Mid Term Akuntansi Syariah
1
TERJADINYA MORAL HAZARD PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DALAM PERSPEKTIF ASYMETRIC INFORMATION THEORY
Muh. Dahri Firdaus Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Abstrak Dalam kontrak pembiayaan mudharabah, asymmetric information merupakan salah satu indikator tercapainya kepentingan antara shahibul mal dan mudharib . Tetapi jika salah satu dari kedua belah pihak memberikan informasi yang tidak asimetri dapat menyebabkan munculnya moral hazard. Moral hazard tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja melainkan keduabelah pihak dapat saja melakukan moral hazard tersebut. Dan dari moral hazard ini dapat berdampak pada tidak tercapainya kepentingan bersama. Jadi informasi yang asimetri sangat penting dalam kontrak mudharabah Kata kunci: Pembiayaan Mudharabah, Moral Hazard, Asymmetric Informatian
PENDAHULUAN Bermula kemunculan Islam di semenanjung Arab, Rasulullah mendirikan sebuah lembaga Hafazhatul Amwal (pengawas keuangan), yaitu sebuah lembaga yang terdiri dari beberapa orang sahabat Rasulullah yang ditunjuk langsung oleh beliau sendiri. Bersamaan dengan itu terbentuk pula Daulah Islamiyah sebagai lembaga kesekertarian Negara pada saat itu (Nurhayati dan Sri Wasilah, 2008). Dari situlah kemudian muncul beberapa aturan atau undang-undang mengenai keuangan seperti akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara. Menurut (Antonio, 2001) mengemukakan bahwa tak sedikit produk bank yang menerapkan prinsip akuntansi syariah sebagian besar unit usaha yang berasal dari perbankan konvensional, yang di mana dalam salah satu praktiknya perbankan konvensional tersebut membuka cabang dengan berlabelkan syariah, hal semakin memperjelas bahwa akuntansi
Mid Term Akuntansi Syariah
2
syariah berkembang dengan pesat. entah itu hanya sebuah pencitraan semata ataukah benarbenar orientasinya adalah kemakmuran masyarakat luas. Dari penjelasan di atas, ditinjau dari fungsi intermediasi perbankan syariah menunjukkan kinerja yang sangat baik yang hampir mendekati angka 100 persen, dengan kata lain hampir 100 persen dana pihak ke tiga yang ada di bank syariah disalurkan kembali ke masyarakat (Amin, 2009). Berkiblat dari pernyataan tersebut terlahirlah sebuah metode muamalah dari perbankan syariah tersebut yaitu akad mudharabah. Di mana akad mudharabah ini adalah salah satu produk dari perbankan syariah. Maka dari itu bank syariah merancang sistem bagi hasil ini untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik modal (shohibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola modal (mudhorib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha (Muhammad, 2008). Dalam melaksanakan fungsi intermediasinya produk pembiayaan mudharabah sebagai core product bank syariah merupakan tulang punggung perbankan syariah (Darajat, 2007). Dalam penerapannya pada perbankan syariah, produk akad mudharabah ini memakai sistem bagi hasil, yang di mana kedua belah pihak harus membuat akad terkait dengan persentase keuntungan sebelum shahibul mal memberikan modalnya ke mudharib. Pembagian keuntungan dalam akad ini, ketika pemilik modal (shahibul mal) memberikan modalnya ke pengelola dana (mudharib) untuk dikelola dalam usahanya dan hasil usahanya memperoleh keuntungan, maka peresentase pembagian keuntungan sesuai dengan akad yang telah disepakati sebelumnya.
Mid Term Akuntansi Syariah
3
Menurut (Iqbal, et al 1998) namun dalam prakteknya, pembiayaan pada bank Islam didirikan atas sistem mudharabah, dan pada kenyataannya sistem ini banyak terabaikan dalam operasional perbankan Islam. Salah satu adalah munculnya masalah agensi (agency problem), yang di mana masalah agensi ini muncul ketika seorang pemilik modal (principal) menyewa seorang pemilik modal/pemilik keahlian (agen) untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau usaha tetapi agen ini tidak memperoleh sesuatu dari apa yang dia hasilkan (Reichelstein, 1992). Dari sinilah muncul sebuah penyimpangan moral/jebakan moral (moral hazard) yang di mana dalam penerapannnya akad mudharabah sering kali disalahgunakan, baik dari pihak pemilik modal (shahibul mal) dalam hal ini perbankan syariah maupun pengelola modal/nasabah (mudharib). Bentuk moral hazard dapat berupa penyimpangan dari mudharib yang menyalahgunakan modal yang di berikan, ataupun dari shahibul mal itu sendiri yang di mana pihak pemilik modal tidak selektif dalam memberikan jaminan kepada mudharib.
