, Chisholm, Cordell & Nelson, 1994; Muto, Sistrom & Wurtz, Moye & Jovanovic, 1994; Farr, 2000; Pittet, et al, 2000). Penelitian lain yang dilakukan oleh Kickland & Weinstein (1999) di pusat pengobatan universitas Duke menunjukkan bahwa dokter hanya mencuci tangannya hanya 17%. Selain
itu
penelitian
watanakunakorn, Wang
observasional
lainnya
yang
dilakukan
oleh
Hazy (1998) memperlihatkan bahwa secara
keseluruhan ketaatan petugas kesehatan mencuci tangan hanya 30,2%.
Penelitian terbaru yang juga mendukung dilakukan oleh Burg (2008) yang menyatakan bahwa ketaatan dalam melakukan hand hygiene terutama saat kontak dengan tubuh pasien sekitar 30%. Patarakul (2005) juga menyatakan bahwa ketaatan mencuci tangan masih kurang dari 50%, kondisi ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi seperti persepsi petugas
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
82
kesehatan tentang mencuci tangan, lupa, iritasi kulit sehingga diperlukan sebuah strategi yang disesuaikan dengan permasalahan dasar yang timbul pada petugas kesehatan tersebut atau kendala-kendala yang dihadapi oleh petugas kesehatan dalam kegiatannya melakukan hand hygiene.
Tingkat ketaatan di ruang perinatologi masih kurang terutama pada saat menyentuh lingkungan di sekitar pasien yaitu sekitar 42,8% dan kontak dengan tubuh pasien 29,8%. Selain itu ketika melakukan prosedur aseptik sebesar 20,3% dan pemasangan alat-alat 7,1%. Hal ini didukung oleh penelitian Davenport (1992) menunjukkan bahwa perawat mencuci tangan mereka sebelum melakukan perawatan hanya 27% dan tidak juga mencuci tangan setelah melakukan perawatan. Namun berbeda halnya dengan hasil penelitian Larson (1983) yang menyatakan bahwa 51% perawat mencuci tangan mereka sebelum keluar dari ruang isolasi, begitu juga halnya dengan petugas kesehatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo.
Kondisi di ruangan ini, petugas kesehatan mengabaikan mencuci tangan mereka setelah melakukan kontak dengan pasien dengan resiko rendah seperti melakukan pemeriksaan tekanan darah atau nadi, suhu atau pernafasan, sama seperti ketika petugas kesehatan melakukan pemeriksaan atau aktivitas yang berisiko tinggi seperti memasang infus atau mengganti balutan luka. Ini mungkin mereka kurang menyadari bahwa tangan mereka dapat membuat pasien terkontaminasi atau dirinya sendiri terkontaminasi. Penelitian yang mendukung hasil penelitian ini salah satunya hasil Ehrenkranz dan Alfonso (1991) yang melakukan penelitian kepada perawat untuk menyentuh pada
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
83
bagian femoral paha pasien pada saat memeriksa nadi, kemudian perawat membersihkan tangannya menggunakan sabun atau ALC. Setelah tangan mereka bersih diminta untuk menyentuh kembali kateter urin dengan tangan mereka, setelah itu bagian kateternya di kultur. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri gram negatif di tularkan oleh petugas kesehatan pada kateter 92% setelah mencuci tangan dan 17% setelah menggunakan ALC. Ini juga menunjukkan bahwa ALC lebih efektif untuk bakteri gram negatif.
Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa petugas kesehatan sebagian besar tidak membersihkan tangan mereka sebelum melakukan tindakan yaitu sebesar 54,8%. Hasil penelitian ini juga seiring dengan hasil penelitian Larson dan koleganya (1997) menemukan bahwa perawat mencuci tangan mereka hanya 38% sebelum melakukan prosedur infasif di area perawatan intensif. Seharusnya hand hygiene dilakukan oleh petugas kesehatan sebelum melakukan perawatan hal ini disebabkan karena beberapa penelitian dari Boyce, Opal dan Chow, (1998); Samore et al. (1996) menunjukkan bahwa tangan petugas kesehatan atau sarung tangan yang mereka gunakan dapat terkontaminasi ketika menyentuh obyek di ruangan pasien, dan juga karena adanya mikroorganisme yang selalu dikeluarkan oleh kulit normal pasien.
Selain itu dilaporkan juga bahwa 27% di permukaan ruangan pasien terdapat MRSA (Boyce et al. 1997) dan penelitian lain juga menunjukkan bahwa beberapa mikroorganisme seperti staphylococcus aureus, Gram-negative rods, dan Enterococcus) bervariasi dari 0 sampai 106 koloni/10 cm2 di lingkungan pasien (Bertone, Fisher dan Mortensen, 1994; Ehrenkranz dan Alfonso, 1991).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
84
Casewell (1997) menemukan bahwa 17% perawat di ICU terkontaminasi tangannya oleh 100-1000 CFUs Klebsiella selama melakukan aktivitas yang bersih seperti setelah meninggalkan pasien, memeriksa nadi, tekanan darah, atau temperatur oral, menyentuh tangan atau bahu pasien.
Petugas kesehatan tidak melakukan hand hygiene baik menggunakan ALC ataupun mencuci tangan sebelum melakukan prosedur aseptik dan pemasangan alat-alat tetapi mereka menggunakan sarung tangan. Sejak 1998 yang lalu penggunaan sarung tangan sangat meningkat terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan dari patogen darah pasien ke petugas kesehatan. CDC juga merekomendasikan untuk menggunakan sarung tangan untuk mengurangi resiko infeksi dari pasien dan mencegah penularan mikroorganisme dari petugas kesehatan ke pasien. Namun, jika terjadi kerusakan pada sarung tangan atau sarung tangan sudah terkontaminasi selama menggunakan sarung tangan akan menjadi sumber penularan dari pasien ke pasien (Korniewicz et al. 1990).
Dampak penggunaan sarung tangan juga dapat memberikan persepsi yang salah pada petugas kesehatan yang mana hasilnya dapat mengurangi ketaatan melakukan hand hygiene setelah melepaskan sarung tangan, hal ini dilakukan karena petugas kesehatan menganggap bahwa dengan memakai sarung tangan tangannya sudah terbebas dari bakteri yang berasal dari pasien. Boyce (1997) menemukan bahwa sarung tangan terkontaminasi oleh MRSA sebanyak 42% pada petugas kesehatan yang menyentuh permukaan atau tidak menyentuh pasien secara langsung. Namun, kondisi ini dapat dikurangi dengan
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
85
melakukan hand hygiene sesuai dengan rekomendasi baik caranya maupun waktu yang digunakan untuk mencuci tangan atau menggunakan ALC.
Hasil observasi penelitian di ruangan perinatologi juga ditemukan bahwa waktu yang digunakan oleh petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene belum sesuai dengan waktu yang direkomendasikan. Namun dalam penelitian ini, peneliti tidak menampilkan masing-masing waktu yang digunakan oleh petugas kesehatan di ruangan dalam melakukan hand hygiene. Selain beberapa faktor diatas faktor kurangnya pengetahuan terhadap hand hygiene juga yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene.
Kurang pengetahuan dan informasi yang ilmiah tentang hand hygiene serta dampak jika taat melakukan hand hygiene dapat menjadi penghambat atau kurangnya motivasi bagi petugas kesehatan untuk taat dalam melakukan sesuai dengan rekomendasi (Pitted, 2001). Selain itu faktor beban yang terlalu berat atau kekurangan tenaga kerja di ruangan serta kondisi pasien dengan tingkat ketergantungan yang tinggi kepada petugas kesehatan, yang mengharuskan tindakan hand hygiene dilakukan lebih sering dibandingkan dengan ruangan lainnya merupakan faktor yang mempengaruhi masih rendahnya tingkat ketaatan petugas kesehatan.
