Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
2015
STOCK SPLIT, ABNORMAL RETURN, DAN STOCK LIQUIDITY Nicodemus Simu FEB, Perbanas Institute Jakarta
[email protected]
Heni Pujiastuti FEB, Perbanas Institute Jakarta
[email protected]
Chairiel Octaviar FEB, Perbanas Institute Jakarta
[email protected]
Abstract Stock split is a corporate action which is projected to increase the returns and liquidity of the stock. This study aimed to determine the impact of the stock split policy on the movement of stock returns and liquidity of the stock. In this study, stock returns measured through abnormal return, while the liquidity of the stock is measured by trading volume activity. The data used in the study using data on 2010-2013 periods. The object of this study are 20 companies that implement a stock split. The research method using event study by taking the data five days before and five days after the stock split and the hypothesis testing using a paired t-test sampled. The study indicate that there is no significant difference in the abnormal return as well as trading volume activity before and after the stock split.
Keywords: stock split, abnormal return, stock liquidity
LATAR BELAKANG Terdapat sejumlah variasi bentuk dari aksi korporasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan publik. Variasi bentuk aksi korporasi tersebut antara lain initial public offering (IPO), pergantian manajemen, rencana ekspansi perusahaan (merger, akuisisi, private placement atau pun spin-off), aksi yang berkaitan dengan penambahan atau pun pengurangan jumlah saham (right issue, saham bonus, stock split, atau pun stock reverse), berbagai jenis pembagian dividen (dividen tunai atau pun dividen saham), aksi yang berkaitan dengan pencatatan atau pencabutan saham (listing, delisting, atau pun relisting), termasuk juga beberapa aksi korporasi yang lain, seperti ESOP (employee stock option plan), MSOP (management stock option plan), dan share swap, serta debt share swap. Apa pun bentuk dan mekanisme penyampaiannya, informasi mengenai aksi korporasi tersebut biasanya selalu ditunggu oleh para investor atau pun calon investor. Hal ini dapat dimaklumi karena pihak yang memperoleh informasi lebih awal dapat mencuri start untuk mengharapkan perolehan keuntungan yang lebih optimal.
Pada umumnya aksi korporasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemegang saham, antara lain misalnya di dalam bentuk perubahan jumlah saham yang beredar, komposisi kepemilikan saham, jumlah saham yang dipegang oleh pemegang saham, serta pengaruhnya terhadap pergerakan harga saham. Oleh karena itu pemegang saham harus dapat mencermati dampak dari aksi korporasi sehingga dapat mengambil keputusan dan memberikan benefit yang signifikan atau dapat melakukan langkah antisipasi lebih lanjut. Dengan demikian, kemampuan untuk mengetahui faktor koreksi dan timing koreksi yang mempengaruhi pergerakan pasar dapat menjadi anak kunci bagi investor untuk menentukan arah keputusan investasi yang jitu. Hal ini penting sehingga tidak akan terjadi kesalahan interpretasi akan pergerakan saham yang terjadi. Salah satu bentuk aksi korporasi yang sering diimplementasikan para emiten adalah stock split. Stock split adalah memecah selembar saham menjadi n lembar saham sehingga harga per lembar saham baru setelah stock split adalah sebesar 1/n dari harga sebelumnya
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
(Jogiyanto, 2000:397). Secara umum, kebijakan stock split hampir mirip dengan kebijkan dividen saham, di dalam hal pemilik saham akan memiliki lebih saham yang lebih banyak, tetapi berbeda dalam hal besaran dan perlakuan akuntansi. Dalam pemecahan saham semua saham lama akan dimusnahkan dengan saham baru yang diterbitkan dengan nominal yang baru. Pengumuman stock split digunakan untuk menyampaikan hal informasi positif tentang perusahaan (Ikenberry, Rankine, and Strice, 1996). Konsep efficient market hypothesis menyatakan bahwa harga merupakan refleksi dari semua informasi yang tersedia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sangat sulit atau bahkan tidak terdapat kemungkinan untuk mendapatkan sustainable excess return karena harga akan mengikuti pola random walk. Secara umum, corporate action atau aksi korporasi merupakan aktivitas emiten yang berpengaruh terhadap jumlah saham yang beredar maupun berpengaruh terhadap harga saham (Darmadji; 2001:123), baik harga saham jangka pendek maupun jangka panjang (http://vibiznews.com/2015/05/10/corporate-action). Aksi korporasi merupakan tindakan yang ditujukan untuk meningkat performance perusahaan dan diharapkan dapat memberikan dampak kepada para pemangku kepentingan perusahaan, terutama kesejahteraan para pemegang saham. Menurut Griblantt, Masulis dan Titman dalam Djajasaputra (2009), stock split meski tidak memiliki nilai ekonomis tetapi memberikan nilai yang positif terhadap aliran kas perusahaan pada masa yang akan datang. Sinyal positif dari pengumuman pemecahan saham mengintrepretasikan bahwa manajer perusahaan akan menyampaikan prospek kinerja keuangan yang baik sehingga dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan investor. Sebaliknya, sinyal yang dikirim oleh perusahaan dengan kondisi fundamental kurang baik akan direspon dengan cara yang berbeda oleh para investor. Respon investor yang berbeda ini kemudian menjadi dasar bagi keputusan yang diambil oleh para investor, terutama yang berkaitan dengan keputusan untuk mengakuisisi atau melepas saham emiten yang melakukan stock split. Di dalam kondisi ini kemudian muncul perbedaan tingkat pengembalian (return) yang diterima investor, termasuk kemungkinan terjadinya abnormal return, yaitu suatu kondisi yang menunjukkan actual returns yang berada di atas actual market returns. Salah satu alasan yang sering dijadikan argumentasi untuk melakukan pemecahan saham adalah untuk
