1
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PENGRAJIN DI BIDANG KERAJINAN PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
TESIS Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum
Oleh Qurrotu Aini, SH B4A006314
PEMBIMBING Dr. Budi Santoso, SH, MS.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008
2
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PENGRAJIN DI BIDANG KERAJINAN PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
Disusun Oleh : Qurrotu Aini, SH B4A006314
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 15 September 2008
Tesis ini telah diterima Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum
Pembimbing Magister Ilmu Hukum
Dr. Budi Santoso, SH, MS. NIP. 131 631 876
3
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PENGRAJIN DI BIDANG KERAJINAN PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) Disusun Oleh : Qurrotu Aini, SH B4A006314
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 15 September 2008
Tesis ini telah diterima Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum
Pembimbing Magister Ilmu Hukum
Dr. Budi Santoso, SH., MS. NIP. 131 631 876
Mengetahui Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH., MH. NIP. 130 531 702
4
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Dengan ini saya, QURROTU AINI, SH, menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun Perguruan Tinggi lain. Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari Karya Ilmiah/ Tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.
Semarang, 15 September 2008 Penulis
QURROTU AINI, SH B4A006314
5
KATA PENGANTAR
Assalamua’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat, hidayah dan innayah serta pertolongan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PENGRAJIN DI BIDANG KERAJINAN PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) ini, telah selesai penulis susun guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar pascasarjana di bidang ilmu hukum pada program Pascasarjana di Universitas Diponegoro Semarang. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, menambah wawasan serta pengetahuan mengenai perlindungan hak cipta di Indonesia. Hal yang tidak dapat dilupakan adalah mereka yang telah begitu banyak membimbing, mendo’akan dan membantu sehingga tesis ini terselesaikan dengan baik. Ucapan syukur dan terima kasih yang tak terhingga perlu penulis sampaikan kepada mereka yang begitu banyak menolong, yaitu : 1. Diucapkan terima kasih kepada Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui Program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian tesis berdasarkan DIPA Sekretaris Jendral DEPDIKNAS Tahun Anggaran 2006 sampai dengan tahun 2008.
6
2. Bapak Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH. MH., selaku ketua program Magister Ilmu hukum di Universitas Diponegoro Semarang. 3. Bapak Dr. Budi Santoso, SH, MS., selaku dosen pembimbing tesis yang telah memberikan petunjuk, pengarahan dan bimbingan serta meluangkan waktu dalam penulisan tesis ini. 4. Pegawai di Desperindagkop Yogyakarta dan pengurus KP3Y di Kotagede atas bantuan bahan-bahan dalam penulisan tesis ini. 5. Kedua orang tuaku Hj. Mahmudah dan H. Ahmad Rahmani untuk setiap do’a dan harapan-harapannya. 6. Kakak-kakakku : mba iin, mb ifat, mas uuh, mba ury, lia serta mas pardi dan mas apri terima kasih atas doa yang diberikan, semangat yang tidak pernah berhenti serta kasih sayangnya selama ini. 7. Terspesial untuk Mohammad Johan Rifai yang dengan tulus memberikan motivasi dalam belajar dan hidup serta menemani aku dalam menjalani hidup ini. 8. Nenekku Hj. Marjunah, Tante Nung dan Om Anang, Om Solah serta saudarasaudaraku yang telah banyak membantu ananda dalam menyelesaikan s2 serta doa yang diberikan dan semangat yang tidak pernah berhenti. 9. Iluq dan Oliv di Yogja yang menemaniku riset makasih atas bantuan kalian, jangan males belajar ayo semangat…..!!!!! 10. Temen-temen di S2 beasiswa unggulan diknas angkatan 2006 kelas HKI dan Hukum Laut atas kekompakan kalian dan persahabatan selama di S2 semoga kita semua benar-benar menjadi mahasiswa unggulan dan sukses selalu.
7
11. Buat mas ariy, mas oyon, mas ucup, mas benny, mb kickie, mas david, vira, anna dan yoan semangat terus ya…ingat masa-masa indah kita. 12. Adek-adekku di Kusumawardani V H.16 eka, rima, restu, erni, pitha, arini, mia dan tanti atas kebersamaan dan canda tawanya dan keluarga Bpk Jahudi. 13. Anak-anak Kost Pleburan VI No. 4 mb nur, lulu, neni, deana, tika terimakasih atas tempat kedua ku. 14. Semua pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis dalam proses penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini tentunya banyak kekurangan dan masih jauh dari sempura. Dengan kemampuan yang sangat terbatas, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Wassalammu’alaikum Wr. Wb. Semarang, penulis
8
ABSTRAKSI Sebagai konsekwensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan perundang-undangan dibidang HKI dengan standar TRIPs. Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002) sebagai pengganti tiga undangundang yang telah ada sebelumnya. Traditional knowledge merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Traditional Knowledge telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap Traditional Knowledge yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Bertolak dari faktor-faktor tersebut diatas, para pengrajin kecil tentu saja banyak yang belum memahami keberadaan UUHC 2002, mereka hanya berfikir memproduksi suatu barang dan lalu dijual di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan, kesenian dan kerajinan, khususnya Kotagede yang terkenal dengan kerajinan peraknya. Tujuan masyarakat pengrajin perak Kotagede dalam menciptakan karya seni perak karena faktor ekonomi. Berdasarkan latar belakang, dirumuskan permasalahan sebagai berikut : bagaimana implementasi UUHC 2002 terhadap pengrajin dan bagaimana peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UUHC 2002 terhadap perlindungan hukum bagi para pengrajin perak. Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan spesifikasi penelitian deskriptif analitis, maka penulis berusaha menjelaskan mengenai implementasi UUHC terhadap pengrajin perak dan bagaimana peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UUHC. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa Kotagede mempunyai potensi budaya yang cukup banyak antara lain potensi kerajinan, potensi peninggalan sejarah dan potensi makanan tradisional dan di Kotagede juga terdapat pengrajin perak yang memproduksi kerajinan perak dalam berbagai jenis antara lain perak cetak, perak buatan mesin dan filigree. Potensi industri yang terdapat di DIY yaitu kerajinan batik, kulit, perak, kayu, gerabah dan anyaman dan sosialisasi hki yang dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain melalui pelatihan dan kesepakatan pembentukan klaster IKM perhiasan perak di DIY. Kesimpulan yang di peroleh bahwa UUHC 2002 sudah memberikan perlindungan terhadap karya cipta kerajinan perak, hambatan yang dihadapi dalam mengimplementasikan UUHC 2002 karena masyarakat khususnya pengrajin perak di DIY belum mengetahui secara jelas tentang HKI dan pengrajin perak tersebut tidak keberatan apabila hasil ciptaan mereka di tiru oleh pengrajin lain dan pemerintah daerah sudah ada sosialisasi mengenai HKI. Rekomendasi yang diberikan sosialisasi HKI melalui media internet dengan membuka website berisi tentang pengenalan HKI, prosedur pendaftaran HKI, melakukan identifikasi kerajinan perak yaitu mengenai
9
corak, motif dan jenis-jenis kerajinan, pemberian intensif kepada pengrajin sehingga pengrajin akan mendaftarkan karya cipta mereka dengan kemudahan yang diberikan pemerintah daerah, adanya suatu peraturan daerah yang mengatur mengenai HKI, revisi dari UUHC 2002 dan adanya undang-undang tentang folklore. Kata Kunci : Hak cipta, Traditional knowledge, folklor, kerajinan perak.
10
ABSTRACT As the consequences of Indonesian adherence as a member of World Trade Organization (WTO), Indonesia must compliance all acts in Intellectual Property rights (IPR) under TRIPs. Indonesian copyright act is Copyright Act Number 19/2002 as substitutes for three acts before. Traditional knowledge is a new problem which developed nationally and international. Traditional knowledge a rise as a new law problem because domestic law is lack of acts and rules which does not give a maximum protection from unresponsible parties. According from those factors, lots of small crafter entities who is does not understand yet about the copyright act existence. They simply know just how to produce and sell products to the market. Daerah Istimewa Yogyakarta is a central for culture, arts and crafts, special Kotagede which is famous with the silver handcraft. Economy is the main purpose for crafters entities in creating silver crafts. Based on the background, the formulated issues are how the implementation of the copyright act number 19/2002 for crafters and local government role in the implementation of the Copyright act number 19/2002 to protect silver crafters. By using yuridis empiric approaching method and specification descriptive analytical research, the author will explain about the implementation of Copyright act number 19/2002 for the silver crafter and how local government role in that implementation. The results show that Kotagede has a lot of potential culture which are: potential crafting, potential historical culture and potential traditional cuisine and Kotagede also a source for silver crafters which produce variety of silver crafts include printed silver, machinery silver and filigree. The potential industri in Daerah Istimewa Yogyakarta which are batik, animal skin crafts, silver, woods, porcelains and straws, and the sosialization for IPR by local government include training and agreements for establised Daerah Istimewa Yogyakarta’s IKM silver jewelry. Copyright act number 19/2002 has protected copyrights for silver craft. The main issue in implementation of copyright act is because people specially silver crafters are lacks of knowledge about intellectual property rights (IPR) and silver crafters has no objection if their work being copied by others crafters and intellectual property right (IPR) sosialization by local government. Recommendation has already given is socialization by local government needed to be extent by opening website contain introduction of IPR, IPR register procedures and local government will identified silver crafts about ; pattern, motive and variety of the craft, crafters also get incentive so they are eager to register their works with support from local government, the existing local rule/act for IPR, the revision of Copyright act number 19/2002 and special act for folklore. Keyword : copyright, traditional knowledge, folklore and silver craft.
11
DAFTAR ISI Halaman Judul ......................................................................................................... i Halaman Persetujuan .............................................................................................. ii Halaman Pengesahan ............................................................................................ iii Pernyataan Keasliaan Karya Ilmiah ....................................................................... iv Kata Pengantar ................................................................................................... v-vii Abstrak .................................................................................................................. vii Abstract (Dalam Bahasa Inggris) ........................................................................... ix Daftar Isi ........................................................................................................... x-xiv Daftar Tabel ...........................................................................................................xv Daftar Istilah ........................................................................................................ xvi Daftar Gambar ..................................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 Latar Belakang ............................................................................................1 Perumusan Masalah....................................................................................14 Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian...............................................14 Kerangka Teori ...........................................................................................15 Metode Penelitian .......................................................................................26
12
Sistematika Penulisan .................................................................................33 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 34 A. Tinjauan Terhadap Hak Kekayaan Intelektual Pada Umumnya ...........34 1. Latar Belakang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ...............34 2. Konvensi Internasional Mengenai HKI ..........................................39 2.1.
Konvensi Yang Mengatur Mengenai Hak Cipta ..................41
2.2. Persetujuan Tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs) .........................................42 2.2.1. Umum..................................................................................42 2.2.2. Isi TRIPs .............................................................................44 2.2.3. Standar Pengaturan TRIPs ..................................................45 3. Hak Kekayaan Intelektual dalam Sistem Hukum di Indonesia ......46 3.1. Sebelum TRIPs .....................................................................46 3.2. Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Pasca TRIPs) ........................................................................47 3.3. Setelah TRIPs ..........................................................................49 3.4. Beberapa Konvensi Internasional Yang Telah diratifikasi .....56 B. Hak Cipta dan Pengaturannnya.........................................................57
13
1. Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta .................................57 1.1. Konvensi Bern 1886 Tentang Perlindungan Karya Sastra dan Seni........................................................................................57 1.2. Konvensi Hak Cipta Universal 1955 ....................................62 2. Sejarah Pengaturan Hak Cipta di Indonesia ................................65 2.1. Auteurswet 1912 ...................................................................66 2.2. Hak Cipta Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 .......................................................................................68 3.3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 .................................70 3.4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 ...............................74 3.5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 ...............................77 C. Prinsip-prinsip Dasar Terhadap Kerajinan Perak Dalam Undangundang Hak Cipta Indonesia ............................................................80 1. Prinsip-prinsip dasar Hak Cipta ...................................................81 1.1. Hak Cipta adalah Hak Khusus .............................................81 1.2. Hak Cipta dapat Dialihkan ...................................................83 1.3. Ciptaan-ciptaan Yang Dilindungi Hak Cipta .......................84
14
1.4. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta terhadap Jenis-Jenis Ciptaan ..................................................................................86 2. Pengertian dan Ruang Lingkup Traditional Knowledge..............87 2.1. Pengertian Traditional Knowledge .......................................87 2.2. Ruang lingkup Traditional Knowledge .................................92 3. Traditional Knowledge dan Hak Kekayaan Intelektual ...............94 4. Faktor Ekonomi dalam Perlindungan Hak Cipta yang Berkaitan dengan Kerajinan Perak ...............................................................98 5. Sejarah Kerajinan dan Jenis-jenis Kerajinan................................99 5.1. Sejarah Kerajinan ..................................................................99 5.2. Jenis-jenis Kerajinan ..........................................................102 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................104 A. Hasil Penelitian ..................................................................................104 1. Implementasi UUHC 2002 Oleh Pengrajin di Bidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ..............................104 1.1. Profil Kotagede Yogyakarta ...............................................104 1.1.2. Profil Pengrajin Perak Kotagede Yogyakarta ..........120 a. TIN’s SILVER ....................................................120
15
b. CAHAYA SILVER.............................................122 b.1. Produk-produk Cahaya Silver .....................122 c. ANSOR SILVER ...............................................123 c.1. Produk-produk Ansor Silver ......................124 d. SALIM SIlVER..................................................127 e. MD SILVER Bertahan Sejak Tahun 1917 ........128 1.1.3. Jenis-jenis Kerajinan Perak Kotagede Yogyakarta Berdasarkan Cara Pembuatan .........................................130 1. Perak Buatan Tangan/Handmade ................................131 2. Perak Cetakan/ Casting ...............................................132 3. Perak buatan Mesin/Machinery...................................133 1.1.4. Sejarah berdirinya Koperasi Pengusaha Produksi Perak Yogyakarta (KP3Y) ......................................................... 136 2. Peran Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasikan UUHC 2002
Terhadap
Perlindungan
Hukum
Pengrajin
Dibidang
Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ............ 139 2.1. Potensi Industri Daerah Istimewa Yogyakarta .....................139 2.2. Sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta .............................................151
16
2.2.1. Pelatihan Penerapan Teknologi Perak Kombinasi Tulang di Sentra Kerajinan Perak Kotagede ..........151 2.2.2. Deklarasi Kesepakatan Pembentukan Klaster IKM Perhiasan Perak di DIY (17 November 2007) ...... 153 2.2.3. Dari Jogja, Bicara di Kancah Internasional (24 November 2007) ............................................... 155 2.2.4. Program Magang Peningkatan SDM Pasca Gempa (23 Juni 2008) .......................................................156 2.3. Implementasi Undang-undang Hak Cipta 2002 Yang dilakukan Oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta .157
B. PEMBAHASAN ............................................................................................159 1. Implementasi UUHC 2002 Oleh Pengrajin di Bidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ....................................................... 159 A. Perlindungan Hukum Kerajinan Perak dalam UUHC 2002 ...............159 2. Peran Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasikan UUHC 2002 Terhadap Perlindungan Hukum Pengrajin Dibidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ........................................................172 Bab IV PENUTUP ...............................................................................................178
17
A. Kesimpulan .....................................................................................................178 B. Rekomendasi ..................................................................................................179 Daftar Pustaka ......................................................................................................180
18
DAFTAR TABEL Tabel 1 : Potensi Budaya yang terdapat dalam Kawasan Cagar Budaya Kotagede ..............................................................................................................................118 Tabel 2 : Ciptaan Pengrajin dan Potensi HKInya ................................................135
19
DAFTAR ISTILAH
Bern Convention
: International Convention for The Protection of Literary and Artistic Works
Biological Diversity
: Kebijakan Pengembangan Pertanian, Keanekaragaman Hayati
BIRPI
: Bireaux International Reunis pour la Protection de la Propriete Intellectuelle
Folklore
: Budaya Tradisional
Intellectual Property
: Hak Kekayaan Intelektual
Know How
: Pengetahuan
Paris Convention
: International Convention for The Protection of Industrial
Silver
: Perak
Traditional Knowledge
: Pengetahuan Tradisional
Traditional Environment Knowledge : Lingkungan Pengetahuan Tradisional TRIPs
: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
UNDP
: United Nation Development Program
UNESCO
: United Nation Economic and Social Council Organization
WIPO
: World Intellectual Property Organization
World Bank
: Bank Dunia
WTO
: World Trade Organization
20
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
: Produk-produk Cahaya Silver ............................................... 122-123
Gambar 2
: Produk-produk Ansor Silver ................................................. 124-127
21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan Ilmu Pengetahuan, teknologi, informasi, komunikasi, industri dan transportasi pada akhir abad ini terasa semakin canggih dan cepat. Kondisi tersebut telah membawa pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hubungan antar bangsa dan negara di dunia ini. Negara-negara yang mempunyai atau menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi canggih secara stratifikasi atau tingkatan derajat akan menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang miskin dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, menjadi hal yang dapat dipahami adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang lebih baik dan pasti. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa akibat berkembangnya perdagangan Internasional secara bebas sangat berpengaruh pada penggunaan atau pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI). Penggunaan HKI melintasi batas negara-negara mulai terjadi menjelang abad ke-19. Hal ini mengakibatkan perlunya perlindungan terhadap HKI tidak hanya secara bilateral, tetapi juga secara multilateral atau secara global. Untuk memberikan perlindungan tersebut, maka dilakukan upaya bersama antarnegara dengan membentuk
22
beberapa konvensi internasional sebagai berikut : 1. International Convention for the Protection of Industrial Property Right di bidang Hak Milik Perindustrian pada tahun 1883 yang ditandatangani di Paris pada tanggal 20 Maret 1883. Konvensi ini terkenal dengan sebutan Konvensi Paris (Paris Convention). 2. International Convention for the Protection of Literary and Artistic Works di bidang Hak Cipta pada tahun 1886 yang ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1886. Konvensi ini terkenal dengan sebutan Konvensi Bern (Bern Convention). Konvensi Paris membentuk The International Union for the Protection of Industrial Property Rights, sedangkan Konvensi Bern membentuk The International Union for the Protection of Literary and Artistic Works. Administrasi kedua uni tersebut dilaksanakan oleh satu manajemen dalam gedung yang sama, yaitu The United Nations International Bureau for the Protection of Intellectual Property Rights, dalam bahasa Perancis disebut Bireaux International Reunis pour la Protection de la Propriete Intellectuelle yang disingkat BIRPI. Selanjutnya, timbul keinginan bangsa-bangsa agar dibentuk suatu organisasi internasional untuk melindungi HKI secara keseluruhan. Untuk itu diadakan konferensi di Stockholm pada tahun 1967. Dalam konferensi tersebut telah diterima konvensi khusus pembentukan organisasi dunia untuk perlindungan HKI yaitu Convention Establishing the World Intellectual
23
Property Organization (WIPO). Organisasi ini menjadi pengelola tunggal kedua konvensi, yaitu Paris Convention dan Bern Convention.1 Keikutsertaan Indonesia dalam beberapa Konvensi Internasional di bidang HKI dan telah meratifikasinya antara lain: Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (disahkan dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan atas Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979), Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (disahkan dengan Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997) dan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut TRIPs) (disahkan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1997). Sebagai konsekwensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan perundang-undangan dibidang HKI dengan standar TRIPs. Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002) sebagai pengganti tiga undang-undang yang telah ada sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 6 Tahun1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997, walaupun perubahan itu telah 1
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007, Hal. 37-38.
24
memuat beberapa pasal yang sesuai dengan TRIPs namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, dilandasi oleh kebutuhan bangsa Indonesia untuk memiliki suatu sistem perlindungan bagi pencipta sebagai salah satu sarana untuk menciptakan iklim atau suasana yang kondusif yang mampu
merangsang
serta
menggairahkan
semangat
pencipta
untuk
menuangkan segala inspirasinya dalam sebuah karya cipta di bidang kerajinan tangan yang khas dan pribadi. Dengan demikian HKI adalah institusi yang muncul dari dalam suatu komunitas yang sangat sadar akan hak-hak dan kemerdekaan individu bukan dari suatu komunitas yang lebih berbasis kolektifitas.2 Permasalahan mengenai HKI akan menyentuh berbagai aspek lainnya, seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek yang terpenting jika dihubungkan dengan perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan HKI tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang pada akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan HKI. Sistem perlindungan HKI adalah suatu nilai dari negara barat, barangkali pelaksanaan tidak seperti yang konsep hukum tersebut, melakukan 2
Satjipto Rahardjo, Aspek Sosio-kultural dalam Pemajuan HKI, Seminar HKI, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2000.
25
juga perdagangan masyarakat tertentu yang menolak perlindungan hak cipta seperti yang diungkapkan oleh I Ketut Wirawan3, bahwa tiru meniru karya seni begitu terbuka dan bahkan ada semacam kebanggaan bagi seorang pencipta (karya seni) bila karyanya dapat ditiru atau dijiplak oleh orang lain dikemudian mendatang dan keuntungan bagi orang tersebut (orang yang meniru). Bagi pencipta yang demikian setidaknya ada anggapan bahwa ia telah berbuat kebaikan bagi kesejahteraan diantara sesamanya sebagaimana diharuskan oleh ajaran agama hindu. Demikian pula yang diungkapkan dalam penelitian Dewi Kasih4 bahwa proses tiru meniru karya seni di Bali berasal dari metode pengajaran seni pada kalangan masyarakat seniman Bali itu sendiri yang mengandalkan metode dalam proses pembelajarannya, dimana para guru mentransmisikan suatu karya seni melalui contoh-contoh secara langsung dan para siswa menirunya secara langsung pula. Selain itu, terbilang cukup banyak pula penelitian kepandaian membuat suatu karya seni berlangsung secara otodidak, yakni hanya melalui penglihatan (hanya dengan cara melihat dan selanjutnya mencoba membuat) dan seorang dengan mudah dapat membuat suatu karya seni yang mirip dengan karya aslinya. Dalam situasi yang demikian, masyarakat seniman Bali pada umumnya dan pada khususnya para guru dan pencipta karya seni sama sekali tidak berpikir ekonomis tetapi bangga karena 3
I ketut Wirawan, Budaya Hukum dan Disfungsi UUHC kasus masyarakat Seniman Bali, Tesis Program Pascasarjana Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2000 4 Desah Putu Dewi Kasih, Pelaksanaan Perdagangan Restriktif 29 UU No. 7 Tahun 1987 sebagai Perlindungan Hak Cipta Benda-benda Seni di Desa Kemenuh Kec. Surawali Kab. Bianyar, Lap. Penelitian Universitas Udayana , Denpasar: 1992.
26
telah dapat melestarikan kemampuan yang dimilikinya dan yang lebih mendasar lagi bahwa ia merasa telah dapat membantu sesama. Pemikiran barat terhadap hak cipta, bahwa hak cipta merupakan milik pribadi dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya para pencipta tanpa menyisahkan hak terhadap masyarakat. Rona Rosita5 mengemukkan dalam hasil penelitiannya hal-hal yang mendorong terjadinya pelanggaran hak cipta. Hal-hal yang mendorong pelanggaran hak cipta oleh masyarakat antara lain kegiatan pelanggaran hak cipta di pengaruhi oleh beberapa faktor secara umum adalah : Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta, Sikap atau keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara mudah, belum cukup terbinanya kesamaan pengertian, sikap dan tindakan para aparat penegak hukum dalam menghadapi pelanggaran hak cipta. Faktor-faktor secara khusus, antara lain : Pada umumnya harga produk yang illegal lebih murah dibandingkan dengan yang legal atau asli, sehingga konsumen terutama golongan masyarakat menengah ke bawah cenderung lebih senang membeli produk yang murah terutama apabila kelihatannya tidak terlalu jauh beda, dimana hal ini jelas sangat berpengaruh terhadap meningkatnya pemasaran produk ilegal. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat telah mempengaruhi terhadap berbagai kemungkinan dan kemudahan untuk melakukan kejahatan di bidang hak cipta, 5
Rona Rositawati, Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Cipta Program Komputer Menurut UUHC, Skripsi FH UNS, 2001.
27
lemahnya daya beli masyarakat dihadapkan dengan kebutuhan akan produkproduk tertentu, mendorong meningkatnya pemasaran produk-produk illegal di bidang hak cipta dengan harga terjangkau walaupun dengan kualitas rendah dan faktor sosial yaitu masyarakat biasa hidup dalam kebersamaan dan memiliki perbedaan dengan HKI yang sangat individual artinya banyak hal yang mendasari diberikannya perlindungan hukum hak cipta kepada pemegang hak cipta berasal dari nilai budaya individualistis masyarakat barat yang berusaha untuk memberikan hak-hak eksklusif pada individu-individu atas hak-hak kekayaan yang dimilikinya, sedangkan di Indonesia nilai-nilai budaya kebersamaannya masih cukup tinggi, sehingga hak-hak yang dimilikinya seringkali dikaitkan dengan fungsi sosial masyarakat. Pesatnya keterkaitan dan perluasan ruang lingkup HKI, maka salah satu HKI yang berupa pengetahuan traditional (Traditional Knowledge) semakin tergali dan tampak sangat besar keterkaitannya dengan aspek dan bidang lainnya, seperti kehutanan, pertanian, kesehatan dan sosial budaya. Bagi masyarakat awam istilah Traditional Knowledge dalam pengertian bahasa tidak dapat dipahami arti dari kata tersebut, namun kalau sudah diartikan apa yang dimaksud dengan Traditional Knowledge, maka sebenarnya mereka sudah sangat sering berhubungan dengan masalah ini. Istilah Traditional Knowledge sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai pengetahuan traditional. Traditional knowledge merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional.
28
Traditional Knowledge telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap Traditional Knowledge yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Disamping itu, di tingkat Internasional Traditional Knowledge ini belum menjadi suatu kesepakatan untuk diberikan perlindungan hukum.6 Bertolak dari faktor-faktor tersebut diatas, para pengrajin kecil tentu saja banyak yang belum memahami keberadaan UUHC 2002, mereka hanya berfikir memproduksi suatu barang dan lalu dijual di masyarakat. Budaya hukum masyarakatpun satu sama lain berbeda seperti yang dicontohkan diatas, masyarakat hindu bali tidak memerlukan perlindungan hak cipta, masyarakat pebisnis di Jakarta mengagung-agungkan perlindungan hak cipta. Persepsi masyarakat terhadap hak cipta berbeda-beda, apabila pelanggaran hak cipta dipandang bukan merupakan suatu ancaman, bahkan merupakan suatu derma.7 Sebagai contoh dari adanya Traditional Knowledge yaitu Kerajinan perak, salah satu kerajinan perak yang terkenal di Indonesia yaitu kerajinan perak Yogyakarta karena kerajinan perak ini terkenal dengan kekhasannya. Kerajinan ini berpusat di Kotagede, dimana hampir seluruh masyarakat di daerah ini menjadi pengrajin dan penjual perak. Minimnya dokumentasi, dari periode kerajaan Mataram, Kraton Yogyakarta, masa penjajahan, masa 6
Pembahasan Traditional Knowledge belum mencapai titik temu terutama menyangkut pengertian dan ruang lingkup dari Traditional Knowledge. 7 Lihat Ida Bagus Nyoman dalam I Ketut Wirawan, op.cit, Hal. 104
29
kemerdekaan, bahkan sampai saat ini, tidak ada catatan yang mencukupi tentang perkembangan kerajinan perak Kotagede. Hal ini membuat sulit untuk melacak perkembangan rancangan kerajinan perak Kotagede. Produksi kerajinan perak di Yogyakarta hanya dapat ditemui di daerah Kotagede dan ketenaran Kotagede sendiri sudah mendunia, maka tidak mengherankan jika Kotagede menjadi salah satu objek dan daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan mancanegara maupun domestik. Kotagede identik dengan perak sehingga dijuluki Kota Perak. Memang sejak dahulu bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam ini terkenal dengan kerajinan peraknya. Bahkan kerajinan perak Kotagede juga menembus pasar mancanegara. Ada dua jenis kerajinan perak yang diproduksi, perak putih dan perak hitam atau biasa disebut dengan perak teroksidasi. Kerajinan Perak Kotagede sebelum tahun 1990-an hanya pengusaha perak yang beromset besar saja yang membuka showroom-nya, seperti Tom Silver, MD Silver, HS Silver, Narti Silver dan sebagainya. Namun menginjak pertengahan dekade 90-an, pengusaha kecil dan menengah mulai meramaikan bisnis perak ini. Banyak diantaranya yang sebelumnya bekerja sebagai pengrajin perak di perusahaan besar. Pengrajin perak di Kotagede terkenal dengan produknya yang unik, halus dan telaten dalam menggarap produk peraknya sehingga menghasilkan karya seni bernilai tinggi. Ratusan jenis kerajinan perak dihasilkan, mulai dari cincin, giwang, bros, miniatur sepeda, becak, andhong, kapal-kapalan dan berbagai hiasan lainnya. Saat ini sekitar 60 toko yang menawarkan berbagai
30
produk kerajinan perak. Sedikitnya ada empat jenis tipe produk yang dijual, yakni filigri (teksturnya berlubang-lubang), tatak ukir (teskturnya menonjol), casting (dibuat dari cetakan), dan jenis handmade (lebih banyak ketelitian tangan, seperti cincin dan kalung). Selain Kotagede, sebenarnya ada beberapa sentra kerajinan perak lain di Indonesia, seperti Bali dan Lombok. Namun, kerajinan perak Kotagede memiliki ciri khas tersendiri, yakni tetap dipertahankannya proses pembuatan barang kerajinan secara manual. Lokasi pengrajin perak di Kotagede tersebar merata, mulai dari pasar Kotagede sampai Masjid Agung. Kebanyakan ornamen kerajinan perak Kotagede sangat dipengaruhi oleh motif kain batik. Penentuan harga barang kerajinan perak tidak hanya didasarkan pada besar kecil atau beratnya, tetapi juga nilai seni dan tingkat kerumitan dalam pengerjaannya. Menurut para pengusaha perak di Kotagede, kerajinan perak yang digeluti sebagian besar masyarakat wilayah itu bersifat turun-temurun. Awalnya, jumlah pengrajin hanya beberapa orang, karena usaha mereka hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan perhiasan atau perlengkapan lainnya bagi raja dan kerabat keraton. Masa kejayaan Kotagede sebagai sentra industri perak terjadi pada era 1970-1980. Saat itu, jenis barang didominasi oleh alat-alat makan untuk memenuhi permintaan turis asing. Apalagi, saat itu belum banyak toko yang menjual produk kerajinan perak.
31
Berdasarkan data KP3Y (Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta) tahun 2.000, sedikitnya 2.000 orang terlibat langsung dalam mata rantai industri perak di Kotagede. Pengajin perak tidak hanya dari masyarakat Kotagede, namun sudah meluas yaitu Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul banyak datang dan bermukim di Kotagede untuk menjadi pengrajin perak.8 Namun, sejak krisis moneter dan maraknya peledakan bom di Indonesia, industri kerajinan perak mulai berkurang. Saat ini ratusan pengajin perak terpaksa gulung tikar. Dari sekitar 2.000 perajin, 30% di antaranya beralih ke profesi lain seperti kusir andong, usaha warung, dan kuli bangunan. Pengrajin yang masih bertahan tidak lagi mengandalkan perak sebagai bahan baku kerajinan. Sekitar 40% di antaranya memanfaatkan tembaga dan kuningan sebagai bahan baku alternatif. Keterpurukan kerajinan perak Kotagede itu diperparah oleh semakin minimnya minat generasi muda menggeluti usaha itu. Mereka lebih memilih bekerja di sektor yang dinilai praktis dan menjanjikan secara ekonomi, misalnya bekerja sebagai buruh pabrik ataupun pegawai negeri. Perjalanan historis Kotagede sebagai sentra industri perak memang pernah mengalami masa kejayaan. Saat ini kondisinya tengah terpuruk, untuk mengembalikan masa kejayaan kontribusi dari semua pihak jelas dibutuhkan. Sampai saat ini belum ada langkah konkret untuk menyelamatkan sentra perak tersebut.