2. Hubungan antara usia responden dengan ketaatan melakukan hand hygiene Hasil analisis didapatkan paling banyak yaitu pada dewasa awal dengan rentang usia 18 tahun sampai 40 tahun, sedangkan dewasa madya >40 -60 tahun (Hall, Lindzey & Campbell, 1998) dan rata-rata usia petugas kesehatan
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
86
di ruangan perinatologi adalah 29 tahun. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Hassan (2004) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok rentang usia dewasa awal dan dewasa madya pada indikasi melakukan hand hygiene.
Pada rentang usia dewasa awal ini dilihat dari sisi tugas tahap perkembangannya, yaitu mempunyai pola kooperatif, kompetitif dan pola persahabatan. Tahapan usia ini jika dihubungkan dengan pelaksanaan aktifitas hand hygiene dapat dilakukan dengan memanfaatkan tahapan perkembangan petugas kesehatan tersebut. Sedangkan untuk dewasa lanjut berada pada tahapan perkembangan yang berorientasi pada pendidikan saat ini atau yang telah ada (tradisi). Hasil analisis statistik juga menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dan ketaatan dengan p value 1,000.
3. Hubungan antara ketaatan dan jenis kelamin responden Hasil penelitian ini di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa petugas kesehatan 92,9% berjenis kelamin perempuan sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 7,1%. Pada beberapa laporan penelitian menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara jenis kelamin dan ketaatan melakukan hand hygiene, seperti Gershon, Kharkasian, dan Felknor (1994) melaporkan bahwa tingkat ketaatan mencuci tangan laki-laki lebih rendah dari perempuan. Sebagai tambahan, Gershon et. al menemukan kepatuhan terhadap pencegahan universal lebih tinggi perempuan (25%) kemudian laki-laki (19%).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
87
Hasil analisis hubungan antara ketaaatan dan jenis kelamin didapatkan nilai p=0,411, berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan ketaatan melakukan hand hygiene. Namun hasil penelitian Hassan (2004) menunjukkan bahwa ada perbedaan antara ketaatan jenis kelamin perempuan dan laki-laki dimana ketaatan perempuan dalam melakukan hand hygiene lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini pada saat melakukan tindakan sebelum melakukan perawatan dan melepaskan sarung tangan (n=40). Pada penelitian ini walaupun kesempatan yang diberikan kepada responden yang berjenis kelamin laki-laki sama namun dari segi jumlah tidak seimbang dengan responden perempuan, sehingga untuk membandingkan tingkat ketaatan antara perempuan dan laki-laki perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang sama.
Namun, pada peneliti yang lainnya, Kirkland dan Weinstein (1999) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat ketaatan antara laki-laki dan perempuan dalam mencuci tangan mereka. Pada saat penelitian tidak ditemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun penelitian terbaru Pitted (2001a) mempertimbangkan jenis kelamin laki-laki sebagai faktor predisposisi dalam rendahnya ketaatan melakukan hand hygiene. Perbedaan jenis kelamin dalam tingkat kepatuhan akan dilakukan pengujian dimasa yang akan datang.
4. Hubungan antara ketaatan dan tingkat pendidikan responden Tingkat pendidikan responden di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sangat bervariasi, namun didapatkan tingkat pendidikan yang
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
88
paling banyak adalah pada perguruan tinggi 76,2% dan yang paling rendah SPK yaitu 13,1% dan pasca sarjana 13%. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mana dilakukan pada responden yang homogen yaitu semuanya pada level registred nurses (RNs). Namun walaupun demikian, hasil penelitian itu sendiri menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat ketaatan RNs dalam melakukan hand hygiene masih < 50% yaitu 32% (Hassan, 2004).
Hasil analisis hubungan antara tingkat ketaatan dan tingkat pendidikan responden didapatkan nilai p=1,000, berarti tidak ada hubungan antara pendidikan dengan ketaatan melakukan hand hygiene. Pada sebuah penelitian bahwa rumah sakit yang mempunyai registred nurse (RNs) yang lebih sedikit lebih sering mengalami komplikasi dan dan meninggal pada saat masa perawatan dirumah sakit dibandingkan dengan rumah sakit yang memiliki RNs lebih banyak.
Hasil analisis juga didapatkan bahwa tingkat pendidikan yang ada di ruang perinatologi sangat bervariasi mulai dai SPK (katagori pendidikan rendah) D3, S1 dan S2/Spesialis (katagori pendidikan tinggi). Peneliti belum menemukan penelitian yang berkaitan dengan strata pendidikan seperti di Indonesia, mungkin hal ini dapat diteliti lebih lanjut perbedaan ketaatan dalam melakukan hand hygiene tiap-tiap jenjang pendidikan.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
89
5. Hubungan antara ketaatan melakukan hand hygiene dan sensitifitas kulit Hasil analisis didapatkan bahwa 84 orang responden (100%) tidak terjadi iritasi yang disebabkan oleh agen hand hygiene baik alkohol hand rub ataupun sabun antimikrobial. Hal ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa 55,6% petugas kesehatan menderita dermatitis kontak yang diakibatkan oleh agen hand hygiene (Forrester & Roth, 1998). Berdasarkan penelitian American Academy of Dermatology (2008) melalui tes dengan menempelkan deterjen konsentrasi rendah pada responden, dan diperoleh hasil kemungkinan terjadinya iritasi ini disebabkan oleh variasi genetik khususnya yang berhubungan dengan dermatitis ini adalah flagirrin. Flagirrin adalah sebuah protein yang mengikat sel yang paling jauh dari lapisan kulit epidermis. Frekuensi mencuci tangan 10 kali (basah dan keringnya tangan) dalam satu jam dapat merusak kulit.
Hasil analisis data didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sensitifitas kulit dan ketaatan dalam melakukan hand hygiene. Kondisi ini bertentangan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa iritasi kulit yang disebabkan oleh produk hand hygiene dipertimbangkan sebagai salah satu penghalang untuk ketaatan melakukan hand hygiene dengan tepat (Larson, 1985). Karena sabun dan deterjen dapat merusak kulit ketika digunakan terus menerus, petugas kesehatan harus mendapatkan informasi yang benar tentang efek produk hand hygiene. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang berhubungan dengan hambatan dalam melakukan hand hygiene.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
90
Namun saat ini sudah banyak sekali produk hand hygiene yang di perkenalkan yang mungkin dapat dipilih oleh petugas kesehatan untuk digunakan sehingga tidak menimbulkan efek iritasi bagi kulit. Produk produk tersebut berbentuk cairan antiseptik, losion atau jell, seperti alcohol hand rub, hibiscrub, dan lain-lain. Kondisi kulit yang tidak iritasi karena produk hand hygiene dapat meningkatkan ketaatan petugas kesehatan untuk melakukan hand hygiene sesuai dengan rekomendasi.
6. Hubungan antara ketaatan melakukan hand hygiene dan tingkat pengetahuan Hasil analisis terhadap pengetahuan responden tentang hand hygiene melalui kuesioner didapatkan bahwa 59 orang responden (70,2%) pengetahuannya masih kurang. Banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya kepatuhan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene (HH) salah satunya adalah kurangnya pengetahuan petugas kesehatan akan pentingnya melakukan HH dalam mengurangi penyebaran bakteri dan mencegah terjadinya kontaminasi pada tangan, kurang mengerti tentang tekhnik melakukan hand hygiene yang benar, kurang tenaga dan pasien yang banyak atau overcrowding, kurang fasilitas, iritasi kulit dan kurang komitmen dari institusi tentang hand hygiene yang baik (Pitted & Boyce, 2001).
