KATA PENGANTAR
Dengan diiringi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tim Kompendium Hukum Pidana (Review RUU KUHP) telah menyelesaikan penyusunan laporan akhir, sesuai waktu yang telah direncanakan. Memasuki periode akhir 2009, pembahasan RUU KUHP menjadi Undang-Undang Hukum Pidana baru, yang menggantikan KUHP warisan pemerintah Kolonial Belanda yang pada naskah aslinya disebut sebagai Wetboek Van Straftrecht (WvS), sampai saat ini belum sampai pada pembahasan di DPR, walaupun dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2009-2014, prioritas pembahasan RUU KUHP kembali ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR. Dalam pembahasan RUU KUHP di awali sejak tahun 1981, melibatkan pakar-pakar hukum pidana di masanya, yang melibatkan instansi terkait dan personal-personal yang berkompeten. Dimana dalam pembahasan tersebut sudah mencakup perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang beriringan pula dengan jenis kejahatan baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Akibat kompleksitas kejahatan yang semakin berkembang, tentu terdapat perbedaan pandangan dari para pakar hukum pidana, dalam upaya merangkum berbagai pandangannya untuk dikompilasi dalam sebuah RUU KUHP. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para anggota Tim yang telah memberikan kontribusi pemikiran atas kegiatan kompendium ini, sehingga laporan ini dapat tersusun secara sistematis dan tepat waktu.
i
Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah memberikan kepercayaan bagi Tim ini untuk menyusun Kompendium Hukum Pidana (Review RUU KUHP) Semoga hasil kompendium ini dapat dijadikan bahan bagi para pengambil kebijakan terkait dan semoga berguna bagi institusi-instusi yang memerlukannya. Jakarta, Desember 2009 Ketua Tim Kompendium Hukum Pidana (Review RUU KUHP)
Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................... iii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN..................................................................................... 1 A.
Latar Belakang ............................................................................... 1
B.
Kegunaan ....................................................................................... 5
C.
Ruang Lingkup ............................................................................... 5
D.
Metode ........................................................................................... 5
E.
Keanggotaan Tim ........................................................................... 6
F.
Sistematika Laporan ....................................................................... 6
PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA..................................................... 7 A.
Sejarah Hukum Pidana di Indonesia ............................................... 8
B.
Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht) ................................................................................ 22
C.
RUU KUHP dan Perkembangannya ............................................... 24
BAB III ANALISIS ............................................................................................... 66 A.
Perkembangan Penyusunan Buku II RUU KUHP ........................... 69
B.
Asas Legalitas ................................................................................ 71
C.
Pembahasan Undang-Undang........................................................ 72
D.
Tindak Pidana Yang Baru ............................................................... 73
BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 75 A.
Kesimpulan ..................................................................................... 75
B.
Saran .............................................................................................. 76
iii
LAPORAN AKHIR KOMPENDIUM HUKUM PIDANA (REVIEW RUU KUHP)
Disusun oleh Tim Di bawah pimpinan Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2009 iv
B A B I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan hukum di Indonesia memiliki hubungan erat dengan perjalanan sejarah yang terjadi, seperti terhadap struktur ketatanegaraan, struktur hukum, tata pemerintahan dan tata hubungan social kemasyarakatan senantiasa berubah tergantung rejim yang berkuasa dengan sistem yang dianutnya. Perubahan sistem hukum, yang didalamnya terdapat substansi, struktur dan budaya hukum sangat terasa pada saat perubahan rejim yang berkuasa, sistem hukum jaman kolonial berbeda dengan jaman kemerdekaan, demikian jugs jaman orde bare berbeda dengan jaman reformasi. Ini menunjukan bahwa kausalitas kekuasaaan dan hukum tidak dapat dinafikkan, karena secara fakta dan realita keduanya Baling tarik menarik. Tidak dapat dipungkiri bahwa KUH Pidana Belanda (Sr), qua struktur dan perumusan merupakan karya besar dan sampai dengan sekarang setelah 1 00 th lewat sebeium ketinggalan jaman. Bahkan KUHPidana tersebut masih diberlakukan di Suriname, Kepulauan Antillen dan Aruba serta'Indonesia tanpa memunculkan persoaian besar. 1 Perkembangan dan perubahan sistem hukum tersebut tentunya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada pada scat itu. Hal ini tentunya dapat direfleksikan terhadap Undang-undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal sebagai "KUHP" yang merupakan materi hukum ask milik Kolonialisme Belanda yang naskah aslinya disebut sebagai Wetbaek
Van Strafrecht (WvS). Walaupun semulanya KUHP itu berasal dari. Kolonialisme Belanda Namun satu hal yang tidak dapat kita bantah adalah fakta sejarah bahwa KUHPidana Nasional peninggalan Belanda itu telah 1
Remelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pawl - Pasal terpenting dad Kit& Undang - Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana Indonesia. Gramecia. Pustaka utama Jakarta, 2CO3
1
menjadi sarana legitimasi hukum bagi pemberantasan kejahatan sepanjang usia Republik Indonesia yang mencapai 60 (enam puluh) tahun. la menjadi sarana hukum yang memberikan sumbangan pada upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban pada masa orde baru. Bahkan pada era ini beberapa bagian KUHPidana Nasional itu digunakan oleh penguasa untuk melindungi kepentingan politik dan kekuasaannya dan bersamaan dengan itu ia menjadi Iegitimasi hukum untuk mengadili, menghukum dan memenjarakan tokoh – tokoh gerakan pro demokrasi, serentak dengan itu is menjadi salah satu sarana hukum yang ampuh untuk mengembangkan suasana dan rasa ketakutan di kalangan masyarakat, khususnya lawan – lawan politik pemerintah otoriter Orde Baru, namun dengan maju perkembangan Bangsa Indonesia kits berupaya menyesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia dengan tidak menggunakan aturan-aturan yang Utak sesuai lagi dengan tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka Berta dengan memasukannya dalam sebuah dokumen perundang-undangan Indonesia yaitu sebagai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958, ini menandakan telah terdapat upaya-upaya untuk perumusan konsep-konsep dasar pemidanaan dan menunjukan bahwa kits perlu hukum pidana yang berwawasan nasional. Memiliki sebuah tata hukum pidana nasional telah lama dicita-citakan, sejak saat kemerdekaan sampai dengan scat ini, city-vita tersebut tidaklah pudar walaupun pemerintahan yang berkuasa sejak Indonesia merdeka telah mengalami tiga fase sistem pemerintahan yang berbeda yaitu Demokrasi Terpimpin, Orde baru yang cenderung Sentralistik dan Militerisme dan masa Reformasi yang masih beium dapat dikatakan sebagai sistem yang stabil. Namun demikian, cita-vita tersebut hendaknya tidak sekedar berupaya menggantikan Wetboek van Strafrecht sebagai sebuah produk kolonial, tapi lebih jauh dari itu harus dipahami bahwa realita kebutuhan dan perkembangan masyarakat pada saat penjajahan dan kemerdekaan adalah berbeda, sehingga hukum pidana nasional yang menjadi cita-city haruslah
2
dapat difungsikan sebagai hukum yang adil dan mampu diterapkan dalam suasana negara yang demokratis. Hal ini menjadi relevan sesuai dengan perguliran masa lebih dari setengah abad kemerdekaan Indonesia dan pada saat ini masuk dalam era reformasi yang menginginkan perubahan menyeluruh dalam segala bidang maka mutlak bagi kits untuk kembali berupaya membentuk sebuah cita hukum yang salah satunya membentuk hukum pidana nasional. Lebih tegas lagi, penyusunan RUU-KUHP harus diletakkan sebagai bagian dari proyek Reformasi scat ini Sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia yang silih berganti UUD 1945, dan berganti pula pemerintahan yang berkuasa, semangat para penyelenggara Negara untuk mengadakan KUHP yang baru tidak pemah berhenti. Hampir dua puluh kali Tim Penyempurnaan KUHP yang baru sampai dengan tahun 2006, dibentuk. Hasil-hasilnya dapat diikuti, dan dicermati oleh semua pihak yang membutuhkannya. Napak tilas perjalanan Naskah RUU KUHP yang sekarang ada dan hendak diajukan ke DPR itu memiliki perjalanan yang panjang: Naskah tersebut telah disiapkan dalam waktu yang sangat lama. Lebih dari 10 tahun lamanya. Penyusunan konsepnya sendiri sudah dimulai sejak Maret 1981. Disusun oleh dua Tim, yaitu Tim Pengakajian dan Tim Rancangan --yang kemudian dileburkan ke dalam satu Tim. Yang Tim tersebut dipimpin oleh Prof. Sudarto, SH (meninggal tahun 1986) beranggotakan Prof. Mr. RoesIan Saleh (meninggal 1988); dan, terakhir, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H. tahun 1987-1993. Tim an terakhir inilah an(sejak} yang yang berhasil memformulasinya dalam bentuk RUU. Pada 13 Maret 1993 Tim Mardjono Reksodiputro ini menyerahkan draf tersebut kepada Menteri Kehakiman yang pada waktu itu dijabat oleh Ismail Saleh, S.H. Tetapi draf ini berhenti di tangan Menteri Kehakiman, dan direvisi kembali oleh Menteri Kehakiman berikutnya dengan Tim yang baru2
2
Lihat Rancangan KUHP tahun 2004 Departemen Hukum dan Pertmdang-Undangan 3
