Tema Kemandirian dalam Tiga Tokoh Utama Perempuan pada Tiga Novel Kontemporer karya Margaret Drabble Oleh Saphirilia Hapsari1
Abstrak Skripsi berjudul ”Tema Kemandirian Tiga Karakter Utama Perempuan Dalam Tiga Novel Kontemporer Karya Margaret Drabble” ini membahas tiga novel yang berjudul The Seven Sisters (2002), The Witch of Exmoor (1996), dan The Peppered Moth (2001) sebagai objek penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan watak tokoh perempuan terhadap pernikahan dan keluarga sebagai isu yang paling utama dalam dominasi laki-laki terhadap perempuan. Penelitian dilakukan dengan menganalisis hubungan antara karakterisasi tokoh dan sudut pandang berdasarkan teori naratologi Seymour Chatman, suara berdasarkan teori naratologi Gerard Genette, serta teori Feminine Mystique karya Betty Friedan. Penggunaan teori naratologi dimaksudkan untuk mendapatkan tema kemandirian perempuan dalam ketiga novel kontemporer yang dijadikan acuan. Dari pembahasan berdasarkan suara narator, kemudian dapat terlihat perubahan watak tokoh utama dalam ketiga novel tersebut, serta untuk melihat keberpihakkan narator dalam setiap novel. Sedangkan teori pendekatan feminisme digunakan sebagai landasan yang menjelaskan aspek-aspek penting dalam kemandirian perempuan.
1 Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Program Studi Sastra Inggris
Abstract The Thesis which is entitled “Tema Kemandirian Tiga Karakter Utama Perempuan Dalam Tiga Novel Kontemporer karya Margaret Drabble” analyzes The Seven Sisters (2002), The Witch of Exmoor (1996), dan The Peppered Moth (2001) as the objects of the research. The aim of the research is to identify the change of the characteristics of three main women characters toward the marriage and family as the most crucial issues on men’s domination. The research is done by analyzing the connection between the characterization and the point of view based on the theory by Seymour Chatman, Voice by Gerard Genette, and also Feminine Mystique by Betty Friedan. The aim of using those narrative theories is to obtain the theme of women’s independence in those three contemporary novels. From the discussion of the narrators’ voice, the readers are able to see the change of the characters of females’ character in the novels and see the narrators’ side in each novel. Besides, the aim of using feminist theory is to give basic explanations regarding women’s independence. Kata Kunci: Margaret Drabble, Feminisme, Kemandirian, Naratologi, Seymour Chatman, Gerrard Genette.
Pendahuluan Konsep kemandirian perempuan memang merupakan konsep feminisme lama yang sudah
muncul pada abad ke-20. Konsep tersebut disampaikan dalam buku Feminist
Thought karya Rosemarie Putnam Tong bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam aspek pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial dengan laki-laki. Hal yang menjadi latar belakang pengambilan tema ini adalah adanya perpaduan konsep pemikiran lama dalam sebuah media tekstual yang sudah bergerak ke arah pemikiran baru.