Hasil analisis hubungan antara ketaatan melakukan hand hygiene dan tingkat pengetahuan didapatkan nilai p=0,000, berarti ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan ketaatan melakukan hand hygiene. Hal ini juga di nyatakan juga oleh WHO (2002) bahwa kurang pengetahuan tentang hand hygiene merupakan salah satu hambatan untuk melakukan hand hygiene
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
91
sesuai rekomendasi. Penelitian lain juga yang mendukung menyatakan bahwa beberapa faktor yang dapat menghambat petugas kesehatan untuk melakukan hand hygiene adalah faktor ketidakmengertian akan tekhnik hand hygiene atau standar hand hygiene (Burke, 2003). Program pendidikan yang berorientasi pada permasalahan dasar dan berorientasi pada tugas dapat meningkatkan ketaatan dalam melakukan HH. Peningkatan dalam minimal handling dan mengurangi prosedur keperawatan dapat membantu mengatasi masalah utama dalam melakukan HH yaitu keterbatasan waktu (Barbara et al. 2004).
Hasil observasi di ruangan juga ditemukan bahwa institusi telah berupaya menampilkan poster atau petunjuk yang benar dalam melakukan hand hygiene. Namun, untuk meningkatkan ketaatan melakukan hand hygiene ada 3 hal yang perlu di ketahui sepenuhnya, pengetahuan tersebut meliputi petugas kesehatan harus mengerti tentang elemen kunci praktik hand hygiene sampai dapat mendemonstrasikan pengetahuannya, dapat mendemonstrasikan tekhnik melakukan hand hygiene yang benar, serta ketersediaan alkhol dan sarung tangan.
Kemudian dari analisa hasil jawaban petugas kesehatan masih banyak yang dalam katagori pengetahuannya masih kurang. Melihat dari beberapa item di kuesioner yang diisi oleh petugas kesehatan di peroleh kemungkinan petugas kesehatan belum terpapar dengan semua pertanyaan yang diajukan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pelatihan yang dilakukan oleh ruangan perinatologi untuk hand hygiene baru satu kali yaitu melalui in house training. Selain itu kemungkinan petugas kesehatan masih kurang terpapar dengan
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
92
informasi tentang hand hygiene yang update dan ilmiah (seperti artikel atau jurnal) serta ketersediaan buku yang masih kurang. Hasil observasi juga terlihat juga hal ini dipengaruhi oleh kesibukan petugas kesehatan dalam melakukan kegiatan rutinitas ruangan khususnya perawat. Sehingga perlu bagi pusat pengendalian infeksi rumah sakit (PPIRS) untuk lebih aktif berperan untuk mengambil langkah yang strategis bagi petugas kesehatan.
Dari beberapa hal yang harusnya diketahui oleh petugas kesehatan, maka jika dihubungkan dengan kondisi di ruang perinatologi dimana sebagian petugas kesehatan tahu tentang teori dan praktiknya. Namun motivasi untuk taat melakukan hand hygiene ketika sudah berada di dalam ruangan masih kurang sekali terutama untuk tindakan yang berisiko rendah. Bagaimana motivasi dan faktor yang lainnya mempengaruhi ketaatan melakukan hand hygiene dapat dilakukan sebagai penelitian selanjutnya. WHO (2005) untuk meningkatkan ketaatan dalam melakukan hand hygiene diperlukan multidimensi strategi pendekatan. Lima kunci utama dalam kesuksesan melakukan hand hygiene adalah pendidikan dan motivasi staf, penggunaan ALC, menggunakan indikator perbuatan, dan komitmen dari semua stakeholder.
7. Hubungan antara ketaatan dan pernyataan rekomendasi HH Hasil analisis didapatkan bahwa 84 orang reponden (100%) setuju dengan rekomendasi hand hygiene terhadap petugas kesehatan. WHO (2005) menyatakan
bahwa
pernyataan
terhadap
rekomendasi
hand
hygiene
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
93
Hasil analisis tidak ditemukan hubungan antara pernyataan terhadap rekomendasi dengan ketaatan. Namun sesuai dengan pernyataan WHO (2002) bahwa pernyataan petugas kesehatan yang tidak setuju dengan rekomendasi hand hygiene berpengaruh negatif terhadap praktik hand hygiene. Berdasarkan kuesioner yang ada semua responden menyatakan setuju dengan rekomendasi hand hygiene. Hal ini diharapkan akan berdampak positif terhadap perilaku dalam melakukan hand hygiene.
8. Hubungan antara ketaatan dan ketersediaan fasilitas Dari hasil observasi dan wawancara tentang kelengkapan fasilitas yang disediakan ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bagi petugas kesehatan 100% tersedia. Fasilitas yang disediakan meliputi tempat mencuci tangan di dalam terdapat 9 tempat mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun antimikroba dan kertas tisu dan di luar ruangan ada 4 tempat mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun antimikroba dan kertas tisu, 2 produk ALC untuk setiap tempat tidur pasien. Semua fasilitas sesuai dengan standar dengan perbandingan ALC 1:1 tempat tidur pasien, namun tempat cuci tangan 1:5 tempat tidur pasien. Namun, tingkat ketaatan petugas kesehatan masih rendah.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pitted (2001b) menyatakan bahwa salah satu kendala dalam ketidaktaatan terhadap hand hygiene adalah sulitnya mengakses tempat cuci tangan atau persediaan alat lainnya yang digunakan untuk melakukan hand hygiene. Kemudahan dalam mengakses persediaan alat-alat untuk melakukan hand
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
94
hygiene, bak cuci tangan, sabun, deterjen, atau alkohol jell adalah sangat penting untuk membuat ketaatan menjadi optimal sesuai dengan standar. Penggunaan ALC untuk di ruang perawatan pasien yang tingkat ketergantungan tinggi lebih efektif daripada mencuci tangan menggunakan sabun. Penggunaan ALC untuk di ruang NICU dapat meningkatkan ketaatan sesuai standar (Comer et al. 2003).
Hasil analisis didapatkan bahwa tidak ada antara ketersediaan fasilitas dan ketaatan. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa dengan ketersediaan alat dan kemudahan mengakses fasilitas untuk melakukan HH akan meningkatkan ketaatan melakukan hand hygiene. Penelitian yang mendukung oleh Voss dan Winner (1977) menyatakan bahwa ada perbedaan sekitar ¼ lebih dari waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan menggunakan alkohol. Penelitian oleh Cohen et al. (2003) juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan setelah penggunaan alkohol di NICU.
Penggunaan sarung tangan selama melakukan perawatan pasien adalah intervensi tambahan untuk membantu mengurangi penularan agen infeksi pada situasi resiko tinggi. Sarung tangan dapat mengurangi kontaminasi pada tangan petugas kesehatan dan penularan dari pasien ke pasien lainnya. Penggunaan sarung tangan dapat mengurangi penularan yang berasal dari darah dan cairan tubuh pasien seperti HIV dan Hepatitis B dan C. Walaupun demikian sarung tangan harus digunakan dengan baik. Sarung tangan juga
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
95
dapat terkontaminasi selama melakukan perawatan dan harus dibuang atau diganti ketika berpindah dari prosedur yang kotor ke prosedur yang bersih (Pitted et al. 1999; Tenorio et al. 2001).
Menurut penelitian Pitted et al. (2000) untuk meningkatkan ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan HH adalah dengan menggunakan strategi menggunakan ALC, pendidikan dan memprakarsai perilaku. Ketaatan ini akhirnya dapat menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial dan MRSA. Satu prinsip dari rekomendasi hand hygiene dengan menggunakan alcohol hand rub (ALC) yang berbentuk cair, jell atau sabun adalah suatu metode yang digunakan pada situasi yang membutuhkan dampak yang cepat mengurangi jumlah bakteri di tangan dan mudah untuk digunakan. ALC dapat membunuh banyak jamur dan virus yang menjadi penyebab infeksi (Boyce & Pitted, 2002).
