KLASIFIKASI FOLK BIOLOGI DALAM BAHASA JAWA SEBUAH PENGAMATAN AWAL Suhandano*
1 . Pendahuluan alah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk mengidentifikasikan dan - mengklasifikasikan benda-benda di lingkungan sekitar manusia . Demikianlah, misalnya, penutur bahasa Jawa mengidentifikasikan benda-benda di sekitarnya dengan kata-kata alang-alang 'ilalang' . teki 'teki' . tuton. kremah . krokot (untuk ketiga nama yang disebut terakhir ini penulis belurn menemukan nama padanannya dalam bahasa Indonesia) . dan sejenisnya, dan kemudian mengklasifikasikannya dengan kata suket ' rumput' . Mereka juga mengidenbenda-benda di sekitarnya tifikasikan dengan kata-kata wedus 'kambing' . pitik 'ayam' . sapi 'lembu' . kebo 'kerbau' . bebek 'itik', dan sejenisnya . dan kemudian mengkiasifikasikannya dengan kata ingon-ingon binatang piaraan' . Pengidentifikasian dan pengklasifikasian tersebut tidak hanya berlaku pada benda-benda hidup saja, tetapi juga pada benda-benda mati . Untuk bendabenda mati . penutur bahasa Jawa misalnya, mengidentifikasikan benda-benda tertentu dengan kata-kata kaos 'kaos', klambi 'baju' . sarung 'sarung', jarik Rain' . kathok Icelana', dan sejenisnya yang kemudian mengklasifikasikannya dengan kata sandangan pakaian' . Dalam hal fungsi bahasa sebagai alat untuk mengidentifikasikan benda-benda, sejauh ini dipaharni bahwa hubungan antara benda yang diidentifikasikan dengan kata atau bentuk bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasikannya bersitat arbitrer . Jadi, tidak ada alasan mengapa benda yang sama dalam bahasa Jawa diidentifi-
S
kasikan dengan kata klambi, tetapi dalam bahasa Indonesia diidentifikasikan dengan kata baju . Dalam hal fungsi bahasa sebagai alat untuk mengklasifikasikan benda-benda, sifat arbitrer tersebut memang masih berlaku . Sangat sulit mencari alasan, misalnya, mengapa dalam bahasa Jawa krokot, teki, kremah, alang-alang, tuton diklasifikasikan dengan kata suket bukan dengan kata lain . Akan tetapi, berkaitan dengan klasifikasi ini ada hal menarik yang perlu dikaji, misalnya, mengapa alang-alang, teki, kremah, krokot, tuton diklasifikasikan dalam satu kategori suket, sernentara sere 'serai', sledri 'seledri', bayem 'bayam', lompong 'batang daun keladi', dan sejenisnya yang dalam beberapa hal mirip dengan benda-benda dalarn kategori sukettidak termasuk di dalamnya. Persoalan klasifikasi ini lebih menarik lagi karena diketahui bahwa pengklasifikasian benda-benda tertentu ke dalam kategori tertentu berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain . Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa ada kategori ingon-ingon yang anggotanya meliputi hewan-hewan sapi, kerbau, kambing, itik, ayarn, dan sejenisnya seperti dicontohkan di atas, tetapi dalam bahasa Inggris kategori semacam itu tidak ada . Memang dalam bahasa Inggris ada kategori pet 'binatang piaraan', tetapi kategori ini tidak sama dengan ingon-ingon ; kerbau, misalnya, tidak termasuk dalam pet. Dalam bahasa Jawa ada kategori turnbuhan pals kasimpar 'tumbuh-tumbuhan yang buahnya tergeletak di atas tanah' yang mencakup tumbuh-tumbuhan seperti mentimun, labu, semangka, tetapi dalam
Doktorandus, Master of Art, Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Humaniora Volume Xll . No . 2/2000
225
