Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
TEKNOLOGI PENANGANAN HAMA UTAMA TANAMAN JAGUNG A.M. Adnan Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam utamanya pada lahan kering di luar Jawa. Meskipun produktivitas jagung nasional meningkat, namun secara umum tingkat produkivitas biji jagung nasional masih rendah yaitu baru mencapai 3,11 t/ha pada tahun 2002. Kegiatan litbang jagung dari berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta telah mampu menyediakan teknologi produksi biji jagung dengan tingkat produktivitas 4,5 -10,0 t/ha tergantung pada kondisi lahan dan penerapan teknologinya.Namun demikian terget yang diharapkan terkadang tidak dapat dicapai karena adanya kendala abiotik dan biotik. Kendala abiotik banyak disebabkan oleh ketersediaan hara pada tanah yang rendah sementara kendala biotik meliputi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) terdiri atas gulma, penyakit, dan hama. Hama jagung menyerang seluruh fase pertumbuhan tanaman jagung, baik vegetatif maupun generatif. Hama yang biasa ditemukan pada tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), pemakan daun (Spodoptera litura), kutu daun (Aphis sp). dan belalang (Locusta sp.). Hama-hama ini memberikan kontribusi dalam kehilangan hasil tanaman jagung. Ketersediaan tehnologi penanganan hama ini telah banyak dilakukan baik oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia maupun lembaga-lembaga lain. Tehnologi penanganannya dapat berupa pemanfaatan agen hayati, pola tanam, kultur tehnis, varietas resisten, mekanis, dan kimiawi. Kata Kunci : Teknologi, penanganan, hama utama, jagung PENDAHULUAN Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam utamanya pada lahan kering di luar Jawa. Meskipun produktivitas jagung nasional meningkat, namun secara umum tingkat produkivitas biji jagung nasional masih rendah yaitu baru mencapai 3,11 t/ha pada tahun 2002 (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003). Kegiatan berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta telah mampu menyediakan teknologi produksi jagung dengan tingkat produktivitas 4,5-10,0 t/ha tergantung pada kondisi lahan dan penerapan teknologinya. Namun demikian target yang diharapkan sering tidak dapat dicapai karena adanya berbagai kendala. Swastika et al (2004) melaporkan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam meningkatkan produksi jagung nasional telah diidentifikasi dan dikelompokkan. Salah satu masalah produksi adalah cekaman lingkungan baik cekaman abiotis maupun biotis. Cekaman biotis berupa gangguan hama, gulma, dan penyakit sering menimbulkan kehilangan hasil yang cukup nyata. Hama jagung diketahui menyerang pada seluruh fase pertumbuhan tanaman jagung, baik vegetatif maupun generatif. Hama yang biasa ditemukan pada tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), pemakan daun (Spodoptera litura), kutu daun
454
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
(Aphis sp). dan belalang (Locusta sp.) (Kalshoven, 1981; Subandi et al, 1988; dan Swastika et al 2004). Hambatan biotik ini dapat diatasi dengan menggunakan teknologi pengendalian yang telah banyak diteliti di Balai Penelitian Tanaman Serealia dan berbagai lembaga penelitian lainnya. Makalah ini mengupas tentang teknologi penanganan hama utama tanaman jagung. HAMA UTAMA PRA PANEN JAGUNG Penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) O. furnacalis merupakan hama utama pada jagung di Asia. O. furnacalis ditemukan diseluruh Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur dan Australia (Mutuura dan Munroe, 1970). Di Indonesia serangga ini menyebar luas di Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Sumatera (Waterhouse 1993). Imagonya mulai meletakkan telur pada tanaman yang berumur dua minggu. Puncak peletakan telur terjadi pada stadia pembentukan bunga jantan sampai keluarnya bunga jantan. Betina penggerek batang lebih suka meletakkan telur di bawah permukaan daun utamanya pada daun ke 5 sampai daun ke 9 (Legacion and Gabriel, 1988). Jumlah telur yang diletakkan tiap kelompok beragam antara 30 sampai 50 butir atau bahkan lebih dari 90 butir (Kalshoven, 1981). Seekor ngengat betina mampu meletakkan telur 300-500 butir.(Lee et al. 1980). Siklus hidup serangga ini dapat dilihat pada Tabel 1. Serangga dewasa yang keluar dari pupa pada malam hari akan langsung kawin serta meletakkan telur pada malam yang sama hingga satu minggu sesudahnya. Inang lain dari spesies ini adalah sorgum, kedelai, mangga, okra, tomat, tembakau, lada, tebu, kapas, jahe, dan rumput-rumputan (PGCPP 1987). Larva O. furnacalis menyerang semua bagian tanaman jagung. Kehilangan hasil terbesar ketika kerusakan terjadi pada fase reproduktif (Kalshoven 1981). Serangga ini mempunyai karakteristik kerusakan pada setiap bagian tanaman jagung yaitu lubang kecil pada daun, lubang gorokan pada batang, bunga jantan, atau pangkal tongkol, batang dan tassel yang mudah patah, tumpukan tassel yang rusak, dan rusaknya tongkol jagung. Tabel 1. Siklus hidup penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) Fase Telur Larva instar I - VI Pupa Imago Total Siklus Hidup Sumber: Lee et al, 1980.
Stadium (Hari) 3–4 17 – 30 6-9 7 – 11 33 - 54
Penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera Hbn.) Imago betina H. armigera meletakkan telur pada pucuk tanaman dan bilamana tongkol sudah mulai keluar maka telur tersebut diletakkan pada rambut jagung. Rata-rata produksi telur imago betina adalah 730 butir dengan masa oviposisi 10 sampai 23 hari. Telur menetas dalam tiga hari setelah diletakkan pada suhu 22,5oC dan dalam sembilan hari pada suhu 17oC (Kalshoven 1981) Larva spesies ini terdiri dari lima sampai tujuh instar, tetapi pada umumnya terdiri dari enam instar dengan pergantian kulit (moulting) setiap instarnya dua sampai empat hari. Periode perkembangan larva sangat bergantung pada suhu dan kualitas makanannya.