Dalam penyusunan RUU-KUHP terdapat dua konsep produk yang berbeda, produk Tim Penyusunan 1987-1993 (diketuai oleh Prof. Mardjono Reksodiputro menyebut pekerjaan mereka terbatas melakukan re-kodifikasi atas KUHP Hindia Belanda (yang sudah beriaku sejak tahun 1915 di Indonesia) sedangkan Tim Penyusunan yang baru (2005) benwaya menyusun sebuah kodifikasi baru hukum pidana, dengan mengubah sistematikanya dan menambah delik-delik Baru. Dengan demikian, dalam naskah yang baru (yang scat ini dirancang), pemerintah berusaha memformulasi sebanyak mungkin tindak pidana "bare" yang berkembang dalam suatu masyarakat modem --yang beium dicakup dalam KUHP.3 Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP 2005) telah rampung dirancang dan kini sudah berada ditangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, untuk diteruskan ke Presiden. Pada Rapat Paripuma ke-13 DPR, 1 Februari 2005 –yang membahas Program Legislasi Nasional periode 2005-2009, Hamid Awaluddin menyampaikan bahwa pemerintah akan memprioritaskan pembahasan terhadap RUU-KUHP pada tahun pertama program legislasi, yakni tahun 2005. RUU ini memang sudah lama disiapkan pemerintah dan tertunda-tunda diajukan ke DPR. Makanya wajar apabila Menteri Hukum dan HAM bertekad menjadikan RUU ini sebagai prioritas untuk diajukan pembahasannya ke DPR Agenda pembentukan KUHP nasional merupakan semangat yang haws terus ditumbuhkan dan periu ditindaklanjuti dengan usaha bersama semua stake holder seba ai ba ian dari mewu'udkan vita hukum nasional. Usaha
tersebut antara lain dapat dilakukan dengan mereview kembali pandangan-
3
Darn KUHP Belanda terdin dari tiga buku, yakni ketentuan umum (buku kesatu), kejahatan (buku kedua), dan pelanggaran (buku ketiga). Sedangkan claim RUU KUHP yang baru, drubah menjadi c a bagian, ketentuan umum (buku kesatu) dan kejahatan (buku kedua). Delik p langgaran citiadakan. Seaagai suatu bahan perbandingan dalam KUHP terdiin dari Buku Kesatu: Aturan Umum, dengan jumlah Bth 9 (sembilan), dan 103 pasal. Buku kedua: Kejahatan, dengan jumlah Bab 31(tiga puluh satu), dan 385 Olga ratus ce{q)an puluh lima) pasai. Dan buku ketiga Pelanggaran cengan jumlah Bab 9 (sembilan), dan 81 Pasal. Sedangkan daiam RUU KUHP tahun 2006 tercid dart Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum, dengan 6 Bab, dan 211 Pawl, dan buku Kedua rnengenai Tindak Pidana dengan 36 Bab dan 531 Pasal 4
pandangan hukum pars pakar pidana terkait dengan aktualisasi RUU KUHP dalam sebuah kompendium hukum. B. Kegunaan Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyusunan RUU KUHP Nasional, serta digunakan sebagai update informasi perkembangan hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Pidana serta guna memajukan Hukum Pidana nasional yang memiliki kepastian hukum serta berwawasan perikemanusiaan dan perikeadilan. C. Ruang Lingkup Beranjak dari Tatar belakang di atas, dalam menyikapi review KUHP, paling tidak dapat diketengahkan suatu permasalahan 1. Apakah RUU KUHP yang telah lama disiapkan sudah mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional, kejahatan perang, dan agresi, dan bagaimana tindak lanjutnya. 2. apakah eksekutif dan legislative khususnya hasii pemilu 2009 ini, konsisten dengan pembaharuan KUHP. Sejauhmana politik hukummempengaruhi pembentukan KUHP nasional D. Metode Kegiatan dilakukan melalui penghimpunan pendapat para pakar-pakar hokum khususnya pakar Hukum Pidana untuk memberikan pandangan/review terhadap penyusunan KUHP Nasional yang disusun melalui rapat-rapat tim dan melakukan diskusi-diskusi yang diperlukan
sebagai bahan penyusunan kompendium ini.
5
E. Keanggotaan Tim Ketua
Prof. DR. Andi Hamzah, S.H.
Sekretaris
Suharyo, S.H., M.H.
Anggota
Prof. DR. Indrianto Seno Adji, S.H. DR. Rudi Satrio Mukantardjo, S.H., M.H. DR. Agus Surono, S.H, M.H. DR. Mudzakir, S.H., M.H. Abdul Wahid, S.H, M.H. Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M. Yusrida Tara, S.H., M.H. Apri Listiyanto, S.H.
F.
Sistematika Laporan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Keguanaan C. Ruang Lingkup D. Metode E. Susunan keanggotaan F. Sistematika Laporan BAB 11 PERKEMBANGAN HOKUM PIDANA A. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia B. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana C. RUU KUHP dan Perkembangannya − −
− − − BAB III ANAL I
Asas-asas Hukum Pidana Tnndak pidana baru :yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap Keamanan Negara Odiologi negara}, tindak pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, tindak pidana Kesusilaan Delik-delik dalam RUU KUHP Delik-Delik Dalam Rancangan KUHP Yang Rumusannya Berubah Dari KUHP Delik-delik lingkungan Delik-delik dalam RUU KUHP yang berasai dari KUHP SIS
BAB IV PENUTUP
6
B A B
1 1
PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA Sebagai hokum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hu ku m p ida na it u t er ka nd un g a tu ran - atu ra n y an g men en tu ka n perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. 4 Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Persoalan kesesuaian antara hukum -pidana dengan masyarakat di Y mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat balk atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika , memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-niiai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang d a n t id a k s e s ua i d en ga n n i la i -n i la i d a l a m ma s y a ra ka t . Un t u k menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia (RUU • 4
Modjatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka cipta,1993), p.1.
KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia. A. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia 1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).5 Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.6 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan seharihari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat
masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, i
dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Isiamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Hindu
5
7
Kanter dan Sianturi, Asas-alas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Alm AHM-PTHM,1982), p. 43 6 Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah Damn laporan penelitian yang dllakukan oleh Le taga Pentinaan Hukum Nasional (LPHN), tentang "Pere Agama terhadcv Huhn Pidana", beberapa huktin adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agana yang dianut mayoritas masyarakat adattnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pergaruh Agama terhadap Hukum Pidana, Liman
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan mama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-
kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adapt Sumatera Selatan,$ dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bal i.9
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda a. Masa Vereenigde cost Indische Compagnie (VOC) Tahun 19021799 Masa pemberiakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenamya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan "kekuasaaan wilayah" di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan
perdamaian
dengan
kerajaan-kerajaan
di
Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC
Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengxuh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, . (Banckirg: Bina Cipta,1973). 8 Hilman Haadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni,1989). 9 I Made Wiciyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco,1993) p.14
memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dafam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dafam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mans yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.1° Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang lama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.'
1
Alasan VOC
mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dafam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mam u men elesaikan p
Y
rkara pidana an ter'adi karena l~
p
yang
1
permasalahan slat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, 90 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana..., p. 43. Lint juga J. B. Daliya, Pengantar Hukum it (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p.14. 11 J. B. Daliyo, Plantar ..., p.13.
ia,
10
namun menurut pendapat VOC perbuahan tersebut dianggap kejahatan, sehin ga perlu dipidana yang setimpal.12 9 Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai system pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.13 Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raffles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat. b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD g Ne eri Belanda raja mem P Y un ai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas 1 daerah-daerah jajahan. Dengan demikian negara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di
12. Kanter dan Siantun, Asas-asas ..., p. 43 13 ibid., p. 44.
11
Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capelien. Mereka tetap memberiakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan Cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).14 Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberiakukan hukum pidana Baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di War hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undangundang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WIN atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata. c. Masa Regering Reglement (1855-1926) Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan system pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena pariemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa "Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan hada kerajaan dibagian dad dunia. Aturan tentang kebijakan • 14
11 Kanter dan Siantun, Asas-asas Hukum Pidana..., p. 44. Lihat jugs J. B. Dar, Pengantar..., p.15. 12
pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. &stem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang".15 Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda
terhadap
daerah
jajahan
di
Indonesia
berkurang.
Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu: 1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undangundang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866. 2. Algemene Poiitie Strafreglement atau tambahan Kitab Undangundang Hukum Pidana Eropa. 3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872. 4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa. 5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undangundang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
15
lld, p.17. 13
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942) Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatbfad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grand Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada se{uruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling mempertegas
pemberlakuan
hukum
pidana
Belanda
semenjak
dibertakukan 1 Januari 1918. e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang ~Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan 14
militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hokum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wi layah. 1 s 3. Masa Setelah Kemerdekaan Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan
16
Kanter dan Sianturi, Asas-asas..., p. 46.
15
dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (DUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945. a. Tahun 1945-1949 Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklarnasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetaukan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-vita bahwa prokiamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukaniah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh
karena itu,
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum da at diwujudkan, maka- UUD 1945 mengamanatkan p J dalam Pawl II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang 16
telah diterapkan di Indonesia sebeium kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal in i j ugs be ra rti fund ing f ath er s bangs a Ind one si a mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum colonial menjadi tata hukum nasional.17 Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu: Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebeium diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku anal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut. Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan U U D 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan: Dengan menyimpang seperiunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober'1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah
17
Segala perttlahan membawa konsekuensi bahwa isi kehendak itu perk' diutah. Ketentuan-ketentuan hukum positif yang pemah berlaku cll Indonesia, seperti Incische Staatregeling, Algemene Bepaingen van Wetgeving, Burgarlik Wetboek, Wetboek van Koopharxel, Wetboek van Strafrecht dan segala peraturan yang cikeluarkan pada masa penjajahan, dengan adanya proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara twat dan c epat Oleh karena itu maka citetapkan segera landasan tata hukum yang bare, yaitu Undang Undang Dasar 1945. Lihaf selanjutnya dawn M~. Koesnoe, "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perapektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawaii,1986), p.100. 17
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.18 Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah 14 tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undangundang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.19 Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Ind on es ia. Ba h kan pad a t an gga l 22 Sep te mb er 19 45, Be la nd a men ge luar kan ke mb ali atur an pi dan a yan g berj udul Tij deli j ke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad K. Wantjik Saleh, Pelengkcv KUHP Pentahan KUH Pidana dan UU Pidana Sanvai dean Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1981), p. 25. 1s Ibid. 18
18
Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, peruuasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua "penguasa" yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberiakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.20 b. Tahun 1949-1950 Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendir i, selama dan se adar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut k
p
p
,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.21 18 Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van 2
° !bid, p. 47-48. Sudarto menyebut istilah ini dengan kwasi-ckiclisme. Lihat Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diporegoro,1990), p.16. 21 Engelbrecht, Kitd) Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasaf 1045 Rept,lik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung,1960), p. 67.
19
Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda dating kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini. c. Tahun 1950-1959 Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk Negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan R epublik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturan
atau
dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha
atas kuasa Undang Undang Dasar ini.22 Den gan adan a ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka Y hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1948 tentang Peraturan 22 ICI.,
p.1? 20
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan: "Adalah dirasakan sangat ganjii bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatbiad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia." Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. d. Tahun 1959-sekarang Setelah keluamya Dekrit Presiden tanggal 5 Jul' 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukumidanan a. Pemberlakuan hukum idana Indonesia dengan p
Y P n9 dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, temyata cumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undangundang Hukum Pidana) walaupun pemberiakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing--masing konstitusi. 21
B. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht) Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai Hama ash Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninktijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pads tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.E Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesualan) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas witayah Indonesia. Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun Baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Peranas. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. 1Vamun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.24 Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) seiama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada
23 Sudarto, Huk in liana I, p.15. Kanter dan Sianturi, Asas-asas..., p. 42
24
22
ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah H i ndia-Belanda sendiri ternyata penah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatbiad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Mats Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatbiad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1973.25 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini diraaakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 3315 oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
25
bid, p. 44 23
C. RUU KUHP dan Perkembangannya 1. Asas-Asas Dalam Hukum Pidana a. Asas Legalitas (LegaliteitsbeginseI/ Legality Pdnciplei) Sama dengan Belanda, Prancis, Jepang di. Indonesia menganut asas legalitas ini, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP :"Tiada suatu perbuatan (felt) yang dapat dipidana sel a i n berdasarkan kekuatan ketentuan pidana yang ada s e b e l u m n y a". Istilah perundang-undangan pidana itu adalah tedemahan dari "wettelijk strafbepalingn bukan strafwet (undangundang pidana). Hal ini berarti seseorang dapat dipidana bukan dengan undang-undang pidana raja, tetapi juga dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (di Belanda : orang dapat dipidana dengan undang-undang, dekret raja, dan peraturan gemeente ).
Makna asas legalitas dilukiskan oleh Moeljatno sbb : 1. tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan (kiyas). 3. aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut26. Menurut Cleiren & Nijboer et al. hukum pidana itu hukum tertulis.Tidak seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas menurut mereka, berarti : 1. tidak ada ketentuan yang samar-samar 2. tidak ada hukum kebiasaan (lex scripta) 3. tidak ada analogi (tidak ada penafsiran ekstensif, dia hanya menerima penafsiran teleologist.
26 27
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Piidana,1959,11m.25 Cleiren & Nijboer, Straftrecht, Tekst & Commentaar,1997, him.3 24
Dengan pengertian Cleiren et al. ini berarti rumus nullum delictum nuild poena sine praevia legi poenali yang diciptakan Alselm von
Feuerbach tidak cukup, karena orang dapat dipidana dengan suatu rumusan yang samar-Samar. Demikianlah sehingga muncui istilah Baru "nullum crimen sine lege strrcta" ( tidak ada delik tanpa undangundang yang tegas sebelumnya}. Sejak 1 Maret 1994 bahkan rumus baru ini telah dicantumkan dalam Code Penal Prancis. Sebelumnya, dianut secara tersirat dalam rumusan delik yang berupa definisi. Sejak tahun 1794 akibat revolusi Prancis, semua rumusan delik dalam Code Penal dan diikuti oleh Ned. W.v.S. berbentuk definisi kecuali tidak dapat dibuat definisi seperti delik penganiayaan. Asas legalitas tercantum juga dalam hukum acara pidana. Pasal 1 Sv. Belanda mengatakan :Acara pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cars yang diatur dalam undang-undang. Jadi, ada perbedaan antara asas legalitas dalam hokum pidana materiel yang memakai istilah "perundang-undangan pidana" (wettelijk strafbepaling) dengan hukum pidana forme!, yang memakai istilah undangundang . Dengan demikian, asas legalitas dalam hukum pidana materiel bersifat !aka!, sedangkan asas legalitas dalam hukum pidana forme! bersifat nasional, artinya pemerintah daerah tidak boleh mengatur hukum acara pidana. Sayang, asas legalitas yang dirumuskan dalam Pasal 3 KUHAP, keliru, karena dikatakan: "dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dilupa, b
a
h w a a d a eradilan lain selain = eradilan pidana dan ada undan p p p 9
undang lain yang mengatur jugs acara pidana, mis. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi dll. Rumusan tentang asas legalitas dalam hukum acara pidana telah diluruskan dalam Rancangan KUHAP. Yang agak aneh, ialah KUHP RRC tidak menganut asas legalitas, bahkan membolehkan penerapan analogi undang-undang pidana, menganut asas legalitas dalam hukum acara pidana karena dikatakan 25
jaksa rakyat dan hakim rakyat harus secara ketat memperhatikan undangundang ini (KUHAP) dan undang-undang yang. Pembuat KUHAP RRC berbeda denganpenyusun KUHAP Indonesia, sadar ada undang-undang yang mengatur acara pidana. Berbeda dengan Cleiren et al. tsb. di muka yang menolak penafsiran ekstensif, Utrecht membuat rumus perbedaan antara analogi dan penafsiran temasuk yang ekstensif sbb : 1. interpretasi : menjalan undang-undang setelah undangundang itu dijelaskan. anaologi : menjelankan suatu perkara dengan tidak memakai undang-undang. 2. interpretasi : menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas. Analogi : menjalankan kaidah tsb. untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak disinggung oleh kaidah tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut28 . Penerapan analogi tidak menjadi ukuran demokratis dan tidak demokratisnya suatu negara, Denmark adalah negara demokratis tetapi menganut analogi, sebaliknya Italia dan Jerman Timur adalah negara otokratis, tetapi melarang analogi.
