SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
Studi Literatur Literasi Emosi Anayanti Rahmawati Universitas Sebelas Maret Surakarata
[email protected]
Abstrak. Studi ini didasarkan pada literatur review literasi emosi yang bertujuan untuk menjelaskan teori literasi emosi. Metode yang digunakan adalah studi literatur, dengan bersumber pada: 1) abstrak hasil penelitian, 2) review jurnal dan 3) referensi buku. Analisis data menggunakan metode perbandingan antar teori dan meta analisis. Beberapa teori dan hasil penelitian menyatakan perkembangan sosial emosional individu perlu mendapatkan perhatian karena merupakan dasar untuk membina hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki untuk mendukung terciptanya hubungan sosial yang baik adalah literasi emosi, yaitu kemampuan untuk mengenali, memahami, menangani dan mengekspresikan emosi dengan tepat. Meskipun akar dasar kemampuan literasi emosi telah dimiliki oleh setiap individu sejak dilahirkan namun perkembangan pada masing-masing individu tidak sama dikarenakan terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya peran orangtua, guru, teman sebaya serta pengaruh lingkungan sekolah. Interaksi antara faktor-faktor tersebut serta stimulasi yang didapatkan dari lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan literasi emosi individu di masa depan. Kesimpulan berdasarkan studi literatur, literasi emosi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu karena merupakan dasar dalam menjalin hubungan sosial dengan individu lain dan lingkungan sekitar. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi literasi emosi, namun faktor-faktor tersebut masih harus diteliti lebih lanjut relevansinya melalui studi lebih lanjut di masa mendatang. Kata kunci : Literatur emosi
Pendahuluan Perkembangan sosial emosional individu merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian karena merupakan dasar untuk membina hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki untuk mendukung terciptanya hubungan sosial yang baik adalah literasi emosi, yaitu kemampuan untuk mengenali, memahami, menangani dan mengekspresikan emosi dengan tepat (Sharp, 2001). Konsep dasar literasi emosi telah ada sejak tahun 1970an, namun mulai berkembang pesat pada tahun 2000an. Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan konsep teori literasi emosi. Sejarah Literasi Emosi Istilah literasi emosi mulai dikembangkan tahun 1970an oleh American Humanist Psychology (Killick, 2006). Selanjutnya, istilah ini dipublikasikan secara ilmiah untuk pertama kalinya oleh Lotecka (1974) dalam Journal of Drug Education. Namun dalam publikasi ini hanya dimunculkan istilah literasi emosi sebagai bagian dari proyek pencegahan penyalahgunaan obat-obatan terlarang melalui pendidikan humanistik, tidak ada penjelasan lanjut terkait definisi atau pun keterangan lain mengenai literasi emosi. Selanjutnya istilah literasi emosi menjadi populer setelah Steiner mengembangkan konsep literasi emosi dengan sudut pandang aliran analisis transaksional dengan dipublikasikannya artikel Emotional Literacy dalam Transactional Analysis Journal (Steiner, 1984), menyusul kemudian terbitnya artikel Emotional Literacy Training (Steiner, 1996). Publikasi dan pembahasan literasi emosi semakin mendalam dengan terbitnya buku Achieving Emotional Literacy (Steiner & Perry, 1997) yang menjelaskan definisi literasi emosi yang mencakup sebagai kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri, kemampuan untuk mendengarkan orang lain dan berempati dengan emosiemosi mereka serta kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara produktif. Literasi emosi terdiri dari lima aspek yaitu: (1) mengetahui perasaan diri; (2) kemampuan untuk berempati; (3) kemampuan untuk mengakui emosi; (4) kemampuan untuk mengatasi dan memperbaiki kerusakan emosi; dan (5) kemampuan untuk lebih memahami dunia dan konteks emosi. Kelima aspek ini merupakan 'interaktivitas emosi'. Mereka berpendapat bahwa menjadi sadar & dapat memahami perasaan diri sendiri & orang lain menjadikan interaksi lebih efektif. Penjelasan literasi emosi semakin lengkap dengan terbitnya buku Emotional Literacy; Intelligence with a Heart (Steiner, 2003) yang menjelaskan tentang training literasi emosi sesuai dengan aliran analisis transaksional.
