Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
TEORI AKUNTANSI POSITIF DAN KONSEKUENSI EKONOMI Herlin Tundjung Setijaningsih Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara Jakarta (Email:
[email protected])
Abstract: This paper aims to explain the importance of positive accounting theory in which the theory aims to explain and predicted accounting practices. Exposure is equipped with research that supports and also the underlying theory of positive accounting delivered before and after Watts and Zimmerman wrote his article in 1990. The paper also describes the economic consequences related to the emergence of new accounting standards which of course will affect the selection of the method of accounting by management. Keywords: positive accounting theory, research supporters and detractors of positive accounting theory, the economic consequences Abstraksi: Makalah ini menjelaskan pentingnya teori akuntansi positif, dimana teori membantu untuk menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi. Pembukaan dilengkapi dengan penelitian yang mendukung dan juga mendasari teori akuntansi positif yang dilakukan sebelum dan setelah Watts dan Zimmerman menulis artikel tersebut di tahun 1990. Makalah juga menggambarkan konsekuensi ekonomi yang berhubungan dengan munculnya standar akuntansi baru yang mempengaruhi pemilihan metode akuntansi oleh manajemen. Kata kunci: teori akuntansi positif, penelitian yang mendukung dan mengkritik teori akuntansi positif, konsekuensi ekonomi PENDAHULUAN Atas dasar tujuannya, teori akuntansi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teori akuntansi normatif yang memberikan formula terhadap praktik akuntansi dan teori akuntansi positif yang berusaha menjelaskan dan memprediksi fenomena yang berkaitan dengan akuntansi (Ghozali dan Anis, 2007). Teori normatif yang berada pada normative period, yaitu periode 1956-1970 (Harahap, 2008: 107) berusaha menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh akuntan dalam proses penyajian informasi keuangan kepada para pemakai dan bukan menjelaskan tentang apakah informasi keuangan itu dan mengapa hal itu terjadi. Menurut Nelson (1973) dalam Ghozali dan Anis (2007), teori normatif sering disebut sebagai teori a priori (dari sebab akibat dan bersifat deduktif). Pendekatan normatif yang berjaya selama satu dekade ternyata tidak dapat menghasilkan teori akuntansi yang siap dipakai di dalam praktik sehari-hari. Design sistem akuntansi yang dihasilkan dari penelitian normatif dalam kenyataannya tidak dipakai dalam praktik. Sebagai akibatnya muncul anjuran untuk memahami secara deskriptif berfungsinya sistem akuntansi di dalam praktik nyata. Harapannya dengan Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
427
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
pemahaman dari praktik langsung akan muncul design sistem akuntansi yang lebih berarti (Ghozali, 2000). Teori normatif berkonsentrasi pada penciptaan laba sesungguhnya (true income) selama satu periode akuntansi atau terkait tipe informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan (decision-usefulness). Teori true income berkonsentrasi pada penciptaan pengukur tunggal yang unik dan benar untuk aktiva dan laba. Sedangkan pendekatan decision usefulness menganggap bahwa tujuan dasar dari akuntansi adalah untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan cara menyediakan data akuntansi yang relevan atau bermanfaat. Tuntutan atas adanya pendekatan positif terhadap akuntansi terjadi ketika Jensen (1976) menyatakan bahwa penelitian dalam akuntansi (dengan satu atau dua pengecualian yang dapat dicatat) tidak bersifat ilmiah...karena fokus penelitian telah sangat normatif dan terdefinisi. Selanjutnya Jensen mengharapkan adanya perkembangan suatu teori akuntansi positif yang akan menjelaskan mengapa akuntansi seperti apa adanya ia, mengapa akuntan melakukan apa yang mereka lakukan, dan apa pengaruh yang dimiliki fenomena terhadap penggunaan orang dan sumber daya. Watt and Zimmerman (1986) mengungkapkan bahwa terdapat tiga alasan mendasar terjadinya pergeseran pendekatan normatif ke positif, yaitu 1) ketidakmampuan pendekatan normatif dalam menguji teori secara empiris, karena didasarkan pada premis atau asumsi yang salah sehingga tidak dapat diuji keabsahannya secara empiris, 2) pendekatan normatif lebih banyak berfokus pada kemakmuran investor secara individual daripada kemakmuran masyarakat luas, 3) pendekatan normatif tidak mendorong atau memungkinkan terjadinya alokasi sumber daya ekonomi secara optimal di pasar modal. Hal ini mengingat bahwa dalam sistem perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme pasar, informasi akuntansi dapat menjadi alat pengendali bagi masyarakat dalam mengalokasi sumber daya ekonomi secara efisien. Lebih lanjut Watt and Zimmerman menyatakan bahwa dasar pemikiran untuk menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan normatif terlalu sederhana dan tidak memberikan dasar teoritis yang kuat. Untuk menutupi kelemahan dari teori normatif, Watt and Zimmerman mengembangkan pendekatan positif yang berlaku dalam specific scientific period (1970-sekarang). PEMBAHASAN Teori Akuntansi Positif. Riset akuntansi positif pertama kali diketahui