8
www.kompas.com
32
Dalam prespektif masyarakat pengrajin kecil perak di Kotagede Yogyakarta, UUHC 2002 sangat perlu dibudayakan baik pada para pengrajin, pelaku bisnis maupun aparat penegak hukum. Asumsi dasar dari para pengrajin kecil perak Kotagede Yogyakarta penciptaan suatu karya adalah bagian dari cara kerja mereka secara tradisional, sehingga keberadaan UUHC 2002 merupakan suatu kebutuhan walaupun mereka tidak bisa menggunakan secara penuh, mereka tidak atau jarang mendaftarkan ciptaan mereka. Walaupun UUHC 2002 tidak mengharuskan adanya pendaftaran atas suatu ciptaan, akan tetapi pendaftaraan ciptaan diperlukan karena merupakan bukti outentik adanya suatu ciptaan baru, sehingga pemilikan suatu hak apabila kelak kemudian hari terjadi sengketa di pengadilan maka sertifikat hak cipta tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti untuk mendapatkan sertifikat. Pencipta harus mendaftarkan ciptaannya ditujukan kepada Menteri Kehakiman melalui Direktorat Jendral HKI. Terkait dengan hal tersebut diatas bahwa implementasi UUHC 2002 terhadap pengrajin kerajinan rakyat (pengrajin kecil) seharusnya dilakukan upaya sosialisasi secara terus menerus terhadap mereka oleh pemerintah sehingga diharapkan perlindungan ciptaan mereka dapat tercover secara sempurna dari pembajakan. Berbeda dengan masyarakat Hindu Bali, bahwa ciptaan karya seni mereka adalah dilandasi dengan dharma (agama) yang bertujuan untuk pencapaian makso (kebahagiaan abadi),9 tetapi di dalam 9
Lihat I Ketut Wirawan, op.cit, Hal. 136. Disebutkan bahwa masyarakat seniman Bali
33
masyarakat pengrajin perak Kotagede Yogyakarta tujuan menciptakan karya seni perak adalah semata faktor ekonomi. Untuk itu maka asumsi pemikiran bahwa ciptaan adalah hak eksklusif si pencipta adalah suatu yang mutlak diperlukan bagi mereka, hanya saja cara berfikir dan pemahaman mereka terhadap hak cipta tidaklah sepenuhnya dimengerti oleh mereka, padahal karya cipta para pengrajin perak kotagede Yogyakarta merupakan potensi eksport. Berdasarkan keterangan yang telah di uraikan di atas, jelaslah bahwa perlindungan hukum terhadap HKI tidak dapat terlepas dari adanya sebuah sistem informasi HKI yang integral dan mudah diakses oleh masyarakat luas dan penegakan hukum secara integral, pelanggaran dalam bentuk pembajakan hasil karya intelektual yang dilindungi oleh Undang-undang akan semakin berkurang. Sinergi antara keduanya, sistem informasi yang integral dan penegakan hukum yang integral pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih beradab, yang menghargai hasil karya cipta intelektual orang lain. Namun demikian peran serta dan dukungan masyarakat secara aktif tetap merupakan kunci sukses dalam penegakan HKI secara keseluruhan. adalah bagian dari masyarakat hukum adat Bali, sehingga nilai-nilai ajaran agama Hindu yaitu karma yoga, adyana yoga dan catur purus hartha akan selalu melingkupi kehidupan masyarakat termasuk penciptaan suatu karya seni. Nilai tersebut tampak pada sistem pengajaran atautransfer kepandaian melalui meniru dan tidak adanya penuntutan-penuntutan pelanggaran hak cipta atau penjiplakan dalam suatu karya seni. Padahal apabila dihubungkan dengan UUHC yang memberikan status delik biasa terhadap pembajakan hak cipta, maka suatu peniruan atau pembajakan tidak perlu adanya suatu penuntutan dari pihak si pencipta. Disini terjadi benturan antara hukum dan agama.
34
Untuk itu penelitian ini mencoba untuk mengkaji dan membahas tentang Implementasi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Para Pengrajin di Bidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi UUHC 2002 dikalangan pengrajin di bidang kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)? 2. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UUHC 2002 terhadap perlindungan hukum pengrajin dibidang kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan menganalisi implementasi UUHC 2002 oleh pengrajin perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
35
b. Untuk mengetahui dan menganalisis peran Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan UUHC 2002. 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini berusaha memberikan suatu kontribusi dalam perlindungan hak cipta terhadap Kerajinan perak yang mengalami kemunduran, di antaranya : 1. Kontribusi
secara
teoritis,
dengan
adanya
penelitian
tentang
bagaimanakah implementasi UUHC 2002 terhadap perlindungan hukum bagi pengrajin di bidang kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maka diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat maupun kalangan akademisi mengenai berbagai permasalahan yang ada kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap pengrajin. 2. Kontribusi secara praktis, dapat memberikan masukan khususnya terhadap pemerintah maupun lembaga atau instansi terkait untuk menentukan berbagai macam solusi atau langkah konkret dalam mengoptimalkan perlindungan hukum terhadap pengrajin.
E. Kerangka Pemikiran Kerangka atau dasar pemikiran diberikannya seorang individu perlindungan hukum terhadap ciptaannya bermula dari teori yang tidak lepas dari dominasi pemikiran mazhab atau doktrin hukum alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang dikenal dalam sistem
36
hukum sipil (Civil Law System) yang merupakan sistem hukum yang dipakai di Indonesia.10 Pengaruh mazhab hukum alam ini terhadap seorang individu yang menciptakan pelbagai ciptaan yang kemudian memperoleh perlindungan hukum atas ciptaan yang merupakan kekayaan intelektual sangat berpengaruh di Negara-negara dengan sistem hukum sipil dan mendapatkan tempat sebagai refleksi pada Pasal 27 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menetapkan :11 “Setiap
orang
mempunyai
hak
sebagai
pencipta
untuk
mendapatkan perlindungan kepentingan-kepentingan moral dan material yang merupakan hasil dari ciptaannya dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.”
Dengan adanya pengakuan secara universal ini, tidak diragukan lagi bahwa suatu ciptaan mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia (life worthy) dan mempunyai nilai ekonomi sehingga menimbulkan adanya tiga macam konsepsi :12 1. Konsepsi kekayaan 2. Konsepsi hukum 10
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1958, Hal. 292. Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, Hal. 17-18. 12 ibid 11
37
3. Konsepsi perlindungan hukum Kehadiran tiga konsep hukum ini lebih lanjut menimbulkan kebutuhan akan adanya pembangunan hukum dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan.
Tentang
Pembangunan
hukum
ini,
Mochtar
Kusumaatmadja13 mempunyai pendapat dan pemikiran bahwasannya hukum adalah sebagai sarana bagi pembangunan dan sarana pembaharuan masyarakat. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa tanpa kepastian hukum dan tertib masyarakat yang dijelmakan olehnya tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat ia hidup. Selaras dengan pemikiran yang dikemukkan diatas, kita mengetahui bahwa pengembangan bakat-bakat dan kemampuan manusia memerlukan adanya upaya-upaya untuk mewujudkannya termasuk melalui pelbagai aturan yang mendukungnya sehingga tercapai suatu kepastian hukum. Hak cipta merupakan hak kebendaan, maka bagaimana Undangundang memberikan perlindungan terhadap pemilik atau pemegang hak. Salah satu sifat atau asas yang melekat pada hak kebendaan adalah asas droit de suite yaitu asas hak mengikuti bendanya. Hak untuk menuntut akan mengikuti benda tersebut secara terus-menerus di tangan siapapun benda itu berada.
13
Mochtar Kusumaatmadja, (1)Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, tanpa tahun, Hal. 2-3
38
Perlindungan hak cipta sebagai hak kebendaan yang immaterial maka mengaju kepada hak milik. Hak milik ini menjamin kepada pemilik untuk menikmati dengan bebas dan boleh melakukan tindakan hukum dengan bebas terhadap miliknya itu. Obyek hak milik itu dapat berupa hak cipta sebagai hak kekayaan immaterial. Terhadap hak cipta, pencipta atau pemegang hak dapat mengalihkan untuk seluruhnya atau sebagaian hak cipta itu kepada orang lain, dengan jalan pewarisan, hibah, wasiat atau dengan cara lain (Pasal 3 UUHC 2002). Hal ini membuktikan bahwa hak cipta itu merupakan hak yang dapat dimiliki, dapat menjadi objek pemilikan atau hak milik dan oleh karenanya terhadap hak cipta itu berlaku syarat-syarat pemilikan, baik mengenai cara penggunaannya maupun cara pengalihan haknya. Kesemua itu undang-undang akan memberikan perlindungan sesuai dengan sifat hak tersebut. Dapat pula dipahami bahwa perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap hak cipta adalah untuk menstimulir atau merangsang para pencipta agar terus mencipta dan lebih kreatif. Lahirnya ciptaan baru atau ciptaan yang sudah ada sebelumnya harus didukung dan dilindungi oleh hukum. Wujud perlindungan itu diatur dalam undang-undang dengan menempatkan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hak cipta dengan cara melawan hukum. Pertumbuhan dan perkembangan sistem hukum selalu mengikuti perkembangan dan pertumbuhan dalam dinamika masyarakat, demikian juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi kalangan dunia usaha. Dimana dalam perkembangannya maka ketentuan hukum bagi dunia usaha
39
merupakan upaya nyata untuk menciptakan suatu sistem dan menata perekonomian secara makro dan penataan serta pendistribusian kesempatan berusaha dalam bidang ekonomi secara mikro. Pembahasan mengenai suatu perundang-undangan selalu terkait dengan konsep-konsep dan sistem hukum yang berlaku, pengaturan dan substansi materiil daripada undang-undang yang terkait langsung dengan penelitian. Hukum memiliki pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan konsep yang diberikan kepadanya, menurut Soetandyo Wignyosoebroto terdapat 5 (lima) konsep hukum yang telah dikemukakan dalam setiap penelitian, yaitu : a. Hukum adalah asas-asas moral atau keadilan yang universal dan secara inheren merupakan bagian dari hukum alam, atau bahkan sebagai bagian dari kaidah-kaidah yang bersifat supranatural; b. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif, kaidah ini berlaku pada suatu waktu dan wilayah tertentu yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan politik. Hukum semacam ini dikenal sebagai tata hukum suatu negara; c. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (inconcreto). Putusan Hakim itu kemungkinan akan menjadi preseden bagi penyelesaian kasus berikutnya; d. Hukum merupakan institusi sosial yang secara riil berfungsi dalam masyarakat sebagai mekanisme pemeliharaan ketertiban dan penyelesaian sengketa, serta pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baik; e. Hukum merupakan makna simbolik yang terekspresi pada aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.14 Adanya berbagai arti hukum yang telah dikonsepkan seperti di atas menunjukkan bahwa hukum memiliki spektrum yang sangat luas. Hukum tereksistensi dalam berbagai rupa, yaitu berupa nilai-nilai yang abstrak, berupa 14
Soetandyo Wignjosoebroto, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi dalam Masyarakat, Tahun Ke I. Nomor 2, 1974, hal 4
40
norma-norma atau kaidah yang positif, berupa keputusan hakim, berupa perilaku sosial, serta berupa makna-makna simbolik. Hukum menjadi pedoman tingkah laku anggota masyarakat terdiri dari sekumpulan
kaidah-kaidah
yang
merupakan
satu
kesatuan
sehingga
merupakan suatu sistem kaidah atau sistem hukum. Sistem hukum seringkali juga memiliki arti yang sama dengan Tata Hukum. Pengertian yang terkandung dalam sistem adalah : a. Sistem berorientasi pada tujuan; b. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian (wholism); c. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (open system); d. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga; e. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain; f. Ada kekuatan yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).15 Jadi tata hukum akan merupakan sebuah sistem jika tidak sekedar kumpulan kaidah, tetapi memiliki sistematika dan kesatuan. Menurut Hans Kelsen yang terkenal dengan teorinya yang disebut “Riene Rechtslehere” atau “The Pure Theory of Law” (diterjemahkan menjadi teori murni tentang hukum atau ajaran murni tentang hukum). Teori Kelsen merupakan “Normwissenschaft” dan hanya mau melihat hukum sebagai kaedah yang dijadikan obyek ilmu hukum. Bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, filosofis dan seterusnya, akan tetapi yang dikehendakinya adalah suatu teori yang murni mengenai hukum.
15
Satjipto Rahardjo, 1982, Op.cit hal 88-89
41
Menurut Kelsen, maka setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (Stuffenbau). Di puncak stuffenbau tersebut terdapat groundnorm atau kaedah dasar atau kaedah fundamentil yang merupakan hasil pemikiran secara yuridis (bukan merupakan kaedah hukum positif). Dengan demikian, maka suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara hierarkis. Susunan kaedah-kaedah hukum dari tingkat terbawah ke atas adalah sebagai berikut :16 1. Kaedah hukum individual atau kaedah hukum konkrit dari badan-badan penegak/ pelaksana hukum, terutama pengadilan. 2. Kaedah hukum umum atau kaedah hukum abstrak didalam undang-undang atau hukum kebiasaan, 3. Kaedah hukum dari konsitusi. Ketiga kaedah hukum tersebut, dinamakan kaedah-kaedah hukum positif atau kaedah-kaedah hukum aktuil. Diatas konstitusi terdapat kaedah hukum fundamental atau dasar yang bukan merupakan kaedah hukum positif, oleh karena dihasilkan oleh pemikiran-pemikiran yuridis. Sahnya kaedah-kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah, tergantung atau ditemukan oleh kaedah-kaedah hukum yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi. Selain daripada stuffentheori, maka perlu dijelaskan pula teori kaedah Kelsen mengenai perumusan kaedah hukum. Kaedah hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum, merupakan suatu pandangan hipotesis atau pandangan 16
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, Cetakan kedua, 1979.
42
bersyarat (hypothetical judgement), sebagaimana halnya dengan dalil alam. Perbedaan ada pada hakekatnya yaitu :17 1. Apabila terjadi suatu sebab, maka kejadian tersebut akan diikuti oleh kejadian lain yang merupakan akibat, ini merupakan dalil alam dan disebut sebagai prinsip sebab-akibat; 2. Pada kaedah hukum, maka apabila terjadi perilaku tertentu pihak lain harus berperilaku menurut cara tertentu pula, ini merupakan prinsip imputasi; 3. Tidak ada campur tangan manusia dalam dalil alam, sedangkan pada kaedah hukum, hubungan normatif merupakan hasil ciptaan manusia; 4. Pada dalil alam, maka hubungan sebab akibat merupakan mata rantai tanpa batas. Dalam kaedah hukum, maka prinsip imputasi ada batasnya. Menurut Kelsen, maka perumusan kaedah dengan pandangan hipotesis dapat diketemukan dalam perumusan kaedah-kaedah hukum umum. Dari teori Hans Kelsen jelas bahwa peraturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan yang diatasnya, untuk itu dalam penelitian ini khususnya mengenai hak cipta dibidang kerajinan perak apakah ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi para pengrajin dibidang kerajinan perak sudah sesuai dengan UUHC 2002. Pengaturan dari kerajinan perak yang termasuk dalam folklore terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) UUHC 2002 yaitu : “Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.”
17
ibid
43
Dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002 yang termasuk dalam ciptaan yang dilindungi yaitu : (1) Dalam Undang-Undang Hak Cipta ini, terdapat beberapa ketentuan ciptaan yang dilindungi yaitu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain, yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Sedangkan pengertian dari folklore itu sendiri termasuk dalam Traditional Knowledge. Istilah Traditional Knowledge adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi dan know how yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial. Dalam banyak cara, bentuk Traditional Knowledge tidak seperti yang ada dalam istilah bahasa inggris sehari-hari. Bentuk khusus dari Traditional Knowledge
44
merujuk kepada lingkungan pengetahuan tradisional (Traditional Environment Knowledge).18 Traditional Knowledge mulai menjadi berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaharuan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati (Biological Diversity), dan kekayaan intelektual (Intellectual Property). Masalah ini banyak menjadi diskursus di lingkungan organisasi internasional, seperti UNDP, UNESCO dan World Bank. 19 Sementara itu masyarakat asli sendiri memiliki pemahaman sendiri yang dimaksud dengan Traditional Knowledge. Menurut mereka Traditional Knowledge adalah :20 1. Traditional Knowledge merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi. 2. Traditional Knowledge merupakan pengetahuan di daerah perkampungan. 3. Traditional Knowledge tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya, dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life, Traditional Knowledge lahir dari semangat untuk bertahan (survive). 4. Traditional Knowledge memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegangnya. Dari pemahaman ini, Traditional Knowledge dapat diartikan sebagai pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat daerah atau tradisi yang 18
Center for Inovation Law and Policy, “Traditional Knowledge researce,” dalam http://www.innovationlaw.org/lawforum/pages/rg_traditional_ knowledge.htm 19 ibid 20 Patricia A.L Cochran, “What is Traditional Knowledge?”, http://www.nativescience.org/html/traditional_knowledge.html
45
sifatnya turun-menurun. Pengetahuan tradisional ini sendiri ruang lingkupnya sangat luas, dapat meliputi bidang seni, tumbuhan, arsitektur dan lain sebagainya. World Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan pengetahuan tradisional, yaitu : “Pengetahuan tradisional mengacu pada sastra yang berupa budaya, karya seni atau ilmiah, pementasan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol-simbol, rahasia dagang, dan inovasi-inovasi yang berupa budaya dan ciptaan-ciptaan yang merupakan hasil kegiatan intelektual di bidang industri, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Yang berupa budaya mengacu kepada sistem pengetahuan, ciptaan-ciptaan, inovasi-inovasi, dan ekspresi budaya yang secara umum telah disampaikan dari generasi ke generasi dan secara umum dianggap berhubungan dengan orang-orang tertentu atau wilayahnya dan terus berkembang sebagai akibat dari perubahan lingkungan.” Kelompok pengetahuan tradisional mencakup : pengetahuan pertanian, ilmu
pengetahuan,
pengetahuan
ekologi
(lingkungan),
pengetahuan
pengobatan, termasuk obat-obatan yang berkaitan dengan pengobatan, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keragaman hayati, ekspresi budaya tradisional (ekspresi folklore) dalam bentuk musik, tarian, nyanyian/lagu, kerajinan tangan, desain, cerita dan karya seni, elemen-elemen bahasa seperti nama, indikasi geografis dan simbol, dan barang-barang yang bernilai budaya. Yang tidak termasuk dalam deskripsi pengetahuan tradisional adalah hal-hal yang bukan merupakan hasil dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, bidang sastra dan seni, jasad renik, bahasa secara umum, dan elemen-elemen warisan yang serupa dalam arti luas”.
46
Kategori pengetahuan tradisional mencakup pengetahuan pertanian, ilmu, teknik, lingkungan, kesehatan termasuk obat-obatan dan penyembuhan, pengetahuan mengenai keanekaragaman hayati, pernyataan folklore berupa musik, tari, lagu, kerajinan, desain, dongeng dan seni pentas, unsur bahasa seperti : nama, indikasi geografis dan simbol-simbol, dan kekayaan budaya yang dapat berpindah. Bukan termasuk pengetahuan tradisional seperti kegiatan intelektual industri, ilmiah, bidang sastra dan seni seperti peninggalan kemanusiaan, bahasa umumnya, dan warisan dalam pengertian luas. Perkembangan dari suatu pengetahuan tradisional pada umumnya berlangsung di daerah dimana pengetahuan tradisional itu hidup dan berkembang. Salah satu hal yang memegang peranan kuat disamping latar belakang budaya adalah adanya unsur spiritual. Kepercayaan dari suatu masyarakat telah terinternalisasi selama bertahun-tahun ke dalam pengetahuan tradisional yang mereka miliki. Kerajinan pahat kayu di Bali yang memiliki ciri khas berbentuk tangan dalam posisi doa menangkup satu sama lain dimana hasil ini merupakan gambaran dari spiritualitas masyarakat Bali yang telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di tempat lain, kerajinan ukir Jepara memiliki motif-motif khas yang tidak dimiliki hasil dari kerajinan ukir di daerah lain. Kemudian motif batik, apabila diperhatikan dengan cermat, tiap daerah penghasil batik memiliki ciri khas masing-masing. Jika Anda seorang kolektor batik, sekali melihat corak sebuah kain batik, Anda bisa mengetahui di daerah mana batik itu dibuat.
47
Kerajinan pahat, kerajinan ukir, ataupun motif batik, hanya merupakan sebagian kecil dari pengetahuan tradisional. Sebenarnya, banyak benda-benda atau apa yang kita lakukan sehari-hari termasuk ke dalam pengetahuan tradisional yang tidak kita sadari. Penggunaan obat-obatan tradisional atau cara penyembuhan tradisional yang diajarkan oleh orang tua atau kakek nenek kita, pada dasarnya merupakan pengetahuan tradisional. Perabot rumah tangga yang indah atau kain tenun hasil tenunan tangan yang seringkali digunakan untuk menghias ruang tamu atau ruang keluarga bila diperhatikan memiliki bentuk atau corak yang mencerminkan budaya tradisional khas dari daerah tertentu. Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional, hendaknya kita dapat lebih menyadari bahwa itulah kekayaan bangsa kita, yang dalam hal tertentu sangat diminati oleh bangsa lain, namun kita yang memilikinya tidak memberikan perlindungan yang selayaknya. Pengetahuan tradisional apabila dikelola dengan baik dapat menjadi aset bangsa yang sangat berharga dan meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. 21 Penulis dalam melakukan penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu yang menjadi bahan masukan dalam hukum positif yang mengatur hak cipta, khususnya bidang kerajinan sehingga akan menciptakan rasa aman terhadap sesama pengrajin yang akhirnya akan meningkatkan kualitas dan kreativitas hasil kerajinan dan peningkatan kesejahteraan ekonominya. 21
Bambang Waluyo, Penelitian dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1991, hal 21
48
F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berupaya untuk memperoleh pemecahan suatu masalah. Oleh karena itu, penelitian sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, analisis dan konstuktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.22 Fungsi penelitian ini adalah mencari penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti yaitu Implementasi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Terhadap Perlindungan Hukum bagi Para Pengrajin di Bidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode pendekatan Metode
penelitian
dapat
diartikan
sebagai
ilmu
untuk
mengungkapkan dan menerangkan gejala-gejala alam atau gejala-gejala sosial dalam kehidupan manusia, dengan mempergunakan prosedur kerja yang sistematis, teratur, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, disebabkan penelitian ini bersifat ilmiah.23
22
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalis Indonesia, Hal. 44 23 H. Hadari Nawawi, Tanpa Tahun, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Hal. 9.
49
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan penelitian seseorang dari teori ke pemilihan metode, karena dalam proses inilah timbul preferensi seseorang terhadap teori-teori dan metode-metode tertentu. Pada hakekatnya metodologi tersebut memberikan pedoman tentang cara-cara mempelajari, menganalisa dan memahami lingkunganlingkungan yang dihadapinya, sehingga diharapkan seseorang mampu menemukan, menentukan dan menganalisa suatu masalah tertentu dan pada akhirnya diharapkan mampu menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan.24 Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.25 Aspek yuridis digunakan sebagai acuan dalam menilai atau menganalisa permasalahan berdasarkan aspek hukum yang berlaku yaitu dengan mengkaji peraturan-peraturan hukum mengenai hak cipta serta peraturan terkait di bawahnya yang mempunyai korelasi dengan penelitian ini. 24
Soerjono S dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1985, Hal. 1. 25 Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, Hal. 52.
50
Sedangkan pendekatan empiris yaitu dengan melakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke lapangan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan perlindungan hukum pengrajin di bidang kerajinan perak. Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat langsung.
2. Spesifikasi Penelitian Dilihat dari perspektif sifatnya, penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif analitis artinya hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti.26 Penelitian ini berusaha menggambarkan secara lengkap ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku pribadi atau kelompok, atau menggambarkan/ melukiskan realitas sosial sedemikian rupa, memanfaatkan, maupun menciptakan konsep-konsep ilmiah, sekaligus pula berfungsi dalam mengadakan suatu klasifikasi mengenai gejala-gejala sosial yang dipersoalkan. 3. Lokasi Penelitian 26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984, Hal. 10.
51
Lokasi penelitian dilakukan di Kotagede Yogyakarta, dengan pertimbangan bahwa Kotagede merupakan pusat dari kerajinan perak yang perlu mendapat perlindungan hukum. 4. Objek dan Subjek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah hak cipta berupa kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta. Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah Pengrajin. Selanjutnya untuk melengkapi dan menguji data yang dikumpulkan maka pengumpulan data penelitian ini dilakukan juga dengan mengumpulkan keterangan atau informasi, pendapat dari subjek penelitian lainnya, yaitu Asosiasi, Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Pemerintah Daerah. 5. Populasi dan Sampling Populasi adalah seluruh objek, seluruh gejala, seluruh unit yang akan diteliti dalam penelitian ini. Oleh karena populasi sangat besar dan sangat luas maka tidak memungkinkan untuk diteliti seluruh populasi tetapi cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel untuk memberi gambaran yang tepat dan benar.27 Dalam penelitian ini pengambilan sampling menggunakan teknik Non Random Sampling, dengan metode Purposive Sampling yaitu
27
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., Hal. 36.
52
penarikan sampel yang dilakukan dengan cara memilih atau mengambil subjek-subjek yang didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu.28 Teknik ini dipilih karena alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya sehingga tidak dapat mengambil sample yang besar jumlahnya dan jauh letaknya. Sedang berdasarkan objek dan subjek penelitian tersebut, maka responden yang ditentukan dalam penelitian ini adalah : 1. Pengrajin 2. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam hal ini : a. Kepala Dinas Pariwisata (DIPARTA) b. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DEPERINDAG) 3. Asosiasi 6. Jenis Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer yang dihasilkan dari penelitian terjun ke lapangan yang diperoleh langsung dari masyarakat yang terkait dengan kerajinan perak, dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, yang terdiri dari : 1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta serta peraturan terkait di bawahnya dan
28
Loc.cit.
53
ketentuan-ketentuan
lain
yang
mempunyai
korelasi
dengan
permasalahan yang akan diteliti. 2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti buku-buku referensi, hasil-hasil penelitian, karya ilmiah yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk atau informasi, penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder seperti kamus bahasa, kamus ilmiah, surat kabar, media informasi dan komunikasi lainnya. 7. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah : 1. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data sekunder untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat ataupun temuan-temuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan sumber-sumber lain. 2. Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data secara langsung dari pihak terkait dengan permasalahan perlindungan hukum terhadap
karya
cipta
kerajinan
perak
untuk
memperoleh
dan
menghimpun data primer, atau data yang relevan dengan objek yang
54
akan diteliti, yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada responden secara lisan dan terstruktur dengan menggunakan alat pedoman wawancara. 8. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, karena pendekatan kualitatif merupakan cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis, atau lisan, dan perilaku nyata.29 Pendekatan
kualitatif
adalah
prosedur
penelitian
yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.30 Semua data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder yang telah diperoleh baik melalui wawancara maupun inventarisasi data tertulis yang ada, kemudian diolah dan disusun secara sistematis untuk dianalisa secara kualitatif. Sehingga dengan demikian analisis
ini
diharapkan
dapat
menghasilkan
kesimpulan
dengan
permasalahan dan tujuan penelitian yang dapat disampaikan dalam bentuk deskriptif.
29
Soerjono Soekanto, Op.cit., Hal. 32, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2004, Hal. 3. 30
55
G. Sistematika Penulisan Hasil dari penelitian yang telah diperoleh dan dianalisis akan disusun dengan sistematika penulisan yang erdiri dari 4 (Empat) bab, yang masingmasing bab dirinci lagi menjadi beberapa sub bab yaitu sebagai berikut : 1. Bagian Awal, berisi Halaman Judul, Halaman Persetujuan, Halaman Pengesahan, Halaman Pernyataan, Kata Pengantar, Daftar Isi, Daftar Lampiran, Abstrak. 2. Bagian Isi, terdiri dari : BAB I
: Pendahuluan, mencakup Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Pemikiran, Sistematika.
BAB II : Tinjauan Pustaka BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan : A. Hasil Penelitian B. Pembahasan BAB IV : Penutup : A. Kesimpulan B. Saran 3. Bagian Akhir, berisi Daftar Pustaka Dan Lampiran-Lampiran.
