Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo
1
Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo Lingual Symbols in "Ujub Genduren" Discourse in Life Cycle of Seneporejo Village Society
Andri Yanto, Mujiman Rus Andianto, Anita Widjajanti Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail:
[email protected]
Abstrak Simbol berasal dari bahasa Yunani “symbolos” yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Setiap aktivitas upacara tidak lepas dari simbol-simbol. Simbol tersebut merupakan media bagi masyarakat Jawa untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta memohon perlindungan dan anugerah-Nya. Tuturan ujub dalam setiap peristiwa genduren merupakan salah suatu realitas budaya masyarakat Jawa di Seneporejo yang mengandung simbol-simbol dan berbagai mitos. Setiap simbol mempunyai makna tertentu yang pada akhirnya dapat membimbing masyarakat untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan tingkah laku dalam kehidupannya. Data dalam penelitian ini berupa segmen-segmen tutur yang mengisyaratkan atau mingidentifikasikan sebagai simbol-simbol lingual dalam kebahasaan formal yang menyimbolkan konsep peristiwa atau benda yang memiliki hubungan makna dan mitologi tertentu dalam kehidupan masyarakat Jawa di desa Seneporejo kecamatan Siliragung kabupaten Banyuwangi. Pengambilan data dalam penelitian menggunakan teknik observasi dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tuturan ujub mengandung simbol-simbol lingual, makna dan mitologi. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk pengayaan materi dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kurikulum 2013 yang berkaitan pada KD 3.1 memahami hasil observasi baik melalui lisan maupun tulisan dan bunyi bahasa sebagai sistem simbol yang dijadikan wahana interaksi sosial dan budaya manusia Kata Kunci: Tuturan ujub, simbol, mitos
Abstract The word symbol comes from Greek ”symbolos” means sign or characteristic and its purpose is to tell something to someone. Every ceremony activity always sticks on the symbols. The symbol are media for the Javanese people to enclose them to the God in order to pray for getting gift and protection. The word ujub in every genduren activity is a culture reality among the Javanese people of Seneporejo which contains symbols some myths. Every simbol has it specific meaning and it helps in leading the people to improve their faith, belief, and good attitude in their daily live. The data in this research are the segments of discourse that shows or identifies it self as lingual symbols in formal language which symbolizes the concept of event or thing that has sense relationship and specific mythology among Javanese people at Seneporejo village, district of Siliragung, Banyuwangi regency. The data in this research is collected by using observation and interview technique. The result of this reserach shows that ujub discourse is contained of lingual symbols, meaning, and mythology. The result of this research can be used as material enrichment in Indonesian language and literature subject which uses 2013 curriculum related to basic competence number 3.1 understanding the result of an observation by spoken or written language and language sound as a simbolic system to be a human interaction mode in social and culture. Keywords: speech ujub, symbol, myth
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo Pendahuluan Kegiatan bertutur mempunyai kedudukan dan fungsi yang penting dalam kehidupan manusia, bermasyarakat, dan berbudaya. Dalam bidang budaya, salah satunya kegiatan bertutur yang terjadi dalam setiap upacara selamatan. Suseno (1993:5) berpendapat bahwa selamatan merupakan ritus religius orang Jawa. Selamatan memiliki makna sosial bagi masyarakat Jawa tradisional yang sangat diyakini dan memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan kondisi untuk mempertebal rasa aman serta memberi pegangan dalam menentukan sikap, tingkah laku bagi segenap warga masyarakat yang bersangkutan. Salah satu wujud selamatan yang masih dilestarikan dan dilaksanakan sampai saat ini adalah genduren dalam siklus hidup oleh masyarakat desa Seneporejo. Genduren siklus hidup adalah selamatan yang dilakukan untuk memperingati peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan sejak di dalam kandungan sampai kematian. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kehidupan manusia itu hakikatnya terdiri dari tiga tahap yang merupakan proses berkelanjutan yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, kehidupan di dalam rahim, kehidupan di dunia, dan kehidupan di alam kubur. Masing-masing tahapan kehidupan tersebut terbagi lagi menjadi tahapan-tahapan yang merupakan perpindahan dari satu tahap kehidupan ke tahap kehidupan berikutnya. Perubahan tahap kehidupan tersebut merupakan masa yang sakral dan kritis sehingga perlu dilakukan selamatan-selamatan tertentu dengan berbagai kelengkapannya agar memperoleh keselamatan. Rangkaian genduren siklus hidup terdiri dari masa kehamilan dan kelahiran, masa perkawinan, dan masa kematian. Tuturan ujub dalam setiap peristiwa genduren di desa Seneporejo merupakan salah satu realitas pengguna bahasa yang dapat menjadi objek kajian tradisi lisan Jawa. Ujub adalah tujuan atau niat mengadakan selamatan (Utomo, 2007:478). Tuturan ujub tersebut berupa bahasa Jawa yang diucapkan oleh para tukang ngajatne genduren sesudah semua piranti selamatan sudah disiapkan menurut niat hajat genduren. Tuturan ujub tersebut juga memiliki kekhasan yang berbeda dari lainya dan menjadi kekuatan tersendiri bagi penuturnya. Tuturan ujub genduren siklus hidup ini menarik untuk dilakukan sebagai bahan kajian penelitian karena dalam tuturan ujub memiliki keberagaman simbol-simbol lingual yang menyimbolkan konsep peristiwa atau benda yang memiliki hubungan makna dan mitologi masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memang sangat kaya dengan berbagai simbol. Setiap aktivitas upacara tidak lepas dari simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi masyarakat Jawa untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan anugerah-Nya. Setiap simbol mempunyai makna tertentu dan dengan pemahaman terhadap makna tersebut, masyarakat Jawa mengembangkan apresiasi terhadap simbol-simbol tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan bakti ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
