Sefriyeni
Sistem-sistem Epistemologi Humanisme Ekologis (Studi Tafsir al-Mishbah) Sefriyeni Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Hasil penelitian ini mengkaji konsep humanisme ekologis dalam tafsir alMishbah. Hal ini menarik karena makalah ini lebih spesifik membahas tentang konteks filsafat lingkungan menurut perspektif tafsir al-Misbah. Tafsir ini ditulis oleh M. Quraish Shihab. Konsep atau pemikiran tentang adanya etika alam lingkungan adalah berangkat dari pemikiran yang kontroversi antara ’humanisme tradisional’ dengan ’humanisme ekologis’. Humanisme ekologis sebenarnya ingin menyampaikan buah pemikiran bahwa manusia harus mengurangi pemanfaatan yang katakanlah lebih tidak bertanggungjawab terhadap alam lingkungan. Juga memberikan sinyal bahwa alam jangan dikuras habis keberdayaannya. Artikel ini menyimpulkan bangunan dari sistem-sitem epistemologi dalam tafsir al-Mishbah yang ditulis oleh Quraish Shihab, menunjukkan terbangunnnya sistem yang kuat dan menyatu antara konsep-kosep keilmiahan, hukuman, nilai-nilai ketawadhu’an, yang dibangun atas dasar pondasi keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah Swt. Jadi, dalam hal ini sama sekali tidak terpisah antara keyakinan atau keimanan kepada Allah, terhadap bagaimana memahami alam dengan kadar ukurannya. Dan, bagaimana merusak alam mendapat sindiran dan teguran serta hukuman yang keras dari Allah. Sehingga dalam konteks pemeliharaan alam, sangat terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ibadah kepada Allah. Abstract The result of research that examines the concept of ecological humanism in the interpretation of al-Mishbah. This is interesting because this paper discusses the more specific context of environmental philosophy in the perspective of al-Misbah interpretation. This commentary was written by M. Quraish Shihab. The concept of ethical nature of the environment starts from controversial thought between
Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
37
Sistem-sistem Epistemologi ...
traditional humanism and ecological humanism. Ecological humanism actually conveys the thought that humans should be responsible for the natural environment as it should not be depleted. In brief, the epistemology systems in the interpretation of al-Mishbah show a strong system built and fused among scientific concepts, penalties, and values built on the foundation of faith and strong belief. Thus, the faith and belief are not separated from the nature. Then the damage of nature gets the punishment from God in the context of maintaining the nature closely related to the values of faith and worship. Keywords: Ecological Humanism, the Interpretation of al-Misbah Masalah alam yang semberawut sekarang ini, dicoba dicari solusi penyelesaian. Ternyata apa yang salah, diduga adalah cara berpikir manusia yang salah ketika memandang alam lingkungannya. Paradigma-paradigma baru bermunculan untuk mengatasi atau mencari solusi tersebut. Salah satunya adalah cara pandang terhadap alam lingkungan yang dibangun berdasarkan pemikiran semata, maka menurut penulis hasilnya akan nihil. Karena hubungannya dengan Tuhan diabaikan, sehingga pemaknaan akan alam lingkungan menjadi lemah terutama dari segi spiritual, sebagaimana kebanyakan paradigma Barat. Belakangan, aliran filsafat Barat ingin membangun konsep humanisme ekologis. Seiring dengan gagasan yang terkesan baru, namun sebetulnya dengan menu lama itu bermunculan, seperti paduan antara konsep humanis dengan konsep ekologi. Panduan antara konsep filsafat manusia tradisional dengan filsafat alam. Namun, belum ada yang mencoba memadukannya dengan konsep filsafat ketuhanan. Kalaupun ada, tentu tidak seperti apa yang ada pada sumber-sumber Islam. Oleh karena itu, penulis tergugah ingin melihat benih gagasan ini dalam tafsir al-Qur’an, yang tentunya tidak akan lepas dari al-Qur’an. Arsitektur epistemologi apa yang sesungguhnya dibangun dari tafsiran terhadap kitab suci tersebut. Barangkali kita akan berasumsi bahwa di sana adalah menginginkan adanya sebuah pertanggungjawaban terhadap alam. Atau, konsep ilmiah yang sarat nilai-nilai ke-Islaman dan spiritual. Hal ini tentu akan berlawanan dengan ilmiah dalam tradisi Barat yang kandas bebas nilai, dan sekular. Bahkan ilmiah sekular justru menjadi masalah di dunia Barat. Karena itu bangunan-bangunan yang berangkat dari epistemologi spiritual seperti Islam misalnya menjadi lirikan. Selain itu, dalam pandangan sebagian ahli, tidak banyak kitab-kitab suci yang berbicara tentang alam lingkungan dan bagaimana cara memperlakukannya Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
