REPRSENTASI IDEOLOGI PATRIARKI DALAM NOVEL SEKUNTUM RUH DALAM MERAH KARYA NANING PRANOTO (KRITIK SASTRA FEMINIS) Junita Mohenny Br. Munthe Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia Surel:
[email protected] Abstrak Penelitian terhadap novel Sekuntum Ruh dalam Merah ini dilatarbelakangi oleh kenyataan sosial tentang ideologi patriarki yang telah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia dan mengakibatkan perempuan selalu berada di wilayah domestisitas. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan adanya ideologi patriarki dalam penyifatan perempuan, peran perempuan, adanya ketidakadilan oleh sebab ideologi patriarki, dan model representasi yang digunakan adalah model aktif. Kata kunci: representasi, ideologi patriarki, novel Sekuntum Ruh dalam Merah, kritik sastra feminis Abstract The background research for Sekuntum Ruh dalam Merah Novel is a social reality about patriach ideology that has been so deep absorb by the Indonesian people. This ideology has been known to put women on domestic area. The result of this research shows us that the patriach ideology also effecting women character, women role; and it also shows some kind of injustice as the result of the patriach ideology. The representative model used on this novel is the active model. Key word: representation, patriarchy, a novel of Sekuntum Roh dalam Merah feminist literature critic. PENDAHULUAN Patriarki menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1991: 25-26) berarti kekuasaan sang ayah atau patriarch. Hal itu berkaitan dengan sistem sosial bahwa sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, semua harta milik serta sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua keputusan penting. Sejalan dengan sistem sosial tersebut, ada kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai oleh lelaki, dan merupakan bagian dari harta milik lelaki. Norma-norma moral maupun hukum pun bersifat double standart (standar ganda) yang memberikan lebih banyak hak kepada kaum lelaki dibanding kepada perempuan, di samping
1
didasarkan atas patriarki. Sekarang, jika orang menyebut kata patriarki, hal itu berarti sistem yang menindas serta merendahkan kaum perempuan, karena lakilaki mendominasi kontrol atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya, dan pekerjaannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Patriarki yang berkembang di masyarakat sulit dihilangkan karena telah menjadi budaya turun-temurun. Pekerjaan perempuan selalu dikaitkan dengan memelihara, laki-laki selalu dikaitkan dengan bekerja. Laki-laki memiliki kekuatan untuk menaklukkan, mengadakan ekspansi, dan bersifat agresif. Perbedaan fisik yang diterima sejak lahir kemudian diperkuat dengan hegemoni struktur kebudayaan, adat istiadat, tradisi, pendidikan, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa patriarki menekankan kekuasaan bapak/suami dalam hal yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendiskriminasikan kaum perempuan; yakni dominasi orangtua (utamanya ayah) atas anak, dominasi suami atas istri, pengagungan tradisi keperawanan, inferioritas perempuan, perbedaan streotip laki-laki dan perempuan, dan penekanan fungsi reproduksi perempuan. Dalam hal ini, laki-laki mendapat posisi dan peran yang lebih dominan yang tidak melihat perempuan sebagai makhluk yang memiliki keputusan sendiri (Yulianeta, 2009: 82). Penelitian berjudul “Representasi Ideologi Patriarki dalam Novel Sekuntum Ruh dalam Merah Karya Naning Pranoto (Kritik Sastra Feminis)” dapat diketahui: (1) representasi ideologi patriarki yang digambarkan dalam novel Sekuntum Ruh dalam Merah; dan (2) model representasi yang digunakan pengarang dalam novel tersebut. Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengetahui representasi ideologi patriarki yang digambarkan dalam novel Sekuntum Ruh dalam Merah; dan (2) mengetahui model representasi yang digunakan pengarang dalam novel tersebut. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap studi ilmu sastra khususnya teori kritik sastra feminis dan penggunaannya dalam analisis sebuah karya sastra. Secara praktis, penelitian ini