Suhandono bahasa Indonesia kategori semacam ini tidak ada . Masalah klasifikasi benda-benda, terutama yang berkaitan dengan makhluk hidup atau folk biologi (folk biology), sudah lama menjadi perhatian para ahli, terutama ahli etnografi dan linguistik antropologi . Masalah perbedaan klasifikasi dalam berbagai bahasa ini menarik untuk dikaji karena dipandang dapat mengungkapkan berbagai aspek budaya penuturnya, terutama yang berkaitan dengan konseptualisasi mereka terhadap alam sekitarnya . Dalam uraian singkat ini dikemukakan perihal klasifikasi folk biologi dalam bahasa Jawa . Perlu dikemukakan sebelumnya bahwa tulisan ini bukan merupakan laporan hasil penelitian, melainkan hanya merupakan laporan hasil pengamatan awal penulis sebagai penutur bahasa Jawa terhadap klasifikasi folk biologi dalam bahasa Jawa . 2 . Prinsip-Prinsip Umum Klasifikasi Folk Biologi Studi mengenai folk biologi dalam berbagai bahasa menunjukkan bahwa antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain memiliki sistem klasifikasi yang berbeda . Meskipun demikian, ada hal-hat umum yang berlaku pada semua bahasa . Berlin dkk . (1973) menyebutnya dengan istilah prinsip-prinsip umum klasifikasi folk biologi . Berikut dikemukakan prinsip-prinsip umum klasifikasi folk biologi yang dikemukakan Berlin dkk . tersebut . Dalam semua bahasa dimungkinkan untuk memisahkan kelompok-kelompok makhluk hidup dari berbagai tingkat keinklusifan secara linguistis . Kelas-kelas hasil pemisahan ini disebut dengan istilah taksa (taxa), dan dapat diilustrasikan dengan nama-nama oak 'pohon ek', vine 'tumbuhan merambat', plant 'tumbuh-tumbuhan' . redheaded woodpecker 'nama jenis tumbuhan tertentu', dan sebagainya . Taksa lebih lanjut dapat dikelompokkan ke dalam kelaskelas yang lebih kecil yang disebut kategori taksonomi etnobiologi (taxonomic ethnobiological categories) . Kategori-kategori etnobiologi ini dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria linguistik dan taksonomi, dan biasanya jumlahnya tidak akan lebih dari lima . Nama-nama kategori tersebut
226
ialah unique beginner, life form, generic, spesific, dan varietal (penulis belum menemukan istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat sebagai padanan istilah-istilah tersebut sehingga untuk sementara dipakai istilah dalam bahasa Inggris) . Kemungkinan masih ada satu kategori lagi, yaitu intermediate. Kelima kategori etnobiologi tersebut tersusun secara hierarkhis dan taksa-taksa yang berada pada setiap tingkatan bersifat mutually exclusive kecuali unique beginner yang hanya mempunyai satu anggota . Taksa kategori unique beginner berada pada tingkat nol, life form berada pada tingkat satu, generic terdapat pada tingkat dua, atau jika tidak pada tingkat dua, berada pada tingkat satu . Taksa spesific berada pada tingkat tiga, atau jika tidak berada pada tingkat tiga, berada pada tingkat dua; dan taksa varietal, jika ada, berada pada tingkat empat, atau jika tidak terdapat pada tingkat empat, terdapat pada tingkat tiga . Dalam folk taksonomi sangat biasa terjadi bahwa taksa unique beginner secara linguistic tidak dilabeli dengan satu bentuk ekspresi tunggal, misalnya label seperti plant atau animal sangat jarang . Taksa yang berada pada kategori life form jumlahnya tidak seberapa, berkisar antara lima sampai dengan sepuluh dan mencakup sebagian besar taksa pada tingkat yang lebih rendah . Taksa life form dilabeli dengan bentuk linguistik yang secara leksikal dapat dianalisis sebagai Ieksem primer (primary lexeme), misalnya tree, wine, bird, grass, mammal, dan sejenisnya . Taksa generic juga dilabeli dengan leksem primer seperti oak, pine, perch, robin dan merupakan taksa yang secara psikologis paling menonjol, taksa pertama yang dipelajari anak . Taksa spesific dan varietal jumlahnya lebih kecil daripada taksa generic dan biasanya dilabeli dengan Ieksem sekunder (secondary lexeme) dan biasanya muncul dalam bentuk yang berkontras . Berlin dkk . juga mengemukakan bahwa tata nama (nomenclature) sering merupakan petunjuk yang paling balk bagi struktur folk taksonomi . Berkaitan dengan tata nama folk taksonomi ini, dikemukakan empat prinsip, yaitu :
