TANTANGAN DAN HARAPAN REVITALISASI SMK DI INDONESIA MENUJU LEMBAGA VOCATIONAL YANG BERDAYA SAING
Oleh Dani Wardani, S.Hum.,M.Pd.
PENGANTAR Pemerintah Indonesia saat ini sedang mencanangkan revitalisasi SMK menuju lembaga vocational level menengah yang lulusannya mampu bersaing dan mengisi kebutuhan tenaga kerja. Atas dasar itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis dengan menerbitkan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2016 yang isinya mengenai pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan di SMK dari hulu sampai hilir sehingga lulusannya diharapkan siap untuk menjadi tenaga kerja yang handal. Kebijakan ini dinilai sebagian kalangan agak terlambat, mengingat pembenahan SMK terutama dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004-2009 mengenai bantuan penyediaan fasilitas praktek, penguatan kerjasama dengan dunia usaha atau industri, penyediaan
lapangan
pekerjaan
bagi
lulusannya,
pelatihan
dan
penambahan guru bidang kejuruan, dst. sudah lama dilakukan namun karena sistemnya tidak terintegrasi dan tidak secara komprehensip, maka perkembangan SMK seakan jalan ditempat. Ditambah lagi dengan adanya laporan dari World Economic Forum (WEF) tahun 2016 terutama masalah efesiensi pasar tenaga kerja di Indonesia yang jatuh diperingkat ke 108 dari 138 negara, menuntut pembenahan SMK terutama aspek lulusannya untuk siap bersaing di pasar regional, nasional bahkan internasional benar-benar perlu segera dilakukan secara serius dan fokus. Hemat penulis tidak ada kata terlambat, apabila permasalahan akan persoalan tersebut sudah dapat diidentifikasi dan dicarikan solusinya. Dengan terbitnya Inpres No. 9 tahun 2016 merupakan langkah
1
yang sangat tepat dan cepat untuk mengejar ketertinggalan persoalan menyiapkan SDM terutama dari lulusan SMK di Indonesia.
PERMASALAHAN SMK merupakan salah satu jenjang pendidikan vokasi tingkat menengah yang baru-baru ini menjadi sorotan khalayak publik, terutama terkait beberapa masalah. Masalah pertama, berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SMK di Indonesia yang beberapa tahun belakangan ini bertambah signifikan. Sebagai perbandingan jumlah SMK dengan SMA di Jawa Timur awal tahun 2016 telah melebihi 60 : 40 (AntaraJatim.com, 22 Januari 2016). Artinya sesuai dengan harapan pemerintah untuk menambah jumlah SMK di berbagai wilayah sudah mulai terialisasi. Bahkan diproyeksikan pada tahun 2020 perbandingan jumlah SMK dengan SMA di Indonesia akan mencapai 70 : 30 (Depdiknas, 2005). Masalah kedua, SMK dinilai oleh banyak kalangan sebagai salah satu jenjang pendidikan tingkat menengah yang diorientasikan lulusannya supaya mudah bekerja. Namun menurut data statistik tahun 2015 jumlah lulusan SMK yang belum terserap di dunia usaha atau industri ternyata masih tergolong banyak. Bahkan dari total 7,56 juta total pengangguran terbuka, 20,76 % berpendidikan SMK (BPS, 2015). Padahal lulusan SMK sejatinya disiapkan untuk mudah bekerja. Masalah
ketiga,
pemerintah
pusat
telah
menugaskan
para
menterinya untuk bekerja sama secara lintas kementerian dalam mencari letak permasalahan di SMK kemudian mencari solusinya. Ada enam tugas yang berhasil dirumuskan untuk meningkatkan SMK supaya berdaya saing,
diantaranya:
membuat
peta
jalan
pengembangan
SMK,
menyempurnakan dan menyelaraskan kurikulum SMK dengan kompetensi sesuai kebutuhan pengguna lulusan (link and match), meningkatkan jumlah dan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan SMK, meningkatkan
kerja
sama
dengan
2
Kementerian
atau
Lembaga,