45
SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
Namun berdekatan dengan publikasi literasi emosi tersebut, Salovey & Mayer (1989) mempublikasikan kecerdasan emosi, yang didefinisikan sebagai kemampuan mental untuk memproses emosi, kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, untuk membedakannya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan individu. Konsep kecerdasan emosi Salovey & Mayer ini menjadi terkenal sejak dipublikasikan kembali oleh Goleman (1996) dalam buku nya yang berjudul Emotional Intelligence, Why It Can Matter More Than IQ, yang mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kapasitas untuk mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri kita sendiri dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri kita sendiri dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Berdasarkan pendapat Salovey & Mayer, Goleman mengatakan terdapat lima area perkembangan domain kecerdasan emosi yang dapat dipandang sebagai kemampuan yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Semua kemampuan ini merupakan sebuah kontinum pembangunan, yaitu: (1) kesadaran diri emosional; (2) mengelola emosi; (3) memanfaatkan emosi secara produktif; (4) empati/membaca emosi; (5) menangani hubungan. Kemunculan dua publikasi terkait topik emosi tersebut memunculkan perdebatan dikarenakan istilah serta definisi dan aspek-aspek terkait yang dipakai mempunyai kemiripan sehingga terkadang penggunaan istilah ini pun sering dipertukarkan atau digunakan secara bergantian padahal mempunyai makna yang berbeda. Pengertian Literasi Emosi Literasi emosi dipopulerkan oleh Steiner (1984) dengan gagasan awal di tinjau dari aliran analisis transaksional untuk tujuan klinis. Selanjutnya Steiner & Perry (1997) mulai mengembangkan literasi emosi dengan konsep yang lebih luas, dan mendefinisikan literasi emosi sebagai kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri, kemampuan untuk mendengarkan orang lain dan berempati dengan emosi-emosi mereka serta kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara produktif. Steiner & Perry (1997) menjelaskan bahwa literasi emosi terdiri dari lima aspek, yaitu mengetahui perasaan diri, kemamopuan untuk berempati, kemampouan untuk mengakui emosi, kemampuan untuk mengatasi dan memperbaiki kerusakan emosi serta kemampuan untuk lebih memahami dunia dan konteks sosial. Kelima aspek ini merupakan 'interaktivitas emosi'. Mereka berpendapat bahwa menjadi sadar & dapat memahami perasaan diri sendiri & orang lain menjadikan interaksi lebih efektif. Definisi lain disampaikan oleh Sharp (2001) yang menyatakan bahwa literasi emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, menangani dan mengekspresikan emosi dengan tepat. Pendapat senada disampaikan oleh Faupel (2003) yang mendefinisikan literasi emosi sebagai kemampuan untuk mengenali, memahami dan menangani secara tepat ekspresi emosi kita dan mengenali, memahami dan merespon secara tepat ekspresi emosi orang lain. Selanjutnya Cohen (2001) berpendapat bahwa bahwa literasi emosi merupakan kemampuan untuk membaca atau memecahkan kode emosi diri sendiri dan orang lain, menggunakan informasi yang telah dibuka kode nya tersebut untuk memecahkan masalah sosial emosional. Literasi emosional merupakan perkembangan kesadaran tentang emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Informasi kesadaran ini yang akan memandu pikiran kita dan diekspresikan dalam komunikasi dan perilaku kita. Perlu dipahami bahwa setiap individu merasakan emosi dalam cara yang berbeda oleh karena itu memiliki respon yang berbeda pula tergantung kepada pengalaman hidup mereka (Parkhead Nursery Staf 2004 dalam Bruce, 2010). Steiner & Perry (1997) Mempunyai kemampuan literasi emosi berarti dapat menangani emosi dalam rangka meningkatkan kekuatan pribadi dan kualitas hidup di sekitar kita. Literasi emosi meningkatkan hubungan, menciptakan kemungkinan cinta kasih antara orang, memungkinkan terjadinya kerjasama dalam pekerjaan dan memfasilitasi perasaan masyarakat. Literasi emosi menekankan pada kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain serta membaca respon emosi orang lain dan menggunakan kedua hal tersebut untuk mengembangkan hubungan yang positif. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa literasi emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, menangani dan mengekspresikan emosi dengan tepat. Perbedaan Literasi Emosi dengan Kecerdasan Emosi Perbedaan antara literasi emosi dengan kecerdasan emosi telah banyak diungkapkan oleh para pakar yang dapat dikelompokkan menjadi perbedaan dalam hal: (a) istilah kata literasi & kecerdasan; (b) kajian konteks individual atau sosial; (c) kemampuan potensial atau sudah menjadi tindakan/aksi serta. a.