56
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Terhadap Hak Kekayaan Intelektual Pada Umumnya 1. Latar Belakang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sejak awal dasawarsa 80 HKI kian berkembang menjadi bahan percaturan yang sangat menarik. Dibidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan Internasional, HKI menjadi penting. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, komunikasi, industri dan transportasi pada akhir abad ini terasa semakin canggih dan cepat. Kondisi tersebut telah membawa pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hubungan antar bangsa dan negara serta perkembangan perdagangan dunia yang di dukung oleh kemajuan teknologi telah menjadikan perubahan dunia yang cukup besar dewasa ini. Jarak antar negara tidak lagi menjadi kendala dalam suatu transaksi perdagangan berkat kemajuan teknologi. HKI senantiasa terkait dengan persoalan perekonomian suatu negara. Pada negara-negara maju, kesadaran akan manfaat HKI dari sudut ekonomi telah tertanam dengan kuat. Beberapa studi ekonomi yang dilakukan di negara-negara maju membuktikan produk yang dilindungi dengan HKI mampu meningkatkan pendapatan nasional suatu negara serta menambah
57
angka angkatan kerja nasional.31 Manfaat ekonomi yang demikian besar dari HKI menjadikan suatu negara dapat peka terhadap pelanggaranpelanggaran hukum HKI oleh negara lain. Bahkan tidak mustahil akan timbul berbagai ketegangan dalam hubungan Internasional apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran semacam itu.32 Karya-karya dibidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra dilahirkan atau dihasilkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan memiliki nilai. Apalagi ditambah adanya manfaat yang dapat dinikmati dari sudut ilmu ekonomi karya-karya seperti itu memiliki nilai ekonomi. Karena adanya nilai, terutama ekonomi itulah kemudian timbul konsepsi kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual.33 Konsepsi kekayaan ini pada gilirannya mendorong kebutuhan mengenai pengamanannya. Dari segi ini pula kemudian timbul kepentingan
untuk
menambahkan
dan
mengembangkan
sistem
perlindungan hukum HKI tersebut. Prinsip utama pada HKI yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah (natural). Begitulah sistem hukum Romawi menyebutkannya sebagai cara 31
Eddy Damian, Op.cit, Hal. 2 ibid 33 Bambang Kesowo, Perlindungan Hukum Serta Langka-langkah Pembinaan Oleh Pemerintah dibidang Hak Milik Intelektual, makalah, Jakarta: 7 Agustus 1990 32
58
perolehan alamiah (natural acquisition) berbentuk spesifikasi yaitu melalui penciptaan. Pandangan demikian terus didukung dan dianut banyak sarjana mulai dari John Locke sampai kepada kaum sosialis. Sarjana-sarjana hukum Romawi menamakan apa yang diperoleh dibawah sistem masyarakat, ekonomi dan hukum yang berlaku sebagai perolehan sipil, dan dipahamkan bahwa asas cuique tribuene menjamin, bahwa benda yang diperoleh secara demikian adalah kepunyaan seseorang itu.34 HKI baru ada bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, di baca maupun di gunakan secara praktis. Menurut W.R. Cornish, milik intelektual melindungi pemakaian ide dan informasi yang mempunyai nilai komersil atau nilai ekonomi.35 David I Bainbridge mengatakan ”Intellectual Property” is the collective name gwen to legal rights which protect the product of the human intellect.36 The term intellectual property seem to be the best
34
Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993, Hal. 9 (lihat dalam buku Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Muhammad Radjab, cetakan ketiga, Jakarta: Bantara Karya Aksara, 1982, Hal. 118) 35 Paingot Rambe Manalu, Hukum Dagang Internasional Pengaruh Globalisasi Ekonomi terhadap Hukum Nasional, Khususnya Hukum HKI, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2000, Hal. 122 (lihat juga dalam W.R. Cornish, Intellectual Property, Edisi 2, London: Sweet & Maxwell, 1989, Hal. 5) 36 David I Bainbridge, Computers and The Law, London: Pitman Publishing, cetakan ke 1, 1990, Hal. 7 (Lihat dalam M. Djumhana & R. Jubaedillah, op.cit, hal.16)
59
available to cover that body of legal rights wich arise from mental and artistic endevour.37 Dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa HKI merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut bisa dibidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra.38 Pelindungan hukum terhadap HKI ini pada dasarnya berintikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan tersebut, dan hak untuk dalam waktu tertentu menikmati atau mengeksploitasi sendiri kekayaan tersebut. Selama kurun waktu tertentu itu, orang lain hanya dapat menikmati atau menggunakan atau mengeksploitasi hak tersebut atas ijin pemilik hak. Karena perlindungan dan pengakuan tersebut hanya diberikan khusus kepada orang yang memiliki kekayaan tersebut, maka sering dikatakan eksklusif sifatnya. Sebagai suatu hak milik yang timbul dari karya, karsa, cipta manusia atau dapat pula disebut sebagi hak atas kekayaan yang timbul karena atau lahir dari kemampuan intelektualitas manusia. Atas hasil kreasi tersebut, 37
John F. Williams, A Manager’s Guide To Patern, Trade Marks and Copyrights, London: Kogan Page, Cetakan Ke-1,1986, Hal. 11 (lihat dalam M. Djumhana dan R Djubaedillah, Ibid, hal. 16) 38 M. Djumhana dan R Djubaedillah, ibid, Hal. 16
60
dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkan. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluas-luasnya yang juga meliputi milik yang tidak berwujud.39 Sebagaimana
diketahui
bersama
dalam
tataran
wacana
di
masyarakat, kita menyaksikan ada dua hal perdebatan tentang HKI yaitu menerima atau menolak HKI sebagai sebuah fenomena budaya baru yang tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan kita. Bagi masyarakat yang menerima HKI, kita akan menemukan argumantasi yang sangat logis untuk tidak dapat menolak perlindungan HKI dalam kehidupan kita, berdasarkan asumsi-asumsi bahwa untuk mendapatkan HKI maka seseorang atau sekelompok orang (penemu) telah mengeluarkan tenaga, modal dan pikiran.40 Analisis yang berbeda menyebutkan bahwa HKI hanya sebuah akar dari “imperialisme dalam bentuk baru” yang dilakukan oleh negara-negara maju terhadap negara berkembang. Alasan ini sangat beralasan, bila kita memandang HKI dalam perspektif yang lebih luas yaitu analisa perkembangan sejarah ekonomi politik dunia. Analisa ini berdasarkan
39
M. Djumhana & R Djubaedillah, ibid, Hal. 17 (Lihat dalam buku Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum terjemahan M. Radjab, Cetakan ke-3, Jakarta : Bantara Karya Aksara, 1982, Hal. 118) 40 M. Sofyan, P, Latar Belakang Ekonomi Politik Terhadap Perlindungan Hukum HKI, Lembaga Kajian Hukum Teknologi, Fakultas Hukum UI, 2001
61
fakta sejarah bahwa kepentingan dagang selalu menjadi faktor utama dalam sejarah masyarakat dunia.41 Gambaran singkat diatas, kiranya menjadi jelas mengapa upaya untuk melindungi HKI menjadi hal yang penting bagi negara-negara di dunia ini. Perlindungan terhadap HKI sama pentingnya dengan perlindungan
kepentingan
ekonomi,
terutama
dalam
perdagangan
Internasional. Pertikaian HKI sudah tidak lagi menjadi masalah teknis hukum, tetapi juga merupakan pertikaian dagang.42 Seperti pertikaian antara Amerika Serikat dan RRC, pada awalnya bermula terutama dari sengketa di bidang hak cipta yaitu permintaan Amerika Serikat agar RRC dengan tegas memberi perlindungan terhadap komputer program. Ketidakpuasan Amerika Serikat terhadap sikap RRC yang dinilainya tidak sungguh-sungguh dalam masalah ini telah mendorong Amerika Serikat mengeluarkan ancaman sanksi berupa pencabutan preferensi dagang atas produk eksport RRC yang selama ini diberikan oleh Amerika Serikat. Ancaman yang bernilai kurang lebih US$ 200 juta/ tahun tersebut (yang dinikmati RRC karena pemberian status Most Fouvored Nation “ oleh Amerika Serikat, pada gilirannya telah menimbulkan ketegangan diantara kedua Negara.43
41
Ibid Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai HKI di Indonesia, Tanpa terbit, tanpa Tahun, Hal. 3-4 43 Ibid 42
62
Secara nasional, pertumbuhan, perkembangan, memperhatikan arti dan peran HKI dalam kehidupan ekonomi, serta kecenderungan yang terjadi dalam tatanan kehidupan antar bangsa di bidang perdagangan tidak dapat disanksikan lagi betapa perlunya perhatian dan perlindungan yang baik terhadap HKI ini. 2. Konvensi Internasional Mengenai HKI Berkembangnya perdagangan Internasional dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan perlindungan terhadap HKI yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad ke-19 perkembangan pengetahuan mengenai HKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarahnya dimulai dengan dibentuknya Uni Paris untuk perlindungan Internasional milik perindustrian pada tahun 1883. Selang beberapa tahun kemudian pada tahun 1886 dibentuk pula sebuah konvensi untuk perlindungan di bidang hak cipta yang dikenal dengan Internasional Convention for The Protection of Literary and Arsitics Works, yang ditandatangani di Bern.44 Pada awalnya kedua konvensi itu masing-masing membentuk union yang berbeda yaitu union internasional untuk perlindungan Hak Milik Perindustrian (The International Union for The Protection of Industrial Property), dan union Internasional untuk petlindungan Hak Cipta (International union for The Protection of Literary and Artistics Works). Meskipun terdapat dua union, tetapi 44
M. Jumhana & R. Djubaedillah, Op.cit, Hal. 11
63
pengurusan administrasinya dalam satu manajemen yang sama yaitu : United Biro for The Protection of Intellectual Property, yang dalam bahas Perancisnya Bivieaux International Reunis Pour La Protection de la Propriete Intellectuele (BIRPI). Perkembangan selanjutnya timbul keinginan agar terbentuk suatu organisasi dunia untuk HKI secara keseluruhan. Melalui konferensi Stockholm tahun 1967 telah diterima suatu konvensi khusus untuk pembentukan organisasi dunia untuk HKI (Convention Establishing The World Intellectual Property Organization/ selanjutnya disebut WIPO). WIPO sebagai organisasi dunia kemudian menjadi pengelola tunggal kedua konvensi tersebut.45 2.1. Konvensi Yang Mengatur Mengenai Hak Cipta Pengaturan Internasional mengenai hak cipta dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral atau berdasarkan perjanjian multilateral.46 Konvensi hak cipta dimulai dari Konvensi Bern 1886 di Bern, ibukota Switzerland, sepuluh kepala Negara Belgium, France, Germany, Great Britain, Haiti, Italy, Liberia, Spain, Switzerland, Tunisia (original members) menandatangani pendirian suatu organisasi Internasional di Bern Union yang bertujuan melindungai karya-karya cipta di bidang seni dan sastra. Bersamaan dengan pendirian organisasi Internasional ini ditandatangani juga suatu kesepakatan mengikatkan diri pada perjanjian Internasional yaitu, International Convention for The Protection of 45 46
Ibid, Hal. 11 Eddy Damian, Op.cit, Hal. 57
64
Literary and artistics works (selanjutnya di sebut Bern Convention). Kemudian diikuti tujuh Negara (Denmark, Japan, Luxemburg, Manaco, Montenegro, Norway, Sweden) yang menjadi peserta dengan cara aksesi menandatangani naskah asli Konvensi Bern. Konvensi Bern yang tergolong sebagai Law Making Treaty, terbuka bagi semua Negara yang belum menjadi anggota. Keikutsertaan sebagai negara anggota baru harus dilakukan dengan meratifikasinya dan menyerahkan ratifikasinya kepada Direktur Jenderal WIPO. 2.2. Persetujuan Tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs) 2.2.1. Umum Bertujuan untuk mengurangi gangguan dan halangan atas perdagangan
Internasional
dan
mengingat
perlunya
untuk
mempromosikan perlindungan yang efektif dan layak atas HKI. Serta untuk menjamin bahwa tindakan dan prosedur untuk memberlakukan hak milik intelektual itu sendiri tidak menjadi penghalang bagi perdagangan yang sah Dengan demikian TRIPs lahir dalam rangka persetujuan tentang pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO), pada persetujuan akhir Putaran Uruguay di Marakesh, Maroko tanggal 15
65
April 1994. Persetujuan ini dilampirkan sebagai lampiran C (Annex C) pada persetujuan akhir tersebut.47 Apabila dikaji isi lampiran C mengenai persetujuan akhir perundingan Marakesh yaitu tentang aspek-aspek dagang yang terkait dengan HKI (TRIPs) tujuannya adalah :48 1. Meningkatkan perlindungan terhadap HKI dari produk-produk yang diperdagangkan; 2. Menjamin prosedur pelaksanaan HKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan; 3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HKI; 4. Mengembangkan kerjasama
prinsip-prinsip
Internasional
untuk
aturan
dan
menangani
mekanisme kasus-kasus
perdagangan barang-barang hasil pemalsuan dan pembajakan. TRIPs sebagai persetujuan Internasional di bidang HKI pada dasarnya tidak terlepas dari persetujuan-persetujuan yang telah ada sebelumnya, seperti Paris Convention (1971) tentang perlindungan terhadap karya tulis dan seni, yang tertuang dalam akta paris dari Konvensi Paris tersebut tanggal 14 Juli 1971. Konvensi Roma yaitu 47
Understanding on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfect Goods (Persetujuan mengenai Aspek-aspek dagang yang terkait dengan HKI, termasuk perdagangan barang palsu). Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The World Trade Organization/ persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia, ibid, Hal. 18 48 Paingot Rambe Manalu, Op.cit, Hal. 167
66
konvensi Internasional mengenai Perlindungan terhadap pelaku pertunjukan, produser rekaman musik dan organisasi siaran yang disepakati di Roma tanggal 26 Oktober 1961. Selain itu, terdapat traktat HKI atas Integreted Circuits yang di kenal dengan IPIC Treaty yang disepakati di Washington 25 Mei 1989.49 Berlakunya TRIPs secara efektif dinyatakan tanggal 1 Januari 1995 dan bagi negara-negara berkembang diberi waktu masa peralihan selama lima tahun. Dengan demikian, bagi negara-negara berkembang akan berlaku 1 Januari 2001. 2.2.2. Isi TRIPs Apabila
kita
melihat
Annex
C
TRIPs
Agreements,
cakupannya cukup luas. Pengaturan aspek-aspek dagang HKI juga mencakup perdagangan barang-barang hasil pelanggaran HKI, pencegahan dan penyelesaian sengketa dan lain-lain. Jelasnya isi HKI dalam TRIPs dapat dikemukakan Bagian I Ketentuan-ketentuan Umum dan Prinsip-prinsip Dasar, Bagian II Standar-standar mengenai kegunaan, cakupan dan penggunaan HKI meliputi : Hak Cipta dan Hak-hak yang terkait (Copyright and Related Right), Merek dagang,(Trademark), Indikasi Geografis (geographical Indications), Desain Produk Industri (Industrial 49
Fidel s. Djaman, Beberapa Aspek dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik Intelektual (mengutip dari Charles Himawan: 1992), Jakarta: Varia Peradilan No. 106. 1994, Hal. 408
67
Design), Paten (Patent), Desain Layout Designs (Topografi) dari ringkasan elektronik terpadu (Lay-out Design Topography of Integrated
Circuits),
Perlindungan
terhadap
informasi
yang
dirahasiakan (Protection of Undisclosed Information), Pengendalian atas praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian lisensi (Control of Anti dumping Practies in Contractual Licences). Bagian III Penegakan HKI meliputi : Kewajiban Umum (General Obligation), Prosedur dan Penyelesaian Perdata serta Administratif (Civil and administration Prosedures and Remedies), tindakan sementara (Provisional Measures), Persyaratan khusus yang berkaitan dengan tindakan yang sifatnya tumpang tindih (Special Requirements Related to Border Measures), Prosedur pidana (Criminal Procedures). Bagian IV Akuisisi dan Pemeliharaan HKI dan Prosedur Internasional Practies yang berhubungan, Bagian V Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa (Dispute Prevention and Sattlement), Bagian VI
Pengaturan
Arrangements),
Peralihan Bagian
VII
atau
transisional
Pengaturan
(Transitional
Institusional
atau
kelembagaan: Ketentuan Penutup (Institutional Arrengements: Final Provisions).
68
2.2.3. Standar Pengaturan TRIPs Di dalam Pasal 1 ayat (2) TRIPs ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Istilah Intellectual Property adalah semua jenis HKI yang tunduk pada ketentuan BAB II bagian 1 sampai dengan bagian 7 (Part II section 1 to section 7) yaitu mengenai hak cipta (copyright), merek dagang (trademarks), paten (patent), Desain produk
industry
(Industrial
Design),
indikasi
geografis
(geographical Indication), Desain Layout (Topografi) dari ringkasan elektronik terpadu (Lay-out Design Topography of Integrated Circuits), Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (Protection of Undisclosed Information). 3. Hak Kekayaan Intelektual dalam Sistem Hukum di Indonesia 3.1. Sebelum TRIPs Perkembangan HKI di tanah air, sistem hukum intelectual property rights yang pertama kali diterjemahkan menjadi “Hak Milik Intelektual” dan kemudian diterjemahkan menjadi “Hak Kekayaan Intelektual” telah dimulai sejak masa penjajahan Belanda dengan disahkannya Octrooiwet No. 136 tahun 1911 Staatsblad No.313, yang diikuti pula oleh Industriel Eigendom Kolonien 1912 yang memberikan perlindungan kepada paten, merek dan desain. Pada tahun yang sama disahkan pula Auterswet 1912 Staatsblaad No. 600 tahun 1912 yang memberikan perlindungan kepada hak-hak pengarang.
69
Setelah Indonesia menjadi negara merdeka, pada tahun 1953 dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. JG 1/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 yang mengatur tentang pendaftaran sementara paten. Baru pada tahun 1982 Indonesia mempunyai Undangundang Hak Cipta adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987. Peraturan perundang-undangan terhadap paten baru ada pada tahun 1989 yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989, yang mulai diberlakukan tanggal 1 Agustus 1991. Ketentuan tentang merek diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang merek ini kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992. 3.2. Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Pasca TRIPs) Indonesia telah menyetujui pembentukan organisasi perdagangan dunia yang diadakan pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko yang kemudian pembentukannya itu disahkan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Estabilishing The World Trade Organization). Salah satu bagian dari pembentukan organisasi itu adalah persetujuan aspek-aspek dagang HKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade In Counterfiet Goods/ TRIPs).
70
Sebagai konsekwensi persetujuan aspek dibidang HKI ini maka Indonesia harus mengharmonisasikan sistem HKI yang dimilikinya dengan
sistem
HKI
yang
berlaku
secara
Internasional.
Mengharmonisasikan sistem HKI bukanlah berarti sistem HKI Indonesia harus sama sepenuhnya dengan negara lain tetapi yang disamakan atau diharmonisasikan adalah prinsip-prinsip dasar atau standar minimal sistem HKI yang sama yang diberlakukan dengan negara-negara lain dan harus diterapkan di tanah air. Adapun alasan pemerintah Indonesia untuk ikut bergabung dalam perjanjian-perjanjian Internasional tersebut adalah:50 1. Untuk menjamin terlaksananya sistem perdagangan Internasional yang tertib, adil dan berkelanjutan; 2. Untuk ikut menjaga terciptanya keseimbangan dalam perdagangan Internasional antar negara anggota perjanjian Internasional tersebut. Selanjutnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka tiap-tiap negara anggota membuat konsepsi tatanan dan perangkat hukum yang dimaksud adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan HKI. Peraturan di bidang HKI ini mengatur sekaligus memberikan perlindungan hukum terhadap karya-karya yang lahir dari kemampuan intelektual
50
Muhammad Yusuf, Masalah-masalah Baru di Bidang Hak Cipta & Trademarks di Australia, Laporan Pelaksanaan Pelatihan HKI, phase II tingkat Advance di Fakultas Hukum University of Technology, Sydney New South Wales Australia, Hal. 2
71
manusia dibidang seni (art), sastra (Literary Works), Ilmu pengetahuan dan teknologi.51 Indonesia sebagai negara berkembang tergolong baru dalam memberikan perlindungan terhadap pengembangan dan perlindungan hukum HKI jika dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti Inggris, Amerika dan Australia yang sudah sejak dulu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan dan perlindungan HKI. Perhatian tersebut dilakukan negara Indonesia karena didasarkan pada beberapa alasan, antara lain :52 1. Sebagai wujud rasa tanggungjawab sebagai negara yang telah ikut menyetujui dan menandatangani kesepakatan Internasional dibidang HKI; 2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan minat para ilmuwan atau pakar atau peneliti, seniman atau seniwati, musisi untuk mau menciptakan karya-karya yang lebih banyak dan lebih bermutu; 3. Sebagai upaya untuk menumbuhkan minat dan rasa percaya investor agar mau menanamkan modalnya, terutama dibidang usaha yang berhubungan dengan HKI di Indonesia; 4. Dalam mencapai tujuan-tujuan yang berhubungan dengan pengembangan HKI tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa usaha, antara lain : a. Membuat peraturan perundang-undangan dibidang HKI yang sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan dunia Internasional; b. Menyiapkan tenaga pendidik (pengajar) untuk melakukan sosialisasi HKI melalui jalur formal di Universitas atau perguruan tinggi; c. Menyiapkan tenaga penyuluh lainnya, seperti wartawan untuk memasyarakatkan HKI melalui jalur formal; d. Menyiapkan aparatur penegak hukum, mulai dari penyidik (Polri, Bea Cukai dan PPNS), jaksa, hingga hakim yang akan melaksanakan penegakan hukum HKI secara efektif dan konsisten.
51 52
Ibid, Hal. 2-3 Ibid
72
3.3. Setelah TRIPs Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tap MPR/II/MPR/1998 dijelaskan
bahwa
ratifikasi
terhadap
beberapa
konvensi-kovensi
Internasional maupun regional dibidang perdagangan dan industri telah mengarahkan kepada upaya-upaya untuk memberikan perlindungan secara lebih besar dan selanjutnya diikuti dengan pembentukan dan pembaharuan beberapa perangkat
hukum dalam rangka penyesuaian dengan
perkembangan Internasional sehingga peluang makin terbukanya pasar Internasional bagi produksi barang dan jasa dalam negeri serta upaya untuk berperan aktif bagi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerjasama Internasional dapat diwujudkan. Dalam kaitan ini perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan perlindungan hukum dibidang HKI tercermin dalam langkah-langkah negara-negara
mengadakan
perjanjian-perjanjian
dibidang
HKI.
Kebijaksanaan ini lebih penting lagi setelah adanya kebijakan berbagai negara khususnya negara berkembang untuk alih teknologi dari negaranegra maju.53 Dalam Penjelasan Undang-undang No.12 Tahun 1997 menjelaskan bahwa persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (GATT) yang merupakan perjanjian perdagangan multilateral pada dasarnya bertujuan 53
Cita Citrawinda Priapnca, Aspek-aspek Hukum Lisensi Paten, disampaikan pada seminar Nasional Sosialisasi Paten di Indonesia, Yogyakarta: 9 desember 1995
73
menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia. Dalam kerangka perjanjian multilateral tersebut, pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan GATT, perundingan yang dimulai sejak tahun 1986 di Punta de Este, Uruguay, yang dikenal dengan Putaran Uruguay, antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang HKI (TRIPs). Memuat normanorma dan standar perlindungan bagi karya intelektualitas manusia dan menempatkan perjanjian Internasional di bidang HKI sebagai dasar. Sebagai langkah konkret dalam implementasi penegakan dan perlindungan HKI, pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan beberapa Undang-undang, yaitu sebagai berikut : 1. Hak Cipta dan Hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta Sumber utama hukum HKI dibidang hak cipta adalah undangundang Nomor 6 Tahun 1982 kemudian disempurnakan pada tahun 1987 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, disempurnakan kembali pada tahun 1997 dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, atas pertimbangan pemberian perlindungan yang lebih maksimal dan menyesuaikan dengan apa yang tertuang dalam TRIPs. Pada tahun 2002 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-undang tunggal yaitu UUHC 2002, secara otomatis tiga undang-undang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi setelah berlakunya undang-undang ini.
74
Untuk mendukung dapat dilaksanakannya UUHC secara maksimal diperlukan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 Tentang Dewan Hak Cipta, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1989. Peraturan yang lain yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan. Peraturan ini pada dasarnya mengatur operasionalisasi ketentuan mengenai lisensi wajib dibidang hak cipta (Compulsory Licensing). Dalam rangka perlindungan hak cipta yang bersifat timbal balik dengan negara lain, terdapat Keppres Nomor 17 Tahun 1988 Tentang Ratifikasi Persetujuan Indonesia dengan Masyarakat Ekonomi Eropa. Tahun 1989 Tentang Ratifikasi antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan Keppres Nomor 38 Tahun 1993 Tentang Ratifikasi Persetujuan Perlindungan Hak Cipta antara Indonesia dengan Australia. Keppres Nomor 56 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Inggris mengenai Perjanjian Perlindungan Hak Cipta. Diadakannya perjanjian bilateral tersebut diatas karena adanya pernyataan tidak aktif dalam konvensi Bern (perjanjian Internasional dibidang Hak Cipta), diawal tahun 1960-an. Pernyataan tersebut dikeluarkan dalam
75
gelora semangat pembebasan Irian Jaya, yang penuh dengan nuansa politik.54 2. Hak Paten Sumber hukum atau pengaturan paten di Indonesia sudah ada sejak penjajahan Belanda yaitu dengan berlakunya Octrooiwet 1910 stb. Nomor 33, yang mulai berlaku sejak tahun 1912. Setelah Indonesia merdeka Undang-undang Octrooi ini dinyatakan tidak berlaku karena berlakunya tidak sesuai dengan suasana negara yang berdaulat. Hal yang sangat bertentangan dengan kedaulatan Indonesia adalah adanya ketentuan di dalam Undang-undang octrooi
tersebut bahwa
permohonan oktroi di wilayah Indonesia diajukan melalui kantor pembantu di Indonesia yang selanjutnya diteruskan ke Octrooiraad di negara Belanda.55 Pernyataan tidak berlakunya Undang-undang Oktroi ini tidak segera diikuti dengan
pembentukan Undang-undang paten baru.
Pengaturan selanjutnya dan guna menampung permintaan paten di dalam negeri dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.S 5/41/4 B.N tanggal 5 Agustus 1953 yaitu memberikan suatu upaya yang bersifat sementara. Selanjutnya untuk menampung permintaan paten 54
Paingot Rambe Manalu, Hukum Dagang Internasional; Pengaruh Globalisasi Ekonomii Terhadap Hukum Nasional, khususnya hukum HKI, op.cit, Hal. 241. Lihat Bambang Kesowo, Sambutan dalam Seminar HKI, diselenggarakan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia, di Hotel Borobudur Internasional Continental, Jakarta : 13-14 Oktober 1997 55 M. Djumhana & R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, op.cit, Hal. 8
76
luar negeri, dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.G. 1/2/17 B.N. 53-91 tanggal 29 Oktober 1953. Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997. Pada Tahun 2001 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undangundang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. Dalam pada itu telah pula dikeluarkan tiga peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1991 tentang Impor Bahan Baku atau Produk tertentu yang dilindungi paten bagi produksi obat di dalam negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1991 Tentang Pendaftaraan Khusus Konsultan Paten dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 Tentang Tata Cara Permintaan Paten. 3. Merek dan Indikasi Geografis Pengelolaan merek dalam sistem hukum Indonesia sudah berlangsung lama dibandingkan dengan jenis-jenis HKI lainnya. Pengelolaan itu dimulai sejak tahun 1912, dengan berlakunya Auteurswet 1912, stb. No. 600 Tahun 1912 dan kemudian dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 (LN. No. 290 Tahun 1961) Tentang Merek Peusahaan dan Merek Perniagaan, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 (LN. No. 81 Tahun 1992)
77
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Selain Undang-undang ini, terdapat pula dua peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tentang Kelas Barang dan Jasa bagi Pendaftaraan Merek. 4. Rahasia Dagang Sumber utama hukum HKI di bidang perlindungan terhadap Rahasia Dagang adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000. Dasar pertimbangan ditetapkannya Undang-undang ini, bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia) yang mencakup persetujuan TRIPs dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 (LN Tahun 1994 Nomor 57, TLN Nomor 3564) sehingga perlu diatur mengenai Rahasia Dagang. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 untuk membedakan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan memperhatikan definisi Rahasia Dagang dalam Pasal 1 angka (1) yang menyatakan : “Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang teknologi dan/ atau bisnis mempunyai nilai
78
ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.” Dengan
demikian
definisi
ini
dapat
mencakup
kegiatan
perlindungan tidak hanya Rahasia Dagang saja, tetapi juga mencakup (industrial), know-how dan Undang-undang ini hanya mengatur untuk tindakan yang berkaitan dengan persaingan curang (unfair competition) dan bukan unfair business practies sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1999. 5. Desain Industri Sumber utama hukum HKI dibidang perlindungan terhadap Desain Industri adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000, ditetapkannya undang-undang ini mengingat bahwa Indonesia telah mempunyai undangundang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang perindustrian (LN Tahun 1984 Nomor 22, TLN Nomor 3274) Dasar pertimbangannya bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia) yang mencakup persetujuan TRIPs dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 (LN Tahun 1994 Nomor 57, TLN Nomor 3564) sehingga perlu diatur mengenai Desain Industri. 6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
79
Sumber utama hukum HKI dibidang perlindungan terhadap Desain Industri adalah Undang-undang Nomor pertimbangannya
bahwa
Indonesia
32 Tahun
telah
2000, Dasar
meratifikasi
Agreement
Establishing The World Trade Organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia) yang mencakup persetujuan TRIPs dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 (LN Tahun 1994 Nomor 57, TLN Nomor 3564) sehingga perlu diatur mengenai Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. 7. Perlindungan Varietas Tanaman Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT adalah perlindungan khusus yang diberikan negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor Perlindungan Varietas, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Perlindungannya diatur
dalam
Undang-undang
Nomor
29
Tahun
2000
Tentang
Perlindungan Varietas Tanaman 3.4. Beberapa Konvensi Internasional Yang Telah diratifikasi Beberapa Konvensi Internasional yang telah mendapat pengesahan dari pemerintah Republik Indonesia yang secara otomatis mengikat dengan segala ketentuan didalamnya. Konvensi tersebut adalah sebagai berikut :
80
1. París Cinvention for The Protection of Industrial Property Organization on Establishing The World Intellectual Property Organization, disahkan melalui Keppres Nomor 15 Tahun 1997; 2. Patent Cooperation Treaty (PCT and Regulation Under The Patent Cooperation Treaty), disahkan melalui Keppres Nomor 16 Tahun 1997; 3. Trademark Law Treaty, disahkan melalui Keppres Nomor 17 Tahun 1997; 4. Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works, disahkan melalui Keppres Nomor 18 Tahun 1997; 5. World Intellectual Property Organization Copyright Treaty, disahkan melalui Keppres Nomor 19 Tahun 1997;
Apabila kita perhatikan apa yang termasuk dalam lingkup pengaturan HKI didalam TRIPs lebih luas pengaturannya dibanding pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hal demikian bukan berarti pengingkaran terhadap ketentuan TRIPs karena di dalam TRIPs sendiri pada pernyataan bersama di dalam konsideran (b) dinyatakan : “Members, recoqnizing to this end, the need to new rules and discipline concering the avaibility, scope and use of trade related intelectual property rights.” Dengan demikian, negara-negara anggota bebas membuat standar yang memadai tentang pengaturan HKI di negara masing-masing, sepanjang tidak menjadi hambatan dalam perdagangan multilateral.
81
C. Hak Cipta dan Pengaturannnya 1. Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta 1.1. Konvensi Bern 1886 Tentang Perlindungan Karya Sastra dan Seni Konvensi Bern 1886 pada garis besarnya memuat 3 (tiga) prinsip dasar, berupa sekumpulan ketentuan yang mengatur standar mínimum perlindungan hukum (mínimum standard of protection) yang diberikan kepada pencipta dan juga memuat sekumpulan ketentuan yang berlaku khusus bagi negara-negara berkembang.56 Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern, menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta, 3 (tiga) prinsip dasar yang dianut Konvensi Bern, yaitu:57 1. Prinsip National Treatment Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu ciptaan seorang warganegara negara peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warganegara sendiri;
56 57
Eddy Damian, op.cit, hal. 61 Ibid, Hal. 61
82
2. Prinsip Automatic Protection Suatu ciptaan eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam suatu bentuk yang berwujud yang dapat berupa buku. Dengan adanya wujud dari suatu ide, suatu ciptaan lahir. Ciptaan yang dilahirkan dapat diumumkan
(to make public/
openbaarmaken) dan dapat diumumkan. Suatu ciptaan yang tidak diumumkan, hak ciptanya ada pada pencipta. 3. Prinsip Independence of Protection Suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta. Mengenai pengaturan standar-standar mínimum perlindungan hukum ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan yang diberikan, pengaturannya adalah sebagai berikut : (1) Ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan dibidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni, dalam bentuk apapun perwujudannya; (2) Kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi (reservation), pembatasan (limitation) atau pengecualian (exeption), yang tergolong hak-hak eksklusif adalah : a. Hak untuk menerjemahkan; b. Hak mempertunjukan dimuka umum suatu ciptaan sastra, drama, musik dan ciptaan musik; c. Hak mendeklamasi (to recite) dimuka semua ciptaan sastra; d. Hak penyiaran (broadcast); e. Hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apapun; f. Hak menggunakan ciptaaannya sebagai bahan untuk ciptaan audio visual; g. Hak membuat aransemen (arrangements) dan adaptasi (adaptations) dari suatu ciptaan.
