SAINS DAN DUNIA MANUSIA
L. Bambang Sugiharto Universitas Parahyangan, Bandung Abstract: In spite of its useful and significant results, science has become also a threat to the human world in some respects. One of the underlying factors leading to the negative outcome is the epistemological framework of positivism. The most decisive critique of such epistemology comes from Phenomenology. It is found out that the primary and most basic reality is our pre-reflective world , the amorphous and multi-dimensional flux which precedes the “objective” world of science. Crusequently the particular mode of articulation of this basic human reality is not actually science, but rather, philosophy, religion and art. If the scientific world is to make a significant contribution to the evolution of human civilization, it must intensify its creative relationship with the three domains. Keywords : ideologis, epistemologis, lebenswelt, Filsafat, agama, seni, pertumbuhan.
Suatu ketika Museum of American History diminta mengadakan pameran tentang perkembangan sains di Amerika. Para penyandang dana sebetulnya berharap melihat kecanggihan pencapaian-pencapaian mutakhir di bidang sains, namun ternyata yang mereka dapatkan pada katalog adalah persis kebalikannya : deretan bencana akibat kiprah dunia ilmu dan teknologi, yaitu: perusakan lingkungan yang parah, senjata pemusnah massal, peracunan makanan oleh berbagai zat kimia, robotisasi industri yang mengancam para buruh pabrik, ketidakadilan social, berbagai eksperimen tak bermoral, dsb. dsb.1 Bagi manusia jaman ini rupanya sains bukan lagi sesuatu yang sangat mengagumkan. Kalau pun masih tersisa kekaguman maka itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan. Yang mencemaskan dan mencurigakan bukanlah hanya akibat-akibat negatifnya saja, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yakni sisi ideologis, kerangka dasar epistemologis beserta doktrin-doktrin metodologisnya. Ada tendensi serius kini untuk mendudukan sains pada proporsinya dan melihatnya dalam kerangka totalitas keunikan dunia manusia. 1
Robert L.Park, ” The danger of Vodoo Science”, The New York Times, Sunday, July 9, 1995
Bambang Sugiharto, Sains dan Dunia Manusia
83
1.
Permasalahan dunia sains Secara ideologis, para kaum feminis, misalnya, suka sekali melihat kiprah ilmu dan teknologi sebagai salah satu benteng kokoh dominasi perspektif patriarki. Disana realitas, khususnya alam, bagai kaum perempuan yang tak berdaya dieksploitasi, diinterogasi dan dipaksa untuk membukakan rahasia-rahasianya.2 Paul Feyerabend, seorang filsuf ilmu, telah menohok sisi ideologis sains yang baginya telah menjadi opressif terhadap jenis-jenis pengetahuan lain, sama dengan kelakuan agama di masa pra-modern. Jenis-jenis pengetahuan tradisional, klenik, dsb. cenderung didiskredit-kan dihadapan sains, sementara bagi Feyerabend sains sendiri sebenarnya tak memiliki otoritas lebih di banding ilmu pengetahuan lain.3 Secara epistemologis kiprah ilmu empiris dilandasi dan dibentuk oleh obsesi abad Pertengahan ke arah pencarian pondasi terkokoh bagi pengetahuan, rasionalisme Cartesian yang matematis, serta terutama “logika fakta” yang positivistic-empiristik ala abad Pencerahan. Sejak abad Pencerahan itu kerangka epistemologis di balik kiprah sains membawa tegangan berikut: di satu pihak secara internal subyek harus mengandalkan kemampuan logika nalarnya sendiri, di pihak lain ia perlu mencerminkan kenyataan eksternal seakurat dan sepasti mungkin lewat daya tangkap inderawinya. Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi representationalism ini berlanjut terus sebagai semacam postulat tersembunyi di balik kiprah sains. Kerangka dasar epistemologis macam inilah yang kemudian mengakibatkan dunia sains menjadi sangat monolitik-ideologis, dimana segala jenis pengetahuan lain yang non-ilmiah dianggap tidak valid, secara politis melahirkan bentuk-bentuk totaliterisme, secara ekonomis melahirkan eksploitasi alam besar-besaran, secara kultural mengutamakan perspektif pragmatis-instrumental dan menyepelekan wilayah reflektivitas, nilai dan makna, dan dengan itu melahirkan tumpulnya sensibilitas moral, dsb.dsb. Sejak munculnya Husserl, kerangka epistemologis macam itu mendapatkan kritik mendasar dan terbukalah sebuah pola baru. Husserl sendiri sebetulnya berambisi hendak menjadikan Filsafat sendiri ilmu yang ketat dan kuat sebagai pondasi segala ilmu lain. Namun perjalanan perenungannnya justru berujung pada suatu konsep tentang Lebenswelt, yang justru meng-hancurkan ambisinya ke arah keilmiahan ketat di awalnya itu.