2015
menempatkan harga pada trading range tertentu sehingga dapat dicapai likuiditas saham yang lebih tinggi dan membuat saham tersebut lebih mudah diperdagangkan investor. Dolley menyatakan bahwa motivasi utama dilakukannya stock split adalah meningkatkan likuiditas saham yang kemudian berdampak pada distribusi saham yang lebih luas (Baker dan Powel, 2014). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Baker dan Gallagher (1980), yang menemukan bahwa perusahaan mengimplementasikan stock split agar harga saham perusahaan dapat berada pada trading range yang diinginkan, sehingga dapat menarik minat investor serta meningkatkan likuiditas trading (Baker dan Powel, 2014). Copeland (1979) juga menyampaikan hal yang kurang lebih sama, yaitu stock split dapat menciptakan pasar yang lebih luas (wider market). Tulisan ini ditujukan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai dampak pemberlakuan kebijakan stock split, baik terhadap adanya kemungkinan investor memperoleh abnormal return dan maupun kemungkinan terjadinya peningkatan stock liquidity yang diindikasikan dengan peningkatan trading volume activity. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Stock Split NYSE (New York Stock Exchange) mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan hal ini (McGough: 1993). Pertama, stock dividend adalah pembagian saham tambahan sebesar kurang dari 25% dari jumlah outstanding shares kepada pemegang saham. Kedua, partial stock split didefinisikan sebagai pembagian saham tambahan kepada pemegang saham sebesar 25% - 100% dari jumlah saham beredar dan ketiga, stock split adalah pembagian saham tambahan sebesar lebih dari 100% dari jumlah saham beredar kepada pemegang saham perusahaan. Pada dasarnya aksi korporasi berbentuk stock dividend dan stock split memiliki implikasi yang sama, yaitu meningkatkan jumlah lembar saham yang beredar (outstanding shares). Perbedaan utamanya terletak pada nilai par saham. Pada stock dividend, nilai par saham tidak berubah, sementara pada stock split, nilai par ini akan berubah secara proporsional sesuai dengan skema yang diberlakukan. Dari sudut pandang akuntansi dan pencatatannya di neraca perusahaan, stock split hanyalah sekedar kebijakan untuk melakukan perubahan terhadap nilai par saham dan jumlah outstanding stock, tetapi tidak
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
merubah besarnya jumlah modal yang ditempatkan atau pun jumlah total ekuitas yang dimiliki perusahaan. Berdasarkan trading range theory, harga saham yang overprice membuat daya tarik saham bagi investor menjadi berkurang, dan hal ini kemudian pada gilirannya membuat saham tersebut menjadi kurang aktif diperdagangkan. Harapan yang diinginkan dengan adanya stock split adalah bahwa dengan menurunnya nilai par saham, yang berarti juga membuat harga pasar saham juga menurun secara proporsional, maka harga pasar saham perusahaan dapat berada pada range harga yang memungkinkan saham tersebut menjadi lebih menarik bagi investor, dan kemudian menjadi lebih likuid, serta dapat meningkatkan volume perdagangan saham. Signalling theory menyatakan bahwa perusahaan yang berkualitas baik dengan sengaja akan memberikan signal kepada pasar. Setiap tindakan perusahaan pasti mengandung informasi. Namun demikian, informasi yang diberikan perusahaan ke pasar, ditangkap dengan cara dan intensitas yang berbeda, sehingga menyebabkan terjadinya informasi yang tidak simetris (asymetric information). Per definisi, asymetric information merupakan kondisi yang menunjukkan bahwa suatu pihak memiliki informasi yang lebih banyak daripada pihak lain atau lebih dahulu dibandingkan dengan pihak lain. Kepemilikan informasi ini memungkinkan seseorang investor atau calon investor mengambil keputusan lebih dahulu dengan dukungan informasi yang memadai. Tujuan dari pemecahan nilai nominal saham adalah untuk meningkatkan daya beli investor sehingga dapat mengundang lebih banyak pelaku pasar modal untuk melakukan transaksi atas saham tersebut. Kebijakan stock split dapat dianggap sebagai salah satu contoh implementasi dari signalling theory dengan harapan bahwa informasi yang disampaikan tersebut memberikan kesan (signal) yang baik bagi investor. Lebih lanjut, meskipun kebijakan stock split dianggap sebagai kebijakan yang membuat pemegang saham seolah-olah menjadi lebih makmur karena memegang saham dalam jumlah yang banyak daripada sebelumnya. Pada umumnya stock split akan memberikan dampak yang baik bagi perusahaan apabila harga pasar saham perusahaan saat ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata saham industri atau harga saham benchmark-nya. Dengan kondisi ini saham perusahaan menjadi lebih likuid di pasar, dan memungkinkan masuknya calon investor baru yang dapat menggairahkan perdagangan saham perusahaan. Kehati-hatian perlu