455
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Khususnya pada jagung, masa perkembangan larva pada suhu 24 sampai 27,2oC adalah 12,8 sampai 21,3 hari. Larva serangga ini memiliki sifat kanibalisme sehingga hal ini merupakan salah satu faktor yang menekan perkembangan populasinya (CPC 2001). Spesies ini mengalami masa pra pupa selama satu sampai empat hari. Selama periode ini, larva menjadi pendek dan lebih seragam warnanya dan kemudian berganti kulit menjadi pupa. Masa pra pupa dan pupa biasanya terjadi dalam tanah dan kedalamannya bergantung pada kekerasan tanah. Pada umumnya pupa terbentuk pada kedalaman 2,5 sampai 17,5 cm. Terkadang pula serangga ini berpupa pada permukaan tumpukan limbah tanaman atau pada kotoran serangga ini yang terdapat pada tanaman. Pada kondisi yang tidak memungkinkan H. armigera mengalami diapause atau sering disebut diapause pupa fakultatif. Diapause pupa dapat berlangsung beberapa bulan bahkan dapat lebih dari satu tahun. Pada kondisi lingkungan mendukung, fase pupa bervariasi dari enam hari pada suhu 35oC sampai 30 hari pada suhu 15oC. Imago betina akan meletakkan telur pada silk jagung dan sesaat setelah menetas larva akan menginvasi masuk kedalam tongkol dan akan memakan biji yang sedang mengalami perkembangan. Infestasi serangga ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung. Ulat grayak (Spodoptera litura.) S. litura ini merupakan serangga hama penting pada tanaman pertanian di Asia Tenggara dan spesies ini juga terdistribusi luas keseluruh Asia tropis dan Asia Sub tropis, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik (Kranz et al. 1977). Spesies ini adalah serangga polipagous. Tanaman inangnya selain jagung adalah tomat, kapas, tembakau, padi, kakao, jeruk, ubi jalar, kacang tanah, jarak, kedelai, kentang, kubis, dan bunga matahari (Holloway. 1989). Siklus hidup S. litura yang direaring pada beberapa jenis inang dapat dilihat pada Tabel 2.
456
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
TabeL 2. Komparasi Siklus hidup (hari) S. litura pada beberapa tanaman inang yang berbeda. INANG STADIA Zapata 1970
Telur Larva instar Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam Ketujuh Total stadium larva Fase Pupa Pre-pupa Pupa Total perkemban gan Longeviti imago Jantan Betina Total lama hidup (dari telur hingga dewasa mati) Jantan Betina
Bush Sitao 3.5
Jagung
-
Petsai
3.5
Okr a 3.5
3.0 2.0 2.0 2.0 2.0 3.5 14.5
2.5 2.0 2.0 2.5 2.5 2.0 5.5 10.5
10.5
Cadapan 1985
Paris 1968
Hidayat 2003
Jarak
Jarak
3.24
3.33 0.58
4.40 3.34 2.53 1.76 1.31
Tomat
3.5
Ubi Jalar 3.5
3.5
Kacang Tanah 3.6
3.0 2.5 2.5 2.5 2.5 4.0 17
2.5 2.0 2.0 2.0 1.5 2.5 12.5
3.0 2.5 2.0 2.0 2.5 4.5 16.5
3.0 2.5 2.0 2.5 2.0 2.0 2.0 16
3.3 3.3 3.2 3.1 4.2 3.1 21.1
3.02 2.09 2.11 2.66 2.36 4.43 16.09
11.5
10.0
10.5
10.5
10.5
9.5
9
1.00 0 8.5 1.73
28.5
33.5
30.5
25.5
30.5
29.0
37.7
28.96
27.00 6.24
-
-
-
-
-
-
3.5
-
4.85 1.09 5.70 1.38
-
-
-
-
-
-
-
0.346 0.17 0.05 0.15 0.36 14.33 4.16
30.67 8.14 31.67 8.33
Lalat Bibit (Atherigona sp) Atherigona sp. biasanya meletakkan telur di pagi hari atau malam hari. Telur-telur tersebut diletakkan secara tunggal di bawah daun, axil daun, atau batang dekat permukaan tanah.Telur spesies ini putih memanjang dengan ukuran panjang 1,25 mm dan lebar 0,35 mm. dan berwarna gelap sebelum menetas (CPC 2001) Larva berukuran panjang hingga sembilan mm yang berwarna putih krem pada awalnya dan selanjutnya menjadi kuning hingga kuning gelap. Pupa terdapat pada
457
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
pangkal batang dekat atau di bawah permukaan tanah. Puparium berwarna coklat kemerah-merahan sampai coklat dengan ukuran panjang 4,1 mm. Segmentasi tidak dapat dibedakan. Imago betina mulai meletakkan telur tiga sampai lima hari setelah kawin dengan jumlah telur tujuh sampai 22 butir atau bahkan hingga 70 butir. Imago betina meletakkan selama tiga sampai tujuh hari. Lama hidup serangga betina dua kali lebih lama daripada jantan. Lama siklus hidup dari telur hingga dewasa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Siklus hidup lalat bibit (Atherigona sp.) Fase Telur Larva instar I - III Pupa Imago Total Siklus Hidup Sumber: CPC 2001
Stadium (Hari) 1–4 6 – 18 5 - 12 5 – 23 17 - 57
