Pengrusakan Mangrove di Kabupaten Pohuwato
Tanjung Panjang Yang Tak Panjang
Oleh : Christopel Paino
Kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang meliputi Desa Patuhu Kecamatan Randangan, merupakan daerah yang memiliki luasan mangrove terbesar di Kabupaten Pohuwato, bahkan di kawasan Teluk Tomini. Luasnya sekitar 3000 hektar. Namun setiap tahun terus terdegradasi. Tanjung Panjang dikonversi menjadi tambak ikan dan udang dengan skala besar sejak tahun 1980-an.
*** Siang itu, Sabtu 6 Maret 2010, matahari terasa berada diatas kepala. Udara panas dan terik menjadikan perkampungan yang ada dihamparan kawasan tambak desa Patuhu itu terlihat sepi. Suara sensor gergaji terdengar angkuh dibawa angin. Entah dari mana asalnya. Yang terlihat hanyalah pohon-pohon mangrove dengan kondisi memprihatinkan. Rusak dan terpenggal-penggal. Pohon mangrove itu seolah berteriak minta tolong. Di depan areal tambak, tak jauh dari pinggir jalan Trans Sulawesi, terdapat sebuah rumah panggung yang terbuat dari papan. Didalamnya ada beberapa orang perempuan, salah satunya berusia lanjut, dan seorang lelaki bertelanjang dada sedang asyik memperbaiki motor berplat nomor DD. Tak jauh dari rumah itu, sebuah mobil pickup hitam terparkir menghadap areal tambak. Dikaca depan mobil yang memuat kas ikan terbuat dari kayu itu tertulis : Bugis Original Community. Siang itu, tepat satu minggu panen bandeng selesai dilakukan. Tambak seluas delapan hektar yang berada dibelakang rumah papan saat itu masih dalam tahap pembibitan. ” Tambak ini milik Haji Basri. Luasnya delapan hektar. Sedangkan yang lainnya milik Haji Nompo. Yang lainnya kami sudah tak tahu lagi milik siapa,” kata salah seorang perempuan diantara mereka dengan dialek bugis. Perempuan itu mengaku dari Pangkep – salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan – dan baru lima bulan tinggal di Desa Patuhu, dusun Satria Bone. Keluarga mereka dari Pangkep, Maros, dan juga Wajo, biasanya didatangkan ke desa Patuhu jika sedang panen bandeng. Setelah panen selesai, keluarga yang lainnya kembali lagi ke “selatan”, namun ada juga yang sudah menetap diwilayah itu.
” Saya sudah tiga bulan disini, beberapa hari lagi balik ke Pangkep,” tambah lelaki bertelanjang dada tadi sambil mengutak-atik mesin motornya. Tak jauh dari rumah papan, di areal tambak seluas delapan hektar milik Haji Basri itu, terlihat enam orang warga trans dari Bali sedang asyik memancing diantara kaplingan tambak, dua diantaranya adalah anak-anak. Dalam hitungan detik, kail dengan umpan cacing mereka langsung dimakan Mujair dan sesekali ikan karang yang hidup di air payau. Cukup banyak hasil pancingan mereka hari itu. “ Ini akan kami jual, sisanya buat makan malam,” kata I Wayan salah seorang diantara mereka sambil tersenyum. Menurutnya, memancing di areal tambak itu biasa dilakukan oleh orang-orang dari Gorontalo dan juga warga trans Bali. Bagi I Wayan dan lainnya, memancing di areal tambak biasanya dilakukan pada saat musim kemarau. Selebihnya, mereka berada dikebun. Namun tidak mudah memancing di tambak itu. Sebab jika yang dipancing adalah ikan bandeng dan ketahuan pemilik tambak, maka pasti akan dimarahi dan diusir. “ Beberapa kali warga diusir dan dimarahi pemilik tambak,” ungkap I Wayan sambil menarik kailnya yang terbuat dari bambu itu. Di areal tambak yang sangat luas itu, terang I Wayan, semua pemiliknya adalah orang “selatan” dan tak satupun milik warga lokal. Selain itu, banyak penjaga yang mengawasi aktivitas memancing mereka. Jika ia berhasil memancing bandeng, maka cepat-cepat langsung dilepas sebelum ketahuan penjaga tambak. “ Penjaga tambak ini tinggal di rumah papan didepan sana,” tukasnya sambil menunjuk rumah papan tadi.