b. Hukum Transitoir (Perubahan Perundang-Undangan) Jika ada perubahan perundang-undangan, make yang diterapkan ialah ketentuanan paling men untun kan terdakwa. Ketentuan ini g 9 Y 9p g tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ada dua pendapat tentang perubahan perundang-undangan, yang pertama ialah ajaran materiel terbatas yang sangat berpengaruh sekarang ini yang berarti perubahan penilaian pembuat undang-undang.dalam hal patut dipidananya perbedtan itu (HR 15 Januari 1952, NJ.1952, 242), mengenai perubahan peraturan lalu-lintas. Logis, ketentuan yang diterapkan yang • 28 E. Utrecht, Hukum Pidana 1,1958, h1m.210 26
paling menguntungkan terdakwa walaupun beriaku surut karena alas legalitas bermaksud melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Kemungkinan berlaku surutnya ketentuan yang menguntungkan terdakwa, merupakan pengecualian jugs dad ketentuan bahwa undangundang yang diterapkan ialah yang berlaku pads saat perbuatan dilakukan (Iex temporis delictil. Menurut pendapat van Hamel, ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa ialah
yang paling kurang keras (minderstreng)29 Ketentuan (bukan undangundang) yang paling lunak bagi terdakwa yang harus diterapkan. Bagaimana jika kedua undang-undang ada ketentuan sama ada yang menguntungkan clan ada yang merugikan. Ada dua pendapat, Vos berpendapat undang-undang lama raja yang diterapkan karena itulah yang dilanggar. Lagi pula pemeriksaan pendahuluan dan surat dakwaan tidak perlu diubah, sesuai pula dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. 30 1 ni sesuai jugs dengan lex temporrs delictl. Sebaliknya, Pompe berpendapat undang- undang barn yang diterapkan, karena ciemikianlah pemikiran pembuat undang-undang.31 Menurut Memorie van Toelichting Ned. W.v.S, yang beriaku juga untuk KUHP Indonesia, "perubahan perundang-undangan" berarti semua ketentuan hukum materiel yang secara hukum pidana mempengaruhi penilaian perbuatan. Kata Pompe, bukan perubahan perundang-undangan pidana saja, karena Pasal 1 ayat
(2)
KUHP
tidak m e m a ka i is t i a h perubahan perundang-undangan pidana.32 Penda at an kedua ialah ajaran formei artin aperubahan p yang ~ 1 ~ Y p perundangundangan terjadi jika undang-undang pidana diubah.lni dianut oleh D. Simons.33 Yang perlu diperhatikan, bahwa jika ada perubahan perundangundangan setelah pelaku telah dijatuhi pidana, maka tidak terjangkau G.A. van Hamel, Inleiding tot de studie van Nederiandsche Straftrecht, 1927, 17, hlm.134 30 H>B.Vos, Leerboek van Nederlards Strafrecht,1950, him 59. 31 W.P.J. Pompe. Hancboek van Ned Strafmcht,1959, him 61. 32 W.P.J. Pompe, op.cit1959,him.61-fi2 33 D.Simmons,le rbek van Nederiandsche Strafnacht,1941,him.101 2s
ketentuan ini. Berbeda dengan KUHP Thailand, jika ada perubahan perundang-undangan setelah terpidana sudah menjalani pidananya, dapat diperhitungkan pidananya. Demikianiah, sehingga dalam rancangan KUHP telah clicantumkan ketentuan yang lama dengan KUHP T hailand. Hal itu sangat adil, karena jika dua orang melakukan perbuatan yang sama dan melanggar undang-undang y a ng sa ma pad s sa a t ya n g sa m a, te tap i ya n g p e r ta m a d iad i li
sebelum perubahan perundang-undangan, maka tidak terkena ketentuan yang menguntungkan, sedangkan yang belum diadili terjadi perubahan perundang-undangan yang menguntungkan, akan menikmati ketentuan yang menguntungkan itu. Hal bin yang perlu jugs diingat, bahwa tidak termasuk perubahan perundang-undangan jika suatu peraturan bersifat sementara. Misalnya ada peraturan jam malam dan ada ketentuan pidananya dilanggar, dan pads waktu diadili ketentuan jam malam sudah dicabut. Ketentuan c. Bertakunya Hukum Pidana Menurut Ruang Tempat Dan orang Yang pertama, dan yang paling umum, ialah alas teritorialitas, artinya semua orang kecuali Yang menikmati ketentuan tentang diplomatik, melannggar hukum pidana di wilayah suatu negara berlaku hukum pidana negara itu. Kapal suatu negara termasuk wilayah negara itu. Asas yang kedua, ialah asas nasionalitas pasif, atau asas perlindungan. Asas ini menentukan, bahwa hukum pidana suatu negara berlaku juga di luar negeri jika kepentingan tertentu atau kepentingan negara dilanggar di luar wilayah itu. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat 1,2 dan 4 KUHP..Asas ini diperluas dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan Undang-Undang No. 7 (drt) Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Yang dilindungi di sini bukan orang secara individual, tetapi kepentingan nasional dan kepentingan yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban oleh
orang asing di negara lain, maka yang berlaku ialah hokum asing. Tindak pidana yang disebut di dalam Pasal 4 ayat (1) ialah Pasalpasal 104, 106, 107 dan 108, 110, 111, bis pada ke 1, 1217 dan 131., Yaang tersebut dalam Pasal 4 ke 2 mengenai orang Indonesia di !Liar negeri melakukan kejahatan tentang mats uang, uang kertas negara atau uang kertas bank, tentang materei atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oWh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 4 ke 3 mengenai orang Indonesia yang melakukan pemalsuan tentang surat-surat utang atau sertif kat utang yang ditanggung oleh pemerintah Republik Indonesia, daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon, surat-surat utang sero (deviden) atau surat-surat bunga uang atau dengan sengaja mempergunakan surat paisu atau dipalsukan seperti itu, seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan. d. Asas tidak ada dua pidana pokok citerapkan kumulatif Sistem yang dianut oleh KUHP Indonesia yang berasal dari KUHP Belanda, tidak boleh dua jenis pidana pokok dijatuhkan secara kumulatif. Artinya hanya satu pidana pokok yang boleti dikenakan. Misainya pidana penjara tidak boleti dikenakan kumulatif dengan pidana Benda. Begitu pula pidana coati atau kurungan kumulatif dengan Benda. Asas ini sudah disimpangi oleh banyak undang-undang tersendiri (aftonderfijke wetten) di luar KUHP seperti UndangUndang No. 7 (cirt) tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 3 tun 1971 tentang Pemberantasan Tindc* Pidana Korupsi, yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak PidEna Kon.ipsi. Ada pula yang kumulatif dal alternatiF ditandai dengue kata-kata "dan/atau" , artinya dapat dijatuhkan pidana kumulatif dapat pula salah satunya saja, penjara dan/atau Benda. Ini dianut oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kaupsi.
e. Asas tidak ada n inimu n khusus pia Sistem KUHP Indonesia, tidak dikenal adanya minimum khusus, balk penjara maupun denda. Yag ada ialah minimum umum pidana penjara satu hari untuk pidana denda dua ratus lima puluh rupiah untuk semua delik yang diancam dengan pidana denda. Hal ini sudah disimpangi dengan beberapa undang-undang tersendiri, seperti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang terorisme, Undang-Undang Pelanggaran HAM berat dal seterusnya. f.
Asas hanva oran9 sebajai subyek (normsachessaaij ham pidana Hanya prang yang menjadi subyek (nomnadressaat) hokum pidana tersirat dalam Pasal 59 KUHP yang sama dengan Pawl 51 KUHP Belanda sebelum diubah pads tarxn 1976. Pada tarxxi 1976 Pawl 51 KUHP Belanda sudah diubah, badan hi.kum atau korporasi menjadi subyek (normsadressaat). Artinya, korporasi dapat dijatuhi pidana tersendiri atau bersama-lama dengan pengurus (direktur) atau salah satunya. Korporasi bertanggungjawab pidana jika pengurus (direktur) memimpin atau memerintahkan dilakukannya delik atas Hama korporasi. Tentulah tidak semua delik dapat dilakukan oleh korporasi, seperti perkosaan, penganiayaan, bigamy, permukahan (overseen dst. KUHP Belanda tidak memilah-milah delik apa yang korporasi bertanggungiawab pidana, diserahkan pads pralctek penerapan hokum. Beberapa undang-undang tersendiri ,sudah menetapkan korporasi bertanggungjawab pidana, seperti Undang-Undang No. 7 (drt) tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan menyusul banyak undang-undang baru yang tercipta akhir-akhir ini. Masih ada pakar hokum pidana rriemntang korporasi menjadi subyek hokum pidana seperti aim. Mantan Jaksa Agung (Procureur Generao0 • Belanda Prof.Mr Jan Remmelink.
