SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
Skenario Bandung
Sketsa Energi Indonesia 2030
Buku ini merupakan dokumentasi 4 skenario hasil lokakarya intensif antara 28 pemangku kepentingan sektor energi di Indonesia dengan menggunakan metode Transformative Scenario Planning. Sebelum membaca keempat skenario tersebut, untuk memahami secara utuh metode yang digunakan dan apa yang ingin dihasilkan dari inisiatif ini, pembaca dimohon untuk memahami bagian “Tentang Skenario Bandung” di halaman 6 dan penjelasan metodologi di halaman 48.
TERSELENGGARA ATAS INISIATIF: Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP)
Tentang Skenario Bandung
Tentang Skenario Bandung
02
02
PADA 2014, Indonesia memasuki masa transisi. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia serta memiliki perekonomian terbesar di Asia Tenggara, Indonesia baru saja melewati perubahan bersejarah dalam dunia politik dengan memilih seorang presiden yang berasal dari generasi baru pemimpin politik. Negara dengan 13.466 pulau yang membentang sepanjang 5.150 km ini memberikan mandat kepada presiden terpilih untuk menghadapi tantangantantangan baru politik, sosial, dan ekonomi. Indonesia telah menempuh perjalanan jauh sejak terjadinya “reformasi” 16 tahun lalu yang menghasilkan demokrasi dan desentralisasi. Presiden terpilih kini menghadapi tantangan untuk melanjutkan keberhasilan yang sudah dicapai dan membuka jalan baru bagi masa depan bangsa. Penyediaan energi dan penerapan perubahan pada sektor energi merupakan salah satu tantangan utama, atau mungkin yang terbesar, bagi Indonesia. Masa depan energi di Indonesia masih belum pasti. Namun, masih tersisa 16 tahun lagi menuju 2030. Setiap keputusan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan dapat berujung pada arah dan skenario yang berbeda-beda. Indonesia perlu untuk mempertimbangkan dan merencanakan
masa depan energi. Sebagai negara kelautan dan kepulauan, kisah mengenai kapal yang berlayar di samudera dan menghadapai berbagai kondisi cuaca, dapat digunakan untuk meneliti dan menguraikan empat skenario yang mungkin terjadi di sektor energi di Indonesia pada 2030. Dengan menggunakan empat skenario yang menggambarkan berbagai dinamika yang mungkin terjadi, para pemangku kepentingan di Indonesia secara bersama-sama dapat membahas beragam permasalahan dan tantangan yang dihadapi beserta penyikapannya guna memperoleh hasil optimal bagi masa depan energi Indonesia. Berbagai kisah petualangan mengarungi samudera dan menantang ombak ini membantu kita untuk berfokus pada langkahlangkah yang harus diambil dalam menyikapi tantangan dan menghindari kerugian. Energi dan sumberdaya energi selalu menjadi permasalahan sentral bagi pemerintahan dan ekonomi Indonesia. Energi menjadi salah satu prioritas nasional pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) dan akan menjadi permasalahan yang lebih sentral lagi bagi pemerintah dan para pemimpin-politik yang baru. Setelah melewati satu dasawarsa pemerintahan yang stabil di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, transisi politik
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
menyediakan diri untuk memperbaharui fokus dan pendekatan kita dalam menghadapi tantangan sektor energi Indonesia pada masa kini dan masa mendatang. Rancangan skenario (scenario planning), mencakup aspek-aspek dari pemikiran sistem (systems thinking), merupakan sebuah metodologi perencanaan strategis dalam rangka mengembangkan rencanarencana jangka panjang yang luwes. Melalui metodologi tersebut, kita dapat membangun skenario-skenario tentang masa depan energi di Indonesia pada 2030 serta memikirkan target jangka panjang secara serius. Hanya dengan merencanakan dan memikirkan sejak dini lah kita dapat menghindari kerugian yang mungkin dialami esok. Kasus transisi di Afrika Selatan dari rezim apartheid ke pemerintahan Nelson Mandela, misalnya, merupakan sebuah contoh dari keberhasilan pemanfaatan perencanaan skenario dalam menyediakan tapak-tapaknya menuju masa depan. Melalui pengembangan empat kemungkinan perencanaan skenario, narasi mengenai bangunan haluan masa depan negara memengaruhi pengambilan kebijakan menuju Afrika Selatan sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Indonesia bukan Afrika Selatan. Situasi sektor energinya pun tak sama dengan
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
Sebagai negara kelautan dan kepulauan, kisah mengenai kapal yang berlayar di laut dan menghadapai berbagai kondisi cuaca dapat digunakan untuk meneliti dan menguraikan empat skenario yang mungkin terjadi pada sektor energi di Indonesia pada tahun 2030.
03
Kata Pengantar
hlm.
hlm.
Tentang Skenario Bandung
BATU KARANG: Mendayung di Antara Batu Karang
02
06
30
hlm.
38
hlm.
Pendahuluan
10
hlm.
Daftar Isi
Ringkasan 4 Skenario
14 hlm.
keseluruhan situasi di Afrika Selatan pada 1989. Meski demikian, adanya trayektori yang jelas tentang pengembangan dan terbentuknya sektor energi di Indonesia pada 2030 dapat menyajikan informasi dan panduan kepada segenap pemangku kepentingan terkait. Trayektori itu juga dapat menyumbangkan masukan-masukan berharga kepada pemerintahan baru dalam menyusun kebijakan dan strategi baru bagi
04
sektor energi di Indonesia. Skenario-skenario ini dapat membantu dalam memicu debat hangat, memfokuskan pikiran seluruh elemen bangsa, dan menggabungkan pengetahuan kolektif demi menyikapi isu-isu mendasar yang dihadapi. Berlandaskan semangat inilah 28 pakar energi dari pemerintah, partai politik, badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat madani Indonesia menggalang
kerja sama menciptakan skenario bagi sektor energi di Indonesia. Tujuannya adalah untuk berkontribusi dalam mewujudkan masa depan Indonesia dan menciptakan diskusi menyoal solusi-solusi agar pemerintah dan presiden baru Indonesia dapat bahu-membahu menciptakan kebijakan energi berkelanjutan pada 2030
OMBAK: Mendayung Menerabas Ombak
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
05
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
46 hlm.
Daftar Peserta
hlm.
hlm.
BADAI: Mengganti Layar di Tengah Badai
Lampiran: Metode Perencanaan Skenario Transformasi
22
Kuntoro Mangkusubroto Kepala UKP-PPP
AWAK KAPAL: Mendayung Bersama Kita Teguh, Mendayung Sendiri Kita Runtuh
48
05
Pendahuluan
06
06
inti menyangkut kebijakan dan strategi energi: Apa saja peluang dan tantangan kita dan yang dapat kita hadapi? Apa saja pilihan-pilihan terbaik kita? Apa langkah kedepan terbaik dan aksi-aksi apa saja yang harus kita ambil? Skenario berperan sangat penting dalam perancangan strategis karena merupakan kisah-kisah—oleh karenanya fiksi—dan karena terdiri dari dua atau lebih kisah-wajar yang saling berlainan. Skenario menawarkan keuntungan politis dalam menunjang perdebatan tanpa mewajibkan siapapun mengambil suatu posisi kebijakan apapun— melainkan menyajikan ruang yang lebih terbuka untuk berdialog karena siapapun yang menyodorkan jawaban maupun solusi tidak terbebani oleh ikatan-ikatan politis yang ada. Skenario juga memungkinkan kita untuk menghadapi situasi yang mungkin muncul; karena kendati kita tidak dapat meramalkan atau mengendalikan, kita toh dapat merencanakan dan memengaruhi, masa depan. Pada Agustus 2014, Tim Skenario pakar energi bersua menyelenggarakan lokakarya intensif dua pekan di Bandung. Lokakarya dimulai dengan mengkaji (menguji dan mendiskusikan) hasil serangkaian wawancara mendalam pada 15 anggota Tim sebelumnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa, karena
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
©AsiaTravel / Shutterstock.com
Tentang Skenario Bandung
SKENARIO ADALAH kisah yang dapat—bukan yang akan (ramalan) atau yang seharusnya (usulan)—terjadi esok. Skenario termaksud berbicara tentang beragam kemungkinan yang dapat terjadi pada, dan di seputar, sektor energi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dasarnya adalah data serta dinamika mutakhir di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ekologi, dan internasional. Empat skenario ini disusun oleh segugus tim. Anggota Tim yang terdiri dari 28 anak bangsa Indonesia berpikiran cemerlang itu berasal dari BUMN, swasta, partai politik, institusi pemerintah, organisasi non-pemerintah, serta akademisi. Keempat kisah masa depan yang mungkin bagi sektor energi yang satu sama lain berbeda jalan ceritanya itu disusun sedemikian relevan, menantang, wajar, dan jernih agar dapat memfasilitasi lalu-lintas pembicaraan strategis para pemimpin dan pemangku kepentingan energi guna menghadapi tantangan sektor energi Indonesia. Kisah ini menciptakan kerangka-kerja dan bahasa bersama untuk mendukung dialog, debat, dan pengambilan keputusan para pelaku terkait di dalam maupun di luar sektor ini. Itu semua dimaksudkan untuk menunjang upaya terbuka dan konstruktif dalam mencari jawaban atas tiga pertanyaan
Skenario adalah kisah yang dapat—bukan yang akan (ramalan) atau yang seharusnya (usulan)—terjadi esok. Skenario termaksud berbicara tentang beragam kemungkinan yang dapat terjadi pada, dan di seputar, sektor energi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan
berulang-ulang disebut dan menarik perhatian, tercuat tiga isu besar bersama: (a) tata-kelola sektor energi; (b) harga, persediaan, dan permintaan energi; serta (c) penggerak dari
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
kebijakan energi. Pada saat bersamaan, kajian itu juga mengungkap tiga isu besar yang kurang menarik perhatian: (a) pemberdayaan manusia, (b) kesinambungan, serta (c) konteks global.