Pada kali ini saya menggunakan tiga novel sastra kontemporer karya Margaret Drabble yaitu The Seven Sisters (2002), The Witch of Exmoor (1996), dan The Peppered Moth (2001) yang banyak mengusung konsep kemandirian perempuan secara eksplisit. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi saya, ketika konsep kemandirian perempuan sudah tidak lagi menjadi konsentrasi konsep kemandirian perempuan modern yang sudah lebih kompleks, tetapi justru saya masih bisa menemukan tema tersebut di dalam tiga novel kontemporer karya Margaret Drabble ini. Konsep kemandirian perempuan bertumpu pada era lama yang kemudian yang ditandai oleh perubahan pemikiran-pemikiran perempuan yang tidak hanya menyuarakan kesetaraan gender, tetapi juga menekankan bagaimana perempuan menghadapi permasalahan aspek-aspek seperti karir dan pendidikan. Kemudian, alasan saya menggunakan teori naratologi Story and Narratology Discourse (1980) karya Seymour Chatman dan teori Narratolgy Discourse (1972) karya Gerard Genette adalah untuk dapat mengidentifikasi kemandirian perempuan berdasarkan watak dan sudut pandang ketiga tokoh utama perempuan dalam ketiga novel tersebut, serta menemukan tema kemandirian perempuan berdasarkan suara narator. Skripsi ini disusun untuk mendeskripsikan perkembangan watak tokoh utama perempuan, yang di analisis melalui karakterisasi yang terdapat pada tokoh utama perempuan serta sudut pandang dan suara naratif dalam cerita yang kemudian berdampak pada tema kemandirian yang muncul dalam ketiga novel kontemporer karya Margaret Drabble ini. Penelitian ini juga ditulis untuk membandingkan perubahan watak kemandirian ketiga tokoh utama perempuan di dalam tiga novel tersebut. Kemandirian perempuan merupakan landasan pemikiran dalam penelitian ini. Kemandirian perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemandirian perempuan dalam aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan. Bahwa pernikahan menjadi salah satu penghambat para tokoh utama perempuan dalam meraih kemandirian merupakan inti dari penelitian ini. Novel karya Margaret Drabble yang berjudul The Seven Sisters dan The
Witch of Exmoor menggambarkan watak tokoh perempuan yang mandiri semenjak tidak terikat dengan institusi pernikahan. Tetapi ada hal yang membedakan dari dua novel tersebut yaitu, adanya perubahan watak dari tidak mandiri menjadi mandiri serta tetap mandiri nya (tidak ada perubahan) watak kemandirian dalam tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut. Sedangkan dalam novel The Peppered Moth justru menggambarkan perubahan watak tokoh utama perempuan dari mandiri menjadi tidak mandiri semenjak terikat pernikahan. Perubahan watak tersebut akan dianalisis berdasarkan Characterization dari Seymour Chatman yang membedakan antara flat character dan round character. Setelah itu, untuk menemukan tema kemandirian perempuan, akan menggunakan Point of View dari Seymour Chatman dan Voice dari Gerard Genette yang hanya saya ambil pada bagian Person nya saja.
Pembahasan Pada bab ini, saya akan menjelaskan tentang kemandirian perempuan pada ketiga karakter utama novel-novel yang saya bahas dengan menghubungkan kutipan-kutipan dalam ketiga novel dengan kutipan dari teori yang telah saya cantumkan dalam bab tinjauan pustaka. Saya akan mencoba menemukan relasi kemandirian perempuan dalam novel Margaret Drabble; The Seven Sisters, The Witch of Exmoor, dan The Peppered Moth dengan teori karakterisasi, sudut pandang dalam buku Story and Discourse by Seymour Chatman dan suara naratif dalam buku Narrative Discourse: An Essay in Method. Ketiga novel yang saya gunakan sebagai pembahasan di dalam skripsi ini memiliki persamaan yaitu konsep kemandirian perempuan, tetapi ada juga sisi perbedaannya, yaitu perubahan watak kemandirian tokoh utama perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi pernikahan yang pada akhirnya dapat menampilkan kesimpulan apakah watak ketiga tokoh utama perempuan di dalam tiga novel tersebut dapat dikatakan meraih kemandirian atau tidak.
