Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
VARIABILITAS GENETIK KARAKTER UMUR, HASIL, DAN KOMPONEN HASIL BEBERAPA GENOTIPE PADI LOKAL (Oryza sativa L.) SUMATERA BARAT
Rida Putih, Aswaldi Anwar, dan Nur Ayu Rahma GR Fakultas Pertanian Universitas Andalas Kampus Limau Manih Padang 25163 Korespondensi: Telp.: +62 751 72776; Fax.: +62 751 72702; mobile : +62 81266039630; email:
[email protected]
ABSTRACT Experiments on genetic variability of the characters age, yield and some yield components of local rice genotypes (Oryza sativa L.) in West Sumatra, have been implemented at Kuranji, Guguk VIII Koto, Kec. Guguak Kab. Limapuluh Kota, West Sumatra from September 2009 until January 2010. The objective is to determine the genetic variability of the characters age, the results and some yield components of local rice genotypes in West Sumatra which can be used as selection criteriafor the improvement of rice varieties. The experiment is based on Completely Randomized Design (CRD) with nine treatments and three replications. As the treatment is nine local ricegenotypes, namely Sikuniang, Sikuriak, Kuniang Solok, Child Daro, Rengat B, Rice Putiah, Stone AMPA, Suntiang Ameh and Kuriak Itam. Data from these experiments were analyzed using the F test, followed by Duncan's New Multiple Range Test (DNMRT) 5% and continued with the calculation of the value of genetic variability and heritability in order to see the influence of genetics or environment on the character of age,yield and yield components.Based on the results of experiments on nine local rice genotypes there is a wide genetic variability and high heritability values are on the character of the age of flowering, harvest age, the percentage of grain pithy, perpetak results, and thetotal amount of grain. Keywords : rice, Oryza sativa, genetic variability
PENDAHULUAN Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang mempunyai arti ekonomis sangat penting, yaitu sebagai makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia. Peningkatan kebutuhan beras terjadi seiring pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Meningkatnya kebutuhan beras di Indonesia harus diimbangi dengan produksi padi yang tinggi pula. Oleh karena itu program pemerintah dalam usaha swasembada pangan lebih menekankan pada peningkatan hasil padi, baik secara intensif maupun perluasan areal pertanaman. Intensifikasi yang didukung oleh teknologi prapanen, inovasi sosial, dan kebijaksanaan pemerintah telah mampu meningkatkan produksi pangan nasional, hingga mampu berswasembada pangan pada tahun 1984. Upaya perbaikan genetik tanaman padi terus dilakukan untuk menunjang program swasembada beras di Indonesia. Sasaran perbaikan varietas padi ditujukan untuk terus menerus menghasilkan varietas-varietas baru yang mampu berperan dalam memantapkan program swasembada beras. Varietas tersebut mempunyai sifat-sifat penting yang sesuai untuk masing-masing pengembangan pada produksi padi. Penyediaan varietas-varietas baru untuk dapat memenuhi keinginan dicirikan dengan sifat potensi hasil tinggi dan berumur genjah merupakan fokus utama dari usaha perbaikan varietas padi. Tanaman padi lokal sekarang hanya tinggal 10-15 persen koleksi plasma nutfah. Jika kita lihat dari kepemilikan plasma nutfah padi, Indonesia tidak sama dengan negara–negara lain seperti Amerika yang mempunyai 23.097 koleksi plasma nutfah padi, dan di Filipina yang justru lebih besar dari Amerika yaitu sebesar 90.000 koleksi plasma nutfah padi. Di Indonesia hanya ada 3.800 koleksi plasma nutfah yang terdaftar di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian. (Indobiogen, 2006) Peningkatan produktivitas tanaman padi sering mengalami kegagalan yang disebabkan oleh kendala-kendala yang bersifat biotik dan abiotik, selain itu varietas unggul yang telah diperoleh sering 1 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