2
masyarakat dan akhirnya menuntun tingkah lakunya dalam kehidupannya. Untuk memahami simbol-simbol tersebut, sangat diperlukan kajian terhadap sumber-sumber ajaran Jawa baik yang terhimpun dalam sumber-sumber buku dan sejarah maupun keterangan dan informasi dari masyarakat penganutnya. Berdasarkan latar belakang di atas, fokus masalah penelitian ini adalah; (1) simbol-simbol lingual dalam tuturan ujub genduren siklus hidup masyarakat desa Seneporejo, (2) makna simbol dalam tuturan ujub genduren siklus hidup masyarakat desa Seneporejo, dan (3) mitologi dalam tuturan ujub genduren siklus hidup masyarakat desa Seneporejo
Metode Penelitian Jenis dan rancangan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan interdisipliner. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah segmensegmen tutur dalam tuturan ujub yang mengisyaratkan atau mingidentifikasikan sebagai simbol-simbol lingual dalam kebahasaan formal yang menyimbolkan konsep peristiwa atau benda yang memiliki hubungan makna dan mitologi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dan teknik wawancara. Proses analisis data dalam penelitian ini terdiri dari tiya tahap; 1) reduksi data, 2) penyajian data, dan 3) penarikan kesimpulan dan verifikasi temuan. Instrumen penelitian, meliputi 1) tabel pengumpul data, dan 2) tabel analisis data. Tabel pengumpul data digunakan untuk menggumpulkan data dan pengelompokan data, sedangkan tabel analisis data digunakan untuk menganalisis data yang sudah dikelompokkan dalam tabel pengumpulan data. Prosedur penelitian, meliputi tahap 1) persiapan, 2) pelaksanaan, dan 3) penyelesaian laporan penelitian .
Hasil dan Pembahasan Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang ada dalam penelitian ini, pembahasan mencakup tiga hal yang meliputi: (1) simbol-simbol lingual, (2) makna simbol, dan (3) mitologi dalam tuturan ujub genduren, bagi kehidupan masyarakat Seneporejo Banyuwangi yang akan dibahas sebagai berikut. 1. Simbol-Simbol Genduren
Lingual
dalam
Tuturan
Ujub
Dalam tuturan ujub genduren, yang menjadi simbol (symbol) adalah adalah nama ubarampe yang dituturkan dalam ujub (ijab atau ikrar). Simbol tersebut mengacu pada wujud sesaji (referent), yang diambil dalam bentuk gambar (icon) dengan diantarai oleh konsep tertentu tentang sesuatu yang dapat mengisyaratkan sesuatu hal yang bersifat indeksikal (indeks) dalam benak penuturujub. a) Sekul Suci Ulam Sari
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo Dituturkan dengan nama sekul suci ulam sari karena terdiri dari satu wadah nasi dan ayam. Sekul yang berarti “nasi”, nasi ini memiliki rasa yang gurih karena dalam pembuatannya nasi ini dimasak dengan dibumbui garam dan dimasak dengan santan. Ulam yang berarti “ikan” yang diwujudkan dalam bentuk ayam yang dimasak menjadi ingkung. Dikatakan suci karena dimasak dengan hati yang bersih, hati yang penuh keikhlasan. Sesaji ini dimasak oleh orang yang suci atau orang yang tidak dalam masa menstruasi (datang bulan). Sifat suci dilambangkan dengan warna putih pada nasi. Putih merupakan simbol ketulusan, mengingat bahwa manusia karena Tuhan sudah memberi harta benda yang berlimpah kepada manusia. Ulam sari atau ulam lodho (tuladha) atau ayam ingkung: ing (ingsun), kung (manekung). Artinya (bersemadi/sembahyang) merupakan simbol kerelaan atau kepasrahan manusia dihadapan Tuhan. menyerahkan berkah, rejeki, hidup, dan mati semua atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. b) Jenang Abrit lan Pethak Jenang ini dikenal dengan nama Jenang Abrit dan Pethak karena Jenang ini memiliki warna merah (abrit) dan warna putih (pethak)..Jenang Abrit adalah simbol yang mengacu pada wujud jenang yang berwarna merah, warna merah adalah lambang keberanian yang menggambarkan keberanian seorang ibu yang berani mengorbankan segala sesuatu untuk memberikan perlindungan kepada buah hatinya. Warna merah adalah simbol darah merah (menstruasi). Jenang pethak (putih) mengacu pada wujud jenang yang berwarna putih, jenang ini terbuat dari beras, santan, dan diberi sedikit garam agar memiliki rasa gurih. warna putih merupakan simbol kesucian yang dimaksudkan sebagai simbol bibit dari ayah (sperma atau darah putih). c) Jenang Baro-Baro Jenang ini dikenal dengan nama jenang baro-baro karena kata “baro” adalah metafor dari kata “bature loro” yang mempunyai maksud bahwa manusia lahir di dunia ini ditemani dengan air ketuban (kawah) dan plasenta atau tembuni (ari-ari) yang dalam kepercayaan mistik kejawen mitos kawah dan ari-ari ini dianggap sebagai saudara gaib manusia. Kawah sebagai kakang (kakak) dan ari-ari sebagai adik. Simbol ini mengacu pada wujud jenang yang terbuat dari beras, di atasnya diberi parutan kelapa, dan potongan kecil-kecil gula merah. d) Jenang Sliringan Berwujud jenang setengah merah dan setengah putih warna pada jenang menggambarkan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan dua mata sisi yang berbeda. Merah melambangkan sedulur sak darah (kakang kawah, adi ari-ari, getih dan pusar) dan warna putih melambangkan dulur kang suci dewe yang jumeneng (menjadi) diri manusia itu sendiri. Jenang Sliringan ini juga melambangkan empat arah yang selalu mengiringi perjalanan hidup manusia agar tidak tergelincir kearah yang tidak baik. Empat arah tersebut adalah kiblat papat ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