Konsep awal kemandirian perempuan adalah terbebas dari segala sesuatu yang berhubungan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Pernikahan, merupakan salah satu gerbang awal terbukanya peluang bagi lakilaki menjadi lebih dominan terhadap perempuan. Ketika seorang perempuan telah melegalisasi dirinya melalui sebuah pernikahan, maka baik secara langsung maupun tidak langsung, seorang istri akan merasa perlu menggantungkan hidupnya kepada laki-laki yang telah menjadi suaminya. Hal tersebut senada dengan kehidupan awal tokoh Candida dalam novel ini, seperti dikutip berikut ini: “Where do they get the money from? They don’t look as though they’ve got jobs. But then I haven’t got a job myself, have I? I’ve never had any money of my own, or I didn’t have until Andrew bought me off.” (2002 :79) Kutipan diatas menunjukkan kehidupan Candida saat masih menjadi istri Andrew. Candida menggambarkan kehidupannya pada aspek ekonomi. Candida tidak bekerja, dan dia hanya menggantungkan hidupnya sepenuhnya kepada Andrew, sehingga dia dapat dikatakan tidak mandiri dalam aspek ekonomi. Walaupun Candida merasa terinjak harga dirinya dengan tidak bekerja dan mengandalkan uang dari Andrew, tetapi Candida selalu mengindahkan pemikiran semacam itu dari dirinya sendiri. Dia berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja saat itu. Kondisi seperti itu dapat mendorong perempuan menjadi sangat bergantung kepada suami mereka, bahkan ketergantungan seperti itu dapat membuat seorang suami memegang kekuasaan penuh terhadap para istri nya. Bab ini juga membahas bahwa perempuan itu dapat bertahan hidup lebih lama setelah melewati umur 40 tahun. Narator menyampaikan pendapatnya lewat tokoh Mrs Jerrold, bahwa semangat dan dorongan hidup akan muncul setelah umur 40 tahun, dan hal tersebut dapat diinterpretasikan langsung melalui tokoh Candida yang memang diceritakan baru memasuki awal 40-nya. Karena semangat dan dorongan hidup yang semakin besar
itulah, yang kemudian menyebabkan perempuan menjadi lebih bahagia dalam menjalani hidup. Hal tersebut juga ternyata tidak luput dirasakan oleh Candida. “This is such a satisfactory conceit that both women suddenly feel very much more cheerful, and Candida finds the strength to declare that she herself, speaking strictly for herself, does not feel at all like the discarded shell of a sea urchin. In fact, she says, she hasn’t felt so cheerful for years. It may well be true that the human body wasn’t designed to live as long as it now does, but ingenuity of the human mind and spirit are the cause of this longevity, and they will find their own solution to its problems. As Hegel would have argued, says Candida.” (2002 : 207) Dari sudut pandang perseptual narator diatas, dapat dilihat bahwa dari kebahagiaan hidup yang dirasakan Candida dapat membuatnya lebih bebas berekspresi dan melarikan diri dari keterkekangan yang selama ini membelenggunya. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dari kalimat shell of a sea urchin, yang dapat diinterpretasikan menjadi lepasnya sesuatu dari cangkangnya. Dan hal tersebut yang dirasakan oleh Candida setelah menemukan kehidupan barunya di awal umur emas nya. Selanjutnya, hal tersebut dapat memberikan efek tersendiri bagi jiwa dan raga seseorang, sehingga bisa lebih matang dalam mengatasi masalah demi masalah dalam kehidupan. Jika seorang perempuan sudah bisa lepas dari ‘cangkang’ dominasi laki-laki, maka perempuan tersebut sudah bisa digolongkan menjadi perempuan mandiri. Melalui penjelasan kutipan-kutipan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Candida mengalami perubahan watak dari tidak mandiri menjadi mandiri. Tapi jika dilihat dari sudut pandang narator orang ketiga, dapat dilihat ketidakberpihakkan narator terhadap karakter Candida. Novel The Witch of Exmoor memiliki delapan bab yang semuanya menggunakan suara narasi orang ketiga, yaitu jika menurut teori naratologi Genette juga disebut sebagai
