Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
TANTANGAN DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG MELALUI TEKNOLOGI REPRODUKSI TRINIL SUSILAWATI1 dan LUKMAN AFFANDY2 1
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang 2 Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan
ABSTRAK Hal yang memprihatinkan terjadi di sapi potong, yaitu populasi sapi lokal mengalami penurunan besarbesaran saat terhentinya importasi sapi bakalan tahun 1998, bahkan penurunan populasi tersebut dibarengi tidak terarahnya proses pemotongan sapi yaitu terjadi pemotongan ternak-ternak betina hanya untuk memenuhi kebutuhan daging, bukan sebagai bibit hal ini terjadi pada peternakan rakyat. Untuk itu perlu suatu program pengembangan sapi potong yang benar-benar sistematik dan berorientasi pada peternakan rakyat tetapi tetap memiliki nilai profesionalisme yang tinggi dan secara ekonomis menarik untuk dibiayai oleh lembaga-lembaga dana dengan tidak meninggalkan harapan kita bersama yaitu keluar dari ketergantungan luar negeri untuk pemenuhan bakalan sapi. Permasalahan yang menghambat perkembangan industri sapi potong adalah: faktor ketersediaan bakalan, faktor ekonomi, faktor kebijakan, faktor SDM peternakan, faktor yang lainnya. Selain itu faktor penghambat di peternakan rakyat adalah rendahnya efisiensi reproduksi yang disebabkan oleh manajemen yang tidak bagus. Teknologi reproduksi suatu alternatif dalam upaya peningkatan mutu genetik dalam rangka peningkatan produktifitas sapi potong pada peternakan yang intensif dengan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Teknologi reproduksi yang sudah bisa diaplikasikan di masyarakat adalah Inseminasi Buatan, sedangkan embryo transfer lebih cocok dalam upaya pembibitan ternak untuk mendapatkan elite bull atau betina superior, sedangkan bila diaplikasikan di masyarakat masih belum dapat diaplikasikan mengingat fasilitas dan obat-obatan yang digunakan masih relatif mahal. Oleh sebab teknologi reproduksi yang bisa diaplikasikan di masyarakat adalah Inseminasi Buatan, maka perlu teknologi reproduksi yang memberikan nilai tambah dari Inseminasi Buatan misalnya: Inseminasi Buatan dengan sperma sexing, sinkronisasi estrus, manipulasi pakan untuk peningkatan fertilitas dan menekan kematian embrio dini serta yang tak kalah pentingnya adalah pemilihan bibit unggul yang sesuai dengan kondisi peternakan rakyat atau industri peternakan. Kata kunci: Teknologi reproduksi, sapi potong
PENDAHULUAN Diawali dengan terjadinya krisis moneter yang akhirnya berlanjut pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997 ternyata berdampak cukup drastis pada subsektor peternakan. Subsektor peternakan yang merupakan bagian integral dari sektor Pertanian dalam menentukan PDB sektor Pertanian akhirnya mengalami guncangan sangat berat, hal ini terbukti dengan penurunan PDB yang paling rendah yaitu minus 13,95% dibandingkan subsektor yang lain. Keadaan ini akhirnya menjadikan alasan setiap struktur perencanaan subsektor peternakan, bahkan kondisi ini akhirnya merubah pola produksi, struktur pasar, pola pengembangan serta tatanan dasar yang ingin dikembangkan baik
88
oleh Pemerintah maupun pelaku produksi di lapangan. Hal yang memprihatinkan juga terjadi di sapi potong, dimana populasi sapi lokal mengalami penurunan besar-besaran saat terhentinya importasi sapi bakalan tahun 1998, bahkan penurunan populasi tersebut dibarengi tidak terarahnya proses pemotongan dimana terjadi pemotongan ternak-ternak betina hanya untuk memenuhi kebutuhan daging. Hal ini juga menunjukkan betapa rentannya pola pengembangan sapi potong di negeri kita, sebagai contoh: “Kebijakan pemerintah melalui Ditjen Peternakan dalam upaya mengantisipasi pemenuhan kebutuhan daging Nasional yang dikenal dengan “TIGA UANG atau GAUNG LAMPUNG” yaitu:
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
1. Peternakan rakyat tetap merupakan “Tulang punggung” (target 90%)
a.