3
(empat arah) lima pancer (diri manusia): Timur, Selatan, Barat, Dan Utara. Jenang Sliringan juga dipersembahkan kepada empat anasir alam (bumi, air, api, dan udara)yang melambangkan ibu bumi bapa angkasa. Keempat anasir alam tersebut dapat juga diinterpretasikan ke dalam empat nafsu manusia: nafsu amarah, lawwamah, sufiyah, dan mutmainnah. e) Jenang Sengkala Jenang Sengkala adalah simbol kalis ing sambikala (terlepas dari segala marabahaya), baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Jenang ini selain sebagai sebagai penolak bala dari sengkala (sumber malapetaka) juga untuk ngabekteni tahun, bulan, dan hari (ngawuningani was sangar jabung wuku kala dina naga taun jatingarang sangare sasi galengane tahun). Nyengkalani dinten pitu pekenan gangsal. Orang Jawa pada umumnya mempunyai kepercayaan bahwa hari, bulan, tahun mempunyai waktu sendiri-sendiri untuk penggunaannya dalam upacara-upacara tradisional. Dengan adanya Jenang Sengkala ini diharapkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka dapat ditangkal atau dinetralkan. f) Sekul Brok Ubarampe ini dikenal dengan nama sekul brok karena bentuknya seperti tanah. Ngebrok sak nduwure lemah yang mempunyai arti tidak kuat menjalani aktivitas apapun dan menjatuhkan diri ke atas tanah. Hal ini dimaksudkan bahwa bentuk sesaji ini ngebrok atau mempunyai bentuk menyerupai daratan atau permukaan bumi. Ubarampe ini mengacu pada sesaji yang terbuat dari nasi putih yang dimasak tanpa menggunakan bumbu apapun yang nantinya ditaruh kedalam tampah atau nampan sebagai perlengkapan sesaji. Ubarampe sekul brok merupakan persembahan kepada ibu bumi bapa kuasa, nabi adam babu hawa, ibu malam bapa siang, bumi suci bumi pertiwi. g) Buceng Nama buceng metafor dari sebute sing kenceng (doanya yang giat), yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Hal tersebut menggambarkan bahwa manusia harus selalu jejeg, mantep, dan harus mempunyai pendirian yang teguh dalam menjalani setiap aktivitas dalam kehidupan, selalu berdoa dan bersyukur atas semua anugrah yang telah diberikan oleh Tuhan. Nasi buceng mengacu pada wujud sesaji berupa nasi putih yang ditengahnya dibentuk kerucut menjulang tinggi ke atas seperti bentuk gunung. Buceng yang berbentuk kerucut biasa disebut buceng jejeg yang merupakan simbol keteguhan dan di bawahnya yang berbentuk seperti sekul brok biasa disebut buceng kuwat merupakan simbol kekuatan. h) Sekul Golong Nama Sekul Golong berasal dari kata gumolong yang berarti hidup rukun, selalu menghormati antar sesama. Sekul Golong adalah sebuah simbol supaya manusia itu selalu gumolong, nyawiji dadi siji (berkumpul menjadi
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo satu), tanpa tukar padu (saling beradu mulut), serta supaya selalu rukun saling bekerja sama, saling tolong menolong, dan saling membantu antar sesama masyarakat lingkungan sekitar. Menyajikan sego golong dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Kang Yasa Jagat (yang menciptakan bumi dan seisinya) dinten pitu, pekenan gangsal, sasi rolas, windu sekawan. serta keluarga danyang (roh penunggu desa) agar berkumpul menjadi satu memberikan perlindungan dan keselamatan. i) Gedhang Ayu Suruh Ayu Dikenal dengan nama Gedhang ayu suruh ayu karena kata gedhang matafor dari gegayuhan ben padhang, maknanya adalah segala cita-cita dan tujuannya bisa terwujut. Kata suruh metafor dari ngasuh ben weruh yang bisa bermakna ngemong atau menjaga. Ayu memiliki makna cantik atau baik, ayu juga berasal dari kata hayu (rahayu) yang berarti selamat. Simbol ini mengacu pada sesaji yang berupa buah pisang setangkep atau dua sisir. Pisangnya pisang raja, baik raja biasa maupun raja sajen dan selembar daun sirih yang dalam kondisi bagus, daunnya masih segar dan bagus dan dilengkapi bahan kinangan seperti susur, gambir, injet, dan di ikat dengan benang lawe, hal tersebut merupakan simbol persaudaraan. Diharapkan persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat senantiasa terwujut dan terjalin. Pisang dan sirih menjadi lambang rasa keinginan untuk menggapai keselamatan, harapan yang tulus supaya mencapai hidup sejati (manunggaling kawulo gusti), mendekatkan diri kepada Tuhan. j) Kembang Setaman Pemberian nama Kembang Setaman karena terdiri dari berbagai jenis bunga diantaranya bunga kantil, melati, kenanga, mawar merah, dan mawar putih. Nama bunga ini jika kiratabasa dalam bahasa Jawa menjadi “apa kang binawar (mawar) saking kedaling lathi (mlathi) bisa kumanthil-kanthil”. Artinya “apa yang dinasihatkan oleh orang tua hendaknya selalu dapat diingat oleh seorang anak”. Kembang Setaman mempunyai tujuan untuk menyiram dan menyambung hidup, hidupnya dari orang tua berlanjut kepada seorang anak, semoga orang tuanya selalu dapat memberikan perlindungan (ngayomi) atas semua tujuan yang di inginkan atau di cita-citakan oleh seorang anak. k) Apem Nama Apem berasal dari bahasa arab afufun yang berarti memohon ampun. Apem memiliki dua bentuk, yang pertama kue ini memiliki bentuk seperti tameng hal ini melambangkan pelindung. Maksudnya, agar orang yang meninggal mendapatkan perlindungan dari Tuhan. Bentuk yang kedua, kue ini memiliki bentuk seperti payung. Maksudnya, agar orang yang meninggal dapat di selalu diberikan keteduhan di sisi-Nya. 2. Makna Simbol dalam Tuturan Ujub Genduren
