“Semar Gugat” dalam Telaah Tokoh: Sebuah Model Pemaknaan Naskah Drama Muhammad Ismail Nasution Abstract: This paper analyses the characters involvde in “Semar Guga Play” in relation to the plot of the story. Thus, the analysis of character (s) in a drama text (script) cannot be separated from the analysis of the element of plot of the story. In other words both elements – characters and plot – support each other. The research method is qualitative design in which data is analyzed inductive and descriptively. Furthermore, the analysis of setting is also inseparable with the elementsof plot and character. In conclusion “Semar Gugat” does not only criticize phenomena of social condition, but also deconstructs the Javanese’s view towards Semar and Arjuna" wayang. Keywords: drama or theater, drama script, characterization, plot and value
PENDAHULUAN Istilah drama atau teater tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Drama bukan lagi sesuatu yang aneh, langka atau milik orang luar tetapi juga telah menjadi bagian dari aktivitas agama dan seni bagi masyarakat Indonesia. Istilah “drama” atau “teater” berasal dari bahasa Yunani. Kedua pengertian itu timbul dari upacara pemujaan dewa. Drama mengandung arti kejadian, risalah, karangan sedangkan teater—dari istilah théátron yang diturunkan dari kata theáomai—bermakna dengan takjub melihat atau memandang (Oemarjati, 1969:14). Pengertian itu menandakan bahwa drama atau teater memang dipertontonkan ke khalayak ramai. Dengan pementasannya, maka khalayak ramai akan merasa takjub dan ikut terhibur. Dari dimensi sastra, drama atau teater merupakan salah satu genre yang unik. Dia tidak hanya berlaku pada tataran teks saja melainkan juga merupakan seni pertunjukan. Sebagai teks sastra, drama atau teater juga merupakan karya hasil imajinatif. Ia merupakan gambaran kondisi dari masyarakat pada zamannya. Ia ikut mengkritisi fenomena-fenomena ‘unik’ yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari ketidakadilan, penderitaan, kesewenang-wenangan pemimpin, percintaan dan sebagainya. Sebagai seni pertunjukan, ia lebih dapat dinikmati ketika naskah itu dipentaskan. Oleh sebab itu, drama
membutuhkan pemain dan tempat pementasan. Tempat boleh jadi tersedia dengan berbagai sarana pementasan atau juga pentas ‘dadakan’. Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah penonton. Sebuah pementasan tentu membutuhkan penonton sebagai penikmat. Oleh sebab itu, sebagai sebuah teks drama juga memiliki struktur. Naskah drama dibangun dengan jalinan antara unsur-unsur tokoh, latar, alur dan lain-lain. Jadi, semua karakter yang ada pada prosa dan puisi juga terdapat dalam drama. Oleh sebab itu, drama sebagai sebuah teks sastra berada dalam satu sistem seperti halnya genre sastra lainnya. Menurut Teeuw (1983:2-3) karya sastra merupakan realisasi sistem sastra, aktualisasi kompetensi sastra. Sistem sastra menunjukkan tiga aspek utama, yakni: (1) externe strukturrelation, sistem itu tidak otonom tetapi terikat pada sistem bahasa; (2) interne strukturrelation, sistem itu merupakan struktur interen, struktur dalam yang bagian dan lapisannya saling menentukan dan berkaitan; (3) sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder yang sangat kompleks dan bersusun-susun karena dunia makna rekaan ikut menentukan ciptaan sastra baru, ikut menentukan pemahaman dan penilaian pembaca mengenai karya sastra individual. Dalam upaya melihat drama sebagai sistem karya sastra, maka penulis mencoba mengkaji
Muhammad Ismail Nasution adalah dosen Fakultas Bahasa Sastra Seni UNP Jl. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang 25131
“Semar Gugat” dalam Telaah Tokoh: Sebuah Model Pemaknaan Naskah Drama (Muhammad Ismail Nasution)
sebuah naskah drama dengan judul Semar Gugat karya N. Riantiarno. Ia salah satu pendiri Teater Koma yang telah sukses menggelar lebih dari 76 produksi teater. Di samping pemain teater, ia juga seorang sutradara dan penulis skenario film. Naskah dramanya yang berjudul Opera Kecoa pernah dipentaskan selama hampir dua bulan di Sydney oleh Belvoir, sebuah grup teater yang cukup terkenal di negara kangguru tersebut. Semar Gugat diterbitkan pada tahun 1995. Naskah itu merupakan salah satu naskah yang mengandung nilai bukan hanya pada tataran menyampaikan pesan baik atau buruk lewat tindakan tokoh melainkan juga tindakan-tindakan itu memiliki makna atau maksud tertentu. Pengarang begitu kreatif menyampaikan situasi politik yang ‘janggal’ menurutnya, padahal kondisi pada masa itu memungkinkan akan membahayakan dirinya. Tantangan yang dihadapi pengarang bukan hanya datang dari pelaku politik tetapi juga penerimaan masyarakat Jawa yang memiliki kepercayaan terhadap tokoh-tokoh wayang terutama tokoh Semar dan Arjuna. Pengarang menampilkan tokoh Semar berbeda dari apa yang dianggap oleh masyarakat Jawa. Semar adalah lambang yang merupakan “kunci” dalam kebudayaan Jawa. Secara simbolis, dia sangat penting, tokoh wayang tercinta dan terhormat dalam tradisi kebudayaan Jawa. Dia dianggap adalah dewa tertinggi yang menjelma menjadi seorang abdi atau pembantu. Dalam konteks cerita wayang, Semar melambangkan aspek-aspek pikiran manusia dan dunia (Sumukti, 2006:31-33). Semar bagi N. Riantiarno bukanlah seperti yang demikian. Semar justru digambarkan sebagai tokoh yang tidak memiliki pendirian, serakah dan sebagainya. Ia melakukan pembalikan tokoh Semar yang dianggap oleh orang Jawa sebagai tokoh suci. Upaya Riantiarno untuk mendekonstruksi tokoh Semar sedikit banyak menuai konflik. Namun, persoalan dekonstruksi Semar itu tidaklah tepat jika dikaji karena akan keluar dari tujuan semula tulisan ini. Tulisan ini hanya akan mempersoalkan tokoh-tokoh yang terdapat dalam Semar Gugat yang kemudian dilanjutkan pada analisis plot cerita. Dalam kerangka kajian terhadap naskah drama, keduanya saling berkaitan karena upaya untuk mendeskripsikan tokoh akan sangat membantu untuk mengetahui plot cerita. Sebaliknya, untuk mendeskripsikan plot cerita maka diperlukan analisis tokoh.
METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis data dilakukan secara induktif-deskriptif. Menurut Moleong (2002:5-6) analisis data induktif merupakan salah satu teknik analisis yang dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik sedangkan teknis deskriptif menuntun peneliti untuk mengumpulkan data berupa kata-kata, gambar bukan angka. Dalam hal ini, peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian adanya. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci apa yang sudah diteliti. PEMBAHASAN Tokoh-Tokoh dalam Semar Gugat Penokohan merupakan salah satu unsur terpenting dalam karya sastra tak terkecuali dalam drama. Menurut Abrams (1971:20-22) tokoh cerita (characters) adalah orang-orang dalam sebuah drama atau karya naratif yang diberkahi dengan kualitas moral dan watak yang diekspresikan dalam ucapan mereka dan apa yang mereka lakukan dalam bertindak. Pandangan Abrams ini mengindikasikan bahwa tokoh cerita adalah tokoh yang diposisikan sedemikian rupa baik moral ataupun wataknya sehingga tokoh tersebut memang memiliki karakter yang dibutuhkan oleh cerita. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tokoh cerita dikelilingi oleh tabiat alami dan moral yang kemudian akan mendasari komunikasi dan latar belakang tindakannya. Dalam Semar Gugat terdapat dua puluh lima tokoh, yaitui: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Sutiragen, Batari Durga, Kalika, Kresna, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Sumbadra, Srikandi, Larasati, Gatotkaca, Abimanyu, Batara Guru, Batara Narada, Cingkarabala, Balapauta, orang-1, orang-2, dan penyanyi. Riantiarno membagi kedua puluh tokoh itu dalam 6 kelompok dengan cara daftar penulisannya dikelompokkelompokkan. Kelompok I adalah Semar, Gareng, Petruk, Bagong dan Sutiragen. Kelompok II adalah Batari Durga dan Kalika. Kelompok III adalah Kresna, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Kelompok IV berupa Sumbadra, Srikandi, Larasati, Gatotkaca, dan Abimanyu. Kemudian, kelompok V terdiri dari Batara Guru, Batara Narada,
44
JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 1 Tahun 2009 ( 43 – 53 )
Cingkarabala dan Balaputra. Terakhir, kelompok VI adalah orang-1, orang-2 dan penyanyi. Klasifikasi tersebut tampaknya bukan tidak beralasan. Pengarang sepertinya ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa klasifikasi itu juga berhubungan dengan eksistensi tokoh dalam cerita. Mulai dari tokoh penting yang memiliki pengaruh yang kuat dalam konflik sampai dengan berperan sebagai tokoh pembantu. Kemudian, kelompok itu juga menandakan bahwa kehadiran setiap tokoh pada umumnya berada pada kelompoknya. Misalnya, Gareng dan Petruk akan hadir di dalam cerita jika Semar hadir. Begitu juga dengan kehadiran Batari Durga akan akan selalu didampingi Kalika. Semar Gugat terdiri dari 559 dialog. Dari dua puluh lima tokoh, hanya 8 tokoh yang memiliki pengaruh kuat dalam konflik jika dilihat berdasarkan banyaknya dialog, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Batari Durga, Kalika, dan Srikandi. Uniknya, dialog Gareng, Petruk, Bagong, Batari Durga, Kalika dan Srikandi lebih banyak dibandingkan dari dialog Arjuna yang hanya berjumlah 12 buah. Penulis berasumsi bahwa memang keenam tokoh itu boleh jadi merupakan tokoh yang penting juga dalam cerita. Oleh sebab itu, kajian yang akan penulis lakukan berawal dari kedelapan tokoh tersebut. Tabel 1. Tokoh-tokoh dalam Semar Gugat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nama Tokoh Semar Petruk Batari Durga Gareng Kalika Bagong Srikandi Sumbadra Gatotkaca Narada Larasati Batara Guru Arjuna Sutiragen Cingkarabala
16.
Balapauta
17.
Orang-1
No.
Peran Panakawan Arjuna Anak Semar Jin Anak Semar Pembantu Durga Anak Semar Istri Arjuna Istri Arjuna Anak Bima Dewa Khayangan Istri Arjuna Dewa Khayangan Raja Amarta Istri Semar Penjaga Gerbang Khayangan Penjaga Gerbang Khayangan Rakyat Amarta
18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Orang-2 Abimanyu kresna Yudistira Bima Sadewa Nakula Penyanyi
Rakyat Amarta Anak Sumbadra Saudara Arjuna Saudara Arjuna Saudara Arjuna Saudara Arjuna Saudara Arjuna penyanyi
4 4 3 2 1 1 1 1
Kemudian, tokoh itu dibagi dalam empat jenis, yakni: tokoh protagonis, antagonis, tritagonis, dan peran pembantu. Menurut Harymawan (1993:22) tokoh protagonis adalah peran utama yang menjadi pusat cerita, tokoh antagonis adalah tokoh yang berperan sebagai lawan, sering juga menjadi musuh yang menyebabkan konflik, sedangkan tokoh tritagonis adalah tokoh penengah, bertugas sebagai penghubung antara tokoh protagonis dan antagonis. Peran pembantu adalah peran yang tidak secara langsung terlibat di dalam konflik, tetapi diperlukan guna penyelesaian cerita. Dalam cerita, tokoh protagonis adalah Semar karena cerita itu mengisahkan kekecewaan semar sehingga ia melakukan gugatan sedangkan tokoh antagonisnya adalah Arjuna, Srikandi, Durga, dan Kalika. Keempat tokoh inilah yang menyebabkan konflik. Tokoh tritagonis adalah Batara Guru, Narada, Gareng, Petruk, Bagong, Larasati, Sumbadara, Gatotkaca dan Sutiragen. Terakhir, peran pembantu adalah Kresna, Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa, Abimanyu Cingkarabala, Balapauta, orang-1, orang-2, dan penyanyi.