Pemerintahan Daerah dan Dunia Usaha atau Industri, meningkatkan akses sertifikasi lulusan SMK dan akreditasi SMK, dan membentuk Kelompok Kerja Pengembangan SMK Masalah keempat, posisi SMK sebagai lembaga vokasi dalam konteks global, setidaknya harus siap dengan perkembangan zaman. Perkembangan pertama dalam menghadapi peraturan global (regulation changes) dimana terjadi pergeseran terutama aspek ekonomi dari orientasi monopoli ke era kompetisi terbuka. Perkembangan kedua, terjadi perubahan orientasi pasar (market changes), yaitu dari pasar yang terproteksi ke pasar bebas atau dari pasar yang berorientasi produk ke arah pengendalian pasar (driven market). Terakhir yaitu perkembangan dalam perubahan teknologi (technological changes). Dalam hal ini SMK sebagai salah satu bagian dari instrumen pendidikan vokasi tingkat menengah mau tidak mau harus berorientasi pada penyesuaian tuntutan perkembangan tersebut.
PEMBAHASAN DAN SOLUSI Dari beberapa masalah tersebut, maka perlu disoroti lebih lanjut untuk mengawal keberhasilan revitalisasi SMK sesuai dengan track-nya menuju daya saing dan kesuksesan. Meskipun permasalahan di SMK sedemikian kompleks dan majemuk namun setidaknya apabila kita urai satu-satu dapat ditemukan letak permasalahannya. Masalah pertama mengenai penambahan SMK secara kuantitas, contohnya perlu dikaji kesesuaian pendirian SMK dengan analisa kebutuhan wilayah dan potensi daerah masing-masing. Sekarang ini masih banyak yayasan maupun pemerintahan di daerah dalam mendirikan SMK kurang memerhatikan dan mementingkan potensi dan kebutuhan keterampilan di wilayahnya masing-masing, sehingga bidang dan program keahlian SMK yang didirikan kurang relevan dan bahkan tidak sesuai dengan potensi daerahnya masingmasing. Contohnya pendirian bidang dan program keahlian SMK untuk di
3
daerah pegunungan dibutuhkan SMK dengan bidang agribisnis dan agroteknologi, bukan bidang yang lain. Selain itu penambahan kuantitas SMK perlu dibarengi pula dengan penambahan secara kualitas mutu pendidikan SMK. Tanpa dibarengi dengan penambahan mutu kualitas proses pendidikan di SMK maka untuk mencapai lulusan berdasaing sangat sulit dilakukan. Peningkatan kualitas mutu SMK berkaitan dengan beberapa instrumen penting seperti penguatan profesionalisme guru terutama bidang kejuruan, memperkuat kerjasama dengan DU/DI, penyelarasan kurikulum SMK dengan SKKNI, program sertifikasi kompetensi lulusan, penyelenggaraan pembelajaran standar ISO serta penambahan sarana dan prasarana ruang praktek yang memadai. Masalah kedua berkaitan dengan outcome lulusan SMK. Sekarang ini yang menjadi kendala kebanyakan penyelenggara SMK di daerah adalah kesulitan kerja sama dan dukungan dari pemerintah serta perusahaan atau dunia usaha dan industri dalam penempatan lulusannya di tempat kerja. Dalam hal ini banyak perusahaan masih memandang bahwa lulusan SMK belum memenuhi standar atau persyaratan menjadi karyawan. Kendala yang paling banyak dikeluhkan perusahaan dalam memakai tenaga kerja dari lulusan SMK berkaitan dengan kesiapan mental bekerja (soft skill). Meskipun untuk kemampuan teknikal yang dibutuhkan pekerjaan sebenarnya sudah mereka kuasai namun karena kematangan dan kedewasaan lulusan SMK yang belum siap untuk bekerja, maka hal ini sering menjadi kendala. Untuk itu diperlukan strategi dalam proses pendidikan dan pelatihan di SMK yang mengarah pada pembentukan mental dan karakter yang kuat serta siap dalam menghadapi tantangan dan persaingan global. Strategi tersebut dimulai dari persiapan, proses sampai evaluasi pembelajaran di kelas yang mengarah pada karakteristik dan sikap kemandirian, tanggung jawab, dan kejujuran dalam pembelajaran.