Bertolak dari isu-isu tersebut, Tim Skenario mengidentifikasi sejumlah kekuatan penggerak (seperti kekuatan sosial, teknologi, ekonomi, lingkungan, budaya, dan politik dunia) yang mampu memberikan dampak besar terhadap sektor energi dengan hanya melakukan perubahan kecil di dalamnya. Tim lantas mengidentifikasi tiga kunci kepastian struktural dan tiga kunci ketidakpastian struktural tentang masa depan. Untuk yang pertama adalah: (a) pengaruh politik pada sektor energi, (b) harus seimbangnya persediaan dan permintaan; serta (c) arti penting modal manusia. Adapun untuk yang kedua adalah: (a) tabiat tata-kelola; (b) pengaruh dari perkembangan global; dan (c) teknologi-teknologi baru yang akan digunakan.
07
Tentang Skenario Bandung
Berdasarkan pemahaman itu, Tim Skenario mulai mengonstruksi skenario dengan cara mengumpulkan ide, topik utama, dan kisah, hingga terkelompokkan dalam empat kerangka (outline). Kesemuanya dibahas oleh Tim Skenario serta dijabarkan lebih lanjut dalam kelompok-kelompok kerja. Tim penulis menyusun versi perdana dari teks-teks skenario berdasarkan laporan dari kelompok-kelompok kerja serta tanggapan dan saran dari seluruh anggota Tim Skenario. Pada permulaan lokakarya kedua, draft versi perdana diulas oleh Tim dan kemudian direvisi dalam kelompok kerja. Satu kelompok kerja tambahan bertugas merangkum dan membandingkan skenario-skenario tersebut. Teks baru ini kemudian dipresentasikan kembali dalam rapat pleno; Tim Skenario menyampaikan
Kisah ini menciptakan kerangka-kerja dan bahasa bersama untuk mendukung dialog, debat, dan pengambilan keputusan para pelaku terkait di dalam maupun di luar sektor ini.
08
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
tanggapan, saran, dan amandemennya. Terakhir, Tim Skenario menyepakati nama dan gambar untuk merepresentasikan keempat skenario tersebut. Pasca-lokakarya kedua, tim penulis memperhalus dan memfinalisasi skenario-skenario itu. Setelah dikirimkan ke seluruh anggota Tim untuk memperoleh masukan pamungkas, lalu di pengujung, laporan itu “dibungkus” sebagai laporan akhir ini. “Skenario Bandung” dapat digunakan untuk mendukung formasi kebijakan dan strategi energi melalui beragam dialog pemangku kepentingan. Tujuan dari dialog-dialog itu bukanlah untuk merekonstruksi atau mereimajinasi skenario baru, melainkan untuk menerapkan skenario tersebut secara apa adanya guna mencari tahu apa yang dapat dan harus dilakukan. Skenario ini dapat membantu dalam memfokuskan perhatian, menelurkan ide-ide baru, serta menyulut perdebatan mengenai langkah-langkah terbaik menghadapi tantangan ke depan. Dialog-dialog seproduktif ini didesain melibatkan beragam kelompok dari aktor-aktor penting dan berpengaruh. Aktoraktor itu bukan sekadar teman dan kolega, melainkan juga dari kalangan yang tak saling mengenal maupun oponen, demi menciptakan ruang-terbuka sesungguhnya bagi penuangan
ide-ide serta menghindari “mentalitas pikirankelompok”. Agar dialog yang berbasis skenario seperti ini berhasil, terdapat empat langkah kunci. Pertama, skenario-skenario dipaparkan melalui teks, slide, dan video. Kedua, untuk setiap skenario, masing-masing kelompok harus menjawab pertanyaan “jika skenario ini terjadi, apa artinya bagi kita?” serta kemudian mengevaluasi semua peluang berikut tantangannya. Ketiga, kelompok dihadapkan pada pertanyaan “jika skenario ini terjadi, apa yang akan kita lakukan? Apa saja pilihan kita?”. Keempat, kelompok dialog kembali ke masa kini dan mempertimbangkan pertanyaan “dengan kemungkinan-kemungkinan ini, apa yang akan kita lakukan nanti?” Langkah ini boleh jadi merupakan hal yang terpenting karena ia membawa semua skenario yang mungkin terjadi pada masa depan ke masa kini. Selain itu, ia juga membantu kita dalam merumuskan strategi dan rekomendasi masa kini yang akan memengaruhi masa depan, serta secara kolektif menciptakan opsi-opsi kebijakan
09
KONTEKS KEKUATAN PENGGERAK UTAMA
Ringkasan 4 skenario
10
10
AKTOR DOMINAN
POLA PENGEMBANGAN EKONOMI
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
OMBAK
BADAI
BATU KARANG
AWAK KAPAL
MENDAYUNG MENERABAS OMBAK
MENGGANTI LAYAR DI TENGAH BADAI
MENDAYUNG DI ANTARA BATU KARANG
MENDAYUNG BERSAMA KITA TEGUH, MENDAYUNG SENDIRI KITA RUNTUH
Tekanan untuk tata kelola yang lebih baik
Kepentingan global dan domestik atas dampak perubahan iklim
Sengitnya persaingan internasional terhadap sumberdaya alam
Tarik menarik otonomi daerah
Para elite politik, birokrat dan bisnis di tingkat pusat
Lembaga keuangan, pengembang, riset, swasta, dan OMS/LSM
Swasta, BUMN, diplomat, dan pasukan keamanan
Pemerintah daerah, OMS/LSM, swasta, BUMN, dan perusahaan sosial.
