( NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations, Ref. No : D1035 ) Jl. Mampang Prapatan XI No. 23, Jakarta 12790- Indonesia * Phone (62-21) 79196721, 79196722, 7901950 * Fax (62-21) 7941577 * E-mail:
[email protected] * www.infid.org
Statement INFID Menyambut UN High Level Event on MDGs, 25 September 2008 “Tak Ada Pencapaian MDGs di Indonesia, Tanpa Penghapusan Utang” Sebagai bagian dari rangkaian Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 63, pada tanggal 25 September 2008 digelar Pertemuan Tingkat Tinggi Millenium Development Goals (The High-Level Event on Millenium Development Goals) di Markas Besar PBB, New York, dengan membahas sejumlah perkembangan, masalah dan tantangan yang harus dihadapi dalam mencapai target MDGs di tahun 2015. Pertemuan ini juga menjadi evaluasi paroh waktu dari komitmen global penanggulangan kemiskinan. Salah satu dokumen penting yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut adalah dokumen yang berjudul Key Action Points for Consideration by Governments and Other Stakeholder, yang memuat hal-hal penting yang patut dipertimbangkan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Sejumlah isu penting dan tindakan yang mendesak harus diambil oleh pemerintah dirumuskan dalam dokumen tersebut, mencakup : Kemiskinan dan Kelaparan, Pendidikan, Kesehatan, Kelestarian Lingkungan, Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, dan Kemitraan Global untuk Pembangunan. Isu-isu penting tersebut memang tidak boleh hanya dibicarakan tetapi juga harus dicarikan jalan keluarnya. Dalam “The Millennium Development Goals Report 2008” yang diluncurkan pada awal bulan September 2008 dinyatakan bahwa meski ada beberapa capaian MDGs yang diperkirakan akan tuntas pada tahun 2015, namun masih ada beberapa hal yang menjadi tantangan besar hingga tahun 2015. Tantangan itu antara lain: 1 dari 4 anak di Negara-negara berkembang berat badannya masih dibawah ambang batas, sekitar 66% dari seluruh perempuan yang bekerja masih berada dalam situasi kerja yang rentan dengan tingkat upah yang rendah, sekitar 500.000 ibu melahirkan meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi kehamilannya, dan sekitar 2,5 milyard rakyat di muka bumi ini hidup tanpa sanitasi yang layak. Di pihak lain Negara-negara maju ingkar janji atas komitmennya untuk memberikan bantuan pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan. Ingkarnya negara-negara maju memenuhi komitmen goal 8 juga dinyatakan dalam laporan “Delivering on the Global Partnership for Achieving the Millennium Development Goals”. Laporan ini mengkhususkan pada penilaian atas ke(tidak)berhasilan pencapaian goal 8 MDGs yang merupakan kewajiban negara-negara maju untuk mendorong cita-cita pengurangan angka kemiskinan dunia pada tahun 2015. Dalam soal bantuan pembangunan (istilah resminya Official Development Assistance {ODA}) ada desakan agar ada peningkatan kuantitas dan kualitas ODA yang disalurkan ke negara-negara miskin. Desakan -1-
ini makin ditegaskan dalam Monterrey Consensus on Financing for Development 2002 yang menetapkan target alokasi 0.7% dari PNB negara-negara maju untuk ODA ke negara-negara miskin. Namun dalam kenyataannya, hanya 5 negara yang memenuhi target ini yaitu (Denmark, Luxemburg, Norwegia, Belanda dan Swedia) sementara tak satupun negaranegara maju yang tergabung dalam G8 dan OECD (DAC) memenuhi target ini. Laporan ini juga mempertanyakan realisasi janji Gleanagles saat pertemuan G8 bulan Juli 2005. Kala itu, Tony Blair yang berbicara mewakili G8 menjanjikan peningkatan alokasi ODA hingga US$ 50 milyard per tahun, namun dalam kenyataannya penambahan tersebut hanyalah US$ 6,4 milyard per tahun. Studi INFID mengenai fluktuasi ODA dan pengaruhnya pada pencapaian MDGs juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada era selepas Monterrey