PEMBAHASAN Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah suatu atau seluruh badan usaha yang kegiatan
operasionalnya
bergerak
dibidang
keuangan
syariah
dengan
melakukan
penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat yang terutama dalam membiayai investasi pembangunan (Rodoni, 2008). Lembaga Keuangan Syariah LKS dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu
pertama, LKS depositori yang biasa disebut dengan
lembaga keuangan bank syariah. Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga (Muhammad, 2008). Kedua, LKS non depositori yang biasa
Mid Term Akuntansi Syariah
4
disebut dengan LKS bukan bank. Dan keduanya berperan sebagai perantara keuangan antara pihak yang kelebihan dana atau unit surplus dan pihak yang kekurangan dana atau unit defisit (Rodoni, 2008) Mudharabah dalam Keuangan Syariah Salah bentuk kontrak keuangan yang secara khusus dikembangkan untuk menggantikan mekanisme bunga (riba) dalam keuangan syariah adalah kontrak mudharabah. (Bakar, 2008) mengemukakan bahwa sebuah sistem lahir dari Islam yaitu positive-sum game yang di mana dalam praktiknya seluruh pihak akan mendapat kemenangan atau paling tidak terdapat kemungkinan untuk memperoleh keuntungan ataupun itu kerugian secara bersamasama, dan itu adalah sistem mudharabah. Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Dan Al-Qur‟an tidak secara langsung menunjuk istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang disebutkan sebanyak lima puluh delapan kali (Saeed, 2008). Salah satu ayatnya adalah:
ِ ض ِربُو َن ِِف ْاْل َْر (Al- Muzammil: 20) ِاَّلل ض ِل ه ْ َآخ ُرو َن ي ْ َض يَ ْبتَ غُو َن ِمن ف َ َو Pengertian Mudharabah menurut (Al-Jaziri, 2004) dari segi etimologi (bahasa) adalah Suatu perumpamaan (ibarat) seseorang yang memberikan (menyerahkan) sepenuhnya harta benda (modal) kepada orang lain agar digunakan untuk perdagangan yang menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika terjadi kerugian, maka kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Adapun menurut (Sarker) yang mengatakan bahwa akad mudharabah adalah sebuah akad perjanjian yang mempunyai karakteristik yang tepat dan
Mid Term Akuntansi Syariah
5
dapat menjadi solusi yang bersifat Islami dari permasalahan ekonomi tentang bagaimana seharusnya pemilik modal (supplier of capital) dan wirausahawan yang mempunyai keahlian demi mencapai kepentingan bersama. Mudharabah juga dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berasaskan prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama (Rahman, 1995). Selain itu, menurut (Suhendi, 2005) mudharabah dapat diartikan sebagai adanya sebuah akad antara si pemilik modal (harta) dengan si pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh kedua belah pihak sesuai dengan jumlah kesepakatan yang setujui bersama. Adapun dari para fuqaha menjelaskan bahwa mudharabah adalah adanaya sebuah akad atau perjanjian antara dua belah pihak (person) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya (modal) kepada pihak lain untuk diperdagangkan/diniagakan modal tersebut dengan syarat yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya (Suhendi, 2005). Menurut Rodoni (2008) bahwa dalam akad mudharabah ini tidak disyaratkan untuk adanya wakil dari shahibul maal dalam memantau usaha yang dijalankan. Tetapi sebagai orang kepercayaan mudharib harus bertindak dengan hati-hati dan dapat bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk memperoleh keuntungan yang optimal (Rodoni, 2008). (Antonio, 2001) membagi mudharabah menjadi dua jenis:
Mid Term Akuntansi Syariah
6