Peningkatan produktivitas secara bertahap
Pembiayaan membengkak, pertumbuhan melambat
Pertumbuhan berorientasi ke dalam (inward)
Multipilar ekonomi daerah
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
11
OMBAK
BADAI
BATU KARANG
AWAK KAPAL
MENDAYUNG MENERABAS OMBAK
MENGGANTI LAYAR DI TENGAH BADAI
MENDAYUNG DI ANTARA BATU KARANG
MENDAYUNG BERSAMA KITA TEGUH, MENDAYUNG SENDIRI KITA RUNTUH
KEBIJAKAN ENERGI
Menjaga keseimbangan antara daya saing dan stabilitas
Upaya pragmatis mengurangi emisi gas rumah kaca
Prioritas untuk swasembada nasional
Digerakkan oleh beragam situasi dan aspirasi daerah
PASOKAN DAN PERMINTAAN ENERGI
Dominasi minyak dan batu bara; pengalihan secara terbatas pada bahan bakar nabati, gas, nuklir, dan energi terbarukan
Peningkatan efisiensi; mobilitas kelistrikan; pengalihan ke energi terbarukan, gas, dan nuklir
Pembatasan energi; dominasi batu bara; nuklir, energi terbarukan, dan hidrokarbon nonkonvensional
Berdasarkan ketersediaan sumberdaya di daerah
FLNG dan FSRU, bahan bakar nabati nonkonvensional, hidrokarbon
Energi terbarukan, gasifikasi batu bara, CCS, nuklir, dan efisiensi energi
Intensifikasi EOR, minyak dan gas laut dalam, BBN generasi kedua, dan konektivitas energi regional
Penganekaragaman teknologi yang cocok di daerah
Politisasi dan ketidakpastian kebijakan subsidi
Harga keekonomian plus target subsidi dan insentif bagi sumbersumber rendah karbon
Insentif bagi penghasil energi nasional
Membatasi kebijakan penyesuaian harga dengan insentif bagi penghasil energi di daerah
Hambatan dan stagnasi
Kenaikan biaya
Gangguan pasokan dan keterbatasan persediaan
Ketidakselarasan antara PusatDaerah dan antar-Daerah
SEKTOR ENERGI
Ringkasan 4 skenario PENERAPAN TEKNOLOGI ENERGI BARU
PENETAPAN HARGA, SUBSIDI DAN INSENTIF ENERGI
TANTANGAN UTAMA PADA SEKTOR ENERGI
12
12
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
13
OMBAK:
Mendayung Menerabas Ombak
Gambaran dari Skenario ini
ADALAH BAGAIKAN SEBUAH PERAHU YANG SEDANG BERJUANG MENEMBUS ATAU MENERABAS OMBAK. MENDAYUNG PERAHU DI TENGAH KEPUNGAN OMBAK BESAR TENTU SAJA AMAT MELELAHKAN. OMBAK-OMBAK TERSEBUT TERUS MENERJANG DAN MENGHANTAM KAPAL SEPERTI TIADA AKHIR HINGGA DAPAT MEMBALIKKAN PERAHU. PARA PENDAYUNG HARUS BERJUANG UNTUK MENYEIMBANGKAN PERAHU SEKALIGUS MENDAYUNG SEKUAT TENAGA MENAKLUKKAN GANASNYA OMBAK.
PADA 2030, DI TENGAH BERBAGAI PERDEBATAN PUBLIK DAN ARGUMEN PARA pemangku kepentingan utama lintassektor mengenai transformasi untuk menjadi sistem energi yang tangguh dan rasional, sektor energi Indonesia terus mengalami perubahan. Kepemimpinan di sektor ini, yang sebagian besar diwakili oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI, sudah berupaya keras menyusun undang-undang dan peraturan serta bekerja sama dengan BUMN terkemuka. Upaya itu adalah untuk menjawab keprihatinan masyarakat mengenai subsidi energi, akses energi yang lebih baik, serta pengembangan sumber-sumber energi baru (seperti: energi nuklir, pembangunan lapangan gas, energi hidrokarbon nonkonvensional, dan energi terbarukan). Sayangnya, upaya-upaya tersebut tidak diikuti oleh penerapan kebijakan yang efektif atau eksekusi tepat waktu terhadap proyek-proyek energi utama. Hambatan dalam penerapan kebijakan antara lain berupa ketidakpastian hukum, berbelit-belitnya birokrasi, ketidakselarasan antarlembaga pemerintah, serta aksi-aksi para spekulan pemburu rente. Alhasil, tantangan baru dan kecemasan publik kerap timbul sebelum masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan.
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
17
PADA TAHUN-TAHUN setelah 2014, derasnya tekanan publik terhadap tata-kelola pemerintahan yang lebih baik mendorong para elit politik, birokrat, dan pebisnis untuk mencoba menciptakan negara kesatuan yang transparan, akuntabel, dan profesional, namun dengan perbaikan bertahap semata, terutama terkait pengembangan sektor energi. Fenomena pemilihan umum 2014 telah mengingatkan kita, betapa dampak teknologi informasi dapat memberdayakan khalayak luas untuk turut memengaruhi pemerintah dalam pengambilan keputusan strategis bagi negara. Pengaruh tersebut telah menjembatani kepentingan masyarakat dengan respons kebijakan utama pemerintah—menciptakan proses kebijakan yang lebih reaksioner. Di tingkat Daerah, partisipasi publik yang lebih kuat membuat penerapan kebijakan di sana menjadi lebih rumit. Desentralisasi yang demokratis telah melahirkan inkonsistensi serta rantai komando yang panjang dan inefektif. Kendatipun di lembaga eksekutif ada peningkatan, namun efek dari tekanan publik kurang terasa di lembaga legislatif, aparat hukum, dan sistem peradilan, sehingga terjadi diskoneksitas antara penetapan dan penerapan kebijakan. Keputusan eksekutif seringkali dipertanyakan oleh DPR, terutama di tingkat daerah;
sementara ketidakpastian hukum berhadapan dengan pemerintah dan BUMN dalam bentuk kriminalisasi melalui tuduhan korupsi. Situasi seperti ini makin memperlambat realisasi proyek-proyek energi berskala besar karena investor dibelit oleh ketidakpastian hukum dan ketidakjelasan kebijakan di daerah. Ditambah dengan kondisi kompleksitas geografi kepulauan, heterogenitas masyarakat, dan kesenjangan kapasitas birokrasi, ketidakseimbangan tersebut telah membatasi dampak dari reformasi kebijakan sektor energi. Kuatnya tekanan publik dan ketidakmampuan untuk mewujudkan tuntutan tersebut telah menyebabkan inkonsistensi dan frustasi. Atas nama stabilitas sosial-politik, kebijakankebijakan di sektor energi terombang-ambing antara mewujudkan sistem energi yang optimal dengan opsi-opsi yang suboptimal. Ambil contoh, pemerintah pusat mengambil keputusan yang berani untuk menghapus hampir seluruh subsidi energi dan merealokasikan anggarannya ke programprogram kesejahteraan dan infrastruktur. Akan tetapi, masalah baru muncul ketika program-program tersebut tidak terealisasi secara efektif di tingkat akar-rumput akibat ketidakpaduan penerapannya oleh pemerintah pusat dan daerah. Masyarakat mulai menolak
Energi terbarukan jenis lainnya tidak berkembang akibat sentralisasi sistem dan lambatnya kolaborasi antarkementerian dan pemerintah daerah, yang kebanyakan memang sudah nirpadu. SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
19
Skenario 1: Ombak
Atas nama stabilitas sosialpolitik, kebijakan-kebijakan di sektor energi terombangambing antara mewujudkan sistem energi yang optimal dengan opsi-opsi yang suboptimal
penghapusan subsidi karena dampak negatif kebijakan tersebut lebih nyata terlihat ketimbang manfaat yang dijanjikan berupa kesejahteraan dan infrastruktur. Tekanan semacam ini menyebabkan kemunduran besar bagi pemerintah. Guna meredam gejolak publik, subsidi energi dikucurkan kembali sembari diikuti oleh strategi baru untuk meminimalisasi risiko kenaikan anggaran subsidi yang tidak terkendali. Ujung-ujungnya adalah, kebijakan subsidi dipolitisasi dan tidak tepat sasaran. Pengembangan proyek-proyek energi besar tetap terkendala, walaupun dibutuhkan untuk menjamin kecukupan persediaan energi, seperti jaringan transmisi, pembangkit listrik berskala besar, kilang-kilang, infrastruktur pipa gas, dan proyek lapangan gas baru. Reformasi kebijakan harga untuk mendukung utilisasi domestik mengakibatkan bahan bakar nabati (biofuel) menjadi satu-satunya bentuk energi terbarukan yang dapat berkembang karena tersedia dan diproduksi besar-besaran secara lokal. Energi terbarukan jenis lainnya tidak berkembang akibat sentralisasi sistem dan lambatnya kolaborasi antarkementerian dan pemerintah daerah, yang kebanyakan memang sudah nirpadu. Selain itu, perizinan, prosedur administrasi, dan peraturan masih tetap menjadi kendala dan tidak mendukung solusi
