10 AgroinovasI
TEKNOLOGI PAKAN PROTEIN RENDAH UNTUK SAPI POTONG Pakan merupakan komponen biaya tertinggi dalam suatu usaha peternakan, yaitu dapat mencapai 70-80%. Pengalaman telah menunjukkan kepada kita, bahwa usaha ternak yang berbasiskan sumberdaya dalam negeri (resources base) terutama yang memanfaatkan bahan baku spesifik daerahnya (local area spesifik) terbukti dapat lolos dari berbagai krisis yang ada selama ini. Sebaliknya usaha ternak yang hanya mengandalkan pasokan teknologi atau sumberdaya impor ternyata berkembang menjadi suatu usaha yang tidak mengakar (SOETIRTO,1998). Faktor pembatas untuk menyusun pakan ternak ruminansia yang berkualitas di antaranya adalah faktor harga dan ketersediaan bahan pakan sumber protein. Harga pakan sangat dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya kadar dan kualitas protein. Semakin tinggi kadar dan kualitas protein, maka harga pakan tersebut semakin mahal. Tersedianya pakan murah adalah sangat penting, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam memproduksi pakan tidak hanya harus murah hingga terjangkau oleh peternak tetapi harus terjamin kualitasnya (DIWYANTO ET AL., 2003). Kualitas pakan di daerah tropis pada umumnya bermutu rendah; yang ditandai oleh rendahnya energy (TDN), kadar protein kasar (PK) dan mineral esensial (SANTRA dan KARIM, 2003). Di samping itu sebagian besar pakan yang digunakan adalah limbah hasil pertanian atau industri pertanian. Pakan berupa biji-bijian atau protein hewani belum banyak digunakan karena adanya persaingan kebutuhan dengan ternak non-ruminansia maupun manusia. Bahan pakan yang digunakan untuk menyusun pakan dipilih berdasarkan kandungan gizi, harga, ketersediaan dan palatabilitasnya agar ternak dapat mengkonsumsi seoptimal mungkin. Tingkat konsumsi pakan yang lebih baik pada ternak akan berpengaruh langsung terhadap meningkatnya pertumbuhan, sehingga dalam waktu yang relatif singkat pertumbuhan daging menjadi optimal dan menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi (NGADIYONO ET AL., 2008). Pada kondisi cekaman panas, ternak sulit untuk melepaskan produksi panas metabolisme. Dengan demikian ternak melakukan respons penyesuaian panas dengan mengurangi konsumsi pakan yang pada akhirnya akan menurunkan produksi panasnya. Teori amino statik Mellinkof mengemukakan, bahwa konsumsi protein tinggi cenderung menyebabkan rasa kenyang cepat tercapai akibat tingginya kadar asam amino plasma. Pada saat kadar asam amino plasma tinggi, maka selera makan menurun (SUTARDI, 1980). Pemberian protein tinggi, tanpa diimbangi oleh energi yang cukup dapat menurunkan kecernaan pakan. Di samping itu dapat menimbulkan ruminal alkaliosis akibat meningkatnya konsentrasi amonia dalam rumen (OLDHAM dan SMITH, 1982). Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI
11
Formulasi pakan untuk ternak ruminansia dapat bervariasi luas, tanpa memberikan dampak negatif terhadap performans produktivitasnya. Hal yang paling pokok untuk diperhitungkan adalah keseimbangan nutrien pakan dan strategi pemberian pakan. Dengan pakan protein rendah; tentunya yang identik dengan harga murah, diharapkan biaya pakan dapat dikurangi secara signifikan, sehingga produk yang dihasilkan mempunyai daya saing tinggi. Diperlukan dukungan teknologi formulasi pakan rasional yang berkualitas namun tetap murah (MARIYONO dan ENDANG ROMJALI. 2007). Pemberian pakan terhadap sapi induk ditujukan untuk menurunkan kematian dan meningkatkan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) pedet pra-sapih, serta memperpendek jarak beranak. Pada sapi pembesaran ditujukan untuk memperpendek umur beranak pertama dan pada sapi penggemukan dilakukan untuk meningkatkan PBBH dan persentase karkas. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan aplikasinya pada kegiatan pembibitan, pembesaran dan penggemukan sapi potong yang menggunakan pakan protein rendah, maka sejak tahun 2005 penulis menginisiasi pembuatan standart/ patokan pemberian pakan sapi potong untuk memenuhi kebutuhan minimal nutrien pada beberapa status fisiologis. Standar pemberian pakan tersebut tentunya masih harus diuji dan disempurnakan sesuai dengan potensi pakan di lokasi usaha, perkembangan waktu dan hasil penelitian/ pengkajian lebih lanjut. Standar pemberian pakan protein rendah untuk sapi potong ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap pakan pada usaha pembibitan, pembesaran dan penggemukan sapi potong berbasis bahan pakan protein rendah, tanpa berakibat negatif terhadap produktivitas ternak. Pencernaan dan Absorbsi Pasokan asam amino ke dalam usus halus ternak ruminansia selain berasal dari protein mikroba yang disintesis dalam rumen, juga berasal dari protein pakan yang tidak terdegradasi dalam rumen (protein by-pass) dan dari protein endogen (EGAN, 1985). Hal ini memberikan pengertian, bahwa pakan ruminansia selain harus mampu memacu pertumbuhan mikroba juga harus mampu memasok kebutuhan asam amino bagi ternak dan pakan tersebut mudah diserap oleh usus. Sumbangan asam amino asal mikroba dapat mencapai 40 – 80% dari total pasokan asam amino dalam tubuh. Senyawa protein atau nitrogen bukan protein yang masuk ke dalam rumen akan mengalami hidrolisis oleh enzim proteolitik menjadi oligopeptida dan asam amino. Oligopeptida dan asam amino tersebut merupakan produk intermediate yang selanjutnya akan dikatabolisme (dideaminasi) menjadi VFA, CO2, CH4 dan NH3 (LENG ET AL., 1977). Degradasi protein oleh mikroba rumen bersifat tidak mengenal batas. Perombakan akan berlangsung terus-menerus walaupun amonia yang dihasilkan telah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan mikroba. Badan Litbang Pertanian
Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
12
AgroinovasI
Biosintesis protein mikroba mencapai puncaknya pada kadar NH3 dalam cairan rumen sebesar 5 mg/100 ml (mg%) atau 3,57 mM (SATTER dan SLYTER, 1974). Kelebihan produksi NH3 melebihi nilai tersebut, walaupun telah dicoba ditingkatkan sampai dengan 98,3 mg%, ternyata tidak meningkatkan pertumbuhan mikroba. Kebutuhan Energi dan Protein Hasil penelitian tentang kebutuhan protein pakan bagi ternak ruminansia bervariasi sangat luas karena hanya didasarkan pada kadar PK bahan pakan. NRC (2000) menyebutkan bahwa perhitungan kebutuhan pakan didasarkan pada metabolisme energi dan metabolisme protein. Salah satu kelemahan literatur bahan pakan lokal adalah kadar PK pada umumnya didasarkan pada hasil analisis proksimat. Penelitian tentang tingkat energi pakan pada pedet jantan pasca-sapih menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan kadar TDN sebesar 50 - 80% (Iso protein; 17,18%), tidak berpengaruh terhadap PBBH dan efisiensi penggunaan nutrien pakan (WARDHANI ET AL., 1993). Efisiensi penggunaan PK pakan menurun dengan semakin meningkatnya kadar PK pakan pemula, namun pemberian pakan pemula dengan kadar PK 8 sampai dengan 20% belum meningkatkan nilai ekonomis pembesaran pedet sampai dengan umur 14 minggu (MARIYONO, 2004). Respons ternak terhadap konsumsi protein akan lebih baik apabila energi yang dikonsumsi tersedia dalam jumlah cukup (STOCK ET AL., 1981; dan SATTER, 1986). Inisiasi Standar Pemberian Sebagai upaya untuk meningkatkan jaminan mutu (quality assurance) konsentrat sapi potong yang diperdagangkan, pemerintah telah menetapkan persyaratan mutu konsentrat sapi potong sebagaimana yang tertuang dalam Standart Nasional Indonesia (SNI) konsentrat sapi potong; sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering No
Jenis Pakan
Kadar Abu Air Maks Maks (%) (%)
PK Min (%)
Lemak Kasar Maks (%)
1 Penggemukan 14 12 13 7 2 Induk 14 12 14 6 3 Pejantan 14 12 12 6 Sumber : BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2009.
