Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
SINOPSIS Siapa sih yang tidak ingin menikah? Apalagi, di usia Diar yang hampir genap 28 tahun. Sayangnya, sudah sepuluh tahun lebih berpacaran, dia belum juga dilamar oleh Radit, kekasihnya sejak SMA. Tanda-tandanya pun tak tampak, sama sekali.
Rintangan pun dimulai, ketika ayah Diar jatuh sakit. Mengharuskan sang ayah pensiun dari dunia bisnis apartemen dan hotel, yang ada di Jakarta. Sebagai permintaan kepada puteri tunggalnya, Diar harus kembali ke tanah air, setelah tinggal di London sejak kelulusan sekolah. Diar pun terpaksa menjalani hubungan Long Distance Relationship dengan Radit, demi permohonan sang ayah, menggantikan posisi “orang nomor satu” di Royale Park Hotel and Apartement. Apa yang bisa dilakukannya, jika background pendidikan Diar bukanlah bisnis, melainkan Sastra? Sementara Radit yang justru ahli berbisnis, makin sibuk sendiri dan jauh dari jangkauan Diar.
Saat tiba di Indonesia, Diar memulai segalanya tentang bisnis, dari nol. Hanya ada Davin, asisten kepercayaan sang ayah, yang membantunya. Namun apalah daya, jika usia tua Davin, tak sanggup lagi, bekerja seperti biasanya. Karena sudah berjanji pada ayahnya, bahwa semua akan baik-baik saja, maka Diar tidak berani mengabari pada ayahnya, bahwa asisten pribadinya juga jatuh sakit. Semakin mendekati hari ulang tahun, Diar malah sering bertengkar dengan Radit. Sementara, Alexandra, adik Radit yang sedang berlibur di Royale Park, tidak bisa membantu keretakan hubungan mereka. Semakin banyak airmata, dan makin pupus harapannya, untuk segera menikah. Bingung tidak punya pedoman, Diar malah teringat 5 sahabatnya semasa SMA. Rico, Andre, Joe, Iboy dan Dewa, tim basket sekolahnya dulu. Satu dekade tak berjumpa, satu per satu sahabatnya muncul. Berlibur dan menginap di Royale Park yang sedang dikelolanya. Di hari yang sama, Diar kembali mendapatkan teror romantis, yang lambat laun mengurangi laranya.
Masalah terus muncul, kondisi Royale Park mulai goyah. Mulai dari target penjualan unit menurun drastis, sampai kasus beberapa karyawan yang resign mendadak. Hanya 5 sahabatnya, yang siap siaga membantunya. Benar, persahabatan mereka makin erat, ketika mereka menjajal pekerjaan yang tidak biasa dilakukan, demi membantu Diar. Seperti mendadak menjadi asisten chef, resepsionis bahkan pelayan.
Kedekatan Diar dengan pria-pria yang kini sudah tumbuh dewasa itu, tak bisa dipungkiri. Apalagi Dewa, yang sejak SMA menaruh perhatian khusus padanya. Melihat Diar sering sedih, Dewa merasa bertanggung jawab untuk menghentikan derai airmatanya, setiap kali bertengkar dengan Radit. Sayangnya, Radit sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemburuan. Radit malah makin sibuk dengan ragam agenda bisnisnya. Dan, sang Teroris Cinta, makin membuatnya tenang dan bersabar. Lalu, siapa Teroris Cinta yang selama ini, sanggup mendamaikan emosi dan perasaan Diar? Apakah satu di antara sahabatnya? Atau orang lain? Neno Rachmadana (2015)
1
Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
Suatu hari, ayah Diar akhirnya mengetahui kabar bahwa Davin, asistennya, dirawat di Rumah Sakit dan Royale Park sedang dalam keadaan kacau. Tiba-tiba muncul, untuk menangkap basah puteri kesayangannya, belum mampu menunjukkan perkembangan tentang bisnis yang diwariskannya. Marah besar, sang Ayah meminta Diar untuk segera membereskan permasalahan yang terjadi, atau dia harus meninggalkan Radit agar bisa konsentrasi penuh menjalankan Royale Park. Sementara, masa berlibur 5 sahabatnya sudah habis dan harus segera kembali melaksanakan aktivitas kerja, di kotanya masing-masing. Tepat di malam ulang tahun Diar, sebuah video rekaman handycam diputar di layar restoran. Hati dan perasaannya bertambah kacau, menyaksikan rekaman kesaksian harian, pengakuan sang Teroris Cinta, yang selama ini mengikutinya. Dia adalah Radit, yang selama ini ternyata datang bersama adiknya, namun bersembunyi di kamar sewa lain. Mengaku, rela meninggalkan bisnisnya, demi mengumpulkan 5 sahabat Diar. Lima orang yang sudah pernah dicari Diar selama bertahuntahun, namun tak berhasil. Radit, berhasil mempertemukan mereka ke hadapan Diar, sebagai kado ulang tahun. Kecewa dan putus asa dengan sikap Diar, Radit sempat nyaris menyerah. Namun, cintanya pada Diar, tetap lebih besar dari kesedihannya. Lantas terungkap, hubungan Radit dan Diar kembali baik. Radit berjanji untuk membantu masalah Diar di Royale Park. Karena sang ayah, membawa Davin, pulang ke London untuk menghabiskan masa tua. Suatu ketika, Radit terus didesak klien untuk menyempatkan diri sebentar, menyelesaikan urusan bisnis di benua eropa. Maka, Radit berniat untuk memberi kejutan sebelum meninggalkan Jakarta, lagi. Sayangnya, Radit mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Kejutannya, tidak berjalan lancar. Radit melamar Diar dalam keadaan sekarat, di dalam mobil ambulans.
