SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAAN MODUS TERGANDENG SISTEM KISI BRAGG
ANDRIAL SAPUTRA
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ii
Andrial Saputra: Solusi Periodik Eliptik Jacobi Persamaan Modus Tergandeng Sistem Kisi Bragg. Dibimbing Oleh: Husin Alatas
Abstrak Persamaan modus tergandeng dalam tugas akhir ini adalah persamaan untuk sistem optik nonlinier yang bersifat periodik. Persamaan ini merupakan set persamaan diferensial parsial yang terkopel, dan untuk menganalisa kelakuan solusinya dilakukan melalui pendekatan analisis sistem dinamik. Berdasarkan pendekatan itu didapatkan sebuah set persamaan diferensial biasa orde satu yang akan dipecahkan secara analitik berupa fungsi Eliptik Jacobi (sn, cn, dan dn) dan dianalisa pula trayektori fungsi tersebut di bidang fasa.
Kata Kunci: Eliptik Jacobi, sistem dinamik, bidang fasa.
iii
Judul Skripsi : Solusi Periodik Eliptik Jacobi Persamaan Modus Tergandeng Sistem Kisi Bragg Nama : Andrial Saputra NIM : G74053924
Menyetujui Pembimbing Utama
Dr. Husin Alatas, M.Si NIP: 197106041998021001
Mengetahui Ketua Departemen
Dr. Irzaman, M.Si NIP: 196307081995121001
Tanggal Lulus:
iv
Solusi Periodik Eliptik Jacobi Persamaan Modus Tergandeng Sistem Kisi Bragg
Andrial Saputra G74053924
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 november 1987 oleh pasangan Ayah tercinta Syahrial dan Ibunda tercinta Sri Dewi Nursanti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan tingkat sekolah dasar (SD) di SD Muhammadiyah 5 Jakarta, lalu melanjutkan di SLTP Muhammadiyah 9 Jakarta, selama di SLTP penulis aktif di berbagai kegiatan Rohis sekolah, dan mendapat banyak penghargaan prestasi akademis selama duduk di bangku SLTP. Setelah tamat SLTP, penulis melanjutkan studinya ke SMU 82 Jakarta, selama di SMU penulis aktif di keorganisasian Rohis SMU 82, bahkan 2 tahun berturut-turut dipercaya menjadi Ketua Umum Rohis SMU 82. Di bagian prestasi penulis selalu terbaik pertama dari kelas 1 hingga kelas 3, kemudian penulis juga banyak mengikuti perlombaan olimpiade, baik Fisika Dan Matematika. Setelah tamat SMU, penulis melanjutkan studinya ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dengan mengambil program studi Fisika. Selama kuliah penulis aktif menjadi staf keilmuan HIMAFI (Himpunan Mahasiswa Fisika), Staf Ahli Departemen Sains Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA, Ketua TIM KHUSUS Pesta Sains 2007 dan 2008. Di bagian akademik penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Fisika Dasar TPB (2006-2009), Asisten Praktikum Fisika Dasar untuk Mahasiswa Pra Universitas BUD (2007-2009), Asisten Praktikum Fisika Dasar Untuk Mahasiswa BUD (2008), Koordinator Asisten Praktikum Fisika Dasar TPB (2008-2009), Asisten Praktikum Fisika Lanjut (2008-2009), Asisten Dosen Fisika Modern Untuk Mahasiswa Departemen Kimia (2007-2008), Asisten Dosen Fisika Modern Untuk Mahasiswa Departemen Fisika (2007-2009), dan Asisten Dosen Fisika Nonlinear (2007-2009). Kemudian penulis juga aktif di Bimbingan Belajar Fisika TPB (Physics Challenge I) (2006-2007), Direksi Bimbingan Belajar Physics Challenge II (2007-2008), Koordinator Soal-Soal dan Koordinator Guru bimbingan di Bimbingan Superstring Privat (2008-2009). Setelah itu penulis juga pernah ikut sebagai peserta Olimpiade Sains Tingkat Nasional seluruh perguruan tinggi di Indonesia (OSN-PTI 2008), dan pernah menjadi calon mahasiswa berprestasi di Departemen Fisika (2007). Semua yang dilakukan penulis semata-mata ingin menghebatkan diri penulis supaya layak untuk menggenggam masa depan yang lebih cerah, untuk itu motto hidup dari penulis adalah “Teknologi keberhasilan sudah ada dari zaman dahulu yaitu, ikhlas dalam meraih dan melihat sesuatu lalu yang kedua kerjakanlah sesuatu yang belum bisa kita lakukan”.
vi
KATA PENGHANTAR Segala puji hanya kepunyaan Allah SWT dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Atas rahmat dan hidayah Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul ”Solusi Periodik Eliptik Jacobi Persamaan Modus Tergandeng Sistem Kisi Bragg”. Dalam skripsi ini membahas berbagai formula matematis yang cukup kompleks dalam menyusun solusi ini, sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam menyelesaikannya, namun dengan perjuangan yang terus dilakukan penulis akhirnya bisa juga menyelesaiakan skripsi ini walau melebihi target penulis. Tak lupa juga Penulis menyampaikan banyak terima kasih dan Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penyelesaian penulisan Skripsi ini, yaitu kepada : 1. Bapak Dr. Husin Alatas Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, tempat bertanya dan semangat kepada penulis, sehingga penulis tak gentar dalam memecahkan semua formula. Dan beliaulah yang menjadi teladan buat penulis selama kuliah. 2. Mas Doddy (Mas Hendradi Hardhienata M.Si) Selaku Dosen Fisika Teori yang selalu memberi semangat buat penulis dan humornya yang tinggi dalam kesehariannya serta kepribadiannya yang penulis banggakan. 3. Bapak Dr Irzaman dan Bapak Jajang Juansah M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik, saran, semangat dan masukan yang sangat berharga untuk penulis khususnya. 4. Papa, Mama, adik-adik di rumah terima kasih atas dukungan dan doanya yang tidak pernah berhenti mendoakan penulis agar selalu berhasil. 5. Seluruh Dosen bagian Fisika Teori yang telah membuat penulis jatuh hati terhadap bidang ini yaitu Pak Faozan Ahmad M.Si, Pak Dr Agus Kartono, dan Pak Abdul Djamil Husin M.Si. 6. Seluruh Dosen Fisika dan Staf Karyawan Departemen Fisika yang telah memberikan kontribusi yang besar dalam pelaksanaan akademis. 7. Seluruh Laboran laboratorium seperti Pak Rahmat, Pak Parman, Pak Toni, dan staf yang selalu membantu penulis seperti Pak Firman, Mas Junaedi dan Mas Asep dalam pelaksanaan sarana dan prasarana dalam perkuliahan. 8. Teman-teman satu lab Fisika Teori, Rudi, Dicky, Rosyid, Candra, Caca, dan Mas Teguh. Atas semua masukan kepada penulis. Dan kebersamaannya selama berada di dalam lab teori, Serta tawa dan canda dalam menghiasi lab teori yang kata orang menyeramkan. 9. Seluruh teman-teman angkatan 42 seperti Cucu, Ario, Amel, Rizal, Fahmi, Ais, pipit, dan masih banyak lainnya yang telah berjuang bersama di Fisika 42 dalam suka dan duka, serta angkatan Fisika 43-45. 10. Seseorang yang tidak pernah penulis lupakan selama penulis kuliah yaitu dia yang selalu menyemangati dan memberikan doa serta canda tawanya untuk penulis selama 3 tahun terakhir. so terima kasih ya (EF). Penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diperlukan bagi penulis. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.
Bogor, Desember 2009 Penulis Andrial Saputra
vii
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK................................................................................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... iii HALAMAN JUDUL................................................................................................................ iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................................ vi DAFTAR ISI ........................................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN ………………...…………………………………………………… ix PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 Latar belakang ............................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 2 Soliton Dalam Fisika .....................................................................................................2 Analisa Sistem Dinamik ............................................................................................... 2 Solusi Satu Soliton Persamaan NLS ............................................................................. 6 Analisis Sistem Dinamik Solusi Satu Soliton NLS ...................................................... 7 Integral Dan Fungsi Eliptik .......................................................................................... 8 METODE PENELITIAN ......................................................................................................... 9 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 9 Peralatan........................................................................................................................ 9 Metode Penelitian ........................................................................................................ 9 Studi Pustaka..................................................................................................... 9 Penurunan Solusi Secara Eksak ......................................................................... 9 Analisa Solusi Dengan Mapple 11 dan Mathematica 7 .................................... 9 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 9 Solusi Eksak Soliton Optik Nonlinear Melalui Metode Sistem Dinamik......................9 Analisa Sistem Dinamik Fungsi Eliptik Jacobi Pada Soliton Optik Nonlinear............. 13 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 19 Kesimpulan ................................................................................................................... 19 Saran ............................................................................................................................ 19 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 20 LAMPIRAN ............................................................................................................................ 21
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Ilustrasi Soliton........................................................……………………………. 1 Gambar 2 Kurva aliran Trayektori untuk persamaan (11) ……….……………………….. 3 Gambar 3 Trayektori tidak akan pernah berpotongan untuk dua keadaan berbeda ............ 3 Gambar 4 Titik Node atraktor negatif...................................................................………… 4 Gambar 5 Titik Node atraktor positif ................................................................................... 4 Gambar 6 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Node ...................................................... 4 Gambar 7 Aliran Trayektori titik Sadel ................................................................................ 4 Gambar 8 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Sadel....................................................... 4 Gambar 9 Aliran Trayektori titik Sadel................................................................................. 4 Gambar 10 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Center ................................................... 4 Gambar 11 Titik Fokus atraktor negatif................................................................................. 5 Gambar 12 Titik Fokus atraktor positif ................................................................................. 5 Gambar 13 Diagram Bifurkasi Sadel-Node ........................................................................... 5 Gambar 14 Diagram Bifurkasi untuk kasus Bifurkasi Trans-Kritikal …............................... 5 Gambar 15 Diagram Bifurkasi Pitch-Fork .......................................……………………….. 5 Gambar 16 Pola Trayektori Bifurkasi Poincare Andronov Hopf ……………...………….. 6 Gambar 17 Profil Solusi Persamaan (34) ….....…………………………………………….. 7 Gambar 18 Pola Trayektori untuk kasus β < 0 dan κ > 0 Dan sesuai pula dengan persamaan (38) untuk kasus H = 0 ...........................… 7 Gambar 19 Pola aliran Trayektori persamaan (39) Yang dikombinasikan dengan persamaan (40) ….............……………………. 8 Gambar 20 Diagram Bifurkasi satu dimensi untuk persamaan (77) ……………………… 11 Gambar 21 Diagram Bifurkasi dua dimensi Untuk kasus β1 > 0, β 2 < 0 dan β1 < 0, β 2 > 0 …..................…………………… 12 Gambar 22 Diagram Bifurkasi dua dimensi untuk kasus β1 , β 2 = 0 ………....…………… 12 Gambar 23 Diagram Bifurkasi dua dimensi Untuk kasus β1 , β 2 > 0 dan β1 , β 2 < 0 …………...........................................…. 12 Gambar 24 Plot kasus β1 < 0, β 2 < 0 dengan menggunakan Mathematica …...………….. 12 Gambar 25 Trayektori kasus β1 < 0, β 2 < 0 dengan menggunakan Mapple…….....……… Gambar 26 Plot untuk kasus β1 > 0, β 2 > 0 dengan menggunakan Mathematica ….…… Gambar 27 Trayektori Kasus β1 > 0, β 2 > 0 dengan menggunakan Mapple…………..….. Gambar 28 Trayektori untuk H = 0 …...............................……………………………….. Gambar 29 Trayektori untuk H = −β12 / 4β2 ..............................…………………….. Gambar 30 Trayektori fungsi sn (ζ x, k ) dengan kondisi k < 1 dan h > 0 …...…………...
13 13 13 15 15 15
Gambar 31 Trayektori fungsi cn (ζ x, k ) dengan kondisi h < 0 dan k > 1 ........…………... 15 Gambar 32 Trayektori fungsi cn (ζ x, k ) dengan kondisi h > 0 dan k < 1 .…........………...
16
Gambar 33 Trayektori fungsi dn(ζ x, k) dengan kondisi h < 0 dan k < 1 .....……………....
16
Gambar 34 Trayektori fungsi dn(ζ x, k) dengan kondisi h > 0 dan k > 1 ............……….....
16
Gambar 35 Plot Fungsi sn (ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi k < 1 dan h > 0 ........
17
Gambar 36 Plot Fungsi cn (ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi h > 0 dan k < 1 ........
17
Gambar 37 Plot Fungsi cn (ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi h < 0 dan k > 1 ........
17
Gambar 38 Plot Fungsi dn(ζ x, k) terhadap sumbu x dengan kondisi h < 0 dan k < 1 .........
17
Gambar 39 Plot Fungsi dn(ζ x, k) terhadap sumbu x dengan kondisi h > 0 dan k > 1 .........
17
Gambar 40 Gabungan Trayektori untuk fungsi sn (ζ x, k ) , cn (ζ x, k ) , dan dn (ζ x, k ) ............ 18 Gambar 41 Trayektori solusi untuk fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) ketika k < 1 ..................... 18 Gambar 42 Trayektori solusi untuk fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) ketika k > 1 ..................... 18
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian …..................................………………………………. 22 Lampiran 2 Penurunan Eksak Solusi Soliton NLS Melalui Pendekatan Sistem Dinamik ..... 23 Lampiran 3 Penurunan Eksak Solusi Soliton Sistem Optik Periodik Melalui Pendekatan Analisis Sistem Dinamik Untuk F Sembarang…………… 27 Lampiran 4 Integral Dan Fungsi Eliptik .........................…………………………………… 32 Lampiran 5 Penurunan Eksak Solusi Soliton Sisitem Optik Periodik Melalui Pendekatan Analisis Sistem Dinamik Untuk Fungsi Jacobian Eliptik ....……… 34 Lampiran 6 Daftar Parameter Pada Keseluruhan Persamaan ….........….....…...…………… 37 Lampiran 7 Listing Program Mathematica 7 …….............….....…………………………… 38
1
PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Pada saat ini ternyata, banyak ilmuwan memandang bahwa Fisika Non Linier telah menjadi salah satu tonggak mendasar dalam memahami alam semesta. Padahal awalnya tidak ada yang menduga sifat-sifat non linier alam akan menghasilkan berbagai fenomena alam yang menarik. Para ilmuwan dahulu terkadang lebih senang melakukan linearisasi untuk permasalahan yang dihadapi dan selalu mengabaikan efek nonlinieritas ketika menganalisis suatu masalah sehingga tidak ada yang menyadari bahwa efek nonlinieritas akan memberikan keluaran yang jauh berbeda jika tidak diabaikan. Soliton sebagai salah satu bagian riset fisika nonlinier sebenarnya sudah mulai diteliti sejak seratus lima puluh tahun yang lalu, tetapi baru sekitar empat puluh tahu belakangan ini benar-benar dikaji secara mendalam. Soliton sekarang telah diterima secara luas sebagai sebuah basis struktural untuk memandang dan memahami kelakuan dinamis dari sistem-sistem nonlinier yang begitu kompleks perumusannya. Soliton adalah sebuah gelombang nonlinier yang memiliki sifat-sifat berikut yaitu terlokalisasi dan merambat tanpa perubahan bentuk dan kecepatan serta stabil melawan proses tumbukan dan akan mempertahankan identitasnya (bentuk). Sifat pertama merupakan kondisi gelombang soliter yang dikenal dalam hidrodinamika sejak abad ke-19. Sifat yang kedua berarti gelombang tersebut memiliki kelakuan sebagai partikel. Dalam fisika modern, akhiran “-on” biasanya digunakan untuk menunjukkan kelas partikel, misalnya fonon dan foton. Sifat soliton yang tampak sebagai partikel memang menjadi salah satu bahan yang menarik untuk dikaji akhir-akhir ini. Perhatikan ilustrasi gambar berikut.