2
diharapkan memperkaya wawasan pembaca pada umumnya tentang seluk beluk sebuah karya sastra khususnya novel ditinjau dari kajian kritis sastra feminis.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif terhadap novel Sekuntum Ruh dalam Merah karya Naning Pranoto. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis, dekripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana‟= atas, „lyein‟= lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2008: 53). Menurut Arikunto, metode penelitian deskriptif analisis adalah mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang merupakan faktor pendukung penelitian, kemudian menganalisis faktor-faktor tersebut untuk dicari peranannya terhadap hasil penelitian (2010: 151)
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Representasi Ideologi Patriarki dalam Novel Sekuntum Ruh dalam Merah Dalam analisis representasi ideologi patriarki akan dibahas tentang representasi ideologi patriarki dalam penyifatan tokoh perempuan, peran tokoh, dan ketidakadilan yang dialami tokoh perempuan dalam merepresentasikan ideologi patriarki. a. Representasi dalam Penyifatan Perempuan Salah satu tokoh sentral dalam novel adalah Anne Mary. Ia digambarkan seorang gadis yang cantik. Kesadarannya terhadap kecantikannya menjadikan ia menjadi gadis yang narsis. Ia mengagumi kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Ia menganggap bahwa kecantikan lebih penting bagi seorang perempuan daripada hal lain. Oleh karena itu, tokoh Anne Mary sangat menjaga kemolekan tubuhnya. Ia menjalani diet yang terlalu ketat sehingga ia menderita Anorexia nervosa
3
(penyakit yang menyerang perempuan muda kulit putih yang berobsesi bertubuh indah dan seksi). Sifat tokoh yang tersebut menggambarkan adanya ideologi patriarki yang menganggap bahwa kecantikan adalah sebuah modal bagi perempuan untuk mendapatkan pengakuan dalam masyarakat. Representasinya dapat terlihat antara lain streotip yang berlaku dalam masyarakat Jawa yang menganut filosofi bahwa perempuan itu harus macak (berhias) demi laki-laki. Kecantikan dianggap sebagai keunggulan dari perempuan. perempuan tidak perlu pintar asal cantik. Penyifatan perempuan cantik juga representasinya tampak dalam iklan yang ditayangkan di televisi maupun dalam media cetak. Banyak iklan yang menggunakan perempuan sebagai objek tontonan bagi masyarakat. Tidak hanya untuk iklan kosmetik perempuan, bahkan iklan yang produknya tertuju untuk lakilaki pun banyak menggunakan perempuan cantik sebagai modelnya.Seperti salah satu iklan sabun mandi bermerek Shinzui yang memperlihatkan adegan seorang perempuan yang cantik, putih, berambut panjang lurus, dan memperlihatkan tubuh bagian dada, leher dan punggung sedang mandi. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat telah menciptakan standar kecantikan bagi perempuan. Perempuan yang dianggap cantik hanya perempuan yang memiliki tubuh langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Standar tersebut menjadi standar yang digunakan lakilaki dalam menjalin hubungan dengan perempuan. Streotip itu telah menunjukkan bahwa keunggulan perempuan terdapat pada kecantikannya. Sewaktu kecil, tokoh Anne Mary digambarkan sebagai anak yang mempunyai sifat seperti anak laki-laki. Hal tersebut membuat neneknya khawatir. Neneknya mengkhawatirkan satu hal yaitu keperawanannya. Penyifatan ideologi patriarki terdapat dalam tokoh nenek Anne Mary. Ia beranggapan bahwa keperawanan sangat diagung-agungkan dalam masyarakat patriarki dan telah menjadi ideologi. Seorang gadis mempunyai kewajiban untuk menjaga keperawanannya karena keperawanan merupakan hal yang suci dan sakral. Pandangan masyarakat tentang kesucian atau keperawanan ini merupakan suatu yang normatif, bahkan terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa harta yang paling berharga dari perempuan sebelum menikah adalah keperawanan (Kweldju
4
