RIBA DALAM TINJAUAN AL-QURAN Ade Dedi Rohayana STAIN Pekalongan e-mail :
[email protected]
Abstrak: Artikel ini membahas tentang riba menurut alQur'an. Dalam konteks masyarakat kontemporer, pemahaman kaum muslim hingga saat ini masih terjadi perbedaan pemikiran tentang konsep riba. Karena itu, kajian tentang riba masih dirasa aktual sampai sekarang, terutama kajian riba menurut al-Quran juga hadis sebagai rujukan utama kaum muslim. Beberapa ayat tentang riba dikaji dalam tulisan ini berdasarkan konsep turunnya ayat, baik ayat riba turun di Mekah maupun di Madinah. Alasan hukum dari ayat-ayat tersebut juga dijelaskan untuk memperkuat argumen. Berdasarkan kajian, tampak bahwa riba yang sudah jelas haram dalam al-Quran adalah riba pada masa jahiliyah yang diberi nama riba nasi’ah atau riba fahisy atau rabh murakkab atau faidah murakkabah. Riba yang seperti ini diharamkan secara pasti oleh Nash al-Quran, sedangkan kata adh’afan mudha’afah sebagai penjelasan khusus (incident clarifier) dan ilustrasi keadaan manusia pada masa jahiliyah, selain menjelaskan ketercelaan perbuatan tersebut yang mengandung penganiayaan dan penindasan kepada mereka yang sedang kesulitan. Kata adh’afan mudha’afah tidak menjelaskan bahwa riba yasir (riba yang sedikit) adalah halal, karena itu bukan maksud ayat ini, selain karena riba itu baik sedikit maupun banyak tetap diharamkan dan termasuk dosa besar. Dalam ayat juga dijelaskan bahwa riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu sebab kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan ketamakan. Hal ini berbeda dengan investasi yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 73
This article discusses Riba in the lens of Quranic interpretation. Within the context of contemporary society, Muslims’ interpretations on the concept of Riba are still diverging from one another. Accordingly, interpretations of Riba arestill actual nowadays, more particularly those that are based on the Quran and Hadiths as the primary reference for Muslims. In this article, we analyzed a number of verses about Riba in terms of their historical revelation either in Mekah or Madinah. The foundation for the justification on those verses is elaborated in an attempt to strengthen their arguments. Literature suggests that Riba that is explicitly considered haram in the Quran is the Riba in the Jahiliyahera. In this era, Riba was labeled in various terms including Ribanasi’ah, Riba fahisy, rabhmurakkab or faidah murakkabah. This kind of Ribais uncompromisingly prohibited by Nash Quran. Meanwhile, the term adh’afanmudha’afah serves as an incident clarifieras well as illustration of social condition in the Jahiliyah era that wascharacterized by oppression and humiliation against the powerless. The term adh’afanmudha’afah does not clarify that Ribayasir is halal because it does not represent the true meaning of the related verses. Moreover, Riba of any kinds remains prohibited, and it falls within a major sin. The related verses explain that the prohibited Riba is harmful because it is characterized with forces. The proscribed Riba also reflects people’s attempt to gain advantages without much effort as well as their greedy attitudes. Riba differs from investment that might give equal benefits for parties involved. Keywords:
Quran, Riba fahisy; adh’afanmudha’afa
Riba
nasi’ah;
PENDAHULUAN Komunitas muslim telah konsensus bahwa riba dihukumi haram. Keharaman ini berdasarkan kepada al-Quran, Sunah dan Ijma’ Ulama. Seluruh mazhab dan aliran Islam tidak berbeda pemikiran mengenai keharaman riba ini. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan menganalisis lebih jauh tentang kehalalan dan keharaman riba, tetapi hanya fokus pada kajian tentang apa sesungguhnya yang dimaksud oleh al-Quran dengan terminologi ‘riba’ yang
74
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
diharamkannya itu. Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi: َ
َ ِّ َ َّ َ َ َ ْ َ ْ ُ َّ َّ َ َ اﻟﺮﺑﺎ وأﺣﻞ اﺑ اﻛﻴﻊ وﺣﺮم