83
Selain itu pada hak-hak eksklusif ini di dalam Konvensi Bern juga mengatur apa yang dinamakan dengan hak moral (droit moral). Hak dimaksud ini adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta suatu ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaannya (any mutilation or deformation or other modification or other derogatory action), yang dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta (author’s honor or reputations).58 Hak-hak moral yang diberikan kepada seorang pencipta, menurut penulis mempunyai kedudukan yang sejajar dengan hak-hak ekonomi
(economic
rights)59
yang
dimiliki
pencipta
atas
ciptaaannya. Pengertian hak moral yang termuat dalam diagram diatas, ada sedikit perbedaan dalam soal arti hak moral dengan yang dikemukakan oleh seorang penulis lain dari Perancis : Desbois dalam bukunya, Le Droit d’auteur, 199660 berpendapat bahwa sebagai suatu doktrin, hak moral seorang pencipta mengandung 4 (empat) makna, yaitu :
58
Ibid, hal 62 Ibid, hal. 62 60 Ibid, hal.63, baca juga A. Komen, D.W.F. Verkade, hal. 76-78 59
84
(1) Droit de Publication yaitu hak-hak
melakukan atau tidak
melakukan pengumuman ciptaannya; (2) Droit de Repentier yaitu hak untuk melakukan perubahanperubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan; (3) Droit au Recpect yaitu hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain; (4) Droit a la Paternite yaitu hak untuk mencantumkan nama pencipta, hak untuk menyetujui perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan dan hak untuk mengumumkan sebagai pencipta setiap waktu diinginkan. Standar minimum yang berlaku mengenai jangka waktu berlakunya perlindungan hak cipta, Konvensi Bern menentukan sebagai ketentuan umum selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 50 (limapuluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Terhadap ciptaan yang tidak diketahui (anonymous) atau penciptanya memakai nama samaran (pseudonymous) atau pencipta merahasiakan jati dirinya, jangka waktu perlindungan hukum adalah 50 (limapuluh) tahun semenjak pengumumannya secara sah dilakukan, kecuali jika pencipta yang memakai nama samaran atau merahasiakan namanya diketahui identitas pribadinya, jangka waktu perlindungan diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum, yaitu selama hidup pencipta ditambah 50 (limapuluh) tahun setelah meninggal dunia. Selanjutnya perlindungan
Konvensi hukum
Bern
mengatur
ciptaan-ciptaan
jangka
waktu
audiovisual
85
(chinematographic), jangka waktu mínimum perlindungan hukum adalah 50 (limapuluh) tahun sejak ciptaan direkam dan dapat diperoleh oleh konsumen. Atau jika tidak direkam dan tidak dapat diperoleh konsumen perlindungan hukumnya adalah 50 (limapuluh) tahun semenjak diciptakan. Untuk ciptaan-ciptaan yang tergolong seni terapan dan fotografi, jangka waktu mínimum perlindungan diberikan adalah 25 (duapuluh lima) tahun sejak diciptakan. Konvensi ini telah mengalami beberapa kali revisi, yaitu Stockholm 1967 bagi negara-negara yang tergolong negara-negara berkembang Konvensi Bern memberikan kemudahan tertentu,61 dan terakhir di Paris pada tahun 1971 yang antara lain mengubah protokol Konvensi Bern dengan revisi Stockholm 1967 menjadi Appendix (tanpa perubahan). Menurut Appendix ini, negara-negara berkembang pada waktu
melakukan
ratifikasi
atau
aksesi
dapat
memperoleh
kemudahan-kemudahan tertentu yang merupakan faculties Open developing Countries
62
kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh
Appendix kepada negara-negara berkembang berupa : (1) Hak melakukan penerjemahan (Right of Translation) (2) Hak melakukan reproduksi (Right of Reproduction) 61 62
Ibid, hal. 65 Ibid, hal. 66
86
Setelah Perang Dunia II, muncul suatu gagasan yang ingin menyatukan suatu sistem hukum hak cipta yang universal. Gagasan ini timbul dari peserta Konvensi Bern dan Amerika Serikat di lain pihak. Dengan sponsor Perserikatan Bangsa-bangsa utamanya UNESCO, gagasan itu dicoba dikonkritkan dengan diadakannya suatu konvensi di Jenewa pada September 1952. Di kota Jenewa inilah maka ditandatangani sebuah konvensi baru yaitu konvensi universal mengenai hak cipta atau dikenal dengan Universal Copyright Convention (UCC).63 1.2. Konvensi Hak Cipta Universal 1955 Universal Copyright telah tercipta di Jenewa pada tanggal 6 September 1952. Konvensi ini mulai berlaku untuk negara-negara penandatangan, pada tanggal 16 September 1955 dilampirkan tiga protokol yaitu :64 (1) Mengenai perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarían; (2) Tentang berlakunya konvensi ini atas karya-karya daripada orang-orang Internasional tertentu; (3) Berkenaan dengan cara-cara untuk memungkinkan turut serta secara bersyarat.
63 64
M. Djumhana dan R. Djubaedillah, op.cit, 1993, hal. 12 Sudargo Gautama & Rizwanti Winata, op.cit, hal. 79
87
Konvensi ini merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO untuk menjembatani aliran-aliran yang terdapat di benua Eropa dan Amerika berkenaan dengan hak cipta.65 Secara ringkas, garis-garis besar ketentuan-ketentuan paling signifikan yang ditetapkan dalam konvensi hak cipta universal antara lain adalah berikut :66 1. Adequate and effective protection, menurut Pasal 1 konvensi setiap peserta perjanjian berkewajiban memberikan perlindungan hukum yang memadai dan efektif terhadap hak-hak pencipta dan pemegang hak cipta; 2. Duration of protection suatu kompromi lain yang amat penting dalam rangka mengakomodasi dua aliran falsafah yang saling berhadapan satu sama lain untuk perlindungan hukum, selama hidup pencipta ditambah paling sedikit 25 (duapuluh lima) tahun setelah kematian pencipta. 3. Universal Copyright Convention sebagai suatu perjanjian multilateral dibidang hak cipta telah menarik cukup banyak negara menjadi peserta Sampai sekarang, telah 25 negara meratifikasinya, walaupun masih lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara peserta Konvensi Bern. Universal Copyright Convention menjadi suatu konvensi yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi negaranegara berkembang, karena adanya beberapa kemudahan diantaranya tentang pengaturan standar mínimum dari hak-hak eksklusif yang 65 66
Ibid, hal. 79 Eddy Damian, Op.cit, hal. 68, lihat juga dalam Arpad Bogsch (II), Universal Copyright Convention, an analysis and commentary, RR. Bowker, 1958 dan Paul Goldstein (II), Copyright, Patent, Trademark and related state Document, Cases and Materials on The Law of Intellectual Property, Fourth Editions, The Foundation Press, 1997, op.cit, hal. 10021003
88
hanya memakai kriteria sederhana adequite and effective dan syaratsyarat jangka waktu mínimum perlindungan (mínimum duration of protection) yang pengaturannya sangat longgar.67 Hal demikian menimbulkan kekhawatiran negara-negara anggota Konvensi Bern pada waktu awal diadakannya Universal Copyright Convention, akan terjadinya pembelotan besar-besaran anggota-anggotanya. Selain itu timbul kekhawatiran dengan adanya aturan-aturan yang demikian longgar merupakan suatu setback atau retogresive step bagi perlindungan hak cipta. Kekhawatirankekhawatiran demikian tidak terbukti, sebaliknya telah terjadi kerjasama
yang
harmonis
antara
lembaga-lembaga
yang
mengadministrasikan kedua konvensi. Baik lembaga sekretariat maupun eksekutif kedua belah pihak mengadakan pertemuanpertemuan berkala yang tujuan akhirnya dimaksudkan untuk mengadakan merger yang akan menangani bersama pelaksanaan kedua konvensi tersebut.68 Realisasi kerjasama kedua konvensi, diperkenankannya negara anggota Universal Copyright Convention menjadi peserta Konvensi Roma 1961 tentang perlindungan hukum para artis pelaku (performers), produsen rekaman suara (producers of phonogram) dan lembaga penyiaran (broadcasting organization). 67 68
Ibid, hal. 71-71 Ibid, hal. 72
89
2. Sejarah Pengaturan Hak Cipta di Indonesia Sejak tahun 1886, negara-negara di kawasan Eropa Barat telah diberlakukan Konvensi Bern 1886 untuk perlindungan ciptaanciptaan dibidang seni dan sastra. Kecenderungan negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta konvensi ini, mendorong negara Belanda untuk memperbaharui Undang-undang hak ciptanya yang sudah tidak berlaku sejak 1886 dengan satu UUHC baru tanggal 1 Nopember 1912 bernama Auteurswet 1912. Tidak lama setelah pemberlakuan Undang-undang ini, Belanda mengikatkan diri pada tanggal 1 April 1913 pada Konvensi Bern 188669 dengan beberapa reservation. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda diikutsertakan pada konvensi ini sebagaimana diumumkan dalam Staatblad Nomor 325 tahun 1931. Konvensi Bern dengan revisi roma ini yang kemudian berlaku di Indonesia sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia Internasional yang berkenaan dengan hak cipta. 2.1. Auteurswet 1912 Pada masa penjajahan Belanda selama 3,5 abad, Indonesia sebagai koloni Belanda kedudukannya dalam hubungan Internasional dan pengatur hukum nasionalnya sebagai negara jajahan ditentukan 69
Konvensi Bern 1886 ini, dilengkapi di Paris pada 4 Mei 1896, kemudian diperbaharui di Berlin pada 13 Nopembver 1908, dilengkapi lagi di Berlin pada 10 Maret 1914, diperbaharui di Roma pada 2 Juni 1928 dan diperbaharui kembali di Brussel pada 26 Juni 1948 dan Stockholm pada 14 Juli 1967 terakhir direvisi 24 JUli 1971 di Paris
90
dan bergantung sepenuhnya kepada Belanda. Dengan demikian hukum positif hak cipta yang secara formal berlaku di Indonesia adalah Auteurswet 1912 (Wet van 23 September 1912, Staatblad 1912-6000), mulai berlaku 23 September 1912. Pada masa penjajahan Jepang selama 3,5 tahun, secara de facto Indonesia tidak mengenal hubungan Internasional sehingga dapat dikatakan tidak ada tempat bagi pelaksanaan dan pembinaan hak cipta di tingkat nasional maupun Internasional. Tahun 1944 berakhirnya masa penjajahan Jepang bersamaan dengan berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, disusul dengan proklamasi 17 Agustus 1945 yang secara formal merupakan juga pengakhiran berlakunya tertib hukum kolonial, dilanjutkan awal berlakunya tertib hukum nasional berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dengan empat Aturan Peralihan dan 1 Aturan Tambahan. Pasal II Aturan Peralihan menetapkan : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” Untuk menguatkan dan menjelaskan pelaksanaan Aturan Peralihan ini oleh presiden pada waktu itu dianggap perlu menetapkan peraturan presiden Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 yang kutipan ketentuan pertamanya berbunyi :
91
“Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undangundang Dasar” Pada masa berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-undang Dasar Sementara 1950 terdapat juga peraturanperaturan peralihan yang pada intinya mempunyai arti yang sama seperti dalam
Undang-undang Dasar 1945 yaitu Pasal 192
konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Pasal 142 Undangundang Dasar Sementara 1950. Oleh sebab itu Auteurswet 1912 melalui Aturan Peralihan yang terdapat dalam tiga macam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia secara Yuridis bagi pengaturan hak cipta di Indonesia walaupun merupakan salah satu produk hukum dari Pemerintahan Belanda, setelah lebih kurang 70 tahun baru Indonesia mempunyai UUHC Nasional yaitu diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982. 2.2. Hak Cipta Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 telah dicabut UUHC Belanda, yakni Auteurswet 1912, Staatblad Nomor 600 Tahun 1912 yang berlaku di Indonesia semenjak 75 tahun yang lalu. Dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982, pertama, dalam rangka pembangunan dibidang hukum sebagaimana dimaksud dalam Garis-
92
garis Besar Haluan Negara (Tap MPR Nomor IV/MPR/1978) serta untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan dibidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasaan kehidupan bangsa dalam wahana Negara Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UUHC; kedua, berdasarkan hak tersebut diatas maka pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Saatblad Nomor 600 tahun 1912 perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hukum nasional. Bersamaan dengan pencabutan Auteurswet 1912, oleh pemerintah dikemukakan 5 butir latar belakang dan beberapa pengertian umum yang digunakan sebagai dasar untuk mengganti Auteurswet 1912 dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1981 (Elucidation), yang perinciannya sebagai berikut : (a) Dalam rangka pembangunan dibidang hukum demi mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasik karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan, kecerdasaan kehidupan bangsa perlu untuk dibentuk Undang-undang tentang hak cipta. Auteurswet 1912 Staatblad Nomor 600 tahun 1912, perlu diganti karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hukum nasional; (b) Dalam Undang-unadang ini selain dimaksudkan unsur baru mengingat perkembangan teknologi, diletakkan juga unsur kepribadian bangsa Indonesia yang mengayomi baik kepentingan individu maupun masyarakat sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara kedua kepentingan termaksud. Walaupun dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982, ditentukan bahwa hak cipta adalah hak khusus tetapi sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, maka ia mempunyai fungsi hak ini dapat kiranya dilihat :
93
1. pada kemungkinan membatasi hak cipta demi kepentingan umum atau nasional diharuskan memberikan ganti rugi pada penciptanya; 2. Pada penyingkatan waktu berlakunya hak cipta dari 50 tahun menurut peraturan lama menjadi 25 tahun; 3. Dengan diberikannya hak cipta kepada negara atas benda budaya nasional. (c) Untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta, dalam Undang-undang ini diadakan ketentuanketentuan mengenai pendaftaran ciptaan. Pendaftaran ini tidak mutlak diharuskan, karena tanpa pendaftaranpun hak cipta dilindungi hanya mengenai ciptaan yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memerlukan waktu pembuktian hak ciptanya dari ciptaan yang didaftarkan. Dalam hal ini pengumuman pertama ciptaan diperlukan sama dengan pendaftaraan. Pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif, artinya bahwa semua permohonan pendaftaraan diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon kecuali jika sudah jelas ternyata ada pelanggaran hak cipta. Demikian dalam Undang-undang ini diatur sistem pendaftaran negatif deklaratrif, pada umumnya dalam hal terjadi sengketa kepada hakim diserahkan kewenangan untuk mengambil keputusan; (d) Dalam Undang-undang ini diatur pula tentang Dewan Hak Cipta yang mempunyai tujuan untuk penyuluhan serta bimbingan kepada pencipta mengenai hak cipta. Dewan hak cipta ini mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai wadah untuk melindungi ciptaan yang diciptakan oleh warga negara Indonesia menjadi penghubung antara dalam dan luar negeri, menjadi tempat bertanya serta merupakan badan yang memberi pertimbangan dalam negeri atau lain-lain instansi pemerintah. Dengan adanya Dewan hak cipta diharapkan agar kepentingan para pencipta akan lebih terjamin; (e) Prinsip dalam pemberian perlindungan hak cipta yang dianut dalam Undang-undang ini, ialah pemberian perlindungan kepada semua ciptaan warga negara Indonesia dengan tidak memandang tempat dimana ciptaan diumumkan untuk pertama kalinya. Ciptaan terhadap orang asing yang tidak diumumkan untuk pertama kalinya di Indonesia tidak dapat didaftarkan.
94
Berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 secara utuh artinya tanpa perubahan hanya kurang lebih 5 tahun. Pada 18 September 1987 isinya ada yang berubah atau dicabut dan diganti sebagian atau seluruhnya pasalnya oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan ataas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1987 Nomor 42. 3.3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Semenjak diubahnya pada tanggal 19 September 1987, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 (LN tahun 1987 Nomor 42) tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, dengan demikian secara yuridis berlaku di Indonesia selama kurang lebih 10 tahun (1987-1997) adalah : 1. Pasal-pasal Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 yang telah diganti atau ditambah dengan Pasal-pasal baru Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987; 2. Pasal-pasal baru dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 yang mengganti atau menambah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982, menjadi latar belakang dan apa yang dipakai sebagai pengertian umum dalam mengubah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982. Hal-hal ini dipaparkan dalam penjelasan
95
umum yang merupakan bagian inheren dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987. Sehingga dengan itu maka Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta telah disahkan. Perlindungan hukum yang telah diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap karya cipta seorang pencipta tetapi juga diharapkan bahwa perlindungan tersebut akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang hak cipta. Namun demikian didalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak cipta ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta. Pelanggaran terhadap hak cipta telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas dan saat ini telah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreatifitas untuk mencipta. Perkembangan kegiatan pelanggaraan hak cipta tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Rendahnya tingkat pemahaman akan arti dan fungsi hak cipta, sikap dan keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara mudah, ditambah dengan belum cukup terbinanya kesamaan pengertian, sikap dan tindakan aparat penegak hukum dalam menghadapi pelanggaran hak cipta.
96
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 secara umum bidang dan arah penyempurnaan tersebut adalah : (1) Ancaman pidana yang dinilai terlalu ringan dan kurang mampu menjadi penangkal terhadap pelanggaran hak cipta. Selain itu untuk efektifitas penindakan dipandang perlu menyesuaikan ancaman pidana penjara dengan ketentuan tentang penahanan dalam Pasal 21 KUHAP; (2) Pelanggaran hak cipta sebagai tindak pidana aduan diperlukan sebagai tindak pidana biasa. Dengan demikian penindakannya tidak lagi semata-mata pada adanya aduan; (3) Ciptaan atau barang yang terbukti merupakan hasil dari pelanggaran hak cipta dirampas untuk negara atau dimusnahkan; (4) Adanya hak pemegang hak cipta yang dirugikan karena pelanggaran untuk mengajukan gugatan perdata tanpa mengurangi hak negara untuk melakukan tindak pidana; (5) Penegasan tentang kewenangan hakim untuk memerintahkan penghentian kegiatan pembuatan, perbanyakan, pengedaran, penyiaran dan penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta sebelum putusan pengadilan; (6) Beberapa penyesuaian ketentuan baik berupa penghapusan maupun penambahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai misal, data antropologi seperti yang tercantum dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982. Pada dasarnya hal tersebut jelas bukan merupakan ciptaan manusia oleh karenanya memang tidak tepat untuk dikaitkan dengan pengaturan mengenai hak cipta. Sebaliknya program komputer (Computer Programs) yang merupakan bagian daripada perangkat lunak dalam sistem komputer pada dasarnya merupakan karya cipta di bidang ilmu pengetahuan merupakan hal yang perlu ditegaskan sebagai ciptaan yang layak diberikan perlindungan dalam hak cipta. Demikian juga seni batik, karya rekaman suara atau bunyi dan karya rekaman video sebagai karya cipta yang dilindungi; (7) Ketentuan tentang penerjemahan atau perbanyakan yang dikaitkan dengan kepentingan nasional, tetapi pelaksanaanya diserahkan pada inisiatif perorangan, telah pula menimbulkan berbagai ketidakjelasan. Kesan bahwa ketentuan tersebut pada hakikatnya merupakan pengambilan yang terselubung dan dilain pihak adanya kesan bahwa seakan-akan negara memberi kesempatan kepada warganya untuk mengambil keuntungan dengan cara yang kurang wajar atau dengan dalih kepentingan
97
nasional perlu segera diperbaiki. Dalam hubungan ini, apabila benar-benar negara memerlukan untuk sesuatu alasan atau kepentingan yang jelas, maka arah pengaturannya perlu dengan tegas dikaitkan dengan pembebanan kewajiban untuk menerjemahkan atau memperbanyak atau memberi ijin (lisensi) kepada pihak lain yang ditunju untuk melakukannya apabila yang bersangkutan tidak bersedia maka negara yang akan melaksanakannya; (8) Masalah jangka waktu perlindungan Jangka waktu perlindungan diberikan selama pencipta hidup dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta yang bersangkutan meninggal. Sekalipun jangka waktu tersebut diperpanjang hingga 50 tahun, tetapi hal ini tidak perlu diartikan bahwa tidak ada lagi batasan tentang fungsi sosial atas suatu hak milik seperti hak cipta ini. Batasan tersebut tetap ada dan bahkan secara efektif akan mudah dilaksanakan melalui mekanisme ”Compulsary licensing” yang sekarang diatur dalam Undangundang Nomor 7 tahun 1987. Dalam Undang-undang ini masih tetap memberikan sarana guna mewujudkan prinsip sosial yang harus melekat pada hak milik. Ketentuan seperti Pasal 13, 14 dan 17 memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk memanfaatkan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta sebagai hak milik. Perpanjangan waktu perlindungan hukum bagi hak cipta dibidang fotografi menjadi 25 tahun; (9) Masalah lingkup dan berlakunya UUHC khususnya yang menyangkut pemberian perlindungan hukum terhadap hak cipta asing, dilindungi dengan ketentuan : a. Diumumkan untuk pertama kalinya di Indonesia atau; b. Negara dari pemegang hak cipta asing yang bersangkutan mengadakan perjanjian bilateral mengenai perlindungan hak cipta dengan negara Republik Indonesia atau; c. Negara dari pemegang hak cipta asing yang bersangkutan ikut serta dalam perjanjian multilateral yang sama yang diikuti pula oleh Indonesia. Dengan demikian hal tersebut berarti pula memberikan jaminan perlindungan hak cipta warga negara Indonesia atau penduduk Indonesia atau badan hukum Indonesia terhadap pelanggaran di luar negeri.
98
Langkah penyempurnaan diatas memang baru menyangkut beberapa ketentuan dalam UUHC. Sudah barang tentu upaya untuk mencegah pelanggaran hak cipta masih dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya. Adanya penyuluhan hukum yang luas dan intensif untuk menyebarluaskan pemahaman kepada masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta, serta isi UUHC itu sendiri jelas sangat penting. Selain itu upaya untuk menyamakan pemahaman mengenai masalah hak cipta tersebut dikalangan aparat penegakan hukum juga sangat penting artinya. Sebab efektifitas penindakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta pada akhirnya juga sangat dipengaruhi oleh kesamaan pemahaman, sikap dan tindakan diantara aparat penegak hukum tersebut. Disamping itu, juga dipandang perlu pengangkatan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Departemen Kehakiman sebagai penyidik dalam rangka penanggulangan pelanggaran hak cipta, yang pelaksanaannya di dasarkan atas ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 3.4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Perubahan mendasar Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta sebagaiman telah diubah dengan Undangundang Nomor 7 Tahun 1987, diundangkan dalam Lembaran
99
Negara Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1997, menggunakan tiga pertimbangan adalah sebagai berikut : 1. Pemberian perlindungan hukum yang semakin efektif terhadap HKI, khususnya di bidang hak cipta perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil, makmur, maju dan mandiri berdasarkan pancasila dan UUD 1945; 2. Melaksanakan
kewajiban
untuk
menyesuaikan
peraturan
perundang-undangan nasional dibidang HKI termasuk hak cipta terhadap TRIPs; 3. Mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Undangundang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997. Kalau ketiga pertimbangan hukum Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 ini dibandingkan dengan pertimbangan hukum yang dipakai untuk mengubah Undang-undang Nomor 6 tahun 1982, tampak adanya perbedaan yang cukup mencolok mengenai alasan yang dipakai untuk diadakannya perubahan-perubahan. Pada pertimbangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 titik berat lebih banyak diletakkan pada aspek perlindungan hak
100
cipta terhadap pelanggaran hak cipta yang dianggap telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya dan minat untuk mencipta pada khususnya. Menjelang diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, negara-negara industri maju dengan dipelopori Amerika Serikat mendesak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dengan cara melakukan tekanan-tekanan politis dan ekonomis dalam usahanya memperoleh perlindungan hukum sebaik mungkin bagi produk-produk HKInya yang dipaparkan di negaranegara berkembang yang memerlukannya. Indonesia sebagai suatu negara berkembang termasuk sebagai negara-negara yang ditakuttakuti tidak akan diberi lagi fasilitas-fasilitas secara timbal balik oleh Amerika Serikat yang menjadi pelopor dikalangan negaranegara industri maju.70 Dengan demikian pertimbangan hukum yang digunakan bagi penyempurnaan dan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 jelas berbeda dengan yang digunakan untuk Undang-undang Nomor 12 Tahun 1987. Pertimbangan hukum yang digunakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 untuk mengubah Undangundang
Nomor
70
Sudargo Gautama, op.cit, Hal. 129
7
Tahun
1987
seperti
yang
dimuat
di
101
mukadimahnya,
salah
satu
diantaranya
adalah
disebabkan
keikutsertaan Indonesia dalam TRIPs yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia membawa akibat
timbulnya
kewajiban
untuk
menyesuaikan
peraturan
perundang-undangan nasional di Indonesia termasuk hak cipta. Berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 secara utuh artinya tanpa perubahan, hanya kurang lebih 4 tahun, pada tanggal 29 Juli 2002 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1987 Nomor 42 diganti dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. 3.5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang diundangkan pada tanggal 29 Juli 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 85 menggunakan 4 (empat) pertimbangan
hukum
yang
sekaligus
merupakan
tujuan
pengundangannya yang kutipannya yaitu sebagai berikut : a. Bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik, suku bangsa dan budaya serta kekayaan yang dibidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan
perlindungan
hak
cipta
terhadap
intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
kekayaan
102
b. Bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi atau perjanjian Internasional di bidang HKI pada umumnya dan hak cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya; c. Bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas; d. Bahwa
dengan
memperhatikan
pengalaman
dalam
melaksanakan UUHC yang ada dipandang perlu untuk menetapkan UUHC baru menggantikan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997. Latar belakang pertimbangan hukum diatas didasarkan karena
Indonesia
sebagai
negara
kepulauan
memiliki
keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal ini sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dibidang
perdagangan
dan
industri
yang
melibatkan
para
penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang
103
dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja tetapi juga bisa bangsa dan negara. Indonesia telah ikutserta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam WTO (persetujuan pembentukan organisasi pedagangan dunia) yang mencakup pula Agreement Establishing The World Trade Organization / TRIPs (persetujuan tentang aspek-aspek dagang Hak Kekayaan Intelektual) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works, disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun
1997
dan
World
Intellectual
Property
Rights
Organization/WIPO Copyright Treaty, disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Tiga UUHC yang telah ada sebelumnya, walaupun perubahan-perubahan yang dilakukan telah memuat beberapa penyesuaian Pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberikan perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu kita perlu menegaskan dan memanfaatkan kedudukan hak cipta di satu pihak dan hak terkait di
104
lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas. Secara umum bidang dan arah penyempurnaan tersebut memuat beberapa ketentuan baru antara lain mengenai : 1. Database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi; 2. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disk) melalui media audiovisual dan atau sarana telekomunikasi; 3. Penyelesaian sengketa oleh pengadilan, arbritase atau alternatif penyelesaian sengketa; 4. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak; 5. Batas waktu proses perkara perdata dibidang hak cipta dan hak terkait baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung; 6. Pencantuman hak informasi menajemem elektronik dan saran kontrol teknologi; 7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi; 8. Ancaman pidana terhadap hak terkait; 9. Ancaman pidana dan denda minimal; 10. Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
C. PRINSIP-PRINSIP DASAR HAK CIPTA TERHADAP KERAJINAN PERAK DALAM UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA Pada dasarnya negara-negara penganut Common Law Sistem dan Civil
Law
sistem
prinsip-prinsip
dasar
sama
dalam
pemberian
perlindungan hukum hak cipta lagu atau musik. Kedua sistem hukum ini pada analisis terakhir pemikiran teorinya mendasarkan pada penggunaan akal atau nalar sehingga hukum dianggap
105
sebagai karya akal, hanya saja perbedaannya bahwa negara-negara penganut common law sistem menggunakan akal melalui empirisme sedangkan negara-negara penganut civil law sistem menggunakan akal melalui perundang-undangan. Ini berarti ciri common law sistem terletak pada kaidah-kaidahnya yang bersifat konkrit yang sudah mengarah kepada penyelesaian suatu kasus tertentu dimana pengadilan memegang peranan yang utama (judge made law). Lain halnya dengan negara-negara civil law sistem yang membentuk kaidah-kaidah hukum secara sistematis doktrinal dan berdasarkan perundang-undangan yang merupakan produk kaidahkaidah badan legislatif negara.71 1. Prinsip-prinsip dasar Hak Cipta 1.1. Hak Cipta adalah Hak Khusus Ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 12
Tahun 1997, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan
menurut
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dimaksud dengan hak eksklusif menurut penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 adalah hak yang sematamata diperuntukan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak 71
Eddy Damian, op.cit, Hal. 98
106
lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.
Dalam
memperbanyak
pengertian
termasuk
mengumumkan
kegiatan
atau
menterjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan,
mengimpor,
memamerkan,
mempertunjukan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun. Hak cipta sebagai bagian dari hak milik yang abstrak (incopreal
property)
merupakan
penguasaan
atas
hasil
kemampuan kerja dari gagasan serta hasil pikiran. Perlindungan hak cipta mempunyai suatu batasan waktu tertentu, hak cipta akan
menjadi
milik
umum
setelah
habis
masa
perlindungannnya.72 Michael B. Smith dan Merrit R B Lakeslee mengemukakan hak cipta dapat pula diartikan ”Hak eksklusif yang diberikan pemerintah untuk jangka waktu tertentu kepada pencipta karya sastra atau seni seperti buku, peta, artikel, gambar, foto, komposisi musik, gambar hidup, rekaman atau program
72
M. Djumhana & R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual:Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, op.cit, Hal. 55
107
komputer. Program komputer dilindungi sebagai karya sastra dan kompilasi pangkalan data sebagai hasil ciptaan intelektual.”73 Istilah hak cipta di Indonesia untuk pertama kali diusulkan oleh Sultan Mohammad Syah pada kongres kebudayaan di Bandung Tahun 1952 sebagai pengganti istilah hak pengarang (Auteurs
Rechts)
yang
dianggap
kurang
luas
cakupan
pengertiannya.74 Menurut L.J. Taylor, hak cipta melindungi suatu ekspresi ide sedangkan, ide yang bisa diwujudkan belum dilindungi.75 1.2. Hak Cipta dapat Dialihkan Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan (Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002). Hak cipta beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagaian karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis dan sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Beralih atau dialihkannya hak cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi harus dilakukkan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta notaris. Dalam masalah pengalihan ini, dalam
73
Michael B Smith & Merrit R Blakeler, Bahasa Perdagangan, Bandung: Penerbit ITB Bandung, 1995, Hal. 47 74 O.K. Saidin, Aspek Hukum HKI, Op.cit, Hal. 34-35 75 M. Djumhana & R. Djubaedillah, Op.cit, hal.56
108
bahasa asing dikenal dua istilah yaitu : ”Transfer” dan ”Assigment”. Transfer mengaju pada pengalihan yang berupa atau berisikan pelepasan hak kepada pihak lain. Hal demikian dapat dalam bentuk atau karena pewarisan, hibah, wasiat ataupun karena perjanjian tertulis dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan assigment mengaju kepada pengalihan yang berupa atau berisikan pemberian izin untuk memanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Assigment umumnya berbentuk perjanjian lisensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. 1.3. Ciptaan-ciptaan Yang Dilindungi Hak Cipta UUHC telah merinci 14 (empatbelas) kelompok ciptaan sesuai dengan jenis dan sifat ciptaan, baik ciptaan-ciptaan yang tergolong tradisional dan baru. Seperti yang telah diterangkan dalam paragrap terdahulu, pada dasarnya yang dilindungi UUHC adalah pencipta yang atas inspirasinya menghasilkan setiap karya dalam bentuk yang khas
109
dan menunjukan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi pencipta. Dengan perkataan lain ciptaan harus mempunyai unsur refleksi pribadi (alter-ago) pencipta, seperti yang diungkapkan dari kata-kata mutiara dalam bahasa Inggris kuno oleh Lord Thomas Brown.76 ”Not pict from the leaves of any author, but bred amongst theweeds and tares of mine own brain.” Ketentuan Pasal 12 UUHC 2002 menetapkan ciptaanciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra mencakup : (1) Dalam Undang-Undang Hak Cipta ini, terdapat beberapa ketentuan ciptaan yang dilindungi yaitu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain, yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; 76
Eddy Damian, Op.cit, Hal. 132, dikutip dalam buku Leddie, Prescott and Victoria, The Modery Law of Copyroght, London, 1980,Butterworths, Hal. 234
110
g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Terhadap ciptaan-ciptaan yang tidak memperoleh perlindungan atas ciptaannya adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UUHC 2002 bahwa tidak ada hak cipta atas : a. b. c. d. e.
hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara; peraturan perundang-undangan; pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah; putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau keputusan badan arbritase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
1.4. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta terhadap Jenis-Jenis Ciptaan Hukum hak cipta dan juga hukum nasional tentang hak cipta pelbagai negara lain, biasanya mengatur secara jelas ciptaan-ciptaan
yang
dilindungi
dan
berapa
lama
masa
berlakunya perlindungan hukum yang diberikan terhadap suatu jenis ciptaan. Berdasarkan prinsip kedaulatan, setiap negara berhak untuk mengatur ciptaan-ciptaan yang berkembang didalam negaranya. Seperti telah disinggung diatas hukum hak cipta Indonesia berdasarkan Pasal 12 mengatur ciptaan-ciptaan
111
atau karya cipta yang sifatnya asli yang dapat dibedakan dengan karya cipta yang bersifat turunan atau derivatif. Menurut Pasal 29 ayat (1) UUHC 2002, untuk ciptaanciptaan yang tergolong derivatif (turunan), pengaturannya menurut Pasal 30 ayat (1) program komputer, sinematografi, fotografi, database dan karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Pasal 30 ayat (2) Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Pasal 30 ayat (3) Hak cipta atas ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini disertai Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Masa berlaku perlindungan hak cipta untuk ciptaan-ciptaan yang tergolong khusus, ketentuan Pasal 31 ayat (1) Hak cipta atas ciptaan
yang
dipegang
atau
dilaksanakan
oleh
negara
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu, dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama 50 tahun sejak ciptaan pertama kali diketahui umum, ayat (2) Hak cipta atas ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan Pasal 11 ayat (2) berlaku selama 50 tahun sejak ciptaan tersebut pertama kali diterbitkan.