Consensus, dimana muncul penegasan perlunya peningkatan ODA untuk pembangunan Negara-negara berkembang, malah terjadi penurunan alokasi ODA. Jumlah ODA yang diberikan oleh Negara-negara anggota OECD DAC tersus-menerus mengalami penurunan, terlebih-lebih jika dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan untuk kepentingan investasi dan kredit ekspor . Dalam konteks Indonesia, situasi kerentanan itu juga masih menjadi wajah keseharian rakyat Indonesia, sehingga relevan untuk melihat kondisi di Indonesia. Untuk masalah kemiskinaan dan kelaparan, direkomendasikan untuk memastikan akses terhadap pangan pokok dan gizi dan program penyediaan pangan di sekolah (School feeding programmes), peningkatan program dan anggaran untuk pertanian, terutama bagi petani kecil, pembukaan akses pasar di negara maju untuk produk pertanian negara berkembang, dan pembukaan lapangan pekerjaan. Dalam hal pendidikan, direkomendasikan untuk meningkatkan anggaran pendidikan sampai 20% dari anggaran negara, membebaskan biaya pendidikan –terutama untuk pendidikan dasar, penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk menjangkau anak-anak yang terpinggirkan terutama mereka kaum miskin perkotaan, anak-anak di perdesaan dan masyarakat adat. Dalam hal kesehatan, direkomendasikan untuk menyelenggarakan serangkaian program dan kegiatan untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan, meningkatkan kesehatan Ibu dan Balita, menurunkan jumlah kematian bayi dan anak di bawah lima tahun, meningkatkan jumlah layanan kesehatan dan sumber daya tenaga kesehatan, mengendalikan penyakit menular dan menurunkan jumlah korban akibat penyakit menular, dll. Sejumlah program dan kegiatan juga direkomendasikan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, terkait dengan perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketersediaan air untuk minum dan air untuk pertanian, perbaikan sanitasi dan perbaikan lingkungan wilayah kumuh. Sedangkan perogram dan kegiatan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan mencakup pendidikan untuk perempuan, kesetaraan keterwakilan perempuan dalam politik, kesempatan kerja dan kesempatan usaha bagi perempuan, pencegahan perkawinan dan kehamilan usia dini, penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Disamping itu, direkomendasikan pula pengembangan sistem statistik dan indikator untuk memantau kemajuan kesetaraan gender.
-2-
ODA untuk Indonesia pun, menurut kajian INFID, tidak menunjukkan kecenderungan berarti, bahkan bantuan hibah bilateral dari beberapa negara maju diserahkan kepada lembaga-lembaga multilateral (terutama yang dibentuk oleh lembaga-lembaga keuangan internasional) yang sebagian terbesar dipakai untuk membiayai overhead costs dan kegiatankegiatan liberalisasi dan privatisasi yang dikawal oleh lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut sampai ke daerah-daerah. ODA untuk Indonesia juga dipakai oleh perusahaan-perusahaan konsultan dari negara-negara asal ODA untuk implementasi program di Indonesia dengan efektivitas hasil yang sangat diragukan karena ketidakpahaman tentang masalah-masalah yang ada di Indonesia. ODA tersebut pada gilirannya lebih banyak digunakan untuk kepentingan negara maju ketimbang untuk membantu Indonesia mengatasi masalah-masalah pencapaian target MDGs yang lainnya. Sejumlah program yang direkomendasikan dalam The High-Level Event on Millenium Development Goals, tentu membutuhkan biaya yang cukup besar dan perubahan strategi dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran negara. Pada bagian inilah tantangan terberat bagi Indonesia untuk mencapai target MDGs pada tahun 2015. Dalam kenyataannya, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009 -2015, rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Menurut data yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengelolaan Utang-Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, Utang Luar Negeri dan dalam Negeri yang jatuh tempo atau harus dibayar di tahun 2009-2015 sangat tinggi. Ditahun 2009, utang yang harus dibayar mencapai Rp. 97,7 trilyun, dimana $ 6,407.38 juta dollar atau Rp 58.65 trilyun dari jumlah tersebut adalah Utang Luar Negeri. Tahun 2010 sebesar Rp. 84,11 trilyun. Dari jumlah tersebut, Rp 46.99 trilyun ( $ 5,133.78 juta dollar) adalah utang Luar negeri. Tahun 2011, Indonesia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 81.55 trilyun untuk membayar utang , sebesar Rp 41.57 trilyun ( $ 4,541.47 juta dollar) adalah utang luar negeri . Pada tahun 2012, utang yang harus dibayar, sebesar Rp 83.31 trillyun, sebesar Rp. 40.63 trilyun ( $ 4,438.94 juta dollar) merupakan utang luar negeri. Tahun 2013, Indonesia harus membayar utang sebesar Rp. 81.40 trilyun, sebesar Rp. 41.10 trilyun ( $ 4,490.64 juta dollar) adalah utang luar negeri. Pada tahun 2014, Utang yang harus dibayar Indonesia, sebesar Rp 76,39 trilyun, dari jumlah tersebut, utang luar negeri sejumlah Rp 39.45 trilyun atau sebesar $ 4,310.14 juta dollar. Sedangkan ditahun 2015, masih harus membayar kembali naik menjadi Rp 81,54 trilyun, sebesar Rp. 39,08 trilyun atau $ 4, 269.79 juta dollar adalah utang luar negeri. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun secara drastis dari jumlah di tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2016, dengan pembayaran sebesar Rp. 66,70 trilyun. Untuk ukuran negara yang mengalami masalah kemiskinan yang sedemikian komplek, jumlah tersebut masih cukup tinggi. (Tabel Terlampir) Dengan melihat beban mengatasi kemiskinan dan mencapai tujuan pencapaian MDG di tahun 2015 serta beban pembayaran utang yang harus diambil dari APBN di tahun 20092015, besar kemungkinan Indonesia gagal dalam mencapai tujuan MDGs dan menjalankan rekomendasi yang disampaikan pada The High-Level Event on Millenium Development Goals. Tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs. Disamping itu, besar kemungkinan pemerintahan baru hasil pemilihan umum yang akan datang akan secara terus-menerus terjebak membuat utang baru
-3-
untuk membayar utang yang dibuat oleh rezim sebelumnya. Pada gilirannya, pemerintahan tersebut, akan mewariskan beban utang untuk rezim berikutnya. Demi mencapai tujuan pencapaian MDGs dan mensejahterakan rakyat Indonesia serta memutus rantai jebak utang luar negeri, INFID merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk: 1. Melakukan Audit secara integral terhadap seluruh Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia dan dibuka secara transparan kepada publik, agar publik mengetahui mengapa dan untuk apa Indonesia mengambil dan membayar utang luar negeri. 2. Mengidentifikasi dan menginventarisasi Utang Luar Negeri yang melanggar prinsipprinsip tanggung jawab keuangan negara (yaitu pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan) untuk segera dinegosiasikan untuk dihapuskan. 3. Menggalang solidaritas negara-negara Selatan untuk mendesak negara-negara Utara memenuhi komitmen Goal 8 dengan meningkatkan bantuan pembangunan bukan utang, tanpa syarat dan berkualitas minimal 0,7 % dari GNI-nya. 4. Melancarkan diplomasi penghapusan utang melalui semua forum-forum bilateral dan multilateral. 5. Menolak ODA yang tidak bermanfaat untuk Indonesia, atau yang hanya dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga konsultan dari negara-negara maju dan lembagalembaga keuangan internasional tanpa hasil yang nyata bagi Indonesia. Jakarta, 24 September 2008
Don K Marut Direktur Eksekutif Informasi lebih lanjut hubungi : Wahyu Susilo, Head of Advocacy Division 08129307964 Dian Kartika Sari Deputy Director 0816759865
-4-
Lampiran
Dalam Trillyun Rupiah :
Dalam Juta USD
Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan RI, 2008
-5-