Ca (%)
P (%)
NDF Maks (%)
UDP Min (%)
TDN Min (%)
0,8 - 1,0 0,8 - 1,0 0,5 - 0,7
0,6 - 0,8 0,6 - 0,8 0,3 - 0,5
35 35 30
5,2 5,6 4,2
70 65 65
Atas dasar beberapa hasil kegiatan penelitian dan aplikasinya pada kegiatan pembibitan, pembesaran dan penggemukan sapi potong yang dilakukan di kandang percobaan Lolitsapi dan beberapa kegiatan penelitian/ agribisnis sapi potong yang menggunakan pakan protein rendah, maka sejak tahun 2005 penulis mencoba Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI 13 membuat standart/ patokan pemberian pakan sapi potong untuk memenuhi kebutuhan minimal nutrien pakan pada beberapa status fisiologis (MARIYONO ET AL., 2005; MARIYONO, 2006a, MARIYONO ET AL., 2006b. ROMJALI ET AL., 2006. MARIYONO dan ROMJALI, 2007. MARIYONO, 2008, MARIYONO ET AL., 2009. Teknologi Pakan Protein Rendah Selama periode menyusui, pakan utama pedet adalah susu induk sedangkan pada periode pasca-sapih bergantung pada pakan yang diberikan kepada pedet tersebut. Masa sapih merupakan masa peralihan bentuk pakan dari bentuk halus (susu induk) manjadi bentuk kasar (pakan sumber SK). Selama periode tersebut akan terjadi perubahan fungsi rumen dari kondisi pre-ruminant menjadi ruminansia sejati yang ditandai oleh meningkatnya volume dan pertumbuhan papilla rumen. Penyapihan pedet sebaiknya dilakukan setelah umur 7 bulan (205 hari) yang diharapkan pedet telah mampu mengkonsumsi dan memanfaatkan pakan kasar/ sumber serat dengan baik. Introduksi teknologi pakan dilakukan untuk efisiensi biaya pemeliharaan dengan target PBBH > 0,6 kg/ekor/hari. Standar pakan yang dianjurkan untuk pembesaran adalah konsumsi BK pakan > 4% BB, kadar PK > 8%, TDN > 58%, LK < 6%, SK < 19% dan abu < 10%. Hasil penelitian terhadap pedet pasca-sapih (7 bulan) sampai dengan umur 12 bulan yang diberikan pakan 2 kg rumput gajah, jerami padi dan tumpi jagung bebas terkontrol (ad-libitum); dengan kadar PK pakan + 7% diperoleh rataan PBBH 0,13 kg. Rendahnya PBBH pedet ini menunjukkan, bahwa pakan tambahan berupa jagung tumpi yang diberikan secara tunggal kurang cocok untuk menunjang pertumbuhan pedet pasca-sapih sampai dengan umur 12 bulan (WIJONO ET AL., 2004). Penambahan tumpi belum dapat meningkatkan kadar protein ransum untuk memenuhi standart kebutuhan minimal PK 8% sehingga masih diperlukan tambahan bahan pakan sumber protein. Hasil uji pakan protein rendah sesuai dengan anjuran yaitu PK > 8%, TDN > 58%, LK < 6%, SK < 19% dan abu < 10%, total konsumsi BK pakan + 3,5 % BB diperoleh hasil bahwa sapi jantan PO lepas sapih menunjukkan PBBH 0,81 kg. Pada sapi betina diperoleh PBBH 0,61. Pencapaian target PBBH sapi betina tersebut diharapkan dapat dicapai perkawinan pertama pada umur 18 bulan dan beranak pertama ≤ 27 bulan, dan telah memenuhi target minimal yang diharapkan (UMIYASIH ET AL., 2009, dan UMIYASIH ET AL., 2010). Penelitian Pakan Strategi pakan untuk usaha pembibitan sapi potong di Lolitsapi adalah mengacu pada konsep input pakan dengan biaya murah (low external input), yaitu dengan pakan yang terdiri atas 3 - 5 kg jerami padi, 3 kg rumput gajah segar dan 7 – 9 kg tumpi jagung tanpa fermentasi dengan PK ransum + 7%. Aktivitas reproduksi sapi betina yang dikembangkan pada kondisi pakan low external input disajikan dalam Tabel 2. Badan Litbang Pertanian
Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
14 AgroinovasI Tabel 2. Kondisi reproduksi sapi betina pada kondisi pakan low external input Uraian Kejadian kebuntingan pertama
Jumlah sapi (ekor) 75
Jarak beranak
20
Keterangan Kejadian kebuntingan pertama sebesar 93,33% (70 ekor dari 75 ekor sapi calon induk). Rataan jarak beranak pada kelahiran pertama dan kedua adalah 427 hari (14,02 bulan); terpendek dan terlama masing-masing 306 dan 556 hari.