Gambar 1 Ilustrasi Soliton
Kisah penemuan soliton sangatlah menarik dan penting untuk diketahui. Pengamatan pertama kali yang tervisualisasi dengan baik dilakukan pada 1844 oleh ilmuwan Skotlandia, John Scott-Russel [1]. Ia mengamati gerak sebuah perahu dari kudanya. Ketika perahu tiba-tiba berhenti, timbullah gelombang air dengan sebuah puncak yang bergerak menjauh dari perahu tersebut. Ia lalu mengamati gerak gelombang air tersebut dan terus mengikutinya hingga sekitar 2 mil. Gelombang air tersebut nyaris tidak berubah bentuk juga kecepatannya hingga nanti akhirnya menghilang dari pandangan karena masuk ke dalam terowongan air. Sehingga istilah “gelombang soliter” kemudian diberikan oleh Russel untuk gelombang air yang diamatinya itu. Keberadaan dari intensitas optik nondifraksi yang terlokalisir dalam bentuk “Bright dan Dark” soliton spasial pada media nonlinier optik sebenarnya sudah dikaji dan dipelajari dalam kurun waktu 2 dekade sebelumnya[2]. Diantara yang telah dipelajari ada sebuah persamaan yaitu persamaan nonlinier Schroedinger (NLS), persamaan ini telah dibuktikan oleh Zakharov dan Shabat (Z-S) pada tahun 1972 melalui metode hamburan balik (Inverse Scattering), dimana persamaan tersebut memiliki solusi yang jumlahnya tidak berhingga (Unlimited), dalam pengertiannya bahwa setiap kondisi awal yang diberikan pasti memilki bentuk tertutupnya yang eksak. Salah satu contoh perluasan lebih lanjut dari persamaan NLS untuk kasus perambatan gelombang cahaya dalam medium pandu gelombang planar dengan struktur periodik dalam arah rambat diberikan oleh persamaan yang akan dibahas pada skripsi ini yaitu persamaan Soliton spasial sistem Optik nonlinier yang bersifat periodik. Dalam perkembangan Fisika Nonlinier juga dikenal permasalahan tentang analisa sistem dinamik. Dalam membahas dinamika suatu sistem fisis dapat digambarkan oleh suatu set persamaan diferensial biasa yang merupakan fungsi satu variabel. Konsep mengenai ruang fasa, titik kritis, serta stabilitasnya merupakan masalah yang fundamental dalam dinamika sistem[3]. Dan pada skripsi kali ini akan diterangkan stabilitas dan perilaku hasil solusi soliton sistem optik nonlinier periodik menggunakan pendekatan sistem dinamik yang dipadu dengan pemahaman tentang integral dan fungsi eliptikal.
2
Berawal dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, pada skripsi kali ini akan dipelajari bagaimana perilaku trayektori solusi soliton sistem optik periodik melalui pendekatan analisis sistem dinamik yang nantinya akan dipadu dengan fungsi Jacobian Eliptik, sehingga nantinya bisa dianalisa perilaku disekitar aliran trayektori. 2.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perilaku solusi soliton periodik dengan cara menggunakan analisis sistem dianamik, dimana dengan mengetahui pola perilakunya, maka nantinya akan bisa diketahui perilaku disekitar trayektori yang ditunjukan oleh ketiga buah fungsi Jacobian Eliptik untuk persamaan soliton periodik.
TINJAUAN PUSTAKA 1.
Soliton Dalam Fisika Untuk mengetahui soliton secara fisis ada beberapa pertanyaan yang mungkin sampai sekarang menggelayuti pikiran banyak orang yaitu bagaimana cara mengetahui sifat soliton secara analitik? Mengapa soliton dapat berkelakuan stabil layaknya sebuah partikel? Dan apakah soliton hanya sebuah fenomena spesifik dari persamaan Kdv saja?. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut akan dipaparkan secara bertahap beberapa langkah tambahan setelah Zabusky dan Kruskal melakukan perhitungan numeriknya. Tinjau persamaan Kdv yang telah mengalami penskalaan pada variabel bebas dan variabel terikatnya: ut − 6u u x + u xxx = 0 (1) dari teori gelombang dapat diketahui bahwa suku kedua dan ketiga masing-masing menyatakan efek nonlinier dan dispersi. Suku nonlinier menyebabkan sebuah perubahan kecuraman pada bentuk gelombangnya, sementara suku dispersi menyebabkan gelombang dapat menyebar. “Kompetisi” antara kedua suku tersebut menghasilkan bentuk gelombang stasioner yang dikenal sebagai gelombang soliter. Alasan lain mengapa setiap gelombang soliter bersifat stabil yaitu sifat persamaan Kdv yang memilki besaran konservatif. Sifat dinamis dari sistem dibatasi oleh hukum kekekalan dari besaran tersebut. Besaran yang konservatif dapat menjamin parameter yang mengkarakterisasi soliton untuk tidak bergantung pada waktu sehingga soliton dapat bersifat stabil. Berdasarkan pada tak hingga banyaknya besaran
konservatif (variabel medan memiliki derajat kebebasan tak hingga), maka soliton dapat eksis dalam jumlah yang sembarang. Sifat-sifat dasar soliton dapat diinvestigasi dengan metode hamburan balik (inverse Scattering method). Secara ringkas solusi persamaan Kdv yang diselesaikan dengan metode hamburan balik yaitu:
∂ K ( x, x; t ) ∂x dengan nilai fungsi dari: u ( x, t ) = 2
K ( x , y; t ) + F ( x + y; t ) +
(2)
x
∫ K ( x, z; t ) F ( z + y; t ) dz = 0
(3) ∞ b ( k , t ) −ikx 1 F ( x; t ) = ∫ c ( t ) e + ∫ a ( k , 0) e 2π −∞ n =1 (4) dimana persamaan (3) merupakan persamaan Gelvan-Levitan. Secara khusus ketika koefisien refleksi r ( k , 0 ) = b ( k , 0 ) / a ( k , 0 ) −∞
N
2 n
n0 x
bernilai nol (potensial tanpa refleksi, maka barulah dapat dipecahkan persamaan Gelvan Levitan dan nantinya dapat diperoleh solusi N-soliton yang terkait dengan N keadaan terikat. Dari pernyataan eksak solusi Nsoliton, dapat dibuktikan bahwa soliton stabil melawan tumbukan sesamanya. Tumbukan tersebut akan selalu dalam keadaan berpasangan dan hanya menginduksi proses pergeseran posisi dari soliton[4]. Permasalahan nilai awal dari persamaan Kdv akhirnya telah dapat diselesaikan pada masa itu. Dan lima tahun berikutnya (1972) dengan jalan mengembangkan metode hamburan balik, Zakharov dan Shabat [5] berhasil memecahkan persamaan nonlinier Schroedinger (NLS) yang berbentuk: 2
iψ t +ψ xx + 2 ψ ψ = 0 (5) dan kemudian seorang ilmuwan bernama Wadati memecahkan persamaan Kdv yang termodifikasi [6,7], berikut persamaannya: ut + 6u 2u x + u xxx = 0 (6) dan akhirnya sampai sekarang lebih dari seratus persamaan soliton yang telah dikenal. 2.
Analisa Sistem Dinamik. Dalam membahas dinamika suatu sistem fisis dapat digambarkan oleh suatu set persamaan diferensial biasa yang merupakan fungsi satu buah variabel, dan dalam hal ini persamaan diferensial biasa yang digunakan bersifat autonomous[3], yakni suatu set persamaan yang di dalamnya tidak terdapat hubungan ketergantungan terhadap variabel secara eksplisit. Berikut PDB orde satu yang dimaksud:
3
dxn (7) dt Kemudian dalam membahas soal dinamika sistem akan dikenal istilah ruangfasa, untuk bisa memberikan gambaran tersebut, maka tinjau kembali persamaan untuk kasus bandul sederhana yang terlinierisasi yang dituliskan: x+x =0 (8) Dengan mendefinisikan x = x1 dan x = x2 , maka persamaan (8) dapat dituliskan kembali dalam bentuk: x1 = x2 (9) x2 = − x1 xn = f n ( xn ) → xn ≡
jelas terlihat bahwa melalui definisi ulang, persamaan (8) di atas berubah menjadi PDB orde satu seperti pada persamaan (7) dengan N = 2 . Dan perlu diingat bahwa solusi dari persamaan (8) adalah sebuah solusi harmonik yang berdasarkan pada superposisi linier dari fungsi sinus dan kosinus, sehingga dengan demikian solusi bagi persamaan (9): x1 = c sin t (10)
x2 = c cos t
dengan c adalah sebuah konstanta sembarang, dan selanjutnya atas dasar kenyataan berikut: x12 + x22 = c sin 2 t + cos 2 t = c (11)
(
)
maka jelaslah bahwa dalam bidang ( x1 , x2 ) ≡ ( x, x ) kurva yang terbentuk adalah sebuah lingkaran dengan jari jari c . Sebagaimana yang akan diberikan pada gambar 2.
Gambar 3 Trayektori tidak akan pernah berpotongan untuk dua keadaan berbeda Berikut akan ditinjau kembali persamaan (7) yang akan dituliskan dalam bentuk yang lebih eksplisit sebagai berikut:
(
x1 = f1 x1,......... xN
)
(
misalkan terdapat titik-titik
(12)
)
xN = f N x1,......... xN
{x
n
= xn,0} yang
nantinya akan mengakibatkan nilai dari fungsi f n ( x1,0 ,..., xn ,0 ,..., xN ,0 ) = 0 secara menyeluruh, maka set titik titik tersebut dinamakan sebagai set titik kritis yang terkait dengan { xn = 0} . Berdasarkan kenyataan ini, sebuah titik kritis dalam ruang-fasa terkait dengan solusi stasioner dimana nilai x ( t ) = c untuk semua waktu dengan nilai c merupakan sebuah konstanta. Untuk mengetahui karakteristik dari titik-titik tersebut, dapat dilakukan dengan melakukan linierisasi sistem persamaan terkait, yakni dengan melakukan ekspansi Taylor terhadap fungsi f n di sekitar xn = xn ,0 hingga orde pertama saja: N
xn = ∑( xn − xn,0 )
∂fn ∂xn
x= xn ,0
+ .....
(13) Kemudian, dengan memanfaatkan secara lebih mendalam linierisasi persamaan (12) dalam hal menentukan karakter dari suatu titik kritis secara lebih umum, berikut akan dituliskan kembali persamaan (13) ke dalam bentuk persamaan matriks berikut: n=1
Gambar 2 Kurva aliran Trayektori untuk Persamaan (11) dan nantinya ada hal yang penting untuk perlu diingat bahwa trayektori-trayektori dalam sebuah ruang atau bidang fasa tidak pernah berpotongan, sebagaimana akan dicontohkan pada gambar 3, untuk dua keadaan awal yang berbeda, trayektori solusi yang arah alirannya ditunjukan melalui kepala panah, tidak pernah akan berpotongan. Hal ini berlaku umum untuk semua jenis PDB (9).
X = AX → X ≡ ( X 1 , X 2 ,.. X N ) T
(14) ∂f1 ⎞ ⎛ ∂f1 ⎜ ∂X ∂X N ⎟ ⎜ 1 ⎟ ⎟ A≡⎜ (15) ⎜ ⎟ ∂f N ⎟ ⎜ ∂f N ⎜ ∂X ∂X N ⎟⎠ ⎝ 1 di sini Xn = xn − xn,0 yang menunjukan bahwa titik kritis ditranslasikan ke titik asal (0,0), dan
4
A adalah N × N matriks yang diasumsikan sebagai matriks non-singular yakni: (16) det A ≠ 0 Untuk menganalisa karakteristik dari titik kritis terkait, maka tentukan terlebih dahulu persoalan harga eigen bagi matriks A : AX = λ X (17) dengan λ merupakan harga eigen terkait yang dapat diperoleh dengan cara memecahkan persamaan karakteristik berikut ini: det ( A − λ I ) = 0 (18)
Dengan demikian, dapat diperoleh empat buah jenis titik kritis berdasarkan harga eigennya yaitu Titik Node, Titik Sadel, Titik Center dan Titik Fokus. Untuk titik Node nilai eigennya berharga riil. Pada kasus λ1 , λ2 > 0 akan diperlihatkan pada gambar 4 dimana titik Node tersebut beratraktor negatif yang artinya aliran trayektori menjauhi titik kritis. Namun ketika λ1 , λ2 < 0 titik Node tersebut akan beratraktor positif, yang artinya aliran trayektori akan menuju ke arah titik kritis sebagaimana ditunjukan pada gambar 5.
Kemudian untuk titik kritis jenis yang kedua yaitu titik Sadel memilki harga eigen yang bernilai riil pula, bedanya dengan titik Node, titik Sadel nilai eigennya berkondisikan nilai eigen yang berlawanan tanda λ1 < 0, λ2 > 0 atau sebaliknya. Berikut ini adalah bentuk trayektorinya.
Gambar 7 Aliran Trayektori titik Sadel dan diagram harga eigen yang terkait pada gambar 7 akan diberikan pada gambar 8.
Gambar 8 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Sadel
Gambar 4 Titik Node atraktor negatif
untuk jenis titik kritis yang ketiga yaitu titik Center ternyata memilki nilai eigen yang berbeda dari dua titik kritis sebelumnya yaitu nilai eigen yang imajiner. Dengan begitu, trayektori yang terkait titik Center ini bisa diilustrasikan pada gambar 9.
Gambar 5 Titik Node atraktor positif dan diagram harga eigen untuk kasus titik Node ini diberikan oleh gambar 6a dan 6b masing-masing untuk kasus atraktor negatif dan positif berturut-turut.
Gambar 6 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Node
Gambar 9 Aliran Trayektori titik Center sedangkan untuk diagram harga eigennya diberikan dalam gambar 10.
Gambar 10 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Center
5
Berikutnya, untuk jenis titik kritis yang terakhir yaitu titik Fokus ternyata memiliki nilai eigen yang merupakan bilangan kompleks, yaitu bilangan yang terdiri atas fungsi riil dan imajiner. Untuk kasus μ > 0 titik Fokus tersebut memilki atraktor negatif, sedangkan untuk kasus μ < 0 titik Fokus tersebut memilki atraktor positif, untuk memahaminya perhatikan ilustrasi gambar 11 dan gambar 12 berikut.
untuk bifurkasi jenis kedua yaitu bifurkasi Trans-Kritikal. Pada bifurkasi ini jumlah titik kritis yang terlibat dalam proses tetap namun hanya mengakibatkan pertukaran karakteristik kestabilannya saja. Untuk memahaminya perhatikan ilustrasi pada gambar 14.
Gambar 14 Diagram Bifurkasi untuk kasus Bifurkasi Trans-Kritikal
Gambar 11 Titik Fokus atraktor negatif
dan untuk bifurkasi jenis berikutnya disebut bifurkasi Pitch-Fork. Bifurkasi ini dicirikan lewat bertambahnya titik kritis dari satu menjadi tiga buah, dimana untuk titik kritis yang telah ada sebelumnya berubah karakteristik kestabilannya dari stabil menjadi tidak stabil, sedangkan untuk titik kritis yang baru bersifat stabil. Untuk memahaminya perhatikan ilustrasi pada gambar 15.
Gambar 12 Titik Fokus atraktor positif Setelah membahas mengenai titik kritis, dalam pembahasan dinamik sistem juga dikenal istilah bifurkasi. Bifurkasi adalah proses perubahan jumlah titik kritis serta jenisnya akibat perubahan parameter yang terkandung di dalam suatu sistem persamaan. Secara umum bifurkasi pada dinamik sistem ada banyak jenisnya, namun untuk kali ini akan dibahas empat buah kasus bifurkasi yang paling sering ditemui dan tergolong dalam kasus bifurkasi lokal. Bifurkasi yang pertama disebut bifurkasi Sadel-Node. Bifurkasi jenis ini dicirikan oleh munculnya dua atau lebih titik kritis. Berikut ilustrasi dari diagram bifurkasinya untuk kasus satu dimensi.
Gambar 13 Diagram Bifurkasi Sadel-Node
Gambar 15 Diagram Bifurkasi Pitch-Fork Kemudian untuk bifurkasi jenis terkahir disebut bifurkasi Poincare-Andronov-Hopf. Pada bifurkasi ini persamaan PDB yang ditinjau merupakan persamaan PDB dua dimensi, namun karena cukup kompleks persamaan tersebut jika direpresentasikan dalam koordinat cartesian, maka dilakukan transformasi koordinat dari cartesian menuju polar agar PDB yang nanti akan diselesaikan jauh lebih sederhana dari sebelumnya. Pada bifurkasi ini dasarnya melibatkan trayektori yang bersifat periodik dimana terjadi perubahan jenis titik kritis dari titik Fokus dengan atraktor positif menjadi atraktor negatif disertai dengan kemunculan Limit Cycle. Limit Cycle merupakan sebuah trayektori berbentuk lingkaran yang bersifat periodik yang muncul akibat perubahan kestabilan titik Fokus. Untuk memahami lebih lanjut perhatikan ilustrasi gambar 16 berikut.
6
dengan u ( t ) merupakan fungsi riil. Kemudian substitusikan persamaan (20) ke dalam persamaan (19) dan menghasilkan:
−κ u − β
∂ 2u + σ u3 = 0 ∂t 2
(21)
selanjutnya kalikan persamaan (21) dengan du / dt sehingga:
−κ u Gambar 16 Pola Trayektori Bifurkasi Poincare Andronov Hopf (Bifurkasi Hopf) dapat dilihat pada gambar ketika kasus μ > 0 muncul sebuah Limit Cycle disana. Hal ini terjadi karena perubahan kestabilan titik Fokus saat μ < 0 yang beratraktor positif menjadi beratraktor negatif pada μ > 0 Perlu ditekankan disini bahwa keempat bifurkasi yang dibahas sebelumnya merupakan bifurkasi lokal, yakni bifurkasi yang dapat dilihat hanya dengan meninjau perubahan kelakuan aliran trayektori di sekitar titik kritis. 3.