dilakukan oleh William H. Beaver (1968) dengan terbitnya artikel yang berjudul “The Information Content of Annual Earnings Announcements” (Jensen, 1976: 4, 8). Selanjutnya teori akuntansi positif diakui kemunculannya ketika Watts dan Zimmerman mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Towards a Positive Theory of The Determination of Accounting Standard” pada tahun 1978. Artikel tersebut telah menjadikan teori akuntansi positif sebagai paradigma riset akuntansi yang dominan yang berbasis empiris kualitatif dan dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai teknik atau metode akuntansi yang sekarang digunakan atau mencari model baru untuk pengembangan teori akuntansi dikemudian hari. Dalam hal ini teori akuntansi positif berusaha menjelaskan atau memprediksi fenomena nyata dan mengujinya secara empirik (Godfrey, el al, 1997 dalam Ghozali dan Anis, 2007). Penjelasan atau prediksi dilakukan menurut kesesuaiannya dengan observasi dengan dunia nyata. Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
428
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
Aliran positif merupakan perspektif yang dikenal luas oleh kalangan akademisi. Aliran ini pertama kali dikenalkan di Universitas Chichago, kemudian meluas ke beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, seperti Rochester, Barkley, Stanford, UCLA, NY (Rasyid, 1997: 13-21). Tujuan teori akuntansi positif adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict) praktik akuntansi. Penjelasan berarti memberikan alasan-alasan terhadap praktik yang diamati. Misalnya, teori akuntansi positif berusaha menjelaskan mengapa perusahaan tetap menggunakan akuntansi cost historis dan mengapa perusahaan tertentu mengubah teknik akuntansi mereka. Sedangkan prediksi terhadap praktik akuntansi berarti teori berusaha memprediksi fenomena yang belum diamati. Kehadiran teori akuntansi positif telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan akuntansi. Adapun kontribusi teori akuntansi positif terhadap pengembangan akuntansi adalah menghasilkan pola sistematik dalam pilihan akuntansi dan memberikan penjelasan spesifik terhadap pola tersebut, memberikan kerangka yang jelas dalam memahami akuntansi, menunjukkan peran utama contracting cost dalam teori akuntansi, menjelaskan mengapa akuntansi digunakan dan memberikan kerangka dalam memprediksi pilihan-pilihan akuntansi, mendorong riset yang relevan dimana akuntansi menekankan pada prediksi dan penjelasan terhadap fenomena akuntansi. Dorongan terbesar dari teori akuntansi positif dalam akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan meramalkan (to predict) pilihan standar manajemen melalui analisis atas biaya dan manfaat dari pengungkapan keuangan tertentu dalam hubungannya dengan berbagai individu dan pengalokasian sumber daya ekonomi. Teori akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer, pemegang saham, dan aparat pengatur adalah rasional dan bahwa mereka berusaha untuk memaksimalkan kegunaan mereka yang secara langsung berhubungan dengan kompensasi mereka, dan tentunya kesejahteraan mereka pula. Pilihan atas suatu kebijakan akuntansi oleh beberapa kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif biaya dan manfaat dari prosedur akuntansi alternatif dengan cara demikian untuk memaksimalkan kegunaan mereka. Riset Yang Mendukung Teori Akuntansi Positif. Penelitian positif di bidang akuntansi dimulai pada pertengahan tahun 1960 dan menjadi paradigma yang dominan pada tahun 1970an dan 1980an (Deegan, 2004: 205). Teori akuntansi positif telah banyak diuji dengan menggunakan pilihan-pilihan metode akuntansi. Christie (1990: 15-36) menyimpulkan bahwa terdapat enam proksi yang telah diketahui memiliki kemampuan dalam menjelaskan praktek-praktek yang merupakan cerminan dari aplikasi teori akuntansi positif. Keenam proksi tersebut meliputi ukuran perusahaan, tingkat resiko, kompensasi manajerial, porsi utang terhadap aktiva atau modal, pembatas-pembatas dalam penyelesaian utang, dan rasio pembayaran dividen. Dalam makalah Januarti (2004) diuraikan riset yang mendukung teori akuntansi, di antaranya meliputi penelitian yang dilakukan oleh Lev (1979), Healy (1985), Jones (1991), dan Sweeney (1994).Penelitian Lev (1979) terkait hipotesis bonus-debt convenant, dimana adanya kecenderungan manajer menjadi opportunistik dengan menyelamatkan bonus dan mengabaikan perubahan debt convenant ketika efisiensi pasar yang diharapkan berekasi negatif. Penelitian berikutnya dilakukan untuk mencoba meneliti efek dari rencana kompensasi bonus manajemen (bonus plans). Penelitian tersebut dilakukan oleh Healy (1985: 85-107) dan selanjutnya diikuti oleh Holthausen, Larker, dan Sloan (1995: 29-74). Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
429
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