2015
dilakukan untuk menetapkan skema stock split mengingat harga par yang masih tinggi dapat mengurangi ketertarikan investor baru, sementara harga yang terlalu rendah---apabila dibandingkan dengan perusahaan sejenis--dapat memberikan signal negatif dan bahkan dapat berdampak pada runtuhnya reputasi perusahaan. Abnormal Return Normal return merupakan expected return (return yang diharapkan oleh investor). Sementara itu actual return atau realized return adalah return yang terjadi pada waktu ke-t yang merupakan selisih harga penutup saat ini dengan harga penutup sebelumnya. Gitman (2013) menyatakan bahwa abnormal returns terjadi pada saat actual returns lebih tinggi daripada average market returns. Sementara itu, Jogiyanto (2000) menyatakan bahwa abnormal return merupakan selisih lebih dari actual return dibandingkan dengan normal return. Dengan demikian return tidak normal atau yang biasanya disebut abnormal return adalah selisih antara actual return dengan expected return. Kondisi ini hanya dimungkinkan apabila pasar beroperasi di dalam kondisi tidak efisien--pasar yang tidak sejalan dengan teori efficient-market hypothesis (EMH), atau pasar yang memungkinkan terjadinya harga sekuritas yang undervalued atau overvalued. Pasar yang efisen merupakan suatu pasar dimana sekuritas yang diperdagangkan merefleksikan semua informasi yang mungkin terjadi dengan cepat dan akurat. Dengan kata lain, harga sekuritas di pasar pada dasarnya sudah merefleksikan semua informasi yang tersedia. Fama (1970) mendefinisikan efisiensi pasar berdasarkan pada kecepatan pasar bereaksi terhadap informasi dan kemudian memberikan tiga jenis efisiensi pasar modal, yaitu weak-form efficiency, semi-strong form efficiency, dan strong-form efficiency. Jika pasar berada pada efisiensi weak-form, maka harga saham bereaksi begitu cepat untuk semua informasi masa lalu dan karena itu tidak ada investor yang dapat memperoleh tingkat pengembalian di atas normal atau di atas tingkat pengembalian pasar, apabila hanya memanfaatkan informasi masa lalu. Bentuk kedua efisiensi pasar adalah semi-strong form. Bentuk efisiensi ini menyatakan bahwa harga saham bereaksi begitu cepat untuk semua informasi yang dipublikasikan atau disebarluaskan kepada publik. Jika pengambilan keputusan didasarkan atas informasi jenis ini, maka tidak ada investor yang dapat memperoleh tingkat pengembalian di atas normal atau di atas tingkat pengembalian pasar. Pada jenis efisiensi pasar berbentuk strong-form, harga saham bereaksi begitu cepat ke
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
seluruh informasi, baik publik maupun yang bersifat private. Pada umumnya, informasi yang bersifat private, misalnya inside information, biasanya tidak legal. Menurut Brown dan Warner (1985), expected return dapat dicari dengan menggunakan 3 (tiga) model, yaitu: (1) Mean adjusted returns, yang menganggap expected return memiliki nilai konstan diasumsikan besarannya sama dengan rata-rata actual return selama periode estimasi. Model ini kemudian dianggap sama dengan model CAPM dengan asumsi bahwa sekuritas memiliki risiko sistematis yang konstan dan efficient frontier yang tidak berubah (stationary efficient frontier; (2) Market adjusted returns, yang menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah melalui market return saat itu. Dengan menggunakan model ini, tidak perlu menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi karena return sekuritas yang diestimasi sama dengan market return; dan (3) OLS Market model, yang menghitung expected reteurn melalui dua tahap, yaitu membentuk model ekspektasi dengan menggunakan data real selama periode estimasi dan menggunakan model ekspektasi untuk mengestimasi expected return pada periode event window. Berbagai penelitian empiris telah banyak dilakukan untuk mengkaji diberlakukannya kebijakan stock split, baik terhadap harga saham (yang kemudian dilanjutkan dengan keputusan untuk sell atau buy), return saham (actual return dan abnormal return, jangka pendek dan jangka panjang), atau pun volume perdagangan saham. Khusus untuk dampak kebijakan stock split terhadap abnormal return, sebagian penelitian menunjukkan bahwa stock split dapat memberikan abnormal return yang signifikan bagi para investor (Utami dkk, 2009; Nurhaeni, 2009; Rahmawati, 2009; Sadikin, 2011; Kumar dan Halageri, 2011; Ray, 2011; Chakraborty, 2012; Maesami, 2013). Sebaliknya, sebagian penelitian yang dilakukan oleh para peneliti lain, misalnya penelitian Sutrisno dkk (2000); Boehme dan Danielsen (2007); Garcia dan Bacon (2009); Djayasaputra (2009); dan Rusliati dan Farida (2010) menunjukkan bahwa stock split tidak berpengaruh pada abnormal return. Berdasarkan kondisi di atas, maka hipotesis pertama yang akan diuji di dalam penelitian ini adalah: H1:
Terdapat perbedaan abnormal return sebelum dan sesudah diimplementasikannya kebijakan stock split.