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
4
Nama sesaji dalam tuturan ujub genduren tidak hanya akan dibahas sebatas sebagai sebuah simbol, namun dalam sebuah simbol tersebut mengandung makna yang akan di interpetasikan lebih mendalam sesuai hasil penelitian yang di dapatkan dari para informan sebagai berikut. a) Sekul Suci Ulam Sari Dalam kepercayaan Islam yang masih memegang teguh kebudayaan kejawen Sekul Suci Ulam Sari dipersembahkan kepada Gusti Kang Moho Kuwaos (Allah) dan kepada kanjeng Nabi (Nabi Muhammad), sedangkan dalam kepercayaan Hindu ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan untuk Rsi Wiyasa. Dari kedua perbedaan tersebut sebenarnya memiliki kesamaan makna dan tujuan karena sama-sama ditujukan kepada sang pencipta alam semesta beserta isinya (Tuhan Yang Maha Esa). Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh mbah Suwarno dan mbah Kemis seorang informan di desa Seneporejo sebagai berikut. “…sekul suci ulam sari bumbu lembaran nyaosi bekti dumateng kanjeng nabi Muhammad sekabatipun sekawan abu bakar, umar, usman, ali…” Terjemahan: (nasi suci ikan sari bumbu lembaran memberikan bakti kepada kanjeng nabi Muhammad beserta keempat saudaranya abu bakar, umar, usman, ali) (Suwarno, 2013) “…ngrakit sekul suci ulam suci sak oboripun caos abekti dumateng Sang Hyang Widhi soho Sang Hyang Rsi Wiyasa sak begawanipun sekawan Wasampiyana, Pulaha, Jumini, Sumantu…” Terjemahan: (nasi suci ikan suci dan seperangkatnya untuk memberikan persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Rsi Wiyasa beserta empat begawannya Wasampiyana, Pulaha, Jumini, dan Sumantu) (Kemis, 2013) Nasi ini sering disebut juga sebagai “nasi rangsul/rasul”, yang maknanya adalah mengikuti jalan lurus sesuai ajaran rasulullah. Dalam Hindu Sekul Suci ini merupakan ungkapan syukur yang melambangkan keagungan dan kemuliaan Tuhan dan para Dewa sebagai penggerak roda kehidupan alam jagat raya, Jagad alit (mikrokosmos) dan Jagat gedhe (makrokosmos) beserta isinya yang dapat dimanfaatkan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. b) Jenang Abrit lan Pethak Jenang Abrid ‘merah’ dan Pethak ‘putih’ merupakan simbol identitas diri seorang anak. Ubarampe ini ditujukan kepada kedua orang tuanya. Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh Mbah Tukiyo (90 tahun) seorang informan di dusun wonorejo RT 10 RW 02 masyarakat desa Seneporejo sebagai berikut. “Ingkang sak wanci anggenipun bekti jenang pethak klawan abrit nitik roh wahyu saking bapa biyungipun…”
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo Terjemahan: (Yang satu persembahan berupa jenang merah dan putih untuk menandai roh dari bapak dan ibu) (Tukiyo, 2013) Jenang abrit/abang ‘merah’ dan pethak ‘putih’ ini merupakan lambang kehidupan manusia yang tercipta dari air kehidupan orang tuanya (asal usul manusia dilahirkan). Dalam hal ini bersatunya darah putih atau sperma dengan darah atau sel telur. Warna merah simbol darah (menstruasi) dan warna putih simbol sperma (darah putih). Jenang abang dan jenang putih dimaksudkan sebagai simbol terjadinya anak karena bersatunya darah dari ayah dan darah dari ibu, oleh sebab itu setiap orang berkewajiban menghormati kedua orang tuanya. Jenang merah ini juga biasa dinamai dengan jenang sepuh. jenang sepuh tersebut ditujukan kepada sesepuh atau para leluhurnya orang yang mempunyai hajat juga untuk memantapkan niat hajat melaksanakan selamatan supaya apa yang menjadi niyat dan hajatnya terkabul oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. jenang abrit lan pethak juga sebagai tanda bakti bapa angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua dibekteni dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada orang yang telah meninggal maupun kepada orang yang masih hidup. Sesaji Jenang merah dan putih ini digunakan dalam selamatan untuk orang yang masih hidup misalnya dalam selamatan kehamilan, kelahiran, neton, dan pernikahan c) Jenang Baro-Baro mempunyai makna bahwa manusia lahir di dunia ini ditemani dengan air ketuban (kawah) dan plasenta atau tembuni (ari-ari). Dalam kepercayaan masyarakat Jawa mitos kawah dan ari-ari ini dianggap sebagai saudara gaib manusia. Kawah sebagai kakang (kakak) dan ari-ari sebagai adik. Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh mbah Suwarno sebagai berikut. “…jenang baro-baro ngawerui sederekipun nini kemanten, laki kemanten kang nunggal pertapan seje panggonan kakang kawah adi ari-ari…” Terjemahan: (Jenang baro-baro untuk memperingati saudara temanten putri dan putra satu pertapaan berbeda tempat tinggal kakang kawah adi ari-ari) (Suwarno, 2013) Masyarakat Jawa mempercayai bahwa manusia memiliki saudara gaib yang selalu ngemong (melindungi) dalam mengiringi kelahirannya. kakang kawah adi ari-ari adalah bagian dari hidup manusia karena satu sama lain tidak dapat dipisahkan, semua saling mengiringi dalam setiap perjalananan hidup seorang manusia saat berada di dalam kandungan seorang ibu. kakang kawah adi ari-ari kang nunggal pertapan seje panggonan kang lairono bareng sedino, mempunyai arti bahwa antara manusia dan saudara gaibnya berada di dalam satu tempat (kandungan seorang ibu) namun berbeda tempat tinggal yang samasama dilahirkan bersamaan dalam sehari. Manusia hidup di alam nyata sedangkan kakang kawah adi ari-ari di alam yang berbeda (alam kasat mata).