Penelitian ingin membuktikan bahwa para manajer yang mendasarkan bonusnya pada income netto lebih memilih untuk menggunakan kebijakan akuntansi accrual untuk pelaporan pendapatannya sehingga dapat memaksimalkan bonus. Hasil penelitian menemukan bukti yang kuat bahwa keputusan manajemen untuk memilih atau mengadopsi suatu peraturan akuntansi terkait erat dengan seberapa sensitif bonus yang ada dikaitkan dengan pencapaian target keuntungan. Hasil tersebut mencerminkan pentingnya pemahaman atas perilaku manajer terhadap keberadaan rencana kompensasi yang dapat mempengaruhi kemakmurannya baik saat ini maupun masa waktu yang akan datang. Jones (1991) mengkaji perubahan perusahaan untuk menurunkan income netto yang dilaporkan untuk keringanan impor. Pemberian keringanan impor pada perusahaan tidak adil karena dipengaruhi oleh kompetisi asing dimana yang sebagian merupakan keputusan politik. Penelitian berikutnya adalah yang dilakukan oleh Sweeny (1994) dengan hipotesis perjanjian hutang. Hasil penelitian membuktikan bahwa perusahaan sering melanggar perjanjian hutang dalam bentuk pemeliharaan modal kerja dan ekuitas pemegang saham. Riset Yang Mengkritik Teori Akuntansi Positif. Pendekatan positif melihat pada “mengapa praktek akuntansi dan/atau teori akuntansi berkembang sebagaimana adanya dengan tujuan untuk menjelaskan (to explain) dan meramalkan (to predict) peristiwa akuntansi. Oleh karenanya pendekatan positif berusaha untuk menentukan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi faktor rasional dalam bidang akuntansi. Pada dasarnya pendekatan positif berusaha untuk menentukan suatu teori yang menjelaskan fenomena yang diamati. Pendekatan positif secara umum dibedakan dari pendekatan normatif yang berusaha untuk menentukan suatu teori yang menjelaskan “apa yang seharusnya” dan bukannya “apa yang ada”. Pendekatan positif sepertinya menimbulkan rasa optimisme yang cukup besar di antara pendukungnya. Namun rasa optimisme ini tidak dimiliki secara alamiah oleh semua orang. Kritik terhadap teori akuntansi positif yang disampaikan sebelum Wattz dan Zimmerman menulis artikel pada tahun 1990, pertama diungkapkan oleh Christenson (1983: 5) yang menyatakan bahwa riset positif lebih berkaitan dengan sosiologi akuntansi. Hal ini disebabkan karena isinya berupa deskripsi dan prediksi mengenai perilaku individu, baik akuntan maupun manajer, dalam memilih metode akuntansi. Menurut Christenson, pada sisi pembangunan teori akuntansi, perilaku yang dijelaskan dan diprediksi seharusnya adalah perilaku entitas akuntansi. Hal ini senada dengan Godfrey et al (2010: 391) yang menyatakan bahwa teori akuntansi positif lebih merupakan sosiologi akuntansi, karena memfokuskan pada perilaku manusia daripada perilaku atau pengukuran entitas akuntansi. Lebih lanjut Christenson (1983) mengatakan bahwa memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif, tetapi bisa dipandang sebagai produk, yaitu seperangkat pengetahuan yang tersistem atau dipandang sebagai proses, yaitu aktivitas manusia dalam menghasilkan pengetahuan. Namun pendukung positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu produk, yang ditunjukan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi empiris yang melahirkan teori positif yang induktif. Sedangkan filsafat ilmu menekankan pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu proses, yang berawal dari idealis kemudian diturunkan menjadi teori normatif yang deduktif. Christenson berpendapat adalah tidak penting apakah pencapaian ilmu pengetahuan dilakukan secara normatif atau positif karena semuanya sah-sah saja dan semuanya juga benar. Lebih lanjut Christenson menyatakan Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
430
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
bahwa pada satu waktu pencapaian ilmu pengatahuan perlu dilakukan secara normatif, kemudian pada akhirnya bersifat positif. Dalam hal ini yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris lebih didasarkan pada produk dan proses. Kritik kedua disampaikan oleh Sterling (1990) yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu 1) dua pilar utama terkait studi fenomena dan value free, 2) asumsi dasar ekonomi yang berakar pada teori ekonomi positif, 3) sciense yang berakar dari positivis logis dan pencapaian yang aktual dan potensial. Pilar pertama kritik Sterling terdiri dari studi fenomena yang berkaitan dengan penelitian praktek akuntansi, praktek akuntan, dan utility maximization. Studi fenomena praktek akuntansi mengungkapkan bahwa teori dianggap ilmiah apabila berdasarkan praktek karena dengan demikian teori dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku individual, baik akuntan maupun manajer, terkait pemilihan metode akuntansi. Hal ini implisit menyatakan bahwa yang dianggap ilmiah adalah teori positif. Sedangkan teori yang tidak dipraktekkan, yaitu teori normatif dianggap tidak ilmiah. Studi fenomena praktek akuntan didasarkan pada tujuan teori akuntansi untuk memprediksi dan menjelaskan praktek individu, yaitu akuntan dan manajer (bukan entitas akuntansi) dalam membuat keputusan dengan menggunakan rumus atau konstruksi matematis. Jadi teori akuntansi yang dibangun dengan teori positif hanya menangkap realitas data dalam bentuk informasi yang terkandung dalam laporan keuangan yang selanjutnya akan direpresentasikan dengan menggunakan konstruksi matematis. Dalam hal ini Sterling (1990) memandang bahwa konstruksi matematis hanya dapat memotret kata-kata dan angka tanpa dapat melihat bentuk riil dan kejadian selama proses akuntansi sampai laporan keuangan sebagai produk akuntansi selesai disusun. Studi fenomena utility maximization mengasumsikan bahwa