Jumlah Dialog 71 52 51 47 45 32 38 38 34 23 21 13 12 10 10
Semar Semar adalah salah satu tokoh terpenting dalam cerita ini. Ia merupakan sosok tokoh pembela kerajaan yang sangat disiplin dan religius. Semar juga sosok tokoh yang amat setia kepada raja. Kehidupannya selalu diserahkan kepada sang raja yang bernama Raden Arjuna. Dia mengingatkan anaknya bahwa mereka adalah panakawan, abdi kinasih satriawan. Mereka adalah pembimbing, pengusir ragu dan bimbang, cahaya murni, penerang hati nurani, pelita yang menuntun dalam gulita. Demikian juga sang raja yang begitu menghormati Semar. Namun, di balik kekuatan dan ditakuti oleh banyak orang, Semar juga merupakan sosok yang penuh dengan perasaaan. Dia juga menangis dan merasa sedih ketika kuncungnya digunting oleh Arjuna. Bagi Semar kuncung rambutnya adalah
10 5
45
“Semar Gugat” dalam Telaah Tokoh: Sebuah Model Pemaknaan Naskah Drama (Muhammad Ismail Nasution)
menuntut. Sudah lama aku hanya diam dan pasrah. Sudah waktunya aku bilang: tidak! Tidak! Dan, hidup! Harus ada perubahan.” (hal. 37) Bersama dengan Bagong anaknya, Ia pun pergi menuju tempat yang paling sesuai melakukan guatan. Semar tidak pergi menemui Arjuna tetapi para dewa di istananya, Kahyangan Jonggringan Salaka. Kerajaan dewa yang paling utama. Ia akan merundingkan dan meminta balasan atas perlakuan yang diterimanya. Ia menganggap bahwa seharusnya tanpa digugat dewa pun sudah harus tahu apa yang diinginkannya. Permintaan Semar dikabulkan oleh dewa setelah itu bersedia menerima akibat karena permintaannya itu mengusik wewenang alam raya. Setelah itu, Semar sudah kelihatan tampan dan berwujud ksatria. Batara Guru mengganti namanya menjadi Prabu Sanggadonya Lukanurani. Kemudian, Semar juga diberikan sebuah kerajaan yang bernama Simpang Bawana Nuranitis Asri. Letaknya di antara kerajaan Amarta dan Astina. Namun, persoalan bukannya selesai tetapi justru bertambah rumit. Semar yang sudah dijelmakan menjadi Prabu Sanggodonya Lukanurani kebingungan karena istrinya tidak mempercayai prabu yang gagah itu adalah Semar: “Ya, maaf. Saya harus kembali ke Tumaritis dan menunggu suami saya pulang dari Khayangan. Paduka terlalu bagus untuk perempuan kampung seperti saya. Paduka mengaku sebagai Semar. Kalau menuruti kata hati, boleh juga saya pura-pura percaya. Hidup terjamin. Mewah ...... Tapi saya takut. Bagaimana kalau ternyata paduka bukan Semar dan suami saya yang asli pulang? Di mana kehormatan saya ditaruh?” (hal.71) Semar kembali merasakan bahwa ada ketidakberesan dalam keputusannya mengubah diri menjadi seorang raja yang tampan. Dia kembali meminta petunjuk kepada dewa dengan cara bersemedi. Namun, walaupun Semar merasakan hinaan yang begitu mendalam karena kuncungnya digunting tetapi Semar masih memiliki ikatan batin dengan kerajaan Amarta. Hal itu terbukti ketika dia mendengarkan situasi yang terjadi di kerajaan Arjuna yang diceritakan oleh Larasati, Abimanyu dan Gatotkaca yang datang sewaktu dia bersemedi. Seperti yang diungkapkan Larasati:
sama seperti mahkota. Ia menganggap kuncung itu adalah identitas diri kehormatan dan harga dirinya. Oleh karena itu, ketika kuncung itu dipotong, Semar merasa kehilangan rasa percaya diri. Semangat hidupnya hilang. Sutiragen—istri Semar—kebingungan bagaimana cara mengatasi kesedihan suaminya itu. Selama ini Semar merasa kalau dia adalah panakawan yang paling setia. Ia selalu menjaga raja dan kerajaannya. Rasa kecewanya begitu mendalam sampai dengan meragukan kepalanya milik siapa: “Apa salahku? Apa dosaku? Kurang apa hormatku? Kurang apa setiaku? Aku selalu hormat, setia, dan menjaga mengapa baktiku itu harus dibalas dengan hinaan? Dia anggap kepala jelek yang berkuncung ini cuma barang mainan? Mungkin dia anggap bulatan bendos ini, cuma semacam buah-buahan hutan yang dijual obral di pasar swalayan. Semua orang bebas pegang-pegang sesuka hati sebelum mereka putuskan untuk membeli. Jadi milik siapa sesunguhnya kepala ini? Miliknya? Milik dewa-dewa? Milik para ksatria, majikan kita? Sudah bukan milikku lagi, kenapa kepala bulukan ini masih tetap nangkring di atas leherku? Untuk kepentingan siapa? Dan untuk apa kupertahankan jadi milik, kalau ternyata hanya jadi bahan hinaan para ksatria? Maafkan kepalaku, terpaksa aku meragukan manfaatmu.” (hal. 35) Semar menganggap bahwa kepala dan kuncungnya adalah simbolisasi kekuatan dan kewibaannya. Baginya hanya satu orang saja yang berhak memegang kepalanya bahkan dewa-dewa pun tidak berhak. “Hanya bapakku, Yang Mulia Jagat Raya, yang berhak memegang kepalaku, atau mencukur kuncungku. Bahkan dewa-dewa juga tidak berhak, apalagi para ksatria.” (hal. 37) Setelah memendam kekecewaan yang begitu mendalam, Semar akhirnya memutuskan untuk melakukan ‘gugatan’. Perbuatan yang menghina dirinya itu sangat tidak bisa diterima oleh akalnya. Ia pun memutuskan untuk merubah sikap dan pendiriannya yang selama ini hanya pasrah dan ‘nrimo’ titah dari raja. Selama ini dia hanya berkata inggeh, inggeh atas semua kemauan dan kehendak sang raja. “Kalau begitu, aku harus bikin sesuatu. Sudah waktunya aku bergerak, dan
46
JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 1 Tahun 2009 ( 43 – 53 )