Alasan yang menentang korporasi menjadi subyek : 1. Seluruh bangunan teori hokum pidana dalam KUHP yang disusun lebih seratus tahun yang laiu "orang" yang menjadi subyek, seperti ajaran tertang kesengajaai, kelalaiart d seterusnya, didasatan pada orag sebagai subyek. 2. Tidak semua jenis pidana yang dapat diterapkan. 3. orang yang tidal( bersalah kena pidana, yaitu pemegang saham yang membayar denda (dipotong dari keuntungan). 4. Melanggar asas ne bis in dem, karena baik pengurus maupun korporasi dipidana dengan delik yang lama. 5. Pengurus dapat mengelak dan melimpahkan tanggungjawab kepada korporasi. Alasan yang mendukung korporasi menjadi subyek : 1. Jika korporasi tidak menjadi subyek, banyak kejahatan yang merugikan publik lolos; dari pemidanaan. 2. Alasan bahwa orang tidak bersalah akan kena pidana, memang demikian, bukankah pica seseorang dijatuhi pidana, keluarganya yang tak bersalah akan turut menderita. Asas Tidak Ada Penjumlahan Pidana Pada Delik Concursus Yang Berupa Kejahatan. Dalam hal seseorang melakukan lebih dai sate delik be rupa kejahatan, pidananya tidal( di jumlah seluruhnya seperti di Amerika Sertkat yang orang dapat di idana sa ai 100 tahun, kareha dijumlah semua pidana p
a
p
m
p
!
p
y
a
n
g
dijatuhkan. Dalam sistem KUHP Indonesia yang sama dengan KUHP Belanda, dikenal sistem mengisap (absorptie) , paling jauh pidana dijumlah, tetapi tidak boleh lebih dari pidana tertinggi ditambah sepertiga. Misalnya, gabungan delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dilakukan bersama-sama dengan pencurian (Pasal 362 KUHP) dan perkosaan (Pasal 285 KUHP) . Pembunuhan ancaman pidananya maks. 15 tahun penjara, pencurian maks. lima tahun penjara, dan perkosaan 12 tahun penjara, jadi, 31
pidana yang ter inggi, ialah pembunuhan 15 tahun penjara, dengan demikian pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimal 15 ditambah 113 dari 15 tahun sama dengan 20 tahun Il. Tindak pidana Baru yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap Keamanan Negara (idiologi negara), tindak pidana terhadap Agama clan Kehidupan Beragarna, tindak pidana Kesusilaan. a. Tindak pidana terhadap keamanan negara (idiologi negara).
Tindak pidana ini diatur dalam Bab I Tentang tindak pidana terhadap Keamanan Negara yang terdid dad 3 pasai yaitu pasal 212, 213, 214 KUHP yang melarang penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Pasal 212 (1), setiap orang yang secara melawan hukum dimuka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun menyebarkan
dan mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme dengan maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebgai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Pasal 212 (2), setiap °rang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang mengakibatkan timbuinya kerusuhan dalam masyarakat dan atau kerugian harta kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Pasal 212 ( 3), setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayai 1 yang mengakibatkan orang menderita lukaberat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Pasal 212 (4), setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
32
Pasal 212 (5), ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikecualikan jika perbuatan itu dilakukan semata-mata untuk kegiatan ilmiah. Ajaran Komunise, Marxisme dan Leninisme yang dilarang dalam pasal ini mengandung benih-benih dengan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah pancasila. Pasal 213 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun, setiap orang yang: (1) Mendirikan organisasi yang diketahui patut diduga keras menganut ajaran Komunisme,
Marxisme dan Leninisme,
(2) Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi baik didalam maupun luar negeri yang diketahui berazaskan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara. (3) Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi balk didalam mapun diluar negeri yang diketahuinya berazaskan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme dengan maksud menggulingkan pemerintahan yang sah. Pasal 214 (1), setiap orang yang secara melawan hukum dimuka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Pasal 214 (2), setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang mengakibatkan timbulnya kerusuhan dalam masyarakat dan atau kerugian harts kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Pasal 214 (3), setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pads ayat 2 yang mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12tahun. 33
Pasal 214 (4), setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 2 yang mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pawl 212, 213, 214 merupakan tindak pidana terhadap ideologi negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme dilarang karena selain bertentangan dengan Pancasila jugs juga dimaksudkan untuk mencegah beredarnya *ran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia. b. Tindak !Adana terhadap agama dan kehidupan beragama Tindak pidana ini diatur dalam BAB VII yang terdiri dari 4 pasal yaitu pasal 342, 343, 344, 345 RUU KUHP. Pasal 342, setiap orang yang dimuka umum menghina Keagungan Tuhan, Firman dan Sifatnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda kategori IV. Penghinaan yang dilakukan dapat menimbulkan keresahan dalam kelompok umat yang bersangkutan dan mencegah terjadinya kerusuhan dalam dan diantarakelompok-kelompok masyarakat. Pawl 343, setiap orang yang dimuka umum yang mengejek dan menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama atau tempat ibadah keagamaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda kategori IV. Perbuatan yang dilakukan dalam pasal ini dapat merusak hidup beragama dalam masyarakat Indonesia., Pa s al 3 4 4, m el a r a mg s e t ia p o r an g y an g m en y ia r k an , mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum tindak pidana dalam pasai 341 (menghina agama yangdianut di Indonesia) atau pasal 343 dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau denda kategori IV}.
34
Pasal 344 ayat 2, jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana
tambahan pencabutan hak menjalankan profesi tertentu. Perbuatan penyiaran yang dilakukan dimaksudkan untuk diketahui oleh umum dalam ayat 2 mengatur pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan pengulangan tindak pidana ini. Pasal 345, melarang setiap orang yang dimuka umum menghasut dalam
bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap
agama yangsah di anut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda kategori IV. Perbuatan menghasut yang dilakukan dalam bentuk apapun dengan tujuan agar pemeluk agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama. Pasal 342, 343, 344, dan 345 merupakan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama. Sila pertama dalam Pncasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa dalam masyarakat Indonesia agama merupakan sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat. Penghinaan terhadap suatu agama patut dipidana karena tidak menghormati sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat dan menyinggung perasaaan keagamaan masyarakat. Agama yang sah dianut di Indonnsia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. c. Tindak Maria Terhadap Kesusitaan
Tindak pidana ini diatur dalam Bab XVI yang terdiri dari 17 pasal, yaitu pasal 468 sampai dengan pasal 488. Pasal 468, setiap orang yang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau
yang dapat disamakan dengan film, syair, lagu, puisi,
gambar, foto, dan atau lukisan yang mengeksploitasi days tarik seksual
35
pada bagian tubuh, aktivitas seksual, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan atau sesama jenis, atau aktivitas atau hubungan seksual dengan binatang atau dengan jenasah dipidana karena pornograf dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda kategori IV. kat 2, setiap p rang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang obyeknya anak-anak. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun danpaling lama 7 tahun atau pidana denda paling sedikit denda kategori III dan paling banyak denda kategori IV. Pam!
469,
setiap
orang
yang
menyiarkan,
memperdengarkan,
mempertontonkan atau menempelkan tulisan, suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair, lagu, puisi, gambar, fat dan atau lukisan melalui media massa cetak, media massa elektronik dan atau alat komunikasi media yang mengeksploitasi daya tarik seksusal pada bagian tubuh, aktivitas seksual, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan atau sesama jenis atau aktivitas seksual, hubungan seksual dengan binatang atau jenazah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda kategori IV. Ayat 2 melarang setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang objeknya anak-anak. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau denda kategori IV. Pasal 469 merupakan delik penyiaran terhadap pornografi. Pasal 470, setiap orang yang menjadikan diri sendiri dan atau orang lain seba ai mode! atau ob ek mbuatan tulisan suara atau rekaman g Y !~ , suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair, lagu, puisi, gambar, foto, dan atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktivitas seksual, hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis atau aktivitas atau hubungan seksual dengan binatang atau dengan jenazah dipidana denghan pidana per jars paling singkat 1 tahun dan palin lama 7 tahun dan pidana denda. paling sedikit denda kategori III dan paling banyak denda kategori IV. 36
Sanksi yang diancamkan dalam pasal 470 merupakan ancaman pidana minimum khusus. Pasal 471, setiap orang yang memaksa anak-anak menjadi model atau objek pembuatan tulisan, suara, atau rekam suara, film, atau yang dapat disamakan dengan film, syair, lagu, pusis, gambar, foto dan atau lukisan yang mengeksploitasi anak-anak untuk melakukan aktivitas seksual atau persetubuhan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak denda kategori VI. Pasal 472, setiap orang yang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan karya seni yang mengandung sifat pornografi dimedia massa cetak, media massa elektronik, atau slat komunikasi radio, yang berada di tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan sebagai tempat pertunjukkan karya seni, dipidana dengan pidana paling singkat 2 tahun dan paling lama 9 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V. Pasal ini memuat ancaman minimum khusus. Pasal 473, setiap orang yang membeli barang pomografi atau jasa pornografi tanpa alasan yang dibenarkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda kategori II. Pasal ini merupakan tindak pidana ringan. Pasal 474, setiap orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan dan perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornografi dan pameran pornografi dipidana dengan paling singkat 3 .= pidana denda kategori IV dan ali tahun dan paling lama 15 tahun dan p g pg banyak kategori Vi. Pasal ini memuat ancaman pidana minimum khusus. Pasal 488 sampai dengan pasal 474 merupakan pasal-pasal yang brkaitan dengan pornografi. Pasal 475, setiap orang yang dimuka umum atau disesuatu tempat yang dapat dilihat oleh umum mempertontonkan slat kelamin, melakukan • aktivitas seksual atau melakukan hubungan seks dipidana karena 37
pornoaksi dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV. Pasai 478, setiap orang yang dimuka umum mempertontonkan gerakan atau tarian erotis atau peragaan orang yang sedang melakukan hubungan seksual dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda kategori IV. Pasal 477, setiap orang yang menyelenggarakan acara pertunjukkan seks atau pests seks dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 9 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori V. Ayat 2 pasal ini melarang melibatkan anak-anak sebagaimana diatur dalam ayat (1). Pasai 478, setiap orang yang menonton setiap pertunjukkan seks atau pesta seks dipidana dengan pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori IV. Ayat 2, setiap orang yang menonton acara pertunjukkan seks atau atau pests seks yang melibatkan anak-anak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahundan paling lama 9 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori If I dan paling banyak kategori V. Pasal 479, melarang setiap orang yang mendanai atau menyediakan tempat, peralatan dan atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukkan seks, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan ; paling lama 15 tahun danpidana p ! 9g p9 p denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI.