2
Tentang suara kaum Feminis Sandra Harding secara berolok-olok mengusulkan mengganti “prinsipprinsip mekanika Newton” menjadi “manual perkosaan ala Newton”. Lihat dalam tulisan Constance Holden, “Reason under Fire”, Science, Vol.268 (June 30,1995)
3
Lihat P.K.Feyerabend, Against Method : Outlines of an Anarchist Theory of Knowledge (London : New Leaf Books, 1975) hlm 299
84
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004
Lebenswelt adalah anggapan bahwa dunia yang paling dasar, paling primer dan paling real sebetulnya adalah dunia pengalaman yang dihayati sehari-hari, dunia pra-reflektif dan pra-ilmiah, yang mengalir begitu saja, dengan bentuknya yang tak jelas dan sudah selalu multi-dimensi. Dunia sains atau realitas ilmiah “obyektif” hanyalah konstruksi, idealisasi, abstraksi atau interpretasi atas dunia pengalaman pra-reflektif primordial itu. Realitas pra-reflektif itu sendiri adalah sesuatu yang mengatasi kategori subyek-obyek. 4 Itu adalah dunia pengalaman asli dimana subyek dan obyek, beserta segala kualitas bercampur baur. Sedang pengalaman empiris versi dunia sains sebetulnya bukan sungguh-sungguh pengalaman, sebab disana banyak kualitas penting dihilangkan berhubung tak bisa diukur atau diulang, misalnya : sentuhan, perasaan, nilai, makna, kepekaan moral, kesadaran rohani, dsb, dsb. Konsep macam ini tentu saja menggoyang ambisi kepastian dan obyektivitas dunia ilmiah. Fenomenologi Husserl ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Heidegger, Gadamer, Ricoeur, dsb. Bagi Heidegger Lebenswelt tak lain adalah medan eksistensi, yaitu realitas terdalam (Being) yang menampilkan diri dalam sejarah dan hidup bersama, alias dalam masyarakat, tradisi dan kebudayaan. Baginya segala bentuk “representasi” tentang realitas yang kita buat sebetulnya dimungkinkan justru karena kita sudah selalu terhubung dengan realitas itu. Teori-teori abstrak tentang pohon, misalnya, dimungkinkan kita buat karena dalam kehidupan nyata kita sudah selalu bergaul dengan pohon. Pada titik ini ambisi epistemologis untuk mencari fondasi terdasar dan terkuat bagi pengetahuan, misalnya, menjadi mustahil. Setiap upaya untuk mengartikulasikan lapisan dasar pergaulan kita dengan realitas akan mengandaikan suatu horizon non-eksplisit lain dengan dunia. Begitu seterusnya.5 Tapi menurut hemat kami adalah Merleau-Ponty yang memberi jalan baru lebih tegas. Berangkat dari fenomenologi Husserl itu ia memperlihatkan bahwa persepsi adalah kontak primordial kita dengan dunia, satu-satunya modus untuk membentuk makna realitas. Pada dasarnya persepsi itu pra-sadar, pra-personal, dan mewujud dalam kebertubuhan kita, yang sebagiannya pun bekerja tanpa sepenuhnya kita sadari. Persepsi adalah background yang melatari segala tindakan. Dan dunia bukanlah obyek, yang hukum-hukumnya tinggal kita tangkap saja. Dunia adalah medan alamiah kesadaran, kesadaran yang akhirnya menyadari ketergantungannya pada ketidak-sadaran, pada kehidupan pra-reflektif.6
4
bdk. Husserl, Cartesian Meditations, terj. David Cairns (The Hague : Maritnus Nijhoff, 1960) hlm. 136-37
5
Bdk. M.Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie et al. (New York :Harper and Row,1962) hlm. 61-62
6
M.Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, terj. Colin Smith (New York : The Humanities Press, 1962) hlm. viii-xi