Cukup lama tak sadarkan diri dari kritis, Radit malah tidak bisa mengingat semuanya. Termasuk mengingat Alex, adik tiri kesayangannya. Yang diingat Radit, hanyalah ayah kandungnya yang selama ini tinggal di Jerman. Diar tidak patah semangat, apapun akan dilakukannya untuk tetap berada di samping Radit. Meskipun harus mengulang kisah cinta lagi dari nol. Dulu, kegigihan Radit, membuatnya banyak belajar, bahwa saat genting seperti itu, Diar juga bisa melakukan perjuangan yang sama. Karena cincin yang sudah melingkar di jari manis mereka, perlu dibuktikan kesetiaannya. ***
Neno Rachmadana (2015)
2
Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
RUANG NOSTALGIA Jam 5 pagi, aku sudah berangkat bersama Soleh, driver muda kepercayaan Davin, menuju Bandung. … Tak banyak perubahan di sekolah ini. Hanya beberapa ruangan nampaknya direnovasi dan dicat ulang kembali dengan warna berbeda dari jamanku, dulu. Termasuk aula basket, ruang UKS dan ruang majalah dinding. Memang terlihat lebih baru dan luas. Tapi bagiku, ruangan mana pun di setiap sudut sekolah ini, masih tetap sama seperti dalam kenangan yang kutata rapi. Kini, aku berdiri di sini, di ruang nostalgia, sebagai tamu undangan untuk mengisi seminar motivasi pelajar dalam mempublikasi potensi diri. Senangku tergambar pada raut dan haru yang terjaga dalam batinku. Ada rasa bangga tersendiri, bisa berbagi pengalaman untuk generasi remaja masa kini. Para siswa tampak hilir mudik di koridor. Aku jadi ingat, saat hari pertamaku menjadi siswa baru di sini, dan Teroris Cintaku itu mulai melancarkan serangannya. “Kak Diar, silakan masuk lewat sini,” seorang murid berperangai sopan, menghampiriku dan menunjukkan jalan masuk ke aula basket. Dia adalah ketua osis sekolah, yang berhasil menemukan kontakku, seminggu lalu. Tepat saat Papa memintaku untuk kembali ke tanah air. Aku pun melangkah mengikutinya. Hal pertama yang terlintas di benakku saat berada di dalam, adalah Rico, Dewa, Joe, Andre dan Iboy. Ingatan tentang mereka, tak luput dari kenangan hidupku. Seminar dimulai, aku dipandu oleh MC sekolah. “Satu hal yang harus kalian ingat. Kalian semua di ruangan ini, bisa menjadi apapun, siapapun, dan kapanpun kalian mau. Kalian mau jadi penulis? Maka cintailah buku, imajinasi dan rajin menulis. Lalu, kalian mau jadi pemain basket yang hebat? Maka cintailah setiap unsur gerakannya, rutin latihan dan kompak di dalam tim. Atau kalian mau belajar tentang penelitian, jambore, olahraga lainnya, atau mading? Pasti bisa. Ingat, niat dan berusaha yang terbaik. That’s the point,” aku menutup seminar motivasi dengan senyum. Berharap ada setitik energi yang mereka serap, sebagai bekal untuk bangkit menjadi generasi yang bersemangat. Usai seminar bubar teratur, beberapa orang yang tersisa di dalam aula basket, menghampiriku. “Apakah berita, kakak pernah menjadi manager tim basket di sekolah ini, benar?” Neno Rachmadana (2015)
3
Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