Heterodiegetic Narrator. Narator dalam novel ini memang tidak memunculkan dirinya di dalam penceritaan, dan seringkali menyampaikan penceritaan melalui pengamatan langsung tokoh-tokoh yang ada di dalam novel ini. Novel The Witch of Exmoor ini mengisahkan seorang wanita paruh baya bernama Frieda Haxby Palmer yang diceritakan memiliki karakter kuat, namun tidak mengalami perkembangan karakter. Seperti dalam Teori Karakterisasi dalam buku naratologi karya Seymour Chatman, karakter yang tidak mengalami perubahan lebih mudah diingat dan lebih mudah ditebak. Sama hal nya dengan karakter Frieda dalam novel ini yang digambarkan eksentrik, mandiri, dan tidak terikat dominasi laki-laki dari awal hingga akhir penceritaan. “Frieda, in her youth and middle age, had been deep into cultural appropriation, into appropriation of every kind. She had appropriated middle-class education, manners, accent; she had appropriated her sister’s admirer; she had appropriated a middle-class husband.” (1996:82) Menurut sudut pandang perseptual narator diatas, kutipan tersebut menyimpulkan bahwa karakter Frieda merupakan karakter yang mementingkan segala sesuatu berdasarkan ketepatan. Dia sangat mencintai kesempurnaan dalam hal apapun, baik dalam hal pendidikan, perilaku, hingga dalam pemilihan laki-laki. Memiliki keberanian untuk memilih merupakan hak setiap perempuan dalam rangka meraih kemandirian dan kemudian terlepas dari dominasi laki-laki, seperti yang dilakukan oleh Frieda. Hal tersebut memang dilakukan Frieda dalam memilih kehidupan yang layak bagi dirinya semenjak masih muda, dan hal tersebut yang kemudian mengkonstruksikan dirinya sebagai perempuan mandiri hingga umurnya yang menginjak paruh baya. Kebiasaan Frieda yang tidak menggantungkan hidup kepada laki-laki, memaksanya harus bekerja keras demi memenuhi segala kebutuhannya. Akibatnya, Frieda juga secara
tidak langsung terasah watak nya menjadi watak yang cenderung kaku. Frieda digambarkan sebagai seorang perempuan yang pekerja keras, dan hal tersebut telah diakui oleh beberapa kolega dan keluarganya. Walaupun Frieda memiliki karakter yang eksentrik, banyak dibenci orang karena kegilaannya dalam bertindak, anti sosial, tetapi hampir seluruh hasil kerja keras nya membuat banyak orang mengagumi seorang Frieda Haxby Palmer. “’You can say what you like about Frieda, ‘said Gogo, as the stags slowly began to saunter away, ‘you can say what you like. Mad she may be, but she’s been a worker. When you think where she started from. It’s been a long, long journey.’” (1996:112) Menurut sudut pandang perseptual Gogo diatas, Ibunya, Frieda, memiliki karakter perempuan yang pekerja keras. Walaupun Frieda banyak tidak disukai orang karena keanehannya, tetapi Gogo tetap melihat ibunya dari sudut yang berbeda. Menurut Gogo, kerja keras Frieda pun patut dihargai, karena Frieda telah memulai karier nya sebagai seorang penulis novel dengan melalui perjuangan dan kontradiksi yang tidak mudah dan bukan dalam waktu yang singkat. Frieda telah banyak mengalami tekanan dalam hidupnya dari kecil hingga berusia paruh baya, sehingga menempa nya menjadi pribadi yang lebih kuat. Karakter Frieda yang pekerja keras dapat cukup membuktikan dirinya sebagai perempuan yang meraih kemandirian. Ditambah dengan perjuangan nya yang panjang dalam merintis karir nya sebagai seorang novelis, karakter Frieda memang digolongkan sebagai karakter yang mandiri karena menulis dan membaca itu adalah bagian dari pendidikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Frieda bekerja di dalam ranah yang masih berkaitan dengan poin penting kemandirian perempuan, yaitu pendidikan. Para perempuan yang mengabdikan diri nya kepada karir dan pendidikan, diyakini dapat memposisikan diri mereka sebagai perempuan yang memiliki peluang yang sama dengan laki-laki. Para perempuan tersebut berkeinginan untuk memiliki “area kekuasaannya” sendiri, khusus nya dalam segi finansial, dan tidak ingin dikendalikan oleh ayah atau suami mereka.