utilitas diproksi dengan menggunakan income atau cash flow, wealth, atau variabel finansial lainnya. Hal ini disebabkan karena teori positif memiliki asumsi sentral dimana individu memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan diri sendiri. Sterling (1990) berpendapat bahwa asumsi tersebut tidak selamanya benar, dimana utilitas menurut philanthropist dapat dipandang bukan sebagai income tetapi sebagai altruistik yaitu lupa akan dirinya sendiri atau tidak egois. Lebih lanjut Sterling menyampaikan bahwa utility maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh perhitungan statistik yang merupakan konstruksi matematis. Dalam hal ini apabila setiap individu memiliki utility maximization, seharusnya hasil penelitian menunjukkan 100%. Namun pada kenyataannya selalu terdapat R2 yang mengindikasikan tidak adanya kepentingan utility maximization yang 100%. Hal ini disebabkan realitas yang ditangkap tidak sepenuhnya, yaitu hanya kata-kata dan angka yang diambil dari laporan keuangan, tanpa realitas proses akuntansi hingga laporan keuangan sebagai produk akuntansi selesai disusun. Untuk itu diperlukan metode penelitian di luar penelitian kuantitatif yang mampu menjelaskan realitas utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk income dan turunannya, namun bahkan perilaku di luar utility maximization. Dalam hal ini Sterling mengusulkan adanya Antropologi Akuntansi yang diharapkan mampu melihat fenomena akuntansi bukan hanya dari hasil konstruksi matematis yaitu laporan keuangan. Pilar kedua kritik Sterling adalah terkait value free. Value free yaitu menghindari pertanyaan mengenai nilai menjadi positif atau deskriptif adalah ilmiah. Sedangkan pertanyaan mengenai nilai normatif dianggap tidak ilmiah. Berdasarkan argumen ini, science adalah bebas nilai atau positif, karena science berawal dari pengamatan atas objek yang bebas ruang, waktu dan wilayah geografis, sedangkan yang sarat nilai atau normatif Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
431
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
adalah tidak ilmiah. Teori akuntansi positif telah mereduksi dengan tidak mengakui teori normatif sebagai sesuatu yang ilmiah. Padahal realitas akuntansi sendiri tidak bebas nilai, bahkan sarat dengan nilai. Jadi realitas akuntansi tidak bebas dari aspek normatif. Hal ini dipertegas ketika pada tahun 1986 Watts dan Zimmerman mendefinisikan teori akuntansi positif sebagai buku teks, menurut Sterling sejak saat itu pula teori akuntansi positif telah menjadi normatif dan Wattz dan Zimmerman telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Dalam hal ini realitas akuntansi sebenarnya juga mempraktekan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara statistik yang merupakan konstruksi matematis (teori positif) untuk selanjutnya dilakukan konfirmasi teori. Jadi dapat disimpulkan bahwa science memiliki rantai hubungan aktivitas, dimana peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih maju (teori positif), akademisi kemudian mengajarkan teknik tersebut (teori normatif), dan praktisi mengimplementasikan teknik tersebut dengan lebih baik. Kritik Sterling berikutnya dibangun dalam dua asumsi dasar utama, yaitu Ilmu Ekonomi Positif dan Positivisme logis. Basis teori akuntansi positif dalam ekonomi seharusnya mengacu pada akuntansi pendapatan nasional (National Income Accounting). Dimana akuntansi merupakan cabang dari ekonomi, dan oleh karenanya ideologi akuntansi bersumber pada ideologi ekonomi. Hal ini sejalan dengan konsep utility dari teori akuntansi positif yang merujuk pada konsep Optimality Pareto (Jensen, 1976: 10). Tetapi ternyata basis teori akuntansi positif dalam science merujuk pada positivisme logis. Dalam hal ini, positivisme merupakan turunan langsung dari positivisme logis dari Hempel dan Popper. Namun Hempel dan Popper sendiri menolak konsep positivisme logis karena dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan kata “positif” sesungguhnya merujuk pada ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh positivisme. Kritik Sterling terakhir terkait pencapaian aktual dan potensial teori akuntansi positif, sebagaimana sudah diprediksi oleh teori normatif, merujuk pada argumen Watts dan Zimmerman (1986) bahwa setiap individu, baik akuntan maupun manajer, akan memaksimalkan utilitasnya ketika melakukan pemilihan metode akuntansi. Dalam hal ini, teori akuntansi positif berusaha menjawab pertanyaan apakah biaya yang dikeluarkan untuk memilih metode akuntansi sesuai dengan manfaat yang diperoleh, apakah biaya regulasi dan proses penentuan standar akuntansi sesuai dengan manfaatnya, apakah laporan keuangan berpengaruh terhadap harga saham. Atas dasar pertanyaan dan asumsi tersebut, teori akuntansi positif berusaha menguji tiga hipotesis, yaitu hipotesis program bonus (bonus plan hypothesis), hipotesis hutang/ekuitas (debt/equity hypothesis), dan hipotesis cost politic (political cost hypothesis) (Scott, 2009). Pada hipotesis program bonus, manajer perusahaan dengan rencana kompensasi cenderung lebih menyukai metode yang memindahkan laba periode mendatang menjadi laba periode sekarang (Watts dan Zimmerman, 1986: 208). Dalam hal ini karena alasanalasan tertentu, manajer memiliki insentif untuk “memanipulasi” atau “mengatur” laba yang dilaporkan dengan menggunakan kewenangannya melalui pemilihan metode akuntansi yang dapat mempengaruhi besar kecilnya laba. Pilihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai sekarang bonus yang akan diterimanya seandainya komite kompensasi dari Dewan Direktur tidak menyesuaikan dengan metode yang dipilih. Pada hipotesis hutang/ekuitas, terdapat konsekuensi ekonomi yang timbul atas adanya perubahan metode akuntansi sebagai akibat dari kesepakatan pinjam meminjam, yaitu antara lain adalah biaya untuk melakukan negosiasi ulang dan pengawasan atas Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