Humaniora Volume Xll, No . 2/2000
Suhandono (I)
jika suatu taksa dilabeli dengan leksem primer dan bersifat terminal atau yang secara langsung mencakup taksa-taksa yang dilabeli dengan leksem sekunder, taksa tersebut merupakan taksa generic ;
(ii)
jika suatu taksa dilabeli dengan leksem primer dan tidak bersifat terminal atau secara langsung mencakup taksa-taksa yang dilabeli dengan leksem primer, taksa tersebut merupakan life form ;
(iii) jika suatu taksa dilabeli dengan leksem sekunder dan bersifat terminal serta secara langsung termasuk dalam taksa yang dilabeli dengan leksem primer, taksa tersebut merupakan taksa spesific; (iv) jika suatu taksa dilabeli dengan leksem sekunder dan bersifat terminal serta secara langsung termasuk dalam taksa yang dilabeli dengan leksem sekunder, maka taksa tersebut merupakan varietal. Prinsip-prinsip yang dikemukakan Berlin dkk . di atas dapat dipakai sebagai petunjuk dalam mengekplorasi folk biologi dalam suatu bahasa . Dalam prinsip-prinsip tersebut ada hal yang belum jelas, misainya, pengertian leksem primer dan leksem sekunder tidak dijelaskan dengan tegas . Dalam beberapa hal leksem primer identik dengan kata monomorfemik, tetapi ada pula contoh leksem primer yang tidak berupa kata monomorfemik seperti planetree dan poison oak, meskipun untuk leksem sekunder semua contoh yang diberikan berupa kata polimorfemik . Untuk memecahkan masalah ini tampaknya peneliti harus menggunakan intuisinya . 3 . Taksa Unique Beginner dalam Bahasa Jawa Seperti dikemukakan di atas, taksa unique beginner hanya mempunyai satu anggota dan jarang sekali dilabeli dengan leksem tunggal . Jadi, taksa unique beginner yang aitemukan dalam bahasa Inggris seperti plant jarang sekali ditemukan dalam bahasa-bahasa yang lain . Bagaimana dengan taksa unique beginner dalam bahasa Jawa?
Humaniora Volume X1I, No . 2/2000
Dalam klasifikasi ilmiah, makhluk hidup dibedakan menjadi dua yaitu tumbuhan dan binatang (manusia termasuk di dalamnya) . Dalam bahasa Jawa pembedaan makhuk hidup menjadi dua kelompok seperti itu tampaknya juga ada, yaitu dengan ditemukannya istilah tetuwuhan dan kewan . Apakah tetuwuhan dan kewan merupakan taksa unique beginner dalam bahasa Jawa? Dilihat dari bentuk bahasa yang digunakan untuk melabelinya, status tetuwuhan dan kewan sebagai taksa unique beginner tampak meragukan karena bentuk bahasa yang digunakan untuk melabelinya tidak seimbang . Tetuwuhan dilabeli dengan leksem sekunder yang diturunkan dari leksem primer tuwuh + reduplikasi suku awal dan -an, sedangkan kewan dilabeli dengan leksem primer . Selain itu, dalam bahasa Jawa juga terdapat istilah lain yaitu tanduran dan sato yang dalam beberapa hal pengertiannya juga mirip dengan pengertian tumbuhan dan binatang dalam klasifikasi ilmiah ; lalu bentuk yang mana yang harus dipilih sebagai taksa unique beginner, tetuwuhan atau tanduran dan kewan atau sato . Jika diamati dengan lebih seksama, pengertian tetuwuhan dan tanduran tidaklah sama benar . Tetuwuhan mengacu pada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya (tidak dibudidayakan oleh manusia), sedangkan tanduran mengacu pada tumbuh-tumbuhan yang sengaja ditanam manusia . Rumput yang tumbuh liar di sawah disebut tetuwuhan ( bukan tanduran) dan pohon kelapa yang ditanam di pekarangan disebut tanduran (bukan tetuwuhan) . Jadi, pengertian tetuwuhan dan tanduran tidaklah sama dengan pengertian tumbuhan dalam klasifikasi ilmiah yang mencakup semua makhluk hidup selain binatang (dan manusia) . Dalam pada itu, istilah kewan atau sato, yang dalam beberapa hal pengertiannya mirip dengan pengertian binatang dalam klasifikasi ilmiah, bukan merupakan kata asli dalam bahasa Jawa . Kewan diambil dari bahasa Arab (Poerwadarminta, 1939 : 198) dan sato diambil dari bahasa Sanskerta satwa yang dalam bahasa Indonesia juga menjadi satwa. Jadi, konsep sato atau kewan merupakan konsep yang datang belakangan dalam masyarakat Jawa sete-