Solusi Satu Soliton Persamaan NLS Pada awal pembahasan mengenai kehadiran soliton optik, akan ditinjau sebuah persamaan perambatan pulsa elektromagnetik dalam serat optik. Dalam hal ini perambatan pulsa yang dimaksud melalui medium dielektrik. Yaitu sebuah medium yang jika dirambati oleh cahaya dengan intensitas tinggi akan menunjukan sebuah hubungan antara indeks bias terhadap intensitas cahaya. Medium dengan perilaku seperti itu dikenal sebagai medium kerr. Persamaan gelombang yang terkait dengan perambatan pulsa dalam serat optik lazim disebut persamaan Schrodinger nonlinier (NLS) yang dapat dituliskan dalam bentuk umum sebagai berikut[3]:
i
∂E ∂2E 2 − β 2 + σ E E = 0 (19) ∂z ∂t
dimana nilai E merupakan medan selubung 2 dari pulsa listrik, kemudian nilai β ∼ d ω dk 2 merupakan parameter yang terkait dengan dispersi dari kecepatan grup dan nilai σ ∼ χ ( 3) terkait dengan suseptibilitas orde tiga dari medium yang dilalaui. Berikut ini akan dicari solusi bagi persamaan (19) dalam bentuk: E ( z, t ) = u ( t ) eiκ z (20)
du d 2u du du −β 2 + σ u3 = 0 dt dt dt dt
(22) persamaan (22) dapat dituliskan kembali dalam bentuk: 2 1 d ⎡ ⎛ du ⎞ σ 4 ⎤ 2 ⎢ −κ u − β ⎜ ⎟ + u ⎥ = 0 2 dt ⎢⎣ ⎝ dt ⎠ 2 ⎥⎦
(23)
yang mengindikasikan bahwa: 2
⎛ du ⎞ σ −κ u − β ⎜ ⎟ + u 4 = c (24) 2 ⎝ dt ⎠ 2
dimana nilai c merupakan sebuah konstanta. Selanjutnya untuk bisa memperoleh solusinya maka dengan membatasi diri pada solusi yang memilki kondisi du → 0 dan u → 0 pada dt t → ±∞ sehingga berakibat nilai c pada ruas kanan bernilai nol. Dari sini persamaan (24) dapat diatur kembali menjadi: 2
1⎡ σ 4⎤ ⎛ du ⎞ 2 ⎜ ⎟ = ⎢ −κ u + u ⎥ (25) β⎣ 2 ⎦ ⎝ dt ⎠ du dt = (26) 2κ 2β 2 u − +u σ σ untuk menyelesaikan persamaan (26) pada ruas kiri akan dilakukan pemisalan fungsi u = 2κ / σ sinψ dan du = 2κ / σ cosψ dψ , sehingga ruas kiri persamaan (26) dalam variabel ψ menjadi:
du u −2κ / σ + u
2
→
dψ −2κ / σ sinψ
(27) kemudian integralkan hasil yang diperoleh terhadap variabel ψ :
∫
dψ = −2κ / σ sinψ
⎛ 1 1 cosψ ln ⎜ − −2κ / σ ⎝ sinψ sinψ
⎞ ⎟ ⎠
(28)
setelah itu nyatakan kembali persamaan (28) dalam variabel u :
7
⎛ 1 1 cosψ ⎞ ln ⎜ − ⎟= −2κ / σ ⎝ sinψ sinψ ⎠ ⎡ ⎛ 1 − 1 − u 2σ / 2κ 1 ln ⎢ 2κ / σ ⎜ ⎜ u −2κ / σ ⎢⎣ ⎝
u1 = ⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ ⎠⎦
(29) sedangkan integral ruas kanan persamaan (26) didapatkan:
∫
dt 2β / σ
t
=
2β / σ
(30)
dengan demikian persamaan yang harus dipecahkan adalah: ⎡ ⎛ 1 − 1 − u 2σ / 2κ ⎞ ⎤ ln ⎢ 2κ / σ ⎜ ⎟ ⎥ = −κ / β t ⎜ ⎟⎥ u ⎢⎣ ⎝ ⎠⎦ (31)
u (t ) =
2 2κ / σ exp
(
(
−κ / β t
1 + exp 2 −κ / β t
)
(32) dan nantinya bentuk persamaan (32) dapat diubah menjadi bentuk fungsi trigonometri berikut: u ( t ) = 2κ / σ sech −κ / β t (33)
(
)
sehingga akhirnya solusi dari persamaan NLS dalam bentuk persamaan (20) yang diinginkan dapat dituliskan sebagai berikut:
E ( z , t ) = 2κ / σ sech
(
)
−κ / β t eiκ z
(34)
dengan bentuk profilnya diberikan pada gambar 17. Jelas bahwa solusi yang diperoleh merupakan solusi yang terlokalisasi dengan ekor-ekor menuju nol. Dalam fisika, solusi ini dinamakan sebagai soliton.
(35a)
(35b) jelas terlihat bahwa titik-titik kritis untuk sistem persamaan (35) adalah: u1 = 0, u2 = 0 (36a)
u1 = ±
κ , u = 0 σ 2
(36b)
dan harga eigen yang terkait dengan masingmasing titik kritis diberikan oleh penyelesaian dari konstruksi matriks Jacobian, dan hasil yang didapat:
λ1 = ± − λ2 = ±
)
β
u2 = −κ u1 + σ u13
sehingga nantinya nilai u menjadi:
u2
κ β
2κ
β
(37a) (37b)
untuk kasus β < 0 dan κ > 0 dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kritis (36a) merupakan sebuah titik Sadel, sedangkan titik kritis (36b) merupakan titik Center. Sebelum meninjau bentuk trayektori solusi berdasarkan proses linierisasi, perlu disadari bahwa sistem persamaan (35) membentuk suatu sistem Hamiltonian dengan fungsi Hamiltonian terkait diberikan oleh: κ σ 1 2 (38) H = − u12 + u14 + u2 2 4 2β dimana persamaan (35) memenuhi persamaan kanonik u1 = ∂H / ∂u2 dan u2 = −∂H / ∂u1 . Mengingat pada titik ( 0, 0 ) merupakan titik Sadel, maka nilai Hamiltonian untuk trayektori yang terkait dengan titik tersebut adalah H = 0 . Dengan demikian, sambil memeperhatikan kenyataan bahwa terdapat dua buah titik Center dan sebuah titik Sadel di titik asal, maka bentuk trayektori yang dimaksud adalah Seperti yang diilustrasikan pada gambar 18 berikut.
Gambar 17 Profil solusi persamaan (34) 4.
Analisis Sistem Dinamik Solusi Satu Soliton Nonlinier Schroedinger (NLS) Untuk melihat makna dari solusi soliton NLS persamaan (34) dalam bahasa dinamika sistem maka tinjau kembali persamaan (21) dalam bentuk PDB orde satu dengan memisalkan u = u1 dan u2 = u didapatkan:
Gambar 18 Pola Trayektori untuk kasus β < 0 dan κ > 0 dan sesuai pula dengan persamaan (38) untuk kasus H = 0 kemudian untuk kasus β > 0 dan κ > 0 dapat dengan mudah pula diketahui bahwa untuk
8
titik kritis (36a) merupakan sebuah titik Center, sedangkan untuk titik kritis (36b) merupakan titik Sadel. Berdasarkan persamaan (35) diketahui bahwa: ⎛ ⎛ 2β ⎡ κ ⎞ κ ⎞⎤ u2 ( t ) = −κ − ⎢sech ⎜⎜ − t ⎟⎟ tanh ⎜⎜ − t ⎟⎟ ⎥ σ ⎢⎣ β ⎠ β ⎠ ⎥⎦ ⎝ ⎝ (39) dengan menggunakan aplikasi Mapple, dapat diperlihatkan bahwa untuk rentang −∞ < t < ∞ maka diperoleh dalam gambar 19, pola trayektori dari persamaan (39) yang dikombinasikan dengan: ⎛ 2κ κ ⎞ u1 ( t ) = u ( t ) = sech ⎜⎜ − t ⎟⎟ σ β ⎠ ⎝ (40) secara implisit dalam bidang ( u1 ( t ) , u2 ( t ) ) . Terlihat bahwa kombinasi tersebut cocok dengan trayektori dari hamiltonian dengan H = 0 pada bagian kurva tertutup bagian kanan. Kurva tertutup bagian kiri dari gambar 19 terkait dengan solusi u1 → −u1 , dimana berdasarkan transformasi ini persamaan (35) merupakan persamaan yang invarian.
ϕ
F (ϕ , k ) = ∫ 0
dϕ 1 − k 2 sin 2 ϕ
ϕ
E (ϕ , k ) = ∫ 1 − k 2 sin 2 ϕ dϕ
5.
Integral dan Fungsi Eliptik Untuk memahami permasalahan ini, berikut akan ditunjukan sebuah bentuk integral yang sering dijumpai dalam permasalahan Fisika seperti pada kasus bandul sederhana yaitu:
(42)
0
dikenal sebagai integral eliptik jenis kedua. Dimana nilai k berada pada rentang nilai 0 ≤ k ≤ 1 . Nilai k pada persamaan tersebut merupakan sebuah modulus dan ϕ merupakan sebuah amplitudo dari integral eliptik pada persamaan (41) dan (42). Integral eliptik dinamakan sebagai integral eliptik lengkap jika amplitudo pada persamaan bernilai ϕ = π . Integral pada persamaan (41) 2 dan (42) merupakan integral eliptik versi Legendre. Melalui transformasi: x = sin ϕ dengan nilai dϕ = dx , sehingga diperoleh 1 − x2 bentuk lain sebagai berikut yaitu[8,9,13]: x dx (43) F ( x, k ) = ∫ 2 1 − x 1 − k 2 x2 0
(
)(
)
1− k x dx (44) 1 − x2 0 yang dinamakan integral eliptik versi Jacobi. Bentuk integral eliptik baik dalam versi Legendre maupun Jacobi tidak dapat secara umum dievaluasi secara analitik. Nilainilainya untuk amplitudo tertentu disediakan dalam bentuk tabel yang diperoleh secara numerik. Tinjau bentuk integral eliptik Jacobi (43). Jika diambil k = 0 maka dapat dengan mudah diperoleh: x dx u=∫ = sin −1 x (45) 2 x 1 − 0 dimana u ≡ F ( x, 0 ) , jika dilakukan inversi 2
E ( x, k ) = ∫
Namun, jika kembali mengacu pada persamaan (34) dapat dengan mudah dilihat bahwa agar persamaan tersebut terkait dengan suseptibilitas orde tiga dimana σ > 0 maka kondisi yang harus dipenuhi adalah ketika β < 0 dan κ > 0 agar fungsi u merupakan fungsi riil. Kondisi perambatan dengan nilai β < 0 secara teoritis terkait dengan sebuah keadaan dispersi anomali.
(41)
integral pada persamaan (41) dinamakan sebagai integral eliptik jenis pertama dan:
x
Gambar 19 Pola aliran Trayektori persamaan (39) yang dikombinasikan dengan persamaan (40)
2
terhadap persamaan (45) maka diperoleh hasil sin u = x . Dengan memperluas cara pandang untuk kasus k ≠ 0 dan dengan mendefinisikan secara umum nilai u ≡ F ( x, k ) , maka serupa dengan persamaan (45) dapat dituliskan bentuk bagi sembarang integral eliptik terkait: x
u=∫ 0
dx
(1 − x )(1 − k x ) 2
2 2
= sn −1 x (46)
dan serupa pula dengan persamaan (45), invers dari persamaan (46) adalah sn u = x = sin ϕ . Dimana secara lebih khusus
9
fungsi sn u dikenal dalam matematik sebagai fungsi eliptik Jacobi[8,9,13]. Mirip dengan fungsi trigonometrik, dapat pula didefinisikan fungsi eliptik Jacobi cn u melalui hubungan:
cn u = 1 − sn 2 u = cos ϕ
(47) kemudian tinjau kembali integral eliptik versi Legendre pada persamaan (41), jelas terlihat:
du 1 = dϕ 1 − k 2 sin 2 ϕ
(48)
dan berdasarkan hubungan (48) dapat pula didefinisikan fungsi dn u melalui perumusan berikut ini yaitu:
dϕ = 1 − k 2 sn 2 u (49) du dengan demikian, jelas bahwa fungsi fungsi tersebut memenuhi hubungan: (50) cn 2 u + sn 2 u = 1 (51) dn 2 u + k 2 sn 2 u = 1 kemudian, untuk mengetahui turunan pertama bagi masing-masing fungsi terhadap variabel u , maka diperoleh hasil sebagai berikut: dn u =
d ( sn u ) du
=
d ( sin ϕ ) du
=
dϕ = cn u dn u (52) du d ( cn u ) d ( cos ϕ ) = = du du dϕ (53) − sin ϕ = − sn u dn u du d ( dn u ) d = 1 − k 2 sin ϕ = du du k 2 sin ϕ cos ϕ dϕ − = −k 2 sn u cn u (54) 2 du 1 − k sin ϕ
cos ϕ
(
)
dengan memory 2GB dan menggunakan Windows Vista Home Basic. Lalu pada penelitian ini juga menggunakan bantuan Software Mapple 11 dan Mathematica 7. 3. Metode Penelitian 3.1 Studi Pustaka Pada penelitian ini studi pustaka dimulai dari pemecahan solusi satu persamaan NLS melalui pendekatan analisis sistem dinamik. Kemudian dengan proses yang sama maka persamaan modus tergandeng yang didapatkan dari perluasan persamaan NLS dapat diselesaikan secara eksak pula. Dan dengan bantuan ketiga fungsi eliptik, maka dapat diketahui perilaku trayektori solusinya dalam bidang fasa. 3.2 Penurunan Solusi Secara Eksak Proses ini dilakuakan untuk mengetahui perilaku persamaan 55 dan 56 secara analitik, melalui pendekatan sistem dinamik. 3.3 Analisa Solusi Dengan Mapple 11 dan Mathematica 7 Proses ini dilakukan untuk menganalisis hasil visualisasi gambar trayektori solusi yang didapatkan oleh kedua software yang digunakan. Sebenarnya dalam menunjukan bentuk trayektori solusi beserta aliran trayektorinya akan lebih baik menggunakan software Mathematica, namun dalam teknis pengerjaannya lebih mudah dikerjakan pada software Mapple, karena dalam Mapple sintaks yang digunakan lebih sederhana. Berbeda sekali dengan software Mathematica yang menggunakan algoritma pemrograman. Namun demikian hasil gambar yang diperoleh akan sama saja bentuknya, perbedaanya hanya dari segi tampilannya saja.
HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN 1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 sampai dengan bulan Desember 2009. Dan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2.
Peralatan Pada penelitian kali ini alat yang digunakan berupa laptop milik pribadi dengan processor Intel (R) Core (TM) 2 Duo CPU
1.