4
Masalah ketiga, berkaitan dengan kesiapan pemerintah dalam membenahi SMK melalui Inpres No 9 Tahun 2016. Menyikapi kebijakan Presiden Jokowi dalam menghadapi persaingan MEA dengan menyiapkan tenaga kerja level menengah dari lulusan SMK perlu diberikan catatan. Catatan tersebut terutama dalam menghadapi tantangan dan isu-isu global, maka revitaliasi SMK perlu dilakukan secara terprogram dan terstruktur. Kita
perlu
mengapresiasi
kesungguhan
pemerintah
dalam
membenahi SMK karena kenyataanya permasalahan SMK tidak bisa dipecahkan oleh satu lembaga kementerian, yaitu Pendidikan dan Kebudayaan semata. Perlu dukungan dan bantuan dari kementerian lain yang berkaitan dan menjadi bagian dari permasalahan SMK. Salah satunya
kementerian
tenaga
kerja
yang
berwenang
bagaimana
menyiapkan lulusan SMK dapat mudah terserap di perusahaan (DU/DI). Dengan adanya kebijakan tersebut, harapan SMK untuk dapat manggung dan menjadi jawaban terhadap persoalan sumber daya manusia yang siap kerja level menengah ditengah Indonesia menghadapi persaingan MEA menjadi terselesaikan. Apabila kita kaji dari buku Stephen M., et al, (2010.), dan Agus Rahayu (2008) mengenai prinsip yang melekat dalam sistem pendidikan dan pelatihan terutama kejuruan supaya dapat berdaya saing maka langkah pertama yang dibutuhkan adalah penyelerasan relevansi SMK dengan pasar tenaga kerja (salah satunya yang memenuhi kebutuhan pengusaha dan harapan). Efektiftivitas sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan dalam suatu negara merupakan pilar penting dari setiap ekonomi yang sukses. Hal ini dapat berfungsi untuk mendorong dan meningkatkan nilai bangsa di pasar global. Prinsip ini juga mengakui bahwa pendidikan dan pelatihan di negara manapun harus didasarkan pada informasi pasar kerja yang handal dan permintaan serta dorongan kebutuhan, khususnya dalam perdagangan dan tenaga kerja.