Terdapat beberapa variasi dalam ekologi lalat bibit pada area yang berbeda, tetapi pada umumnya kelembaban yang tinggi sangat mendukung perkembangan spesies ini. Jika kondisi sangat kering, telur akan gagal menetas atau larva mati sebelum dia mampu melakukan penetrasi batang. Penetasan dan aktivitas imago terjadi selama kondisi dingin dalam satu hari. Larva yang baru menetas melubangi batang yang kemudian membuat terowongan hingga dasar batang sehingga tanaman menjadi kuning dan akhirnya mati. Jika tanaman mengalami recoveri, maka pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Belalang (Locusta migratoria) Seekor betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur ini berwarna keputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi dalam tanah pada kedalaman sekitar 10 cm. Menurut BPOPT (2000) telur-telur tersebut akan menetas setelah 17 hari, sementara menurut Farrow (1990), telur-telur tersebut menetas dari 10 sampai 50 hari bergantung temperatur. Nimfa mengalami lima kali ganti kulit (lima instar) dengan stadium nimfa terjadi selama 38 hari. Imago betina yang memiliki warna coklat kekuning-kuningan siap meletakkan telur setelah lima sampai 20 hari bergantung temperatur. Seekor betina mampu menghasilkan enam sampai tujuh kantong telur dalam tanah dengan jumlah 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu kali kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong. Sementara imago jantan yang memiliki warna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan dengan betinanya. Lama hidup dewasa adalah 11 hari. Siklus hidup rata-rata 76 hari sehingga dalam setahun dapat mengahsilkan empat sampai lima generasi di daerah tropis utamanya Asia Tenggara, sementara di daerah Subtropis serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Dalam kehidupan dan perkembangan koloni belalang kembara dikenal mengalami tiga fase pertumbuhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase gregaria. Pada fase “soliter”, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan tanaman. Pada fase “gregaria”, belalang kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar, berpindah-pindah tempat dan menimbulkan kerusakan tanaman secara besar-besaran pula. Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan sebaliknya
458
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi oleh kondisi iklim, melalui fase yang disebut transien. Perubahan fase soliter ke fase gregaria biasanya dimulai pada awal musim hujan setelah melewati musim kemarau yang cukup kering (dibawah normal). Pada kondisi tersebut, biasanya terjadi peningkatan konsentrasi populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara ekologis sesuai untuk berkembang. Lokasi tersebut biasanya mempunyai lahan yang terbuka atau banyak rerumputan, tanahnya gembur berpasir, dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanahnya cukup lembab. Setelah berlangsung 3-4 generasi apabila kondisi lingkungan memungkinkan akan berkembang menjadi fase gregaria, melalui fase transien. Lokasi ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal. Perubahan fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya apabila keadaan lingkungan tidak menguntungkan bagi kehidupannya, terutama karena pengaruh curah hujan, tekanan musuh alami dan atau tindakan manusia melalui usaha pengendalian. Perubahan ini melalui fase transien pula. Belalang kembara fase gregaria aktif terbang pada siang hari dalam kelompokkelompok besar. Pada senja hari, kelompok belalang hinggap pada suatu lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahan-lahan kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi dan kawin. Pada pagi harinya, kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari tersebut biasanya dimakan sampai habis. Sedangkan kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya berpindah tempat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanan biasanya juga memakan tanaman yang dilewatinya. Tanaman yang paling disukai belalang kembara adalah kelompok “Graminae” yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang, gelagah dan berbagai jenis rumput. Selain itu, belalang dapat memakan daun kelapa, bambu, kacang tanah, petsai, sawi, kubis daun. Tanaman yang tidak disukai antara lain kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, tomat, ubi jalar dan kapas. Gejala serangan belalang tidak spesfik tergantung pada tipe tanaman yang diserang dan tingkat populasi dari spesies ini. Biasanya bagian tanaman pertama yang diserang adalah daun dan termakan hampir keseluruhan daun termasuk tulang daun jika serangannya berat. Selain itu, spesies ini dapat pula memakan batang dan tongkol jagung jika populasinya sangat tinggi dengan sumber makanan terbatas. Kutu Daun (Aphis maidis) Kutu daun membentuk koloni yang besar pada daun yang meliputi betina yang bereproduksi secara partenogenesis (tanpa kawin). Umumnya, stadia nimfa terdiri dari empat instar (Kring, 1985). Stadium nimfa terjadi selama 16 hari pada suhu 15oC, sembilan hari pada suhu 20oC, dan lima hari pada suhu 30oC. Seekor betina yang tidak bersayap mampu melahirkan rata-rata sebanyak 68,2 ekor nimfa, sementara betina bersayap 49 nimfa (Adams dan Drew, 1964). Lama hidup imago adalah 4-12 hari (Ganguli dan Raychaudhuri, 1980). Ketiadaan fase telur di luar tubuh Aphis maidis betina karena proses inkubasi dan penetasan terjadi di dalam alat reproduksi betina dan diduga pula bahwa telur tidak mampu bertahan pada semua kondisi lingkungan. Serangga ini lebih senang berada pada suhu yang hangat dibandingkan pada suhu yang dingin. Mau dan Kessing (1992) melaporkan bahwa imago lebih aktif di lapangan pada suhu 17 oC dan 27oC.