Solusi Eksak Soliton Optik Nonlinier Melalui Metode Sistem Dinamik Adanya propagasi gelombang soliter dalam modulasi nonlinier kisi Bragg optik yang menimbulkan ketidakseragaman distribusi medan listrik melintang sepanjang sumbu x telah dipelajari sebelumnya untuk pilihan yang lebih spesifik pada sistem parameternya[10] dengan mengabaikan efek pembendung yang disebabkan oleh kondisi batas konvensional yang nantinya sangat diperhitungkan dalam proses pemebentukan gelombang. Ketidakseragaman proses distribusi medan transversal muncul dari
10
istilah difraksi yang telah diperkenalkan sebelumnya dalam model. berikut ini akan ditinjau model persamaan diferensial parsial yang terkopel, berikut persamaannya[11]:
Pˆf U f − ηU f + cNU b + bNU f 2U b* + b2 NU *f U b2
(
2
+b0 U f + 2 U b
2
)U
f
(
2
+ bN U b + 2 U f
2
)U
b
=0
menghindari hal tersebut gunakan hubungan berikutnya yaitu K b = − K f = K , ternyata persamaan (55) dan (56) memilki solusi yang non-trivial[12], dengan memasukan hubungan tersebut ke persamaan fungsi Ansatz (57) dan (58) lalu masukan ke persamaan (55) dan (56) maka didapatkan hasil:
d 2F − ⎡(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F (59) dx 2 ⎣ 2 * * 2 ˆ PU b b − ηU b + cN U f + bN U b U f + b2 NU bU f + ⎣⎡b0 A A2 + 2 B 2 + bN B 3 A2 + B 2 + b2 N AB 2 ⎦⎤ F 3 = 0 2 2 2 2 +b0 U b + 2 U f U b + bN U f + 2 U b U f = 0 d 2F BD − ⎡(η + K ) B − cN A⎤⎦ F (60) (56) dx 2 ⎣ persamaan (55) dan (56) merupakan set + ⎡b B 2 A2 + B 2 + b A A2 + 3B 2 + b BA2 ⎤ F 3 = 0 2N N ⎣ 0 ⎦ persamaan diferensial parsial yang terkopel, ˆ ˆ pada persamaan tersebut nilai Pf dan Pb Dari kedua persamaan tersebut, maka akan merupakan operator persamaan diferensial direduksi sehingga hanya menghasilkan yang didefinisikan oleh sebuah persamaan sebuah persamaan diferensial biasa orde dua. Caranya dengan menyamakan kedua Pˆf = i∂ / ∂z + D∂ 2 / ∂x2 dan sebuah persamaan persamaan tersebut berdasarkan order 2 2 Pˆb = −i∂ / ∂z + D∂ / ∂x , dengan parameter x fungsinya masing-masing. Ketika fungsi dan z yang mengimplikasikan keadaan berorder F disamakan didapatkan hubungan transversal dan longitudinal pada sistem ⎡⎣(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F ⎡⎣(η + K ) B − cN A⎤⎦ F koordinat masing-masing. Sementara itu = parameter D yang dirumuskan sebagai AD BD (61) D = k / 2 Nk B menunjukan kekuatan dari efek 2 2 ⎡⎣ A − B ⎤⎦ cN difraksi yang timbul. Sedangkan parameter η K= (62) 2 AB merupakan frekuensi spasial yang dirumuskan Sedangkan ketika fungsi berorder F 3 sebagai η = k / Nk B − 1 . Kemudian parameter didapatkan sebuah hubungan: cN adalah parameter yang nilainya sebanding ⎡b0 A ( A2 + 2 B 2 ) + bN B ( 3 A2 + B 2 ) + b2 N AB 2 ⎤ F 3 dengan besarnya komponen Fourier N − th ⎣ ⎦ berdasarkan fungsi suseptibilitas linier. AD Sedangkan parameter nonlinier b0 , bN , dan b2 N ⎡b0 B ( 2 A2 + B 2 ) + bN A ( A2 + 3B 2 ) + b2 N BA2 ⎤ F 3 ⎦ mempunyai nilai sebanding dengan nilai =⎣ BD 0 − th, N − th, dan 2N − th yang merupakan (63) komponen Fourier gabungan dari fungsi 2 suseptibilitas nonlinier. − A [b0 + b2 N ] ± A ⎡[b0 + b2 N ] − 4bN 2 ⎤ ⎣ ⎦ ± Untuk menyelesaikan persamaan (55) dan B = 2 b persamaan (56), maka akan diperkenalkan N (64) sebuah fungsi Ansatz yakni: pada persamaan (64) untuk bagian yang iK z (57) U f = AF ( x ) e f berada dalam fungsi akar bisa didefinisikan − iKb z sebagai berikut: (58) U b = BF ( x ) e ⎡ b + b 2 − 4bN 2 ⎤ = Γ (65) Dimana F merupakan fungsi real, sedangkan ⎣[ 0 2 N ] ⎦ untuk A, B, dan K f ( b ) merupakan parameter sehingga persamaan (64) bisa dituliskan menjadi sebagai berikut: yang konstan. Untuk menemukan dua buah set persamaan diferensial biasa orde dua, misal ⎧⎪ − [b0 + b2 N ] ± Γ ⎫⎪ ± (66) B± = ⎨ ⎬A dengan menggunakan hubungan K b = K f 2bN ⎩⎪ ⎭⎪ ternyata didapatkan solusi yang trivial artinya kemudian untuk membuat persamaan (66) nilai cN = 0, bN = 0, dan b2 N = 0 akibatnya jika terlihat lebih sederhana maka akan dimisalkan menggunakan hubungan tersebut maka sebuah fungsi α yaitu: penyelesaian persamaan diferensial yang ⎡ − [b + b ] ± Γ ⎤ didapatkan akan bernilai nol. Untuk (67) α ± = ⎢ 0 2N ⎥ 2 b N ⎣⎢ ⎦⎥ (55)
(
)
(
)
AD
(
)
(
)
(
)
(
)
11
sehingga persamaan (66) akan terlihat menjadi sebuah persamaan yang cukup sederhana yaitu:
B ± = α ± A±
(68)
setelah mendapatkan persamaan (68), maka substitusikan persamaan (68) ke persamaan (59) untuk order fungsi F 3 saja. Sehingga akan didapatkan persamaan sebagai berikut: ⎡b0 (1 + 2α 2 ) + bN ( 3α ± + α 3 ) + b2 N α 2 ⎤ A2 F 3 ⎣ ⎦ D (69) berdasarkan persamaan (69), akan dimisalkan sebuah parameter β 2 yang dirumuskan:
F1 = F2
(76)
F2 = β1 F1 − β 2 F13 (77) Setelah itu untuk mengetahui proses bifurkasi apa yang terjadi, coba tinjau persamaan (77). Berdasarkan persamaan (77) didapatkan set titik kritis yaitu: F1 = 0 (78) β (79) F1 = ± 1 β2 Dari kedua titik kritis tersebut, dapat dengan mudah dibuktikan bahwa untuk kasus β1 < 0, β 2 > 0 dan β1 > 0, β 2 < 0 hanya terdapat satu buah titik kritis yaitu F1 = 0 dengan
⎡b0 1 + 2α 2 + bN 3α ± + α 3 + b2 N α 2 ⎤ A2 ⎦ β2 = ⎣ D (70) kemudian substitusikan persamaan (68) ke persamaan (62) maka akan didapatkan:
persamaan linier yang terkait diberikan oleh:
⎡⎣1 − α 2 ⎤⎦ cN (71) K= ± 2α setelah itu substitusikan persamaan (71) ke persamaan (59) untuk order fungsi F saja. Sehingga akan didapatkan persamaan: ⎡ 2αη − ⎡1 + α 2 ⎤ cN ⎤ F ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ (72) ± 2α D dan berdasarkan persamaan (72), akan dimisalkan sebuah parameter β1 yang dirumuskan sebagai berikut: ⎡ 2αη − ⎡1 + α 2 ⎤ cN ⎤ ⎣ ⎦ ⎦ (73) β1 = ⎣ ± 2α D dengan demikian PDB orde dua yang didapatkan dan nantinya akan dianalisa secara sistem dinamik yaitu:
titik kritis yaitu F1 = 0 dan F = ± β1 dengan 1 β2 persamaan liniernya diberikan oleh:
(
)
(
(
)
)
(
)
d 2F − β1 F + β 2 F 3 = 0 (74) dx 2 dengan mengatur kembali persamaan (74) akan didapatkan persamaan:
1 d 2 F β2 3 F = 0 (75) + β1 dx 2 β1 dimana nilai 1/ β1 dapat dipandang sebagai “effective diffraction strength”, sedangkan dapat dipandang sebagai nilai β2 / β1 “effective cubic nonlinier coeffisient” atau disebut juga suseptibilitas orde ketiga χ ( 3) . Kemudian dengan memisalkan F = F1 dan
F = β1 F → λ0 = β1
(80)
λ0 = β1 , sedangkan untuk kasus β1 < 0, β2 < 0 dan β1 > 0, β2 > 0 terdapat tiga buah
dengan
F = −2β1 F → λ1,2 = −2β1
(81)
untuk F = ± β1 dengan λ1,2 = −2 β1 dan untuk 1 β2 dengan λ0 = β1 memilki persamaan F1 = 0 yang sama dengan persamaan (80). Berdasarkan persamaan (80), untuk kondisi β1 < 0, β 2 > 0 dan β1 > 0, β 2 < 0 titik kritis yang terkait merupakan titik Sadel yang bersifat stabil. Sedangkan untuk kondisi Sadel β1 < 0, β2 < 0 dan β1 > 0, β2 > 0 titik tersebut bersifat tidak stabil, tetapi di lain pihak untuk titik kritis F = ± β1 berdasarkan 1 β2 persamaan (81) keduanya bersifat stabil. Berikut ilustrasi diagram bifurkasinya untuk satu dimensi: F
−F +
•
F = F2 akan didapatkan sebuah set persamaan diferensial biasa orde satu yaitu:
β1, β2
Gambar 20 Diagram Bifurkasi satu dimensi untuk Persamaan (77) sedangkan untuk diagram bifurkasi dua dimensi dibagi tiga kondisi yakni untuk nilai β1 > 0, β 2 < 0 lalu β1 , β 2 = 0 dan yang terakhir
12 ⎛ ∂f1 ⎜ F A=⎜ 1 ⎜ ∂f 2 ⎜ F ⎝ 1
ketika β1 , β 2 > 0 perhatikan gambar 21-23 berikut ini. F2 F1
∂f1 ⎞ F2 ⎟ 0 ⎟ → A = ⎜⎛ 2 3 β − ∂f 2 ⎟ ⎝ 1 β 2 F1 F2 ⎟⎠
1⎞ ⎟ 0⎠
(82)
sedangkan set titik kritis yang didapat dari persamaan (76) dan (77) yaitu: F1 = 0, F2 = 0 (83)
β1 ,F = 0 β2 2
F1 = ±
(84)
untuk kasus β1 > 0 harga eigen yang terkait dengan masingg-masing titik kritis diberikan oleh kedua nilai berikut: (85) λ1 = ± β1
Gambar 21 Diagram Bifurkasi dua dimensi untuk kasus β1 > 0, β 2 < 0 dan β1 < 0, β 2 > 0 F2
λ2 = ± −2 β1
(86)
dari kedua nilai tersebut dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kitis (83) merupakan sebuah titik Sadel, sedangkan titik kritis (84) merupakan titik Center. Kemudian untuk kasus β1 < 0 harga eigen
F1
yang terkait dengan masing-masing titik kritis diberikan oleh kedua nilai berikut: (87) λ1 = ± − β1
λ2 = ± 2 β1
Dari kedua nilai tersebut dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kritis (83) merupakan titik Center, sedangkan titik kritis (84) merupakan titik Sadel. Dengan demikian, dapat diperoleh bahwa kedua persamaan (76) dan(77) memilki hubungan simultan yang sama artinya jika β1 < 0 maka β 2 < 0 begitu pula sebaliknya,
Gambar 22 Diagram Bifurkasi dua dimensi untuk kasus β1 , β 2 = 0
(88)
F2
sebab jika hubungannya kontradiktif maka hanya menimbulkan satu buah titik kritis saja. ilustrasi gambar trayektori terkait dengan menggunakan “Mathematica dan Mapple11 diberikan pada gambar 24-27
F1
Plot Bidang Fase
4
berdasarkan gambar 20-23 tersebut, ternyata dari persamaan (77) bifurkasi yang terjadi merupakan bifurkasi Pitch-Fork. Kemudian untuk mengetahui bentuk aliran trayektori persamaan (76) dan (77) akan dibangun konstruksi matriks Jacobian yang sesuai dengan kedua persamaan tersebut yaitu:
2
F2HtL
Gambar 23 Diagram Bifurkasi dua dimensi untuk kasus β1 , β 2 > 0 dan β1 , β 2 < 0
0
-2
-4
-4
-2
F1 HtL 0
2
4
β1 < 0, β 2 < 0 dengan menggunakan Mathematica Gambar
24 Plot kasus
13
2. Analisa Sistem Dinamik Fungsi Eliptik Jacobi Pada Soliton Optik Nonlinear Pada pembahasan sebelumnya fungsi F tersebut masih berupa fungsi sembarang. Untuk soliton spasial punya dua jenis tipe soliton yakni “Bright Soliton” dan “Dark Soliton”. Pada kasus “Bright Soliton” fungsi F merupakan fungsi sech ζ x . Sedangkan
(
)
untuk “Dark Soliton” fungsi F merupakan fungsi tanh ζ x . Namun untuk penelitian
(
Gambar 25 Trayektori Kasus β1 < 0, β 2 < 0 dengan menggunakan Mapple Plot Bidang Fase
4
kali ini akan digunakan fungsi F yang merupakan fungsi dari Jacobian Eliptik sn (ζ x, k ) , cn (ζ x, k ) , dan dn (ζ x, k ) . Dimana parameter k menunjukan modulus yang terkontrol, sedangkan parameter zeta (ζ ) dapat dipandang sebagai frekuensi sudut. Untuk mendapatkan nilai kedua parameter tersebut, Pertama-tama substitusikan fungsi sn (ζ x, k ) ke persamaan (74) maka diperoleh: ⎧sn (ζ x, k ) ⎡ −ζ 2 + 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 k 2 ⎤ ⎫ ⎪ ⎣ ⎦⎪ = 0 ⎨ ⎬ 3 ⎪⎩− β1 sn (ζ x, k ) + β 2 sn (ζ x, k ) ⎪⎭ (89) dengan mengatur kembali persamaan (89) maka diperoleh:
2
F2 HtL
)
0
-2
⎧ ⎡ −ζ 2 + 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ⎤ ⎫⎪ ⎪ ⎢ ⎥⎬ = 0 sn ζ x , k ( ) ⎨ ⎢ζ 2 k 2 − β1 + β 2 sn (ζ x, k )2 ⎥ ⎪ ⎪⎩ ⎣ ⎦⎭
-4
F1 HtL Gambar 26 Plot untuk kasus β1 > 0, β 2 > 0 Dengan menggunakan Mathematica -4
-2
0
2
4
(90) (90), ternyata berdasarkan persamaan persamaan tersebut bisa dikelompokan 2 sehingga menurut fungsi sn (ζ x, k )
persamaan (90) menjadi: ⎡⎣ 2ζ 2 k 2 + β 2 ⎤⎦ sn (ζ x, k ) − ζ 2 − ζ 2 k 2 − β1 = 0 (91) dari persamaan (91) terlihat, bahwa dengan meyelesaikan persamaan (91) secara aljabar biasa maka akan diperoleh nilai dari koefisien zeta (ζ ) dan koefisien k . Berikut hasilnya: 2
k=±
−2 β 2 2ζ
(92)
2 β 2 − 4β1 (93) 2 kemudian substitusikan persamaan (93) ke persamaan (92), dalam hal ini gunakan nilai bertanda positif, sehingga diperoleh:
ζ =±
Gambar 27 Trayektori Kasus β1 > 0, β 2 > 0 dengan menggunakan Mapple
k=
−β2
β 2 − 2 β1
(94)
14
Langkah berikutnya, substitusikan fungsi cn (ζ x, k ) ke persamaan (74) maka akan didapatkan hasil: ⎧cn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 ⎤ − β cn (ζ x, k ) ⎫ ⎣ ⎦ 1 ⎪ ⎪ ⎨ ⎬=0 2 ⎡ ⎤ ⎪+ β 2 − cn (ζ x, k ) −1 + sn (ζ x, k ) ⎪ ⎣ ⎦ ⎩ ⎭
)
(
(95) dengan mengatur kembali persamaan (95), maka akan diperoleh: ⎧ ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 ⎤ ⎫⎪ ⎪ ⎥⎬ = 0 ⎨cn (ζ x, k ) ⎢ ⎢ − β1 + β 2 − β 2 sn (ζ x, k )2 ⎥ ⎪ ⎪⎩ ⎣ ⎦⎭ (96) dari persamaan (96) dapat diperoleh, bahwa persamaan (96) ternyata bisa dikelompokan berdasarkan fungsi sn (ζ x, k )2 sehingga persamaanya menjadi: ⎡⎣ 2ζ 2 k 2 − β 2 ⎤⎦ sn (ζ x, k ) − ζ 2 − β1 + β 2 = 0 (97) dengan demikian, dari persamaan (97) terlihat, bahwa dengan meyelesaikan persamaan (97) secara aljabar biasa maka akan diperoleh nilai dari koefisien zeta (ζ ) dan koefisien k . 2
Berikut hasilnya:
k=±
2β 2 2ζ
ζ = ± β 2 − β1
(98) (99)
kemudian substitusikan persamaan (99) ke persamaan (98), dalam hal ini gunakan nilai bertanda positif, sehingga diperoleh:
k=
2β 2
(100) 2 β 2 − β1 Setelah fungsi sn (ζ x, k ) dan cn (ζ x, k ) , berikut akan disubstitusikan fungsi dn (ζ x, k ) ke persamaan (74), sehingga diperoleh: ⎫ ⎧dn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 k 2 ⎤ ⎣ ⎦ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎛ − dn (ζ x, k ) ⎞⎬ = 0 ⎨ ⎟⎪ ⎪− β1 dn (ζ x, k ) + β 2 ⎜ ⎜ ⎡ −1 + k 2 sn (ζ x, k )2 ⎤ ⎟ ⎪ ⎪ ⎦ ⎠⎭ ⎝⎣ ⎩ (101) dengan mengatur kembali persamaan (101), maka akan diperoleh: ⎧ ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 k 2 ⎤ ⎫⎪ ⎪ ⎥⎬ = 0 x k dn ζ , )⎢ ⎨ ( ⎢ − β1 + β 2 − β 2 k 2 sn (ζ x, k )2 ⎥ ⎪ ⎪⎩ ⎣ ⎦⎭ (102)
sama halnya dengan cara yang diterapkan pada kedua fungsi sebelumnya, ternyata persamaan (102) bisa pula dikelompokan fungsi sn (ζ x, k )2 sehingga berdasarkan diperoleh hasil: 2 2 2 2 2 2 ⎣⎡ 2ζ k − β 2 k ⎦⎤ sn (ζ x, k ) − ζ k − β1 + β 2 = 0 (103) dengan demikian, dari persamaan (103) terlihat, bahwa dengan meyelesaikan persamaan (103) secara aljabar biasa maka akan diperoleh nilai dari koefisien zeta (ζ ) dan koefisien k . Berikut hasilnya:
k =±
ζ =±
β 2 − β1 ζ 2β 2
(104)
(105) 2 kemudian substitusikan persamaan (105) ke persamaan (104), dalam hal ini gunakan nilai bertanda positif, sehingga diperoleh: 2 β 2 − β1 (106) k= β2 dengan didapatkannya keseluruhan nilai dari parameter k dan zeta (ζ ) untuk keseluruhan fungsi sn (ζ x, k ) , cn (ζ x, k ) , dan dn (ζ x, k ) , maka akan bisa dianalisa secara satu per satu nilai kedua parameter tersebut yang cocok pada fungsinya masing-masing. Untuk fungsi sn (ζ x, k ) nilai parameter keduanya harus memenuhi syarat β1 , β 2 < 0 agar nilai dari parameter k dan zeta (ζ ) bernilai real, kemudian untuk fungsi cn (ζ x, k ) nilai dari parameter k dan zeta (ζ ) harus memenuhi syarat β1 , β 2 > 0 → β1 < β 2 atau β1 < 0, β2 > 0 . Sedangkan untuk fungsi dn(ζ x, k) syarat yang harus dipenuhi yaitu β1 < 0, β 2 > 0 atau β1 , β 2 > 0 . Dengan memasukan syarat tersebut ke parameter untuk fungsi masing masing, maka bisa ditinjau bentuk trayektori solusi dari masing-masing fungsi. Berikut ini tinjau kembali persamaan (76) dan (77), Hamiltonian yang cocok dengan persamaan tersebut yaitu: 1 β β H = F22 − 1 F12 + 2 F14 (107) 2 2 4 dimana persamaan (75) dan (76) memenuhi persamaan kanonik: ∂H F1 = (108) ∂F2
F2 = −
∂H ∂F1
(109)
15
mengingat pada titik (0,0) merupakan titik Sadel untuk syarat β1 , β 2 > 0 , maka nilai Hamiltonian untuk trayektori yang terkait dengan titik kritis tersebut adalah H = 0 . Dengan demikian, sambil memperhatikan kenyataan terdapat dua buah titik Center dan sebuah titik Sadel di titik asal, maka bentuk trayektori yang dimaksud diberikan pada gambar 28.