38
Sefriyeni oleh manusia. Sehingga, sebagian memandang mencurigai bahwa salah satu penyebab kesalahpahaman manusia terhadap memperlakukan alam lingkungan adalah dari kesalahan penjelasan terhadap kitab-kitab suci. Atau, lebih ekstrem lagi merupakan kesalahan dari tidak adanya penjelasan cara memperlakukan alam dari kitab suci itu sendiri. Setidaknya salah satu faktor di atas merupakan pemicu munculnya gangguan terhadap alam lingkungan. Di samping adanya faktor lain, keterkaitannya dengan ekonomi dengan mengeksploitasi alam, keterkaitannya dengan politik, tidak adanya kebijakan politik dalam penataan dan pelestarian alam, dan seterusnya. Untuk itulah penulis ingin mengambil kesempatan untuk melihat bagaimana paradigma terhadap alam lingkungan yang dibangun dari sumbersumber Islam. Sekaligus ingin membuktikan apakah memang benar sumbersumber agama dan penafsirannya merupakan salah satu pemicu lemahnya pemahaman manusia terhadap alam lingkungan. Benarkah demikian, seperti pada surat Luqman ayat 20: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan apa yang di bumi,….” Begitu juga pada surat an-Nahl ayat 5-6, “dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu;….”. Padahal sebetulnya alQur’an selalu berbicara bergandengan dengan ayat-ayat lainnya. Atau ayat satu kemudian diperjelas oleh ayat lainnya. Seperti pada surat ar-Ruum ayat 41, “Telah timbul kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” Hal ini perlu diperjelas bahwa pemahaman terhadap kosmologi kitab tidak boleh dipahami secara parsial. Oleh sebab itu, perlu dilihat apakah memang ada teks-teks yang menyebabkan kesalahpahaman manusia. Kemudian juga, teks-teks itu dihubungkan dengan kerangka epistemologi yang dibangun di sana. Bagaimana kerangka epistemologinya. Kerangka epistemologi kitab yang dibangun, penting dibahas. Sehingga, mampu membedakan antara bangunan epistemologi yang bersumber dari wahyu dengan bangunan epistemologi yang bukan dari wahyu. Karena itu, penulis ingin melihat prinsip pemikiran ini dalam kitab. Kosmologi kitab dapat memberikan pengetahuan kepada manusia bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, dan juga dilihat sebagai ciptaan Tuhan, diawasi oleh Tuhan secara terus menerus. Penciptaan alam semesta yang bertujuan, tentu menjalani Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
39
Sistem-sistem Epistemologi ...
maksud-maksudnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebatas alam tersebut mengatur jalan hidupnya dengan konsep sunnatullah (hukum alam), maka manusia dapat menjangkau pengetahuannya terhadap alam. Ketimpangan pandangan terhadap kosmologi kitab menyebabkan penulis ingin meneliti, seperti apa bangunan pemahaman epistmologi yang dibangun dalam kosmologi kitab. Dalam hal ini penulis ingin melihat kepada tafsir alMishbah karya M. Quraish Shihab. Konsep Humanisme Ekologis Ekologi adalah kata, atau kajian tentang alam. Yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Banyaklah pandangan manusia tentang alam seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun, belakangan pandangan manusia tentang alam ini dianggap sebagai pandangan yang katakanlah mementingkan alam, sehingga melupakan yang lain. Oleh karena itu, sebagai penyeimbang atau sebagai adanya pandangan lain, maka di abad modern munculah pandangan yang lebih terkonsentrasi kepada manusia. Pandangan terhadap manusia ini muncul seiring sejalan dengan tragedi sejarah Barat-Kristen terutama saat munculnya gagasan humanisme dan sekularisme. Perlu dipahami di sini, bahwa sejarah Barat-Kristen terutama munculnya humanisme dan sekularisme adalah merupakan sejarah atau ‘mod’ kekecewaan ilmuwan khususnya terhadap perlakuan Gereja. Kalangan Gereja selalu saja menuding bahwa temuan ilmuwan sangat berlawanan dengan doktrindoktrin Gereja. Sehingga, dengan demikian, Gereja atas nama Bapa di surga, memiliki otoritas untuk menjustifikasi penilaian pandangan ilmuwan, sebagai sebuah pandangan yang buruk dan melawan pihak Gereja, dalam hal ini melawan doktrin. Sebut saja misalnya bagaimana Galileo yang membenarkan pandangan Nicolas Copernicus -bahwa mataharilah pusat tata surya diinkuisisi (dihukum ala Gereja), atas nama Bapa di surga. Pada akhirnya banyaklah