Sumber : WIJONO ET AL., 2005. Untuk Sapi Kering atau Bunting Teknologi perbaikan pakan menjelang melahirkan (steaming up), dan menjelang perkawinan (flushing) dilakukan secara berkesinambungan sejak sapi induk bunting 9 bulan hingga menyusui anak umur 2 bulan. Standar pakan yang dianjurkan untuk sapi induk kering atau bunting adalah konsumsi BK pakan >3% BB, kadar PK > 8%, TDN > 58%, LK < 6%, SK < 23% dan abu < 10%. Penelitian tentang substitusi konsentrat sapi potong komersial dengan tumpi jagung fermentasi telah dilakukan di kandang percobaan Lolitsapi menggunakan 25 ekor sapi PO dara bunting 2-3 bulan, umur ± 2 tahun, BB 220 – 260 kg. Pakan basal yang diberikan terdiri atas 2 kg jerami padi kering dan 3 kg ruput gajah segar; setara dengan 2,5% dari BB. Perlakuan pemberian pakan konsentrat yaitu : (P1) konsentrat sapi potong komersial ad-libitum, (P2) tumpi jagung ad-libitum, dan (P3) konsentrat sapi potong komersial 1,5 kg + tumpi jagung ad-libitum. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa substitusi tumpi fermentasi dapat menurunkan biaya pemeliharaan sapi potong bunting. Kombinasi pemberian tumpi dan konsentrat komersial diperlukan untuk meningkatkan PBBH sebesar 0,5 s.d. 0,6 kg (MARIYONO ET AL., 2004). Untuk Sapi Menyusui Penyapihan anak/ pedet dianjurkan pada umur 7 bulan, mengingat susu merupakan pakan terbaik bagi pedet. Sapi induk dapat menghasilkan susu sampai dengan umur kebuntingan 7 bulan tanpa berpengaruh negatif terhadap kebuntingan berikutnya. Standar pakan yang dianjurkan untuk sapi induk menyusui adalah konsumsi BK pakan > 3% BB, kadar PK > 10%, TDN > 59%, LK < 6%, SK < 19 % dan abu < 10%. Hasil penelitian terhadap sapi induk menyusui di Lolitsapi yang diberikan pakan rumput gajah segar 3 kg, jerami padi kering ± 2 % BB dan tumpi jagung ad-libitum (7 s.d. 9 kg), kadar PK ransum + 7%, datanya disajikan dalam Tabel 3. Pada periode menyusui, BB sapi induk secara berangsur-angsur mengalami penurunan dan pada Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI
15
bulan ke-7 BB induk mulai meningkat. Penurunan BB induk tertinggi terjadi pada bulan kedua. Pada periode tersebut merupakan periode untuk menghasilkan susu tertinggi yang diikuti meningkatnya PBBH pedet (WIJONO ET AL., 2004). Penurunan BB sapi induk sampai dengan 60 hari pasca-beranak relatif kecil yaitu sebesar 10 kg; berdampak positif terhadap aktivitas reproduksi sapi induk. Tabel 3. Bobot badan sapi PO induk selama menyusui Umur menyusui N (hari) (ekor) Lahir 42 30 38 60 38 90 36 120 34 150 30 180 30 210 29 Rataan PBBH selama menyusui Sumber : WIJONO ET AL., 2004.