Berikut ini tinjau kembali persamaan (107), dengan mensubstitusikan fungsi eliptik Jacobi sn (ζ x, k ) , cn (ζ x, k ) , dan dn (ζ x, k ) secara bergantian ke parameter F1 , kemudian turunan pertama dari masing-masing fungsi Jacobian eliptik secara bergantian ke parameter F2 , lalu pilih nilai x = 0 . Maka akan didapatkan betuk trayektori solusi yang terkait ketiga fungsi eliptik tersebut. Untuk fungsi eliptikal Jacobi sn (ζ x, k ) syarat parameter yang harus dipenuhi yaitu β1 , β 2 < 0 . Sehingga bentuk trayektori yang dapat diperoleh diberikan pada gambar 30.
Gambar 28 Trayektori untuk H = 0 Sedangkan untuk titik kritis (0,0) yang merupakan titik Center untuk syarat β1 , β 2 < 0 , maka nilai hamiltonian yang terkait dengan titik kritis tersebut yaitu H = −β12 / 4β2 . Dengan demikian, sambil memperhatikan kenyataan terdapat dua titik Sadel dan sebuah titik Center di titik asal, maka bentuk trayektori yang dimaksud diberikan pada gambar 29.
Gambar 30 Trayektori fungsi sn (ζ x, k ) dengan kondisi k < 1 dan h > 0 dari gambar 30, dapat diketahui ternyata fungsi sn (ζ x, k ) berada di dalam trayektori yang terkait untuk Hamiltonian H = −β12 / 4β2 yang ditunjukan pada gambar 29. Pada gambar 30 dapat diketahui pula kondisi yang dipenuhi dari gambar ketika nilai h > 0 , nilai h disini menyatakan Fungsi hamiltonian ketika fungsi F1 dan F2 digantikan oleh fungsi eliptik. Kemudian untuk fungsi Jacobi cn (ζ x, k ) syarat parameter yang harus dipenuhi yaitu β1 , β 2 > 0 → β1 < β 2 . Dimana dalam koefisien β 2 ada parameter yang bersifat bebas yaitu
parameter A yang secara fisis melambangkan amplitudo pada persamaan. Dengan demikian ketika parameter A dipilih secara bebas dan berpengaruh langsung terhadap parameter β 2 Gambar 29 Trayektori untuk H = −β12 / 4β2
mengakibatkan muncul dua buah kondisi yaitu h > 0 dan h < 0 . Untuk kondisi h > 0 ternyata gambar trayektori solusinya berada di luar
16
trayektori untuk H = 0 , sedangkan kondisi h < 0 gambar trayektori solusinya berada di dalam. Artinya dengan memvariasikan nilai parameter β 2 yang terkait dengan parameter bebas A maka akan didapatkan dua kondisi yang berbeda. Namun kondisi tersebut tidak bisa ditebak secara bebas artinya ketika nilai h > 0 bukan berarti berada di luar trayektori solusi untuk gambar 28, sebab pada fungsi sn (ζ x, k ) kondisi yang diperoleh berada di
Untuk fungsi Jacobi dn(ζ x, k) sama halnya dengan fungsi jacobi cn (ζ x, k ) , namun syarat yang harus dipenuhi β1, β2 > 0 → β1 < β2 . Untuk memahaminya, perhatikan ilustrasi gambar 33 dan 34 berikut.
h > 0 dan ternyata berada di dalam trayektori solusi untuk H = −β12 / 4β2 . Berikut ini
ilustrasi yang didapat untuk kedua kondisi tersebut pada fungsi cn (ζ x, k ) .
Gambar 33 Trayektori fungsi dn(ζ x, k) dengan kondisi h < 0 dan k < 1
Gambar 31 Trayektori fungsi cn (ζ x, k ) dengan kondisi h < 0 dan k > 1
Gambar 34 Trayektori fungsi dn(ζ x, k) dengan kondisi h > 0 dan k > 1
Gambar 32 Trayektori fungsi cn (ζ x, k ) dengan kondisi h > 0 dan k < 1
berdasarkan gambar 31-34, ternyata memiliki keunikan tersendiri yaitu untuk gambar 31-32 untuk fungsi cn (ζ x, k ) antara nilai h dan k memiliki hibungan terbalik, sedangkan untuk gambar 33-34 antara nilai h dan k memiliki hubungan kesebandingan (lurus).
17
Untuk lebih memahami bentuk dari ketiga fungsi eliptik, maka berikut ini akan diilustrasikan bentuk fungsi eliptik secara masing-masing terhadap sumbu x pada koordinat cartesian dengan memenuhi kondisi syaratnya masing-masing.
Gambar 38 Plot Fungsi dn(ζ x, k) terhadap sumbu x dengan kondisi h < 0 dan k < 1 Gambar 35 Plot Fungsi sn (ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi k < 1 dan h > 0
Gambar 39 Plot Fungsi dn(ζ x, k) terhadap sumbu x dengan kondisi h > 0 dan k > 1 Gambar 36 Plot Fungsi cn (ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi h > 0 dan k < 1
Gambar 37 Plot Fungsi cn (ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi h < 0 dan k > 1
berdasarkan gambar 35-39 dapat dinyatakan pula bahwa untuk gambar 36 dan 39, ternyata plot yang dihasilkan berpotongan dengan sumbu x, sedangkan untuk gambar 37 dan 38 plot yang dihasilkan tidak berpotongan terhadap sumbu x. Dengan demikian untuk mendapatkan plot yang berpotongan dengan sumbu x maka kondisi yang harus dipenuhi yaitu ketika h > 0 . Kemudian berdasarkan gambar 35 jika dilihat secara mendalam ternyata serupa dengan bentuk grafik fungsi sinus pada fungsi trigonometri yang terkait dengan fungsi ganjil. Sedangkan untuk gambar 36 dan 39 ternyata serupa dengan grafik fungsi cosinus pada fungsi trigonometri yang terkait dengan fungsi genap. Untuk lebih memahami bentuk trayektori solusi ketiga fungsi eliptik yang telah ditunjukan pada gambar sebelumnya, maka
18
berikut ini akan diilustrasikan pada gambar 40 bentuk trayektori solusi gabungan ketiga fungsi eliptik. Gambar tersebut didapatkan dengan cara memplotkan ketiga fungsi eliptik yang direpresentasikan pada sumbu x terhadap fungsi turunan pertama dari ketiga fungsi eliptik masing-masing pada sumbu y. Lalu untuk membedakannya digunakan warna yang berbeda-beda, yaitu fungsi sn (ζ x, k ) berwarna biru, fungsi cn (ζ x, k ) berwarna hitam, dan fungsi dn(ζ x, k) berwarna merah.
Gambar 41 Trayektori solusi untuk fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) ketika k < 1
Gambar 40 Gabungan Trayektori untuk fungsi sn (ζ x, k ) , cn (ζ x, k ) , dan dn (ζ x, k ) berdasarkan ilustrasi gambar 40, dapat diketahui bahwa untuk trayektori fungsi sn (ζ x, k ) (biru) cocok dengan bentuk trayektori dua titik sadel dan satu titik Center di titik asal. Sedangkan untuk fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) (hitam dan merah) terkait dengan bentuk trayektori dua titik Center dan satu titik Sadel yang berada di titik asal. Dengan demikian bentuk trayektori masing-masing fungsi cocok dengan bentuk trayektori gabungan yang diilustrasikan pada gambar 40 di atas. Kemudian berdasarkan gambar 40, fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) dapat diklasifikasikan secara dua jenis, yaitu untuk jenis pertama terkait dengan kondisi k < 1 yang diilustrasikan pada gambar 41. Sedangkan untuk jenis kedua terkait dengan kondisi k > 1 yang ditunjukan pada gambar 42.
Gambar 42 Trayektori solusi untuk fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) ketika k > 1 Berdasarkan gambar 41 untuk kondisi
k < 1 trayektori solusi fungsi cn (ζ x, k ) berada
diluar trayektori gambar 28 yang ditunjukan oleh warna biru, sedangkan trayektori solusi fungsi dn(ζ x, k) berada di dalam trayektori gambar 28 yang ditunjukan oleh warna merah. Kemudian untuk gambar 42 berlaku kebalikannya yakni fungsi cn (ζ x, k ) yang ditunjukan warna biru berada di dalam trayektori solusi gambar 28, sedangkan untuk fungsi dn(ζ x, k) yang ditunjukan oleh warna merah berada di luar trayektori solusi gambar 28. Dengan demikian berdasarkan kedua
19
kondisi tersebut antara fungsi cn (ζ x, k ) dan
fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) terkait dengan
dn(ζ x, k) memiliki hubungan berkebalikan,
kondisi k yang berbeda yakni untuk k < 1 ditunjukan pada gambar 41, sedangkan untuk kondisi k > 1 ditunjukan pada gambar 42.
yang artinya untuk kondisi k berbeda maka trayektori solusinya akan saling bertukar tempat. Namun nantinya akan ada satu kondisi yang membuat kedua bentuk trayektori solusi memiliki bentuk yang sama. Kondisi yang dimaksud yakni ketika k = 1 .
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal penting yakni, yang pertama bifurkasi yang terjadi pada persamaan (74) merupakan proses bifurkasi Pitch-Fork, hal ini ditandai dengan kemunculan dua buah titik kritis bersifat stabil ketika kondisi β1 > 0, β2 > 0 Kemudian yang kedua bentuk trayektori yang didapat memilki syarat simultan yang artinya nilai β1 , β 2 > 0 dan β1 , β 2 < 0 , sebab jika kedua
parameter tersebut berbeda tanda maka hanya memilki satu buah titik kritis saja. Kemudian untuk trayektori solusi fungsi sn (ζ x, k ) kondisi yang harus dipenuhi yaitu
β1, β2 < 0 kemudian untuk fungsi cn (ζ x, k ) kondisi yang harus dipenuhi adalah β1 , β2 > 0 → β1 < β2 . dan untuk fungsi dn(ζ x, k) kondisinya sama dengan fungsi cn (ζ x, k ) yaitu β1, β2 > 0 → β1 < β2 . Kemudian berdasarkan gambar 40 dapat dilihat bahwa trayektori fungsi sn (ζ x, k ) terkait dengan titik Center yang berada di titik asal, sedangkan untuk fungsi cn (ζ x, k ) dan dn(ζ x, k) terkait dengan titik Sadel yang berada di titik asal. Berdasarkan gambar trayektori solusi ketiga buah fungsi eliptik ada beberapa hal yang perlu diingat yaitu yang pertama ketiga fungsi memiliki kondisi h yang berbeda-beda. Dalam hal ini tidak selalu bisa dipastikan untuk h < 0 berada di dalam trayektori solusi Hamiltonian, begitu pula sebaliknya. Faktor yang menyebabkan nilai h < 0 atau h > 0 berasal dari pemilihan parameter β 2 yang di dalamnya terkait dengan suatu parameter bebas yakni parameter A yang secara fisis dapat dipandang sebagai amplitudo persamaan. Dan nilai A yang dipilih harus selalu lebih besar dari nol, andaikan β 2 bernilai negatif hal itu terjadi bukan karena pemilihan nilai A , melainkan faktor parameter lain di dalam β 2 yang bernilai negatif. Kemudian yang kedua
2.
Saran Penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut, terutama secara kajian teoritik. Ada beberapa hal yang mungkin dilakukan yakni mengganti fungsi Eliptik Jacobi dengan fungsi-fungsi khusus lainnya seperti fungsi Beta, Gamma, dan Bassel. Dan untuk lebih menarik lagi dalam proses penelusuran persamaan secara eksak, bisa digunakan persamaan untuk solion Temporal, sehingga dalam hal ini dapat dilihat pengaruh waktu dalam proses penjalaran gelombang soliton.
20
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5]
[6] [7]
J.S. Russel, Report on Waves, Rep. 14th Meet. British. Assoc. Adv. Sci. 311-390 (John Murray, 1844). Y.S. Kivshar. 1998.“Bright and dark spatial solitons in non-Kerr media”, Opt. Quant. Electron, 30,571-614. H.Alatas. 2007. “Nonlinier Physics Lecture”. Departemen Fisika Fakultas MIPA IPB. Bogor. M.Wadati, M.Toda. 1972. J. Phys.Soc. Jpn. 32, 1403 V.E. Zakharov, A.B. Shabat. 1972. “Exact theory of two-dimensional selffocusing and one-dimensional selfmodulation of waves in nonlinier media”.Sov. Phys. JETP. 34, 62-69. M.Wadati. 1972. J. Phys. Soc. Jpn. 32, 1681. M.Wadati. 1973. J. Phys. Soc. Jpn. 34, 1289
[8] H.Alatas. 2008. “Mathematics of Physics Lectures”. Departemen Fisika Fakultas MIPA IPB. Bogor. [9] M.L. Boas. 1983. “Mathematical methods in the physical sciences”. John Wiley. [10] A. Ciattoni, C. Rizza, E. Delre, and E. Palange. 2007. “Counterpropagating spatial solitons in reflection gratings with a longitudinally modulated Kerr nonlinearity”. Phys.Rev.Lett.98, 043901. [11] H.Alatas, A.A. Kandi, A.A. Iskandar, and M.O. Tjia. 2008. “New class of bright spatial solitons obtained by Hirota’s method from generelized coupled mode equations of nonlinier optical Bragg grating”. J. Nonlin. Opt. Phys. And Mater. 17, 225-233. [12] H.Alatas, A.A. Iskandar, and M.O.Tjia. 2009. “Tailoring spatial solitons characteristics and its dynamical behaviour in nonlinear refelection gratings”. J. Opt. Soc. Of America B. [13] S. Hassani. 2000. “Mathematical methods for students of physics and related fields”. Springer.