2015
Likuiditas Saham Likuiditas saham merupakan elemen kunci yang dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan baik dan memberikan reaksi kepada para pialang dan pelaku pasar modal lainnya, serta para emiten (Wuyts: 2007). O’Hara (2004) mendefinisikan likuiditas pasar sebagai suatu kondisi dimana pembeli dan penjual dapat masuk dan keluar pasar secara cepat tanpa memberikan dampak yang besar pada harga saham. Sementara itu, definisi mengenai likuiditas saham mengacu pada Copeland (1979) yang menyatakan ukuran dari likuiditas adalah (1) changes in the proportional share volume traded dan (2) change in transaction costs as a percent of volume traded. Harris (1990) dalam Wuyts (2007) menyatakan perspektif atas likuiditas saham dapat dilihat berdasarkan empat dimensi. Yang pertama adalah width, mengacu pada bid-ask spread untuk beberapa saham dan komisi serta biaya yang harus dibayar per saham. Dimensi kedua adalah depth, yang mengacu pada jumlah saham yang dapat diperdagangkan pada harga bid-ask tertentu. Dimensi ketiga disebut immediacy, yaitu seberapa cepat sejumlah trading tertentu dapat dilakukan dengan biaya tertentu. Dimensi terakhir adalah resiliency, mengacu pada gambaran seberapa cepat posisi harga yang tidak seimbang sebagai akibat pergerakan bid-ask, kembali pada posisi equilibriumnya. Banyak cara yang daat digunakan untuk mengukur likuiditas saham. Beberapa di antaranya diukur dari (1) frekuensi saham suatu emiten yang diperdagangkan di dalam suatu periode tertentu; (2) persentase volume perdagangan, yang merupakan rasio antara volume perdagangan dan total saham terdaftar; dan (3) persentase nilai perdagangan, yang merupakan rasio antara nilai perdagangan dan nilai kapitalisasi saham. Nilai perdagangan adalah nilai rupiah saham emiten yang diperdagangkan pada periode tertentu, sementara nilai kapitalisasi pasar merupakan hasil perkalian antara jumlah saham terdaftar dengan closing price periode tertentu dari saham tersebut. Tinggi rendahnya trading volume activity (aktivitas volume perdagangan saham) adalah akibat dari perilaku investor di bursa, yang digerakkan oleh besaran-besaran permintaan dan penawaran (bid-ask rate) atas suatu saham. Peningkatan aktivitas bid-ask berdampak secara langsung terhadap peningkatan volume perdagangan. Di dalam hal ini, Volume penawaran dan permintaan atas suatu saham yang semakin tinggi, meningkatkan pula
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
dampaknya terhadap fluktuasi harga saham di bursa. Peningkatan trading volume activity adalah perwujudan dari semakin tingginya minat investor atas saham tersebut. Hal ini kemudian diharapkan dapat meningkatkan harga saham dan tingkat pengembalian atas saham itu. Dampak stock split terhadap likuiditas saham yang diproksikan dengan volume perdagangan juga memberikan hasil temuan yang berbeda. Goyenko, dkk (2006) menemukan bahwa terdapat peningkatan likuiditas temporer sebagai akibat diberlakukannya stock split. Hasil temuan ini diperkuat penelitian Ray (2011); dan Chahine dan Elfakani (2010). Sebaliknya, penelitian Yague dan Sala (2005), Slamet dan Eko (2008), dan Utami (2009) menunjukkan hal yang berbeda, di dalam arti bahwa, stock split ternyata tidak meningkatkan likuiditas saham. Berdasarkan kajian teori dan penelitian-penelitian sebelumnya, maka hipotesis kedua yang akan diuji di dalam penelitian ini adalah: H2: Terdapat perbedaan trading volume activity sebelum dan sesudah diimplementasikannya kebijakan stock split. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian komparatif yang ditujukan untuk membandingkan besarnya abnormal return dan likuiditas saham sebelum dan sesudah dilakukannya aksi korporasi berbentuk stock split. Abnormal return adalah selisih antara actual return dengan expected return selama periode analisis, sementara likuiditas saham diproxikan dengan volume perdagangan saham (trading volume activity), yaitu rasio antara jumlah saham yang diperdagangkan pada periode tertentu dengan jumlah saham yang beredar pada periode yang sama. Besaran abnormal return digunakan untuk mengetahui good news sebagai sinyal yang diperoleh investor, sedangkan besaran volume perdagangan saham digunakan untuk mengetahui tingkat likuiditas saham pada periode sebelum dan setelah terjadinya pengumuman stock split. Sampel di dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling didasarkan atas beberapa kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) perusahaan-perusahaan yang melakukan stock split selama periode 2010 – 2013; (2) perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan aksi korporasi lain selama
2015
periode event window; (3) Aktif diperdagangkan selama periode event window. Event window yang dipilih adalah selama 11 hari perdagangan, yaitu 5 (lima) hari sebelum event (T-5 s.d. T-1) dan 5 (lima) hari setelah event (T+1 s.d. T+5). Pemilihan lamanya event window ini memang ditujukan untuk melihat adanya sinyal keuntungan jangka pendek dan likuiditas saham sebagai akibat stock split. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, antara lain annual report emiten, laporan keuangan emiten, www.finance.yahoo.com, www.idx.co.id, dan www.bi.go.id. Berkaitan dengan itu, maka data yang dibutuhkan di dalam penelitian ini adalah: (1) Tanggal pengumuman stock split yang digunakan sebagai event date (t0), pengumuman stock split tersebut merupakan pengumuman yang disampaikan oleh pihak berwenang seperti Bursa Efek Indonesia; (2) Harga saham penutupan harian perusahaan yang melakukan stock split dalam periode pengamatan event window; (3) Jumlah/volume saham yang diperdagangkan secara harian; dan (4) Jumlah saham yang beredar atau outstanding shares pada laporan keuangan tahunan perusahaan. Prosedur analisis diawali dengan melakukan kalkulasi atas besaran abnormal return dan likuiditas saham masing-masing emiten yang menjadi objek di dalam penelitian ini. Di dalam penelitian ini, likuiditas saham diproxikan dengan besaran trading volume activity. Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut. Perhitungan Abnormal Return 1. Menghitung actual return
R it =
Pt Pt 1 Pt 1
Di mana: Rit = Return saham masing-masing perusahaan Pt = Harga saham masing-masing perusahaan pada tanggal t Pt 1 = Harga saham masing-masing perusahaan pada tanggal t-1 2. Menghitung expected return berdasarkan formulasi CAPM, yaitu E(Ri) = Rf + βi [E(Rm) – Rf] Di mana: E(Ri) = expected return sekuritas ke-i Rf = risk free rate, aset bebas risiko
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
βi = slope/beta coefficient untuk aset i yang diambil dari applied beta Rm = return pasar, yang dihitung dengan rumus: Rm =
IHSG t 1
4. Menghitung average abnormal return n
AR
it
t 1
n
it
Analisis data dilakukan dengan bantuan software SPSS dan hipotesis diuji dengan uji dua beda rata-rata sampel berpasangan. Langkah pertama pengujian hipotesis adalah uji normalitas data dengan uji KolmogorovSmirnov. Apabila data berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan dengan memanfaaatkan Paired Sample T-test, sementara jika ternyata data tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan melalui statistik non parametrik, yaitu dengan menggunakan uji Wilcoxon.
n
Di mana: AARt = average abnormal return pada hari ket
AR
ΣTVA it n
Di mana: ATVAt = average trading volume activity pada hari ke-t TVAit = Σ trading volume activity saham i pada hari ke-t n= jumlah hari pengamatan
IHSG t IHSG t 1
3. Menghitung abnormal return ARit = Rit – E(Ri) Di mana: ARit = abnormal return saham i pada hari t Rit = actual return saham i pada hari ke t E(Ri) = expected return saham i pada hari ke t
AARt =
ATVAt =
2015
= jumlah abnormal return saham i pada
t 1
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Setelah penentuan sampel berdasarkan kriteria yang sudah dituliskan pada bagian sebelumnya, terdapat 20 perusahaan yang menjadi sampel di dalam penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada tabel 1 berikut.