*** Sepanjang jalan trans Sulawesi-mulai dari ketika akan memasuki desa Patuhu hingga menuju Kecamatan Wonggarasi-aroma “selatan” begitu kental diantara hamparan hutan mangrove Tanjung Panjang. Rumah adat bugis dan tempat penjualan bibit nener bertuliskan : Sulawesi Selatan, terpampang jelas dipinggiran jalan. Mata kita seolah diajak untuk membaca tulisan-tulisan itu. Bila kita berhenti sejenak dikawasan itu, maka akan terdengar bahasa, intonasi, dan dialeg orang bugis. Pemukiman mereka sangat dekat dengan areal hutan mangrove yang kini berubah menjadi tambak. Tentu kawasan itu masuk dalam cagar alam Tanjung Panjang. Menurut keterangan Kepala Desa Patuhu, Zulkarnain Duwawulu, hampir separuh dari jumlah penduduk diwilayahnya di dominasi oleh orang “selatan”. Dari 383 total jumlah kepala keluarga di Desa Patuhu yang ada, separuhnya yakni 150 kepala keluarga
adalah orang “selatan”. Mereka berasal dari Pangkep, Wajo, Maros, Pare-Pare, dan sebagainya. “ Warga dari Sulawesi Selatan semuanya tinggal di dusun Satria Bone,” kata Zulkarnain. Zulkarnain yang mengaku baru lima bulan menjabat sebagai kepala desa Patuhu itu menyebutkan, pemilik tambak dikawasan cagar alam Tanjung Panjang itu adalah orang ”selatan”. Ia menyebut nama-nama seperti Haji Basri, Haji Nompo, Andi Saman, dan Andi Baso, adalah pemilik yang menguasai areal tambak diwilayah Patuhu. ” Areal tambak yang ada di desa Patuhu kini seluas 1015 Hektar. Namun kira-kira mulai akhir tahun 2008 hingga 2009, ketika sudah ada larangan, tidak ada lagi yang membuka hutan mangrove menjadi areal tambak disini,” ungkap Zulkarnain. Ia sendiri mengaku tahu kalau hutan mangrove diwilayah Patuhu masuk dalam kawasan cagar alam Tanjung Panjang, namun dirinya tak mengetahui mana batas-batas areal yang masuk dalam cagar alam Tanjung Panjang. Masyarakat asli Gorontalo yang tinggal di Patuhu, terang Zulkarnain, sebagian besar warganya bekerja diladang menanam kakao, kelapa, jagung, serta jenis tanaman lainnya yang bisa ditanam. Sementara profesi nelayan hanyalah pekerjaan sampingan bagi mereka.
***
Perbedaan mata pencahrian antara penduduk lokal dengan pendatang dari Sulawesi Selatan sangat jelas terlihat di Patuhu. Hal tersebut bisa menyebabkan konflik sosial yang dapat mengancam masyarakat setempat. Ibarat bom waktu, sewaktu-waktu dapat meledak. Pemicunya, tentu saja adalah lahan di Tanjung Panjang. Awalnya, hutan mangrove dikawasan cagar alam itu dibuka oleh penduduk lokal untuk dijadikan areal tambak, namun kurang berhasil, kini telah dikuasai oleh warga Sulawesi Selatan. Menurut catatan Tomini Bay Sustainable Coastal Lifelihoods and Management (Susclam), ketika masyarakat dari Sulawesi Selatan datang ke wilayah itu dan membantu penduduk lokal untuk membuat tambak, hasilnya cukup menguntungkan karena warga Sulawesi Selatan memiliki pengalaman dan modal. Lambat laun, penduduk lokal mulai bekerja untuk para pendatang itu. Dan penduduk lokal mulai menjual beberapa bagian tanahnya.