2. Industri peternakan menjadi “Pendukung” (target 9%)
Tingkat resiko usaha yang lebih tinggi dibanding usaha lainnya (struktur tataniaga belum tertata rapih)
b.
3. Impor daging “sebagai supply demand (target 1%)
Investasi dibutuhkan cukup besar dan nilai itu ada pada sapinya.
c.
Teknologi pascapanen belum cukup memadai
d.
Industri sapi potong sebagian besar dilakukan secara tradisional.
penyambung“
Akhirnya tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Hal ini karena program pendukung yang mendukung terealisirnya kebijakan tersebut belum tertata rapih tentang aplikasinya di lapangan, keberpihakannya kepada petani serta keterjaminan kontinuitasnya. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, sudah waktunya kita mempunyai suatu program pengembangan sapi potong yang benar-benar sistematik dan berorientasi pada peternakan rakyat tetapi tetap memiliki nilai profesionalisme yang tinggi dan secara ekonomis menarik untuk dibiayai oleh lembaga-lembaga dana dengan tidak meninggalkan harapan kita bersama yaitu keluar dari ketergantungan luar negeri untuk pemenuhan bakalan sapi. PENGHAMBAT PERKEMBANGAN INDUSTRI SAPI POTONG Faktor ketersediaan bakalan a. Terjadinya penurunan populasi di seluruh sumber sapi potong b. Rendahnya produktivitas sapi lokal c. Penyebaran lokasi sapi lokal, sehingga sulit dalam pengelolaan dan koordinasi. d. Belum tersedianya suatu instansi atau perusahaan yang menyediakan bibit, sebab masalah persediaan bibit merupakan tanggung jawab pemerintah atau industri bukannya dibebankan pada peternakan rakyat. Faktor ekonomi 1.
Penurunan daya beli masyarakat
2.
Ternak potong belum menjadi usaha yang diminati untuk dibiayai oleh perbankan, serta tidak menarik bagi investor. Hal ini disebabkan oleh:
3.
Belum adanya sistem kredit yang memang benar diperuntukkan untuk subsektor peternakan khususnya sapi potong
4.
Masih tingginya country risk Indonesia.
Faktor kebijakan 1. Belum adanya program pemerintah yang tepat sasaran, tepat guna dan berkesinambungan serta berdaya saing tinggi. 2. Terjadinya benturan kepentingan antar departemen maupun antar subsektor dalam satu departemen diantaranya PPN sapi bibit bakalan, Badan Karantina dan adanya PP no 49 th. 2002 3. Pelaksana otonomi daerah yang bervariasi di masing-masing daerah. 4. Belum akuratnya data populasi sapi potong di Indonesia sehingga sulit untuk memprediksi supply dan demand sapi potong di Indonesia. 5. Penentuan daerah penghasil bibit, daerah penghasil sapi potong dan daerah penerima belum ada rambu-rambu yang jelas. 6. Kontrol arus keluar masuknya ternak dari masing-masing daerah sangat lemah. Faktor SDM peternakan Rendahnya kepekaan insan peternakan (Lembaga Penelitian Pemerintah, Lembaga Pendidikan, Pelaku usaha, Petani) terhadap penurunan populasi sapi potong. Faktor lain-lain 1. Sapi lokal belum siap mengisi kebutuhan bakalan industri peternakan feedloter (kuantitas, kualitas).
89
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
2. Beroperasinya RPH tradisional dan ilegal di hampir seluruh wilayah Indonesia
kelestarian lingkungan (ramah lingkungan), konsistensi dan terjamin kontinyuitasnya.
POTENSI UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI INDONESIA
TAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI PETERNAKAN RAKYAT
2. Daya dukung lahan/alam untuk menyediakan pakan ternak sangat besar dan relatif murah.
Dari hasil penelitian tim Universitas Brawijaya menunjukkan bahwa sapi lokal di Jawa Timur mempunyai fertilitas yang tinggi yaitu dengan jarak beranak yang pendek. Apabila terdapat jarak beranak yang panjang sebagian besar karena days open yang panjang. Hal ini disebabkan:
3. Tenaga kerja manusia relatif sangat murah dan available.
1. Anaknya tidak disapih sehingga munculnya birahi pertama post partum menjadi lama.
4. Beberapa infra struktur sudah tersedia untuk fasilitas kandang penggemukan ± 500.000 ekor/tahun.
2. Peternak mengawinkan induknya setelah beranak dalam jangka waktu yang lama sehingga lama kosongnya menjadi panjang.
5. Indonesia bebas penyakit yang membahayakan manusia (antrax, med cow, PMK, dll.).
3. Tingginya kegagalan inseminasi buatan sehingga S/Cnya menjadi tinggi.
1. Penduduk Indonesia mencapai lebih dari 200 juta orang adalah merupakan pasar yang sangat besar dan potensial.
6. Industri peternakan adalah industri yang sangat berpotensi dalam upaya pencegahan kerusakan lahan. 7. Orang Indonesia secara histori sudah lama mengenal dunia peternakan. 8. Industri peternakan padat karya cocok untuk Indonesia saat ini. TANTANGAN 1. Jumlah penduduk semakin meningkat 2. Perdagangan bebas 3. Tuntutan produk sapi potong yang semakin meningkat (kuantitas dan kualitas) 4. Kompetisi semakin tinggi 5. Tuntutan tekhnologi SOLUSI Memadukan semua keunggulan yang kita miliki menjadi kekuatan produksi ternak potong yang handal dan berdaya saing tinggi serta berbasis peternakan rakyat yang tidak meninggalkan kesinergisan dengan pertanian secara global dan selalu berorientasi pada
90
4. Umur pertama kali dikawinkan lambat. Oleh karena pertambahan berat badannya yang lambat, maka rata-rata pertama kali dikawinkan berumur di atas dua tahun, dan peternak enggan mengawinkan sapinya lebih awal walaupun diketahui sudah ada tanda-tanda birahi. PERAN TEKNOLOGI REPRODUKSI DALAM PERBAIKAN MUTU SAPI LOKAL Perkembangan teknologi reproduksi di bidang peternakan digunakan untuk memperbaiki mutu genetik. Teknologi reproduksi yang berkembang saat ini adalah inseminasi buatan, sexing spermatozoa, transfer embrio, fertilisasi in vitro, clonning, dll. Akan tetapi tidak semua hasil teknologi reproduksi tersebut dapat diaplikasikan di masyarakat, karena masih tidak efisien. Inseminasi buatan Inseminasi buatan (IB) adalah suatu teknologi di bidang reproduksi yang memanfaatkan pejantan unggul semaksimal mungkin. Teknik ini sudah lama berkembang di Indonesia dan teknik ini telah dapat
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
digunakan untuk meningkatkan berat badan anak, oleh sebab itu perlu dipikirkan pejantan mana yang akan digunakan untuk meningkatkan berat badan anak tersebut. Transfer embrio Transfer embrio adalah suatu teknologi reproduksi yang dapat memanfaatkan pejantan dan betina unggul semaksimal mungkin. Di negara maju teknik ini sudah diaplikasikan di peternakan berskala besar, sedangkan di Indonesia dengan sistem peternakan yang berskala kecil sulit untuk diaplikasikan. Sexing spermatozoa Sexing spermatozoa atau pengaturan jenis kelamin anak sesuai dengan yang diharapkan, dikembangkan untuk mendukung IB dan Transfer Embrio. Sexing spermatozoa ini dikembangkan dengan berbagai metode, yang paling mutakhir adalah dengan flow cytometry. Berhubung peralatannya cukup mahal, maka telah dikembangkan berbagai metode (misal sentrifugasi gradien densitas percoll, sephadex dan gradien putih telur) yang secara laboratorium telah berhasil dibekukan dengan kualitas yang layak untuk IB, pada skala penelitian lapang menunjukkan bahwa spermatozoa hasil sexing memungkinkan untuk diaplikasikan di lapang. Kajian lebih lanjut adalah secara ekonomisnya apakah menguntungkan? Clonning Clonning embryo atau sel somatic sudah banyak dilakukan di negara maju, dan telah banyak dilakukan penelitian di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, akan tetapi tingkat keberhasilannya masih rendah, sehingga di dalam aplikasinya masih belum bisa.