dalam Yulianetta, 2009: 81). Kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum menikah. Representasi tentang ideologi tersebut misalnya dapat dilihat pada kasus yang terjadi pada tahun 2012 yang melibatkan bupati Garut bernama Aceng Fikri. Ia menikahi Fani Octora selama empat hari dan menceraikannya dengan alasan tidak perawan lagi. Dari kasus tersebut tampak bahwa keperawanan menjadi modal bagi perempuan untuk mendapat kehormatan dalam masyarakat. Kasus tersebut menggambarkan bahwa dalam masyarakat, anggapan bahwa perempuan itu harus perawan sebelum menikah. Perempun yang menjaga keperawanannya sebelum menikah adalah perempuan baik-baik. Kasus tersebut memperlihatkan berlakunya nilai patriarki dalam masyarakat. Tokoh lain yang digambarakan pengarang adalah Sri Mumpuni. Sosok Sri Mumpuni digambarkan baik, penurut, dan menghormati suami. Sri Mumpuni sangat taat pada adat Jawa yang berlaku di masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki merupakan raja dalam keluarga, jadi kepentingannya harus didahulukan daripada kepentingan perempuan. Perempuan Jawa sangat menjunjung tinggi budaya Timur dimana laki-lakilah yang menjadi pemimpin dan berkuasa atas keluarga, bahkan menganggap laki-laki sebagai raja. Hal tersebut tampak saat makanan telah terhidang, Sri Mumpuni tidak berani mencicipi terlebih dahulu makanan sebelum suaminya mencicipinya. Kebiasaan tersebut juga berlaku bagi anak-anak khususnya anak perempuan. Perempuan tidak bebas mengekspresikan diri karena dia dituntut untuk selalu menyelaraskan tindakannya dengan keharmonisan keluarganya. Kultur patriarki ini secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat.Selain itu, perempuan diharuskan menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara domestisitas. Perempuan menjadi makhluk nomor dua dalam keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tradisional seperti inilah yang menjadi penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan derajat rendah kaum wanita. Nilai-nilai seperti ini menghambat perkembangan wanita untuk menjadi manusia seutuhnya (Djajanegara, 2003: 5).
5
Representasi terhadap nilai tersebut juga tampak dalam budaya Batak. Dalam budaya Batak, laki-laki juga dianggap sebagai raja. Nilai tersebut berlaku juga dalam makan bersama. Yang berhak mencicipi makanan terlebih dahulu adalah laki-laki yang tertua dalam keluarga seperti ayah (kepala keluarga) atau kakek, barulah perempuan dan anak boleh menikmati makanan tersebut. Selain itu budaya Batak juga terikat kuat oleh sistem kekerabatan yang disebut marga. Seorang anak akan mengikuti marga dari pihak laki-laki, dan perempuan yang akan menikah juga akan terikat oleh marga suaminya. Sistem marga bermakna bahwa laki-laki merupakan raja dalam keluarga, adat, dan masyarakat Batak. Selain itu, Sri Mumpuni digambarkan pengarang sebagai perempuan yang tertutup terhadap suaminya. Hal tersebut tampak saat Sri Mumpuni cemburu kepada Diana Barnes karena masyarakat menganggap bahwa Diana Barnes menjalin hubungan dengan Adi.Sifat tertutup membuat kondisi kejiwaan dan raga Sri menjadi sakit, hingga akhirnya dia meninggal karena menderita kanker rahim. Perempuan demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi manusia yang mandiri secara jasmani maupun intelektual (Djajanegara, 2003: 52). Representasinya tampak dalam budaya Indonesia yang menganut sistem patriarkal, biasanya yang membuat keputusan penting adalah laki-laki, perempuan hanya mengikuti saja. Hal tersebut menumbuhkan sifat tertutup bagi perempuan, dan akhirnya perempuan lebih mendengarkan apa kata masyarakat daripada perkataan suami sebagai kepala keluarga. Tokoh lain adalah Breda Callanger. Dia profil istri yang setia, bersahabat, dan bertanggung jawab atas keluarga. Hal ini digambarkan lewat hubungannya dengan anaknya, Dermot Quinn. Selain itu Breda Callanger digambarkan seorang perempuan feminin, Ia tidak menghendaki perempuan tampil tomboy (seperti lakilaki). Selain itu seorang gadis harus menjaga keperawanannya. Ideologi patriarki tergambar lewat tokoh Breda Callanger yang mengharapkan perempuan tidak melanggar kodrat-Nya, tampil feminin, dan menjaga keperawanan demi untuk diserahkan kepada suaminya saat menikah.