459
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Aphis maidis dalam kelompok yang besar di daun dan batang, mengisap cairan daun dan batang menyebabkan daun berwarna tidak normal, bentuk daun yang tidak normal yang pada akhirnya tanaman mengering . Kutu daun ini pula menghasilkan honeydew yang dikeluarkan melalui sersinya sehingga menbentuk embun jelaga berwarna hitam yang menutupi daun yang mengakibatkan proses fotosintesis tanaman tidak optimum. ARTI EKONOMI HAMA UTAMA JAGUNG Lalat bibit (Atherigona sp.) hanya ditemukan di daerah Jawa dan Sumatera dan dapat merusak pertanaman hingga 80% atau bahkan 100%. Tanaman yang serangannya kurang dapat pulih, menyebabkan fase generatif terhambat dan hasil berkurang. Serangga ini menyerang titik tumbuh dari jagung muda yang berumur 2-5 hari, sehingga mengakibatkan kematian tanaman (Kalshoven 1981, CPC, 2001). Penggerek batang (Ostrinia furnacalis) menyerang seluruh fase perkembangan tanaman dan seluruh bagian tanaman jagung. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangga ini dapat mencapai 80% (Bato et al, 1983; Wiseman et al, 1984; Nafus dan Schreiner, 1987). Ciri khas dari serangannya adalah lubang kecil pada daun, gerekan pada batang, kerusakan pada tassel, dan kerusakan sebagian janggel. Penggerek tongkol (Helicoverpa armigera) meletakkan telurnya pada silk dan larvanya menginvasi janggel serta memakan biji jagung yang sedang dalam proses pengisian. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 10% (Wiseman et al. 1984). Ulat grayak (Spodoptera litura) dapat merusak tanaman 5% sampai 50% (Metcalf dan Metcalf 1993). Belalang kembara (Locusta migratoria) menyerang daun akibatnya hanya menyisakan tulang daun dan batang, bahkan pada kondisis tertentu serangga ini dapat memakan tulang daun dan batang sehingga jika dipresentasikan spesies ini dapat merusak tanaman hingga 90% (Roe 2000). Kutu daun (Aphis maidis) yang mengisap cairan tanaman jagung menyebabkan kehilangan hasil berkisar antara 15,8% sampai 78% (Chillar and Verma ,1982; Mustea, 1999). TEKNOLOGI PENANGANAN HAMA UTAMA PRA PANEN JAGUNG Pengendalian Penggerek batang Hayati. Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid, cendawan, predator, bakteri, dan nematoda mampu menekan serangan hama ini. Parasitoid telur yang dapat menekan infestasi serangga ini adalah Trichogramma spp. Trichogramma spp. adalah parasitoid telur yang efektif memarasit telur penggerek batang jagung baik di laboratorium maupun lapangan (Tabel 4). T. evanescens efektif memarasit telur O. furnacalis di laboratorium dengan persentase parasitasi mencapai 97,68% (Pabbage et al. 1999). Nonci et al. (1998) melaporkan bahwa parasitasi parasitoid telur penggerek batang ini di daerah-daerah sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan berkisar antara 71,56 sampai 89,80%.
460
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Tabel 4. Rata-rata tingkat parasitasi Trichogramma evanescens furnacalis, Maros, 2001. Perlakuan 4, 5, 6, 7, dan 8 MST 4, 5, 6, dan 7 MST 5, 6, 7, dan 8 MST 6, 7, dan 8 MST Berdasarkan gejala serangan di lapangan (populasi telur 1 kelompok/30 tanaman) Kontrol (tanpa pelepasan) Sumber: Nonci, et al., 2001 MST = Minggu setelah tanam
terhadap telur O.
Tingkat parasitasi pada pengamatan (%) 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 0,00 15,28 25,63 54,24 5,28 0,00 31,43 51,98 13,50 10,29 0,00 91,96 3,22 10,29 58,83 64,50 17,04 13,67 69,84 71,06
17,62
6,40
60,24
33,33
Cendawan sebagai entomopatogenik adalah Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae. Pada pengujian Laboratorium, mortalitas larva instar II dari O. furnacalis yang diinokulasi cendawan B. bassiana dengan konsentrasi 5 x 107 konidia/ml mencapai 62,50%, instar III mencapai 55%, instar IV hingga 57%, sementara instar V mencapai 55% (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa cendawan ini cukup efektif mengendalikan penggerek batang jagung. Sementara pengujian lapangan untuk M. anisopliae dilaporkan bahwa cendawan ini mampu mengendalikan penggerek batang dengan terindikasi rendahnya kerusakan daun (13,25%) dan bunga jantan (5,30%) dibandingkan dengan kontrol pada kerusakan daun dan bunga jantan berturut-turut adalah 24,25% dan 27,00 % pada 6 MST (Baco dan Yasin 2001). Tabel 5. Mortalitas beberapa larva instar O. furnacalis pada perlakuan konsentrasi cendawan B. bassiana saat 7 hari setelah inokulasi. Maros, 2001. Konsentrasi 2 5 x 107 62,50 5 x 106 45,00 5 5 x 10 35,00 5 x 104 17,50 5 x 103 10,00 Control 0,00 Sumber: Yasin, et al., 2001
Mortalitas (%) larva instar 3 4 55,00 57,50 47,50 30,00 30,00 47,50 15,00 12,50 2,50 12,50 0,00 0,00
5 55,00 27,50 20,00 10,00 2,50 0,00
Predator yang biasa menyerang adalah Micraspis sp. dan Cecopet (Euborellia annulata). Kesuksesan cecopet dalam mengendalikan O. furnacalis tercermin pda tingkat kerusakan oleh serangga hama ini yang relatif rendah (Tabel 6). Laba-laba dari famili Argiopidae, Oxyopidae, dan Theriidae dan sejenis semut Solenopsis germinata memangsa larva utamanya larva muda (Hasse dan Litsinger 1980).