227
Suhandono lah pengaruh bahasa Sanskerta dan Arab masuk dalam bahasa Jawa . Jika pendapat di atas benar, bahwa dalam bahasa Jawa tidak ada leksem yang merujuk pada kategori binatang dan turnbuhan, apakah hal itu berarti bahwa masyarakat Jawa tidak memilahkan makhluk hidup menjadi binatang dan tumbuhan . Sebagai penutur bahasa Jawa, penulis menyadari bahwa pemilahan makhluk hidup menjadi binatang dan tumbuhan itu ada ; meskipun penulis tidak tahu pasti apakah pemilahan kedua jenis makhluk hidup itu muncul dalam pikiran penulis memang sejak semula, ataukah akibat dari pengaruh pelajaran biologi yang diterima di sekolah, ataukah akibat dari pengaruh bahasa kedua yang dikuasai penulis yang di dalamnya ada leksem yang membedakan kedua jenis makhluk hidup tersebut . Akan tetapi, pertanyaan di atas tidaklah cukup dijawab dengan spekulasi semacam ini . Jawaban yang pasti haruslah didasarkan pada evidensi-evidensi yang ada dalam bahasa Jawa itu sendiri . Berdasarkan leksikon dalam bahasa Jawa diperoleh petunjuk kuat bahwa meskipun dalam bahasa Jawa tidak ditemukan leksem yang melabeli kategori binatang dan tumbuhan, pembedaan makhluk hidup menjadi binatang dan tumbuhan sangat mungkin ada . Hal itu, misalnya, dapat dilihat pada kosakata yang berkaitan dengan kata kerja . Dalam bahasa Jawa ada sejumlah kata kerja yang khas untuk binatang dan ada pula sejumlah kata kerja yang khas untuk tumbuhan . Kata-kata mlaku'berjalan' . mangan 'makan', nyokot 'menggigit', dan sejenisnya merupakan contoh kata-kata yang khas untuk binatang ; sedangkan katakata thukul ' tumbuh', ngembang 'berbunga', mawoh 'berbuah', dan sejenisnya merupakan contoh kata-kata yang khas untuk turnbuhan . Jika memang dalam alam pikiran masyarakat Jawa ada pemilahan makhluk hidup menjadi binatang dan tumbuhan sebagai bentuk taksa unique beginner, tetapi kedua taksa itu tidak diekspresikan dengan leksem tertentu, lalu bagaimana status kategori taksa ini? Terhadap pertanyaan ini dapatlah diberi jawaban bahwa taksa turn_ buhan dan binatang dalam bahasa Jawa merupakan kategori tak katon (covert cate-
228
gory),
yaitu kategori yang ada dalam pikiran penutur bahasa, tetapi tidak ditandai dengan bentuk bahasa tertentu . Istilah kategori tak katon biasa dioposisikan dengan kategori katon (overt category), dan menurut Whorf, kategori tak katon lebih dapat mengungkapkan banyak hal mengenai pandangan dunia penuturnya daripada kategori katon (Sampson, 1980 :84) . 4 . Klasifikasi Tumbuhan dalam Bahasa Jawa Dalam bagian ini dibicarakan kiasifikasi tumbuhan dalam bahasa Jawa, kiasifikasi binatang tidak dibicarakan dalam tulisan ini . Berdasarkan pengamatan awal, unique beginner tumbuhan dalam bahasa Jawa mencakup empat taksa life form (jumlah ini lebih sedikit dari pernyataan Berlin dkk . yang mengatakan bahwa jumlah life form dalam suatu bahasa berkisar antara lima sampai dengan sepuluh) . Keempat taksa life form tersebut masing-masing adalah uwit 'pohon', suket 'rumput', jamur jamur', dan lumut 'lumut' . Hampir semua jenis tumbuhan dapat diacu dengan salah satu dari keempat taksa ini . Jika seseorang belum tahu nama suatu tumbuhan, dia dapat menanyakannya dengan memakai superordinat salah satu dari keempat taksa life form tersebut : kae uwit apa 'itu pohon apa', kae suket apa 'itu rumput apa', kae jamur apa 'itu jamur apa', kae lumut apa 'itu lumut