6
Tokoh
lain adalah Syarifah. Syarifah digambarkan pengarang sebagai
perempuan yang patuh, penurut, dan taat terhadap suami. Ia sangat menghormati keputusan suami. Ketaatan Syarifah terhadap suami ditunjukkannya dengan pasrah akan tindakan suaminya yang berpoligami hingga mempunyai empat orang istri. Syarifah pasrah karena merasa bahwa suaminya berpoligami karena kesalahannya yang tidak dapat memuaskan suaminya di ranjang. Keluarga Syaefullah mengambil jalan berpoligami karena mendalami keimanannya, menjauhkan perzinahan, dan dengan poligami, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai zinah. Representasi terhadap poligami tersebut tergambar lewat seorang penyanyi dangdut bernama Rhoma Irama yang melakukan poligami dengan beberapa perempuan. Selain itu ia juga beberapa kali melakukan perceraian dengan beberapa istrinya. Kabar yang sempat hangat beredar yaitu kasus penggerebekan Rhoma Irama oleh wartawan di sebuah apartemen pada tahun 2003 bersama Angel Lelga. Akan tetapi penggerebekan disanggah Rhoma dengan berdalih bahwa ia hanya memberikan nasehat dan petuah agar menghindarkan Angel Lelga dari jurang kenistaan, setelah beberapa waktu kemudian mengakui bahwa ia sebenarnya telah menikah dengan Angel Lelga. Pada 2 Agustus 2005, Rhoma mengumumkan telah menikahi artis sinetron Angel Lelga secara siri pada 6 Maret 2003, namun hari itu juga ia menceraikannya. b. Representasi dalam Peran Perempuan Tokoh yang digambarkan pengarang yang merepresentasikan ideologi patriarki adalah Sri Mumpuni dan Syarifah. Sri Mumpuni berperan di sektor domestik. Rutinitas yang ia lakukan ialah merawat keluarga. Hal tersebut tampak pada perannya sebagai seorang istri yang menyiapkan makanan bagi keluarga, dan menemani anak-anaknya menjelang tidur. Selain itu, Sri Mumpuni berperan membantu kakek-nenek Asri mengurus keperluan untuk penampilan wayang. Tidak hanya berperan di sektor domestik, Sri Mumpuni juga berperan membantu suaminya di sektor publik. Ia bekerja sebagai pembawa tarian pembuka dalam pementasan wayang yang diketuai oleh suaminya.