ilmuwan satu per satu yang dihukum oleh pihak Gereja karena temuannya dipandang menentang doktrin. Dengan demikian, gagasan humanisme, atau gagasan yang menginginkan agar- Gereja khususnya, dapat memperlakukan manusia (dalam hal ini ilmuwan), agar betul-betul diperlakukan seperti manusia seutuhnya. Tidak memperlakukan ilmuwan seperti memperlakukan penjahat, atau penjahat perang. Padahal ilmuwan hanya meneliti. Dan, hasil penelitiannya sesuai dengan fakta-fakta serta fenomenafenomena yang ada pada alam. Dengan demikian, ilmuwan hanya mengklaim bahwa data temuannya adalah valid. Namun, karena statemen temuannya Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
40
Sefriyeni dipandang menggugat doktrin Gereja, maka ilmuwan tersebut dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku dari Gereja. Akhirnya lahirlah gagasan humanisme. Humanisme, adalah konsep dimana ingin meninggikan manusia ke tempat yang bertaraf, sesuai dengan kesadarannya. Bagaimana memandang manusia sebagai manusia. Tidak merendahkan derajat manusia dengan alasan apapun. Humanisme sebenarnya ingin menyelesaikan masalah manusia secara manusiawi. Humanisme juga memandang konsep manusia lebih bermartabat. Seiring dengan gagasan humanisme, muncul juga gagasan sekularisme. Yaitu gagasan yang ingin memisahkan urusan agama dengan urusan dunia. Gagasan ini muncul seiring dengan perlakuan Gereja terhadap ilmuwan yang dipandang “semena-mena”. Sehingga, setelah hal demikian, bermunculanlah pandangan-pandangan filsafat tentang manusia. Bahkan, pada puncaknya filsafat manusia justru malah mengabaikan Tuhan. Ada baiknya kita simak pandangan filsafat Barat tentang manusia. Atau tentang eksistensi manusia di bumi ini. Sehingga pandangan ini, cenderung dikelompokkan kepada aliran filsafat eksistensialisme. Dengan demikian, munculah konsep yang ingin memandang alam juga sebagaimana memandang manusia. Munculah ide menggabungkan atau menyatukan kedua pandangan tersebut agar saling beriringan. Dan, tidak terpisah satu dengan yang lain. Itulah konsep humanisme ekologis.Konsep ini sederhananya adalah konsep yang memandang alam dengan pandangan yang jauh lebih beretika, ketimbang hanya menganggap alam sebagai pemenuhan kebutuhan manusia semata. Dengan pandangan terhadap alam yang lebih beretika, maka manusia juga semestinya bertanggungjawab terhadap dampak dan efek samping akan penggunaan alam tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa asal-usul konsep humanisme ekologis, adalah merupakan perdamaian antara dua konsep yang selama ini seolaholah bertarung yaitu filsafat alam dengan filsafat manusia. Alam Sebagai Jejak-jejak Eksistensi Tuhan Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Q. S. Fushshilat: 53).
Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
41
Sistem-sistem Epistemologi ...
Ayat ini menegaskan bahwa Allah dalam hal ini Kami, akan memperlihatkan tanda-tanda kebesarannya di ufuk Barat dan Timur. Di sini dipakai kata ‘kami’ adalah menunjukkan bahwa manusia atau para ilmuan juga terlibat dalam usaha membuktikan adanya tanda-tanda kebesaran Allah. Pada masa Rasulullah, ayat-ayat yang ditunjukkan untuk mengungkap kebesaran Allah, adalah seperti kemenangan yang diraih Nabi dalam peperanganpeperangan nya, serta kematian tokoh-tokoh kaum musrikin. Begitu juga rahasiarahasia alam dan keajaiban-keajaiban yang ada pada diri manusia itu sendiri.1 Adapun pada zaman sekarang kebesaran Allah cenderung diperlihatkan dengan temuan-tmuan ilmiah. Dengan adanya penelitian-penelitian terutama yang dilakukan manusia, sesungguhnya cepat atau lambat akan semakin menunjukkan kemahabesaran Allah. Allah telah mengungkap kebenaran ayat-ayatnya di ufuk Barat dan Timur. Humanisme Ekologis dalam Tafsir Al-Mishbah Epistemologi pertama dari bangunan humanisme ekologis dalam tafsir alMishbah adalah ‘tauhid’. Hal ini menunjukkan bahwa tafsir al-Mishbah selalu menghubungkan akan humanisme ekologis dengan nilai-nilai ketuhanan. Buktibukti yang ada untuk memperkuat hal ini, yakni: adanya alam merupakan perbuatan Tuhan; alam tidak berdiri sendiri; alam sebagai jejak-jejak eksistensi Tuhan. Epistemologi kedua dari bangunan humanisme ekologis dalam tafsir alMishbah. Bangunan itu dijelaskan bahwa konsep humanisme ekologis pun di samping berlandaskan tauhid, juga berlandaskan hal-hal yang bersifat ilmiah. Artinya dalam hal ini, tidak ada pemisahan antara apa yang ada pada nilai-nilai tauhid, dengan apa yang ada pada konsep-konsep ilmiah. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa alam berjalan sesuai sunnatullah; makna ”kun fa ya kun” terhadap alam lingkungan; hubungan manusia dengan alam; pemanfaatan alam; pertanggungjawaban terhadap alam; pelestarian alam. Selain itu, adanya epistemologi yang terhubung dengan fiqh dan keakhiratan, akan konsep humanisme ekologis dalam tafsir al-Mishbah. Hal ini adanya konsep halal-haram, dan yang terhubung dengan surga dan neraka. Dengan demikian, motivasi dari humanisme ekologis dalam tafsir al-Mishbah tidak hanya sebatas untuk di dunia ini semata, namun juga terhubung untuk pertanggungjawaban di akhirat juga. Dan, perbuatan yang melanggar prinsip humanisme ekologis adalah dipandang sebagai perbuatan yang buruk. Hal ini Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
42
Sefriyeni diperkuat dengan dalil dalam al-Quran tentang halal haram perbuatan manusia terhadap alam; hukuman di dunia, perbuatan manusia terhadap alam surga neraka, perbuatan manusia terhadap alam. Tetapi, keterhubungan konsep humanisme ekologis tidak saja dengan halal haram atau keakhiratan. Namun, juga dengan kecerdasan hati dan kelembutan hati akan rasa cinta terhadap alam untuk menggunakan dan memeliharanya. Paradigma ini dinyatakan sebagaimana yang hadir dalam konsep tasawuf. Bahwa manusia memang harus mengasah kecerdasan hatinya juga tatkala berhubungan dengan alam dalam arti menggunakan dan mempertanggungjawabkannya. Penjelasan ini dibangun dengan didukung oleh argumen mengenai hubungan alam dengan sikap tawadhu’; hubungan alam dengan sikap amanah. Kesimpulan Bangunan epistemologi studi tafsir al-Mishbah;
Bahwa sesungguhnya bangunan dari sistem-sitem epistemologi dalam tafsir al-Mishbah yang ditulis oleh Quraish Shihab, menunjukkan terbangunnnya sistem yang kuat dan menyatu antara konsep-kosep keilmiahan, hukuman, nilai-nilai ketawadhu’an, yang dibangun atas dasar pondasi keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah Swt. Jadi, dalam hal ini sama sekali tidak terpisah antara keyakinan atau keimanan kepada Allah, terhadap bagaimana memahami alam dengan kadar ukurannya. Dan, bagaimana merusak alam mendapat sindiran dan Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
43
Sistem-sistem Epistemologi ...
teguran serta hukuman yang keras dari Allah. Sehingga dalam konteks pemeliharaan alam, sangat terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ibadah kepada Allah. Menariknya dalam hal ini, bahwa semua menyatu bagaikan kekuatan besar yang dibangun untuk menyatakan bahwa menjaga alam dan keseimbangan serta kelestariannya, tidak saja hanya merupakan hubungan perlakuan yang baik kepada alam, atau hubungan itu dibina karena menjaga antisipasi musibahnya kepada manusia, namun lebih jauh dari itu, menjaga alam dan kelestariannya adalah merupakan bentuk manifestasi keyakian manusia kepada Allah. Dimana keyakinan itu ditunjang dengan pemahaman yang baik bahwa antara alam, manusia dan penciptaan Allah yang lainnya saling terkait, sebagaimana ekosistem raksasa yang ada di alam lingkungan manusia. Dengan demikian, menyakini adanya saling keterkaitan tersebut menunjukkan bahwa manusia patuh dan taat kepada Allah. Dapat dikatakan bahwa alam, penjagaan, kelestarian, marusaknya ada ganjaran hukuman, penggunaan alam sesuai kebutuhan, kemudian pemahaman itu dibangun dengan dasar-dasar ilmiah, dan dengan pondasi iman, menunjukkan bahwa tafsir ini melihat cara pandang itu dari segala sisi penjurunya. Juga dikatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir terlengkap pertama untuk konteks keIndonesia, yang pernah penulis kaji dalam tahun terakhir ini, yang terkait dengan bahasan alam lingkungan. Dan, adalah tidak benar bahwa sistem humanisme ekologis yang berangkat dari kitab – dalam hal ini tafsir al-Mishbah- mengandung unsur ‘salah paham’ terhadap pemaknaan alam lingkungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa belajar agama, menyatakan aqidah secara kuat, tidak serta merta menurunkan tingkat pemahaman dan rasionalitas kita akan pandangan terhadap alam lingkungan. Justru sebaliknya antara iman, rasio, dan pandangan-pandangan keilmiahan menyatu kuat dalam perspektif-perspektif ke-Islaman.
Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
44
Sefriyeni Endnote 1
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 90
Daftar Pustaka Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015
45