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pembahasan mengenai konsep riba menurut al-Quran masih tetap dirasa sangat penting dan relevan pada saat ini mengingat perkembangan sistem perekonomian yang semakin berkembang dan maju. Banyak produk baru di bidang ekonomi, sebagai hasil ikhtiar dari manusia, baik konvensional maupun syariah, yang memerlukan status keterkaitan secara jelas dengan terminologi ‘riba’ yang jelasjelas dilarang dalam ajaran Islam. Tampaknya salah satu faktor penyebab munculnya polemik sekitar hukum BPJS juga tidak jauh dari kekaburan mengenai konsep riba dalam al-Quran. Satu contoh riil dan aktual yang menunjukkan pentingnya kajian tentang konsep riba ini. Status hukum BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) menurut Nahdhatul Ulama (NU) dalam Bahtsul Masail yang diselenggarakan pada Muktamar ke-33 di Jombang Tanggal 1-5 Agustus 2015 adalah sesuai dengan syariat Islam dan masuk dalam aqad ta’awun serta tidak mengandung unsur riba (Lihat Buku Materi Muktamar ke-33 NU halaman 20). Mengkaji tentang konsep riba dalam al-Quran, sejak dulu sampai sekarang, tidak cukup pada potret substansi riba semata, tetapi perlu analisis yang sangat cermat, mendalam dan hati-hati, bahkan sampai analisis terhadap korelasi konsep riba dengan praktik-praktik transaksi ekonomi dalam rangka mengetahui dan menetapkan, apakah praktik-praktik tersebut sama dengan riba yang diharamkan al-Quran atau tidak. Semua ini sebagai bentuk ihtiyat, satu prinsip pokok ajaran Islam, yang mana jangan sampai kaum muslim terhalang untuk berkembang dan maju dalam bidang perekonomian karena tidak tepat dalam memahami konsep riba ini. Tetapi sebaliknya, jangan sampai kaum muslim bebas dengan sebebas-bebasnya melakukan transaksi perekonomian tanpa memperhatikan aturan mengenai riba ini. Karenanya, kajian terusmenerus terhadap lembaran-lembaran ayat riba dalam al-Quran sangat penting dan relevan di setiap waktu dan tempat seiring dengan perkembangan zaman dan masyarakat muslim itu sendiri.
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 75
PEMBAHASAN A. Ayat-Ayat Riba Al-Quran membicarakan riba secara bertahap, sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamar (minuman keras). Pembicaraan pertama, sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalam riba. Pembicaraan kedua, memberikan sinyal atau isyarat tentang keharamanan riba. Pembicaraan ketiga, secara eksplisit menyatakan keharamanan salah satu bentuk riba. Pembicaraan keempat atau terakhir adalah mengharamkan riba secara total dalam berbagai bentuknya. Kronologi analisisnya adalah sebagai berikut: 1. Periode Mekah. Allah berfirman:
َ َ َْ َْ َُْ ََ ْ َ َو َﻣﺎ آﺗَﻴْﺘُ ْﻢ ﻣ ْﻦ ر ًﺑﺎ ﻟ َّ ﺮﻴ ُﺑ َﻮ ﻲﻓ أ ْﻣ َﻮال اﷲ َّ ۖ َو َﻣﺎ آﺗﻴﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َزﺎﻛ ٍة ِ اﺠ ِ ِ ِ ِ ﺎس ﻓﻼ ﻳﺮﺑﻮ ِﻋﻨﺪ ِ ِ ُ ٰ ُ ْ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ ُ وﺤﻚ ﻫ ُﻢ اﻟ ُﻤﻀ ِﻌﻔﻮن ِ اﷲ َّ ﻓﺄ ِ ﺗ ِﺮﻳﺪون َوﺟﻪ
Artinya: “Dan sesuai riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya” (Q.S. alRum: 39) Ayat ini diturunkan di Mekah, dan tidak secara eksplisit menggambarkan keharaman riba, tetapi hanya memberikan semacam sinyal yang menggambarkan bahwa Allah tidak menyukai praktik riba. Allah tidak memberikan pahala kepada praktik riba. Dalam ayat ini Allah masih mengizinkan praktik riba (al-Shabuni, 1971, jilid I: 390). Ibnu Katsir (tanpa tahun, jilid III: 434) menamai riba seperti ini sebagai ‘riba mubah’, sedangkan al-Qurthubi (1967, jilid XIV:36) dan Ibnu al-‘Arabi (1957, jilid III:1479) menyebutnya dengan istilah ‘riba halal’. Pada tahap pertama Allah hanya mengemukakan bahwa praktik riba tidak akan menambah harta pelakunya, juga tidak manmbah pahala di sisi Allah. Pada ayat ini Allah membandingkan praktik riba dengan praktik zakat. Dapat dikatakan bahwa riba merupakan kebalikan dari zakat dilihat dari aspek pelipatgandaan pahala dan bertambahnya harta. Allah mem-
76
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
beritahu bahwa bukan riba yang akan melipatgandakan harta dan pahala, tetapi zakat yang akan melipatgandakan harta dan pahala.