energi berbasis masyarakat. Kebijakan pemberian insentif untuk sektor energi dikembangkan melalui perdebatan yang bertele-tele dan terlampau berhatihati. Akibatnya, komposisi energi masih didominasi oleh batu bara domestik yang melimpah dan bahan bakar impor yang mudah diperoleh. Dalam kondisi seperti itu, bahan bakar fosil masih terus mendominasi sistem energi. Beberapa teknologi hidrokarbon nonkonvensional diterapkan untuk mengatasi kelangkaan energi. Melalui beberapa proyek percontohan, kontribusi shale gas untuk penggunaan energi nasional mulai ditingkatkan meski masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Dalam rangka mengatasi permintaan energi yang tinggi dan keterbatasan persediaan, solusi suboptimal—contoh: meningkatkan impor dan membangun fasilitas energi berskala kecilmenengah yang tidak terkoordinasi—menjadi makin marak. Solusi infrastruktur berskala kecil di tingkat daerah sebenarnya lebih mungkin diterapkan untuk distribusi yang tepat waktu ketimbang solusi infrastruktur berskala besar yang membutuhkan perencanaan matang dan rumitnya eksekusi lintaskementerian. Hingga 2030, berbagai permasalahan di sektor energi ini hanya berdampak kecil pada perbaikan ekonomi. Industrialisasi dan
produktivitas tidak didukung oleh pasokan energi yang memadai sehingga menyebabkan perlambatan pertumbuhan. Produksi minyak yang terbatas memicu peningkatan impor bahan bakar dan rentannya kondisi
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
moneter. Perekonomian tertahan dan hanya menghasilkan keuntungan produksi yang tidak seberapa, terutama di industri petrokimia yang tergantung pada penggunaan batu bara dan gas domestik. Pertumbuhan ekonomi
masih didominasi oleh eksploitasi sumberdaya alam, sehingga menyebabkan berkurangnya partisipasi masyarakat dan peluang kerja. Peran perusahaan-perusahaan nasional dan multilateraltetap kuat. Indonesia belum terlalu siap untuk menghadapi integrasi ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan pasar bebas. Dalam kondisi seperti itu, jurang kesenjangan wilayah antara Jakarta, Jawa, dan daerah lain di Indonesia, makin menganga. Isu-isu sosial dan ketidaksetaraan menjadi kian nyata akibat disparitas kekayaan antara desa dan kota yang makin melebar. Merasa diabaikan oleh Pusat, kawasan kawasan miskin semakin disintegratif sehingga mengakibatkan makin besarnya fokus pada strategi pembangunan. Dalam situasi seperti itu, masyarakat beranggapan bahwa pengawasan secara konstruktif terhadap kinerja pemerintah perlu ditingkatkan. Efek dari aktivisme dan pengawasan publik mulai terasa pada ranah legislatif dan peradilan. Sejarah pun terulang kembali. Pada 2014 atau 16 tahun setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru pada 1998, ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan yang ada mendorong lahirnya gerakan aktivis yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga mengubah jalannya roda pemerintahan secara signifikan. Enam belas tahun kemudian, pada 2030, dengan adanya stagnasi—terutama dalam sektor kunci bidang energi—beragam prakarsa dan isu baru pun bermunculan
21
BADAI:
Mengganti Layar di Tengah Badai
Skenario ini
DIGAMBARKAN SEBAGAI SEBUAH PERAHU YANG MENCOBA MENGGANTI LAYARNYA DI TENGAH AMUK BADAI. JIKA AWAK PERAHU GAGAL MENGEMBANGKAN LAYAR KHUSUS SEBELUM BADAI MENGHANTAM, MAKA PERAHUBERADA DALAM SITUASI BAHAYA. SEBALIKNYA, ANDAI TETAP MENGGUNAKAN LAYAR BIASA DI TENGAH BADAI, JUGA AMATLAH BERBAHAYA.
PADA 2030, KEKHAWATIRAN TERHADAP IMPLIKASI EKONOMI AKIBAT BENCANA luar biasa terkait iklim telah mengubah cara pandang negara maupun perusahaan terhadap risiko perubahan iklim. Sistem energi global harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan energi yang membumbung sekaligus menekan peningkatan emisi gas rumah kaca. Harga energi menjadi sangat mahal sehingga menghambat pertumbuhan negara-negara berkebutuhan energi tinggi. Perlahan tapi pasti bangkit dari turbulensi sosial-ekonomi akibat kenaikan harga energi dunia, Indonesia banyak terbantu dengan peningkatan di bidang energi terbarukan. Sekalipun demikian, Indonesia harus berjuang mendanai adaptasi dan upaya pengurangan dampak perubahan iklim. Pembangunan penanganan dampak terkait iklim dan sumberdaya energi ditebus dengan harga mahal yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Tokohtokoh nasional juga belum sepakat mengenai posisi global Indonesia seputar perubahan iklim.
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
25
MENUJU 2030, tumbuhnya keprihatinan mengenai dampak sosial-ekonomi dari perubahan iklim mendorong perusahaan swasta dan organisasi masyarakat sipil (OMS) giat mendesak pemerintah agar mengelola konsekuensi dari dampak tersebut. Desakan datang pula dari organisasi-organisasi keuangan, pembangunan, dan penelitian internasional. Walau demikian, Indonesia termasuk negara berkembang terdepan yang berkomitmen terhadap pengurangan emisi karbon pada 2020. Sudah banyak kajian dan program yang telah dilakukan, walau masih dianggap jauh dari memadai karena tingginya biaya dan lambannya pertumbuhan yang memaksa pemerintah mengambil tindakan pragmatis dan berskala kecil dalam mengurangi emisi karbon. Tekanan anggaran nasional memaksa pemerintah mengurangi dan membenahi subsidi BBM secara bertahap. Pemerintah telah banyak mengorbankan modal politik dalam upayanya melaksanakan reformasi subsidi BBM dan telah merealokasi dana subsidi itu untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Akan tetapi, dana itu masih sedikit sekali yang digunakan untuk membenahi sistem energi sarat-karbon dan teknologi baru. Sementara itu, bencana alam hebat akibat
dampak perubahan iklim makin sering terjadi. Amerika Serikat kian sering diterjang topan sekelas Katrina, produksi pertanian Eropa menurun, dan Tiongkok diterjang kemarau panjang yang mengancam puluhan juta jiwa rakyatnya. Dampak ekonomi akibat perubahan iklim ini semakin riuh diperdebatkan dalam negosiasi iklim internasional. Forum perdebatan internasional mengenai iklim semakin terpolarisasi dalam hal cara mengatasi perubahan iklim, terutama antara negara adidaya Amerika Serikat dan Tiongkok. Diplomasi Indonesia membentur paradoks: pada satu sisi Indonesia mendorong aksi global dalam mengatasi dampak emisi gas rumah rumah kaca, namun pada saat bersamaan Indonesia juga melakukan lobi-lobi untuk melonggarkan aturan terkait karbon dalam perdagangan internasional guna memuluskan ekspor batu bara dan komoditas sarat karbon lainnya. Kendati perjanjian formal masih sulit disepakati pada tataran internasional, namun ada desakan kuat dari masyarakat internasional, dan didukung oleh gerakan media-sosial berskala global yang penuh kesungguhan di seluruh dunia, agar dilakukan pengurangan emisi. Desakan dari akar rumput itu berhasil mendorong politikus di beberapa negara mengambil tindakan tegas
Program-program pengurangan emisi yang bersifat pragmatis, terutama yang mengandung manfaat ekonomi (efisiensi dan fokus pada energi terbarukan), telah dilaksanakan oleh pemerintah guna memenuhi target pengurangan emisi domestik yang tidak terlalu tinggi SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
27
DI TENGAH KONTROVERSI MASYARAKAT, BAHKAN DIWARNAI PROTES YANG DISERTAI AKSI KEKERASAN, PLTN INDONESIA BERHASIL DIBANGUN DAN BEROPERASI
28
dalam memerangi emisi guna menyenangkan rakyatnya. Perubahan iklim juga memengaruhi pertanian dan sistem produksi energi Indonesia. Dampak domestik perubahan iklim (terutama membumbungnya harga pangan dan pemadaman listrik), serta gerakan berskala global yang populer, kian memperkuat desakan terhadap pemerintah Indonesia agar bertindak dalam mengatasi perubahan iklim. Desakan publik itu berhasil mendorong pemerintah untuk menghapus subsidi BBM secara bertahap, yang berakibat pada melambungnya harga energi dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Program-program pengurangan emisi yang bersifat pragmatis, terutama yang mengandung manfaat ekonomi (efisiensi dan fokus pada energi terbarukan), telah dilaksanakan oleh pemerintah guna memenuhi target pengurangan emisi domestik yang tidak terlalu tinggi. Kalangan perbankan dan investor internasional menganggap proyek sarat karbon sebagai proyek berisiko tinggi sehingga penyandang dana internasional menghentikan pendanaan proyek-proyek energi berbasis fosil kecuali dilengkapi dengan teknologi yang ramah lingkungan namun berbiaya besar. Akibatnya, sistem dan perusahaan-perusahaan energi kian tertekan dan menghambat pertumbuhan sektor ini. Permintaan energi pun tidak terpenuhi.