hari ke-t (cumulative abnormal return) n = jumlah hari pengamatan Perhitungan Trading Volume Activity 1. Menghitung trading volume activity TVAit =
saham i yang diperdagangkanpadahari ke - t saham i yang beredarpadahari ke - t
Di mana: TVAit = trading volume activity sekuritas ke-i pada tanggal t Σ saham i yang diperdagangkan pada hari ke-t = volume saham i pada saat penutupan perdagangan hari ke-t Σ saham i yang beredar pada hari ke-t = outstanding shares saham i yang tertera di laporan keuangan masing-masing emiten pada tahun ke-t 2. Menghitung average trading volume activity
Tabel 1 SAMPEL PENELITIAN No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Pe rusahaan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk PT Sarana Menara Nusantara Tbk Sumber Alfaria Trijaya Tbk PT Jaya Real Property Tbk PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk PT Sepatu Bata Tbk PT Ace Hardware Indonesia Tbk PT Kalbe Farma Tbk PT Kresna Graha Sekurindo Tbk PT Central Omega Resources Tbk PT Modern International Tbk PT Astra International Tbk PT Pakuwon Jati Tbk PT Petrosea Tbk PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk PT Pan Brothers Tbk PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk PT London Sumatra Indonesia Tbk PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk PT Ciputra Development Tbk
Sumber: Data, diolah
Kode JPFA TWOR AMRT JRPT TLKM BATA ACES KLBF KREN DKFT MDRN ASII PWON PTRO JTPE PBRX BTPN LSIP BBRI CTRA
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
Tabel 2 NILAI RATA-RATA, MINIMUM, DAN MAKSIMUM AR DAN TVA Descriptive Statistics N AR_Before AR_After TVA_Before TVA_After Valid N (listwise)
20 20 20 20
Min -,033079 -,031448 ,000015 ,000010
Max
Mean
,049815 ,040470 ,012351 ,004797
,007190 ,000106 ,002256 ,001311
Std. Deviation ,023678 ,019474 ,003311 ,001457
20
Sumber: Data, diolah Pada tabel 2 terlihat perbandingan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum besarnya abnormal return dan trading volume activity sebelum dan sesudah implementasi kebijakan stock split. Berdasarkan tabel tersebut terlihat jelas adanya penurunan pada besaran rata-rata (mean), dan hal ini terjadi sekaligus pada kedua hal yang diamati, baik untuk abnormal return maupun trading volume activity. Menurunnya nilai mean secara langsung dapat diartikan bahwa kebijakan stock split yang ditujukan untuk meningkatkan likuiditas saham dan kemudian berpengaruh pada volatilitas harga saham sehingga berpotensi untuk mendapatkan keuntungan, ternyata tidak mengarah pada dampak yang diinginkan. Lebih jauh, hal yang cukup menarik dilihat adalah pada rentang di antara nilai minimum dengan maksimum. Jarak antara kedua nilai ini, baik pada abnormal return maupun trading volume activity terlihat semakin menyempit, yang disebabkan oleh turunnya nilai maksimum serta naiknya nilai minimum. Range nilai tertinggi dan terendah yang semakin sempit ini diperkuat juga dengan besaran angka standar deviasi yang semakin mengecil. Pada bagian berikut ini akan diuji apakah kebijakan stock split secara statistik memberikan dampak terhadap perolehan abnormal return dan likuiditas saham. Untuk itu, uji normalitas data merupakan uji yang mutlak dilakukan sebelum dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian normalitas data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov dengan kriteria: Ho: Data terdistribusi normal Ha: Data tidak terdistribusi normal Jika > 0.05 maka H0 diterima atau dengan kata lain data terdistribusi secara normal. Sebaliknya, jika < 0.05 maka H0 ditolak dengan kata lain data terdistribusi secara tidak normal. Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov diketahui
2015
bahwa besaran Asymp.Sig (2-tailed) untuk nilai abnormal return dan trading volume activity masing-masing sebesar 0,200 dan 0,000. Dengan demikian, pengujian hipotesis untuk abnormal return dilakukan secara statistik parametrik, berdasarkan uji dua beda sampel berpasangan (Paired-Sample T-Test). Di sisi lain, signifikansi untuk trading volume activity menunjukkan bilai < 0,05 yang menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi secara normal. Untuk itu, pengujian hipotesis dilakukan melalui statistik non parametrik, yaitu uji Wilcoxon. Tabel 3 PAIRED-SAMPLE T-TEST (ABNORMAL RETURN) Paired Samples Test t Sig. (2-tailed) AR_Before - AR_After 1,523 ,144 Sumber: Data diolah Berdasarkan hasil dari pengujian perbandingan abnormal return pada periode sebelum dan sesudah stock split diperoleh nilai t hitung sebesar 1,523 dan signifikansi sebesar 0,144. Mengingat nilai sig > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan abnormal return pada periode sebelum dan sesudah stock split. Tidak terdapatnya perbedaan abnormal return sebelum dan sesudah implementasi kebijakan stock split dapat diartikan bahwa aksi korporasi tersebut tidak memberikan kandungan informasi yang memadai bagi investor tentang adanya potensi keuntungan dimasa mendatang. Stock split merupakan salah satu aksi korporasi yang dapat membuat beredarnya informasi tertentu dan bersifat asimetris. Jika pasar memberikan persepsi yang positif, maka informasi yang bersifat asimetris ini dianggap sebagai good news bagi adanya potensi keuntungan dari saham tersebut. Faktanya, ada dua pendapat mengenai kebijakan stock split. Pendapat pertama menyatakan bahwa stock split tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kesejahteraan pemegang saham, karena stock split hanya bersifat administratif, yang hanya sekedar membagi nilai nominal saham dan sekaligus meningkatkan jumlah saham beredar. Pendapat yang kedua didasarkan pada signalling theory yang menyatakan stock split dilakukan karena harga saham sudah terlalu tinggi, yang dapat dianggap sebagai indikasi bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang bonafid dan sahamnya selalu dicari investor. Berdasarkan indikasi ini, maka diasumsikan bahwa meskipun stock split dan harga saham akan turun, tetapi diyakini bahwa
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
harga pasar saham perusahaan tersebut kemudian akan kembali bergerak naik. Adanya potensi keuntungan dari harga saham ini merupakan indikasi beredarnya informasi yang tidak simetris, yang kemudian menjadi dasar terjadinya abnormal return. Dengan memperhatikan hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara abnormal return sebelum dan sesudah stock split menunjukkan bahwa investor tidak memberikan respon yang positif terhadap kebijakan stock split, yang juga berarti bahwa semua informasi masa lalu yang dipublikasikan sudah terefleksikan ke dalam pergerakan harga saham saat ini.
