Yusdani: Sumber Hak Milik ...
Yus
SUMBER HAK MILIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Yusdani: Sumber Hak Milik …
Yusdani *
Abstract The following article describes the source of ownership in Islamic law viewpoint. The basic concept of ownership in Islamic law perspective has a particular concept if it compares with that of Civil Law, Capitalism and Socialism, especially in terms of the source of ownership. The writer of the article declares that the sources of ownership in Islamic viewpoint are ihram al-megawatt, ad, khalafiyat, and tawallud min mamluk. The concept of aqd or transaction as a source of ownership in Islamic social law, muslims should develop the new kinds of aqd in accord with the free of the contract principle in Islamic law. To develop the new kinds of aqd in Islamic law is so important in the context of response the development of the modern social matters.
A. Pendahuluan Dalam istilah teknis hukum Islam, fiqh mu’amalah diartikan sebagai bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan-hubungan keperdataan antarmanusia. Jadi fiqh mu’amalah dapat dikatakan sebagai hukum perdata Islam. Namun fiqh mu’amalah sebagai hukum perdata Islam lebih sempit ruang lingkupnya daripada hukum perdata dalam istilah ilmu hukum pada umumnya. Dalam hukum perdata Islam (fiqh mu’amalah) tidak tercakup hukum keluarga. Dalam hukum Islam, hukum keluarga merupakan cabang hukum tersendiri yang berada di luar hukum perdata (fiqh muamalat). Fiqh mu’amalah (hukum perdata Islam) hanya meliputi hukum benda (nazariyyatul-amwal wa-milkiyyah) dan hukum perikatan (nazariyyatul-iltizam). Dalam hukum benda dipelajari, antara lain pengertian benda (al-mal) dan macam-
*
58
Penulis adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam UII Yogyakarta
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
macamnya; hak dan pendukungnya, yang meliputi konsep hak dan kewajiban, macammacam hak, pendukung hak dan kecakapannya; hak milik, yang meliputi; konsep hak milik, macam-macam hak milik dan sumber-sumber pemilikan atau cara-cara memperoleh hak milik.1 Dalam tulisan berikut akan diuraikan secara singkat tentang sumber-sumber
hak milik dalam perspektif hukum Islam. Namun demikian, sebagai kelengkapan dari pembahasan tersebut dalam tulisan ini juga dikemukakan tentang pengertian hak milik, macam-macam hak milik, dan hal-hal yang terkait erat dengan hak milik.
B. Pengertian Hak Milik Milik secara bahasa berarti penguasaan terhadap sesuatu, atau sesuatu yang dimiliki. Hubungan seseorang dengan sesuatu harta yang diakui oleh syara’ yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali ada halangan syara’.2 Ada beberapa definisi milik yang dikemukakan ulama fiqh, namun esensinya sama. Milik adalah pengkhususan terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut sesuai dengan keinginannya selama tidak ada halangan syara’ serta menghalangi orang lain untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut. Artinya, benda yang dikhususkan kepada seseorang sepenuhnya berada dalam penguasaannya. Sehingga orang lain tidak bisa bertindak dan memanfaatkannya. Pemilik harta tersebut bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, wakaf dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syara’. Contoh halangan syara’ misalnya orang tersebut belum cakap bertindak hukum (seperti anak kecil dan orang gila) atau kecakapan hukumnya hilang (seperti jatuh pailit) sehingga dalam hal-hal tertentu ia tidak dapat bertindak hukum terhadap milik sendiri.3 Sedangkan hak milik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didefinisikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan tersebut dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.4 1
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Ttp: Dar al-Fikr,1341), II:3-4. Az-Zarqa’, al-Fiqh al-Islami fi Saubihi al-Jadid (Damaskus: Matabi Alif Ba’ al-Adib, 1967-8),
2
33.
3 Ibid. dan Asmuni Muhammad Thahir.“ al-Milkiyat waduruha fi Tanmiyat al-Iqtisad al-Islami”, dalam Millah Jurnal Studi Agama Vol.II, No. 2, Januari 2002. Yogyakarta: Program Magister Studi Islam UII, hlm.85-106. 4 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.1984. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta: Pradnya Paramita). Hlm.166.