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
5
d) Jenang Sliringan Memiliki makna bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan dua sisi yang berbeda, Tuhan menciptakan secara seimbang. Jika dilihat dari warnanya jenang sliringan memiliki makna yang erat kaitannya dengan saudara pada masa prakelahiran dan pascakelahiran. Dalam kaitannya dengan saudara pralahir, merah merupakan simbol watman (rasa takut dan cemas ibu pada saat melahirkan), ariman (ari-ari/plasenta), rahman (darah persalinan), dan putih merupakan simbol wahman (kawah/air ketuban). Dalam hal ini, pengingatan terhadap perjuangan orangtua (ibu) yang harus bertaruh nyawa pada saat melahirkan dirinya, akan dapat menyebabkan seseorang berbakti kepada orangtuanya. Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh mbah Suwarno sebagai berikut. “…jenang sliringan nyaosi bekti dumateng seduluripun sekawan nini kemanten kaki kemanten kang ngajeng kang wingking kanan kiri dipunsuwuni sawab pandonga rahayu wilujeng…” Terjemahan: (Jenang sliringan menyiapkan bakti kepada empat saudara temanten putri dan putra yang depan, belakang, kanan, dan kiri untuk memohon berkah dan keselamatan. (Suwarno, 2013) Jenang sliringan ini juga melambangkan empat arah yang selalu mengiringi perjalanan hidup manusia agar tidak tergelincir kearah yang tidak baik. Kang ngajeng, kang wingking, kanan, kiri merupakan simbol kiblat papat (empat kiblat) lima pancer (manusia) yang meliputi: utara, timur, selatan, dan barat. Jenang sliringan juga dipersembahkan kepada empat anasir alam (bumi, air, api, dan udara) yang melambangkan ibu bumi bapa angkasa, warna merah melambangkan api, warna hitam melambangkan tanah, warna kuning melambangkan udara, dan warna putih melambangkan air. Dalam hal ini, ada keyakinan masyarakat Jawa bahwa manusia berasal dari empat anasir sebagai badhan wadhag, yang mewadahi sukma sejati. Keempat anasir alam tersebut dapat juga diinterpretasikan ke dalam empat nafsu manusia: nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu sufiyah, dan nafsu mutmainnah. e) Jenang Sengkala Jenang Sengkala adalah simbol kalis ing sambikala terlepas dari segala marabahaya, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Harapan dari persembahan berupa Jenang Sengkala ini memohon kepada Tuhan dengan harapan semoga selamat tidak ada gangguan dari segala hal yang tidak baik (makhluk halus yang mengganggu). Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh Mbah Kemis sebagai berikut. “…ngrakit jenang sengkala kangge nolak bika kala dik Fahri anggenipun leres tiyang sepuh sekalian…” Terjemahan: (merakit jenang sengkala buat menolak bala adik Fahri sekaligus untuk orang tuanya)
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo (Kemis, 2015) Jenang ini selain sebagai sebagai penolak bala dari sengkala (sumber malapetaka) juga untuk ngabekteni tahun, bulan, dan hari (ngawuningani was sangar jabung wuku kala dina naga taun jatingarang sangare sasi galengane tahun). Nyengkalani dinten pitu pekenan gangsal. Orang Jawa pada umumnya mempunyai kepercayaan bahwa mitos hari, bulan, tahun mempunyai waktu sendiri-sendiri untuk penggunaannya dalam upacara-upacara tradisional. f) Sekul Brok Sekul brok selalu hadir dalam setiap peristiwa selamatan apapun karena nasi ini adalah sebuah simbol harapan. Harapan bagi semua manusia akan datangnya keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia. Ibu bumi bapa kuasa, Nabi Adam babu Hawa, ibu wengi bapa rina, bumi suci bumi pertiwi. Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa, yaitu dari menyatunya unsur laki-laki dan perempuan. Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh mbah Sumadi sebagai berikut. “…kadamel kawilujengan kang ngawilujengi ibu bumi bapa kuasa, babu adam ibu hawa, bapa rino biyung wengi…” Terjemahan: (membuat selamatan yang diberikan kepada ibu bumi, bapak kuasa, babu adam ibu hawa, bapak siang ibu malam) (Sumadi, 2013) Manusia dilahirkan dengan memiliki orang tua lakilaki dan orang tua perempuan, yaitu ayah dan ibu. Restu atau doa dari orang tua sangat dibutuhkan dalam hidup agar lepas dari marabahaya dan kesialan. g) Buceng Nasi buceng yang memiliki bentuk gunungan 3 adalah simbol telon-telon (tiga bulan kehamilan) dan yang memiliki 7 gunungan adalah simbol piton-piton (tujuh bulan kehamilan). Buceng tidak memakai lauk pauk jadi hanya berupa nasi putih saja yang berbentuk gunungan. Buceng yang berbentuk kerucut biasa disebut buceng jejeg simbol keteguhan.dan yang berbentuk datar disebut buceng kuat simbol kekuatan. Hal tersebut sesuai dengan tutran ujub yang dikemukakan oleh Mbah Kemis sebagai berikut. “Ingkang sakaturan anggenipun ngrakit buceng jejeg ateges ndumadeaken raga kasugengipun mas wahyu sakeluarga mugi imanipun anggenipun sing kathah demateng ngersanipun Allah wata’alah...” Terjemahan: (Persembahan untuk merakit buceng jejeg bermaksud menjadikan raga kebesarannya mas Wahyu sekeluarga semoga imannya yang lebih banyak kepada Allah Wata’ala) (Kemis, 2015) Ubarampe buceng jejeg digunakan sebagai sarana untuk meminta rezeki kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia dilahirkan agar memiliki iman yang kuat dan ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