Reaksi susulannya mudah ditebak. Pemerintah menghabiskan miliaran dolar untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi dan energi terbarukan lainnya—butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar dapat dimanfaatkan—dengan harapan agar dapat mengendalikan harga energi, meningkatkan pasokan, dan memenuhi permintaan energi bersih di dalam maupun luar negeri. Berbagai pusat kajian dan perusahaan menghadirkan inovasi penghematan energi dan beragam jenis energi terbarukan. Indonesia menjadi laboratorium dunia untuk energi terbarukan sehingga menjadi daya tarik bagi peneliti dan investor internasional yang berminat menghasilkan kredit karbon. Di tengah maraknya pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan, beragam jenis energi terbarukan saling bersaing memperebutkan pangsa pasar dan subsidi— dan secara kolektif masih kesulitan memenuhi besarnya kebutuhan sehingga harga energi tetap tinggi. Menyadari bahwa batu bara, gasifikasi batu bara, dan pembangkit listrik tenaga gas masih dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan pasokan listrik minimum bagi konsumen, maka teknologi tangkapan dan penyimpanan karbon diaplikasikan pada sekitar 30 persen dari pembangkit listrik yang ada dengan
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
memanfaatkan bantuan internasional. Kebutuhan biaya tambahan ditanggung oleh APBN dan konsumen listrik. Adanya tuntutan untuk mengelola emisi karbon yang dihasilkan oleh sektor penyediaan daya, memenuhi kebutuhan energi, serta
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
mengendalikan harga, memaksa pemerintah meningkatkan ketersediaan listrik berbasis nuklir. Di tengah kontroversi masyarakat, bahkan diwarnai protes yang disertai aksi kekerasan, PLTN Indonesia berhasil dibangun dan beroperasi.
Bank-bank konservatif mulai melihat peluang untuk mendanai proyek-proyek penyediaan listrik yang ramah lingkungan, bahkan tanpa jaminan, untuk proyek-proyek mikro di segenap penjuru Indonesia. Adanya pendanaan dan tingginya biaya energi mendorong timbulnya beragam inovasi dan kreativitas, terutama di bidang-bidang yang mengandung potensi energi terbarukan dan pertumbuhan ekonomi. Sistem instalasi penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik rumahan berkembang luas dan jika infrastrukturnya memungkinkan, pemilik sistem dapat menjual kelebihan tenaga listriknya kepada penyedia pembangkit listrik besar. Pada 2030, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu besar. Kubu pertama meyakini bahwa menaikkan harga energi konvensional demi pengembangan energi terbarukan adalah tindakan yang benar. Kubu lainnya gusar karena kelak mereka tidak lagi mampu menikmati kemewahan memiliki mobil pribadi dan kenyamanan pendingin udara seperti yang dirasakan selama ini. Pemerintah menyasar subsidinya ke masyarakat miskin melalui sistem transportasi massal dan hunian murah. Anggaran nasional tertekan oleh tingginya biaya yang dikeluarkan untuk sistem energi, subsidi energi bersih untuk rakyat miskin, dan insentif pendorong berkembangnya energi rendah karbon demi pemenuhan kebutuhan energi yang kian meningkat
29
BATU KARANG: Mendayung di Antara Batu Karang
Skenario ini
DIGAMBARKAN LAKSANA SEBUAH PERAHU YANG DIKAYUH MELINTASI GUGUSAN BATU KARANG BAWAH LAUT YANG BERBAHAYA. FAKTOR UTAMA YANG MENENTUKAN KESUKSESAN UPAYA TERSEBUT ADALAH KETERAMPILAN SI PENDAYUNG PERAHU. FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL YANG TIDAK DAPAT DIKENDALIKAN, SEPERTI KUATNYA TERPAAN ANGIN DAN POSISI BATU KARANG, PUN TURUT MENENTUKAN.
PADA 2030, INDONESIA MENGHADAPI SITUASI TERSULIT SEPANJANG SEJARAHNYA karena dihadapkan pada tantangan besar mengatasi ketatnya persaingan global di bidang sumberdaya. Banyak negara mengalami kelangkaan pasokan energi sehingga menambah ketatnya persaingan mendapatkan sumber-sumber energi. Situasi politik di kawasan Asia Tenggara dan negara-negara tetangga lebih bergejolak akibat persaingan menguasai sumber-sumber energi yang makin langka. Untuk mengatasi situasi tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan pertumbuhan yang didukung belanja dan pasar domestik, serta memprioritaskan kebijakan energi berdasarkan swasembada nasional. Disertai ketangguhan diplomasi dalam dan luar negeri untuk menekan konflik dan volatilitas di dalam negeri, kebijakan ini bertujuan memenuhi kebutuhan energi domestik dan mencegah kemelut internal. BUMN, swasta nasional, diplomat, dan pihak keamanan bahu-membahu dengan pemerintah pusat mendukung kebijakan tersebut serta mengantisipasi konflik regional. Indonesia terancam kekurangan persediaan energi untuk kebutuhan domestik. Manakala ketegangan regional makin menjadi-jadi dan diplomasi luar negeri gagal mengatasi tantangan geopolitik, perdagangan, dan sumber daya, maka Indonesia terseret ke dalam kancah konflik regional. Sebaliknya, jika kebijakan tersebut berhasil diterapkan, Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi regional—yang sepenuhnya bergantung pada pasokan energi dalam negeri—dan oleh karenanya hampir tidak terdampak oleh kekisruhan politik regional yang dipicu oleh menipisnya sumberdaya dan tingginya harga energi.
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
33
TATKALA INDONESIA membuka lembaran baru dengan terpilihnya pemerintahan baru pada 2014, di belahan lain bumi, konflik dan ketegangan politik Timur Tengah pasca-“Arab Spring” berpengaruh besar terhadap pasokan minyak dan gas bumi dunia. Akibatnya, harga energi dunia melangit. Pada sisi lain, Rusia beraliansi dengan Tiongkok untuk menopang perekonomiannya yang sedang di bawah tekanan embargo negara-negara Barat akibat keterlibatannya pada konflik di Ukraina. Di tingkat regional, wilayah Laut Cina Selatan menjadi titik sengketa baru antara Cina dan negara-negara tetangganya, baik akibat persaingan ekonomi maupun persaingan dalam menguasai sumber-sumber energi. Amerika Serikat terus menunjukkan pengaruh diplomatisnya di kawasan ini dan menempatkan aset militernya di sepanjang wilayah sehingga memperuncing ketegangan dengan Cina dan negara lainnya. Upaya negara-negara ASEAN untuk mendamaikan pihak-pihak bersengketa membuahkan hasil, tapi tidak signifikan. Ketegangan terjadi pula di Timor Leste yang kayasumberdaya alam serta di perbatasan Indonesia-Timor Leste yang dianggap sebagai wilayah yang kayahidrokarbon. Sebagai negara pengimpor bahan bakar cair terbesar di dunia pada 2014, Indonesia sangat rentan terhadap
Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan “swasembada energi nasional” yang berfokus pada penghematan energi dan maksimalisasi penggunaan sumberdaya energi dalam negeri perubahan di pasar minyak dunia. Situasi tersebut memaksa pemerintahan baru untuk tetap berada di luar aliansi dua negara adidaya yang saling bersaing. Namun, pada saat bersamaan, hal ini juga mempersulit Indonesia dalam memperoleh dukungan yang kokoh dari dunia internasional. Tingginya ketidakpastian ekonomi global mendesak Indonesia untuk berfokus pada konsumsi ekonomi domestik sebagai pendorong utama pertumbuhan nasionalnya. Menimbang tantangan-tantangan itu, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan “swasembada energi nasional” yang berfokus pada penghematan energi dan maksimalisasi penggunaan sumberdaya energi dalam negeri. Kurangnya keterlibatan Indonesia di tingkat internasional