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
59
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Yus C. Macam Hak Milik Dari segi sifat kepemilikan terhadap harta, ulama fiqh membagi pemilikan kepada dua bentuk. 1. Milik sempurna (al-milk at-tamm), yaitu apabila materi dan manfaat harta dimiliki sepenuhnya oleh seseorang sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta berada di bawah penguasaannya. Milik seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi masa, dan tidak bisa digugurkan orang lain. Misalnya, orang yang memiliki sebuah rumah akan berkuasa penuh terhadap rumah itu dan bisa memanfaatkannya secara bebas. 2. Milik tidak sempurna (al-milk an-naqis), yaitu apabila seseorang hanya menguasai materi harta tetapi manfaatnya dikuasai orang lain. Ulama fiqh menyatakan bahwa pemilikan manfaat (al-milk an-naqis) dapat terjadi melalui lima cara, yaitu: al-I’arah (pinjam-meminjam: akad terhadap pemilikan manfaat tanpa ganti rugi ), ijarah (sewa-menyewa; pemilikan manfaat dengan kewajiban membayar ganti rugi/sewa), wakaf (akad pemilikan manfaat untuk kepentingan orang yang diberi wakaf sehingga ia boleh memanfaatkan seizinnya, wasiat (akad yang bersifat pemberian sukarela dari pemilik harta kepada orang lain tanpa ganti rugi yang berlaku setelah yang memberi wasiat wafat), dan ibahah (penyerahan manfaat milik seseorang kepada orang lain, seperti mengizinkan seseorang menimba air dari sumurnya dan menyediakan harta untuk kepentingan umum). Perbedaan al-milk at-tamm dengan al-ibahah adalah bahwa dalam al-milk at-tamm seseorang bertindak terhadap miliknya tanpa harus mintak izin kepada siapa pun, sedangkan dalam al-ibahah harta seseorang hanya dapat dimanfaatkan orang lain atas dasar izin pemiliknya atau izin umum yang ditentukan terhadap harta jika harta itu merupakan milik bersama.5 Lebih jauh lagi, ulama fiqh membagi harta yang bisa dimiliki seseorang kepada tiga bentuk, yaitu: 1. Harta yang bisa dimiliki dan dijadikan dalam penguasaan seseorang secara khusus, misalnya milik yang dihasilkan melalui sebab-sebab pemilikan. 2. Harta yang sama sekali tidak bisa dijadikan milik pribadi, yaitu harta yang ditetapkan untuk kepentingan umum., seperti jalan umum, jembatan, benteng dan taman kota. 3. Harta yang hanya bisa dimiliki apabila ada dasar hukum yang membolehkannya, seperti harta wakaf yang biaya pemeliharaannya melebihi nilai harta tersebut. Dalam keadaan seperti ini, harta boleh dijual, dihibahkan atau dijadikan milik pribadi.6 Dari segi objek, pemilikan terbagi tiga bentuk: 1. Milk al-‘ain, yakni pemilikan berupa benda, baik benda tetap ataupun bergerak. 2. Milk al-manfa’ah, yakni pemilikan terhadap manfaat suatu benda. 3. Milk ad-dain, yakni pemilikan terhadap 5
1178.
60
Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), IV:
6
Ibid.