tidak diterima oleh petani, karena adanya kelemahan seperti mutu gabah rendah, gabah mudah rontok dan rendemen beras yang rendah. Mengatasi hal tersebut perlu adanya usaha yang terintegrasi dalam pemanfaatan keragaman genetik yang terdapat pada berbagai spesies atau anggota populasi yang terdapat pada plasma nutfah yang telah ada. Keragaman genetiklah yang menjadi perhatian utama bagi pemulia tanaman. Permasalahan yang cukup sulit adalah seberapa jauh suatu karakter disebabkan faktor genetik sebagai aksi gen, dan seberapa jauh disebabkan oleh faktor lingkungan. Keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan umumnya berintegrasi satu dengan yang lainnya dalam mempengaruhi penampilan (fenotipe) tanaman. Prinsip utama dalam pemuliaan tanaman adalah menimbulkan keragaman genetik lalu menyeleksinya sesuai tujuan (Allard, 1992). Karakteristik morfologi seperti batang ideal yang tahan rebah, jumlah anakan produktif tinggi, jumlah gabah bernas tinggi, genjah dan berproduksi tinggi dari tanaman padi sangat diperlukan sebagai parameter dalam perakitan varietas unggul. Untuk menentukan karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam memilih genotipe dan heritabilitas sebagai tolak ukur yang efektif dan efisien dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Hal tersebut juga diperlukan sebagai parameter dalam perakitan kultivar unggul, karakter tersebut antara lain tinggi tanaman, bentuk gabah, bentuk daun, warna bunga dan malai. Komponen hasil mempunyai peranan penting dalam menentukan hasil aktual tanaman padi. Memodifikasi komponen hasil, baik melalui budi daya atau pemuliaan, hasil padi berpeluang dapat ditingkatkan. Namun, permasalahannya adalah perbaikan satu komponen hasil dapat mempengaruhi kualitas komponen hasil lainnya. Hasil dari varietas padi lokal lebih menjamin dari pada pananaman varietas padi unggul. Maka dari itu tanaman varietas lokal harus dibudidayakan dengan baik. Keragaman genetis suatu tanaman dapat menurun karena usaha manusia untuk menanam atau memperluas jenis-jenis unggul baru sehingga jenis-jenis lokal yang sangat beragam terdesak bahkan lenyap. Jenis-jenis lokal yang beragam merupakan modal bagi pemulia untuk mendapatkan varietas unggul, untuk itu diperlukan data-data mengenai kondisi varietas-varietas lokal (Poespodarsono, 1988). Jenis-jenis padi unggul Indonesia terdiri dari jenis unggul baru, biasa dan lokal, dimana jenis lokal memiliki umur panen yang relatif lebih lama dibandingkan dengan jenis-jenis padi lainnya (Soemartono et al, 1980). Banyak tidaknya hasil padi sebagian bergantung jenis varietas yang ditanam. Berhubung dengan pentingnya tanaman padi bagi kehidupan dan penghidupan penduduk, diusahakannya upaya untuk mendapatkan varietas-varietas yang dapat memberikan hasil yang banyak dengan berbagai cara salah satunya dengan seleksi. Di daerah tertentu seringkali terjadi produksi padi jenis lokal mampu menyamai atau bahkan lebih tinggi daripada produksi padi varietas unggul nasional. Padi varietas lokal ada yang memiliki keunggulan, antara lain rasa nasi enak dan aroma wangi (Soemartono et al, 1980). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabilitas genetik dari karakter umur, hasil dan komponen hasil beberapa genetik padi lokal Sumatera Barat, yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk perbaikan varietas. METODE PENELITIAN Percobaan ini telah dilaksanakan dari bulan September 2009 s.d. Januari 2010 bertempat di Jorong Kuranji, Nagari Guguak VIII Koto, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, Propinsi Sumatera Barat. Percobaan disusun berdasarkan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari sembilan perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari sembilan genotip padi lokal Sumatera Barat, yaitu : Sikuniang (A), Sikuriak (B), Kuniang Solok (C), Anak Daro (D), Rengat B (E), Padi Putiah (F), Batu Ampa (G), Suntiang Ameh (H), dan Itam Kuriak (I). Sehingga, seluruhnya terdiri dari 27 satuan percobaan yang merupakan petak percobaan dengan ukuran 1,5 m x1,5 m. Dari setiap petak percobaan diambil secara acak empat tanaman sebagai sampel. Data hasil pengamatan di analisis secara statistika dengan uji F pada taraf 5% dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% dan untuk menentukan variabilitas genetik menggunakan formula yang dikemukan oleh Singh and Chaudhary (1979).