َ ْ ِّ َ َ ْ ُ َ ْ َّ ُ َ ِّ َ ْ ْ َ َ َ ْ َّ َ ُ َ َ َّ َ ْ ُ َ َ ْ ﻴﻞ ٍ ﻓ ِﺒﻈﻠ ٍﻢ ِﻣﻦ ا ِ ﻳﻦ ﻫﺎدوا ﺣﺮﻣﻨﺎ ﻋﻠﻴ ِﻬﻢ ﻃﻴﺒ ِ ﺎت أ َِﺣﻠﺖ ﻟﻬﻢ وﺑِﺼﺪ ِﻫﻢ ﻗﻦ َ ﺳ ِﺒ ْ َ ْ ْ ْ َ َ ُ ْ َ ُ ُ ْ َ َ َ ِّ ُ ْ َ َ ً َ َْ ْ َ َّ َ ﺎﻃ ِﻞ َوأﻗﺘَﺪﻧﺎ ﺎﻛ ﺑ ﺎس اﺠ ال ﻮ ﻣ اﷲ َّ ﻛ ِﺜﺮﻴا وأﺧ ِﺬ ِﻫﻢ اﻟﺮﺑﺎ وﻗﺪ ﻏﻬﻮا ﻗﻨﻪ وأﻛ ِﻠ ِﻬﻢ أ ِ ِ ِ ِ َ َ ْ َ ﻟِﻠْ َﺎﻜ ِﻓﺮ ﻳﻦ ِﻣﻨ ُﻬ ْﻢ َﻋﺬاﺑًﺎ أ ِ ًﻤﺎ ِ
2. Periode Madinah. Allah berfirman:
Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baikbaik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S. al-Nisa’: 160-161). Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada kita bahwa Dia telah mengharamkan praktik riba bagi komunitas Yahudi, tetapi mereka melanggarnya. Karena itu, Allah melaknat dan membenci mereka. Praktik riba diharamkan oleh ayat ini secara metamorfosa karena Allah hanya menceritakan pelanggaran komunitas Yahudi, tidak mengeksplisitkan keharaman praktir riba bagi komunitas muslim (Ali al-Shabuni, 1971: Jilid I: 390). Allah berfirman: ْ
ُ َّ ً َ َ َ ً ْ َ ِّ ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ َ َ ﺤﻮن اﻟﺮ َﺑﺎ أﺿ َﻌﺎﻓﺎ ُﻣﻀﺎﻗﻔﺔ ۖ َواﻳﻘﻮا اﷲ َّ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﻳﻔ ِﻠ ﻳﺎ ﻛﻓﻬﺎ ا ِ ﻳﻦ آﻣﻨﻮا ﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. Ali Imran: 130). Secara eksplisit Allah menyatakan keharaman riba dalam ayat ini, meskipun masih bersifat parsial atau sebagian. Artinya, keharaman riba hanya untuk satu bentuk riba yang dinamakan riba
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 77
fahisy, yaitu riba keji dan atau berlebih-lebihan yang mengambil keuntungan berlipat ganda. (Ali al-Shabuni, 1971: Jilid I: 390). Terminologi ini juga yang disebutkan oleh Musthafa al-Maraghi (1946: Jilid IV: 65) dalam kitab Tafsir-nya. َ
َ ﻳﻦ َ اﻟﺮ َﺑﺎ إ ْن ُﻛﻨْﺘُ ْﻢ ُﻣ ْﺆﻣﻨ َ آﻣﻨُﻮا َّاﻳ ُﻘﻮا َ ِ َّ ﻳَﻜ ٌّﻓ َﻬﺎ ا ّ َ َ َاﷲ َّ َو َذ ُروا َﻣﺎ ﺑ ﻦﻴ ِِ ِ ِ ﻲﻘ ِﻣﻦ ِ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (Q.S. al- Baqarah : 278-279). Ayat ini menggunakan kalimat amar (perintah), dan kalimat perintah menurut ilmu ushul fiqh (metode penggalian hukum Islam) menunjukkan pada wajib, sehingga meninggalkan riba itu adalah wajib. Begitu juga, dalam teori ushul fiqh yang lain disebutkan bahwa perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya (al-amru bi al-sya’i nahyun ‘an dliddihi); Karenanya, kalau diperintahkan meninggalkan