Bambang Sugiharto, Sains dan Dunia Manusia
85
Konsekuensi penting dari hal ini adalah bahwa gagasan-gagasan kita tentang “inti terdalam realitas”, “unit terkecil realitas” atau bahkan klaimklaim tentang “hukum alam”, sebenarnya hanyalah sarana saja untuk mengenali dan memberi makna keterkaitan pra sadar kita dengan dunia. Segala pernyataan ilmiah yang kita buat hanyalah berbagai upaya tak berkesudahan untuk mengartikulasikan dan menterjemahkan pengalaman kesatuan mendasar itu.7 Kita terlampau menyatu dengan dunia itu untuk bisa memahami dunia itu pada dirinya sendiri. Kesatuan dasar dengan dunia itu lebih langsung tampil dan terasa sebetulnya dalam rupa perasaan, hasrat, perilaku dan penilaian spontan, ketimbang dalam yang kita sebut “pengetahuan obyektif ilmiah”. Perasaan dan hasrat itu adalah semacam “bahasa sebelum bahasa”. 2.
Dunia manusia : dunia filsafat, agama dan seni Dunia manusiawi yang sesungguhnya adalah dunia kesatuan primordial itu, dunia pengalaman hubungan-hubungan, dunia yang senantiasa mengalir dengan segala dinamikanya. Ini adalah dunia hasrat, perasaan, nilai, makna, tujuan-tujuan, penderitaan, pergulatan dan impian-impian. Dan yang mengartikulasikan kenyataan macam itu terutama adalah filsafat, agama dan seni. Filsafat, dalam arti luas, adalah segala bentuk reflektivitas kritis manusia, yang tanpa bisa dibungkam terus menerus mempertanyakan makna dari segala yang dialaminya dan senantiasa berusaha membentuk peta besar tentang hakekat totalitas kehidupan. Dalam alam pra-modern ia menyatu dengan unsur agama dan seni. Dalam dunia modern ia terpisah dan mandiri, lalu pada tingkat praksis melahirkan sains. Sains lantas melahirkan teknologi dan ekonomi. Perkembangan sains, teknologi dan ekonomi telah menjadikan hidup manusia dikendalikan oleh ketiganya itu. Filsafat, posisi ilmiahnya digugat, tendensi ideologisnya dicurigai, karakter spekulatifnya dijadikan bahan olok-olok. Namun sebenarnya sebagai upaya tak berkesudahan untuk memburu hakekat terdalam kenyataan serta upaya untuk memetakan kembali setiap kali persoalanpersoalan eksistensial terselubung semata-mata berdasarkan akal sehat dan pengalaman, filsafat tetaplah sangat penting dan sesungguhnya tak kan pernah hilang. Agama, dalam arti luas adalah segala bentuk sistem kepercayaan yang meng-hubungkan manusia dengan dimensi transcendental yang dianggap menjawab segala misteri dan makna totalitas kehidupan. Sistem kepercayaan macam itu ternyata sepanjang sejarah telah melahirkan pencapaian-pencapaian kultural dan spiritual sangat tinggi, namun sekaligus telah melahirkan banyak ekses buruk penuh neurosis dan kekerasan juga, hingga kini. Tendensi ke arah kemutlakan disana telah
86
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004
melahirkan paradoks, bahkan kontradiksi-kontradiksi yang berbahaya. Itu salah satu sebab dalam dunia modern posisi agama sempat tersingkir ke pinggiran dan nyaris diabaikan. Sebenarnya kekuatan agama terletak pada kemampuannya mengorganisasikan energi batin menuju dimensi yang melebihi keterbatasan manusiawi; membangun basic trust positif terhadap hidup dan seluruh alam semesta, sekaligus merawat imajinasi kosmik tentang totalitas makna. Namun agama akan menjadi impoten bila ia merosot hanya menjadi serangkaian dogma yang ketat, sistem hukum yang