461
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Tabel 6 . Persentase tanaman jagung rusak akibat O. furnacalis yang diberi perlakuan pelepasan E. annulata, Bajeng, 2007 Pengamatan
Perlakuan
10 MST 37,57 25,58 14,68 2,72 3,22
0 ekor/ha (Kontrol) 1000 ekor/ha 5000 ekor/ha 10000 ekor/ha 20000 ekor/ha Sumber : Adnan, 2007 MST = Minggu setelah tanam
12 MST 47,57 35,64 24,68 4,22 4,58
Bakteri yang digunakan untuk mengendalikan spesies ini adalah Bacillus thuringiensis sub species Kurstaki. Sementara nematoda dari famili Steinernematidae efektif untuk mengendalikan O. furnacalis (Tabel 7). TabeL 7. Pengaruh beberapa konsentrasi nematoda Steinernematidae isolat Los Banos terhadap O. furnacalis yang diinfestasikan ke tanaman jagung pada percobaan rumah kawat. Los Banos, 2004. Perlakuan
Kerusakan Tanaman pada 36 HST
N2000 8.2 N4000 7 N8000 7 Insektisida 5 Kontrol 9 Sumber: Adnan, 2004
Mortalitas Larva
Jumlah Larva yang Masih Hidup pada Batang
Rata-rata Jumlah Nematoda dalam Tubuh Larva
34 42 54 90 8
6.6 5.8 4.4 1 9.2
31.13 42.2 43.14 0 0
Kultur Teknis/Pola Tanam. Serangan penggerek batang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Waktu tanam yang baik untuk menghindari serangan penggerek batang adalah penanaman pada awal musim hujan paling lambat empat minggu sesudah mulai musim hujan. Kultur teknis berupa tumpangsari jagung dengan kedelai atau kacang tanah akan mengurangi serangan dan kerusakan hama ini (Hasse dan Litsinger, 1980). Hasil penelitian Nafus dan Schreiner, (1987) menunjukkan bahwa 40-70% larva berada pada bunga jantan, sehingga pemotongan sebagian bunga jantan (4 dari 6 baris) akan sangat mengurangi serangan penggerek batang. Kimiawi. Penggunaan insektisida yang berbahan aktif monokrotofos, triazofos, diklhrofos, dan karbofuran efektif untuk menekan serangan penggerek batang jagung (Ruhendi et al, 1985). Insektisida dianjurkan apabila telah ditemukan 1 kelompok telur per 30 tanaman. Insektisida cair atau semprotan hanya efektif saat masih fase telur dan larva instrar I sampai III sebelum larva masuk ke dalam batang. Sementara pengendalian dengan menggunakan insektisida granul yang bersifat sistemik yang dapat dilakukan melalui pucuk daun atau akar dapat mengendalikan semua stadium penggerek batang.
462
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Pengendalian Penggerek Tongkol Hayati. Musuh alami yang digunakan sebagai pengendali hayati dan cukup efektif untuk mengendalikan penggerek tongkol adalah Trichogramma spp yang merupakan parasit telur dimana tingkat parasitasi Trichogramma spp. pada hampir semua tanaman inang H. armigera sangat bervariasi dengan angka maksimum 49% (Mustea, 1999), sementara menurut Pabbage et al., 2001 bahwa tingkat parasitasi T. bactrae fumata terhadap telur H. armígera mencapai 100% (Tabel 8). Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae) parasit pada larva muda. Dalam kelembaban cukup, larva juga diinfeksi oleh Metarhizium anisopliae. Tabel 8. Rata-rata jumlah telur H. armigera pada jambul per tongkol dan presentase telur terparasit T. bactrae fumata. Maros, 2000. Perlakuan
Jumlah telur H. armigera per tongkol (butir) 56 HST 63 HST 5,00 0,67 6,67 0,67 6,67 2,33 6,33 0,67 6,33 3,00
5, 7, dan 9 MST 5 dan 7 MST 5 dan 9 MST 7 dan 9 MST Berdasarkan keberadaan telut H. armigera Kontrol (tanpa 6,33 pelepasan) Sumber: Pabbage et al., 2001
3,67
Telur terparasit (%) 56 HST 66,67 60,00 70,00 52,61 57,98
63 HST 100,00 100,00 71,67 100,00 77,67
57,98
90,74
Agen pengendali yang lain yang juga berpotensi untuk mengendalikan serangga ini adalah bakteri Bacillus thuringensis dan virus Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV). Kultur Teknis. Pengelolaan tanah yang baik akan merusak pupa yang terbentuk dalam tanah dan dapat mengurangi populasi H. armigera berikutnya. Kimiawi. Agak sulit mencegah kerusakan oleh serangga ini karena larva segera masuk ke tongkol sesudah menetas. Untuk mengendalikan larva H. armigera pada jagung, penyemprotan harus dilakukan setelah terbentuknya silk dan diteruskan (1-2) hari hingga jambul berwarna coklat. Untuk ini dibutuhkan 14-28 kali penyemprotan per musim sehingga biayanya cukup mahal (Baco dan Tandiabang 1998). Pengendalian Ulat Grayak Hayati. Ulat grayak diketahui memiliki banyak musuh alami. Secara keseluruhan terdapat 131 spesies musuh alami dari serangga ini telah dilaporkan dari berbagai tempat di dunia. Trichogramma spp diketahui sebagai parasitoid telur, selain itu ordo Hymenoptera dari famili Scelionidae dan Brachonidae merupakan parasitoid telur. Chelonus dan Telenomus diketahui sebagai parasitoid telur, larva, dan pra pupa. Nosema carpocapsae dapat menginfeksi larva ulat grayak. Aspergillus flavus, Beauveria bassina, Nomuarea rileyi, dan Metarhizium anisopliae adalah cendawan yang efektif untuk mengendalikan larva serangga ini (Tabel 9).