5
Pemerintah Indonesia sudah memetakan permintaan tenaga kerja menurut pasar kerja yang dapat dipenuhi oleh lulusan SMK. Prinsipnya menggunakan azas suplay (permintaan) and demand (penawaran). Bidang kompetensi yang diperlukan pasar kerja saat ini diantaranya: bidang kemaritiman, bidang industri kreatif, bidang pariwisata, dan bidang pertanian. Untuk memenuhi tenaga kerja bidang tersebut maka lulusan SMK yang sesuai dengan bidangnya perlu dipetakan dan didistribusikan secara merata dan kesesuaian. Akibat dari pemetaan ini maka diperlukan restrukturisasi bidangbidang kompetensi SMK yang sudah tidak relevan atau kurang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan bidang kompetensi baru. Contohnya bidang kompetensi kemaritiman, bidang baru yang sebelumnya belum dipersiapkan, padahal sumber daya alam di Indonesia sebagian besarnya berkaitan dengan kelautan. Langkah kedua diperlukan akses pelatihan terhadap pendidikan dan pelatihan SDM (guru) di SMK yang mudah dan terintegrasi. Salah satu aspek fundamental dari keberhasilan sistem pendidikan dan pelatihan SMK adalah akses yang diberikan pemerintah, perguruan tinggi dan dunia usaha atau industri kepada peserta (guru kejuruan) dalam memperoleh pelatihan yang tersistem dan continue. Pemerintah pusat baru-baru ini telah mengeluarkan suatu kebijakan baru terkait dengan pelatihan guru SMK yaitu program alih fungsi guru dengan cara merekrut guru bidang normatif dan adaptif untuk dilatih menjadi guru bidang kejuruan. Kebijakan ini dinilai banyak kalangan dapat membantu
menambah
kekurangan
guru
bidang
kejuruan
secara
signifikan, karena berdasarkan data jumlah guru bidang kejuruan relatif masih sedikit dibandingkan dengan guru bidang normatif dan adaptif. Program ini sangat membantu penambahan guru bidang kejuruan dengan catatan akses dan peluang guru non bidang kejuruan untuk dapat mendaftarkan diri dengan mudah dalam pelatihan dan memiliki akses yang memadai untuk mengikuti program alih fungsi ini. Penting juga untuk
6
memastikan bahwa ada populasi yang cukup dekat dengan fasilitas atau sarana
dan
prasarana
yang
menunjang
dalam
pendidikan
dan
pelatihannya. Oleh karena itu akses, keterjangkauan, dan kedekatan adalah pertimbangan penting untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan di SMK termasuk program alih fungsi. Mempertimbangkan masalah tersebut, perlu juga untuk mempersiapkan pelatih dari kalangan dunia usaha atau industri dan atau dosen perguruan tinggi yang secara teratur mengunjungi guruguru alih fungsi di SMK binaan dan memastikan bahwa pelatihan dan peralatan yang digunakan up-to-date dan relevan, sehingga mengatasi kebutuhan guru kejuruan SMK akan peningkatan profesionalismenya. Jika melihat sistem pelatihan dan pendidikan calon guru terutama bidang kejuruan di SMK yang sudah ditangani langsung melalui lembaga atau bidang khusus dalam mengembangkan sumber daya manusia (guru kejuruan) di SMK, maka dapat dianggap sistem pelatihan guru baru di SMK selangkah lebih maju. Lembaga atau bidang pelatihan yang dimaksud adalah Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (disingkat P4TK). P4TK adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang memiliki tugas utama melaksanakan program yang berkaitan dengan pengembangan dan pemberdayaan tenaga guru dengan tujuan untuk menciptakan tenaga pendidik yang lebih profesional dari waktu ke waktu. Unit ini dahulu diberi nama Pusat Pengembangan dan Penataran Guru (disingkat PPPG). Sedikitnya ada enam P4TK dari dua belas yang berkaitan dengan pembinaan profesionalitas guru kejuruan, diantaranya P4TK bidang Bangunan dan Listrik; Bisnis dan Pariwisata; Pertanian; Mesin dan Teknik Industri; Seni dan Budaya; serta Otomotif dan Elektronika. Perkembangan dunia usaha dan industri saat ini menuntut P4TK menyesuaikan dengan kebutuhan dan perubahan kriteria lulusan di SMK.