“Aku menyusup ke Amarta, menemui mereka. Kasihan negeri kita. Kuper, terpencil. Rakyat yang setia masih bersedia berahan, malah menderita. Arjuna dan Srikandi semakin merajalela. Bisnisnya ada di mana-mana.” (hal. 89) Mendengar cerita itu, Semar menentang adu kesaktian dengan Arjuna. Namun, sungguh di luar dugaan Semar. Ia sangat terkejut ketika sedang bertanding dengan Arjuna, kentut sebagai senjatanya tidak lagi sakti. Semar malu dan menyesal atas semua keputusan yang diambilnya untuk merubah dirinya menjadi seorang prabu. Hilangnya kesaktian, Istri dan anak tidak percaya menambah beban batinnya yang sudah lama dilanda kekecewaan. Semua gambaran peristiwa dari tokoh Semar di atas memperlihatkan bahwa Semar sebagai tokoh yang begitu disegani oleh seluruh lapisan masyarakat kerajaan Amarta baik raja maupun rakyatnya sangat rapuh. Dia sebenarnya tidak menerima kodratnya sebagai Semar yang memiliki tubuh dan wajah jelek. Hanya, kekuatan kentutnya saja yang membuat dirinya merasa nyaman dengan jasmaninya. Semar yang dianggap rakyat kokoh dan kuat ternyata begitu mudah mengambil keputusan untuk menukar jasmaninya menjadi sebaliknya, tampan seperti Arjuna. Ia memiliki pendirian tidak tetap atau gampang berubah. Akan tetapi, karena tidak mendapat penghargaan seperti Semar dahulu, ia yang sudah menjadi Prabu memohon kembali kepada Dewata untuk menjadikan dirinya seperti Semar yang dahulu. Padahal, latar belakang ia menukar dirinya menjadi prabu karena keinginannya disanjung seperti layaknya para ksatria yang lain yang memiliki wajah yang tampan dan kekayaan yang berlimpah. Akan tetapi, ia justru merasa menderita. Watak lain yang ditampilkan dalam diri Semar adalah kesetiaan kepada istri dan kasihsayangnya kepada ketiga anak-anaknya. Walaupun dia tampan dan kaya tetapi Semar tidak mau meninggalkan Sutiragen, istrinya. Kemudian, walaupun Petruk mengusulkan untuk mencari istri yang lain tetapi Semar tidak mau. Ia kehilangan semangat untuk menjadi prabu sekaligus raja jika sang istri tidak mendampinginya.
Arjuna Tokoh kedua yang penting dibicarakan adalah Arjuna. Akan tetapi, Arjuna hanya terlibat sedikit namun kehadirannya memicu konflik cerita. Dikatakan sedikit karena Arjuna hanya tampil berdialog sebanyak 12 kali. Dalam naskah, tokoh Arjuna dideskripsikan sebagai tokoh yang mudah terpengaruh, padahal ia adalah seorang raja dan ksatria. Ia tidak berkutik menolak permintaan Srikandi, calon istrinya, untuk memotong kuncung di kepala Semar walaupun Arjuna mengetahui kuncung itu sama artinya nyawa bagi Semar. Kuncung itu merupakan kebanggaan, kehormatan sekaligus simbol keperkasaan Semar. Kemudian, Arjuna sebagai seorang ksatria terlalu bangga dengan ksatriaannya. Hal itu tampak ketika Srikandi yang telah dirasuki Durga memanfaatkan karakter itu. Srikandi membuat Arjuna tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi untuk menolak permintaan calon istrinya itu karena Srikandi mengatakan seorang ksatria kalau ingkar janji akan mencemari kehormatan. Gareng, Petruk dan Bagong Tokoh lain yang tak kalah pentingnya adalah tiga anak Semar yakni Gareng, Petruk, dan Bagong yang selalu membuat suasana menjadi lucu. Dalam naskah, Gareng dihadirkan sebanyak 47 dialog, Petruk 52 dialog dan Bagong 32 dialog. Karakternya yang lucu, santai, kebodoh-bodohan dan ceroboh menjadikan konflik cerita ini sebagai sebuah ironi. Penulis secara tidak langsung melontarkan kritik-kritik kepada pemerintah Indonesia rezim orde baru. Kritikan-kritikan itu sebenarnya amat keras namun karena ia dipoles sedemikian rupa dan ditampilkan bersamaan dengan kebodohan ketiga tokoh itu menjadikannya seperti gurauan belaka. Perhatikan dialog berikut. “Ya, tapi jangan di sini. Bisa hancur rumah kita kena gusur daripada hawa kentut beliaunya itu?” (Hal. 33) “Di mana mesti mencarinya Mak? Semua jalan sudah dibrorong habis. Tol, arteri, bolevar-dhh, haiwey, semua sudah ada pemborongnya. Kita mah paling kebagian gang, buntu lagi. Sebab gang yang tidak buntu juga jelas sudah menjadi proyek, ada dip dan dup-nya. Rezeki for the lower people mah sudah sangat mampet, Mak.” (hal.34)
47
“Semar Gugat” dalam Telaah Tokoh: Sebuah Model Pemaknaan Naskah Drama (Muhammad Ismail Nasution)
Sebagai perempuan baik, dia sebelumnya tidak tahu apa yang akan dia minta kepada Arjuna. Setelah dirasuki, watak Srikandi berubah menjadi kasar dan tidak mencirikan sebagai calon ratu seperti istri Arjuna yang lainnya. Srikandi juga begitu berkuasa terhadap Arjuna setelah resmi jadi ratu. Peristiwa itu tampak ketika Arjuna dan Semar melakukan adu-sakti. Semar kalah dan begitu malu dengan kekalahannya.
“Ya, untuk anak, bini, keponakan, cucu, cicit, canggah wareng, udeg-udeg, gantung siwur. Pokok kata, untuk lebih dari 7 turunan. Kalau bisa. Sekarang, bini ogah. Ya tidak apa-apa. Kan masih ada famili lain, Misal, saya dan Petruk. Cukup itu. Kemudian, kalau Bagong pulang, dia bisa langsung bergabung. Hasil perjuangan yang tidak dinikamti, jelas mubazir. Ini kan anugerah?” (hal. 74) “Wah, ini benar-benar....Surat Perintah Pak Semar. Akronim sama, bunyinya lain. Hebat, Deh.” (hal. 76) Dari beberapa dialog itu tampak adanya sebuah upaya Riantiarno untuk melontarkan kritikan kepada pemerintah yang pada waktu itu berkuasa. Namun, walaupun ketiga tokoh itu kelihatan sebagai tokoh yang lucu dan konyol akan tetapi mereka merupakan anak-anak yang berbakti kepada orangtua. Perhatian dan sikap mereka tetap dijaga ketika berhadapan dengan orangtua mereka.