riba berarti dilarang (haram) melakukan riba (Abdul Hamid Hakim, t.t. : 11-12). Menurut al-Suyuthi, mengutip riwayat dari al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Mardawaih, dan al-Baihaqi, bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang hukum riba, yaitu ayat 278-281 Surat al-Baqarah tersebut di atas (al-Suyuthi, tanpa tahun :I : 27). Dengan demikian, ayat di atas merupakan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah. Pada ayat ini secara eksplisit Allah mengharamkan praktik riba dan memerintahkan orang beriman untuk meninggalkannya, bahkan menggandengkan perintah bertaqwa kepada Allah dengan perintah meninggalkan riba. Hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan perbuatan riba merupakan salah satu dari ciri orang yang bertaqwa. B. Definisi Riba Secara etimologi, riba berarti ziyadah (kelebihan atau tambahan). Komunitas Arab berkata, raba al-syai yarbu, maksudnya
78
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
idza zada (sesuatu bertambah). Secara terminologi hukum syara’ dapat dikemukakan dua terminologi berikut ini:
زﻳﺎدة ﻳﺄﺧﺬﻫﺎاﻤﻟﻘﺮض ﻣﻦ اﻤﻟﺴﺘﻘﺮض ﻣﻘﺎ ﺑﻞ اﻷﺟﻞ Artinya: “Tambahan yang diambil kreditor dari debitor pada saat jatuhnya (habisnya) masa pembayaran” (Ali al-Shabuni, 1971: I: 383)
ﻓﻀﻞ ﻣﺎل ﻻ ﻳﻘﺎ ﺑﻠﻪ ﻋﻮض ﻰﻓ ﻣﻌﺎوﺿﺔ ﻣﺎل ﺑﻤﺎل Artinya: “Kelebihan harta yang tidak ada penggantinya (cumacuma) dalam transaksi tukar menukar harta” (al-Alusi, 1994: Jilid II, Juz III: 47). Kata riba disebut dalam al-Quran sebanyak delapan kali, yaitu: 1.
َ َ َْ َْ َُْ ََ ْ َ و ََﻣﺎ آﺗَﻴْﺘُ ْﻢ ﻣ ْﻦ ر ًﺑﺎ ﻟ َّ ﺮﻴ ُﺑ َﻮ ﻲﻓ أ ْﻣ َﻮال اﷲ َّ ۖ َو َﻣﺎ آﺗﻴﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َزﺎﻛ ٍة ِ اﺠ ِ ِ ِ ِ ﺎس ﻓﻼ ﻳﺮﺑﻮ ِﻋﻨﺪ ِ ِ ُ ٰ ْ َ َ ُ ْ َ ْ َ ُ ُ ُ َ وﺤﻚ ﻫ ُﻢ اﻟ ُﻤﻀ ِﻌﻔﻮن ِ اﷲ َّ ﻓﺄ ِ ﺗ ِﺮﻳﺪون َوﺟﻪ
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah” (Q.S. al-Rum: 39). 2. ْ
ْ ُ ْ َّ ُ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َ َ ِّ َ ُ ُ َ َ َّ ﻮم ا ِ ي ﻓﺘَﺨ َّﺒ ُﻄﻪ اﻟﺸﻴ َﻄﺎن ِﻣ َﻦ اﻟ َﻤ ِّﺲ ا ِ ﻳﻦ ﻳﺄﻛﻠﻮن اﻟﺮﺑﺎ ﻻ ﻓﻘﻮﻣﻮن إِﻻ ﻛﻤﺎ ﻓﻘ
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran tekanan (penyakit) gila” (alBaqarah: 275). 3. َ
َ َ ِّ اﻛﻴْ ُﻊ ِﻣﺜْ ُﻞ َ ْ ﻚ ﺑﻜ َّﻏ ُﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا إ َّﻏ َﻤﺎ اﻟﺮ َﺑﺎ ِ ِ ِ ذﻟ
Artinya: “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba” (Q.S. al-Baqarah:275). 4.