anti tafsir, atau ritual yang rutin dan mekanis belaka. Agama tak akan memberi sumbangan signifikan bila sikap dasarnya memang anti pertumbuhan. Bahkan agama bisa menjadi kekuatan penghancur terbesar dunia manusia melebihi senjata apa pun, bila ia terus menerus hanya dilihat sebagai benteng identitas yang sempit. Agama hanya akan tetap bernilai dan inspiratif bila mampu berperan sebagai benteng hatinurani paling bening dan paling manusiawi, bila mampu mengakomodasikan dinamika pergumulan batin manusia dalam mencari kebenaran lebih tinggi dan bukannya terus-menerus mencari pembenaran diri, dan terutama bila mampu membebaskan manusia dari segala kerangkeng yang mengkerdilkan martabatnya sendiri. Sayang kini agama tampak masih terlampau sibuk dengan upaya apologetisnya untuk membela diri terus-menerus, di hadapan agama-agama lain, di hadapan berbagai ideologi, tapi juga di hadapan sains dan teknologi . Mereka terus menerus bicara pada tataran normatif-ideal sambil selalu lupa pada kiprah praksis faktualnya yang kacau-balau, penuh kebingungan dan bahkan bertentangan dengan segala apa yang dicita-citakan dan diyakininya. Mereka sibuk dengan rincianrincian konseptual dan proposional, sambil tak menyadari sisi fiktif dan figuratif dari language-gamenya sendiri. Agama sering lebih tampil sebagai benteng terakhir tendensi egosentrisme kekanak-kanakan. Agama akan sungguh bangkit dan berdaya kembali saat ini hanya bila berani memberi ruang leluasa bagi petualangan batin paling jujur, serta selalu berusaha memprioritaskan spiritualitas daripada institusi, identitas politis.atau pun proposisi-proposisi dogmatis. Seni, ini adalah wilayah yang terlampau kerap disepelekan dan diabaikan. Seni bukanlah sekedar urusan keindahan, hiburan, dekorasi, apalagi komoditi. Kalau Filsafat dan sains merupakan ungkapan kuriositas intelektual manusia, dan agama adalah ungkapan keyakinan spiritual tentang tujuan akhir kehidupan dan semesta, maka seni adalah artikulasi pengalaman manusia dalam kemengalirannya ( dynamic flux), dalam konflik dan kontradiksi-kontradiksinya yang sering tersembunyi, dalam ambiguitas dan kompleksitasnya yang sering menyiksa dan membingungkan, dalam penderitaan dan kerinduan-kerinduannya yang kerap tak masuk akal, dsb.dsb. Seni, terutama “seni murni”, adalah artikulasi par excellence pengalaman manusia dalam Lebenswelt-nya yang pra-reflektif; artikulasi kehidupan manusia dalam penghayatan rasawi terdalamnya, dalam Bambang Sugiharto, Sains dan Dunia Manusia
87
ketaksadaran dan kesadarannya, dalam percampuran antara individualitas dan kolektivitasnya, tapi juga dalam ketegangan antara kenyataan dan impian-impiannya. Seni, karenanya, bisa dianggap sebagai “hati-nurani” peradaban manusia. Pada tingkat praksis konkritnya, yang dilakukan oleh para seniman adalah upaya-upaya merumuskan dan memberi bentuk pengalamanpengalaman yang seringkali sulit dirumuskan, membawa kita pada dimensi-dimensi sublim dan pelik di balik pengalaman, membuka indera kita pada kualitas-kualitas rasawi di balik benda dan peristiwa, mengangkat ke tingkat eksplisit hal-hal penting yang biasanya tersembunyi di bawah sadar, dan akhirnya juga menampilkan segala kemungkinan baru dan unik untuk memahami kenyataan. Bila diyakini bahwa inti kemanusiaan kita sesungguhnya adalah hati atau ruh, maka seni