Tokoh-Tokoh Figura: Tritagonis dan Pembantu Selain tokoh-tokoh utama yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat juga tokoh-tokoh figura atau pembantu yang berjumlah 17 tokoh, yakni: Sutiragen, Kresna, Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa, Sumbadra, Larasati, Gatotkaca, Abimanyu, Batara Guru, Batara Narada, Cingkarabala, Balapauta, orang-1, orang-2 , dan penyanyi. Dalam cerita, tokoh-tokoh itu juga dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan alur cerita atau konflik cerita. Penulis membagi atas dua kelompok, yaitu: kelompok I tokoh figura yang memiliki hubungan erat dengan alur cerita dan kelompok II, tokoh figura yang tidak begitu erat dengan alur cerita. Klasifikasi itu dilakukan berdasarkan dialog-dilaog yang dilakukan oleh masing-masing tokoh. Kelompok I adalah Sumbadra, Larasati, Gatotkaca, Batara Guru, dan Narada. Tokoh-tokoh itu yang lebih banyak melakukan dialog, rata-rata lebih dari 10 kali. Kehadiran mereka dalam cerita memperkuat konflik seperti tokoh Sumbadra, Larasati dan Gatotkaca. Hal itu tampak ketika mereka bertiga menemui Semar karena tidak tahan melihat situasi yang terjadi di dalam kerajaan Amarta. Mereka bermaksud ingin mengutarakan situasi itu kepada Semar agar Panakawan itu dapat melakukan sesuatu untuk mengembalikan kedamaian kerajaan Arjuna itu. Kemudian, tokoh-tokoh kelompok figura II adalah Sutiragen, Kresna, Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa, Abimanyu, Cingkarabala, Balapauta, Orang-1, Orang-2, dan penyanyi. Secara kuantitas, kehadiran mereka dalam cerita paling banyak 10 kali seperti Cingkarabala dan Balapauta sedangkan kresna hanya 3 kali, Yudistira sebanyak 2 kali, orang-1 sebanyak 5 kali dan orang-2 sebanyak 4 kali. Kemudian, Bima, Sadewa, Nakula dan penyanyi hanya satu kali hadir dalam cerita.
Durga dan Kalika Kedua tokoh ini adalah sosok jin jahat yang menginginkan kehancuran kerajaan Amarta, pimpinan Arjuna. Durga sosok jin perempuan yang menyukai Arjuna yang berbadan tegap dan tampan. Untuk menjalankan keinginannya, Durga merasuki tubuh Srikandi. Ia memilih perempuan itu karena tidak memiliki kekuatan apa-apa. Ia menduga bahwa semua keinginannya akan tercapai karena Arjuna begitu mencintai perempuan itu. Setelah Durga berhasil merasuki tubuh Srikandi, rencana pun dijalankan. Hal pertama yang dilakukannya meminta untuk diperlakukan sama dengan istri-istri Arjuna yang lain, yakni meminta sesuatu sebelum dinikahi. Hal itu bertujuan untuk menguji cinta Arjuna. Jika dia sanggup memenuhi permintaan itu berarti Arjuna mencintai perempuan itu. Pada akhirnya, konflik pun mulai memuncak karena permintaan Srikandi itu menuai masalah dalam kerajaan Amarta. Srikandi Srikandi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh kuat pada alur cerita. Dia merupakan cikal-bakal lahirnya konflik. Pada dasarnya, ia merupakan sosok perempuan yang baik tetapi karena dirasuki Setan Durga, ia pun berubah menjadi jahat. Srikandi menjadi tumbal perbuatan Durga yang ingin menghancurkan kerajaan Amarta.
48
JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 1 Tahun 2009 ( 43 – 53 )
Abrams dengan merujuk pendapat Freytag kemudian mengklasifikasikan 5 jenis plot yang menyerupai piramida (pyramidal shape), yakni: (1) rising action; (2) climax; (3) crisis; (4) falling action; dan (5) denouement. Rising action adalah tahap perkenalan tokoh yang kemudian pertemuan itu menimbulkan konflik. Setelah itu, seiring dengan berjalannya waktu konflik memanas dan mengalami saat-saat genting (crisis) yang kemudian mencapai tahap climax. Konflik yang telah berada pada titik climax tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk perseteruan, baik secara individual maupun kelompok. Lantas, konflik itu kemudian menurun (falling actions) setelah perseteruan tadi menimbulkan berbagai bencana (catastrophe) baik berupa psikis, harta benda bahkan nyawa. Setelah bencana muncul, konflik pun selesai (denouement). Berikut akan dideskripsikan dalam bentuk bagan.
Tokoh-tokoh figura kelompok II ini hanya sebagai tokoh-tokoh pembantu yang menguatkan kehadiran tokoh lain, di samping latar cerita. Misalnya, tokoh Cingkarabala dan Balapauta yang berperan sebagai pengawal pintu gerbang menuju khayangan. Dalam cerita kedua, tokoh itu menghadang Semar dan Bagong yang hendak masuk ke istana itu. Contoh lainnya adalah orang-1 dan orang-2, kedua tokoh itu berperan sebagai rakyat Amarta yang mengungsi ke kerajaan lain karena tidak tahan menderita. Kehadiran mereka menguatkan konflik Semar dengan Dewata dan kondisi kerajaan Amarta yang tidak tenteram. Plot Aristoteles (dalam Elsa, 2003:38 dan 41-42) mengemukakan bahwa plot adalah strukturisasi peristiwa yang merupakan prinsip dasar, hati dan jiwa tragedi. Tragedi menurutnya adalah sebuah imitasi dari suatu tindakan yang lengkap dan utuh menyeluruh dan memiliki semacam besaran. Plot yang utuh diperlihatkan dengan adanya awal, tengah dan akhir. Kemudian, Aristoteles (2003:48) membagi plot itu atas dua jenis, yaitu: plot yang memiliki episode-episode yang saling mengikuti satu sama lain atau perkembangannya berkesinambungan dan menyatu yang dinamakannya sebagai plot sederhana dan sebaliknya, perkembangan itu dapat saja terjadi pembalikan atau berlawanan (peripety) yang diistilahkan dengan plot kompleks atau rumit. Kemudian, Aston dan Savona (1991:21) mengemukakan plot juga merupakan peristiwaperistiwa naratif yang distruktur, diorganisasikan, lantas dipresentasikan. Pendapat Aston dan Savona itu sama dengan yang dikemukakan Aristoteles, plot sebagai struktur peristiwa-peristiwa. Hal itu menandakan bahwa plot merupakan lapisan-lapisan peristiwa yang dijalin sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah cerita yang memiliki peristiwa awal, tengah, dan akhir. Pakar lain yang mengemukakan pendapat yang sama adalah adalah Abrams. Ia (1971:127130) mengemukakan bahwa plot merupakan struktur dari tindakan-tindakan yang diurutkan dan dibuat untuk mencapai fakta-fakta emosional yang kemudian menimbulkan efek artistik. Lebih lanjut dijelaskan oleh Abrams bahwa sebagai struktur dari tindakan, plot harus padu (unity) mulai dari satu tindakan, beberapa tindakan lalu diurutkan sehingga membentuk sebuah struktur.