ُ َوأَ َﺣ َّﻞ ِّ اﻛﻴْ َﻊ َو َﺣ َّﺮ َم َ ْ َّ اﷲ اﻟﺮ َﺑﺎ
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 79
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275). 5.
ﻳﻤﺤﻖ اﷲ اﻟﺮﺑﻮا و ﻳﺮ اﻟﺼﺪﻗﺎت واﷲ ﻻ ﺤﻳﺐ ﻞﻛ ﻛﻔﺎر أﺛﻴﻢ Artinya: “Allah memusnahkan riba sedekah”(Q.S.al-Baqarah: 276). 6.
dan
menyuburkan
ْ ْ ْ ُ اﻟﺮ َﺑﺎ إن ُﻛ َ ﻨﺘﻢ ُّﻣ ْﺆﻣﻨ َ ِ َّ ﻳَﺎ َﻛ ُّﻓ َﻬﺎ ا ِّ ﻲﻘ ِﻣ َﻦ َ ِ َﻳﻦ آ َﻣﻨُﻮا َّاﻳ ُﻘﻮا اﷲ َّ َو َذ ُروا َﻣﺎ ﺑ ﻦﻴ ِِ ِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman“ (Q.S.al-Baqarah: 278)
ُ َّ ً َ َ َ ً ْ َ ِّ ُ ُ ْ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ َ َ ﺤﻮن اﻟﺮ َﺑﺎ أﺿ َﻌﺎﻓﺎ ُﻣﻀﺎﻗﻔﺔ َواﻳﻘﻮا اﷲ َّ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﻳﻔ ِﻠ ﻳﺎ ﻛﻓﻬﺎ ا ِ ﻳﻦ آﻣﻨﻮا ﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮا
7.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. Ali Imron: 130) 8.
ْ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ ْ َ ُ ُ ْ َ َ َ ِّ ُ ْ َ َ َﺎﻃﻞ َوأَ ْﻗﺘَ ْﺪﻧَﺎ ﻟِﻠْ َﺎﻜﻓِﺮﻳﻦ َّ َ ِ وأﺧ ِﺬ ِﻫﻢ اﻟﺮﺑﺎ وﻗﺪ ﻏﻬﻮا ﻗﻨﻪ وأﻛ ِﻠ ِﻬﻢ أﻣﻮال اﺠ ِ ِ ِ ﺎس ﺑِﺎﻛ َ َ ْ ِﻣﻨ ُﻬ ْﻢ َﻋﺬاﺑًﺎ أ ِ ًﻤﺎ
Artinya: “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil” (Q.S. al-Nisa’: 161) C. Latar Belakang Keharaman Riba Seorang pakar hukum Islam, Wahbah al-Zuhaili (1991:III:98-99), secara singkat dan jelas menyingkap background atau latar belakang keharaman riba. Menurutnya, agama Islam adalah agama yang menyukai kesungguhsungguhan dan kerja keras, mendorong bersedekah dan
80
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
memberi pinjaman dengan baik, melarang mempersulit keperluan orang lemah, melarang berbuat sesuatu yang dapat membawa kepada permusuhan, kebencian dan pertengkaran, melarang dengki, hasud, serakah dan rakus, mengharuskan mengambil harta dengan jalan halal, tidak menyenangi menumpuk-numpuk harta kekayaan di tangan kelompok kecil yang akan mempersulit keperluan orang lain dan mempermainkan perekonomian negara dan masyarakat. Berangkat dari prinsip-prinsip yang luhur inilah, menurut Wahbah al-Zuhaili, Allah mengharamkan praktik riba, karena praktik riba akan melahirkan beberapa kerugian sebagai berikut: 1. Riba akan mencetak manusia yang tidak mau berusaha dan bekerja keras, seperti berdagang, berindustri, bertani dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dituntut oleh perkembangan zaman, seperti kedokteran, arsitektur, pharmasi, advokat dan lain-lainya. Riba akan mendorong si pemraktik riba untuk memeras darah sekelompok orang yang mau berusaha dan bekerja keras. Dia akan mengarungi kehidupan dengan bersantai-santai karena selalu berharap dari harta yang dipinjamkan yang mengandung riba tersebut. 2. Riba adalah usaha cuma-cuma, padahal syara’ mengharamkan mengambil harta secara aniaya dan tanpa haknya, serta melarang orang kuat mempersulit orang lemah. 3. Riba menanamkan kedengkian ke dalam hati orang-orang fakir atas orang-orang kaya, melahirkan permusuhan dan kebencian, dan membangkitkan/menyulut percekcokan dan perselisihan di antara manusia. Ini karena riba akan menghilangkan sifat kasih sayang dan tolong menolong dan membuat manusia manjadi hambanya harta. Si pemraktik riba seolah-olah seekor serigala yang akan merampas apa yang terdapat di dalam sakunya manusia dengan penampilan yang tenang, penuh tipuan yang jahat, dengan tidak diketahui si debitor. 4. Riba akan meretakan jalinan silaturahmi manusia, menghapus kebaikan di antara mereka dengan jalan qirad (pinjam meminjam) yang baik, dan akan merampas harta si
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 81
5.