21
LAMPIRAN
22
Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian
Penelusuran literatur
Sudah siap
Analisa Sistem Dinamik Solusi Eksak 1 Soliton Persamaan NLS
Aplikasi Mapple 11
Analisa Sistem Dinamik Solusi Eksak 1 Soliton Persamaan Sistem Optik Periodik
Integral Eliptik Dan Fungsi Eliptik Jacobian
Analisa Hasil Solusi 1 Eksak Sistem Optik Periodik Secara Sistem Dinamik dan Hasil Dari Mapple 11
Penyusunan laporan
23
Lampiran 2 Penurunan Eksak Solusi Soliton Nonlinear Schroedinger (NLS) Melalui Pendekatan Sistem Dinamik. Persamaan umum untuk Soliton Nonlinear Schroedinger (NLS) yaitu:
i
∂E ∂2 E 2 − β 2 +σ E E = 0 ∂z ∂t
(1)
2 dimana E merupakan medan selubung dari pulsa listrik, sedangkan β ∼ d ω merupakan parameter dk 2 yang terkait dengan dispersi dari kecepatan grup dan σ ∼ χ ( 3) terkait dengan suseptibilitas orde tiga dari medium yang dilalui. Berikut ini akan dicari solusi bagi persamaan NLS dalam bentuk sebagai berikut:
E ( z , t ) = u ( t ) eiκ z
(2)
dengan u ( t ) meupakan sebuah fungsi riil. Berikut ini tahapan penyelesaiannya:
∂ 2u + σ u3 = 0 ∂t 2 du d 2u du du −κ u −β 2 + σ u3 =0 dt dt dt dt 2 1 d ⎡ ⎛ du ⎞ σ 4 ⎤ 2 − − κ β u ⎢ ⎜ ⎟ + u ⎥=0 2 dt ⎣⎢ ⎝ dt ⎠ 2 ⎦⎥ −κ u − β
(3)
2
⎛ du ⎞ σ −κ u 2 − β ⎜ ⎟ + u 4 = c 2 ⎝ dt ⎠
(4)
dimana c merupakan sebuah konstanta. Selanjutnya dengan membatasi diri pada solusi yang memilki kondisi du → 0 dan u → 0 pada t → ±∞ sehingga mengimplikasikan c = 0 . Dari sini dt persamaan (4) dapat diatur kembali menjadi: 2
1 ⎛ du ⎞ ⎜ ⎟ = β ⎝ dt ⎠
σ 4⎤ ⎡ 2 ⎢⎣ −κ u + 2 u ⎥⎦
(5)
σ ⎤ ⎡ −κ u 2 + u 4 ⎥ ⎢ du 2 ⎦ = ⎣ β dt du dt du dt = →∫ =∫ 2κ 2β 2κ 2β + u2 + u2 u − u − σ σ σ σ
(6)
Untuk menyelesaikan integral pada ruas kiri akan dimisalkan sebuah fungsi u = 2κ sinψ dan σ 2κ du = cosψ dψ , sehingga persamaan (6) bisa dituliskan: σ
2κ
∫
σ 2κ
σ 2κ
∫
σ 2κ
σ
sinψ −
cosψ dψ
sinψ −
2κ
σ
2κ
cosψ dψ
cosψ
2κ
σ
+
→∫
2κ
σ
sin 2 ψ
→∫
σ 2κ
σ
sinψ −
dψ 1 → 2κ 2κ sinψ − −
σ
cosψ dψ
σ
dψ
2κ
σ
∫ sinψ
(
→
1 − sin 2 ψ
1 2κ −
σ
)
∫ cosecψ dψ
(7)
24
1 2κ −
∫ cosecψ dψ →
σ
1 ⎧ ⎡ 1 cosψ ⎤ ⎫ − ⎨ln ⎢ ⎥⎬ 2κ ⎩ ⎣ sinψ sinψ ⎦ ⎭ −
σ
Nyatakan kembali persamaan (8) dalam variabel u :
u=
2κ
σ
2κ sinψ → sinψ =
u ↔ cosψ = 2κ
σ
σ
⎧ ⎡ ⎪ ⎢ ⎪ ⎢ ⎪ ⎢ 2κ 1 ⎧ ⎡ 1 cosψ ⎤ ⎫ 1 ⎪⎪ ⎢ σ − − ⎨ln ⎢ ⎨ln ⎢ ⎥⎬ → 2κ ⎩ ⎣ sinψ sinψ ⎦ ⎭ 2κ ⎪ ⎢ u − − σ σ ⎪ ⎢ ⎪ ⎢ ⎪ ⎢ ⎩⎪ ⎣⎢
⎤⎫ − u2 ⎥⎪ 1 σ ⎥ ⎬⎪ → u 2κ ⎥⎪ − ⎥⎪ σ ⎦⎭
2κ
⎤⎫ − u2 ⎥⎪ σ ⎥⎪ 2κ ⎥ ⎪ ⎥ ⎪⎪ σ ⎥⎬ u ⎥⎪ 2κ ⎥ ⎪ ⎥⎪ σ ⎥⎪ ⎦⎥ ⎭⎪
2κ
⎧ ⎡ 2κ 2κ − u2 − ⎪ ⎢ ⎪ ⎢ σ σ ⎨ln u ⎢ ⎪ ⎪⎩ ⎢⎣
⎧ ⎡ ⎛ u 2σ ⎞ ⎤ ⎫ ⎪ ⎢ ⎜ 1− 1− ⎟⎥ ⎪ 1 ⎪ ⎢ 2κ ⎜ 2κ ⎟ ⎥ ⎪ ln ⎨ ⎬ ⎟⎥ ⎪ u 2κ ⎪ ⎢ σ ⎜ − ⎢ ⎥ ⎜ ⎟ σ ⎩⎪ ⎣ ⎝ ⎠ ⎦ ⎭⎪ Sedangkan pengintegralan untuk ruas kanan persamaan (6) didapat: dt t ∫ 2β = 2β
σ
(9) (8)
2κ
σ
⎧ ⎡ 2κ 1 ⎪⎪ ⎢ σ − ⎨ln ⎢ 2κ ⎪ ⎢ u − σ ⎪⎩ ⎢⎣
− u2
⎤⎫ ⎥ ⎪⎪ ⎥⎬ ⎥⎪ ⎥⎪ ⎦⎭
(10)
(11)
(12)
(13)
σ
Dengan demikian persamaan yang harus dipecahkan adalah:
⎧ ⎡ ⎛ u 2σ ⎪ ⎢ ⎜ 1− 1− 1 ⎪ ⎢ 2κ ⎜ 2κ ⎨ln ⎢ ⎜ σ u 2κ ⎪ − ⎢ ⎜ σ ⎪⎩ ⎣ ⎝
⎡ ⎛ u 2σ ⎢ ⎜ 1− 1− 2κ ⎜ 2κ ln ⎢ ⎢ σ ⎜ u ⎢ ⎜ ⎝ ⎣
⎞⎤ ⎫ ⎟⎥ ⎪ ⎟ ⎥ ⎪⎬ = ⎟⎥ ⎪ ⎟⎥ ⎪ ⎠⎦ ⎭
t 2β
(14)
σ
⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ = − κ t ⎟⎥ β ⎟⎥ ⎠⎦
(15)
Dari persamaan (15) akan diperoleh nilai untuk u, berikut penelusurannya:
⎡ ⎛ u 2σ ⎢ ⎜ 1− 1− 2κ ⎢ 2κ ⎜ ⎢ σ ⎜ u ⎢ ⎜ ⎝ ⎣
⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ = e ⎟⎥ ⎟⎥ ⎠⎦
−
κ t β
(16)
25
−
e
κ t β
=
2κ
1− 1− u
u 2σ 2κ → u e
−
κ t β
−
κ
u 2σ u 2σ ue β = 1− 1− → 1− = 1− 2κ 2κ 2κ 2κ
σ
σ
t
(17)
σ
2
⎡ ⎡ κ ⎤ κ κ ⎤ 2 − t − t − t β ⎥ β 2 2 ⎢ ⎢ ⎡ uσ⎤ ⎡ uσ⎤ ue 2u e u e β ⎥ ⎥ → ⎢1 − ⎥ + ⎢1 − ⎥ = ⎢1 − ⎥ = ⎢1 − 2κ ⎥ 2κ ⎦ ⎢ 2κ ⎦ ⎢ 2κ ⎥ 2κ ⎣ ⎣ ⎢ ⎢ ⎥ σ σ ⎥⎦ σ ⎣ ⎣ ⎦ 2
2 −
u2 e 2κ
κ t β
σ
κ
−
2 −
t
κ 2 − t β
2κ
⎤ + 1⎥ ⎥⎦ 2 e =
κ t β
−
2κ
2κ u= σ 2κ
σ u (t ) =
2κ
σ 2 −
e
e
κ t β
κ
→u =
2e 2 −
e
κ − t β
↔ u (t ) = +1
κ t β
κ t β
κ t β
2 →u =
2κ
σ 2 −
+1
e
(19)
2κ ⎡ 2 σ ⎢e ⎢⎣
2κ
σ
−
t
σ
−
2e
σ
2
−
t
σ
σ
⎡ uσ ⎢ e ⎢⎣
κ
u 2σ 2u e β ue β uσ 2 e β + − =0→ + = 2κ 2κ 2κ 2κ 2κ
(18)
−
e
κ t β
−
κ t β
(20)
⎤ + 1⎥ ⎥⎦
κ t β
(21)
+1
⎛ 2et 2κ κ sech ⎜⎜ − = sech ( t ) ↔ u ( t ) = 2t 1+ e σ β ⎝
⎞ t ⎟⎟ ⎠
(22)
Untuk melihat makna dari solusi soliton NLS persamaan (22) dalam bahasa dinamika sistem, maka tinjau kembali persamaan (3) dalam bentuk PDB orde satu dengan memisalkan u = u1 dan u2 = u didapatkan:
u1 =
u2
(23a)
β
u2 = −κ u1 + σ u13 Jelas terlihat bahwa titik-titik kritis untuk sistem persamaan (23) adalah: u1 = 0, u2 = 0
κ u1 = ± ,u =0 σ 2
(23b) (24a) (24b)
Berikut ini akan disusun konstruksi matriks Jacobian yang sesuai untuk persamaan (23), berikut penelusurannya:
⎛ ∂U1 ⎜ ∂u A=⎜ 1 ⎜ ∂U 2 ⎜ ∂u ⎝ 1 A( 0,0)
⎛ 0 =⎜ ⎜ ⎜ −κ ⎝
∂U1 ⎞ ⎛ 0 ∂u2 ⎟ ⎟→ A=⎜ ⎜ ∂U 2 ⎟ 2 ⎜ ⎟ ⎝ −κ + 3σ u1 ∂u2 ⎠
1⎞ ⎛ −λ β ⎟ → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ ⎟ ⎜ ⎜ −κ 0 ⎟⎠ ⎝
1⎞
β⎟
⎟ 0 ⎠⎟ 1 ⎞ β ⎟=0 ⎟ −λ ⎟⎠
(25)
(26)
26
λ2 +
κ κ κ = 0 → λ 2 = − → λ = ± − ( center ) β β β
⎛ 0 =⎜ ⎜ ⎜ ⎝ 2κ
1⎞
⎛
(27)
1 ⎞
−λ β ⎟ → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ β ⎟=0 A⎛ κ ⎞ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜⎜ ± σ ,0 ⎟⎟ ⎝ ⎠ 0 ⎟⎠ ⎝ 2κ −λ ⎠ 2κ 2κ 2κ = 0 → λ2 = →λ =± λ2 − ( sadel ) β β β
(28)
(29)
Untuk kasus β > 0 dan κ > 0 dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kritis (24a) merupakan sebuah titik center, sedangkan titik kritis (24b) merupakan titik sadel. Sedangkan untuk kasus β < 0 dan κ > 0 berikut penelusurannya:
A( 0,0)
⎛ 0 =⎜ ⎜ ⎜ −κ ⎝
λ2 −
A⎛
κ ⎞ ⎜⎜ ± σ ,0 ⎟⎟ ⎝ ⎠
⎛ 0 =⎜ ⎜ ⎜ ⎝ 2κ
λ2 +
2κ
β
1⎞ ⎛ −λ ⎟ ⎜ β → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎟ ⎜ ⎜ −κ 0 ⎟⎠ ⎝
−
1⎞ β ⎟=0 ⎟ −λ ⎟⎠
−
κ κ κ = 0 → λ2 = → λ = ± ( sadel ) β β β 1⎞ ⎛ −λ ⎟ β → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ ⎟ ⎜ ⎜ 0 ⎠⎟ ⎝ 2κ
−
= 0 → λ2 = −
2κ
β
→λ =± −
2κ
β
(30)
(31)
1⎞ β ⎟=0 ⎟ −λ ⎠⎟
−
( center )
Untuk kasus β < 0 dan κ > 0 dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kritis (24a) merupakan sebuah titik sadel, sedangkan titik kritis (24b) merupakan titik center. Dengan demikian untuk solusi persamaan NLS kondisi yang harus dipenuhi adalah β < 0 dan κ > 0 agar fungsi u merupakan fungsi riil. Dan secara teoritis kondisi perambatan dengan β < 0 terkait dengan keadaan dispersi anomali.