112
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Traditional Knowledge 2.1. Pengertian Traditional Knowledge Istilah Traditional Knowledge dapat diterjemahkan sebagai
pengetahuan
tradisional.
Traditional
knowledge
merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik tingkat nasional maupun internasional. Traditional knowledge telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belun ada instrument hukum secara optimal terhadap traditional knowledge yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Disamping itu ditingkat internasional traditional
knowledge
belum
menjadi
suatu
kesepakatan
internasional untuk diberikan perlindungan hukum. WIPO menggunakan istilah traditional knowledge untuk menunjuk pada kesustraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan symbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah, kesustraaan atau artistik. Gagasan berbasis menunjuk pada sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi, umumnya berkaitan dengan wilayahnya, telah dikembangkan secara non
113
sistematis dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang berubah.77 Pendapat
lain
mengemukakan
bahwa
traditional
knowledge adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang digunakan secara turun temurun yang berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam.78 Sementara Henry Soelistyo Budi mengemukakan
bahwa
traditional
knowledge
adalah
pengetahuan yang status kedudukannya ataupun penggunaanya merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat.79 Sebenarnya traditional knowledge merupakan konsep kunci yang terdapat dalam Convention on Biological Diversity (CBD) khususnya dalam Pasal 8 (j) yang menekankan pentingnya peranan TK yaitu : “ …to encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilisation of such knowledge, innovation and practices.” Berdasarkan pada CBD, pengertian traditional knowledge adalah pengetahuan, inovasi dan praktek-praktek masyarakat asli 77
Intergovermental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTFK/IC/3/9, 20 Mei 2002, Hal. 11 78 Traditional Knowledge and Biological Diversity, UNEP/CBD/TKBD/1/2, Paragraf 85, 4 April 2003. 79 Henry Soelistyo Budi, Status Indigeneous Knowledge dan Traditional Knowledge dalam Sistem HKI, makalah dalam seminar Nasional Perlindungan HKI terhadap Inovasi Teknologi Tradisional di Bidang Obat, pangan & kerajinan , diselenggarakan oleh Kantoe Pengelolaan & Kerajinan Lembaga penelitian Unpad, Bandung, 18 Agustus 2001, Hal. 2
114
dan lokal yang mewujudkan gaya hidup tradisional, juga teknologi lokal dan asli. Dari pengertian tersebut, menurut substansi dan relasi traditional knowledge pada keanekaragaman hayati, traditional knowledge dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu : 1. Traditional
knowledge
yang
berkaitan
dengan
keanekaragaman hayati, misalnya obat-obatan tradisional; 2. Traditional know;edge yang berkaitan dengan seni. Pengertian traditional knowledge dapat dilihat secara lengkap dalam Article 8 (j) Traditional Knowledge, Innovations, and Practices Intriduction yang menyatakan :80 “Traditional Knowledge refers to the knowledge, innovation and practices of indigenous and local communities around the world. Developed from experience gained over the countries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the from of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals. Community laws, locsl language and agricultural practices, including the development of plant species and agricultural practices, including the development of plant species and animal breeds. Traditional knowledge is mainly of a practical nature, particularly in such fields as agriculture, fisheries, health, holticulture and foresty. (pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi dan praktik dari masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman melalui negaranegara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan, 80
Center for Inovation Law and Policy, “Traditional Knowledge researce”, Op.Cit
115
pengetahuan tradisional ditransimisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk cerita, lagu, folklor, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat, bahasa daerah dan praktik pertanian, mencakup pengembangan spesies tumbuhan dan keturunan binatang. Pengetahuan tradisional utamanya merupakan praktik alamiah secara khusus seperti dalam wilayah pertanian, perikanan, kesehatan, horticultural dan kehutanan).” Lingkup keterkaitan traditional knowledge dalam sistem hak cipta, diantaranya meliputi hal-hal mengenai folklor yang dapat berupa ekspresi cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian, nyanyian, kerajinan tangan, desain, cerita-cerita dan karya seni serta unsure-unsur bahasa, seperti : nama-nama. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara" dibawah UUHC. Dalam rancangan Peraturan Pemerintah tersebut yang dimaksud dengan folklor adalah segala ungkapan budaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komuniti atau masyarakat tradisional. Termasuk ke dalamnya adalah karya-karya kerajinan tangan. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut dimasukkan pokok mengenai perlindungan terhadap pemanfaatan oleh orang asing, di mana pihak pemanfaat itu harus lebih dahulu mendapat izin dari instansi pemerintah yang diberi kewenangan untuk itu, serta apabila perbanyakan dilakukan untuk tujuan komersial,
116
harus ada "keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi" dari karya folklor tersebut. Dalam draft Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai folklor tersebut yang disebut sebagai folklor dipilah ke dalam: 1. ekspresi verbal dan non-verbal dalam bentuk cerita rakyat, puisi rakyat, teka-teki, pepatah, peribahasa, pidato adat, ekspresi verbal dan non-verbal lainnya; 2. ekspresi lagu atau musik dengan atau tanpa lirik; 3. ekspresi dalam bentuk gerak seperti tarian tradisional, permainan, dan upacara adat; 4. karya kesenian dalam bentuk gambar, lukisan, ukiran, patung, keramik, terakota, mosaik, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan perhiasan, kerajinan anyam-anyaman, kerajinan sulam-sulaman, kerajinan tekstil, karpet, kostum adat, instrumen musik, dan karya arsitektur, kolase dan karyakarya lainnya yang berkaitan dengan folklor. 81 Pemakaian istilah folklor pada awalnya dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan sesuatu kreasi yang rendah. Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan suatu pengertian folklor yang baru sebagai 81
www.leapidea.com, diakses tanggal 24 Januari 2007
117
hasil elabolasi dan resultante dari beberapa pengertian yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional.
Dengan
harapan
seperti
itu
maka
folklor
mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal artistik dan kesustraan serta seni pertunjukan, namun sangat luas cakupannya meliputi semua aspek kebudayaan. Salah satu definisi yang dapat memenuhi harapan seperti itu, sebagaimana tertuang dalam pengertian folklore dibawah ini:82 “Folklore ( in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a group-oriented and tradition-based creation of groups or individuals reflecting the expectations of the community as an adequate expression of its cultural and social identity; its standards are transmitted orally, by imitation or by other means. Its forms include, among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicraft, architecture and other arts,” 2.2. Ruang lingkup Traditional Knowledge Lingkup atau kategori-kategori traditional knowledge mencakup
pengetahuan,
pertanian,
pengetahuan
ilmiah,
pengetahuan teknis, pengetahuan ekologis, pengetahuan medis (termasuk obat-obatan dan tindakan medis yang terkait), pengetahuan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, ekspresi, cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian, nyanyian, 82
Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektul Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung: 2006, Hal. 276-277
118
kerajinan tangan, desain, cerita-cerita dan karya seni, unsur-unsur bahasa seperti nama-nama, indikasi geografis dan simbol-simbol serta benda-benda budaya yang dapat bergerak. Tidak termasuk kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah, pengetahuan, kesustraan atau bidang artistik seperti fosil manusia, bahasa secara umum, warisan dalam pengertian luas. Sementara Carlos M. Correa berpendapat bahwa lingkup traditional knowledge terdiri dari informasi pada penggunaan biologi dan bahan-bahan lainnya bagi pengobatan medis dan pertanian, proses produksi, desain, literatur, musik, upacara adat dan teknik-teknik lainnya serta seni. Termasuk didalamnya informasi tentang fungsi dan karakter estetika yang proses dan produknya dapat digunakan pada pertanian dan industri, seperti nilai budaya yang tidak berwujud.83 Pada tahun 1982, United Nation Economic and Social Council (UNESCO) membentuk suatu Working Group on Indigeneous Population yang terfokus pada pembentukan standar-standar internasional mengenai hak-hak masyarakat asli. Masyarakat asli mempunyai hak untuk mempraktikan dan merevitalisasi tradisi budaya dan adat istiadat mereka. Hal ini 83
Carlos M. Correa, Traditional Knowledge and Intellectual Property Issues and Options Surrounding the Protection of Traditional Knowledge A Discussion Paper The Queker United Nations Office (QUNO), Geneva, 2002, Hal. 4
119
mencakup
hak
mengembangkan
untuk
mempertahankan,
manifestasi-manifestasi
melindungi, masa
lalu,
dan masa
sekarang dan masa depan budaya mereka, seperti situs arkeologis dan historis, artifak, desain, seremoni, teknologi dan seni, literatur visual dan performansi, juga hak pada restitrusi kekayaan budaya, intelektual, keagamaan dan spiritual yang diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat tersebut atau melanggar hukum dan adat istiadat mereka.84 3. Traditional Knowledge dan Hak Kekayaan Intelektual Permasalahan traditional knowledge merupakan aspek yang sangat penting diperjuangkan oleh negara-negara yang memiliki potensi di bidang ini untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun demikian, secara teoritis traditional knowledge sendiri sebenarnya sangat dimungkinkan untuk dilindungi. Ada dua mekanisme yang dapat dilakukan dalam kerangka memberi perlindungan traditional knowledge, yakni pertama, perlindungan dalam bentuk hukum dan perlindungan dalam bentuk non hukum.85 Bentuk perlindungan dalam bentuk hukum, yaitu upaya melindungi traditional knowledge melalui bentuk hukum yang mengikat, semisal : hukum HKI, peraturan-
84 85
Intergovernmental Committee, …., Op.cit, Hal. 34-35 WIPO, Intergovermental Committee on Intellectual Property and Genetic Resource Traditional Knowledge and Foklore, Survey on Exsiting From of Intellectual Property Protection for Traditional Knowledge Prepered by the Secretariat.
120
peraturan yang mengatur masalah sumber genetika, khususnya pengetahuan tradisional, kontrak dan hukum adat. Perlindungan traditional knowledge melalui rezim HKI dimaksudkan untuk melindungi hak hasil penciptaan intelektual. Tujuan dari upaya ini adalah : 1. Mendorong penciptaan karya-karya intelektual baru (misal pada hukum hak cipta, paten dan merek); 2. Adanya keterbukaan karya-karya intelektual baru (didasarkan pada hukum paten dan desain industri) 3. Mefasilitasi ketertiban pasar melalui penghapusan kebingungan (kebijakan yang didasarkan pada hukum merek dan indikasi geografis) dan tindakan unfair competation; 4. Melindungi ketertutupan informasi dari pengguna yang tidak beritikad baik. Kedua, perlindungan dalam bentuk non hukum, yaitu perlindungan yang diberikan kepada traditional knowledge yang sifatnya tidak mengikat, meliputi code of conduct yang diadopsi melalui internasional, pemerintah dan organisasi non pemerintah, masyarakat profesional dan sektor swasta. Perlindungan
lainnya
meliputi
kompilasi
pendaftaran dan database dari traditional knowledge.
penemuan,
121
Dalam konteks perlindungan hukum traditional knowledge dalam bentuk hukum HKI terutama rezim hukum paten merupakan salah satu instrumen yang dapat dimanfaatkan dalam upaya memberikan
perlindungan hukum bagi traditional knowledge.
Ditingkat Internasional perdebatan mengenai perlindungan traditional knowledge lebih cenderung mengarah kepada perlindungan dari segi HKI, khususnya paten. Instrumen paten ini dapat dipergunakan untuk kepemilikan
dan
pengawasan
traditional
knowledge
yang
dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Disamping itu, banyak lagi instrumen hukum yang dapat digunakan seperti the Convention on Biological Diversity (CBD), Convention on International Trade of Endangered
Species
(CTIES),
Declaration
of
Chiang
Mai,
Declaration of Belem, Trademarkes, trade secret, geographical indications, plant variety protection. Melihat kepada arti penting perlindungan hukum terhadap traditional knowledge bagi Indonesia, hal ini jelas memiliki nilai yang sangat strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi dan social. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa dengan adanya perlindungan terhadap traditional knowledge, maka pelestarian budaya bangsa akan tercapai. Saat ini bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budaya baik dari sisi seni, obat-obatan dan lain sebagainya. Kalau diidentifikasikan berapa banyak jumlah traditional knowledge yang dimiliki bangsa Indonesia rasanya tidak dapat
122
memastikan beerapa jumlahnya. Sebagai contoh DIY terkenal dengan seni batik, pewayangan, anyaman, tarian, kerajinan perak dan sebagainya. Madura terkenal dengan tarian madura, cerita-cerita kerajaannya dan ilmu pengobatannya. Dari segi sosial, jelas dengan perlindungan terhadap traditional knowledge, maka pelestarian nilai-nilai sosial juga akan terjaga dan terpelihara. Karena dengan ini, maka pemerintah tidak lagi mengesampingkan
traditional
knowledge
yang
dimiliki
oleh
masyarakat Indonesia. Bahkan pemerintah akan dipacu untuk terus melakukan identifikasi terhadap keberadaan traditional knowledge yang ada di Indonesia. Dari segi ekonomi, bahwa dengan dilakukan perlindungan terhadap traditional knowledge maka nilai ekonomi yang akan dihasilkan dari traditional knowledge akan memiliki nilai tambah dalam hal devisa Negara dapat ditingkatkan. Hal ini menjadi logis mengingat selama ini secara konvensional tetapi belum dikembangkan sehingga menjadi sesuatu yang sangat bernilai. Berdasarkan pada nilai strategis ini, seharusnya pemerintah Indonesia tidak lamban dalam mensikapi persolan ini. Bagaimana jika dicermati perangakat perundang-undangan yang menatur masalah traditional
knowledge,
khususnya
dalam
rezim
HKI
kurang
terperhatikan baik dalam tataran normatif maupun law enforcement. Dalam tataran normatif seperti diketahui perlindungan traditional knowledge baru diatur dalam penjelasan Pasal 10 UUHC 2002 : dalam
123
rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersial tanpa seizin Negara Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Disisi lain, perlindungan hukum lainnya dari rezim HKI dalam bidang traditional knowledge dapat dilakukan melalui rezim hukum paten, merek dan informasi rahasia. Untuk ketiga aspek ini rezim hukum paten, merek dan informasi rahasia masih sulit untuk diterapkan mengingat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh traditional knowledge tidak terpenuhi, disamping aturan normatif juga belum memformulasikannya secara tegas dalam rumusan pasal-pasal.
4. Faktor Ekonomi dalam Perlindungan Hak Cipta yang Berkaitan dengan Kerajinan Perak Salah satu aspek hak khusus pada HKI adalah hak ekonomi (ekonomic right). Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual. Dikatakan hak ekonomi karena HKI adalah benda yang dapat dinilai dengan uang. Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri HKI atau karena penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Hak ekonomi itu diperhitungkan
124
karena HKI dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan. Suatu hasil kreasi dari kerajinan perak yang merupakan kreasi intelektual para pengrajin mempunyai aspek ekonomis yang tinggi untuk itu hasil dari kreasi pengrajin tersebut perlu mendapatkan perlindungan. Seperti dalam pasal 2 UUHC 2002 pada prinsipnya menyatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah ciptaan itu dilahirkan tanpa
mengurangi
pembatasan
menurut
ketentuan
peraturaan
perundang-undangan. 5. Sejarah Kerajinan dan Jenis-jenis Kerajinan 5.1. Sejarah Kerajinan Kerajinan di Indonesia dibuat dengan gaya dan dari berbagai bahan. Secara umum, masyarakat di Indonesia memiliki bakat artistik dan mengekspresikan diri melalui kanvas, kayu, logam, tembikar, dan batu. Seniman Indonesia menciptakan beberapa ukiran kayu yang terbaik di dunia. Lukisan dengan bermacam-macam aliran dan gaya, tradisional dan modern, dapat ditemukan di seluruh penjuru negeri. Kerajinan perak dan ukiran di Yogyakarta dan Sumatra serta anyaman logam dari Sulawesi dikenal luas di seluruh Indonesia. Proses pembuatan batik dengan lilin dan pewarna
125
yang diciptakan di Jawa berabad-abad lampau serta desain klasiknya telah dimodifikasi dengan gaya modern, baik pola dan teknologi pembuatannya. Di Jawa terdapat beberapa pusat pembuatan batik Yogyakarta (pusat batik terbesar), Surakarta, Pekalongan, dan Cirebon. Batik juga diproduksi di Bali dengan memasukkan desain setempat. Seniman di Sumatra Barat dan Kalimantan menciptakan kain tenun tangan dengan benang emas, perak, sutra, dan katun dalam jalinan desain yang rumit. Di Pulau Sumba dan Flores dapat ditemukan kain tenun ikat tradisional dan benangnya yang dicelup warna-warni dengan tangan.86 Indonesia yang kaya akan kesenian dan kebudayaan seperti yang dicontohkan diatas membutuhkan suatu kreasi dari pengrajin untuk membuat suatu karya. Dalam hal ini suatu kerajinan berhubungan dengan desain industri dan hak cipta. Desain industri masuk pertama kali di Indonesia pada tahun 1970-an, pada masa itu Indonesia sendiri basis industrinya adalah industri kerajinan (craft based on industries). Industri-industri berbasis kerajinan inilah desain diperkenalkan seperti contohnya perabotan rumah tangga dari rotan atau bambu. Oleh karena itu
86
www.my-indonesia.info, diakses tahun 2007
126
desain industri pada masa itu sebagian besar didasarkan pada kria atau kerajinan dari desain interior.87 Baru pada dekade 80-an, desain industri Indonesia telah mengalami masa transisi menuju teknologi yang berorientasi desain dari desain berbasis kerajinan dengan mengembangkan industri berbasis teknologi modern. Berbeda dengan di negara-negara industri, desain industri sangat berperan pada sektor industri manufaktur, sedangkan apabila kita berbicara mengenai desain industri Indonesia, maka tidak akan terlepas dari sektor industri kerajinan karena di Indonesia desain industri tidak hanya industri manufaktur tetapi juga industri kerajinan, fenomena ini terjadi di negara-negara berkembang. Kehidupan kerajinan di Indonesia yang berawal dari kegiatan sehari-hari masyarakat tradisional agraris, tumbuh dari: - Lingkungan kehidupan dan kebudayaan tradisional agraris; - Lingkungan fisik geografis dan sumber daya alam yang ada disekitar kehidupan yang bersangkutan
87
Rizki Adiwilangga, Pendayagunaan Desain Produk Industri dan Rahasia Dagang Bagi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat di DIY, makalah Seminar Nasional “Implementasi Undang-undang Desain Industri, Rahasia Dagang, DTLST, Yogyakarta: 4 Oktober 2000, Hal. 5
127
Untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan masyarakat sendiri, karena itu produk kerajinan memiliki sifat-sifat yang spesifik baik dalam mutu, seni dan teknologi maupun daya gunanya. Kalau industri kerajinan Indonesia ingin memasuki pasaran dunia masa kini yang sifatnya global industrial, maka diperlukan beberapa penyesuaian dalam segi mutu dan daya gunanya yang terdiri atas : a. Aspek teknologi produksi dan bahan-bahan; b. Aspek health and safety (kesehatan dan keselamatan pengguna); c. Aspek durability of material and construction (kesehatan bahan dan konstruksi) dari produknya; d. Aspek standar of quality (standar dari kualitas) dari produknya
sendiri
yang
mampu
mendukung
fungsi
opersionalnya, fungsi thematis estetisnya, transportasi dan distribusinya selain aspek ketepatan waktu pengiriman; e. Aspek perlindungan hukum terhadap daya cipta seni atau desain. 5.2. Jenis-jenis Kerajinan Produk-produk kria atau kerajinan di Indonesia dibagi atas 4 (empat) kategori yaitu: a. Kria atau kerajianan Tradisional
128
Produk-produk kria atau kerajinan tradisional dianggap mewakili kebudayaan masyarakat (people’s culture) yang telah secara berkelanjutan diwariskan dari waktu ke waktu dan mencerminkan tradisi, etnis, sejarah, keyakinan agama, kebiasaan dan iklim di berbagai wilayah. Produk-produknya berupa wayang kulit, peralatan rumah tangga dan sebagainya; b. Kria atau kerajinan Modern Produk-produknya merupakan gabungan dari elemeneklemen yang umum dengan produk kria atau kerajinan tradisional. Produk-produk kria atau kerajinan modern terutama berbeda karena produk tersebut dibuat untuk penggunaan sehari-hari dengan mempertimbangkan gaya hidup modern dan lingkungan pasar global. Produkproduknya termasuk mainan kayu, perabot rumah tangga yang terbuat dari bambu, keramik dan kayu; c. Souvenir Produk-produknya terbuat untuk memenuhi kebutuhan souvenir bagi turis mancanegara dan dibuatnya berdasarkan tradisi Indonesia etnik, budaya yang diekspresikan dalam bermacam-macam bentuk. Seperti topeng, wayang, batik atau ikat alat musik bambu atau kayu; d.
Lain-lain
129
Produk-produknya lahir karena latar belakang ekonomi dibanding latar belakang tradisional. Misal, ongkos buruh yang murah, produk-produknya dibuat berdasarkan kontrak atau sub-kontrak dan semua produknya hasil penjiplakan dari produk-produk negara-negara industri. Produk-produknya berupa tas, sepatu, ikat pinggang dan sebagainya.
130
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN B. Hasil Penelitian 1. Implementasi UUHC 2002 Dikalangan Pengrajin di Bidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 1.1. Profil Kotagede Yogyakarta Kotagede adalah sejarah, budaya, dan perak. Hal itu bisa terlihat dari jejak peninggalan yang ada saat ini, seperti misteri sejarah Kerajaan Mataram Islam, dengan situs-situs cagar budaya seperti masjid makam, Watu Gilang Geteng, Cepuri, Jagang. Peninggalan seni pertunjukan seperti karawitan, ketoprak, wayang tingklung, dan sholawatan, belum lagi dengan kekayaan kerajinan perak, gerakan sosial kemasyarakatan, kekhasan lingkungan sekitar, hingga makanan tradisional yang memang unik. Kota ini menjadi penting karena merupakan ibu kota Kerajaan Mataram yang pertama, dengan raja pertama Panembahan Senopati. Panembahan Senopati menerima kawasan yang waktu itu masih berupa hutan yang sering disebut Alas Mentaok dari Sultan Pajang, Raja Kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kotagede menjadi ibukota hingga tahun 1640 karena raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung memindahkannya ke Desa Kerto, Plered, Bantul. Upaya konservasi situs-situs cagar budaya yang agaknya selain makin sempitnya lahan juga makin terancam keasliannya, juga terhadap nasib para pengrajin perak, yang produknya
131
bukan hanya terkenal di dalam negeri tapi juga luar negeri, kini mulai tergusur akibat mahalnya bahan baku dan rendahnya apresiasi terhadap hak cipta mereka. Sejumlah masalah yang berhasil dikumpulkan, misalnya kurangnya dukungan amenitas atau kenyamanan wisata, daya dukung lahan yang sempit, situs-situs yang rawan kerusakan karena terlalu terbuka, penggantian elemen arsitektural asli dengan yang baru seperti terjadi dengan penggantian elemen Masjid Makam Kotagede, juga terhadap Jagang dan Rumah Kalang, termasuk soal kepemilikan cagar budaya yang dimiliki secara individu masyarakat. Bangunan-bangunan tua yang terdapat di Kotagede merupakan saksi sejarah pernah adanya kerajaan mataram islam, dilokasi ini juga terdapat Kompleks pemakaman Keluarga Kerajaan Kotagede atau yang biasa disebut Makam Sapto Renggono.88 Selain lokasi kota kuno yang terdapat di sini adalah banyaknya cinderamata Perak bakar yang dibuat langsung oleh pengrajin disana. Dan kita pun dapat melihat langsung cara pembuatan perak bakar oleh pengrajinnya. Yang sangat identik dan unik dari Kotagede adalah banyaknya pengrajin perak bakar disekitar Kotagede yang menyandarkan hidupnya hanya dari Kerajinan perak bakar ini, dan yang paling menarik adalah pekerjaan ini adalah turun menurun karena dahulu kala pemenuhan 88
http://alambudaya.blogspot.com/2007/10/kota-gedhe.html
132
perhiasan dan perlengkapan lainnya untuk kebutuhan Sultan, keluarga dan Kerajaan. Sehingga pekerjaan pengrajin perak merupakan wasiat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, sehingga sekarang dapat kita lihat banyaknya pengrajin dan toko perak bakar yang terdapat dipinggiran jalan Kotagede. Ciri khas lainnya yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah pekerjaan barang perak yang dikerjakan secara manual, sehingga barang perak yang terdapat dan dijual disini memiliki nilai jual seni yang tinggi. Karena dari jaman dahulu para pengrajin perak ini mengandalkan ketrampilan tangan, yang dimulai dari lempengan perak yang ditempa secara perlahan dan dikerjakan secara teliti. Keberadaan pengrajin perak muncul seiring dengan lahirnya Mataram, juga tak luput dari peran Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang masuk ke Yogyakarta sekitar abad ke-16 silam. Waktu itu, banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga, dan kuningan ke penduduk setempat. Ibu kota memang dipindah dari Kotagede ke Plered, tapi itu tidak membuat para pengrajin ikut-ikutan pindah. Mereka yang biasanya melayani kebutuhan raja itu tetap mempertahankan dan menjalankan usahanya dengan menjualnya ke masyarakat umum. Kotagede tak bisa dipungkiri lagi telah menjadi sentra kerajinan perak terbesar di Indonesia, melebihi Bali, Lombok dan Kendari. Beragam kerajinan perak yang diolah menjadi beragam bentuk lewat beragam cara
133
dihasilkan dari tempat yang berlokasi 10 km dari pusat kota Yogyakarta. Sejak tahun 70an, kerajinan perak produksi Kotagede telah diminati wisatawan mancanegara, baik yang berbentuk perhiasan, peralatan rumah tangga ataupun aksesoris penghias. Upaya pengenalan Kotagede di Kota Yogyakarta sendiri, termasuk pembangunan citra Kotagede secara terus-menerus sehingga mampu menjadi simbol pariwisata DIY. Pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta juga harus berkunjung ke Kotagede. Kedua adalah bagaimana upaya mendatangkan wisatawan ke sana. Yang terakhir ini sangat terkait dengan apa yang bisa dilakukan oleh para pihak terkait untuk pemasaran dan promosi Kotagede, misalnya bagaimana media promosi mulai internet, billboard di Kota Yogyakarta, media massa, penerbangan, travel, perwakilan Indonesia di luar negeri dan lainnya yang dirancang dan dipelihara dengan baik, termasuk bagaimana menciptakan promosi lintassektor. Selain itu, perlu diperjuangkan pmberian insentif atau kemudahan atau bentuk lain dalam membantu para pengrajin perak. Sangat perlu dipikirkan, misalnya bagaimana agar ketersediaan bahan baku murah bisa diakses oleh para pengrajin, pemberikan kredit, termasuk solusi pemasaran mereka. Dengan begitu, Kotagede bisa berkilau kembali, seperti kilaunya emas dan perak.89
89
Sumber: http://203.130.242.190//artikel/47101.shtml
134
Potensi budaya yang terdapat dalam kawasan cagar budaya Kota gede dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut : 1. Potensi Kerajinan Kehidupan masyarakat Kota gede sampai saat ini tetap mempertahankan perekonomian di bidang nonagraris yang merupakan bagian kehidupan istana, seperti kerajinan, pertukangan, perdagangan dan usaha sejenis. Salah satu industri kerajinan yang berkembang adalah kerajinan perak. Sejak tahun 1930 Kotagede dikenal sebagai pusat industri kerajinan perak di Yogyakarta. Industri kerajinan perak ini menyebar ke berbagai daerah lainnya. Bahkan daerah yang dahulu merupakan daerah buruh sekarang sudah tumbuh menjadi daerah kerajinan. Seperti daerah Basen. Selain kerajinan perak juga terdapat kerajinan emas, alumunium, kuningan, kulit dan tembaga secara lengkap kerajinan lain yang berkembang antara lain : a. kerajinan emas ; jenis produk yang dihasilkan berupa perhiasan (giwang, gelang dan kalung). Kadar emas yang digunakan sekitar 85%. Tidak terdapat rancangan atau motif khas pada produk yang dihasilkan. Kerajinan ini mengalami kesulitan adalah keterbatasan modal serta kesulitan pemasaran. b. Kerajinan alumunium ; jenis produk yang dihasilkan berupa peralatan rumah tangga (ketel, baskom, basi) dan perhiasan rumah (miniatur meriam, dan lain-lain). Bahan dasar diperoleh dari surabaya atau semarang sedangkan pemasarannnya terutama ke daerah Magelang.