7
Mengingat saat ini jurusan atau keahlian di SMK sesuai dengan harmonisasi tahun 2016 semakin terpolarisasi. Jurusan SMK di Indonesia apabila dikelompoknya menjadi 9 bidang keahlian, 46 program keahlian dan 141 kompetensi keahlian. Sementara itu lembaga P4TK yang belum ada bidangnya adalah Energi dan Penambangan, Kesehatan dan Peksos, serta Kemaritiman. Untuk itu diperlukan pembentukan bidang P4TK baru dengan cara bekerja sama antara perguruan tinggi dan dunia usaha dan industri untuk mengurus ketiga bidang tersebut secepatnya karena tanpa adanya lembaga khusus yang melatih tenaga pendidik sesuai dengan bidangnya maka arah dan tujuan yang ingin dicapai dari lulusan SMK bidang tersebut tidak akan terpenuhi. Langkah ketiga, peningkatan kualitas sistem pendidikan dan pelatihan di SMK. Kualitas pendidikan dan pelatihan di SMK sangat ditentukan oleh mitra industri dan perguruan tinggi; mereka adalah pendorong utama dalam membentuk SMK menjadi berdaya saing. Salah mencapai
satunya sertifikasi
berdasarkan:
a)
dalam dimana
Kompetensi
hal menghubungkan membutuhkan (termasuk
pelatihan
kerangka
kerangka
untuk
seragam
pengembangan
kompetensi), b) Standardisasi kompetensi (sebagai standar kualitas), c) Standar
Kerja
(yang
mendefinisikan
kompetensi
dan
yang
menggambarkan praktek kerja yang baik) dan Standar Kerja Nasional (SKN), d) Pengembangan Kerangka Kualifikasi Nasional sebagai akibat dari SKN, dan e) Sertifikasi kompetensi (yang membawa pelatihan berbasis kompetensi dan kompetensi penilaian berdasarkan ke dalam kerangka nasional, regional, dan internasional yang komprehensif). Kerangka tersebut dapat tercapai manakala sistem pendidikan dan pelatihan di SMK berjalan efektif dan efesien. Orientasi yang dicapai berdasarkan kualitas sehingga output dan outcome dari pembaharuan sistem pendidikan dan pelatihan di SMK tercapai.
8
Langkah keempat, diperlukan standardisasi sistem pendidikan dan pelatihan di SMK. Penting untuk diprioritaskan bahwa kebutuhan untuk penyelenggaraan pendidikan di SMK harus yang terstandar supaya pencapaian kualitas dapat tercapai. Meskipun upaya ini akan sangat berat tantangannya, mengingat terbatasnya SDM (terutama guru kejuruan) namun upaya untuk membuat standarisasi sistem pendidkan dan pelatihan di SMK sangat diperlukan. Salah satu program yang sudah dilakukan sistem pendidikan dan pelatihan SMK di Indonesia saat ini untuk mencapai standarisasi adalah pengadopsian sistem pendidikan SMK pada standar ISO, terutama ISO 9001: 2008. Meskipun dalam beberapa hal penerapan standar ISO tersebut dihadapkan pada kendala diantaranya kesiapan fasilitas SMK yang belum cukup memadahi untuk mencapai standar ISO, komitmen SDM dan ketersediaan dana juga dibutuhkan untuk mencapai sertifikat ISO, namun kesadaran dan kepedulian beberapa SMK terhadap mutu pelayanan semakin meningkat. Terbukti dari semakin menjamurnya akreditasi berbasis standar ISO di berbagai SMK baik negeri maupun swasta di Indonesia. Diharapkan dengan memiliki standar yang mengarah pada
pelayanan
dan
mutu,
maka
penyelenggaraan
SMK
dapat
berkualitas. Langkah kelima, penguatan soft skill. Kondisi ekonomi global saat ini menuntut lebih banyak kesiapan mental dari para pekerjanya terutama dihadapkan pada mekanisme kompetisi bahkan sampai pada bebasnya batas-batas sekat geografi. Persaingan tidak lagi hanya bersifat lokal, bahkan sekarang dengan adanya era kerja sama antara negara menurut Callan, VJ. (2003) menuntut calon pekerja siap untuk dihadapkan pada persaingan dan ini sampai pada tuntutan pengembangan karyawan dalam pekerjaan. Apabila kita lihat kondisi kesiapan lulusan SMK saat ini, menurut laporan penelitian Siti Mariah & Machmud Sugandi (2010), ternyata masih
9
terdapat kesenjangan soft skills lulusan SMK dengan kebutuhan tenaga kerja di Industri atau usaha.