fakir dan orang yang sedang dalam keperluan mendesak yang ingin memperbaiki usaha dan kehidupannya. Riba akan menghancurkan harga manusia dan melahirkan perselisihan di antara mereka, selain akan memonopoli perekonomian masyarakat. Dampak negatif yang khusus adalah lahirnya kehancuran, kefakiran, dan kerugian, karena Allah akan menghancurkan riba dan menyuburkan sedekah. Kerugiannya tidak hanya bagi si lintah darat, tetapi juga bagi distributornya. Banyak petani yang terjerat lintah darat harus menjual tanah-tanah milik mereka untuk menutupi hutang yang dipinjamnya yang mengandung riba. Semua ini karena bertani atau berladang banyak memerlukan pembiayaan, padahal usahanya itu sangat rentan terkena hama, kekeringan, dan paceklik.
Sangat jelas apa yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa praktik riba merupakan perbuatan yang sudah pasti mendatangkan kerusakan, baik bagi pelakunya terlebih lagi bagi korbannya. Dampak buruk praktik riba juga sudah sangat jelas disampaikan Allah di dalam al-Quran, sebagaimana dapat dilihat pada ayat-ayat riba tersebut di atas. Padahal sudah disepakati ulama bahwa tujuan dasar dari diturunkannya agama Islam adalah untuk mendatangkan kebaikan dan meniadakan kerusakan1. Oleh karena itu, latar belakang Islam mengharamkan riba karena akibat buruk yang ditimbulkan oleh praktik riba, yaitu dapat merusak tatanan sosial-kemasyarakatan.
1.
Memberi rahmat (kasih sayang/kebaikan) merupakan tujuan utama dari keseluruhan tujuan ajaran Islam. Bahkan kalau digeneralisasi ke dalam seluruh ajaran agama Allah sejak zaman Nabi Adam sampai Nabi Muhammad pasti bermuara ke sini (rahmatan lil’alamiin). Secara logika dapat dipahami bahwa bagaimana mungkin Allah Yang Maha Rahman Rahim bermaksud menimbulkan kerusakan bagi ciptaan-Nya. Banyak sekali dasar hukum al-Quran yang mendukung pernyataan ini. Allah bermaksud memberi kebaikan bagi ciptaan-Nya, dan tidak bermaksud memberi kerusakan. Dalam salah satu ayat al-Quran Allah menyatakan bahwa dalam beragama tidak ada unsur menyulitkan. Sudah populer di kalangan ahli hukum Islam bahwa salah satu prinsip dasar hukum Islam adalah tidak menyulitkan. Terkenal di kalangan ulama tujuan dasar agama Islam, yaitu jalb al-mashalih wa dar al-mafasid (menarik maslahat dan menolak mafsadat). Begitu juga prinsip darul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih (menolak mafsadat lebih diutamakan daripada menarik maslahat). Bahkan ajaran Islam bermuara hanya kepada kalimat i’tibar al-mashalih (memperhatikan/menarik maslahat) karena menolak mafsadat/kerusakan merupakan bagian dari kemaslahatan (Lihat al-Suyuthi dalam kitabnya alAsybah wa al-Nadhair halaman 6, Penerbit al-Haramain, Singapura – Jeddah: Indonesia).