2015
Secara absolut, besaran rata-rata trading volume activity setelah stock split lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata sebelum stock split. Secara persentase, penurunan rata-rata trading volume activity hampir mencapai angka sebesar 42%.
Hasil penelitian justru membuktikan bahwa peristiwa stock split dalam jangka pendek (dengan periode pengamatan 5 hari sebelum dan 5 hari sesudah) tidak mengakibatkan perbedaan trading volume activity pada periode sebelum dan sesudah kebijakan diimplementasikan, karena tidak adanya reaksi pasar yang signifikan setelah pengumuman stock split. Hal ini merefleksikan bahwa investor di Indonesia masih belum mengantisipasi secara cepat informasi yang diterima di Tabel 4 pasar modal dan investor menganggap bahwa peristiwa UJI WILCOXON (TRADING VOLUME ACTIVITY) a stock split bukanlah good news sehingga tidak terjadi Test Statistics TVA_After - TVA_Before perbedaan volume perdagangan yang signifikan pada Z -1,610b periode sebelum dan sesudah stock split. Asymp. Sig. (2-tailed) ,107 KESIMPULAN a. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Based on positive ranks. Berdasarkan uji statistik dengan meggunakan pairedSumber: Data diolah sample t-test terhadap besaran abnormal return dengan periode pengamatan H-5 sampai dengan H+5, dapat Dari hasil pengujian di atas dapat diketahui bahwa disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikansi uji yang diperoleh memiliki nilai yang lebih signifikan antara abnormal return sebelum dan sesudah besar dari tingkat signifikansi 0.05. Dengan demikian stock split. Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan ratastock split direspon investor dengan cara yang berbeda, rata trading volume activity sebelum dan sesudah stock sehingga meskipun investor tetap memperoleh abnormal split. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi perubahan pada return, tetapi informasi tersebut langsung diserap pasar likuiditas saham, dan menunjukkan bahwa kebijakan tidak terjadi perubahan abnormal return yang tinggi. stock split yang diterapkan perusahaan tidak dianggap sebagai signal yang baik oleh para investor dan calon Sementara itu, pengujian hipotesis dengan menggunakan investor dalam memberikan potensi peningkatan uji Wilcoxon pada likuiditas saham yang diproxikan keuntungan mereka. dengan menggunakan indikator trading volume activity menunjukkan hasil yang juga tidak berbeda, yaitu tidak Dari aspek teoritis, kondisi ini dapat ditinjau berdasarkan terdapat perbedaan yang signifikan antara trading volume trading range theory. Trading range theory menyatakan activity sebelum dengan sesudah diberlakukannya bahwa harga saham yang terlalu tinggi menyebabkan kebijakan stock split. Kondisi ini menunjukkan bahwa kurang aktifnya perdagangan saham sehingga mendorong kebijakan stock split memang menurunkan harga saham, perusahaan untuk melakukan pemecahan saham. tetapi penurunan ini tidak dianggap sebagai signal yang Perusahaan yang melakukan stock split menginginkan bagus bagi investor, sehingga tidak dapat menggangkat agar saham yang dimilikinya dapat berada pada range minat investor untuk melakukan transaksi jual-beli yang layak untuk ditransaksikan, di dalam hal ini berarti saham. menurunkan harga saham. Melalui harga saham yang lebih rendah, harapan yang diinginkan adalah akan semakin banyak investor yang mampu bertransaksi atau terjadi peningkatan volume perdagangan atau dengan kata lain likuiditas saham semakin meningkat. Namun di dalam penelitian ini, harapan tersebut tidak dapat dicapai.