p
Ayat 2, setiap orang yang mendanai atau menyediakan tempat peralatan dan atau perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornoaksi, acara pertunjukkan seks, dan atau pesta seks yang melibatkan ank-anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI. 38
Pasal 479 menyatakan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 468 sampai dengan pasal 479 tidak dipidana jika merupakan karya seni budaya, olahraga dan ilmu pengetahuan. Pasal 475 sampai dengan pasal 479 merupakan pasal-pasal yang berkaitan dengan pornoaksi. Pasal 486, setiap orang yang meiakukan hidup bersama sebagai suami istri diluir perkawinan yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak denda kategori IV. Pasal yang melarang perbuatan hidup bersama diluar perkawinan yang sah yang biasa dikenaf dalam masyarakat "kumpul kebo". Pasal 487, melarang setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran dijalan umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Pasal 488, setiap °rang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun. Ayat 2, jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang bekum berumur 18 tahun dan bekum kawin dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun. Dalam masyarakat pasal ini disebut sebagai perbuatan sumbang Onsest) yang diancam dengan pida na minimum khusus untuk menunjukkan sifat berat tindak pidananya. Pasal 468 sampai dengan pasai 479 dan 486 sampai dengan 488 merupakan tindak pidana terhadap kesusilaan yang berkaitan dengan pornografi, pomoaksi, incest dan kumpul kebo.
39
III, Delik-Delik Dalam Rancangan KUHP Yang Rumusannya Berubah Dari KUHP a. Makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 216, Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah negara jatuh kepada kekuasaan asing atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
puluh) tahun.
Pasai 106, Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Catatan: Pada R. KUHP mempergunakan unsur kepada kekuasaan asing, sedangkan di dalam KUHP mempergunakan unsur jatuh ke tangan musuh. b. Penghinaan terhadap Presiden danWakil Presiden Pasal 265: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 134: Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah. Pasai 136 bis: Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 mencakup jugs perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, balk dengan tingkah Iaku di muka umum, maupun tidak dimuka umum baik lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, berte ntan gan den gan kehen da kn ya d a n oleh kar ena i tu meras a tersinggung. 40
catatan: Di dalam R. KUHP mempergunakan unsur di muka umum sedangkan KUHP tidak mencantumkannya. Dan seperti pada pasal 136 bis KUHP, penghinaan tanpa kehadiran yang dihinapun dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. c. Penghinaan terhadap Pemerintah Pasal 284: Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lava 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pawl 285: (1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 alga} tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. catatan: Di dalam Pawl 284 dan 285 R. KUHP terdapat unsur yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dan ini tidak terdapat di dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Pasal 154: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima rates ,ru iah. pg Y p p Pasal 155: Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pemyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. rupiah.
d. Penghinaan terhadap Golongan Penduduk Pasal 286: Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warm kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau carat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 287: (1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi
pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warm kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, carat mental, atau carat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 156: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus at an golongan dalam asal ini dan asal berikutn a berarti rup~ah. Perk a g g p p y tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Pasal 157: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan - golongan rakyat
Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling hanyak empat rupiah lima ratus rupiah. Pasal 342: Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 343: Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau i badah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. e. Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama Pasal 345: Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. f.
Perusakan Tempat !badah Pasal 348: Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 156a, Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
9• Penyelenggaraan Pesta atau Keramaian Pasal 318 (1) Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yan g b er we na n g me n gad a kan pa wai, unj u k ra sa, at a u demonstrasi di jalan umum atau tempat umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. (2)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 319 (1) Setia p oran g yan g t anpa i zin men ga d a kan pe sta at au keramaian untuk umum di jalan umum atau di tempat umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. (2) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) yang mengakibatkan terganggungnya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 510 (1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk-itu: mengadakan pests lain yang ditunjuk untuk itu: mengadakan arak-arakan di jalan umum. (2) Jika arak-arakan diadakan untuk menyadakan keinginankeinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah. •
Pasal 511: Barang siapa di waktu ada pesta arak-arakan, dan
sebagainya, tidak menaati perintah dan petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas di jalan
umum, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah. h. Panghinaan terhadap Kekuasaan timum dan Lambaga Negara
Pasal 405: Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategor i III.
Pasal 207: Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
BAB III ANALISIS
Berbicara mengenai Rancangan KUHP bagaimanapun juga kita harus meninjau sejarah perkembangan hokum pidana dan KUHP di Indonesia. Sekarang ini, berlaku KUHP atau Het Wetboek Van Straftrecht (WvS) yang dinyatakan oleh UU No Tahun 1946 sebagai KUHP yang berlaku di Indonesia (diambil dari Wetboek van Straftrecht voor Netherlands Indie (keadaan Tahun 1942) dengan beberapa perubahan dan penambahan. Oleh karena ada daerah yang kembali diduduki oleh NICA (Belanda) sehingga secara defacto pernah berlaku satu KUHP yaitu het wetboek van straftrecht keadaan tahun 1942 tetapi dengan dua versi yang satu KUHP versi UU Noi 1 Tahun 1946 dan yang stau versi NICA. Jadi ada beberapa perbedaan. Baru tahun 1958 dinyatakan yang berlaku ialah versi UU NO 1 Tahun 194634 Penyusunan
konsep
KUHP
baru
dimulai
bulan
Maret
1981.
Penyususnan dilakukan berbarengan oleh dua tim, yaitu : (a) Tim Pengkajian dan (b) Tim Rancangan. Kemudian kedua tim ini bergabung menjadi satu dengan pimpinan berturut-turut : Prof Sudarto, SH (meninggal Tahun 1986), Prof Ruslan Saleh (meninggal 1988) dan Mardjono Reksodiputro (ketua sejak tahun 1987-1993) dan dengan sekretaris Ny Yusrida Erwin, SH (1982-1993) sedangkan Prof Oemar seno Adjie menjadi konsultan (meninggal 1991). Konsep (selanjutnya Rancangan) yang sekarang dipergunakan dan beredar, merupakan penyempurnaan yang dilakukan oleh suatau tim di
34
Andi Hamzah, Perkembangan Bab – Bab Yang Terkait Dengan Proteksi Negara Dalam RUU KUHP, Bahan Diskusi Panel pada acara Konsultasi Publik “Perlindungan HAM Melalui Reformasi KUHP” Hotel Santika Slipi Jakarta, 3 - 4 Juli 2007, hlm 1.