1. Mudharabah Muthlaqah, yaitu kerja sama yang dilakukan antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. 2. Mudharabah Muqayyah, yaitu kerja sama yang dilakukan antara shahibul maal dan mudharib, yang di mana mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha atau sering disebut dengan istilah restricted mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Adapun unsur-unsur yang diharuskan dalam akad mudharabah menurut (Sumiyanto, 2005), yaitu: 1. Ada pihak yang berakad: yaitu shahibul mal (investor) dan mudharib (pengelola). 2. Objek akad, hal ini terdiri dari ra‟sul mal (capital), al-„amal (usaha bisnis), arrobh (profit) dan al-waqt (masa). 3. As-Shighoh (Ijab kabul) atau Momerandum of Undrstanding (MoU) 4. Adanya Nisbah keuntungan. (Karim, 2006) menjelaskan nisbah keuntungan pada akad mudharabah dapat dihitung dengan: 1. Presentase. Nisbah keuntungan harus dihitung dalam bentuk presentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan menurut porsi setoran modal dari shahibul mal. 2. Bagi untung dan bagi rugi. Jika keuntungan dari bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Jika keuntungan dari bisnisnya kecil, kedua pihak mendapat bagian yang kecil juga. Dan jika bisnis dalam akad
Mid Term Akuntansi Syariah
7
mudharabah ini mendapatkan kerugian, pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal, dan karena proporsi modal shahibul mal dalam kontrak ini adalah 100% maka kerugian ditanggung 100% pula oleh shahibul mal (pemilik modal). Assymetric Information Theory Asymmetric Informat atau ketidaksamaan informasi adalah situasi di mana manajer memiliki informasi yang berbeda (yang lebih baik) mengenai kondisi atau prospek perusahaan dari pada yang dimiliki investor. Dan Asymmetric Information muncul sebagai akibat adanya distribusi informasi yang tidak sama, dalam hal ini antara pemilik modal (principal)/shahibul mal dan pengelola modal (agent)/mudharib. Idealnya, principal memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agent. Tetapi faktanya, ukuran-ukuran keberhasilan yang dikonsumsi principal justru tidak dapat menjelaskan hubungan antara keberhasilan yang telah dicapai, dengan usaha yang telah dilakukan oleh agent. Adanya Asymmetric information antara manajer/pengelola (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (prinsipal) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Richardson, 1998). Asymmetric Information dibagi menjadi dua macam, yaitu: a. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
Mid Term Akuntansi Syariah
8
b. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Mengenai penjelasan Assymetric Information, dalam akad mudharabah pihak pemilik modal (principal)/shahibul mal dan pengelola modal (agent)/mudharib seharusnya dapat mengetahui informasi-informasi terkait dengan kondisi keuangan dan usaha yang dilakukan demi menghasilkan keuntungan bersama. Moral Hazard pada pembiayaan mudharabah Beberapa hasil dari penelitian dan teori mengemukakan bahwa moral hazard adalah salah satu elemen utama yang menyebabkan munculnya konflik keagenan (agency problem) (Mc. Colgan, 2001). Pada prinsipnya menurut (Vaubel, 1983) moral hazard berkembang ketika provisi dari asuransi memberikan kesempatan kepada pemegang polis asuransi bertindak ceroboh sehingga dapat memungkinkan terjadinya kondisi-kondisi buruk yang tidak diharapkan. Istilah moral hazard pada awalnnya digunakan dalam bidang asuransi. (Mulki) mengatakan bahwa dalam kamus Inggris makna moral hazard diterangkan sebagai the hazard arising from the uncertainty or honesty of the insured. Moral hazard dalam ekonomi adalah suatu tindakan pelaku ekonomi yang menimbulkan kemudharatan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Untuk mengetahui apakah suatu tindakan ekonomi merupakan moral hazard ataukah bukan, perlu mempelajari prinsip-prinsip dari transaksi yang Islami, yang dihalalkan ataupun yang diharamkan sayriat islam (Hariyanto, 2001). Selain itu Moral hazard dapat juga diartikan
Mid Term Akuntansi Syariah
9
sebagai suatu tindakan penyelewenangan amanah atau tanggung jawab karena adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut tanpa diketahui oleh pihak lain (Mishkin, 2001). (Susanto, 2010) mengatakan moral hazard akan muncul ketika seseorang atau sebuah lembaga/organisasi yang tidak konsekuen secara penuh dan tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, maka dari itu cenderung untuk bertindak kurang hati-hati untuk melepas tanggung jawab atas konsekuensi dari tindakannya kepada pihak lain. Prinsip-prinsip transaksi yang dibolehkan dalam Islam, yaitu: 1. Ada kerelaan antar pihak yang bertransaksi. 2. Adil