adalah juga bentuk ungkapan par-excellence manusia sebagai mahluk rohani atau berhati. Seni mengingatkan kita selalu bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk yang tak pernah cukup hanya hidup dengan teknologi, uang, makan, kerja, studi, bercinta,dsb. Seni adalah kegiatan khusus, yang sekilas tampak tak jelas manfaat dan juntrungannya, namun sesungguhnya adalah kegiatan yang hendak menangkap sisi batin terdalam kehidupan lewat perpaduan unik antara perasaan, intuisi, pikiran dan imajinasi. Inti terdalam universal kehidupan, manusia dan alam semesta coba dipahami dan diungkapkan disana bukan melalui konsep atau dogma, melainkan melalui kenyataan-kenyataan partikularnya: melalui jatuh bangun kehidupan seorang tokoh tertentu dalam novel dan film, melalui aura ritme dan pola gerak tertentu dalam tarian, melalui resonansi psikis-imaginatif tertentu dari struktur nada dan warna bunyi dalam musik, dsb.dsb. Dalam sebuah dunia yang sudah terlanjur dikendalikan oleh sains dan teknologi, seni pun dapat dilihat sebagai imbangan yang penting. Dunia sains memahami dan menghampiri kenyataan dengan mengambil jarak kritis, mengungkapkannya dalam pola-pola atau model abstrak, cenderung mengukur dan menetapkan kepastian-kepastian, menggunakan logika konseptual, berkecenderungan memandang segala hal sebagai obyek bagai benda mati, sering membawa agenda untuk memanipulasi dan mengubah realitas. Perspektif seni sungguh lain. Ia memahami realitas justru dengan menyatu, mengungkapkannya justru dengan figur partikular konkrit, bukan abstrak; tak pernah cenderung mengukur dan mencari kepastian, malah justru merayakan ambiguitas; menggunakan logika-perasaan dan imaginasi; melihat segala hal, benda mati sekali pun, seolah bernyawa (seniman menghidupkan apa pun); dan alih-alih mengubah realitas, seni justru membiarkan realitas mengubah kita (mengubah pola penghayatan dan cara pandang). 88
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004
Sains dan teknologi yang canggih namun dikelola oleh manusia dengan hati dan kehidupan batin yang dangkal akan membuat peradaban tetap primitif, bahkan bukan tak mungkin berakhir dalam penghancuran diri, bagai senjata di tangan anak-anak. Sebaliknya, tanpa sains dan teknologi canggih pun, namun kehidupan dikelola dengan kearifan batin yang matang dan mendalam , peradaban akan tumbuh matang dan berevolusi ke tingkat lebih tinggi. Sains dan teknologi hanya menunjang evolusi moralitas dan peradaban rohani bila berinteraksi bagus dengan filsafat, agama dan seni dalam artian di atas tadi, interaksi yang saling memperkarakan, saling memberi inspirasi dan memperkaya, saling tumbuh melalui satu sama lainnya. *)
L. Bambang Sugiharto Alumnus Universitas San Tomasso, Roma; mengajar di Fakultas Filsafat Unpar dan Pascasarjana Seni Rupa ITB, Bandung.
BIBLIOGRAFI Feyerabend,P.K, Against Method, ( London : New Leaf Books, 1975) Heidegger,M., Being and Time, terj. John Macquarie et al. (New York : Harper and Row, 1962) Holden, C, Science, vol 268 ( June 30,1995) Husserl,E. Cartesian Meditations, terj. David Cairns (The hague : Martinus Nijhoff, 1960) Park,R.L., The New York Times, Sunday, July 9, 1995 Ponty, M.M. Phenomenology of Perception, terj.Colin Smith (New York : the Humanities Press, 1962)
Bambang Sugiharto, Sains dan Dunia Manusia
89