135
Kerajinan alumunium
ini merupakan satu-satunya yang tersisa di
kelurahan Jagalan. Kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan modal dan tenaga pengrajin serta adanya persaingan harga di pasaran. c. Kerajinan kuningan ; jenis produk yang dihasilkan berupa alat-alat rumah tangga dan hiasan dinding. Bahan baku diperoleh dari pasar Beringharjo. Pemasaran hanya mencakup sekitar daerah Kotagede. Kemampuan produksi kerajinan ini rata-rata sebanyak 20 buah perminggu. Kendala utama yang dihadapi adalah kurangnya tenaga yang mempunyai keahlian dibidang kerajian kuningan. d. Kerajinan perak ; jenis produk yang dihasilkan berupa perhiasan rumah, perlengkapan makan (coffe/ tea set) dan cinderamata. rancangan atau motif produk sesuai permintaan pasar, objek pemasaran yaitu turis-turis asing sedangkan daerah pemasaran yaitu Bali, Semarang, Jakarta dan Surabaya. Pemasaran dilakukan dengan memasok di toko-toko cinderamata atau penjualan langsung diruang pamer masing-masing pengrajin. Para pengrajin terwadahi dalam suatu organisasi yaitu KP3Y (Kelompok Pengusaha Pengrajin Perak Yogyakarta). Kendala yang dihadapi pengrajin ketidakstabilan harga baku yang berpengaruh pada biaya produksi. e. Kerajinan kulit ; jenis produksi berupa tas, dompet dan ikat pinggang motif mengikuti permintaan pasar. Bahan baku kulit yang sudah di samak yang didatangkan dari jawa timur. Kemampuan menciptakan kreasi baru sangat menentukan keberhasilan pemasaran. Orientasi
136
utama pemasaran yaitu untuk ekspor, sedangkan orientasi pasar domestik yaitu Bali. Tingkat penjualan terutama dipengaruhi oleh jumlah kedatangan turis asing, kerajinan ini merupakan usaha padat karya dengan produksi rata-rata 50 buah perminggu. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya fasilitas komunikasi untuk melakukan transaksi di luar daerah, tidak adanya perlindungan hak paten untuk kreasi yang menciptakan serta terbatasnya promosi produk kerajinan kulit bagi pengrajin bermodal kecil. f. Kerajinan Tembaga;
Kerajinan tembaga pada awalnya merupakan
usah kerajinan yang paling dominan dan tertua. Kerajinan ini sudah berkembang lebih dari seratus tahun yang lalu dan merupakan cikal bakal nama dusun Sayangan tetapi saat ini seolah tenggelam oleh menjamurnya kerajinan perak. Beberapa usaha kerajinan tembaga masih terdapat di dusun Celenan, Sayangan, Jagalan, Citran, dan Bodon. Para pengrajin tembaga ini memperoleh keahlian secara non formal dan masih menggunakan peralatan tradisional. Proses penyepuhan dilakukan oleh pihak lain. Kapasitas produksi sebanyak 10 buah per hari dengan hasil produksi berupa wadah perlengkapan alat kecantikan, cinderamata, serta badge keraton. Usaha kerajinan tembaga ini pernah mendapat perhatian khusus dari Dinas Sosial dengan pemberian bantuan pengembangan modal sebesar 75.000,00 tiap pengrajin. Kendala yang dihadapi terutama pada bidang
137
pemasaran, permodalan, dan adanya lembaga yang mengayomi industri kerajinan ini. 2. Potensi Peninggalan Sejarah Kotagede dikenal sebagai kota bersejarah karena merupakan kota bekas ibukota kerajaan Mataram Islam. Dalam perkembangannya kemudian Kotagede tetap bertahan sebagai kota dan tidak mengalami kemunduran menjadi desa. Para pewaris Kerajaan Mataram tetap menghormati Kotagede begitu juga masyarakat Kotagede dan masyarakat Yogyakarta, karena di kawasan ini terdapat kompleks makam raja-raja Mataram dan Masjid besar. Kotagede kemudian dikenal sebagai daerah tujuan ziarah. Peninggalan sejarah berupa bangunan kuno seperti rumah-rumah tradisional, masjid, makam, dan artefak di Kotagede antara lain sebagai berikut : • Wringin Sepuh
Melewati pintu masuk pertama kompleks masjid dan makam dari jalan besar, di kiri dan kanan jalan masuk terdapat bangsal berupa bangunan terbuka tempat pendatang beristirahat. Di sebelah selatan, tidak jauh dari bangsal tersebut terdapat pohon beringin rindang yang dinamakan Wringin Sepuh yang artinya beringin tua. • Dhondongan
Dhondongan berarti tempat dhondong. Disebut demikian karena sebelum memasuki gapura paduraksa, terdapat rumah-rumah hunian di kanan dan
138
kiri jalan masuk komplek masjid dan makam Kotagede. Rumah-rumah hunian tersebut merupakan tempat tinggal para dhondhong bersama keluarganya. Mereka menjadi juru doa bagi pendatang yang ingin berziarah. Menurut cerita rakyat, dhondhong ini pada mulanya merupakan keturunan Nyai Brintik yang dahulu pembawa kayu bahan beduk untuk masjid dari Dusun Dhondhong, Kulon Progo menuju Kotagede. Dhondongan ini berjumlah 4 unit dengan gaya khas bangunan Kotagede. Kondisi rumah masih terpelihara dengan baik. • Gapura Paduraksa
Gapura Padurakasa merupakan pintu gerbang masuk halaman masjid yang berada di sebelah timur. Atap pintu gerbang ini bertingkat lima, yang semakin ke puncak semakin kecil, terbuat dari batu bata. Pada bagian atas gapura, dari depan nampak hiasan kala sederhana di tengah-tengah yang berasosiasi pada bangunan-bangunan Hindu. Samping kiri dan kanan gapura berhubungan dengan tembok keliling yang mengelilingi masjid dan makam Kotagede. Gapura dan tembok keliling yang telah mengalami perbaikan mempunyai ciri-ciri dari masa sebelum Islam, seperti gapura di Bali. Di sebelah barat pintu gerbang terdapat kelir (disebut juga renteng atau wrana) yang dibuat dari batu bata. Kelir tersebut dibuat di sisi selatan merapat pada tembok pagar. Pada kelir ini terdapat hiasan dalam pigura bujur sangkar dan pada sudut-sudut terdapat pigura berbentuk antefix. Di sebelah barat kelir terdapat halaman kompleks masjid dan makam Kotagede. Pada halaman ini terdapat tugu yang berbentuk seperti candi,
139
terbuat dari batu bata. Pada tubuh tugu terdapat hiasan berbentuk bintang bersudut sembilan. Lis mahkota dihias dengan antefix terbalik, sedang sudut-sudutnya diberi antefix berhiaskan bentuk ikal. Di atas atap yang bertingkat sembilan juga terdapat lis mahkota. Pada puncaknya terdapat hiasan mahkota raja Mataram. Di kompleks masjid terdapat beberapa bangunan beratapkan limasan. Pada dinding benteng sisi utara terdapat pintu gerbang dengan bentuk paduraksa. Pintu gerbang ini merupakan pintu gerbang ketiga. • Sendang Saliran
Pada halaman masjid menuju ke selatan terdapat pintu gerbang dengan kelir yang disebut renteng atau wrana. Di dalam halaman ini terdapat empat buah sendang bernama sendang Saliran. Disebut saliran karena airnya berasal dari makam (badan = salira) Panembahan Senapati. Pembuatan kolam ini ditandai dengan sangkalan (tahun Hijriah) bebunyi Toya salira sembah jalmi (= 1284 H = 1867 AD). Di dalam Sendang Saliran ini terdapat dua buah kolam mandi pria dan lainnya untuk wanita. Di dalam kolam pemandian wanita terdapat sengkalan memet (kronogram) dengan gambar seseorang yang sedang mengendarai kuda dan membawa terompet, yang bernilai angka tahun 1796 AJ = 1867 AD. Di dalam kolam juga terdapat ikan lele dan kura– kura berwarna putih kekuning-kuningan. Kura-kura tersebut diberi nama Kyai Duda, Kyai Joko dan Mbok Rara Kuning. • Makam
140
Di halaman makam terdapat lima buah bangunan, antara lain bangunan Prabayaksa, bangsal Witana, Tajug, dan Peleburan. Dari lima bangunan tersebut yang terbesar adalah Prabayaksa. Di luar bangunan Prabayaksa terdapat empat batu nisan berjajar dari barat ke timur, masing-masing adalah makam Nyai Secawira, Nyai Gandarasa, Nyai Wirakarta Mangir, dan sebuah nisan yang separuh masuk dalam bangunan dan separuh lainnya di luar yaitu makam Ki Ageng Mangir Wanabaya, menantu Panembahan Senapati. • Masjid Mataram Kotagede
Masjid Mataram Kotagede sekarang masih berdiri dan sekarang makin terawat sejak rehabilitasi yang di lakukan Dinas Kebudayaan Propinsi DIY pada tahun 2002, 2003, & 2004. Masjid ini selain ramai oleh aktivitas keagamaan masyarakat sekitar juga ramai oleh para peziarah pada hari – hari tertentu. • Makam Hastarengga
Menurut penuturan KRT Hastonokoesoemo, seorang abdi dalem juru kunci yang bertugas di makam Hastarengga, pada mulanya tempat tersebut merupakan milik perseorangan yang tidak menarik untuk dihuni. Tanah tersebut masih merupakan tanah luas yang ditumbuhi rerumputan dan disebut siti sangar atau tanah yang menyeramkan sehingga tidak seorangpun yang berani menempati. Banyak orang mengira bahwa sekitar tempat di dusun Dalem tersebut adalah bekas lokasi kraton mataram.
141
Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1940) mempunyai gagasan untuk membuat makam bagi keturunannya agar, jika makam Imagiri telah penuh, keluarganya dapat dimakamkan bersamanya. Untuk itulah kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII merencanakan membangun sebuah makam di Kotagede dengan membeli tanah di Dalem yang dikenal penduduk dengan sebutan siti sangar tersebut. Selanjutnya gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII itu dilaksanakan pembuatannya oleh KRT.S. Purbodiningrat. Makam Hastarengga dikelilingi pagar tembok yang membentuk segi empat dengan gerbang rangkap di sebelah timur berbentuk paduraksa dengan atap bersusun tiga dan dua daun pintu terbuat dari kayu. Di tengah bagian atas pada pintu gerbang sisi sebelah timur atau depan terdapat relief ganeca bermahkota dalam sikap duduk. Keluarga atau keturunan Sri Sultan yang tidak disemayamkan di Astana Imogiri akan dimakamkan di Hastarengga. Makam yang dilindungi oleh sebuah bangunan adalah makam putri-putri Sultan beserta suami atau isterinya selama mereka masih menjadi menantunya. Apabila menantu Sultan ini kawin lagi setelah putera keturunan sultan wafat (dan dengan demikian bukan lagi menjadi putera menantu) mereka tidak berhak dimakamkan di Hastarengga. • Rumah Kalang
Rumah Kalang banyak tersebar di daerah Jagalan merupakan rumah para pengusaha perak dan sekaligus dipergunakan sebagai toko perak. Rumah
142
ini bergaya campuran antara rumah jawa dan rumah indhies. Rumahrumah ini sebagian besar masih terawat dengan bagus. • Benteng Mataram
Pada zamannya, di sisi benteng keraton terdapat jagang atau semacam parit dalam. Jagang njero berada di sisi dalam benteng, sementara jagang njaba pada sisi luarnya. Kedua jagang ini selain berfungsi untuk menyalurkan air dari dalam menuju ke luar keraton, juga berfungsi sebagai penghambat masuknya musuh ke dalam keraton. Saat ini hanya sebagian dari bekas benteng dan jagang keraton tersebut yang dapat disaksikan orang • Watu Gateng dan Watu Gilang
Di sebelah selatan kompleks masjid dan makam Kotagede, terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Dalem. Di kampung ini terdapat bangunan kecil yang di dalamnya terdapat tiga buah batu bulat, bewarna kuning keemasan yang disebut Watu Gathèng dan sebuah batu persegi empat bernama Watu Gilang. Kondisi peninggalan ini cukup terawat namun masih perlu beberapa pembenahan Menurut cerita Watu Gathèng adalah alat permainan Raden Rangga, putera Panembahan Senopati, yang sepeninggalnya dimakamkan di Gambiran. Di samping Watu Gateng adalah Watu Gilang. Di bidang tepi Watu Gilang ini terdapat cekungan sebesar dahi orang dewasa. Menurut cerita, cekungan itu berasal dari bekas benturan kepala Ki Ageng Mangir
143
Wanabaya yang dihempaskan oleh Panembahan Senapati saat Ki Ageng Mangir akan ujung (menyembah) Senapati yang juga mertua sekaligus musuhnya. Dahi Ki Ageng Mangir Wanabaya tepat mengenai Watu Gilang sehingga membekaskan cekungan dahinya. Senapati mengangkat Mangir menjadi menantu untuk memadamkan pemberontakannya. Oleh karena itu separuh nisan Ki Ageng Mangir di makam
Kotagede
berada
di
sisi
luar
dinding
(melambangkan
kedudukannya sebagai musuh Panembahan Senapati), dan separuhnya lagi berada di dalam bangunan (melambangkan statusnya sebagai anak menantu). Peninggalan Sejarah Mataram lainnya, meliputi: Pohon Mentaok, Gedong Pusaka, Makam, Nyai Melati, Rumah Tradisional di Kampung Pondongan, Kampung Kudusan, Kampung Joyopranan, Kampung Purbaya, Kampung Sokowaten, Kampung Kampung Bumen, Kampung Basen, Between Two Gates, jagang. 3. Potensi Makanan Tradisional Selain kaya akan industri kerajinan yang menjadi mata pencaharian mayoritas penduduknya, sebagian masyarakat Kotagede juga mengembangkan industri makanan tradisional seperti kipo, yangko, nagasari, srabi, dan makanan tradisional lain yang memiliki rasa khas. • Kipo; Merupakan makanan khas masyarakat desa Jagalan. Terbuat dari
bahan dasar gandum dan di dalamnya diisi dengan gula kelapa. Makan ini dikatagorikan sebagai makanan ‘jajanan’.
144
• Legomoro; Dahulunya makan ini dikatagorikan sebagai makan khusus
untuk upacara-upacara tertentu bagai masyarakat desa Jagalan tetapi sekarang sudah diperjualbelikan sebagai makanan ‘Jajanan’ khas Kotagede. Bentuk makan ini menyerupai lemper dengan pembungkus daun pisang dan diikat oleh tali bambu. Legomoro mempunyai arti perlambang, bahwa orang yang datang pada upacara tersebut harus datang dengan hati ikhlas/rela. Makan ini biasanya digunakan sebagai sajian waktu upacara adat meminang.90 Tabel 1. Potensi Budaya yang Terdapat di Kotagede No
Potensi Kerajinan
Potensi Peninggalan Sejarah
1 Kerajinan Emas Wringin Sepuh 2 Kerajinan Alumunium Dhondhongan 3 Kerajinan Kuningan Gapura Pasukrasa 4 Kerajinan Perak Sendang Saliran 5 Kerajinan Kulit Makam 6 Kerajinan Tembaga Masjid Mataram Kotagede 7 Makam Hastanegara 8 Rumah Kalang 9 Benteng Mataram 10 Watu Geteng dan Watu Gilang Sumber : www.disbudpar-diy.go.id
Potensi Makanan Tradisional Kipo Legomoro Yangko Nagasari Srabi -
Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai potensi logam yang cukup menonjol misalnya saja Kerajinan Perak, Kerajinan Tembaga, Kerajinan Kuningan dan logam hias lainnya. Kerajinan perak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kota Yogyakarta dan kerajinan perak ini telah lahir sejak zaman berdirinya Kasultanan Yogyakarta. Hal
90
www.disbudpar-diy.go.id
145
tersebut mendorong terkenalnya kota Yogyakarta selain sebagai Kota Pelajar, Kota Wisata juga disebut Kota Perak. Kerajinan ini memiliki nilai budaya daerah yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jenis ornament yang diukir di atas barang tersebut dan memiliki kekhasan budaya Yogyakarta. Sisi lain yang menarik adalah karena proses pengerjaannya sebagian besar masih menggunakan peralatan tradisional namun justru memiliki nilai keindahan dan nilai seni yang tinggi. Dewasa ini desain kerajinan perak sudah berkembang bukan hanya motif klasik tetapi juga sudah banyak motif modern. Menurut data yang ada sampai saat ini produsen kerajinan perak dengan skala kecil dan menengah tidak kurang dari 300.91 Kelompok pengrajin perak Mandaya Salaka di Desa Pampang Paliyan di Gunungkidul ini berdiri sejak 1998. Berbekal pengalaman kerja di Yogyakarta pada industri yang sama kemudian membentuk kelompok pengrajin perak. Berbagai jenis kerajinan perak mampu dihasilkan seperti cincin, bros, gelang, kalung hingga candi. Harganya bervariasi tergantung dari jenis, banyaknya bahan baku yang digunakan dan ongkos pembuatan. Hasil kerajinan perak ini sudah dipasarkan ke berbagai daerah bahkan juga sampai ke luar negeri karena diminati wisatawan mancanegara seperti Singapura, Australia, Filipina dan para wisman yang berkunjung ke Yogyakarta. Terlebih menjelang lebaran datang para pengrajin ini harus menyediakan stok yang cukup banyak. Karena telah menjadi langganan 91
www.jogja.com.
146
bagi para perantau yang akan pulang kampung. Bencana gempa yang terjadi beberapa waktu yang lalu tak berpengaruh terhadap proses produksi. Para kelompok pengrajin ini juga mendapat kesempatan untuk memperoleh pelatihan di Kalimantan dari Dinas Perekonomian Propinsi. Sebanyak 5 perwakilan pengrajin mengikuti pembelajaran keterampilan membuat kerajinan perak jenis baru seperti kalung dan cincin yang dibuat dari batu. Hingga saat ini kelima perwakilan yang telah kembali baru melakukan pelatihan ke pengrajin agar juga memiliki kemampuan yang sama. Lima perwakilan pengrajin yang memperoleh keterampilan kini sedang melatih anggota kelompok ini. Setelah semua mempunyai keahlian baru kita akan produksi serta menentukan harga untuk produk jenis baru tersebut.92 1.1.2. Profil Pengrajin Perak Kotagede Yogyakarta a. TIN’s SILVER
Wilayah Kecamatan Bangutapan Bantul terutama yang berdekatan dengan Kotagede Kota Yogyakarta merupakan sentra industri kerajinan Perak. Kotagede secara turun-temurun terkenal di seluruh dunia sebagai sentra kerajinan perak sehingga
92
Kedaulatan online, tanggal 26 september 2006
147
mempengaruhi warga wilayah sekitarnya terjun di bidang kerajinan Perak. Narti warga Babatan Baru Jl. Rajawali Gg Ontoseno No. 5 A Banguntapan Bantul, tahun 2000 mulai berkecimpung dalam kerajinan perak. Pengetahuannya tentang kerajinan perak didapat dari Resyanto suaminya. Resyanto seorang pengrajin perak, kemampuannya didapat dari orang tuanya yang juga seorang pengrajin perak dan kuningan. Pasangan suami Narti tersebut membuka showroom dirumahnya, dengan nama TIN's Silver. TIN's Silver memproduksi berbagai jenis souvenir dan asesoris berbahan perak dan kuningan diantaranya cincin, liontin, gelang, tempat perhiasan, pisau surat, dan sejenisnya. Bahan baku kerajinannya yakni perak, plated dan kuningan diambil dari Gondomanan Yogyakarta dan Jawa Timur. TIN's Silver ini merekrut 6 tenaga tetap dan 10 tenaga harian mampu memproduksi 5000 pcs souvenir dan asesoris per bulannya, omzet per bulannya mencapai Rp. 10 juta. Untuk memasarkan produk-produknya Tin’s Silver mengikuti pameranpameran diantaranya di Benteng Vredeburg, Jakarta, Semarang dan Surabaya. Produk TIN's Silver telah menembus kota-kota besar Indonesia antara lain Yogyakarta, Bali, Bandung dan Surabaya. Akhir tahun 2004 diberi kesempatan oleh Pemerintah Kabupaten
148
Bantul untuk outlet di Pasar Seni Gabusan menempati Los. 15 Kav. 25. 93 b. CAHAYA SILVER Cahaya Silver merupakan kelompok dari pengrajin perak Kotagede yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober 2003, tetapi para anggotanya telah secara individu mampu menyuplai toko-toko besar yang berada di Kotagede dan daerah-daerah lainnya. Oleh karena itu Cahaya Silver yang para anggotanya adalah pengrajin/produsen sendiri ingin menawarkan produknya sendiri ke konsumen. Sehingga konsumen dapat menikmati hasilnya dengan harga yang terjangkau. Kualitas produk dari Cahaya Silver dapat terjamin, terutama pada kualitas bahan yang digunakan. Produk kami menggunakan bahan Perak 999 kemudian diolah sebagai barang jadi dengan kualitas Perak 925 dan adapula yang dikerjakan dengan kombinasi kerang, penyu dan tempurang kelapa. Produk yang dihasilkan di Bengkel Kerja Cahaya Silver berupa: Accesioris (cincin, gelang, kalung, anting, dll), Miniatur, dan macam-macam sauvenir.94 b.1. Produk-produk Cahaya Silver
93 94
http://bantulbiz.com/id/craft_katalog/prod 227.html http;//www.kukmhandicraftjogja.com/main.php
149
c. ANSOR SILVER Ansor Silver adalah produsen kerajinan tangan perak yang sudah berdiri sejak tahun 1956. Berpusat di Kota Gede, yang terkenal sebagai sentra kerajinan perak, Ansor merupakan salah satu penghasil kerajinan perak terbesar di Jogja. Produknya meliputi perhiasan, miniatur, aksesoris dekorasi, peralatan makan, dll; semuanya terbuat dari perak murni dengan 800-925 karat. Produk tersebut dibuat oleh pengrajin-pengrajin yang berpengalaman dan memiliki cita rasa seni yang tinggi. Pengunjung yang datang ke Ansor Silver bisa langsung menyaksikan proses pembuatannya. Mulai dari bahan mentah sampai menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Walaupun bengkelnya terlihat sederhana namun kualitas dan kemurnian peraknya tetap
150
terjaga. Hal ini terbukti dengan kepercayaan wisatawan domestik maupun mancanegara yang membeli dari tempat ini. Ansor Silver juga menjadi rujukan para pemandu wisata dan travel agent kepada wisatawan yang menggunakan jasanya. Prosesnya sendiri melalui tahapan-tahapan antara lain: perencanaan yakni menentukan apa yang akan dibuat. Lalu Persiapan, berupa penyediaan bahan baku dan peralatan kerja. Dilanjutkan Pencampuran, mencampur perak dengan logam lebih kuat. Setelah logam dan perak murni dilebur, proses ini disebut Peleburan. Ketika perak mencair dilanjutkan dengan proses pengecoran, memasukan cairan perak pada cetakan. Pada saat sudah mengeras lalu tahap selanjutnya merupakan pembentukan. Tahap akhir adalah proses penyelesaian atau disebut Finishing. Masingmasing dari tahapan tersebut dikontrol kualitasnya oleh supervisor.95 Ansor Silver memiliki 28 outlet yang tersebar di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta, Bali, dan Magelang. Adapun showroom utama terletak di JI. Tegal Gendu, Yogyakarta. Bangunan showroom tersebut bergaya Jawa tradisional (lengkap dengan pendopo) dan didekorasi dengan barang-barang antik sehingga memberikan atmosfir yang khas. c.1. Produk-produk Ansor Silver
95
Majalah travel time, tanggal 07 januari 2008
151
sterling silver jewelry
sterling silver necklaces
sterling silver rings
sterling silver bracelets
152
sterling silver bracelets
sterling silver charms
sterling silver charms
sterling silver brooch
153
sterling silver brooch
sterling silver jewelry
sterling silver figure.96
d. SALIM SILVER Diantara perajin perak di Kota Gede yang masih tetap eksis adalah Salim Silver. ia mendapatkan pelanggan tetap untuk 96
http://www.yogyes.com/ansor-silver
154
pasar internasional. Hampir 70% customer-nya berasal dari Amerika Serikat dan akan dikembangkan ke pasar Eropa. “untuk pasar domestik saya tidak terlalu khawatir, karena pasarnya tetap ada,” ujar Priyo pemilik Salim Silver. Menurut Priyo, perbedaan produk Salim Silver dengan yang lain terletak pada desain dan teknik pembuatannya.“Kami terus mengeluarkan desain terbaru, seperti replika becak atau andong,” tutur Priyo. Sedang teknik yang digunakan adalah teknik usapan yang sudah jarang digunakan. Kami menawarkan melalui katalog desain yang telah disiapkan. Kami juga menerima motif khusus pesanan pelanggan dan menjamin hak cipta pelanggan tersebut, tambahnya. Hak cipta atas desain memang sering menjadi permasalahan dikalangan industri perak khususnya di Kotagede. “Kadang ada orang yang datang melihat-lihat lalu menawar tapi dengan berbagai alasan lantas membatalkan transakasi. Ternyata orang ini memesan motif yang dilihat pada pengrajin lain. Kami tentu akan menerima dengan senang hati,” ujar Priyo.Kendala tentang mis komunikasi dengan pemerintah soal bantuan juga dialami oleh Priyo. “Kita diberikan mesin untuk produksi, namun sayang mesin-mesin tersebut kualitasnya sangat rendah sehingga tidak begitu banyak membantu. Padahal yang kami butuhkan saat ini adalah jaringan pemasaran dan promosi tentang produk perak Kotagede” ucap Priyo. Sehingga
155
tambah Priyo, dalam kondisi sulit seperti sekarang hanya pengrajin yang memiliki jaringan pembeli yang bisa bertahan. Selain itu Priyo juga merasa bahwa pemberlakuan pajak sebesar 10% terhadap pengrajin perak sangat memberatkan. Kalau kondisi ini dibiarkan terus maka saya yakin nama besar Kotagede sebagai produsen perak akan tenggelam.
e. MD SILVER Bertahan Sejak Tahun 1917 Memasuki
workshop
perak
Md
Silver,
milik
Moeljopranoto tampak sekelompok lelaki tua tengah asyik mengukir perak, sambil ngobrol berbahasa jawa. Suasana ruangan workshop kental dengan nuansa budaya Jawa. Di salah satu dinding terpampang gambar Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan beberapa gambar lelaki dengan pakaian bangsawan Jawa. disudut lain terpampang sertifikat keluaran pemerintah nederland indie yang menerangkan penerimanya adalah orang yang ahli. Md Silver sendiri berdiri pada 1917. “Saat itu Eyang Lurah Wirjosudarmo membuka usaha yang bergerak di bidang kerajinan logam seperti kuningan dan tembaga,” papar Moeljopranoto. Lantas pada 1936 saya membuka usaha kerajinan emas, namun kemudian dialihkan pada kerajinan perak.
156
Awalnya, Md Silver hanya untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Seiring perkembangan dan banyak orang Belanda yang tertarik akhirnya perusahaan dikelola lebih baik. “namun karena situasi Indonesia, khususnya Yogya saat itu selalu berubahubah maka perusahaan ini juga mengalami pasang surut. Jika kondisi keamanan baik penjualan meningkat begitupula sebaliknya,” tutur Moeljopranoto. Dengan digalakannya industri pariwisata oleh pemerintah pada 1978, Md Silver mengalami perkembangan yang cukup pesat. “Kami sanggup melayani pemesanan mulai dari kerajinan untuk souvenir tamu negara sampai ekspor ke mancanegara, terutama dari Eropa. umumnya pesanan mereka berbentuk peralatan makan dan minum,” ungkap Moeljopratono. namun kini kondisinya cukup memprihatinkan. “Banyak faktor yang membuat industri perak secara umum menjadi lesu, termasuk Md Silver. Selain sektor pariwisata yang agak sepi menyusul peristiwa bom Bali dan gempa bumi Yogya, kondisi diperparah dengan diberlakukannya PPn 10% untuk industri perak lokal saat membeli perak mentah. Anehnya pajak ini tidak dikenakan pada importir,” ucap Moeljopranoto. Namun, Moeljopranoto tetap optimis bahwa industri perak Kotagede masih memiliki peluang untuk maju. Karena Md Silver sudah cukup dikenal denganproduk-produk yang khas. “Saya
157
yakin kondisi lesu tidak akan lama, apalagi kalau didukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada pengrajin perak.”
1.1.3. Jenis-jenis Kerajinan Perak Kotagede Yogyakarta Berdasarkan Cara Pembuatan Banyak orang berpikir bahwa setiap tukang perak bisa membuat apa yang diinginkan/dipesan. Padahal harus diketahui apakah produk tersebut dibuat dengan tangan atau mesin karena ada beberapa produk yang jauh lebih mudah dan efektif jika dibuat dengan menggunakan mesin ataupun dicetak. Dengan mengetahui klasifikasi produk kerajinan perak berdasarkan tehnik pembuatannya maka akan sangat membantu kita ketika ingin memesan atau membuat suatu perhiasan perak. Berikut jenis-jenis kerajinan perak berdasarkan cara pembuatan yaitu :
1. Perak Buatan Tangan/Handmade Kerajinan perak ini murni dibuat dengan tangan , tanpa mengandalkan mesin. Dari proses awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Kerajinan inilah yang merupakan cikal bakal industri perak di Kotagede Yogyakarta dan bahkan sampai sekarangpun kerajinan perak di Kotagede masih didominasi kerajinan buatan
158
tangan (handmade). Sebenarnya perak handmade ini berdasarkan materialnya masih bisa diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu: a. Filigree b. Solid Silver
a. Perak Filigree atau yang di Kotagede sering dikenal dengan istilah perak Trap Adalah
jenis
kerajinan
perak
yang
bermaterial
benang/kawat perak yang sangat lembut yang dipilin dan dipres/dibuat plat. Benang-benang perak inilah yang digunakan untuk membuat motif atau dekorasi kerajinan perak. Benang perak/filigree ini bukan hanya digunakan untuk membuat perhiasan/aksesoris saja, tapi juga digunakan untuk membuat bermacam-macam miniatur seperti miniatur becak, kereta kuda, harley davidson dan juga bermacam-macam hiasan dinding seperti hiasan motif wayang dan lain sebagainya. Sampai sekarang perak filigree masih mempunyai tempat di hati penggemar perak karena jenis kerajinan inilah yang sampai sekarang belum bisa digantikan oleh mesin. Dengan kata lain kerajinan perak filigree inilah kerajinan perak yang benar-benar handmade (buatan tangan). Berikut beberapa contoh produk filigree/trap. Gelang filigree/trap, Bross filigree/trap, Miniatur
159
Harley Davidson dari perak filigree/trap, Miniatur kapal dari perak filigree/trap. b. Solid Silver kerajinan
perak
ini
berbahan
utama
perak
lempengan/lembaran perak. Material ini lebih fleksibel untuk dibentuk atau digunakan membuat kerajinan perak. Biasanya digunakan sebagai bahan utama untuk membuat perlengkapan makan dari perak seperti nampan, piring, mangkok dan lain sebagainya. Selain itu juga sering digunakan untuk membuat miniatur dan perhiasan-perhiasan. Perhiasan dari solid silver antara lain :Alat makan dari solid silver, Alat minum dari solid silver, Miniatur becak dari solid silver, Miniatur andong dari solid silver. 2. Perak Cetakan/ Casting Akhir-akhir ini perak cetakan sering dijadikan alternatif produksi kerajinan perak. Terutama untuk permintaan produk dengan kuantitas besar dan waktu yang terbatas. Sebenarnya sistem pembuatan perak cetak/casting ini ada beberapa tehnik. Dari yang menggunakan peralatan sederhana sampai penggunaan mesin casting sentrifugal yang lumayan mahal harganya. Dan biasanya produk perhiasan yang ada di pasaran dibuat dengan mesin casting sentrifugal.
160
Secara umum cetakan di sini berarti prosesnya diawali dengan pencairan logam perak dan tembaga yang kemudian dituang ke cetakan yang telah disiapkan sebelumnya sesuai bentuk yang dinginkan. Sekali proses pencetakan dilakukan dengan mesin casting sentrifugal bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan produk perak. Keuntungan dari sistem pembuatan cetak adalah penghematan waktu dan model yang dibuat bisa sama semua. Meskipun begitu proses akhir (finishing) dari proses perak cetakan ini masih menggunakan tangan di antaranya, pengikiran dan pengamplasan bekas-bekas cetakan yang kurang rapi. Kendala utama dari produksi sistem cetak ini adalah harga mesin cetak yang mahal. Di Indonesia sendiri belum banyak pengusaha yang memiliki mesin casting sendiri. Berikut beberapa contoh produk perak cetakan : Gelang perak cetakan, Kalung perak cetakan, Cincin perak cetakan. 3. Perak buatan Mesin/Machinery Kerajinan perak dengan sistem produksi mesin juga merupakan sistem produksi massal seperti casting. Hanya saja di sini digunakan mesin sebagai ganti mesin casting. Produk-produk yang dibuat dengan mesin biasanya adalah kalung dan gelang rantai. Sama halnya dengan mesin casting, mesin pembuat perhiasan ini harganya juga cukup mahal. Di Indonesia
161
kerajinan perak yang dibuat dengan mesin banyak berasal dari Jawa Timur.97 Dari segi ketrampilan, para pengrajin
mempunyai
ketrampilan yang bagus, mereka dapat menyajikan berbagai bentuk kerajinan sejak model klasik mataram hingga model terkini, namun sebenarnya daya cipta mereka akan model baru sangatlah rendah. Para pengrajin lebih suka menjiplak model yang telah laku daripada mencipta model baru. Konsumen dari kerajinan di Kotagede masih didominasi oleh konsumen domestik. Melihat dari berbagai jenis dan model kerajinan yang dibuat memang layak untuk di jual kepada wisatawan. Hal ini karena hasil kerajinan di Kotagede telah memenuhi syarat sebagai souvenir yaitu, bentuknya kecil, mudah dibawa, harganya relatif murah, dan mempunyai model yang mampu untuk diasosiasikan dengan keberadaan Kotagede. Namun yang masih menjadi cela adalah kemasan yang masih sederhana. Keberadaan pengrajin yang tersebar di berbagai kampung belum mampu menarik wisatawan untuk berkunjung langsung ke pengrajin. Hal ini diakibatkan belum adanya rambu- rambu petunjuk ketempat pengrajin dan tempat pembuatan kerajinan perak.