9. Kekurangan tenaga (rasio perawat pasien) di ruangan perinatologi Hasil analisis data didapatkan bahwa 56% rasio perawat pasien cukup yaitu untuk di ruangan SCN 1,2,3 dengan perbandingan 1:3-4. Sedangkan untuk di ruang NICU masih kurang yaitu 24% dengan rasio perawat 1:2-3 per shif. Hasil ini didukung oleh sebuah penelitian yang menyatakan bahwa ketaatan melakukan hand hygiene masih kurang disebabkan kurangnya rasio perawat : pasien dalam setiap shif. Jadwal shif kerja satu atau dua shif akan lebih konsentrasi untuk mencuci tangan (Arenas et al. 2005).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
96
Penelitian yang dilakukan oleh Kovner & Gergen, 1998; Lichting, Knauf & Millholland, 1999) mendukung hasil penelitian bahwa dengan kekurangan tenaga akan meningkatkan lama rawat dan kejadian komplikasi pada pasien, kedua hal ini dapat dicegah dengan jumlah perawat yang cukup. Selain itu penelitian yang juga mendukung adalah Pitted 2001a menemukan adanya hubungan antara ketidaktaatan petugas kesehatan mencuci tangan dengan kekurangan tenaga. Hal yang sama dilaporkan dari hasil penelitian tentang hubungan rasio perawat : pasien dan ketaatan melakukan hand hygiene dan ditemukan bahwa kekurangan tenaga salah satu kendala dalam melakukan hand hygiene sesuai dengan standar (Hassan, 2004).
Kondisi rasio perawat dan pasien yang ada di ruangan perinatologi khususnya masih kurang terutama untuk shif sore perbandingannya lebih dari 1:2 antara perawat dan pasien. Berdasarkan penelitian hal ini dapat mempengaruhi aktivitas melakukan hand hygiene disebabkan ruang ini tingkat ketergantung pasiennya tinggi terhadap petugas kesehatan. Selain itu aktivitas melakukan hand hygiene juga tinggi jika beban kerja lebih banyak dan tenaga terbatas. Namun jika hal ini di biarkan akan berdampak pada pasien yaitu kurangnya kontrol terhadap pasien, yang pada akhirnya akan meningkatkan infeksi nosokomial.
10. Keberadaan role model untuk ruang perinatologi Dari hasil wawancara menyatakan bahwa belum ada secara administratif ruangan yang mensosialisasikan tentang peran role model hand hygiene. Namun secara tugas sudah ada perawat yang bertugas dalam pengendalian
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
97
infeksi, jumlah yang belum seimbang ini menyebabkan perawat yang menjadi role model tingkat aktivitasnya untuk mobilisasi masih kurang. Keberadaan role model sangat berpengaruh terhadap ketaatan melakukan hand hygiene seperti penelitian yang menyatakan bahwa secara substansial beberapa hal yang dapat meningkatkan ketaatan dalam melakukan hand hygiene selain dari pengetahuan, ketersediaan alat dan penggunaan ALC dan faktor-faktor lainnya, faktor yang juga sangat berpengaruh bagi perawat dan dokter adalah keberadaan seorang role model dalam melakukan hand hygiene. Keberadaan role model tersebut menghasilkan pengaruh ketaatan yang lebih baik dalam melakukan hand hygiene (Mary G et al. 2003). Selain itu hasil penelitian Duggan et al. (2008) menyatakan bahwa terjadinya peningkatan ketaatan melakukan hand hygiene 91,3% untuk dokter dan 72,4% untuk dokter setelah dilakukan supervisi pelaksanaan hand hygiene oleh petugas kesehatan (Pyrex, 2009).
B. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pada saat melakukan observasi dilakukan sendiri oleh peneliti dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga kemungkinan responden ada yang mengetahui bahwa mereka sedang di observasi.
C. Implikasi Terhadap Pelayanan, Pendidikan Dan Penelitian Hasil penelitian ini mempunyai implikasi untuk praktik pelayanan keperawatan, pendidikan keperawatan dan penelitian keperawatan. Tiap-tiap implikasi akan dijelaskan dibawah ini.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
98
a) Implikasi Terhadap Praktik Pelayanan Hasil observasi yang dilakukan kepada responden (perawat dan dokter) diketahui
bahwa tingkat kepatuhan petugas kesehatan masih kurang dari
50%. Berdasarkan teori dan penelitian tentang dampak kurangnya ketaatan petugas kesehatan adalah meningkatnya kejadian infeksi nosokomial. Hal ini jelas sekali menunjukkan bahwa diperlukan pengembangan sebuah intervensi yang efektif
seperti melakukan
pelatihan bagi petugas kesehatan yang secara berkala, pemaparan hasilhasil penelitian terkait hand hygiene, melakukan evaluasi dan pengawasan secara terus menerus terkait pelaksanaan praktik hand hygiene. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan angka ketaatan dalam melakukan hand hygiene di ruang perinatologi dan ruangan-ruangan lainnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Beberapa faktor yang mempengaruhi ketaatan melakukan hand hygiene adalah pengetahuan, sensitifitas kulit, ketersediaan tenaga kerja di ruangan dan ketersediaan alat. Ketersediaan alat yang diperlukan untuk melakukan hand hygiene sangat mempengaruhi ketaatan dalam melakukan hand hygiene. Penggunaan alcohol hand rubs (ALC) untuk di ruangan NICU dan SCN sangat membantu, karena diruangan tersebut membutuhkan aktivitas melakukan hand hygiene yang sangat tinggi untuk setiap prosedur yang akan dilakukan dalam perawatan pasien langsung. Namun ketersediaan fasilitas sudah sesuai dengan standar, maka untuk kondisi yang ada di ruang perinatologi yang prioritas adalah membuat
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
99
program pendidikan yang terus menerus tentang hand hygiene bagi petugas kesehatan .
b) Implikasi terhadap pendidikan Tingkat pengetahuan sangat dibutuhkan sebelum petugas kesehatan melakukan praktik hand hygiene. Salah satu pengetahuan dasar yang harus diketahui oleh petugas kesehatan adalah tentang rekomendasi CDC tentang hand hygiene. Berdasarkan hasil kuesioner yang telah diberikan kepada responden didapatkan bahwa pengetahuan petugas tentang hand hygiene kesehatan masih kurang. Maka jelaslah bahwa hal ini membutuhkan sebuah intervensi khusus seperti sebuah program pelatihan bagi petugas kesehatan mengenai infeksi nosokomial pada umumnya dan hand hygiene pada khususnya.
c) Implikasi Terhadap Penelitian Penelitian ini menemukan dampak yang signifikan untuk peneliti keperawatan. Masih rendahnya tingkat ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene, masih kurangnya pengetahuan petugas kesehatan tentang hand hygiene, role model yang belum difungsikan secara maksimal. Penelitian ini mengindikasikan bahwa dibutuhkan penelitian keperawatan untuk menguji ketaaatan melakukan hand hygiene di area klinik lainnya dan tipe area pelayanan kesehatan lainnya untuk memperkuat penemuan penelitian ini.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
100
Penemuan yang berhubungan dengan variabel bebas memberikan informasi bagi peneliti keperawatan dalam mengembangkan intervensi yang tepat untuk meningkatkan ketaatan melakukan hand hygiene dan memberikan pemecahan yang tepat untuk faktor-faktor lainnya yang secara teori dapat menghambat dan meningkatkan seseorang untuk taat dalam melakukan hand hygiene, seperti tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dan kekurangan tenaga kerja serta keberadaan seorang model.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan hasil pembahasan, maka dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan Penelitian
ini
memberikan
gambaran
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Juli tahun 2009. Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil analisis diperoleh bahwa angka ketaatan petugas kesehatan sebesar 34,5% sehingga harus ditingkatkan kembali dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan melakukan hand hygiene. 2. Secara statistik tidak ditemukannya ada hubungan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sensitifitas kulit, pernyataan terhadap rekomendasi HH, ketersediaan fasilitas, role model dengan ketaatan petugas kesehatan. 3. Hasil analisis diperoleh bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan ketaatan
petugas
kesehatan
dalam
melakukan
hand
hygiene
(P = 0,000; α ≤ 0,05). 4. Hasil analisis juga di peroleh bahwa faktor internal yang paling mempengaruhi ketaatan melakukan hand hygiene adalah
faktor
pengetahuan. Sedangkan faktor eksternal yang dominan mempengaruhi adalah faktor ketersediaan tenaga kerja (P = 0,079; α ≤ 0,05).