Istilah Kata Literasi & Kecerdasan Literasi dalam pemahaman tradisional diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis (An Encyclopaedia Britannica Company). Lankshear (dalam Matthews, 2006) menjelaskan bahwa kata literasi 46
SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
sering dihubungkan dengan kemampuan bahasa. Pada tingkat pertama, fungsi literasi adalah pembelajaran bahasa sehingga orang mendapatkan kosakata yang cukup dan pemahaman tentang struktur tata bahasa untuk membantu mereka berfungsi dalam masyarakat. Namun, dalam konsep yang lain, literasi berarti sebuah proses dinamis yang berhubungan erat dengan budaya di mana literasi dihasilkan. Bocchino (1999) mengatakan bahwa kata literasi merupakan bagian dari kemampuan untuk untuk memecahkan kode isyarat, baik itu isyarat tertulis ataupun isyarat dari komunikasi interpersonal. Literasi meliputi pula keterampilan untuk menciptakan makna dan menerapkannya dalam kehidupan serta kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara lancar. National Literacy Act of 1991 menyebutkan bahwa literasi merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah yang diperlukan di tempat kerja dan di masyarakat, untuk mencapai tujuan individu serta untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi individu.UNESCO (2006) menambahkan bahwa pada saat ini kata literasi telah mengalami perluasan makna hingga mencakup kemampuan untuk menggunakan bahasa, angka, gambar dan yang lainnya untuk memahami dan menggunakan sistem simbol dominan budaya. Konsep literasi dalam arti yang lebih luas lagi dapat dimaknai sebagai keterampilan untuk mengakses pengetahuan melalui teknologi dan kemampuan untuk menilai konteks yang kompleks. Kecerdasan menurut Wechsler (1944) merupakan kapasitas global individu untuk bertindak secara sengaja, berpikir rasional dan untuk menangani secara efektif dengan lingkungannya. Terman (1921) mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak. Matthews (2006) berpendapat bahwa kata kecerdasan biasanya digunakan untuk menjelaskan kemampuan rasional dan tidak termasuk emosi. Pengetesan kecerdasan secara tertulis pun umumnya digunakan untuk mengukur pemikiran rasional. Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kata literasi mempunyai makna yang luas, bukan hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis, namun mencakup pula kemampuan untuk menilai konteks yang kompleks, ketrampilan untuk menciptakan makna dan menerapkannya dalam kehidupan serta kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara lancar, sedangkan kata kecerdasan lebih bermakna pada pemikiran rasional yang tidak melibatkan emosi. Oleh karena kata literasi dan kata kecerdasan memiliki makna yang berbeda maka penggunaan kedua istilah ini tidak dapat dipertukarkan karena akan berakibat pada pembahasan yang berbeda pula. b.