97
www.dekranas.or.id
162
Dalam pengemasan produk kerajinan ini wisatawan hanya disuguhi tontonan
dan
harapan
untuk
melakukan transaksi
pembelian. Mereka belum diajak untuk melakukan aktivitas seperti yang dilakukan pengrajin. Minimnya dokumentasi, dari periode kerajaan Mataram, Kraton Yogyakarta, masa penjajahan, masa kemerdekaan, bahkan sampai saat ini, tidak ada catatan yang mencukupi tentang perkembangan kerajinan perak Kotagede. Hal ini membuat sulit untuk melacak perkembangan rancangan kerajinan perak Kotagede. Dan selanjutnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun diplay dalam Living Museum.98 Tabel 2. Ciptaan Pengrajin dan Potensi HKInya Potensi HKI
No.
Hasil Ciptaan
1
Desain Industri
Sterling Silver Jewelry
√
√
Perak Cetak/ Casting
2
Sterling Silver Necklaces
√
√
Perak Buatan Mesin/ Machinery
3
Sterling Silver Rings
√
√
Perak Cetak/ Casting
4
Sterling Silver Bracelets
√
√
Perak Cetak/ Casting
5
Sterling Silver Charm
√
√
Perak Cetak/ Casting
6
Sterling Silver Brooch
√
√
Perak Cetak/ Casting
7
Sterling Silver Figure
√
-
Filigree
Sumber :deskranas.or.id 98
Proses Pembuatan Hak Cipta
www.dispudpar-diy.go.id
163
1.1.4. Sejarah berdirinya Koperasi Pengusaha Produksi Perak Yogyakarta (KP3Y) Kotagede merupakan pusat kerajaan mataram pada abad XVI dan disana tumbuh kerajinan emas, perak dan tembaga. Pada mulanya hasil kerajinan tersebut hanya untuk melayani keperluan kerajaan (kraton), kemudian karena semakin berkembangnnya kerajinan emas, perak dan tembaga tersebut maka para pengrajin mulai membuka sayapnya
yaitu memasarkan hasil produksinya sampai ke luar
kerajaan Mataram. Walaupun sampai akhirnya kraton pindah dari Kotagede namun para pengrajin tetap tinggal dan terus beraktifitas seperti biasanya sampai munculnya ide-ide yang cemerlang yaitu pembuatan barang-barang kerajinan dengan bahan baku perak yang berupa perlengkapan rumah tangga model Eropa dengan motif ukir khas Yogyakarta (Kotagede) yang pemasarannya hanya dikalangan orang asing khususnya orang Belanda yang bermukim di tanah air, selanjutnya terus berkembang dan pemasarannya juga semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu hingga sampai ke luar negeri yaitu Nederland itupun dari informasi dari orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Untuk mendukung perkembangan seni kerajinan perak di Yogyakarta atas gagasan Gubernur Verchuur didirikan suatu yayasan yang bernama ”Stichting Beverdering Van Het Yogya Kenst Ambacht” atau disingkat ”Pakaryan Ngayogyakarta”, berdirinya
164
yayasan ini atas dukungan dari beberapa tenaga ahli dan peminat yang sangat menginginkan adanya perkembangan yang terus maju dari kerajinan emas, perak dan tembaga. Berdasarkan kesepakatan para pengusaha perak pada tahun 1951
maka
didirikan
Persatuan
Pengusaha
Perak
Kotagede
(Yogyakarta) yang disingkat P3K. Menurut keputusan rapat anggota P3K tanggal 10 september 1953, maka dibentuklah koperasi yang kemudian nama P3K diubah menjadi Koperasi Pengusaha Perak (KP2). Tanggal 16 Juli 1957 KP2 diganti menjadi Koperasi Produksi Pengusaha Perak (KP3), selanjutnya pada tanggal 9 Pebruari 1960 KP3 nama koperasi tersebut ditambahkan kata ”Yogyakarta” karena untuk menonjolkan identitas daerah kerjanya maka hal ini nama koperasi menjadi Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y). Kegiatan dari KP3Y itu sendiri antara lain : pengrajin mengambil bahan baku perak sekitar tahun 2000 tapi saat ini koperasi tidak menyediakan bahan baku perak dikarenakan bahan baku terlalu mahal
sedangkan
kondisi
keuangan
dari
koperasi
tidak
memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan dari para pengrajin, menyalurkan hasil kerajinan kepada para pengusaha perak. Setelah krisis ekonomi kondisi kerajinan perak makin terpuruk ini disebabkan karena mahalnya bahan baku perak dan kegiatan dari koperasi itu sendiri sekarang pasif, dikarenakan banyak
165
pengrajin yang alih profesi dan kebanyakan pengrajin mendapat bahan baku perak dari pengusaha besar yang mempunyai showroom untuk dijual kepada pengusaha tersebut dan pengrajin hanya diberi upah atas kreasi mereka. Kendala yang dihadapi dari koperasi itu sendiri belum ada sosialisai masalah hak cipta meskipun pernah ada pelatihan mengenai HKI tapi tanggapan mereka tidak antusias karena mereka beranggapan bahwa kalau HKI khususnya hak cipta ada pajak sedangkan modal mereka sendiri sedikit tidak memungkinkan untuk membayar pajak kalaupun ada pajak maka harga dari kerajinan perak akan menjadi mahal mereka akan kesulitan untuk menjualnya. Bagi pengrajin, mereka menganggap bahwa kreasi mereka boleh ditiru oleh pengrajin lain dan kreasi mereka setiap bulan akan mempunyai kreasi baru maka bagaimana kalau barang kerajinan yang sudah tidak cepat laku dan bagaimana hak cipta apabila perak sudah tidak laku. Kebanyakan para pengrajin dalam proses pembuatannya masih secara tradisional kecuali pada saat finishing mereka baru menggunakan mesin. Implementasi UUHC 2002 dikalangan pengrajin perak DIY belum jalan ini dikarenakan ada beberapa faktor yang menjadi kendala dalam mengimplementasikan UUHC 2002 dikalangan pengrajin antara lain :
166
1. Cara berpikir dan pemahaman mengenai HKI khususnya hak cipta kurang dimengerti oleh kalangan pengrajin karena mereka beranggapan hanya faktor ekonomi yang mereka inginkan tidak mempermasalahkan faktor moral ; 2. Tidak adanya kesadaran dikalangan pengrajin untuk mendaftarkan ciptaan mereka karena mereka menganggap bahwa ciptaan mereka boleh ditiru oleh pengrajin lain ; 3. Para pengrajin perak di Kotagede kebanyakan adalah UKM yang mempunyai modal sedikit dari modal sendiri sedangkan untuk menambah modal dari usahanya pengrajin mendapat pinjaman dari bank.
2. Peran Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasikan UUHC 2002 Terhadap Perlindungan Hukum Pengrajin Dibidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2.1. Potensi Industri Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai potensi industri yang sebagian besar merupakan industri kecil dan menengah. Beberapa dari jumlah unit usaha tersebut memproduksi barang kerajinan yang diantaranya menjadi komoditi andalan. Komoditi andalan ini menjadi prioritas pembinaan karena akan menunjang percepatan dan pertumbuhan ekspor yang merupakan salah satu program utama pengembangan industri dan perdagangan DIY.
167
Beberapa komoditi yang termasuk dalam kategori industri kerajinan yang menjadi unggulan komoditi DIY antara lain : 1. Kerajinan Batik 2. Kerajinan Kulit 3. Kerajinan Perak 4. Kerajinan Kayu 5. Kerajinan Gerabah 6. Kerajinan Anyaman
1. Kerajinan Batik Batik Yogyakarta mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada abad ke-15. Corak dan seni batik yang diproduksi mendapat pengaruh dari agama hindu, budha dan islam. Pada jaman ini batik diproduksi hanya di dalam lingkungan kraton dan digemari oleh putri kraton. Batik Yogjakarta memiliki sekitar 400 motif batik khas Yogyakarta yang terdiri dari motif batik kalsik maupun modern, hal inilah yang menyebabkan yogyakarta dikenal sebagai kota batik. Beberapa motif batik klasik Yogyakarta antara lain : motif perang, motif geometri, motif banji, motif tumbuhan menjalar, motif tumbuhan air, motif bunga, motif satwa dalam alam kehidupan dan lain-lain. Penggunaan batik dapat ditemui di seluruh wilayh DIY,untuk kota yogyakarta industri batik dapat ditemui di daerah tirtodipuran,
168
panembahandan prawirotaman. Di kab. Bantul berada di desa wijirejo dan desa wukirsari maupun desa murtigadaing. Di kab. Kulonprogo industri batik di temui di desa hargomulyo, desa kulur dan desa sidorejo, sedangkan di kabupaten gunung kidul ada di desa nitikan dan desa ngalang. Di kab. Sleman industri batik berada di desa nogotirto dan desa mororejo. Berikut adalah beberapa daftar nama dan alamat produsen batik di DIY antara lain : - Nama perusahaan Alamat
: MARGARIA : Diro 204 Pedowoharjo sewon, Bantul Telp. (0274) 367159
Kontak person
: Dyah Suminar
Jenis produksi
: busana muslim
Kapasitas produksi
: 20.000 potong/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 70 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%. LN 0%
- Nama perusahaan Alamat
: BINTANG HN : Purbayan III/ 1134 Yogyakarta Telp. (0274) 520974
Kontak person
: Pranoyo Suharto
Jenis produksi
: Pakian jadi
Kapasitas produksi
: 43.600 potong/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 31 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%. LN 0%
- Nama perusahaan Alamat
: CANDRA SARI : Gedongkiwo 37 Mantrijeron, Yogyakarta Telp. (0274) 385543
Kontak person
: Tuti Anjarwati
169
Jenis produksi
: sprei, sarung bantal
Kapasitas produksi
: 500 set/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 10 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%. LN 0%
2. Kerajinan Kulit Komiditi ekspor unggulan dari propinsi DIY adalah industri barang kulit yang juga meliputi kerajinan kulit. Komoditi ekspor ini menempati posisi tertinggi dalam urutan komoditi ekspor propinsi DIY. Komoditi ekspor dari sektor ini yang terbesar adalah kulit lembaran dan sarung tangan dari kulit. Demikian juga kerajinan kulit mempunyai potensi yang sangat tinggi, terutama kerajinan tas, dompet, ikat pinggang, kerajinan tatah sungging dan lain-lain yang ikut mendukung predikat Yogyakarta sebagai kota wisata Dukungan pemerintah DIY terhadap industri kulit sangatlah besar ini dibuktikan dengan adanya Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit, Karet dan Plastik yang berada di Yogyakarta. Selain itu juga adanya pendidikan ahli madya di bidang industri perkulitan yaitu akademi teknologi kulit. Berikut ini sebagian nama dan alamat perusahaan yang memproduksi barang-barang berbahan baku kulit di DIY antara lain : - Nama perusahaan
: ENDROS ART
Alamat
: Telp. (0274) 512933, fax. (0274) 519295
Kontak person
: A. Endro Suwarno
170
Jenis produksi
: Kerajinan kulit
Kapasitas produksi
: 24.000 buah/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 15 orang
Daerah pemasaran
: DN 40%. LN 60%
- Nama perusahaan Alamat
: EXIS COLLECTION : Jl. Sugeng Jeroni 79Yogyakarta Telp. (0274) 417308
Kontak person
: Cipto Wiyono
Jenis produksi
: Tas, dompet, sabuk kulit
Kapasitas produksi
: 25.000 buah/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 15 orang
Daerah pemasaran
: DN 70%. LN 30%
- Nama perusahaan Alamat
: MTD LEATHER BAG : Jl. Nagan Lor 60 Yogyakarta Telp. (0274) 373386
Kontak person
: Heri Purnama
Jenis produksi
: Barang kulit
Kapasitas produksi
: 2.000 buah
Jumlah tenaga kerja
: 3 orang
Daerah pemasaran
: DN 0%. LN 100%
3. Kerajinan Perak Kotagede adalah sebuah kawasan cagar budaya di kota yogyakarta karena banyaknya bangunan bernilai sejarah tinggi, tapi kotagede lebih dikenal dengan kerajianan peraknya yang telah mendunia. Kerajinan perak telah lahir pada jaman berdirinya kesultanan yogyakarta sampai sekarang. Corak ukiran yang ditorahkan pengrajin perak dalam karyanya merupakan nilai budaya yang tinggi karena ukiran yang ditorehkan pada kerajinan perak tersebut memiliki kekhasan budaya Yogyakarta, di
171
samping itu cara pengerjaannya masih menggunakan peralatan tradisioanl dan karena ketradisionalannya itulah maka kerajinan perak di kotagede mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Namun pada dewasa ini corak yang dihasilkan mengalami perkembagan bukan hanya sebatas pada corak yang bermotif klasik tapi juga sudah banyak motif modern. Produk kerajinan perak di Kotagede pada umumnya berbahan baku perak murni sehingga sangatlah wajar jika harga produk kerajinan perak lebih mahal dibandingkan dengan yang menggunakan bahan baku dari kuningan atau tembaga yang dilapisi perak. Produk kerajinan perak di Yogyakarta hanya dapat ditemui di satu tempat yaitu Kotagede dan ketenaran dari Kotagede sendiri sudah mendunia, maka tidak mengherankan jika Kotagede sendiri menjadi salah satu objek dan daya tarik wisata tersendiri bagi para wisatawan mancanegara maupun domestik. Berikut ini sebagian nama dan alamat perusahaan yang memproduksi barang-barang berbahan baku perak di DIY antara lain : - Nama perusahaan
: ALONO
Alamat
: Patalan 36/10 Yogyakarta
Kontak person
: Alono
Jenis produksi
: Kerajinan Perak
Kapasitas produksi
: 360 kg/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 65 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%. LN 0%
- Nama perusahaan Alamat
: TOM SILVER : Jl. Ngeksigondo No. 60 Kotagede Yogyakarta
172
Telp. (0274) 372818, fax. (0274) 373070 Kontak person
: HM. Margono
Jenis produksi
: Kerajinan Perak
Kapasitas produksi
: 600 kg/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 52 orang
Daerah pemasaran
: DN 75%. LN 25%
- Nama perusahaan
: MS. SILVER
Alamat
: Purbayan III/25 Kotagede Yogyakarta
Kontak person
: Mujiono
Jenis produksi
: Kerajinan Perak
Kapasitas produksi
: 180 kg/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 15 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%. LN 0%
-Nama perusahaan
: ANSOR’S SILVER
Alamat
: Jl. Tegalgendu No. 28 Kotagede Yogyakarta Telp. (0274) 373266, fax. (0274)383317
Kontak person
: H. Suyatin
Jenis produksi
: Kerajinan Perak
Kapasitas produksi
: 1.750 buah/ tahun
Jumlah tenaga kerja
: 44 orang
Daerah pemasaran
: DN 80%. LN 20%
- Nama perusahaan Alamat
: BOROBUDUR SILVER : Jl. M. Supeno 41 Yogyakarta Telp. (0274) 374238, fax. (0274) 375439
Kontak person
: Dra. Selly Sagita
Jenis produksi
: Kerajinan Perak
Kapasitas produksi
: -
Jumlah tenaga kerja
: 10 orang
Daerah pemasaran
: DN & LN
- Nama perusahaan
: NARTI’S SILVER
173
Alamat
: Jl. Tegalgendu Yogyakarta Telp. (0274) 374890, fax. (0274) 371184
Kontak person
: Pandit
Jenis produksi
: Kerajinan Perak
Kapasitas produksi
: -
Jumlah tenaga kerja
: 58 orang
Daerah pemasaran
: DN & LN
4. Kerajinan Kayu Daerah Istimewa Yogyakarta juga mempunyai potensi dalam bidang industri kerajinan kayu dan mebel. Kedua jenis industri ini nilai dan volume ekspornya tiap bulan mengalami peningkatan besar. Kerajinan kayu pada mulanya hanya diproduksi untuk memenuhi kebutuhan alat-alat rumah tangga dan alat-alat dapur, tapi seiring dengan perkembangan zaman maka kerajinan berbahan baku kayu mengalami pengembangan fungsi dan nilai tambah yang besar seperti misalnya sebagai benda hias. Produk-produk yang dihasilkan antara lain berupa topeng dengan berbagai corak, warna, bentuk dan karakter dengan model yang dekoratif, patung-patung primitif yang kebanyakan di ekspor ke luar negeri. Tidak ketinggalan juga di produksi wayang klitik, wayang golek dari kayu dan guci lukis maupun tempat perhiasan dari kayu. Mebel juga mengalami pengembangan yang pesat dan tidak mau kalah dengan perkembangan industri kerajinan kayu. Mebel yang dihasilkan beragam bentuk dan modelnya baik jenis repro maupun desain
174
baru dengan berbagai fungsi dan kegunaan yang mempunyai daerah pemasaran luas ke seluruh dunia. Produsen kerajinan kayu dan mebel tersebar di beberapa sentra industri terutama banyak berada di kabupaten Bantul, Gunung Kidul dan kota Yogyakarta. Beberapa nama dan alamat produsen kerajinan kayu dan mebel di DIY antara lain : - Nama perusahaan
: JJK. FINE FURNITURE
Alamat
: Jl. Janti No. 100 Banguntapan Bantul
Kontak person
: Sri Lestari
Jenis produksi
: Mebel kayu
Kapasitas produksi
: 500 m3 / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 72 orang
Daerah pemasaran
: DN 50%, LN 50%
- Nama perusahaan
: SANGGAR KELUARGA PRIMITIF
Alamat
: Pucung 4/35 Pendowoharjo Sewon Bantul
Kontak person
: Jamal
Jenis produksi
: Kerajinan kayu
Kapasitas produksi
: 15.000 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 63 orang
Daerah pemasaran
: DN 80%, LN 20%
- Nama perusahaan
: MAHENDRA PUTRA
Alamat
: Iromejan III/ 790 Yogyakarta
Kontak person
: Suprapto
Jenis produksi
: Kerajinan kayu
Kapasitas produksi
: 1.300 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 14 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%, LN 0%
175
5. Kerajinan Gerabah Kerajinan gerabah di Yogyakarta mulanya hanya sebatas pada peralatan dapur seperti tungku, kwali, genthong, layah dan alat rumah tangga lainnya. Namun setelah melalui pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah Yogyakarta yang juga melibatkan pihak swasta dan para seniman, maka mulai berkembang hasil kerajinan gerabah yang mengarah pada hasil kerajinan gerabah berbau seni dan hiasan. Pertumbuhan ini juga meningkatkan strata pengusaha gerabah yang tentu juga diikuti oleh meningkatnya jumlah pengrajin gerabah di DIY. Proses finishing yang dilakukan juga sangat bervariasi mulai dari warna coklat asli terakota sampai dengan pewarnaan yang menggunakan cat dan pelapis. Pada masa kini pemasaran kerajinan gerabah tidak hanya pada tingakat domestik tapi juga telah diekspor ke berbagai negara dengan nilai ekspor yang cukup tinggi. Beberapa sentra industri penghasil barang kerajinan gerabah ini antara lain : desa Kasongan, desa Pundong, desa Kedung Prahu dan beberapa desa lainnya. Berikut beberapa nama dan alamat perusahaan yang memproduksi barang gerabah antara lain : - Nama perusahaan
: SURYA KERAMIK
Alamat
: Patalan 01/ 1, Patalan, Jetis, Bantul
Kontak person
: Fardi Purnomo
Jenis produksi
: Kerajinan gerabah
176
Kapasitas produksi
: 12.000 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 25 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%, LN 0%
- Nama perusahaan Alamat
: TUNAS ASRI KERAMIK : Sonopakis Kidul Rt.01/28 Ngestiharjo,kasihan, Bantul Telp. (0274) 373024, fax. (0274) 375026
Kontak person
: Hardiman
Jenis produksi
: Kerajinan gerabah
Kapasitas produksi
: 28.000 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 68 orang
Daerah pemasaran
: DN 80%, LN 20%
- Nama perusahaan Alamat
: TAKACA KERAMIK : Jl. Ontoseno 11 Yogyakarta Hp. 0818264020, fax. (0274) 385613
Kontak person
: Lela Anggraeni
Jenis produksi
: Kerajinan gerabah
Kapasitas produksi
: 72.000 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 35 orang
Daerah pemasaran
: DN 50%, LN 50%
6. Kerajinan Anyaman Kerajinan yang perkembangannya mengalami peningkatan pesat dan diminati dari berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri adalah kerajinan anyaman serat alam. Berbagai bahan dari serat alam seperti mendong, gebang, serat agel dan gedebok pisang sangat menarik untuk dibuat produk kerajinan.
177
Jenis barang kerajinan yang dihasilkan dari bahan baku tersebut antara lain berbagai tas, taplak meja, perlengkapan meja makan bahkan hingga kotak pakaian dan benda fungsional lainnya. Produk kerajinan berbahan baku serat alam ini berwarna alami dan mempunyai konsumen lapisan menengah keatas untuk dalam negeri dan juga konsumen luar negeri. Para pengusaha dan pengrajin yang memproduksi barang kerajinan ini sebagian besar berada di daerah Kulonprogo namun juga di wilayah kabupaten Sleman dan kota Yogyakarta. Berikut beberapa nama dan alamat perusahaan yang memproduksi kerajinan dari serat alam, antara lain : - Nama perusahaan
: KITA
Alamat
: Kleber Caturharjo, Sleman
Kontak person
: Umi Darahmi
Jenis produksi
: Kerajinan tapas
Kapasitas produksi
: 67.200 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 15 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%, LN 0%
- Nama perusahaan
: HERATON CRAFT
Alamat
: Palgading Sinduharjo Ngaglik, Sleman
Kontak person
: Suherman
Jenis produksi
: Tas anyaman
Kapasitas produksi
: 30.000 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 22 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%, LN 0%
- Nama perusahaan Alamat
: ARINDHATA : Sedan 44 Sariharjo Ngaglik, Sleman
178
Kontak person
: Nyamana Setyo
Jenis produksi
: Kerajinan enceng gondok
Kapasitas produksi
: 4.200 buah / tahun
Jumlah tenaga kerja
: 9 orang
Daerah pemasaran
: DN 100%, LN 0%
2.2. Sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta 2.2.1. Pelatihan Penerapan Teknologi Perak Kombinasi Tulang di Sentra Kerajinan Perak Kotagede Keberadaan UMKM Kerajinan Perak di Kota Yogyakarta khususnya di Kecamatan Kotagede pasca krisis moneter, tragedi Bom Bali dan gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 mengalami penurunan di bidang produksi dan pemasaran. Keadaan ini diperparah dengan adanya kenaikan harga bahan baku perak yang mencapai Rp. 4.000.000,00 per kg, sehingga aktivitas produksi para pengrajin kurang lancar dan banyak menemui hambatan. Di sisi lain dengan adanya pelarangan penggunaan bahan berupa karapas penyu maka beberapa pengrajin yang sebelumnya menggunakan karapas penyu menjadi terancam kelangsungan usahanya. Berangkat dari kondisi dan permasalahan tersebut di atas maka Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi berupaya untuk mencarikan solusi atas berbagai kendala tersebut dengan berbagai kegiatan, diantaranya berupa Pelatihan Penerapan Teknologi Perak Kombinasi Tulang
179
yang berlangsung selama 6 (enam) hari dari tanggal 16 Juli 2007 s/d 21 Juli 2007 bertempat di Balai RW 13 Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede yang diantaranya adalah beberapa pengrajin yang sebelumnya menggunakan karapas penyu. Adapun maksud dan tujuan dari pelatihan ini antara lain, adalah sebagai berikut : 1. Memfasilitasi para pengrajin agar mampu melakukan inovasi produk,
pengembangan
dan
diversifikasi
produk
yang
berorientasi pada kebutuhan pasar; 2. Memberikan latihan keterampilan teknis pembuatan produk dengan bahan baku perak kombinasi tulang dalam berbagai bentuk dan desain yang berorientasi pada kebutuhan pasar; 3. Memberikan alternatif bahan substitusi karapas penyu berupa tulang yang ketersediaannya cukup melimpah dan belum termanfaatkan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan pelatihan ini maka kepada para pengrajin akan diberikan pendampingan agar mampu menerapkan materi yang diperoleh selama megikuti pelatihan serta mengembangkannya di unit usaha/ perusahaan masing-masing. Disamping itu, juga akan difasilitasi untuk dapat mengikuti Pameran Invesda Ekspo di Jogja Ekspo Center Yogyakarta yang akan dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2007 s/d 2 September 2007 yang akan datang.
180
Sementara itu Alono Ketua Kelompok UMKM Kotagede melaporkan bahwa kegiatan ini diikuti oleh 20 pengrajin yang mendalami teknik kombinasi perak dan tulang yang ternyata hasilnya menggembirakan. Dengan bekal bakat alami yang ada mereka sudah dapat menghasilkan design hingga produk akhir yang sangat bagus sehingga dengan beberapa pendampingan kedepan produk mereka sudah layak untuk konsumsi ekspor.99
2.2.2. Deklarasi Kesepakatan Pembentukan Klaster IKM Perhiasan Perak di DIY (17 November 2007) Dalam rangka pengembangan IKM perhiasan perak di DIY, agar mempanyai daya saing yang kuat di pasar global, maka para stakholder di bidang perhiasan perak di Yogyakarta menandatangani sebuah deklarasi kesepakatan pembentukan klaster IKM perhiasan perak, bertempat di Hotel Bintang Fajar Jl. Ngeksigondo Yogyakarta, dengan prakarsa dari Ditjen Industri Kecil dan Menengah Departemen Perindustrian RI. Adapun isi deklarasi tersebut meliputi Visi, Misi dan Rencana Aksi. Visi : Terciptanya industri perhiasan perak DIY yang tangguh dan berdaya saing kuat di pasar global untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat DIY. 99
Deperindagkop kota Yogyakarta
181
Misi : 1. Meningkatkan kualitas SDM pengrajin dan pengusaha perhiasan perak di DIY; 2. Meningkatkan daya saing produk perhiasan perak; 3. Memperluas pemasaran perhiasan perak di pasar global. Rencana Aksi : 1. Menguatkan akses modal; 2. Menjamin ketersediaan bahan baku dengan kualitas baik dan kompetitif; 3. Optimalisasi pemanfaatan teknologi ramah lingkungan dengan tetap menjaga kelestarian tradisi dan ciri khas Yogyakarta; 4. Mengembangkan desain dan meningkatkan kualitas produk perhiasan perak di DIY; 5. Mendorong iklim usaha yang kondusif pada Industri Perak di Yogyakarta; 6. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung; 7. Menjalin kerjasama dengan pihak baik pemerintah maupun swasta; 8. Meningkatkan promosi; 9. Mewujudkan minat dan kecintaan generasi muda terhadap kerajinan perhiasan perak.
182
Deklarator kesepakatan ini adalah para pegusaha perhiasan perak di DIY (Kotagede dan daerah lain), Dinas Perindag Prop DIY, Balai Besar Kerajinan dan Batik, Bappeda di lingkup DIY. Selanjutya setelah ditandatangani kesepakan ini akan disusun/ dituangkan dalam rencana kegiatan yang mempunyai prioritas pada aspek yang penting dan mendesak terlebih dahulu.100
2.2.3. Dari Jogja, Bicara di Kancah Internasional (24 November 2007) Pengusaha
yang
dikenal
sangat
peduli
dengan
pengembangan kerajinan perak di Jogja, Selly Sagita dengan Borobudur Silver, kembali sukses menorehkan prestasi dengan keberhasilan memenangkan penghargaan desain perhiasan pada tahun 2007 ini. Selly mengatakan bahwa pada tahun 2007 ini Borobudur Silver meraih Gold Desain untuk desain perak D'Armoire. Yang di Indonesia hanya diambil 7 desain yang masuk katagori Gold Desain. Sebelumnya Borobudur Silver pada tahun 2002 mampu menembus Grand Desain, penghargaan desain tertinggi. Penilaian dan seleksi dilakukan IGDS (Indonesian Good Design Selection). Pada tahun 2007 ini Selly mengajukan 6 desain dan 5 desain mendapatkan penghargaan, selain Gold Desain, 4 lainnya 100
Dikutip dari Bernas Jogja
183
mandapatkan Good Desain yaitu perhiasan Dazzling rains, Infinite Spirit, Journey From The Past, satu desain mengambil judul Jogja Moon belum berhasil mendapatkan penghargaan. Desain perak dari Jogja tidak kalah dengan Thailand yang juga terkenal dengan perhiasannya. Terpilihnya Selly maju dalam even-even internasional tidaklah diperoleh dengan mudah. Selly mendapatkan rekomendasi dari Yayasan Mutu Manikam yang dipimpin ibu SBY, dimana pada tahun 2006 Selly berhasil mendapatkan penghargaan "Best Contemporary Jewellery" lomba yang digelar Mutu Manikam dalam rangkaian 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Jepang. Atas kesuksesannya itu, produk Borobudur Silver juga akan dipasarkan di Jepang melalui TV Jupiter Shop Channel Jepang.101
2.2.5. Program Magang Peningkatan SDM Pasca Gempa (23 Juni 2008) Magang untuk meningkatkan kemampuan pengrajin pasca gempa Jogja telah dilaksanakan mulai bulan Maret 2008 dan akan berakhir bulan November 2008, Program ini bertujuan untuk melatih jiwa kewirausahaan SDM pasca gempa. Yang ditempatkan di semua Pokja yang ada di Balai Besar Kerajinan dan Batik. Pokja yang ada adalah Pokja Perhiasan, Pokja Kerajinan Tekstil (Perca), Pokja 101
ibid
184
Kayu, Pokja Kerajinan Umum, Pokja SANT (Serat Alam Non Tekstil), Pokja Tenun, Pokja batik, Pokja Garment.
2.3. Implementasi UUHC 2002 yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Peran Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengimplementasikan UUHC yaitu melalui sosialisasi HKI kepada para pengusaha dan pengrajin yang ada di DIY yaitu berupa pelatihan, penyuluhan dan bimbingan. Tapi pada kenyataannya masyarakat pengrajin belum bisa memahami dan mengerti arti pentingnya HKI dan kurangnya kesadaran para pengrajin dalam mendaftarkan ciptaan mereka. Mereka beranggapan bahwa apabila mendaftarkan ciptaan mereka akan menambah beban operasional mereka sedangkan kebanyakan dari mereka adalah UKM yang mempunyai modal sedikit. Di samping sosialisasi yang telah dilakukan Pemerintah DIY juga melalui pameran yamg diadakan tiap tahun baik di dalam negeri maupun luar negeri sehingga produk perak di Kotagede terkenal. Produk perak Kotagede terkenal karena kekhasannya yaitu motif yang khas dari Yogyakarta dan pembuatan yang masih secara tradisional. Pameran yang telah diadakan Pemerintah DIY yaitu di Cina, Jakarta dan Surabaya. Produk perak Kotagede kalah desain dan tingkat kehalusan kurang dibandingkan dengan produk dari Cina
185
untuk itu peran Pemerintah DIY perlu ditingkatkan yaitu melalui pelatihan dan kursus mengenai desain dan kehalusan produk perak sehingga produk perak Kotagede bisa bersaing dengan produk luar negeri tidak hanya dalam negeri saja. Produk perak Kotagede mempunyai dampak bagi pariwisata di DIY yaitu adanya kerjasama dengan pihak luar dalam hal ini dengan Korea melalui ekspor produk perak Kotagede, sebelum gempa yang melanda Yogyakarta produk perak Kotagede meningkat tapi setelah gempa terjadi produk perak Kotagede mengalami penurunan disebabkan bahan baku perak dikenakan pajak 10% dan bahan baku dimonopoli oleh pengusaha besar. Pemerintah DIY perlu mengadakan identifikasi produk perak yaitu mengenai motif, corak dan jenis-jenis kerajinan perak Kotagede yang membedakan dengan kerajinan perak dari daerah lain.
186
C. Pembahasan 1. Implementasi UUHC 2002 di Kalangan Pengrajin di Bidang Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) A. Perlindungan Hukum Kerajinan Perak dalam UUHC 2002 Indonesia diberkati dengan kekayaan dan keragaman budaya serta bentuk kesenian tradisional.