66
bawah
Direktorat
Perundang-Undagan
Departemen
Kehakiman
dan
disosialisasikan pada akhir tahun 2000. Duduk sebagai anggita pada tim yang bekerja kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, SH adalah Prof Dr.J.E. Sahetapy, SH (1982-1993), Prof Dr Andi Hamzah, SH(1984-1993), Prof Dr Muladi, SH (1986-1993), Prof Dr Barda N Arief, SH (1986-1993) sedangkan Prof Dr Loebby Loqman, SH tururt dalam penyempurnaan rancanagan (1998-2000) dan Prof Dr Bambang Purnomo, SH turut dalam sejumlah lokakarya yang membahas konsepkonsep Rancanagan tersebut. Pembaharuan hukum pidana nasional (criminal law reform) yang sudah dimulai sejak tahun 1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu KUHP yang “tambal sulam” (baik dengan pendekatan evolusioner,
global
maupun
kompromi
antara
keduanya),
melainkan
diharapkan terbentuknya KUHP nasional yang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati nilai-nilai agamis dan adat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standard dan asas serta kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Dalam perkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses
pembaharuan
KUHP
tidak
hanya
didasari
keinginan
untuk
menggantikan karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda 1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa, pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan Belanda. Sepanjang berkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal ini bisa berbentuk standard, asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih bersifat “soft law” pada tahap-tahap
67
“enunctiative, declarative and prescriptive” maupun dalam bentuk “hard law” pada tahap-tahap “enforcement and criminalization”.35 Keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasional telah lama menjadi obsesi bangsa ini. Namun demikian, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak diletakkan dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht
-- produk hukum pidana pemerintahan kolonial
Hindia Belanda. Tetapi lebih jauh dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki sebuah hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara demokratis. Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang berada dalam transisi, yakni transisi dari meninggalkan rezim politik otoriter Orde Baru menuju sistem politik baru yang belum sepenuhnya terbentuk (demokratis atau bukan). Konteks atau “semangat zaman” inilah yang harusnya dijawab dalam penyusunan hukum pidana baru (RUU-KUHP). Lebih tegas lagi, artinya, penyusunan RUU-KUHP harus diletakkan sebagai bagian dari proyek Reformasi saat ini36 Proyek pembaharuan hukum pidana telah berlangsung lama, bahkan merupakan RUU yang diprioritaskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sampai saat ini tetap menjadi prioritas Prolegnas pada masa bakti DPR RI 2009-2014. RUU KUHP yang secara substansi bersifat kompleks sehingga diperlukan berbagai pemikiran serta kajian-kajian hukum yang komprehensi, karena KUHP bukan hanya sekedar norma yang bersifat mengatur tetapi di dalamnya terdapat norma sanksi yang keras berupa pemidanaan terhadap subjek yang melanggarnya, ini yang sepertinya menyebabkan proses pembahasan RUU KUHP di DPR sampai saat ini belum menghasilkan titik terang.
35
Muladi, Beberapa Catatan Terhadap RUU KUHP, dalam Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP, ELSAM, 2006, hlm.1 36 Ifdhal Kasim, Pembaruan KUHP : Menuju Kemana? Tinjauan Kritis Atas RUU KUHP, dalam Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP, ELSAM, 2006, hlm.58
68
Atas dasar pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa penyusunan penyusunan RUU KUHP memerlukan waktu yang lama dan memerlukan kehati-hatian agar dapat terjalin kesatuan atau saling topang antar ide satu dengan ide yang lain sehingga membentuk kesatuan sistem hukum pidana, yakni sistem hukum pidana nasional. Beberapa pendalaman dari RUU KUHP yang sangat menarik /urgen untuk di kritisi diantaranya adalah: A.
Perkembangan Penyusunan Buku II RUU KUHP37 Pemikiran para pernyusun RUU KUHP telah merespon konsep hukum pidana yang di[perngaruhi oleh hasil kajian kriminologi, bahwa membedakan suatu perbuatan menjadi kejahatan dan pelanggaran dapat memperlemah penegakan hukum pidana. Perbuatan yang dilarang yang termasuk kategori kejahatan biasanya memperoleh perhatian yang lebih serius oleh penegak hukum dan masyarakat dibandingkan dengan perbuatan yang dilarang yang termasuk kategori pelanggaran. Perbuatan yang termasuk kategori pelanggara dianggap sebagai perbuatan pidana yang ringan dengan ancaman pidana yang relatif ringan. Aklibatnya, BUKU III KUHP yang memuat perbuatan pidana pelanggaran praktis tidak memperoleh perhatian dalam praktek penegakan hukum pidana. Secara teoritis, pandangan tersebut ada benarnya. Dalam ajaran (doktrin) hukum pidana dienal bahwa kejahatan sebagai bentuk pelanggaran hukum (recht delict) dan substansi hukum adalah keadilan, maka melanggar kejahatan berarti melanggar keadilan. Sedangkan pelanggaran adalah melanggar undang-undang (wet delict) dan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang sumber
37
Tulisan Dr. Mudzakir, SH,MH, anggota Tim Kompendium Hukum Pidana BPHN
69
kekuatannya adalah undang-undang itu sendiri. Konsekuensinya, ancaman sanksi terhadap pelaku kejahatan lebih berat dibandingkan dengan pelaku pelanggaran. Doktrin yang demikian ini dapat mendorong
terciptanya
suatu
keadaan yang
tidak
menunjang
penegakan hukum pidana pada umumnya (terutama terhadap pelanggaran). Dilihat masyarakat,
dari
dampak
keduanya,
atau
baik
kerugian
kejahatan
yang
maupun
dialami
oleh
pelanggaran,
menimbulkan kerugian yang besar dalam masyarakat dan bahkan perbuatan pelanggaran tertentu akibatnya jauh lebih besar dan serius daripada kejahatan. Pemikiran
penyusun
RUU
KUHP
yang
menghapuskan
pembedaan antara perbuatan pidana termasuk kategori kejahatan (BUKU II) dan pelanggaran (BUKU III) dan merumuskan bahwa setiap pelanggaran hukum pidana adalah kejahatan, maka sistematika KUHP diubah menjadi dua buku, yaitu BUKU I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana (Kejahatan). Perubahan ini akan membawa pengaruh dalam merumuskan sistem pemidanaan dan sistem pengancaman sanksi pidana terhadap perbuatan pidana yang diatur dalam BUKU II. Materi KUHP dalam RUU KUHP. Materi KUHP, khususnya BUKU II dan BUKU III menjadi bahan dalam penyusunan RUU KUHP BUKU II. Materi BUKU III dimasukan dengan penyesuaian, yakni diseleksi mana yang perlu masuk sebagai materi RUU KUHP (kejahatan) dan mana yang tidak. BUKU II KUHP menjadi masukan utama dalam RUU BUKU II dengan penyesuan, yakni penyempurnaan dan pengurangan atau penghapusan yang tidak sesuai dengan perkembangan. Pasal-pasal yang berasal dari BUKU III KUHP tersebut
ancaman
pidananya
disesuaikan
dengan
sistem
70
pengancaman pidana sebagaimana diatur dalam BUKU I RUU KUHP, umumnya diancam dengan pidana denda saja. RUU KUHP hendak menempatkan diri sebagai induk (dasar umum) di bidang hukum pidana, maka materi hukum pidana yang bersifat generik yang berada di luar KUHP materinya dimasukkan ke dalam RUU KUHP BUKU II. Sedangkan ketentuan yang bersifat pidana administratif tidak dimasukkan, kecuali ada padanannya dalam pasal BUKU II kemudian dijadikan dasar untuk memberat atau memperingan ancaman pidana. Kebijakan untuk memasukkan instrumen hukum internasional di bidang hukum pidana ke dalam RUU KUHP. Mengnai hal ini ada dua pendapat; pertama, hendak memasukkan instrumen internasional tersebut sepenuhnya (total) agar sesuai dengan perkembangan masyarakat internasional dan hukum pidana Indonesia diakui sebagai bagian internasional (berlakunya asas kepentingan universal dalam BUKU
I).
Pendapat
memasukkan
kedua,
semuanya,
menyatakan
melainkan
materi
bahwa dan
tidak
perlu
rumusannya
disesuaikan dengan sistem hukum pidana nasional diharmonisasikan dengan
asas-asas
hukum
pidana
nasional
dam
kepentingan
pembangunan hukum pidana nasional. B.
Asas Legalitas Penerapan hukum dalam sistem civil law, hakim harus mengikuti asas legalitas, tetapi tidak boleh legistik. Hakim harus memutus menurut hukum. Namun demikian tidak berarti hakim sekedar mulut atau corong undang-undang. Sebenarnya tidak pernah hakim
memutus
semata-mata
menurut
bunyi
undang-undang.
Kalaupun pernah ada hakim sebagai mulut undang-undang hanya terjadi pada masa jayanya kodifikasi dan legisme. Hal itu ternyata tidak
71
pernah sepenuhnya berjala. Kaum akademis seperti kelsen tetap mengakui yurisrudensi sebagai legal norm. kalau hanya bergantung pada bunyi undang-undang, tidak pernah ada putusan hakim, karena hampir dapat dipastikan tidak pernah ada suatu peristiwa hukum yang sepenuhnya sama dengan deskripsi dalam undang-undang. Rumusan undang-undang yang bersifat umum tidak pernah menampung secara pasti setiap peristiwa hukum (Bagir Manan, 2007: 241-242) C.