terbatasnya persediaan mendorong peningkatan produksi energi dalam negeri melalui eksplorasi yang lebih intensif SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
35
Indonesia juga menaruh minat lebih besar untuk menjalin kerja sama dengan wilayah-wilayah lain yang kaya sumberdaya alam di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur
berdampak buruk bagi posisi Indonesia secara global seiring dengan tengah berkecamuknya ketegangan politik, kelangkaan sumberdaya, dan persaingan. Perjanjian perdagangan, traktat arbitrasi, dan kerja sama energi internasional mendominasi lanskap negosiasinegosiasi global, multilateral, maupun bilateral. Negosiasi dan kemitraan yang intensif antara sektor swasta dengan pemerintah juga diadakan. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, baik perusahaan pemerintah maupun
perusahaan swasta, kerap menjalin komunikasi secara langsung dengan mitra internasional mereka guna menyukseskan perjanjian bisnis yangmembawa energi dan teknologi energi ke Indonesia tanpa peran-serta pemerintah. Perusahaan-perusahaan ini sesekali didukung pemerintah dengan diberi syarat dan ketentuan yang menguntungkan terkait investasi energi. Selain itu, kebijakan swasembada energi nasional menjadi pendorong utama bagi diplomasi luar negeri. Kontrak-kontrak ekspor
energi yang ada disesuaikan dengan kebijakan baru demi memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Komitmen-komitmen internasional terdahulu terkait integrasi ekonomi di ASEAN dan perdagangan ditinjau ulang dan direvisi. Indonesia juga menaruh minat lebih besar untuk menjalin kerja sama dengan wilayahwilayah lain yang kaya sumberdaya alam di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur. Hal itu merupakan bagian dari upaya mengamankan pasokan energi sebagai alternatif bagi wilayah-wilayah lainnya yang bergejolak. Perusahaan-perusahaan milik negara dan swasta nasional didorong dan dibantu untuk menjadi pemain-pemain global yang menjangkau kawasan-kawasan tersebut. Kerja sama di bidang teknologi pun digalakkan, misalnya dengan Afrika Selatan dalam pengembangan gasifikasi batu bara sehingga Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya batu baranya yang relatif berlimpah untuk membantu memenuhi minimnya ketersediaan bahan bakar cair. Hantaman fluktuasi luar biasa pada harga energi dunia mengakibatkan Indonesia tidak memiliki pilihan selain menghapuskan subsidi energi akibat tekanan hebat pada perekonomian dan fiskalnya sebagai dampak gejolak perekonomian global. Pemerintah Indonesia menitikberatkan pada program-program kesejahteraan sosial guna
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
meredam gejolak sosial di dalam negeri. Penerapan kebijakan-kebijakan domestik tersebut membuat Indonesia mampu mengurangi impor energinya secara bertahap. Kendati demikian, hal ini memakan banyak biaya dan berjalan sangat lambat akibat lambannya pemerintah serta lemahnya tatakelola. Oleh karena itu, untuk mengatasi minimnya pasokan energi dan kebutuhan energi yang tak terpenuhi, pembatasan penggunaan energi menjadi kebijakan yang lazim diambil. Lanskap bauran energi di Indonesia lambat-laun berubah menjadi pasokan energi yang didominasi oleh batu bara, energi terbarukan, hidrokarbon nonkonvensional, dan nuklir sebagai sumber daya energi primer. Dari sisi kebutuhan atau permintaan, semua sektor perlahan-lahan menerapkan efisiensi dan beralih ke pasokan energi yang tersedia di dalam negeri. Tingginya harga minyak dunia (akibat persaingan global) dan terbatasnya persediaan mendorong peningkatan produksi energi dalam negeri melalui eksplorasi yang lebih intensif. Eksplorasi itu ditujukan untuk menemukan cadangan baru minyak dan gas (migas) serta peningkatan upaya pemanfaatan sumber energi terbarukan. Pemerintah Indonesia mengucurkan insentif baru guna memotivasi para produsen energi nasional. Upaya-upaya itu
UNTUK MENGATASI MINIMNYA PASOKAN ENERGI DAN KEBUTUHAN ENERGI YANG TAK TERPENUHI, PEMBATASAN PENGGUNAAN ENERGI MENJADI KEBIJAKAN YANG LAZIM DIAMBIL dimaksudkan untuk memperlancar masuknya investasi-investasi baru di bidang teknologi energi dan infrastruktur energi ke Indonesia, seperti enhanced oil recovery (EOR), migas laut dalam, gasifikasi batu bara, bahan bakar nabati generasi kedua, PLTN, dan konektivitas energi regional terutama untuk gas dan listrik. Secara garis besar, situasi pada 2030 ditandai oleh pergulatan kekuatan global dan persaingan tajam untuk menguasai/ memperoleh sumberdaya alam. Indonesia menanggapi keadaan tersebut melalui upayaupaya diplomasi yang difokuskan pada mengamankan pasokan energi yang dapat diandalkan. Secara internal, Indonesia berfokus pada strategi pertumbuhan yang berorientasi ke dalam negeri dengan prioritas utama mengamankan swasembada energi nasional. Namun, kurangnya pasokan energi tetap menjadi problem utama yang harus diatasi
37
AWAK KAPAL:
Mendayung Bersama Kita Teguh, Mendayung Sendiri Kita Runtuh
Skenario ini
DILUKISKAN SEPERTI SEBUAH PERAHU YANG DIDAYUNG BEBERAPA ORANG. SETIAP PENDAYUNG MEMILIKI TUJUAN YANG SAMA, YAITU AGAR PERAHU MELAJU, TETAPI KAPASITAS DAN KETERAMPILAN SETIAP PENDAYUNG BERBEDA-BEDA. SEBAGIAN PENDAYUNG LEBIH MAHIR MENDAYUNG KETIMBANG SEBAGIAN LAINNYA. SKENARIO INI MENGHASILKAN DUA KEMUNGKINAN. PERTAMA, SETIAP PENDAYUNG TERUS MENDAYUNG SESUAI KAPASITASNYA MASING-MASING, TIDAK SALING BERHUBUNGAN, TIDAK ADA KOORDINASI. KEDUA, PARA PENDAYUNG BERKOORDINASI DAN BEKERJA SAMA AGAR PERAHU DAPAT MELAJU SECARA LEBIH EFISIEN.
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
39
PADA 2030, PERSEDIAAN ENERGI INDONESIA LEBIH TERDESENTRALISASI. BANYAK daerah yang berusaha memenuhi kebutuhan energi mereka melalui sumberdaya energi setempat. Tak ada satu pendekatan kebijakan atau kerangka kerja energi nasional yang dapat diterapkan di seluruh wilayah (one size fits all). Masing-masing daerah membangun sistem energi sendiri-sendiri. Sebagai contoh, wilayah yang kaya bahan bakar fosil seperti Kalimantan mengandalkan batubara dan gas. Kotakota besar seperti Jakarta mengupayakan pengadaan energi dari berbagai sumber. Sedangkan kebutuhan listrik di pulau-pulau kecil seperti Sumba hampir seluruhnya mengandalkan sumber energi terbarukan. Kontribusi energi terbarukan terhadap kebutuhan energi nasional telah meningkat secara signifikan dan kini menjadi sumber energi utama meski bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi terbesar di Indonesia. Perdagangan energi antarwilayah di Indonesia pun telah dilakukan. Terlepas dari beberapa perkembangan tersebut, tantangan baru juga bermunculan. Ketegangan antarprovinsi dan kabupaten timbul seiring meningkatnya kekhawatiranketahanan energi regional dan persaingan untuk mendapatkan porsi subsidi energi dari APBN untuk energi terbarukan. Provinsi-provinsi terluar bahkan telah membuat perjanjian energi dengan negara-negara tetangga untuk mengelola ketahanan energi mereka. Kerangka kerja energi Indonesia semakin terfragmentasi dan dihadapkan pada kemungkinan munculnya persaingan antardaerah.