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
utang yang ada pada orang lain.7 Dari segi objek hak milik, menurut ulama fiqh, hak milik terbagi atas: haqq mali (hak yang terkait dengan harta), haqq gair mali (hak yang bukan harta), haqq asy-syakhsi (hak pribadi), haqq al-‘aini (hak materi), haqq mujarrad (hak semata-mata), dan haqq gair mujarrad ( yang bukan hak semata-mata). Yang dimaksud dengan haqq mali (jamak: al-huquq al-maliyyah), adalah hak-hak yang terkait dengan kehartabendaan dan manfaat, seperti hak penjual terhadap harga barang yang dijual dan hak pembeli terhadap barang yang dibeli, haqq al- irtifaq, hak khiar, dan hak penyewa terhadap sewaannya. Sedangkan haqq gair mali (jamak: al-huquq gair al-maliyyah) adalah hak-hak yang tidak terkait dengan kehartabendaan, seperti hak kisas, seluruh hak asasi manusia, hak wanita dalam talak karena suaminya tidak memberinya nafkah, hak suami untuk manalak istrinya karena istrinya mandul, hak hadanah, hak perwalian terhadap seseorang, dan hak-hak politik seseorang.8 Haqq asy-syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara’ bagi seorang pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti hak penjual untuk menerima harga barang yang dijual dan hak pembeli untuk menerima barang yang dibeli, hak seseorang terhadap utang, hak seseorang untuk menerima ganti kerugian, dan hak istri atau kerabat untuk menerima nafkah. Sementara haqq al-‘aini adalah hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap sesuatu zat, sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki sesuatu benda, haqq al-irtifaq, dan hak terhadap benda yang dijadikan sebagai jaminan utang.9 Berkaitan dengan haqq asy-syakhsi dan haqq al-‘aini, ulama fiqh mengemukakan beberapa keistimewaan masing-masing. Haqq al-‘aini bersifat permanen dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain. Misalnya, apabila harta seseorang dicuri kemudian dijual oleh pencuri kepada orang lain, hak pemilik barang yang dicuri itu tetap ada dan ia berhak untuk menuntut agar harta yang menjadi haknya itu dikembalikan. Sedangkan hak seperti ini tidak berlaku dalam haqq asy-syakhsi. Perbedaan antara kedua hak tersebut adalah hak seseorang dalam haqq al-‘aini terkait langsung dengan materi, sedangkan hak dalam haqq asy-syakhsi merupakan hak yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang yang telah mukallaf. Materi dalam haqq al-‘aini bisa berpindah tangan, sedangkan pada haqq asy-syakhsi tidak dapat digugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali pemilik hak itu wafat. Misalnya, haqq asysyakhsi yang berkaitan dengan uangnya yang dipinjam oleh orang lain. Sekalipun harta pihak peminjam punah/habis, haqq asy-syakhsi pemberi utang tetap utuh, tidak gugur dengan hancurnya harta milik orang yang berutang. Hal ini disebabkan utang itu berkaitan dengan tanggung jawab seseorang untuk membayarnya, bukan berkaitan langsung dengan harta yang dimiliki oleh orang yang berutang. 7
Ibid. Ibid. II: 487-488 9 Ibid. 8
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
61
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Yus Tanggung jawab tidak bisa digugurkan.10
D. Sumber-sumber Hak Milik Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sumber atau penyebab adanya hak milik itu adalah syara’. Namun demikian, adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa sebab dan adakalanya melalui suatu sebab. syara’ yang menetapkan hak-hak secara langsung tanpa sebab adalah seperti memberikan nafkah kepada kerabat, larangan mengkonsumsi hal yang diharamkan syara’, dan kebolehan memanfaatkan seluruh yang baik. Sedangkan syara’ yang menetapkan hak melalui suatu sebab, misalnya, dalam persoalan perkawinan. Akibat dari suatu perkawinan muncullah hak dan kewajiban membayar nafkah. Istri mempunyai hak untuk dinafkahi suaminya, muncul pula hak waris mewariskan antara suami dan istri, dan sebagainya.11 Ulama fiqh menetapkan bahwa yang dimaksudkan dengan sebab atau penyebab di sini adalah sebab-sebab langsung yang berasal dari syara’ atau diakui oleh syara’. Atas dasar itu, menurut ulama fiqh sumber hak itu ada lima: (1) syara’, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan; (2) akad, seperti akad jual beli, hibah dan wakap dalam pemindahan hak milik; (3) kehendak pribadi, seperti janji dan nazar; (4) perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang atau melunasi utang orang lain; dan (5) perbuatan yang menimbulkan kemudaratan bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan milik seseorang.12 Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ulama fiqh mengatakan ada empat cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam, yaitu: Ihraz al-mubahat, yakni melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah. Contohnya, kayu di hutan belantara yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum dan ikan di laut lepas. Kayu atau ikan yang diambil seseorang akan menjadi miliknya dan orang lain tidak boleh mengambil kayu dan ikan yang telah dikuasai tersebut. Kayu dan ikan yang telah dikuasai tersebut boleh diperjualbelikan, disedekahkan kepada orang lain atau dipergunakan sendiri, karena kayu dan ikan tersebut telah menjadi miliknya. Penguasaan terhadap harta yang mubah dalam fiqh Islam mempunyai arti yang khusus, yaitu merupakan asal dari sesuatu pemilikan tanpa adanya ganti rugi. Artinya, penguasaan seseorang terhadap harta mubah merupakan milik awal, tanpa didahului oleh pemilikan sebelumnya. Bedanya akan kelihatan dengan pemilikan melalui suatu transaksi. Dalam transaksi, seseorang telah memiliki suatu harta terlebih dahulu dan baru kemudian ia pergunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta lain yang bisa dimilikinya. Misalnya, dalam jual beli. 10
Ibid. Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim. Nizam al-Iqtisad fi al-Islam Mabadi uhu wahdafuhu, terj. Imam Saefudin.(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999). Hlm.53-64. 12 Ibid. 11
62
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Seseorang dapat membeli sesuatu karena terlebih dahulu memiliki uang atau yang secara yang hukum disamakan dengan uang. Ini berbeda dengan pemilikan sesuatu yang mubah, karena pada bentuk terakhir ini seseorang hanya mengambil sesuatu yang ingin dimilikinya dari harta mubah itu tanpa memberi imbalan dengan harta yang lain. Inilah yang dimaksudkan ulama fiqh sebagai “pemilikan asal/awal”. 2.Melalui suatu akad (transaksi) yang dilakukannya dengan orang atau badan hukum, seperti jual beli, hibah, dan wakaf. 3. Melalui khalafiyah (penggantian), baik penggantian dari seseorang kepada orang lain (waris), maupun penggantian sesuatu dari sesuatu benda yang disebut tadmin atau ta’wid (ganti rugi). 4. Melalui tawallud min mamluk, yakni hasil/ buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik hasil itu datang secara alami (seperti buah di kebun, anak kambing yang lahir dan bulu domba) atau melalui suatu usaha pemiliknya (seperti hasil usaha sebagai pekerja atau keuntungan yang diperoleh seseorang pedagang). Dari keempat sebab yang dikemukakan ulama fiqh di atas, maka seseorang menjadi pemilik dari harta yang telah diusahakan dan dikuasai tersebut. Namun timbul pertanyaan tentang apakah pemilikan harta tersebut bersifat mutlak.13 Persoalan ini dibahas ulama fiqh dalam kaitan milik pribadi dengan kepentingan umum. Mereka sepakat menyatakan bahwa Islam sangat menghormati kemerdekaan seseorang untuk memiliki sesuatu selama itu sejalan dengan cara yang digariskan syara’. Ia bebas mengembangkan hartanya tersebut dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang jujur. Namun demikian, pemilik harta secara hakiki adalah Allah SWT. Seseorang dikatakan memiliki harta hanya secara majazi dan harta itu merupakan amanah di tangannya yang harus dipergunakan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain (QS. 5: 120 dan QS. 57:7). Islam menganggap setiap individu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Oleh sebab itu, pada setiap harta seseorang, banyak atau sedikit, ada hak-hak lain yang harus ditunaikan, seperti zakat, sedekah, dan nafkah. Hal inilah yang dimaksudkan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Sesungguhnya dalam setiap harta itu ada hak-hak orang lain, selain dari zakat” (HR. at-Turmizi). Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: “Bumi ini adalah bumi Allah, dan siapa yang menggarapnya ia lebih berhak atas garapannya itu” (HR. al-Bukhari). Di samping itu, kebebasan seseorang dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi oleh hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum. Menurutnya, setiap orang bebas untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, tetapi cara mendapatkan harta itu tidak boleh melanggar aturan syara’ dan merugikan kepentingan orang lain, baik pribadi maupun masyarakat. Oleh karena itu, cara bermu’amalah dengan riba, ihtikar, penipuan, dan penyelundupan adalah cara yang diharamkan syara’, karena perbuatan tersebut, di samping bertentangan 13
Ibid.