82
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
D. Riba Dalam al-Quran Menurut Quraish Shihab, analisis singkat tentang riba yang diharamkan al-Quran dapat dilihat pada kandungan ayat Ali Imran ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278, atau lebih spesifik lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh’afan mudha’afah; (b) maa baqiya min al-riba; (c) fa lakum ru’usu amwalikum, la tazhlimuuna wa la tuzhlamuun (Quraish Shihab, 1955 : 261). Dari segi etimologi, kata adh’af adalah bentuk plural dari kata dhi’fu yang berarti “double atau berlipat kali ” (al-Munawwir, 1984: 880). Karena itu, kata adh’afan mudha’afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Kata adh’af yang terdapat dalam firman Allah di atas kedudukannya sebagai hal dari kata riba, dan mudha’afah-nya sebagai sifat adh’af (al-Alusi, 1994:II: 270, dan Wahbah al-Zuhaili, 1991:IV: 81). Maksud dari firman Allah: ْ
ُ َّ ً َ َ َ ً ْ َ ِّ ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ َ َ ﺤﻮن اﻟﺮ َﺑﺎ أﺿ َﻌﺎﻓﺎ ُﻣﻀﺎﻗﻔﺔ َواﻳﻘﻮا اﷲ َّ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﻳﻔ ِﻠ ﻳﺎ ﻛﻓﻬﺎ ا ِ ﻳﻦ آﻣﻨﻮا ﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮا
adalah janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda dengan menunda masa pembayaran hutang yang merupakan pokok harta, tetapi melipatgandakan pokok harta tersebut, sebagaimama kalian lakukan di masa jahiliyah. Islam melarang perbuatan tersebut karena mengandung penindasan kepada orang yang sedang kesulitan. Menurut Ibnu Jarir, maksud firman Allah di atas adalah janganlah kalian memakan riba setelah masuk Islam, karena Allah telah memberi hidayah kepadamu, sebagaimana perbuatanmu di masa jahiliyah. Apabila seseorang mempunyai hutang kepada orang lain, kemudian masa pembayarannya telah tiba (padahal debitor belum bisa membayar), maka si debitor berkata kepada kreditor: tundalah hutangmu, dan saya akan menambah hartamu, kemudian keduanya sepakat. Transaksi itu adalah riba yang berlipat ganda; karena itu, Allah melarang melakukannya saat mereka memeluk Islam. Menurut al-Razi, apabila seseorang berhutang kepada orang lain, misalnya seratus dirham untuk masa yang ditentukan. Kemudian masa pembayaran pun tiba, padahal si debitor belum bisa melunasinya, maka si kreditor berkata: tambahlah harta saya, dan
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 83
saya akan menambah masa pembayaran. Adakalanya kreditor menjadikannya dua ratus dirham, kemudian bila masa pembayaran yang kedua tiba, iapun berbuat seperti semula, dan seterusnya berulang kali. Karena itu, si kreditor mengambil kelipatan-kelipatan dari yang seratus. Inilah maksud dari firman Allah adh’afan mudha’afah (Musthafa al-Maraghi, 1974: 65). Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa sekarang dengan riba fahisy, yaitu keuntungan yang berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (terjadi) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 atau lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit. Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan debitor ketika itu telah ada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba alnasi’ah. Ibnu Abbas berpendapat bahwa nash al-Qur’an menunjuk kepada riba nasi’ah yang dikenal ketika itu (Musthafa al-Maraghi, 1974:65). Dari urian di atas tampak jelas bahwa riba yang adh’afan mudha’afah (berlipat ganda) diharamkan oleh Allah, karena riba yang berlipat ganda adalah perbuatan komunitas jahiliyah. Dalam hal ini tidak ada kontradiksi pendapat di antara ulama, apapun mazhab dan alirannya. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah yang diharamkan itu hanya penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan? Yang pasti adalah bahwa teks ayat menunjukkan arti adh’afan mudha’afah (berlipat ganda). Mereka yang berpegang kepada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya, kalau tidak berlipat ganda, maka tidak haram. Pihak lain berpendapat bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat, tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya al-Quran, sehingga kata mereka lebih lanjut, penambahan walupun tanpa pelipatgandaan adalah haram (Qurais Shihab, 1995:264). Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat yang terakhir turun menyangkut riba,
84