(keseimbangan
dalam
pandangan
berbagai
segi
antar
pelaku
ekonomi/tidak menzalimi dan tidak dizalimi (lâ tazhlimûna walâ tuzhlamûn) dan terdapat empat batasan: a. Tidak boleh ada mafsadah (no externalities) = tidak zalim terhadap lingkungan. b. Tidak boleh ada gharar/ketidakjelasan (uncertainty with zero sum game) = tidak zalim terhadap pasangan pelaku transaksi. c. Tidak boleh ada maisîr (uncertainty with zero sum game in utility exchange) = gharar akibat pertukaran manfaat. d. Tidak boleh ada riba (exchange of liability) = gharar akibat pertukaran kewajiban. 3. Jelas ( dalam status transaksi, ukuran, timbangan, kualitas, harga) 4. Tidak memakan hak orang lain secara paksa 5. Bermanfaat Adapun prinsip-prinsip transaksi yang dilarang dalam Islam, yaitu:
Mid Term Akuntansi Syariah
10
1. Terdapat unsur pemaksaan 2. Terdapat unsur kezaliman 3. Gharar/tidak jelas 4. Memakan hak orang lain 5. Mengandung mudharat Salah satu moral hazard yang sering dilakukan pada pembiayaan mudharabah adalah dari pihak mudharib (pengelola modal) yang dimana pihak mudharib tidak jujur dalam memberikan informasi kepada pemilik modal (shahibul mal) terkait tentang usaha yang akan dijlankan kedepannya, dan pihak mudharib dapat dengan sengaja menggunakan modal tersebut dengan cara yang tidak sewajarnya. Sehingga pihak pengelola modal (shahibul mal) tidak dapat mengetahui sejauh mana modal digunakan, dan pengelola modal enggan dalam memberikan jaminan karena tidak dapat mengukur dengan pasti risiko terjadinya kerugian yang dilakukan oleh mudharib. Dan dari sinalah (Saadallah, 1999) mengatakan bahwa moral hazard yang disebabkan oleh nasabah menjadikan salah satu alasan yang mendasari sedikitnya aplikasi pembiayaan mudharabah pada bank Islam. Teori Keagenan (Agency Theory) dalam mudharabah Menurut (Sembiring, 2003) Agency theory (teori keagenan) menjelaskan tentang hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak menjadi agen (pemilik modal) dan pihak yang satu bertindak sebagai principal (pengelola). Masalah agensi ini telah menarik perhatian yang sangat besar dari para peneliti di bidang akuntansi keuangan. Pembiayaan mudharabah pada bank Islam dapat dipahami melalui agency theory (teori keagenan), dan dari hal itu pemikiran tentang strategic management dan berbagai kebijakan bisnis secara umum, akhirakhir ini dipengaruhi oleh teori keagenan (Donaldson, 1991). Yang dimaksud dengan principal adalah pemegang saham atau investor dalam hal ini adalah shahibul mal, sedangkan
Mid Term Akuntansi Syariah
11
yang dimaksud agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan atau mudharib. Menurut (Jensen, 1976) ada dua macam bentuk hubungan keagenan, yaitu antara manajer dan pemegang saham (shareholders) dan antara manajer dan pemberi pinjaman (bondholders). Dalam hubungannya dengan akad mudharabah adalah konflik keagenan terjadi antara bank sebagai pemilik modal (shahibul maal atau principal) dengan nasabah pengguna pembiayaan (mudharib atau agent). (Hanafi, 2008) mengatakan bahwa dalam literature keuangan ada tiga jenis konflik keagenan yang sering dibicarakan, yaitu: konflik antara pemegang saham atau modal (principal) dengan manajer (agents), konflik antara pemegang saham dengan pemegang hutang, dan konflik antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Konflik keagenan dapat terjadi ketika salah satu pihak dalam akad mudharabah melakukan suatu tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian, baik dari pihak pemilik modal (shahibul mal) ataupun pihak pengelola modal (mudharib). Salah satu dampak dari konflik keagenan adalah memunculkan konflik kepentingan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan yang akan menyebabkan manajer bertindak tidak sesuai dengan keinginan principal, dan ini terjadi dikarenakan perbedaan tujuan dari masing-masing pihak. Ini terjadi karena asimetri informasi ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya (Nugroho, 2011).