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
63
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Yus dengan kehendak syara’, juga merugikan orang lain dan masyarakat.14 Berakhirnya Pemilikan. Menurut para ahli fiqh, al-milk at-tamm akan berakhir apabila: 1. Wafatnya pemilik sehingga seluruh miliknya berpindah kepada ahli warisnya dan 2. Harta yang dimiliki itu rusak atau hilang. Adapun al-milk an-naqis atau pemilikan terhadap manfaat suatu harta akan berakhir dalam hal-hal sebagai berikut. 1. Habisnya masa berlaku pemanfaatan itu, misalnya pemanfaatan sawah berakhir setelah padi dipanen. 2. Barang yang dimanfaatkan itu rusak atau hilang. Kedua hal ini disepakati seluruh ulama fiqh. 3. Orang yang memanfaatkannya wafat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Menurut ulama Mazhab Hanafi, manfaat tidak dapat diwariskan. Sebaliknya jumhur ulama berpendapat bahwa manfaat dapat diwariskan, karena manfaat termasuk harta. 4. Wafatnya pemilik harta apabila pemilikan manfaat dilakukan melalui al-I’arah (pinjam-meminjam) dan ijarah (sewa menyewa). Dalam hal inipun terdapat perbedaan pendapat. Menurut ulama Mazhab Hanafi, akad ijarah tidak bisa diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, baik pinjam meminjam maupun sewa menyewa tidak berhenti masa berlakunya apabila pemiliknya meninggal, karena kedua akad ini boleh diwariskan.15 Ulama fiqh mengemukakan beberapa hukum yang terkait dengan adanya hak tersebut, yaitu: 1. Menyangkut Pelaksanaan dan Penuntutan Hak. Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu dengan cara-cara yang disyariatkan. Dalam persoalan hak Allah SWT mengenai ibadah, seseorang harus menunaikannya sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Apabila seseorang tidak mau menunaikan hak Allah SWT tersebut dan hak itu terkait dengan persoalan harta, seperti zakat, maka hakim (penguasa) berhak untuk memaksanya membayar zakat. Jika hak Allah SWT itu terkait dengan persoalan harta, maka hakim (penguasa) harus mengajak orang itu untuk menunaikan hak tersebut dengan menempuh berbagai cara dan jika orang itu tetap tidak mau menunaikan hak Allah SWT tersebut, Allah SWT akan menurunkan cobaan-Nya di dunia ini dan di akhirat akan disiksa. Dalam persoalan hak manusia, penunaiannya dilakukan dengan cara mengambilnya dan membayarkannya kepada orang yang berhak menerimanya (pemilik hak). Misalnya, jika seseorang mencuri harta orang lain, maka pencuri itu harus mengembalikan harta itu jika masih utuh atau menggantinya dengan nilai harta tersebut jika harta itu tidak utuh lagi. Yang terpenting dalam kasus seperti ini, menurut ulama fiqh adalah sifat keadilan dalam pengembalian hak tersebut, sehingga masing-masing pihak tidak dirugikan. Atas dasar keadilan ini, syariat Islam menganjurkan agar para pemilik hak berlapang 14 Muhammad Abdul Mun’im al-Jamal,.Mausu’at al- Iqtisad al-Islami, Terj. Salahuddin Abdullah.( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,2000). I: 181,201 dan 223, Wazir Akhtar. Economics in Islamic Law. (New Delhi: Kitab, Bhavan,1992). Seyyed Mahmood Taleqani,. Islam and Ownership. (Kentucky USA: Mazda Publisher,1983). Muhammad Nejatullah Siddiqi. MuslimEconomic Thinking: A Survey of Contemporary Literature, terj, Mohd. Amin Abdullah. (KualaLumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,1989).,dan M.N. Siddiqui., Some Aspects of the Islamic Economy(Lahore: Islamic Publication,1982). 15 Tim Redaksi, Ensiklopedi….IV: 1178-1179.