(32)
(33)
27
Lampiran 3 Penurunan Eksak Solusi Soliton Sistem Optik Periodik Melalui Pendekatan Analisis Sistem Dinamik Dengan Untuk F Sembarang. Persamaan umum untuk sistem optik periodik:
)U + c U + ( b ( U + 2 U )U + b U U + b U U = 0 ˆ PU − ηU + b ( U + 2 U )U + c U + b ( U + 2 U )U + b U U + b U U = 0 2 Pˆf U f − ηU f + b0 U f + 2 U b 2
2
N
b
b
b
b
0
2
N
N
f
f
Dimana nilai η = k − 1 dan D = k 2 Nk B Nk B
N
b
* f
2N
(1)
2 b
2
b
b
* b
f
2
f
f
2
f
2
b
2
b
2 b
N
* f
N
2N
f
* b
(2)
2 f
sedangkan operator persamaan diferensial yang
2 2 digunakan adalah Pˆf = i∂ + D∂ dan Pˆb = − i∂ + D∂ . Pada persamaan diatas diperkenalkan 2 2 ∂z ∂x ∂z ∂x fungsi ansatz yaitu:
U f = AF ( x ) e
iK f z
U b = BF ( x ) e−iKb z
(3)
Dimana F merupakan fungsi real, sedangkan A,B, dan Kf(b) sebagai parameter konstan, dengan mengambil nilai K b = − K f = K , akan didapatkan solusi non trivial untuk fungsi F, berikut penelusurannya:
⎡ i∂ D∂ 2 ⎤ Pˆf U f = ⎢ + 2 ⎥ AFe −iKz ⎣ ∂z ∂x ⎦
(4)
d 2F i∂ D∂ 2 AFe− iKz + 2 AFe−iKz → AFKe−iKz + AD 2 ∂z ∂x dx
(5)
⎡ i∂ D∂ 2 ⎤ − iKz ˆ PU = b b ⎢ − + 2 ⎥ BFe z x ∂ ∂ ⎣ ⎦
(6)
(
−
)
(
)
i∂ D∂ 2 d 2F BFe−iKz + 2 BFe−iKz → − BFKe−iKz + BD 2 ∂z ∂x dx
(
)
(
)
ηU f = η ( AFe−iKz ) = AFη e−iKz
c N U b = c N BFe − iKz = c N BFe − iKz
ηU b = η ( BFe − iKz ) = BFη e − iKz
cNU f = cN
Uf
2
= AFe − iKz AFeiKz → A2 F 2
( ) ( AFe ) = c − iKz
N
AFe − iKz
2
U b = BFe−iKz BFeiKz → B 2 F 2
2
U f U b = ⎡⎣ A2 F 2 ⎤⎦ BFe −iKz = A2 BF 3e −iKz
2
U b U b = ⎡⎣ B 2 F 2 ⎤⎦ BFe−iKz = B3 F 3e−iKz
U f U f = ⎡⎣ A2 F 2 ⎤⎦ AFe − iKz = A3 F 3e − iKz
U b U f = ⎡⎣ B 2 F 2 ⎤⎦ AFe−iKz = AB 2 F 3e−iKz 2
U 2f = ⎡⎣ AFe− iKz ⎤⎦ = A2 F 2 e −2iKz
2
2
2
U b2 = ⎡⎣ BFe −iKz ⎤⎦ = B 2 F 2 e −2iKz
U 2f U b* = ⎡⎣ A2 F 2 e −2iKz ⎤⎦ BFeiKz = A2 BF 3e − iKz U b2U *f = ⎡⎣ B 2 F 2 e −2 iKz ⎤⎦ AFeiKz = AB 2 F 3e − iKz
(7)
28
( b (U
2
b0 U f + 2 U b
2
2
2
N
b
+2Uf
)U → b U )U → b U
2
f
0
f
b
N
b
2
2
U f + 2b0 U b U f → b0 A3 F 3e − iKz + 2b0 AB 2 F 3e − iKz 2
U b + 2bN U f U b → bN B 3 F 3e − iKz + 2bN A2 BF 3e − iKz
bNU f 2U b* = bN ⎡⎣ A2 BF 3e − iKz ⎤⎦ = bN A2 BF 3e − iKz
(
b2 N U *f U b2 = b2 N ⎡⎣ AB 2 F 3e − iKz ⎤⎦ = b2 N AB 2 F 3e − iKz 2
2
b0 U b + 2 U f
(
2
bN U f + 2 U b
2
)U
)U
f
b
2
2
2
2
→ b0 U b U b + 2b0 U f U b → b0 B 3 F 3e − iKz + 2b0 A2 BF 3e − iKz → bN U f U f + 2bN U b U f → bN A3 F 3e −iKz + 2bN AB 2 F 3e − iKz
bN U *f U b2 = bN ⎡⎣ AB 2 F 3e − iKz ⎤⎦ = bN AB 2 F 3e − iKz b2 N U f 2U b* = b2 N ⎡⎣ A2 BF 3e − iKz ⎤⎦ = b2 N A2 BF 3e − iKz d 2F − ⎡(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F + ⎡⎣b0 A ( A2 + 2 B 2 ) + bN B ( 3 A2 + B 2 ) + b2 N AB 2 ⎤⎦ F 3 = 0 dx 2 ⎣ d 2F BD 2 − ⎡⎣(η + K ) B − cN A⎤⎦ F + ⎡⎣b0 B ( 2 A2 + B 2 ) + bN A ( A2 + 3B 2 ) + b2 N BA2 ⎤⎦ F 3 = 0 dx Untuk menyelesaikan 2 persamaan diferensial orde 2 diatas, maka dilakukan penyetaraan kedua persamaan tersebut, berikut penelusurannya: AD
(
)
(
)
(
)
(
)
2 2 2 2 2 3 d 2 F ⎡⎣(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F ⎡⎣b0 A A + 2 B + bN B 3 A + B + b2 N AB ⎦⎤ F =0 − + dx 2 AD AD 2 2 2 2 2 3 d 2 F ⎡⎣(η + K ) B − cN A⎤⎦ F ⎣⎡b0 B 2 A + B + bN A A + 3B + b2 N BA ⎦⎤ F =0 − + dx 2 BD BD Dari kedua persamaan tersebut setarakan berdasarkan masing-masing koefisien F dan F3, berikut penelusurannya untuk koefisien F:
(8)
(9)
(10) (11)
⎡⎣(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F ⎡⎣(η + K ) B − cN A⎤⎦ F = AD BD
(12)
B ⎡⎣(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F = A ⎡⎣(η + K ) B − cN A ⎤⎦ F
(13)
ABη − ABK − B cN = ABη + ABK − A cN
(14)
⎡ A − B ⎤⎦ cN 2 ABK = ⎡⎣ A2 − B 2 ⎤⎦ cN → K = ⎣ 2 AB
(15)
2
2
2
2
Berikut ini penelusuran untuk koefisien F3:
(
)
(
)
(
)
(
)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 ⎡ ⎤ 3 ⎡ ⎤ 3 ⎣b0 A A + 2 B + bN B 3 A + B + b2 N AB ⎦ F = ⎣b0 B 2 A + B + bN A A + 3B + b2 N BA ⎦ F AD BD ⎡b0 AB ( A2 + 2 B 2 ) + bN B 2 ( 3 A2 + B 2 ) + b2 N AB 3 ⎤ = ⎡b0 AB ( 2 A2 + B 2 ) + bN A2 ( A2 + 3B 2 ) + b2 N BA3 ⎤ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦
b0 A3 B + 2b0 AB 3 + 3bN A2 B 2 + bN B 4 + b2 N AB 3 = 2b0 A3 B + b0 AB 3 + 3bN A2 B 2 + bN A4 + b2 N BA3 b0 AB 3 + bN B 4 + b2 N AB 3 = b0 A3 B + bN A4 + b2 N BA3
[b0 + b2 N ] AB3 + bN B 4 = [b0 + b2 N ] A3 B + bN A4 [b0 + b2 N ] A3 B + bN A4 − [b0 + b2 N ] AB3 − bN B 4 = 0 bN A4 − bN B 4 + [b0 + b2 N ] ⎡⎣ A3 B − AB 3 ⎤⎦ = 0
(16)
29
bN ⎡⎣ A4 − B 4 ⎤⎦ + AB [b0 + b2 N ] ⎡⎣ A2 − B 2 ⎤⎦ = 0 bN ⎡⎣ A2 + B 2 ⎤⎦ + AB [b0 + b2 N ] = 0 A2bN + AB [b0 + b2 N ] + B 2bN = 0
− A [b0 + b2 N ] ± A2 [b0 + b2 N ] − 4 A2bN 2 2
±
B =
(17)
2bN
− A [b0 + b2 N ] ± A2 ⎡[b0 + b2 N ] − 4bN 2 ⎤ ⎣ ⎦ B = 2bN 2
±
2 − A [b0 + b2 N ] ± A ⎡[b0 + b2 N ] − 4bN 2 ⎤ ⎣ ⎦ B = 2bN ±
misal → ⎡[b0 + b2 N ] − 4bN 2 ⎤ = Γ ⎣ ⎦ 2
B± =
− A [b0 + b2 N ] ± A Γ 2bN
⎧⎪ − [b0 + b2 N ] ± Γ ⎫⎪ ± → B± = ⎨ ⎬A 2bN ⎪⎩ ⎪⎭
⎡ − [b0 + b2 N ] ± Γ ⎤ B ± = α ± A± → α ± = ⎢ ⎥ 2bN ⎥⎦ ⎣⎢ 3 Masukan persaman (21) ke persamaan untuk koefisien F (10), berikut penelusurannya:
(
)
(
)
(18)
(19) (20)
(21)
⎡b0 A A2 + 2 B 2 + bN B 3 A2 + B 2 + b2 N AB 2 ⎤ F 3 ⎣ ⎦ AD
(22)
B ⎡ 2 2 2 2 2⎤ 3 ⎢⎣b0 A + 2 B + bN A 3 A + B + b2 N B ⎥⎦ F D
(23)
αA ⎡ 2 2 2 2 2 2 2 2⎤ 3 ⎢⎣b0 A + 2α A + bN A 3 A + α A + b2 N α A ⎥⎦ F D
(24)
(
)
(
(
)
(
)
(
)
)
(
)
⎡b0 1 + 2α 2 + bN α 3 + α 2 + b2 N α 2 ⎤ A2 F 3 ⎣ ⎦ D
(25)
⎡b0 (1 + 2α 2 ) + bN ( 3α + α 3 ) + b2 N α 2 ⎤ A2 F 3 ⎣ ⎦ D
(26)
(
)
(
)
⎡b0 1 + 2α 2 + bN 3α + α 3 + b2 N α 2 ⎤ A2 ⎦ misal : β 2 = ⎣ D Kemudian masukan persamaan B (21) ke persamaan K (15), berikut penelusurannya:
⎡ A2 − B 2 ⎤⎦ cN ⎡ A2 − α 2 A2 ⎤⎦ cN ⎡⎣1 − α 2 ⎤⎦ cN A2 ⎡⎣1 − α 2 ⎤⎦ cN K=⎣ K →K = ⎣ →K = → = 2 AB 2 A (α A ) 2α A2 2α
(27)
(28)
Setelah itu masukan nilai K (28) ke persamaan untuk koefisien F (10):
B⎤ ⎡ η − K ) − cN ⎥ F ⎡⎣(η − K ) A − cN B ⎤⎦ F ⎢⎣( A⎦ = AD D
(29)
30
⎡⎛ ⎡1 − α 2 ⎤⎦ cN ⎢⎜η − ⎣ 2α ⎢⎜ ⎣⎝ D
⎞ α A ⎤⎥ ⎟ − cN F ⎟ A ⎥ ⎠ ⎦ =
⎡⎛ 2αη − ⎡1 − α 2 ⎤ cN − 2α 2 cN ⎣ ⎦ ⎢⎜ ⎜ 2 α ⎢⎝ ⎣ D
⎡⎛ 2αη ⎡1 − α 2 ⎤ cN ⎦ ⎢⎜ −⎣ ⎜ α α 2 2 ⎢⎝ ⎣ D
⎤ ⎞ ⎟ − α cN ⎥ F ⎟ ⎥ ⎠ ⎦
⎞⎤ ⎟⎥ F ⎡ 2αη − ⎡1 − α 2 ⎤ cN − 2α 2 cN ⎤ F ⎟⎥ ⎣ ⎦ ⎠⎦ ⎣ ⎦ = 2α D
(
(
)
(
)
)
⎡ 2αη − cN + α 2cN − 2α 2 cN ⎤ F ⎡ 2αη − ⎡⎣1 + α 2 ⎤⎦ cN ⎤ F ⎣ ⎦ =⎣ ⎦ 2α D 2α D
(
)
⎡ 2αη − ⎡1 + α 2 ⎤ cN ⎤ ⎣ ⎦ ⎦ misal : β1 = ⎣ 2α D Dengan demikian didapatkanlah set persamaan diferensial orde 2 dalam bentuk:
d 2F − β1 F + β 2 F 3 = 0 2 dx
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
Setelah itu, dengan memisalkan nilai F = F1 dan F = F2 , maka didapatkan set persamaan diferensial orde 1 sebagai berikut:
F1 = F2
(35a)
F2 = β1 F1 − β F
3 2 1
(35b)
Untuk persamaan (35) didapatkan titik kritis ketika F1 = 0 , dan F = ± β1 . Dapat dengan mudah 1 β2 dibuktikan untuk β1 < 0 dan β 2 < 0 hanya terdapat satu buah titik kritis yaitu F1 = 0 dengan persamaan linear terkait diberikan oleh:
F = β1 F1 − β 2 F13 → F = β1 − 3β 2 F12 → F1 = 0 ↔ F = β1 F
(36)
dengan λ0 = β1 . Sedangkan untuk kondisi β1 > 0 dan β 2 > 0 terdapat tiga buah titik kritis yaitu F1 = 0 dan F1 = ±
β1 dengan persamaan linearnya diberikan oleh: β2
F = β1 F1 − β 2 F13 → F = β1 − 3β 2 F12 → F1 = ±
β1 ↔ F = −2β1 F ↔ λ1,2 = −2β1 β2
Untuk F = ± β1 dengan λ1,2 = −2 β1 dan untuk F1 = 0 dengan λ0 = β1 memiliki persamaan linear 1 β2 yang sama dengan persamaan (36). Berdasarkan persamaan (36), untuk β1 < 0 dan β 2 < 0 titik kritis terkait merupakan titik sadel yang bersifat stabil. Sedangkan untuk β1 > 0 dan β 2 > 0 titik sadel tersebut bersifat tidak stabil, tetapi di pihak lainnya untuk titik kritis F = ± β1 berdasarkan persamaan (37) keduannya 1 β2 bersifat stabil. Bifurkasi semacam ini dikenal sebagai bifurkasi pitch-fork dengan diagram bifurkasi sebagai berikut:
(37)
31 F
β1, β2
Gambar 1 Setelah diketahui bifurkasi yang terjadi, berikut ini akan diketahui juga perilaku trayektori sistem PDB orde satu yang didapatkan pada persamaan (35), dengan memanfaatkan penyelesaian persamaan dengan menggunakan konstruksi matriks Jacobian diperoleh hasil untuk kasus β1 > 0 :
⎛ ∂f1 ⎜ ∂F A=⎜ 1 ⎜ ∂f 2 ⎜ ∂F ⎝ 1
∂f1 ⎞ ∂F2 ⎟ 0 ⎟ → A = ⎜⎛ 2 ∂f 2 ⎟ ⎝ β1 − 3β 2 F1 ∂F2 ⎟⎠
1⎞ ⎟ 0⎠
(38)
⎛ 0 1⎞ ⎛ −λ 1 ⎞ A( 0,0) = ⎜ ⎟ → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ ⎟=0 ⎝ β1 0 ⎠ ⎝ β1 −λ ⎠ λ 2 − β1 = 0 → λ 2 = β1 → λ = ± β1 [ Sadel ]
A⎛
β ⎞ ⎜⎜ ± 1 ,0 ⎟⎟ β2 ⎠ ⎝
1⎞ ⎛ 0 ⎛ −λ =⎜ ⎟ → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ ⎝ −2β1 0 ⎠ ⎝ −2 β1
1 ⎞ ⎟=0 −λ ⎠
λ 2 + 2 β1 = 0 → λ 2 = −2 β1 → λ = ± −2β1 [Center ]
(39) (40) (41) (42)
Sedangkan untuk kasus β1 < 0 didapatkan hasil:
⎛ ∂f1 ⎜ ∂F A=⎜ 1 ⎜ ∂f 2 ⎜ ∂F ⎝ 1
∂f1 ⎞ ∂F2 ⎟ 0 ⎟ → A = ⎜⎛ 2 ∂f 2 ⎟ ⎝ − β1 − 3β 2 F1 ⎟ ∂F2 ⎠
1⎞ ⎟ 0⎠
(43)
⎛ 0 1⎞ ⎛ −λ 1 ⎞ A( 0,0) = ⎜ ⎟ → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ ⎟=0 ⎝ − β1 0 ⎠ ⎝ − β1 −λ ⎠ λ 2 + β1 = 0 → λ 2 = − β1 → λ = ± − β1 [Center ] A⎛
β ⎞ ⎜⎜ ± 1 ,0 ⎟⎟ β2 ⎠ ⎝
⎛ 0 1⎞ ⎛ −λ =⎜ ⎟ → det ( A − λ I ) = 0 → det ⎜ ⎝ 2 β1 0 ⎠ ⎝ 2 β1
1 ⎞ ⎟=0 −λ ⎠
λ 2 − 2 β1 = 0 → λ 2 = 2 β1 → λ = ± 2 β1 [ Sadel ] Dari kedua kasus diatas terdapat dua buah pola trayektori yang berbeda satu sama lainnya yang ternyata kedua persamaan diatas dipengaruhi langsung oleh koefisien β1 yang berhubungan pecahan akar dengan β 2 ,artinya antara kedua koefisien terdapat hubungan simultan yang sama yaitu β1β 2 > 0, β1β 2 < 0 untuk pola seperti kedua kasus di atas, soalnya andai hubungan keduanya tidak sama maka hanya menimbulkan satu buah titik kritis saja.
(44) (45) (46) (47)
32
Lampiran 4 Integral Dan Fungsi Eliptik Tinjau bentuk integral berikut ini: ϕ
F (ϕ , k ) = ∫ 0
dϕ 1 − k 2 sin 2 ϕ
(1)
yang dinamakan sebagai integral eliptik jenis pertama dan: ϕ
E (ϕ , k ) = ∫ 1 − k 2 sin 2 ϕ dϕ
(2)
0
sebagai integral eliptik jenis kedua. Dimana k dengan rentang 0 ≤ k ≤ 1 dinamakan sebagai modulus dan ϕ amplitudo dari integral eliptik (1) dan (2). Integral eliptik dinamakan integral eliptik lengkap jika amplitudonya ϕ = π . 2 Integral (1) dan (2) merupakan bentuk integral eliptik versi legendre. Melalui transformasi: x = sin ϕ dengan dϕ = dx sehingga diperoleh bentuk lain sebagai berikut: 1 − x2 x
dx
F ( x, k ) = ∫
(1 − x )(1 − k x ) 2
0
2 2
1 − k 2 x2 dx 1 − x2 0 yang dinamakan integral eliptik versi Jacobi. Bentuk integral eliptik baik dalam versi Legendre maupun Jacobi tidak dapat secara umum dievaluasi secara analitik. Nilai-nilainya untuk amplitudo tertentu disediakan dalam bentuk tabel yang diperoleh secara numerik. Tinjau bentuk integral eliptik Jacobi (3). Jika diambil k = 0 maka dapat dengan mudah diperoleh: x dx u=∫ = sin −1 x 2 x 1 − 0 dimana u ≡ F ( x, 0 ) , jika dilakukan inversi terhadap persamaan (5) maka diperoleh hasil sin u = x .