Climax
Pyramidal Shape Crisis Rising Action Beginning
Falling Action Denouement
Middle End Bagan1 . Struktur Plot Ada dua jenis bagan yang diuraikan sebelumnya yang sengaja penulis gabungkan agar lebih jelas hubungan dan keberadaan masingmasingnya. Bagan yang berbentuk piramida itu adalah deskripsi plot yang dilukiskan oleh Freytag. Ia menamakan deskripsinya itu berbentuk piramida. Sedangkan bagan yang berbentuk garis linier adalah plot yang dilukiskan oleh Aristoteles. Menurut Abrams (1971:129) plot terdiri dari tiga jenis, yakni: beginning (awal), middle (tengah) dan end (akhir). Plot yang baik menurut Aristoteles memiliki orde, amplitude, kesatuan (unity), koherensi (connection), dan trilogi kesatuan: waktu, tempat dan kejadian. Syarat terakhir ini tafsirannya berbeda-beda. Orde adalah urutan kejadian atau tahapan kejadian peristiwa mulai dari awal sampai dengan akhir. Amplitude diartikan sebagai kompleksitas plot yang salah satunya dapat dilihat
49
“Semar Gugat” dalam Telaah Tokoh: Sebuah Model Pemaknaan Naskah Drama (Muhammad Ismail Nasution)
Amarta, kerajaan Arjuna. Durga juga telah lama memendam rasa benci kepada Semar karena selalu menghalangi niatnya untuk menghancurkan kerajaan Amarta. Untuk menjalankan rencana penghancurannya kembali, Durga bermaksud hendak manjing tubuh Srikandi. Ia memanfaatkan tubuh Srikandi untuk mencapai tujuan-tujuannya, salah satunya menikmati tubuh Arjuna sekaligus menghancurkan kerajaan Amarta. Ia memilih Srikandi karena Srikandi adalah perempuan yang sangat dicintai Arjuna dan tidak memiliki kekuatan apa-apa. Lain hal dengan Sumbadra yang bisa mencium keberadaannya sebagai jin. Setelah rising action, tahap crisis mulai terjadi. Srikandi yang dirasuki oleh Durga meminta kuncung rambut Semar sebagai hadiah perkawinan. Arjuna tidak tega melakukannya karena Semar adalah orang yang sangat dihormati dan diseganinya. Srikandi mengancam akan pergi dan membatalkan pernikahan jika permintaan itu ditolak. Arjuna tidak berdaya dan mengabulkan permintaan calon istri barunya itu. Hari pernikahan pun tiba, berlatar aula istana, Arjuna memanggil Semar. Tanpa diduga banyak orang, Arjuna pun melakukan apa yang diminta Srikandi. Dengan kepatuhan seorang abdi, Semar membiarkan kuncungnya digunting. Tak seorang pun yang tega menyaksikan kejadian itu, kecuali Durga berwujud Srikandi. Konflik pun mulai mencapai climax, perlakuan itu tidak bisa diterima oleh Semar. Ia melakukan gugatan kepada para dewan dewa. Ia meminta wujudnya diubah menjadi gagah dan tampan bagaikan ksatria. Ia juga meminta istana yang kelak akan dipimpinnya. Semar mengancam jika para dewan dewa tidak mengabulkan keinginannya maka ia akan menghancurkan khayangan dengan kentut saktinya. Para dewa pun mengabulkan permohonan Semar asalkan ia mau menerima tanggung jawab dan resiko pengubahan wujudnya karena itu menyalahi aturan alam. Semar setuju lantas para dewa pun mengubah wujud Semar menjadi tampan dan gagah, berbeda dengan Semar sebelumnya, bertubuh gemuk, pendek, tubuh buncit, muka jelek dan sebagainya. Namun, pengubahan itu ternyata bukan membuat Semar bahagia. Istri kesayangannya tidak mau mengakui bahwa Prabu Sanggadonya Lukanurani, nama Semar yang baru adalah Semar suaminya yang dahulu.