sebab itu strategi dalam pemilihan bibit adalah yang terpenting. Menggunakan bangsa sapi yang sejenis Perbaikan mutu sapi lokal dapat dilakukan dengan inseminasi buatan dengan pejantan sapi lokal yang merupakan hasil seleksi yang telah terstandarisasi. Hal ini penting sekali bagi pejantan agar dapat terjamin mutu genetik dari keturunannya. Keuntungan dari menggunakan ternak lokal unggul adalah ternak tersebut sudah mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungannya, sehingga kita berpeluang untuk meningkatkan produktivitasnya dengan cara memperbaiki manajemen pemeliharaannya terutama dalam hal pakan dan pengendalian terhadap penyakit. Persilangan Respon terhadap persilangan (heterosis) akan luar biasa bila disilangkan dengan bangsa lainnya dengan syarat juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Respons akan terlihat nyata pada persentase kelahiran, penurunan angka kematian, memperpendek umur pubertas, memperpendek jarak kelahiran, meningkatkan produksi susu dan umumnya pertumbuhannya lebih baik. Banyak hasil penelitian menginformasikan bahwa persilangan antara bangsa sapi lokal dengan Bos taurus atau Bos indicus menunjukkan respons yang baik. Oleh sebab itu pemilihan pejantan perlu dipertimbangkan dengan baik, dan untuk mengetahui informasi yang benar maka perlu dilakukan pencatatan yang teliti sehingga diketahui dengan benar bahwa hal itu merupakan respons dari persilangan tersebut. Tantangan/penghambat penggunaan teknologi reproduksi Sumberdaya manusia
STRATEGI PEMILIHAN PEJANTAN UNTUK IB Dalam mengaplikasikan teknologi reproduksi yang terpenting adalah tujuannya yaitu memperbaiki mutu genetik ternak, oleh
Keberhasilan dari pemanfaatan teknologi sangatlah tergantung dari kualitas sumber daya manusianya, sehingga tingkat pendidikan dan budaya setempat berpengaruh terhadap keberhasilan dari pemanfaatan teknologi
91
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
tersebut, hal ini juga terjadi pada penggunaan teknologi reproduksi. Sumberdaya manusia dalam hal ini bisa dibedakan menjadi: a. Pengelola (Dinas, Balai Inseminasi Buatan), b. Inseminator, c. Peternak 1. Sumber daya manusia dalam hal pengelolaan manajemen IB berperan dalam keberhasilan IB, misalnya dalam mengelola semen beku. Semen beku harus selalu dalam keadaan terendam nitrogen cair, apabila sekali saja kekurangan nitrogen maka kualitas semen beku akan menurun, Selain itu juga kesalahan dalam pengambilan semen beku. 2. Sumber daya manusia dalam hal pembuatan semen beku juga berperan didalam memproduksi semen beku dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu memproduksi semen beku dengan kualitas baik. 3. Sumber daya manusia yang mampu melakukan seleksi pejantan untuk mendapatkan elite bull sehingga mutu genetiknya dapat dipertanggung jawabkan. 4. SDM dari Inseminator yang ada di Indonesia tidak seragam jenjang pendidikannya. Syarat dari inseminator saat ini adalah pernah mengikuti kursus Inseminator. Ketidak seragaman pendidikan ini nantinya akan berpengaruh terhadap keberhasilan IB. Inseminator sangat berperan terhadap keberhasilan IB, yaitu saat thawing, teknik IB dan juga ketepatan waktunya. Oleh sebab itu para Inseminator perlu dibekali pengetahuan tentang 1) manajemen semen beku agar kualitasnya tetap baik, 2) teknik IB yang benar, 3) waktu IB yang tepat, juga pengetahuan tentang fertilitas dan manajemen pemeliharaan sapi betina agar IB yang dilakukannya sekali saja bisa berhasil. 5. Peternak. Pemeliharaan sapi oleh peternak sangat dipengaruhi oleh budaya dalam pemeliharaannya. Apabila secara budaya sistem pemeliharaannya tidak intensif, maka sulit untuk penggunaan IB, karena IB membutuhkan ketepatan waktu.