7
Representasi dari peran yang digambarkan melalui tokoh Sri Mumpuni tampak dalam budaya Jawa yang menganut filosofi terhadap perempuan yaitu manak, masak, macak. Artinya, peran perempuan dalam budaya Jawa adalah melahirkan, memasak, dan berhias. Hal tersebut dilakukan demi laki-laki. Selain itu, dalam budaya Sunda juga dikenal filosofi terhadap perempuan yakni dapur, kasur, sumur. Artinya, perempuan berperan dalam mengurus keluarga dan memenuhi kebutuhan suami di kasur. Tokoh lain adalah Syarifah. Ia juga memegang peran domestik. Ia menjadi ibu rumah tangga yang aktivitas kesehariannya dipenuhi dengan pekerjaan di rumah. Syarifah berusaha menjadi istri yang sakinah. Peran yang dijalaninya memperlihatkan peran perempuan dalam memelihara domestisitas. Representasi terhadap nilai tersebut tampak dalam budaya Sunda. Di kalangan orang tua (kolot) masyarakat Sunda, pandangan terhadap perempuan didasarkan pada adat istiadat Sunda yang terungkap dalam ungkapan Sunda yakni isteri mah dulang tinande (istri mesti mengikuti suami), dan awewe mah heureut langkah (perempuan terbatas dalam melakukan aktivitas). Ungkapan tersebut memperlihatkan adanya nilai yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. c. Representasi Ketidakadilan dalam Ideologi Patriarki Tokoh Anne Mary digambarkan pengarang sebagai perempuan yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Selain itu, ia seorang biseksual (penyuka sesama jenis dan lawan jenis). Anne Mary terjerat perilaku seks bebas dengan Ricky Moore. Akibat kecintaannya yang amat sangat terhadap Ricky Moore, Anne Mary tidak menyadari bahwa tubuhnya dieksploitasi dan hanya dijadikan boneka mainan Ricky Moore, karena tidak sedikitpun Ricky mencintainya. Dia hanya mengingini kemolekan tubuhnya saja. Dalam budaya Batak misalnya, masyarakat terikat kuat oleh adanya sistem kekerabatan yang disebut dengan marga. Marga adalah sebuah silsilah keluarga yang menjadi identitas suku Batak. Dalam suatu keluarga setiap anak akan mengikuti marga dari ayah yang diperoleh sang ayah dari leluhur-leluhur sebelumnya. Perempuan dewasa yang siap menikah akan dibeli oleh pihak lakilaki yang istilahnya disebut tuhor. Istilah tersebut menandakan bahwa perempuan
8
dan keturunannya akan mengikuti marga dari pihak laki-laki. Oleh sebab itu, pada masyarakat Batak kolot, keluarga tidak mengharuskan perempuan bersekolah atau berpendidikan tinggi karena pada akhirnya ia akan ikut bersama keluarga suaminya dan perannya berada di sektor domestik. Selain itu, dalam masyarakat Sunda juga dikenal istilah isteri mah dulang tinande (istri mesti mengikuti suami), dan awewe mah heureut lengkah (perempuan terbatas dalam melakukan aktivitas). Istilah tersebut menggambarkan bahwa perempuan dalam masyarakat Sunda pada akhirnya akan mengikuti suaminya dan terbatas dalam melakukan aktivitas. Ungkapan-ungkapan seperti itu menempatkan perempuan dalam sektor domestik saja, sedangkan laki-laki dalam sektor publik, sehingga pemikiran para perempuan tidak berkembang. Anne Mary kembali jatuh dalam kekuasaan laki-laki saat tokoh Lelaki Teratai hadir di kehidupannya. Lelaki Teratai tahu betul bahwa perempuan merupakan pihak yang mudah ditakhlukkan. Hal tersebut membuat Anne Mary masuk dalam jerat asmara yang dibuat oleh Lelaki Teratai. Anne Mary dihamili oleh terapisnya tersebut karena gairah seks Anne Mary yang selalu memuncak setiap kali terapisnya tersebut memijat setiap bagian tubuhnya. Anne Mary jatuh untuk kedua kalinya ke dalam rangkulan lelaki yang tidak mencintainya, dan dengan mudahnya dia memberikan tubuhnya kepada laki-laki tersebut. Lelaki