64
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
hati dalam menuntut dan menerima haknya itu, apalagi orang yang mengambil hak itu mempunyai kesulitan. Hal ini, menurut ulama fiqh sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat 280 yang artinya: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Yang dimaksud dengan ungkapan “menyedekahkan” dalam ayat ini, menurut para mufasir dan fuqaha, adalah memaafkan utang tersebut. 2. Menyangkut Pemeliharaan Hak. Ulama fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala kesewenangan orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta seseorang dicuri, maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata. Tuntutan secara pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan dan secara perdata menuntut agar harta yang dicuri itu dikembalikan jika masih utuh atau diganti senilai harta yang dicuri jika harta itu habis. 3.Menyangkut Penggunaan Hak. Ulama fiqh menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang disyariatkan oleh Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila merugikan atau memberi mudarat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat, baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja. Di samping itu, pemilik hak tidak boleh menggunakan haknya secara mubazir/ Apabila seseorang membangun rumah di tanahnya sendiri, maka bangunan yang akan didirikannya itu tidak boleh sampai menghalangi udara dan cahaya yang masuk ke rumah tetangganya, atau rumah yang dibangun itu menutup lalu lintas masyarakat untuk sampai ke rumahnya masing-masing, sekalipun jalan itu adalah tanahnya. Perbuatan-perbuatan yang memberi mudarat kepada orang lain, sengaja atau tidak, di dalam fiqh disebut sebagai ta’assuf fi isti’mal al-haqq (sewenang-wenang dalam menggunakan hak). Ta’assuf fi isti’mal al-haqq dilarang oleh syara’. Apabila seseorang menggunakan sesuatu yang bukan haknya, tidak dinamakan dengan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, tetapi disebut ta’adi. 4. Pemindahan Hak. Menurut ulama fiqh, sebagai pemilik hak seseorang boleh memindahtangankan haknya kepada orang lain sesuai dengan cara yang disyariatkan Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan, seperti melalui jual beli dan utang, maupun hak yang bukan bersifat kehartabendaan, seperti hak perwalian terhadap anak kecil. Kedua bentuk hak ini bisa dipindahkan kepada pihak lain. Sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu cukup banyak, seperti melalui suatu akad (transaksi), melalui pengalihan utang (hiwalah), dan disebabkan wafatnya seseorang. Yang penting pemindahan hak ini, menurut ulama fiqh, dilakukan sesuai dengan cara dan prosedur yang ditetapkan oleh syara’. Misalnya, dalam persoalan wasiat atau hibah, hak yang dipindahkan itu tidak melebihi sepertiga harta, dan melakukan berbagai transaksi harus memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syara’. 5. Berakhirnya suatu hak. Ulama fiqh menyatakan bahwa suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan syara’ dan hal ini bisa berbeda pada setiap jenis hak yang dimiliki seseorang. Misalnya, hak-hak suatu perkawinan akan berakhir dengan terjadinya talak, hak milik akan berakhir dengan terjadinya suatu transaksi jual beli, haqq al-intifa’ akan berakhir apabila akadnya dibatalkan, baik karena telah habis masa
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
65
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Yus berlakunya, seperti dalam sewa menyewa maupun batal karena terdapatnya cacat atau uzur dalam akad tersebut, seperti runtuhnya rumah yang disewa.16
E. Akad Sebagai Sumber Kepemilikan Salah satu persoalan dan pembahasan penting dalam persoalan akad/ transaksi sebagai sumber kepemilikan adalah apakah konsep dan bentuk transaksi atau akad dalam hukum Islam hanya terbatas pada bentuk-bentuk aqad yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tanpa ada keleluasaan kaum muslimin untuk mengembangkan bentuk-bentuk akad baru sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat? Atau apakah kaum muslimin diberikan kebebasan untuk membuat akad baru selama akad baru tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri? Persoalan di atas menjadi penting jika dikaitkan dengan bagaimana fiqh mu’amalah dikembangkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan bentuk-bentuk transaksi ekonomi kontemporer sekarang ini yang tidak terdapat pembahasannya dalam kitab-kitab fiqh. Oleh karena itu, tulisan ini difokuskan pembahasannya pada bagaimana prinsip-prinsip atau asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyat al-ta’aqud) dalam fiqh mu’amalah dikembangkan dalam konteks kehidupan perekonomian masa kini.17 Sebagai catatan yang perlu dikemukakan dan mendapat perhatian adalah bahwa transaksi atau akad sebagai sumber untuk memperoleh hak milik adalah salah satu prinsip dan asas yang terdapat dalam pembahasan akad tersebut adalah asas kebebasan berkontrak. Prinsip dan asas kebebasan berkontrak dalam fiqh mu’amalah tersebut ada yang menyamakannya dengan kandungan pasal 1477 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan prinsip dan asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam fiqh mu’amalah, fiqh mu’amalah dapat dikembangkan secara dinamis dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru ekonomi kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan upaya menjawab persoalan sumber-sumber kepemilikan dalam dunia kontemporer. Di samping itu, juga untuk pengembangan bentuk-bentuk transaksi(akad) dalam fiqh mu’amalah dewasa ini, sudah saatnya ahli fiqh mu’amalah di samping menguasai asas-asas dan prinsip-prinsip umum hukum Islam itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek mu’amalah kontemporer yang banyak dikuasai oleh ahli ekonomi konvensional pada umumnya. Hal ini penting dilakukan karena bagaimana mungkin penetapan hukum atas bentuk-bentuk mu’amalah kontemporer menjadi akurat dan tepat jika masalah mu’amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami. Dengan demikian, prinsip kebebasan akad dalam fiqh mu’amalah secara ideal, di samping didasarkan pada pengetahuan tentang prinsip-prinsip hukum mu’amalah yang disarikan dari al-Quran, hadis dan praktek-praktek mu’amalah era klasik dan tengah, juga perlu disintesakan praktek-praktek mu’amalah kontemporer.18 16
Ibid. II:489-490. Yusdani.2002. “Transaksi (Akad) dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Millah Jurnal Studi Agama Vol.II, No. 2, Januari 2002. Yogyakarta: Program Magister Studi Islam UII, hlm.71-84. 18 Ibid. 17
66
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Berpangkal tolak dari adanya prinsip kebebasan berkontrak (akad) dalam Hukum Islam di atas, dan dalam rangka mengantisipasi dan merespons perkembangan dan tuntutan mu’amalah moderen dewasa ini dan pada masa mendatang, persoalan-persoalan yang muncul dalam kaitan ini adalah apakah macam-macam dan bentuk-bentuk transaksi (akad) dalam hukum mu’amalah Islam terbatas dan tidak mungkin munculnya macam dan bentuk aqad yang baru? Apakah macam dan bentuk akad dalam hukum Islam mengharuskan mambatasi manusia dengan bentuk dan macam akad yang sudah dikenal pada masa awal Islam saja, seperti jual beli, sewa-menyewa, hibah, gadai, syirkah dan lain-lain sebagaimana tersebut dalam Alquran, Sunnah dan Ijma’? Apakah tidak boleh manusia membuat-membentuk macam-macam aqad yang sama sekali baru yang berbeda dan tidak tercakup dalam salah satu bentuk dari akad yang sudah dijelaskan tersebut?19 Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah hukum Islam membuka pintu selebarlebarnya bagi manusia untuk mengadakan bentuk baru dan macam-macam aqad baru sesuai dengan kebutuhan kehidupan manusia sepanjang aqad-aqad dimaksud tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum akad dalam hukum Islam? Jawaban atas persoalan-persoalan di atas jelaslah bahwa hukum Islam tidak membatasi manusia hanya dengan bentuk-bentuk dan macam-macam akad yang sudah dikenal sebelumnya. Bahkan manusia dianjurkan untuk membuat bentuk dan macam akad yang baru sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan mu’amalah mereka selama akad-akad baru tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip umum transaksi(akad).20
F. Penutup Sebagai penutup dari uraian-uraian terdahulu tulisan ini dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep dasar hak milik dalam hukum Islam memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan konsep serupa dalam hukum perdata, paham kapitalisme dan paham sosialis. Karakteristik tersebut dapat dilihat baik segi pengertian, macam, pemanfaatan antara hak individu dan hak kolektif maupun sumber-sumber untuk memperoleh hak milik. 2. Sumber-sumber yang dapat dijadikan dasar untuk memperoleh hak milik dalam hukum Islam antara lain adalah ihraz al-mubahat, akad, khalafiyat dan tawallud min mamluk. 19
Mustafa Ahmad az-Zarqa, “ Aqd at-Ta’min wa Mauqif al-Syari’at al-Islamiyah minhu” dalam Majlis al A’la Liri’ayat al- Funnun wa al-Adab wa al-ulum al-Ijtima’iyah, Usbu’u al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al-Imam ibn Taimiyah ( Damsyik: Lajnah al-Qanun wa al-Ulum al-Siyasah,1380 H/1971), hlm. 387-388. 20 Ibid.