Prinsip dasar yang menjadi
panduan di kehidupan kaya warna ini adalah konsep saling membantu dalam masyarakat yang dikenal dengan istilah “gotong royong”
dan
pertemuan
bersama
yang
disebut
dengan
“musyawarah” untuk mencapai konsensus atau “mufakat”. Diangkat dari tradisi kehidupan di desa berbasis pertanian, sistem ini masih sangat sering digunakan di kehidupan bermasyarakat di seluruh Indonesia. Kehidupan sosial beserta seluruh tahapan hidup tiap individu berakar di tradisi dan kebiasaan kuno atau hukum adat yang berbeda-beda tiap daerah. Hukum adat mengikat kehidupan bangsa Indonesia dan berperan penting dalam menjaga kesetaraan hak wanita di masyarakat. Agama memberi pengaruh yang berbeda-beda dalam kehidupan bermasyarakat di tiap pulau dan desa, tergantung pada sejarah lokal. Bentuk kesenian di Indonesia tidak hanya berasal dari cerita rakyat lokal namun juga dari berbagai tempat di dunia. Banyak bentuk kesenian yang dikembangkan di kalangan
187
bangsawan dan istana kerajaan-kerajaan yang pernah ada, seperti di Bali, dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam upacara keagamaan. Sendratari yang terkenal dari Jawa dan Bali berasal dari mitologi Hindu dan sering kali menampilkan potongan cerita dari epik Ramayana dan Mahabharata. Kerajinan di Indonesia dibuat dengan gaya dan dari berbagai bahan. Secara umum, masyarakat di Indonesia memiliki bakat artistik dan mengekspresikan diri melalui kanvas, kayu, logam, tembikar, dan batu. Seniman Indonesia menciptakan beberapa ukiran kayu yang terbaik di dunia. Lukisan dengan bermacammacam aliran dan gaya, tradisional dan modern, dapat ditemukan di seluruh penjuru negeri. Kerajinan perak dan ukiran di Yogyakarta dan Sumatra serta anyaman logam dari Sulawesi dikenal luas di seluruh Indonesia. Proses pembuatan batik dengan lilin dan pewarna yang diciptakan di Jawa berabad-abad lampau serta desain klasiknya telah dimodifikasi dengan gaya modern, baik pola dan teknologi pembuatannya. Di Jawa terdapat beberapa pusat pembuatan batik Yogyakarta (pusat batik terbesar), Surakarta, Pekalongan, dan Cirebon. Batik juga diproduksi di Bali dengan memasukkan desain setempat. Seniman di Sumatra Barat dan Kalimantan menciptakan kain tenun tangan dengan benang emas, perak, sutra, dan katun dalam jalinan
188
desain yang rumit. Di Pulau Sumba dan Flores dapat ditemukan kain tenun ikat tradisional dan benangnya yang dicelup warnawarni dengan tangan. Hasil kebudayaan material atau artefak, biasanya selalu terkait dengan bentuk-bentuk seni atau ekspresi estetik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kehidupan sekelompok manusia sangat sederhana sekali (primitif), di samping memenuhi kebutuhan pokoknya (primer), mereka selalu mencari celah-celah atau peluang untuk mengungkapkan dan memanfaatkan keindahan. Keindahan telah menyertai kehidupan manusia sejak awal keberadaannya dan sekaligus juga merupakan bagian yang integral dari seluruh kehidupannya. Semua bentuk seni beserta ekspresi estetik yang hadir dan berkembang dalam setiap kebudayaan, cenderung berbeda dalam corak dan ungkapan, dan mempunyai ciri khas masing-masing yang unik. Perbedaan corak dan ungkapan tidak hanya menyangkut pemenuhan kebutuhan estetik saja, tetapi juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Pada masyarakat primitif, ekspesi estetik terkait dengan adat istiadat, kebutuhan ekonomi, dan religi. Selain itu, perbedaan tersebut tidak hanya bersifat horisontal saja, tetapi juga bersifat vertikal di antara lapisan-lapisan sosial masyarakat. Hal ini menyebabkan tumbuhnya berbagai istilah seni, seperti seni rakyat,
189
seni populer, seni petani, seni massa, seni bangsawan, seni kraton, seni atas, seni bawah dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa setiap masyarakat mengembangkan kesenian, salah satunya adalah merupakan ungkapan rasa estetik, sesuai dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan, dan gagasan yang melingkupinya. Tata cara pemuasan
terhadap
kebutuhan
estetik
tersebut,
biasanya
terintegrasi dengan aspek kebudayaan lainnya. Proses pemuasan kebutuhan estetik tersebut lazimnya diatur oleh seperangkat nilai dan asas yang berlaku dalam masyarakat, karena itu cenderung diwujudkan dan diwariskan antar generasi. Biasanya inti dari nilai dan asas-asas yang berlaku jarang berubah, kecuali jika perangkat nilai dan asas tersebut tidak lagi berfungsi selaras atau harmonis lagi, serta tidak dapat diterima lagi oleh akal pikiran para pendukungnya. Istilah seni kria mempunyai makna berbeda dengan makna istilah seni murni dan desain. Kria merupakan kata khas dan asli Indonesia yang bermakna keahlian, kepiawaian, kerajinan, dan ketekunan. Seni kria merupakan karya seni rupa Indonesia asli yang mempunyai akar kuat, dan mempunyai ciri khas yang unik dan eksotis. Dalam pohon ilmu seni rupa saat ini, seni kria terletak pada daerah abu-abu antara seni murni dan terap. Pembagian jenis seni kria biasanya berdasarkan bahan dan teknik pembuatannya,
190
yaitu kria kayu dengan teknik pahat atau ukir, kria logam dengan teknik wudulan, filligre dan tuang atau cor, kria bambu dengan teknik ukir dan anyam, kria rotan dengan teknik ikat dan anyam, kria tekstil dengan teknik batik, sablon dan tenun, kria kulit dengan teknik pahat atau anyam, dan lain-lain. Sebelum kehadiran bangsa Barat (Eropa), bangsa Indonesia sudah mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Kemahiran dalam mengerjakan bahan-bahan dari kayu, batu, logam, dan tanah liat dapat ditunjukkan buktinya dalam membangun rumah tempat tinggal berarsitektur kayu, bangunan candi dari batu andesit dan bata, alat-alat rumahtangga dari gerabah, logam, dan kayu. Alat-alat upacara yang berwujud patung dari kayu, batu, besi, perunggu, perak, emas, dan sebagainya. Pengetahuan tentang bahan dan teknologi ini kemudian dipadukan dengan pengetahuan yang dibawa orang Eropa (Belanda) menyebabkan akulturasi dalam bidang pengetahuan bahan dan teknologi yang menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti pakaian, arsitektur, alat-alat rumah tangga yang bergaya Indis.102 Perlindungan yang diberikan Undang-undang terhadap hak cipta adalah untuk menstimulir atau merangsang aktivitas para pencipta agar terus mencipta dan lebih kreatif. Lahirnya ciptaan baru atau ciptaan yang sudah ada sebelumnya harus didukung dan 102
http://www.sipoel.unimed.in/file.php/173/Modul_II_Kebudayaan.doc
191
dilindungi oleh hukum. Wujud perlindungan itu dikukuhkan dalam Undang-undang dengan menempatkan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hak cipta dengan melawan hukum. UUHC Indonesia menempatkan tindak pidana hak cipta itu sebagai
delik
biasa
yang
dimaksudkan
untuk
menjamin
perlindungan yang lebih baik dari sebelumnya, dimana sebelumnya tindak pidana hak cipta dikategorikan sebagai delik aduan. Pemberlakuan sifat delik ini adalah merupakan kesepakatan masyarakat
yang
menyebabkan
suatu
pelanggaran
bisa
diperkarakan ke pengadilan secara cepat dan tidak perlu menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta. Salah satu konsep dasar pengakuan lahirnya hak atas hak cipta adalah sejak suatu gagasan itu dituangkan atau diwujudkan dalam bentuk yang nyata (tangible form). Timbulnya atau lahirnya hak tersebut diperlukan suatu formalitas tertentu yaitu dengan terlebih
dahulu
mengajukan
permohonan
pemberian
hak.
Disamping prinsip yang paling fundamental tersebut, dalam perlindungan hak cipta dikenal juga prinsip orisinalitas. Dalam rangka menegaskan perlindungan hak cipta dan menyempurnakan
hukum
yang
berlaku
sesuai
dengan
perkembangan pembangunan, telah beberapa kali diajukan rancangan Undang-undang baru hak cipta yaitu pada tahun 1958, 1966 dan 1971, tetapi tidak berhasil menjadi Undang-undang.
192
Indonesia baru berhasil menciptakan Undang-undang hak cipta sendiri pada tahun 1982 yaitu dengan dikeluarkannya Undangundang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. Undang-undang ini sekaligus mencabut Auterswet 1912 yang dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi kebudayaan
dibidang
penciptaan, menyebarluaskan hasil
karya
ilmu,
seni
dan
sastra
serta
mempercepat pertumbuhan pencerdasan bangsa.103 Selanjutnya pada tahun 1987, UUHC 1982 disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Penyempurnaan berikutnya adalah pada tahun 1997 dengan berlakunya Undangundang Nomor 12 Tahun 1997. Penyempurnaan ini diperlukan sehubungan perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama dibidang perekonomian tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan lebih efektif terhadap hak cipta. Selain itu juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia di dalam persetujuan TRIPs yang merupakan bagian dari Agreement Estabilishing the World Trade Organization.104
103 104
Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1998 Ibid, Hal. 17-19
193
Akhirnya pada tahun 2002 UUHC yang baru diundangkan dengan mencabut dan menggantikan UUHC 1997 dengan Undangundang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. UUHC 2002 ini memuat perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan TRIPs dengan
penyempurnaan
beberapa
kali
yang
perlu
untuk
memberikan perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia. Dari beberapa kali perubahan UUHC, UUHC 2002 baru diatur mengenai folklor yaitu pada pasal 10 menyatakan bahwa Negara memegang hak cipta atas karya-karya peninggalan prsejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Contoh dari karya-karya tersebut adalah folklor, cerita rakyat, legenda, narasi sejarah, komposisi, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian dan kaligrafi. Sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai folklor tetapi ada suatu draft rancangan peraturan pemerintah tentang folklor. Dalam draft Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai folklor tersebut yang disebut sebagai folklor dipilah ke dalam:
194
1. Ekspresi verbal dan non-verbal dalam bentuk cerita rakyat, puisi rakyat, teka-teki, pepatah, peribahasa, pidato adat, ekspresi verbal dan non-verbal lainnya; 2. Ekspresi lagu atau musik dengan atau tanpa lirik; 3. Ekspresi dalam bentuk gerak seperti tarian tradisional, permainan dan upacara adat; 4. Karya kesenian dalam bentuk gambar, lukisan, ukiran, patung, keramik, terakota, mosaik, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan perhiasan, kerajinan anyam-anyaman, kerajinan sulam-sulaman,
kerajinan
tekstil,
karpet,
kostum
adat,
instrumen musik, dan karya arsitektur, kolase dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan folklor. 105 Pemakian istilah folklor pada awalnya dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan sesuatu kreasi yang rendah. Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan suatu pengertian folklor yang baru sebagai hasil elabolasi dan resultante dari beberapa pengertian yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional. Dengan harapan seperti itu maka folklor mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal artistik dan kesustraan serta seni 105
www.leapidea.com, diakses tanggal 24 Januari 2007
195
pertunjukan, namun sangat luas cakupannya meliputi semua aspek kebudayaan. Salah satu definisi yang dapat memenuhi harapan seperti itu, sebagaimana tertuang dalam pengertian folklore dibawah ini:106 “Folklore ( in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a group-oriented and tradition-based creation of groups or individuals reflecting the expectations of the community as an adequate expression of its cultural and social identity; its standards are transmitted orally, by imitation or by other means. Its forms include, among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicraft, architecture and other arts.” Dalam pasal 12 UUHC 2002 ciptaan-ciptaan yang dilindungi antara lain : (1) Dalam Undang-Undang Hak Cipta ini, terdapat beberapa ketentuan ciptaan yang dilindungi yaitu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; 106
Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektul Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung: 2006, Hal. 276-277
196
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain, yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli ; (3) Perlindungan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 10 UUHC 2002 menyatakan bahwa : (1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya; (2) Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya; (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebuta pada ayat (2), orang yang bukan warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut; (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur dengan peraturan pemerintah.
197
Hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (pasal 31 ayat (1) a UUHC 2002). Dalam UUHC 2002 telah jelas diatur mengenai folklore termasuk didalamnya mengenai kerajinan tangan tapi dalam pasal 10 UUHC 2002 belum diatur mengenai perlindungan terhadap pengrajin itu sendiri sebagai pencipta suatu karya intelektual. Pasal 10 UUHC 2002 itu sendiri kurang jelas yang termasuk kedalam kerajinan tangan itu apa saja dan batasan-batasan apa yang dilindungi oleh hak cipta yang termasuk dalam kerajinan tangan. Untuk itu perlu adanya suatu peraturan pemerintah yang mengatur mengenai batasan-batasan yang termasuk kedalam kerajinan tangan (folklore) sehingga hasil karya dari pengrajin lebih mendapat perlindungan. Di DIY belum adanya suatu peraturan daerah yang mengatur mengenai hak cipta dan perlindungan bagi para pengrajin khususnya kerajinan perak, sehingga para pengrajin merasa hakhak mereka terhadap karya cipta yang telah mereka hasilkan tidak dilindungi. Untuk itu pengrajin enggan dalam mendaftarkan ciptaan mereka. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengrajin perak di Kotagede yaitu bahwa setiap pengrajin yang mempunyai
198
kreasi baru mengizinkan pengrajin lain untuk meniru apa yang menjadi kreasi barunya, seperti yang terjadi di daerah Bali bahwa hal tiru meniru antara sesama pengrajin dibiarkan karena itu merupakan suatu derma ada suatu kebanggaan tersendiri apabila kreasi mereka ditiru oleh orang lain. Bagi pengrajin, mereka menganggap bahwa kreasi mereka boleh ditiru oleh pengrajin lain dan kreasi mereka setiap bulan akan mempunyai kreasi baru maka bagaimana kalau barang kerajinan yang sudah tidak cepat laku dan bagaimana hak cipta apabila perak sudah tidak laku. Kebanyakan para pengrajin dalam proses pembuatannya masih secara tradisional kecuali pada saat finishing mereka baru menggunakan mesin Dalam UUHC itu merupakan suatu pelanggaran terhadap karya cipta orang lain alasannya yaitu bahwa hasil karya intelektual manusia mempunyai hak ekonomi yang sangat tinggi di samping hak moral yang melekat pada pencipta. Apabila terjadi pelanggaran terhadap karya cipta orang lain maka orang yang telah menciptakan suatu karya akan mengalami kerugian yang besar. Melihat kenyataan yang ada bahwa dalam UUHC belum dijelaskan bagaimana apabila suatu karya cipta yang setiap bulan berganti apakah perlu mendaftarkan setiap bulan sedangkan penerbitan dari sertifikat hak cipta itu sendiri lebih dari satu bulan,
199
meskipun perlindungan hak cipta terjadi secara otomatis sejak karya itu dibuat. Dari hasil yang diperoleh di lapangan bahwa masyarakat Yogyakarta khususnya pengrajin cara berpikir dan pemahaman mengenai HKI khususnya hak cipta kurang dimengerti, disamping itu sosialisasi mengenai pengenalan HKI kurang maksimal pengrajin juga tidak mau mendaftarkan kreasi mereka ini disebabkan kurangnya dana dan lamanya pendaftaran. Dan kebanyakan masyarakat lebih senang mendaftarkan merk daripada hak cipta ini disebabkan karena merek mempunyai nilai ekonomis yang lebih banyak dibandingkan dengan hak cipta meskipun keduanya sama-sama mempunyai nilai ekonomis. Dalam kenyataannya bahwa implementasi UUHC 2002 oleh pengrajin belum ada karena dari pemerintah daerah dalam mensosialisasikan HKI kurang maksimal dan kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya HKI dan pendaftaran ciptaan. Hal tersebut akan berakibat kreasi mereka bisa di ambil oleh pihak lain yang tidak bertanggungjawab. 2. Peran Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasikan UUHC 2002
Terhadap
Perlindungan
Hukum
Pengrajin
Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Dibidang
200
Dalam bidang seni kerajinan, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pusat seni kerajinan. Macam seni kerajinan yang mendapat kedudukan sangat baik adalah seni batik, seni kerajinan perak, seni kerajinan kulit, kerajinan keramik, anyam-anyaman dan lain-lain. Kerajinan perak menduduki peringkat kedua yang mendapat kedudukan yang baik dibandingakan dengan kerajinan lain. Kerajinan perak yang terkenal di DIY yaitu di Kotagede. Pemerintah daerah DIY sudah ada sosialisasi HKI dan pengenalan produk kerajinan yang ada di DIY melalui seminar, pelatihan dan mengikuti pameran-pameran baik dalam negeri maupun luar negeri. Hasil yang di dapat dari adanya sosialisasi bahwa produk kerajinan DIY tidak kalah dengan produk dari daerah lain bahkan ada produk kerajinan yang mendapat tempat di masyarkat yaitu kerajinan perak Kotagede di samping kerajian batik. Sosialisasi yang diadakan pemerintah daerah DIY antara lain : Pelatihan Penerapan Teknologi Perak Kombinasi Tulang di Sentra Kerajinan Perak Kotagede, Deklarasi Kesepakatan Pembentukan Klaster IKM Perhiasan Perak di DIY (17 November 2007), Dari Jogja,Bicara di Kancah Internasional (24 November 2007), Program Magang Peningkatan SDM Pasca Gempa (23 Juni 2008). Kendala
yang
dihadapi
pemerintah
DIY
dalam
mensosialisasikan HKI khususnya hak cipta yaitu bahwa belum adanya subsidi dari pemerintah daerah bagi pengrajin dalam mendaftarkan hak
201
cipta dan belum adanya kesadaran dari pengrajin dalam mendaftarkan ciptaan mereka ini disebabkan mahalnya biaya pendaftaran dan lamanya proses sertifikat terbit. Disamping itu pemerintah daerah kurang dalam mensosialisasikan HKI khususnya hak cipta, pemerintah daerah sudah ada subsidi bagi para pengrajin atau pengusaha dalam pendaftaran merek yaitu ada 15 UKM yang disubsidi oleh pemerintah daerah dalam pendaftaran merek serta kesadaran masyarakat dalam mendaftarkan ciptaan/ kreasi mereka belum ada ini disebabkan karena hampir setiap bulan desain dari kerajinan perak selalu ganti sehingga mereka beranggapan bahwa kalau setiap bulan harus mendaftarkan ciptaan mereka maka akan menambah beban operasional pengrajin sedangkan kebanyakan dari pengrajin adalah para UKM dan lamanya sertifikat
keluar
menjadi
keengganan
para
pengrajin
dalam
mendaftarkan ciptaan mereka. Untuk
itu
peran dari Pemerintah Daerah dalam
mensosialisasikan HKI terhadap pengrajin lebih ditingkatkan sebab dengan adanya perlindungan terhadap HKI khususnya yang dilakukan oleh
pemerintah
daerah
sebagai
pemegang
kekuasaan
maka
masyarakat pengrajin merasa hak-hak mereka dilindungi dan pengrajin akan mendaftarkan karya mereka sehingga karya mereka tidak diambil oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan adanya website untuk mensosialisasikan HKI yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat pengrajin maupun masyarakat umum.
202
Pemerintah daerah disamping ada sosialisasi juga perlu adanya identifikasi mengenai kerajinan perak khususnya mengenai corak, motif dan jenis-jenis dari kerajinan perak Kotagede yang termasuk dalam hak cipta dengan adanya pengidentifikasian tersebut akan memudahkan masyarakat umum maupun pengrajin dalam membedakan dengan kerajinan perak dari daerah lain. Disamping itu dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pemerintah daerah DIY perlu adanya anggaran yang khusus untuk mensosialisasikan dan pendaftaran HKI sehingga pengrajin maupun pengusaha memperoleh kemudahan dan keringanan dalam mendaftarkan hak cipta maupun hak-hak lain yang berhubungan dengan HKI karena pemerintah mensubsidi dalam pendaftaran HKI tersebut. Dengan demikian persoalan sebenarnya lebih pada upaya pengenalan
Kotagede
di
Kota
Yogyakarta
sendiri,
termasuk
pembangunan citra Kotagede secara terus-menerus sehingga mampu menjadi simbol pariwisata DIY. Pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana
menjadikan wisatawan yang berkunjung ke Kota
Yogyakarta juga harus berkunjung ke Kotagede. Kedua adalah bagaimana upaya mendatangkan wisatawan ke sana. Yang terakhir ini sangat terkait dengan apa yang bisa dilakukan oleh para pihak terkait untuk pemasaran dan promosi Kotagede, misalnya bagaimana media promosi mulai internet, billboard di Kota Yogyakarta, media massa, penerbangan, travel, perwakilan Indonesia di luar negeri dan lainnya
203
yang dirancang dan dipelihara dengan baik, termasuk bagaimana menciptakan promosi lintas-sektor. Selain itu, perlu diperjuangkan pemberian insentif atau kemudahan atau bentuk lain dalam membantu para pengrajin perak. Sangat perlu dipikirkan, misalnya bagaimana agar ketersediaan bahan baku murah bisa diakses oleh para pengrajin, pemberikan kredit, termasuk solusi pemasaran mereka. UUHC
2002
telah
mengatur
mengenai
perlindungan
kerajinan perak yang termasuk dalam folklore yaitu dalam pasal 10 tetapi pasal tersebut belum jelas yang termasuk kerajinan itu apa saja, sedangkan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta belum ada suatu perda yang mengatur mengenai perlindungan terhadap HKI khususnya hak cipta dalam hal ini folklore yang termasuk di dalamnya kerajinan perak. Sesuai dengan teori dari Hans Kelsen yaitu stuffen bau theory yang menyatakan bahwa peraturan yang ada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya, berdasarkan teori dari Hans Kelsen tersebut bahwa implementasi UUHC 2002 dikalangan pengrajin perak di Kotagede belum berjalan ini disebabkan belum ada perda yang mengatur mengenai perlindungan HKI khususnya hak cipta dan cara berpikir dan pemahaman mengenai HKI khususnya hak cipta kurang mereka mengerti dan kurangnya kesdaran dalam mendftarkan ciptaan mereka. Untuk itu pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta segera mengeluarkan perda mengenai perlindungan HKI khususnya hak cipta
204
sehingga hak eksklusif pengrajin mendapat perlindungan seperti yang ada di daerah Papua yang sudah ada perda yang mengatur mengenai perlindungan HKI dan implementasi terhadap UUHC 2002 dapat berjalan sesuai dengan apa yang pemerintah harapkan yaitu para pengrajin memahami mengenai HKI dan mendaftarkan karya cipta mereka karena karya mereka bernilai tinggi yang berbeda dengan daerah lain. Upaya yang harus secepatnya pemerintah DIY lakukan adalah secepatnya membuka website tentang sosialisasi HKI sehingga dapat diakses oleh masyarakat pengrajin dan masyarakat umum dan pemberian dana untuk pengrajin dalam mendaftarkan ciptaan mereka yang merupakan potensi ekspor yang bernilai tinggi dan dapat menambah pendapatan di DIY.
205
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari bab pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Dalam mengimplementasikan UUHC 2002 di kalangan pengrajin dibidang kerajinan perak belum berjalan ini disebabkan karena cara berpikir dan pemahaman mengenai HKI khususnya hak cipta kurang dimengerti di kalangan pengrajin dan pengrajin perak tersebut tidak keberatan apabila hasil ciptaan mereka di tiru oleh pengrajin lain. b. Pemerintah daerah sudah ada sosialisasi mengenai HKI tetapi pada kenyataannya pengrajin belum ada kesadaran dalam pendaftaran HKI khususnya hak cipta hal ini disebabkan karena mahalnya biaya pendaftaran dan lamanya penerbitan sertifikat hak cipta, belum adanya dana untuk melakukan pendaftaran dan belum adanya peraturan daerah yang mengatur mengenai HKI sehingga pengrajin merasa hak-hak dari mereka tidak dilindungi oleh pemerintah daerah.
206
B. Rekomendasi 1. Sosialisasi HKI yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait perlu ditingkatkan di samping melalui seminar, pelatihan maupun lokakarya juga melalui media internet dengan adanya sebuah sistem informasi HKI yang integral dan mudah diakses oleh masyarakat luas dan penegakan hukum secara integral yaitu dengan di buka website dari pemerintah daerah yang berisi tentang pengenalan HKI, prosedur pendaftaran HKI yang akan mempermudah masyarakat, pengrajin maupun pengusaha dalam mengetahui lebih jauh tentang HKI. 2. Pemerintah daerah melakukan identifikasi kerajinan perak yaitu mengenai corak, motif dan jenis-jenis kerajinan sehingga masyarakat mengetahui ciri khas dari kerajinan perak Kotagede Yogyakarta dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. 3. Pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah memberikan dana untuk sosialisasi HKI dan pemberian intensif kepada pengrajin sehingga pengrajin akan mendaftarkan karya cipta mereka dengan kemudahan yang diberikan pemerintah daerah. 4. Adanya suatu peraturan daerah yang mengatur mengenai HKI sehingga hak-hak dari pengrajin maupun pencipta akan lebih terlindungi, adanya revisi dari UUHC 2002 dan adanya Undang-
207
undang
folklor untuk lebih melindungi kerajinan tangan dan
pengrajin itu sendiri.
208
DAFTAR PUSTAKA Bainbridge David I, Computers and The Law, London: Pitman Publishing, cetakan 1, 1990. Bintang, Sanusi, Hukum Hak Cipta, Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 1998. Bintang, Sanusi dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2000. Damian Eddy, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997 Djaman Fidel s., Beberapa Aspek dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik Intelektual Jakarta: Varia Peradilan No. 106. 1994. Djumhana Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993 Kasih, Desah Putu Dewi, Pelaksanaan Perdagangan Restriktif UU No. 7 Tahun 1987 sebagai Perlindungan Hak Cipta Benda-benda Seni di Desa Kemenuh Kec. Surawali Kab. Bianyar, Lap. Penelitian Universitas Udayana , Denpasar, 1992. Kesowo Bambang, Pengantar Umum Mengenai HKI di Indonesia, Tanpa terbit, tanpa Tahun. Kusumaatmadja Mochtar, (1)Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, tanpa tahun. Marpaung, Laden, Tindak Pidana terhadap Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Muhammad Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007. Nawawi, H. Hadari, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Tanpa Tahun. Purbacaraka Purnadi & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, Cetakan kedua, 1979.
209
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, Tanpa Tahun. Paingot Rambe Manalu, Hukum Dagang Internasional Pengaruh Globalisasi Ekonomi terhadap Hukum Nasional, Khususnya Hukum HKI, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2000. Rositawati, Rona, Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Cipta Program Komputer Menurut UUHC, Skripsi FH UNS, 2001.
Rosidi, Ajid, Undang-undang Hak Cipta 1982, Pandangan seorang Awam, Jakarta: Djambatan, 1984. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalis Indonesia, 1988. Soekanto Soerjono dan Sri M, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Radja Press, 1985. Soekanto Soerjono, Pengantar Peranan Hukum, Jakarta: UI Press, 1984. Sofyan M., P, Latar Belakang Ekonomi Politik Terhadap Perlindungan Hukum HKI, Lembaga Kajian Hukum Teknologi, Fakultas Hukum UI, 2001. Smith Michael B & Merrit R Blakeler, Bahasa Perdagangan, Bandung: Penerbit ITB Bandung, 1995. Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektul Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung: 2006. Waluyo, Bambang, Penelitian dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafik, 1991. Williams John F., A Manager’s Guide To Patern, Trade Marks and Copyrights, London: Kogan Page, Cetakan Ke-1, 1986. Wignjosoebroto Soetandyo, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi dalam Masyarakat, Tahun Ke I. Nomor 2, 1974. Wirawan, I ketut, Budaya Hukum dan Disfungsi UUHC kasus masyarakat Seniman Bali, Tesis Program Pascasarjana Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2000. PERATURAN PERUNDANGAN
210
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. SEMINAR Bambang Kesowo, Perlindungan Hukum Serta Langka-langkah Pembinaan Oleh Pemerintah dibidang Hak Milik Intelektual, makalah, Jakarta: 7 Agustus 1990. Cita Citrawinda Priapnca, Aspek-aspek Hukum Lisensi Paten, disampaikan pada seminar Nasional Sosialisasi Paten di Indonesia, Yogyakarta: 9 Desember 1995. Carlos M. Correa, Traditional Knowledge and Intellectual Property Issues and Options Surrounding the Protection of Traditional Knowledge A Discussion Paper The Queker United Nations Office (QUNO), Geneva, 2002. Henry Soelistyo Budi, Status Indigeneous Knowledge dan Traditional Knowledge dalam Sistem HKI, makalah dalam seminar Nasional Perlindungan HKI terhadap Inovasi Teknologi Tradisional di Bidang Obat, pangan & kerajinan , diselenggarakan oleh Kantor Pengelolaan & Kerajinan Lembaga penelitian Unpad, Bandung, 18 Agustus 2001. Rizki Adiwilangga, Pendayagunaan Desain Produk Industri dan Rahasia Dagang Bagi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat di DIY, makalah Seminar Nasional “Implementasi Undang-undang Desain Industri, Rahasia Dagang, DTLST, Yogyakarta: 4 Oktober 2000. Sambutan Dirjen HKI, makalah dalam seminar, Peranan HKI dalam Persingan Pasar Bebas, FH UNDIP, Semarang, 1999. Satjipto Rahardjo, Aspek Sosio-kultural dalam Pemajuan HKI, Seminar HKI, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2000. Loekman Soetrisno, Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dan Liberalisasi Ekonomi, makalah dalam buku Liberalisasi Ekonomi Pemerataan dan Kemiskinan, P3PK UGM dan Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995. Latief, Dochak, Perekonomian Indonesia di tengah Liberalisasi Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Asia-Pasifik Abad 21, Makalah dalam buku Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi hukum, Ekonomi dan Agama, Muhammadiyah University Press, UMS, Surakarta, 2000.
211
Zen Oemar Purba, Pokok-pokok Kebijakan Pembanguna Sistem HKI Nasional, Makalah seminar Prospect and Implementation of Indonesian Copyright, Patent and Trademark law, Jakarta, 31 Juli-01 Agustus 2001. WIPO, Intergovermental Committee on Intellectual Property and Genetic Resource Traditional Knowledge and Foklore, Survey on Exsiting From of Intellectual Property Protection for Traditional Knowledge Prepered by the Secretariat. JURNAL DAN MAJALAH Yusuf Muhammad, Masalah-masalah Baru di Bidang Hak Cipta & Trademarks di Australia, Laporan Pelaksanaan Pelatihan HKI, phase II tingkat Advance di Fakultas Hukum University of Technology, Sydney New South Wales Australia Majalah travel, tanggal 07 januari 2008. Dikutip dari Bernas Jogja. Kedaulatan online, tanggal 26 september 2006. Deperindagkop kota Yogyakarta.
INTERNET http://www.innovationlaw.org/lawforum/pages/rg_traditionalknowledge.htm. http://www.nativescience.org/html/traditional_knowledge.html www.fokerlsmpapua.org. www.kompas .com Intergovermental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTFK/IC/3/9, 20 Mei 2002. Traditional Knowledge and Biological Diversity, UNEP/CBD/TKBD/1/2, Paragraf 85, 4 April 2003.
212
www.leapidea.com, diakses tanggal 24 Januari 2007 www.my-indonesia.info, diakses tahun 2007 http://alambudaya.blogspot.com/2007/10/kota-gedhe.html http://203.130.242.190//artikel/47101.shtml www.disbudpar-diy.go.id www.jogja.com. http://bantulbiz.com/id/craft_katalog/prod 227.html http;//www.kukmhandicraftjogja.com/main.php http://www.yogyes.com/ansor-silver www.dekranas.or.id www.batikindonesia.info www.my-indonesia.info www.leapidea.com, diakses tanggal 24 Januari 2007 http://www.sipoel.unimed.in/file.php/173/Modul_II_Kebudayaan.doc