Kajian Konteks Individual atau Konteks Sosial Kecerdasan merupakan merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Pengukuan kecerdasan pada umumnya dilakukan melalui pengetesan yang sifatnya individualistik, dikerjakan secara individual dan tertulis, sehingga mempunyai implikasi bahwa yang di ukur merupakan hal yang bebas dari konteks sosial. Demikian pula halnya dengan kecerdasan emosi, Hasil pengetesan kecerdasan emosi secara individual juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan emosi individu (Haddon, Goodman, Park & Crick, 2005). Oleh karena itu kecerdasan emosi merupakan konsep individualistik dalam diri seseorang, yang cenderung fokus pada aspek perkembangan emosi individu (Matthews, 2006). Sebaliknya, literasi emosi merupakan konteks sosial karena merupakan kumpulan keterampilan, strategi, peta dan alat-alat kita dalam belajar untuk benar-benar menjadi fasih secara emosi (Bocchino, 1999). Literasi emosi merupakan sebuah proses interaksi yang membangun pemahaman (Haddon, et.all, 2005), menekankan pada kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan menggunakannya untuk mengembangkan hubungan yang positif (Steiner & Perry, 1997). Literasi emosi juga berhubungan dengan pertumbuhan pribadi, sebagai contoh: pentingnya perkembangan hubungan (Park, 1999). Literasi emosi menggabungkan baik aspek individual maupun dimensi sosial dari pengalaman individu, menempatkan interaksi sosial dan komunikasi sebagai pusat/inti-nya. Meskipun kemungkinan ada perbedaan pandangan tentang konsep literasi emosi, elemen umum dari semua definisi tersebut adalah adanya gagasan yakni meskipun emosi merupakan pengalaman individual, emosi muncul sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain (Steiner & Perry, 1997). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan konteks individual sedangkan literasi merupakan konteks sosial.
c.
Kemampuan Potensial atau suatu Tindakan/Aksi Kecerdasan merupakan suatu yang sifatnya fluid/cair dan dinamis, suatu kemampuan yang dimiliki individu di dalam dirinya. Hal ini menandakan bahwa kecerdasan merupakan suatu potensi yang ada dalam diri individu. Bocchino (1999) menjelaskan bahwa kata kecerdasan dalam istilah kecerdasan emosi merujuk 47
SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
pada potensi kelancaran emosi, suatu kecenderungan dalam diri kita untuk mengembangkan alat dan ketrampilan emosi. Literasi emosi merupakan kualitas stabil dan cenderung tetap serta bukan merupakan yang sifatnya cair/fluid dan dinamis. Kata literasi menyiratkan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang dapat dipelajari (Sharp dalam Killick, 2006). Haddon, et.all (2005) mengatakan bahwa literasi emosi merupakan proses berinteraksi dengan orang lain dalam rangka membangun pemahaman tentang emosi diri dan emosi orang lain dan menggunakan pemahaman ini untuk menginformasi tindakan kita, sehingga dapat disimpulkan bahwa literasi emosi merupakan sebuah tindakan praktis, bukan hanya sekedar kemampuan yang dimiliki individu. Morris (2002) mengatakan bahwa jika kecerdasan emosi merupakan potensi tentang emosi yang harus kita sadari, pahami, ekspresikan dan kelola dengan tepat, maka literasi emosi merupakan praktek dari semua hal tersebut. Kita semua mempunyai potensi untuk menjadi cerdas, hal yang membedakannya adalah apakah kita berlatih mempraktekkan dan mengembangkannya setiap hari atau tidak. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi baru merupakan potensi atau kecenderungan yang dimiliki individu sementara literasi emosi merupakan tindakan praktis yang telah dilakukan individu. Konsep Teori Lain yang Sejenis dengan Literasi Emosi Beberapa konsep teori lain yang mempunyai kemiripan istilah dengan literasi emosi, diantaranya: a.
Kompetensi Emosi (Emotional Competence) Kompetensi emosional merupakan kemampuan untuk memahami , mengelola dan mengekspresikan aspek sosial dan emosional dalam kehidupan keseharian individu yang memungkinkan tercapainya keberhasilan dalam pengelolaan tugas kehidupan seperti belajar , menjalin hubungan , memecahkan masalah sehari-hari , dan beradaptasi dengan tuntutan yang kompleks terhadap pertumbuhan dan perkembangan ( Elias, Zins, Weissberg, Frey, Greenberg, Haynes, Kessler, 1997). Kompetensi emosi merupakan pemahaman tentang emosi diri sendiri dan emosi orang lain, suatu kecenderungan untuk menampilkan emosi dalam situasi dan budaya yang tepat dan kemampuan untuk menghambat atau memodulasi emosi yang dialami/diekspresikan dan perilaku yang berasal dari emosi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang dapat diterima secara sosial (Eisenberg , Cumberland & Spinrad,1998 ). Saarni (1999) mendefinisikan kompetensi emosional sebagai kemampuan fungsional dimana individu dapat mencapai tujuan mereka setelah timbulnya emosi. Kompetensi emosi adalah bagaimana individu dapat merespon secara emosional dengan menerapkan pengetahuan emosi serta ekspresi emosi mereka untuk bernegosiasi sesuai dengan kemauan mereka melalui pertukaran interpersonal. Ciarrochi dan Scott (2006) menambahkan bahwa kompetensi emosional merupakan sebuah perbedaan individual dalam hal seberapa efektif individu tersebut berurusan dengan emosi dan masalah emosional. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi emosi merupakan kemampuan untuk memahami , mengelola dan mengekspresikan aspek sosial dan emosional dalam kehidupan keseharian individu yang memungkinkan tercapainya keberhasilan dalam pengelolaan tugas kehidupan.