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
67
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Yus 3. Sebagai sumber untuk memperoleh hak milik dalam hukum Islam sudah saatnya dikembangkan bentuk dan jenis akad baru sesuai dengan kandungan asas kebebasan berkontrak dalam hukum Islam dan dalam rangka mengantisipasi perkembangan mu’amalah mu’asirah. Dengan demikian tidak hanya terpaku pada bentuk dan jenis akad yang ada dalam kitab-kitab fiqh. Adanya akad baru tersebut dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. ***
Daftar Pustaka Akhtar, Wazir. 1992. Economics in Islamic Law. New Delhi: Kitab Bhavan. ‘Assal, Ahmad Muhammad al, dan Fathi Ahmad Abdul Karim.1999. Nizam alIqtisad fi al-Islam Mabadi-uhu wahdafuhu, terj. Imam Saefudin.Bandung: CV. Pustaka Setia. Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-. Tanpa Tahun. Sahih al-Bukhari.. Surabaya: Ahmad Nabhan. Fath, Ahmad Abu al-.1913. Kitab al-Mu’amalah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa alQawanin al-Misriyyah. Mesir: Matba’ah al-Busfur. Jamal, Muhammad Abdul Mun’im al-,.2000. Mausu’at al- Iqtisad al-Islami, Terj. Salahuddin Abdullah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Nazawi,Ali Ahmad an-.1994. al-Qawaid al-Fiqhiyah, Mafhumuha, Nasy-atuha, Tatawwuruha, Dirasah Mu-allafatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tatbiqatuha. Damsyik: Dar al-Qalam. Sanhuri, As-.1956. Masadir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islami IV. Kairo: Mahad ad-Dirasat al-‘Arabiyyah al-‘Aliyah. Seyyed Mahmood Taleqani. 1983. Islam and Ownership. Kentucky USA: Mazda Publisher. Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1989.Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature, terj, Mohd. Amin Abdullah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Siddiqui, M.N.. 1982. Some Aspects of the Islamic Economy. Lahore: Islamic Publication. Subekti, R..1979. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa. Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio.1984. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Syatibi, Asy-. 1341.al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam II.. Dar al-Fikr, Ttp. Thahir, Asmuni Muhammad. 2002. “ al-Milkiyat waduruha fi Tanmiyat al-Iqtisad al-Islami”, dalam Millah Jurnal Studi Agama Vol.II, No. 2, Januari 2002. Yogyakarta: Program Magister Studi Islam UII, hlm.85-106. Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. II: 486-495 dan IV: 1176-1179.
68
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
Yusdani Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam
Tirmizi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-. Tanpa Tahun. Al –Jami’ al-Sahih (Sunan Tirmizi). Mesir: Mustafa al- Babi al-Halabi. Yusdani.2002. “Transaksi (Akad) dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Millah Jurnal Studi Agama Vol.II, No. 2, Januari 2002. Yogyakarta: Program Magister Studi Islam UII, hlm.71-84. Zarqa, Mustafa Ahmad az-.1380/1971.” Aqd at-Ta’min wa Mauqif al-Syari’at alIslamiyah minhu” dalam Majlis al A’la Liri’ayat al- Funnun wa al-Adab wa al-ulum al-Ijtima’iyah, Usbu’u al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al-Imam ibn Taimiyah. Lajnah al-Qanun wa al-Ulum al-Siyasah, Damsyik. Zarqa, Mustafa Ahmad az-. 1968.al-Fiqh al-Islami fi Saubihi al-Jadid I, cet. Ke-9. Damaskus: Matabi’ Alifba’ al-Adib.
Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003
69