Analisis Kesenjangan demand (Tenaga kerja industri) dan supply (Lulusan SMK) (Sumber: Siti Mariah dan Machmud Sugandi, 2010) Tuntutan ini mungkin berbenturan dengan kebiasaan dan kesiapan mental calon pekerja dari level menengah, dalam hal ini dari lulusan SMK yang rata-rata belum terbentuk untuk siap terjun menjadi pekerja. Alih-alih mencoba untuk menghilangkan kebiasaan ini, pesertadidik perlu dilatih dan dibentuk dalam pembiasaan baru yaitu kesiapan bekerja dan berkompetisi sejak di sekolah. Dalam banyak kasus, bentuk pelatihan tersebut menurut Dirwanto (2008), berkaitan dengan soft skill seperti kerja sama tim, kejujuran, tanggung jawab, ketepatan waktu, produktivitas, interaksi, flesibelitas, dll. Langkah keenam, pendanaan untuk sistem ini harus aman dan tidak terputus. Untuk sistem pendidikan dan pelatihan di SMK supaya menjadi sukses, perlu memiliki dukungan dan komitmen pemerintah dan
10
stake holder terutama dalam bentuk bantuan dan swadaya dana secara terus-menerus. Kita patut mengapreasiasi salah satu program pemerintah yaitu Kartu Indonesia Pintar, yang sangat terasa dalam mengurangi beban orang tua dan pesertadidik yang terbatas terhadap akses biaya sekolah terutama di SMK. Sementara itu untuk dana yang sifatnya pengembangan SMK secara keseluruhan, di negara-negara berkembang didanai oleh entitas luar. Entitas ini mungkin termasuk USAID, Bank Dunia, atau PBB. Meskipun
organisasi-organisasi
ini
menyediakan
pendanaan
yang
dibutuhkan untuk pendidikan dan pelatihan lembaga vocational (kejuruan), namun dana tersebut biasanya tidak tersedia selama rentang waktu yang panjang. Dengan menyiasati pasokan dana yang disediakan oleh organisasi luar memberikan negara-negara berkembang investasi awal, sekaligus sebagai sistem nilai tambah untuk pengusaha dan pembuat kebijakan menemukan cara untuk melanjutkan pendanaan. Terakhir masalah keempat berkaitan isu-isu global terutama terkait dengan perubahan orientasi dunia terhadap sistem pendidikan dan pelatihan terutama SMK. Kalangan manajemen, menurut Azril Azahari. (2005) memandang bahwa “faktor strategis dalam meningkatkan daya saing sebuah perusahaan, tidak lagi terfokus pada masalah sumberdaya alam atau sumberdaya material namun lebih menekankan pada aspek intellectual capital.” Dalam konteks ini Stewart (2002) dan Sangkala (2006) merasa yakin bahwa “manajemen modal intelektual merupakan kekayaan strategis dan sumber keunggulan perusahaan di masa yang akan datang.” Untuk
itu,
dalam
kajian
BSNP
(Badan
Standar
Nasional
Pendidikan) (2010) terhadap sistem pembelajaran saat ini diperlukan sistem yang mengarah pada tuntutan perubahan, contohnya menerapkan sistem pembelajaran abad 21. Bentuk pembelajaran abad 21 salah
11
satunya mengarahkan pada Inisiatif dan kemandirian yang merupakan kata kunci untuk mencapai aspek intellectual capital yang diperlukan masyarakat dunia mendatang. Untuk mencapai itu semua, maka guru, pesertadidik, dan stake holder di SMK perlu menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan tidak hanya menggantungkan harapannya untuk mencari pekerjaan, namun sudah memikirkan bagaimana membuat lapangan pekerjaan. Ditambah lagi banyak perusahaan yang melakukan perampingan tenaga kerja karena persoalan lesunya ekonomi dunia, maka inisiatif para lulusan SMK untuk berani membuat usaha sendiri menjadi penting dilakukan. Diperlukan