40
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
41
SEKIAN TAHUN SETELAH 2014, Indonesia dihadapkan pada persaingan antara pendukung dan penentang otonomi daerah. Para pemimpin, lokal maupun regional—termasuk perusahaan swasta, BUMN, dan institusi bisnis sosial— berkeinginan kuat membuat keputusan di sektor energi yang tidak bergantung pada Pusat. Sementara itu, pemerintah pusat sendiri tengah menghadapi kesulitan dalam menyediakan kecukupan pasokan energi akibat kelangkaan energi global. Ketidakpuasan mulai merebak di daerah yang kaya cadangan energi fosil karena mereka merasa Pusat hanya mau sumberdaya alamnya tapi abai terhadap pembangunan setempat. Pusat dituduh telah menghalangi mereka untuk menikmati pertumbuhan dan peningkatan standar hidup dari sumberdaya yang menjadi hak mereka. Mereka juga melihat kesenjangan yang semakin lebar antara penduduk desa dan kota. Selain itu, wilayah-wilayah yang memiliki sumber energi terbarukan merasa kurang mendapat pemberdayaan dan dukungan dari Pusat dalam mengelola sumber-sumber energi tersebut. Secara umum, kelangkaan energi semakin nyata pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Proyek-proyek infrastruktur energi berskala besar, termasuk energi terbarukan, gagal diwujudkan terutama akibat keterbatasan
investasi serta kebuntuan dalam pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur berskala besar. Harga energi telah melejit cepat sehingga memaksa pemerintah mengambil keputusan untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil secara bertahap. Masyarakat merespons dengan beragam cara. Sebagian besar kaum marjinal marah dan menuduh pemerintah tidak memikirkan kebutuhan rakyat. Namun, ada juga kalangan yang mulai menyadari adanya masalah yang lebih besar, termasuk tingginya ketergantungan, baik pada bahan bakar fosil maupun pada sistem energi yang terpusat. Selain itu, karakter geografis khas negara kepulauan juga ikut berkontribusi dalam meningkatnya disparitas harga. Sebagai contoh, di daerah pedalaman Papua dan Kalimantan, harga bahan bakar lebih mahal ketimbang di Jawa, padahal masyarakat di daerah tersebut memiliki daya beli yang jauh lebih rendah. Guna mencegah bencana nasional dan menanggulangi ketegangan tersebut, pemerintah terpaksa mengambil tindakan cepat untuk mengatasi kekhawatiran jangka pendek maupun jangka panjang. Pendekatan kebijakan pun berubah secara drastis. Pendekatan kebijakan energi yang bersifat monolitik, mengucur (dari atas ke bawah/top down), dan
Desa-desa berhasil membangun pembangkit listrik berskala kecil secara mandiri. Solusi teknologi pun beraneka ragam SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
43
© Paul Prescott / shutterstock.com
kebijakan bauran energi nasional ditambah dengan meningkatnya kontribusi energi terbarukan yang sejalan dengan ketersediaan sumberdaya lokal telah memicu pertikaian antarprovinsi, bahkan antarkabupaten.
negara-sentris, digantikan oleh pendekatan yang pluralistik, dari bawah ke atas (bottomup), dan masyarakat-sentris guna mengimbangi tuntutan hak otonomi yang lebih besar. Danadana yang disalurkan dari Pusat ke tingkat
desa digunakan oleh pemimpin daerah untuk membangun infrastruktur energi lokal. Namun, kebijakan tersebut juga menuai penolakan dari birokrasi Pusat yang berkepentingan agar mereka tetap memiliki kendali atas Daerah
serta adanya keengganan memberikan otonomi yang lebih besar dalam perencanaan energi. Seiring dengan kebijakan baru tersebut, sejumlah problem mencuat. Adanya kebijakan bauran energi nasional ditambah dengan meningkatnya kontribusi energi terbarukan yang sejalan dengan ketersediaan sumberdaya lokal telah memicu pertikaian antarprovinsi, bahkan antarkabupaten. Pertikaian itu berkutat pada insentif dari pemerintah pusat untuk pengembangan berbagai jenis energi terbarukan. Beberapa daerah mengharapkan adanya penelitian nasional untuk energi terbarukan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Tanpa adanya dukungan pemerintah pusat melalui berbagai subsidi, pembangunan teknologi untuk energi terbarukan bergerak lamban. Selain itu, muncul ketidakpuasan dan ketidakharmonisan antara provinsi yang kaya sumber energi fosil dan provinsi yang memiliki sumber energi terbarukan. Provinsi yang kaya sumber energi fosil (seperti Kalimantan dan Sumatera Selatan) terus melobi pemerintah pusat agar memberikan subsidi bahan bakar fosil yang terus mereka gunakan. Ketegangan antara perusahaan bermodal besar dan perusahaan bermodal kecil juga meruncing. Otonomi daerah yang semakin menggembung juga dihadapkan oleh hambatan-hambatan
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
teknis. Kesenjangan kapasitas antara keahlian pemerintah pusat dan daerah semakin kentara. Besar harapan agara pemerintah daerah mampu menyediakan data yang andal, memformulasikan kebijakan, dan membuat keputusan-keputusan penting bagi proyekproyek energi. Pemerintah pusat telah mencoba melaksanakan peningkatan kapasitas seluruh pemerintah daerah. Namun, hasilnya belum maksimal karena ketidakpaduan antarjajaran aparatur yang berlainan jenjangnya serta adanya ego birokrasi. Alhasil, hanya segelintir daerah saja yang mampu menarik pendanaan lumayan serta mampu bernegosiasi dengan perusahaan energi untuk memperoleh kontrak yang menguntungkan masyarakatnya. Ketidakpaduan dan lemahnya koordinasi terkait kebijakan energi telah menciptakan kondisi yang membingungkan. Sejalan dengan kebijakan untuk menggali solusi pemberdayaan dari bawah ke atas, strategi jangka panjang diintegrasikan melalui sistem pendidikan dan kurikulum nasional. Kurikulum baru yang didukung oleh kampanye informasi publik semakin menekankan pentingnya pelestarian energi. Tujuannya adalah untuk menciptakan “warga peduli energi” yang bergaya hidup “hemat energi” guna mengurangi permintaan energi nasional. Itu juga
dimaksudkan untuk membuat rakyat memahami pentingnya teknologi energi terbarukan yang dapat dikembangkan secara lokal. Pada 2030, inovasi lokal di bidang energi mengalami tumbuh-kembang secara signifikan. Inovasi mendorong timbul dan berkembangnya perusahaan-perusahaan energi lokal, baik yang berskala kecil maupun menengah. Sebagian besar dari perusahaan itu aktif di sektor energi terbarukan di berbagai wilayah Indonesia. Desa-desa berhasil membangun pembangkit listrik berskala kecil secara mandiri. Solusi teknologi pun beraneka ragam, mulai dari produk internasional yang kompleks hingga proyek yang dibangun dalam skala rumah tangga, dengan menerapkan konsep teknologi lokal yang tepat-guna dan berkesinambungan. Tersedianya sistem energi berskala besar yang dikelola BUMN serta perusahaan energi berskala kecil kelolaan swasta yang menjangkau seluruh kepulauan Indonesia, menjamin 100 persen ketersediaan pasokan listrik. Hal itu berkontribusi dalam membangunkan ekonomi setempat yang berasal dari pelbagai sumber. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, beragam tapi manunggal, kini tercermin di sektor energi. Namun demikian, tantangannya terletak pada kerja keras dalam menjaga persatuan serta kesetaraan dalam pencapaian
45
TIM SKENARIO AFDAL BAHAUDIN
DARMAWAN PRASODJO
FREDDY SARAGIH
M. ARSJAD RASJID
Pertamina
PDI Perjuangan
Kementerian Keuangan
Indika Energy
ANTONIUS ARIS SUDJATMIKO
DHARMAWAN H. SAMSU
GIGIH PRAKOSO
M. WAHID SUTOPO
BP Indonesia
Pertamina
PGN
PANUTAN S. SULENDRAKUSUMA
TRIHARYO SUSILO Supreme Energy
Lembaga Ketahanan Nasional
PGN
BENNY LUBIANTARA
F. X. SUTIJASTOTO
HINDUN MULAIKA
MAS ACHMAD SANTOSA
Kementerian ESDM
Greenpeace
UKP4
SKK Migas
Daftar Peserta
FABBY TUMIWA
ISKANDAR B. KUNTOADJI
MONTTY GIRIANA
BOB KAMANDANU
Institute for Essential
IBEKA
Kementerian Koordinator
Asosiasi Pertambangan
Services Reform
FAISAL BASRI BUDIMAN SUDJATMIKO
Bidang Perekonomian
KARDAYA WARNIKA
Batubara Indonesia Universitas Indonesia
Partai Gerindra
UCOK SIAGIAN PAULUS TJAKRAWAN
Pusat Penelitian
Asosiasi Produsen
Kebijakan Energi ITB
Biofuel Indonesia
RIDA MULYANA Kementerian ESDM SETIO ANGGORO DEWO PLN
NUR PAMUDJI PLN
PDI Perjuangan
FASILITATOR: Adam Kahane Winfried Veit
TRI MUMPUNI IBEKA
WIDHYAWAN PRAWIRAATMADJA SKK Migas
TIM PENULIS: Agung Wicaksono Farchad Mahfud Michael Putrawenas Paskal Kleden Ping Yowargana Yanuar Nugroho TIM PENDUKUNG FASILITASI: Brenna Atnikov Daniel Reichart Endah Yuliani Mian Manurung Valeska Hesse PENYELARAS: Agus Susanto
CATATAN:
46
Tim perumus skenario berpartisipasi dalam kapasitas pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi masing-masing. Skenario yang disusun merupakan hasil pemikiran kolektif yang dicapai melalui proses perdebatan dan diskusi yang mendalam.