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
Variabel yang diamati adalah : (1) karaktear umur ; umur berbunga (hari), umur panen (hari), (2) karakter komponen hasil; jumlah anakan total (batang), jumlah anakan produktif (batang), panjang malai (cm), jumlah gabah total permalai (butir), persentase gabah bernas per malai (%), bobot 1000 butir gabah (g), dan (3) karakter hasil : hasil gabah per rumpun (g), hasil per petak (g), produksi per hektar (ton). . HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Umur Hasil pengamatan terhadap umur berbunga dan umur panen dianalisis menggunakan uji F taraf nyata 5%, menunjukkan perbedaan yang nyata. Data hasil pengamatan, setelah diuji lanut dengan DNMRT 5 % disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Umur erbunga dan umur panen padi lokal Sumatera Barat Genotipe Umur Berbunga (hari) Umur Panen (hari) Sikuniang Sikuriak
73,33 92,00 a
Kuniang Solok
73,00
Anak Daro
86,00
Rengat B
c
101,33 120,00
c b
d a
101,00
d
110,00
92,00 a
120,00
b a
Padi Putiah
73,67
c
101,67
Batu Ampa
73,33
c
101,33
d
Suntiang Ameh
73,33
c
101,33
d
Itam Kuriak
92,00 a
120,00
c
a
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut DNMRT
Tabel 1 menunjukkan bahwa genotipe Sikuriak, Rengat B, dan Itam Kuriak memiliki umur berbunga paling lama 92 hari, sedangkan Kuniang Solok memiliki umur berbunga paling cepat 73 hari. Kriteria umur berbunga tanaman padi menurut standar IBPGR (1980) umur genjah < 100 hari, sedang 100 – 125 hari, dan dalam >125 hari. Sedangkan untuk umur panen dapat dilihat bahwa genotipe Sikuriak, Rengat B, dan Itam Kuriak memiliki umur panen paling lama 120 hari, sedangkan genotipe Kuniang Solok memiliki umur panen paling cepat 101 hari. Kriteria umur panen tanaman padi menurut standar IBPGR (1980) genjah 110 – 125 hari, sedang 126 – 145 hari, dan dalam > 145 hari. Semua genotipe yang diuji tergolong kedalam kriteria umur berbunga dan umur panen Genjah. Namun demikian hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara masing–masing genotipe yang diuji. Perbedaan umur berbunga dan umur panen ini disebabkan oleh perbedaan genetisnya. Sesuai dengan pendapat Taslim, et al. (1993) bahwa yang menjadi penyebab perbedaan umur tanaman antara lain karena fase vegetatifnya yang tidak sama. Masa pertumbuhan vegetatif dapat dipengaruhi oleh keadaan luar. Peralihan dari masa vegetatif ke generatif, sebagian ditentukan oleh genotipe atau faktor dalam, yang merupakan sifat yang diturunkan. Sebagian lagi dari faktor luar seperti suhu, cahaya, air, pupuk dan lain–lain . Apabila lingkungan yang tidak menguntungkan maka genotipe tidak mampu untuk memunculkan sifat-sifat yang dimilikinya secara maksimal (Manurung dan Ismunadji, 1988). Umur panen yang cepat merupakan harapan petani, padi berumur genjah memiliki nilai ekonomis tinggi karena pertumbuhanya cepat, mampu berkompetensi dengan gulma dan membutuhkan air relatif lebih sedikit selama pertumbuhan sehingga mengurangi biaya pengelolaan disamping itu dapat meningkatkan intensitas tanam dan pemanfaatan lahan. Umur panen dari beberapa varietas sangat dipengaruhi oleh respon genetik varietas-varietas tersebut terhadap lingkungan dan juga dipengaruhi oleh umur berbunga. Penyebab terjadinya perbedaan umur tanaman padi adalah fase vegetatif, sedangkan pada fase generatif tidak dipengaruhi 3 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