apa' . Batas masing-masing taksa tersebut pada sebagian besar kasus jelas . tetapi pada sebagian kecil kasus samar-samar . Sebagai contoh, pohon kelapa jelas berada pada kategori uwit 'pohon' (bukan suket), tetapi ada jenis tumbuhan tertentu yang dapat dikategorikan ke dalam uwit 'pohon' maupun suket 'rumput' . Sebagian penutur bahasa Jawa, misalnya, mengategorikan tumbuhan ceplukan yang biasa tumbuh di sawah atau di ladang sebagai uwit, tetapi sebagian penutur yang lain mengategorikannya sebagai suket. Kekaburan batas makna seperti ini memang sangat wajar karena sebagian kata secara alami memang memiliki batas pengertian yang kabur . Dilihat dari bentuk bahasa yang digunakan untuk melabelinya, keempat jenis taksa life form tersebut semuanya dilabeli
Humaniora Volume Xll . No . 2/2000
Suhandono dengan leksem primer . Hal ini sesuai dengan prinsip tata nama folk biologi yang dikemukakan Berlin dkk . sebagaimana dipaparkan pada bagian 2 tulisan ini . Selain itu, keempat taksa tersebut juga tidak bersifat terminal, ada sejumlah taksa-taksa generic yang tercakup pada masing-masing taksa tersebut, kecuali lumut yang taksa generic-nya belum banyak diketahui . Taksa uwit merupakan taksa life form yang cakupan taksa generic-nya paling banyak, misalnya uwit klapa 'pohon kelapa', uwit pelem 'pohon mangga', uwit gedhang 'pohon pisang', uwit lombok 'pohon cabal', uwit nanas 'pohon nanas', dan sebagainya . Sebagian besar taksa generic yang tercakup dalam uwit mempunyai nama yang sama dengan nama buahnya . Kelima contoh taksa generic yang baru saja disebutkan itu semuanya mempunyai nama yang sama dengan nama buahnya . Selain itu, terdapat pula taksa generic dalam kategori uwit yang mempunyai nama yang sama dengan nama bunganya, misalnya uwit mawar 'pohon mawar', uwit melathi 'pohon melati', uwit soka 'pohon soka', uwit kanthil pohon kantil' . uwit menur 'pohon menur', dan sebagainya ; sebagian lagi mempunyai nama yang sama dengan nama daunnya, misalnya uwit camcau 'pohon cincau' : dan sebagian lagi memang mempunyai nama tersendiri, misalnya uwit jati 'pohon jati' . Perlu dicatat bahwa kata uwit dalam bahasa Jawa dipakai untuk dua pengertian . Pertama, kata uwit dipakai untuk melabeli taksa life form sebagaimana dikemukakan di atas ; dalam hal ini kata tersebut beroposisi dengan suket, jamur dan lumut. Kedua, kata uwit dipakai untuk merujuk bagian dari suatu tumbuhan yaitu batang ; dalam hal ini kata tersebut beroposisi dengan godhong 'daun', uwoh 'buah', oyot 'akar' . dan kembang ' bunga' . Taksa generic yang berada di bawah kategori suket dan jamur jumlahnya tidak sebanyak taksa generic di bawah uwit. Beberapa contoh taksa generic di bawah kategori suket antara lain teki 'teki', alangalang tlalang', manila 'manila', gajah ' gajah', kolojono ' kalajana', kremah, krokot, tuton, sembung, gejawan, grinting ( penulis belum menemukan nama padanannya dalam bahasa Indonesia untuk enam nama
Humaniora Volume XII. No . 2/2000
yang disebut terakhir ini) . Adapun contoh taksa generic di bawah kategori jamur antara lain jamur kuping, jamur damen, jamur so, jamur barat, jamur therik, jamur seta, jamur empring (terhadap nama-nama jamur ini penulis juga belum menemukan nama padanannya dalam bahasa Indonesia) . Untuk taksa generic di bawah kategori lumut belum banyak diketahui, tetapi diperkirakan ada meskipun jumlahnya terbatas . Taksa spesific sebagian besar terdapat pada life form uwit. Di bawah kategori generic uwit k/apa misalnya terdapat taksa spesific: k/apa gading, k/apa puyuh, k/apa genjah ; di bawah kategori generic uwit pandan terdapat taksa spesific : pandan wangi dan pandan eri; dan di bawah taksa generic uwit jambu terdapat taksa