Dari seluruh analisis dalam novel ini, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama perempuan dalam novel ini tidak megalami perubahan karakter, atau yang disebut dengan flat character dalam buku naratologi Seymour Chatman. Frieda yang memang sudah diceritakan mandiri dari awal penceritaan, tetap bertahan dalam karakter tersebut hingga akhir penceritaan. Kekuatan dalam pembahasan novel ini terletak pada karakterisasi dan sudut pandangnya saja, sedangkan suara tidak terlalu berpengaruh dalam penceritaan di dalam novel ini sehingga tidak dapat ditentukan keberpihakkan narator seperti dalam pembahasan novel sebelumnya. Novel The Peppered Moth ini merupakan novel terakhir yang menjadi pembahasan saya pada bab ini. Novel The Peppered Moth ini menggunakan suara naratif Heterodiegetic Narrator, yang penceritaannya melalui sudut pandang orang ketiga dan tidak menampakkan diri di dalam penceritaan. Sedangkan untuk tema kemandirian perempuan di dalam novel ini, terdapat di dalam hampir semua karakter tapi saya hanya mengambil melalui karakter utama perempuan yaitu Bessie Bawtry. Novel ini mengetengahkan pentingnya pendidikan bagi Bessie dan bagaimana pengaruhnya terhadap kemandirian Bessie. Dalam novel ini, Bessie digambarkan sebagai perempuan yang cerdas dalam bidang akademi dan memiliki minat yang besar terhadap pentingnya pendidikan. Tidak seperti anak perempuan pada umumnya di Breaseborough, Bessie dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang lebih maju daripada anak-anak lain. “Yes, she found she could safely despise some of these well-qualified young women, from schools more famed than her own. She knew more of the world than they. She had led a less sheltered life than they. She was more accustomed to mixed company.” (200l: 103) Kutipan diatas menunjukkan pendapat narator bahwa Bessie merupakan perempuan yang berkualitas baik, dan tidak kalah saing dengan gadis-gadis lain seusianya yang berasal dari sekolah yang lebih bergengsi daripada sekolah Bessie terdahulu. Dengan kata lain, tingkat
intelejensi Bessie mampu mengalahkan para gadis yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik daripada Bessie. Narator juga menyatakan bahwa Bessie lebih terbuka dan lebih tahu banyak hal daripada mereka karena Bessie yang sekarang bukan lagi Bessie yang terkekang seperti dulu saat dia masih di Breaseborough. Dan lebih dari itu, Bessie dinilai narator lebih bisa membaur dengan siapa saja karena sudah mulai terbiasa untuk membuka diri terhadap lingkungan sekitar. Demikian pandangan dan pengamatan narator terhadap karakter Bessie, yang menurut saya sangat terlihat keberpihakannya. “Ellen Bawtry considered herself lucky in Bert Bawtry. And, all things considered, she was. She had married late, and cautiously, and she was satisfied with what she had got.” (200l: 13) Secara singkat di dalam novel ini diceritakan bahwa ayah Bessie yaitu Bert Bawtry merupakan seorang petani ladang yang bekerja keras untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup keluarganya tanpa ada topangan dari anggota keluarga yang lain. Melalui kutipan diatas, narator menyampaikan bahwa Ellen merasa cukup beruntung dan puas telah menikahi seorang laki-laki yang tekun dan ulet dalam bekerja, sehingga membuatnya berpikir bahwa dia tidak perlu bersusah payah bekerja membanting tulang mencari uang demi kebutuhan hidupnya serta keluarganya. Posisi tersebut membuat Ellen sangat bergantung kepada suaminya. Di sisi lain, karakter Ellen tersebut tidak mempengaruhi Bessie dalam keinginannya untuk bisa menjadi perempuan yang tidak bergantung kepada laki-laki dan terkekang di kampung halamannya untuk selamanya karena Bessie berpikir bahwa hidupnya tidak akan hanya berhenti di Breaseborough, tetapi masih banyak hal lain di luar sana yang ingin dia kejar dan tidak pernah dia ketahui karena larangan Ellen terhadap Bessie untuk keluar dari rumah apalagi dari kampung halamannya. Dari semua faktor yang telah diutarakan narator dari awal hingga akhir, sampailah kepada penggambaran kehidupan Bessie oleh narator di satu titik terakhir ketika Bessie sudah menjalani segala rutinitas nya dalam ranah domestik.