“Bukan saya nggak bangga disebut sebagai manager, tapi saya lebih bangga lagi kalau dikatakan sebagai sahabat tim basket, pada tahun itu,” tuturku, sambil tersenyum ramah. “Lalu, bagaimana perjalanan hidup kakak setelah lulus dari sini?” Aku senyum sejenak, lalu menjawab. “Pada dasarnya, semua perjalanan hidup itu menyenangkan. Hanya bagaimana cara kita bersyukur saja, kepada Tuhan. Saya pun bersyukur, bisa kembali ke sini setelah 10 tahun lamanya,” “Apa kabar, tim basket di jaman Kakak?” Senyumku hilang dan terbungkam seketika. “Kak … Baik, anggaplah tadi sebagai pertanyaan terakhir,” “It’s okay. Begini. Sudah 10 tahun saya belum bertemu dengan mereka lagi. Selama di London, saya kehilangan kontak dan sampai tiba di sekolah ini pun, saya belum mendapat kabar apa-apa tentang mereka. Belakangan ini juga, saya beberapa kali ke Indonesia, dalam keadaan seperti terasing tanpa kehadiran mereka. Kalaupun saya boleh pesan untuk kalian, tolong dicatat, dimana pun mereka berada saat ini … saya sangat merindukan mereka dan sengaja datang ke sini untuk bertemu mereka semua,” “Baik Kak, semoga reuninya berhasil,” “Ya, amin,” doaku. ***
Neno Rachmadana (2015)
4
Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
BANDIT MASA LALU Pagi yang cerah. Kuminta Alex bersiap, karena aku ingin mengajaknya keliling Jakarta. Sambil menunggu, aku jalan-jalan sendiri, sambil memeriksa situasi hotel, lalu mampir ke ruang kerjaku sebentar. Kudapati setangkai bunga mawar putih, tergeletak di atas meja. Notesnya bertuliskan, “Kata orang, mawar itu melambangkan hati. Sedangkan putih, artinya jujur dan setia. Setangkai mawar ini punya karakter sama seperti kamu, yang mungkin tidak akan pernah cukup kata, untuk melukiskan apa yang kurasa saat ini. Aku cuma berharap, seandainya Tuhan menakdirkan kita, bahagiaku pasti tak terhingga. You may all my dreams come true ♥” tapi tetap tidak ada nama pengirimnya. Lancang! Siapa yang berulah begini, sejak kemarin?! Kupikir, kemarin hanya unsur ketidaksengajaan. Tapi di tempat yang sama, di meja ini, bunga ini tergeletak untuk kedua kalinya. Okay! Mungkin nanti, akan kutanyakan hal ini pada Mr. Davin. Atau… ah, ini bukan urusan besar, bisa nanti saja dipikirkan ulang. Langkah kaki kulenggang santai. Menikmati sengat ringan mentari pagi yang menerobos masuk menembus kulit, pelan namun pasti. Ponsel yang tak pernah lepas dari genggaman tanganku -seperti biasanya-, kini sengaja kutinggal di kamar. Ya, ini sabtu. Saatnya weekend. Senyum merekah, kutebar pada seluruh karyawan. Samar, kudengar suara alunan musik. Terdengar seperti irama senar gitar. Kuhentikan langkah kaki, mencoba menajamkan pendengaran, mencari sumber nada itu berasal. Aku menoleh ke sekitar, namun tak ada seorang pun yang membawa alat musik petik itu. “Mungkin suara handphone orang,” alihku, lalu kembali melangkah.
Pagi ini tampak ramai. Beberapa keluarga tampak menikmati liburan. Ada yang sibuk dengan kamera, hendak keluar untuk jalan-jalan. Ada yang bersiap untuk olahraga, gym dan golf. Ada pula yang sepertinya selesai berenang. Anak-anak pun sudah mulai meramaikan audio di lobi, bersama orangtua mereka, saling bercanda bersama teman sebaya lainnya dan sesekali lari berkejaran. Mereka tampak nyaman berada di sini. I like this morning! Lalu, anak-anak yang sedang berlari bercanda, tak sengaja menabrakku. Sekonyongkonyong membuatku nyaris terjatuh, tiba-tiba sepotong tangan segera menangkapku, sigap. Lantas, tawa empat bocah yang belum genap sepuluh tahun itu pun, terdengar menjauh. Neno Rachmadana (2015)
5
Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
“Makanya hati-hati, jangan melamun,” ujar suara itu, kemudian menyadarkan aku, yang akhirnya tak berhasil terjerembab ke lantai marmer. “I’m sorry. Thank you,” tuturku cepat, lalu memberi senyum.