432
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
perjanjian utang mungkin akan mahal atau kapan perjanjian tersebut akan menjadi mahal untuk melakukan rekapitalisasi tanggungan utang yang ada. Apabila biaya untuk negosiasi dan monitoring, negosiasi ulang, dan rekapitalisasi dirasa mahal, maka tidak bermanfaat bagi manajer untuk melakukan lobi serta melakukan perubahan metode akuntansi secara sukarela, walaupun beban biaya tersebut akan dapat mengurangi atau menurunkan nilai perusahaan. Tetapi, apabila biaya yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan kesepakatan utang tidak signifikan dan perubahan tersebut dalam banyak hal akan mempengaruhi kemakmuran pemegang saham bila diikuti dengan perubahan metode akuntansi, ada kemungkinan manajer akan mengambil langkah menerapkan perubahan metode akuntansi. Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas perusahaan, semakin besar kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba. Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas, semakin dekat perusahaan dengan batas perjanjian/peraturan kredit. Semakin tinggi batasan kredit, semakin besar kemungkinan penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Dalam hal ini manajer akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis. Pada hipotesis cost politik, kinerja keuangan suatu perusahaan secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi bagaimana pihak lain yang terkait akan menyikapinya. Bagi perusahaan yang sensitif terhadap aspek politis, yaitu cenderung menjadi sorotan banyak orang, maka besar kecilnya laba yang tercermin dalam angka-angka akuntansi akan diterjemahkan berbeda oleh banyak pihak. Jadi manajer pada perusahan-perusahaan seperti itu memiliki kepentingan untuk menggunakan suatu metode akuntansi tertentu dan juga memiliki kemungkinan untuk melakukan lobi yang mendukung atau menolak perubahan standar akuntansi yang wajib yang dapat mempengaruhi sensitifitas politis perusahaan. Biasanya perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodik dibandingkan perusahaan kecil. Dalam hal ini ukuran perusahaan merupakan variabel proksi dari aspek politik. Atas dasar biaya informasi dan biaya monitoring tersebut, manajer memiliki insentif untuk memilih laba akuntansi tertentu dalam proses politik tersebut. Tiga hipotesis di atas menunjukan bahwa teori akuntansi positif mengakui adanya tiga hubungan keagenan, yaitu antara manajemen dengan pemilik, antara manajemen dengan kreditor, dan antara manajemen dengan pemerintah. Untuk menjawab pertanyaan dan membuktikan hipotesis di atas, teori akuntansi positif dikembangkan melalui penelitian yang dikelompokan menjadi dua tahap, yaitu: 1) penelitian akuntansi dan perilaku pasar modal. Dalam tahap penelitian ini yang dijelaskan bukan praktik akuntansi yang berjalan, tetapi penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan hubungan antara pengumuman laba dan reaksi harga saham. Penelitian ini dikembangkan berdasarkan Hipotesis Pasar Efisien dan Capital Asset Pricing Model (CAPM), 2) penelitian tahap kedua dilakukan dengan maksud menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi antar perusahaan yang difokuskan pada dua alasan. Alasan pertama adalah alasan oportunistik yang digunakan perusahaan dalam memilih metode akuntansi tertentu. Alasan ini dikenal sebagai ex-post yaitu pemilihan metode akuntansi dilakukan sesudah diketahui adanya fakta. Alasan kedua adalah alasan efisiensi berkaitan dengan metode akuntansi yang dipilih guna mengurangi biaya kontrak antara perusahaan dengan mengurangi biaya kontrak antara perusahaan dengan stakeholdernya. Alasan efisiensi disebut dengan ex-ante karena pemilihan metode akuntansi dilakukan sebelum fakta diketahui. Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
433
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