oleh varietas dan lingkungan. Fase vegetatif cepat ditandai dengan cepatnya pertumbuhan batang, dan jumlah anakan, fase vegetatif lambat dimulai dari fase anakan maksimal sampai inisiasi malai lambat terbentuk. Fase vegetatif lambat inilah yang menjadi sasaran pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman genjah, karena pada tanaman genjah fase anakan maksimal dengan inisiasi malai terjadi hampir bersamaan (Manurung dan Ismunadji, 1988). Karakter Komponen Hasil Anakan Total, Anakan Produktif, dan Panjang malai Hasil pengamatan terhadap Anakan Total, Anakan Produktif serta Panjang Malai dianalisis menggunakan uji F taraf nyata 5%, menunjukkan perbedaan yang nyata. Data rata–rata disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Anakan Total, Anakan Produktif dan Panjang Malai Genotipe Padi Lokal Sumatera Barat Genotipe Sikuniang Sikuriak Kuniang Solok Anak Daro Rengat B Padi Putiah Batu Ampa Suntiang Ameh Itam Kuriak
Anakan Total (batang) 21,83 b c 21,38 b c 21,08 b c 19,42 c 26,00 a b 25,08 a b 21,00 b c 27,67 a b 28,83 a
Anakan Produktif (batang) 14,33 b c 14,00 b c 15,50 b c 9,70 c 18,83 a b 22,17 a b 17,17 b c 26,17 a 25,50 a b
Panjang Malai (cm) 25,58 a 24,95 a 24,83 a 22,96 b 25,16 a 23,32 b 22,81 b 24,38 a 25,54 a
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut DNMRT
Tabel 2 menunjukkan bahwa genotipe Itam kuriak memiliki anakan total paling banyak, sedangkan genotipe Anak Daro memiliki anakan total paling sedikit 19,42 anakan. Kriteria jumlah anakan total tanaman padi menurut standar IBPGR (1980) sedikit < 10 anakan, sedang 10–20 anakan, banyak > 20 anakan. Dari percobaan yang telah dilakukan di dapatkan jumlah anakan total >20 anakan (banyak) kecuali anak daro 19,42 (sedang). Seomartono et al. (1984) menyatakan bahwa pertambahan jumlah anakan padi terjadi selama lebih kurang 21 hari setelah tanam, dimulai dengan terbentuknya tunas pertama dari buku terbawah sampai mencapai jumlah anakan maksimum, kemudian terhenti jika telah terbentuk tunas–tunas tersier. Dari anakan produktif genotipe Suntiang Ameh memiliki anakan produktif paling banyak, 26,17, sedangkan genotipe Anak Daro memiliki anakan produktif paling sedikit 9,70. Menurut standar IBPGR (1980) anakan produktif dapat digolongkan sedikit (< 10 anakan), sedang (10–20 anakan), banyak (> 20 anakan). Dalam penelitian ini terdapat lima genotipe yang dikategorikan jumlah anakan produktif sedang; Sikuniang, Sikuriak, Kuniang Solok, Rengat B, Batu Ampa, tiga genotipe kategori banyak; Padi Putiah, Suntiang Ameh, Itam Kuriak, dan satu genotipe kategori sedikit; Anak Daro. Ketersediaan unsur hara yang cukup pada saat pertumbuhan akan meningkatkan aktifitas fotosintesis sehingga diferensiasi sel akan baik dan mengakibatkan jumlah anakan meningkat. Panjang malai genotipe Sikuniang memiliki panjang malai terpanjang 25,58 cm, sedangkan genotipe Batu Ampa memiliki panjang malai terpendek 22,81 cm. Panjang malai ini nantinya akan mempengaruhi jumlah gabah total permalai. Kriteria panjang malai tanaman padi menurut IBPGR (1980) pendek < 20 cm, sedang 20–30 cm, panjang 31–40 cm, dan sangat panjang > 40 cm. Dari keseluruhan genotipe yang diuji terlihat panjang malai dikategorikan kriteria sedang. Menurut Setyono dan Suparyono (1993) bahwa panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam. Selanjut Darwis (1979) menyatakan jumlah gabah permalai ditentukan oleh panjang malai dan jumlah cabang malai, dimana masing-masing akan menghasilkan gabah.