101 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
B. Saran 1. Bagi pelayanan kesehatan Peneliti merekomendasikan kepada pusat pengendalian infeksi rumah sakit atau perawat pengendalian infeksi di ruangan agar meningkatkan pengawasan terhadap praktik hand hygiene dan terus menerus memotivasi petugas kesehatan melalui pendidikan kesehatan sehingga terbentuk internalisasi pengetahuan yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan dalam melakukan praktik hand hygiene sesuai dengan rekomendasi yang telah ditentukan dan pada akhirnya berdampak terhadap penurunan angka kejadian infeksi nosokomial terutama di pelayanan pasien yang tingkat ketergantungannya tinggi seperti di ruang NICU dan SCN.
2. Bagi Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan bagi profesi keperawatan untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengkaji faktor-faktor lainnya, serta membuat pelatihan yang tepat untuk meningkatkan ketaatan petugas kesehatan terutama perawat sendiri dalam melakukan hand hygiene. Meningkatkan ketaatan dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan terus menerus dan mengaplikasikan di area praktik pelayanan keperawatan.
3. Bagi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar perilaku petugas kesehatan terhadap hand hygiene menjadi prioritas, terutama tentang pengetahuan petugas kesehatan mengenai hand hygiene yang masih kurang. Sehingga
102 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
perlu adanya pelatihan tentang infeksi nosokomial dan hand hygiene bagi petugas kesehatan, melakukan evaluasi hasil pelatihan yang diberikan dan memberikan informasi yang up date tentang hand hygiene dan faktorfaktor yang terkait. Selain itu perlu ditingkatkan motivasi petugas kesehatan terhadap praktik hand hygiene dengan menambah jumlah role model di tiap ruangan.
4. Bagi penelitian selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian-penelitian dengan melakukan repilikasi penelitian di area pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia seperti di rumah sakit atau di area pelayanan di komunitas dengan melibatkan pengumpul data di luar peneliti atau menggunakan video untuk menurunkan potensial bias dan dengan meningkatkan jumlah sampel.
103 Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2002). Kunci pengendalian infeksi nosokomial. Angkasa Raya. Padang. Akyol, A., Ulusoy, H., & Ozen, I. (2006). Handwashing: A simple, economical and effective method for preventing nosocomial infections in intensive care units, 62(4), 395-405. American Academy of Dermatology. (2008). Frequent handwashing increases risk for irritant contact dermatitis. Infection Control Today. APIC.
(2000). Guidelines for the Control of MRSA. http://www.goapic.org/MRSA.htm, diperoleh tanggal 24 April 2009.
Arenas, D. M., Sanchez-Paya, J., Barril, G., Garcia-Valdecasas, J., Gorriz, J. L., Soriano, A., et al. (2005). A multicentric survey of the practice of hand hygiene in haemodialysis units: Factors affecting compliance. Nephrology Dialysis Transplantation, 20, 1164-1171. Ashwill, J. & James, S. R. (2007). Nursing care of children: Principles & practice. third edition. ST. Louis: Saunders Elsivier. Ball, J. W. & Bindler, R. C. (2003). Pediatric nursing: Caring for children. New Jersey: Prentice Hall. Babacane, J. (2004). Back to the basics: Handwashing. Geriatric Nursing, 25(2), 9092. Barbara, C. C. L., Josephine, L., Lau, Y. L. (2004). Pediatrics. 114(5), e565-e571. Beggs, C. B., Shepherd, S. J. & Kerr, K. G. (2008). Increasing the frequency of hand washing by healthcare workers does not lead commensurate reducing in staphylococcal infection in a hospital ward. http://www.biomedcentral.com/1471-2334/8/114, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Berk,
A. (2004). Hand washing lessens MRSA risk. http://media.www.jhunewsletter.com/media/storage/paper932/news/2004/11/ 05/Science/Hand-Washing.Lessens.Mrsa.Risk-2244064.shtml, diperoleh tanggal 24 April 2009.
Bertone, S., Fisher, M. & Mortensen, J. (1994). Quantitative skin cultures at potential catheter sites in neonates. Infection Control and Hospital Epidemiology, 15, 315-318. Beyea, S. C. (2003). Nosocomial infection; hand-wasing compliance; comparing hygiene protocols; sensor operator faucets-evidence for practice. http://www.annals.org/cgi/content/full/130/2/153, diperoleh tanggal 29 Maret 2009.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Bischoff W. E., Reynolds T. M., Sessler C. N., Edmond M. B. & Wenzel R. P. (2000). Handwashing compliance by health care workers: The impact of introducing an accessible, alcohol-based hand antiseptic. http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=1323227, diperoleh tanggal 9 April 2009. Bisset, L. (2003). Interpretation of terms used to describe hand washing activities. British Journal of Nursing, 12(9), 536-542. Boyce, J., Opal, S., Chow, J., Zervos, M., Potter-Bynoe, G., Sherman, C., et al. (1994). Outbreak of multidrug-resistant enterococcus faecium with transferable vanB class vancomicyn resistance. Journal of Clinical Microbiology, 32, 1148-1153. Boyce, J., Potter-Bynoe, C., Chenevert, C. & King, T. (1997). Environmental contamination due to Methicillin-resistant staphylococcus aureus: Possible infection control implication. Infection Control Hospital and Epidemiology, 18, 622-627. Brock, V. B. (2002). The impact of performance feedback on handwashing behavioral. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=5&did=76497746, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Brower, J. & Chalk, P. (2003). The global threat of new and reemerging infectious diseases: Reconciling U.S. national security and public health policy. RAND Science and Technology. Santa Monica, CA. Publikasi 2003. Brug, J. (2008). Hand hygiene in Dutch hospitals: Compliance and determinants. http://johannesbrug.blogspot.com/, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Buerhaus, P., Staiger, D. & Auerbach, D., (2000). Why are shortages of hospital RNs concentrated in specialty care units?. Nursing Economics, 18, 111-116. Burke, J. (2003). Infection control-a problem for patient safety. The New England Journal of Medicine, 348, 651-656. Carter, K. (1985). Ignaz Semmelwis, Carl Mayrhofer, and the rise germ theory. Medical Hystory, 29, 33-34. Casewell, M. & Phillips, I. (1977). Hand as a route of transmission for klebsiella species. British Medical Journal, 2, 1315-1317. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2002). Guideline for hand hygiene in health-care settings: Recommendations of the healthcare infection control practices advisory committee and the hicpac/shea/apic/idsa hand hygiene task force. Morbidity and Mortality Weekly Report, 51(RR16), 1-45. Clark, R., Power, R., White, R., Bloom, B., Sanchez, P. & Benjamin, D. K. (2004). Nosocomial infection in the NICU: A medical complication or unavoidable problem?. Journal of Perinatology, 24(6), 382-388.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Cohen, B., Saiman, L., Cimiotti, J. & Larson, E. (2003). Factors associated with hand hygiene practice in two neonatal intensive care unit. Pediatric infectious Disease Journal, 22, 494-499. Comer, M. M., Ibrahim, M., McMillan, V. J., Baker, G. G. & Patterson, S. G. (2009). Reducing the spread of infectious disease through hand washing. Journal of Extention, 47(1RIB7). Coovadia, Y., Johnston, A., Bhana, R., Hutchinson, G., George, R., & Hafferje, I. (1992). Multiresistant klibsiella pneumoniae in a neonatal surgery: The important of maintenance of infection control policies and procedures in the prevention outbreak. Journal of Hospital Infection, 22, 197-205. Creedon, S. A. (2006). Health care workers’ hand decontamination practices. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16410620?, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Daniel, I. & Rees, B. (1999). Handwashing: Simple, but effective. Annals of the Royal College of Surgeons England, 8,117-118. Davenvort, S. (1992). Frequency of hand washing by registred nurse caring for infant on radiant warmers in incubators. Neonatal Network, 11, 21-25. Depkes. (2003). Pedoman pelaksanaan kewaspadaan universal di pelayanan kesehatan. Jakarta: Dirjen P2MPL. Dubert, P., Dolce, J., Richter, W., Miller, M. & Chapman, S., (1990). Increasing ICU staff handwashing: Effect of educational and group feedback. Infection Control and Hospital Epidemiology, 11, 191-193. Eaton, L. (2005). Hand washing is more important then cleaner wards in controlling MRSA. British Medicine of Journal, 330(7497), 922. Ehrenkranz, N. & Alfonso, B. (1991). Failure of bland soap handwash to prevent hand transfer of patient bacteria to urethral catheters. Infection Control Hospital and Epidemiology, 12, 654-662. Forrester, B. & Roth, V., (1998). Hand dermatitis in intensive care units. Journal of Occupational Environment Medicine, 40, 881-885. Furtado, G. H. C., Santana, S. L., Coutinho, A. P., Perdiz, L. B., Wey, S.B. & Medeiros, E. A. S. (2006). Compliance with handwashing two intensive care units in sao paulo. http://www.annals.org/cgi/content/full/130/2/153, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Garner, J. & Favero, M. (1986). CDC guideline for handwashing and hospital environmental control, 1985. Infection Control, 7, 231-243.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Garcell, H. G., Labrador, L. N., Perez, C. M., Seftiem, G. M., et. al. (2008). Compliance with handwashing in intensive care unit in university hospital of La Havana. Medicrit Revista de Medicina Interna y Critica, 5(1), 1-4. Garner, J. & Simmons, B. (1983). Guideline for isolation precautions in hospital. Infection Control, (Suppl, 4), 245-325. Garibaldi. (1993). Prevention and control of nosocomial infections, 2nd edition, , USA: William Wilkins. Glasper, A. & Richardson, J. (2006). A texkbook of children’s and young people’s nursing. Philadelphia:Elsivier. Hall, C. S., Lindzey, G., dan Campbell, J. B. (1998). Theories of personality. New York: John Wiley & Sons. Inc. Harbart, S., Sudre, P., Dharan, S., Cadenas, M. & Pittet, D. (1990). Outbreak of enterobacter cloacae related to understaffing, overcrowding, and poor hygiene practices. Infection Control and Hospital Epidemiology, 20, 598-603. Hassan, Z. M. (2004). Hand hygiene compliance and nurse patient ratio: A descriptive study. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=3&did=813784451, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Hastono, S. P. (2007). Analisis data kesehatan. Jakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Heacock, P., Souder, E. & Chastain, J. (1996). Participant, data, and videotapes. Nursing Research, 45, 336-339. Health
Encyclopedia Diseases and Conditions. (2009). Phlebitis. http://www.healthscout.com/ency/68/129/main.html, diperoleh tanggal 23 Maret 2009.
Hockenberry, M. J. & Wilson, D. (2007). Nursing care of infant and children. 8th edition. St. Louis: Mosby Elsivier. Husain, F.W. (2008). Rumah sakit gudang penyakit. Diperoleh dari http://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&task=view&id= 388&Itemid=54 pada 23 Maret 2009. Infection Guidelines Control. (1998). Handwashing, cleaning, disinfection and sterilization in health care. Canada Communicable Disease Report, 24, 1-54. Jackson, M., Chiarello, L., Gaynes, R. & Gerberding, J. (2002). Nurse staffing and health care-associated infections: Proceeding from a working group meetings. American Journal of Infection Control, 30, 199-206. Jarvis, W. (1994). Handwashing-the Semmelweis lesson forgotten?. Lancet, 344, 1311-1312.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Jeong, J. S. & Choe, M. A. (2004). The effect of hand washing improving program on the adherence of hand washing and nosocomial infection in a surgical intensive care unit. Korean Journal of Nosocomial Infection, 19(2), 117-129. Jernigan, J., Clemence, M., Stott, G., Titus, M., Alexander, C., Palumbo, C., et al. (1995). Control of methicillin resistant staphylococcus aureus at a university hospital: One decade letter. Infection Control and Hospital Epidemiology, 16, 686-696. Kamal, M. (1998). Faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial ruang perawatan RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Periode Juli 1996 sampai Juli 1997. Tesis, FKM UI. Kim, P., Roghmann, M., Perencevich, E. & Haris, A. (2003). Rates of hand disinfection associated with glove use, patient isolation, and changes between exposure to various body site. American Journal of Infection Control, 27, 547-552. Kirkland, D. & Weinstein, J. (1999). Adverse effects of contact isolation. Lancet, 354, 1177-1178. Korniewicz, D., Laughon, B., Cyr, W., Lytle, C. & Larson, E. (1990). Leakage of virus through used vinyl and latex examination glove. Journal of Clinical Microbiology, 28, 787-788. Kovner, C. & Gergen, P., (1998). Nurse staffing levels and adverse events following surgery in US hospitals. Image Journal Nursing Scholarship, 30, 315-321. Kretzer, E. & Larson, E. (1998). Behavioral interventions to improve infection control practices. American Journal of Infection, 26, 245-253. Lachassinne E., Letamendia-Richard E. & Gaudelus J. (2005). Epidemiology of nosocomial infections in neonates. Journal of Hospital Infection, 61(4), 30011. Lam, B. C., Lee, J. & Lau, Y. L. (2004). Hand hygiene practices in a neonatal intensive care unit: A multimodal intervention and impact on nosocomial infection. Journal of Pediatrics, 114(5), 565-71. Larson, E., Butz, A., Gullette, D. & Laughon, B. (1990). Alcohol for surgical scrubbing?. Infection Control and Hospital Epidemiology, 11, 139-143. Larson, E. & Killien, M. (1982). Factors influencing handwashing behavior of patient care personnel. American Journal of Infection Control, 10, 93-99. Larson, E. (1985). Handwashing and skin psysiologic and bacteriologic aspects. Infection Control, 6, 14-23. Larson, E. (1993). Compliance with isolation technique. American Journal of Infection Control, 11, 221-225.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Larson, E. (1995). APIC guideline for handwashing and hand antisepsis in health care setting. American Journal of Infection Control, 23, 251-269. Larson, E. & Kretzer, E. (1995). Compliance with hand washing and barrier precautions. Journal Hospital Infection, 30 (Suppl.), 88-106. Larson, E., Bryan, J., Adler, L. & Blane, C. (1997). Multifaceted approach to changing handwashing behavior. American Journal of Infection Control, 25, 3-10. Larson, E. (1998). A causal link between handwashing and risk of infection? Examination of the evidence. Infection Control and Hospital Epidemiology, 11, 139-143. Larson, E. (1999). Skin hygiene and infection prevention: more of the same or different approach?. Clinical Infection Disease, 29, 1287-1294.
Larson, E., Early, E., Cloonan, P., Sugrue, S. & Parides, M. (2000). An organizational climate intervention associated with increased handwashing and decreased nosocomial infection. Behavioral Medicine, 26, 14-22. Lee, L., Ostroff, S., McGee, H., Johnson, D., Downes, F., &Cameron, D., et al. (1991). An outbreak of shiegellosis at an outdoor music festival. American Journal of Infection Control, 133, 608-615. LeTexier, R. (2000). Preventing infection through http://www.infectioncontroltoday.com/articles/071feat2.html, tanggal 23 Maret 2009.
handwashing. diperoleh
Lightic, L., Knauf, R. & Milholland, D. (1999). Some impacts of nursing on acut care hospital outcomes. Journal Nursing Administration, 29, 25-33. Lipsett, P. A. & Swoboda, S. M. (2001). Handwashing compliance depends on professional status. Surgical Infection, 2(3), 241-245. Long, T. & Thompso, M. (2006). Research ethics in the real world: Issue and solution for health and social care. London: Churchill Livingstone, Elsivier.