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
47
SISTEM SOSIAL terkadang menabrak kebuntuan. Antarpemimpin terlihat masih kurang memiliki kesepahaman mengenai apa yang sedang/ dapat/seharusnya terjadi agar sistem dapat bergerak maju. Kerancuan dan konflik dapat menghambat kemajuan dan berisiko pada kemunduran. Dalam konteks itu, perencanaan skenario transformatif bisa bermanfaat. Proses tersebut
memungkinkan para politisi, birokrat, aktivis, pebisnis, asosiasi pedagang, akademisi, dan para pemimpin kelompok pemangku kepentingan saling bekerja sama. Tujuannya, demi mencapai pemahaman bersama tentang apa yang sedang atau sebaiknya ditempuh pada sistem, dan kemudian bertindak berdasarkan pemahaman bersama tersebut. Fokus dari perencanaan skenario transformasi
adalah pengembangan, penyebarluasan, dan penggunaan dua, tiga, atau empat skenario (kisah naratif terstruktur) tentang apa yang mungkin terjadi atau dilakukan. Sebuah skenario merupakan sebuah kisah tentang apa yang dapat terjadi: sebuah hipotesis yang konsisten tentang masa depan yang relevan, penuh tantangan, mungkin terjadi, dan jernih. Sebuah skenario bukanlah sebuah kisah tentang apa yang akan terjadi
(ramalan) dan bukan pula kisah tentang apa yang seharusnya terjadi (visi/proposal/rencana). Skenario memberikan kerangka kerja dan “bahasa” yang sama untuk pembicaraan strategis di dalam maupun antarkelompok pemangku kepentingan tentang situasi ketika mereka menjadi bagian dari situasi tersebut. Selain itu juga tentang tindakantindakan apa saja yang dapat, harus, dan akan
mereka tempuh dalam rangka mengatasi situasi tersebut. Oleh karena itu, perencanaan skenario transformasi menawarkan suatu cara agar sistem sosial terbebas dari belengu kebuntuan dan dapat bergerak maju.
BANGUN suatu pemahaman-bersama dalam Tim Skenario itu mengenai apa yang sedang terjadi dalam sistem ketika mereka menjadi bagian darinya dan apa yang ingin mereka pengaruhi. Mereka yang bekerja sama sudah barang tentu memiliki posisi dan perspektif yang berbeda-beda mengenai sistem. Melalui proses itu, mereka diharuskan untuk berpikir jauh melampaui pandangan yang sudah terbentuk dalam diri sembari melihat dengan sudut pandang yang baru/berbeda. Mereka harus dapat melihat bukan hanya apa yang menjadi bagian dari diri mereka, melainkan melihat sistem secara keseluruhan serta berpikiran terbuka, mau bertanya, dan belajar.
BANGUN sejumlah skenario yang berguna tentang apa yang dapat terjadi di dalam maupun di sekitar sistem Tim Skenario. Untuk menghasilkan skenario yang bermanfaat, skenario harus relevan, penuh tantangan, mungkin terjadi, dan jernih. Skenario yang bermanfaat akan mampu membuka dan menggerakkan pemikiran serta aksi para aktor dalam suatu sistem.
TIM SKENARIO harus mampu melihat apa yang dapat dan perlu dilakukan berdasarkan skenarioskenario tersebut. Kesimpulan yang diambil dapat berupa aksi-aksi yang perlu dilakukan untuk beradaptasi dengan hal-hal yang tak dapat mereka pengaruhi, atau tentang aksi yang dapat dilakukan untuk memengaruhi hal-hal yang dapat mereka pengaruhi. Kesimpulan-kesimpulan itu dapat berupa aksi yang perlu dilakukan secara bersama-bersama atau sendiri-sendiri.
ANGGOTA TIM Skenario bertindak dengan sesama anggota, maupun dengan anggota Tim lintassistem, untuk mentransformasi situasi. Tindakan-tindakan itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk (kampanye, pertemuan, gerakan, publikasi, proyek, inisiatif, lembaga, legislasi, dll), di pemerintah atau swasta, dalam jangka pendek atau jangka panjang. Kegiatan di tahap ini lebih banyak dibandingkan tahap sebelumnya, sehingga mungkin saja tidak diperkirakan atau direncanakan sajak awal. Kegiatan-kegiatan itu tidak wajib menjadi bagian dari skenario proyek.
Langkah
Proses perencanaan skenario transformatif
Lampiran Metode Perencanaan Skenario Transformasi
48
BENTUK sebuah Tim Skenario yang anggotanya berasal dari seluruh sistem yang ingin—dan bersama-sama mampu—memengaruhi masa depan dari sistem itu. Sistem termaksud dapat berupa suatu komunitas, sektor, atau sebuah negara: suatu sistem sosial-ekonomi-politik yang sangat kompleks sehingga tidak dapat dijangkau ataupun diubah oleh hanya satu bagian dari sistem tersebut.
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
49
Hubungan
01
Pertama, Menciptakan HUBUNGAN lintas sistem: sebuah pengalaman para aktor utama dari lintassistem—termasuk beberapa aktor yang terkait dalam konflik—untuk bekerja sama secara konstruktif dalam menghadapi kompleksnya kekhawatiran bersama.
Hasil
Dari rencana skenario transformasi melalui langkahlangkah tersebut diatas
Lampiran Metode Perencanaan Skenario Transformasi
Pemahaman
Maksud & Tujuan
Kedua, menciptakan PEMAHAMAN sistemik: seperangkat skenario yang memberikan penjelasan tentang masa lalu, masa kini dan kemungkinan masa depan dari sistem tersebut.
Ketiga, menghasilkan MAKSUD/ TUJUAN yang mencakup seluruh sistem: komitmen, bagian peran dari para aktor utama, tentang apa yang perlu mereka lakukan setelah memahami skenario-skenario tersebut.
02
kapasitas
Tindakan
Keempat, menghasilkan KAPASITAS dari para aktor yang berpartisipasi untuk memimpin perubahan sistemik.
Kelima, Menghasilkan TINDAKAN yang dimaksud untuk mentransformasi sistem: prakarsa-prakarsa yang diambil oleh para aktor tersebut untuk menciptakan gerakan maju.
04 51
SKETSA ENERGI INDONESIA 2030
03
05
51
Ombak Digambarkan sebagai sebuah perahu yang sedang berjuang menembus ombak. Mendayung perahu di tengah ombak besar merupakan kegiatan yang sangat melelahkan. Ombakombak tersebut akan terus menerjang dan menghantam kapal seperti tiada akhir dan dapat menenggelamkan perahu. Para pendayung harus berjuang untuk menyeimbangkan perahu sekaligus mendayung sekuat tenaga untuk mengatasi setiap ombak yang datang.
Batu Karang Digambarkan bagai sebuah perahu yang dikayuh melintasi gugusan batu karang bawah laut yang berbahaya. Faktor utama yang menentukan kesuksesan upaya tersebut adalah keterampilan si pendayung perahu serta faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan, seperti kuatnya terpaan angin dan posisi batu karang.
Badai Digambarkan sebagai sebuah perahu yang mencoba mengganti layarnya di tengah amukan badai. Jika awak perahu gagal mengembangkan layar khusus sebelum badai menghantam, maka perahu akan berada dalam situasi bahaya. Sebaliknya, tetap menggunakan layar biasa di tengah badai juga amatlah berbahaya.
Awak Kapal Digambarkan bagaikan sebuah perahu yang didayung oleh beberapa orang. Setiap pendayung memiliki tujuan yang sama, yaitu agar perahu melaju, tetapi kapasitas dan keterampilan setiap pendayung berbeda-beda. Sebagian pendayung lebih mahir mendayung dibandingkan sebagian lainnya. Skenario ini menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, setiap pendayung terus mendayung sesuai kapasitasny a masing-masing, tidak saling berhubungan dan tak ada koordinasi. Kemungkinan kedua yaitu para pendayung berkoordinasi dan bekerja sama agar perahu dapat melaju lebih efisien.
Sketsa Energi Indonesia 2030 JOIN THE CONVERSATION #Bandungscenarios2030 LOG ON TO www.bandungscenarios2030.com