spesifik : jambu abang, jambu putih, jambu kluthuk, jambu dersono, jambu mente . Taksa varietal juga ditemukan dalam folk biologi bahasa Jawa meskipun jumlahnya sangat terbatas dan kemungkinan besar hanya ada di bawah kategori life form uwit. Sebagai contoh, di bawah taksa generic gedhang terdapat taksa-taksa spesific seperti gedhang kapok, gedhang ambon, gedhang raja, dan sebagainya ; dan di bawah taksa spesific gedhang raja terdapat taksa varietal. raja dengkel. raja ta/un, raja uter, dan sebagainya . Perlu pula dicatat bahwa dalam folk biologi bahasa Jawa terdapat pula kiasifikasi tumbuhan, khususnya tanaman pertanian, seperti krowodan yang mencakup antara lain kedelai, gudhe, kacang, kara ; pala kapendhem yang mencakup kenthang, gembili, ketela, ubi, dan sejenisnya ; pa/a kasimpar yang mencakup semangka . mentimun, dan sejenisnya ; pa/a gumantung yang meliputi pisang, pepaya, dan sejenisnya ; tanem tuwuh yang meliputi kapas, jagung, dan sejenisnya ; karang kirna yang meliputi mangga, kweni, nangka, dan sejenisnya (Winter,1853) . Klasifikasi seperti ini juga berkaitan dengan cara pandang penuturnya terhadap tanaman-tanaman tersebut . 5 . Penutup Dalam tulisan ini telah dipaparkan secara singkat perihal kiasifikasi folk biologi dalam bahasa Jawa dilihat dari prinsip-
229
Suhandono prinsip umum klasifikasi folk biologi yang dikemukakan oleh Berlin dkk (1973) . Apa yang ada pada folk biologi bahasa Jawa kategori tumbuhan tidak begitu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Berlin dkk . dengan sedikit kekhasan . Akan tetapi, apa yang ada dalam klasifikasi tumbuhan dalam bahasa Jawa sebagaimana dipaparkan dalam tulisan ini masih jauh untuk dikatakan mendukung atau mengoreksi teori Berlin dkk . karena masih berupa pengamatan awal (bukan analisis yang mendalam) dan masih terbatas pada dunia tumbuhan, belum mencakup dunia binatang . Dalam pada itu, ditemui pula model klasifikasi yang khas Jawa yang belum dapat dimasukkan ke dalam model klasifikasi Berlin dkk . Oleh karena itu . diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah ini . DAFTAR PUSTAKA Berlin dkk . 1973 . General Principles of Classification and Nomenclature in Folk Biology. American Anthropologist 75 (1) : 214-242 . Cruse,
D .A . 1986 . Lexical Semantics . Cambridge : Cambridge University Press .
Dougheity, J .W .D . 1978 . Salience and Relativity in Classification. American Ethnologist 5 (I) : 66-80 . Labov, William . 1973 . The Boundaries of Words and Their Meaning" . Dalam C .J . Bailey & R . Shuy (ed .) . New Ways of Analysing Variation in English . Washington : Georgetown University Press . hlm . 340-373 .
230
Marsono dan Waridi Hendrasaputra (ed .) . Dalam Proses Penerbitan . Ensiklopedi Kebudayaan Jawa . Poerwadarminta, Baoesastra Wolters' .
W .J .S . Djawa .
dkk . 1939. Batavia : J .B .
Rosch, Eleanor . 1978 . "Principles of Categorization" . Dalam E . Rosch & B . Lloyd (ed .) . Cognition and Categorization . Hilishade : Lawrence Erlbaum . hlm . : 27-48 . Sampson, Geofrey . 1980 . Schools Linguistics . London : Hutchinson .
of
Wierbicka, Anna . 1985 . "Cats and Dogs : The Semantics of Folk Biology". Dalam Anna Wierbicka . Lexicography and Conceptual Analysis . Ann Arbor : Karoma Publisher . him . : 146243 . Wierbicka, Anna . 1985 . "Fruits and Vegetables : The Semantics of Human Categorization" . Dalam Anna Wierbicka . Lexicography and Conceptual Analysis. Ann Arbor: Karoma Publisher . hlm . : 258-343 . Winter. 1953 . "Pawicantenan Jawi" . Dalam Kats (ed .) . Punika Pepetikan saking Serat Jawi ingkang tanpa Sekar. Jakarta: Nurhob Kolep. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka .
Humaniora Volume Xll, No . 2/2000