Pembahasan Undang-Undang Pembahasan undang-undang yang juga dapat disebut sebagai pembaharuan hukum, merupakan fenomena umum di negara-negara berkembang atau sebagai negara yang baru merdeka. Dalam setiap aspek (hukum adat yang berlaku lokasl), hukum selalu ketinggalan dengan dinamika, tuntutan, dan kebutuhan masyrakat. Dan seperti biasanya, kiblat atau orientasi pembaharuan selalu mengarah pada hukum apa yang telah ada di negara maju, yang kemungkinannya bisa diadopsi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Studi umum di Indonesia yang selama lebih dari tiga abad dijajah Belanda, dengan sendirinya semula lebih berorientasi ke Belanda.
Setelah
Belanda
semakin
pudar
dalam
pergaulan
Internasional, dan digantikan posisinya oleh Amerika Serikat dan Inggris, studi hukum semakin menggantikan Belanda dan Beralih ke Amerika dan seterusnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dan/atau tertentu, juga sudah berkiblat pada Amerika Serikat. Walaupu diselingi proses pengadopsian dari berbagai negara di dunia. Ketidak mandirian Indonesia dalam pembentukan dan pembuatan
72
hukum yang baru, terkadang memang dipaksakan oleh kepentingan asing, yang tidak dapat dielakan oleh kepentingan nasional. Dalam kerangka berfikir ke –Indonesiaan, suatu perubahan hukum melalui transformasi hukum asing, dikutip teori Robert Seidman (Achmad Ali 2002:198). Untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, kita tidak dapatbegitu saja mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita untuk langsung diberlakukan. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di masyarakatnya sendiri. Karena antara pernagkat hukum asing itu dengan kebutuhan masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain yang berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda
stratifikasi
sosialnya,
berbeda
taraf
pemikiran
warga
masyarakatnya. D.
Tindak Pidana Yang Baru Munculnya tindak pidana yang baru di tengah dinamika masyarakat internasional dan juga nasional sejak era tahun 1970-an langsung direspon oleh para penyusun RUU KUHP. Dalam merumuskan tindak pidana, di samping mengacu pada perkembangan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP (mis. UU tentang Pencucian Uang, UU tentang Pemberantasan Terorisme, UU tentang Penghapusan KDRT, UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU tentang Perlindungan Cagar Budaya, UU tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi,
UU
tentang
Pengadilan HAM, UU tentang Kesehatan, UU tentang Sisdiknas dan sebagainya), secara antisipatif dan proaktif jua memasukkan pelbagai RUU yang sudah diterima masyarakat yaitu al. pelbagai RUU Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi, Tindak Pidana di Dunia Maya atau 73
Tindak
Pidana
tentang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik
(cybercrime), Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking) dan lain-lain. Di samping itu adaptasi terhadap perkembangan kejahatan atau tindak pidana internasional (international crimes), khususnya yang merupakan jus cogens yang bersumber dari pelbagai konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi atau belum juga dilakukan. Sebagai contoh adalah Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar ratifikasi terhadap “Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment” (1984), demikian pula antisipasi terhadap kemungkinan ratifikasi terhadap Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court, perluasan tindak pidana korupsi yang bersumber pada UN Convention Against Corruption (2003), Palermo Convention tentang Transnational Organized Crimes (2000), dan sebagainya; Dengan demikian penambahan Bab dan Pasal-pasal tak dapat dihindarkan; Pemikiran “gender sensitives” mempengaruhi Tim RUU untuk memasukkan pelbagai tindak pidana baru tentang perkosaan dan KDRT, pornografi dan pornoaksi dan lainlain. Sementara itu pelbagai kejahatan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu, juga diatur dalam RUU KUHP hal ini bersifat saling melengkapi. Khusus tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia, jug atelah direspon dengan baik, yaitu oengaturan terhadap genosida, tindak pidana kemanusiaan, tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata, juga telah diatur dalam RUU KUHP.
74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
RUU KUHP yang sudah lama digagas dan disusun sejak tahun 1981,
dan
terus
menerus
diperbaharui
melalui
pergantian
keanggotaan dalam suatu Tim, masih dianggap belum selesai. Pemerintahan yang silih berganti dari era sentralistik (otoritarian), reformasi dan demokrasi, sesungguhnya telah mampu menyelesaikan konsep (finalisasi) RUU KUHP. Hanya saja, political will pemerintah dalam mengajukan RUU KUHP ke DPR, selalu gagal dilaksanakan. Politik hukum pembuatan RUU KUHP yang sudah lama dengan melibatkan para pakar hukum pidana, unsur Kejaksaan, unsur Kejaksaan, unsur Kepolisian, Unsur Hakim, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), selalu terhenti di tengah jalan, pada saat produk RUU KUHP telah selesai. Penyempuranaan konsep RUU KUHP juga didukung dengan pelbagai bentuk/jenis kegiatan ilmiah lainnya seperti pengkajian hukum
pidana
dengan
topik/judul
beraneka
ragam,
seminar,
simposium, lokakarya baik tentang pelbagai kejahatan/tindak pidana, termasuk juga penelitian hukum , dan disertasi-disertasi, selama lebih dari 25 tahun, juga dianggap belum selesai oleh pihak Pemerintah. Sementara lembaga DPR sesuai mekanisme lima tahunan, para anggotanya dan kekuatan politiknya juga telah berubah sehingga
75
mereka tidak dapat memfokuskan diri untuk melakukan hak inisiatif mengajukan RUU KUHP. Eksistensi RUU KUHP sekarang sudah menampung pelbagai kejahatan baru, termasuk menadopsi asas-asas dalam hukum pidana dari negara lain, yang juga telah diangkat sebagai asas yang universal. Hanya saja, dalam RUU KUHP belum berhasil memasukan kejahatan perang, transnasional, agresi. Pembentukan KUHP nasional secara eksplisit sudah menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sejak 10 tahun yang lalu. Hanya saja, terdapat kecenderungan bahwa realisasi di DPR tidak dapat dipastikan dalam DPR periode 2009-2014. B. Saran Kebijakan negara dalam pembuatan dan pembentukan KUHP nasional, harus ada, jelas dan pasti, karena Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, sesuai UUD 1945 setelah perubahan keempat, masih mewarisi dan melaksanakan KUHP produk kolonial Belanda. Walaupun dalam mengantisipasi pelbagai kejahatan baru yang bermunculan di belahan dunia yang lain, sesuai konteks globalisasi juga telah direspon dengan membuat dan membentuk peraturan perundang-undangan khusus. Untuk itu dalam rangka mendukung dan menindak lanjuti kompendium review RUU KUHP, perlu saran sebagai berikut: 1. Pemerintah segera mengajukan RUU KUHP yang sudah lama selesai kepada DPR untuk mengagendakan pembahasannya. 2. DPR perlu mendapat tekanan publik untuk memprioritaskan pembentukan RUU KUHP. 3. Pelbagai kejahatan yang belum dimasukan dalam RUU KUHP, bisa sambil berjalan di dalam pembahsan di DPR. 76
77
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Perkembangan Bab – Bab Yang Terkait Dengan Proteksi Negara Dalam RUU KUHP, Bahan Diskusi Panel pada acara Konsultasi Publik “Perlindungan HAM Melalui Reformasi KUHP” Hotel Santika Slipi Jakarta, 3 - 4 Juli 2007. BPHN,"Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", Jakarta: LPHN, 1973 ______Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1973 Cleiren & Nijboer, Straftrecht, Tekst & Commentaar, 1997 D.Simmons,leerboek van Nederlandsche Strafrecht, 1941, E. Utrecht, Hukum Pidana I, 1958, Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1960. G.A. van Hamel, Inleiding tot de studie van Nededandsche Straftrecht 1927, H. B.Vos, Leerboek van Nederlands Strafrecht, 1950 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989. I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993 Ifdhal Kasim, Pembaruan KUHP : Menuju Kemana? Tinjauan Kritis Atas RUU KUHP, dalam Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP, ELSAM, 2006 J. B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhalindo, 2001 K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981 Kanter
dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Penerapannya ,Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982
dan
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993 ________, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum 78
Pidana, 1959 Moh.
Koesnoe, "Pokok Perniasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali,1986)
Muladi, Beberapa Catatan Terhadap RUU KUHP, dalam Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP, ELSAM, 2006 Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal — Pasal terpenting dari Kitab Undang — Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang — Undang Hukum Pidana Indonesia. Grameda. Pustaka utama , Jakarta, 2003 Sudarto,
Hukum Pidana I, Diponegoro, 1990.
Semarang.-
Fakultas
Hukum
Universitas
W.P.J. Pompe. Handboek van Ned. Strafrecht ,1959 Rancangan KUHP tahun 2000 Departemen Hukum dan Perundangundangan
79