PENUTUP Sebagai kesimpulannya yaitu dalam kontrak pembiayaan mudharabah sangat dibutuhkan informasi yang asimetri antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dan pihak pengelola modal (mudharib) demi mencapai kepentingan bersama. Dan salah satu indikator
Mid Term Akuntansi Syariah
12
yang menyebebakan terjadinya moral hazard adalah akibat adanya asymmetric information atau ketidaksamaan informasi yang diberikan, dan berpengaruh dalam kontrak pembiayaan mudharabah. Jadi seyogianya anatara shahibul mal dan mudharib memberikan informasi yang asimetri dalam mendukung terciptanya kepentingan bersama. Disamping itu asymmetric information merupakan salah satu penyebab terjadinya moral hazard yang dimana tidak hanya dari pihak mudharib yang melakukan moral hazard melainkan dari pihak shahibul mal pun bisa melakukan penyimpangan moral ini. Pemilik modal (shahibul mal) bisa saja memberikan informasi yang tidak jelas terkait dengan perkembangan perusahaannya dalam hal ini lembaga keuangan, apakah integritas lembaga tersebut baik di mata public atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA Al-Jaziri, Abdurrahman. (2004). Kitab Al Fiqh „ala Madzahib Al arba‟ah,Juz III, Beirut, Al Maktabah Al „ashriyyah. Al-Muzammil ayat 20 Amin, A. Riawan. (2009). Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Perbankan Syariah, Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Antonio, Muhammad Syafi‟I. (2001). Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Buku Andalan Bakar, M.D. (2008). “Syariah Approach To Product Development and Product Enhancement In Islamic Banking and Finance: An Appraisal” dalam Bakar, M.D dan Ali, E.R.A.E, Essential Readings In Islamic Finance” CERT Publication, Malaysia Darajat, Moch Ridlo. (2007). Mempelajari Rasionalitas Penetapan Nisbah Bagi Hasil Produk Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Bogor . Bogor: Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Donaldson, L., dan Davis, J.H. (1991). “Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Return”, Australian Journal of Management, 16, 1,
Mid Term Akuntansi Syariah
13
Hanafi, Mamduh M. (2008). Manajemen Keuangan, BPFE Yogyakarta Hariyanto, Muhsin. (2009). Moral Hazard Dalam Transaksi Ekonom: Perspektif Al-Qura‟an dan Hadis. Iqbal, Munawar., Ahmad, Ausaf., dan Khan, Tariqullah. (1998). “Challenges Facing Islamic Banking”, Occasional Paper No.1, IRTI, IDB, Jeddah Jensen, Michael C, dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3. Karim, Adiwarman. (2006). Bank Islam-Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Mc.Colgan, Patrick. (2001). “Agency Theory and Corporate Governance: a review of the literature from a UK perspective”, Department of Accounting & Finance, University Of Strathclyde,100, Catherdal street, Glasgow, United Kingdom. Mishkin, Fredeic S. (2001). The Economics of Money, Banking, and Financial Market. USA:Person Education. Muhammad. (2008). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Gema Insani Press, Jakarta. Mulki, Khaikal, dalam Analisis Pengaruh Moral Hazard Terhadap Pembiayaan Bank Syariah Di Indonesia Nugroho, Firmansyah FA. (2011). Analisis Hubungan antara Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Karakteristik Tata Kelola Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur Di Indonesia. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Nurhayati dan Sri Wasilah. (2008). Akuntansi Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Rahman, Afzalur. (1995). Doktrin Ekonomi Islam. Jilid IV. Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, Reichelstein, Stefan. (1992). “Agency”, dalam The New Palgrave Dictionary of Money and Finance. Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management: Some Evidence. Working Paper, 30 Maret.
Rodoni, Ahmad. (2008). Lembaga Keuangan. Jakarta: Zikrul Hakim Saadallah, Ridha. (1999), “Financing Trade in an Islamic Economy”, Research Paper No.51, IRTI, IDB, Jeddah Saeed, Abdullah. (2008). Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarker, M.A.A, “Islamic Business Contract, Agency Problem And The Theory Of Islamic Firm”, International Journal Of Islamic Financial Services, Vol.1 No.2
Mid Term Akuntansi Syariah
14
Sembiring, Edi Rismanda. (2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jurnal Telaah Akuntansi, Volume: 01 No. 01 Juni 2003. Suhendi, Hendi. (2005). Fiqih-Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Susanto, Tri. (2010), “Moral Hazard”, from http://aguzato.blogspot.com/2010/03/penggunaan-istilah-moral-hazard-pada.html Sumiyanto, Ahmad. (2005). Problem dan Solusi Transaksi Mudhorobah. Yogyakarta: Magistra Insania Press. Vaubel, Roland. (1983). “The Moral Hazard of IMF Lending”, World Economy 6 : 291-304.