Teratai merupakan laki-laki yang tidak bertanggung jawab atas perlakuannya terhadap perempuan. Hal itu ditunjukkannya dengan meninggalkan Anne Mary dan tidak bertanggung jawab atas kehamilan Anne Mary. Representasinya tampak pada kasus yang dialami oleh artis Ayu Tingting yang ditinggalkan oleh suaminya Hendry Baskoro (Enji) saat masa kehamilannya pada 2013 silam. Enji meninggalkan Ayu Tingting tanpa alasan yang jelas, dan dikabarkan telah menikah lagi dengan perempuan lain. Kasus tersebut merupakan penggambaran ideologi patriarki bahwa perempuan menjadi korban atas ideologi tersebut. Tokoh Breda Callanger digambarkan pengarang sebagai perempuan yang berperan dalam sektor publik. Breda berperan sebagai pembangun sektor ekonomi bagi keluarga. Meskipun hal tersebut ia lakukan dengan kehendaknya
9
sendiri, tetapi terlihat ketidakadilan yang dilakukan suaminya terhadapnya. Suaminya tidak melakukan tugasnya sebagai penggerak ekonomi keluarga, malah menghabiskan harta yang dicari Breda bersama perempuan-perempuan simpanannya. Penyalahgunaan tanggung jawab oleh suami seperti yang dialami Breda Callanger membuat dia harus bekerja untuk menghidupi keluarganya. Meskipun Breda hidup sebagai perempuan modern, dengan intelektual yang tinggi hingga mampu membangun pabrik wiski dan beberapa pabrik minuman lainnya, tetapi dia sadar betul posisinya sebagai seorang istri patuh melayani suaminya. Tindakan-tindakan yang diambil oleh Breda menunjukkan adanya pertentangan dengan ideologi patriarki. Perempuan pada umumnya mampu mempertahankan rumah tangganya meskipun dibawah kekuasaan suaminya yang semena-mena, itu disebabkan karena perempuan mempunyai jiwa lain yang mampu membuatnya memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidupnya yaitu anak-anaknya, tetapi paham feminis tidak bisa menerima alasan itu, karena kedudukan perempuan tetap saja salah karena dijadikan sebagai inferior. Dalam sistem patriarki, laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang diinginkannya terhadap istri dan anak-anaknya. Hal tersebut digambarkan oleh tingkah laku Brian Quinn yang menghabiskan waktunya bersama wanita-wanita simpanannya dan menghabiskan nafkah hasil pekerjaan istrinya bersama para wanita-wanita simpanannya tanpa memikirkan istri dan anaknya. Sebagai seorang suami, tokoh Brian Quinn berperan sebagai suami tidak bertanggung jawab dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk berbuat semenamena terhadap Breda dan Dermot Quinn. Brian Quinn ingin menunjukkan bahwa laki-laki punya kuasa atas istri dan anaknya. Brian menjadikan Breda hanya sebagai pabrik uang buat kesenangannya sendiri. Kelompok feminis yakin bahwa sistem ini sangat menunjang usaha pengumpulan keuntungan, karena tanpa dibayar wanita melayani laki-laki (Djajanegara, 2003: 31). Tokoh lain yang mengalami ketidakadilan adalah Syarifah. Sebagai istri yang taat, ia mengizinkan suaminya berpoligami untuk membahagiakan
10
suaminya. Dia merelakan suaminya berpoligami hingga mempunyai empat istri karena menganggap bahwa keputusan suaminya tersebut adalah karena kesalahannya yang tidak dapat memuaskan suaminya di ranjang. Seikhlas apapun perempuan menerima poligami, tetapi pada umumnya poligami akan menyakiti perasaan perempuan, dan seharusnya tidak satu pun perempuan yang mau dipoligami. Representasi dari ketidakadilan tersebut tampak pada tujuan dari sebuah kelompok perempuan yang terdapat di Padang, Sumatera Barat. Ideologi patriarki jelas terlihat dari kelompok ini. Dari berita yang dimuat Padang Ekspress, perkumpulan tersebut bernama Klub Istri Taat Suami 100 Persen (KTS). Dari namanya saja, sudah tampak berlakunya ideologi patriarki dalam perkumpulan ini. Klub ini dibentuk untuk memberi pelatihan bagi anggotanya untuk menjadi istri yang siap melayani suami dan taat terhadap suami secara total. Mereka diajarkan untuk selalu tunduk dan mau melakukan apa saja demi kesenangan suami, bahkan para anggotanya diajarkan ikhlas saat suaminya berpoligami. Seorang anggota KTS bahkan menyatakan bahwa seorang istri harus mengibaratkan dirinya seorang pekerja seks komersil (PSK) kelas atas ketika melayani tamu. Para anggota KTS juga harus mau diperlakukan apa saja oleh suami ketika berhubungan seks, juga kapan pun suami ingin melakukannya. Hal tersebut diatas memperlihatkan posisi perempuan yang tersubordinasi akibat sistem patriarki yang berlaku dalam masyarakat saat ini. Yang berlaku adalah aktivitas perempuan yang diharuskan lebih mementingkan keluarga (suami dan anak), sebagai alat pemuas kebutuhan suami, dan dituntut juga untuk mencari nafkah tambahan membantu sang suami. Jelas bahwa perempuan hendaknya memiliki kekuatan untuk menjatuhkan sistem patriarkal yang menindas. 2. Model Representasi Ideologi Patriarki Setelah melakukan analisis representasi ideologi patriarki dalam novel ini, tergambar dengan jelas bahwa novel ini merepresentasikan ideologi patriarki yang ada dalam masyarakat Indonesia. Representasi berupa penggambaran dan penghadiran ideologi patriarki dari kenyataan yang ada sehari-hari ke dalam novel terlihat dari peran, pandangan, dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Adapun
11
permasalahan representasi ideologi patriarki tampak lewat hadirnya tokoh Anne Mary, Sri Mumpuni, Breda Callanger, dan Syarifah. Selain itu, pengarang melakukan kritikan-kritikan melalui hadirnya tokoh Asri Asih, Ruh, dan Diana Barnes.Berdasarkan gambaran tersebut, maka model representasi ideologi patriarki yang digunakan pengarang adalah model aktif.
SIMPULAN Dalam analisis representasi ideologi patriarki, peneliti menemukan adanya representasi dalam penyifatan perempuan, representasi dalam peran perempuan, dan representasi ketidakadilan dalam ideologi patriarki. Dari hasil analisis ketiga hal tersebut, ternyata merepresentasikan kondisi masyarakat yang sebenarnya. Kondisi masyarakat yang sebenarnya yang digambarkan dalam novel adalah kondisi perempuan-perempuan di masyarakat Indonesia. Model representasi yang digunakan pengarang dalam novel adalah model aktif. Penelitian ini belum sepenuhnya sempurna, oleh sebab itu peneliti merekomendasikan kepada semua pihak yang berminat agar melanjutkan penelitian ini lebih mendalam. Bagi masyarakat luas, penelitian ini dapat dijadikan bahan refleksi agar lebih memahami realitas sosial masyarakat khususnya tentang ideologi patriarki. PUSTAKA RUJUKAN Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bhasin, K. & Khan, N. S. (1999). Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Djajanegara, S. (2003). Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pranoto, N. (2011). Sekuntum Ruh dalam Merah. Yogyakarta: Diva Press. Ratna, N.K. (2008). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
12
Yulianeta. (2009). Representasi Ideologi Gender dalam Novel Saman. Bandung: FPBS UPI. Tanpa Nama. (2012). Cerita Pernikahan Kontroversial Bupati Garut Aceng Fikri. [Online]. Tersedia: http://merdeka.com. [12 Maret 2014]. ____. (2013). Jeritan Hati Ayu Ting Ting Ditinggal Suami. [Online]. Tersedia: palembang.tribunnews.com [12 Maret 2014]. ____.
(2014). Profile Rhoma Irama. [Online]. www.cumicumi.com/celebrities/Rhoma-irama/profile.html 2014].
13
Tersedia: [12 Maret