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh’afan mudha’afah (berlipat ganda) merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan essensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga. Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaruu maa baqiya min al-riba (dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut). Pertanyaan yang timbul adalah “apakah kata alriba yang berbentuk ma’rifat (definite) ini mengarah kepada riba adh’afan mudha’afah atau tidak”? Menurut Rasyid Ridha mengarah kepadanya, sedangkan menurut ulama lain tidak mengarah kepadanya. Kemudian Quraish Shihab membenarkan pendapat Rasyid Ridha karena didukung oleh riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat al-Quran tersebut. Oleh karena itu, tidak tepat menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali Imran yang lalu (adh’afan mudha’afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan alQuran adalah yang disebutkannya sebagai adh’afan mudha’afah atau yang diistilahkan dengan riba nasi’ah. Akan tetapi, Quraish shihab menyebutkan kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ruuusu amwalikum. Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Ini berarti kata adh’afan mudha’afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan. Karena itu, kata adh’afan mudha’afah tidak penting lagi karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun, kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya al-Quran dan yang disyaratkan oleh penutup ayat al-Baqarah ayat 279 tersebut,
Riba dalam Tinjauan Al-Quran (Ade Dedi Rohayana) 85
yaitu laa tazhlimuun wa laa tuzhlamuun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). KESIMPULAN Riba pada masa turunnya al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama sejumlah hutang yang di dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah hutang. Kesimpulan ini bisa dilihat dari rangkaian ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tentang riba sebagaimana tersebut di atas. Menurut Rasyid Ridha (1376 H:III:113), tidak termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Hal ini karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu sebab kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan ketamakan. Dengan demikian, dalam dua kasus ini tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama. Riba pada masa jahiliyah atau riba nasi’ah pada masa kita ini diberi nama riba fahisy atau rabh murakkab atau faidah murakkabah. Riba yang seperti ini diharamkan secara pasti oleh Nash al-Quran, sedangkan kata adh’afan mudha’afah sebagai penjelasan khusus (incident clarifier) dan ilustrasi keadaan manusia pada masa jahiliyah, selain menjelaskan ketercelaan perbuatan tersebut yang mengandung penganiayaan dan penindasan kepada mereka yang sedang kesulitan. Kata adh’afan mudha’afah tidak menjelaskan bahwa riba yasir (riba yang sedikit) adalah halal, karena itu bukan maksud ayat ini, selain karena riba itu baik sedikit maupun banyak tetap diharamkan dan termasuk dosa besar (Wahbah al-Zuhaili, 1991: III: 84).
86
RELIGIA Vol. 18 No. 1, April 2015. Hlm. 72-86
DAFTAR PUSTAKA Al-Baghdadi, Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi. 1994. Ruh al-Ma’ani fi al-Tafsir al-Quran al-‘Adhim wa al-Sab’I alMatsani. Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Al-Dimsyaqi, Abi al-Fida Isma’il bin Katsir al-Quraisyi. Tanpa Tahun. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Mesir: Dar al-Kutub al Misriyyah. Al-Husna, Zadah Faid Allah. Tanpa Tahun. Fath al-Rahman li alThalib al-Qur’an. Indonesia: Maktabah Dahlan. Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1946. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mushthafa al-Halabi. Al-‘Arabiy, Abu Bakar Muhammad bin Abdillah bin. 1957. Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kitab. Al-Shabuni, Muhammad ‘Ali. 1971. Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an. Makah: Dar al-Fikr. Al-Syafi’i, Jalaluddin al-Suyuthi. Tanpa Tahun. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mekah: Dar al-Fikr. Al-Syafi’i, Jalaluddin al-Suyuthi. Tanpa Tahun. al-Asybah wa alNadhair. Indonesia: Singapura-Jeddah. Al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad al-Anshariy. 1967. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. KAiro: Dar al-Kitab. Al-Zuhaili, Wahbah. 1991. Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa alManhaj. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr al-Mu’ashir. Depag. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra Semarang. Hakim, Abdul Hamid. Tanpa Tahun. Al-Sullam. Jakarta: Sa’adiyah Putra. Panitia Nasional Muktamar ke-33 Nahdhatul Ulama di Jombang. 2015. Materi Muktamar ke-33 NU. Jakarta Pusat. Ridha, Rasyid. 1376 H. Tafsir al-Manar. Mesir: Dar al-Manar. Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.