Lubis,
C. (2003). Infeksi nosokomial pada neonatus. diperoleh 22 http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-chairuddin3.pdf, Februari 2009.
Lund, S., Jackson, J., Leggett, J., Hales, L., Dworkin, R. & Gilbert, D. (1994). Reality of glove use and handwashing in a community hospital. American Journal Infection Control, 22, 352-357. Mary, G. L., Tereza, R. Z., William, E. T., Donna, M. H., Gary, A. N. & Lance, R. C. (2003). Influence of role model and hospital design on hand hygiene of health care workers. Emerging Infectious Diseases. 9(2).
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
May,
D. (2000). Handwashing guideline. http://72.14.235.132/search?q=cache:wpZev-mf1rYJ:www.daniels.co.uk, diperoleh tanggal 24 April 2009.
Mayhall, C. G. (2009). Hospital epidemiology and infection http://books.google.com/books, diperoleh tanggal 22 Maret 2009).
control.
McGuckin, M. (2003). Hand hygiene accountability. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15492360, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Medical News Today. (2007). MRSA fact for handwasing week. http://www.medicalnewstoday.com/articles/90689.phps, diperoleh tanggal 24 April 2009. Meengs, M., Giles, B., Chisholm, C., Cordell, W. & Nelson, D. (1994). Hand washing frequency in an emergency department. Annals of Emergency Medicine, 23, 1307-1312. Mireya, U. A., Marti, P. O., Xavier, K. V., Cristina, L. O., Miguel, M. M. & Magda, C. M. (2006). Nosocomial infection in paediatric and neonatal intensive care unit. Journal of Infection, 54, 212-220. Morton, C. C. (2008). MRSA bacteria is common and handwasing is important preventive measure. http://www.hsph.harvard.edu/now/20080314/mrsabacteria-handwashing.html, diperoleh tanggal 24 April 2009. Muto, C., Sistrom, M. & Farr, B. (2000). Hand hygine rate unaffected by installation of dispencers of a rapidly acting hand antiseptic. American Journal Infection Control, 28, 273-276. Nahirya, P., Brayugaba, J., Kiguli, S. & Kaddu-Mulindwa. (2008). Intravascular catheter related infections in children admitted on the pediatric ward of Mulago hospital, Uganda. African Health Science, 8(4), 201-216. Newby, J. (2008). Nosocomial infection in neonates inevitable or preventable. Journal of Perinatal & Neonatal Nursing, 22(3), 221-227. Nguyen, Q. V. (2009). Hospital-Acquired Infections (http://emedicine.medscape.com/article/967022-overview diperoleh pada 12 Maret 2009) Noskin, G., Stosor, V., Cooper, I. & Peterson, L. (1995). Recovery of vancomicynresistant enterococci on fingertips and ennnvironmental surface. Infection Control and Hospital Epidemiology, 16, 577-581. Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi penelitian kesehatan. Edisi kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
O’Boyle, Henly, S. & Duckett, L. (2001). Nurse’s motivation to wash their hand: A standardized measurement approach. Applied Nursing Research, 14, 136-145. Parhusip. (2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinyai infeksi nosokomial serta pengendaliannya di BHG UPF paru RS. Dr. pringadi/lab. penyakit paru FK-USU Medan, (https://digilib.usu.ac.id/ diperoleh pada 20 Maret 2009) Parker, L. J. (1999). Importance of hand washing in the prevention of infection. British Journal of Nursing, 8(11), 716-720. Patrakul, K., Tan-Kum, A., Kanha, S., Pandungpean, D. & Jaychaiyapum, O. O., (2005). Cross-sectional survey of hand-hygiene compliance and attitudes of health care workers and visitors in the intensive care units at King Chulalongkorn Memorial Hospital. Journal of Medicine Association Thailand, 88(4), 287-93. Patros, S. P. (2001). Health care worker compliance with standard precautions: A study of small community hospitals. http://proquest.umi.com/pqdweb, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Pawa, A. K., Ramji, S., Prakash, K. & Thirupuram, S. (1997). Neonatal nosocomial infection: Profile and risk factors. Indian Pediatric, 34, 1-6. Pearson, C. (2006). MRSA and hand hygiene. http://www.medicalnewstoday.com/articles/90689.phps, diperoleh tanggal 24 April 2004. Pitted, D., Mourouga, P., Perneger, T., Member of the Infection Control Program. (1999). Compliance with hand washng in a teaching hospital. Annals Internal Medicine, 159, 821-826. Pitted, D., Dharan, S., Touveneau, S., Sauvan, V. & Perneger, T. (1999). Bacterial contamination of the hand of the hospital staff during routine patient care. Archive Internal Medicine, 159, 821-826. Pittet, D. (2001a). Compliance with hand disinfection and its impact on hospitalacquired infections. Journal of Hospital Infection, 48(Suppl A), S40-S46. Pittet,
D. (2001b). Improving adherence to hand hygiene practice: multidisciplinary approach. Emerging Infectius Desease, 7(2), 234-240.
A
Pittet, D. (2004). The Lowbury lecture: Behavior in infection control. Journal of Hospital Infection, 58, 1-13. Pitted,
D. (2005). Clean hands reduce the burden of http://proquest.umi.com/pqdweb, diperoleh tanggal 29 Maret 2009.
disease.