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
Jumlah Gabah Total , Persentase Gabah Bernas dan Bobot 1000 butir Hasil pengamatan terhadap jumlah gabah total, persentase cabah bernas dan bobot 1000 butr dianalisis menggunakan uji F taraf nyata 5%, menunjukkan perbedaan yang nyata. Data rata–rata disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Gabah Total, Persentase Gabah bernas dan bobot 1000 butir Padi lokal Sumatera Barat Gabah Total (butir) Persentase Gabah Bobot 1000 Butir (g) Genotipe Bernas (%) 164,19 c 79,56 a b Sikuniang 25,63 a b 181,34 a b c 75,08 b c Sikuriak 23,30 a b c 162,55 c 73,92 b c Kuniang Solok 26,20 a b 162,35 c 32,86 d Anak Daro 17,73 c 190,38 a 82,21 a b Rengat B 25,73 a b 171,58 c 71,65 b c Padi Putiah 19,17 c 173,69 c 77,82 a b Batu Ampa 22,67 a b c 172,35 c 82,31 a b Suntiang Ameh 28,67 a 193,03 b 89,85 a Itam Kuriak 20,10 b c Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut DNMRT
Tabel 3 menunjukkan bahwa genotipe genotipe Itam Kuriak memiliki jumlah gabah total, dan persentase gabah bernas terbanyak, sedangkan genotipe Anak Daro memiliki jumlah gabah total sedikit . Jumlah gabah permalai ditentukan oleh panjang malai dan jumlah cabang malai, yang nantinya masing-masing cabang akan menghasilkan malai. Kriteria jumlah gabah total tanaman padi menurut standar IPBGR (1980) sedikit < 100 butir, sedang 100–250 butir, banyak > 250 butir. Dari hasil yang diperoleh semua genotipe yang diuji termasuk kedalam kriteria Sedang. Bobot 1000 butir genotipe Suntiang Ameh memiliki bobot 1000 butir paling berat 28,67g, sedangkan genotipe Anak Daro memiliki bobot 1000 butir paling ringan 17,73g. Kriteria bobot 1000 butir menurut standar IBPGR (1980) ringan < 20 gr, sedang 20 – 25gr, berat > 25 gr. Bobot 1000 butir bergantung pada besar atau kecilnya ukuran gabah seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Variabilitas Bentuk Gabah Genotipe Padi Lokal. a. Sikuniang;b. Sikuriak; c. Kuniang Solok; d. Anak Daro; e. Rengat B; f. Padi Putiah; g. Batu Ampa; h. Suntiang Ameh; i. Itam Kuriak. Gambar 1 memperlihatkan perbedaan bentuk dan ukuran gabah masing–masing genotipe. Hal ini menjelaskan bahwa genotipe–genotipe tersebut memiliki kemampuan yang nantinya dapat menurunkan sifat sifat baik tetua pada keturunannya. Bobot 1000 butir genotipe yang diuji beragam, diduga disebabkan oleh faktor genetik yang lebih berpengaruh dibandingkan faktor lingkungan.. Manurung dan Ismunadji (1988) menyatakan bahwa bobot 1000 butir gabah bernas relatif tetap karena 5 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
tergantung pada ukuran lemma dan palea, yang ukuran maksimalnya terbentuk 5 hari setelah berbunga sesuai genetiknya. Karakter hasil Hasil pengamatan terhadap hasil gabah perrumpun, hasil perpetak dan hasil perhektar dianalisis menggunakan uji F taraf nyata 5%, menunjukkan perbedaan yang nyata. Data rata–rata karakter hasil disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Gabah Perrumpun, Perpetak dan Perhektar Genotipe Padi Lokal Sumatera Barat Hasil gabah per Hasil gabah per petak Bobot 1000 butir (g) Genotipe rumpun (g) (g) Sikuniang 31,73 a b c 1.142,40 a b c 5,07 a b Sikuriak 26,45 b c 952, bc 4,23 a b Kuniang Solok 37,90 a b 1.364,40 a b 6,07 a b Anak Daro 14,00 c 504,00 c 2,24 b Rengat B 22,40 b c 806,40 b c 3,58 b Padi Putiah 36,87 a b c 1.327,20 a b c 5,89 a b Batu Ampa 26,53 b c 955,20 b c 4,25 a b Suntiang Ameh 50,83 a 830,00 a 7,09 a Itam Kuriak 31,80 a b c 1.144,80 a b c 5,09 a b Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut DNMRT