pengembangan program semacam Enterpreneurship di SMK. Salah satu program yang belum banyak dikembangkan di SMK sebagai bentuk pengembangan wirausaha yang terintegrasi dalam mata pelajaran kewirausahaan dan Unit Produksi dan Jasa. Meskipun orientasi lulusan di SMK disiapkan untuk bekerja, namun tidak menutup kemungkinan lulusan SMK dapat membuka lapangan pekerjaan. Salah satu solusinya adalah mengarahkan sebagian lulusan untuk berani berwirausaha dengan mengandalkan keahlian dibidangnya masingmasing. Sektor tenaga kerja bidang jasa contohnya memiliki banyak kesempatan bagi lulusan SMK untuk berani mempromosikan diri sebagai tenaga ahli yang dapat digunakan oleh pemakai (user). Seharusnya
pemerintah
dan
industri
kreatif
ikut
serta
mengembangkan program ini dengan memfasilitasi lulusan SMK lewat bantuan dana secara produktif atau akses pinjaman ke bank supaya mereka berani membuka jasa atau perusahaan sendiri. Tentunya dalam menjalankan program bantuan dana ini terus dipantau dan disokong sehingga para lulusan SMK benar-benar mandiri dan siap untuk dilepas. Modal yang dipinjam kemudian diarahkan supaya dapat dikembalikan dan diserahkan kepada lulusan lainnya yang berniat berwirausaha.
12
KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS Kesimpulan Paling tidak ada empat masalah dalam tulisan ini yang perlu dikaji lebih jauh dalam menyiapkan SMK untuk dapat berdaya saing dan lulusannya siap bekerja. Keempat masalah tersebut diantaranya: masalah kuantitas, lulusan, kebijakan pemerintah dalam melaksanakan revitalisasi dan terakhir terkait isu-isu global yang menutut lulusan SMK supaya dapat mandiri dan berusaha keluar dari zona aman untuk tidak hanya sekedar mencari pekerjaan, namun berani berwirausaha. Harapan Atas pendidikan
dasar SMK
permasalahan yang
bermutu
itu,
perluasan
dan
relevan
dan
pemerataan
dengan
kebutuhan
masyarakat dan dunia usaha dan industri harus ditempatkan pada prioritas tertinggi dalam pembangunan pendidikan di SMK. Mutu
dan
relevansi pendidikan
tercermin
dari kemampuan
membentuk kecakapan (competencies) lulusan agar dapat menjadi pekerja
produktif
dan
mandiri.
Kesempatan
pendidikan
keahlian,
keterampilan dan profesi harus besar dan merata dikaitkan dengan sentra-sentra pengembangan ekonomi industri, pendayagunaan iptek, dan peningkatan kecakapan hidup yang sesuai dengan potensi daerah, dengan prinsip belajar sepanjang hayat. Dengan demikian pemecahan masalah ini secara praktis akan berguna bagi peningkatan kualitas pendidikan SMK yang diharapkan lulusannya mampu terserap oleh dunia kerja dalam menghadapi persaingan, serta menjamin kemandirian lembaga pendidikan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. []
13
DAFTAR PUSTAKA -
Agus Rahayu. (2008). Strategi Meraih Keunggulan dalam Industri Jasa Pendidikan. Suatu Kajian Manajemen Stratejik. Bandung: Penerbit Alfabeta.
-
BPS (Badan Pusat Statistik) Nasional. (2015). Laporan Lulusan SLTA tahun 2015.
-
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). (2010). Paradigma Pendidikan Nasional Abad 21, Jakarta.
-
Callan, VJ. (2003). Generic Skills Understanding Vocational Education and Training Teacher and Student Attitudes, NCVER, Adelaide.
-
Depdiknas.
(2005).
Ringkasan
Eksekutif
Renstra
Departemen
Pendidikan Nasional 2005 – 2009, pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025. Pemaparan PPT. -
Dirwanto.