463
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Tabel 9. Mortalitas larva ulat grayak instar II pada berbagai konsentrasi cendawan M. anisopliae, Balitjas, 1999. Konsentrasi 2 4 10 5,00 105 5,00 106 7,50 107 10,00 108 10,00 Kontrol 0,00 Sumber: Yasin, et. al. 2000
4 5,00 7,50 10,00 15,00 15,00 0,00
Pengamatan (HSI) 6 10,00 12,50 20,00 22,50 37,50 0,00
8 12,50 20,00 30,00 55,00 70,00 0,00
10 22,50 30,00 60,00 80,50 85,00 0,00
NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) adalah virus pengendali hayati yang umum dan potensial digunakan untuk mengendalikan ulat grayak. Sementara nematoda dari famili Mermithidae dan Steinernematidae juga efektif untuk mengendalikan spesies ini (Tabel 10). Tabel 10. Pengaruh beberapa konsentrasi nematoda Steinernematidae isolat Los Banos terhadap O. furnacalis yang diinfestasikan ke tanaman jagung pada percobaan rumah kawat. Los Banos, 2004. Perlakuan
Kerusakan Tanaman pada 36 HST N2000 5.8 N4000 5.8 N8000 5 Insektisida 3.4 Kontrol 7.4 Sumber: Adnan, 2004
Mortalitas Larva
Jumlah Larva yang Masih Hidup pada Batang
Rata-rata Jumlah Nematoda dalam Tubuh Larva
36 42 58 96 8
6.4 5.8 4.2 0.4 9.2
44.18 49.91 59.13 0 0
Bakteri Bacillus thuringensis adalah salah satu agen pengendali yang mampu memberikan mortalitas cukup tinggi pada ulat grayak. Kultur Teknis. Oleh karena serangga ini membentuk pupa dalam tanah, maka pengolahan tanah yang baik dan pembakaran sisa tanaman/gulma dapat menurunkan populasi pada pertanaman berikutnya. Mekanik. Pengumpulan dengan tangan dari kelompok telur ulat grayak dan kemudian membakarnya dapat dilakukan sebagai salah satu pengendalian untuk menekan populasi hama ini Kimiawi. Peletupan populasi ulat grayak biasanya tiba-tiba dan tidak disangkasangka sehingga pengendalian yang berperan penting dalam hal ini adalah insektisida karena dapat memberikan hasil yang cepat dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan (1984) menganjurkan aplikasi insektisida jika sudah ditemukan dua ekor larva/m2 . Beberapa insektisida yang dianggap cukup efektif adalah monokrotofos, diazinon, khlorpirifos, triazofos, dikhlorovos, sianofenfos, dan karbaril (Ruhendi et al. 1985).
464
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Pengendalian Lalat bibit Hayati. Parasitoid yang memarasit telur adalah Trichogramma spp. dan parasit larva adalah Opius sp. dan Tetrastichus sp. Sementara predator dari lalat bibit adalah Clubiona japonicola yang merupakan predator imago. Kultur Teknis dan Pola Tanam. Oleh karena aktivitas lalat bibit hanya selama satu sampai dua bulan pada musim hujan maka dengan mengubah waktu tanam, serangan dapat dihindari. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi dan jagung serta tanam serempak dapat menekan serangan hama ini (Litsinger, 1978). Varietas Resisten. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros sementara ini melakukan pengujian ketahanan beberapa galur yang diharapkan dapat dijadikan varietas yang toleran terhadap lalat bibit. Penelitian telah berlangsung sejak 2006. Galur-galur jagung QPM putih dan kuning dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Tabel 11. Galur-galur QPM Putih yang tahan Terhadap lalat bibit. Muneng, 2006 Kode Galur
Tingkat Serangan (%) 0 0 0 0 0
Tinggi Tanaman (cm) 166,3 172,5 161,2 154,3 182,7
Tinggi Tongkol (cm) 88,3 82,5 76,3 76,3 80,5
20
187,5
87,7
MSQ-P1(S1)-C1-11 MSQ-P1(S1)-C1-12 MSQ-P1(S1)-C1-44 MSQ-P1(S1)-C1-45 Srikandi Putih-1 (Cek Tahan) Bayu (Cek Rentan) Sumber: Balitsereal, 2006.
Tabel 12. Galur-galur QPM Kuning yang tahan terhadap lalat bibit. Muneng, 2006. Kode Galur
Tingkat Serangan (%) 5 5 5 15
Tinggi Tanaman (cm) 175,2 172,3 167 174,2
Tinggi Tongkol (cm) 79,8 77,5 66,7 80
25
164,3
87,8
MSQ-K1(S1)-C1-16 MSQ-K1(S1)-C1-35 MSQ-K1(S1)-C1-50 Srikandi Kuning-1 (Cek Tahan) Lamuru (Cek Rentan) Sumber: Balitsereal, 2006.
Kimiawi. Pengendalian dengan insektisida dapat dilakukan dengan perlakuan benih (seed treatment) yaitu thiodikarb dengan dosis 7,5-15 g b.a./kg benih atau karbofuran dengan dosis 6 g b.a./kg benih. Selanjutnya setelah tanaman berumur 5-7 hari, tanaman disemprot dengan karbosulfan dengan dosis 0,2 kg b.a./ha atau thiodikarb 0,75 kg b.a/ha. Penggunaan insektisida hanya dianjurkan di daerah endemik (Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan 1984). Pengendalian Belalang Hayati. Agens hayati Metharrizium anisopliae var. acridium, Beauveria bassiana, Enthomophaga sp. dan Nosuma cocustal di beberapa negara terbukti dapat digunakan pada saat populasi belum meningkat.