Tabel 4 menunjukkan bahwa genotipe Suntiang Ameh memiliki hasil gabah perrumpun, perpetak dan perhektar paling berat, sedangkan genotipe Anak Daro memiliki hasil gabah perrumpun, perpetak dan perhektar paling ringan. Kriteria hasil gabah perrumpun tanaman padi menurut standar IBPGR (1980), Ringan < 25g; Sedang 25 - 50g; Berat > 50g. Sedangkan Kriteria produksi perhektarnya; Ringan < 4 ton, Sedang 4–6 ton, Berat > 6 ton Dari penelitian yang diuji didapatkan kriteria ringan; genotipe Anak Daro dan Rengat B kriteria sedang; Sikuniang, Sikuriak, Kuniang Solok ,Padi Putiah ,Batu Ampa, dan Itam Kuriak dan hanya satu genotipe yang termasuk kriteria berat yaitu genotipe Suntiang Ameh. Tingginya produksi tanaman padi ditentukan oleh tingginya hasil per rumpun tanaman padi tersebut. Darwis (1979), menyatakan bahwa hasil tanaman padi ditentukan oleh komponen hasil antara lain jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir. Komponen hasil ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan yang berpengaruh tersebut berupa cahaya matahari, curah hujan, dan unsur hara dalam tanah. Dilihat dari karakter hasilnya, genotipe suntiang ameh memiliki karakteristik yang baik untuk dikembangkan menjadi varietas unggul, hal ini terlihat dari hasil/rumpun 50,83 gram, hasil/petak 1830 gram dan hasil 7,09 ton/Ha. Hasil dari suatu varietas sering berubah–ubah dari suatu lingkungan ke lingkungan lainya, dikarenakan adanya interaksi antara genotipe tanaman dengan lingkungan agroklimatnya. Variabilitas Genetik Variabilitas genetik suatu karakter tanaman dapat dilihat dari hasil analisis ragam genetik, fenotipe, lingkungan, dan heritabilitas. Nilai ragam genetik, fenotipe, lingkungan, dan heritabilitas disajikan pada Tabel 5 Tabel 5. Nilai Ragam Genetik, Fenotipe, Lingkungan Standar Deviasi dan Heritabilitas Padi Lokal Sumatera Barat Karakter Pengamatan
δ2e
δ2p
δ2g
2σδ2g
h²
Umur Berbunga Umur Panen
0,15 0,15
340,25 544,97
340,20 544,92
11,16 12,91
0,99 0,99
Jumlah Anakan Total
8,19
33,59
30,86
176,87*
0,92
18,25
55,69
37,45
252,59*
0,67
Jumlah Anakan Produktif
Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan
Panjang Malai Jumlah Gabah Total % Gabah Bernas Bobot 1000 Butir Gabah Hasil per rumpun Hasil Per petak
1,04 65,95 52,41 15,26
25,01 1349,22 520,39 45,25
24,66 1327,24 467,98 29,99
61,93* 184,38 252,59 243,08*
0,99 0,98 0,89 0,66
140,48 148,00 181.927,56 191.808,45
101,21 131.165,93
640,44* 3.833,63
0,68 0,68
2,19
218,28*
0,46
Hasil Per hektar 2
2,56 2
4,75 2
2
Keterangan : δ e = ragam lingkungan, δ p = ragam fenotip, δ g = ragam genetik, 2σδ g = standard deviasi ragam genetic, h2 = heritabilitas
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil pengamatan terhadap pertumbuhan beberapa genotipe padi lokal menunjukkan karakter yang memiliki ragam genetik lebih besar dari ragam lingkungan, maka penampilan karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Seperti terlihat dari karakter umur berbunga, jumlah anakan total, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, jumlah gabah total, anakan produktif dan panjang malai (δ2e < δ2g), menunjukkan bahwa karakter tersebut dipengaruhi oleh faktor genetiknya. Namun, apabila ragam genetik lebih kecil dari ragam lingkungan maka penampilan karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti terlihat pada karakter komponen hasil, hasil perpetak, hasil perrumpun, dan hasil perhektar, yang lebih rendah ragam genetiknya dibandingkan dengan ragam lingkungan (δ2e > δ2g). Dari tabel sidik ragam, dengan nilai Mv = KTP dan Me = KTS maka didapatkan hasil ragam genetik, ragam fenotip, dan ragam lingkungan. Variabilitas dan heritabilitas sangat berperan dalam seleksi tanaman karena akan menentukan karakter terbaik yang akan diwariskan ke generasi berikutnya. Salah satu pedoman yang harus diperhatikan untuk memperoleh varietas unggul adalah keragaman genetik yang tinggi. Ragam genetik terjadi sebagai akibat bahwa tanaman mempunyai karakter genetik yang berbeda, sedangkan ragam lingkungan dapat diketahui apabila tanaman dengan genetik yang sama ditanam pada lingkungan yang berbeda. Variabiltas genetik yang diperoleh berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan ragam anova pada penelitian ini mengambarkan bahwa plasma nutfah padi yang diuji mempunyai latar belakang genetik yang berbeda. Seleksi akan dapat dilakukan secara leluasa terutama pada karakter yang memiliki karakter keragaman genetik yang luas. Seleksi terhadap