b.
Regulasi Emosi (Emotional Regulation) Regulasi emosi merupakan proses untuk memulai , mempertahankan , memodulasi , atau mengelola kejadian , intensitas , atau durasi dari perasaan internal dan proses emosi yang terkait fisiologis, seringkali dengan maksud untuk mencapai tujuan seseorang (Eisenberg , Fabes , Guthrie & Reiser, 2002). Regulasi emosi adalah proses dimana individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka memilikinya serta bagaimana mereka mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 1998). Edmunds (2002) menambahkan bahwa regulasi emosional merupakan kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri , misalnya menenangkan diri dan mengendalikan ekspresi kemarahan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan proses dimana individu dapat mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka memilikinya serta bagaimana mereka mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut.
c.
Empati Empati adalah kemampuan untuk memosisikan diri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (Papalia, Old, dan Feldman, 2008), suatu kemampuan individu untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang 48
SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
lain (Hurlock, 1999). Batson dan Coke (dalam Brigham, 1991) menyatakan bahwa empati merupakan suatu keadaan emosional yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Koestner & Franz (1990) menambahkan bahwa kemampuan untuk dapat mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain merupakan prasyarat empati, namun kemampuan ini tidak mengharuskan kita untuk secara nyata terlibat dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu kemampuan untuk dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain tanpa kita ikut terhanyut pada situasi yang sedang terjadi. Faktor-Faktor yang Mepempengaruhi Literasi Emosi Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi literasi emosi, diantaranya adalah: a.
Orangtua Orangtua merupakan orang terdekat anak, sehingga interaksi keseharian dengan anak sangat berpengaruh terhadap kemampuan literasi emosi anak. Kedekatan orangtua-anak hendaknya juga ikut terbawa dalam kegiatan parenting yang diselenggarakan sekolah, karena berdasarkan hasil penelitian Adams, Morris, Gillmore & Frampton (2010) menyatakan bahwa program PACT (Parent And Children Together) dapat meningkatkan patnership pada sekolah anak serta mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap perkembangan sosial emosional anak, termasuk di dalamnya kemampuan literasi emosi anak. Hal ini didukung oleh Kwon (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan langsung dan tidak langsung antara coparenting dan perkembangan sosial emosional anak.
b.
Guru Literasi emosi merupakan suatu ketrampilan yang dapat dipelajari, sehingga Pemahaman guru mengenai kurikulum pembelajaran hendaknya juga mendapatkan perhatian. Al-Rawahi (2010) menyatakan bahwa penggunaan program kurikulum PATHS (Promoting Alternative Thinking Strategies) menjadikan pemahaman guru terhadap literasi emosi (termasuk pembelajaran literasi emosi) meningkat. Selian itu, literasi emosi dapat pula ditingkatkan melalui program intervensi yang dilaksanakan di sekolah dengan bantuan guru. Knowler & Frederickson (2013) menyatakan bahwa intervensi program literasi emosi pada pelaku bullying dapat meningkatkan literasi emosi pada anak usia 8-9 tahun. Qualter, Whiteley, Hutchinson & Pope (2007) berdasarkan hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa intervensi literasi emosi dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan. Peningkatan literasi emosi dapat pula dilakukan melalui program Personal and Social Development ( Camileri, Caruana, Falzon & Muscat, 2012) dan Student Assistant Program (Carnwell & Baker, 2007).
c.