dari aspek apakah sederhana atau kompleks. Kemudian, kesatuan (unity) menandakan bahwa plot tersebut tidak berdiri masing-masing tetapi memiliki hubungan sedangkan koherensi adalah hubungan itu berkesinambungan dan memiliki kualitas, paling tidak bersifat kausalitas. Terakhir adanya kesatuan (wholeness) waktu, tempat dan kejadian. Mengenai trilogi Aristoteles tersebut, Harymawan (1993:21) menjelaskan bahwa kesatuan waktu adalah pembatasan waktu terutama ditujukan kepada tragedi yang harus berbeda dengan epik, karena epik mempunyai kebebasan waktu, sedangkan tragedi waktunya harus dibatasi. Kemudian, kesatuan tempat yang dimaksud dahulu adalah peristiwa seluruhnya terlaksana dalam satu tempat saja. Terakhir, kesatuan kejadian ditujukan terutama pada tema dan plot (kesatuan ide). Dalam ‘Semar Gugat’, plot sebagai struktur peristiwa-peristiwanya dapat dikatakan plot sederhana berbentuk lurus atau pyramidal. Dalam cerita, tidak terdapat adanya peristiwa-peristiwa masa lalu (flash back). Semua peristiwa berjalan secara progresif mulai dari awal sampai dengan akhir. Rising Action dalam ‘Semar Gugat’ terbagi atas tiga peristiwa. Peristiwa pertama adalah peristiwa Semar membangunkan anak-anaknya. Latar berada di desa Karang Tumaritis, tepatnya rumah keluarga Semar. Semar bermaksud hendak menghadiri pernikahan Arjuna, raja junjungannya. Ia mengajak anak-anaknya memikirkan hadiah apa yang bagus untuk diserahkan kepada kedua mempelai itu. Peristiwa kedua adalah pertemuan antara istri-istri Arjuna dengan calon mempelai Arjuna yang bernama Srikandi. Peristiwa itu berlatarkan di Kaputren Madukara, tempat tinggal Sumbadra dan Larasati—istri-istri Arjuna. Ketiganya berada di dalam kamar tepatnya di depan cermin. Pertemuan itu mengisahkan adanya tradisi bagi calon-calon istri Arjuna meminta sesuatu sebagai bukti bahwa Arjuna menikahi mereka bukan berdasarkan atas nafsu syahwat belaka tetapi dilandaskan dengan cinta kasih. Srikandi pun berkeinginan meminta sesuatu kepada Arjuna untuk meyakinkan dirinya bahwa Arjuna mencintainya. Peristiwa ketiga adalah pembicaraan ratu jin yang bernama Durga dan pembantunya, Kalika. Durga adalah sosok jin yang diam-diam menyukai Arjuna dan telah lama menginginkan kehancuran
50
JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 1 Tahun 2009 ( 43 – 53 )
Di sisi lain, kerajaan yang dipimpin oleh Arjuna mulai porak-poranda. Arjuna dan Srikandi semakin merajalela sementara itu rakyat semakin menderita. Sumbadra, Larasati, dan Gatotkaca tidak tahan melihat peristiwa itu. Secara diam-diam, mereka pergi menemui Semar meminta bantuan untuk mengembalikan kedamaian yang dimiliki Amarta seperti dahulu kala. Semar geram mendengar keluhan ketiga orang penting dari kerajaan Amarta itu. Ia pun menantang Arjuna untuk adu kesaktian. Perseteruan itu pun terjadi keesokan harinya. Berlatar di alun-alun Amarta di siang hari, Semar berhadapan dengan Arjuna dan Srikandi. Rakyat dan para dewa menonton dengan hati tegang. Namun, apa yang terjadi di luar dugaan banyak orang. Kentut Semar tidak lagi sakti. Kentutnya hanya seperti kentut manusia yang lain yang dapat meluluh-lantakkan alam sekitarnya. Inilah salah satu resiko yang diterima Semar atas pengubahan wujudnya itu. Pada tahap falling action, konflik mulai menurun. Catastrophe yang terjadi membuat diri Semar semakin menderita. Istri tidak mengakui, kehormatan hilang karena kalah adu sakti, dan kepercayaan diri semakin terpuruk. Penderitaannya bukan malah selesai tetapi justru bertambah. Tahap denouement cerita diakhiri dengan penyelesain Semar atas perbuatannya. Nafsunya ingin menjadi orang gagah dan berharta agar dipandang banyak orang membuat dirinya bukan bahagia tetapi menderita. Ia taubat dan meminta para dewa mengubah kembali dirinya menjadi Semar yang dahulu, gendut, muka jelek dan kentut mematikan.
Kritikan pertama yang terkandung dalam karya itu adalah kebiasaan pemerintah Indonesia menerima hadiah-hadiah yang sepantasnya tidak mereka terima. Kritikan itu terkandung dalam dialog berikut. “Weellaa, mo, romo, wong untuk makan sehari-hari saja sudah ngos-ngosan, kok malah disuruh mikir kasih hadiah sama junjungan yang sudah sangat kecukupan.” (hal. 3) Kritikan kedua adalah ketidakadilan yang diterima oleh rakyat kecil. Misalnya, pemerintah acapkali melakukan perbuatan salah tangkap dan salah laporan yang pada akhirnya merugikan rakyat. Kemudian, tidak dilindunginya para pekerja kecil atau kuli. Perlindungan hanya diberikan kepada para pengusaha yang memiliki banyak uang yang setiap saat membagi-bagikan tips buat pemerintah. “Aku tidak percaya. Kamu itu kepala intel kerajaan, tapi laporanmu sebagian besar salah melulu. Dulu kamu pernah bilang, kerajaan dalam keadaan tenang dan stabil. Aku percaya. Tapi apa bukti? Demonstrasi terjadi di mana-mana. Setan-setan tidak mau lagi kerja paksa. Mereka menuntut, kerja harus ada upah minimumnya. Mana bisa? Brengsek itu. Tetapi karena aku ratu setan bijaksana, kupenuhi tutntutan itu. No problem..” (hal. 11) “Di mana mesti mencarinya Mak? Semua jalan sudah diborong habis. Tol, arteri, bolevar-dhh, haiwey, semua sudah ada pemborongnya. Kita mah paling kebagian gang, buntu lagi. Sebab gang yang tidak buntu juga jelas sudah menjadi proyek, ada dip dan dup-nya. Rezeki for the lower people mah sudah sangat mampet, Mak.” (hal.34) “.... Aku ini dewa apes. Sebab nyatanya bukan kemuliaan yang kutelan tapi cuma cacing kremi dan kotoran manusia. Setiap waktu kumakan ludah manusia dan janji kosong. Mukaku harus selalu dibikin gembira, biar hati sedang gundah gulana. Tugas macam apa itu? Kalian enak di sini, jadi birokrat. Nongkrong di langit, memandang ke bumi dengan rasa yakin akan tetap berkuasa sepanjang masa. Muka tetep bagus, duduk di kursi bagus, berpakaian bagus, kerja sedikit dan banyak liburnya. Tapi rezeki jauh lebih gede dari rezekiku.
Nilai-Nilai ‘Semar Gugat’: Sebuah Pemaknaan Hermeneutik ‘Semar Gugat’ merupakan salah satu karya sastra yang memuat kritik sosial. Nilai-nilai yang termuat di dalamnya lekat bersamaan dengan kritik yang disampaikan pengarang lewat tindakan dan ucapan para tokoh. Menurut pandangan penulis, Riantiarno mengkritisi pemerintah Indonesia rezim orde baru. Kritik yang disampaikannya begitu baik sehingga tidak terkesan sebagai sebuah kritik yang tidak kritikan. Padahal, kritik itu amat tajam. Kritikan itu pada umumnya disampaikan lewat ucapan bernada gurauan yang dilontarkan oleh Gareng, Petruk, dan Bagong.