6
selalu melaksanakan perintahnya dan meninggalkan semua larangannya. Buceng jejeg juga menggambarkan sebagai seorang anak harus selalu berbakti kepada orang tua, seperti apa yang diperintahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua tingkah laku seorang anak, jika mendapatkan restu dari orang tua akan menjadikan berkah dunia dan akhirat. Buceng kuwat mempunyai makna bahwa manusia selama menjalani hidup di dunia harus selalu kuat, tabah, dan selalu berusaha dalam menjalani segala cobaan dan ujian yang diberikan oleh Tuhan, jangan sampai berputus asa dengan semua rintangan hidup yang dihadapi. h) Sekul Golong Nasi Golong adalah sebuah simbol supaya manusia itu selalu gumolong, nyawiji dadi siji (berkumpul menjadi satu), tanpa tukar padu (saling beradu mulut), serta supaya selalu rukun saling bekerja sama, saling tolong menolong, dan saling membantu antar sesama masyarakat lingkungan sekitar. Menyajikan golong 7 (tujuh) dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Kang Yasa Jagat (yang menciptakan bumi dan seisinya) meminta pitulungan (pertolongan) semoga diberikan perlindungan, kesejahteraan, ketentraman, dan keselamatan. Nasi golong tujuh ini bermakna kemajemukan waktu dan hari (dinten pitu, pekenan gangsal, sasi rolas, windu sekawan). Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh Mbah kemis sebagai berikut. “Ambengan ingkang sakaturan ngabekti dumateng dinten kaleh rinten klawan dalu, soho dinten pitu, pekenan gangsal, wuku tigangdasa, sasi rolas, tahun wolu, windu sekawan, enggalipun dinten selasa kliwon…” Terjemahan: (sesaji yang dipersembahkan untuk memberikan bakti kepada siang dan malam, untuk hari tujuh, pasaran lima, wuku tiga puluh, bulan dua belas, tahun delapan, windu empat, tepatnya hari selasa kliwon) (Kemis, 2013) Menggunakan nasi golong yang berjumlah 9. Nasi golong yang berjumlah sembilan merupakan gambaran hawa sanga (sembilan hawa) yang ada di dalam diri manusia. Hawa sanga yang dimaksudkan adalah lubang energi yang bisa disebut sebagai pusat inti meridian organ tubuh manusia yang terhubung dalam konstruksi kejiwaan manusia. i)
Gedhang Ayu Suruh Ayu
Pisang dan daun sirih menjadi lambang keinginan dan ketulusan untuk mencapai tempat yang terbaik (manunggaling kawulo gusti), mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan mbah Kemis sebagai berikut. “…gedang ayu, suruh ayu, daksina sakwernipun, kangge maos pemujaan roh dangunipun pitung dino ateges leres-leres amaringi margi ingkang sae mbenjang ninggalipun dumateng kamoksan jati manunggal Hyang Widhi…”
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo Terjemahan: (pisang dan daun sirih yang bagus, daksina dan sejenisnya, untuk sarana pemujaan roh lamanya tujuh hari bermaksud benar-benar memberikan tempat yang baik nanti meninggalnya semoga kamoksan jati manunggal Hyang Widhi) (Kemis, 2013) Pisang dan daun sirih ini juga mempunyai makna simbolis ketika menjadi pengantin, hendaknya terlihat segar dan menarik. Segar dan menarik menyimbolkan kebahagiaan. Daun sirih yang digunakan harus yang temu ros “bertemu ruasnya” hal ini melambangkan bahwa sepasang pengantin dipertemukan dahulu. Gambir susur, dan injet merupakan kelengkapan dalam menginang, gambir, susur, dan injet digunakan supaya rasanya semakin mantap. Makna simbolik penggunaan gambir, susur, dan injet dalam upacara genduren melambangkan kemantapan. Orang yang sudah siap untuk menikah berarti sudah mantap dengan pilihannya. Lawe wenang, terdiri dari dua kata lawe berarti benang lembut yang akan ditenun. Wenang berarti “bisa atau dapat”. Lawe wenang digunakan untuk mengikat lintingan daun sirih. Ikatan lawe wenang ini mempunyai makna simbolik ikatan pernikahan. Dipilih benang yang berwarna putih mempunyai makna simbolik suci. Lawe wenang mempunyai makna simbolik bahwa pernikahan merupakan merupakan ikatan yang lembut dan suci. j) Kembang Setaman Mempunyai makna agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah yang berlimpah dari para leluhur, dapat mengalir (sumrambah) kepada anak keturunannya. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Mbah kemis bahwa kembang setaman ini mempunyai tujuan nyiram tuwuh nyambung tuwuh, tuwuhipun dari orang tua penuwuh kepada seorang anak, hal tersebut mempunyai makna semoga orang tuanya selalu dapat memberikan perlindungan (ngayomi) atas semua tujuan yang diinginkan atau dicita-citakan oleh seorang anak. Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh mbah Supar masyarakat desa Seneporejo sebagai berikut. “Ingkang sakaturan malih awerni sekar setaman kangge nyiram tuwuh, nyambung tuwuh, pramila sakderengipun dipunpedotipun sambung ampun nganten cegah alangan setunggal punapa-punapa...” Terjemahan: (Satu persembahan lagi berupa bunga setaman buat menyiram hidup, menyambung hidup, sebelum terputus di sambung jangan sampai ada cegah halangan satu apapun,) (Supar, 2013) k) Apem Ubarampe ini mempunyai makna agar orang yang meninggal, baik leluhur saking jaler, saking estri, sepuh, anem, ageng, alit, tebih, celak krawatan soho ingkang mboten krawatan (leluhur dari suami, dari istri, tua, muda, besar, kecil, jauh, dekat, terawat maupun yang tidak ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
7
terawat) diampuni segala dosa-dosanya. Hal tersebut sesuai dengan tuturan ujub yang dikemukakan oleh Mbah Kemis sebagai berikut. “ngrakit songsong agung awerni apem ngintun dumateng atmanipun Rina, soho ngintun dumateng para leluhuripun sedoyo, leluhur saking jaler, saking estri, sepuh, anem, ageng, alit, tebih, celak krawatan soho ingkang mboten krawatan, sageto dipun kintun mugi sageto nampi soho saget ngraosaken…” Terjemahan: (merakit songsong agung berupa apem dipersembahkan kepada rohnya Rina, juga dipersembahkan kepada semua leluhur, leluhur dari suami, dari istri, tua, muda, besar, kecil, jauh, dekat, terawat maupun yang tidak terawat, semoga persembahan dapat di terima dan dirasakan) (Kemis, 2013) Kue apem memiliki dua bentuk, yang pertama kue ini memiliki bentuk seperti tameng hal ini melambangkan pelindung. Memiliki makna agar orang yang meninggal mendapatkan perlindungan dari Tuhan. Bentuk yang kedua, kue ini memiliki bentuk seperti payung. Maksudnya, agar orang yang meninggal dapat di selalu diberikan keteduhan dan tempat terbaik di sisi-Nya. Ubarampe ini merupakan hasil dari sebuah mitos masyarakat Jawa yang mempercayai bahwa dengan di baktikannya kue apem ini perjalanan roh orang yang sudah mati maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan segala gangguannya berkat perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya. Sesaji ini hanya digunakan untuk selamatan orang yang telah meninggal dunia.
3. Mitologi dalam Tuturan Ujub Genduren Siklus Hidup Mitologi yang terdapat dalam tuturan ujub genduren siklus hidup masyarakat desa Seneporejo dapat dipaparkan ke dalam tiga hal yakni pembeberan mitos, kepercayaan masyarakat terhadap unsur-unsur mitos, dan nilai-nilai mitologis yang akan dipaparkan sebagai berikut. a) Pembeberan Mitos Tuturan ujub genduren masyarakat Jawa di Seneporejo menggambarkan masyarakat yang memiliki ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah yang kuat. Dengan upacara-upacara genduren Masyarakat sekitar memahami benar anugerah yang telah diberikan Yang Maha Kuasa, untuk itu mereka melakukan upacara genduren secara turun-temurun yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin. Perhatikan kutipan ujub genduren sebagai berikut. “…nggelar kawilujengan asal sarining bumi, sarining toya, sarining angin, sarining geni, angsal berkahipun Gusti Hyang Maha Agung…” Terjemahan (mengadakan selamatan yang berasal dari sari bumi, air, udara, dan api. Semoga mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Besar)
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo (Suwarno, 2013) Sebagai wujud penghargaan kepada Tuhan, masyarakat Jawa mengadakan ritus kawilujengan (selamatan) dengan mempersembahkan semua hasil pertanian yang berasal dari bumi, air, udara, dan api sebagai ungkapan syukur dan terima kasih. b) Kepercayaan Masyarakat terhadap Unsur-unsur Mitos Sejak zaman prasejarah masyarakat Jawa telah mengenal Tuhan. Hal itu tampak pada perilaku masyarakat Jawa yang selalu melaksanakan upacara-upacara genduren dalam kehidupan sehari-harinya. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa masyarakat merasa sangat dekat dengan Tuhan. Dalam situasi tertentu mereka mengadakan ritual memohon kepada Tuhan. Mereka percaya bahwa untuk mencapai tujuan selain usaha dan doa juga dilandasi tawakal. Masyarakat juga percaya pada mitos-mitos yang bersifat sakral, yang mempengaruhi pola berfikir yang bersandar pada nasib. Mereka menyerah pada nasib, narima ing pandum, setelah usaha dan doanya belum terkabul. c) Nilai-nilai Mitologis Nilai mitologis yang terdapat dalam tuturan ujub genduren siklus hidup meliputi nilai-nilai tentang pengakuan keberadaan alam gaib dan pengakuan keberadaan roh penunggu (dhanyang) yang terlihat seperti pembahasan berikut ini. (1) Pengakuan Keberadaan Alam Gaib Bagi orang Jawa, alam empiris berhubungan erat dengan alam meta-empiris (alam gaib), mereka saling melengkapi. Sifat gaib alam menyatakan diri melalui kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan dan dipersonifikasikan sebagai roh-roh. Semua kekuatan alam dikembalikan