(3)
x
E ( x, k ) = ∫
(4)
(5)
Dengan memperluas cara pandang di atas untuk kasus k ≠ 0 dan dengan mendefinisikan secara umum u ≡ F ( x, k ) , maka serupa dengan persamaan (5) dapat dituliskan bentuk bagi sembarang integral eliptik terkait: x
u=∫ 0
dx
(1 − x )(1 − k x ) 2
2
2
= sn −1 x
(6)
dan serupa pula dengan persamaan (5), invers persamaan (6) adalah sn u = x = sin ϕ . Dimana secara khusus sn u dinamakan fungsi eliptik Jacobi. Mirip dengan fungsi trigonometrik, dapat pula didefinisikan fungsi eliptik Jacobi cn u melalui hubungan:
cn u = 1 − sn 2 u = cos ϕ
(7)
tinjau kembali integral eliptik versi Legendre pada persamaan (1), jelas terlihat:
du 1 = 2 dϕ 1 − k sin 2 ϕ
(8)
dan berdasarkan hubungan (8) dapat pula didefinisikan fungsi dn u melalui pendefinisian berikut:
dn u =
dϕ = 1 − k 2 sn 2 u du
(9)
33
dengan demikian, jelas bahwa fungsi-fungsi tersebut memenuhi hubungan:
cn 2 u + sn 2 u = 1 dn 2 u + k 2 sn 2 u = 1 selanjutnya, untuk mengetahui turunan bagi masing-masing fungsi terhadap variabel u, maka didapatkan hasil:
d ( sn u )
d ( sin ϕ )
dϕ = cn u dn u du du du d ( cn u ) d ( cos ϕ ) dϕ = = − sin ϕ = − sn u dn u du du du d ( dn u ) d k 2 sin ϕ cos ϕ dϕ 1 − k 2 sin ϕ = − = = −k 2 sn u cn u 2 du du 1 − k sin ϕ du
(
=
)
= cos ϕ
(10)
(11)
(12) (13) (14)
34
Lampiran 5 Penurunan Eksak Solusi Soliton Sistem Optik Periodik Melalui Pendekatan Analisis Sistem Dinamik Untuk Fungsi Jacobian Eliptik. Pada persamaan solusi soliton sistem optik periodik telah didapatkan set persamaan diferensial orde 2 yaitu:
d 2F − β1 F + β 2 F 3 = 0 dx 2
(1)
dengan mensubstitusikan fungsi F diatas dengan fungsi Jacobian Eliptik sn (ζ x, k ) , cn (ζ x, k ) , dan dn (ζ x, k ) maka bisa dilihat perilaku fungsi-fungsi tersebut dalam visualisasi berupa aliran trayektori yang nantinya akan dianalisis hasil tersebut. Berikut penelusuran untuk fungsi Jacobian eliptik sn (ζ x, k ) :
dF ( x )
F ( x ) = sn (ζ x, k ) → d 2F ( x) dx 2
=
dx d 2 ⎡⎣sn (ζ x, k ) ⎤⎦ dx 2
=
d ⎡⎣sn (ζ x, k ) ⎤⎦ dx
= ζ cn (ζ x, k ) dn (ζ x, k )
(2)
= ζ 2 sn (ζ x, k ) ⎡ −1 + 2k 2 sn (ζ x, k ) − k 2 ⎤ ⎣ ⎦ 2
(3)
sn (ζ x, k ) ⎡ −ζ 2 + 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k ) − ζ 2 k 2 ⎤ ⎣ ⎦ 2
⎡⎣sn (ζ x, k ) ⎤⎦ = sn (ζ x, k ) d 2F ( x) 3 − β1 F ( x ) + β 2 F ( x ) = 0 2 dx ⎧sn (ζ x, k ) ⎡ −ζ 2 + 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 k 2 ⎤ ⎫ ⎪ ⎣ ⎦⎪ = 0 ⎨ ⎬ 3 ⎪⎩− β1 sn (ζ x, k ) + β 2 sn (ζ x, k ) ⎪⎭ 3
{sn (ζ x, k ) ⎡⎣−ζ
2
(4)
3
(5) (6) (7)
}
2 2 + 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k ) − ζ 2 k 2 − β1 + β 2 sn (ζ x, k ) ⎤ = 0 ⎦
(8)
2 2 2 2 2 ⎣⎡ 2ζ k + β 2 ⎦⎤ sn (ζ x, k ) − ζ − ζ k − β1 = 0 2
(9)
dari persamaan tersebut akan didapatkan nilai untuk koefisien k dan ζ (zeta) dengan cara membuat nol hasil persamaan kiri dan kanan, berikut penelusurannya:
−2 β 2 β2 →k =± 2 2ζ 2ζ ⎛ β ⎞ −ζ 2 − ζ 2 k 2 − β1 = 0 → −ζ 2 − ζ 2 k 2 = β1 → ζ 2 + ζ 2 k 2 = − β1 → ζ 2 + ζ 2 ⎜ − 22 ⎟ = − β1 ⎝ 2ζ ⎠ 2 β 2 − 4 β1 β β β − 2β1 ζ 2 − 2 = − β1 → ζ 2 = 2 − β1 → 2ζ 2 = β 2 − 2 β1 → ζ 2 = 2 →ζ = ± 2ζ 2 k 2 + β 2 = 0 → 2ζ 2 k 2 = − β 2 → k 2 = −
(10) (11)
2 2 2 2 ternyata dari kedua nilai koefisien tersebut ada hubungan antara ζ (zeta) dengan k, sehingga nilai k yang didapat dapat dituliskan juga menjadi:
pilih k ( + ) =
−2β 2 2β 2 − 4β1 −2β 2 2 −β2 → pilih ζ ( + ) = ↔k = = = 2ζ 2 2 β 2 − 4β1 2 β 2 − 2β1
−β2
β 2 − 2β1
(12)
(13)
Setelah fungsi jacobian eleptik sn (ζ x, k ) , berikut ini merupakan penelusuran untuk fungsi jacobian eleptik cn (ζ x, k ) :
F ( x ) = cn (ζ x, k ) → d 2F ( x) dx
2
=
dF ( x )
=
dx 2 d ⎡⎣cn (ζ x, k ) ⎤⎦ dx
2
d ⎡⎣cn (ζ x, k ) ⎤⎦ dx
= −ζ sn (ζ x, k ) dn (ζ x, k )
2 = ζ 2 cn (ζ x, k ) ⎡ 2k 2 sn (ζ x, k ) − 1⎤ ⎣ ⎦
(14) (15)
35
2 cn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k ) − ζ 2 ⎤ ⎣ ⎦ 3 2 ⎡ ⎡⎣cn (ζ x, k ) ⎤⎦ = − cn (ζ x, k ) −1 + sn (ζ x, k ) ⎤ ⎣ ⎦ d 2F ( x) 3 − β1 F ( x ) + β 2 F ( x ) = 0 dx 2 ⎧cn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 ⎤ − β cn (ζ x, k ) ⎫ ⎣ ⎦ 1 ⎪ ⎪ ⎨ ⎬=0 2 ⎪+ β 2 − cn (ζ x, k ) ⎡ −1 + sn (ζ x, k ) ⎤ ⎪ ⎣ ⎦ ⎩ ⎭ ⎧cn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 ⎤ − β cn (ζ x, k ) ⎫ ⎪ ⎣ ⎦ 1 ⎪ ⎨ ⎬=0 2 ⎪+ β 2 cn (ζ x, k ) − β 2 cn (ζ x, k ) sn (ζ x, k ) ⎪ ⎩ ⎭ 2 2 2 2 2 cn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ k sn (ζ x, k ) − ζ − β1 + β 2 − β 2 sn (ζ x, k ) ⎤ = 0 ⎣ ⎦
)
(
(
{
)
}
2 2 2 ⎣⎡ 2ζ k − β 2 ⎦⎤ sn (ζ x, k ) − ζ − β1 + β 2 = 0
(16) (17) (18)
(19)
(20) (21)
2
dari persamaan tersebut akan didapatkan nilai untuk koefisien k dan ζ (zeta) dengan cara membuat nol hasil persamaan kiri dan kanan, berikut penelusurannya:
2β 2 β2 →k =± 2 2ζ 2ζ 2 2 −ζ − β1 + β 2 = 0 → ζ = β 2 − β1 → ζ = ± β 2 − β1
2ζ 2 k 2 − β 2 = 0 → 2ζ 2 k 2 = β 2 → k 2 =
(22)
(23) (24)
ternyata dari kedua nilai koefisien tersebut ada hubungan antara ζ (zeta) dengan k, sehingga nilai k yang didapat dapat dituliskan juga menjadi:
pilih k ( + ) =
2β 2 2β 2 → pilih ζ ( + ) = β 2 − β1 ↔ k = 2ζ 2 β 2 − β1
(25)
Setelah fungsi jacobian eleptik cn (ζ x, k ) , berikut ini merupakan penelusuran untuk fungsi jacobian eleptik dn (ζ x, k ) :
F ( x ) = dn (ζ x, k ) → d 2F ( x) dx
2
=
dF ( x ) dx
=
d ⎡⎣dn (ζ x, k ) ⎤⎦
d 2 ⎡⎣dn (ζ x, k ) ⎤⎦ dx
2
dx
= −ζ k 2 sn (ζ x, k ) cn (ζ x, k )
2 = ζ 2 k 2 dn (ζ x, k ) ⎡ 2sn (ζ x, k ) − 1⎤ ⎣ ⎦
2 dn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k ) − ζ 2 k 2 ⎤ ⎣ ⎦ 3 2 2 ⎡ ⎡⎣dn (ζ x, k ) ⎤⎦ = − dn (ζ x, k ) −1 + k sn (ζ x, k ) ⎤ ⎣ ⎦ 2 d F ( x) 3 − β1 F ( x ) + β 2 F ( x ) = 0 2 dx ⎧dn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 k 2 ⎤ − β dn (ζ x, k ) ⎫ ⎣ ⎦ 1 ⎪ ⎪ ⎨ ⎬=0 2 2 ⎪+ β 2 − dn (ζ x, k ) ⎡ −1 + k sn (ζ x, k ) ⎤ ⎪ ⎣ ⎦ ⎩ ⎭ ⎧dn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ 2 k 2 sn (ζ x, k )2 − ζ 2 k 2 ⎤ − β dn (ζ x, k ) ⎫ ⎣ ⎦ 1 ⎪ ⎪ ⎨ ⎬=0 2 2 ⎪+ β 2 dn (ζ x, k ) − β 2 k dn (ζ x, k ) sn (ζ x, k ) ⎪ ⎩ ⎭ 2 2 2 2 2 2 2 dn (ζ x, k ) ⎡ 2ζ k sn (ζ x, k ) − ζ k − β1 + β 2 − β 2 k sn (ζ x, k ) ⎤ = 0 ⎣ ⎦
)
(
{
(
)
⎡⎣ 2ζ 2 k 2 − β 2 k 2 ⎤⎦ sn (ζ x, k ) − ζ 2 k 2 − β1 + β 2 = 0 2
}
(26) (27) (28) (29) (30)
(31)
(32)
(33) (34)
36
dari persamaan tersebut akan didapatkan nilai untuk koefisien k dan ζ (zeta) dengan cara membuat nol hasil persamaan kiri dan kanan, berikut penelusurannya:
β 2 − β1 β 2 − β1 →k =± 2 ζ ζ 2β 2 β 2ζ 2 k 2 − β 2 k 2 = 0 → 2ζ 2 k 2 = β 2 k 2 → 2ζ 2 = β 2 → ζ 2 = 2 → ζ = ± −ζ 2 k 2 − β1 + β 2 = 0 → ζ 2 k 2 = β 2 − β1 → k 2 =
2 2 ternyata dari kedua nilai koefisien tersebut ada hubungan antara ζ (zeta) dengan k, sehingga nilai k yang didapat dapat dituliskan juga menjadi: β 2 − β1 2β 2 2 β 2 − β1 2 β 2 − β1 → pilih ζ ( + ) = ↔k= →k = pilih k ( + ) = ζ 2 2β 2 β2
(35) (36)
(37)
37
Lampiran 6 Daftar Parameter Pada Keseluruhan Persamaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Parameter E pada persamaan (19) terkait dengan medan selubung dari pulsa listrik. 2 Parameter β sebanding dengan d ω pada persamaan (19) yang terkait dengan dispersi dk 2 dari kecepatan grup. Parameter σ sebanding dengan χ ( 3) pada persamaan (19) yang terkait dengan suseptibilitas orde tiga medium. Parameter k pada persamaan (20) terkait dengan modulus persamaan. Parameter ϕ pada persamaan (41-42) terkait dengan amplitudo integral eliptik. Parameter D pada persamaan (55-56) terkait dengan kuat efek difraksi. Parameter η pada persamaan (55-56) terkait dengan frekuensi spasial. Parameter cN pada persamaan (55-56) terkait dengan komponen Fourier N − th fungsi
suseptibilitas linier. Parameter b0 , bN , dan b2 N pada persamaan (55-56) merupakan parameter nonlinier yang mempunyai nilai sebanding dengan nilai 0 − th, N − th, dan 2N − th yang merupakan komponen Fourier gabungan dari fungsi suseptibilitas nonlinier. 10. Parameter A, B, dan K f ( b) pada persamaan (57-58) merupakan parameter bernilai konstan. 9.
11. Parameter 1 pada persamaan (75) terkait dengan “effective diffraction strength”. β1 12. Parameter β2 pada persamaan (75) terkait dengan suseptibilitas orde ketiga medium. β1 13. Parameter k pada persamaan (89) terkait dengan modulus persamaan yang terkontrol. 14. Parameter ζ pada persamaan (89) terkait dengan frekuensi sudut.
38
Lampiran 7 Listing Program Mathematica 7 Manipulate[process[\[Beta]1, \[Beta]2, f10, f20], Style["Formulate :", Bold], Style["\!\(\*OverscriptBox[SubscriptBox[\"F\", \"1\"], \".\"]\) = \!\ \(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\) ", Bold], Style["\!\(\*OverscriptBox[SubscriptBox[\"F\", \"2\"], \".\"]\) = \!\ \(\*SubscriptBox[\"\[Beta]\", \"1\"]\) \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \ \"1\"]\)-\!\(\*SubscriptBox[\"\[Beta]\", \"2\"]\) \ \!\(\*SuperscriptBox[SubscriptBox[\"F\", \"1\"], \"3\"]\) ", Bold], Delimiter, Style["Parameters", Bold, 10], Control[{{\[Beta]1, 5, Style["\!\(\*SubscriptBox[\"\[Beta]\", \"1\"]\)", Italic]}, -5, 20, .01, Appearance -> "Labeled", ImageSize -> Normal}], Control[{{\[Beta]2, 10, Style["\!\(\*SubscriptBox[\"\[Beta]\", \"2\"]\)", Italic]}, -5, 20, 0.01, Appearance -> "Labeled", ImageSize -> Normal}], Delimiter, Style["Nilai Awal", Bold, 10], Control[ {{f10, 5, Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F1\", \"0\"]\)"]}, 0, 100, .0001, Appearance -> "Labeled", ImageSize -> Small}], Control[{{f20, 5, Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F2\", \"0\"]\)", Italic]}, 0, 100, .1, Appearance -> "Labeled", ImageSize -> Small}] , ControlPlacement -> {Left}, Initialization :> { process[\[Beta]1_, \[Beta]2_, f10_, f20_] := Module[{persamaan1, persamaan2, F1, F2, t, tmax = 10, sol, lableSize = 14}, persamaan1 = F2[t] == F1'[t]; persamaan2 = \[Beta]1 F1[t] - \[Beta]2 (F1[t])^3 == F2'[t]; sol = First[NDSolve[{persamaan1, persamaan2, F1[t /; t <= 0] == f10, F2[t /; t <= 0] == f20}, {F1, F2}, {t, 0, tmax}]]; sol1Plot = Plot[Evaluate[F1[t] /. sol], {t, 0, tmax}, PlotRange -> All, FrameLabel -> { {Style[ Row[{Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)", Italic], "(", Style["t", Italic], ")"}], lableSize], None}, {Style["time", lableSize], Style[Row[{Style["Time"], " versus \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)(t)"}], lableSize]}}, AspectRatio -> 1, Frame -> True, ImageSize -> {400, 400}, ImagePadding -> 40, PlotStyle -> Green]; sol2Plot = Plot[Evaluate[F2[t] /. sol], {t, 0, tmax}, PlotRange -> All, FrameLabel -> { {Style[
39
Row[{Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)", Italic], "(", Style["t", Italic], ")"}], lableSize], None}, {Style["time", lableSize], Style[Row[{Style["Time"], " versus \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)(t)"}], lableSize]}}, AspectRatio -> 1, Frame -> True, ImageSize -> {400, 400}, ImagePadding -> 40, PlotStyle -> Red]; sol3Plot = Show[sol1Plot, sol2Plot, PlotRange -> All, FrameLabel -> { {Style[ Row[{Style[ "\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)(t) , \ \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)(t)"]}], lableSize], None}, {Style["time", lableSize], Style[Row[{Style["time"], " versus \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)(t) , \ \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)(t)"}], lableSize]}}]; sol4Plot = ParametricPlot[Evaluate[{F1[t], F2[t]} /. sol], {t, 0, tmax}, PlotRange -> All, FrameLabel -> { {Style[Row[{Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)(t)"]}], lableSize], None}, {Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)(t)", lableSize], Style[Row[{Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)(t)"], " versus \!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)(t)"}], lableSize]}}, AspectRatio -> 1, Frame -> True, ImageSize -> {400, 400}, ImagePadding -> 40, PlotStyle -> Magenta]; sol5Plot = StreamPlot[{F2, \[Beta]1 F1 - \[Beta]2 F1^3}, {F1, -5, 5}, {F2, -5, 5}, ImageSize -> {400, 400}, AspectRatio -> 1, ImagePadding -> 40, FrameLabel -> { {Style[ Row[{Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"2\"]\)", Italic], "(", Style["t", Italic], ")"}], 14], None}, {Style[ Row[{Style["\!\(\*SubscriptBox[\"F\", \"1\"]\)", Italic], "(", Style["t", Italic], ")"}], 14], Style[Row[{Style["\nPlot Bidang Fase \n", Bold]}], 14]}}, StreamPoints -> 100]; Grid[{ {sol1Plot, sol2Plot }, {sol3Plot, sol4Plot}, {sol5Plot}}, Frame -> None, Spacings -> 0] ]} ]