Tengah berdiri di hadapanku, seorang pria berkacamata hitam, tanpa senyum. Sepertinya dia tak menatap ke arahku, malah sibuk dengan ponsel yang masih menempel di telinga kirinya. Dia melepaskan tangan kanannya -yang tadi telah menolongku-, dari lenganku. Seketika, aku merasa dejavu. Seakan pernah mengalami peristiwa serupa di masa lampau. Sekelebat, seolah juga pernah mengecap kedekatan dengan lelaki muda ini. Terlintas memori di koridor sekolah menengah atas, Bandung, 10 tahun lalu, saat menjadi siswa baru. Sama persis, kejadian saat ini.
Namun, nyaris kesal aku dibuatnya. Ekspresi wajahnya begitu datar. Entah sorot mata seperti apa, di balik kacamata yang tersangkut di hidung mancungnya. Aroma tubuhnya yang berjarak tipis denganku memang wangi. Tapi kenapa, dia hanya diam seperti patung Gajah Mada yang kupajang di depan area parkir? Menghilangkan esensi kagum saja! Kemudian, seperti tak berhasil bicara dengan ponselnya, dia menyerah, menyelipkan pasrah ke dalam kantong celananya. “Sombong,” batinku. Aku menghela napas, kembali melangkahkan kaki. Namun, tanganku tertahan dalam genggaman telapak berotot. Terpaksa, kuhentikan lagi langkah kaki dan segera menoleh untuk protes. Hei, tiba-tiba aku dipeluk! ***
Neno Rachmadana (2015)
6
Please, Marry Me (Teroris Cinta 2)
TALI ASMARA YANG DIUJI WAKTU Aku menemukan segelas cokelat yang tadinya pasti panas, kini sudah dingin. Kemudian membaca note : “Aku pergi jalan-jalan dulu. Mau cari sesuatu yang penting, sebelum pulang … Tunggu ya.” Aku mengerutkan kening. Pulang? Apa dia mau pulang ke London? Kenapa dia tidak mengatakannya, semalam? Kalau memang ada keperluan yang harus dibelinya, aku bisa menemaninya … Segera mandi, aku berniat menyusul Radit. Sambil turun ke lobi, aku menelepon Radit menanyakan keberadaannya. Melangkah riang aku mengambil mobilku dan menyetir, hingga tiba di salah satu mal terbesar di Jakarta yang sempat disebut Radit. Cukup padat merayap jalanan ibukota, hingga malah membuatku sangat ingin bertemu Radit secepatnya. Semacam rindu, atau apalah namanya. Tiba di parkiran mal, hanya pojokan basement yang tersisa. Mau bagaimana lagi, daripada aku ditilang polisi, kalau mewujudkan ide untuk parkir di pinggir jalan. Jalan kaki ke lift cukup jauh, tak masalah bagiku, yang penting aku bisa segera bertemu dengan pacarku yang penuh kejutan itu. Aku menelepon Radit lagi, memastikan keberadaannya agar bisa segera menghampirinya. CHHIIIIIITT….! Suara decit roda direm mendadak, di sebelahku. Aku terkejut, melihat pengendara motor melintas dan nyaris menabrakku. Berdebar jantungku kencang sekali, namun aku berusaha mengatur napas kembali, hingga tiba di dalam lift. Tiba di lobi, aku kembali menghubungi Radit, namun tidak diangkat. Deg! Jantungku berdebar lagi tiba-tiba, entah kenapa, seperti firasat atau pertanda yang rasanya aneh. Benakku langsung terbayang wajah Radit, saat tersenyum, tertawa, bahkan gerak bibirnya saat bicara. Merinding bulu kudukku, spontan berinisiatif mempercepat langkah mengelilingi Mal, seperti orang kesetanan, mencari sosok pria yang sangat kukenal itu. “Radit, kamu dimana?” aku mendadak panik. Semua lantai kujajaki namun tak kunjung kutemukan. Aku segera ke lobi, mungkin bisa meminta tolong pada resepsionis. Aku terus berusaha meneleponnya, hingga tiba di depan pintu keluar, baru Radit menjawab teleponku. “Iya, aku di pinggir jalan. Beliin kamu bunga, sabar ya.” katanya. “Ya sudah aku susulin, kamu dimananya? Tunggu di situ,” aku memohon sambil melangkah keluar Mal, menyusul ke lokasi yang disebut Radit. “Ini sebentar lagi, aku selesai kok,” kata dia. BRUAKKKK…!!! Terdengar seperti deru mobil yang saling bertabrakan. Tiba-tiba telepon terdengar berisik seperti terbanting, lalu terputus. ***
Neno Rachmadana (2015)
7