(2008).
Analisis
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Kesiapan Kerja pada Siswa SMK Ma’arif NU Kesesi Kabupaten Pekalongan
Tahun
Pascasarjana.
Pelajaran
Universitas
2007/2008.
Sebelas
Maret.
Tesis.
Program
Surakarta.
Tidak
diterbitkan. -
Mariah, Siti., Machmud, Sugandi. (2010). Kesenjangan Soft Skills Lulusan SMK dengan Kebutuhan Tenaga Kerja di Industri. Jurnal Inovasi dan Perekayasa Pendidikan. Vol.3(1). pp: 379-400.
-
Patricia Aburdene. (2006). Megatrends 2010 : Bangkitnya Kesadaran Kapitalisme. Penerjemah Arfan Achyar. Jakarta : Agromedia Pustaka.
-
Sangkala. (2006). Intelectual Capital Management : Strategi baru Membangun Daya Saing Perusahaan. Jakarta : YAPENSI. 2006.
-
Schwab,
Klaus
(Edt).
(2016).
Insight
Report
The
Global
Competitiveness Report 2016-2017. World Economic Forum. Tersedia di
Website:
http://www3.weforum.org/docs/GCR2016-
2017/05FullReport/TheGlobalCompetitivenessReport20162017_FINAL.pdf. Di akses 25 Oktober 2016. 14
-
Stephen M., et al. (2010). Principles And Strategies Of A Successful TVET Program. MTC Institute. October 2010. 1-16.
-
Stewart, Thomas A. (2002). Intelectual Capital : Modal Intelektual, Kekayaan Baru Organisasi. Penerjemah Reza Gunawan. Yakarta : Elex Mdia Komputindo. .2002
-
Suriana Binti Nasir. (2012). Strategy to Revitalize Technical and Vocational
Education
and
Training
(TVET):
Management
Perspectives. Global Journal of Management and Business Research. Volume 12 Issue 23 Version 1.0. Di akses 23 Oktober 2016 Tersedia di
Website:
https://globaljournals.org/GJMBR.../2-Strategy-to-
Revitalize-Technical-and.pdf -
Antarajatim.com. Disdik Jatim akan lakukan moratorium pendian SMA. Tersedia di Website: http://www.antarajatim.com/berita/171420/disdikjatim-akan-lakukan-moratorium-pendiriansma?utm_source=fly&utm_medium-related&utm_campaign=news akses 22 Oktober 2016.
15
di
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya, yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Dani Wardani, S.Hum.,M.Pd. Jabatan : Guru Bidang Studi IPS dan Sejarah Indonesia Uni Kerja : SMK Bakti Nusantara 666 NUPTK : 6443758660200012 Nomor NPWP : 46.609.360.6-444.000 46.609.360.6 Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya Artikel Populer yang berjudul: “TANTANGAN TANTANGAN DAN HARAPAN REVITALISASI SMK DI INDONESIA MENUJU MEN LEMBAGA VOCATIONAL YANG BERDAYA SAING” 1. Karya artikel ini saya buat sendiri dan tidak menyalin atau menjiplak karya orang lain; 2. Isi tulisan ulisan tidak mengandung SARA; 3. Tema yang dibahas berkaitan dengan salah satu pembahasan “Revitalisasi SMK dalam Menghadapi Daya Saing Ketenagakerjaan” dan Ketenagakerjaan”, 4. Saya belum pernah mengikutsertakan karya ini dalam lomba sejenis baik tingkat nasional maupun internasional; Apabila terbukti tidak sesuai dengan pernyataan perny taan tersebut di atas, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Surat pernyataan ini saya buat secara sadar, sehat jasmani dan rohani.
Kabupaten Bandung,
Oktober 2016 mengesa ahkan
Penulis
Dani Wardani, S.Hum.,M.Pd.
16