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
DAFTAR PUSTAKA Baker, H. Kent and Patricia L. Gallanger. (1980). "Management's view of Stock Split Financial Management. 9(2). Baker, H. Kent dan Gary E. Powell. (1993). “Further Evidence on Mangerial Motives for Stock Splits.” Quarterly Journal of Business and Economics. 32(3). Boehme, Rodney D. Dan Bartley R. Danielsen. (2007). “Stock-Split Post-Announcement Returns: Underreaction or Market Friction?.” The Financial Return. 42. Brown, Stephen J. Dan Jerold B. Warner. (1985). “Using Daily Stock Returns: The Case of Event Studies.” Journal of Financial Economics. 14. Carlos, Garcia de Andoain dan Frank W.Bacon. (2009). “The Impact of Stock Split Announcements on Stock Price: A Test of Market Efficiency.” Proceedings of ASBBS Annual Conference. 16(1). Chahine, Salim dan Said Elfakhani.(2010). “The Effect of Deregulation Price Limit on Stock Split in Japan.” International Review of Applied Financial Issues and Economics. 2(3). Chakraborty, Madhumita. (2012). “The Equity Market Around The Ex-Split Date: Evidence from India.” Vikalpa. 37(1). Copeland, Thomas E. (1979). “Luquidity Changes Following Stock Splits.” The Journal of Finance, XXXIV(1). Darmaji, Tjiptono dan Hendry M.Fakhruddin. (2001). “Pasar Modal di Indonesia. Jakarta,” Salemba Empat. Djajasaputra, Michael Hendrawijaya. (2000). “Analisis Perbandingan Harga Saham, Volume Perdagangan Saham, dan Abnormal Return Saham Sebelum dan Sesudah Pemecahan Saham.” Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Program Pasca Sarjana UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
Fama, Eugene F. (1970). “Efficient Capital Markets: A Review of Theory anf Empirical Work.” The Journal of Finance. 25(2). Papers and Proceedings of the Annual Meeting of the American Finance Association Newyork. Gitman, Lawrence J. dan Chad J. Zutter. (2013). “Principles of Managerial finance,” 13 thEdition, Pearson Education Limited. http://vibiznews.com/2015/05/10/corporate-action Ikenberry, David L., Graeme Rankine and E. Kay Stice. (1996). “What do stock splits really signal?, Journal of Financial and Quantitative Analysis. 31(3). Jogiyanto. (2000). Teori Fortofolio dan Investasi. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Analisis
Kumar SH, Sujith dan Sadanand Halageri. (2011). “Impact of Stock Split Announcement on Stock Price.” Review of Management. 1(1). Lestari, Slamet dan Eko Arief Sudaryono. (2008). “Pengaruh Stock Split: Analisis Likuiditas Saham pada Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia dengan Memperhatikan Pertumbuhan dan Ukuran Perusahaan.” Jurnal Bisnis dan Akuntansi. 10(3). McGough, Eugene F. (1993). “Anatomy of A Stock Split.” Management Accounting. 75(3). Meisami, Alex. (2013). “Long-Run Performance After Stock Splits: 1996 to 2003.” The Journal of Financial and Economic Practice. 13(1). Nurhaeni, Nunung. (2009). “Dampak Pemilihan Umum Legislatif Indonesia Tahun 2009 Terhadap Abnormal Return dan Aktivitas Volume Perdagangan Saham di BEI.” Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Program Pasca Sarjana UNIVERSITAS DIPONEGORO O'Hara, M.. (2004). “Liquidity and Financial Market Stability.” Working Paper 55. (National Bank of Belgium). Rahmawati, Yuni. (2009). “Analisis Perbedaan Abnormal Return dan Volume Perdagangan Saham
Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November
Sebelum dan Sesudah Tanggal Pengumuman Dividen Tunai (Studi Pada Perusahaan di Jakarta Islamic Index).” Skripsi tidak diterbitkan. Prodi Keuangan Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta Ray, Koustubh Kanti. (2011). “Market Reaction to Bonus Issues and Stock Splits in India: An Empirical Study.” The IUP Journal of Applied Finance. 17(1). Rusliati, Ellen dan Farida Esti Nur. (2010). “Pemecahan Saham Terhadap Likuiditas dan Return Saham.” Jurnal Bisnis dan Akuntansi. 12(3). Sadikin, Ali. (2011). “Analisis Abnormal Return Saham dan Volume Perdagangan Saham Sebelum dan Sesudah Peristiwa Pemecahan Saham (Studi Pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Indonesia.” Jurnal Manajemen dan Akuntansi. 12(1). Sutrisno, Wang, dkk. (2000). “Pengaruh Stock Split Terhadap Likuiditas dan Return Saham di Bursa Efek Jakarta.” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 2(2). Utami, Tiwi Nurjannati, Ghozali Maski, dan H.M. Syafe’1 Idrus. (2009). “Dampak Pengumuman Stock Split Terhadap Return, Variabilitas Tingkat Keuntungan dan Aktivitas Volume Perdagangan Saham (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEJ Tahun 1997-1999).” Wacana. 12(4). William, F.Sharpe., Gordon J.Alexander, dan Jeffery V.Bailey. (2006). “Invesment.” Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Wuyts, Gunther. (2007). “Stock Market Liquidity: Determinants and Implications.” Tijdschrift voor Economie en Management. LII(2). Yague, Jose dan J. Carlos Gomez-Sala. (2005). “Price and Tick Size Preferences in Trading Activity Changes Around Stock Split Executions.” Spanis Economic Review. Rev. 7. Springer-Verlag
2015