51
“Semar Gugat” dalam Telaah Tokoh: Sebuah Model Pemaknaan Naskah Drama (Muhammad Ismail Nasution)
dan kondominum. Waktu hidup jadi gelandangan, sudah jadi setan masih dipaksa gentayangan. Mengerikan...” “Di Astina main politik juga tidak dihambathambat. Orang bebas masuk golongan apa saja, tanpa takut bakal ditutup sumber rezekinya. Informasi terbuka, dan tak ada himbauan-himbauan, baik lewat surat maupun telepon. Hukum dihormati, tidak ada surat sakti. Sogok dan suap, berat hukumannya. Tak ada yang berani main kayu.” (hal. 66) Kritik kelima ditujukan pada aktivitas demonstrasi. Demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat atau mahasiswa terkadang hanyalah permainan politik. Kegiatan itu mudah disusupi oleh provokator atau mudah ditunggangi. Acapkali merusak benda-benda sekitarnya yang sebenarnya tidak perlu. “Tidak, bukan begitu. Cara kalian itu Cuma sport politik, mainan anak-anak muda. Dan seringkali tidak kena sasaran. Perlu massa, ongkosnya mahal, perlu organisasi, gampang ditunggangi, mudah lelah, dan salah-salah malah Cuma kena gebuk polisi. Aku punya cara yang lebih cespleng lagi. cuma Bagong yang akan aku ajak ikut. Petruk dan Gareng tetap di rumah, menjaga Ibu.” (hal. 38) Terakhir, Riantiarno mengkritik pemerintah atau pejabat yang gatal. Pejabat Indonesia identik dengan permainan salah satunya perempuan. Tidak heran jika pejabat memiliki selingkuhan. “Daddy, jangan kuatir. Kalau soal kembang, I can Supply what ever women you want. Sebut saja maunya berapa? I can manage itu. Bisa diimpor dari Astina, Amarta. Banyak. Yang hitam, kuning, coklat, putih, apa saja....” (hal. 75)
Kalian Cuma mencatet-catet laporan, untuk kepentingan obral kartu kuning dan merah atau kasih hadiah penalti. Kalian yakin tidak ada satu makhluk pun yang berani mengganggu-gugat. Kekuasaan kalian ibarat wasit sepakbola, sangat besar, terlalu besar...” (hal. 55) Kritikan ketiga adalah pemerintahan Indonesia banyak diisi oleh orang-orang yang semestinya tidak menduduki tempat itu. Mereka dipilih hanya karena kedekatan dengan pimpinan atau memiliki hubungan kekeluargaan. “Banyak satria yang tetap hidup mesti tanpa kepala. Mereka dianugerahi dewa kekuasaan untuk memerintah dunia. Akibatnya, mereka semena-mena. Ada malah di antara mereka yang di samping tidak punya kepala, juga jantungnya tidak ada. Lebih celaka lagi, para panakawan mereka masih lengkap wujud manusianya; dengan jantung dan kepala. Itu kenyataannya....” (hal. 36) “Ya, untuk anak, bini, keponakan, cucu, cicit, canggah wareng, udeg-udeg, gantung siwur. Pokok kata, untuk lebih dari 7 turunan. Kalau bisa. Sekarang, bini ogah. Ya tidak apa-apa. Kan masih ada famili lain, Misal, saya dan Petruk. Cukup itu. Kemudian, kalau Bagong pulang, dia bisa langsung bergabung. Hasil perjuangan yang tidak dinikamti, jelas mubazir. Ini kan anugerah?” (hal. 74) Kritikan keempat adalah pendidikan di Indonesia yang mahal serta hak hidup dan berkarya kurang dilindungi. Banyak aturan dan tekanan yang menghimpit sehingga keleluasaan untuk beraktivitas dan berusaha selalu terhambat. Kemudian, pemerintah menebar janji-janji kosong. Acapkali melakukan penggusuran dengan alasan tanah itu adalah milik negara hendak dijadikan taman tetapi di atasnya berdiri mall mewah. Di samping itu, Pegawai Negeri terpaksa memilih Partai Golkar kalau tidak takut dipecat. “..Pendidikan dibisniskan seperti dagangan mereka. Anak-anak kita dipaksa masuk kalengan, seperti ikan sardencis. Tidak heran kalau ongksonya mahal jadi luar biasa mahal. Di Astina, dagang aman, berkarya tenang, hak bicara dihormati. Lahir hepi mati pun tenang, karena di Astina tak ada tuh, yang namanya gusur-menggusur kuburan. Di Amarta, kuburan juga bisa diubah jadi hotel
SIMPULAN Naskah merupakan bagian penting dalam sebuah pementasan drama atau teater. Sebuah pementasan yang baik tentu berawal dari sebuah pemaknaan naskah yang baik pula. Dengan hasil pemaknaan ini pula, sutradara dapat merancang berbagai atribut pentas yang dibutuhkan seperti atribut pentas, pakaian dan riasan pemain, pencahayaan, dan waktu yang dibutuhkan untuk mementaskan naskah itu.
52
JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 1 Tahun 2009 ( 43 – 53 )
Else,
Gerald. F. 2003. Aristotle Poetics (Diterjemahkan oleh Sugiyanto). Yogyakarta: Putra Langit. Harymawan, RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung; Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Oemarjati, Dra. Boen Sri. 1996. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Riantiarno, N. 1995. Semar Gugat. Yogyakarta: Bentang Budaya. Sumukti, Tuti. 2006. Semar Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galang Press. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Tulisan ini membahas naskah Semar Gugat yang lebih menekankan kajian terhadap tokoh cerita. Penelusuran terhadap tokoh cerita dapat mengarahkan penemuan-penemuan elemen struktur lainnya seperti latar dan plot cerita. Di samping itu, watak atau karakter tokoh dapat menjadi acuan bagi sutradara untuk menentukan pemain yang sesuai memerankan tokoh tersebut. Oleh sebab itu, langkah utama untuk memahami naskah drama yang hendak dipentaskan diawali dengan menelusuri tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. DAFTAR RUJUKAN Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston. Aston dan Savona. 1991. Theatre as Sign-System. London: Routledge.
53