Padahal, proses jual beli lahan hanya berlangsung di desa, yakni mengandalkan rekomendasi kepala desa. Dan hingga kini, masyarakat ikut-ikutan mengklaim lahanlahan mangrove. Masalah kepemilikan lahan dan ketidakseimbangan sosial ini memicu konflik yang berdampak terhadap sumber daya alam di Tanjung Panjang. Dr Rignolda Djamaludin, ahli mangrove dan juga dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi - dalam tulisan yang dibuat oleh Susclam – menjelaskan bahwa ada pemahaman yang keliru kalau setiap lahan mangrove baik untuk tambak. Ia menjelaskan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pohuwato yang dibuat tahun 2004 jelas menggambarkan bahwa keberadaan hutan mangrove adalah untuk mendukung produktivitas tambak yang tinggi, dan sekitar 5.520,27 hektar mangrove sepanjang pantai Selatan mencakup Kecamatan Paguat, Marisa, Randangan, Lemito, dan Popayato, dikatakan dapat ditambak. ” Bukankah fakta produktivitas yang rendah dan terlantarnya sebagian besar tambak sudah cukup memberi pelajaran! Atau memang benar anggapan bahwa pembukaan lahan tambak dan klaim mengklaim lahan adalah urusan jual beli tanah atau jaminan untuk meminjam uang di Bank,” tulis Rignolda.
***
Kerusakan mangrove di kawasan Tanjung Panjang kini mencapai 70 persen. Menurut Iwan Abay, anggota dewan di Kabupaten Pohuwato, pemerintah sepertinya malah mendukung terjadi pengrusakan mangrove di daerah itu. Indikator ini ditunjukan dengan adanya kegiatan pembangunan pemerintahan yang mengambil lokasi dikawasan cagar alam. ” Misalkan, pembangunan Blok Plan di pusat Kota Marisa telah menghancurkan hutan mangrove yang masuk kawasan cagar alam Panua. Dan kini pembangunan bandara mulai dilakukan di desa Imbodu Kecamatan Randangan,” tandas Iwan Abay. Untuk menyelamatkan hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato, Iwan menjelaskan bahwa ia bersama teman-temannya di DPRD kini tengah membuat Peraturan Daerah Pesisir dan Pengelolaan Mangrove. ” Kondisi mangrove yang terdegradasi sangat memprihatinkan. Inilah alasan kami membuat Perda Pesisir dan Pengelolaan Mangrove,” jelasnya.
Selain itu, Iwan yang juga tercatat sebagai Ketua Kelompok Kerja Mangrove di Kabupaten Pohuwato itu mengatakan kalau mereka telah membentuk tim penyelesaian konflik untuk mencegah terjadinya gesekan antara masyarakat lokal dan pendatang yang dipicu oleh perebutan lahan. ” Saya melihat persoalan ini dalam bingkai Indonesia. Tidak ada perbedaan antara masyarakat pendatang maupun lokal,” tukas Iwan. Mangrove menurut Rignolda, adalah tumbuhan tingkat tinggi yang berhasil mengkoloni daerah pantai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Tumbuhan ini memiliki laju pertumbuhan yang sangat lambat, dan jarang mencapai umur tua karena kondisi habitat yang sangat dinamis. Pesisir sepanjang tanjung panjang adalah habitat tumbuh mangrove yang ideal, tetapi wilayah ini juga sangat dinamis terutama oleh karena proses sedimentasi. Dengan kondisi seperti ini, tumbuhan mangrove sukar mencapai umur tua dan secara kontinue mengalami pergantian. Kawasan cagar alam Tanjung Panjang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut/TGHK 362/85). Kawasan yang meliputi desa Patuhu dan Randangan ini menjadi tempat hidup babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam. Bahkan burung maleo yang merupakan endemik Sulawesi, dulunya masih ada di daerah ini, namun kini tak ada lagi. Luasnya terus mengalami penyusutan. Sepanjang jalan, mangrove terus tergusur. Tanjung Panjang kini tak panjang lagi.