“Bessie Barron now sank into depression with an almost voluptuous abandon. She lay in bed and slept in the afternoons and began to watch television from time to time, am medium she had formerly derided. Inside her airy house, she wove her own dark cave and hid in it, surrounded by strangely lowbrow magazines and detective stories and soap operas.” (200l: 181) Menurut sudut pandang perseptual diatas, narator mencoba menggambarkan bagaimana depresi mengiringi kehidupan Bessie yang telah mengubahnya menjadi Bessie yang sangat acuh. Setelah sekian lama dirinya terjerat ke dalam kehidupan yang tidak dia inginkan sepenuhnya, Bessie terjerumus ke dalam lubang hitam kejenuhan yang entah sampai kapan dia bisa menyelamatkan dirinya dari lubang hitam tersebut. Kesimpulan terakhir dalam pembahasan sub bab ini adalah karakter tokoh utama perempuan yang mengalami perubahan watak akibat pernikahan, dari mandiri menjadi tidak mandiri. Hal tersebut telah dibuktikan oleh pengidentifikiasian karakter berdasarkan pembahasan kutipan-kutipan diatas. Kemudian, dalam hal suara, narator sudah berusaha berpihak kepada kehidupan ranah domestik daripada ranah publik. Hal tersebut telah dibuktikan dari awal penceritaan, ketika narator berpihak terhadap cara Ellen mendidik Bessie, hingga kepada akhir penceritaan ketika narator kembali mempertanyakan apa kegunaan pendidikan Bessie jika pada akhirnya kehidupan Bessie harus berakhir sendiri dalam ranah domestik seperti ibunya dulu.
Simpulan Dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh utama perempuan dalam ketiga novel kontemporer tersebut memiliki tema kemandirian perempuan yang berbeda-beda. Candida meraih kemandiriannya setelah perceraian dengan mantan suaminya, Andrew. Frieda meraih kemandiriannya tanpa harus dipaksa melalui pernikahan maupun perceraian, karena karakter Frieda yang memang sudah mandiri dari awal penceritaan sangat kuat melekat
hingga akhir penceritaan. Frieda yang memutuskan untuk menceraikan suaminya berpikir bahwa dia tidak ingin jika suatu saat penikahan itulah yang menjadi senjata makan tuan bagi dirinya sendiri. Terakhir, adalah Bessie yang sebenarnya bisa meraih kemandiriannya sebelum pernikahan. Pernikahannya dengan Joe menjadi gerbang utama hilangnya watak kemandirian perempuan yang ada pada dirinya. Jadi, keseluruhan simpulan merujuk kepada pemikiran bahwa konstruksi perkawinan merupakan penghambat para tokoh perempuan tersebut dalam meraih kemandirian.
Daftar Sumber Gerard, Genette.Narrative Discourse. New York: Cornell University Press, 1972. Chatman, Seymour. Story and Discourse. New York: Cornell University Press, 1980. Drabble, Margaret. The Seven Sisters. United States of America: Harcourt Brace, 2002. Drabble, Margaret. The Witch of Exmoor.United States of America: Harcourt Brace, 1996. Drabble, Margaret. The Peppered Moth.United States of America: Harcourt Brace, 2001. Friedan, Betty.The Feminine Mystique. New York: Dell Publishing, 1963. Putnam Tong, Rosemarie. Feminist Thought. The United States of America: Westview Press, 1998. Gerrard, Nicci. Drabble and strife.September, 2000.The Guardian.February 2012.
.