kepada roh-roh dan kekuatan-kekuatan halus. Masyarakat Jawa memandang dunia sebagai tempat dimana kesejahteraan bergantung kepada apakah ia berhasil menyesuaikan diri dengan roh-roh di sekitar mereka. Apabila Masyarakat dengan berbagai cara itu menjamin diri terhadap roh-roh itu, maka ia merasa slamet (selamat). Upacara genduren ini mengungkapkan diri dihadapan hadirin bahwa di antara para tetangga terdapat kerukunan dan keselarasan. Dengan demikian, keadaan tenteram masyarakat dibaharui dan kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasi. Genduren merupakan ritual yang mengembalikan kerukunan dalam masyarakat dengan alam rohani, dan yang demikian mencegah gangguangangguan terhadap keselarasan kosmis. (2) Pengakuan Keberadaan Roh Penunggu (dhanyang) Dhanyang adalah akar kata Jawa yang berarti "roh". Dhanyang tinggal menetap pada suatu tempat, mereka menerima permohonan orang untuk minta tolong dan sebagai imbalannya menerima persembahan genduren. Mereka tidak menyakiti orang, melainkan hanya bermaksud melindungi. Dhanyang dianggap sebagai roh ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
8
tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa biasanya mempunyai seorang danyang utama. Berikut data tuturan ujub yang berkenaan dengan pengakuan keberadaan roh penunggu (dhanyang). “…ngabekteni dateng sanak dhanyang ikal lan bakal mbubak kertayasa among sari ingkang dados pikukuhipun dusun Wonorejo ngriki…” Terjemahan: (memberikan bakti kepada keluarga dhanyang yang membuka dan menempati dusun Wonorejo ini) (Supar, 2013) Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa simbol-simbol lingual yang terdapat dalam tuturan ujub genduren bukan hanya sekedar katakata lugas, simbol-simbol tersebut menggambarkan hubungan manusia secara horisontal dan hubungan secara vertikal. Hubungan horizontal merupakan hubungan antara manusia dalam masyarakat, menunjukkan usaha menciptakan keadaan teratur dan harmonis antara unsurunsur dalam masyarakat sehingga dapat tercapai masyarakat tentram. Individu Jawa juga mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri yakni dengan mempersenjatai dirinya dengan nilai-nilai positif atau norma-norma tingkah laku. Hubungan vertikal adalah hubungan manusia dengan alam adi duniawi yang simbol itu menunjuk kepada orientasi manusia ke arah Tuhan atau makhluk-makhluk supranatural lainnya, tempat manusia memohon keselamatan. Simbol-simbol lingual tuturan ujub dalam setiap peristiwa genduren yang terdapat dalam budaya masyarakat Jawa di desa Seneporejo merupakan simbol-simbol yang sakral dan mempunyai makna mendalam untuk mensintesiskan suatu etostentang pandangan mereka mengenai dunia (wawasan kosmologis). Kepercayaan masyarakat jawa tentang adanya mitosmitos tentang dunia empiris dan meta-empiris (dunia gaib) juga tergambar dalam tuturan ujub. Mitologi tentang kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib dan kekuatan sakti lainnya semuanya merupakan simbol keseimbangan. Beragam jenis tradisi lisan Jawa tidak hanya disikapi sebagai cerminan kesadaran kosmik, tetapi juga sebagai simbolisasi kesadaran spiritual utama masyarakat yang merupakan intisari mistik kejawen, yaitu memayu hayuning bawana melalui penghormatan-penghormatan tersebut untuk mencapai sangkan paraning dumadi. Menghadir dan melibatkan semua unsur alam merupakan upaya meneguhkan perilaku memayu hayuning bawana hingga akhirnya menuju sangkan paraning dumadi (Tuhan Yang Maha Esa). Saran Penelitian lebih lanjut penting dilakukan dengan sudut pandang yang berbeda, baik teori maupun metode. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya tuturan ujub dalam peristiwa genduren, sehingga tidak menutup kemungkinan
Andri Yanto et al., Simbol-simbol Lingual dalam Tuturan ”Ujub Genduren” Siklus Hidup Masyarakat Desa Seneporejo penafsiran lain terhadap ujub genduren siklus hidup ini dan tidak menutup kemungkinan pemberian makna lain bagi penelitian ini. Penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya sebagai bahan tambahan informasi ilmiah tentang upacara genduren. Penelitian ini juga dapat digunakan guru sebagai sebagai ancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pada kurikulum 2013 dengan Kompetensi Dasar (3.1) Memahami teks hasil observasi baik melalui lisan maupun tulisan, dan (3.1) Memahami hakikat bahasa dan bunyi bahasa sebagai sistem simbol yang dijadikan wahana interaksi sosial dan budaya manusia.
Daftar Pustaka [1]
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
[2]
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT. Rafika Aditama.
[3]
Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Indonesia.Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
[4]
MC. Wahyana Giri, 2009. Sajen dan Ritual Orang Jawa.Yogyakarta: Narasi
[5]
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015
Lisan
9