465
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Pola tanam. Di lahan pertanian tanaman pangan yang menjadi ancaman hama belalang kembara perlu dipertimbangkan untuk mengatur pola tanam dengan tanaman alternatif yang tidak disukai dan kurang disukai belalang dengan penanaman tumpang sari atau diversifikasi Pada areal yang sudah terserang belalang dan musim tanam belum terlambat, diupayakan segera diadakan penanaman kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang seperti, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, kacang panjang, tomat, atau dengan alternatif lain yaitu tanaman yang kurang disukai belalang seperti kacang tanah, petsai, kubis, sawi atau lainnya. Mekanis. Melakukan gerakan massal pengendalian mekanis sesuai stadia populasi : * Stadia telur Untuk mengetahui adanya lokasi telur maka harus melakukan pemantauan lokasi dan waktu hinggap kelompok belalang dewasa secara intensif. Pada areal tersebut atau lokasi bekas serangan yang diketahui terdapat populasi telur, dilakukan kegiatan pengumpulan kelompok telur yaitu dengan melakukan pengolahan tanah sedalam 10 cm, kelompok telur diambil dan dimusnahkan, kemudian lahannya segera ditanami kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang. * Stadia nimfa Setelah sekitar 2 minggu sejak hinggapnya kelompok belalang kembara mulai dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan adanya nimfa yang muncul. Pengendalian nimfa dengan cara memukul, menjaring, membakar atau perangkap lainnya. Pengendalian pada saat nimfa adalah kunci penting. Menghalau nimfa ke suatu tempat yang sudah disiapkan di tempat terbuka untuk kemudian dimatikan. Nimfa yang sudah ada di tempat terbuka apabila memungkinkan dapat juga dilakukan pembakaran namun harus hati-hati agar api tidak merembes ke tempat lain. Kimiawi. Pada keadaan populasi tinggi, dalam waktu singkat harus diupayakan penurunan populasi. Apabila cara-cara lain sudah ditempuh populasi masih tetap tinggi alternatif lainnya yaitu penggunaan insektisida yang efektif dan diijinkan. Penyemprotan dengan menggunakan alat aplikasi ULV lebih baik karena lebih efisien. Pengendalian yang tepat dilakukan sejak stadia nimfa kecil karena belum merusak, lebih peka terhadap insektisida, dapat dilakukan pada siang hari. Apabila terpaksa karena terlambat atau tidak diketahui sebelumnya, pengendalian terhadap imago dilaksanakan pada malam hari pada saat belalang beristirahat (mulai belalang hinggap pada senja hari sampai terbang waktu pagi hari). Jenis insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan belalang adalah jenis insektisida berbahan aktif organofosfat seperti fenitrothion. Pengendalian Kutu Daun Hayati. Aphelinus maidis dan Lysiphlebus mirzai (Famili: Braconidae) diketahui berpotensil sebagai parasit pada hama ini. (Mau dan Kessing, 1992; Tripathi dan Singh 1995). Coccinella sp. dan Micraspis sp. dapat dimanfaatkan sebagai predator Kultur Teknis. Trujillo dan Altieri (1990) menyarankan polikultur karena dengan polikultur akan meningkatkan predasi dari predator kutu daun dibandingkan dengan monokultur jagung.
466
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Kimiawi. Umumnya, kutu daun dapat dengan mudah dikendalikan dengan menggunakan insektisida kontak atau sistemik. Insektisida granular sering dipakai untuk mengendalikan hama ini pada tanaman sereal. Beberapa insektisida seperti malathion lebih disenangi dibanding yang lain karena lebih sedikit efeknya terhadap populasi musuh alami (Ba Angood and Stewart 1980). Selain itu dimethoate dan methyl dimeton juga efektif untuk mengendalikan A. maidis pada jagung KESIMPULAN Upaya peningkatan produksi jagung seringkali terkendala oleh faktor abiotik dan biotik. Kendala biotik meliputi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) dimana OPT ini terdiri dari gulma, penyakit, dan hama Hama jagung diketahui menyerang pada seluruh fase pertumbuhan tanaman jagung, baik vegetatif maupun generatif. Hama yang biasa ditemukan pada tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), pemakan daun (Spodoptera litura), Aphis sp. dan belalang. Hama-hama ini memberikan kontribusi dalam kehilangan hasil tanaman jagung. Ketersediaan tehnologi penanganan hama ini telah banyak dilakukan baik oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia maupun lembaga-lembaga lain. Teknologi penanganannya dapat berupa pemanfaatan agen hayati, pola tanam, kultur tehnis, varietas resisten, mekanis, dan kimiawi. DAFTAR PUSTAKA Adams JB, ME, Drew, 1964. Grain aphids in Brunswick. II. Comparative development in the greenhouse of three aphid species on four kinds of grasses. Canadian Journal of Zoology, 42:741-744. Adnan, A.M., 2004. Isolation, characterization, and efficacy of entomopathogenic nematodes as biological control agent against Asian Corn Borer (Ostrinia furnacalis) and Cutworm (Spodoptera litura). University of The Philippines Los Banos. Dissertation. Adnan, A.M. 2007. Pengendalian Penggerek Batang Jagung (Ostrinia furnacalis) dengan Menggunakan Predator Euborellia annulata.. Laporan Akhir Tahun Balai Penelitian Tanaman Serealia. Ba Angood SA, and RK, Stewart, 1980. Effect of granular and foliar insecticides on cereal aphids (Hemiptera) and their natural enemies on field barley in southwestern Quebec. Canadian Entomologist, 112:1309-1313. Baco, D. dan J. Tandiabang., 1998. Hama Utama Jagung dan Pengendaliannya. Dalam Buku Jagung. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Maros. Baco, D., dan M. Yasin, 2001. Pengendalian penggerek jagung (O. furnacalis) dengan predator dan patogen. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2006. Laporan Tahunan RPTP. Bato, S.M., T.R. Evert, and O.O. Malijan. 1983. Integrated pest management for Asia corn borer control. National Crop Protection Center. No. 9. UP. Bio Pengendalian OPT 2000. Belalang Kembara (Locuta migratoria). www.deptan.co.id. Crop Protection Compendium, 2001. CABI Chillar BS, AN, Verma, 1982. Yield losses caused by the aphid, Rhopalosiphum maidis (Fitch.) in different varieties/strains of barley crop. Haryana Agricultural University Journal of Research, 12(2):298-300. Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan, 1984.. Rekomendasi pengendalian jasad pengganggu tanaman di Indonesia. Direktorat Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. www. Deptan.go.id.