Potter, P.A., Perry, A.G. (1993) Fundamental of nursing, St Louis; Mosby Year Book.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Pyrex, K. M. (2009). Behavioral issues drive hand hygiene compliance. http://www.infectioncontroltoday.com/articles/400/behavioral-issues-handhygiene,p2.html, diperoleh tanggal 17 Juli 2009. Qushmaq, I. & Meade, M. (2004). Hand washing compliance in the intensive care unit. http://ccforum.com/content/8/S1/P215, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Raad, L., Sherertz, R., Russel, B. & Reuman, P. (1990). Uncontrolled nosocomial rotavirus transmission during a community outbreak. American Journal of Infection Control, 18, 24-28. Rao, G., Jeanes, A., Osman, M., Aylott, C. & Green, J., (2002). Marketing hand hygiene in hospitals-a case study. Journal of Hospital Infection, 50, 42-47. Republika newsroom. (2008). Hari cuci tangan dirayakan diseluruh dunia. D:\hw\Republika Online - Hari Cuci Tangan Dirayakan di Seluruh Dunia.mht, diperoleh tanggal 23 Maret 2009. Richards, M. J., Edwards, J. R., Culver, D. H. & Gayness, R. P. (1999). Nosocomial infection in pediatric intensive care units in United States. (http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/103/4/e39, diperoleh 28 Februari 2009) Russel, B. (1999). Nosokomial infection. America Journal of Nursing, 99(6), 24J24P. Sastroasmoro, S. & Ismael, S. I. (2002). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto. ScienceDaily. (2009). Handwashing more important than isolation controlling MRSA superbug infections, study suggest. http://www.sciencedaily.com/releases/2009/03/090330200708.htm, diperoleh tanggal 23 April 2009. Sharek, P. J., Benitz, W. E., Abel, N. J., Freeburn, M. J., Mayer, M. L. & Bergman, D. A. (2002). Effect of an evidence-base hand washing policy on hand washing rates and false-positive coagulase negative staphylococcus blood and cerebrospinal fluid culture rates in a level III in NICU. Journal of Perinatology, 22, 137-142. Spencer, G. A. (2008). Waterless disinfectant dispencer increase hand washing. http://findarticles.com/p/articles/mi_m0FSL/is_3_77/ai_99237618, diperoleh tanggal 29 Maret 2009. Spiritia. (2006). Infeksi nosokomial dan kewaspadaan universal. http://spiritia.or.id, diperoleh 20 Februari 2009. Sproat, L. & Inglis, T. (1994). A multicentresurvey of hand hygiene practice in intensive care units. Journal of Hospital Infection, 26, 137-148.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Sprunt, K., Redman & Leidy, G. (1973). Antibacterial effectiveness of routine hand washing. Pediatrics, 52, 264-271. Strausbaugh, L., Sewwel, D., Ward, T., Pfaller, M., Heitzman, T., & Tjoelker, R. (1994). High frequency of yeast carriage on hands of hospital personnel. Journal of Clinical Microbiology, 32, 2299-2300. Sugiyono. (2008). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta. Syahrul, F. (1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi ILO di Lab UPF Bedah Dr. Soetomo Surabaya 1994-1996, tesis, FKM UI. Tambunan, E. S. (2008). Hubungan berat badan lahir dan infeksi nosokomial di ruang perinatologi. http://www.fkm.ui.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=61, diperoleh 22 Februari 2009. Tan, S. G., Lim, S. H. & Malathi, I. (2007). Does routine gowning reduce nosocomial infection and mortality rate in a neonatal nursery? A Singapore experience. http://www3.interscience.wiley.com/journal/119965765/abstract?CRETRY=1 &SRETRY=0, diperoleh tanggal 24 April 2009. Tenorio, A., Badri, S., Sahgal, N., Hota, B., Matushek, M. & Hayden, M., et al. (2001). Effectiveness of gloves in the prevention of hand carriage of vancomicyn-resistant enterococcus species by health care workers after patient care. Clinical Infectious Diseases, 32, 826-829. Thompson, B., Dwyer, D., Ussery, X., Denman, S., Vacek, P. & Schwartz. (1997). Handwashing and glove use in a long-term care facility. Infection Control and Hospital Epidemiology, 18, 97-103. Troilett, N., Carmeli, Y., Samore, M., Dakos, J., Eichelberger, K., & DeGirolami, P., et al. (1998). Carriage of methicillin resistant staphylococcus aureus at hospital admission. Infection Control and Hospital Epidemiology, 19, 181185. Utama, H. W. (2008). Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial. http://klikharry.wordpress.com, diperoleh 24 Februari 2009. Voss, A. & Widmer, A. (1997). No time for handwashing? Handwasing versus alcoholic rub; Can we afford 100% compliance?. Infection Control and Hospital Epidemiology, 18, 205-208. Ward, D. (2000). Hand washing facilities in the clinical area: A literature review. British of Journal of Nursing, 9(2), 82-86. Watanakunakorn, C., Wang, C. & Hazy, J. (1998). An observational study of hand washing and infection control practices by healthcare workers. Infection Control and Hospital Epidemiology, 19, 858-860.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
Webster, J., Faogali, J. L. & Cartwiright, D. (2008). Elimination of methicillinresistan staphylococcus aureus from a neonatal intensive care unit after hand washing with triclosan. Journal of Paediatrics and Child Health, 30(1), 59-6. Weinstein, RA. (1998). Nosocomial Infection Update. Emerging Infectious Disease, 4 (3). WHO. (2004). Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide,2nd edition. (http://www.who.int/research/en/emc, diperoleh 19 Maret 2009) WHO. (2006). Guidelines on hand hygiene in health care improving adherence to hand hygiene practice: A multidisciplinary approach. WHO Press. Widodo, D. & Astrawinata, D. (2004). Surveillance of nosokomial in Ciptomangunkusumo Nation General Hospital, Medical Journal Indonesia, 13( 2), 107-109 William, O., Campbell, S., Henry, K. & Collier, P. (1994). Variables influencing worker compliance with universal precautions in the emergency department. American Journal of Infection Control, 22, 138-148. Wilsan, J. (2000). Infection control in clinical practice. Philadelphia: Elsivier Science Limited. Won, S. P., Chou, H. C., Hsieh, W. S., Chen, C. Y., Huang, S. M., & Tsou, K. I., et al. (2004). Handwashing program for prevention nosocomial infections in neonatal intensive care unit. Infection Control and Hospital Epidemiology Journal, 25(9), 742-746. Wong, D. L. & Hockenberry, M. J. (2001). Wong’s essentials of pediatric nursing. 6th edition. St. Louis: Mosby. Wong, D. L. & Hockenberry, M. J. (2003). Wong’s nursing care of infants and children. 7th edition. St. Louis: Mosby. Wutz, R., Moye, G. & Jovanovic, B. (1994). Hand washing machines, handwashing compliance, and potential for cross-contamination. American Journal Infection Control, 22, 228-230. Yayasan Eureka Indonesia. (2009). Mencuci tangan dengan sabun. http://www.eurekaindonesia.org/mencuci- tangan-dengan-sabun, diperoleh tanggal 23 Maret 2009). Yelda, F. (2003). Faktor resiko yang berpengaruh terhadap infeksi nosokomial dibeberapa Rumah Sakit di DKI Jakarta, Tesis, FKM UI. Zwillich, T. (2007). Handwashing is the best MRSA weapon. http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=85103, diperoleh tanggal 24 April 2009.
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
SURAT PENGANTAR UNTUK RESPONDEN
Kepada Yth. Calon responden di RSUPN_CM Dengan Hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Setiawati, S.Kep., Ns.
NPM
: 0706195043
Alamat
: Komplek Gaperi I blok EE No. 08 Bojong Gede Bogor
Nomor telp.
: 08174894189/02191735180
Saya adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan, kekhususan Keperawatan Anak, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya sedang melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygine (HH) dalam mencegah infeksi nosokomial di ruang perinatologi RSUPN_CM”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan HH untuk mencegah infeksi nosokomial.
Manfaat penelitian ini bagi petugas kesehatan adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi petugas melakukan HH untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial yang akan dijadikan sebagai salah satu dasar dalam membuat strategi pemecahan masalah pengendalian infeksi.
Kerahasiaan selama penelitian, akan peneliti jamin dan setelah selesai penelitian, data yang telah dikumpulkan akan dimusnahkan. Apabila saudara menyetujui, maka saya mohon kesediaan menandatangani lembar persetujuan yang telah disiapkan. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Depok, Mei 2009 Hormat Saya,
Setiawati, S.Kep.Ns
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
LEMBAR PERSETUJUAN Judul penelitian: Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygine (HH) dalam mencegah infeksi nosokomial.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama (inisial)
:……………………………………..
Alamat
:…………………………………….
Menyatakan telah memahami penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur kegiatan penelitian dan saya bersedia dilibatkan dalam penelitian ini.
Salemba, Mei 2009 Yang membuat pernyataan,
………………………………….
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Setiawati
Tempat, Tanggal Lahir
: Lahat, 18 Agustus 1977
Pekerjaan
: Staf Pengajar
Alamat Rumah
: Jl. Bendung Dalam No. 128 A RT. 04 RW. 03 Sekip 8 Ilir Palembang kode pos 30114. Telepon : 08174894189 Email:
[email protected]
Alamat Instansi
: PSIK Universitas Malahayati Bandar Lampung.
Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1982-1989
: SD Muhammadiyah XXIV Lahat
2. Tahun 1989-1992
: SMP N 2 Lahat
3. Tahun 1992-1995
: SMA N 3 Lahat
4. Tahun 1995-1998
: Akper Muhammadiyah Palembang
5. Tahun 2002-2006
: FIK UNPAD Bandung
Riwayat Pekerjaan 1. Staf perawat pelaksana
: Puskesmas Sekip Palembang
2. Staf perawat pelaksana
: RSI Siti Khodijah Palembang
3. Staf Pengajar
: STIKes Muhammadiyah Palembang
4. Staf Pengajar
: PSIK Univ. Malahayati Bd. Lampung
Analisis faktor-faktor..., Setiawati, FIK UI, 2009