Peer/Teman Sebaya Peer atau teman sebaya mempunyai pengaruh cukup signifikan dalam perkembangan dan peningkatan literasi emosi. Hasil penelitian O’Hara (2011) menyatakan bahwa peer mentoring mempunyai dampak positif terhadap kompetensi literasi emosi anak, bahkan menurut Garcia (2015) penyediaan program mentoring mempunyai dampak positif pada kesadaran & sikap murid yang berisiko (at-risk students). Selain itu, Literasi emosi dapat ditingkatkan melalui circle time & mentoring (Coppock, 2006) serta melalui talking circle (Schumacher, 2014).
d.
Lingkungan sekolah Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh terhadap perkembangan literasi emosi. Penelitian yang dilakukan Roffey (2008) mengenai literasi emosi dan ekologi school wellbeing menghasilkan analisis eco-systemic literasi emosi dalam konteks sekolah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur sistem sekolah berinteraksi dengan orang lain dalam menciptakan school wellbeing. Haddon, Goodman, Park, Crick (2005) menyatakan bahwa praktek literasi emosi di sekolah diperlukan adanya keterbukaan dalam hubungan sehingga orang merasa didukung secara emosional. Selain itu pentingnya setiap orang merasa dirinya dihargai dan yang paling penting, kapasitas untuk mendengarkan perasaan diri sendiri dan orang lain.
Penutup Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa literasi emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, menangani dan mengekspresikan emosi dengan tepat. Literasi emosi terdiri dari lima aspek, yaitu mengetahui perasaan diri, kemamopuan untuk berempati, kemampouan untuk mengakui emosi, kemampuan untuk mengatasi dan memperbaiki kerusakan emosi serta kemampuan untuk lebih memahami dunia
49
SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
dan konteks sosial. Terdapat beberapa konsep yang memiliki kemiripan dengan literasi emosi, namun masingmasing konsep tersebut memiliki penekanan konsep yang berbeda.
Daftar Pustaka Adams, S., Morris, D., Gilmore, G., & Frampton, I. (2012). A Novel Parent-Supported Emotional Literacy Programme for Children. Community Practitioner , (83), 8, 27-30. Al-Rawahi, N. M. (2010). Effective Emotional Literacy Programmes: Teachers' Perceptions. Desertation University of Exeter . An Encyclopaedia Britannica Company. (t.thn.). Dipetik 12 monday, 2015, dari Merriam-Webster.com: http://www.merriam-webster.com/dictionary/literate Bocchino, R. (1999). Emotional Literacy: To Be a Different Kind of Smart. California: Corwin Press. Brigham, J.C. (1991). Social Psychology. New York: Herper Collins Publishers Inc. Bruce, C. (2010). Emotional Literacy in The Early Years. Singapore: Sage Publication. Camilleri, S., Caruana, A., Falzon, R., & Muscat, M. (2012). The Promotion of Emotional Literacy through Personal and Social Development: the Maltese Experience. Pastoral Care in Education , (30), 1, 19-37. Ciarrochi, J., & Scott, G. (2006). The Link Between Emotional Competence and Well-Being: A Longitudinal Study. British Journal of Guidance & Counselling , 34, 2, 231-243. Cohen, J. (2001). Caring Classrooms/Intelligent School: The Social Emotional Education of Young Children. New York: Teachers College Press. Coppock, V. (2007). It's Good to Talk! A Multidimensional Qualitative Study of the Effectiveness of Emotional Literacy Work in Schools. Children & Society , 21, 405-419. Edmunds, L. (2001). Assessing Emotional and Social Competence in Primary School and Early Years Settings: A Review of Approaches, Issues and Instruments. Dipetik 1 10, 2016, dari http://webarchive.nationalarchives.gov.uk/20130401151715/http://www.education.gov.uk/publications/eO rderingDownload/EOR-SBU-2002-042.pdf Eisenberg, N., Fabes, R.A., Guthrie, I.K., & Reiser, M. (2002). The Role of Emotionality and Regulation in Children's Social Competence and Adjustment. New York: Cambridge University Press. Eisenberg, Nancy, Cumberland, Amanda in Spinrad, Tracy L. (1998). Parental Socialization of Emotion. Psychological Inquiry , 9 ,4, 241-273. Elias, M., Zins, J., Weissberg, R., Frey, K., Greenberg, M., Haynes, N., Kessler, R.,. (1997). Promoting Social and Emotional Learning. Alexandria, Virginia: ASCD. Garcia, S. H. (2015). An Analysis of The Impact of Emotional Literacy Instruction on At-Risk Students. Desertation Brandman University . Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence, Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsburry. Gross, J.J. (1998). The Emerging Field ofEmotion Regulatin: An Integrative Review. Review of General Psychology , 2, 5, 271-299. Haddon, A., Goodman, H., Park, J., & Crick, R. D. (2005). Evaluating Emotional Literacy in Schools: The Development of The School Emotional Environment for Learning Survey. Pastoral Care , 5-16. Hurlock, E. (1994). Psikologi Perkembangan (edisi terjemahan). Jakarta: Erlangga. Killick, S. (2006). Emotional Literacy at The Hearts of The School Ethos. Paul Chapman Publishing. Knowler, C., & Frederickson, N. (2013). Effects of an Emotional Literacy Intervention for Students Identified with Bullying Behavior. An International Journal of Experimental Educational Psychology , 33, (7), 862-883. Koestner, R., dan Franz, C. (1990). The Family Origins Of Empathic Concern: A-26 Year Longitudinal Study. The Family Origins Of Empathic Concern: AJournal Of Personality And Social Psychology , 58, 4, 709-717. Kwon, K.-A. (2008). Associations Among Coparenting, Parenting and Socio-Emotional Development in Toddlers. Desertation Purdue University . Lotecka, L. (1974). A Project Advocating Humanistic Education: An Evaluation of Its Effect on Public School 50
SEMINAR ASEAN 2nd PSYCHOLOGY & HUMANITY © Psychology Forum UMM, 19 – 20 Februari 2016
Teacher. Journal of Drug Education , 4 (2) 141-149. Matthews, B. (2006). Engaging Education: Developing Emotional Literacy, Equity and Co-education. Maidenhead: Open University Press. Morris, E. (2002). Emotional Literacy Training for Educators: Developing The Whole Person-Linking Hearts and Minds in All Learners. Gifted Education International , 16, (2), 133-137. National Literacy Act of 1991. (1991). Public Law 102-73, Section 3. Definition. O'Hara, D. (2011). The Impact of Peer Mentoring on Pupils' Emotional Literacy Competencies. Educational Psychology in Practice , (27), 3, 271-291. Papalia, D. E., Old, S. W., dan Feldman, R. D. . (2008). Psikologi Perkembangan (edisi terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Qualter, P., Whiteley, H.E., Hutchinson, J.M., & Pope, D.J.,. (2007). Supporting The Development of Emotional Intelligence Competencies to Ease The Transition from Primary to High School. Educational Psychology in Practice , 23, 79-95. Roffey, S. (2008). Emotional Literacy and The Ecology of School Wellbeing. Educational & Child Psychology , 25, 2, 29-39. Saarni, C. (1999). The Development of Emotional Competence. NYC: The Guilford Press. Salovey, P., & Mayer, J. D. (1989). Emotional Intelligence. Imagination, Cognition and Personality , 9, (3), 185-211. Schumacher, M. A. (2012). Talking Circles for Adolescent Girls in an Urban High School: A Restorative Practices Program for Building Friendships and Developing Emotional Literacy Skills. desertation . Sharp, P. (2001). Nurturing Emotional Literacy. London: David Fulton. Steiner, C & Perry, P. (1997). Achieving Emotional Literacy: A Personal Program to Increase Your Emotional Intelligence. New York: Avon Books. Steiner, C. (1984). Emotional Literacy. Transactional Analysis Journal , 14, 162-173. Steiner, C. (1996). Emotional Literacy Training: The Application of Transactional Analysis to the Study of Emotions. Transactional Analysis Journal , (1). Terman, L. M. (1921). Intelligence and Its Measurement: A Symposium-II. Journal of Educational Psychology , 12, (3), 123-133. UNESCO. (2006). Understanding of Literacy. http://www.unesco.org/education/GMR2006/full?chapt6_eng.pdf. Wechsler, D. (1944). The Measurement of Adult Intelligence. Baltimore: The Williams & Wilkins Company.
51