467
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Farrow RA, 1990. Flight and migration in Acridoids. In: Chapman R, Joern A, eds. Biology of Grasshoppers. Chichester, UK: John Wiley & Sons, 227-314. Ganguli RN, and DN, Raychaudhuri, 1980. Studies on Rhopalosiphum maidis Fitch (Aphididae: Homoptera) - a formidable pest of Zea mays (maize), in Tripura. Science and Culture, 46(7):259-261. Hasse, V. and J.A. Litsinger, 1980. Studies on environmental faactors responsible for the reduction of the Asian Corn Borer Ostrinia furnacalis Guenee, in yntercropped corn fields. Paper presented at the 11th National Conference of The Philippines 23-26 April 1980. Cebu City. Holloway JD, 1989. The moths of Borneo: family Noctuidae, trifine subfamilies: Noctuinae, Heliothinae, Hadeninae, Acronictinae, Amphipyrinae, Agaristinae. Malayan Nature Journal, 42(2-3):57-228. Kalshoven, LGE. 1981. Pests of crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.701 p. Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Komsumsi Jagung Dunia Selama empat Dekade yang Lalu dan Implikasinya bagi Indonesia.Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung di Bogor, 24 Juni 2002. Badan Litbang Pertanian. Kranz J, H Schumutterer, and W Koch, eds., 1977. Diseases Pests and Weeds in Tropical Crops. Berlin and Hamburg, Germany: Verlag Paul Parley Kring TJ, 1985. Key and diagnosis of the instars of the corn leaf aphid Rhopalosiphum maidis (Fitch). Southwestern Entomologist, 10(4):289-293. Lee YB, CY, Hwang, KM, Choi, and JY, Shim, 1980. Studies on the bionomics of the oriental corn borer Ostrinia furnacalis (Guenee). Korean Journal of Plant Protection, 19(4):187-192. Legacion DM, and BP, Gabriel, 1988. Note: oviposition of Asiatic corn borer moths on corn plants. Philippine Agriculturist, 71(3):375-378. Litsinger, J.A. 1978. Insect Pest of maize and shorgum. IRRI. Los Baños. The Philippines. Mau RFL, and Kessing JLM, 1992. Rhopalosiphum maidis (Fitch). Honolulu, Hawaii: Hawaii Entomology Extension Service. http://www.extento.hawaii.edu/. Metcalf, RL and RA Metcalf. 1993. Destructive and useful insects, their habits, and their control. Fifth Edition. Mc Grow-Hill, Inc. Mink, S.D., P.A. Dorosh, and D.H. Perry. 1987. Corn Production System. In Timmer (Ed) The Corn Economy of Indonesia. P. 62-87. Mustea D, 1999. The main pests of maize crops in central Transylvania (Principalii daunatori ai culturii porumbului in centrul Transilvaniei). Contributii ale cercetarii stintifice la dezvoltarea agriculturii, 6:205-213. Mutuura A, and E. Munroe, 1970. Taxonomy and distribution of the European corn borer and allied species: genus Ostrinia (Lepidoptera:Pyralidae). Memoirs of the Entomological Society of Canada No.71, 112 pp. Nafus, D.M. and I.H. Schreiner. 1987. Location of Ostrinia furnacalis Gueene. Eggs and larvae on sweet corn in relation to plant growth. Journal of econ entomol, 84(2): 411-416. Nonci, N, J. Tandiabang, D. Baco, dan A. Muis, 1998. Inventarisasi musuh alami penggerek batang (O. Furnacalis) pada sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, 1999. Pabbage, M.S., N. Nonci, dan D. Baco. 1999. Efektifitas Trichogramman evanescens pada berbagai umur telur penggerek batang jagung O. rurnacalis. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, 2000. Pabbage, M.S., Nonci, N, dan D. Baco, 2001. Keefektifan Trichogrammatidea bactrae fumata dalam mengendalikan penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera) di lapangan. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, 2002. Philippine-German Crop Protection Programme (PGCPP), !987. Integrated Pest Management. Corn. Bureau Of Plant Industry, Department of Agriculture. San Andres, Malate, Manila. Philippines. Pingali, P. 2001. CIMMYT 1999/2000 World Maize Facts and Trends. Meeting World Needs: Technological Opportunities and Properties for the Public Sektor.Mexico, D.F.: CIMMYT.
468
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Ruhendi, A. Iqbal, dan D. Soekarna. 1985. Hama Jagung di Indonesia. Dalam Hasil Penelitian Jagung, Sorgum dan Terigu 1980-1984. Risalah Rapat Teknis Puslitbangtan Bogor, 28-29 Maret 1985. p. 99-113 Roe, A.H. 2000. Grasshoppers and their Control. Extension Entomology. Department of Biology. UT. P. 1-5 Subandi, I. Manwan, and A. Blumenschein. 1988. National coordinated research program on corn. Central Research Institute for food crops. Agency for Agricultural Research and Development. Swastika, K.S. Dewa., F. Kasim, W. Sudana, Rachmat Hendayani, Kecuk Suhariyanto, Robert V. Gerpacio, and Parabhu L. Pingali, 2004. Maize in Indonesia, Production systems, constraints, and Research Priorities . CIMMYT. Tripathi RN, and R. Singh, , 1995. Host specificity and seasonal distribution of Lysiphlebia mirzai Shuja-Uddin (Hymenoptera: Braconidae). Biological Agriculture and Horticulture, 12:283294. Trujillo AJ, and MA Altieri, 1990. A comparison of aphidophagous arthropods on maize polycultures and monocultures, in Central Mexico. Agriculture, Ecosystems & Environment, 31(4):337-349; 31 ref. Waterhouse DF, 1993. The major arthropod pests and weeds of agriculture in Southeast Asia. The major arthropod pests and weeds of agriculture in Southeast Asia., v + 141 pp.; [ACIAR Monograph No. 21]; 3 pp. of ref. Wiseman, BR. N.W. Wulstrom, and W.W. Mc. Millian. 1984. Increased seasonal losses in field corn to corn earworm. J. Ca. Entomol Soc, 19, 41-43. Yasin, M., Masmawati, A.H. Talanca, S. Mas’ud dan D. Baco, 2000. Pengendalian ulat grayak pada tanaman jagung menggunakan Metarrhizium anisopliae dan carbofuran di Lanrang, Sidrap. Sulawesi Selatan. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, 2001. Yasin, M., S. Mas’ud, A.H. Talanca, dan D. Baco, 2001. Pengaruh lama penyimpanan cendawan Beauveria bassiana dalam pengendalian penggerek batang jagung (O. furnacalis). . Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, 2002.
469