Kritik berikutnya terhadap teori akuntansi positif adalah kritik yang disampaikan sesudah Watts dan Zimmerman menulis sebuah artikel pada tahun 1990. Artikel tersebut sebagai evaluasi atas perkembangan teori akuntansi positif secara konseptual dan sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap teori akuntansi positif. Watts dan Zimmerman melakukan evaluasi atas konsep metodologi, bagaimana perkembangannya sampai saat ini, dan pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama teori akuntansi positif, yaitu untuk memprediski (to predict) dan menjelaskan (to explain) perilaku individu, baik akuntan maupun manajer, sebagai upaya memaksimalkan utilitasnya. Watts dan Zimmerman mengakui tidak konstruktifnya asumsi filosofis dan saintifik dan juga mengakui bahwa science tidak bebas nilai. Kritik asumsi dasar teori akuntansi positif sesudah artikel Watts dan Zimmerman dilakukan oleh Boland dan Gordon (1992: 145) yang menyatakan bahwa asumsi dasar teori akuntansi positif berasal dari Economics-based Accounting Theory (1978: 4, 1986: 1, 13). Secara terperinci menurut Boland dan Gordon (1992), asumsi Watts dan Zimmerman (1978, 1979, 1990) merupakan penggabungan dari instrumentalismenya Milton Friedman. Dimana instrumentalisme menyatakan teori dan penjelasannya harus dijustifikasi untuk kepentingan pengguna daripada realismenya. Lebih lanjut Boland dan Gordon mengatakan bahwa asumsi Watts dan Zimmerman juga berasal dari positivismenya Paul Samuelson yang menyatakan bahwa dalam kondisi ideal, teori berbasis empiris tidak akan berjalan. Sedangkan asumsi Watts dan Zimmerman pada tahun 1986 berasal dari kombinasi Hampel dan Popper, yaitu mengenai konvensionalism. Dalam hal ini, konvensionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah sepenuhnya benar atau salah. Jadi sepanjang teori itu belum digantikan oleh teori baru yang diakui kebenarannya, maka teori bisa terus digunakan. Kritik Boland dan Gordon (1992) dinyatakan dalam tiga asumsi, yaitu metodologi, filosofis, dan akuntansi berbasis ilmu ekonomi. Terkait metodologi, sebagaimana kritik juga disampaikan oleh Lev dan Ohlson (1982: 71), para kritikus memandang bahwa teori akuntansi positif ternyata gagal mendeskripsikan model dari multiperson dan multiperiod secara keseluruhan dan terdapat kesenjangan antara strategi yang terkait dengan pertimbangan dan pendekatan game-theory yang mungkin berguna dalam perkembangan teori formal. Masalah utama adalah terkait penggunaan ilmu-ilmu ekonomi neoklasik sebagai basis utama untuk memahami teori akuntansi (Gaffikin, 2008: 58). Teori positif menganut pendekatan bahwa maksimilisasi utilisasi dapat diperoleh melalui harga keseimbangan pasar. Menurut pengkritik hal ini tidak mungkin karena penelitian dengan harga keseimbangan pasar sangat sedikit pengaruhnya terhadap kontribusi penelitian akuntansi. Masih terkait metodologi, kritik disampaikan Ball dan Foster (1982) yang memandang validitas konstruk dalam variabel “size” tidak jelas. Kemudian Houlthausen dan Leftwich (1983: 104) memandang bahwa terdapat dikotomi problematik dari variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam penentuan standar akuntansi. McKee, Bell, dan Boatsman (1984: 658) menyatakan terdapat bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman (1978). Kritik terkait filosofi lebih banyak didasarkan pada penekanan Watts & Zimmerman yang memberi batasan positif atau normatif. Kritikan di antaranya datang dari Boland dan Gordon (1992: 146-147) sebagaimana kritikan Sterling yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam tulisan pertama Watts dan Zimmerman, untuk mendukung metodologi yang dikembangkan, mereka tidak bersandar pada filsafat argumen-argumen ilmu pengetahuan lain. Dalam hal ini mereka menganggap bahwa social world dan strukturnya bisa Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
434
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
dipandang secara terpisah dari individu yang dipelajari. Hal ini tidak objektif karena tidak mungkin peneliti terpisah dari objek yang diteliti. Kritik terkait penelitian akuntansi yang berbasis ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992: 147-148) beberapa pengkritik (Sterling, 1990 dan Mouck, 1990) melihat keterbatasan penjelasan teori akuntansi positif. Menurut teori ekonomi, maksimisasi kepentingan individu tidak sepenuhnya dilakukan karena maksimisasi juga mempertimbangkan maksimisasi kesejahteraan masyarakat. Inilah yang dimaknai sebagai general equilibrium yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman. Selama ini Watts dan Zimmerman hanya menyandarkan pada satu gagasan penjelasan fenomena sebagai konsekuensi maksimisasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimisasi kekayaan individu. Akibatnya bentuk atau model yang dibangun harus memberikan dukungan pada asumsi utama tersebut. Hal inilah yang menurut Boland dan Gordon (1992: 145-146) disebut sebagai konvensionalism atau instrumentalismnya Milton Friedman, yaitu model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas. Hingga saat ini teori akuntansi positif tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini ditegaskan oleh Gaffikin (2005) bahwa teori akuntansi positif memiliki asumsi sentral bahwa individu memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan diri sendiri. Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal, dengan tujuan untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict) praktek akuntansi serta mengendalikan perilaku oportunistik dalam bentuk bonding (seperti adanya restriksi dengan menggunakan kontrak), monitoring (seperti perlunya dilakukan reporting), dan compensation (seperti adanya stock option). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa teori akuntansi positif tidak pernah preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan yang simplistis (sederhana), secara keilmuan mengandung cacat, dan miskin atau tidak memiliki kontribusi praktis akuntansi. Konsekuensi Ekonomi. Tujuan utama teori akuntansi positif sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah mampu menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict) praktek akuntansi, dikaitkan dengan perilaku individu dalam memilih metode akuntansi yang bisa memaksimisasi utilitasnya. Untuk bisa memahami kepentingan pihak manajemen dalam pelaporan keuangan, maka perlu untuk mengapresiasikan konsep konsekuensi ekonomi (Scott, 2009: 296). Teori akuntansi positif mencoba untuk memahami dan memprediksi pilihan kebijakan akuntansi perusahaan. Pada umumnya penilaian terhadap kebijakan akuntansi yang akan dipilih ditujukan untuk meminimalkan biaya modal dan biaya kontrak lainnya. Kebijakan akuntansi secara umum ditentukan oleh struktur organisasi perusahaan, yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana perusahaan berada. Dengan demikian pemilihan metode akuntansi yang akan digunakan merupakan bagian dari seluruh proses tata kelola perusahaan (Scott, 2009: 296). Teori akuntansi positif tidak secara langsung menetapkan pilihan kebijakan akuntansi yang sesuai bagi perusahaan. Dalam hal ini, pemilihan kebijakan akuntansi akan lebih mudah apabila ditinjau dari sisi manajemen. Oleh karena manajemen memiliki fleksibilitas untuk memilih kebijakan akuntansi bagi perusahaannya, maka hal ini mengindikasikan fleksibilitas juga bagi manajemen untuk merespon perubahan yang terjadi di lingkungan perusahaan, seperti adanya standar akuntansi yang baru. Standar akuntansi keuangan semula dibuat oleh dewan standar di masing-masing negara, akibatnya standar akuntansi antara satu negara dengan negara lain sangat mungkin Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
435
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
berbeda. Namun dengan adanya globalisasi dan karena adanya perbedaan lingkungan, kondisi hukum, sosial, politik, dan ekonomi antar negara, muncullah akuntansi internasional yang mencoba menguraikan teori dan praktik-praktik akuntansi yang berlaku secara internasional. Hal ini menyebabkan beberapa perubahan terkait metode akuntansi yang dapat dipilih manajemen. Sebagai ilustrasi terkait pengungkapan aktiva dan kewajiban di dalam laporan keuangan. Selama ini konsep historical cost yang ditetapkan oleh Financial Accounting Standard Board (FASB) digunakan untuk mengukur aset dan kewajiban berdasarkan nilai perolehan awalnya. Konsep ini dilandasi asumsi dasar bahwa entitas dianggap akan terus going concern. Konsekuensinya karena entitas tidak akan dilikuidasi, maka nilai-nilai yang dicantumkan di dalam laporan keuangan bukan nilai likuidasi, tetapi historical costnya. Kelebihan konsep historical cost adalah memenuhi konsep reliability karena didukung adanya bukti yang kuat, sehingga besarnya pos laporan keuangan dapat dibuktikan dengan mudah karena berdasarkan transaksi yang telah terjadi. Namun berjalannya waktu, pada beberapa kejadian, tidak selamanya performance suatu laporan keuangan yang disajikan berdasarkan historical cost bisa memberikan informasi kewajaran dari tampilan kekayaan dan kewajiban suatu entitas. Seperti ketika mungkin terjadi inflasi atau deflasi, pos yang dilaporkan tidak akan mencerminkan nilai yang berubah ini. Hal ini menyebabkan historical cost menjadi tidak relevan. Agar laporan keuangan menjadi bermanfaat, relevan, dan terpercaya, maka International Accounting Standard Board (IASB) menetapkan fair value digunakan sebagai dasar untuk mengukur aset dan kewajiban. Fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar dan tanggal pengukuran. Terdapat 3 hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu dengan menggunakan nilai pasar, komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat diperbandingkan dengan item yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi. Pengukuran atas aset dan kewajiban berdasarkan fair value, bukan dalam pengukuran awal. Pengukuran awal atas aset dan kewajiban tetap dilakukan entitas dengan menggunakan dasar kos pada saat terjadinya transaksi. Setelah pengukuran awal, yaitu saat pelaporan keuangan, entitas boleh memilih pengukuran berdasar historical cost atau merevaluasi aset dan kewajibannya berdasar fair value dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama (IAI, SAK 16 paragraf 29). Dalam hal ini fair value digunakan sebagai dasar ketika aset dan kewajiban bisa ditukar, bukan ketika aset dan kewajiban benar-benar ditukar. Kelebihan fair value adalah mencerminkan kondisi riil aset dan kewajiban. Tapi kelemahannya fair value tidak berdasarkan bukti historis, sehingga menimbulkan implikasi yang bersifat subyektif. Penggunaan fair value pada aktiva tetap yang disusutkan, bisa menimbulkan konsekuensi ekonomi yang tidak sedikit. Hal ini bisa terjadi ketika aktiva tetap direvaluasi ternyata menunjukkan nilai pasar yang lebih tinggi daripada historical costnya. Akibatnya nilai asset perusahaan menjadi naik dan artinya harus diimbangi dengan kenaikan pada sisi hutang. Disamping itu, hal tersebut juga berdampak pada laporan laba rugi perusahaan, yang nantinya berbuntut pada pajak yang harus dibayar perusahaan. Munculnya standar akuntansi yang baru menuntut manajer untuk bisa memahaminya dengan baik dan mampu memilih metode akuntansi yang memberikan kemakmuran bagi shareholder.
Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
436
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
PENUTUP Kehadiran teori akuntansi positif telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan akuntansi, yaitu menghasilkan pola sistematik dalam pilihan akuntansi dan memberikan penjelasan spesifik terhadap pola tersebut, memberikan kerangka yang jelas dalam memahami akuntansi, menunjukkan peran utama contracting cost dalam teori akuntansi, menjelaskan mengapa akuntansi digunakan dan memberikan kerangka dalam memprediksi pilihan-pilihan akuntansi, mendorong riset yang relevan dimana akuntansi menekankan pada prediksi dan penjelasan terhadap fenomena akuntansi. Kritik terhadap teori akuntansi positif merupakan diskursus yang justru dapat memberikan kontribusi keilmuan akuntansi. Kritik muncul dikarenakan kerangka berpikir Watts dan Zimmerman lebih dimotivasi oleh adanya pragmatism utility of knowledge of accounting research, dimana ukuran yang digunakan ditetapkan sesuai dengan kontribusi yang dihasilkannya, yaitu teori akuntansi positif dapat memberikan manfaat langsung berupa kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan praktek akuntansi yang dikaitkan dengan perilaku individu dalam maksimisasi utilitasnya. Para kritikus mengharapkan peran lebih yaitu masuk ke dalam keilmuan akuntansi dan tidak hanya pada praktek akuntansi saja. DAFTAR RUJUKAN Boland, Lawrence A. Dan Irene m. Gordon, (1992). Critizing Positive Accounting Theory, Contemporary Accounting Research. Christenson, C., (1983). The Methodology of Positive Accounting, The Accounting Review, LVIII. Christie, A. A., (1990). Aggregation of Test statistics, An Evaluation of The Evidence on Contracting and Size Hypotheses, Journal of Accounting and Economics, Vol. 12. Deegan, Craig, (2004). Financial Accounting Theory, Australia: McGraw Hill. Gaffikin, Michael, (2008). Accoounting Theory: Research, Regulation, and Accounting Practice, Australia: Pearson Education. Ghozali, Imam dan Anis Chariri, (2007). Teori Akuntansi, Edisi 3, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Ghozali, Imam, (2000). Paradigma Penelitian Akuntansi, Seminar Dialog Nasional Akuntansi, Semarang, November Godfrey, Jayne, Allan Hodgson, Ann Tarca, Jane Hamilton, Scott Holmes, (2010). Accounting Theory, Seventh Edition, Australia: John Wiley & Sons. Harahap, Sofyan Syafri, (2008). Teori Akuntansi, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers. Healy, P. M., (1985). The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions, Journal of Accounting and Economics, Vol. 7. Holthausen, Robert W. Dan Ricard W. Leftwich, (1983). The Economic Consequences of Accounting Choice, Implication of Costly Contracting and Monitoring, Journal of Accounting and Economics, Vol. 5. Holthausen, R. W., D. F. Larcker, dan R. G. Sloan, (1995). Annual Bonus Schemes and Manipulation of Earnings, Journal of Accounting and Economics, 19, pp. 29-74. Ikatan Akuntan Indonesia, (2009). Standar akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat. Januarti, Indira, (2004). Pendekatan dan Kritik Teori Akuntansi Positif, Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol. 01 (01), November. Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
437
Setijaningsih: Teori Akuntansi Positif dan Konsekuensi Ekonomi
Jensen, Michael M, (1976). Reflections on The State of Accounting Research and The Regulation of Accounting, Stanford Lectures in accounting: 1976, Graduate School of Business, Stanford University, Palo Alto, California. Lev, Baruch dan James A. Ohlson, (1982). Market Based Empirical Research in Accounting: a Review, Interpretation, and Extension, Journal of Accounting Research, Vol. 20. McKee, A. James, Timothy B. Bell, dan James R. Boatsman, (1984). Management Preferences over Accounting Standards: A Replication and Additional Tests, the Accounting Review, Vol. 59, (4). Rasyid, (1997). Mengakarkan Akuntansi pada Bumi Sosio Kultural Indonesia: Perlunya Perspektif Alternatif, Media Akuntansi, No. 23/Th. IV. Scott, William, R., (2009). Financiaql Accounting Theory, Fifth Edition, Canada: Pearson Inc. Sterling, Robert R., (1990). Positive Accounting: An Assessment, ABACUS, Vol. 26, (2). Watts, R. L. Dan J. L. Zimmerman, (1978). Towards a Positive Theory of The Determination of Accounting Standard, Accounting Review. Watts, R. L. Dan J. L. Zimmerman, (1986). Positive Accounting Theory, Prentice Hall International Inc, Englewood Cliffs, NJ, USA. Watts, R. L. Dan J. L. Zimmerman, (1990). Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective, the Accounting Review.
Jurnal Akuntansi/Volume XVI, No. 03, September 2012: 427-438
438