karakter yang keragamanya luas akan berlangsung efektif sehingga dipandang mampu meningkatkan potensi genetik karakter tersebut pada generasi selanjutnya, dan sebaliknya keragaman genetik sempit sulit ditindak potensi genetiknya. Nilai keragaman yang di pengaruhi faktor genetik pada suatu karakter tertentu berpotensi untuk mewariskan karakternya kepada keturunannya sehingga dapat dijadikan kriteria dalam pembentukan varietas baru. Dalam menghasilkan suatu karakter yang akan dijadikan varietas baru, kita harus memilih genotipe yang mempunyai variabilitas yang luas. Ragam genetik timbul sebagai akibat bahwa tanaman mempunyai karakter genetik yang berbeda. Umumnya telihat dari genotipe-genotipe yang berbeda ditanam pada lingkungan yang sama Nilai heritabilitas dari karakter yang diuji berkisar antara 0,46–0,99. Singh and Chaudhary (1979) mengkategorikan nilai heritabilitas berturut–turut, rendah dengan nilai 0,00 < H < 0,20; sedang 0,20 ≤ H ≤ 0,50; tinggi 0,50 ≤ H ≤ 1,00. Nilai heritabilitas tergolong tinggi terlihat pada karakter umur berbunga, umur panen, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah bernas, bobot 1000 butir, hasil perrumpun, hasil perpetak. Sedangkan untuk hasil perhektar tergolong sedang. Tingginya nilai heritabilitas pada beberapa karakter menunjukkan bahwa pewarisan sifat dari tetua kegenerasi selanjutnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik. Fehr (1987) menjelaskan bahwa nilai heritabilitas mendekati 1 memberikan pertanda bahwa fenotipik sifat tersebut merupakan indeks yang baik dalam perbaikan perbaikan sifat bersangkutan dengan memberikan kemajuan yang besar dalam seleksinya. Sifat–sifat yang memiliki heritabilitas tinggi dan berkolerasi positif dapat digunakan untuk perbaikan hasil melalui sifat tersebut, terutama pada generasi awal. 7 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari beberapa genotipe padi lokal yang diuji memiliki variabilitas genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi. Seperti yang terlihat pada karakter umur berbunga, umur panen, persentase gabah bernas, hasil perpetak, dan jumlah gabah total. Dengan adanya penelitian ini, terlihat bahwa genotipe padi lokal yang diuji merupakan materi yang bagus untuk dikoleksi sebagai plasma nutfah padi dan dapat dijadikan tetua untuk perbaikan varietas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis menyarankan untuk menggunakan genotipe dengan variabilitas genetik luas dan heritabilitas tinggi dilihat dari karakter umur, yang baik untuk dikoleksi sebagai sumber plasma nutfah. DAFTAR PUSTAKA Allard RW. 1992. Pemuliaan Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta. Darwis. 1979. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta. Fehr. 1987. Principles of Cultifar Development. Theory and Technique. Volume 1. Lowa State University.536 pp. IBPGR. IRRI. 1980. Describtors for Rice Oryza sativa L. IRRI. Manila. Philipines. Indobiogen. 2006. Aktivitas Pendidikan. www.//indobiogen. or. id//psdg program phd-33. Sabtu, [29 Agustus 2009]. Manurung SO dan Ismunadji. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor Poespodarsono S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas. IPB dan Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Bogor. Setyono dan Suparyono. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.188 hal. Singh.Dr. R K and Dr. BD. Chaudhary. 1979. Biometrical methods in quantitatif genetic analysis. Kailani puplishers. New Delhi. Soemartono, B Samad dan R Harjono. 1984. Bercocok Tanam Padi. C.V. Yasaguna. Jakarta. 207 hal. Swasti, EAA Syarif dan Suliansyah. 2007. Eksplorasi, Identifikasi dan Pemantapan Plasma Nutfah Padi Asal Sumatera Barat. Lembaga Penelitian Unand. Padang. Taslim, HS Partoharjo dan Djunainah. 1993. Bercocok tanam padi sawah (Oryza sativa L). Dalam padi buku 2. M. Ismunadji, S. Partoharjono, M. Syam dan A. Widjono (penyunting). Bahan penelitian dan pengembangan tanaman pertanian. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Bogor. Hal 481-506.