Bobot badan (kg) 279,90 + 28,58 278,50 + 28,42 269,96 + 30,61 268,84 + 30,23 266,80 + 37,13 263,29 + 36,93 262,09 + 40,67 264,50 + 45,96
PBBH (kg) -0,18 + 0,47 -0,23 + 0,37 -0,01 + 0,67 -0,05 + 0,48 -0,09 + 0,45 -0,02 + 0,43 0,10 + 0,39 -0,10
Untuk Penggemukan Sapi Potong Standar pakan untuk sapi penggemukan diharapkan dapat menghasilkan PBBH sapi PO > 0,7; Bali/Madura > 0,6 kg dan BX/Silangan > 0,9 kg. Standart pakan yang dianjurkan adalah konsumsi BK > 3,5 % BB; kadar PK > 8%, TDN > 58%, LK < 6%, SK < 17% dan abu < 10%. Telah dilakukan penelitian penggemukan sapi jantan selama 85 hari. Materi yang digunakan adalah 21 ekor sapi potong jantan yang terdiri atas 13 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) dan 8 ekor sapi silangan (PO x Simmental atau PO x Limousin), umur 2-3 tahun dengan BB awal masing-masing adalah 288,60 + 42,30 kg dan 321,88 + 54,60 kg. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep input biaya rendah, yaitu dengan memanfaatkan limbah agroindustri pertanian berupa tumpi jagung dan jerami padi. Suplementasi konsentrat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pakan. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat sapi potong komersial produksi Pabrik Makanan Ternak “Yellow Feed” Kejayan-Pasuruan. Tumpi dan konsentrat diberikan sebanyak 3% dari BB pada perbandingan 3:1, kadar PK ransum + 8,5%. Rumput gajah diberikan sebanyak 3 kg dan jerami padi sebanyak 1,25% BB. Melalui konsep ini diperoleh pakan ekonomis untuk penggemukan sapi jantan dan mampu menghasilkan PBBH > 0,8 kg (HARTATI ET AL., 2005). PBBH antara sapi
Badan Litbang Pertanian
Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
16
AgroinovasI
PO dan silangan tidak berbeda nyata. PBBH sapi silangan (0,82 kg) dan PO (0,85 kg). Pada kondisi pakan low external input, sapi PO mempunyai efisiensi pakan yang sama baik dengan sapi silangan. Konsumsi BK pakan pada sapi PO sebesar 9,36 kg/ekor/hari atau setara dengan 3,24% BB, sedangkan pada sapi silangan dengan rataan BB awal 321,90 kg adalah 11,36 kg atau setara dengan 3,53% BB. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ARYOGI (2005) bahwa konsumsi BK sapi PO lebih rendah dibandingkan dengan sapi silangan SimmentalxPO. Konsumsi BK pakan pada penelitian ini telah memenuhi standar kebutuhan yang direkomendasikan oleh RANJHAN (1981) sebanyak 8,10 kg/ekor/hari untuk target PBBH 0,90 kg pada rataan BB yang sama. SOEHARSONO ET AL. (2010), dalam penelitian pakan protein rendah untuk penggemukan sapi potong hasil IB dan sapi impor Brahman Cross (BX), pakan diberikan sebanyak 2,75% BK dari BB berupa konsentrat (PK 8,57% dan TDN 65,52%) dan rumput raja (PK 10,62% dan TDN 62,48%) dengan perbandingan 85:15%. ADG sapi potong hasil IB 1,62 kg/ekor/hari lebih besar dibandingkan dengan sapi potong BX sebesar 1,42 kg/ekor/hari. Hasil penelitian lainnya dengan ransum BK 67,65; BO 90,63; abu 9,37; SK 16,12; PK 8,01; LK 3,09; BETN 63,41; dan TDN 65,09. Imbangan campuran konsentrat dengan jerami padi adalah 80 : 20 % BK. Pakan diberikan sebanyak 2,76% BB (dasar BK) dengan sistem pemberian dua kali sehari dan air minum diberikan ad libitum. diperoleh PBBH tertinggi pada penggemukan yang menggunakan sapi bakalan dengan BB < 450 kg yaitu sebesar 1,63 kg; sedangkan PBBH terrendah pada bakalan dengan BB 1,28 kg (SOEHARSONO ET AL, 2011). Mariyono Loka Penelitian Sapi Potong Jl. Pahlawan, Grati, Pasuruan
Petunjuk Cara Melipat:
Cover
r ve
Co
Cover
1. Ambil dua Lembar halaman tengah tabloid
2. Lipat sehingga cover buku (halaman warna) ada di depan.
Edisi 21-27 Nopember 2012 No.3483 Tahun XLIII
3. Lipat lagi sehingga dua melintang ke dalam kembali
Cover
Cover
4. Lipat dua membujur ke dalam sehingga cover buku ada di depan
5. Potong bagian bawah buku sehingga menjadi sebuah buku
Badan Litbang Pertanian