92
Pengetahuan tentang pengawasan tandatanda birahi perlu diberikan, juga kesadaran untuk melakukan manajemen perkawinan sehingga jarak beranaknya pendek. Faktor yang tidak langsung juga berdampak terhadap kegagalan kebuntingan yaitu pemberian pakan yang jelek, penyakit dll. Sumberdaya alam Indonesia merupakan negara tropis yang sebagai konsekuensinya mempunyai suhu yang panas. Hal ini berdampak pada a) kurangnya ketersediaan air, b) rendahnya kualitas pakan. Suhu yang panas dan lembab di Indonesia berpengaruh terhadap metabolisme tubuh ternak. Oleh sebab itu dibutuhkan sapi potong yang mempunyai daya adaptasi di daerah tropis, sedangkan sapi potong yang berasal dari daerah subtropis yang tidak beradaptasi di daerah tropis akan menyebabkan permasalahan metabolisme yang berdampak pada pertumbuhan, reproduksi dll. Hasil penelitian SUSILAWATI (2004) menunjukkan bahwa sapi hasil persilangan antara lokal dengan Limousin pada keturunan keduanya mengalami subfertile, sehingga S/Cnya tinggi. Tetapi apabila dipelihara di tempat suhu dingin dan pemberian pakan yang berkualitas baik akan meningkatkan fertilitasnya. Rumput di daerah tropis mempunyai serat kasar yang tinggi hal ini juga terdapat pada limbah pertanian yang diberikan pada sapi potong. Hal ini menyebabkan efisiensi pakan rendah di daerah tropis, yang tak kalah pentingnya adalah suhu panas dengan kelembaban tinggi ini menyebabkan tingginya ektoparasit dan endoparasit, keduanya ini juga berdampak pada kegagalan reproduksi baik pada munculnya birahi hingga pada kematian embrio dini. Harga Kebutuhan peralatan dan bahan-bahan kimia dari penggunaan Inseminasi Buatan, berupa barang impor, sehingga dipengaruhi oleh nilai rupiah atas dolar. Ketergantungan ini yang menyebabkan harga dari teknologi reproduksi menjadi mahal.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
REKOMENDASI 1. Sapi lokal mempunyai fertilitas yang tinggi, akan tetapi belum mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi disebabkan manajemen reproduksi yang kurang baik, oleh sebab itu perlu adanya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan di bidang manajemen reproduksi pada peternak. 2. Sistem peternakan sapi lokal dengan sistem pemeliharaan secara ekstensif (digembalakan) (misal sapi PO di Situbondo) tidak efisien apabila di lakukan IB, maka perlu tersedianya pejantan dengan kualitas baik yang dilepas bersama-sama dengan betina. 3. Untuk mempertahankan populasi sapi lokal (sebagai sumber genetik ) perlu disediakan semen beku dari sapi lokal, sehingga inseminatar tidak kesulitan mencari semen sapi Bali atau Madura. Selain itu perlu perhatian pemerintah setempat untuk membuat village Breeding sapi lokal agar sapi lokal tidak mengalami kepunahan dan materi genetik yang menguntungkan masih bisa dipertahankan. 4. Bila dilakukan industrialisasi sapi potong maka IB merupakan hal yang penting. Untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi dalam pelayanan Inseminasi Buatan, diperlukan pelayanan teknis dan perencanaan yang baik, dalam hal ini melibatkan perencanaan dan pembiayaan yang memadai dari pengusaha. Selain itu perlu di inventarisasi data tentang lamanya birahi, lama siklus birahi pada sapi hasil persilangan. Hal ini merupakan informasi dasar yang penting bagi program
persilangan yang akan datang. Akan tetapi perlu dipertimbangkan “Bahan Baku” sapi lokal harus masih tetap dipertahankan, selain itu perlu dipertimbangkan proporsi darah dari bangsa eksotik. 5. Apabila dilakukan persilangan dengan bangsa eksotik perlu adanya pertimbangan hilangnya sifat-sifat (gen-gen) dari sapi lokal yang menguntungkan misalnya daya tahan terhadap pakan yang jelek, suhu panas, ektoparasit dan endoparasit serta daya reproduksi yang tinggi. Salah satu tolok ukur yang mudah dilihat pada ternak yang mengalami penurunan adaptasinya yaitu penurunan fertilitasnya apabila dipelihara dengan sistem yang sama dengan sapi lokal. DAFTAR PUSTAKA DEPTAN. 1997. Konsep pengembangan dan pelestarian plasma nutfah ternak nasional, Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Peternakan. Direktorat Perbibitan. DIDIEK PURWANTO. 2002. Seminar sapi lokal. Universitas Brawijaya, Malang. HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapang. Cetakan pertama. PT. Gramedia Widiasarana Jakarta. MASATOSHI NEI. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York. SUSILAWATI, T., SUBAGIO I., AULANI’AM, KUSWATI, AGUS BUDIARTO and ARISTYO. 2004 Genetic and Reproductive Characteristic of Bali Cattle in East Java. Reprotech. The Indonesian Journal Science and Technology. February 1 (3): 137−142
93